].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan...

84

Transcript of ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan...

Page 1: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul
Page 2: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul
Page 3: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

33

Page 4: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 20134

A. Pendahuluan

Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-culture) dalam pengertian sebagai gejala yang unik, otonom, dan cenderung terpisah dari dunia luar. Seperti diungkap-kan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (2001), labelisasi pesantren sebagai subkultur tidak lepas dari adanya tiga elemen dasar yang melekat dalam kehidu-pan pesantren, yaitu: (1) cara hidup yang dianut, (2) pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, dan (3) hirarki kekuasaan internal yang ditaati sepenunya.1

Pandangan bahwa pesantren adalah subkultur juga diperkuat oleh Said Aqil Siraj (2006). Ketua Umum PBNU yang sering disapa akrab dengan “Kang Said” ini bahkan menyatakan bahwa selain sebagai “makelar budaya” (cultural broker), pesantren juga berfungsi sebagai “filter budaya” (cultural filter) yang menyaring berbagai unsur luar yang tampak lebih dominan dalam rangka menjamin keutu-han Islam. Karakter seperti inilah, tegas Kang Said, yang menjadi alasan kenapa 1 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, cetakan I (Yogyakarta: LKiS, 2001), halaman 9-10.

pesantren bisa eksis dalam kurun waktu yang sangat panjang. Namun, lanjut Kang Said, karakter itu tidak lantas membuat pesantren bersifat statis. Sepanjang seja-rahnya, pesantren memiliki dinamime yang bersifat adaptatif terhadap kema-juan di luarnya, sejauh tidak berbenturan dengan pandangan hidup dan tata nilai yang diyakni.2 Dalam ungkapan Ray-hani (2009), dalam merespon dunia luar, pesantren cenderung menempuh “caranya sendiri” (in its own way); ada yang cepat tetapi juga ada yang lamban. Respon cepat biasanya ditunjukkan oleh pesantren modern (khalaf), sementara respon lam-ban biasanya ditunjukkan oleh pesantren tradisional (salaf). 3

Predikat sebagai “subkultur”, “makelar budaya”, dan sekaligus “filter budaya” di atas menarik ketika dibawa pada konteks era informasi saat ini, di mana pesantren sudah mulai berjumpa dengan internet. Seiring dengan akselerasi teknologi yang begitu massif selama tiga dekade terakhir, masyarakat dunia saat ini telah menjel-2 Said Aqil Siraj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengede-pankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi, cetakan I (Bandung: Mizan, 2006), halaman 207-209.3 Rayhani, Curriculum Construction in the Indonesian Pesantren: A Study of Curriculum Development in Two Different Pesantrens in South Kalimantan, cetakan I (Saarbrücken: LAP Lambert Academic Publishing, 2009), halaman 145.

KETIKA PESANTREN BERJUMPA DENGAN INTERNET:

SEBUAH REFLEKSI DALAM PERSPEKTIF CULTURAL LAG

Oleh : Muhammad Adib, M.Ag.

Tulisan ini menfokuskan diri pada tantangan dan respon pesantren dalam era informasi. Berawal dari asumsi pesantren sebagai subkultur yang menyaring berbagai unsur luar

yang tampak lebih dominan dalam rangka menjamin keutuhan Islam. Karakter seperti in-ilah yang menjadi alasan kenapa pesantren bisa eksis dalam kurun waktu yang sangat pan-jang. bisa disimpulkan bahwa pesantren saat ini sedang mengalami “kesenjangan budaya” (cultural) di saat berinteraksi dengan internet. Hal ini terbukti dari kompleksitas respon pesantren terhadap internet dan adanya arus digitalisasi pesantren yang susah dibendung.

Kata Kunci : Pesantren, Cultural Lag, Internet

Page 5: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

35

ma menjadi apa yang oleh para pakar ilmu sosial disebut dengan “masyarakat informasi” (information society) atau “masyarakat digital” (digital society) yang sebenarnya merupakan pengembangan terminologis dari “masyarakat pascain-dustri” (post-industrial society).4 Mengacu kepada prediksi futuristik Alvin Toffler (1980), masyarakat yang dia sebut dengan “super post-industrial society” ini merupa-kan wujud dari gelombang ketiga (third wave) perkembangan peradaban manusia, yakni dari masyarakat agraris, masyar-akat industri, dan kemudian masyarakat pascaindustri (masyarakat informasi);5 sebuah prediksi yang kemudian menjadi kenyataan.

Dalam konteks perjumpaan dengan in-ternet, pesantren menghadapi tantangan serius sekurang-kurangnya pada dua hal. Pertama, internet saat ini merepresentasi-kan apa yang oleh Marshal McLuhan (1962) sebagai “kampung global” (global village), di mana dunia dengan adanya media elektronik publik—saat itu ada-lah radio dan televisi—telah menyempit begitu rupa selayaknya sebuah kampung besar.6 Dengan adanya internet, jarak dan batas sudah tidak berfungsi lagi. Setiap orang yang mengakses internet dapat den-gan seketika mengetahui apa yang sedang dan telah terjadi di belahan dunia lain serta berkomunikasi dengan siapapun di mana saja dengan mudah. Pada titik ini, di saat pesantren sudah mengenal internet, maka predikat “subkultur” yang disandan-gnya sebenarnya menghadapi ujian serius, karena pada saat itu pesantren sebenarn-ya telah menjadi bagian dari “kampung global” tadi.

Kedua, massifnya arus informasi yang disajikan oleh internet, apalagi ketika didorong oleh kapitalisasi media digital,

4 Http://www.en.wikipedia.org, artikel “Information Society” (akses tanggal 10 Mei 2013).5 Tentang tiga gelombang peradaban manusia tersebut, baca: Alvin Toffler, The Third Wave, cetakan I (New York: Bantam Books, 1980).6 Marshal McLuhan, The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man, cetakan I (Toronto: University of Toronto Press, 1962), halaman 21 dan 31.

berarti bahwa—meminjam ungkapan AG. Eka Wenats Wuryanta (2004)—informasi yang diterima oleh masyarakat atau setiap orang bisa merupakan “banjir” informasi. Di satu sisi, kondisi itu menguntung-kan bagi sebagian masyarakat yang haus informasi untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Namun, di sisi yang lain, terpaan informasi tersebut bisa membuat situasi beban berlebih atas seluruh pros-es informasi yang diterima. Muncullah paradoks masyarakat informasi, yaitu situasi di mana informasi yang laksana “air bah” itu justru membuat mereka kesulitan mencerna informasi yang diterima seka-ligus membangun tata sosial dan budaya yang lebih baik.7 Pada titik ini, ketika sudah mengenal internet, pesantren mau tidak mau berhadapan dengan situasi ini, sehingga predikatnya sebagai “makelar dan filter budaya” selama ini benar-benar mendapatkan ujian yang serius.

Mengamati respon pesantren menghadapi ujian di atas tentu sangat menarik. Pada konteks ini, pesantren sedang menghada-pi situasi problematis antara pemenuhan kebutuhan menyerap informasi dari luar yang semakin lama semakin membesar, di satu sisi, dan komitmen untuk mem-pertahankan fungsi kelembagaan dan tata nilai yang dianut selama ini, di sisi yang lain. Pesantren dewasa ini, meminjam ungkapan Peter Mandaville (2009), sedang berada dalam arus “digitalisasi” Islam yang telah menjadi gejala global dunia Islam dewasa ini, di mana batas-batas pengetahuan keagamaan menjadi berubah begitu rupa.8 Memotret respon pesantren tersebut memang tidak begitu mudah, karena dinamika pemikiran keagamaan dan pengembangan kelembagaan di dunia pesantren sebenarnya cukup kompleks. Namun, dinamika tersebut sebenarnya bisa dipotret, meskipun mungkin tidak bisa memuaskan, dengan menggunakan 7 AG. Eka Wenats Wuryanta, “Digitalisasi Masyarakat: Menilik Kekuatan dan Kelemahan Dinamika Era Informa-si Digital dan Masyarakat Informasi”, Jurnal Ilmu Komu-nikasi, Volume 1, Nomor 2, Desember 2004, halaman 139.8 Peter Mandaville, “Digital Islam: Changing the Bound-aries of Religious Knowledge?”, ISIM (Leiden University), Edisi Maret 2009, halaman 23.

Page 6: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 20136

perspektif “kesenjangan budaya” (cultural lag) yang digagas pertama kali oleh Wil-liam F. Ogburn (1886-1959), yakni situasi di mana dunia budaya non-material tidak mampu mengikuti laju perkembangan dunia budaya materal, di mana akibat yang muncul adalah “kekagetan budaya” (cultural shock) dan sejumlah problem sosial, seperti menipisnya solidaritas sosial dan munculnya konflik sosial.9

B. Internet di Indonesia

Penggunaan internet di Indonesia memang menorehkan prestasi yang luar biasa. Menurut hasil survey Akamai Tech-nologies edisi 2012, kecepatan koneksi in-ternet di Indonesia menduduki peringkat teratas se wilayah Asia Pasifik dengan pen-ingkatan kecepatan dengan stabil rata-rata 22% setiap tahun. Indonesia dalam hal ini mengalahkan negara-negara lain yang jauh lebih maju, semisal Cina, Australia, Korea Selatan, Singapura, Vietnam, dan bahkan Amerika Serikat sendiri.10 Prestasi ini berbanding lurus dengan data peng-guna internet di Indonesia yang terhitung sangat mencengangkan. Berdasarkan hasil survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Inter-net Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia per akhir tahun 2012 mencapai 63 juta orang atau meningkat 8 juta dari tahun 2011 yang berjumlah 55 juta orang.11 Fakta bahwa Indonesia menempati peringkat 5 dunia dalam hal penggunaan twitter dan peringkat 4 dalam hal penggunaan facebook—seperti dirilis oleh lembaga riset Semiocast pada tahun 2012—menjadi mudah dipahami.12 Se-lain itu, lembaga riset MarkPlus Insight pada tahun 2012 juga menyajikan data yang menarik tentang perilaku pengguna internet di Indonesia, misalnya (1) 40% 9 R.W. Smolens Jr., “Cultural Lag: Applying Time to Culture”, http://www.dialogin.com (akses tanggal 21 Mei 2013).10 Http://www.kominfo.go.id, artikel “Indonesia Miliki Koneksi Internet Tercepat di Asia Pasifik” (akses tanggal 19 Mei 2013).11 Http://www.apjii.or.id, artikel “Statistik: Indonesia Internet Users” (akses tanggal 21 Mei 2013).12 Http://www.inet.detik.com, artikel “Kebanggaan Semu Indonesia Sebagai ‘Raja’ Facebook & Twitter” (akses tanggal 21 Mei 2013).

pengguna mengakses Internet lebih dari 3 jam setiap harinya, (2) komunitas terbesar pengguna didominasi oleh kalangan kelas menengah pada rentang usia 15-35 tahun, (3) 56,4% pengguna tahan berselancar di internet selama berjam-jam, dan (4) be-lanja akses per orang pengguna rata-rata mencapai Rp. 150.000,00.13

Terlepas dari akurasinya, hasil survey di atas, di satu sisi, bisa dianggap sebagai in-dikasi positif bagi perkembangan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Pihak Kementerian Komunikasi dan Informasi RI (Kominfo), misalnya, bertekad untuk memajukan teknologi komunikasi dan informasi untuk mendorong seluruh masyarakat Indonesia menjadi cerdas dan produktif supaya bisa meningkat kese-jahteraan. Salah satu program yang saat ini sedang disiapkan adalah Universal Service Obligation (USO), yaitu penye-diaan area-area WiFi atau akses internet tanpa kabel di sejumlah daerah.14 Namun, di sisi yang lain, hasil survey di atas juga menyisakan pertanyaan penting: “Apakah meningkatnya penggunaan internet di Indonesia berjalan seiring dengan laju kualitas kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya? Apakah internet di Indonesia su-dah digunakan sesuai dengan fungsi dan tujuannya?”.

Meskipun tidak bertujuan untuk men-jawab pertanyaan di atas, dua kenyataan berikut ini sekurang-kurangnya menya-jikan sebuah gambaran tentang realitas internet di Indonesia. Pertama, berdasar-kan data statistik edisi 2012 yang dikelu-arkan oleh United Nations Development Programme (UNDP), indeks pembangu-nan manusia (IPM) masyarakat Indonesia menduduki peringkat 121 dunia atau berada pada kategori negara kelas menen-gah (medium). Dengan peringkat terse-but, Indonesia masih kalah dari sejumlah 13 Http://www.kominfo.go.id, artikel “Pengguna Internet Indonesia Tertinggi Ketiga di Asia” (akses tanggal 19 Mei 2013).14 Http://www.kominfo.go.id, artikel “Kemkominfo Bertekad Majukan TIK” dan “Kemenkominfo Butuh Payung Hukum Penyediaan Area WiFi” (akses tanggal 21 Mei 2013).

Page 7: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

37

negara yang telah dikalahkannya dalam hal jumlah penggunaan internet, semisal Australia (peringkat 2), Amerika Serikat (3) Korea Selatan (peringkat 12), Singapu-ra (peringkat 18), Malaysia (peringkat 64), Cina (peringkat 101), dan Thailand (peringkat 103)—kecuali Vietnam yang berada pada peringkat 127.15 Keterting-galan Indonesia dari negara-negara tadi ditunjukkan, antara lain, dengan indikator pendapatan per kapita penduduk Indone-sia yang masih mencapai USD 4.154 per tahun; kalah jauh dari, misalnya, Thailand (USD 7.722 per tahun), Cina (USD 7.945 per tahun), dan Malaysia (USD 13.676 per tahun).16 Data ini menjadi indikasi bahwa peningkatan luar biasa penggunaan inter-net di Indonesia sebenarnya tidak ber-jalan seiring dengan peningkatan kualitas kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.

Kedua, Sean Kim, Business Adviser Qeon Interactive di auditorium Universitas Bina Nusantara, pada tanggal 22 Mei 2013 yang lalu menyatakan bahwa Indonesia lebih berpotensi bagi industri game dibanding negara lainnya di Asia Tenggara. Selain ka-rena jumlah penduduk yang sangat besar, di Indonesia saat ini terdapat sekitar 15 juta penggila game online, 3.000 pengem-bang game, dan sedikitnya 20 publisher game.17 Selain itu, pihak Kominfo telah melansir data tingginya transaksi dan jumlah pengakses situs-situs porno di Indonesia. Tingginya belanja akses situs porno yang mencapai USD 3.673 per detik atau setara dengan Rp 33.000.000,00 lebih setiap detiknya membawa nama Indo-nesia bertengger di peringkat tertinggi di dunia. Dari 34 provinsi di Indonesia, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan tampil dalam 10 besar

15 Http://www.hdr.undp.org, artikel “Human Develop-ment Index (HDI) - 2012 Rankings” (akses tanggal 21 Mei 2013).16 Http://www.hdrstats.undp.org, artikel “Country Profile: Human Development Indicators” (akses tanggal 21 Mei 2013).17 Http://www.inet.detik.com, artikel “Indonesia Punya 15 Juta Penggila Game Online” (akses tanggal 21 Mei 2013).

wilayah pengakses situs porno.18 Padahal tujuh provinsi tersebut termasuk kawasan pendidikan dan agama dengan jumlah lembaga pendidikan keagamaan terbe-sar di Indonesia. Terlepas dari kaitannya dengan maraknya kekerasan dan seks bebas di Indonesia akhir-akhir ini, data ini setidak-tidaknya menjadi indikasi bahwa akselerasi perkembangan internet di In-donesia sebenarnya masih belum diper-gunakan sesuai dengan fungsi dan tujuan esensialnya.

C. Respon Pesantren

Sebagaimana disebutkan di atas, respon pesantren terhadap internet memang cukup kompleks. Seperti dijelaskan oleh Ahmad Budi Setiawan (2011) ketika melakukan penelitian di sejumlah pesant-ren di Surabaya, dalam hal pemanfaatan internet, pesantren sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama adalah pesantren yang memanfaatkan internet sepenuhnya untuk menunjang aktivitas pesantren, baik untuk keperluan administrasi maupun untuk keperluan belajar-mengajar. Kelompok ini diwakili oleh PP Hidayatullah Surabaya dan PP Amanatul Ummah Surabaya, meskipun keduanya relatif berbeda tentang regula-si dan pemilahan akses santri terhadap internet. Kedua adalah pesantren yang memanfaatkan internet secara parsial, yakni hanya untuk keperluan adminis-trasi saja, sementara santri secara umum tidak diperkenankan untuk mengakses internet kecuali jika mendapatkan izin dari pengasuh dan pengurus pesantren. Kelompok ini dipercontohkan dengan PP Mamba’ul Fallah Surabaya dan PP Al Khoziny Surabaya. Ketiga adalah pesant-ren yang sama sekali tidak memanfaat ataupun menyediakan fasilitas internet, baik untuk keperluan administrasi mau-pun kegiatan pembelajaran. Sayangnya, Ahmad Budi Setiawan tidak memberi contoh pesantren yang mewakili kelom-

18 Http://www.jpnn.com, artikel “Inilah 10 Daerah Peng-akses Situs Porno” (akses tanggal 19 Mei 2013).

Page 8: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 20138

pok ketiga. Selain membuat kategorisasi, Ahmad Budi Setiawan juga menyajikan keprihatinan kalangan pengasuh pesant-ren terhadap pola penggunaan internet di kalangan santri untuk ragam keperluan yang tidak begitu penting, seperti game online, chatting melalui situs jejaring sosial semacam twitter, facebook, dan friendster, atau malah mengakses situs porno.19

Keprihatinan inilah yang sebenarnya menjadi titik tolak atau alasan utama penolakan sejumlah kalangan pesantren terhadap bentuk penggunaan tertentu dari fasilitas internet. Sikap penolakan terhadap penggunaan tertentu fasilitas internet ditunjukkan, misalnya, oleh Forum Komunikasi Pondok Pesantren Putri (FMP3) di Lirboyo Kediri pada bulan Mei 2009 yang melontarkan fatwa haram terhadap penggunaan facebook, friendster, twitter, dan situs jejaring sosial lainnya jika digunakan secara berlebihan. Fatwa mereka tersebut ditekankan pada adanya hubungan pertemanan spesial lawan jenis yang berlebihan. Jika hubun-gan pertemanan spesial tersebut dilaku-kan dalam proses khithbah (menjajaki karakter pasangan untuk menikahnya) serta mendapatkan restu dari orang tua, maka hal tersebut tetap diperbolehkan.20 Meskipun sempat diklarifikasi oleh salah seorang juru bicara PP Lirboyo Kedi-ri bahwa yang diharamkan sebenarnya adalah “berpacaran” via jejaring sosial, bukan menggunakan jejaring sosial itu sendiri,21 namun fatwa tersebut tak urung memancing reaksi dari berbagai lapisan masyarakat. Tidak tangung-tanggung, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui salah seorang juru bicaranya menyatakan bahwa memfatwakan haram terhadap facebook dan jejaring sejenis sebenarnya tidak perlu dilakukan, karena selain situs 19 Ahmad Budi Setiawan, “Penanggulangan Dampak Negatif Akses Internet di Pondok Pesantren Melalui Program Internet Sehat”, Jurnal Penelitian Komunikasi, Volume 14, Nomor 2, November 2011, halaman 105-108.20 Http://www.inet.detik.com, artikel “Fatwa Haram Internet, dari Facebook Sampai YouTube” (akses tanggal 21 Mei 2013).21 Http://www.nasional.news.viva.co.id, artikel “Pesant-ren Lirboyo Klarifikasi Facebook Haram” (akses tanggal 21 Mei 2013).

tersebut bersifat netral, kegunaannya pun seimbang atau malah lebih banyak daripa-da efek negatifnya. Buktinya, tokoh-tokoh nasional seperti Gus Dur dan Din Syam-suddin, juga memanfaatkan jejaring ini.22 Pihak Kominfo pun sempat memberi ko-mentar bahwa jika memang jejaring sosial memang benar-benar mengancam, maka peraturan perundang-undangan tentang telekomunikasi sebenarnya cukup ampuh untuk mengatasi persoalan tersebut.23

Di luar perdebatan pada rangkaian contoh kasus di atas, pesantren sebenarnya sudah menunjukkan sejumlah usaha kreatif dalam memanfaatkan jejaring sosial secara positif. Hal ini terlihat dari menjamurnya grup-grup jejaring sosial yang dibentuk oleh komunitas pesantren dan rata-rata diberi nama sesuai dengan lembaga mas-ing-masing. Selain sebagai media perekat sosial, grup-grup juga difungsikan sebagai media diskusi dan sharing gagasan terkait dengan isu-isu aktual yang berkembang. Pesertanya pun dari lintas “generasi”, mulai dari kalangan santri, alumni, guru, hingga pengasuh pesantren. Contoh lainnya adalah munculnya situs salamp-esantren.com sebagai jejaring sosial bagi komunitas pesantren dengan konsep dan fitur yang mirip dengan facebook dengan sejumlah modifikasi yang disesuai dengan alam pesantren. Situs yang dibuat oleh se-orang santri dari Banten pada tahun 2012 ini terbukti mendapat sambutan hangat dari komunitas pesantren, termasuk di an-taranya PP Gontor.24 Dua contoh tersebut melengkapi bentuk-bentuk kreativitas lain yang telah bermunculan sebelumnya, sep-erti situs-situs pesantren dan jurnal-bule-tin buatan pesantren, sebagai gejala adan-ya arus baru interaksi pesantren dengan internet, yaitu digitalisasi pesantren dan munculnya pesantren digital.

22 Http://www.nasional.news.viva.co.id, artikel “MUI Belum Bahas Facebook Haram atau Halal” (akses tanggal 21 Mei 2013).23 Http://www.nasional.news.viva.co.id, artikel “Dep-kominfo: Facebok Haram Perlu Dibicarakan” (akses tanggal 21 Mei 2013).24 Http://www.inet.detik.com, artikel “Salampesantren.com, ‘Facebook’ ala Anak Pesantren” (akses tanggal 21 Mei 2013).

Page 9: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

39

D. Gejala Cultural Lag

Kompleksitas respon pesantren terhadap internet sebagaimana digambarkan di atas sebenarnya bisa dipahami sebagai sebuah gejala “kesenjangan budaya” (cultural lag). Menurut William F. Ogburn (1966) yang mencetuskan teori ini, teknologi adalah mesin utama penggerak kemajuan (pri-mary engine of progress) namun senan-tiasa berbenturan dengan respon sosial terhadapnya. Bertumpu kepada asumsi dasar “middle technological determinism”, Ogburn menyatakan bahwa kesenjangan budaya terjadi pada tahapan akhir dari empat tahapan perkembangan teknologi, yaitu: (1) penemuan (invention), yaitu tahapan di mana teknologi pertama kali diciptakan, (2) akumulasi (accumulation), yaitu proses pertumbuhan dan perkem-bangan teknologi, (3) difusi (diffusion), yaitu proses pertukaran dan pergulatan gagasan seputar teknologi yang pada gilirannya memunculkan temuan-temuan baru, dan (4) penyesuaian diri (adjust-ment), yaitu tahapan di mana aspek-as-pek non-material dari budaya merespon temuan-temuan teknologi tersebut. Keterlambatan respon budaya non-mat-eral inilah yang menyebabkan munculnya kesenjangan budaya.25

Uraian Ogburn tersebut tepat untuk menggambarkan realitas internet di pe-santren dan respon sosial terhadapnya. Di saat pesantren berjumpa dengan internet, atau lebih tepatnya di saat internet mulai masuk ke dunia pesantren, maka perso-alan penyesuaian diri antara pesantren dan internet menyembul ke permukaan. Di satu sisi, internet sebagai bagian dari industri kapitalisme global memiliki kepentingan untuk merambah lahan-la-han baru dan menghegemoni dunia. Indonesia, termasuk pesantren, dalam hal ini dianggap sebagai pasar yang sangat menjanjikan, mengingat masyarakatnya yang cenderung mudah “terpesona” oleh 25 Jesus Romero Monivas, “Cultral Lag”, George Ritzer dan J. Michael Ryan (ed.), The Concise Encyclopedia of Sociology (New Jersey: Wiley-Blackwell, 2011), halaman 109.

peradaban Barat dan hal-hal yang diang-gap modern.26 Sementara itu, di sisi yang lain, pesantren juga mau tidak mau harus ikut dalam “permainan” kapitalisme global itu, dengan kesadaran bahwa informasi dari luar mutlak diikuti dan dicerna oleh pesantren jika tidak ingin tertinggal dari akselerasi informasi yang begitu massif dewasa ini.

Dalam konteks ini, pesantren sebenarnya sedang berada pada—meminjam ung-kapan Eka Wenats Wuryanta (2004)27 —masa transisi dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat konsumen informasi. Komodifikasi informasi oleh kekuatan ka-pitalisme modern telah membentuk logika konsumerisme informasi. Logika episemik yang dimiliki oleh pesantren menjadi ter-balik karena terbentuk menjadi struktur konsumen, bukan produsen, informasi. Pesantren kemudian cenderung menjadi “penonton” pasif yang selalu siap mener-ima arus informasi yang melanda seperti air bah. Dalam menggunakan internet dan menyerap informasi pun, pesantren tidak lagi menyerap informasi dalam bentuk nilai guna atau utilitasnya, tetapi lebih banyak berkaitan dengan logika sosial dan gaya hidup baru yang semakin terasing dari kebutuhan kehidupan manusia yang sesungguhnya. Fakta bahwa komunitas pesantren menjadi bagian dari jumlah fantastis pengguna internet di Indonesia mengindikasikan semua itu. Kasus-kasus penggunaan internet yang menyimpang di sejumlah kalangan dunia pesantren, termasuk di dalamnya ragam reaksi inter-nal pesantren terhadapnya, juga menjadi semacam “sisi lain” dari realitas internet di pesantren.

Namun, dunia pesantren sebenarnya tidak dalam kondisi “diam” menghadapi situasi transisional di atas. Ragam usaha kreatif yang dilakukan oleh sejumlah kalangan 26 Hal ini dinyatakan sendiri secara terbuka oleh Nophin sebagai penggiat gadget dari Jeruknipis.com dalam acara Ngopi Bareng detikINET yang bertajuk “Rahasia di Balik Ketenaran BlackBerry di Indonesia”. Lihat: Http://www.inet.detik.com, artikel “BlackBerry Laku Karena Orang Indonesia Latah” (akses tanggal 21 Mei 2013).27 Eka Wenats Wuryanta, “Digitalisasi.”, halaman 139-140.

Page 10: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201310

pesantren sebagaimana telah dicerita-kan di atas menjadi gambaran yang jelas bahwa pesantren sedang melakukan apa yang oleh Ogburn (1966) disebut sebagai upaya “penyesuaian diri” (adjustment) seperti telah disebutkan di atas. Upaya yang dilakukan oleh komunitas pesantren tadi merupakan langkah awal yang baik untuk mempersempit kesenjangan antara temuan baru kebudayaan (new materal invention) dan ragam aspek kebudayaan non-material (non-material culture); den-gan kata lain, untuk mengakhiri masa “ke-senjangan budaya” (cultural lag). Namun, proses penyesuaian tersebut tentu masih memerlukan jangka waktu yang lama serta usaha keras yang tidak akan mudah. Selain karena mereka masih berhadapan dengan kompleksitas respon pesantren terhadap internet dan persoalan sumber daya, pros-es penyesuaian diri dalam konteks kesen-jangan budaya, sebagaimana ditegaskan oleh Ogburn sendiri, biasanya memang memakan waktu yang lama, bahkan bisa puluhan tahun.28

E. Penutup

Dari seluruh uraian di atas, bisa disim-pulkan bahwa pesantren saat ini sedang mengalami “kesenjangan budaya” (cultural) di saat berinteraksi dengan internet. Hal ini terbukti dari kompleksitas respon pesantren terhadap internet dan adanya arus digitalis-asi pesantren yang susah dibendung. Dunia pesantren pun berusaha untuk beradaptasi seraya mengkonstruksi bentuk-bentuk penggunaan internet yang sesuai dengan tata nilai yang mereka anut, di satu sisi, dan kebutuhan terhadap informasi, di sisi yang lain. Proses adaptasi tersebut, pada gilirannya, membawa pengaruh perubahan yang cukup besar terhadap cara berpikir, pola perilaku, dan gaya hidup pesantren itu sendiri yang acapkali tertatih-tatih di dalam mengejar akselerasi perkembangan internet yang mereka gunakan.

Dunia pesantren memang dituntut untuk benar-benar siap menjadi bagian dari mas-28 Http://www.sociologyguide.com, artikel “Basic Con-cepts of Cultural Lag” (akses tanggal 20 Mei 2013).

yarakat informasi, jika memang tidak ingin tertinggal jauh atau kehilangan jati diri. Untuk itu, hal pertama yang harus dilakukan oleh pesantren adalah menentukan konsep teknologi dan masyarakat informasi seperti apa yang hendak dibangun. Pesantren harus segera merumuskan visi, misi, dan strategi yang jelas terkait dengan aksestabilitasn-ya terhadap internet, sehingga akselerasi internet yang semakin pesat dewasa ini bisa menjadi kekuatan (strengths) sekaligus pel-uang (opportunities), bukan malah ancaman (threats) ataupun kelemahan (weaknesses), bagi pengembangan kualitas SDM pesantren sendiri dalam arti yang sebenarnya. Akan lebih strategis lagi, jika pesantren mampu mempertautkan secara sinergis antara tata nilai yang dianutnya dan akselerasi internat yang diikutinya. Apabila hal ini berhasil, maka pesantren bukan hanya bisa melewati fase genting “kesenjangan budaya” yang dialaminya saat ini semata, tetapi juga bisa menjadi model bagaimana sebuah produk kapitalisme global bisa diserap dan dikelola secara konstruktif dan produktif. Agenda ini jelas belum dikatakan terlambat untuk dilakukan sekarang ini. Mengapa, sebab pesantren harus melihat perkembangan teknologi dan informasi secara paralel den-gan proses industri dan logika internal yang menyertainya, sekaligus harus tetap meny-ikapinya secara kritis. Artinya, digitalisasi pesantren jangan sampai semakin men-galienasi dan mereduksi fungsi pesantren berikut tata nilai yang dianutnya selama ini.

Last but not least, tulisan ini tentu sangat jauh dari kata memuaskan. Ragam kelema-han, kekurangan, dan bahkan kesalahan tentu mustahil untuk dihindari dari tulisan ini. Itulah sebabnya, kritik konstruktif dari dosen pengampu dan teman-teman sekelas bisa menjadi pendorong penyempurnaan tu-lisan ini. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amin.

Wa Allāh a‘lam bi al-shawāb.

Yogyakarta, 16 Juli 2013.

Page 11: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

311

Daftar Rujukan

Abdurrahman Wahid, 2011. Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Edisi digital. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi.

AG. Eka Wenats Wuryanta. 2004. “Digitalisasi Masyarakat: Menilik Kekuatan dan Kele-mahan Dinamika Era Informasi Digital dan Masyarakat Informasi”. Jurnal Ilmu Komunikasi. Volume 1, Nomor 2, Desem-ber 2004.

Ahmad Budi Setiawan. 2011. “Penanggulangan Dampak Negatif Akses Internet di Pondok Pesantren Melalui Program Internet Sehat”. Jurnal Penelitian Komunikasi. Volume 14, Nomor 2, November 2011.

Mandaville, Peter. 2009. “Digital Islam: Chang-ing the Boundaries of Religious Knowl-edge?”. ISIM (Leiden University). Edisi Maret 2009.

McLuhan, Marshal. 1962. The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man. Cetakan I. Toronto: University of Toronto Press.

Monivas, Jesus Romero. 2011. “Cultral Lag”. George Ritzer dan J. Michael Ryan (ed.), The Concise Encyclopedia of Sociology. New Jersey: Wiley-Blackwell.

Rayhani. 2009. Curriculum Construction in the Indonesian Pesantren: A Study of Curriculum Development in Two Different Pesantrens in South Kalimantan. Cetakan I. Saarbrücken: LAP Lambert Academic Publishing.

Said Aqil Siraj. 2006. Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai In-spirasi, bukan Aspirasi. Cetakan I. Band-ung: Mizan.

Smolens Jr., R.W. “Cultural Lag: Applying Time to Culture”. Http://www.dialogin.com (akses tanggal 21 Mei 2013).

Toffler, Alvin. 1980. The Third Wave. Cetakan I. New York: Bantam Books.

Http://www.apjii.or.id, artikel “Statistik: Indo-nesia Internet Users” (akses tanggal 21 Mei 2013).

Http://www.en.wikipedia.org, artikel “Infor-mation Society” (akses tanggal 10 Mei 2013).

Http://www.hdr.undp.org, artikel “Human De-velopment Index (HDI) - 2012 Rankings” (akses tanggal 21 Mei 2013).

Http://www.hdrstats.undp.org, artikel “Coun-try Profile: Human Development Indica-tors” (akses tanggal 21 Mei 2013).

Http://www.inet.detik.com, artikel “BlackBer-ry Laku Karena Orang Indonesia Latah” (akses tanggal 21 Mei 2013).

Http://www.inet.detik.com, artikel “Fatwa Haram Internet, dari Facebook Sampai YouTube” (akses tanggal 21 Mei 2013).

Http://www.inet.detik.com, artikel “Indone-sia Punya 15 Juta Penggila Game Online” (akses tanggal 21 Mei 2013).

Http://www.inet.detik.com, artikel “Ke-banggaan Semu Indonesia Sebagai ‘Raja’ Facebook & Twitter” (akses tanggal 21 Mei 2013).

Http://www.inet.detik.com, artikel “Salampe-santren.com, ‘Facebook’ ala Anak Pesant-ren” (akses tanggal 21 Mei 2013).

Http://www.jpnn.com, artikel “Inilah 10 Daer-ah Pengakses Situs Porno” (akses tanggal 19 Mei 2013).

Http://www.kominfo.go.id, artikel “Indonesia Miliki Koneksi Internet Tercepat di Asia Pasifik” (akses tanggal 19 Mei 2013).

Http://www.kominfo.go.id, artikel “Kem-kominfo Bertekad Majukan TIK” dan “Kemenkominfo Butuh Payung Hukum Penyediaan Area WiFi” (akses tanggal 21 Mei 2013).

Http://www.kominfo.go.id, artikel “Pengguna Internet Indonesia Tertinggi Ketiga di Asia” (akses tanggal 19 Mei 2013).

Http://www.nasional.news.viva.co.id, artikel “Depkominfo: Facebok Haram Perlu Dibic-arakan” (akses tanggal 21 Mei 2013).

Http://www.nasional.news.viva.co.id, artikel “MUI Belum Bahas Facebook Haram atau Halal” (akses tanggal 21 Mei 2013).

Http://www.nasional.news.viva.co.id, artikel “Pesantren Lirboyo Klarifikasi Facebook Haram” (akses tanggal 21 Mei 2013).

Http://www.sociologyguide.com, artikel “Basic Concepts of Cultural Lag” (akses tanggal 20 Mei 2013).

Page 12: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201312

Fokus tulisan ini adalah : (1) menjelaskan keterkaitan pesantren dengan perubahan sosial dalam perspektif normatif dan historisnya. Penjelasan normatif diharapkan memperjelas nilai-nlai dasar yang menjadi grand theory yang dihayati pesantren dan menjadi basis ideologi gerakannya. Sedangkan penjelasan historis dimaksudkan memaparkan implementasi nilai-nilai dalam ranah sosial. (2) menjelaskan tantangan-tantangan obyektif kontemporer yang dihadapi pesantren beserta tawaran paradigma pendidikan pesantren untuk menjadikan pendidikan pesantren relevan dengan jaman sekarang dan nanti (sholih fi zaman al-hal wa mustaqbal).Tulisan Ini adalah kajian pustaka dan menjadikan literatur-literatur klasik yang nota bene menjadi tradisi pesantren salaf itu sendiri menjadi sumber literatur primer. Pembahasan awal adalah menguraikan nilai-nilai dasar yang menjadi grand theory dari pendidikan salaf yang diambil dari tradisi mereka. Kemudian, akan disajikan kenyataan sejarah sosial pesantren untuk memotret implementasi nilai-nilai dasar itu dalam kenyataan sosialnya.Dalam ranah normatif dan kesejarahannya pesantren telah membuktikan diri menjadi pilar utama dalam perubahan sosial yang sekarang mengalami tantangan yang harus disikapi dengan tepat sesuai dengan peran-peran sosialnya.

Kata Kunci : Pesantren, perubahan sosial.

PESANTREN DANPERUBAHAN SOSIAL

Oleh: Ahmad Atho’ Lukman Hakim, S.Ag, M.Sc

Page 13: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

313

A. Latar Belakang

Pendidikan harus sesuai dengan tan-tangan zamannya. Tesis ini tidak terban-tahkan. Pendidikan sebagai bekal manusia hidup seharusnya selaras dengan tujuan hidup manusia itu sendiri. Pada sisi lain, tantangan manusia untuk memenuhi ke-butuhannya pada tiap zaman akan selalu berbeda sebab zaman selalu berubah. Tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri, begitulah adagium yang diterima oleh semua kalangan. Pe-rubahan adalah sunnatullah. Kita dari bayi kemudian besar menjadi anak dan dewasa, tua dan kemudian mati. Demikian pula sejarah, ia akan selalu berubah. Sejarah masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang.

Berkaitan dengan perubahan sejarah, jika kita bicara dari unit analisis mode of productions,maka sejarah paling tidak bergerak dari agraris –sebelumnya ada zaman pra agragris yakni zaman manusia berburu, nomaden serta tidak mengenal cocok tanam--. Kemudian zaman indus-trialisasi yang berbasis pada produksi manufaktur. Sekarang sudah masuk pada masa post-industri yang berbasis pada informasi dan jasa1. Kedepan, sejarah juga akan berubah, entah kemana. Singkatnya, sejarah terbagi menjadi tiga, sejarah masa lalu yang menjadi kenangan dan pelajaran, masa sekarang yang menjadi kenyataan dan masa yang akan datang yang menjadi tantangan. Dan pada setiap masa mem-punyai tantangan dan problematikanya sendiri-sendiri yang tentu saja membutu-hkan respon yang tidak sama.

Kaitannya dengan pendidikan, se-bagai sebuah produk peradaban yang berfungsi sebagai wahana sosialisasi dan beradaptasi oleh generasi penerus agar manusia dapat eksis dalam budayanya, maka usia pendidikan sudah setua ma-

1 Salah satu penjelasan perkembangan sejarah dengan basis analisis mode of productions beserta tantangan-tantanganya dalam segala aspek khususnya berkaitan dengan demokratisasi dapat dilihat dalam, Alvin dan Heidi Toffler, Menciptakan Peradaban Baru : Politik Gelombang Ketiga (Yogyakarta : Ikonteralitera, 2002).

nusia itu sendiri.2 Dengan ungkapan lain, pendidikan adalah sebuah produk budaya manusia untuk mempertahankan eksis-tensi dirinya sekaligus mengeksplorasi potensi-potensi yang ada agar nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki termanifestasi-kan secara tuntas. Karenanya, pendidikan harus menyesuaikan diri dengan prob-lematika yang dihadapi manusia. Tidak mungkin paradigma pendidikan zaman agraris diterapkan pada zaman industri. Ibarat memberi terapi, maka obat yang diberikan harus sesuai kenyataan obyektif penyakitnya. Memang benar ada nilai-nilai universal dari pendidikan yang tidak lekang ditelan waktu seperti sosialisasi nilai-nilai ketuhanan, akan tetapi nilai-nilai partikular yang dibelenggu oleh zam-an dan tempat mengharuskan pendidikan peka terhadap problem lokalitas yang terkait dengan ruang dan waktu. Di sinilah pendidikan dituntut untuk selalu berad-aptasi agar output pendidikan tersebut rel-evan dengan zaman yang ada. Pemikiran inilah yang dimakud oleh Ali bin Abi Thalib ra. “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka adalah generasi baru dan bukan generasi tatkala kamu dididik”.3 Maksud serupa seperti yang dikuatkan oleh Ilmuan futuristik kebangsaan Amerika, Alvin Toffler, yang mengatakan; “education must shift into the future tense”.4

Berkaitan dengan Satu poin penting diatas, yakni pendidikan harus relevan dengan zaman, maka mau tidak mau membicarakan pendidikan tidak bisa dile-paskan dari tantangan sosial obyektif yang ada. Tantangan sosial yang muncul dari sistem sosial membutuhkan pembacaan tersendiri yang kemudian diturunkan pada filsafat dan out put pendidikan yang dibutuhkan.

2 Mansur Fakih “komodifikasi pendidikan sebagai ancaman kemanusiaan” dalam “pengantar” buku Francis Wahono Kapitalisme Pendidikan : Antara Kompetisi dan Keadilan cet.(II) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. Ii

3 Dikutip dari Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: LP3NI, 1998), hlm. 28

4 ibid

Page 14: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201314

Namun persoalannya kemudian, apakah pendidikan harus afirmatif dengan arus sistem sosial yang ada? Atau pendidi-kan ditempatkan sebagai salah satu alat rekayasa perubahan sosial? Jika yang dipi-lih yang pertama, maka pendidikan hanya menjadi alat penopang eksistensi sistem sosial, dengan kata lain out put pendikan hanya akan diabdikan pada kelangsungan dan kelanggengan mainstream konstruksi sosial yang sedang berlangsung. Sedan-gkan jika yang dipilih yang kedua maka pendidikan ditempatkan sebagai garda depan perubahan sosial yang dianggap sesuai dengan citra dan pan-dangan dunia tentang kemanusiaan itu sendiri. Apapun pilihan diantara dua pertanyaan diatas, pada hakekatnya tergan-tung pada pandangan filsafat manusia, yang pada gilirannya berim-bas pada pandangan filsafat sosial dan pen-didikannya.

Tema pendidikan dan perubahan sosial inilah yang akan dibic-arakan, lebih khusus ter-kait pendidikan di pesantren. Disamping argumentasi yang telah dijelaskan tentang keterkaitan antara pendidikan dengan perubahan sosial, pesantren sejak awal kelahirannya telah menempatkan dirinya sebagai agen perubahan sosial dimas-yarakat. Watak Islam, yang tidak asosial yang dibawakan pesantren dan semangat penegakan nilai-nilai ideal yang diyakini berkelindan dengan upaya memecahkan tantangan sosial yang dihadapi, menjadi-kan pesantren menempati posisi sejarah sosial yang unik dalam perubahan sosial dimasyarakat Indonesia.

Perubahan sosial yang dimaksud adalah perubahan tatanan sosial. Peruba-han tatanan sosial ini adalah tafsir sejarah

masyarakat tentang elemen-elemen dasar yang mempengaruhi dinamika historis. Kajian tentang perubahan sosial dengan demikian fokus terhadap arah perubahan dan faktor-faktor penyebab perubahan tersebut.

Lebih jelasnya, fokus yang hendak dielaborasi dalam tulisan ini adalah : (1) menjelaskan keterkaitan pesantren dengan perubahan sosial dalam perspektif nor-matif dan historisnya. Penjelasan normatif diharapkan memperjelas nilai-nlai dasar yang menjadi grand theory yang dihayati

pesantren dan menjadi basis ideologi gerakan-nya. Sedangkan pen-jelasan historis dimak-sudkan memaparkan implementasi nilai-nilai dalam ranah sosial. (2) menjelaskan tantan-gan-tantangan obyektif kontemporer yang dih-adapi pesantren beserta tawaran paradigma pen-didikan pesantren untuk menjadikan pendidikan pesantren relevan den-gan jaman sekarang dan nanti (sholih fi zaman al-hal wa mustaqbal).

Pembahasan yang dilakukan disadari tidak bisa berlaku universal yang secara general dapat diterapkan disemua pesant-ren. Tulisan ini berangkat dari kesadaran bahwa pesantren tidak bermuka tunggal. Gambaran yang diberikan tidak mewakili semua pesantren akan tetapi kenyataan umum belaka dari kompleksitas wajah pesantren di Indonesia. Demikian juga paradigma yang ditawarkan, diperlukan adaptasi seperlunya sesuai dengan karak-teristik pesantren.

Pesantren yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah pesantren salaf. Yang dimaksud pesantren salaf pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan. Dhofier

Sedangkan jika yang dipilih yang kedua maka pendidikan ditempatkan

sebagai garda depan perubahan sosial yang dianggap sesuai dengan

citra dan pandangan dunia tentang kemanusiaan itu

sendiri.

Page 15: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

315

memberikan karakteristik pesantren salaf ini sebagai lembaga pendidikan yang terikat kuat dengan pemikiran fiqh, had-ist, tauhid, tafsir dan tasawwuf dari abad tujuh sampai abad tiga belas.5 Pada ken-yataan sosiologisnya, pesantren salaf ini menjadi basis komunitas organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU).

B. Perubahan Sosial dalam Tinjauan Nilai-Nilai Dasar Pendidikan Pesantren

Untuk memberikan kontekstualisasi wacana tentang pendidikan pesantren dan perubahan sosial maka perlu dipapar-kan secara ringkas diskursus keterkaitan pendidikan dan perubahan sosial.Dalam teori tafsir sosial yang berusaha mem-baca relasi-relasi sosial, nalar, struktur atau kepentingan dibalik fenomena sosial terdapat dua aliran besar.Pertama, aliran subyektifis. Aliran ini berpendapat bahwa realitas sosial adalah konstruksi dari agen. Karenanya, ketika membicarakan keadilan sosial maka aliran ini mengatakan bahwa jika ketidak adilan sosial terjadi maka titik perbicangannya adalah manusia dan kesadarannya itu sendiri sebagai akar persoalan. Aliran ini terbagi menjadi dua yakni : humanis dan fenomenologis. Jika yang pertama, arahan ditujukan pada diri manusia.Sedang yang kedua diarahkan pada kesadaran yang ada dalam diri ma-nusia.Perbedaan ini dapat dicontohkan, jika anda sadar bahwa meninggalkan sho-lat itu berdosa mengapa anda tidak rajin melakukannya? Maka menurut prespektif humanis, kesadaran tersebut mungkin saja dimiliki tetapi kesadaran tersebut belum mampu untuk menggerakkan dirinya melakukan sholat. Sedang prespektif yang kedua mengajarkan bahwa lalainya orang tersebut dalam melaksanakan sholat dise-babkan kesadaran tentang sholat itu belum benar.

Sedang aliran yang kedua,aliran

5 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994). Hlm. 1

obyektifis. Aliran ini berpendapat bah-wa sistem dan struktur masyarakat yang mengkonstruksikan agen.Ketika mem-bicarakan ketidakadilan sosial, aliran ini menyatakan bahwa sumber ketidak adilan adalah diluar agensi manusia, tetapi struktur yang tidak adil atau sistem sosial mengalami disfungsi sosial sehingga terja-di anomie. Aliran ini terbagi menjadi dua : strukturalis dan fungsionalis. kelompok pertama, menyatakan bahwa struktur so-sial yang menyebabkan manusia mengala-mi ketidakadilan. Karenanya, jika perjuan-gan sosial dalam mengubah keadaan dari ketidakadilan menuju keadilan maka yang musti dirombak adalah struktur sosialnya.Sedang kelompok kedua, menyatakan bahwa ketidakadilan terjadi disebabkan ada disfungis entitas masyarakat. Dengan analog biologistik, prespektif ini meman-dang susunan sosial masyarakat ibarat tubuh, jika ada yang sakit sudah dapat dipastikan ada yang disfungsi organ yang mengakibatkan penyakit sosial.6

Lalu apa kaitannya dengan pendidi-kan? Berikut bawah ini akan dikemukakan dua contoh model pemikiran pendidikan dari dua aliran besar agar dapat diper-bandingkan. Untuk aliran pertama akan mengambil contoh McCelland dan yang aliran yang kedua Paulo Friere.

Dengan memakai analisis psikologi sosial, McCelland mempunyai tesis bahwa need of achievment mempunyai keter-kaitan erat dengan dimensi pertumbuhan ekonomi. Asumsi ini adalah jawaban dari dari pertanyaannya “mengapa beberapa bangsa tumbuh pesat di bidang ekonomi sedang bangsa yang lain tidak?”.Kesimpu-lan yang dihasilkan ternyata mengamini penelitian, Max Weber yang menyatakan bahwa teologi Calvinis mempunyai peran penting dalam pertumbuhan kapitalisme di Eropa. Hal itu bisa dilihat dari pandan-

6 Musadda Alwi “Gerakan Mahasiswa dan Civil Society: Menapak Jalan Panjang Strategi Kebudayaan” dalam jurnal Tradem edisi kedua, Juni-Agusuts 2001, hlm. 35-36. Lihat juga Mansur Fakih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi cet (i) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 35-42

Page 16: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201316

gan McCelland yang menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat tergantung pada motivasi (Achievement) dan bukan faktor yang lain. Karenanya, jika ini disepaka-ti maka model pendidikan yang musti dikembangkan adalah pendidikan yang bisa meningkatkan motivasi dan skill masyarakat, agar mereka dapat terberday-akan. Pelatihan dan gaya pendidikan sep-erti Achivement and Motivation Training (AMT) adalah model pendidikan yang ideal menurut prespektif ini.7

Dalam prespektif ini tampak jelas faktor internal manusia adalah penentu perubahan sosial.Karenanya, ketika men-jawab mengapa ada negara miskin dan mengapa ada yang tidak maka jawabnya adalah perbedaan motivasi yang dipunyai oleh masing-masing negara yang menga-kibatkan nasib mereka berbeda.Rekomen-dasinya, untuk meningkatkan kesejahter-aan maka motivasi dan skill sumber daya manusia negara tersebut harus ditingkat-kan.Dengan demikian model pendidikan yang harus dikembangkan adalah model pendidikan yang dapat memompa seman-gat dan skill masyarakat seperti Achieve-ment and Motivastion Training tersebut. Dalam optic teori sosial, apa yang dikem-bangkan oleh McCelland termasuk keda-lam aliran subyektifis tepatnya fenomenol-ogis, yang mempersoalkan inner manusia yang berupa kesadaran yang dalam bahasa McCelland alalah need of achievement.

Hal yang berbeda diuraikan oleh Paulo Friere.Dalam pandangannya pen-didikan adalah membebaskan manusia dari semua penindasan. Filsafat Friere bertolak dari kenyataan bahwa sebagain penduduk dunia ini ada masyarakat yang menderita sementara sebagian yang lain menikmati jerih-payah orang lain, justru dengan cara-cara yang tidak adil. Suasana seperti inilah yang dianggap Friere sebagai “penindasan”8Basis filfasat manusia Friere

7 Mansur Fakih, ibid. hlm. 56-628 Roem Tomatipasang dkk, Belajar dari

Pengalaman : Panduan Latihan Pemandu Pendidikan Orang Dewa untuk Pengembangan Masyarakat, cet. (ii) (Jakarta : P3M, 1990), hlm. 38

yang menjadi landasan konseptualnya ia sebut sebagai the man’s ontological voca-tion, yakni keharusan manusia untuk mer-ambungkan tugas kesejarahannya dalam mengubah tatanan sosial sesuai dengan apa yang seharusnya. Karenanya, manusia yang sejati adalah subyek bukan obyek. Sebagai subyek manusia bertindak men-gatasi dunia serta realitas yang menindas atau yang mungkin menindas.9

Dengan filsafat manusia yang de-mikian dia merumuskan formulasi pen-didikannya sendiri dengan paradigma “belajar bersama dengan ” bukan “belajar diperuntukkan bagi”. Bagi dia, pendidikan adalah proses humanisasi yang berarti pembebasan , bukan penguasaan, pendidi-kan juga merupakan pemerdekaan bukan penjinaan.10

Tampaknya dia sangat terpengaruh oleh Gramsci dengan konsep hegemoni.Salah satu tesis yang popular dari dia adalah bahwa ilmu pengetahuan sangat mungkin menjadi ideologis dalam arti menjadi ideological apparatus dari jar-ing-jaring kekuasaan.Media yang ampuh untuk menancapkannya adalah melalui pendidikan. Oleh karenanya, perlu ada sebuah media pendidikan yang mampu “menelanjangi” ideological apparatus itu dengan caracounter hegemony. Dalam kon-teks counter hegemony inilah konsep pen-didikan Poulo Freire dapat dipahami.11

Dengan demikian dapat dipahami pula bahwa proses pendidikan Friere adalah usaha memanusiakan kembali manusia. Gagasan ini adalah antitesa dari konsep pendidikan yang menjadi ajang hegemoni dan menjadi bagian dari jar-ing-jaring ideologis kekuasaan yang men-indas. Dengan pilihannya itu, kemudian, ia menjelaskan lebih lanjut teori sosial dengan mengkategorikan kesadaran ma-nusia menjadi tiga: pertama, kesadaran magis, yaitu suatu teori perubahan sosial yang tidak mampu menjelaskan kaitan

9 Ibid10 ibid. hlm. 4111 Mansur Fakih, Sesat Pikir….op.cit. hlm. 29-30

Page 17: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

317

antara satu faktor dengan faktor yang lain. Kesadaran ini mengarahkan pada sebab diluar manusia terhadap apa yang men-impa diri manusia itu sendiri. Atau sering ia sebut teori sosial fatalistik. Kedua, ke-sadaran naïf.Kesadaran ini tumbuh dari teori sosial yang hanya melihat “aspek ma-nusia” sebagai faktor perubahan sosial.Jadi ketika menganalisis mengapa masyarakat terpinggirkan dalam sebuah sistem sosial, teori ini manyalahkan manusia sebagai penyebabnya.Karena itu, rekomendasi dari teori ini untuk perubahan sosial ada-lah pembangunan sumber daya manusia.Ketiga, adalah kesadaran kritis.Kesadaran ini tumbuh dari teori sosial yang memper-soalkan sistem dan struktur sosial sebagai sumber masalah. Pendekatan ini meng-hindari blaming the victimsdengan men-ganalisis secara kritis sistem dan struktur sosial, politik, ekonomi dan budaya dan bagaimana keterkaitannya dengan ken-yataan obyektif masyarakat.12

Keterkaitan dengan penjelasan terse-but, kalau kita tilik paradigma-paradigma pendidikan Paling tidak ada tiga para-digma pendidikan, pertama, paradigma konservatif; kedua, paradigma liberal; dan ketiga, paradigma kritis. Paradigma konservatif mempunyai asumsi bahwa perubahan sosial tergantung pada agen-si. Kemiskinan, kebodohan adalah salah manusia sebab banyak manusia yang berusaha bekerja keras agar dapat menjadi kaya.Paradigma ini cenderung menya-lahkan subyek jika dia bodoh, malas, atau miskin tanpa melihat struktur yang ada. Paradigma liberal cenderung mengisolasi pendidikan dari proses perubahan sosial. Pendidikan dinilai netral. Perubahan pada pendidikan hanya diorientasikan pada modernisasi dengan asumsi bahwa semak-in canggih infrastruktur dan manajemen pendidikan maka dengan sendirinya akan menghasilkan out put pendidikan yang bagus pula. Meski mengklaim pendidi-kan adalah bebas nilai, tidak memihak serta obyektif, pendidikan liberal ini pada

12 ibid. hlm.31-34

kenyataannya mengafirmasi struktur so-sial yang penuh persaingan; siapa yang kuat dia yang menang, sedangkan yang lemah dia yang kalah.Pilihan paradigma ini didasarkankan pada teori fungsion-alisme-struktural yang memposisikan pendidikan sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai yang ada tanpa harus berurusan dengan kenyataan sosial yang ada diseki-tarnya.Sedang paradigma kritis berasumsi bahwa pendidikan sangat erat kaitannya dengan perubahan sosial.Kenyataan sosial obyektif terepresentasikan dalam pendidi-kan.Pendidikan menurut paradigma ini harus diarahkan pada pembebasan manu-sia dari segala belenggu yang mereduksi kemanusiaannya.13

Dari dua aliran besar tentang pe-rubahan sosial ini secara eksplisit terdapat tiga hal¸ pertama, nilai guna ilmu, kedua, arah perubahan yang dinginkan melalui pendidikan dan, ketiga, faktor utama pe-rubahan sosial dan implikasinya terhadap paradigma pendidikan.Yang pertama, keduanya sepakat bahwa ilmu adalah alat untuk perubahan, akan tetapi karena ber-beda cara pandang tentang perubahan so-sial maka arah perubahan yang dicitakan berbeda. Mc Celland berorientasi mende-terminasikan pada manusia sedang Freire mencitakan perubahan struktur melalui pendidikan.Kedua pandangan tersebut

13 Liht Mansur Fakih, dalam “pengantar” Francis Wahono, Kapitalisme…op.cit. hlm.v-vii

Yang pertama, keduanya sepakat

bahwa ilmu adalah alat untuk perubahan, akan tetapi karena berbeda cara pandang tentang perubahan sosial maka arah perubahan yang diciptakan berbeda.”

Page 18: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201318

jelas berbeda dengan pandangan dunia pesantren dalam melihat pendidikan dan perubahan sosial.

Tradisi pesantren secara tegas me-nekankan bahwa ilmu adalah alat.Se-bagaimana ditemukan dalam kitabta’lim muta’limyang menyatakan bahwa ilmu adalah wasilah untuk menjadi pribadi yang takwa serta memperoleh kebaha-giaan hakiki yang abadi.14 Dalam Ihyadite-gaskan bahwasanya hanya dengan ilmulah manusia akan dapat memposisikan dirinya sebagai mestinya. Membicarakan konsep pendidikan pesantren dengan perubahan sosial tidak mungkin melepaskan mem-bicarakan eksistensi manusia itu sendiri, sebab ilmu pada dasarnya inhern dengan penciptaan manusia.

Pertanyaan pertama, bagaimana pesantren memandang?Mengapa ia ada dan apa tugasnya? Dalam Al-Qur’an Al-lah menjelaskan eksistensi manusia se-bagaimana berikut : : “Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menghamba (beribadah) kepadaku”15Eksistensi keham-baan ini sudah ditegaskan dalam perjan-jian primordial antara manusia dengan Allah sebelum terlahir kedunia.

“ Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu hendak mengembangkan dari anak cucu Adam, yakni dari benih-benih mereka( umat manusia), kemudian Tuhan meminta mereka menjadi saksi (dan bersabda), ‘Bukankah Aku ini

14 Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muata’lim, (Surabaya: Mahkota, tt.), hlm. 3

15 Al-Qur’an surat Al-dzariyat ayat 56 Dalam menjelaskan pengertian ayat tersebut, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa eksistensi kehambaan manusia tidak akan sempurna jika manusia itu tidak memiliki kesadaran ilahiyyah dan kesadaran ubudiyah. Kesadaran ilahiyah adalah kesadaran tentang eksistensi Allah sebagai rab bagi alam semesta.Kesadaran ini meniscayakan adanya penolakan Tuhan selain Allah; tidak ada yang berkuasa selain Allah; tidak ada yang patut disembah, dipuja dan dipuji selain Allah. Sedang kesadaran ubudiyah adalah kesadaran akan kewajiban manusia untuk menghamba atau mengabdi hanya kepada Allah. Manusia harus mengerti posisinya sebagai makhluk yang harus patuh kepada Khaliknya. Karenanya, kesadaran akan posisinya inilah kemudian ketaqwaan seseorang dapat diukur kualitasnya, hal ini sesusai dengan pengertian takwa itu sendiri sebagaimana berikut, Lihat Al-Ghazali Ihya’ Ulum al-din Juz III (Surabaya : Hidayah, tt.), hlm 4

Tuhanmu sekalian?’ mereka menjawab,’ Ya, benar, kami bersaksi.’ Maka jan-ganlah kamu kelak dihari Kemudian berkata,’Sungguh kami semua lupa akan perjanjian ini.”16

Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa manusia akan melaksanakan kebe-naran sesuai perintah Allah dan menjauhi kemunkaran. Karena itu, secara potensial manusia mempunyai kecenderungan (hanif) pada kebenaran, kebaikan dan kesucian.Inilah pangkal kerinduan yang manusia akan menjadi tenang ketika dapat memperolehnya.Demikian pula sebali-knya, ketentraman dan kedamaian akan hilang jika dia menghamba kejahatan, kepalsuan dan kekejian.17 Dengan potensi kearah kebenaran inilah Allah menjadikan manusia sebagai wakil Allah (khalifah).

Ingatlah ketika Tuhanmu berfir-man kepada para malaikat: “Sesung-guhnya Aku hendak menjadikan seo-rang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, pa-dahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Eng-kau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.18

Sebagai khalifah atau wakil, tentu ada beban yang ditanggung. Inilah yang dinamakan istikhlaf dari Allah yang dibe-bankan kepada manusia yang berupa syari’ah.Istihlaf ini berkaitan dengan relasi manusia dengan Allah dan relasi dengan sesama makhluk.19 Secara ringkas, tugas

16 QS: Al-a’raf :17217 Khalifah pada dasarnya adalah melaksanakan

sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikan maupun sesudahnya. Dengan demikian, khalifah Allah adalah mengganti Allah atau melaksanakan perbuatan atas nama Allah. Allah selalu dikaitkan dan dijadikan rujukan oleh manusia dalam berbuat.Sebab perbuatan manusia adalah cerminan dari perbuatan Allah, sifat manusia harus juga mencerminkan sifat Allah. Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan cet. (xi) (Bandung: Mizan, 1998) 52-53

18 QS: Al-Baqarah :3019 Syari’ah ini berupa perangkat peraturan yang

Page 19: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

319

manusia sebagai khalifah adalah menegak-kan aqidah dengan memerangi kekufuran dan kemusyrikan serta melakukan ishlah atau perbaikan dimuka bumi dan mem-erangi atau bertindak terhadap kemung-karan yang terjadi.20 Sebagai modal bagi khalifah ini, Allah membekali manusia dengan ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan inilah manusia lebih unggul dari pada makhluk lain, bahkan malaikat dan iblis diminta Allah untuk menghor-mati Adam sebab keunggulan ilmu peng-etahuan itu.21

Penjelasan diatas secara tersurat me-negaskan bahwa eksistensi kekhalifahan manusia bisa tegak hanya dengan ilmu.Gambaran jawaban Allah terhadap ker-aguan malaikat dengan menyuruh Adam mendemonstrasikan pengetahuan yang telah diajarkan oleh Allah membuktikan hal tersebut. Dengan kata lain, hanya den-gan ilmu manusia akan mampu mengem-ban amanah dari Allah sebagai khalifah.

Kemudian, diatas juga sudah dijelas-kan bahwa tugas manusia adalah mengab-di pada Tuhan dengan menegakkan tauhid dan membawa kebaikan dibumi. Kedua tugas ini tidak bisa dipisahkan.Artinya, tugas al-ishlah fi al-ard adalah manifes-tasi dari ketauhidan manusia.Dengan demikian, seorang manusia mempunyai tugas-tugas sosial yang berakar pada nilai-nilai abadi yang bersifat transendental.Pe-

diberikan Allah kepada manusia untuk dapat dilaksanakan agar manusia tidak tersesat kejalan yang salah. Atau dengan kalimat yang lebih terperinci istikhlaf ini dapat diungkapkan dengan pernyataan sebagaimana berikut; apa tugas dan tanggung jawab manusia dalam berhubungan dengan Allah; apa tugas dan tanggung jawab manusia terhadap sesamanya; dan apa tugas dan tanggung jawab manusia terhadap alam.

20 Lihat Q:S At-Tin :4-6, lihat juga Q:S Al-A’raf: 5621 Q:S. Al-Baqarah: 31-34

rubahan sosial yang dilakukan selalu ter-kait dan harus disinari dengan nilai-nilai ketauhidan yang menjadi orientasi serta arah perubahan sosial yang dilakukan.

Untuk menjelaskan orientasi peruba-han sosial yang diidealkan oleh Islam kita harus mengerti tentang visi sosial Islam sendiri.Perbedaan memahami visi inilah yang kemudian mengakibatkan perbedaan manifestasi keberagamaan yang muncul.Dalam beragama, paling tidak ada tiga kecenderungan: pertama, kecenderungan mistikal (solitary); kedua, profetik-ide-ologikal (solidarity); dan ketiga, humanis fungsional.Kecenderungan pertama lebih menekankan hubungan personal-indi-vidual antara manusia dengan Tuhannya. Puncak dari beragama yang mistikal adalah bersihnya hati sehinga tercipta hubungan yang intim antara dirinya den-gan Tuhan.Tuhan adalah sosok Kekasih yang sangat didamba cinta dan kasih say-ang-Nya. Sedang yang kedua cenderung menekankan misi agama, maka tidak heran jika komitmen keberagamaan mod-el ini seringkali diartikulasikan melalui aset politik atau ekonomi dalam pelataran praktek sosial, terutama kekuasaan politik.Sedang kecenderungan ketiga titik tekan-nya penghayatan nilai-nilai kemanusiaan yang dianjurkan agama.Beragama dalam model ini adalah bereksistensi untuk me-munculkan kemanusiaan dirinya yang sejati. Satu hal yang musti dicatat bahwa pembedaan kategorisasi ini adalah perso-alan aksentuasi bukan pemilahan secara kaku. Dengan pemilahan yang demikian kita akan mencoba melihat watak sejati Islam.

Berkaitan dengan hal itu, bagi Hasan Hanafi, watak sosial Islam adalah revolu-sioner yang membawa misi pembebasan manusia. Lebih lanjut, ulama asal Mesir ini menyatakan bahwa semua tradisi aga-ma mempunyai semangat revolusi. “Aga-ma adalah revolusi sejati dan nabi adalah revolusioner pembaharu sejati”. Ibrahim adalah cermin revolusi akal dan revolusi

Dengan kata lain, hanya dengan ilmu manusia akan mampu mengemban amanah dari Allah sebagai khalifah.

Page 20: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201320

tauhid melawan berhala-berhala. Musa adalah pemimpin revolusi melawan otor-itarianisme Fir’aun. Isa adalah imam rev-olusioner pembebasan ruh dari dominasi materialisme. Dan Muhammad adalah pemimpin sejati kaum papa dalam mela-wan kaum borjuis Quraisy.

Kemudian dia juga menegaskan ruh dari agama adalah pembebasan manusia yang ditandai dengan kemandirian akal dan kemampuan meningkatkan derajat progresifitasnya sendiri. Ringkasnya, dalam bahasa Abdurrahman Wahid, pemikiran humanitas Hassan Hanafi ditopang pendekatan pengintegrasian wawasan keislaman kaum muslimin da-lam upaya menegakkan martabat manusia melalui upaya pencapaian otonomi indi-vidu bagi masyarakat; penegakan kedaula-tan hukum; penghargaan HAM dan pen-guatan masyarakat. 22

Senada dengan hal tersebut, Asghar Ali Enginer membangun teologi pembebasan23 sebagai refleksi komit-men keimanan dan kejujuran intelektual. Lebih lanjut ia menya-takan nabi Muhammad dengan petunjuk Allah membangun formulasi sosial baru yang lebih adil dan tidak eksploitatif serta me-nentang oligarki yang menumpuk keka-yaan dan kekuasaan ditangan segelintir orang

Keduanya memiliki kesamaan be-rangkat dari konsep tauhid yang dijadikan weltanschaung dalam memandang ke-hidupan. Dengan konsep Tauhid24 inilah

22 Hasan Hanafi “Kiri Islam” Dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dn Postmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hannafi, cet. III (Yogyakarta: LKiS, 1997)

23 Menurut Asghar teologi pembebasan adalah suatu teologi yang meletakkan tekanan berat pada kebebasan, persamaan dan keadilan distribusi dan menolak keras penindasan, penganiayaan dan eksploitasi manusia atas manusia. Lihat, Asghara Ali Engineer, Islam dan Pembebasan (Yogyakarta : LKiS, 1993), hlm. 80

24 Bagi Hassan Hannafi maupun Asghar

Islam sangat potensial untuk membangun peradaban yang damai dalam pengertian yang luas. Dari uraian singkat itu jelas watak sosial Islam yang demikian radikal dalam membela nilai-nilai kemanusiaan. Nilai humanitas inilah, menurut Nurcholis Madjid, yang menjadi inti dari Islam. Dia menjelaskan Islam adalah agama fitri yang berarti Islam adalah agama kemanusiaan. Jadi jelaslah bahwa watak agama Islam bu-kan a-sosisal, tetapi sebaliknya mengem-ban misi sosial yang bermuara pada pem-bebasan manusia. Pembebasan manusia yang dimaksud adalah melepaskan manu-sia dari kungkungan nafsu, kemusyrikan dan ketertindasan struktural maupun kultural demi terwujudnya manusia yang sejahtera dan mempunyai spirit ketuhanan yang kuat, atau dalam bahasa agama Islam menjadi Insan Kamil.

Karena itu, dari uraian tentang fil-safat manusia dan visi sosial Islam diatas, ada dua poin penting yang dapat ditarik sebagai kesimpulan. Pertama, dalam kai-tannya dengan manusia sebagai hamba, ilmu dan pendidikan tidak boleh men-inggalkan nilai-nilai transendental. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada modernisasi dari Barat ketika pengeta-huan menjadi bebas nilai sehingga yang didapati dari hasil pendidikan adalah produk kebudayaan yang lepas kendali dari moral agama, dengan ideologi seku-larismenya, seperti yang kita lihat saat konsep tauhid bukan hanya konsep vertikal tetapi juga membutuhkan penerjemahanan dalam realitas sejarah. Keduanya mempunyai pendirian bahwa konsep tauhid adalah sumber dari peradaban Islam.

... dengan mempertimbangkan kompatibilitas- nya dengan fungsi manusia sebagai khalifah, ilmu dan pendidikan dalam Islam tidak bebas nilai. Ia

harus diarahkan untuk kebaikan manusia dan alam sekitarnya (ishlah fil-ard).

Page 21: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

321

ini. Kedua, dengan mempertimbangkan kompatibilitasnya dengan fungsi manusia sebagai khalifah, ilmu dan pendidikan da-lam Islam tidak bebas nilai. Ia harus dia-rahkan untuk kebaikan manusia dan alam sekitarnya (ishlah fil-ard).

Berkaitan dengan poin yang pertama, pendidikan spiritual harus menjadi bagi-an integral dengan poin kedua. Artinya, integralisasi keilmuan antara pendidikan spiritual dengan bidang studi lain --apa-pun bidang studinya-- harus terjadi. Im-plikasinya, jika belajar matematika, maka harus ada penghayatan akan nilai spirit-ualitas,jaditidak bebas nilai. Begitu seter-usnya pada mata pelajaran yang lain.

Dampak berikutnya, segala ilmu yang digunakan dalam mengeksplorasi alam untuk kepentingan manusia juga harus didasari nilai spiritualitas yang tentu akan lain ceritanya dengan apa yang ter-jadi pada revolusi industri yang menjadi pintu masuk modernisasi di Eropa. Ada nilai spiritualitas yang menjadi arah mod-ernisasi. Kerusakan yang tidak perlu aki-bat kerakusan manusia tidak akan terjadi.

Kemudian, menyangkut peran sosial Islam, pendidikan pesantren yang har-us ditampilkan adalah Islam yang kritis dan progresif bukan yang fatalistik ala Jabariyah. Sejarah harus lebih banyak di-tentukan dan dirubah oleh manusia dan produknya yang berupa sistem dan struk-tur sosialnya. Keberagamaan yang antro-posentris dalam hal ini menjadi pilihann-ya. Hal ini senada dengan ayat Al-Qur’an sebagaimana berikut :

Sesungguhnya Allah tidak men-gubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…. (Ar-Rad 8)

Dari uraian diatas menjadi jelas bah-wa, dalam pandangan Islam, perubahan sosial harus mengarah pada memposisi-kan fungsi manusia secara benar sebagai hamba dan khalifah. Sebagai hamba manusia dituntut mempunyai kesadaran

transendental yang berpusat pada konsep tauhid, penghambaan hanya untuk Allah, manusai berasal dan kembali pada-Nya (konsep sangkan paran). Dampak turun-annya, sebagai khalifah manusia dituntut memelihara dan menggunakan alam semesta seperlunya dengan tidak boleh merusak, sebagaimana kehendak Allah. Dan yang terakhir, sebagai makhluk sosial, seperti yang telah diuraikan pada visi so-sial Islam diatas, maka manusia dituntut untuk menegakkan keadilan dengan cara membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan

Out put pendidikan pesantren den-gan demikian adalah sebagaimana yang disebut al-Ghazali sebagai ulama al-akh-irah. Ulama al-akhirah adalah lawan dari ulama al-dunya (ulama al-su’) yang ilmunya diarahkan untuk memperoleh kenikmatan duniawi dan menjadi wahana untuk pengukuhan status sosial (hubb al-jah). Tentang outputpendidikan pesant-ren, mari kita renungkan apa yang ditulis-kan Imam Nawawi dalam kitabnya Qomi’u al-Thughyan yang salah satu babnya berisi tentang “ilmuan akhirat” (Ulamaal-akhi-rah) atau ilmuan yang tidak hanya berori-entasi dunia saja, sebagai idealtype kaum terdidik ala pesantren, berikut diantaran-ya:

a. Tidak mempunyai kecenderungan mencintai dunia

b. Konsisten atau mempunyai sifat inte-gralistik antara nilai yang diyakini den-gan sikap dan tindakan yang diambil.

c. Siap menjadi barisan terdepan dalam memperjuangkan nilai yang diyakini, serta akan mengambil jarak terhadap nilai yang bertentangan.

d. Tidak menjadikan ilmunya menjadi “kosmetik” (dalam bahasa sekarang untuk meningkatkan status sosial atau sejenisnya). Baginya ilmu harus diarah-kan pada medan perjuangan hidup.

e. Tidak sembarang melontarkan statemen dan mengumbar perdebatan yang tidak berguna,

Page 22: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201322

f. Hidup dalam kesederhanaan, qana’ah serta bersahaja.

g. Menjaga independensi dibelentara jar-ing-jaring kekuasaan.

h. Siap menjadi pelopor gerakan yang transformatif jika terjadi ketidakadilan ditengah masyarakat. 25

C. Pesantren dan Perubahan Sosial da-lam Lintasan Sejarah

Pesantren adalah lembaga pendidi-kan Islam pertama di Indonesia. Menurut Agus Sunyoto, Menjelang akhir Majapahit, pesantren-pesantren yang menggantikan asrama dan dukuh Syiwa-buddha telah tumbuh berkembang menjadi lembaga pendidikan tempat siswa menuntut ilmu. 26Menurut Abdurrahman Wahid pesant-ren adalah lembaga yang diambil dari sistem mandala, lembaga pendidikan pra Islam di jaman Majapahit. 27

Sejak awal pendiriannya, pesantren telah memainkan peran penting dalam perubahan sosial di Indonesia. Peran yang paling utama adalah mulusnya pener-imaan Islam oleh masyarakat Indonesia. Nilai-nilai universal Islam yang disam-paikan dengan pemahaman sosiokultural masyarakat adalah kunci keberhasilan pesantren dalam berdakwah. Para Wali, sebagai juru dakwah yang note bene ada-lah pendiri awal pesantren, melakukan strategi asimilasi religio-sosio kultural yang merupakan kunci sukses dakwah Islam. Hal itu terjadi pada seperempat pertama abad 15. Sebenarnya, Islam sejak abad 9 Masehi Islam sudah didakwahkan di Indonesia. Menurut Agus Sunyoto, para pendakwah Islam ini selalu berakhir den-gan terbunuh. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Sultan Al-Gabah (nama daerah dekat Samarkand-pen) dari negeri Rum

25 Muhammad An-Nawawi, Qomi’u At-Tughyan (Surabaya : Shohabat Ilmu, tt), hlm 18-19

26 Agus Sunyoto, Pasang Surut Pesantren Dalam Sejarah, makalah tidak dipublikasikan

27 Abdurrahman Wahid, Pesantren dan Pengembangan Watak Mandiri, dalam “Menggerakkan Tradisi : Esai-Esai Pesantren (Jogjakarta : LKiS, 2001), hlm. 91

mengirim 4000 keluarga muslim untuk mengislamkan Jawa. Tetapi semua tewas terbunuh. Sultan mengirim lagi 2000 kelu-arga, tetapi semuanya tewas terbunuh. 28

Asimilasi sosio-kultural yang dilaku-kan adalah membumikan Islam sesuai budaya setempat, mengislamkan anasir Hindu, memanfaatkan ajaran Kapitayan. Mendirikan lembaga pendidikan seperti asrama syiwa-budha –yang nanti disebut pesantren--, mengubah ajaran Bhaira-wa-Tantra dan mengubah kebiasaan dan tradisi keagamaan. 29

Perkembangan yang luar biasa ter-jadi sejak kebangkitan kerajaan Demak. Pesantren kemudian menjadi satu-satun-ya lembaga pendidikan para putra raja, saudagar, dan pejabat keraton. Pesantren menjadi tempat para tokoh dan pimpinan masyarakat dipersiapkan. Dari didikan pesantren ini kemudian lahir tokoh-to-koh politik seperti Raden Fattah, Sultan Adiwijaya, Sultan Agung, Patih Jugul Muda, Pangeran Kajoran, Sultan-sultan Yogyakarta, raja-raja Surakarta, raja-raja Mangkunegaran, Sultan-sultan Banten, Sultan-sultan Cirebon dan sebagainya. Bahkan produk-produk hukum seperti KUHP Demak (Angger Surya Ngalam), KUHP Pajang (Jugul Muda), KUHP Mat-aram (Angger Pradata Dalem dan Ang-gerbiru) lahir dari rahim tradisi pesantren. Demikian juga dibidang ilmu pemerinta-han dan karya-karya metafisika dan sastra. . 30

Prestasi besar pesantren dalam mencetak tokoh dan intelektual ini sangat mempengaruhi perubahan sosio-kultural masyarakat Jawa khususnya dan nusan-

28 Agus Sunyoto, Walisongo dan Islamisasi Jawa Dakwah Islam Cina – Campa Dalam Budaya Islam NusantaraMakalah disampaikan pada Seminar Internasional “Cheng Ho, Walisongo dan Muslim Tionghoa Indonesia di masa lalu, kini dan esok” di Gedung Jatim Expo Surabaya, 26-27 April 2008.

29 Upaya-upaya tersebut dapat dicontohkan sebagai berikut : menamkan tempat sholat dengan langgar, shaum dengan puasa (apuwasa), sholat dengan sembahyang (Sembah Hyang, bahkan nama Allah seringkali diganti dengan Hyang Widi dan sebagainya. Lihat ibid

30 Ibid

Page 23: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

323

tara pada umumnya. Islam benar-benar menjelma sebagai kekuatan kultural yang mengilhami tatanan sosial politik masyar-akat. Peran ini terus berlanjut sampai era kolonialisme.

Pada tahun 1509 Portugis datang ke Malaka. Sadar akan niat buruk Portugis Raja Malaka mengusir bangsa Eropa terse-but. Namun pada tahun 1511 Portugis kembali dengan kekuatan kurang lebih 1. 200 tentara. Singkatnya, setelah pertem-puran sengit berlangsung Malaka jatuh ke tangan Portugis31. Dengan kesadaran geo-politik dan ekonomi yang tinggi kera-jaan Demak menyadari keberadaaan baha-ya tentara Portugis tersebut, maka dengan pasukan yang dipimpin Pati Unus, Demak menyerang Malaka. Meskipun kalah, ke-simpulan yang bisa dipetik adalah tradisi perlawanan terhadap kolonialisme diawali oleh orang-orang pesantren. Tradisi per-lawanan terhadap kolonialisme ini nanti akan terus dipelihara oleh orang-orang pesantren, seperti Pangeran Diponegoro. Bahkan pada era paska kemerdekaan, dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, KH Hasyim Asy’ary mengeluarkan Resolusi Jihad yang menye-babkan pecahnya peristiwa 10 November yang diperingati sebagai hari Pahlawan Indonesia. Peran pondok pesantren dalam perjuangan memperoleh kemerdekaan RI juga tidak bisa dianggap sebelah mata. Banyak laskar-laskar yang berasal dari pesantren: seperti laskar Hizbullah dan Sabilillah.

31 M. C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm. 32-33

Peran sosial pesantren yang sangat besar ini kemudian sedikit demi sedikit dipersempit karena masyarakat Indonesia diperkenalkan dengan pendidikan system sekolah oleh kolonial Belanda. Kebijakan

Belanda yang mem-butuhkan tenaga kerja terampil dari pribumi menghasilkan kebija-kan politik etis yang salah satunya adalah menyelenggarakan dan mengontrol pen-didikan. Pendidikan yang diakui adalah

pendidikan yang dibawah kontrol Belan-da. Pesantren yang sejak mula mempunyai tradisi perlawanan terhadap Belanda den-gan sendirinya tidak diakomodasi dalam sistem ini. Pada era selanjutnya, sampai Indonesia merdeka sistem sekolah inilah yang kemudian diakomodasi menjadi sistem pendidikan nasional dan nasib pe-santren menjadi bagian diluar sistem.

Memasuki masa kemerdekaan, meskipun pesantren berada diluar sistem pendidikan nasional, akan tetapi peran sosial pesantren tidak bisa disepelekan. Studi-studi yang ada tentang pesantren menunjukkan bahwa pesantren berkon-tribusi besar dalam membangun manusia Indonesia. Pendidikan yang dilakukan serta gerakan sosial, kultural bahkan ekonomi telah terbukti membawa banyak manfaat bagi masyarakat. Para era Orde Baru program-program pemerintah sep-erti, pajak, kependudukan, pertanian, dsb, banyak memanfaatkan jaringan pesantren. Bahkan kalangan pesantren berjasa besar dalam dialog ideologi yang menghasilkan diterimanya Pancasila sebagai ideologi tunggal pada era pertengahan delapan puluhan.

D. Konstruksi Sosial Kontemporer : An-caman dalam pendidikan

Ada satu kata yang cukup menjelas-kan konstruksi sosial saat ini, yakni glo-

Pada era selanjutnya, sampai Indonesia merdeka sistem sekolah inilah yang kemudian diakomodasi menjadi sistem pendidikan nasional dan nasib pesantren menjadi bagian diluar sistem.

Page 24: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201324

balisasi. Apapun kenyataan sosial hari ini hampir mustahil lepas dari keterkaitannya dengan globalisasi. Globalisasi adalah nama lain dari liberalisme. Liberalisme ini bisa dipahami dari tiga dimensi, pertama, filsafat sosialnya atau gagasan, kedua, ak-tor utamanya serta ketiga, dampaknya.

Mansur Faqih menyatakan bahwa globalisasi pada dasarnya adalah salah satu fase perjalanan panjang dari kapitalisme liberal. Yang secara teoritis dikembangkan oleh Adam Smith. 32Teori Adam Smith ini mempunyai asumsi bahwa individu men-dahului masyarakat. Asumsi yang diban-gun adalah jika hendak mencapai kemak-muran masyarakat maka individu diberi hak untuk mengejar kepentingannya. Jika hak individu telah ter-penuhi secara otomatis kesejahteraan masyar-akat akan terpenuhi. Keputusan individu tersebut akan diarah-kan dan diharmonikan oleh invisible hand. Smith dan pengikutnya percaya hanya dengan jaminan kebebasan individu kesejahteraan dapat diwujudkan. Sifat altruis sejauh mungkin disingkirkan sebab akan menganggu kompetisi yang sehat. 33

Teori ini pada bidang ekonomi mel-ahirkan kapitalisme atau neoliberalisme yang mempunyai tiga ajaran pokok : pri-vatisasi; deregulasi dan pencabutan subsi-di sosial. Sedangkan pada bidang politik melahirkan demokrasi prosedural dan dilema demokrasi. Dilema demokrasi ini berkaitan dengan konsep kedaulatan. La-hirnya pemerintahan global memaksa ada pergeseran makna kedaulatan yang sem-ula rakyat atau warga negara pemegang kedaulatan penuh kini kekuatan eksternal juga dapat mengintervensi kebijakan ne-gara. Dengan demikian fungsi negara juga

32 Mansur Faqih, op. cit. 21133 Khudori, Neoliberalisme Menunpas Petani,

(Jogjakarta : Resist Book, 2004), hlm. 16

mengalami pergeseran.

Yang terjadi selanjutnya adalah komodifikasi atau liberalisasi disemua bidang kehidupan, tidak terkecuali pen-didikan. Liberalisasi pendidikan Liber-alisasi pendidikan memiliki dua makna. Pertama, kapitalisasi pendidikan. Lembaga pendidikan tidak hanya berfungsi sosial tetapi juga sebagai pelipat ganda kapital. Salah satu cara kerja komodifikasi bidang pendidikan adalah menghilangkan subsidi dalam bidang pendidikan. Beralihnya sta-tus perguruan tinggi menjadi BHMN ada-lah salah satu bukti kebijakan negara yang sejalan dengan dogma neoliberal yang anti subsidi

Kedua, pendidikan diukur dengan nilai-nilai kapitalistik baik dalam proses maupun outputnya. Muncul kesadaran umum bahwa lembaga pendidikan yang baik adalah lembaga pendidikan yang sesuai dengan asumsi-asumsi produk dari ideologi dominan hari ini (kapitalisme). Hal ini terjadi tidak hanya pada pengelola pendidikan tetapi juga pada pandangan masyarakat. Hal inimenggoda pesantren untuk ikut menjadi bagian. Sehingga visi utama peantren menjadi terancam.

Modernisasi yang dilakukan oleh ne-gara telah membawa pesantren dalam po-sisi dilematis. Jika tidak mengikuti sistem yang digariskan negara maka pendidikan pesantren “tidak diakui”. Akan tetapi jika masuk ke dalam sistem tersebut, identitas dan karakteristik pesantren kemungkinan akan terdegradasi.

Yang musti dipikirkan oleh pesantren adalah apakah strategi tersebut mempunyai daya

tahan perjuangan yang panjang, atau justru mendegradasi peran moral dan kultural yang

selama ini menjadi khittah peasantren dalam perjuangannya?

Page 25: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

325

Ancaman berikutnya adalah pen-yandaran hidup hanya pada kesenangan duniawi yang menjadi buah dari kultur ka-pitalisme adalah gambaran umum budaya masyarakat kita hari ini. Jika masyarakat sebagai penyangga utama pesantren sudah dirasuki kultur yang demikian dikhawatir-kan jika pesantren tidak kuat bisa jadi ia akan menjadi bagian dari kultur ini.

Pesantren akhir-akhir ini juga ter-pancing ikut masuk pada proses-proses politik praktis. Yang musti dipikirkan oleh pesantren adalah apakah strategi tersebut mempunyai daya tahan perjuangan yang panjang, atau justru mendegradasi peran moral dan kultural yang selama ini menja-di khittah peasantren dalam perjuangan-nya. Liberalisasi politik ini mengancam pengkerdilan pesantren yang menempat-kannya hanya sebagai legitimasi politik kalangan tertentu.

E. Peran Strategis Pesantren dalam Pe-rubahan Sosial Di Indonesia.

Perubahan sosial di Indonesia di-pengaruhi oleh banyak faktor. Akan tetapi arah global perubahan sosial di Indonesia tidak bisa dilepaskan penjelasan tentang globalisasi yang telah dipaparkan diatas. Penjelasan berikut ini adalah upaya ment-erjemahkan nilai-nilai normatif pendidi-kan yang ada dalam tradisi pesantren un-tuk diwujudkan kedalam kenyataan sosial sebagai respon dari perubahan sosial yang terjadi. Secara singkat dapat dirumuskan

Totalitas kehidupan pesantren adalah merupakan pendidikan bagi semuacivitas nya. Keterkaitan antara pen-didikan dan aplikasi dalam kehidupan se-hari-hari menjadi ciri khas pesantren yang tidak mungkin dinafikan. Oleh karena itu membicarakan peran strategis pesantren dalam perubahan sosial harus juga menin-jau fungsi-fungsi pesantren dalam dinami-ka sosial dimasyarakat.

Dan sebagaimana diterangkan dia-tas bahwa dalam pandangan pesantren

keterkaitan pendidikan dan perubahan sosial menharuskan pendidikan mampu mengarahkan manusia pada fungsi dan kedudukan manusia secara benar sebagai hamba dan khalifah. Sebagai hamba ma-nusia dituntut mempunyai kesadaran transendental yang berpusat pada konsep tauhid, penghambaan hanya untuk Allah, manusai berasal dan kembali pada-Nya (konsep sangkan paran). Dampak turun-annya, sebagai khalifah manusia dituntut memelihara dan menggunakan alam semesta seperlunya dengan tidak boleh merusak, sebagaimana kehendak Allah. Dan yang terakhir, sebagai makhluk sosial, seperti yang telah diuraikan pada visi so-sial Islam diatas, maka manusia dituntut untuk menegakkan keadilan dengan cara membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan.

Untuk mengemban hal tersebut peantren harus menterjemahkan keda-lam tiga fungsi sosialnya yang ketiganya adalah melekat dan tidak bisa dipisahkan, ketiganya tersebut adalah : (1) sebagai institusi keilmuan. Peantren pada dasarn-ya adalah Sebagai institusi ini pesantren hendaknya memperhatikan keterangan Imam Al-Ghazali dalam membagi ilmu pengetahuan dengan ilmu syari’ah dan ghoiru syari’ah,ilmu syari’ah dihukumi fardlu ain dan ghoiru syari’ah hukumn-yafardhu kifayah, selama tidak tergolog ilmu madzmumah. Dari pembagian ini dapat disimpulkan bahwa core bussines pesantren adalah ilmu syari’ah, dan pe-santren musti memikirkan pengembangan keilmuannya kearah ilmu ghoiru syari’ah la maszmuamah tanpa meninggalkan core bussines-nya.

Untuk melakukan hal tersebut ada dua hal yang harus diperhatikan oleh pesantren : (a) harus mempertahankan tradisinya. Pendidikan pada pesantren kuat dan terbukti menghadirkan kontribu-si yang riel dimasyarakat jika memegang teguh tradisinya. Tradisi pesantren berakar pada dua hal, pertama, peng-

Page 26: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201326

etahuan hati, kedua, pengetahuan akal. Epistemologi dari dua tradisi ini serta cara memperoleh atau metode pendidikan-nya juga berbeda. Pengetahuan hati ini mencakup pada intinya adalah ilmu suluk untuk menuju pada Tuhan. Pendidikan ilmu hati ini tidak cukup hanya formal, akan tetapi panduan langsung yang terus menerus bahkan sampai kapanpun dari seorang kyai kepada santrinya. Sebab keterkaitan yang bersifat transendental antara santri dan kyai ini kemudian pe-santren dapat membentuk jaringan sosial yang kuat dan berbeda dengan lembaga pendidikan manapun. Sedang pengeta-huan akal mencakup fikih, ilmu alat dan ilmu-ilmu yang diinginkan pesantren untuk mengembangkannya. Penjelasan dan watak yang harus dikembangkan dalam keilmuan pada poin ini tercakup pada poin yang kedua berikut ini. (b) Terbuka dan Kritis. Sebagai lembaga yang mengembangkan keilmuan sudah menjadi keharusan bagi pesantren untuk mengem-bangkan tradisi ilmiah. Salah satu tradisi ilmiah adalah bersikap terbuka terhadap tradisi keilmuan yang selama ini dianggap bukan tradisi keilmuan pesantren. Apakah wujud keterbukaan ini dengan memban-gun sekolah-sekolah? Tidak ada yang sa-lah dengan pembangunan sekolah-sekolah selama tujuan utamanya buka terbawa arus kecenderungan sebagaimana dipa-parkan di atas yaitu liberalisasi pendidikan serta sistem pendidikan yang dikooptasi negara.

Kritis adalah mampu menjaga jarak dari semua nilai dan ideologi sehingga dapat membentuk subyektifitas diri. Un-tuk membangun sikap kritis di sini maka harus dimulai dengan pembekalan tentang pengenalan diri sebagai kalangan pesant-ren yang memiliki keunikan yang kaya serta pengetahuan tentang cara berpikir kritis, plus pengetahuan tentang ideolo-gi-ideologi lain bersama dengan kelebihan dan kekurangannya. Hal ini seiring den-gan sikap terbukanya yang mesti dimiliki pesantren. Progresif adalah menterjemah-

kan pengetahuan menjadi daya dorong perubahan yang diinginkan.

Dengan demikian dalam pesantren mustinya juga diajarkan tentang sejarah masyarakat, sejarah pengetahuan dan ide-ologi serta ilmu-ilmu sosial sebagai ilmu pendukung bagi peran pesantren baik sebagai pencetak kader-kader pelopor keagamaan maupun sebagai lembaga keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Dengan daya dukung ilmu-ilmu tersebut maka dapat diharapkan pesantren dan para alumninya menjadi sholih fi kulli zaman wa makan.

(2) Sebagai institusi keagamaan. Tidak seperti IAIN yangdiharapkan oleh Amin Abdullah34 hanya sebagai lembaga keilmuan an sich, sebuah lembaga yang hanya melukan pendidikan, pengajaran, penelitian dan pengembangan ilmu peng-etahuan dan pengabdian masyarakat, lebih dari itu pesantren sudah semustinya men-jadi lembaga keagamaan. Lembaga keag-amaan yang dimaksud adalah lembaga yang menghidupkan dan mengembangkan agama sehingga pesantren bukan hanya lembaga keilmuan yang berposisi menjadi “pengamat” akan tetapi aktor pembangu-nan keberagamaan masyarakat.

Menjadi lembaga keilmuan sekaligus menjadi lembaga keagamaan bukanlah hal yang dilematis sebagaimana yang dikhawatirkan Amin terhadap IAIN, se-bab watak keilmuan pesantren memang bukan keilmuan yang berada di menara gading. Pendidikan dipesantren diarahkan utamanya untuk pembentukan watak yang langsung dipraktikkan dalam kehidupan. Ilmu dipesantren adalah ilmu untuk men-jalani hidup, karenanya proses pendidikan dipesantren tidak bisa disamakan dengan pendidikan yang berorientasi ijazah. Lama santri dalam menghabiskan pendidikan-pun tidak dibatasi, semua diserahkan pada santri tentang kecukupannya memperoleh ilmu dari pesantren.

34 Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 104-105

Page 27: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

327

Pesantren dalam dalam perjalanannya harus meru-pakan lembaga keagaamaan yang menginkubasi masyar-akat dengan ajaran Islam yang mncerminkan watak Islam sebagai agama rahmata lil alamin. Pesantren paling tidak tetap menjadi rujukan moral masyarakat. Watak sub-kul-tur pesantren wajib dipertahankan.

Peran ini sungguh sangat penting disaat serbuan nilai dan ideologi baru yang bersifat merusak, baik yang datang dari ajaran Islam sendiri ---seperti ideologi radikal para teroris--- maupun dari nilai-nilai sekuler—seperti hedon-isme, dsb. Kepemimpinan keagamaan pesantren tidak boleh Mengembangkan keagamaan yang progesif.

Tumbuhnya media dikalangan pesantren --baik cetak maupun elektronik— adalah salah satu perwujudan dari idealitas ini. Pesantren perlu memikirkan pemanfaatn te-knologi, perkembangan sosial kultural masyarakat untuk mempromosikan nilai-nilai pesantren agar diterima oleh masyarakat luas. Strategi asimilasi sosio-kultural walisongo bisa dijadikan contoh bagus untuk diterjemahkan secara kreatif pada era sekarang.

(3) Sebagai istitusi sosial kemasyarakatan. Pesant-ren lahir dari masyarakat dan berjalan seiring dinamika perkembangan masyarakat, sehingga pesantren tidak bisa dilepaskan dari masyarakat itu sendiri. Sebagai institusi sosial masyarakat pesantren mempunyai konsep dakwah. Dalam konteks ini konsep dakwah diperluas menjadi sebuah usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh dari perwujudan ini salah satunya adalah yang dilakukan oleh pesantren Maslakul Huda di Pati.

Agar usaha-usaha yang dilakukan benar-benar trans-formatif dan tidak sekedar karitatif, perlu pengetahuan tentang sejarah sosial, baik masa lalu saat ini maupun yang akan datang. Sehingga dapat dirumuskan secara jelas problem makro maupun mikro masyarakat yang ujungnya dapat dilakukan usaha-usaha memecahkan problem mas-yarakat dengan tepat. Dalam Ihya’ Ulumiddindisebutkan :

“Seseorang tidak akan sampai pada derajat yang mulia kecuali dengan ilmu dan amal, dan tidak akan pernah sampai pada amal tanpa ilmu tentang bagaima-na cara amal itu dilakukan”35

Dari statemen Al-Ghazali tersebut, pesantren sudah seharusnya mempelajari bagaimana membantu masyarakat akan kebutuhan-kebutuhannya. Hal itu terkait erat dengan pengetahuan sejarah makro baik politik, ekonomi sosial budaya, menejemen, dsb, untuk mendukung peran-peran sosial dari pesantren.

35 Al-Ghazali, op. cit. hlm. 13

“Seseorang tidak akan sampai pada derajat

yang mulia kecuali dengan ilmu dan amal, dan tidak akan pernah sampai

pada amal tanpa ilmu tentang

bagaimana cara amal itu

dilakukan”

- Al-Ghozali

Page 28: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201328

A. Kesimpulan

Dari keterangan di atas dapat di sim-pulkan sebagai berikut :

1. Secara normatif, pendidikan pesantren mempunyai keterkaitan erat dengan peruba-han sosial. Pendidikan peantren harus mam-pu mengarahkan manusia pada fungsi dan kedudukan manusia secara benar sebagai hamba dan khalifah. Sebagai hamba, manu-sia dituntut mempunyai kesadaran transen-dental yang berpusat pada konsep tauhid, penghambaa nhanya untuk Allah, manusia berasal dan kembali pada-Nya (konsep sang-kan paran). Dampak turunannya, sebagai khalifah manusia dituntut memelihara dan menggunakan alam semesta seperlunya dengan tidak boleh merusak, sebagai mana kehendak Allah. Dan yang terakhir, sebagai makhluk sosial. Seperti yang telah diuraikan pada visi sosial Islam di atas, manusia ditun-tut untuk menegakkan keadilan dengan cara membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan.

2. Sejak awal pendiriannya, pesantren telah memainkan peran penting dalam perubahan sosial di Indonesia. Pendidikan pesantren membuktikan telah menghasilkan ulama terkemuka dengan berbagai disiplin ilmu, baik agama, politik dan pemerintahan, sastra, filsafat, dan sebagainya. Sejak diperk-enalkan system sekolah dan modernisasi lembaga pendidikan, pesantren disingkirkan dalam system pendidikan nasional. Meski-pun demikian, peran social pesantren dalam proses berbangsa dan bernegara tidak bias dianggap remeh. Penerimaan Pancasila sebagai ideology tunggal bangsa Indonesia adalah salah satu contoh kontribusi pesant-ren dalam hal ini.

3. Peran pesantren dalam perubahan social dapat dilakukan pesantren dengan tiga fung-sinya; yakni (a) sebagai lembaga keilmuan; (b) sebagai lembaga keagamaan; dan (c) sebagai lembaga social keagamaan. Sebagai lembaga keilmuan, core business pesantren adalah ilmusyari’ah. Pengembangan ilmu ghoiru syari’ah dilakukan harus tanpa men-gorbankan core bussines-nya. Sebagai lem-baga keagamaan, pesantren dituntut untuk

menginkubasi masyarakat dengan ajaran Islam yang mencerminkan watak Islam se-bagai agama rahmatanlilalamin. Pesantren, paling tidak, tetap menjadi rujukan moral masyarakat. Watak sub-kultur pesantren wajib dipertahankan. Sedangkan sebagai lembaga social kemasyarakatan, pesantren dituntut benar-benar transformative dan tidak sekedar karitatif. Pesantren perlu men-genal pengetahuan tentang sejarah sosial, baik masa lalu, saat ini, maupun yang akan datang. Dengan demikian dapat dirumuskan secara jelas problem makro maupun mikro masyarakat yang ujungnya dapat dilakukan usaha-usaha memecahkan problem tersebut dengan tepat.

B. Saran dan Harapan

Tugas utama pesantren adalah mence-tak ulama yang sesusungguhnya dalam arti kader-kader pelopor berbasis agama. Dengan orientasi yang jelas tersebut, maka pesantren tidak mudah terombang-amb-ing oleh tawaran semu dari segala system pendidikan lain yang berbeda orientasinya. Dengan demikian pesantren dapat terhindar dari menghasilkan ulama tukang yang justru menggunakan ilmu agamanya serta gelar yang disandangnya sebagai ulama—sebagai alat untuk meraih hal-hal yang sifatnya dun-iawi.

Pesantren juga perlu mempertim-bangkan untuk memperkuat ilmu-ilmu pendukung. Di samping tradisi keilmuan yang khas pesantren, ilmu-ilmu penduku-ng juga harus secara intensif dikenalkan di pesantren. Pengenalan tersebut tidak harus diberikan secara formal tapi bisa melalui jalur-jalur informal seperti halaqah-halaqah lepas. Di samping itu, salah satu yang mendesak dilakukan adalah pengemban-gan perpustakaan menjadi lengkap, tradisi akademik, dan pengenalan ilmu-ilmu sosial yang diorientasikan pada pencetakan ulama terutama yang berkenaan dengan konteks masyarakat sekitar, seperti pengetahuan tentang globalisasi dan segal aefeknya serta ideologi-ideologi yang efeknya terasa sampai di jantung pesantren dan masyarakat.

PENUTUP

Page 29: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

329

Abdullah,Amin,Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004

Alvin dan Heidi Toffler, Menciptakan Peradaban Baru: Politik Gelombang Ketiga (Yogyakarta: Ikonteralitera, 2002).

Mansur Fakih “Komodifikasi Pendidikan Sebagai Ancaman Kemanusiaan” dalam “Pengantar” buku Francis Wahono Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetisi dan Keadilan cet.(II),Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001

Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: LP3NI, 1998), hlm. 28

Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994

Musadda Alwi “Gerakan Mahasiswa dan Civil Society: Menapak Jalan Panjang Strategi Kebudayaan” dalam jurnal Tradem edisi kedua, Juni-Agusuts 2001

Lihat juga Mansur Fakih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi cet (i), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001

Roem Tomatipasang dkk, Belajar daari Pengalaman : Panduan Latihan Pemandu Pendidikan Orang Dewa untuk Pengembangan Masyarakat, cet. (ii),Jakarta : P3M, 1990

Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muata’lim, Surabaya: Mahkota, tt.

Al-Ghazali Ihya’ Ulum al-din Juz III,Surabaya: Hidayah, tt.

Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan cet. (xi),Bandung: Mizan, 1998

Hasan Hanafi “Kiri Islam” Dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dn Postmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hannafi, cet. III, Yogyakarta: LKiS, 1997

Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan,Yogyakarta: LKiS, 1993

Muhammad An-Nawawi, Qomi’u At-Tughyan,Surabaya : Shohabat Ilmu, tt.

Agus Sunyoto, Pasang Surut Pesantren Dalam Sejarah, makalah tidak dipublikasikan

Abdurrahman Wahid, Pesantren dan Pengembangan Watak Mandiri, dalam “Menggerakkan Tradisi : Esai-Esai Pesantren,Jogjakarta: LKiS, 2001

Agus Sunyoto, Walisongo dan Islamisasi Jawa Dakwah Islam Cina – Campa Dalam Budaya Islam NusantaraMakalah disampaikan pada Seminar Internasional “Cheng Ho, Walisongo dan Muslim Tionghoa Indonesia di masa lalu, kini dan esok” di Gedung Jatim Expo Surabaya, 26-27 April 2008.

M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1993

Khudori, Neoliberalisme Menunpas Petani, Jogjakarta: Resist Book, 2004

DAFTAR PUSTAKA

Page 30: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201330

Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Indonesia dibedakan menjadi empat: pesantren, majlis ta’lim, madrasah, dan lembaga akademik

(perguruan tinggi). Masing-masing kelembagaan tersebut tentunya memiliki karakteristik sesuai dengan porfermen masing-masing. Pesantren

merupakan lembaga yang mengembangkan ilmu-ilmu keislaman paling tua di Indonesia, yang hingga kini masih eksis sesuai dengan model

pembelajaran kyai pengasuh yang sekaligud penguasa tunggal masing-masing dan tetap dibuthkan oleh masyarakat dimana pesantren berada.

Model pembelajarannya mengikuti karakter kyai-nya dan kyai-nya mengikuti kyai-nya begitu seterusnya. Majlis ta’lim merupakan lembaga

yang sifatnya non formal, dengan tujuan utama mensosialisasikan pendidikan agama Islam di tengah-tengah masysrakat. Sementara

Madrasah merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang berusaha mengkompromikan sistem pendidikan pesantren dan sistem pendidikan

Nasional dengan misi utama memadukan pengetahuan agama dan pendidika umum yang nota bene diasumsikan bersumber dari negara barat.

Sedangkan perguran tinggi Islam merupakan lembaga akademik yang misi utamanya mencetak intelektual muslim.

Pendidikan Agama Islam saat ini di sekolah sedang menghadapi tantangan yang cukup serius, sebagaimana upaya pemerintah menyelenggarakan

pendidikan agama pada semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan yang semuanya itu mendapatkan apresiasi posisitif dari berbagai pihak. Orientasi pendidikan Agama Islam di Sekolah adalah untuk mencetak hamba Allah di

muka bumi ini menjadi khalifah fi al-ardl sekaligus untuk lebih memberikan penajaman potensi fitrah manusia secara maksimal menuju kedewasaan

intelektual (intellectual ability), kematangan emosional (emotional ejurity).

Kata Kunci : Reorientasi, Pendidikan Agama Islam, tarbiyah

REORIENTASI PEMAHAMAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DI SEKOLAH

Oleh: Nur Qomari

Page 31: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

331

A. Pendahuluan

Pemerintah mewajibkan penyeleng-garaan pendidikan agama pada semua strata pendidikan yang sekaligus meru-pakan bentuk kesadaran bersama men-capai kehidupan manusia yang kaffah, sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003 dan amanat Tap MPR No-mor:II/MPR/1993 tentang GBHN yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah hendak meningkatkan kualitas manusia Indonesia Indonesia; yaitu: berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, trampil, disiplin, etos kerja kuat, profesional, bertanggung-jawab, produktif serta sehat jasmni rohani.

Penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah selama ini terfok-us hanya pada pengayaan pengetahuan (kognitif) dan minim dalam pembentukan sikap (afektif) dan pembiasaan (psikomo-torik) yang itu semua lebih pada masalah pendidikan bukan pengajaran, sehingga masalah charakter building terabaikan. Karenanya masalah yang sering muncul di akhir proses pembelajaran siswa sering terjadi rendahnya kualitas lulusan dan rendahnya peradaban (civility) di masyar-akat pada umumnya. Sehingga tidak heran kalau sampai detik ini pendidikan belum sepenuhya mampu mencetak manu-sia-manusia yang beradab dengan kecer-dasan yang cukup.

Akhir-akhir ini sudah banyak kritikan-kritikan yang dialamatkan pada penyelenggara pendidikan mulai tingkat sekolah sebagai pelaksanakan kebijkan pendidikan dan pemerintah yang mem-produknya tentang praktek destruktif anak muda yang menandakan gagalnya pendidikan agama di sekolah.

Perilaku destruktif pola pikir, sikap, perilaku sehari-hari anak muda yang merambah hampir belahan Indonesia memang tidak serta merta terproduk dari penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam di sekolah, tetapi juga diakibatkan oleh

perkembangan teknologi yang semakin menggelobal. Tetapi sinyalemen keforma-lan yang masih menjadi issu di masyarakat itu cukup beralasan bahwa pendidikan-lah yang dipercaya sebagai lembaga yang paling berkompeten dan berprestasi untuk menginstal kepribadian anak bangsa masa depan lebih baik, sebagaimana yang ter-tuang dalam UUD 45, TAP MPR Nomor: II/MPR/1993 dan UU Nomor 2 tahun 1989 tentang sisdiknas, pendidikan agama di sekolah telah memperolah tempat yang layak dalam pembangunan karakter bang-sa (nation caracter building).1

Pemetaan lebih jauh ruang lingkup Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam konteks pembelajaran yang lebih mement-ingkan budi pekerti luhur, moral yang baik, mental spiritual yang sejati harus lebih dipertajam lagi dalam kurikulum tertulis (written curriculum) maupun kuri-kulum tersembunyi (hidden curriculum). Secara sempit Pendidikan Agama Islam dimaknahi sebagai pelajaran yang dibeda-kan dengan pendidikan umum mainnya. Selama ini yang terjadi, terdapat kekeliru-an pragmatig di lembaga pendidikan kita, yaitu siswa diperankan sebagai student (muta’allim) yang pasif daripada learner (murid atau thalib) yang cenderung aktif. Ketika siswa dipahami sebagai student, maka implikasinya guru puas hanya mengajarkan hal-hal yang abstrak dari pendidikan agama dan lepas dari persoa-lan riil di masyarakat. Pendidikan Agama Islam yang diajarkan cenderung tercabut dari akar-akar historis dan kehidupan praktis manusia dan lepas dari prolmema-tika kehidupan kemanusiaan. Akhirnya pendidikan Agama Islam di sekolah, meminjam istilah Djohan Effendi,2 tidak lagi membuahkan elan vital (gairah hidup) dan tidak memunculkan kekuatan batin (inner force).

Sedangkan paradigma learner (murid 1 Mujahid AK, Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Umum” dalam Edukasi, Volume 2, April – Juni 2003, hal. 45.2 Djihan Effendi, “Konsep-konsep Teologis,” (jakarta: Par-amadina, 1994), cet ke 1 hal. 54.

Page 32: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201332

atau thalib) dalam konteks pendidikan meniscayakan aktifitas siswa yang krea-tif dan produktif, sehingga guru hanya menjadi fasilitator yang mengarahkan siswa sesuai dengan kompetensinya masing-masing, melayani, membimbing, membina dan menginstal dirinya sebagai konsultan akademik yang piawai men-gantarkan siswa ke gerbang keberhasilan. Maka dengan demikian mutlaq harus dilakukan proses pembelajaran Pendidi-kan Agama Islam secara integral, diharap-kan dengan mengoptimalkan Pendidikan Agama Islam mata pelajaran yang lain dapat berjalan sesuai dengan rencana pembelajaran sebelumnya.

Kalau boleh jujur apa yang dicita-ci-takan oleh penyelenggara pembelajaran PAI di sekolah adalah siswa dapat mentr-adisikan praktek dan perilaku keagamaan yang di kalangan siswa khususnya dan semua warga sekolah pada umumnya, maka untuk mengacu pada cita-cita terse-but, maka tentunya sistem pembelajaran PAI harus dis-empurnakan mengacu pada prinsip “terbentuknya mas-yarakat yang berpredikat belajar” (leaner society). Reformulasi model (desain dan strategi) pembelajaran PAI sesungguhnya bagaimana mengintegrasilan ilmu-ilmu umum dengan ilmu agama dalam satu ranah, memang kalau kita lihat sudah banyak buku-buku yang ditulis yang isinya bagaimana menciptakan pembelajaran PAI di sekolah yang efektif. Namun de-mikian munculnya buku ini penulis hanya ingin memberikan masukan yang lebih praktis yang bisa dibaca kerangka metod-ologisnya dan diharapkan pembaca bisa terbuai untuk membacanya.

B. Sasaran Pendidikan Agama Islam

Islam merupakan agama yang lentur dan mampu mengakomodir semua tuntut-an hidup dan kehidupan manusia di muka bumi dalam bahasa lain Islam adaptif dan

toleran terhadap perkembangan sosial budaya. Kadang sering kita dengar sebuah pertanyaan, benarkan Islam memiliki konsep pendidikan? Karena sebagaian orang mengatakan bahwa Islam dalam hal pendidikan hanya mengadaptasi dan mengadopsi sistem pendidikan dari ling-kungan yang dihadapinya sebagaimana disampaikan Sayyed Hosain Nasr (1981). Sementara Abdul Fttah Jalal (1977) den-gan konsep “ta’lim”3 dalam kitab Ta’limul Mutaallim, dia menyatakan bahwa semua itu adalah hasil dari konsep pendidikan islam. Ahmad Syalaby mengetakan bahwa kata ta’lim berorientasi pada masalah pendidikan dan pengajaran, sementara tarbiyah merupakan konsep pendidikan Islam yang relevan dengan perkembangan modern yang diperkenalkan berbarengan dengan bergulirnya pembaharuan dalam Islam pada abad XX M.

Sasaran Pendidikan Agama Islam ada dua. Pertama, mendidik manusia supaya menjadi hamba Allah dan wakil Allah di muka bumi. Kedua mendidik manusia agar menumbuhkembangkan kelengkapan dasar dan fitran manusia secara maksimal menuju kedewasaan intlektual (intlektual ability) dan kematangan emosional (emo-tional ability). Pernyataan ini sebetulnya mengarah pada konsep ideal Pendidikan Agama Islam (PAI). Makna pendidikan difahami sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan anak didik, memuaskan minat-nya, menghormati kepribadiannya, dan memberikan kesempatan untuk berkem-bang dengan baik dan mampu beradabtasi dengan lingkungannya diserta penyejian materi yang baik pula. Sistem pendidi-kan moderent bertumpu semua kepada 3 Abdul Fattah Jalil, “Min Usul al-Tarbiyah fi al-Islam (Me-sir al-Markaz al-Duwali li-al-Ta’lim 1977), hal 12.

... paling tidak konsep ideal pendidikan PAI harus bisa diarahkan pada kerangka manajemen

profesional baik dari sisi perencanaan, strategi, metodologi, dan evaluasinya.

Page 33: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

333

siswa, siswa sebagai objek dan kutub aktif yang menggambarkan akhir keberhasi-lan proses pembelajaran, sementara guru di kutub yang pasif. Dengan istilah lain keberhasilan atau kualitas pengajaran banyak ditentukan oleh siswa, semakin mampu menampilkan ketrampilan, dan pemahamannya, maka akan semakin jelas titik keberhasilan sistem pengajaran tersebut, begitu juga sebaliknya, paling tidak konsep ideal pendidikan PAI harus bisa diarahkan pada kerangka menejemen profesional baik dari sisi perencanaan, strategi, metodologi, dan evaluasinya.4

Kalau dilihat fitrah masing-masing siswa, maka titik tekan Pendidikan Agama Islam (PAI) harus berdasarkan kemamp-uan masing-masing siswa yang tentunya juga mnemiliki karakter serta kepribadian masing-masing. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dikatakan dengan jelas bahwa tujuan pendidikan di Indonesia adalah un-tuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengarah pada perkembangan manusia seutuhnya (lahir dan bathin). Allah men-yatakan “dan orang-orang mengatakan, “Ya Tuhan kami, anugrahkan kepada kami pasangan dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa” (Qs. Al-furqa, 25, 74) ungkapan ayat al-qur’an tadi mengisaratkan kita untuk bekerja yang kompak dan harmonis.

1. Permasalahan pengajaran PAI

Masalah prinsip dan mendasar yang terjadi akhir-akhir ini adalah komunikasi antar sesama yang kurang harmonis, dan lemahnya apresiasi ajaran ahlak.5 Karena dipengaruhi oleh keyakinan masing-mas-ing yang bersifat subjektif. Memaknai Islam sebagai agama yang mengemban misi utama rahmatan lil-alamien dan konteks PAI kiranya perlu terus ditradisi-kan kepada siswa, dengan demikian fitrah 4 Ahmad Barizi dan Syamsul Arifin, “Paradigma Pendidi-kan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi (Malang, UMM Press, 2001), hal 146.5 A. Qodri Azizy,0p. cit., hal 63.

islam sebagai agama yang bersifat univer-sal mengakui adanya pluralitas (kemajmu-kan) ditingkat pemikiran, etika, budaya, dan prespektif keagamaan. Oleh karena itu agama yang menolak pluralitas sebenarn-ya akan membelenggu dan membatasi diri sendiri dan akhirnya menjadi kerdil dalam lingkup pergaulan dunia. Mengajari siswa untuk bersikap baik terhadap sesama sebetulnya merupakan inti dari ajaran humanisme Islam.

Pemahaman keagamaan yang univer-sal diharapkan dapat menumbuhkan pola didik yang baikbagi pengembangan po-tensi kecerdasan siswa, semisal pola didik yang salah di kelas ialah siswa merasakan semua aktifitasnya dipaksa, seperti warna sepatu harus sama, bahkan perilaku be-ragamapun harus sama satu siswa dengan yang lain, mereka hampir tidak memiliki ruang untuk ekspresi diri. Sayangnya wa-cana yang berkembang selama ini bahwa PAI yang bersifat indoktrinatif dengan mengedepankan isi dan muatan materi daripada proses dan metodologinya. Tran-sisi PAI yang mengedepankan formalisasi akan membawa siswa menjadi tertutup dan kaku dalam pergaulan sosialnya.

Untuk menanggulangi kesalahan doktrinal tersebut, kiranya teori Blom masih relevan untuk ditekankan kem-bali pada pembelajaran PAI, antara lain, pertama, aspek kognitif dapat dilakukan dengan proses tranmisi ilmu agama seban-yak-banyaknya kepada siswa. Termasuk dalam kecakapan ini diantaranya adalah evaluasi, analisis, aplikasi, pengertian dan pengetahuan agama itu sendiri. Kedua, aspek afektif dengan mengedepankan tranformasi dan internalisasi nilai-nilai agama daripada tranmisi kognitif sema-ta. Ketiga, aspek psikomotorik dengan upaya lebih menekankan kemampuan/kecakapan siswa untuk dapat menumbu-hkan motivasi dalam diri sendiri sehingga mampu menggerakkan, menjalankan, dan mengaktualisasikan ajaran agama yang lebih tertanam pada dirinya.

Page 34: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201334

2. Membangun pribadi yang berfikir posisitif

Dalam Al-Qur’an surat al-Zumar Allah membedakan orang yang berilmu dan yang tidak berilmu, orang mempun-yai ilmu niscaya akan banyak melakukan aktifitasnya sesuai dengan keilmuan yang dimiliki. Muhammad Abduh (w. 1905 M) menegaskan bahwa suatu bangsa akan disinari oleh cahaya ilmu mereka niscaya semua jalan akan terbuka lebar, mereka memberikan solusi terhadap permasa-lahan kehidupannya dengan jelas. Bah-kan dengan ilmu, bangsa akan menjadi istemewa, karena maju mundurnya bangsa di dunia ini tergantung pada tingkat keil-muan masyarakat bangsa tersebut.6

Kewajiban menuntut ilmu berati merupakan keharusan membangun masyarakat pembelajar (learner socie-ty) yang akan memuncul-kan “revolusi pemikiran keagamaan” yang secara esensial akan mewujud-kan “revolusi kebudayaan” yang menyeluruh. Dalam Al-Qur’an, komunitas pembelajar disebut Ulul Albab yang diilustrasikan beberapa kali dalam Al-Qur’an mengesankan sede-mikian penting mancari ilmu.

Makna yang lebih jelas dari kata ulul albab nampak pada surat Ali Imran ayat 189-190, orang senantiasa sibuk berdzikir mengingat Allah SWT sambil duduk, berdiri maupun berbaring dan sibuk mer-enungkan ayat-ayat Allah SWT di langit dan di bumi waktu siang dan malam. Terdapat dua hal yang cukup fundamental dalam mendefinisikan ulul albab, yai-tu dzikir dan fikir, menyebutkan dzikir terlebih dulu berarti derajatnya lebih tinggi dari pada fikir. Dua kata itu secara implisit dalam Al-Qur’an sebetulnya saling melengkapi satu dengan yang lain. Kata Fakkara sering diterjemahkan dengan to 6 Muhammad, “Imarah, al-A’mal al-Kamilah li al-Imam Muhammad Abduh (bairut: Al-Mu’assash al-Arabiyah li al-Dirasaat wa al-Nasr, 1980) juz III cet. Ke 2, hal 25.

reflect atau refleksi, dalam bahasa indo-nesia mengandung makna merenung yang tentunya suatu kegiatan mengingat kembali. Atau sering kali diinterpretasikan bahwa berfikir itu harus diimbangi dengan berdzikir akan terexpresi pada kebenaran yang sesungguhnya.7

Terbentuknya komunitas pelajar senantiasa dikaitkan dengan tiga hal, antara lain; tradisi, peran, dan konteks. Interaksi ketiga hal tersebut melahirkan seorang pribadi yang memiliki kemam-puan disiplin ilmu cukup, maka peran PAI dalam menciptakan pribadi yang ilmuan perlu dengan metodologi pembe-lajaran yang membawa pada pembiasaan, pemeranan dan penciptaan lingkungan kegamaan yang yang kaffah.

Ciri khas masyarakat belajar sebagai insan pengabdi kepada Allah yang utuh banyak detentukan dengan dua hal, yaitu dzikir dan fikir yang dalam Al-Qur’an disebut Ulul Albab. Peran fital orang tua sebagai mitra pengajar di rumah har-us semakin diberdayakan, karna kalau dihitung satu kali 24 jam siswa di sekola-han maksimal 8 jam, sementara 16 jam bersosialisasi di lingkungan keluarga masing-masing. Maka ketika seorang pelajar gagal dalam mengaplikasikan ilmunya, itu bukan semata kesalahan guru sebagai tenaga pendidik, tetapi andil orang tua juga sanga menentukan. Kesimpulan-nya, keberhasilan peserta didik, terutama dalam pelajaran PAI ditentukan seberapa kuat jalinan atau kerja sama antara guru dan orang tua, dalam istilah lain, strategi dan metode pembelajaran PAI di sekolah harus mampu memuaskan akal siswa, 7 Ibid, hal. 111-112.

Akhir-akhir ini aroma religius di negara Indonesia nyaris hilang karena godaan globalisasi abad ke

21 yang luar biasa. Penyebab utamanya adalah meterialisasi yang dianggap segalanya dalam

kehidupan manusia.

Page 35: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

335

artinya bisa membangkitkan kesadarannya melalui sentuhan emosional siswa.

C. Reaktulasisi Makna PAI di Sekolah

Nilai-nilai keluhuran budaya, ke-jujuran, kesersamaan, pengorbanan pernah mewarnahi pola perilaku bangsa Indonesia dimasa-masa dulu hal tersebut sering diaktualisasikan dengan istilah gotong-royong. Akhir-akhir ini aroma re-ligius di negara Indonesia nyaris hilang karena godaan globalis-asi abad ke 21 yang luar biasa. Penyebab utamanya adalah mete-rialisasi yang dianggap segalanya dalam kehidupan manusia. Itu semua kalau diruntut karena gagalnya pelaksanaan pembelajaran PAI di sekolah akibat ada pergeseran pema-haman tentang eksistensi PAI di sekolah. Maka pertanyaannya sekarang, bagaima-na seharusnya sistem pendidikan agama di sekolah disampaikan, sehingga dapat memberikan makna yang sidnifikan bagi pengembangan sikap dan perilaku siswa yang posisitf.

1. Strategi Pembelajaran PAI di Sekolah

Dalam kamus besar Bahasa Indo-nesia kata “strategi” diartikan sebagai “rencana yang cermat mengenahi kegiatan untuk mencapai sasaran khusus”,8 sedan-gkan pembelajaran adalah “proses, cara menjadikan makhluq hidup sebagai insan pembelajar”9 berangkat dari pengertian tersebut, maka dapat dipahami bahwa “strategi pembelajaran” adalah rencana yang tepat, cermat untuk membantu proses belajar-mengajar dalam mencapai tujuan yang sudah ditatapkan sebelumnya. Atau dapat diartikan sebgai “pola umum kegiatan guru dan siswa dalam melak-sanakan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan”.10 8 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengem-bangan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (Jakrta: Balai Pustaka, 1993) Edisi 2, Cet, ke 2 hal. 964.9 Ibid., hal. 99-100.10 Fadhilah Suralaga, Strategi Pembelajaran (Jakarta: Makalah pada Workshop “Model Pembelajaran PAI di SMU” (PPSDM UIN Jakarta, tgl 2 Oktober 2003)

Pembelajaran Pendidikan Agama Islam merupakan rencana cermat agar peserta didik dapat belajar, mau belajar, terdorong belajar, dan tertarik untuk mele-kukan proses pembelajaran dalam mem-perdalam agama Islam baik sebagai ilmu pengetahuan, mapun sebagai pola perilaku keseharian, sehingga mendapatkan peng-etahuian pola perilaku Agama Islam yang benar di tengah-tengah masyarakat.

Proses pembelajaran sebetulnya merupakan konsep bagaimana men-goptimalkan siswa agar tergerak dalam mengekpresikan kemampuan dirinya, terutama dalam Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah, karena selama ini yang terjadi Pendidikan Agama Islam hanya di-lihat dari sisi ilmu pengetahuan saja, yang penting siswa mampu dalam memahamin-ya sudah cukup, sementara bagaimana pengetahuan agama itu sebisa mungkin mempengarui pola perilaku dalam ke-hidupan sehari-hari tidak menjadi titik tekan di lembaga pendidikan. Sebagaima-na diungkapkan di muka bahwa dalam pemahaman pendidikan Islam dikenal tiga istilah yang terkait dengan pendidikan, tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Istilah tarbiyah mengacu pada “proses pembinaan dan pengarahan bagi pembentukan kepriba-dian dan sikap mental” sedangkan kata ta’lim mengesankan proses tranfer ilmu (pengarahan),11 sementara konsep yang lebih dekap dengan pembelajaran adalah kata ta’dib.

Berdasarkan tiga istilah tersebut sudah jelas bahwa pendidikan mengacu 11 Mastuki HS, “Problem dan Alternatif Pengembangan Pembelajaran Agama pada Jenis dan Jenjang Pendidikan Islam”. (Jakarta: Makalah pada Orientasi Guru MTs se Indonesia Direktorat Mapendais Departemen Agama RI Kerja sama Dengan Pusat Mutu Pendidikan, Jakarta tanggal 17-19 September 2003.

... karena selama ini yang terjadi Pendidikan Agama Islam hanya dilihat dari

sisi ilmu pengetahuan saja, yang penting siswa mampu dalam memahaminya sudah

cukup, ...

Page 36: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201336

kepada sebuah proses pembentukan atau pengarahan dari orang kepada dirinya sendiri yang mencakup pengembangan aspek pengetahuan, skill, sikap, mental atau kepribadian dan moral atau etika. Ka-rena bersentuhan dengan aspek pengem-bangan sikap, moral, dan kepribadian, maka pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah saat ini sarat dengan nilai.12 Sebagaimana sifat pendidikan nilai mempunyai muatan yang bersifat kogni-tif, efektif, dan psikomotorik. Pendidikan Agama Islam memuat sejumlah prin-sip-prinsip dasar yang harus disampaikan kepada siswa, meliputi dimensi keyakinan, peribadatan, pengalaman dan dimensi penghayatan dan dimensi pengetahuan.13

Ada tiga langkah strategis yang perlu mendapatkan penghargaan dalam perubahan perilaku siswa dalam konteks pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah. Pertama, menghubungkan materi pembelajaran dengan pengalaman siswa yang dilaksanakan dengan pre-tes. Kedua, penyampaian materi dan latihan. Mereka mampu menunjukkan kegairahan belajar dan percaya diri yang tinggi. Ketiga, eval-uasi pembelajaran yang dilakukan dengan post-tes dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembelajaran siswa.

2. Tantangan pendidikan Agama Islam di Sekolah

Krisis moral yang terjadi di akh-ir-akhir ini ditumpahkan terhadap gagal-nya sistem pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah, lalu kemudian, apakah memang sedemikian rupa adan-ya? Atau vonis itu sekedar mengesankan bahwa pelaksanaan pembelajaran PAI di sekolah gagal, sementara di madrasah tidak? Bukankah krisis moral bersifat sosiologis, sementara pembelajaran ber-sifat sistematik? Abdul Mukti isri (2003) mengemukakan dua macam tantangan yang dihadapi pembelajaran PAI, internal dan eksternal. Tantangan internal yaitu 12 Mastuki HS, op. cit.13 E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi (Band-ung: Remaja Rosdakarya, 2003) hal. 100.

terkait dengan program, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi sistem pembelaja-ran PAI di sekolah. Sementara tantangan eksternal terkait dengan kemajuan iptek, globalisasi informasi, perubahan politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Problematika kegagalan pembelaja-ran PAI di sekolah umum, begitu kom-plek. Maka usaha untuk meminimalisir kegagalan tersebut harus dilakukan, ketika guru agama melaksanakan pembelajaran agama islam terhadap siswa, disarankan memperhitungkan kemampuan siswa dari berbagai aspek (akal, emosional, minat, sosial).

Yang paling krusial dari problematika pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah umum sesungguhnya terle-tak pada pelaku (guru dan siswa). Posisi guru di sekolah umum dikelasduakan, meskipun seharusnya menjadi primado-na di sekolah. Yang kedua siswa enggan belajar agama, apatis terhadap keadaan buruk yang dihadapinya, pergaulan yang menohok perilaku sosialnya dan penyakit mental lainnya, itu semua ternyata beraki-bat kesulitan siswa mempelajari pesan-pe-san nilai agama yang benar. Menginstal kembali perilaku mental dan sosial siswa yang sedemikian membutuhkan kepiawa-ian seorang guru.

Terdapat kesalahan persepsi dalam memahami guru, guru bukan sekedar penyampai pesan-pesan moral, tetapi jus-tru guru harus berperan sebagai seorang yang mampu mengubah pola pikir, sikap dan perilaku siswa ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain seorang guru memi-liki tiga tugas terhadap perkembangan sisiwa ke arah yang lebih baik. Pertama, guru agama harus mampu mengkaji akar permasalahan yang mendorong timbul-nya perilaku negatif siswa. Kedua, meng-hindari sikap mengekang, merendahkan, dan menghindari penggunaan cara-cara keras dalam menyelesaikan permasalahan. Ketiga, memberikan sanksi dan reward terhadap siswa dengan bijaksana.

Page 37: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

337

D. Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman tentang Pendidikan Agama Islam (PAI) perlu diulangi kembali agar berang-kat dari pemahaman awal sudah bisa mencer-minkan, bagaimana tingkat keberhasilan PAI di sekolah bisa dilihat pada out-putnya. Paling tidak pembelajaran PAI di sekolah diorientasi-kan pada dua hal. Pertama, mendidik manusia supaya menjadi hamba dan Wakil Allah di muka bumi. Kedua, mendidik manusia untuk menjadi pelopor yang mampu menumbuh-kembangkan potensi dasar yang fitrah menuju kedewasaan intlektual (intlektual ability) dan kematanagan emosional (emotional majurity).

Demikian makalah singkat telah tertu-lis, besar harapan saya atas saran, kritik untuk kebaikan dan kesempurnaan karya ilmiah ini. Dan mohon maaf manakala terdapat kesalahan, kekhilafan dari berbagai aspek.

1. Mujahid AK, Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Umum” dalam Edukasi, Volume 2, April – Juni 2003, hal. 45.2. Djihan Effendi, “Konsep-konsep Teologis,” (jakarta: Paramadina, 1994), cet ke 1 hal. 54. Ahmad Barizi dan Syamsul Arifin, “Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi (Malang, UMM Press, 2001), hal 146.3. Abdul Fattah Jalil, “Min Usul al-Tarbiyah fi al-Islam (Mesir al-Markaz al-Duwali li-al-Ta’lim 1977), hal 12.4. Ahmad Barizi dan Syamsul Arifin, “Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi (Malang, UMM Press, 2001), hal 146.5. A. Qodri Azizy,0p. cit., hal 63.6. Muhammad, “Imarah, al-A’mal al-Kamilah li al-Imam Muhammad Abduh (bairut: Al-Mu’assash al-Arabiyah li al-Dirasaat wa al-Nasr, 1980) juz III cet. Ke 2, hal 25.7. Ibid, hal. 111-112.8. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (Jakrta: Balai Pustaka, 1993) Edisi 2, Cet, ke 2 hal. 964.9. Ibid., hal. 99-100.10. Fadhilah Suralaga, Strategi Pembelajaran (Jakarta: Makalah pada Workshop “Model Pembelajaran PAI di SMU” (PPSDM UIN Jakarta, tgl 2 Oktober 2003)11. Mastuki HS, “Problem dan Alternatif Pengembangan Pembelajaran Agama pada Jenis dan Jenjang Pendidikan Islam”. (Jakarta: Makalah pada Orientasi Guru MTs se Indonesia Direktorat Mapendais Departemen Agama RI Kerja sama Dengan Pusat Mutu Pendidikan, Jakarta tanggal 17-19 September 2003.12. Mastuki HS, op. cit.13. E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003) hal. 100.

Pendidikan Agama

Islam memuat sejumlah

prinsip-prinsip

dasar yang harus

disampaikan kepada

siswa, meliputi dimensi

keyakinan, peribadatan,

pengalaman dan

dimensi penghayatan

dan dimensi

pengetahuan.

Page 38: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201338

Globalisasi dapat diartikan pula proses homogenisasi nilai. Tata nilai dari berbagai sumber berkontestasi, saling mengisi hingga

terjadi hibridasi budaya, tidak terkecuali budaya Jawa. Berangkat dari kegelesihan inilah tulisan ini bertolak. Kegelisahan akan

terpinggirkannya budaya Jawa di era borderless ini membawa pada satu pertanyaan apakah budaya Jawa ini bisa survive atau

justru akan tergers oleh tatá nilai baru yang mencerabut budaya Jawa dari pemiliknya ? Serta bagaimana strategi kebudayaan yang

harus menjadi perhatian Agar budaya Jawa dapat melakukan harmonisasi dengan tat nilai yang lain sehingga menghasilkan

manusia Jawa Baru yang tidak kehilangan Kejawaannya sekaligus tidak teralienasi sabagai anggota manusia kesejagatan. Tulisan ini

menawarkan pendidikan enkulturasi, yakni pendidikan yang perlu mengorientasikan pembentukan manusia yang berbudaya. Dengan

strategi ini manusia jawa perlu dikenalkan cara pandang sampai kesenian sehingga tidak Ada satu komponen ilmu pengetahuanpun

yang terlepas dari budaya Jawa. Dengan cara itu proses hibridasi yang menghasilkan manusia Jawa Baru akan terwujud

Keyword : Globalisasi, BUdaya Jawa, enkulturasi

HIBRIDISASI BUDAYA JAWA:

SEBUAH RENUNGAN

DALAM

PERSPEKTIF CULTURAL STUDIES

Oleh: Mibtadin, M.S.I

Page 39: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

339

A. PendahuluanTulisan ini berangkat dari

kegelisahan (sungkawa) penulis sebagai wong Jawa, merasa terenyuh ketika menyaksikan semakin terpinggirkannya budaya Jawa adiluhung yang disebabkan oleh derasnya arus globalisasi. Globalisasi merupakan fenomena “budaya baru” (new culture), yang kehadirannya tidak akan mungkin untuk dihindari lagi di tengah “global village” (kampung global) dewasa ini. Dengan adanya gelombang globalisasi menjadikan tatanan sistem dunia (world order) tidak menentu, di mana berbagai metafora tentang relasi pasti dan teratur antara aspek ekonomi, politik, sosial serta budaya, akan berubah menjadi relasi yang bersifat kaotis, rizomorfis, dan disjungtif. Dalam era globalisasi, kebudayaan dalam pengertian cultural studies telah memainkan peranan penting dalam ketidakmenentuan situasi dewasa ini. Tema hibriditas, glokalisasi, dan kreolisasi yang dieksplorasi oleh cultural studies berbicara banyak tentang identitas, musik, pemuda, budaya, tari, fashion, food, etnisitas, nasionalitas, bahasa, dan konsep kebudayaan itu sendiri.1 Cultural studies dengan wacana hibriditas dan kreolisasi pada dasarnya mengarah pada satu titik, yaitu homogenisasi budaya (homogencency of culture)—yang diorientasikan pada penghilangan terhadap keragaman budaya (heterogencency of culture). Globalisasi merupakan salah satu dari sekian banyak tema yang diusung oleh cultural studies, yang dipahami sebagai bentuk ekonomi kapitalis dunia, sistem informasi global, sistem negara-bangsa (nation-state), serta orde militer dunia.2 Menurut Robertson, konsep globalisasi mengacu kepada “penyempitan dunia” secara intensif peningkatan kesadaran kita atas dunia, yaitu semakin meningkatnya koneksi global (global connection) dan pemahaman

1 M. Waters, Globalization, (London: Routledge, 1995), hlm. 9.

2 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 114.

kita terhadap wacana global tersebut.3 Penyempitan dunia dapat dipahami dalam konteks institusi modernitas, sedangkan “intensifikasi kesadaran dunia” secara refleksif dapat dicerminkan secara lebih baik oleh budaya. Paul Hirst dan Grahame Thompson menjelaskan bahwa globalisasi sering diasumsikan sebagai proses menghilangnya garis-garis batas budaya nasional (national culture), ekonomi nasional, dan wilayah nasional yang semakin kabur.4 Dari semua cara pandang di atas, satu hal yang perlu dicatat bahwa globalisasi membawa dampak yang luar biasa terhadap semua aspek kehidupan masyarakat.

Salah satu dampak globalisasi yang cukup terasa adalah dalam bidang budaya (culture). Budaya dapat diartikan sebagai keseluruhan dari pola perilaku yang termanifestasikan melalui kehidupan sosial, seni, agama, kelembagaan serta semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia yang mencakup nilai cipta, karsa, dan karya.5 Dalam term Jawa, budaya dapat didefinisikan sebagai “angen-angen kang mbabar kaendahan” ”manunggaling cipta, karsa, lan karya manungso, utawi uwoh pangulahing budi, pakarti lahir adedhasar kaluhuran lan kautamaan, ugi uwohing pakarti bathin nyaket dumateng Gusti kang akarya jagad.” Sejalan dengan itu, David Held menjelaskan budaya adalah bentuk konstruksi sosial (social construction), artikulasi (articulation), dan penyerapan makna (reception of meaning).6 Maka budaya sebagai suatu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan dari tatanan kehidupan masyarakat, baik politik, ekonomi, sosial, agama maupun aspek lainnya.

3 R. Robertson, Globalization, (London and Newbury Park, CA: Sage, 1992), hlm. 79.

4 Paul Hirst dan G. Thompson, Globalisasi adalah Mitos, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hlm. 1.

5 http://organisasi.org/arti-definisi-pengertian-budaya-kerja-dan-tujuan-manfaat-penerapannya-pada-lingkungan-sekitar, diakses pada 12 Mei 2013.

6 David Held, dkk., Global Transformation, (Cambridge: Polity Press, 1991), hlm. 328.

Page 40: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201340

Budaya merupakan bentuk perwujudan semua tindakan manusia dalam mengatasi berbagai persoalan yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan.7 Sedangkan unsur-unsur universal sebuah kebudayaan meliputi tujuh sistem, yaitu (1) sistem religi, (2) sistem organisasi masyarakat, (3) sistem bahasa, (4) sistem pengetahuan, (5) sistem kesenian, (6) sistem mata pencaharian, serta (7) sitem teknologi dan peralatan. Semua sistem kebudayaan tersebut terdapat dalam masyarakat dari tingkatan primitif hingga masyarakat dalam tingkatan modern, dan sistem budaya tersebut mengalami dinamika sebagai akibat pergaulan antar masyarakat pendukungnya dengan kebudayaan lain.8 Dengan memperhatikan tujuh sistem budaya tersebut, secara umum wong Jawa memiliki karakteristik budaya yang khas sesuai dengan kondisi sosial kemasyarakatannya. Secara umum, budaya Jawa dapat dibagi menjadi dua, yaitu (1) budaya lahir, dan (2) budaya batin.9 Pertama, budaya lahir merupakan segala hal yang terkait dengan kedudukan masyarakat Jawa sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Dalam hal ini budaya Jawa memiliki kaidah-kaidah yang dapat dengan mudah diindetifikasi berdasarkan ungkapan-ungkapan budaya sebagai manifestasi nilai-nilai budaya yang didukung oleh masyarakatnya. Kedua, budaya batin berhubungan dengan segala sesuatu yang terkait dengan persoalan-persoalan yang bersifat supranatural dan kekuatan-kekuatan adikodrati yang tidak dapat di empriskan dan objektifkan.

Menurut M. Damami, struktur sosiologis masyarakat Jawa dapat

7 Muhammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 7-8.

8 Dhanu Priyo Prabowo, dkk., Pengaruh Islam dalam Karya-Karya Ronggo Warsito, (Yogyakarta: Narasi, 2003), hlm. 24.

9 Dhanu Priyo Prabowo, dkk., Pengaruh Islam. Ibid., hlm. 25.

digolongkan menjadi dua kriteria, yaitu (1) masyarakat Jawa berdasarkan etnis, dan (2) masyarakat berdasarkan

letak geografis. Akan tetapi, jika membincangkan budaya Jawa, maka lebih bersifat keseluruhan, karena dimanapun orang Jawa berada maka mereka akan sulit lepas dari berpikir.10 Apabila normativitas budaya Jawa tersebut dihadapkan dengan globalisasi, maka adanya arus ini akan mendorong terjadinya perubahan yang cukup mendasar dalam budaya lokal, termasuk eksistensi budaya Jawa itu sendiri. Hal ini dapat dilihat mulai dari bergesernya pandangan hidup (worldview), identitas sosial (social identity), dan wujud budaya lainnya dari budaya Jawa di mana telah tergerus dengan “budaya baru” (new culture) yang ditampilkan oleh cultural studies dengan gerbong globalisasi.

Sisi positif yang dapat dilihat dari adanya globalisasi adalah semakin mudahnya orang mengakses dengan cepat budaya lain yang notabenenya budaya asing. Hal ini disebabkan adanya faktor strukturalisasi serta pola penjarakan (distanciation) ruang waktu proses di mana masyarakat akan direntangkan dalam jangka waktu yang lebih panjang atau lebih pendek. Pun kemudian berbagai budaya di dunia ini dapat berinteraksi satu sama lain dalam global village, semua sistem di dunia menjadi satu, dan dunia tanpa jarak. Sedangkan dari sisi negatif dari globalisasi, interaksi antar budaya

10 Muhammad Damami, Makna Agama, Ibid., hlm. 11-12.

Apabila normativitas budaya Jawa tersebut dihadapkan dengan globalisasi, maka adanya arus ini akan mendorong

terjadinya perubahan yang cukup mendasar dalam budaya lokal, termasuk

eksistensi budaya Jawa itu sendiri.

Page 41: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

341

(interculture) ini semakin tinggi intensitasnya, maka percampuran budaya (sinkretism) menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindari lagi. Sedikit banyak, suatu budaya akan diserap oleh budaya lainnya. Meskipun demikian, masing-masing budaya tentunya berusaha untuk membentengi dan mempertahankan budayanya agar apa yang menjadi ciri khas dan identitasnya tidak luntur. Arus globalisasi cenderung bersifat kosmopolitan, yang akan menyebabkan kemurnian identitas (pure identity) suatu budaya menjadi berkurang, dan melalui ruang globalisasi pula budaya dapat berinteraksi dengan budaya di lur dirinya. Karena globalisasi juga suatu kebudayaan akan terpenetrasi dengan budaya lainnya, seperti halnya budaya Jawa sebagaimana yang akan dibicarakan dalam tulisan ini.

B. Globalisasi Budaya dan Identitas Etnisitas Jawa

Globalisasi budaya merupakan proses “menjadi globalnya” suatu kebudayaan tertentu. Globalisasi budaya tidak bisa dipisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi maupun juga teknologi transportasi menyebabkan globalisasi budaya dengan mudah terjadi di seluruh belahan dunia. Meminjam istilah Held, menyebut hal tersebut dengan istilah “cultural transmission”—di mana akan sangat mudah terjadi ketika buku, barang, makanan, rekaman, tanda, pesan, ataupun manusia dapat dengan mudah bergerak atau berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.11 Cepatnya perpindahan barang, informasi, atau pesan tertentu akhirnya mempermudah terjadinya proses globalisasi budaya tersebut, termasuk terhadap budaya Jawa.

11 Held menyatakan bahwa cultural globalization can also be charted in terms of speed…., at which images or ideas can be communicated from one pllace to another…” David Held, Global Transformation, Ibid., hlm. 329.

Kehadiran teknologi komunikasi sangat mempengaruhi terjadinya globalisasi budaya Jawa yang pada akhirnya akan merubah tatanan wajah dan identitasnya. Sebut saja TV, radio, dan internet memainkan peranan penting dalam proses globalisasi budaya tersebut. Di Indonesia misalnya, saat ini ada sekitar 13 stasiun televisi nasional, 9 stasiun telivisi yang berjaringan dengan stasiun televisi lokal, dan ada sekitar 13 stasiun telivisi berlangganan.12 Perkembangan stasiun TV di Indonesia sangat pesat dalam satu dekade terakhir. Menjamurnya stasiun TV nasional dan lokal ini mengindikasikan perkembangan yang luar biasa dalam bidang komunikasi dan informasi. Perkembangan stasiun TV ini juga menjadi indikasi terjadinya globalisasi budaya, sekaligus menjadi salah satu agen yang juga ikut serta dalam proses terjadinya globalisasi. Di Indonesia sendiri terdapat hampir 3.000 stasiun radio internet,13 serta ribuan stasiun radio lain, baik radio swasta, pemerintah maupun radio komunitas. Di Yogyakarta saja, misalnya, terdapat 46 stasiun radio swasta, dan 32 stasiun radio komunitas.14 Sedangkan di Surakarta sendiri terdapat ada 5 TV lokal, serta puluhan stasiun radio yang sebagai “corong” dari budaya global. Sebagai agen globalisasi budaya, TV dan radio membawa dampak yang sangat besar bagi masyarakat Indonesia, termasuk budaya Jawa, khususnya dalam proses penyebaran budaya-budaya pop.

Dengan hadirnya media komunikasi

12 http://www.asiawaves.net/indonesia-tv.htm, diakses pada 15 Mei 2013.

13 http://tunein.com/radio/Indonesia-r100356/, diakses pada 15 Mei 2011.

14 http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar-stasiun-radio-di-DIY, diakses pada 15 Mei 2013.

Sebagai agen globalisasi budaya, TV dan radio membawa dampak yang

sangat besar bagi masyarakat Indonesia, termasuk budaya Jawa, khususnya dalam

proses penyebaran budaya-budaya pop.

Page 42: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201342

tersebut, tentu akan membawa dampak yang luar biasa bagi identitas etnistas, termasuk masyarakat Jawa. Eksistensi identitas etnis Jawa akan mengalami kekaburan, karena tergerus dengan budaya asing yang diimpor melalui berbagai media tersebut. Dalam berbagai literatur, etnisitas merupakan konsep budaya yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol, dan praktik budaya. Terbentuknya “suku bangsa” Jawa adalah bersandar pada penanda budaya yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang secara historis, sosial, politis tertentu, dan yang mendorong rasa memiliki (handarbeni) yang paling tidak, sebagian didasarkan pada nenek moyang mitologis yang sama. Etnisitas dibentuk dengan cara identitas kelompok (groups identity), dan mengindentifikasi diri dengan tanda dan simbol. Etnisitas merupakan konsep relasional yang berhubungan dengan kategori identifikasi diri dan askripsi sosial. Apa yang kita pikir sebagai identitas kita tergantung pada apa yang kita pikir bukan bagian dari kita. Jika dikatakan wong Jawa, maka bukan seorang Sasak, Badui, Dani, atau Asmat. Etnisitas dapat dipahami sebagai proses pembentukan sekat yang dikonstruksi dan dipelihara pada sosio-historis tertentu.15 Etnisitas bukanlah persoalan perbedaan kultural yang telah ada sebelumnya, melainkan suatu proses pembentukan sekat dan pemeliharaan tidak berarti bahwa perbedaan semacam itu tidak dapat dikonstruksikan secara sosial di sekitar penanda (signified) yang memang mengandung makna universalitas, teritori, dan kemurniannya, misalnya metafora darah, kekerabatan, dan tanah air.16

15 F. Barth, Ethnic Groups and Boundaries, London: Allen & Unwin, 1969, hlm. 76.

16 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik. Ibid., hlm. 117.

Apabila wacana etnisitas tersebut dikaitkan dengan cultural studies, maka titik temunya pada mempertahankan identitasnya dalam menghadapi globalisasi budaya di mana akan melahirkan dampak yang negatif bagi kebudayaan lokal, misalnya terjadinya culture shock (guncangan kebudayaan), dan juga culture lag (ketertinggalan budaya).17 Namun, banyak pula yang menilai bahwa globalisasi budaya tidak hanya mendatangkan dampak negatif bagi masyarakat di suatu tempat tertentu, seperti di tengah kehidupan masyarakat Jawa. Kehadiran globalisasi budaya justru dianggap mampu memperkaya kebudayaan lokal melalui bentuk sinkretisme, akulturasi, dan bahkan mampu berintegrasi ke dalam budaya lokal tersebut. Kehadiran globalisasi budaya tidak menghancurkan (destruction) nilai-nilai lokal yang sudah ada, namun membantu nilai-nilai lokal itu untuk dikomunikasikan dengan cara yang lebih baik.

Budaya Jawa merupakan hasil berfikir (olah pikir) dan merasa (olah rasa) wong Jawa yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari, dan wujud budaya tidak dari situasi di mana suatu budaya tersebut dihasilkan. Setiap budaya akan mengalami perubahan, dan dalil ini berlaku juga bagi budaya Jawa. Seperti terjadinya penyempurnaan sehingga ditemukan adanya perkembangan budaya bangsa-bangsa dunia ini, dari tingkat yang sederhana (little tradition) menuju yang lebih kompleks (great tradition). Dengan terjadinya globalisasi, ada unsur budaya lokal yang memiliki nilai universal, dan ditemukan pada bangsa-bangsa yang ada di belahan dunia ini.

17 http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0505/07/khazanah/lainnya04.htm , diakses pada 15 Mei 2013.

Etnisitas bukanlah persoalan perbedaan kultural yang telah ada sebelumnya, melainkan suatu proses pembentukan sekat ...

Page 43: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

343

Dalam proses perubahan budaya, ada unsur budaya yang sukar berubah, dan ada yang mudah berubah. Budaya dalam hal ini dibedakan menjadi dua: (1) inti kebudayaan (covert culture), dan (2) perwujudan kebudayaan (overt culture).18 Dalam konteks modernitas yang rasionalistik, materialistis, dan egaliter, budaya Jawa dihadapkan pada tantangan budaya global yang memiliki nilai dan perwujudan budaya yang pluralistik yang lebih kompleks. Sebagai budaya lokal, budaya Jawa memang memilki nilai universal, di samping nilai lokalnya. Nilai keuniversalnya tersebut terletak pada nilai-nilai spiritualnya yang relegius-magis, yang tidak akan ditemukan pada budaya lainnya. Dengan modal ini, maka budaya Jawa akan tetap mampu eksis dengan mempertahankan identitas etnisitas kulturalnya di tengah arus globalisasi dan wacana cultural studies yang sedang menggejala.

C. Hibiridisasi Budaya Jawa

Globalisasi budaya sebagai sebuah proses utuh dan tak terpisahkan antara satu bagian dengan yang lainnya. Dalam konteks dampaknya terhadap budaya lokal, ada sebagian kalangan yang menilai bahwa globalisasi budaya membawa dampak terhadap terjadinya proses hibridisasi budaya. Secara umum, hibridisasi merupakan sebuah istilah yang lazim digunakan dalam ilmu Kimia maupun Biologi. Dalam kajian Kimia, hibidisasi merupakan sebuah konsep bersatunya orbital-orbital atom yang kemudian akan membentuk “orbital hybrid” yang baru sesuai dengan penjelasan kualitatif sifat ikatan atom itu sendiri.19 Dalam kaitannya dengan budaya, hibridisasi merujuk pada proses saling mengikatnya kebudayaan yang satu dengan yang lain yang akhirnya membentuk budaya

18 Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 31.

19 F. Barth, Ethnic Groups and Boundaries, Ibid., hlm. 76.

hybrid, yang mengadopsi nilai-nilai yang dianggap baik dari masing-masing budaya, dan meninggalkan hal yang dianggap kurang baik. Proses hibridisasi atau percampuran budaya ini memberikan warna yang luar biasa pada budaya lokal yang ada. Istilah hybrid dalam konteks budaya hamper mirip dan sejalan dengan kandungan makna sinkretisme, intergrasi, dan akulturasi.  Lahirnya budaya hybrid merupakan akibat dari terjadinya globalisasi budaya yang dibawa oleh cultural studies. Globalisasi budaya tidak dengan serta merta menghancurkan nilai-nilai identitas atau instrinsik dari budaya lokal, akan tetapi dijadikan dasar pijakan bagi lahirnya perpaduan budaya yang lebih baik. Globalisasi budaya merujuk pada suatu proses terbentuknya suatu kebudayaan yang jauh lebih baik pada satu sisi, dan “penghancuran” (destruction) budaya lokal pada sisi yang lain.

Menurut Hamelink dengan teori sinkronisasi budaya melihat bahwa gejala budaya hybrid ini merupakan bentuk lalu lintas produk budaya masih berjalan satu arah, dan pada dasarnya mempunyai modelyang sinkronik. Artinya, konfrontasi budaya dua arah di mana budaya yang satu dengan budaya yang lainnya saling pengaruh mempengaruhi, yang kemudian akan menghasilkan budaya yang lebih kaya (kompilasi). Sedangkan konfrontasi budaya searah akan memusnahkan

budaya yang pasif dan lebih lemah. Lebih jauh Hamelink menekankan bahwa apabila otonomi budaya didefinisikan sebagai kapasitas masyarakat untuk memutuskan alokasi sumber-sumber dayanya sendiri demi suatu penyesuaian diri yang memadai terhadap lingkungan,

Globalisasi budaya merujuk pada suatu proses terbentuknya suatu kebudayaan yang jauh lebih baik pada satu sisi, dan

“penghancuran” (destruction) budaya lokal pada sisi yang lain.

Page 44: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201344

maka sinkronisasi budaya tersebut jelas merupakan ancaman bagi otonomi budaya masyarakatnya. Hibridisasi budaya lokal membantu proses pengkomunikasian nilai-nilai tersebut yang kemudian berujung pada semakin mudahnya nilai-nilai budaya tersebut dikenal, diakui, serta dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat. Globalisasi budaya akhirnya semakin memperkaya kebudayaan lokal masyarakat, dan menyebabkan nilai-nilai budaya tersebut dapat dengan mudah “dikonsumsi” oleh masyarakat secara luas. Proses hibridisasi ini membantu masyarakat untuk tidak merasa takut meninggalkan budaya lokal demi sesuatu yang baru, atau pun sebaliknya tidak perlu merasa takut kehilangan nilai-nilai lokal ketika mencoba hal-hal yang baru. Dalam globalisasi budaya ini, kita akan melihat bagaimana hibridasi yang terjadi pada budaya Jawa, mulai dari falsafah hidup, kesenian, makanan, maupun fashion Jawa yang mulai ada proses overt culture yang dibentuk oleh arus cultural studies

(1). Falsafah Hidup Wong Jawa: Berubah Haluan

Secara umum, wong Jawa cenderung mempertahankan (ngregem, ngugemi) budayanya dengan memegang teguh pola dasar kehidupan mereka, yaitu harmoni, sebagai bentuk kosmologi pandangan hidupnya—kondisi hidup yang serasi, selaras, dan sejalan dalam hubungan interaksinya dengan Tuhan,20 manusia, dan alam. Masyarakat harus bisa hidup “rukun” untuk mencapai ketenteraman dan kedamaian satu sama lain. Harmoni juga berarti harus bisa

20 Serat Gatholoco, gagasan yang ada di dalamnya bersumber dari penghayatan terhadap agama yang bersumber dari konsep “Sangkang paraning dumadi.” Bentuk hubungan antara manusia dengan Tuhan, dalam pemahaman Jawa (baca: Kejawen) untuk mencapai “penyatuan dengan Tuhannya” yang dikenal dengan “Manunggaling Kawula Gusti” harus ditempuh dengan beberapa tahapan: (1) melaksanakan sembah raga, (2) sembah cipta, (3) sembah jiwa, dan (4) sembah rasa.

mengatasi perbedaan-perbedaan, bisa bekerjasama, dan saling menerima untuk mencapai tujuan hidup bersama di tengah masyarakat. Sistem budaya Jawa mempunyai tuntutan yang mengharuskan masyarakat Jawa untuk menjaga harmonitas dalam kehidupan mereka. Karena dengan hidup harmoni masyarakat Jawa akan dapat melakukan segala hal yang membuat mereka bahagia dalam kehidupan mereka.21 Masayarakat Jawa cenderung meminilmalisir segala bentuk konflik, pertentangan, serta kepentingan-kepentingan yang bersifat individu dan lebih mementingkan sistem budaya yang bersifat komunal atau kebersamaan demi terciptanya harmonitas sosial. Hal ini seperti peribahasa orang Jawarame ing gawe sepi ing pamrih, mangan ora mangan sing penting kumpul, dan lain sebagainya.

Sebagai core budayanya, etika Jawa diarahkan untuk menjaga eksistensi diri dalam kehidupan sosialnya, masyarakat Jawa juga memiliki orientasi utama dalam membangun seorang insan yang berbudi luhur. Untuk mencapai derajat yang berbudi luhur maka dibutuhkan berbagai macam bentuk pengendalian diri, seperti pentingnya seseorang menghindari tindakan srei, drengki, dakwen, panas aten, wedi isin, serta pentignya memiliki sikap mental (attitude) eling lan waspada dengan di landasi kesabaran. Semua hal itu perlu dilakukan bagi masyarakat Jawa untuk mencapai kasumpurnaning urip (kesempurnaan hidup) sebagai manifestasi insan budi luhur yang diidam-idamkan masyarakat Jawa.22 Oleh

21 Moh. Roqib, Harmoni dalam Budaya Jawa, (Purwokerto, STAIN Purwokerto Press, 2007), hlm. 227.

22 Dhanu Priyo Prabowo. dkk, Pengaruh Islam.

Proses hibridisasi ini membantu masyarakat untuk tidak merasa takut meninggalkan

budaya lokal demi sesuatu yang baru, atau pun sebaliknya tidak perlu merasa takut

kehilangan nilai-nilai lokal ketika mencoba hal-hal yang baru.

Page 45: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

345

karenanya, masyarakat Jawa dituntut sikap dahwen (suka mencela orang lain), open (pamrih pribadi) dan jail (suka membuat susah orang lain) yang semua itu harus dilandasi sikap ngono yo ngono ning ojo ngono (begitu ya begitu tapi ya jangan begitu). Maka, dalam pandangan wong Jawa, menjadi “Jawa” berarti harus menjadi manusia yang beradab (njawani), memahami bagaimana seharusnya bertingkah laku yang baik (tindak-tanduk, muna-muni, solah-bawa). Hidup yang benar adalah hidup sebagai orang Jawa, memperlihatkan tingkah laku yang halus, sopan, sabar, berkata-kata yang pantas dan mempertahankan tatanan yang teratur, sebagai prinsip wong Jawa “emban-papan, dugo-prayoga, lan lambe-ati.”

Adanya globalisasi budaya “memaksa” adanya hibridasasi budaya Jawa, termasuk adanya pergeseran falsafah (shifting of philosophy) dan pandangan hidup (worldview) wong Jawa. Seperti pandangan hidup Jawa yang menyatakan “ajineng diri saka lathi, ajineng sliro soko busuno” ini telah memudar seiring dengan adanya globalisasi yang ditandai “hilangnya budaya malu” dalam masyarakat Jawa dewasa ini. Wong Jawa di tengah arus global ini sedang mengalami “sakit” (sick society) dengan semakin tergerusnya etika (tata krama) Jawa seperti membungkukan badan kepada orang yang lebih tua, tradisi sungkeman, nyuwun sewu, kulon nuwun, dan bentuk unggah-ungguh lainnya yang mulai hilang. Kalau kita merujuk pada ramalan Prabu Jayabaya, raja Kerajaan Kediri, salah satunya disebutkan bahwa “kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, lan wong wadon ilang wirange.” Selain itu, orang tua juga tidak bisa lagi menjadi “panutan” (contoh) yang baik bagi kaum muda, akibatnya, nilai etis dalam falsafah Jawa “ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani” seakan “tidak berlaku” lagi.

Misalnya lagi, pitutur luhur (1) aja Ibid., hlm. 26.

dhumuko, aja gumon, aja kagetan, (2) aja dhumeh, tepo sliroh, ngerti kualat, lan (3) sugih tanpa bondho, digdhoyo tanpa aji, ngalurug tanpa bala, menang tanpa ngasarake, (4) sepi ing pamrih rame ing rawe, banter tan mbancangi, dhuwur tan ngungkuli, (5) aja ketungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman, (6) aja kuminter mundak keblinger, aja cidra mundak cilaka, sing was-was tiwas, (7) aja milik barang kang melok, aja mangro mundak kendo, (8) urip iku urup.23 Dewasa ini nilai itu sudah tidak kita temukan lagi, hal ini diperparah dengan semakin sedikitnya penggunaan bahasa krama inggil (alus) oleh wong Jawa, karena lebih bangga memilih bahasa Indonesia, atau bahkan bahasa asing. Selain itu, media seperti TV menjadi “corong” yang ampuh dalam menyuburkan budaya global, apalagi masyarakat kita kebanyakan telah memakai antena parabola, sehingga akses informasi semakin cepat untuk diketahui, dan pada titik ini dunia semakin sempit. Dampaknya, pandangan hidup (paugeraning urip) masyarakat Jawa bergeser pada pola (1) “Westernisasi” yang semakin marak, di mana budaya Barat (Western culture) dianggap sebagai budaya yang lebih maju, trend, dan harus ditiru, terutama oleh negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. (2) Lunturnya jati diri bangsa, karena anak muda berkiblat terhadap kebudayaan asing dan kurang menghargai kebudayaan sendiri, sehingga ada kecenderungan kebudayaan semakin lama semakin tergerus arus globalisasi, dan (3) budaya hedonisme, materialisme, dan konsumerisme yang terus berkembang tanpa bisa dicegah.24 Hal ini sejalan dengan sepenggal bait shalawatan KH. Ma’ruf Islamuddin, Ponpes. Walisongo, Sragen, “iki zaman globalisasi, akeh bocah ra gelem ngaji, rina wengi nonton TV, sing

23 Koenjaraningrat, Manusia dan Kedayaan, (Jakarta: Djambatan,2000), hlm.71.

24 http://tarucing.wordpress.com/2011/10/02/14-prinsip-pandangan-hidup-orang-jawa/ diakses pada 15 Mei 2013.

Page 46: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201346

ditiru wong luar negeri.”

Selain berkiblat pada budaya Barat (Westrn culture), derasnya arus globalisasi mendorong keterbukaan budaya, termasuk bentuk penggunaan falsafah hidup wong Jawa sedikit demi sedikit mulai digerus oleh ideologi “Islamis” yang diimpor dari Timur Tengah (Middle East). Pandangan hidup wong Jawa yang dasarnya harmoni, rukun, “ngajeni,” dan “ngregani” tersebut, dewasa ini mendapatkan ujian yang serius, di mana masyarakat lebih cenderung menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan suatu persoalan. Banyaknya kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama (violence in the name of God) yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dewasa ini merupakan wujud nyata dari ideologi “Islamis” yang bersifat eksklusif, fundamentalis, dan rigid-tekstual. Nilai dasar budaya Jawa yang menekankan pada prinsip “sedaya agami sae” kemudian terwujud dalam bentuk paradigma “agama ageing aji” dan piwulang luhur ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Jawa. Globalisasi dengan arus hibridadisasi menjadikan budaya Jawa di bawah himpitan ideologi “Islamis” yang mengusung cara beragama yang keras dan mengabaikan budaya lokal. Budaya Jawa pada konteks ini harus bergulat dengan budaya Barat yang mengusung konsumerisme, hedonisme, dan matrealisme di sisi lain, dan bertarung melawan budaya Timur Tengah yang ditampilkan dengan kekerasan ideologis yang mentasnamakan Islam sebagai counter discourse terhadap budaya Barat yang dinilai atheis.

Secara umum, pergulatan antara Islam dengan budaya Jawa selesai masih dalam proses untuk menemukan sebuah bentuk baru, di mana keduanya bisa saling berinteraksi dan bertukar tanpa harus kehilangan ruh dari masing-masing budaya. Menurut Mohammad Damami, ada tiga format untuk membedah

interaksi Islam-Jawa, yaitu: pertama, agama dinilai dari kepentingan politik yang selanjutnya memunculkan istilah Islam sinkretis. Kedua, ada konflik antara Islam normatif dan Islam kultural yang kemudian memunculkan Islam sintetis; dan ketiga, ada konflik Islam normatif dengan superioritas budaya lokal dan memunculkan Islam komplementatif. Dewasa ini, tampilan Islam dengan wajah sintetis dan kontemplatif ini lebih mendominasi ruang publik dalam konteks beragama masyarakat Jawa, akibatnya, budaya Jawa banyak tersingkirkan dan tercerabut dari akar budayanya sendiri, yang diklaim atas nama “agama.” Pada titik ini, hibridisasi budaya berjalan tidak seimbang, di mana posisi budaya Jawa sebagai ortodoks yang seharusnya menjadi pusat dan budaya “Islamis” sebagai heterodoks, akan tetapi posisi tersebut justru bertolak belakang, yang heterodok melakukan kontrol terhadap ortodoks.

(2). Kesenian Jawa: Di Persimpangan Jalan

Musik merupakan hasil karya seni yang tercipta atas perpaduan intelegensi dan rasa yang dimiliki oleh manusia. Globalisasi budaya membawa dampak pada proses hibridisasi musik lokal dalam bentuk genre musik yang ada di negara lain. Misalnya adalah musik hip hop dengan menggunakan bahasa daerah. Musik hip-hop adalah sebuah gerakan kebudayaan yang mulai tumbuh sekitar tahun 1970-an yang dikembangkan oleh masyarakat Afro-Amerika dan Latin-Amerika.25 Hip Hop merupakan perpaduan yang sangat dinamis antara elemen-elemen yang terdiri dari MCing (rapping), DJing, breakdance, dan Graffiti. Elemen-elemen musik ini dipadukan sedemikian rupa sehingga menghasilkan perpaduan

25 Drissel, David. Hip-Hop Hybridism: Diasporic Youth Constructing Black-Inflected Identities. Paper presented at the annual meeting of the American Sociological Association, New York, New York City. August 10, 2007.

Page 47: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

347

musik yang sempurna dan indah. Ketika musik hip hop ini masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia tidak serta merta menerima aliran musik ini. Hal yang menarik adalah ketika musik hip hop ini kemudian dipadukan dengan unsur-unsur kebudayaan lokal, misalnya dengan menggunakan bahasa Jawa serta memadukannya dengan instrumen-instrumen daerah seperti gamelan, angklung, serta yang lainnya.

Misalnya kelompok Jogja Hiphop Foundation yang menggunakan bahasa Jawa dalam setiap lagu hip hop yang mereka gubah.26 Berbeda dengan pemerintah yang mewajibkan penggunaan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari, grup musik Jogja Hiphop Foundation melestarikan bahasa Jawa itu sendiri lewat semua lagu-lagu mereka, yang jelas beraliran hip hop. Aneh dan tidak lazim memang menggabungkan hip hop dengan bahasa Jawa, akan tetapi musik mereka tetap diminati oleh kaum muda. Begitupun dengan sosok Soimah, seorang sinden dan penyanyi yang menggunakan bahasa Jawa dalam lagu-lagu Jazz maupun juga hip hop.27 Selain musik hip hop, beberapa jenis musik lain misalnya jazz, raege, dan yang lainnya pun mulai menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa yang dipakai dalam syair-syair lagunya, serta mengkombinasikannya dengan instrumen musik atau gamelan Jawa. Hal ini sangat membantu masyarakat untuk tetap mengenal bahasa daerahnya dan tidak melupakannya begitu saja. Selain itu, instrumen-instrumen

26 http://id.wikipedia.org/wiki/Hip-hop, diakses pada 15 Mei 2013.

27 http://magz.hiphopheroes.net/profile/rapper-profile/sundanis.html, diakses pada 15 Mei 2013.

musik daerah tetap bisa dipakai dan diperdengarkan kepada masyarakat. Selain bahasa yang menjadi pembeda, pesan-pesan toto kromo yang disampaikan dalam lagu-lagu tersebut pun sangat kaya dan selalu mencoba menggambarkan keyakinan dan prinsip-prinsip yang ada dalam nilai-nilai lokal masyarakat.28

Selain itu, kesenian tradisional wayang orang Bharata Jakarta, Ngesthi Pandawa di Surakarta, kini tampak sepi seolah tidak ada pengunjungnya. Wayang merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional Jawa yang sarat dan kaya akan pesan-pesan moral, dan merupakan salah satu agen penanaman nilai-nilai moral yang baik. Contoh lainnya, kesenian Ludruk yang sampai pada tahun 1980-an masih berjaya di Jawa Timur sekarang ini tengah mengalami “mati suri.”29 Wayang orang, Tayub, Jaran Kepang, dan ludruk merupakan contoh kecil dari mulai terdepaknya kesenian tradisional akibat globalisasi. Di sisi lain, ada beberapa seni pertunjukan yang tetap eksis tetapi telah mengalami perubahan fungsi. Ada pula kesenian yang mampu beradaptasi dan mentransformasikan diri dengan teknologi komunikasi yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat, misalnya saja kesenian tradisional “kethoprak” yang dipopulerkan ke layarkaca oleh kelompok Srimulat.

Selain ketoprak, masih ada kesenian lain yang tetap bertahan dan mampu beradaptasi dengan teknologi mutakhir yaitu wayang kulit (ringgit purwa). Wayang atau ringgit merupakan media tuntunan (etika) dan tontonan (estetika), yang didalamnya memberikan gambaran tentang perjalanan kehidupan manusia serta makna filosofis—seperti kayon, kelir, gong, suluk,30 dan lainnya.

28 http://sumbaisland.com/tarian-njara-humba-dan-jai-tembus-belanda/, diakses pada 15 Mei 2013.

29 http://jawatimuran.wordpress.com/2013/05/21/masyarakat-pandalungan-pola-hibridisasi-budaya/ diakses pada 15 Mei 2013.

30 Contoh suluk: (1) “Meh rahinasemu bang hyang aruna kadi netra ning ogha rapuh, sabda ni kokila ring kanigara saketer ni kidung ning akung.”

Aneh dan tidak lazim memang menggabungkan hip hop dengan ba-hasa Jawa, akan tetapi musik mere-ka tetap diminati oleh kaum muda.

Page 48: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201348

Beberapa dalang wayang kulit terkenal seperti Ki Manteb Sudarsono, Ki Enthus Susmono, Ki Anom Suroto, dan Ki Bayu Aji, tetap diminati masyarakat, baik itu kaset rekaman pementasannya, maupun pertunjukan secara langsung. Persoalan lainnya, generasi generasi muda Jawa sekarang kebanyakan sudah tidak mengenal lagi dengan semua keseniannya, seperti wayang, kethoprak, ludruk, gendhing Jawa (pupuh)—Dhandanggula, Kinanthi, Pangkur, Maskumambang, Megatruh, Durma, Wirangrong, Pucung, Mijil, Asmaradana, Girisa, atau Sinom terlebih lagi dengan aksara Jawa. Selain itu, masyarakat Jawa juga lebih senang dengan nuansa musik atau berkesenian model Timur Tengah yang ditengarai lebih “Islami” seperti Gambus, dan lagi-lagi budaya Jawa menjadi “korban” dalam hal ini.

(3). Makanan Jawa: Komoditas Langka

Hal lain yang mencerminkan terjadinya proses hibridisasi dalam kebudayaan adalah dalam hal makanan. Hadirnya makanan siap saji atau makanan cepat saji merupakan akibat dari proses globalisasi. Selain sebagai bagian dari globalisasi ekonomi, makanan cepat saji juga mendatangkan akibat semakin terpinggirnya budaya lokal masyarakat Jawa. Makanan siap saji adalah istilah untuk makanan yang dapat disiapkan dan dapat dilayankan dengan cepat.31 Biasanya istilah ini merujuk kepada makanan yang dijual di sebuah restoran atau toko dengan persiapan yang berkualitas rendah dan dilayankan kepada pelanggan dalam

(Wancinipun) meh ndungkap raina, srengenge (langit ing sisih wetan) katingal semu abrit, kados (abritipun) mripat (ingkang ngleresi) sakit, ocehing peksi engkuk ing wit kanigara kados suwanten pangrengiking kidungipun tiyang nandhang brangta. Pindha ungeling sulingipun tiyang Indu, cekikering ayam wana ing pagagan, peksi merak nyengungong undang-undang, kombang (tawon) mangrurah sekar ing kamar pasarean wangi (endah). (2) “Yahni yahning talaga kadi langit, mambang tang pas wulan upama nika, Ooo, wintang tulyang kusuma yasumawur, lumra pwekang sari kadi jalada.”

31 http://www.jackinthebox.com/, diakses pada 15 Mei 2013.

sebuah bentuk paket untuk dibawa pergi. Makanan siap saji (fast food) merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Barat. Karena ingin efisiensi dan efektivitas dalam hal makanan, maka lahirlah pola konsumsi makanan cepat saji.

Di Indonesia, makanan cepat saji mengalami proses hibridisasi. Misalnya, ketika kita ingin membeli satu paket KFC (Kentucky Fried Chicken), maka kita akan mendapatkan satu porsi ayam goreng dengan nasi putih. Di tempat asalnya, jika masyarakat ingin menikmati satu paket KFC, maka mereka hanya mendapatkan satu paket ayam saja. Karena makanan pokok masyarakat Indonesia adalah nasi, maka lahirlah hibridisasi makanan seperti ini. Masyarakat tidak perlu takut mengkonsumsi ayam goreng dengan resep KFC karena makanannya juga termasuk nasi. Masyarakat tidak perlu takut lupa pada makanan pokok dan cita rasa lokal karena semuanya bisa dipadukan dengan baik.32 Selain KFC, McDonald, ada juga Mr. Berger, Steak, Pizza Hut, kebab Arabian, nasi kabuli, dan berbagai makanan ringan (junk food) makanan sampah, telah “membanjiri” di pasar-pasar masyarakat Jawa. Sedangkan makanan Jawa dewasa ini telah menjadi “benda asing” yang keberadaannya semakin langka, misalnya Gethuk, Gronthol, Uwi, Mbili, Ganyong, Pecel, Tumpang, Klepon, Thiwul, Embel-Embel, Gandhos, Cenil, dan lainnya, akan sulit kita menemukan di tengah globalisasi makanan seperti dewasa ini.

Selain beberapa contoh yang sudah disebutkan di atas, hibridisasi juga terjadi dalam kegiatan-kegiatan peringatan keagamaan.33 Misalnya, ketika merayakan Idul Fitri, Natal, maupun acara-acara lainnya masyarakat Jawa selalu menghidangkan “Coca-Cola” sebagai minuman. Hibridisasi yang terjadi dalam

32 http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=2843 diakses pada 15 Mei 2013.

33 http://alhuda.or.id/rub_budaya.htm diakses pada 15 Mei 2013.

Page 49: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

349

peringatan-peringatan keagamaan ini menyebabkan masyarakat tidak perlu takut kehilangan nilai-nilai lokal yang diakui dan dipercaya. Coca-Cola seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan peringatan keagamaan seperti ini. Sedangkan minuman khas Jawa tersendiri “telah tersungkur” dari peredaran, seperti Klegen, Dawet, Wedang Ronde, dan minum lainnya.

(4). Fashion Jawa: Merubah Identitas

Selain pandangan hidup, kesenian, dan makanan masyarakat Jawa, aspek lain dari budaya yang mendapat pengaruh globalisasi budaya adalah pakaian atau fashion. Globalisasi budaya menyebabkan wong Jawa semakin gemar menggunakan pakaian maupun bentuk-bentuk busana Barat dan trend Timur Tengah yang dinilai lebih “Islami”. Seperti Jeans, t-shirt, jaz, dasi, singlet, jubah, hijab, dan lainnya merupakan contoh-contoh macam pakaian dari Barat dan Timur Tengah yang ditampilkan oleh cultural studies dalam kaitannya dengan identitas. Secara sosiologis kultural, masyarakat Jawa memiliki pakaian adatnya sendiri, seperti kain tenun, batik, ulos, beskap, blangkon, dan lain sebagainya.

Hibridisasi budaya akhirnya melahirkan perpaduan yang eksotis dari dua budaya atau lebih yang berbeda. Kombinasi yang sempurna dari batik dan jeans melahirkan perpaduan eksotisme lokal dan Barat. Dengan memadukan batik dan jeans masyarakat tidak perlu takut untuk menggunakan batik yang dianggap kuno dengan jeans yang lebih praktis untuk digunakan. Dengan demikian masyarakat bisa mendapatakan efisiensi dan efektivitas dari masing-masing

produk. Selain itu, dengan memadukan batik dengan jeans masyarakat ikut membantu kegiatan promosi budaya Jawa kepada masyarakat lain. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu takut kehilangan kebudayaan lokalnya dan tidak perlu canggung dengan kehadiran hal-hal baru dari luar. Hadirnya batik yang dipadukan dengan jeans atau bahkan sekarang ada yang sudah menggunakan bahan kain jeans untuk batik,34 merupakan proses hibridisasi budaya lokal dengan hal-hal yang baru dari luar. Dalam perkembangan terakhir, banyak kain batik dengan motif klub-klub sepakbola—seperti Real Madrid, AC Milan, Inter Milan, Barcelona, MU, Chelsea, dan klub elit Eropa lainnya. Efek negatif dari gejala ini adalah berbagai “ageman” tersebut, seperti ulos, beskap, dan pakian tradisional lainnya ada kecenderungan untuk ditinggalkan oleh masyarakat Jawa sendiri, terutama generasi muda.

(5). Pendidikan dan Pewarisan Budaya Jawa: Langkah Konservasi

Dalam teori budaya fungsional yang diungkapkan oleh Malinowski, bahwa budaya merupakan keseluruhan alat dan adat yang sudah merupakan suatu cara hidup yang telah digunakan secara luas, sehingga manusia berada di dalam keadaan yang lebih baik untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya dalam penyesuaiannya dengan alam sekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya.35 Oleh karenanya, budaya difungsikan secara luas oleh manusia sebagai sarana untuk mengatasi: masalah-masalah yang dihadapi sebagai upaya penyesuaiannya dengan alam dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbagai ragam budaya Jawa yang telah “disaliro” (dihayati dan dipraktekkan) oleh masyarakatnya

34 http://www.parasantique.com/index.php?content=berita&id=1, diakses pada 15 Mei 2013.

35 http://www.teoribudaya.org/index.php?option=com_content&task=view&id=887&Itemid=81, diakses pada tanggal 22 Juli 2013.

Sedangkan minuman khas Jawa tersendiri “telah tersungkur” dari peredaran, seperti Klegen, Dawet, Wedang Ronde, dan minum lainnya.

Page 50: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201350

paling tidak harus bisa difungsikan sebagai media untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan hidup. Seperti mengoptimalkan fungsi berbagai budaya Jawa mulai dari cara pandang (worldview), makanan, pakaian, maupun kesenian dikemas dalam bentuk yang baik sehingga

budaya Jawa yang terkesan tradisional terlihat modern. Fungsionalisasi budaya Jawa dengan cara “mengemas” tetapi tidak kehilangan esensi dari budaya itu sendiri menjadi nilai poin dalam melestarikan budaya. Model konservasi seperti ini paling tidak bisa menjaga budaya Jawa tetap adi luhung, genuine, dan akan memastikan budaya Jawa tetap eksis di tengah pergumulan arus globalisasi.

Selain model pengemasan budaya, penjagaan budaya atau pewarisan budaya juga bisa dilakukan paling tidak dengan cara pembudayaan sejak dini agar nilai-nilai yang ingin diinternalisasikan dengan baik oleh setiap individu masyarakat Jawa. Proses pembudayaan dan internalisasi yang cukup efektif digunakan adalah melalui jalur pendidikan, yang kemudian terintegrasikan dalam berbagai bentuk kurikulum dalam pendidikan. Menurut Mohammad Damami, dengan adanya arus informasi dan globalisasi pada aspek kognitif, pendidikan budaya Jawa memang tidak mengecewakan, tetapi dari segi afeksi dan psikomotorik rasa Jawa seperti kepedulian sosial, sopan-santun dan sebagainya sudah semakin memudar.36 Ukuran moralnya dapat tercermin dalam realitas dewasa ini, di mana banyak guru yang tidak dihargai oleh muridnya,

36 Muhammad Damami, Makna Agama, Ibid., hlm. 65.

orang tua mengeluh karena anaknya sering menentang dan durhaka kepada mereka, para pejabat dan aparat tidak bisa lagi dijadikan sebagai suri teladan dan masih banyak lagi lainnya. Kesemuanya itu menggambarkan kemerosotan kebudayaan di Indonesia (Jawa).37

Menurut Soedarsono, lemahnya kebudayaan itu menyebabkan sebagian besar orang Jawa meninggalkan tata cara Jawa yang diwariskan oleh leluhurnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prabu Jayabaya bahwa “cina walanda kari sajodho, wong Jawa kari separo”. Ungkapan ini menurutnya lebih bermakna pada keniscayaan interaksi antara budaya Jawa yang dahulunya dominan terhadap budaya asing, dan kondisi sekarang justru sebaliknya. Keadaan ini menurut Moh. Damami karena lebih banyak disebabkan oleh lemahnya manajemen pengelolaan penggalian budaya Jawa. Wacana di atas mempunyai nilai penting, bagaimana menjelaskan suatu budaya haruslah dipahami dari budaya (atau sistem budaya yang berlaku) itu sendiri. Internaslisasi budaya Jawa melalui pendidikan dapat dilakukan dengan memasukan berbagai hal tersebut ke dalam muatan lokal pada seluruh lembaga pendidikan, mulai dari sekolah dasar (SD) bahkan sampai pada perguruan tinggi (PT). Pada titik ini, lembaga pendidikan harus memberikan porsi yang lebih besar terhadap muatan lokal untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, dan memasukan ke dalam

37 http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=887&Itemid=81, diakses pada tanggal 22 Juli 2013.

Ukuran moralnya dapat tercermin dalam realitas dewasa ini, di mana banyak guru yang tidak dihargai oleh muridnya, orang tua mengeluh karena anaknya sering menentang dan durhaka kepada mereka, para pejabat dan aparat tidak bisa lagi dijadikan sebagai suri teladan

dan masih banyak lagi lainnya.

Page 51: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

351

kurikulum mata pelajaran. Konservasi budaya Jawa melalui pendidikan ini dimaksudkan untuk nguri-uri dan melestarikan budayanya serta diharapkan semua orang Jawa mampu menjiwai setiap nilai yang terkandung dalam budaya adiluhung Jawa tersebut. Hal ini sejalan dengan pandangan I.C Sudjawardi, yang menyatakan bahwa pelestarian budaya luhur dapat dijadikan media sosialisasi dan enkulturalisasi (pembudayaan melalui pendidikan) nilai dan norma budaya masyarakat yang bersangkutan.38

Sedangkan Harun Nasution berpendapat bahwa dalam melakukan pewarisan kebudayaan, paling tidak akan harus mengaitkan dengan dua aspek lainnya, yaitu agama dan pendidikan. Hal ini ini didasarkan pada asumsi pemikiran bahwa landasan kebudayaan terdapat dalam akal manusia, yaitu terkait dengan cara, cara merasa berpikir, berpikir, dan beraksi. Selain itu, kandungan kebudayaan didalamnya mencakup pengetahuan, cara pandang, keyakinan, tata susila, hukum, adat, dan kebiasaan. Dalam pandangan Harun, pendidikan bertujuan bukan hanya mengisi yang anak didik dengan ilmu pengetahuan dan mengembangkan ketrampilannya, akan tetapi juga mengembangkan aspek moral dan agamanya. Konsep pendidikan yang diinginkan oleh Harun bukan hanya pengintegrasian nilai-nilai kebudayaan nasional—termasuk budaya Jawa, akan tetapi juga pengintegrasian ajaran agama dalam pendidikan, maka akan ada budaya yang bernafaskan agama.39 Oleh karena itu, pewarisan budaya Jawa akan lebih efektif jika semua pihak berperan serta, mulai dari tokoh agama, tokoh masyarakat, praktisi pendidikan, terlebih orang tua agar mau menjadikan budaya Jawa sebagai fungsi yang hidup.

38 I.C Sudjarwadi, Seni Macapat Madura: Laporan Penelitian Universitas Negeri Jember, 1980, hlm. 10.

39 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 287.

Sebagaimana yang tertera dalam UU No. 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional, terutama pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah terbentuknya kemampuan dan watak (the muold the character and mind of young generation), maka pendidikan akan mempunyai peran yang sentral dalam pewarisan nilai-nilai budaya. Menurut Harahap, paling tidak pendidikan mempunyai beberapa aspek sebagai kebudayaan, diantaranya (1) pendidikan sebagai bentuk pembinaan tingkah laku, (2) pendidikan adalah pendidikan diri sendiri (self education). (3) Pendidikan seluruhnya diorientasikan kepada aspek kebudayaan dan kepribadian, (4) pendidikan berlangsung seumur hidup, (5) pendidikan merupakan bentuk penyiapan penyesuaian yang intelligent terhadap perubahan sosial, dan (6) pendidikan diarahkan pada cita-cita luhur.40 Aspek-aspek kebudayaan yang ada dalam pendidikan tersebut sekiranya bisa dijadikan bahan bacaan awal untuk melakukan pewarisan budaya Jawa kepada generasi muda, dengan peneguhan kepribadian yang agung sebagai bentuk falsafah hidup wong Jawa sampai berbagai macam bentuk dan sikap yang dapat diaplikasikan seumur hidup. Selain itu, dengan pendidikan akan membantu individu untuk mengembangkan kreativitas, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan sosial yang baik.

Pendidikan dalam sumbangannya untuk pewarisan budaya Jawa paling tidak dapat dibaca dalam beberapa karakter, yaitu lerning to know (mengetahui), learning to do (mengenal jati diri), learning to be, dan learning life together (membentuk sikap hidup dalam kebersamaan yang harmonis).41

40 Hujair Sanaky A. H., Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insani, 2003), hlm. 146.

41 http://ejurnal.uin-alauddin.ac.id/artikel/01%20Peranan%20Pendidikan%20Formal%20-%20Juanda.pdf diakses tanggal 20 Juli 2013

Page 52: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201352

Dengan keempat karakter tersebut, paling tidak pewarisan budaya Jawa akan bisa landing secara masif kepada generasi muda, karena melalui pendidikan, dapat mendorong anak didik dalam mengembangkan dirinya secara psikologis, fisik, sosial, dan potensinya secara maksimal. Dengan cara penanaman nilai-nilai budaya Jawa sejak dini dimaksudkan sebagai bentuk antisipasi agar generasi muda Jawa tidak tercerabut dari akar budayanya yang adi luhung di tengah arus global dewasa ini. Pada titik ini, pendidikan formal berada pada aspek enkulturasi, di mana term ini merujuk pada wacana pembentukan manusia yang dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya, mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan mempertahankan kelangsungan hidup dan budayanya, baik sebagai individu maupun makhluk sosial.

Tujuan dasar pendidikan adalah pembentukan manusia yang berbudaya (enkulturasi), maka pendidikan perlu disinergikan dengan kondisi kehidupan nyata, salah satunya dengan realitas budaya Jawa, mulai cara pandang sampai keseniannya. Dengan demikian, nilai-nilai budaya Jawa yang akan ditanamkan dengan pengetahuan akademis terkait hubungan yang kontinum. Tidak satupun komponen ilmu pengetahuan yang lepas dari nilai dan norma budaya, karena mengetahui sesuatu tidak dapat dipisahkan dengan dari budaya yang memediasi dan menstranform tindakan ke pengetahuan. Pada akhirnya, pendidikan merupakan upaya untuk membangun budaya suatu masyarakat—termasuk budaya dan masyarakat Jawa—sehingga akan tercipta masyarakat yang maju, modern, berbasis pada akar budayanya, dan harmonis. Dengan pendidikan juga terdapat proses enkulturasi yang dipahami sebagai upaya membentuk perilaku dan sikap seseorang yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan, ketrampilan, dan adanya

perubahan sikap tanpa mengabaikan budayanya, dalam hal ini budaya Jawa.

D. Catatan Penutup

Globalisasi membawa dampak yang luas dalam kehidupan budaya Jawa, di mana akan ada banyak perubahan dalam budaya (changing of culture) masyarakat lokal itu sendiri. Ada yang beranggapan kehadiran globalisasi dengan pola hibridisasi tidaklah menghancurkan budaya lokal, akan tetapi di sisi lain melihat sebaliknya, yaitu memperkaya kebudayaan tersebut. Globalisasi memampukan sebuah kebudayaan untuk menguji apakah benar-benar mampu survive di tengah kelahiran dan menjamurnya kebudayaan pop yang begitu luar biasa, diantaranya budaya Jawa yang menjadi “meeting pot” antara budaya Barat (Western) dengan budaya “Islamis” (Midle East) mulai dari pandangan hidup (worldview), kesenian, makanan, dan fashion. Globalisasi budaya sangat ditunjang akan keberadaan teknologi komunikasi dan transportasi, semisal televisi, radio, maupun alat-alat transportasi yang memudahkan perpindahan barang, bentuk-bentuk budaya maupun manusia ke berbagai tempat. Pada akhirnya (ing wusana) pendidikan denga aspek enkulturasi menjadi salah satu alternatif dalam penanaman nilai-nilai dan pewarisan budaya Jawa, baik cara pandang, kesenian, dan kepribadian sebagaimana yang digariskan oleh budaya Jawa. Sebagaimana prinsip wong Jawa “ojo rumongso biso, ananging bisoho ngrumangsani,” demi sempurnanya tulisan ini, kami mengharap masukan dari Dr. H.M Damami, M.Ag dan teman “tunggal guru.”

“ojo rumongso biso, ananging bisoho ngrumangsani,”

Page 53: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

353

Daftar Bacaan

Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Wacana, 2005).

Dhanu Priyo Prabowo, dkk., Pengaruh Islam dalam Karya-Karya Ronggo Warsito, (Yogyakarta: Narasi, 2003).

Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2002).

David Held, dkk., Global Transformation, (Cambridge: Polity Press, 1991).

F. Barth, Ethnic Groups and Boundaries, London: Allen & Unwin, 1969.

http://alhuda.or.id/rub_budaya.htm diakses pada 15 Mei 2013.

http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar-stasiun-radio-di-DIY, diakses pada 15 Mei 2013.

http://id.wikipedia.org/wiki/Hip-hop, diakses pada 15 Mei 2013.

http://jawatimuran.wordpress.com/2013/05/21/masyarakat-pandalungan-pola-hibridisasi-budaya/ diakses pada 15 Mei 2013.

http://magz.hiphopheroes.net/profile/rapper-profile/sundanis.html, diakses pada 15 Mei 2013.

http://organisasi.org/arti-definisi-pengertian-budaya-kerja-dan-tujuan-manfaat-penerapannya-pada-lingkungan-sekitar, diakses pada 12 Mei 2013.

http://sumbaisland.com/tarian-njara-humba-dan-jai-tembus-belanda/, diakses pada 15 Mei 2013.

http://tarucing.wordpress.com/2011/10/02/14-prinsip-pandangan-hidup-orang-jawa/ diakses pada 15 Mei 2013.

http://tunein.com/radio/Indonesia-r100356/, diakses pada 15 Mei 2011.

http://www.asiawaves.net/indonesia-tv.htm, diakses pada 15 Mei 2013.

http://www.jackinthebox.com/, diakses pada 15 Mei 2013.

http://www.parasantique.com/index.php?content=berita&id=1, diakses 15 Mei 2013

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0505/07/khazanah/lainnya04.htm, diakses pada 15 Mei 2013.

http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=2843 diakses pada 15 Mei 2013.

Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1995)

Koenjaraningrat, Manusia dan Kedayaan, (Jakarta:  Djambatan, 2000).

Moh. Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: LESFI, 2002).

M. Waters, Globalization, (London: Routledge, 1995).

Paul Hirst dan G. Thompson, Globalisasi adalah Mitos, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).

R. Robertson, Globalization, (London and Newbury Park, CA: Sage, 1992).

Page 54: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201354

Seiring dengan perkembangan zaman yang terus berubah menuju ke arah kemajuan, dalam era persaingan yang semakin bebas, lembaga pendidikan dituntut untuk dapat memberikan

kualitas pendidikan yang bermutu karena lembaga Pendidikan yang kurang bermutu lama kelamaan akan ditinggalkan oleh masyarakat

dan tersingkir dengan sendirinya. Bentuk dari upaya peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan

menetapkan kebijakan Manajemen berbasis sekolah (School Based Management) yang merupakan salah satu isu yang kuat didorong

ke permukaan dalam konteks implementasi gagasan reformasi pendidikan yang direfleksikan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, sebagai kebijakan afirmatif terhadap UU No. 22 tahun 1999 yang mengotonomisasikan sektor pendidikan

pada daerah. Agar tidak terjadi sistem yang sentralistik di pemerintah daerah, maka pemerintah mendorong otonomi itu diimplementasikan

pada tingkat sekolah, yang melibatkan kepala sekolah , guru ,orang tua siswa, siswa dan masyarakat dalam proses pengambilan berbagai

keputusan untuk meningkatkan mutu pendidikan yang ada di sekolah.

Keywords: Reformasi Pendidikan, School Based Management, Mutu Pendidikan

UPAYA REFORMASI PENDIDIKAN MELALUI

IMPLEMENTASI SCHOOL BASED MANAGEMENT

DALAM

MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

Oleh : Noer Rohmah

Page 55: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

355

Pendahuluan

Lembaga pendidikan atau sekolah itu dikembangkan salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan permintaan berbagai pihak konstituen, yakni pemerin-tah, para ahli pendidikan, orang tua siswa, siswa itu sendiri, serta berbagai anggota masyarakat yang menaruh harapan-hara-pan kepada hasil pendidikan. Dengan de-mikian sangat fair sekali jika mereka yang memiliki harapan-harapan terhadap se-kolah tersebut ikut serta dalam merumus-kan ide-ide dan pemikiran-pemikiran da-lam proses penetapan keputusan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kebi-jakan sekolah untuk meningkatkan mutu serta kualitas hasil pendidikan siswa-siswa di sekolah tersebut. Dan salah satu cara untuk meningkatkan mutu sekolah adalah melalui reformasi pendidikan dengan me-nerapkan manajemen berbasis sekolah.

Reformasi pendidikan diarahkan agar penyelenggaraan pendidikan itu semakin demokratis1 , yakni memper-luas pelibatan masyarakat dalam pros-es pengambilan keputusan-keputusan penting untuk diimplementasikan dalam pengembangan program, sehingga sekolah semakin aspiratif terhadap ide dan gaga-san publiknya, kemudian dukungan mas-yarakat meningkat, dan tanggung jawab mereka terhadap pendidikan juga tinggi, karena mereka dilibatkan secara aktif.

Semakin pendidikan itu didorong ke bawah, dan semakin masyarakat dili-batkan untuk berpartisipasi dalam pen-didikan, maka aliran dana masyarakat untuk sekolah akan semakin lebar, dan akan semakin menguntungkan bagi siswa, karena banyak proses pembelajaran yang dapat dibiayai. Bersamaan dengan itu manajemen sekolah juga akan terkontrol oleh banyak pihak karena setiap donasi menuntut pertanggungjawaban manaje-men, sehingga administrasi keuangannya akan semakin akutabel dan efisien.2

1 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, ( Jakarta : Kencana, 2003 ) h. 273.

2 Ibtisam Abu Duhou, School Based

Pelibatan masyarakat tersebut tidak sebatas dalam penyusunan program, kebi-jakan kurikulum, dan proses pembelajaran lainnya, tapi juga dalam budgetting serta berbagai upaya yang dapat memenuhi kebutuhan anggaran untuk peningkatan kualitas pelayanan pembalajaran bagi para siswa. Pelibatan masyarakat dalam budgetting tersebut bukan dalam konteks pengelolaan serta pengadministrasian, tapi lebih pada upaya-upaya fundrising serta berbagai kebijakan untuk mendor-ong partisipasi masyarakat pada sekolah dalam upaya memperbesar saluran uang masuk ke sekolah, dan sebagai implikasin-ya, mereka punya hak untuk memperoleh pelaporan dari manajemen sekolah terse-but sebagai bukti pertanggungjawaban serta akses kontrol masyarakat terhadap akuntabilitas manajerialnya. Semain akuntabel manajemen sekolah, maka akan semakin tinggi kepercayaan masyarakat. Dan makin tinggi kepercayaan masyarakat pada sekolah maka akan semakin tinggi pula partisipasi mereka terhadap upaya reformasi pendidikan yang ada di sekolah dan hal ini akan semakin bisa mening-katkan mutu sekolah sehingga sekolah ke depan akan tetap mampu menghadapi persaingan bebas yang semakin tajam da-lam dunia global.

Dasar dan Konsep Manajemen Berbasis Sekolah

Semenjak diberlakukannya UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU No 25 tentang perimbangan ke-uangan antara pemerintah pusat dan daer-ah, dan direvisi menjadi UU No 32 dan 33 tahun 2004, maka berkenaan dengan otonomi daerah yang awalnya sentralisasi menjadi desentralisasi dan sekolah diberi kewenangan untuk mengatur dan melak-sanakan pendidikan sesuai dengan visi, misi dan tujuan sekolah tersebut berada dengan mengacu undang-undang yang telah ada.

Disebutkan pula dalam UU Sisdiknas Management, ( Paris : UNESCO, 1999 ) h, 280

Page 56: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201356

tahun 2003 pasal 50 ayat 5 berbunyi “pe-merintah kabupaten/kota mengelola pen-didikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”. Dan juga disebutkan dalam pasal 51 ayat 1 yang berbunyai “pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan menengah, dilaksanakan ber-dasarkan standar pelayanan minimal den-gan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”3

Secara umum, manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan ot-onomi lebih besar kepada sekolah, mem-berikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisi-pasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh mas-yarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta pera-turan perundang-undangan yang berlaku untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Ka-rena itu, essensi MBS=otonomi sekolah + fleksibelitas + partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah.4

Otonomi dapat diartikan sebagai ke-wenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Kemandirian dalam program dan pen-danaan merupakan tolak ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, ke-mandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sus-tainabilitas).

Unsur esensial dalam otonomi se-kolah dengan pola SBM adalah sebagai berikut :

3 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Penerbiat Nuansa Aulia, Bandung, 2005, hal. 44-45

4 Mulyasa E, Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep Strategi dan Implementasi, ( Bandung : remaja Rosda Karya, 2004 ) h. 135

1. Bahwa ciri fundamental dari SBM ada-lah delegasi.

2. Esensi SBM adalah pemindahan tanggung jawab pengambilan keputu-san sekolah dari pemerintah pusat dan daerah pada sekolah itu sendiri.

3. Fondasi SBM adalah distribusi ke-wenangan dalam pengambilan kepu-tusan.

4. Tulang punggung dari SBM adalah pendelegasian otoritas manajemen dari pemerintah pusat dan daerah pada se-kolah.

5. Inti dari SBM adalah pengembangan tanggung jawab pengambilan keputu-san terhadap stekeholder sekolah dan dilakukan di sekolah. 5

Kelima kutipan diatas menyampai-kan sebuah gagasan yang sama, bahwa SBM itu adalah pendelegasian kewenan-gan pengambilan keputusan dari pemer-intah kepada sekolah. Dalam konteks ini, kewenangan sekolah tidak sebatas peng-aturan alokasi waktu, serta implementasi kurikulum dan strategi, tapi diperluas meliputi 6:1. Pengetahuan; yakni pendelegasian ke-

wenangan pada sekolah untuk memu-tuskan susunan kurikulum, termasuk rumusan kompetensi siswa dari setiap mata pelajaran, serta kompetensi mere-ka setelah lulus dari sekolah tersebut.

2. Teknologi ; yakni pendelegasian ke-wenangan kepada sekolah untuk memutuskan alat-alat yang diperlukan untuk proses pembelajaran siswa.

3. Kekuasaan ; yakni pendelegasian ke-wenangan kepada sekolah untuk mene-tapkan berbagai keputusan.

4. Material ; yakni pendelegasian ke-wenangan pada sekolah untuk memu-tuskan penggunaan berbagai fasilitas, serta alat-alat pembelajaran.

5. Orang ; yakni pendelegasian kewenan-gan pada sekolah untuk memutuskan tentang komposisi SDM, serta proses

5 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, ( Jakarta : Kencana, 2003 ) h. 275

6 Ibtisam Abu Duhou, School Based Management, ( Paris : Unesco, 1999 ) h, 30-31

Page 57: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

357

peningkatan kompetensi mereka baik dalam penguasaan bahan ajar, strategi pembelajaran, teknik evaluasi maupun berbagai keterampilan keguruan lain-nya.

6. Waktu ; pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan peng-aturan alokasi waktu.

Jadi otonomi sekolah adalah ke-wenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan per-aturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja ke-mandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemam-puan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memo-bilitasi sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemam-puan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoa-lan-persoalan sekolah, kemampuan adap-tif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan me-menuhi kebutuhan sendiri.

Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, meman-faatkan dan memberdayakan sumber daya sekolah seoptimal mungkin untuk men-ingkatkan mutu sekolah. Dengan keluwe-san-keluwesan yang lebih besar diberikan kepada sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, meman-faatkan dan memberdayakan sumber-dayanya. Dengan cara ini, sekolah akan

lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dih-adapi.

Peningkatan partisipasi yang dimak-sud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa dan karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh mas-

yarakat, ilmuwan, usahawan, dsb) didor-ong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah.

Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuan-gan. Kerja sama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriyah kebersamaan/kolektif untuk meningkat-kan mutu sekolah. Kerja sama sekolah yang baik ditunjukkan oleh hubungan antar warga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan masyarakat erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan hasil kolektif teamwork yang kuat dan cerdas.

Akuntabilitas sekolah adalah per-tanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat dan pemerin-tah melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Sedang demokrasi pendidikan adalah kebebasan

... jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah.

Page 58: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201358

yang terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbe-daan, hak asasi manusia serta kewajibann-ya dalam rangka untuk mutu pendidikan.

Dengan pengertian di atas, maka sekolah memiliki kewenangan (kemandi-rian) lebih besar dalam mengelola se-kolahnya (menetapkan sasaran peningka-tan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksa-naan peningkatan mutu), dan memiliki fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah. Dengan kepemilikan ini, maka sekolah akan menjadi pusat perubahan (reformasi) dan pembaharuan masyarakat sedang unit-unit di atasnya (Dinas Pen-didikan Kabupaten/Kota, Dinas pendidi-kan Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit penduku-ng dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.

Sekolah yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:1) Tingkat kemandirian tinggi/tingkat

ketergantungan rendah.2) Bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif

sekaligus; memiliki jiwa kewirausa-haan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dan sebagainya)

3) Bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah.

4) Memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya.

5) Memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja.

6) Komitmen yang tinggi pada dirinya, dan

7) Prestasi merupakan acuan bagi penila-iannya.7

7 Murphy, Joseph and Lynn G.Beck, School Based

Prinsip-Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah

Prinsip-prinsip yang perlu diperha-tikan dalam melaksanakan manajemen berbasis sekolah adalah 8:a. Komitmen, kepala sekolah dan warga

sekolah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya menyelenggara-kan semua warga sekolah.

b. Kesiapan, semua warga sekolah harus siap fisik dan mental.

c. Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak dalam men-didik anak.

d. Kelembagaan, sekolah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang efektif.

e. Keputusan, segala keputusan sekolah dibuat oleh pihak yang benar-benar mengerti tentang pendidikan.

f. Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan keputusan program pen-didikan dan kurikulum.

g. Kemandirian, sekolah harus diberi ot-onom sehingga memiliki kemandirian dalam membuat keputusan pengaloka-sian dana.

h. Ketahanan, perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stake-holders, sekolah.

Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS )

MBS bertujuan untuk mendirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Lebih rincinya, MBS bertujuan untuk:

a. Meningkatkan mutu pendidikan mel-alui peningkatan kemandirian, fleksi-bilitas, partisipasi, keterbukaan, ker-

Management as School Reform, ( California: 1995 ) h. 1328 Made Pidarta, Manajemen Pendidikan

Indonesia, ( Jakarta : Rineka Cipta) h. 127

Dengan kepemilikan ini, maka sekolah akan menjadi pusat perubahan

(reformasi) dan pembaharuan masyarakat sedang unit-unit di atasnya ...

Page 59: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

359

jasama, akuntabilitas, substansibilitas, dan inisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdaya tersedia;

b. Meningkatkan kepedulian war-ga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;

c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan

d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.9

Karakter Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Dalam menguraikan karakteristik MBS, pendekatan sistem yaitu input-pros-es-output digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa se-kolah merupakan sebuah sistem, sehingga penguraian karakteristik MBS (yang juga karakteristik sekolah efektif) berdasarkan pada input, proses, dan output. Selanjutn-ya, uraian berikut dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat output memi-liki tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output, dan input memiliki tingkat kepentingan dua tingkat lebih rendah dari output.

1. Output yang diharapkanOutput sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di sekolah. Pada umumn-ya, output dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi akade-mik (academic achievement) dan output berupa prestasi non-akademik (non-ac-ademic achievement).10 Output prestasi akademik misalnya, NEM, lomba karya ilmiah remaja, lomba (Bahasa Inggris,

9 Mulyasa E, Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep Strategi dan Implementasi, ( Bandung : remaja Rosda Karya, 2004 ) h. 155

10 Kennedy, Carol, Managing With The Gurus , Mengelola Bersama para Guru ( Jakarta : PT.Elex Media Komputindo, 1999 ) h. 88

Matematika, Fisika), cara-cara berfikir (kritis, kreatif/divergen, nalar, rasioanal, induktif, deduktif, dan ilmiah). Output non-akademik, misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran, kerja sama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi, kedisiplinan, kerajinan, prestasi olah raga, kesenian, dan kepramu-kaan.

2. ProsesSekolah yang efektif pada umumnya memilikin sejumlah karakteristik proses sebagai berikut 11

a. Proses belajar mengajar yang efektivi-tasnya tinggiIni ditunjukkan oleh sifat PBM yang menekankan pada pemberdayaan pe-serta didik. PBM bukan hanya sekedar memorisasi dan recall, bukan sekedar penekanan pada penguasaan pengeta-huan tentang apa yang diajarkan (log-os), akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tantang apa yang diajar-kan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati (ethos) serta dipraktekkan dalam ke-hidupan sehari-hari oleh peserta didik (pathos). PBM yang efektif juga lebih menekankan pada belajar mengeta-hui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).12

b. Kepemimpinan kepala sekolah yang kuatPada sekolah yang menerapkan MBS, kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumberdaya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala se-kolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan,

11 Edward Sallis, Total Quality Management In Education, ( Jogjakarta: IRCiSod, 2008 ) h. 165- 167

12 Ahmad Tafsir, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam ( Bandung: Mimbar Pustaka, 2004 ) h. 103

Page 60: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201360

dan sasaran sekolahnya melalui pro-gram-program yang dilaksanakan se-cara terencana dan bertahap.

c. Lingkungan sekolah yang aman dan tertibSekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning).

d. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektifTenaga kependidikan, terutama guru, merupakan jiwa dari sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah, sekolah yang menerapkan MBS menyadari tentang hal ini. Oleh karena itu, pen-gelolaan tenaga kependidikan, mulai dari analisi kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubu-ngan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan penting bagi seorang kepala sekolah.

e. Sekolah memiliki budaya mutuBudaya mutu tertanam di sanubari semua warga sekolah, sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh profe-sionalisme. Budaya mutu memiliki elemen-elemen sebagai berikut: (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk menga-dili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (rewards) atau sanksi (punishment); (d) kolabora-si dan energi, bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk kerjasama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai peker-jaannya; dan (h) warga sekoah merasa memiliki sekolah.13

f. Sekolah memiliki “Teamwork” yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis

13 Arcaro Jerome S, Pendidikan Berbasis Mutu, Prinsip-Prinsip dan Tata Langkah Penerapannya,( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005 0 h. 221

Kebersamaan (teamwork) merupakan karakteristik yang dituntut oleh MBS, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Karena itu, budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah, har-us merupakan kebiasaan hidup se-hari-hari warga sekolah.

g. Sekolah memiliki kewenangan (ke-mandirian)Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan yang terbaik bagi sekolah-nya, sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi mandiri, sekolah harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tu-gasnya.

h. Partisipasi yang tinggi dari warga se-kolah dan masyarakatHal ini dilandasi oleh keykinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, mak-in besar rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula ting-kat dedikasinya.

i. Sekolah memiliki keterbukaan (trans-paransi) manajemenKeterbukaan/transparansi ini ditun-jukkan dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.

j. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah (psikologis dan fisik)Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua war-ga sekolah. Tentu saja yang dimaksud perubahan adalah peningkatan, baik bersifat fisik maupun psikologis. Art-inya, setiap yang dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) teruta-

Page 61: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

361

ma mutu peserta didik.k. Sekolah melakukan evaluasi dan per-

baikan secara berkelanjutanEvaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk mem-perbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah. Oleh kare-na itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus menerus.

l. Sekolah responsif dan antisipatif terh-adap kebutuhanSekolah selalu tanggap/responsif ter-hadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, se-kolah selalu membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, sekolah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/tuntutan, akan tetapi juga mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi.

m. Memiliki komunikasi yang baikSekolah yang efektif umumnya memiliki komunikasi yang baik, ter-utama antar warga sekolah, dan juga sekolah-masyarakat, sehingga ke-giatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing warga sekolah dapat diketahui.

n. Sekolah memiliki akuntabilitasAkuntabilitas adalah bentuk per-tanggungjawaban yang harus dilaku-kan sekolah terhadap keberhasilan pro-gram yang telah dilaksanakan. Akunt-abilitas ini berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah, orang tua siswa, dan mas-yarakat. Berdasarkan laporan hasil program ini, pemerintah dapat menilai apakah program MBS telah mencapai

tujuan yang dikehendaki atau tidak. o. Sekolah mampu menjaga sustainabili-

tas( kelangsungan hidup )Sustainibilatas program dapat dilihat dari keberlanjutan program-program yang telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi pro-gram-program baru yang belum per-nah ada sebelumnya. Sustainibilkitas pendanaan dapat ditunjukkan oleh kemampuan sekolah dalam memper-tahankan besarnya dana yang dimiliki dan bahkan makin besar jumlahnya.

3. Input pendidikan

a. Memiliki kebijakan, tujuan, dan sasa-ran mutu yang jelasKebijakan, tujuan, dan sasaran mutu tersebut dinyatakan oleh kepala se-kolah. Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu tersebut disosialisasikan kepada semua warga sekolah, sehingga tertan-am pemikiran, tindakan, kebiasaan, hingga sampai pada kepemilikan kar-akter mutu oleh warga sekolah.

b. Sumberdaya tersedia dan siapSumberdaya merupakan input penting yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa sumberdaya yang memadai, proses pendidikan di sekolah tidak akan ber-langsung secara memadai, dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak akan tercapai. Sumberdaya dapat dikelom-pokkan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (uang, peralatan, perlengkapan, bahan, dan sebagainya) dengan penegasan bahwa sumberdaya selebihnya tidak mempunyai arti apapun bagi perwu-judan sasaran sekolah, tanpa campur tangan sumberdaya manusia.14

c. Staff yang kompeten dan berdedikasi tinggiBagi sekolah yang ingin efektivitasnya tinggi, maka kepemilikan staff yang

14 Nanang Fattah, landasan Manajemen Pendidikan, ( Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2004 ) h.88

Page 62: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201362

kompeten dan berdedikasi tinggi mer-upakan keharusan.

d. Memiliki harapan prestasi yang tinggiKepala sekolah dan guru memiliki komitmen dan motivasi yang kuat un-tuk meningkatkan mutu sekolah secara optimal. Sedang peserta didik mempu-nyai motivasi untuk selalu meningkat-kan prestasi sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Harapan tinggi dari ketiga unsur sekolah ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sekolah selalu dinamis untuk selalu menjadi lebih baik dari keadaan sebel-umnya.

e. Fokus pada pelanggan (khususnya sis-wa)Pelanggan, terutama siswa, harus mer-upakan fokus dari semua kegiatan se-kolah. Artinya, semua input dan proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik.

f. Input manajemenKelengkapan dan kejelasan input manajemen akan membantu kepala se-kolah mengelola dengan efektif. Input manajemen yang dimaksud meliputi: tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang men-dukung bagi pelaksanaan rencana, ketentuan-ketentuan Input manajemen yang dimaksud meliputi: tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistem-atis, program yang mendukung bagi pelaksanaan rencana, ketentuan-keten-tuan (aturan main) yang jelas sebagai panutan bagi warga sekolahnya untuk bertindak, dan adanya sistem pengen-dalian mutu yang efektif dan efisien untuk meyakinkan agar sasaran yang telah disepakati dapat dicapai.

Implementasi Manajemen Berbasis Se-kolah (MBS)

Pada dasarnya essensi konsep MBS adalah peningkatan otonomi sekolah plus

pengambilan keputusan secara partisipatif. Konsep ini membawa konsekuensi bah-wa pelaksanaan MBS sudah sepantasnya menerapkan pendekatan “idiograpik” (membolehkan adanya keberbagian cara melaksanakan MBS) dan bukan lagi menggunakan pendekatan “nomotetik” (cara melaksanakan MBS yang cenderung seragam/konformitas untuk semua se-kolah)15. Oleh karena itu, dalam arti yang sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksa-naan MBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah. Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan bahwa mengubah pen-dekatan manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menjadi manajemen ber-basis sekolah bukanlah merupakan proses sekali jadi dan bagus hasilnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus me-nerus dan melibatkan semua pihak yang bertanggung jawab dalam penyelengga-raan pendidikan.

Adapun tahapan-tahapan dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah ini adalah sebagai berikut :

1. Melakukan sosialisasiSekolah merupakan sistem yang

terdiri dari unsur-unsur dan karenanya hasil kegiatan pendidikan di sekolah merupakan hasil kolektif dari semua unsur sekolah. Dengan cara berfikir seperti ini, maka semua unsur sekolah harus memahami konsep MBS “apa”, “mengapa”, dan “bagaimana” MBS diselenggarakan. Oleh karena itu, lang-kah pertama yang harus dilakukan oleh sekolah adalah mensosialisasikan kon-

15 Jerome Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, Prinsip-Prinsip dan Tata Langkah Penerapannya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005 ), h. 142

... dalam arti yang sebenarnya,

tidak ada satu resep pelaksanaan MBS yang sama

untuk diberlakukan ke semua sekolah.

Page 63: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

363

sep MBS kepada setiap unsur sekolah (guru, siswa, wakil kepala sekolah, kar-yawan, orang tua siswa, dsb) melalui berbagai mekanisme, misalnya diskusi, rapat kerja, workshop dan sebagainya.

2. Merumuskan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah (tujuan stuasional se-kolah)a. Visi

Visi adalah gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah, agar sekolah yang bersangkutan dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya.16 Dengan kata lain, visi sekolah harus tetap dalam koridor kebijakan pendidikan na-sional tetapi sesuai dengan kebutu-han anak dan masyarakat.

b. MisiMisi adalah tindakan untuk mewu-judkan/merealisasikan visi terse-but.17 Karena visi harus mengako-modasi semua kelompok kepentin-gan yang terkait dengan sekolah, maka misi dapat juga diartikan sebagai tindakan untuk memenuhi kepentingan masing-masing kelom-pok yang terkait dengan sekolah. Dalam merumuskan misi, harus mempertimbangkan tugas pokok sekolah dalam kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan se-kolah. Dengan kata lain, misi ada-lah bentuk layanan untuk memenu-hi tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya.

c. TujuanTujuan merupakan “apa” yang akan dicapai/dihasilkan oleh sekolah yang bersangkutan dan “kapan” tujuan akan dicapai.18 Jika visi dan misi terkait dengan jangka waktu yang panjang, maka tujuan dikait-kan dengan jangka waktu 3-5 ta-

16 Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, ( Bandung : PT.Remaja Rosda Karya, 2005 ) h. 146

17 Ibid. h. 14818 Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (

Bandung : CV. Pustaka Setia, 1998 ) h. 31

hun. Dengan demikian tujuan pada dasarnya merupakan tahapan wu-jud sekolah yang menuju visi yang telah dicanangkan.

3. Mengidentifikasi tantangan nyata se-kolah

Pada umumnya, tantangan se-kolah bersumber dari output sekolah yang dapat dikategorikan menjadi em-pat, yaitu kualitas, produktivitas, efektif-itas, dan efisiensi.19

Kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa, yang menunjukkan kemamp-uannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan, kualitas yang dimaksud adalah kualitas output sekolah yang bersifat akademik dan non-akademik. Produktivitas adalah perbandingan antara output sekolah dibanding input sekolah. Baik output maupun input sekolah adalah dalam bentuk kuantitas. Efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauh mana tujuan (kualitas, kuantitas, dan waktu) telah dicapai. Dalam bentuk persa-maan, efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi hasil yang diharapkan. Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal.20 Efisiensi internal menunjuk kepada hubungan antara output se-kolah (pencapaian prestasi belajar) dan input (sumberdaya) yang digunakan untuk memproses/menghasilkan out-put sekolah. Efisiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan ke-untungan kumulatif (individual, sosial, ekonomik, dan non-ekonomik) yang didapat setelah pada kurun waktu yang panjang diluar sekolah.

4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang 19 Nur Kholis, Kiat Sukses Jadi Praktisi Pendidikan,(

Sleman : Palem, 2004 ) h. 12420 Joseph Murphy, Restructuring America’s

School, an Overview, dalam Chester E.Fin Jr. And Theodor Reberber, Education Reform The ‘90, ( New York : McMillan Publishing Company, 1992 ) h. 221

Page 64: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201364

diperlukan untuk mencapai sasaranFungsi-fungsi yang dimaksud,

misalnya fungsi proses belajar men-gajar beserta fungsi-fungsi penduku-ngnya yaitu fungsi pengembangan kurikulum, fungsi perencanaan dan evaluasi, fungsi ketenagaan, fungsi ke-uangan, fungsi pelayanan kesiswaan, fungsi pengembangan iklim akademik sekolah, fungsi hubungan sekolah-mas-yarakat, dan fungsi pengembangan fasilitas.

5. Melakukan analisa SWOT ( Strength, Weakness,Opportunity,and Threat )

Analisis SWOT dilakukan den-gan maksud untuk mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetap-kan.21 Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesia-pan masing-masing faktor yang terli-bat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluru-han faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal.

Tingkat kesiapan harus mema-dai, artinya, minimal memenuhi uku-ran/kriteria kesediaan yang diperlukan untuk mencapai sasaran, yang dinyata-kan sebagai: kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal; peluang, bagi faktor yang tergolong eksternal. Sedang ting-kat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran kesia-pan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor yang tergolong internal; dan ancaman, bagi faktor yang tergolong eksternal. Baik kelemahan maupun ancaman, sebagai faktor yang memili-ki tingkat kesiapan kurang memadai, disebut persoalan.

6. Alternatif langkah pemecahan masalahDari hasil analisis SWOT, maka

langkah berikutnya adalah memilih

21 Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2006 ), h. 133

langkah-langkah pemecahan persoa-lan (peniadaan), yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka sasaran yang ditetapkan tidak akan tercapai.

7. Menyusun rencana dan program pen-ingkatan mutu

Rencana yang dibuat harus menjelaskan secara detail dan lugas tentang: aspek-aspek mutu yang ingin dicapai, kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan, siapa yang harus melaksan-akan, kapan dan dimana dilaksanakan, dan berapa biaya yang diperlukan un-tuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini diperlukan untuk memudahkan sekolah dalam menjelas-kan dan memperoleh dukungan dari pemerintah maupun dari orang tua siswa, baik dukungan pemikiran, mor-al, material maupun finansial untuk melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan tersebut. Rencana yang dimaksud harus juga memuat rencana anggaran biaya (rencana biaya) yang diperlukan untuk merealisasikan rencana sekolah.

Hal pokok yang perlu diperha-tikan oleh sekolah dalam penyusunan rencana adalah keterbukaan kepada semua pihak yang menjadi stakeholder pendidikan, khususnya orang tua siswa dan masyarakat (BP3/komite sekolah) pada umumnya. Dengan cara demikian akan diperoleh kejelasan, berapa ke-mampuan sekolah dan pemerintah un-tuk menanggung biaya rencana ini, dan berapa sisanya yang harus ditanggung oleh orang tua peserta didik dan mas-yarakat sekitar.

8. Melaksanakan rencana peningkatan mutu

Dalam melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan yang telah disetujui bersama antara orang

Page 65: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

365

tua siswa, guru dan masyarakat, maka sekolah perlu mengambil langkah proaktif untuk mewujudkan sasa-ran-sasaran yang telah ditetapkan. Ke-pala sekolah dan guru bebas mengam-bil inisiatif dan kreatif dalam menjalan-kan program-program yang diproyek-sikan dapat mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Karena itu, sekolah harus dapat membebaskan diri dari keterikatan-keterikatan birokratis yang biasanya banyak menghambat penyelenggaraan pendidikan.

Dalam melaksanakan proses pembelajaran, sekolah hendaknya me-nerapkan konsep belajar tuntas (mas-tery learning). Konsep ini menekankan pentingnya siswa menguasai materi pelajaran secara utuh dan bertahap sebelum melanjutkan ke pembelajaran topik-topik yang lain. Dengan demiki-an siswa dapat menguasai suatu materi pelajaran secara tuntas sebagai pras-yarat dan dasar yang kuat untuk mem-pelajari tahapan pelajaran berikutnya yang lebih luas dan mendalam.

Untuk menghindari berbagai penyimpangan, kepala sekolah perlu melakukan supervisi dan monitoring terhadap kegiatan-kegiatan peningka-tan mutu yang dilakukan di sekolah, dengan cara memberikan arahan, bimbingan, dukungan, dan teguran kepada guru dan tenaga lainnya jika ada kegiatan yang tidak sesuai dengan jalur-jalur yang telah ditetapkan den-gan cara tidak membuat guru dan staf lainnya merasa terkekang.

9. Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan

Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program, sekolah perlu mengadakan evaluasi pelaksanaan program, baik jangka pendek mau-pun jangka panjang.22 Evaluasi jangka pendek dilakukan setiap akhir perten-

22 Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999 ), h. 124

gahan semester untuk mengetahui keberhasilan program secara bertahap. Bilamana pada pertengahan semester dinilai adanya faktor-faktor yang tidak mendukung, maka sekolah harus dapat memperbaiki pelaksanaan program peningkatan mutu pada semester beri-kutnya. Evaluasi jangka menengah dilakukan pada setiap akhir tahun, untuk mengetahui seberapa jauh pro-gram peningkatan mutu telah menca-pai sasaran-sasaran mutu yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan eval-uasi ini akan diketahui kekuatan dan kelemahan program untuk diperbaiki pada tahun-tahun berikutnya.

Hasil evaluasi pelaksanaan MBS perlu dibuat laporan yang terdiri dari laporan teknis dan keuangan. Laporan teknis menyangkut program pelaksa-naan dan hasil MBS, sedang laporan keuangan meliputi penggunaan serta pertanggungjawabannya. Jika sekolah melakukan upaya-upaya penambahan pendapatan (income generating ac-tivities), maka pendapatan tambahan tersebut harus juga dilaporkan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban (akunt-abilitas), maka laporan harus dikirim kepada pengawas, Dinas Pendidikan Kabupaten, komiet sekolah, orang tua siswa.

10. Merumuskan sasaran mutu baru Hasil evaluasi berguna untuk

dijadikan alat bagi perbaikan kinerja program yang akan datang. Namun yang tidak kalah pentingnya, hasil eval-uasi merupakan masukan bagi sekolah dan orang tua peserta didik untuk merumuskan sasaran mutu baru untuk tahun yang akan datang. Jika dianggap berhasil, sasaran mutu dapat ditingkat-kan sesuai dengan kemampuan sum-berdaya yang tersedia. Jika tidak, bisa saja sasaran mutu tetap seperti sediaka-la, namun dilakukan perbaikan strategi dan mekanisme pelaksanaan kegiatan. Namun tidak tertutup kemungkinan, bahwa sasaran mutu diturunkan, kare-

Page 66: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201366

na dianggap terlalu berat atau tidak se-padan dengan sumberdaya pendidikan yang ada (tenaga, sarana dan prasara-na, dana) yang tersedia.

Setelah sasaran baru ditetapkan, kemudian dilakukan analisis SWOT untuk mengetahui tingkat kesiapan masing-masing fungsi dalam sekolah, sehingga dapat diketahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Dengan informasi ini, maka lang-kah-langkah pemecahan persoalan segera dipilih untuk mengatasi fak-tor-faktor yang mengandung persoa-lan. Setelah ini, rencana peningkatan mutu baru dapat dibuat.

Peningkatan Mutu PendidikanSecara umum, mutu adalah gambaran

dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemamp-uannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat.23 Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses dan output pendidikan.

Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Input sumberdaya meliputi sum-berdaya manusia ( kepala sekolah, guru termasuk guru BP, karyawan, siswa ) dan sumberdaya selebihnya ( peralatan, per-lengkapan, uang, bahan, dan sebagainya ). Input perangkat lunak seperti struktur

23 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum bahasa Indonesia, ( Jakarta: PN Balai Pustaka, 1983 ), h. 25

organisasi sekolah, peraturan perun-dang-undangan, deskripsi tugas, rencana, program, dan sebagainya. Input hara-pan-harapan berupa visi, misi, tujuan dan sasaran –sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, tinggi rendah nya mutu input dapat diukur dari tingkat kes-iapan input. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input terse-but.

Proses Pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Dalam pendidikan berskala mikro ( tingkat sekolah ), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar men-gajar, dan proses monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar men-gajar memiliki tingkat kepentingan tert-inggi dibandingkan dengan proses-proses lainnya.

Proses dikatakan bermutu tinggi apabi-la pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input sekolah ( guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan, dans ebagain-ya ) dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan ( Enjoyable Leaning ), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu member-dayakan peserta didik. Kata memberdaya-kan mengandung arti bahwa peserta didik tidak sekedar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, akan tetapi pengetahuan mereka tersebut juga telah menjadi muatan nurani peserta didik, dihayati, diamalkan dalam kehidupan se-hari-hari, dan yang lebih penting lagi pe-serta didik tersebut mampu belajar secara terus menerus ( mampu mengembangkan dirinya ).

Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari pros-es/ perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya,

Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang

dihasilkan dari proses/ perilaku sekolah.

Page 67: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

367

produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu output sekolah, dapat dijelaskan bahwa output sekolah dikatakan berkual-itas/ bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khususnya prestasi belajar siswa menun-jukkan pencapaian yang tinggi dalam : (1) prestasi akademik, berupa nilai ulan-gan umum, UAN, karya ilmiah, lomba akademik; dan (2) prestasi non akademik, seperti misalnya IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olahraga, kesenian, keteram-pilan kejuruan, dan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan ( proses ) seperti misalnya perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.

Prinsip-Prinsip Mutu Pendidikan1. Fokus pada pelanggan (peserta didik)

Siswa merupakan obyek yang utama dan pertama dalam proses pen-didikan, yang ini lebih dititikberatkan pada proses pendidikan dari pada hasil pendidikan, karenanya fokus pada siswa dalam proses belajar mengajar ini merupakan hal yang sangat urgen dalam mencapai mutu. Pelanggan disini juga tertuju pada pelanggan ek-sternal yakni orang tua, pemerintah, institusi lembaga swasta (LSM), dan lembaga-lembaga lain yang menduku-ng terwujudnya mutu pendidikan yang unggul.

2. Perbaikan prosesPerhatian secara terus menerus

bagi setiap langkah dalam proses kerja sangat penting untuk mengurangi ker-agaman dari output dan memperbaiki keandalan. Tujuan pertama perbaikan secara terus menerus ialah proses yang handal, sedangkan tujuan perbaikan proses ialah merancang kembali proses tersebut untuk output yang lebih dapat memenuhi kebutuhan pelanggan, agar pelanggan puas.

3. Keterlibatan totalPendekatan ini dimulai den-

gan kepemimpinan manajemen senior yang aktif dan mencakup usaha yang memanfaatkan bakat semua karyawan dalam suatu organisasi untuk mencapai suatu keunggulan kompetitif (competi-tive advantage) di pasar yang dimasuki. Guru dan karyawan pada semua ting-katan diberi wewenang/kuasa untuk memperbaiki output melalui kerja sama dalam struktur kerja baru yang luwes (fleksibel) untuk memecahkan persoalan, memperbaiki proses dan memuaskan pelanggan. Pemasok juga dilibatkan dan dari waktu ke waktu menjadi mitra melalui kerja sama den-gan para karyawan yang telah diberi wewenang/kuasa yang dapat mengun-tungkan.

Ciri-Ciri Mutu PendidikanEra globalisasi merupakan era

persaingan mutu. Oleh karena itu lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar sam-pai tingkat tinggi harus memperhatikan mutu pendidikan. Lembaga pendidikan berperan dalam kegiatan jasa pendidikan maupun pengembangan sumber daya ma-nusia harus memiliki keunggulan-keung-gulan yang diprioritaskan dalam lembaga pendidikan tersebut.

Transformasi menuju sekolah bermutu diawali dengan mengadopsi ded-ikasi bersama terhadap mutu oleh dewan sekolah, administrator, staff, siswa, guru, dan komunitas. Proses diawali dengan mengembangkan visi dan misi mutu un-tuk wilayah dan setiap sekolah serta de-partemen dalam wilayah tersebut.

Visi mutu difokuskan pada lima hal, yaitu:

a. Pemenuhan kebutuhan konsumenDalam sebuah sekolah yang bermutu, setiap orang menjadi customer dan sebagai pemasok sekaligus. Secara khusus customer sekolah adalah sis-wa dan keluarganya, merekalah yang

Page 68: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201368

akan memetik manfaat dari hasil proses sebuah lembaga pendidikan (sekolah). Sedangkan dalam kajian umum customer sekolah itu ada dua, yaitu customer internal meliputi orang tua, siswa, guru, administrator, staff dan dewan sekolah yang berada dalam sistem pendidikan. Dan customer ek-sternal yaitu masyarakat, perusahaan, keluarga, militer, dan perguruan tinggi yang berada di luar organisasi namun memanfaatkan output dari proses pen-didikan.

b. Keterlibatan total komunitas dalam programSetiap orang juga harus terlibat dan berpartisipasi dalam rangka menuju kearah transformasi mutu. Mutu bukan hanya tanggung jawab dewan sekolah atau pengawas, akan tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak.

c. Pengukuran nilai tambah pendidikanPengukuran ini justru yang seringkali gagal dilakukan di sekolah. Secara tra-disional ukuran mutu atas sekolah ada-lah prestasi siswa, dan ukuran dasarnya adalah ujian. Bilamana hasil ujian ber-tambah baik, maka mutu pendidikan pun membaik.

d. Memandang pendidikan sebagai suatu sistemPendidikan mesti dipandang sebagai suatu sistem, ini merupakan konsep yang amat sulit dipahami oleh para profesional pendidikan. Hanya den-gan memandang pendidikan sebagai sebuah sistem maka para professor pendidikan dapat mengeliminasi pem-borosan dari pendidikan dan dapat memperbaiki mutu setiap proses pen-didikan.

e. Perbaikan berkelanjutan dengan selalu berupaya keras membuat output pen-didikan menjadi lebih baik.Mutu adalah segala sesuatu yang dapat diperbaiki. Menurut filosofi manaje-men lama “kalau belum rusak jangan

diperbaiki”. Mutu didasarkan pada konsep bahwa setiap proses dapat diperbaiki dan tidak ada proses yang sempurna. Menurut filosofi mana-jemen yang baru “bila tidak rusak perbaikilah, karena bila tidak dilaku-kan anda maka orang lain yang akan melakukan”. Inilah konsep perbaikan berkelanjutan.24

Kesimpulan

Pendidikan merupakan kunci kemajuan , semakin baik kualitas pen-didikan yang diselenggarakan oleh suatu masyarakat/ bangsa, maka kualitas mas-yarakat/ bangsa tersebut akan semakin baik pula. Oleh karena itu salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pendidi-kan adalah melalui reformasi pendidikan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah ( School Based Management ) yaitu model manajemen yang memberikan oto-nomi lebih besar dan fleksibilitas/ keluwe-san-keluwesan kepada sekolah serta men-dorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkat-kan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan pe-rundang-undangan yang berlaku.

Adapun tahapan-tahapan dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan ini adalah sebagai berikut: (1) Melaku-kan sosialisasi, (2) Merumuskan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah (tujuan stuasional sekolah), (3) Mengidentifikasi tantangan nyata sekolah, (4) Mengiden-tifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran,(5) Melakukan analisa SWOT, (6) Alternatif langkah pemecahan masalah, (7) Menyusun ren-cana dan program peningkatan mutu, (8) Melaksanakan rencana peningkatan mutu, (9) Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan, (10) Merumuskan sasaran mutu baru.

24 Jerome Arcaro, Ibid, hal. 11-14

Page 69: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

369

DAFTAR RUJUKAN

Abu Duhou, Ibtisam, School Based Management, Paris : UNESCO, 1999

Arcaro, Jerome S, Pendidikan Berbasis Mutu, Prinsip-Prinsip dan Tata Langkah Penerapannya,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005

Fattah, Nanang, landasan Manajemen Pendidikan, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2004

Ihsan, Hamdani, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1998

Kennedy, Carol, Managing With The Gurus , Mengelola Bersama para Guru , Jakarta : PT.Elex Media Komputindo, 1999

Kholis, Nur, Kiat Sukses Jadi Praktisi Pendidikan, Sleman : Palem, 2004

Mulyasa E, Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep Strategi dan Implementasi, Bandung : remaja Rosda Karya, 2004

Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung : PT.Remaja Rosda Karya, 2005

Murphy, Joseph and Lynn G.Beck, School Based Management as School Reform, California: 1995

Murphy, Joseph, Restructuring America’s School, an Overview, dalam Chester E.Fin Jr. And Theodor Reberber, Education Reform The ‘90, New York : McMillan Publishing Company, 1992

Pidarta, Made, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta

Rosyada, Dede , Paradigma Pendidikan Demokratis,Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta : Kencana, 2003

Sallis, Edward, Total Quality Management In Education, Jogjakarta: IRCiSod, 2008

Tafsir, Ahmad, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam , Bandung: Mimbar Pustaka, 2004

Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Penerbiat Nuansa Aulia, Bandung, 2005

Usman, Husaini, Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 2006

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1983

Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999

Page 70: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201370

Hadith as a search data is a complicated job and need for a sufficient knowledge. As a data, the Hadith is an object of study

already had an established methodology buildings, except the validity of the Matan. Not many references are trying to organize

in a concrete methodology, except for some general criteria. As the data semantically, Matan has two side studies; lafdzì and

ma’nawì. This two associated with two criterion validity of the data Hadith; Syadz and ‘illat. Syàdz research can only be done, if there are two or more conflicting data of hadith. And in illat

conditions, the formulation of criteria for the data appear as “false hadith”, all of which are related to the condition of Matan.

Keywords: Hadith Study, criterion validity, Matan of Hadith

MEMBANGUN METODOLOGI PENELITIAN

MATAN HADITS

Oleh: Abdurrahman, S.H.I., M.Pd.

A. Pendahuluan

Metode Penelitian pada dasarnya mer-upakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan terten-tu. Artinya dalam Metode Penelitian ter-dapat empat kata kunci yang perlu diper-hatikan yaitu: cara ilmiah, data, tujuan dan kegunaan. Dari empat keriteria Metode Penelitian di atas, maka Metode Peneli-tian Hadits adalah: sebuah cara penelitian ilmiah yang rasional, empiris dan sistem-atis, berdasarkan data empiris yang valid, reliable dan obyektif, dengan tujuan untuk membuktikan keraguan terhadap suatu informasi Hadits tertentu dan kemudian digunakan untuk memecahkan masalah validitas Hadits sebagai sebuah data.

Terkait dengan metodologi penelitian, terdapat dua hal yang mempengaruhi hasil sebuah penelitian, yaitu: kualitas instru-ment penelitian dan kualitas pengum-pulan data. Instrument yang digunakan dalam penelitian Hadits adalah peneliti itu sendiri. Seorang peneliti Hadits sebagai human instrument berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, menganalisis data, menaf-sirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya.

Dalam metodologi penelitian, teknik pengumpulan data merupakan langkah paling strategis dalam sebuah penelitian, karena tujuan utama dari penelitian ada-lah mendapatkan data. Tanpa teknik yang

Page 71: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

371

bernar, seorang peneliti Hadits tidak akan mendapatkan data yang memenuhi stan-dar. Kegiatan pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berb-agai sumber, dan berbagai cara.

Untuk menentukan otensitas data Ha-dits yang orosinil bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Para Ulama merumus-kan beberapa instrument standar validitas data (Abdurrahman, 2012: 7-11), yaitu:

1. Memiliki data sanad (Musnad)2. Perawi yang memenuhi kualifikasi

(adàlah al-rawi)3. Perawi yang memiliki kualitas intele-

ktual tinggi (dlabth al-rawi)4. Kebersambungan transmisi sanad (it-

tishàl al-sanad)5. Tidak bertentangan dengan data yang

lebih valid (‘adam al-syudzùdz)6. Tidak terdapat indikasi yang mele-

mahkan validitas data (‘adam al-‘ilal).

Ketika kita sepakati bahwa Hadits Nabi adalah sebuah data atau informasi yang bersalah dari tradisi Nabi Muham-mad SAW. 14 abad yang lalu, maka un-tuk memastikan otensitas data tersebut benar-benar bersumber dari Nabi adalah dengan menelusuri sumber-sumber data yang hanya dapat kita temukan berupa catatan-catatan di buku-buku Hadits. Dan lebih lanjut catatan itu juga harus dipastikan memuat orang-orang yang bertanggungjawab atas keasliannya ketika ia menyampaikan data tersebut. Orang-orang tersebut biasa disebut perawi Hadits (ruwàtul Hadits atau rijàlul Hadits). Se-dangkan rangkaian transmisi para perawi tersebut biasa disebut dengan “sanad”. Redaksi Hadits yang memuat data ini dise-but data Hadits yang “musnad”.

Setelah catatan transmisi sanad dapat dipastikan, harus dipastikan juga bah-wa para perawi itu adalah orang-orang yang memiliki kualifikasi sebagai seorang perawi Hadits, yaitu: muslim, mukallaf, melaksanakan ketentuan Agama, dan

memelihara citra diri (murù’ah) (Umi Sunbulah, 2008: 64).Keempat kualifikasi ini harus dimiliki seorang perawi ketika ia menyampaikan sebuah data Hadits, artinya ketika ia menerima sebuah data, ia tidak disyaratkan telah memenuhi kualifikasi tersebut kecuali bahwa ia harus sudah dapat memahami apa yang diter-imanya (mumayyiz). Kepastian tentang hal ini penting, karena sangat berkaitan dengan latarbelakang kepentingan pribadi (personal subjectivity) dankejujuran, sebab sebuah data akan dapat dijamin otensi-tasnya jika disampaikan dengan jujur apa adanya tanpa terganggu oleh kepentingan apapun.

Di samping itu, harus dipastikan bahwa para perawi itu memiliki kualitas intelektual yang dapat menjamin orisinil-itas data yang ia sampaikan sebagaimana yang pernah ia dapatkan. Ketika perawi mendapatkan sebuah data informasi, kualitas intelektual perawi menggam-barkan kemampuan mendengarkan, kemudian memahami informasi tersebut secara mendalam dan dapat menjaganya semaksimal mungkin hingga dapat ia informasikan kepada orang lain dengan tepat, walaupun tidak harus persis secara redaksional. Inilah yang disebut den-gan “dlabth”. Artinya, dlabth merupakan kecakapan perawi dalam empat hal: 1) mendengarkan, 2) memahami, 3) menjaga dan 4) menyampaikan dengan sempurna. Untuk aspek menjaga, dapat berupa hafa-lan (dlabth al-shadr) atau catatan (dlabth al-kitab).

Sementara itu, catatan tentang biografi setiap perawi dalam rangkaian transmisi sanad belum cukup membuktikan bahwa data tersebut otentik dan orisinil. Kita har-us memastikan bahwa rangkaian transmisi perawi tersebut benar-benar valid, artinya bahwa perawi pertama benar-benar mem-peroleh data Hadits itu dari perawi kedua, dan perawi kedua mendapatkannya dari perawi ketiga, demikian seterusnya sampai pada sumber data yaitu: Nabi Muhammad

Page 72: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201372

SAW. Untuk memastikannya harus dilacak biografi para perawi itu, mulai dari tempat dan tahun lahir, dimana ia tinggal, dimana ia belajar, kepada siapa saja ia belajar, ke-pada siapa saja ia mengajar, sampai tempat dan tahun kematian. Dengan demikian kita dapat memastikan kemungkinan per-awi pertama benar-benar mendapatkan data dari perawi kedua yang ia sebutkan, atau bahwa perawi kedua benar-benar menyampaikan data itu kepada perawi pertama. Kepastian ini disebut dengan “it-tishàl al-sanad”.

Kemudian, harus dipastikan juga bahwa data Hadits tersebut tidak bert-entangan dengan data lain yang dinilai lebih valid, baik bertentangan dalam data (matan) atau dalam sanad.Dan pada akh-irnya, harus dipastikan secara teliti dalam validitas data Hadits tersebut tidak terdap-at cacat yang menyelinap yang disebabkan oleh kesalah-fahaman dan/atau kekeliruan penerimaan atau penyampaian perawi dan dapat melemahkan validitas data tersebut. Artinya walaupun secara lahiriyah terlihat valid, namun ada kemungkinan terdapat sebab-sebab tersembunyi yang dapat mer-usak validitas data itu. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada redaksi matan atau pada sanad.

Dari enam standar validitas data Hadits di atas, yang berkaitan dengan penelitian matan hanya dua kriteria; Syàdzdan ‘Illat.

No. Standar Validitas Objek Penelitian

1 Musnad Sanad

2 ‘adalah al-rawi Sanad

3 Dlabth al-Rawi Sanad

4 Ittishal al-Sanad Sanad

5 ‘Adam al-Syudzdudz Sanad dan Matan

6 ‘Adam al-‘Ilal Sanad dan Matan

Harus diakui bahwa dalam kajian Studi Hadits, tidak banyak penulis memberikan gambaran tahapan secara jelas metode penelitian matan. Syuhudi Islamil sendiri, yang pernah menulis makalah tebal yang

kemudian diterbitkan menjadi buku den-gan judul Metodologi Penelitian Hadits, mengakui bahwa; ia tidak menemukan sumber yang menjelaskan langkah-lang-kah penelitian yang jelas, buku-buku itu, menurutnya hanya menunjukkan kriteria dan tolok ukur matan yang valid (Syuhudi Ismail, 1992:121).

Perjalanan matan Hadits dimulai sejak adanya larangan kodifikasi data Hadits langsung dari Rasulullah Saw. Nabi secara tegas memerintahkan para penulis dan sekretaris untuk tidak mencatat apa yang ia sampaikan, atau data lain selain Al-Qur’an, atau sesuatu yang diperintahkan-nya untuk dicatat. Selain itu, ada penilaian tentang kemampuan daya ingat yang di-miliki oleh para Sahabat ketika itu, tentang data yang ia terima atau ia dengar atau li-hat sendiri. Kondisi ini sebenarnya bukan hal yang aneh, jika kita dasarkan penilaian itu pada data berupa keseharian, bukan data redaksional. Seperti halnya seseo-rang yang menceritakan keluarganya yang sedang menikah atau bepergian. Karena memang dalam penyampaian data Hadits, redaksi hanya sebagai alat komunikasi antara perawi dalam tranformasi data Haditsnya. seorang perawi dapat meng-gunakan bahasanya sendiri, dan dengan redaksi yang ia gubah sendiri, ini disebut dengan legalitas penyampaian kandungan informasi (riwàyat bil ma’na).

Kondisi ini menjadi lebih parah lagi, matan ternyata berkembang sampai salah satu bagiannya berada di luar “jalur“. Ba-nyak ditemukan data-data palsu, imitasi dan gadungan. Bermotif kepentingan-kepentingan sesaat dan berlatar belakang ideologis tertentu. Data palsu dari matan itu disebutkan sebagai bagian dari data Hadits secara struktural yang kita kenal dengan istilah hadits maudlu’, walaupun sebenarnya bukan hadits sama sekali.

Matan sebenarnya merupakan redaksi dari isi informasi atau pesan data sebuah hadits,sehingga sesungguhnya penelitian matan hadits adalah penelitian

Page 73: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

373

redaksional, yang memiliki dua sisi bahasan; pertama : sisi kaedah kebahasaan (nadzar lafdzì), dan kedua: sisi pemaknaan kandungan (nadzar ma’nawì).Matan di sini adalah redaksi yang sudah disepakati tertulis dalam buku-buku Hadits, dimulai sejak tulisan al-Zuhri (abad ke-2 H.) atau setidaknya data redaksional yang patut untuk menjadi objek penelitian matan. Hal ini dinilai penting bagi para pemerhati data Hadits, terbukti dengan konsistensi mereka terhadap validasi redaksi-redaksi itu pada buku-buku yang ditunjuk. Berikut misalnya beberapa istilah yang membuktikan perhatian para Ulama terhadap validasi redaksi;

No. Istilah Terjemahan1. Wa fì riwàyat Dalam riwayat lain (dengan redaksi berbeda)2. Hàdza lafdzu Muslim Redaksi ini adalah data valid dalam buku karya Muslim3. Muttafaq ‘alaih wallafdzu

lil muslimData riwayat Bukhari dan Muslim, namun redaksi ini adalah milik Muslim

4. Wa zàda Muslim … Dan Muslim menambahkan redaksi dengan kata-kata berikut ….

Validasi redaksi ini penting, untuk memastikan data objek penelitian pada sisi per-tama, yaitu pada sisi kebahasaan (nadzar lafdzì). Sementara untuk sisi kedua (nadzar ma’nawì), Ulama, sebagaimana disampaikan Subhi Shalih (1988:264-266), menentukan beberapa kriteria umum yang perlu ketelitian dan keluasan wawasan untuk menjalan-kan penelitian matan dengan kriteria berikut ini:1. tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an yang muhkam2. tidak bertentangan dengan data hadits lain yang lebih valid3. tidak bertentang nalar akal sehat, data empiris dan fakta sejarah4. tidak mengandung redaksi yang kaku dan rancu.

Kriteria yang dibuat Ulama di atas, mengandung pengertian bahwa; matan berhubu-ngan hanya dengan dua dari enam standar validitas data hadits; pertama: tidak bert-entangan dengan data lain yang lebih kuat (‘adam al-syudzūdz), dan kedua: tidak men-gandung indikasi yang melemahkan validitas data (‘adam al-illat). Pembagian wilayah kerja pada kriteria di atas adalah sebagai berikut:

No. Kriteria validitas matan Standar validitas1. tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an yang muhkam Illat2. tidak bertentangan dengan data hadits lain yang lebih valid Illat dan syādz3. tidak bertentang nalar akal sehat, data empiris dan fakta sejarah Illat4. tidak mengandung redaksi yang kaku dan rancu Illat

Hal ini menunjukkan bahwa dalam penelitian matan, peneliti perlu membuat kla-sifikasi status matan. Klasifikasi ini akan membantu peneliti untuk menentukan status matan sebagai pertimbangan penetuan status data hadits yang diteliti, apakah shahīh, hasan atau dla’īf.

Sepanjang pengetahuan penulis mengenai hal ini, dalam berbagai sumber, Ula-ma memakai dua istilah yang berbeda; pertama: matan yang diterima (maqbūl) dan

Page 74: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201374

matan yang ditolak (mardūd), dan kedua: matan yang shahīhdan matan yang palsu (Syuhudi Ismail, 1992:127). Istilah per-tama dipakai oleh al-Baghdadi dalam al-kifāyah(al-Baghdadi: 432). Istilah yang pertama ini, sebenarnya adalah istilah klasifikasi kriteria pertimbangan validitas data pada keseluruhan kegiatan penelitian hadits; matan yang diterima atau yang ditolak. Sementara istilah kedua adalah status dari matan tersebut untuk kemudi-an menjadi penentuan diterimanya data matan.Ini menunjukkan bahwa; matan yang berstatus shahih adalah matan yang diterima, sedangkan matan yang palsu adalah matan yang ditolak.

B. Kontradiksi Data

Syādz adalah suatu kondisi dimana sebuah data hadits yang valid kontradiksi dengan data hadits lain yang lebih valid, yang tidak dapat dikompromikan (Mu-hammad al-Maliki, 1982: 124). Kondisi Syādz dapat terjadi pada dua komponen data hadits; sanad dan matan. Artinya dalam hal kondisi Syādz, peneliti akan meneliti dua objek penelitian sekaligus; kondisi Syādz dalam sanad, dan kondisi Syādz dalam matan. Data hadits dinilai memenuhi standar validitas, jika terbe-bas dari kondisi syādz dalam sanad dan matannya.

Penelitian kontradiksi data ini dapat dilakukan, jika terdapat dua atau lebih data hadits yang saling bertentangan, baik dalam sanadnya ataupun dalam matan-nya. Data pertama adalah data objek pe-nelitian, sementara data lain adalah data pembanding untuk menentukan adanya kontradiksi dengan data pertama, baik da-lam sanadnya maupun dalam matannya.Namun jika hanya satu data hadits, atau tidak ditemukan hadits lain yang lebih valid dan bertentangan dengan data ha-dits yang sedang diteliti, maka tidak perlu dilakukan lagi penelitian kondisi syādz ini, dan peneliti bisa langsung melanjutkan penelitiannya pada standar validitas beri-kutnya, yaitu identifikasi ‘illat.

Tulisan ini tidak akan membahas pene-lusuran kondisi syàdzdalam sanad, walau-pun sebenarnya penelitian kondisi syādz dalam matan dilakukan setelah penelitian syādz dalam sanad. Penelitian syādz dalam matan dilakukan lewat prosedur berikut:1. identifikasi data lain dalam satu

topik, sebagai data pembanding. 2. jika ada, adakan kajian mendalam

dan serius terhadap matan data pem-banding ini dan bandingkan redak-sinya dengan data matan yang sedang diteliti

3. Jika ditemukan perbedaan, upayakan kompromi

4. Jika tidak dapat dikompromikan, maka data objek adalah sanad yang syādz.

Dualisme penelitian syàdzpada matan dan sanad, membuat peneliti harus cer-mat dalam memilih dan menentukan data pembanding, sebab data pembanding dalam dua jenis penelitian itu tidak sama, atau bahkan data pembanding bagi yang satu justru bukan data pembanding yang lain. setidaknya peneliti harus tahu bahwa data pembanding yang dimaksud dalam penelitian matan bukan merupakan data al-mutabi’ dan al-syahid. Karena Al-Muta-bi’ adalah dukungan jalur lain yang beru-jung pada sahabat yang sama,sedangkan al-Syahid adalah dukungan jalur lain dari sahabat lain pula, dukungan al-syahid jika dengan redaksi matan yang sama disebut dengan syahid lafdzi, dan jika dengan redaksi yang berbeda namun kandungan yang sama disebut syahid ma’nawi(Abdur-rahman, 2012: 45). Artinya data al-mutabi’ dan al-syahid hanya dapat menjadi data

Page 75: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

375

pembanding pada penelitian syàdzpada sanad.

Untuk menentukan data pembanding pada penelitian matan, seorang peneliti harus memiliki pengetahuan luas ten-tang tematik data Hadits yang ada dalam buku-buku Hadits, ia harus tahu bahwa data objek yang sedang ditelitinya berkon-tradiksi dengan data lain yang dinilai lebih valid, atau setidaknya kecakapan untuk menelusuri topik yang mirip dalam buku-buku tersebut. penelusuran data seperti ini biasa disebut dengan Takhrìj ‘anil matn, sebua mekanisme penelusuran data matan yang sama dalam buku-buku sumber.

Takhrìj ‘anil matn dilakukan dengan melalui penelusuran di buku-buku kamus Hadits yang memuat ala-mat-alamat dimana data hadits dimak-sud dapat ditemukan pada buku-buku sumber asli (Abdurrahman, 2012: 32)

Buku sumber asli adalah buku-buku kolektor Hadits yang mengkoleksi Hadits dan memuat data redaksi isi Hadits secara lengkap dan data transmisi sanad Hadits secara lengkap, seperti Kutub al-Sittah. Sementara buku kamus adalah buku-buku yang memuat koleksi Hadits dengan data isi (matan) yangkadang tidak lengkap dan memberikan alamat-alamat atau setidakn-ya nama kolektor Hadits untuk menemu-kan data tersebut di buku-buku sumber asli.

Setidaknya ada dua pola yang dapat dilakukan peneliti untuk menelusuri data pembanding dengan cara Takhrìj, berto-lak dari kata pertama yang ada pada data matan (awwali lafdzi min matnil Hadits), atau dari kata yang jarang dugunakan (al-kalimah yaqillu daurànihà ‘alal alsi-nah).Pada pola pertama, Ali Jum’ah (2004: 15) menyampaikan beberapa koleksi bu-ku-buku kamus yang diperlukan dalam pola ini antara lain: 1. al-Maqashid al-hasanah karya

Muhammad ibn Abdurrahman al-Syakhawi (w. 902). Buku ini memuat 1356 data Hadits yang dike-

nal oleh banyak orang. Al-Syakhawi memberikan nama kolektor Hadits yang mencatat hadits tertentu di buku sumber asli, namun jika diketahui secara pasti bahwa data itu tidak terdapat di buku-buku sumber asli, ia akan memberikan catatan : “tidak bersumber” (la ashla lah), dan jika tidak diketahui apakah pernah dikol-eksi oleh salah satu kolektor Hadits, maka ia akan memeberikan catatan: “aku tidak mengetahuinya” (la a’ri-fuh).

2. Tamyiz al-Thayyib min al-Khabitz karya Abdurrahman ibn Ali ibn al-Diba’ al-Syibani (w. 944). Ia adalah murid dari al-Syakhawi, dan buku-nya ini adalah ringkasan dari kitab gurunya (al-Maqashid al-Hasanah) dengan beberapa tambahan.

3. Kasyfu al-Khafa’ wa Muzilu al-Ilbas karyaIsma’il ibn Muhammad al-Jara-hi al-‘Ajaluni (w. 1162). Bukunya ini memuat 3254 Hadits yang dikum-pulkan dari beberapa kitab sebelum-nya, seperti al-Maqashid al-hasanah karya al-Syakhawi (w. 902), al-La’ali al-Mantsurah karya Ibn Hajar (w. 852), dan al-Durar al-Muntatsirah karya al-Suyuthi (w. 911). Kelebihan buku ini, adalah catatan secara tegas jika sebuah data diketahui bukan Hadits, dan terdapat tambahan pen-dapat para Ulama tentang suatu data tertentu.

4. Asna al-Mathalib fi Ahadits Mukhtal-ifat al-Maratib karya Muhammad ibn Darwish al-Hut (w. 1276). Bukunya ini adalah ringkasan dari kitab Tamy-iz al-Thayyib karya Ibn al-Diba’ (w. 944).

5. al-Jami’ al-Shaghir karya Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi bakar al-Suyuthi (w.911). buku ini memuat 1031 Hadits dan memberikan catatan dengan menggunakan kode-kode, mengenai nama kolektor Hadits dan status Hadits (shahih, hasan, atau

Page 76: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201376

dla’if), sementara nama Sahabat dise-butkan setelah kode nama kolektor.

Sementara pola kedua dilakukan dengan menggunakan buku: Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Ahadits al-Nabawiyah. Buku ini memuat kata-kata Hadits yang disusun dengan urutan alfabeth dan atur-an grammatical serta morfologi Arab. Buku ini disusun oleh sekelompok orien-talis dan diterbitkan oleh salah satu dari mereka, yaitu: A.J. Wensinck (w. 1939 M.) seorang Profesor Bahasa Arab di Lead-en Belanda dengan judul Concordance Et Indices de la Tradition Musulmane. Diterbitkan oleh penerbit Brill Leaden Belanda, jilid 1 sampai 6 pada tahun 1936, dan jilid tujuh pada tahun 1969. Proyek penyusunannya memakan waktu 33 tahun dan mendapatkan dukungan dana dari Lembaga Keilmuan Britania, Denmark, Swedia, Belanda, UNESCO, Aleksander Pasa, Lembaga Sosial Belanda, dan lemba-ga-lembaga keilmuan lainnya. Penerbitan-nya didukung juga oleh Dr. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi (w. 1382 H.) sebagai editor.

Buku ini memberikan informasi ala-mat-alamat hadits dari 9 buku (kutub tis’ah), dengan kode-kode. Terlihat bahwa sistem informasi yang digunakan sangat detail sehingga sangat bergantung pada akurasi buku sumber asli yang dimak-sudkan dalam buku kamus ini. Terutama untuk tiga buku sumber asli: Shahih Mus-lim, dan Al-Muwaththa’ yang keduanya menggunakan alamat nomor Hadits, dan Musnad Ahmad ibn Hanbal yang menggunakan alamat juz dan halaman. Dr. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi telah berusaha untuk menertibkan babarapa diantara buku-buku sumber asli agar sesuai dengan sistem alamat yang ada da-lam kamus ini, namun ia belum berhasil menertibkan seluruh buku sumber asli menurut alamat yang dimaksudkan da-lam kamus ini sampai beliau wafat pada 1382 H. diantara buku yang ditetibkannya adalah Shahih Muslim, Sunan Ibni Majah, al-Muwaththa’, Sunan al-Tirmidzi pada ji-

lid ke-3 dan Shahih al-Bukhari yang diter-bitkan dengan sekaligus Syarah-nya; Fath al-Bari karya Ibn Hajar al-Asqalani oleh penerbit al-Mathba’ah al-Salafiyahdi Kairo. (Mahmud Thohhan, 1979: 69).Sebagai contoh kasus; Imam Muslim meri-wayatkan dari Nubaysyah al-Hudzayli:

حدثنا رسجي بن يونس حدثنا ه�شمي �أخربان خادل عن �أىب املليح عن نبي�ة الهذىل قال

قال رسول هللا -صىل هللا عليه وسمل- » �أايم الترشيق �أايم �ألك ورشب «

Hadits ini hanya menjelaskan tentang beberapa hari setelah hari raya kurban, disebut dengan ayyām al-tasyrīq. Bahkan Imam Muslim menempatkan hadits ini dalam bab larangan puasa pada ayyām al-tasyrīq (bab tahrīm shiyām ayyām al-ta-syrīq)(Muslim: 153). Pada data lain yang hanya diriwayatkan oleh Musa ibn Ulayy menambahkan data matan tidak hanya tentang ayyām al-tasyrīq, ia menambah-kan hari arafah (yaum arafah) dan hari kurban (yaum al-nahr)(Abu Daud: 424). Para pakar menilai bahwa data hadits Musa ibn Ulayy mengandung data matan yang syādz, karena ia tidak lebih kuat dari data sebelumnya..

C. Identifikasi ‘Illat

Data hadits tersajikan secara tertulis pada berbagai sumber, data redaksional ini adalah objek penelitian yang konkrit, dan masih ada data yang abstrak yang dapat mempengaruhi validitas data. Data abstrak inilah yang disebut dengan ‘illat. ‘Illat merupakan adanya data abstrak yang melemahkan validitas data itu (Mahmud Thohhan, 1979: 83).

Berbeda dengan kondisi syādz, kondisi illat merupakan kejanggalan yang tidak terlihat. Hal ini menuntut peneliti untuk dapat melihat data abstrak yang sama sekali tidak terlihat itu, karena secara konkrit, redaksional data yang konkrit “menyembunyikan” data yang abstrak.

Page 77: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

377

Mahfud Rahman (1985: 37-38)menyebut-kan empat definisi terminologi kata ‘illat dalam kajian Hadits;

1. Indikasi data abstrak dalam data hadits yang dapat melemahkan aut-ensitas data yang secara lahir tampak kuat dan data abstrak tersebut bukan domain kritik perawi (jarh).

2. Indikasi dalam data hadits berupa kritik perawi, seperti tuduhan kebo-hongan, kealpaan dan/atau buruknya intelektualitas perawi dan indikasi tersebut dapat melemahkan autensi-tas data hadits.

3. Indikasi apapun dalam data hadits yang dapat melemahkan autensitas data hadits, termasuk praktekcance-ling data (naskh).

4. Indikasi apapun dalam data hadits, termasuk indikasi yang tidak mele-mahkan autensitas data hadits.

Definisi pertama sama sekali tidak memasukkan penelitian kritik perawi (jarh) sebagai ‘illat. Berbeda dengan defin-isi kedua yang menghendaki penelitian kritik perawi (jarh) sebagai ‘illat. Sehingga mencakup beberapa istilah lain yang ter-indikasi lemah disebabkan factor human error (jarhu ruwàt), seperti terputusnya transmisi sanad (munqathi’) dan bahkan data palsu (maudlu’). Lebih luas lagi, pada definisi ketiga yang dipopulerkan oleh al-Khalil Abdullah al-Khalilì (w. 447 H.), definisi ini memasukkan faktor canceling data (naskh) sebagai factor penyebab indikasi yang melemahkan data hadits (‘illat). Sementara definisi keempat yang dipopulerkan oleh al-Turmudzi, bahkan mencakup indikasi apapun yang dapat disebut dengan ‘illat walaupun sama sekali tidak melemahkan data hadits. Definisi pertama adalah definisi yang sering di-ungkapkan dalam buku-buku kajian Ha-dits. Namun menariknya jika ditelusuri, Menurut Mahfudz, buku-buku yang men-guraikan ‘illat Haditscenderung menggu-nakan definisi kedua.

Penulis menganggap penemuan Mah-

fudz sangat menarik, dimana ia mencatat 50 buku yang konsen dalam menelusuri hadits dengan indikasi ‘illat, dan bahkan ditambah dengan sekian banyak buku-bu-ku yang juga membahas hal yang sama, walaupun juga bersamaan dengan pemba-hasan lain. buku-buku tersebut menurut-nya menggunakan definisi kedua, yang menghendaki data ‘illat tidak hanya data abstrak (amru khafì), tapi juga data konk-rit (amru wujudì). Di saat yang sama, para pakar justru lebih banyak menyampaikan definisi pertama dalam buku-buku kajian Hadith Studies, yang menganggap data ‘il-lat hanya terwujud dalam bentuk data ab-strak saja, sehingga kemudian menjadikan penelitian ‘illat Hadits sebagai kajian yang teramat sulit dijangkau. Dalam hal ini, Subhi Shalih (1988: 185-186) menyatakan;

Seorang Peneliti Hadits ketika mendapatkan data dengan label; “bahwa data hadits ini mengandung ‘illat disebabkan kelemahan si-po-lan”, tidak boleh langsung menfonis bahwa data tersebut mengandung data ‘illat sebagaimana diistilah-kan oleh para pakar Hadits. Sebab memang ada beberapa pakar yang menggunakan kata ‘llat untuk kep-erluan di luar yang kita maksud dalam bab ini. Sehingga label di atas tidak boleh menambah refrensi si-peneliti pada data ‘llat yang ber-bentuk konkrit (dzàhir) yang nota bene justru sebuah kritik terhadap perawi atas kealpaan atau kebohon-gannya. Data konkrit seperti ini justru mencegah sebuah data untuk disebut sebagai data terindikasi ‘llat (mu’allal). Karena ‘llat adalah indikasi abstrak yang dapat mele-mahkan data hadits. Hanya saja, memang ada beberapa pakar yang berpendapat bahwa definisi seper-ti ini adalah semata definisi yang umum (aghlabi), sehingga tidak menutup kemungkinan adanya definisi lain yang memasukkan data ‘illat yang berbetuk data konkrit.

Page 78: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201378

Perdebatan mengenai bentuk data ‘illat dalam Hadits, berakhir pada tingkat definitif sebagaimana pernyataan Subhi Shalih. Poin kritis makalah ini mengenai bentuk data ‘il-latsesuai dengan empat definisi di atas, dapat terlihat pada tabel berikut:

No. Definisi Data ‘illat Domain ‘Illat Keterangan1. Indikasi data abstrak dalam data

hadits yang dapat melemahkan autensitas data yang secara lahir tampak kuat dan data abstrak tersebut bukan domain kritik perawi (jarh)

Abstrak Tidak termasuk kritik perawi

Definisi paling umum terdapat dalam buku-buku pedoman

2. Indikasi dalam data hadits berupa kritik perawi, seperti tuduhan kebohongan, kealpaan dan/atau buruknya intelektualitas perawi dan indikasi tersebut dapat melemahkan autensitas data hadits

Abstrak dan Konkrit

Termasuk kritik perawi

Definisi yang cenderung digunakan oleh buku-buku ‘illat Hadits

3. Indikasi apapun dalam data hadits yang dapat melemahkan autensitas data hadits, termasuk praktek canceling data (naskh)

Abstrak dan Konkrit

termasuk canceling data (naskh)

dipopulerkan oleh al-Khalil Abdullah al-Khalilì

4. Indikasi apapun dalam data hadits, termasuk indikasi yang tidak melemahkan autensitas data hadits.

Abstrak dan Konkrit

Termasuk indikasi yang tidak melemahkan

dipopulerkan oleh al-Turmudzi

Terlihat jelas, meskipun tersedia empat pilihan definisi dengan mekanisme yang makin terjangkau, namun penelitian matan (naqdul matn) sama sekali tidak beranjak dari definisi pertama, yang berarti bahwa kajian matan adalah kajian data ‘illat yang abstrak, sebagaimana dinyatakan dalam definisi tersebut sebagai kajian yang bukan do-main kritik perawi (laisa liljarh madkhal), dan sepanjang pengetahuan penulis, domain inilah satu-satunya jalan yang bermuara pada data ‘illat konkrit. Mahfudz (1985: 43) yang malansir dari Al-Hakim menyebutkan sepuluh jenis ‘illat yang seluruhnya tern-yata fokus pada penelitian sanad (diràsatul asànid). Walaupun ada klasifikasi lain yang dilakukan para pakar, sebagaimana disebutkan oleh Mahfudz (1985: 39-42);

1. ‘illat dalam sanad yang sama sekali tidak melemahkan data2. ‘illat dalam sanad yang melemahkan data sanad saja3. ‘illat dalam sanad yang melemahkan data sanad dan matan sekaligus4. ‘illat dalam matan yang sama sekali tidak melemahkan data5. ‘illat dalam matan yang melemahkan data matan saja6. ‘illat dalam matan yang melemahkan data sanad dan matan sekaligus

Untuk mengendus adanya data ‘illat, Mahir Yasin (1999) dari hasil penelitiannya menyebutkan dua jenis data ‘illat yang berkaitan dengan penelitian matan, pertama data ‘illat yang terdapat hanya pada matan (‘ilalul matn), dan kedua data ‘illat yang bisa jadi terjadi pada matan dan/atau pada sanad (al-‘ilal al-musytarakah).Mahir membagi jenis pertama pada tujuh kemungkinan kondisi yang diusung oleh beberapa kelompok-madzhab;

1. data hadits ahàd yang bertentangan dengan Al-Qur’an atau data Hadits lain2. adanya keranguan(Malikiyah dan Hanafiyah)3. data hadits ahàd yang berkaitan dengan kepentingan umum (mà ta’ummu bihìl

bakwà)(Hanafiyah)

Page 79: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

379

4. data hadits ahàd yang bertentangan dengan fatwa Sahabat(Hanafiyah)5. data hadits ahàd yang bertentangan dengan qiyàs (Hanafiyah)6. data hadits ahàd yang bertentangan dengan konsensus penduduk Madinah (Mali-

kiyah)7. data hadits ahàd yang bertentangan dengan kaedah umum(Malikiyah)

Tujuh kondisi pada jenis pertama di atas, menurut penulis terkait dengan rumusan kriteria data hadits palsu, yang semuanya berkaitan dengan kondisi matan. Para pakar sebagaimana dilansir oleh Subhi Shalih (1988:264-266)merumuskan kriteria data hadits palsu sebagai berikut:

1. mengandung susunan bahasa yang rancu2. bertentangan dengan akal sehat dan sulit diinterpretasikan secara rasional3. bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam4. bertentangan dengan hukum alam5. bertentangan dengan fakta sejarah6. bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an atau Hadits yang muhkam dan qath‘i7. diluar kewajaran ukuran rasionalitas hukum.

No. Kriteria data palsu Jenis data ‘illat Keterangan1. Pertama Tidak ada Domain penelitian kebahasaan2. Kedua, keempat dan

ketujuhKondisi ketujuh Berpengaruh menurut Malikiyah

3. Ketiga Kondisi ketiga, empat, dan lima

Berpengaruh menurut Hanafiyah

4. Kelima Kondisi keenam Berpengaruh menurut Malikiyah5. Keenam Kondisi pertama Berpengaruh menurut Jumhur Ulama

Sementara pada jenis kedua, terdapat lima kondisi:1. bertentangan dengan data hadits lain yang sama kuat dan tidak dapat dikompromi-

kan, ini disebut dengan itthiràb2. penambahan redaksi dalam matan oleh perawi yang dinilai kuat (tsiqqah)3. data riwayat perawi yang kuat bertentang dengan data riwayat beberapa perawi lain

yang sama kuat, ini disebut dengan syàdz.4. penambahan redaksi dalam matan hadits, ini disebut dengan idràj5. adanya kesalahan perawi, seperti redaksi yang terbalik (taqlìb) ataubahkan distorsi

(tahrìf)

Dari pembahasan di atas, maka prisedur penelitian data ‘illat dalam matan adalah sebagai berikut:

1. pastikan data objek adalah data hadits ahad2. identifikasi adanya kerancuan dalam susunan bahasa dengan penelitian kebahasaan3. identifikasi data hadits lain yang terindikasi lebih kuat4. jika ada, adakah kajian mendalam untuk mengendus kontradiksi dalam hal kand-

ungannya dan/atau redaksinya, seperti adanya itthiràb, ziyàdah, syàdz, idràj, taqlìb-dan bahkantahrìf.

5. Identifikasi data selain hadits, baik dari Al-Qur’an, interpretasi rasional, tujuan pokok ajaran Islam, hokum alam, fakta sejarah, dan ukuran kewajaran rasionalitas hokum.

6. Jika tidak dapat dikompromikan, maka data objek terindikasi data ‘illat.

Page 80: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201380

Contoh kasus: Data hadits yang di-riwayatkan oleh Suhayl ibn Abi Shalih (al-Turmudzi, 1996: 20):

عبد ادلوريق حدثنا براهمي اإ بن يعقوب حدثنا �أيب عبد العزيز بن محمد قال حدثين ربيعة بن الرمحن عن سهيل بن �أيب صاحل عن �أبيه عن رسول هللا صىل هللا قىض : قال هريرة �أيب

عليه و سمل ابلميني مع ال�اهد الواحدHadits ini menyatakan bahwa Nabi han-ya menggunakan satu saksi dalam suatu kasus. Hal ini bertentangan dengan kon-sep persaksian yang ada dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282:

واست�هدوا شهيدين من رجالمك فاإن مل يكوان رجلني فرجل وامر�أاتن ممن ترضون من ال�هداء

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antara-mu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.

D. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, terlihat bah-wa prosedur penelitian kriteria validitas data matan Hadits pada aspek Syàdz-menuntut adanya data lain sebagai data pembanding. Jika tidak ditemukan data pembanding, maka sebenarnya hampir dapat dipastikan bahwa data objeksama sekali tidak memiliki kemungkinan adan-ya unsur syàdz. Sebab syàdzadalah suatu kondisi dimana data objek dinilai berten-tangan dengan “data lain”.

Sementara pada aspek ‘illat, walaupun terdapat empat pilihan definisi yang me-mungkinkan penelitian pada aspek ini menjadi lebih terjangkau dengan adanya data ‘illat yang berbentuk konkrit, namun dalam penelitian matan sama sekali tidak beranjak dari definisi yang hanya meng-hendaki indikasi data ‘illat anstrak saja. Terlihat dalam prosedur penelitian di atas, bahwa untuk mengendus adanya data ‘il-latdalam matan data objek, perlu diadakan penelitian kebahasaan. Jika tidak ada ker-ancuan dalam aspek ini, maka kemudian beranjak pada identifikasi data lain, baik berupa data hadits lain, atau data selain hadits. Dan pada identifkasi data selain hadits, penelitian ini dapat mengadopsi kriteria data hadits palsu.

Wallàhu a’lam.

Page 81: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurn

al P

usak

aSe

ptem

ber -

Des

embe

r 201

381

Al-Qur’an Al-Karim

Abdurrahman, Metodologi Penelitian Hadits, (Malang; Q-Press, 2012)

Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Riyadh; Maktabah al-Ma’arif, tt)

al-Baghdadi, al-Kifāyah fi Ilm al-Riwayah, (Madinah; al-Maktabah al-Ilmiyah, tt)

Al-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir, (Bairut; Dar al-Gharab al-Islami, 1996)

Imad Ali Jum’ah, Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsāt al-Asānīd al-Muyassarah, (Riyad; Dar al-Muslim, 2004)

Mahfudz Rahman dalam al-Daruquthn, al-‘Ilal al-wàridah fìl Haditsin Nabawiyah, cetakan 1, (Riyad; Daru Tayyibah, 1985)

Mahir Yasin, Atsaru ‘Ilalil Ahàdìts fì Ikhtilàfil Fuqahà’, (Bagdad: Shaddam University, 1999)

Mahmud Thohhan, Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsāt al-Asānīd, (Bairut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979)

Muhammad al-Maliki, al-Minhal al-Latīf fī Ushūl al-Hadīts al-Syarīf, (Jedah: Mathabi’ Sahar, 1982)

Muslim, al-Jamī’ al-Shahīh, (Kairo: Dar al-Salthanah al-‘Aliyah al-Bahirah, tt)

Shubhi Shalih, Ulūm Al-Hadīts wa mushthalahuh, (Dar al-Ilmi li Al-Malayin, 1988)

Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992)

Umi Sunbulah, Kritik Hadits, Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN Press, 2008)

Wensinck, Concordance Et Indices de la Tradition Musulmane (al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadzi al-Hadits al-Nabawi), (Leaden: E.J. Brill, 1936)

Daftar Pustaka

Page 82: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul

Jurnal PusakaSeptem

ber - Desem

ber 201382

Page 83: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul
Page 84: ].pdfJurftal Pusaka September - Desember 2013 4 A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-cul