Cognitive Theories of Learning (Kelompok. 3)

53
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berpikir merupakan daya yang paling utama dan merupakan ciri yang khas dalam membedakan manusia dari hewan. Manusia dapat berpikir karena manusia memiliki bahasa, sedangkan hewan tidak. “Bahasa” hewan bukanlah bahasa seperti yang dimiliki manusia, bahasa hewan merupakan bahasa insting (naluri) yang tidak perlu dipelajari dan diajarkan. Bahasa manusia merupakan hasil kebudayaan yang harus dipelajari dan diajarkan, dengan bahasa maka manusia dapat memberi nama kepada segala sesuatu baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Semua nama benda, nama sifat, pekerjaan, dan lain-lain yang bersifat abstrak pun dapat diberi nama. Dengan demikian, segala sesuatu yang pernah diamati dan dialami dapat disimpannya kemudian menjadi tanggapan-tanggapan 1

description

oke brooo

Transcript of Cognitive Theories of Learning (Kelompok. 3)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berpikir merupakan daya yang paling utama dan merupakan ciri yang

khas dalam membedakan manusia dari hewan. Manusia dapat berpikir

karena manusia memiliki bahasa, sedangkan hewan tidak. “Bahasa” hewan

bukanlah bahasa seperti yang dimiliki manusia, bahasa hewan merupakan

bahasa insting (naluri) yang tidak perlu dipelajari dan diajarkan. Bahasa

manusia merupakan hasil kebudayaan yang harus dipelajari dan diajarkan,

dengan bahasa maka manusia dapat memberi nama kepada segala sesuatu

baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Semua nama benda, nama

sifat, pekerjaan, dan lain-lain yang bersifat abstrak pun dapat diberi nama.

Dengan demikian, segala sesuatu yang pernah diamati dan dialami dapat

disimpannya kemudian menjadi tanggapan-tanggapan dan pengalaman-

pengalaman yang dapat diolah dengan proses kognitifnya menjadi sebuah

teori.1

Memiliki kemampuan berpikir dengan baik hanya dimiliki oleh manusia,

Plato pernah mengatakan dalam bukunya Sophistes bahwa “berbicara itu

berpikir yang keras dan berpikir itu adalah berbicara batin”. Dalam arti yang

1 Anita Woolfock. 2007. Educational Psychology. Boston. Pearson Education, Inc. h. 4

1

terbatas berpikir itu tidak dapat didefinisikan, karena setiap kegiatan jiwa

menggunakan kata-kata dan pengertian yang selalu berkaitan dengan hal

berpikir. Suatu keaktifan manusia yang mengakibatkan penemuan yang

terarah pada suatu tujuan, kehendak kognitif (berpikir) inilah untuk dapat

menemukan pemahaman atau pengertian yang manusia kehendaki. Berpikir

sangat erat hubungannya dengan daya jiwa, seperti tanggapan, ingatan,

pengertian, dan perasaan.

Tanggapan memegang peranan sangat penting dalam berpikir meskipun

adakalanya dapat mengganggu jalannya berpikir. Ingatan merupakan syarat

yang harus ada dalam berpikir karena memberikan pengalaman dari

pengamatan manusia. Pengertian sebagai hasil berpikir dapat memberi

bantuan yang besar dalam suatu proses berpikir dan perasaan selalu

menyertai sebagai dasar yang mendukung suasana hati atau pemberi

keterangan dan ketekunan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah.2

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam makalah ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk aliran-aliran yang terdapat dalam

perkembangan kognitif?

2 Ibid, h. 52

2. Bagaimanakah perkembangan kognitif yang tejadi pada manusia?

3. Apa sajakah cakupan atau area pembelajaran kognitif?

BAB II

PEMBAHASAN

3

2.1 Aliran dalam Perkembangan Kognitif

1. Perkembangan Kognitif Piaget

Kecepatan perkembangan setiap individu melalui urutan setiap tahap

berbeda-beda dan tidak ada individu yang melompati salah satu dari tahap

tersebut. Setiap tahapan ditandai dengan munculnya kemampuan-

kemampuan intelektual baru yang memungkinkan seseorang memahami

dunia dengan caranya yang semakin kompleks. Hal ini berarti bahwa

perkembangan kognitif seseorang merupakan suatu proses genetik. Artinya,

perkembangan kognitif merupakan proses yang didasarkan atas mekanisme

biologis dari perkembangan sistem syaraf. Semakin bertambahnya usia

seseorang, maka semakin kompleks susunan sel syarafnya dan semakin

meningkat pula kemampuannya.

Berdasarkan hal tersebut, Jean Piaget berpandangan bahwa pada

dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk

mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh

anak sebagai subyek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna,

sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses

pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna karena

pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara, setelah itu dilupakan.3

3 Ibid, h. 494

Kaitannya dengan proses belajar, Piaget membagi proses belajar

menjadi tiga tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Asimilasi

adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif

yang sudah ada dalam benak peserta didik. Akomodasi adalah proses

penyesuaian struktur kognitif dalam situasi yang baru. Sedangkan equilibrasi

adalah proses penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan

akomodasi. Apabila seseorang menerima informasi atau pengalaman baru,

informasi tersebut akan dimodifikasi sesuai dengan struktur kognitif yang

telah dimilikinya. Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur

kognitif yang harus disesuaikan dengan informasi yang diterima, maka hal ini

disebut akomodasi. Uraian tersebut di atas memberikan sebuah pemahaman

bahwa inti dari pemikiran Piaget mengenai proses belajar seseorang adalah

mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan

usianya.4

2. Perkembangan Kognitif Brunner

Salah satu teori belajar kognitif yang sangat berpengaruh adalah teori

Jerome Brunner yang dikenal dengan belajar penemuan (discovery learning).

Brunner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian

pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan

hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah

4 Ibid, h. 505

serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang

benar-benar bermakna.

Selain ide mengenai belajar penemuan (discovery learning), Brunner

juga berbicara mengenai adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah

laku seseorang. Ia menyatakan bahwa perkembangan kognitif seseorang

terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan.

Pertama, tahap enaktif, dimana individu melakukan aktivitas dalam upaya

memahami lingkungannya. Kedua, tahap ekonit, dimana individu melihat

dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Ketiga, tahap  simbolik,

dimana individu mempunyai gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi

bahasa dan logika berpikirnya. Komunikasi dalam hal ini dilakukan dengan

pertolongan sistem simbol.5

2.2 Perkembangan Kognitif

Pendekatan dalam proses berpikir bahwa manusia mengolah informasi,

memonitornya, dan menyusun strategi berkenaan dengan informasi yang

didapatkan. Intinya bahwa proses kognitif dan proses berpikir (thinking) yang

memiliki kecenderungan yang lebih konstruktivis dibandingkan dengan

lainnya. Pada dunia pendidikan, siswa mempunyai kecenderungan

konstruktivis memandang gurunya sebagai pembimbing kognitifnya untuk

tugas akademik dan murid sebagai pelajar yang berusaha memahami tugas-

5 Ibid, h. 68

6

tugas tersebut. Perkembangan kognitif dimana siswa dapat mengolah

informasi, memonitornya, dan menyusun strategi berkenaan dengan

informasi yang didapatkan dan menitikberatkan pada siswa dalam proses

berpikir dan mengingat.6

Roberts Siegler mengatakan bahwa dalam pemprosesan informasi terdiri

dari tiga karakteristik utama, yaitu: proses berpikir, mekanisme pengubah,

dan modifikasi diri. Pemikiran dalam proses berpikir (thinking) bahwa ketika

siswa merasakan (perceive), melakukan penyandian (encoding),

merepresentasikan, dan menyimpan informasi dari dunia sekelilingnya,

karena sebenarnya mereka sedang melakukan proses berpikir. Sesuatu yang

fleksibel dapat menyebabkan individu mampu beradaptasi dan menyesuaikan

diri dengan lingkungan sekitar. Tetapi ada batas kemampuan berpikir

manusia bahwa individu hanya dapat memerhatikan jumlah informasi yang

terbatas pada satu waktu dan kecepatan dalam memproses informasi juga

terbatas. Mekanisme pengubah memfokuskan pada peran mekanisme dalam

perkembangan, adanya encoding (proses memasukkan informasi ke dalam

memori), otomatisasi (kemampuan memproses informasi dengan sedikit atau

tanpa usaha), konstruksi strategi (penemuan prosedur baru untuk

memproses informasi). Kemudian dalam memodifikasi diri, seseorang

6 John W Santrock .2001. Educational Psychology. Boston: McGraw Hill h. 43

7

menggunakan pengetahuan dan strategi yang telah mereka pelajari untuk

menyesuaikan respon pada situasi pembelajaran yang baru.7

1. Sensori

Sensori merupakan tahapan dimana individu menggunakan

kemampuan sensorik yang ia milki berdasarkan pengalaman luar

yang ia hadapi. Pengenalan visual seperti simbol dan bentuk dari

suatu benda yang dapat diperoleh dari indera yang dimilki oleh

individu merupakan tahapan sensori atau sering diistilahkan oleh

piaget sebagai sensory intelligence.

2. Memori

Memori merupakan ingatan yang berisikan urutan informasi.

Para psikolog pendidikan mempelajari bagaimana informasi

diletakkan atau disimpan dalam memori, bagaimana dipertahankan

atau disimpan setelah disandikan (encoded), dan bagaimana

ditemukan atau diungkap kembali untuk tujuan tertentu dikemudian

hari. Memori membuat diri kita terasa berkesinambungan. Tanpa

memori, anda tidak mampu menghubungkan apa yang terjadi

kemarin dengan apa yang terjadi sekarang. Dewasa ini, para

psikolog pendidikan menyatakan bahwa penting untuk tidak

7 Ibid, h. 3108

memandang memori dari segi bagaimana siswa menambahkan

sesuatu ke dalam ingatan, tetapi harus dilihat dari segi bagaimana

anak menyusun memori mereka. Pembagian memori dfokuskan

pada encoding (penyandian), penyimpanan, dan pengambilan

(retrieval).

a. Encoding

Dalam bahasa sehari-hari, encoding banyak kemiripan

dengan atensi dan pembelajaran. Saat siswa mendengarkan

guru berbicara, menonton film, mendengarkan musik, atau

bicara dengan kawan, dia sedang menyandikan informasi ke

dalam memori. Ada enam konsep yang berhubungan

dengan encoding, yakni atensi, pengulangan, pemprosesan

mendalam, elaborasi, mengkonstruksi citra (imaji), dan

penataan (organisasi).

a.1 Atensi

Atensi merupakan usaha untuk memfokuskan dan

mengonsentrasikan sumber daya mental. Salah satu

keahlian penting dalam memerhatikan adalah seleksi.

Atensi bersifat selektif karena sumber daya otak terbatas.

Saat guru memberikan instruksi untuk mengerjakan

9

suatu tugas, siswa perlu memerhatikan apa yang

dikatakan guru dan tidak diganggu oleh murid lain yang

bicara. Saat murid belajar untuk menghadapi ujian,

mereka harus fokus secara selektif pada buku yang

mereka baca dan menghindari atau menghilangkan

stimuli lain seperti suara televisi.8

a.2 Pengulangan

Pengulangan merupakan repetisi informasi dari

waktu ke waktu agar informasi lebih lama berada di

dalam memori. Pengulangan akan bekerja dengan baik

apabila murid perlu menyandikan dan mengingat daftar

item untuk periode yang singkat, seperti pada saat

belajar untuk ujian yang akan dilakukan lebih dari

seminggu lagi maka mereka menggunakan strategi

pengulangan.

a.3 Pemprosesan Mendalam

Menyatakan bahwa pemrosesan memori terjadi

pada kontinum dari dangkal ke mendalam, di mana

pemrosesan yang mendalam akan menghasilkan memori

8 Ibid, h. 31310

yang lebih baik karena ciri fisik atau indrawi dari suatu

stimuli akan dianalisis lebih dahulu pada tingkat dangkal.

Ini dilakukan dengan mendeteksi garis, sudut, dan kontur

dari huruf cetak atau frekuensi, durasi, dan kekerasan

suara. Kemudian pada tingkat pemrosesan menengah,

stimuli tersebut dikenali dan diberi label. Kemudian pada

level mendalam, informasi ini diproses secara semantik

dari segi maknanya.9

a.4 Elaborasi

Ekstensivitas pemprosesan memori dalam

penyandian, jadi saat anda menyajikan konsep

demokrasi kepada murid, mereka kemungkinan akan

mengingatnya dengan lebih baik apabila mereka

diberikan contoh.

a.5 Mengonstruksi Citra

Allan Paivo percaya bahwa memori disimpan

melalui satu atau dua cara: sebagai kode verbal atau

sebagai kode citra (imajinasi). Misalnya, ketika

mengingat gambar dengan menggunakan label secara

9 Ibid, h. 31611

jelas maka akan semakin baik memori dalam mengingat

informasi tersebut.

a.6 Penataan (Organisasi)

Semakin tertata informasi yang disajikan, semakin

mudah siswa untuk mengingatnya. Terutama berlaku

apabila menata informasi secara hierarkis atau dengan

menjelaskannya. Juga, jika mendorong siswa untuk

mengorganisasikan informasi, mereka sering kali akan

mengingat dengan lebih baik dibandingkan dengan tidak

diberi instruksi penataan yang baik.

b. Penyimpanan

b.1 Memori Jangka Pendek

Sistem memori berkapasitas terbatas di mana

informasi dipertahankan sekitar 30 detik, kecuali

informasi tersebut diulangi atau diproses lebih lanjut di

mana dalam kasus tersebut daya simpannya dapat lebih

lama.

b.2 Memori Jangka Panjang

12

Memori yang menyimpan banyak informasi

selama periode waktu yang lama secara relatif

permanen. Kapasitas memori jangka panjang manusia

2,8x10 (280 kuintriliun) bit, yang berarti bahwa kapasitas

penyimpanan memori jangka panjang pada dasarnya

tidak terbatas.10

c. Pengambilan

c.1 Pengambilan Kembali

Ketika kita mengambil sesuatu dari “gudang data”

kita menyelusuri gudang memori kita untuk mencari

informasi yang relevan. Misalnya, apabila kita bertanya

pada siswa bulan apa sekarang, jawabannya mungkin

muncul segera. Artinya, pengambilan kembali ini bersifat

otomatis. Tetapi, jika kita bertanya kepada siswa nama

tamu yang datang ke kelas dua bulan lalu, maka proses

pengambilan informasinya mungkin membutuhkan

banyak usaha.

c.2 Melupakan

10 Ibid, h. 31913

Lupa bukan karena kita kehilangan memori dari

tempat penyimpanan, tetapi karena ada informasi lain

yang menghambat upaya kita untuk mengingat informasi

yang kita inginkan. Jadi, berlalunya waktu dapat

membuat seseorang menjadi lupa. Menurut Daniel

Schacter menyebutkan bahwa pelupaan terjadi karena

berlalunya waktu.11

3. Metakognitif

Metakognitif merupakan kognisi tentang kognisi, atau

“mengetahui tentang mengetahui”. Terdapat perbedaan antara

pengetahuan metakognitif dengan aktivitas kognitif. Pengetahuan

metakognitif melibatkan usaha monitoring dan refleksi pada pikiran

seseorang pada saat sekarang. Ini termasuk pengetahuan faktual,

seperti pengetahuan tentang tugas, tujuan, atau diri sendiri dan

pengetahuan strategis, seperti bagaimana dan kapan akan

menggunakan prosedur spesifik untuk memecahkan masalah.

Aktivitas kognitif terjadi saat siswa sadar menyesuaikan dan

mengelola strategi pemikiran mereka pada saat memecahkan

masalah dan memikirkan sesuatu tujuan.

B.1 Perubahan Developmental

11 Ibid, h. 32714

Studi developmental yang diklasifikasikan sebagai

“metakognitif” memfokuskan pada metamemori atau

pengetahuan tentang memori. Ini mencakup tentang

pengetahuan memori seseorang, seperti kemampuan siswa

memonitor apakah dirinya sudah cukup belajar untuk

menghadapi ujian yang akan dilangsungkan minggu depan.

B.2 Strategi Metakognitif

Menurut Pressley bahwa kunci pendidikan

membantu siswa mempelajari serangkaian strategi yang

dapat digunakan dan menghasilkan solusi dari suatu

masalah. Pemikir yang baik juga tahu kapan dan di mana

harus menggunakan strategi dan memahami kapan dan

di mana menggunakan strategi dari aktivitas yang

dilakukan siswa dalam belajarnya.12

Menurut perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah

peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah)

meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir

setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang

belajar membaca dan menulis, misalnya, tentu menggunakan perangkat

jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan

12 Ibid, h. 34015

menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan

menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata

respons atas stimulus (rangsangan) yang ada, melainkan yang lebih penting

karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya.

Pandangan kognitivisme ini membawa kepada sebuah pemahaman

bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan

melalui tindakan, yakni belajar.  Bahkan, perkembangan kognitif anak

bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi

dengan lingkungannya. Selain itu, proses pembelajaran juga sangat

berkaitan erat dengan pembentukan dan penggunaan kemampuan berpikir.

Peserta didik akan lebih mudah memahami konsep dan ilmu pengetahuan

apabila di dalam dirinya sudah ada struktur dan tingkatan intelektual,

sehingga ketika ia berhadapan dengan bahan atau materi pembelajaran, ia

mudah menempatkan, merangkai dan menyusun dengan alur logis, serta

menguraikan dan mengobjeksinya.13

2.3 Perkembangan Area Kognitf

A. Membaca

Membaca merupakan kegiatan untuk memahami suatu bahasa yang

tertulis dalam naskah. Kemampuan membaca harus dimiliki oleh setiap

manusia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Dengan kegitan

membaca maka keilmuan seseorang terhadap suatu bidang studi akan terus 13 Ngalim M Purwanto .2002. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya h. 57

16

mengalami pembaharuan dan tingkat keterampilanpun akan berkembang.

Membaca memerlukan sikap sabar untuk dapat memahami isi suatu bacaan.

Karena tujuan akhir membaca adalah untuk memahami isi bacaan, bukan

sekedar mengucapkan lambang bunyi suatu tulisan.14 Adapun manfaat

membaca sebagai sarana rekreasi untuk bertukar pikiran dengan penulis

naskah. Sehingga seperti sedang berdialog dengan penulis.

Dalam membaca terjadi aktivitas kompleks yang mencakup fisik, seperti

gerak mata dan ketajaman penglihatan dalam membaca. Selain fisik

membaca juga mencakup mental, seperti ingatan dan pemahaman. Ini

menunjukkan bahwa kemampuan membaca bukan hanya terkait dengan

kematangan gerak motorik mata, tetapi juga tahap perkembangan kognitif15.

Maka perkembangan kognitif merupakan hal penting dalam kemampuan

membaca seseorang.

Kognitif merupakan suatu yang berhubungan dengan proses berpikir

guna untuk mengetahui atau memahami sesuatu. Wujud dari penggunaan

fungsi kemampuan kognitif seseorang dapat dilihat dari kemampuannya

dalam menggunakan bahasa dan matematika. Perkembangan kognitif yang

matang sesuai usianya sangat membatu untuk fungsi mental seseorang.

14 Prof.Dr.Mulyono Abdurrahman. 2012. Anak Berkesulitan Belajar Teori, Diagnosis, dan Remediasinya. Jakarta: Rineka Cipta h. 15815 Ibid, h. 158-159

17

Fungsi mental tersebut meliputi persepsi, pikiran, simbol, penalaran, dan

pemecahan masalah16.

Jean Piaget menyatakan dalam teori kognitifnya bahwa anak-anak

secara aktif membangun pemahaman mengenai dunia dan melalui empat

tahap perkembangan kognitif17. Keempat tahap perkembangan kognitif

tersebut meliputi:

 Tahap sensomotori (mulai dari lahir hingga 2 tahun). Dalam tahap ini, bayi

membangun pemahaman mengenai dunianya dengan mengkordinasikan

pengalaman-pengalaman sensorisnya (melihat, mendengar) dengan

tindakan-tindakan fisik dan motorik.

 Tahap praoperasi (2 hingga 7 tahun). Anak mulai melukiskan dunianya

dengan kata-kata dan gambar. Kata-kata dan gambar ini mencerminkan

meningkatnya pemikiran simbolis dan melampaui hubungan informasi

sensoris dan tindakan fisik.

 Tahap operasi konkret (7 hingga 11 tahun). Anak saat ini dapat bernalar

secara logis mengenai peristiwa-peristiwa konkret dan mengklasifikasikan

objek-objek ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda.

 Tahap operasi formal (11 tahun hingga masa dewasa). Remaja bernalar

secara lebih abstrak, idealis, dan logis.

16 Ibid, h. 131

17 John W Santrock. 2012. Life-Span Development. Jakarta: Erlangga h. 2718

Apabila seorang anak tidak memperlihatkan indikator perkembangan

kognitif Piaget sesuai dengan rentan usianya atau pun tidak mengikuti pola

perkembangan kognitif tersebut, maka ada kemungkinan anak mengalami

kesulitan dalam kemampuan perkembangan kognitifnya. Sehingga anak

tersebut tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas kognitif yang di tuntut oleh

kebanyakan sekolah. Serta mempengaruhi proses belajarnya, dan anak akan

berkesulitan belajar.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan anak dalam

menyelesaikan tugas-tugas kognitif terkait dengan gaya kognitif mereka18.

Gaya kognitif merupakan cara seseorang dalam menghadapi tugas kognitif

dan berpikir untuk menyelesaikan permasalahan (pemecahan masalah).

Hallahan, Kauffman, dan Llody berpadangan bahwa gaya kognitif adalah

bagaimana cara seseorang berpikir (how of thinking), dan setiap orang

memiliki gaya kognitif yang berbeda-beda dalam menghadapi tugas-tugas

pemecahan masalah.

Pada kajian anak berkesulitan belajar akan ada dua dimensi yang

mempengaruhi gaya kognitif seorang anak, yaitu: (a) gaya kognitif

ketidakterikatan-keterikatan pada lingkungan (field independence-field

18 Prof.Dr.Mulyono Abdurrahman. 2012. Anak Berkesulitan Belajar Teori, Diagnosis, dan Remediasinya. Jakarta: Rineka Cipta h. 133

19

dependence), dan (b) gaya kognitif reflektifitas-impulsivitas (reflectivity-

impulsivity)19.

a.   Gaya Kognitif Ketidakterikatan-Keterikatan Pada Lingkungan

Kemampuan seseorang untuk membebaskan diri dari pengaruh

lingkungan pada saat membuat keputusan tentang tugas-tugas perseptual.

Disebut keterterikatan pada lingkungan (field dependence) karena seseorang

dalam menghadapi tugas-tugas perseptual banyak dipengaruhi oleh

lingkungan. Dan disebut ketidakterikatan pada lingkungan (field

independence) karena seseorang tidak mudah terpengaruh pada lingkungan

terhadap tugas perseptualnya.

Anak berkesulitan belajar umumnya tergolong dalam gaya kognitif

keterikatan pada lingkungan. Sehingga anak tersebut mudah terkecoh oleh

informasi yang menyesatkan dan persepsinya menjadi tidak akurat.Implikasi

kondisi tersebut, maka perlunya latihan bagi anak bekesulitan belajar agar

mampu memusatkan perhatian pada data perseptual yang esensial dan

menghindari diri pada pengaruh data yang mengecohkan.

b. Gaya Kognitif Reflektifitas-Impulsivitas

Kemapuan yang terkait dengan pemanfaatan atau penggunaan waktu

yang diperlukan anak dalam menjawab persoalan dan jumlah kesalahan

yang dibuat. Anak yang impulsif cenderung menjawab persoalan secara

19 Ibid, h. 13420

cepat tetapi membuat banyak kesalahan, sedangkan anak yang reflektif

cenderung menjawab persoalan secara lebih lambat tetapi hanya membuat

sedikit kesalahan. Umumnya anak berkembang dari impulsif ke reflektif, yang

berarti bahwa anak yang muda lebih impulsif dan anak yang tua cenderung

lebih reflektif.

Meskipun demikian berbeda halnya dengan anak berkesulitan belajar,

mereka lebih cenderung dengan gaya kognitif yang impulsif, walaupun

usianya mungkin lebih tua20.Karena gaya kognitif impulsif tersebut anak

berkesulitan belajar memiliki problema bukan hanya dalam bidang akademik

tetapi juga pada perilakunya. Implikasi dari kondisi tersebut maka perlunya

latihan, khususnya bagi anak berkesulitan belajar dengan gaya kognitif

impulsif agar mereka memperoleh latihan merespons suatu persoalan

dengan menggunakan waktu yang cukup dan cara yang lebih hati-hati.

B. Menulis

Menulis merupakan ekspresi atau ungkapan dan bahasa lisan dalam

suatu bentuk goresan atau coretan. Kemampuan menulis pada anak

biasanya muncul pada usia dua atau tiga tahun.Pada masa kanak-kanak

keahlian motor anak biasanya sudah cukup untuk membuat mereka bisa

menulis bentuk huruf dan nama mereka. Keterampilan menulis mereka

pelan-pelan belajar membedakan ciri-ciri huruf seperti apakah garis suatu

20 Ibid, h. 13521

huruf harus lurus atau bengkok, terbuka atau tertutup. Meskipun kemampuan

menulis pada anak muncul pada usia dua atau tiga tahun tetapi masih

banyak anak usia SD masih terbalik-balik dalam menulis b dan d p dan q.

Menurut Temple bahwa pada titik perkembangan ini jika aspek lain dari

perkembangan anak adalah normal maka reversal huruf ini bukan prediktor

akan adanya masalah literasi.21 Ada beberapa tahapan dalam perkembangan

keterampilan menulis pada anak, yaitu:

1. Tahap mencoret atau membuat goresan (scrible stage)

Pada tahap ini anak membuat tanda-tanda dengan menggunakan alat

tulisnya. Mereka mulai belajar tentang bahasa tertulis dan bagaimana

mengerjakan tulisannya tersebut. Peran orang tua dan guru pada

tahapan ini menyediakan alat tulis karena anak-anak menganggap

setiap goresan tersebut sebagai tulisan.

2. Tahap pengulangan secara linear (linear repetitive stage)

Pada tahap ini anak-anak menelusuri bentuk tulisanyang mendatar

atau tegak lurus.

3. Tahap menulis secara acak (random letter stage)

Pada tahap ini anak belajar berbagai bentuk yang dapat diterima

sebagai suatu tulisan dan menggunakan itu semua agar dapat

mengulang berbagai kata dan kalimat.Anak-anak menghasilkan garis

21 John W Santrock. 2006. Psikologi Pendidikan. Boston: McGraw Hill h. 43122

yang berisi pesan yang tidak mempunyai keterkaitan pada suatu bunyi

dan berbagai kata.

4. Tahap berlatih huruf atau menyebutkan huruf

Dalam tahap ini anak mulai menyusun dan menggabungkan antara

tulisan dan bunyi. Pada tahap ini biasanya anak-anak tertarik pada

huruf-huruf yang terdapat pada nama mereka sendiri.

5. Tahap menulis tulisan nama (letter name writing or phonetic writing)

Dalam tahap ini anak mulai menyusun dan menghubungkan antara

tulisan dan bunyinya. Anak mulai menulis nama dan bunyi bersamaan.

Semakin berkembangnya penguasaan kosakata pada anak serta

kemampuan berkomunikasi dengan orang lain akan memiliki dampak

terhadap fungsi kongnitifnya. Kemampuan mengkomunikasikan

sesuatu seperti nama benda, orang atau binatang dengan

menggunakan kosakata yang banyak dan teratur akan mencerminkan

kemampuan berfikir anak akan hal tersebut.

6. Tahap menyalin kata-kata yang ada di lingkungan

Pada tahap ini anak anak-anak suka menyalin kata-kata yang mereka

temui seperti kata-kata yang terdapat pada poster di dinding.

7. Tahap menemukan ejaan

23

Pada tahap ini anak usia lima sampai enam tahun telah menggunakan

konsonan awal seperti L untuk kata love dan kosonan awal, tengah

dan akhir seperti DNS pada kata dinosaurus.

8. Tahap ejaan sesuai ucapan

Anak mulai dapat mengeja suatu tulisan berupa kata-kata yang

dikenalinya sesuai dengan ucapan yang didengarnya.

Dalam usaha meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis ada

dua macam pendekatan yaitu pendekatan kongnitif dan pendekatan

konstruktivis sosial.

1. Pendekatan kongnitif.

Dalam pendekatan kongnitif untuk menulis menekankan banyak

tema yang sama dengan aktivitas membaca seperti

pengkonstruksian makna dan mengembangkan strategi. Selain itu

perencanaan, pemecahan masalah, revisi, dan strategi

metakongnitif sangat penting dalam meningkatkan kemampuan

menulis pada siswa.

a. Perencanaan

Perencanaan adalah aspek penting dalam menulis karena

perencanaan mencakup penyusunan garis besar dan penataan

informasi isi. Sebelum menulis siswa perlu diberi tahu cara

membuat garis besar dan menata suatu makalah. Untuk itu

24

siswa perlu diberi umpan balik tentang kompetensi dari usaha

mereka.

b. Pemecahan masalah

Di sekolah siswa diajarkan bagaimana cara untuk menulis

dengan menggunakan kalimat dan paragraf yang benar.

Menulis bukan hanya sekadar sebagai ungkapan atau ekpresi

dan bahasa lisan dalam bentuk tulisan, tetapi menulis juga

dapat dijadikan pemecahan masalah dan seseorang psikolog

menanamkan proses pemecahan masalah tersebut ke dalam

menulis. Usaha dalam pemecahan masalah, maka seorang

penulis perlu menyusun tujuan dan berusaha mencapainya.

c. Revisi

Revisi adalah komponen utama dalam penulisan. Revisi

melibatkan penulisan beberapa draf, mencari informasi dari

individu yang mempunyai banyak pengetahuan tentang menulis

dan menggunakan informasi yang didapat untuk memperbaiki

atau mengoreksi tulisan agar tulisan yang sudah dibuat hasilnya

lebih baik.

d. Strategi metakongnisi

Metakongnisi memiliki arti bahwa pengetahuan tentang

pembelajaran, baik itu menyangkut diri sendiri atau tentang

25

bagaimana mereka belajar.22 Strategi metakongnisi sangat

penting untuk meningkatkan kemampuan menulis siswa.

Dengan menggunakan strategi metakongnisi dalam menulis

siswa akan memperkirakan atau mengetahui kendala apa saja

yang akan dialami ketika menulis. Kendala tersebut dialami oleh

siswa pada saat menulis dikarenakan kurangnya

perencanaan,tidak mencatat ide-ide, dan tidak memonitor

kemajuan penulisan mereka dengan membaca ulang dan

menulis ulang tulisan mereka.

2. Pendekatan konstruktivis sosial

Pendekatan konstruktivis sosial menekankan pada konteks

sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan

dikonstuksikan secara bersama atau mutual.23 Pendekatan

konstruktivis sosial dapat diaplikasikan dalam berbagai pelajaran

begitu juga dalam pelajaran menulis. Pendekatan konstruktivis

sosial menekankan bahwa menulis paling baik dipahami sebagai

sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial dalam konteks kultural

ketimbang muncul begitu saja dari dalam diri kita sendiri. Artinya

ide-ide untuk menulis bisa didapatkan dari berbagai sumber yang

ada dalam kehidupan sosial.

22 Robert E Slavin. 2008. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Jakarta: PT Indeks h. 252

23John W Santrock. 2006. Psikologi Pendidikan. Boston: McGraw Hill h. 39026

C. Matematika

Matematika merupakan ilmu pasti sehingga tidak dapat untuk ditawar

kembali oleh setiap orang yang mempelajarinya. Matematika memiliki empat

macam cara perhitungan, yaitu penjumlahan, pengurangan, perkalian dan

pembagian. Keempat cara ini lah yang menjadi kunci utama dalam ilmu

matematika. Matematika juga merupakan ilmu yang berhubungan dengan

intelegensi anak. Setiap anak pasti memiliki tingkat kemampuan atau

intelegensi yang berbeda-beda. Tingkat kemampuan dan intelegensi tersebut

bergantung pada stimulus yang didapat serta hubungan timbal balik antara

pengetahuan yang ia dapatkan dari lingkungan dengan dirinya sendiri.

Hubungan timbal balik tersebut akan membentuk sebuah konsep di dalam

pikiran anak, yaitu konsep suatu pengetahuan yang akan dibawa hingga

dewasa nanti.

Pada umumnya proses belajar-mengajar matematika berhubungan

dengan perubahan tingkah laku seseorang dipelajari melalui psikologi,

sehingga diterapkanlah teori-teori psikologi yang berkaitan dengan proses

belajar-mengajar matematika. Ada banyak metode dan model pembelajaran

matematika pada anakusia dini yang dikemukakan oleh para ahli terdahulu.

Salah satu teori yang banyak dianut untuk menjadi dasar pembelajaran

matematika adalah teori belajar kognitif yang dikemukakan oleh Jean Piaget.

Teori perkembangan kognitif Piaget banyak mempengaruhi dunia pendidikan,

27

terutama pendidikan kognitif pada masa anak-anak sampai remaja. Dalam

teori belajar kognitif Piaget, anak- anak adalah pembelajar yang aktif dan

termotivasi.24

Pada saat ini, anak-anak dari level atau grade satu sudah memiliki

pemahaman terhadap angka, bahkan untuk anak-anak TK yang berasal dari

keluarga menengah keatas biasanya sudah dapat berhitung sampai 10 atau

20. Secara sederhananya, mereka mampu menghitung objek sekitar, bahkan

terkadang sudah mampu menjumlah dan mengurangi angka satu digit.

Anak-anak yang memasuki grade SD, memiliki level pemahaman

matematika yang berbeda-beda. Beberapa anak akan ada yang

membutuhkan dukungan tambahan untuk pembelajaran matematika. Pada

usia 4–7 tahun atau pada grade TK - 2, pemikiran anak semakin

berkembang pesat. Tetapi perkembangan itu belum maksimal karena anak

masih mengalami operasi yang tidak lengkap dengan suatu bentuk pemikiran

atau penalaran yang kurang logis. Contoh: “Manakah yang lebih berat 1 Kg

kapas atau 1 Kg besi?”. Kebanyakan anak tersebut pasti menjawab 1 Kg besi

tanpa berpikir terlebih dahulu.Oleh karena itu pada tahap ini, diperlukan

pembelajaran matematika yang baik agar terbentuk pemahaman dasar

tentang angka dan geometri yang baik. 

24 Jeanne Ellis Ormrod. 2009. Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. Jakarta: Erlangga h. 40

28

Pada grade 3 – 5, secara umum anak–anak berusia 7–11 tahun. Pada

usia ini anak–anak mengalami tahap operasi konkret yang dicirikan dengan

perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada aturan-aturan

tertentu yang logis. Tahap operasi konkret ditandai dengan adanya sistem

operasi berdasarkan sesuatu yang kelihatan nyata atau konkret. Namun,

anak masih mempunyai kesulitan untuk menyelesaikan persoalan yang

mempunyai banyak variabel. Misalnya, apabila suatu benda A dikembangkan

dengan cara tertentu menjadi benda B, benda B dengan cara tertentu dapat

kembali menjadi benda A, contohnya: 5 + 3 = 8 dan 8 – 3 = 5. Pada grade ini,

metode pembelajaran matematika yang terjadi adalah penalaran multiplikatif,

ekuivalensi dan kelancaran perhitungan. Penalaran multiplikatif adalah

metode pembelajaran yang memberikan penekanan pada penalaran atau

logika, yang akan membantu mengembangkan pengetahuan yang diperoleh.

Ekuivalensi merupakan sebuah konsep yang membantu murid

untukmempelajari representasi matematika yang berbeda–beda dan memberi

kesempatan untuk mengeksplorasi ide–ide aljabar. Sedangkan kelancaran

perhitungan merupakan suatu keharusan yang wajib dipelajari oleh murid-

murid, misalkan konsep hubungan antar angka.

Pada grade 6 – 8, secara umum anak berusia 12–14 tahun. Pada usia

ini anak sudah mampu berpikir abstrak bila dihadapkan kepada suatu

masalah dan ia dapat menyelesaikan masalah tersebut. Pikirannya sudah

29

dapat melampaui waktu dan tempat tidak hanya terikat pada hal yang sudah

dialami.Mereka bisa menghubungkan kaitan antara aljabar dengan geometri.

Matematika pada tahap ini diharapkan mampu untuk mempersiapkan murid

dalam menangani solusi kuantitatif dalam kehidupan sehari–hari, contohnya

mencari luas dan volume bangun ruang.

Pada grade 9 – 12, secara umum anak berusia 15–18 tahun. Pada

usia ini anak berada pada tahap SMA. Matematika yang dipelajari jauh lebih

kompleks dan kebanyakan adalah aplikasi. Misalnya seperti, statistik,

probabilitas, matematika diskrit, dan lain-lain. Para siswa harus mampu

memvisualisasikan, mendeskripsikan, dan menganalisis situasi dalam bentuk

matematis.

Matematika dalam pendekatan kognitif menekankan pada pemecahan

problem secara konstruktivis. Prinsip konstruktivis merupakan prinsip yang

mengutamakan kecepatan penyelesaian masalah dalam matematika.

Ketrampilan kecepatan penyelesaian masalah matematika ini dapat

didapatkan dengan latihan yang ekstensif. Beberapa prinsip konstruktivis

yaitu25 :

1. Menjadikan matematika realistik dan menarik.

2. Mempertimbangkan pengetahuan murid yang sudah ada.

3. Membuat kurikulum matematika yang interaktif.

4. Membuat proyek matematika yang interaktif.

25John W Santrock. 2003. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Erlangga h. 44130

Pendidikan matematika mengalami perkembangan yang sangat pesat

sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, para pengajar juga

harus mampu mengikuti perkembangan matematika sehingga didapatkan

pengajaran matematika yang sesuai dan optimal.

D. Sains

Ilmuwan biasanya melakukan pemikiran dan perilaku tertentu.

Misalnya, mereka melakukan pengamatan yang cermat, mengorganisir dan

menganalisis data, mengukur, membuat grafik, dan memahami hubunggan

spasial, memerhatikan dan menata pemikiran mereka sendiri, dan tahu

kapan dan bagaimana cara mengaplikasikan pengetahuan mereka untuk

memecahkan masalah.

Pertama: Sains sebagai suatu proses adalah metode pengetahuan.

Gambaran sains berhubungan erat dengan kegiatan penelusuran

gejala dan fakta-fakta alam yang dilakukan melalui kegiatan

laboratorium. Kebenaran sains akan diakui jika penelusurannya

berdasar pada kegiatan pengamatan, hipotesis (dugaan awal) dan

percobaan-percobaan yang ketat, dan obyektif, meskipun kadang

bersebrangan dengan nilai yang ada.

Kedua: sains sebagai suatu produk terdiri atas berbagai fakta, konsep,

prinsip, hukum, dan teori.

31

Ketiga: Sains sebagai suatu sikap keilmuan, maksudnya adalah

sebagai keyakinan, opini, nilai-nilai yang harus dipertahankan oleh

seorang ilmuwan, khususnya ketika mencari atau mengembangkan

pengetahuan baru.26

Tujuan dalam pembelajaran sains bahwa pembelajaran sains sejak dini

sangatlah baik untuk proses kematangan berfikir anak”. Dengan belajar

sains, seorang anak akan berfikir secara ilmiah pada otak kirinya, sebab

didalamnya anak akan diajak untuk berfikir analitis, mengaitkan hubungan

antara sebab dan akibat, kemudian menarik sebuah kesimpulan dari

hubungan tersebut.

E. Studi Sosial

Istilah studi sosial sering disebut juga dengan ilmu sosial yang

merupakan suatu bidang ilmu dimana penekanan utamanya terletak pada

upaya memperkenalkan dan mengidentifikasi beragam latar belakang kultural

untuk membuat keputusan rasional berdasarkan informasi yang luasguna

mengembangkan warga masyarakat yang baik.27 Di samping itu, ilmu sosial

dikaitkan dengan disiplin intelektual yang mempelajari manusia sebagai

makhluk sosial secara ilmiah dan memusatkan perhatian pada manusia

sebagai anggota masyarakat dan pada kelompok masyarakat yang dibentuk.

Kemudian, guna menambahkan aspek pemahaman tentang studi sosial 26 Sund Sarin. 1989. Teaching Children Sains. Surabaya: PT. Java Pustaka h. 2227 John Santrock. 2006. PsikologiPendidikan. Boston: McGraw Hill h. 450

32

dijelaskan dengan sebuah pernyataan bahwa studi sosial atau ilmu sosial

merupakan sebuah kajian tentang manusia sebagai makhluk bermasyarakat

yang timbul sebagai wujud pokok permasalahan penting dalam kajian di

sekolah.28 Artinya bahwa studi sosial dapat dianggap sebagai suatu mata

pelajaran manusia dalam masyarakat pada masa lalu, masa kini, dan masa

yang akan datang (tekadnya pada masalah hubungan manusia).

Studi sosial juga merupakan berbagai ilmu sosial yang mana

aplikasinya disederhanakan bagi tujuan yang bersifat pedagogis atau

pendidikan di sekolah yang terdiri atas geografi, sejarah, sosiologi, dan

berbagai subjek pelajaran berbeda.29 Dari keseluruhan pemaparan mengenai

studi sosial dapat dirumuskan ke dalam satu pemahaman utuh yang

mendeskripsikan bahwa studi sosial merupakan suatu disiplin ilmu yang

mengkaji tentang aspek perilaku manusia dalam bersosialisasi di lingkungan

bermasyarakat berkaitan dengan psikologi individu tersebut.

Pada pendekatan konstruktivis merupakan pebelajaran pada studi

sosial dengan menggunakan pendekatan konstruktivis akan lebih

memudahkan dalam menekankan penggunaan segala macam sumber

informasi yang bervariatif dan luas. Konstruktivis memerupakan sebuah

pandangan dimana pelajar lebih aktif pada proses pembelajaran dalam

28 Paul Mathias. 1973. The Teacher handbook for sosial Studies. London: Blandford Press, h. 20-21

29 Edgar Wesley. 1952. Teaching Social studies. Boston: D.C Heath & Co h. 9 33

membangun pemahaman dan memahami informasi.30 Konstruktivisme

dikenal sebagai pendekatan dalam psikologi yang memandang bahwa anak

dapat membangun pemahaman serta pengetahuan mereka sendiri yang

mana hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membelajarkan dirinya

sendiri melalui berbagai pengalaman yang telah dimilikinya.31

Pendekatan konstruktivisme ini dapat diaplikasikan pada bidang

pendidikan seperti sains dan matematika, psikologi, dan antropologi, serta

komputer. Supaya lebih mempermudah mengorganisasikan tentang

pandangan-pandangan konstruktivisme, maka konstruktivisme dibagi menjadi

dua yakni konstruktivisme kognitif dan konstruktivisme sosial. Pendekatan

konstruktivis juga menitikberatkan pada studi sosial yang dianggap dapat

bermanfaat jika hal-hal apa saja yang dipelajari dalam studi sosial berguna

baik di dalam maupun di luar sekolah serta menekankan makna yang hakiki

dari pemikiran kritis terhadap nilai-nilai.32

30 Martini Jamaris. 2010. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Jakarta: Yayasan Penamas Murni h. 207

31 Anita Woolfolk. 2009. Educational Psychology. Boston: Pearson Education, Inc h. 145

32 John Santrock. 2006. PsikologiPendidikan. Boston: McGraw Hill h. 45434

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Perkembangan kognitif seseorang mempunyai peranan penting bagi

keberhasilan dalam proses belajarnya, karena sebagian besar aktivitas

dalam belajar selalu berhubungan dengan masalah mengingat dan berpikir

supaya dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang menuntut adanya

35

pemecahan dan kita perlu memiliki kemampuan untuk mencari cara

pemecahannya.

Usaha untuk melaksanakan pembelajaran, yang dilakukan secara

kognitif pada pengenalan seluruh kegiatan secara sederhana, hendaknya

guru dapat merencanakan pembelajaran dengan memperhatikan kelemahan-

kelemahan yang sering dialami dalam melakukan percobaan-percobaan

sederhana. Guru dapat mengupayakan selalu membantu peserta didiknya

dalam memahami percobaan-percobaan yang dilakukan dengan memulai

percobaan sederhana.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono. 2012. Anak Bekesulitan Balajar Teori, Diagnosis,

Dan Remediasinya. Jakarta: Rineka Cipta

Jamaris, Martini. 2010. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Jakarta:

Yayasan Penamas Murni

Mathias, Paul. 1973. The Teacher handbook for sosial Studies. London:

Blandford Press

36

Ormrod, Jeanne Ellis. 2009. Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh

dan Berkembang. Jakarta: Erlangga

Purwanto, Ngalim M. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya

Sarin, Sund. 1989. Teaching Children Sains. Surabaya: PT. Java Pustaka

Santrock, John W. 2001. Educational Psychology. Dallas: University of Texas

Santrock, John W. 2003. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Erlangga

Santrock, John W. 2006. Psikologi Pendidikan. Boston: MCGraw Hill

Santrock, John W. 2012. Life-Span Developments Perkembangan Masa-

Hidup. Jakarta: Erlangga

Slavin, Robert E. 2008. Psikologi PendidikanTeori dan Praktik.Jakarta: PT.

Indeks

Wesley, Edgar. 1952.Teaching Social studies. Boston: D.C Heath & Co

Woolfock, Anita. 2007. Educational Psychology. Boston: Pearson Education,

Inc

37