Clinical Trial

102
BAB II EPILEPSI A. Definisi Kata epilepsi berasal dari Yunani Epilambanmein yang berarti serangan. Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hal ini merupakan latar belakang adanya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi. Mitos tersebut mewarnai sikap masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan terhadap penderita epilepsi dalam kehidupan normal. 1 Epilepsi sebetulnya sudah dikenal sekitar tahun 2000 sebelum Masehi. Hippokrates adalah orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia. 1 Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berulang. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel selotak, bersifat sinkron dan berirama. Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan yang terjadi selama 3 | Page

description

fosphenytoin vs phenytoin

Transcript of Clinical Trial

BAB IIEPILEPSI

A. DefinisiKata epilepsi berasal dari Yunani Epilambanmein yang berarti serangan. Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hal ini merupakan latar belakang adanya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi. Mitos tersebut mewarnai sikap masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan terhadap penderita epilepsi dalam kehidupan normal.1Epilepsi sebetulnya sudah dikenal sekitar tahun 2000 sebelum Masehi. Hippokrates adalah orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia.1Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berulang. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel selotak, bersifat sinkron dan berirama. Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung dan occasional provokes seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia.3Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi oleh karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai etiologi. Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas.4

B. Anatomi dan FisiologiOtak memiliki kurang lebih 15 (lima belas) milyar neuron yang membangun subtansia alba dan substansia grisea. Otak merupakan organ yang sangat komplek dan sensitif, berfungsi sebagai pengendali dan pengatur seluruh aktivitas : gerakan motorik, sensasi, berpikir dan emosi. Di samping itu, otak merupakan tempat kedudukan memori dan juga sebagai pengatur aktivitas involuntar atau otonom. sel-sel otak bekerja bersama-sama, berkomunikasi melalui signal-signal listrik. Kadang-kadang dapat terjadi cetusan listrik yang berlebihan dan tidak teratur dari sekelompok sel yang menghasilkan serangan atau seizure. Sistem limbik merupakan bagian otak yang paling sensitif terhadap serangan. Ekspresi aktivitas otak abnormal dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis.5Neokorteks (area korteks yang menutupi permukaan otak), hipokampus, dan area fronto-temporal bagian mesial sering kali merupakan letak awal munculnya serangan epilepsi, Area subkorteks misalnya thalamus, substansia nigra dan korpus striatum berperan dalam menyebarkan aktivitas serangan dan mencetuskan serangan epilepsi umum. Pada otak normal, rangsang penghambat dari area subkorteks mengatur neurotransmiter perangsang antara korteks dan area otak lainnya serta membatasi meluasnya signal listrik abnormal. Penekanan terhadap aktivitas inhibisi eksitasi di area tadi pada penderita epilepsi dapat memudahkan penyebaran aktivitas serangan mengikuti awal serangan parsial atau munculnya serangan epilepsi umum primer.5

C. PatofisiologiSerangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan daripada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasiaferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.3Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan aktivitas kejang.3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian mengajak neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersama-sama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak.7Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat bervariasi.3Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF) yang membedakan seseorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsy pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.8Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA (gamma aminobutyric acid) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan.9Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan.9Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai.Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan.10

D. DiagnosisDiagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.1. AnamnesisAnamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.11Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi: Pola / bentuk serangan Lama serangan Gejala sebelum, selama dan paska serangan Frekwensi serangan Faktor pencetus Ada atau tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang Usia saat serangan pertama terjadi Riwayat kehamilan, persalinan dan pertumbuhan Riwayat penyakit, penyebab penyakit dan terapi yang pernah diberikan sebelumnya Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologisMelihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan congenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai panduan. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan pertumbuhan, organomegali (pembesaran organ secara abnormal), perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.123. Pemeriksaan penunjanga. Elektro-ensefalografi (EEG)Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal, apabila :131) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku/tajam/lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron). Gambar 1. Gambaran EEG Hypsarrhythmia pada spasme infantile

Gambar 2. Gambaran EEG pada Epilepsi petit mal atau absence seizure

Gambar 3. Gambaran EEG pada epilepsi mioklonik

b. Rekaman video EEGRekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.14c. Pemeriksaan radiologisCT Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala merupakan pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging yang bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural di otak dan melengkapi data EEG.CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontraindikasi, namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsy dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibandingkan dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil di otak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.14d. Pemeriksaan neuropsikologiPemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada atau tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi.14

E. Klasifikasi EpilepsiBerdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang dibagi menjadi :a. Kejang umum (generalized seizure) jika aktivasi terjadi pd kedua hemisfere otak secara bersama-sama. Kejang umum terbagi atas :1. Tonic-clonic convulsion = grand malMerupakan bentuk paling banyak terjadi pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala.2. Abscense attacks = petit malJenis yang jarang umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan kepala terkulai kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak disadari.3. Myoclonic seizureBiasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba jenis yang sama (tapi non-epileptik) bisa terjadi pada pasien normal.4. Atonic seizureJarang terjadi pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot jatuh, tapi bisa segera sembuh.b. Kejang parsial/focal jika dimulai dari daerah tertentu dari otak. Kejang parsial terbagi menjadi :1. Simple partial seizuresPasien tidak kehilangan kesadaran terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari tubuh.2. Complex partial seizuresPasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali seperti gerakan mengunyah, meringis, dan lain-lain tanpa kesadaran.15

F. Penatalaksanaana. Non farmakologi1) Amati faktor pemicu2) Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya : Stress, OR, konsumsi kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dan lain-lain.b. FarmakologiMenggunakan obat-obat antiepilepsi yaitu :1) Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+ :Inaktivasi kanal Na akan menurunkan kemampuan syaraf untuk menghantarkan muatan listrik. Contoh: Phenytoin, Fosphenytoin, Carbamazepin, Lamotrigin, Okskarbazepin, Valproat.2) Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik :Agonis reseptor GABA akan meningkatkan transmisi inhibitor dengan mengaktifkan kerja reseptor GABA, contoh : Benzodiazepin, Barbiturat. Menghambat GABA transaminase, konsentrasi GABA meningkat, contoh : Vigabatrin. Menghambat GABA transporter, memperlama aksi GABA, contoh : Tiagabin. 3) Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal pasien mungkin dengan menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesikular contoh : Gabapentin.15

BAB IIISTATUS EPILEPTIKUS

A. PendahuluanStatus epileptikus diartikan sebagai suatu kondisi dimana ditemukan berbagai gejala terutama perubahan status mental yang lama diakibatkan aktifitas bangkitan yang sedang berlangsung. Manifestasi klinis dapat bervariasi dari bingung sampai gangguan tingkah laku aneh dan psikosis serta koma. Status epilepsi nonkonvulsi tidak terdiagnosa, seringkali dianggap sebagai gangguan psikiatri.Pada tahun 1945 Lennox menemukan gambaran EEG pada pasien dengan Status Petit Mal. Status epilepsi non konvulsi pertama ditemukan oleh Charcot pada tahun 1988 pada pasien yang somnolen akibat keracunan tripel bromide. Pada tahun 2004, kelompok dari Neuroscience mengadakan pertemuan untuk membicarakan definisi, diagnosa dan penatalaksanaan status epilepsi non konvulsi. Walaupun kedalam status epilepsi konvulsi termasuk beberapa jenis gejala yang berbeda namun ada dua hal yang tak terpisahkan yaitu kesulitan menegakkan diagnosa dan ketidak jelasan cara pengobatan yang tepat.

B. DefinisiStatus epileptikus adalah serangan epilepsi yang berlangsung lebih dari 30 menit ditandai dengan adanya aktifitas bangkitan yang kontinyu atau berulang pada perubahan Elektro Encephalogram (EEG) yang menyebabkan berbagai gejala klinik mencakup gangguan kesadaran, gangguan persepsi dengan tingkah laku yang abnormal. Menurut The Epilepsy Research Foundation, status epileptikus adalah suatu rangkaian kondisi dimana ditemukan aktifitas bangkitan yang memanjang yang menyebabkan gejala klinis non konvulsi.Bila seseorang anak diduga menderita status epileptikus maka EEG harus segera dilakukan. Rekaman EEG akan memudahkan dokter untuk mengkonfirmasi atau mengeklusi diagnosis status epileptikus. Idealnya EEG dilakukan sebelum anak mendapat obat anti epilepsi. EEG juga berguna untuk memonitor respon pengobatan. Status epileptikus dibedakan dengan status epileptikus karena tidak ditemukan atau sedikit ditemukannya komponen motorik. Tanda dominan dari status epileptikus adalah perubahan status mental yang berhubungan dengan perubahan pada EEG.Ada 3 jenis utama dari status epileptikus : Status absens yang merupakan epilepsi umum dan status parsial komplek yang berasal dari bangkitan fokal dan kategori ketiga hipsaritmia terutama ditemukan pada spasme infantile atau syndrome West.Status absent dan status parsial komplek keduanya ditandai dengan perubahan dari tingkat kesadaran dan tingkah laku, keduanya tidak ditemui atau ditemui gejala motorik yang minimal. Gejala awal dapat terjadi mendadak atau perlahan-lahan, lamanya gejala bervariasi dari beberapa menit, hari atau bulan. Tidak berespon, salah satu gejala yang harus dipertimbangkan sebagai suatu gambaran dari status absens. Status absens biasanya khas ditemukan pulihnya kesadaran, yang terlebih dahulu terjadi normalisasi post iktal secara berangsur-angsur. Menurut sejarah status absens lebih banyak ditemukan daripada status parsial komplek, tetapi dengan perbaikan dari teknik EEG. Aktifitas cepat (rapid generalization) dari status parsial komplek pada EEG sering dianggap sebagai status absens.66

C. PatofisiologiPada struktur kortikal tidak semua aktivasi epilepsi berasal dari gangguan keseimbangan antara pengaruh depolarisasi dan hiperpolarisasi dalam jaringan yang saling berhubungan dari neuron. Pengaruh-pengaruh ini dapat berkaitan dengan sinaps atau sifat intrinsik membran sejalan dengan sifat-sifat regulasi ion. Pemahaman yang paling umum adalah status epileptikus merupakan mekanisme yang mengembangkan kesinambungan aktifitas epilepsi, disamping kegagalan mekanisme yang menghentikan aktifitas ini dan mekanisme yang memungkinkan terpeliharanya sejumlah fungsi otak walaupun aktifitas epilepsi sedang berlangsung. Mekanisme yang dapat menyebabkan terjadinya serangan berulang ialah bangkitan epileptiform yang melibatkan sel-sel neuron yang dapat menghasilkan munculnya aksi potensial lambat. Melalui mediasi ion Na+ dan Ca2+ saat berlangsungnya aktivasi, terutama oleh depolarisasi yang kuat atau berkelanjutan (umpamanya pada saat serangan berlangsung), di mana semua ini menyebabkan cetusan berulang. Selain itu faktor sinaptik dan mekanisme non sinaptik mungkin memegang faktor penting pada kelanjutan aktifitas epilepsi. Pengaliran ion-ion berhubungan dengan aktifitas dan keterlibatan neuron-neuron yang mencetuskan bangkitan yang tersebar dalam ruang ekstra seluler, menginduksi eksitabilitas dari membran neuron sekitarnya melalui efek lapangan medan elektrik. Kemudian aktifitas neuronal yang kuat menghasilkan fluktuasi ion-ion ektra seluler terutama ion K+ yang juga cenderung mengimbas pada neuron lain yang berdekatan. Aktifitas epilepsi sudah diketahui dapat menginduksi suatu kaskade fisiologik dari neuron-neuron instrinsik dan mekanisme sinaps yang cenderung dapat meredakan aktifitas, sebagai hasilnya banyak serangan epilepsi yang dapat membaik dengan sendirinya. Kelumpuhan dari mekanisme penghentian serangan inilah yang mencetuskan perpanjangan bangkitan yang akhirnya menjadi status epileptikus.66,67

D. Manifestasi KlinisManifestasi klinis dari status epileptikus mencakup perubahan status mental yang menyeluruh. Dapat diketahui dari keluarga atau teman-teman, dapat berupa delirium atau koma. Fluktuasi dari gejala dapat terjadi dengan berbagai tingkatan, sehingga dapat mengaburkan diagnosa. Aktifitas motorik biasanya normal pada sebagian besar kasus, namun terkadang ditemukan kekakuan (clumsiness), apraksia, jerking fokal, twiching pada otot wajah seperti mata sering berkedip, mengunyah atau mengecap-ngecap makanan, gerakan automatisme dalam bentuk gerak yang nyata sangat jarang seperti flexi, ekstensi dari ekstermitas, deviasi kepala.66Gejala klinik pada pasien status epileptikus, adalah sebagai berikut :68 Gangguan kognisi ringan (gangguan atensi) kesulitan dalam perencanaan dari gerakan motor yang komplek secara teratur (berurutan) Disorientasi ringan atau bingung Kondisi bingung yang berkepanjangan Gangguan moods Buta kortikal Gangguan bicara (bicara kurang lancar, afasia, membisu) Ekolali Konfabulasi Tingkah laku aneh dari sebelumnya (ketawa, berdansa atau bernyanyi) Gejala psikotik Gangguan otonom (sendawa, bunyi gemuruh pada lambung, kentut) Gangguan sensori Koma Perbandingan diagnosa dari perubahan status mental harus diketahui untuk dapat menentukan penyebab lain, seperti riwayat medis, neurologi, psikiatri, riwayat keluarga, sosial dan riwayat pengobatan merupakan komponen yang sangat penting untuk menunjang diagnostik. Kondisi dimana status epileptikus harus dipertimbangkan :68

Periode post iktal yang memanjang (lebih dari 2 jam) sesudah kejang umum tonik klonik. Perubahan status mental ditandai dengan twitching atau kedip kedip mata atau status mental yang berfluktuasi. Perubahan status mental dimana etiologi tidak dapat ditentukan terutama untuk pasien yang punya riwayat kejang. Perubahan status mental yang tidak dapat diterangkan pada usia lanjut. Pasien stroke dimana gejala klinik memburuk tanpa dapat diterangkan penyebabnya.

E. DiagnosisSekarang ini tidak ada kriteria yang jelas untuk menentukan status epileptikus, jika diduga terjadi status epileptikus berdasarkan gejala klinik yang terlihat, maka segera lakukan pemeriksaan EEG untuk konfirmasi diagnosa dan penatalaksaan langsung. Pada status absens, EEG ditandai dengan aktifitas bangkitan yang kontinyu, ritmik dan bilateral sinkron, letupan spike wave dengan interval 3 per detik maksimum di daerah bifrontal, variasi EEG dapat berupa 2-3 per detik spike wave komplek dan juga gelombang lambat, gelombang paku yang ritmik atau aritmik atau aktifitas poli spike.68 Pada status parsial komplek ditemukan aktifitas bangkitan yang sinkron dengan perlambatan yang ritmik, gelombang paku yang ritmik dan gelombang tajam yang ritmik serta gelombang lambat.Salah satu yang harus diwaspadai dimana gambaran EEG dapat menyokong untuk ke-2 macam status epileptikus adalah tidak ada gejala patognomosis. Jika EEG dilakukan pada onset dari bangkitan, dapat ditemukan fokus yang jelas sehingga dapat membedakan status parsial komplek (CPS) dari status absens (AS). Jika bangkitan umum sekunder terjadi akibat adanya bangkitan yang dapat menyebar dari CPS yang berlangsung dalam waktu lama, akan terjadi kesalahan klasifikasi.66Kriteria EEG dari status epileptikus menurut Epilepsy Research Foundation Workshop, antara lain adalah Bangkitan fokal yang kontinyu Keseluruhan letupan gelombang paku yang kontinyu Letupan gelombang paku yang menyeluruh dengan perubahan yang signifikan secara intensitas atau frekuensi dibandingkan dengan EEG dasar yang terjadi secara kontinyu Lateralisasi periodic bilateral, yang ditandai dengan adanya letupan gelombang epilepsi pada pasien koma yang mengalami kejang tonik klonik EEG abnormal secara kontinyu pada pasien yang tidak ditemukan adanya gangguan sebelumnya EEG abnormal secara kontinyu pada pasien dengan epileptik ensefalopati dan juga ditemukan adanya kelainan yang sama pada inter iktal namun dari segi gejala klinis lebih mengarah ke status epileptikusBeberapa contoh gambaran EEG pada pasien dengan status epileptikus adalah sebagai berikut.

Gelombang paku fokal didaerah temporal kanan dan temporal posterior kanan pada anak laki-laki 9 tahun yang menjadi tidak mau bicara dan kelihatan bingung sesudah mendapat kemoterapi dengan methotrexsat untuk Akut Limpoblastik Leukemia (ALL) ditemukan juga gelombang lambat delta difus pada hemisfer kiri

Rekaman EEG yang dilakukan sesudah perbaikan klinis, terlihat penurunan jumlah gelombang paku fokal dan perbaikan dari perlambatan yang difus.

Gelombang paku-ombak yang difus yang terjadi secara kontinyu pada anak perempuan usia 7 tahun, dimana terlihat perubahan tingkah laku sejak 2-3 minggu sebelumnya.

F. PengobatanPada tahun 1993, Epilepsy Foundation of America (EFA) Working Group on Status Epilepticus menerbitkan pedoman dan protokol pengobatan status epileptikus. Pedoman dan protokol ini didasarkan pada kajian literatur dan pendapat dari para ahli dan dewan penasehat professional. Beberapa prinsip pengobatan utama dari pedoman ini masih tetap berlaku seperti memanfaatkan protokol pengobatan yang disepakati, menyediakan obat antiepilepsi (AED) secara cepat dan berkala dalam dosis maksimal (mg/kg), dan mempertimbangkan EEG saat diagnosis gejala non kejang atau kejang status epileptikus yang harus dihindari.Protokol ini menyatakan bahwa kedua aktivitas kejang klinis dan electrical seizure harus dihentikan secara cepat untuk hasil yang optimal. Semakin lama status epileptikus bertahan, semakin sulit untuk mengontrol dan cedera sistem saraf pusat mungkin terjadi. Dengan demikian, pengobatan awal dan agresif adalah pendekatan yang direkomendasikan.69,70Protokol untuk Penangangan Status Epileptikus Menurut Epilepsy Foundation of America (EFA) Working Group on Status Epilepticus

Pada menit ke-0 Dimulai dengan bantuan jalan napas sistemik secara umum (jika perlu berikan nasal airway atau intubasi) Cek tekanan darah Berikan nasal oxygen Pantau ECG dan pernafasan Cek suhu tubuh secara berkala Kumpulkan riwayat pasien Lakukan tes neurologi Kirimkan sample serum untuk dilakukan evaluasi kadar elektrolit, kadar nitrogen urea dalam darah, kadar glukosa, jumlah sel darah lengkap, gambaran toksisitas obat, dan kadar antikonvulsan; cek kadar gas darah arteri. Berikan IV line yang mengandung larutan saline isotonic dengan laju infus lambat. Injeksikan 50 ml cairan glukosa 50% secara IV dan 100 mg Thiamine secara IV atau IM. Hubungi laboratorium EEG untuk memulai perekaman secepatnya. Berikan Lorazepam dengan dosis 0.1-0.15 mg/kg IV (2 mg/menit); jika kejang masih terjadi, berikan Fosphenytoin dengan dosis 18 mg/kg IV (150 mg/menit, dengan penambahan 7 mg/kg jika kejang berlanjut). Pada 20-30 menit, jika kejang masih terjadi Intubasi, berikan bladder catheter, lakukan perekaman EEG dan cek suhu tubuh. Berikan Phenobarbital dengan dosis awal 20 mg/kg IV (100 mg/menit) Pada 40-60 menit, jika kejang masih terjadi Berikan infus Phenobarbital dengan dosis awal 5 mg/kg IV, lanjutkan hingga kejang berhenti, lakukan pemantauan EEG; lanjutkan pemberian infus Phenobarbital dosis 1 mg/kg/jam dengan laju infus lambat setiap 4-6 jam untuk mendeteksi jika kejang sudah berhenti; lakukan pemantauan secara seksama pada tekanan darah dan pernafasan. Jaga tekanan darah dengan pressor jika perlu. Atau, berikan Midazolam dosis 0.2 mg/kg, lanjutkan dengan dosis 0.75-10 mg/kg/menit. Lakukan pemantauan hasil EEG. Atau, berikan Propofol dengan dosis awal 1-2 mg/kg, diikuti dengan 2-10 mg/kg/jam. Sesuaikan dosis pemeliharaan berdasarkan hasil pemantauan EEG.

Pada tahun 2005 diterbitkan The Finnish Evidence Based Guidelines for Prolonged Seizure and Status Epilepticus diintegrasikan untuk pengobatan pertolongan pertama pada status epileptikus yang diberikan oleh tenaga non medis di fase premonitory hingga penanganan kondisi darurat dari status epileptikus.71

Protokol untuk Terapi obat, penilaian umum dan investigasi darurat dari kejang status epileptikus sebagai fungsi waktu sejak terjadinya kejang menurut The Finnish Evidence Based Guidelines for Prolonged Seizure and Status Epilepticus

Tahap premonitory/rawat jalan

WaktuTerapi ObatPenilaian umumInvestigasi darurat

5 menitDewasa :Diazepam 10 mg melalui rektalAnak-anak :Diazepam 0.5 mg/kg melalui rektalAirway, pernafasan, sirkulasi dan keamananGlukometer

Ulangi sekali lagi jika perlu. Jika kejang berlanjut, segera lakukan penilaian awal status epileptikus

Tahap awal/rawat jalan atau rawat inap

5-20 menitDewasa : Lorazepam 4 mg injeksi IV atau Diazepam 10 mg IVAnak-anak : Lorazepam 0.1 mg/kg (maks. 4 mg) IV atau Diazepam 0.3 mg/kg (maks. 10 mg) IVAirway, Oxygen

Fungsi jantung dan pernafasan dan monitoring EEG, tekanan darah, SpO3Glukosa, Na, K, Ca, CRP, Astrup level of AED, gambaran toksikologi, tes fungsi hati dan ginjal

Jika kejang berlanjut, maka ditetapkan sebagai status epileptikus

Tahap kedua/penanganan darurat

20-60 menitFosphenytoin 15-18 mg PE/kg IV dengan laju maksimal 150 mg PE/menit atau Phenytoin 15-18 mg/kg dengan laju maksimal 50 mg/menit

Anak-anak : Phenobarbital 15-20 mg/kg dengan laju maksimal 100 mg/menit Jika kejang berlanjut, makan ditetapkan sebagai refractory status epilepticusFungsi jantung dan pernafasan dan monitoring EEG, tekanan darah, SpO3, jika perlu gunakan pressor.CT scan untuk etiologiCSF untuk infeksi sistem saraf pusat

EEG untuk pseudostatus

Tahap ketiga/ICU

>60 menitAnestesi umum

InjeksiThiopental 3-5 mg/kg, kemudian 3-5 mg/kg/jam atauPentobarbital 10-15 mg/kg, kemudian 0.5-1 mg/kg/jam

Atau

Injeksi Midazolam 0.2 mg/kg, maksimal 2 mg/kg, kemudian 0.05-2 mg/kg/jam atau Hanya untuk dewasa : Injeksi Propofol 1-2 mg/kg, maksimal 10 mg/kg, kemudian 2-10 mg/kg/jamPenanganan intensif, ventilator, dan terapi hemodinamikTekanan intracranial meningkat, jika terjadi gejala lakukan penilaian dan terapiPemantauan EEG, electrographic seizures, depth of anesthesia

Astrup, K, Na, glukosa, lactate, levels of AEDs

Terakhir pedoman yang komprehensif untuk status epileptikus diterbitkan oleh European Federation of Neurological Societies (EFNS) pada tahun 2006. Pedoman tersebut didasarkan pada pencarian literatur dan diskusi kelompok (pendekatan konsensus informatif).72Manajemen atau terapi status epileptikus menurut European Federation of Neurological Societies (EFNS)

1. Manajemen awal : Penilaian dan kontrol terhadap airways dan pernafasan. Pemantauan gas darah arteri Electrocardiogram (ECG) Pemantauan tekanan darah Pemberian Thiamine dan Glukosa secara IV Penilaian darurat terhadap kadar obat antiepilepsi Penilaian darurat terhadap kadar elektrolit dan magnesium Gambaran hematologi lengkap Penilaian fungsi hati dan ginjal 2. Terapi farmakologi awal terhadap generalised convulsive status epilepticus (GCSE) and non-convulsive status epilepticus (NCSE) Pemberian Lorazepam 0.1 mg/kg secara IV. Tergantung pada kondisi medis pasien secara umum, dokter dapat memutuskan untuk memulai pengobatan dengan dosis yang lebih rendah dari 4 mg dan ulangi dosis ini jika status epileptikus tidak berhenti dalam waktu 10 menit. Pemberian tunggal dari 4 mg Lorazepam telah terbukti cukup berhasil pada lebih dari 80% pasien yang status epileptikus. Jika pemberian Lorazepam IV tidak memungkinkan, pemberian Diazepam 10 mg diikuti dengan Phenytoin or Fosphenytoin dapat digunakan sebagai pengganti. Phenytoin harus diberikan dengan cepat dengan laju infus 50 mg/menit; rejimen ini sama amannya dengan pengobatan antikonvulsan menggunakan obat lain. Namun, harus diingat bahwa lamanya waktu infus untuk Diazepam diikuti dengan Phenytoin sekitar 40 menit dibandingkan dengan 5 menit untuk pemberian Lorazepam. Jika memungkinkan, perawatan pre-hospital diperlukan, dan pada GCSE, pemberian 2 mg Lorazepam iv sama efektifnya dengan 5 mg Diazepam.3. Manajemen pada refractory status epilepticus (RSE) Dirujuk ke ICU Pemberian obat anastesi seperti Midazolam (0.2 mg/kg IV, diikuti dengan infus secara berkala dengan laju 0.05-0.4 mg/kg/jam); Propofol (dosis awal : 2-3 mg/kg IV diikuti dengan injeksi lebih lanjut 1-2 mg/kg hingga kejang terkontrol, kemudian lanjutkan dengan infus 4-10 mg/kg/jam) or Barbiturates (Thiopental, dosis awal 3-5 mg/kg, dilanjutkan dengan injeksi 1-2 mg/kg setiap 2-3 menit hingga kejang terkontrol, kemudian lanjutkan dengan infus secara berkala dengan laju 3-7 mg/kg/jam) untuk GCSE dan subtle status epileptikus Pemberian obat antikonvulsan non anestetik seperti Phenobarbital (20 mg/kg IV pada laju infus 50 mg/menit); Valproic acid (25-45 mg/kg IV diinfuskan dengan laju 6 mg/kg/menit), or Levetiracetam (1000-3000 mg selama jangka waktu 15 menit) yang diberikan untuk complex partial status epileptikus.

BAB IVPHENYTOIN

A. Sejarah PhenytoinPhenytoin (5,5-diphenylimidazolidine-2,4-dione) pertama kali disintesis tahun 1908 oleh Heirich Biltz, seorang ahli kimia berkebangsaan Jerman. Biltz menjual penemuannya ke Parke-Davis, namun tidak menemukan kegunaan langsung dari obat tersebut. Ilmuwan lain termasuk Houston Merritt dan Tracy Putnam di tahun 1938 menemukan kegunaan Phenytoin untuk mengendalikan serangan epilepsi grandmal dan psikomotor pada penelitian mereka pada manusia.15

B. Fisikokimia PhenytoinSifat-sifat Phenytoin mirip dengan Barbiturat. Phenytoin merupakan amida siklik dengan pKa 8,3. Anion menjadi stabil dengan resonansi muatan negatif ke oksigen dari gugus karbonil dan obat ini biasanya digunakan sebagai garam sodium untuk meningkatkan kelarutan dalam air. Secara keseluruhan nama ilmiah Phenytoin adalah 5,5-diphenylimidazolidine-2,4-dione.16

Struktur inti Phenytoin

Struktur Phenytoin sodium

Umumnya Phenytoin berupa serbuk kristal yang berwarna putih atau agak putih,. Phenytoin umumnya tidak larut dalam air, namun dapat larut dalam alkohol, kloroform dan eter, dengan titik lebur 295-298 C.Berbeda dengan garamnya, Phenytoin sodium berupa serbuk kristal berwarna putih yang bersifat sedikit higroskopis; terpapar udara secara bertahap karena menyerap karbondioksida, tidak berbau, tidak berasa. Dapat larut dalam air dan alkohol; praktis tidak larut dalam kloroform, eter dan diklorometan.17,18

C. Farmakologi Phenytoin adalah obat anti konvulsan yang dapat digunakan dalam pengobatan epilepsi tonik-klonik. Lokasi utama aksi primer Phenytoin adalah di korteks motorik di mana penyebaran aktivitas kejang dihambat. Dengan melepaskan sodium dari neuron, Phenytoin cenderung untuk menstabilkan ambang rangsang terhadap hyperexcitability yang disebabkan oleh stimulasi yang berlebihan atau perubahan lingkungan yang mampu mengurangi gradien membran sodium. Ini termasuk pengurangan potensiasi posttetanic pada sinapsis. Kehilangan potensiasi posttetanic dapat mencegah tekanan kejang kortikal dari letupan di daerah kortikal yang berdekatan. Phenytoin mengurangi aktivitas maksimal di pusat batang otak yang bertanggung jawab dalam fase tonik pada kejang tonik-klonik (grand mal).19FarmakodinamikTerdapat dua mekanisme antikonvulsan yang penting yaitu mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam fokus epilepsi dan mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi.19 Mekanisme kerja obat antiepilepsi hanya sedikit yang dapat dimengerti secara baik. Berbagai obat antiepilepsi diketahui dapat mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologi otak, terutama yang mempengaruhi system inhibisi yang melibatkan GABA dalam mekanisme kerja berbagai antiepilepsi.19Obat golongan Hydantoin dikenal tiga senyawa antikonvulsan yaitu Phenytoin (Diphenylhydantoin), Mephenytoin, dan Etotoin, dimana Phenytoin sebagai prototype. Phenytoin adalah obat utama yang sering digunakan untuk hampir semua jenis epilepsi (kecuali bangkitan lena), adanya gugus fenil atau aromatic lainnya pada atom C1 berperan penting dalam efek pengendalian bangkitan tonik-klonik, sedangkan gugus alkil berkaitan dengan efek sedasinya. Adanya gugus metil pada atom N3 dapat mengubah spektrum aktivitas misalnya Mephenytoin, dan hasil N demetilasi oleh enzim mikrosom hati menghasilkan metabolit yang tidak aktif.19Bangkitan tonik-klonik dan beberapa bangkitan parsial dapat pulih secara sempurna oleh obat Phenytoin, sedangkan gejala aura sensorik dan gejala prodromal lainnya tidak dapat dihilangkan secara sempurna oleh Phenytoin.19Phenytoin dimetabolisme di hepar oleh enzim mikromosal, oleh karena itu, obat lain yang berpengaruh terhadap enzim tersebut dapat mengubah kadar Phenytoin dalam plasma, baik secara kompetitif maupun yang dimetabolisme oleh enzim yang sama, atau justru obat yang memacu enzim mikromosal.19,20Adanya gangguan fungsi hepar merupakan prediposisi untuk terjadinya interaksi obat Phenytoin. Dalam kaitannya dengan hal ini, maka faktor renal menjadi faktor yang tidak penting karena sebagian besar obat dimetabolisme di hepar. Kadar Phenytoin pada penderita uremia kronik menjadi tinggi, dan waktu paruhnya menjadi lebih panjang.19,20 Cara kerja utama Phenytoin pada epilepsi adalah memblokade pergerakan ion melalui kanal natrium dengan menurunkan aliran ion Na+ yang tersisa maupun aliran ion Na+ yang mengalir selama penyebaran potensial aksi, selain itu Phenytoin memblokade dan mencegah potensiasi posttetanic, membatasi perkembangan aktivitas serangan yang maksimal dan mengurangi penyebaran serangan. Phenytoin berefek sebagai stabilisasi pada semua membran neuronal, termasuk saraf perifer dan mungkin bekerja pada membrane yang eksitabel (mudah terpacu) maupun yang non eksitabel.21Phenytoin juga dapat menghambat kanal Calsium (Ca2+) dan menunda aktivasi aliran ion K+ keluar selama potensial aksi, sehingga menyebabkan kenaikan periode refractory dan menurunnya cetusan ulang.21

Gambar 1. Phenytoin memblokade pergerakan ion melalui kanal Na+

Gambar 2. Phenytoin bekerja menghambat kanal Calsium (Ca2+)

Farmakokinetika. AbsorbsiAbsorpsi Phenytoin tergantung pada cara pemberian, seperti oral atau parenteral. Absorpsi Phenytoin di dalam lambung sangat sedikit karena Phenytoin bersifat tidak larut dalam cairan lambung yang bersifat asam, sehingga absorbsi Phenytoin oral berlangsung lambat dan tidak lengkap. Oleh karena itu, pemberian 10% dosis Phenytoin secara oral dieksresikan melalui feses dalam bentuk utuh. Phenytoin mudah larut dalam duodenum yang memiliki pH 7-7,5, sehingga pada duodenum Phenytoin dapat diabsorpsi dengan sempurna. Kadar puncak pemberian Phenytoin oral dicapai dalam 4-8 jam setelah pemberian obat. Pemberian dosis awal Phenytoin secara parenteral, diberikan dengan dosis 600-800 mg, dalam dosis terbagi antara 8-12 jam, kadar efektif plasma akan tercapai dalam waktu 24 jam. Pemberian Phenytoin secara intramuscular (IM) menyebabkan Phenytoin mengendap di tempat penyuntikan sekitar 5 hari, dan absorpsinya berlangsung lambat daripada pemberian oral. Hal tersebut disebabkan karena kelarutan Phenytoin dalam air sedikit sehingga terbentuk Kristal Phenytoin di dalam otot.Waktu paruh dalam plasma setelah pemberian intravena (IV) berkisar antara 10 sampai 15 jam. Kontrol optimal tanpa adanya tanda toksisitas klinis paling sering terjadi pada tingkat serum antara 10 dan 20 mcg/mL. Pemberian secara IV merupakan rute yang paling disukai untuk menghasilkan level serum terapeutik yang cepat.Ketika administrasi IM mungkin diperlukan, dosis yang cukup harus diberikan untuk mempertahankan kadar obat dalam plasma berada pada rentang terapeutik. Dimana sediaan oral dilanjutkan setelah penggunaan intramuskular, dosis oral harus benar-benar disesuaikan untuk mengkompensasi penyerapan yang lambat, melanjutkan penyerapan IM untuk menghindari gejala toksik.22Sebuah studi jangka pendek (satu minggu) menunjukkan bahwa pasien tidak mengalami penurunan kadar obat dalam darah ketika berganti (cross) ke rute intramuskular jika dosis Phenytoin IM meningkat 50 persen dibanding dosis oral yang ditetapkan sebelumnya. Untuk menghindari akumulasi obat karena penyerapan dari depot otot, disarankan untuk minggu pertama kembali ke Phenytoin oral, dengan dosis dikurangi menjadi setengah dari dosis oral awal (sepertiga dari dosis IM) dan dianjurkan dilakukannya pemantauan kadar darah.22

b. Distribusi dan BiotransformasiPengikatan Phenytoin oleh protein, terutama oleh albumin adalah 90%. Pada orang sehat, termasuk wanita hamil dan wanita yang menggunakan obat kontrasepsi oral, fraksi bebas Phenytoin sekitar 10%, sedangkan telah diketahui bahwa efek farmakologis Phenytoin bergantung pada bentuk bebasnya. Pasien dengan penyakit ginjal, penyakit hati atau penyakit hepatorenal dan pada neonatal, fraksi bebasnya kira-kira di atas 15%. Pada pasien epilepsi, fraksi bebas berkisar antara 5,8 12,6%.19,20Distribusi obat ke berbagai bagian tubuh tidak sama, misalnya konsentrasi Phenytoin di otak sekitar 1-3 kali dari konsentrasi Phenytoin dalam plasma. Juga diketahui bahwa beberapa obat yang mempunyai sifat yang sama dengan Phenytoin , yaitu terikat dengan protein plasma, apabila obat tersebut diminum bersama dengan Phenytoin, maka akan terjadi kompetisi untuk mengikat albumin, tergantung pada afinitas obat terhadap albumin mana yang lebih kuat. Keadaan ini mengakibatkan peningkatan bentuk bebas dari Phenytoin akibat ikatan dengan albumin telah diduduki oleh obat lain. Obat-obat tersebut antara lain : Thyroxine, Triiodothyronine, Salicylic acid, Phenylbutazone, Sulphafurazole, Cumarin, dan Azetazolamide.19,20 Volume distribusi Phenytoin kurang lebih 64% dari berat badan, tapi sekitar 7 kali lebih besar bila dihitung dengan kadar obat bebas. Waktu paruh pemberian Phenytoin oral 18-24 jam sedangkan untuk mencapai kadar optimal (steady state) adalah 5-10 hari.19,20Phenytoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga kerjanya dapat bertahan lebih lama, namun mula kerja lebih lambat daripada Phenobarbital. Biotransformasi terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh enzim mikrosom hati (enzymes CYP2C9 and CYP2C19) di cytochrome P450. Hasil metabolitnya berupa parahidrobutanil yang sudah tidak mempunyai kh asiat antiepilepsi. Phenobarbital mempunyai sifat enzymatic inducer, sehingga dapat mengakibatkan penurunan aktivitas Phenytoin, dan inilah salah satu kerugian pemberian politerapi, demikian juga dengan Carbamazepin dan Valproat dapat menurunkan kadar Phenytoin.19,20Phenytoin didistribusikan ke dalam jaringan tubuh dalam kadar yang berbeda-beda, setelah injeksi IV, kadar Phenytoin yang terdapat dalam otot, otot skelet dan jaringan lemak lebih rendah daripada kadar yang berada di dalam hati, ginjal dan kelenjar ludah.19,20

c. EksresiHampir sebagian besar metabolit Phenytoin diekskresi bersama empedu, kemudian mengalami reabsorbsi dan biotransformasi lanjutan, serta dieksresi melalui ginjal. Metabolit utama Phenytoin mengalami ekskresi di tubuli ginjal, sedangkan bentuk utuhnya direabsorbsi. Metabolit akhir Phenytoin bersifat larut dalam air, sehingga ekskresi melalui feses hanya sebagian kecil saja. Ekskresi lengkap Phenytoin terjadi setelah 72-120 jam.19,20

D. Dosis PhenytoinPhenytoin tersedia dalam bentuk sediaan oral (tablet) serta sediaan injeksi. Sediaan oral umumnya digunakan untuk mengontrol gejala kejang tonik-klonik (grand mal) dan complex partial seizures (psikomotor, lobus temporal) dan pencegahan dan terapi kejang yang terjadi selama atau setelah bedah saraf, sedangkan sediaan injeksi digunakan untuk mengontrol gejala kejang tonik-klonik pada status epileptikus, dan pencegahan dan terapi kejang yang terjadi selama bedah saraf. Sediaan injeksi Phenytoin harus digunakan hanya ketika pemberian Phenytoin oral tidak memungkinkan. OralPasien yang tidak menerima terapi sebelumnya dapat dimulai dengan 100 mg Phenytoin sodium oral, tiga kali sehari dan dosis kemudian disesuaikan sesuai kebutuhan individu. Dosis awal (loading dose) Phenytoin pada dewasa adalah 300 mg, dibagi menjadi 2 3 dosis. Dosis ini dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan, yaitu 300 400 mg per hari (maksimal 600 mg per hari). Dosis pemeliharaan yang normal kemudian ditetapkan menjadi 24 jam setelah dosis awal, dengan penentuan frekuensi tingkat serum.Dosis pada anak berdasarkan berat badan, yaitu dosis awal 5 mg/kg/hari, dibagi menjadi 2-3 dosis (maksimal 300 mg per hari). Dosis pemeliharaan yang direkomendasikan adalah 4 8 mg/kg/hari. Anak-anak usia lebih dari 6 tahun dan remaja dapat menggunakan dosis minimum dewasa sebesar 300 mg/hari.22

InjeksiDosis awal (loading dose) Phenytoin sediaan parenteral harus disuntikkan secara perlahan, dan tidak lebih dari 50 mg per menit pada orang dewasa dan 1-3 mg/kg/menit (atau 50 mg per menit, mana yang lebih lambat) pada pasien anak-anak. Untuk pemberian infus, Phenytoin parenteral harus diencerkan dalam larutan normal saline dengan konsentrasi akhir Phenytoin dalam larutan tidak kurang dari 5 mg/mL. Pemberian obat harus dimulai segera setelah campuran obat telah disiapkan dan harus diselesaikan dalam waktu 1 sampai 4 jam (campuran larutan infus tidak harus didinginkan). In-line filter (0,22-0,55 mikron) harus digunakan. Status epileptikus :Pada orang dewasa, dosis awal (loading dose) adalah sekitar 10 sampai 15 mg/kg harus diberikan perlahan-lahan secara intravena, dan tidak lebih dari 50 mg per menit (dibutuhkan sekitar 20 menit pada pasien 70 kg). Dosis awal harus diikuti dengan dosis pemeliharaan sekitar 100 mg secara oral atau intravena setiap 6-8 jam.Pada anak-anak, dosis awal (loading dose) sekitar 15-20 mg/kg secara IV akan menghasilkan konsentrasi Phenytoin plasma dalam kisaran terapeutik yang umumnya berlaku (10-20 mcg/mL). Obat harus disuntikkan perlahan secara intravena pada tingkat dosis tidak melebihi 1-3 mg/kg/menit atau 50 mg per menit, pilih mana yang lebih rendah.Pemberian intramuskular tidak boleh digunakan dalam pengobatan status epileptikus karena pencapaian kadar plasma puncak mungkin memerlukan waktu hingga 24 jam. Selain itu Phenytoin tidak boleh diberikan secara intramuskular karena risiko nekrosis, pembentukan abses, dan penyerapan tidak menentu. Jika administrasi intramuskular diperlukan, kompensasi penyesuaian dosis yang diperlukan untuk mempertahankan kadar plasma terapeutik, yaitu 50% lebih besar dari dosis oral untuk mempertahankan tingkat ini. Ketika kembali ke pemberian oral, dosis harus dikurangi menjadi 50% dari dosis oral awal selama satu minggu untuk mencegah kadar plasma yang berlebihan karena sustained realease dari bagian jaringan intramuskular.Pemantauan kadar plasma akan membantu mencegah kadar plasma jatuh ke kisaran subterapeutik. Penentuan kadar serum darah sangat membantu bila memungkinkan terjadinya interaksi obat yang dicurigai.22,23

E. Efek Sampinga. Efek samping akut Tempat penyuntikan : Iritasi lokal, nekrosis dan kulit terkelupas. Sistem gastrointestinal : Mual, muntah dan konstipasi. Sistem dermatologi :Manifestasi dermatologi terkadang diikuti oleh demam termasuk ruam, seperti scar dan morbili (seperti cacar air). Bentuk serius lainnya yang dapat berakibat fatal yaitu dermatitis ekskoriasi atau purpura, lupus eritematosus, Steven-Johnson syndrome, dan nekrolisis epidermal toksik.19b. Efek samping kronik (untuk terapi jangka panjang)Sejumlah laporan memperlihatkan hubungan antara Phenytoin dan terjadinya limfadenopati (lokal atau umum) termasuk hyperplasia limfonodi, pseudolimfoma, limfoma dan penyakit Hodgkin.Phenytoin dapat menyebabkan reduksi kadar asam folat, dan menyebabkan pasien menderita anemia megaloblastik.19 Sistem jaringan lunakStruktur kulit wajah menjadi kasar, pembesaran bibir, hypertrikosis, penyronies diseases dan yang paling sering dilaporkan adalah hyperplasia ginggiva.19 Sistem kardiovaskularTerjadinya depresi konduksi atrium dan ventrikel juga fibrilasi ventrikel. Komplikasi paling sering terjadi pada usia lanjut atau pasien dengan penyakit grave.19 Sistem saraf pusatKebanyakan manifestasi yang ditemui akibat terapi pemberian Phenytoin adalah kemampuannya menembus system saraf pusat dan umunya berkaitan dengan dosis seperti nigtamus, ataksia, bicara kacau, penurunan koordinasi, gangguan mental, pusing, insomnia, ketakutan, kejang, dan nyeri kepala. Jarang dilaporkan bahwa Phenytoin menyebabkan induced dyskinesia, termasuk khorea, distonia, tremor dan asteriksis karena hal tersebut mungkin diinduksi oleh fenotiazin dan obat neuroleptik lainnya.19 Sistem haemopoetikTrombositopenia, leucopenia, granulositopenia, agranulositosis, dan pansitopenia dengan atau tanpa supresi sumsum tulang. Sedangkan anemia makrositik dan megaloblastik pada beberapa kasus pernah dilaporkan.19 Efek samping lainnyaEfek samping yang mungkin terjadi akibat penggunaan Phenytoin, antara lain periarteritis nodosa, hepatitis toksik, kerusakan hati, dan abnormalitas immunoglobulin. Selain itu, pernah dilaporkan beberapa orang yang menggunakan Phenytoin dalam jangka waktu beberapa tahun dan dengan penggunaan dosis tinggi dapat merusak saraf pada kaki dan kerusakan pada bagian otak di serebellum.19c. Efek samping teratogenikAnomali kraniofasial (broad nasal bridge, bibir sumbing dan palatum, mikrosefali) dan efek samping dalam bentuk ringan seperti retardasi mental (IQ rata-rata = 71). Sindroma ini dikenal baik sebagai Sindroma Fetal Alkohol dan juga disebut sebagai Sindroma Fetal Hydantoin.19

F. Toksikologi Toksisitas akutPhenytoin24Ingredient(s)RouteTest TypeValueUnitsSpecies

PhenytoinOralOralIVIMOralLD50 LD50LD50LD50LD50150163596>37>3000mg/kgmg/kg mg/kg mg/kg mg/kgMouseRatRatRatRabbit

*) Simbol lebih besar dari (>) menunjukkan bahwa endpoint toksisitas yang diujikan tidak dapat dicapai pada dosis tertinggi yang diujikan.

Phenytoin sodium24Ingredient(s)RouteTest TypeValueUnitsSpecies

Phenytoin sodiumOralOralIVIMLD50 LD50LD50LD5016515309098mg/kgmg/kg mg/kg mg/kgMouseRatRatMouse

Efek ReproduktifPhenytoin merupakan teratogen pada tikus, mencit, dan kelinci. Hari ke-12 dan ke-13 adalah periode kritis untuk induksi teratogenitas di CD-1 mencit. Phenytoin tidak besifat teratogenik pada anjing atau kucing. Phenytoin bersifat fetotoxic, tapi tidak teratogenik, pada monyet pada dosis di mana maternal toxicity terlihat.25

MutagenisitasTelah dilaporkan Phenytoin yang diinduksikan pada micronukleus tikus dengan dosis intravena 500 atau 1000 mcg/kg. Dalam laporan lain, Phenytoin tidak aktif untuk menginduksi mutasi kromosom dalam sel ovarium hamster ras Cina. Phenytoin juga tidak aktif untuk menginduksi mutasi kromosom pada sel-sel sumsum tulang mencit yang disuntik dengan Phenytoin dosis tinggi 500 mg/kg. Tidak ada peningkatan mutasi kromosom yang terlihat pada pasien epilepsi yang menerima Phenytoin jangka panjang atau terapi Primidone. Tidak ada peningkatan pertukaran kromatid yang terlihat pada limfosit pasien epilepsi yang menerima Phenytoin sebagai monoterapi dibandingkan dengan kontrol yang sehat.25

KarsinogenisitasPeningkatan risiko untuk penyakit Hodgkins, lymphosarcoma, dan sarkoma sel retikulum telah terlihat pada pasien yang menerima terapi Phenytoin. Phenytoin sodium menginduksi thymic lymphomas pada tikus betina ketika diberikan dalam tingkat dosis 60 mg/kg berat badan/hari selama 168 hari. Thymic dan limfoma mesenterik dan leukemia diinduksi pada tikus dengan dosis intraperitoneal 0,6 mg/hewan/hari selama 66 hari. Phenytoin tidak karsinogenik pada tikus ketika diberikan pada tingkat dosis 0,025 atau 0,05% selama 2 tahun. Phenytoin juga tidak karsinogenik pada mencit pada tingkat dosis 0,006 atau 0,12% selama 78 minggu. Phenytoin merupakan terdaftar sebagai karsinogen IARC dan NTP.25

BAB VFOSPHENYTOIN

A. Sejarah FosphenytoinFosphenytoin adalah prodrug ester fosfat Phenytoin yang dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan yang terkait dengan penggunaan sediaan parenteral Phenytoin. Fosphenytoin disetujui pada tahun 1996, Fosphenytoin (Cerebyx, Eisai, Teaneck, NJ) yang saat itu diindikasikan untuk mengontrol kondisi generalized convulsive status epilepticus (GCSE), dan untuk pencegahan dan mengobati kejang yang terjadi selama bedah saraf ketika penggunaan Phenytoin intravena dan oral tidak memungkinkan. Pada salah satu daerah tertentu di AS lebih tertarik untuk menggunakan Fosphenytoin pada populasi pasien yang beresiko terhadap efek samping akibat pemakaian sediaan parenteral Phenytoin. Pada tahun 1999, sebuah lembaga multi-disiplin bidang farmasi dan neurologi khusus epilepsi menerbitkan pedoman yang telah disepakati untuk penggunaan produk Phenytoin parenteral pada kondisi non darurat. Pedoman ini secara deskriptif menganjurkan Fosphenytoin sebagai metode pilihan dari Phenytoin parenteral yang diberikan pada populasi pasien yang berisiko tinggi, terutama pasien pediatrik, pasien usia lanjut, pasien hemodinamik non stabil, dan pasien tidak memiliki akses pemberian IV. Daerah lain tertarik untuk menggunakan Fosphenytoin dalam pengelolaan GCSE. Dalam sebuah survei pada tahun 2003 yang didominasi oleh ahli saraf di AS, 95% (101/106) dari responden setuju bahwa Phenytoin adalah pilihan pengobatan lini kedua untuk GCSE setelah pemberian rapid-acting Benzodiazepine. Enam puluh lima persen dari responden tersebut memilih Fosphenytoin atas Phenytoin sebagai metode pilihan pemberian Phenytoin.26

B. Fisikokimia FosphenytoinFosphenytoin adalah prodrug dari Phenytoin yang secara cepat dihidrolisis menjadi phenytoin setelah pemberian IV atau IM; metabolit aktifnya adalah Phenytoin. Berat molekul Fosphenytoin adalah 406,24. Nama kimia Fosphenytoin adalah 5,5- difenil- 3[(phosphonooxy)metil]- 2,4 imidazolidinedione salt. Struktur molekul Fosphenytoin adalah :

Struktur inti Fosphenytoin

Struktur Fosphenytoin sodiumFosphenytoin berupa padatan yang berwarna putih pucat kekuningan, yang bersifat mudah larut dalam air. pH larutan Fosphenytoin 7,5% dalam air adalah antara 8,5 dan 9,5.27 Dan rasio tekanan osmotik sekitar 1,9.28

C. FarmakologiFarmakodinamikSetelah pemberian IV pada mencit, Fosphenytoin menghambat fase tonik dari maximal electroshock seizures pada dosis yang setara dengan dosis efektif Phenytoin. Selain kemampuannya dalam menekan maximal electroshock seizures pada mencit dan tikus, Phenytoin juga menunjukkan aktivitas antikonvulsan terhadap kindled seizures pada tikus, audiogenic seizures pada tikus, dan kejang yang disebabkan oleh adanya stimulasi listrik di batang otak pada tikus.29Mekanisme seluler Phenytoin dianggap bertanggung jawab atas aksi antikonvulsan Phenytoin yang meliputi modulasi voltage-dependent kanal natrium di neuron, menghambat aliran kalsium melintasi membran neuronal, modulasi voltage-dependent kanal kalsium di neuron, dan meningkatkan aktivitas ATP-ase natrium-kalium di neuron dan sel glial. Modulasi pada kanal natrium mungkin menjadi mekanisme utama antikonvulsan karena sifat Fosphenytoin dibagi bersama dengan beberapa antikonvulsan lain selain Phenytoin.29

Farmakokinetika. Absorpsi/BioavailabilitasIntravena : Ketika Fosphenytoin diberikan melalui infus IV, konsentrasi plasma maksimum Fosphenytoin dicapai pada akhir infus. Fosphenytoin memiliki waktu paruh sekitar 15 menit.Intramuskular : Fosphenytoin mencapai bioavailabilitas sempurna setelah pemberian Fosphenytoin secara IM. Konsentrasi puncak terjadi sekitar 30 menit setelah pemberian obat. Konsentrasi plasma Fosphenytoin setelah pemberian IM lebih rendah tetapi lebih berkelanjutan (sustained) daripada mereka setelah pemberian IV karena dibutuhkan waktu untuk penyerapan Fosphenytoin dari tempat penyuntikan.29

b. DistribusiFosphenytoin secara ekstensif terikat (95% sampai 99%) dengan protein plasma manusia, terutama albumin. Ikatan protein plasma bersifat saturable dengan hasil dimana persen ikatan menurun ketika konsentrasi total Fosphenytoin meningkat. Fosphenytoin menggantikan Phenytoin dari tempat ikatan protein. Volume distribusi Fosphenytoin meningkat seiring dengan dosis dan laju Fosphenytoin, yang berkisar antara 4,3-10,8 liter.29

c. Metabolisme dan EliminasiWaktu paruh konversi Fosphenytoin menjadi Phenytoin adalah sekitar 15 menit. Mekanisme konversi Fosphenytoin belum diketahui, namun fosfatase mungkin memainkan peran utama dalam proses tersebut.Fosphenytoin tidak diekskresikan melalui urin. Setiap mmol Fosphenytoin dimetabolisme menjadi 1 mmol Phenytoin. Efek farmakologi dan toksikologi Fosphenytoin termasuk efek dari Phenytoin sendiri. Namun, hidrolisis Fosphenytoin menjadi Phenytoin menghasilkan dua metabolit, yaitu fosfat dan formaldehida. Formaldehida kemudian diubah menjadi formate, yang kemudian dimetabolisme melalui mekanisme folate-dependent. Meskipun fosfat dan formaldehida (formate) memiliki efek potensial biologis yang penting, efek ini secara khusus terjadi pada konsentrasi yang lebih signifikan dari yang diperoleh saat Fosphenytoin sodium injeksi diberikan dalam kondisi tertentu sesuai dengan yang direkomendasikan.29Secara umum, pemberian IM dari Fosphenytoin menghasilkan konsentrasi Phenytoin sistemik yang cukup mirip dengan Phenytoin sodium oral yang memungkinkan pertukaran penggunaan yang esensial. Farmakokinetik Fosphenytoin setelah pemberian IV, bagaimanapun, adalah kompleks, dan ketika digunakan dalam kondisi darurat (misalnya, status epileptikus), perbedaan tingkat ketersediaan Phenytoin menjadi kritis.Oleh karena itu, beberapa studi secara empiris menentukan laju infus untuk Fosphenytoin yang memberikan kadar dan tingkat ketersediaan sistemik Phenytoin yang sama dengan 50 mg/menit infus Phenytoin sodium. Dosis 15-20 mg PE/kg Fosphenytoin diinfuskan pada 100-150 mg PE/menit pada konsentrasi yields plasma bebas Phenytoin dari waktu ke waktu kira-kira dapat mencapai kesetaraan dengan dosis Phenytoin sodium yang diberikan pada 50 mg/menit.29Phenytoin yang berasal dari pemberian Fosphenytoin secara ekstensif dimetabolisme secara oksidatif di hati dan diekskresikan melalui urin terutama sebagai 5- (phydroxyphenyl)-5-phenylhydantoin dan glukuronida; sedikit Phenytoin utuh (1% -5% dari dosis Fosphenytoin) recovered dalam urin. Phenytoin dimetabolisme oleh sitokrom P450 dengan enzim CYP2C9 dan CYP2C19. Enzim CYP2C9 memainkan peran utama dalam metabolisme Phenytoin (90% total keseluruhan klirens intrinsik), sedangkan enzim CYP2C19 memiliki keterlibatan kecil dalam proses ini (10% total keseluruhan klirens intrinsik). Kontribusi relatif dari enzim CYP2C19 pada metabolisme Phenytoin kemungkinan akan meningkat pada konsentrasi Phneytoin yang lebih tinggi. Oleh karena sistem sitokrom terlibat dalam metabolisme Phenytoin di hati, bersifat jenuh (saturable) pada konsentrasi serum yang tinggi, sedikit peningkatan dosis Phenytoin dapat meningkatkan waktu paruh dan setelah pemberian Fosphenytoin IV dosis tunggal 400-1200 mg PE, nilai AUC total dan Phenytoin bebas (unbound) meningkat secara tidak proporsional terhadap dosis. Rata-rata waktu paruh Phenytoin (12,0-28,9 jam) setelah pemberian Fosphenytoin pada dosis ini sama dengan setelah pemberian dosis parenteral yang sama dan cenderung lebih cenderung lebih besar pada konsentrasi phenytoin plasma yang lebih tinggi.29*PE adalah phenytoin sodium equivalent (PE)

D. DosisFosphenytoin diberikan sebagai garam sodium dan dosis Fosphenytoin sodium dinyatakan setara dengan Phenytoin sodium (PE); karena itu tidak ada penyesuaian dosis yang diperlukan ketika mengganti Fosphenytoin ke Phenytoin atau sebaliknya. Fosphenytoin dapat diberikan melalui injeksi intramuskular atau infus intravena; rute pemberian pada anak-anak hanya direkomendasikan secara intravena.27Fosphenytoin harus selalu diresepkan dan dinyatakan dalam satuan setara Phenytoin sodium (PE). 1,5 mg natrium fosphenytoin setara dengan 1 mg Phenytoin natrium, dan disebut sebagai 1 mg PE. Jumlah dan konsentrasi Fosphenytoin selalu dinyatakan dalam setara mg Phenytoin sodium (mg PE).27Kadar maksimum infus intravena dalam satuan PE adalah 150 mg/menit dan tidak boleh melebihi. Perlu dilakukan pemantauan secara berkala pada EKG, tekanan darah, dan fungsi pernapasan dianjurkan selama pemberian infus intravena, dikarenakan adanya resiko hipotensi. Pasien juga harus dimonitor selama minimal 30 menit setelah akhir pemberian infus.27Pengobatan Status Epileptikus Berdasarkan pada Protokol untuk Terapi Obat, Penilaian Umum dan Investigasi Darurat dari Kejang Status Epileptikus Sebagai Fungsi Waktu Sejak Terjadinya Kejang menurut The Finnish Evidence Based Guidelines for Prolonged Seizure and Status Epilepticus (2005), pada pengobatan status epileptikus tonik-klonik, Benzodiazepine seperti Diazepam atau Lorazepam secara intravena atau rektal biasanya diberikan terlebih dahulu yang kemudian diikuti oleh pemberian Fosphenytoin.27,71Dosis awal (loading dose) Fosphenytoin adalah 15-20 mg PE/kg yang diberikan sebagai dosis tunggal melalui infus intravena dengan kecepatan 100 sampai 150 mg PE/menit. Pemberian secara IM tidak sesuai untuk pengobatan status epileptikus karena konsentrasi puncak Phenytoin tidak akan tercapai secara cepat.27,29,71Dosis awal (loading dose) untuk kejang selain status epileptikus adalah 10 sampai 15 mg PE/kg, diberikan sebagai dosis tunggal melalui injeksi intramuskular atau infus intravena dengan kecepatan 50 sampai 100 mg PE/menit. 27,29Dosis pemeliharaan awal untuk status epileptikus dan kejang lainnya adalah 4 sampai 5 mg PE/kg/hari yang diberikan dalam 1 atau 2 dosis terbagi melalui injeksi intramuskular atau infus intravena dengan kecepatan 50 sampai 100 mg PE/menit. Dosis berikutnya tergantung pada respon pasien dan konsentrasi plasma Phenytoin. 27,29Fosphenytoin diberikan secara intramuskuler atau dengan infus intravena dengan kecepatan 50 sampai 100 mg PE/menit bisa diganti dengan Phenytoin oral dengan dosis total harian yang setara hingga 5 hari. 27,29Penggunaan pada Anak-anakMenurut the American Academy of Neurology (1996) dan Guidelines Status Epilepticus in the Pediatric Emergency Department (2015), Fosphenytoin sodium dapat diberikan kepada anak-anak lebih dari 5 tahun untuk penanganan darurat status epileptikus, pencegahan dan pengobatan kejang pasca trauma terkait dengan bedah saraf atau trauma pada kepala, dan sebagai sediaan parenteral jangka pendek untuk menggantikan Phenytoin oral dalam pengobatan epilepsi. Obat ini diberikan melalui infus intravena dan dosis yang dinyatakan sebagai setara fenitoin natrium (PE). 27,73,74Dalam pengobatan status epileptikus tonik-klonik, Dosis awal (loading dose) Fosphenytoin adalah 15 mg PE/kg diberikan sebagai dosis tunggal dengan kecepatan 2 sampai 3 mg PE/kg per menit; Namun, menurut TheBritish National Formulary for Children memungkinkan hingga 20 mg PE/kg. 27,74Dalam pengobatan atau pencegahan kejang selain status epileptikus, dosis awal (loading dose) Fosphenytoin adalah 10 sampai 15 mg PE/kg diberikan sebagai dosis tunggal dengan kecepatan 1 sampai 2 mg PE/kg per menit. Kadar maksimum pada pemberian dosis awal infus adalah 3 mg PE/kg per menit atau 150 mg PE/menit dan tidak boleh melebihi. Dosis pemeliharaan awal pada status epileptikus dan kejang lainnya 4 sampai 5 mg PE/kg/hari diberikan dalam 1 sampai 4 dosis terbagi dengan kecepatan 1 sampai 2 mg PE/kg per menit, tidak melebihi dari 100 mg PE/menit. Dosis berikutnya tergantung pada respon pasien dan konsentrasi plasma Phenytoin. 27,74Fosphenytoin diberikan dengan kecepatan 1 sampai 2 mg PE/kg per menit, tidak lebih dari 50 sampai 100 mg PE/menit, dan bisa diganti dengan Phenytoin oral sesuai dengan jumlah dosis harian yang setara hingga 5 hari. 27

E. Efek Samping Sistem Saraf Pusat : Pusing, mengantuk, nystagmus, agitasi, edema otak, sakit kepala, pingsan, vertigo. Gangguan pada Mata, Telinga, Hidung, dan Tenggorokan : Amblyopia, tuli, diplopia, tinnitus. Kardiovaskular : Hipotensi (dengan pemberian IV cepat), takikardia. Gastrointestinal : Mulut kering, mual, rasa penyimpangan, gangguan lidah, muntah. Jaringan Kulit : Pruritus, purple glove syndrome, ruam, Stevens-Johnson syndrome, toxic epidermal necrolysis. Multiple sclerosis : Nyeri punggung. Gangguan neurological : Ataksia, disartria, sindrom ekstrapiramidal, hypesthesia, inkoordinasi, paresthesia, tremor. Lain-lain : Nyeri panggul.

F. ToksikologiToksisitas akut 30Ingredient(s)RouteTest TypeValueUnitsSpecies

Fosphenytoin sodiumIVIVIVLD50 LD50LD50 (bolus)234363319.2mg/kgmg/kg mg/kgMencitTikusTikus

Karsinogenesis, Mutagenesis, Penurunan fertilitasPotensi karsinogenik dari fosphenytoin belum diteliti. Frekuensi kelainan struktural kromosom pada sel paru-paru hamster ras cina V79 meningkat akibat paparan Fosphenytoin dengan adanya aktivasi metabolik. Tidak ada bukti terjadinya mutagenisitas yang diamati pada bakteri (uji Ames) atau sel paru-paru hamster ras cina secara in vitro, dan tidak ada bukti aktivitas clastogenic yang diamati dalam uji mikronukleus sumsum tulang tikus secara in vivo. Tidak ada efek pada fertilitas yang tercatat pada tikus dari kedua jenis kelamin yang diberikan Fosphenytoin. Toksisitas maternal dan siklus estrus berubah, delayed mating, waktu kehamilan diperpanjang, dan toksisitas pada masa pertumbuhan yang diamati setelah pemberian Fosphenytoin pada saat kawin, kehamilan, dan menyusui dengan dosis 50 mg PE/kg atau lebih tinggi (sekitar 40% dari dosis awal maksimum manusia atau lebih tinggi berdasarkan mg/m2).29

BAB VISTUDI KLINIS PERBANDINGAN FOSPHENYTOIN VS PHENYTOIN

Laporan Studi Pre Klinis Effect of Fosphenytoin on Nerve Agent-Induced Status Epilepticus (McDonough JH, Benjamin A. McMonagle JD, Rowland T et al, 2004)Studi ini mengevaluasi efektivitas Fosphenytoin sebagai obat antikonvulsan tunggal atau tambahan untuk pengobatan status epileptikus pada Guinea pig, yang telah diimplan dengan cortikal electroencephalographic (EEG) recording electrodes, yang sebelumnya telah diterapi dengan Pyridostigmine bromida (0.026 mg/kg, intramuskular (im)) 30 menit sebelum diubah menjadi 56 mikrogram/kg, subkutan (sc), (2 x LD50) dari agen saraf soman. Satu menit setelah soman, hewan-hewan tersebut diterapi dengan 2 mg/kg Atropine sulfate (IM) dicampur dengan 25 mg/kg oxime 2-pralidoxime chloride, dan EEG diamati untuk melihat onset kejang. Ketika diberikan terapi (intraperitoneal, ip) 5 menit setelah onset kejang, hanya Fosphenytoin dosis tertinggi (180 mg/kg) yang mampu menghentikan aktivitas kejang pada 50% dari hewan yang diuji (3 dari 6). Ketika Fosphenytoin (18-180 mg/kg) diberikan sebagai terapi awal, secara intraperitoneal pada 30 menit sebelum pemberian soman, kejang dihentikan sesuai dengan urutan dosis (ED50 = 61,8 mg/kg; 40.5-94.7 mg/kg, dengan tingkat kepercayaan 95%). Kombinasi Diazepam dan Fosphenytoin juga diuji efektivitasnya. Dosis Fosphenytoin (18-56 mg/kg), yang diberikan bersamaan dengan dosis tetap Diazepam (4,8 mg/kg, i.m) 5 menit setelah onset kejang, dapat meningkatkan efek antikonvulsan Diazepam. Ketika Fosphenytoin (18 atau 32 mg/kg, i.p) diberikan sebagai terapi awal dan Diazepam diberikan 5 menit setelah onset kejang, dosis Fosphenytoin 32 mg/kg secara signifikan dapat mengurangi waktu kontrol kejang. Studi ini menunjukkan bahwa Fosphenytoin, baik tunggal atau dalam kombinasi dengan Diazepam, memiliki efektivitas antikonvulsan terapi untuk status epileptikus.

Pharmacokinetics of Phenytoin following Intravenous and Intramuscular Administration of Fosphenytoin and Phenytoin Sodium in The Rabbit (Muchohi SN et al, 2002)Tujuan : Mengevaluasi dan membandingkan konsentrasi Phenytoin plasma yang berbanding dengan profil waktu setelah pemberian Fosphenytoin sodium secara intravena atau intramuskular dengan hasil yang diperoleh setelah pemberian injeksi Phenytoin sodium baku pada kelinci.Subyek : 24 kelinci putih Selandia Baru dewasaMetode : 24 kelinci putih dewasa yang masing-masing telah dianestesi dengan Pentobarbitone (30 mg/kg) terlebih dahulu, diberikan 10 mg/kg Phenytoin sodium tunggal atau setara Fosphenytoin sodium secara intravena atau intramuskular. Sampel dara (1.5 ml) yang diperoleh dari femoral artery cannula predose dan pada menit ke- 1, 3, 5, 7, 10, 15, 20, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240, dan 300 setelah pemberian obat. Plasma darah kemudian disentrifuge (1000 g; 5 menit) dan konsentrasi Fosphenytoin, konsentrasi plasma Phenytoin total dan Phenytoin bebas diukur dengan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT/HPLC).Hasil : Setelah pemberian intravena konsentrasi plasma Phenytoin sodium sama dengan yang diperoleh setelah pemberian intravena dari Fosphenytoin sodium dengan dosis setara dengan Phenytoin sodium (10 mg/kg dosis tunggal). Rata-rata konsentrasi puncak plasma Phenytoin (Cmax) 158% lebih tinggi (P = 0,0077) setelah pemberian Fosphenytoin sodium secara intramuskular dibandingkan dengan pemberian Phenytoin sodium secara intramuskular. Nilai total AUC plasma dan Nilai AUC 0-120 menit setelah pemberian intramuskular juga secara signifikan lebih tinggi (P = 0,0277) pada Fosphenytoin yang diberikan pada kelinci dibandingkan dengan kelompok Phenytoin. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan pada nilai AUC 0-180 antara Fosphenytoin dan Phenytoin yang diberikan pada kelinci setelah pemberian intravena. Dan juga tidak ada perbedaan yang signifikan pada waktu rata-rata untuk mencapai konsentrasi puncak plasma Phenytoin (Tmax) antara Fosphenytoin dan Phenytoin yang diberikan secara intramuskular. Rata-rata konsentrasi albumin plasma sebanding pada kedua kelompok hewan. Fosphenytoin dengan cepat dikonversi menjadi Phenytoin baik setelah pemberian intravena dan intramuskular, dengan konsentrasi plasma Fosphenytoin yang menurun dengan cepat ke tingkat yang tidak dapat terdeteksi dalam waktu 10 menit setelah diberkan melalu kedua rute pemberian tersebut. Kesimpulan : Hasil ini membuktikan bahwa hidrolisis Fosphenytoin menjadi Phenytoin berlangsung cepat dan lengkap secara in vivo, dan potensi rute intramuskular pada pemberian fosphenytoin dapat diberikan ketika pemberian Phenytoin intravena secara klinis mungkin tidak dapat diberikan.75

Laporan Studi KlinisA. Laporan Studi Klinis Phenytoin Clinical Use of Intravenous Phenytoin Sodium Infusions (Gannaway WL, Wilding DC et al, 1983)Keamanan pemberian Phenytoin sodium secara infus intravena intermitent dievaluasi pada 28 pasien dewasa di unit perawatan intensif bedah saraf; kebanyakan pasien menderita trauma kepala. Sembilan puluh tiga dosis Phenytoin sodium 300 mg dalam 0,9% sodium klorida injeksi 50 ml diberikan sesuai dengan pedoman rumah sakit yang disetujui, yang termasuk cara pemberian lebih dari 30-60 menit, inisiasi infus dalam waktu satu jam dari persiapan larutan, dan penggunaan in line filter 5-microns. Semua pasien dimonitor untuk pemantauan efek samping dan EKG secara terus menerus. Analisis data klinis sebelum dan segera setelah infus Phenytoin menunjukkan perubahan yang tidak signifikan secara statistik pada tekanan darah dan penurunan kecil tapi signifikan pada denyut jantung rata-rata. Tidak ada kasus hipotensi, aritmia, bradikardia, atau flebitis. Tercatat adanya kejadian tunggal hipertensi, nistagmus, dan nyeri pada tempat penyuntikan IV. Dapat disimpulkan bahwa pemberian infus Phenytoin dalam larutan 0,9% injeksi natrium klorida aman. Penggunaan pedoman tertulis yang disetujui untuk mengatur faktor-faktor penting dari persiapan dan pemberian sangat dianjurkan.

Incidence and clinical consequence of the purple glove syndrome in patients receiving intravenous phenytoin (Terence J. OBrien, MB, FRACP, Gregory D. Cascino, MD et al, 1998)Tujuan : Untuk menentukan kejadian, faktor risiko, dan gejala jangka panjang dari purple glove syndrome (PGS) pada pasien rumah sakit yang menerima Phenytoin IV.Metode : Catatan farmakologis dari rumah sakit Mayo Foundation dikaji untuk mengidentifikasi 179 pasien yang menerima Phenytoin IV secara berturut-turut selama periode 3 bulan. Catatan rumah sakit mereka kemudian diperiksa kembali untuk mengkonfirmasi pengobatan Phenytoin IV, frekuensi dari PGS (didefinisikan sebagai perkembangan edema secara progresif, perubahan warna, dan rasa sakit di daerah tungkai setelah pemberian Phenytoin IV), dan outcome PGS.Hasil : Sebanyak 152 pasien menerima Phenytoin IV, dan sembilan (5,9%) mengalami PGS. Pasien PGS menerima dosis awal rata-rata Phenytoin yang lebih besar, dosis total 24 jam, dan total jumlah dosis (semua p