Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

31
TUGAS Marine pollution ”KAJIAN SAFE SHIP PROGRAM DAN CLEAN OCEAN YANG DIMPLEMENTASIKAN PADA KAPAL DI ATAS 5000 DWT ” U Muhibburrahman NRP : 4207 100 513 JURUSAN SISTEM PERKAPALAN FAKULTAS TEKNOLOGI KELAUTAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2008

Transcript of Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Page 1: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

TUGAS

Marine pollution

”KAJIAN SAFE SHIP PROGRAM DAN CLEAN OCEAN

YANG DIMPLEMENTASIKAN PADA

KAPAL DI ATAS 5000 DWT ”

U

Muhibburrahman

NRP : 4207 100 513

JURUSAN SISTEM PERKAPALAN

FAKULTAS TEKNOLOGI KELAUTAN

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

SURABAYA

2008

Page 2: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 1 - 4207 100 513

Tema Kajian :

DAMPAK DAN PROSEDUR PEMBERSIHAN POLUSI MINYAK

A. PENDAHULUAN

Laut merupakan suatu lahan yang kaya dengan sumber daya alam termasuk

keanekaragaman sumber daya hayati yang kesemuanya dapat dimanfaatkan untuk

kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa 70%

permukaan bumi ditutup oleh perairan/lautan dan lebih dari 90% kehidupan biomasa

di planet bumi hidup di laut (UNEP, 2004). Oleh karenanya lautan merupakan bagian

penting dari kelangsungan hidup manusia, kita dapat bayangkan jika lautan kita

tercemar/rusak sehingga sebagian dari biomasa itu tercemar. Sementara 60% populasi

manusia bumi ini tinggal di 60 km dari sebuah pantai yang sangat bergantung pada

hasil laut.

Pencemaran minyak terus menjadi masalah di daratan, tetapi masalah ini

menjadi jauh lebih buruk bila terjadi di laut. Sebenarnya pencemaran ini telah menjadi

masalah yang paling parah di dunia, karena dapat mengakibatkan kematian dan

masalah reproduksi dalam jangka panjang bagi banyak biota di laut. Pencemaran itu

tidak semata-mata disebabkan oleh tumpahan minyak yang terjadi sekali-sekali, tetapi

juga dari ratusan juta galon minyak yang bermuara di laut secara diam-diam yang

terjadi sepanjang tahun, kebanyakan dari sumber yang bukan disebabkan oleh

kecelakaan, tetapi dari ceceran minyak di daratan dan limbah dari pemukiman

maupun industri.(dikutip : http://www.biopetroclean.com )

Gambar 1.1.Proses membersihkan tumpahan minyak dengan manual

Page 3: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 2 - 4207 100 513

Oleh karenanya semua komponen negara bertanggungjawab dan wajib

melestarikan kondisi dan keberadaan laut sesuai wujudnya termasuk didalamnya

mencegah pencemaran. Pencemaran laut diartikan sebagai adanya kotoran atau hasil

buangan aktivitas makhluk hidup yang masuk ke daerah laut. Sumber dari

pencemaran laut ini antara lain adalah tumpahan minyak, sisa damparan amunisi

perang, buangan dan proses di kapal, buangan industri ke laut, proses pengeboran

minyak di laut, buangan sampah dari transportasi darat melalui sungai, emisi

transportasi laut dan buangan pestisida dari pertanian. Namun sumber utama

pencemaran laut adalah berasal dari tumpahan minyak baik dari proses di kapal,

pengeboran lepas pantai maupun akibat kecelakaan kapal.

B. SUMBER – SUMBER TUMPAHAN MINYAK DI LAUT

Sumber dari tumpahan minyak di laut beragam sumbernya, tidak hanya

berasal dari kecelakaan kapal tanker namun juga akibat beberapa operasi kapal dan

bangunan lepas pantai.

1. Operasi Kapal Tanker

Produksi minyak dunia diperkirakan sebanyak 3 milyar ton/tahun dan

setengahnya dikirimkan melalui laut. Setelah kapal tanker memuat

minyak kargo, kapal pun membawa air ballast (sistem kestabilan kapal

menggunakan mekanisme bongkar-muat air) yang biasanya ditempatkan

dalam tangki slop. Sampai di pelabuhan bongkar, setelah proses bongkar

selesai sisa muatan minyak dalam tangki dan juga air ballast yang kotor

disalurkan ke dalam tangki slop. Tangki muatan yang telah kosong tadi

dibersihkan dengan water jet, proses pembersihan tangki ini ditujukan

untuk menjaga agar tangki diganti dengan air ballast baru untuk

kebutuhan pada pelayaran selanjutnya. Hasil buangan dimana bercampur

antara air dan minyak ini pun dialirkan ke dalam tangki slop. Sehingga di

dalam tangki slop terdapat campuran minyak dan air. Sebelum kapal

berlayar, bagian air dalam tangki slop harus dikosongkan dengan

memompakannya ke tangki penampungan limbah di terminal atau

dipompakan ke laut dan diganti dengan air ballast yang baru. Tidak dapat

disangkal buangan air yang dipompakan ke laut masih mengandung

Page 4: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 3 - 4207 100 513

minyak dan ini akan berakibat pada pencemaran laut tempat terjadi

bongkar muat kapal tanker

2. Docking (Perbaikan/Perawatan Kapal)

Semua kapal secara periodik harus dilakukan reparasi termasuk

memmbersihkan tangki dan lambung. Dalam proses docking semua sisa

bahan bakar yang ada dalam tangki harus dikosongkan untuk mencegah

terjadinya ledakan dan kebakaran. Dalam aturannya semua galangan

kapal harus dilengkapi dengan tangki penampung limbah, namun pada

kenyataannya banyak galangan kapal tidak memiliki fasilitas ini, sehingga

buangan minyak langsung dipompakan ke laut. Tercatat pada tahun 1981

kurang lebih 30.000 ton minyak terbuang ke laut akibat proses docking ini

3. Terminal Bongkar Muat Tengah Laut

Proses bongkar muat tanker bukan hanya dilakukan di pelabuhan,

namun banyak juga dilakukan di tengah laut. Proses bongkar muat di

terminal laut ini banyak menimbulkan resiko kecelakaan seperti pipa yang

pecah, bocor maupun kecelakaan karena kesalahan manusia

4. Bilga dan Tangki Bahan Bakar

Umumnya semua kapal memerlukan proses balas saat berlayar normal

maupun saat cuaca buruk. Karena umumnya tangki ballast kapal

digunakan untuk memuat kargo maka biasanya pihak kapal menggunakan

juga tangki bahan bakar yang kosong untuk membawa air ballast

tambahan. Saat cuaca buruk maka air balas tersebut dipompakan ke laut

sementara air tersebut sudah bercampur dengan minyak. Selain air balas,

juga dipompakan keluar adalah air bilga yang juga bercampur dengan

minyak. Bilga adalah saluran buangan air, minyak, dan pelumas hasil

proses mesin yang merupakan limbah. Aturan Internasional mengatur

bahwa buangan air bilga sebelum dipompakan ke laut harus masuk

terlebih dahulu ke dalam separator, pemisah minyak dan air, namun pada

kenyataannya banyak buangan bilga illegal yang tidak memenuhi aturan

Internasional dibuang ke laut

5. Scrapping Kapal

Proses scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi

tua) ini banyak dilakukan di industri kapal di India dan Asia Tenggara

termasuk Indonesia. Akibat proses ini banyak kandungan metal dan

Page 5: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 4 - 4207 100 513

lainnya termasuk kandungan minyak yang terbuang ke laut. Diperkirakan

sekitar 1.500 ton/tahun minyak yang terbuang ke laut akibat proses ini

yang menyebabkan kerusakan lingkungan setempat

6. Kecelakaan Tanker

Beberapa penyebab kecelakaan tanker adalah kebocoran lambung,

kandas, ledakan, kebakaran dan tabrakan. Beberapa kasus di perairan

Selat Malaka adalah karena dangkalnya perairan, dimana kapal berada

pada muatan penuh. Tercatat beberapa kasus kecelakaan besar di dunia

antara lain pada 19 juli 1979 bocornya kapal tanker Atlantic Empress di

perairan Tobacco yang menumpahkan minyak sebesar 287.000 ton ke

laut. Tidak kalah besarnya adalah kasus terbakarnya kapal Haven pada

tahun 1991 di perairan Genoa Italia, yang menumpahkan minyak sebesar

144.000 ton.

C. DAMPAK – DAMPAK PENCEMARAN MINYAK

1. Pengaruhnya terhadap makhluk akuatik

Secara sederhana, efek pencemaran minyak terhadap kehidupan di laut

disebabkan oleh sifat fisika alami minyak (kontaminasi dan tekanan fisik) atau

disebabkan oleh komponen kimianya (efek berbahaya dan akumulasi yang mengarah

pada timbulnya noda). Kehidupan di laut juga dapat terkena dampak oleh aktivitas

pembersihan atau secara tidak langsung melalui kerusakan fisik terhadap habitat biota

laut.

Ancaman utama terhadap sumber daya hidup oleh residu persisten tumpahan

minyak dan emulsi air dalam minyak (mousse) adalah salah satu penutupan fisik.

Hewan dan tumbuhan yang paling beresiko adalah yang kontak dengan permukaan

laut yang telah terkontaminasi. Mamalia dan reptil laut; burung yang mencari makan

dengan menyelam; biota laut di pantai; dan biota laut yang dibudidaya.

2. Pengaruh terhadap manusia

Bagi manusia, tumpahan minyak mengakibatkan dampak ekonomi yang serius

terhadap aktivitas pesisir dan pada mereka yang mengeksploitasi sumber daya laut.

Pada banyak kasus kerusakan musiman dan kerusakan yang diakibatkan oleh sifat

fisik minyak menciptakan gangguan dan kondisi yang membahayakan. Dampak

Page 6: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 5 - 4207 100 513

terhadap kehidupan di laut dilipatgandakan oleh efek racun dan noda yg berasal dari

komposisi kimia minyak, sebaik oleh diversitas dan variasi sistem biologi dan

sensitivitas mereka terhadap pencemaran minyak.

Efek tumpahan minyak tergantung pada banyak faktor, bukan hanya faktor

dari minyak itu sendiri. Kontaminasi pada wilayah pesisir adalah ciri umum dari

kebanyakan peristiwa tumpahan minyak yang kemudian mengacu pada kegelisahan

dan gangguan publik, dengan aktivits rekreasi seperti berjemur, naik boat,

penyelaman, dan pemancingan. Pemilik hotel dan restoran, dan mereka yang

menggantungkan hidupnya pada pariwisata juga terkena dampaknya. Gangguan

terhadap wilayah pesisir dan rekreasi, dari peristiwa tumpahan yang sederhana

termasuk kategori short-lived dan efek terhadap pariwisata merupakan tanda tanya

besar bagi pengembalian kenyamanan publik ketika pembersihan telah dilaksanakan.

D. PROSEDUR PEMBERSIHAN POLUSI MINYAK(pada area Sea Water )

Minyak, ketika tumpah di laut, biasanya akan pecah dan terhambur atau

tersebar ke lingkungan laut selama beberapa waktu. Penghamburan ini adalah hasil

dari sejumlah proses kimia dan fisik yang mengubah komposisi yang akan mengubah

minyak ketika minyak tumpah. Prosesnya dinamakan pelapukan (weathering).

Minyak lapuk dalam cara-cara yang berbeda. Beberapa prosesnya, seperti pada

pendispersian alami minyak ke dalam air, mengakibatkan bagian dari minyak

meninggalkan permukaan air laut, dan sisanya, seperti pad proses evaporasi atau

formasi air pada emulsi minyak, mengakibatkan minyak yang tersisa pada permukaan

dan tinggal dalam waktu lama (persisten).

Cara dimana lapisan minyak pecah dan menyebar sangat tergantung pada

ketahanan (tingkat persisten) minyak tersebut. Produk ringan seperti kerosin

cenderung terevaporasi, tersebar dengan cepat, dan tidak perlu pembersihan sebab

akan hilang secara alami. Ini dinamakan minyak non-persisten. Sebaliknya, minyak

persisten seperti pada kebanyakan minyak mentah, pecah dan menyebar lebih lambat

dan biasanya memerlukan tindakan pembersihan. Sifat fisika seperti densitas,

viskositas, dan titik alir minyak, semuanya mempengaruhi sifat penyebarannya.

Ada beberapa cara yang lazim digunakan untuk membersihkan minyak yang

telah tumpah di perairan sea water (jarak lebih dari 1 mile, kedalaman lebih dari 50m)

diantaranya adalah :

Page 7: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 6 - 4207 100 513

1. Oil boom

Gunanya untuk melokalisir tumpahan minyak di laut agar tidak terbawa arus

ke pantai dan merusak lingkungan di sekitarnya. Panjang oil boom bisa sampai 200

meter atau lebih. Oil boom di deploy dengan menggunakan at least 2 supply boat

yang bekerja bersama2 untuk "menangkap dan mengurung" oil spill yang mengapung

di permukaan laut dengan memperhitungkan arah arus dan angin. Oil boom biasanya

kurang efektif dalam kondisi ombak besar dan atau cuaca buruk.

Gambar 2. Oil Boom

2. Oil skimmer

Alat ini digunakan untuk mengumpulkan oil spill yang sudah dikurung/

diisolasi oleh oil boom untuk diambil dan dipompakan ke tanki2 penampung.

Berbagai teknologi telah dicoba untuk mengembangkan alat pengumpul

minyak tersebut. Vikoma International, pembuat skimmer terkemuka dunia,

mengeluarkan Vikoma’s Kebab T-Disc Skimmer yang merupakan sebuah wadah

dengan empat atau lebih cakram/piringan (disc) dilengkapi batang berputar. Wadah

bercakram ini dipasang pada sebuah rangka modul. Begitu cakram berputar melalui

antarmuka minyak-air, minyaknya akan menempel untuk kemudian dapat dipisahkan

dan dialirkan pada penampung minyak. Dengan menggunakan pompa, minyak

kemudian dialirkan pada wadah penyimpanan.

Sementara itu, Global Environtmental Services juga telah menguji coba Wier

Minifly Skimmer yang dengan cepat mengumpulkan campuran minyak-air lalu

dialirkan melalui pipa berdiameter 5 cm ke daerah pengumpul selanjutnya yang

Page 8: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 7 - 4207 100 513

merupakan bagian kedua dari proses pengolahan yaitu Drum Oil Skimmer. Alat ini

bekerja secara hidrolik dan mempunyai laju pengumpulan minyak yang cepat.

Unit ketiga yang diuji coba adalah Circus yang dikembangkan oleh

perusahaan Swedia Erling Blomberg. Campuran minyak-air diarahkan dengan

menggunakan boom untuk dimasukkan ke Circus, yang berperan sebagai lagoon

buatan yang ditempatkan di sisi kapal atau daerah yang dekat ke tepi pantai.

Kemudian campuran tersebut dilewatkan melalui ruang/kamar yang berputar. Minyak

yang mengapung dapat diambil sementara airnya dikeluarkan melalui bagian bawah

alat yang terbuka (Anonim, 1996).

3. Oil Spill Dispersant (OSD)

Adalah bahan pengolahan tumpahan minyak yang diformulasikan untuk

mendispersi minyak kedalam air dalam bentuk butiran-butiran halus. Dispersan-

dispersan minyak digunakan pada lingkungan laut untuk melawan polusi minyak dan

memperkecil toksisitas tumpahan minyak pada kehidupan laut.

Ada beberapa jenis oil spill dispersant berdasarkan cara kerjanya :

1. OSD tipe pengumpul, artinya chemicalnya akan mengumpulkan minyak

(melokalisir) agar tidak menyebar lalu dilanjutkan dengan pengambilan/penyedotan

minyak yang telah terkumpul tadi.

2. OSD tipe pemecah, artinya partikel minyakl akan dipecah hingga sangat kecil lalu

akan tersebar dengan bantuan arus laut. Dengan terpecahnya partikel minyak maka

konsentrasinya pun akan menjadi kecil.

3. OSD tipe penggumpal. Artinya tumpahan minyak akan dikumpulkan lalu setelah

ukuran partikelnya cukup besar dengan sendirinya akan tenggelam.

Tiap jenis digunakan pada kasus yang berbeda2 tergantung banyaknya

tumpahan, kondisi lingkungan sekitar dll. OSD harus memenuhi standar yang telah

ditetapkan oleh badan akreditasi Migas karena chemical tersebut langsung akan

bersentuhan dengan biota laut.

Page 9: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 8 - 4207 100 513

Gambar 3. Oil Spill Dispersant tipe mengumpal

4. Pembakaran Minyak Secara In Situ di Laut

Pembakaran minyak di laut mempunyai sejumlah batasan di antaranya

ketebalan minyak dan jarak antara lokasi tumpahan dengan kapal untuk alasan

keamanan. Pembakaran secara in situ dilakukan saat mengatasi tumpahan minyak

dari kapal Exxon Valdez. Dilaporkan bahwa pada hari kedua setelah kejadian, 60.000

- 110.000 liter minyak yang tumpah dapat dihilangkan. Hal ini membutuhkan boom

yang tahan api, sementara lapisan minyak yang harus dijaga adalah setebal 3 mm.

Residu pembakaran akan berupa semi-padatan yang kaku yang dapat dengan

.2002 digitized by USU digital library 9 mudah diangkat, sekalipun masih

menyisakan polutan di lingkungan laut. Masalah lain yang dapat timbul adalah

terjadinya pencemaran udara di sekitar lokasi kejadian. Evan et al (1995) dalam Swan

et al (1994) telah berusaha mengidentifikasi asap dan kandungan racun yang

dihasilkan yang memberikan pengaruh bagi atmosfer.

Berbagai informasi tentang karakteristik asap akibat pembakaran minyak

bermunculan dari hasil studi yang dilakukan akibat adanya awan asap besar-besaran

ketika ladang minyak Kuwait membara selama Perang Teluk pada Januari 1991.

Asap yang terjadi segera meluas dengan ketinggian hingga 3 km dan bergerak ke

arah timur hingga jarak 1500-2000 km. Hujan hitam berbau minyak terjadi selama

24 jam di Adana-Turki sekitar 1500 km barat laut Kuwait beberapa hari setelah

kejadian. Hujan berbau minyak juga masih turun di bulan April, sekalipun tidak lagi

berwarna hitam.

Analisis kimia yang dilakukan terhadap sampel aerosol dari pembakaran yang

terjadi di Kuwait menunjukkan bahwa konstituen utamanya adalah: (I) gumpalan

Page 10: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 9 - 4207 100 513

dari partikel jelaga berbentuk speris yang dilapisi senyawa sulfur; (ii) kristal kubik

yang mengandung NaCl dan SO42-; (iii) debu-debu yang mengandung Si, Al, Fe, Ca,

K, dan/atau S (Swan et al, 1994).

5. BioPetroClean

Profesor Eugene Rosenberg dari Universitas Tel Aviv di Israel telah

menemukan suatu larutan organik yang efektif. Di dalam risetnya beliau menemukan

suatu jasad renik bersel tunggal dalam jumlah besar yang dinamakan bakteri

arthobactor yang dapat menguraikan dan membersihkan minyak, dan hanya

menyisakan air yang jernih sebagai hasil akhirnya. Larutan pembersih minyak yang

diproduksi oleh perusahaannya. BioPetroClean, dapat menangani air dan tanah yang

tercemar, tempat penimbunan minyak, serta kapal tangki pembawa minyak. Larutan

itu dirancang untuk dapat memenuhi standar lingkungan saat ini maupun yang akan

datang dengan biaya rendah, delapan kali lebih murah daripada pembersihan dengan

perangkat mekanis. (dikutip : http://www.biopetroclean.com )

Sebagai pelopor dalam penggunaan bakteri untuk tujuan pembersihan

pencemaran minyak pada kapal tangki minyak, pipa saluran, serta di pantai-pantai,

Profesor Rosenberg mendapatkan Penghargaan Proctor and Gamble bidang

Mikorbiologi Terapan dan Lingkungan dari American Society of Microbiology pada

tahun 2003. Pengabdiannya terhadap pekerjaannya telah membantu mengatasi sebuah

persoalan lingkungan yang serius serta memberi sumbangan yang sangat berharga

bagi pemulihan planet kita yang cantik. (dikutip : http://www.biopetroclean.com )

Gambar 4. Tangki disiram bakteri untuk menguraiakan tumpahan minyak

Page 11: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 10 - 4207 100 513

6. Protein Skimer

Protein skimmer merupakan parangkat yang wajib ada dalam mengelola

akuairum laut, walaupun hal ini tidak sepenuhnya benar. Fungsi utama dari sebuah

protein skimmer adalah untuk memisahkan bahan padat terlarut dalam air dengan cara

pengapungan melalui jasa gelembung-gelembung udara yang ditiupkan kedalam suatu

kolom air. Dalam akuarium laut proses ini sering dianggap sebagai suatu proses

tiruan untuk menduplikasi fenomena alam yang terjadi dipantai pada saat hari-hari

hangat berangin. Pada kondisi seperti ini biasanya laut sering mendamparkan

buih/busa kepantai dengan membawa padatan terlarut yang menempel pada buih-

buih tersebut, dan mengendapkannya.

Gambar 5. Skema Protein Skimmer

Proses pemisahan padatan terlarut dengan metoda pengapungan sebenarnya

sudah lama dilakukan orang terutama dalam proses pengolahan air. Dengan

pengapungan, melalui gelembung udara dalam air, diharapkan akan terjadi kontak

antara partikel padatan dengan antar muka air-udara yang terbentuk melalui

gelembung udara. Selanjutnya partikel padatan ini akan terbawa kepermukaan air dan

dibuang.

Page 12: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 11 - 4207 100 513

Prinsip kerja Protein Skimer

Prinsip kerja dari sebuah protein skimmer adalah menciptakan kontak antara

gelembung udara dangan koloid dan partikel-partikel padatan. Efektifitasnya, oleh

karena itu, akan sangat tergantung pada jumlah udara yang ditiupkan, ukuran

gelembung udara, laju pergerakan gelembung dalam air, dan debit air.

Dalam satu liter air dapat dibuat sekitar 10000 gelembung udara dengan

ukuran 5 mm, atau 1 milyar gelembung udara dengan ukuran 0.1 mm. Semakin kecil

ukuran gelembung udara akan semakin besar luas permukaan kontaknya pada suatu

volume udara yang sama. Sebagai contoh 1 liter udara dalam bentuk gelembung

berukuran 5 mm kurang lebih setara dengan 1.2 m2 luas permukan, sedangkan

bila ukuran gelembungnya adalah 1 mm maka luas permukaannya setara dengan 6

m2 dan bila berukuran 0.1 mm luas permukaannya setara dengan 60 m2. Dengan

demikian, semakin halus ukuran gelembung udara yang ditiupkan, secara matematik

akan semakin luas bidang kontaknya sehingga akan semakin banyak padatan terlarut

yang bisa dibawa dan dibuang dari dalam akuarium.

Kecepatan pergerakan gelembung udara dalam air adalah faktor lain yang

menentukan keefektifan sebuah protein skimmer. Dalam lingkungan akuarium,

gelembung udara yang dihasilkan oleh sebuah mesin peniup udara bisa berukuran 5 -

30 mm. Gelembung udara berukuran 1 mm apabila diperhatikan akan tampak

sebagai sebuah bola yang homogen. Gelembung berukuran demikian akan cenderung

bergerak teratur dalam air dan cenderung bergerak lurus. Sedangan gelembung

berukuran lebih dari 2 mm akan cenderung lonjong, sebagai akibat terjadinya tekanan

pada gelomang tersebut dan pengaruh arus air. Gerakannya cenderung berputar

(spiral) dan tampak bergetar. Getaran ini terjadi sebagai akibat terbentuknya

turbulensi di bagian bawah gelembung. Getaran tersebut dapat mengurangi

keefektifan gelembung dalam membawa partikel padat, bahkan sering partikel yang

telah terperangkap oleh gelembung menjadi telepas kembali.

Page 13: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 12 - 4207 100 513

Gambar 6. Pergerakan Gelembung dan pengaruh ikutan nya

Apabila gelembung udara dapat diusahakan seluruhnya berada dalam ukuran

kurang dari 2 mm, maka dapat diperkirakan kecepatan bergeraknya dalam air rata-rata

sekitar 20 cm/detik. Pada saat bergerak gelembung ini akan membelah air didepannya

dan bersatu lagi dibagian bawah gelembung Meskipun demikian karena gerakannya

tersebut maka bersatu nya lagi air dibelakang gelembug tidak serta merta terjadi tepat

dibelakanya tapi akan membentuk suatu jarak. Pada jarak ini akan muncul suatu

daerah yang khas yang dikenal sebagai zone mati (Gambar 6). Kahadiran zone ini

sangat penting artinya dalam menciptakan kontak antara partikel padatan dengan

gelembung. Pada paritkel-partikel berukuran besar zone mati demikian tidak terjadi,

yang ada justru merupakan sebuah zone turbulensi. Oleh karena itu sangat

direkomendasikan bahwa dalam sebuah protein skimmer diperlukan gelembung udara

yang sangat halus, dengan ukuran kurang dari 2 mm.

Daerah Skimming.

Koloid-koloid padatan memegang peranan penting dalam pebentukan busa.. Pada saat

gelembung-gelembung udara mencapai permukaan, gelembung-gelembung tersebut

akan saling bersatu dan melekat satu dengan lainnya. Apabila partikel-pertikel

padatan dalam bentuk koloid ini tidak ada, maka busa tidak akan terbentuk di

permukaan. Busa yang terbentuk selanjutnya akan naik ke ruang penampung busa

(Gambar 8.), sedangkan air yang terbawa akan turun kembali ke dalam kolom. Daerah

terjadinya percampuran antara air dengan busa ini dikenal sebagai daerah atau zone

skimming. Diatas zone ini terdapat daerah dimana terjadi pemisahan atara busa

Page 14: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 13 - 4207 100 513

dengan air. Zone ini disebut sebagai zone drainase. Selanjutnya adalah zone

transportasi busa.

Gambar 7. hasil dari proses protein skimer

Pada zone drainase air akan turun kembali kedalam kolom skimmer sedangkan

busa, selama koloid padatan masih ada, akan terbentuk terus menerus disana dan

terangkat naik ke pembuangan busa. Meskipun sebagian besar air sudah akan turun

pada zone ini, sebagian kecil air akan tetap terdrainase bersamaan dengan

terangkatnya busa ke penampungan. Busa selanjutkan akan naik terus melalui

cerobong busa dan akhirnya sampai di penampungan busa. Dengan demikian proses

skimming boleh dikatakan selesai

Tipe Protein Skimmer

Pada dasarnya ada tiga tipe skimmer (Gambar 8.) yang dikenal, yaitu

1. Tipe counter-current, atau tipe berlawanan arah

Dalam hal ini arah pergerakan air dalam tabung skimmer berlawanan

dengan arah pergerakan gelembung udara. Tipe ini tampaknya paling umum

dijumpai dipasaran. Karena arah aliran airnya bertentangan dengan arah

pergerakan gelembung udara, diharapkan gelembung udara menjadi sangat

efektif dalam menangkap partikel-partikel padatan

2. Tipe co-curent, atau tipe searah

Tipe ini arah pergerakan airnya searah dengan arah pergerakan gelembung

udara

Page 15: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 14 - 4207 100 513

3. Tipe venture

Pada tipe ini gelempung udara tidak disuplai atau dibuat oleh suatu mesin

khusus, melainkan gelembung udara dihasilkan melalui venturi. Tenaga

penggeraknya biasanya berupa powerhead yang akan menyembuarkan air

kedalam tabung. Bersamaan dengan aliran yang kencang tersebut, udara di

masukan melalu sebuat lubang (pipa) kedalam tabung keluaran air

sehingga terhisap dan bercampur dengan air

Gambar 8. macam protein skimer

Selain dari tipe diatas, protein skimmer tersedia pula dalam bentuk internal

(Gambar 10.) maupun eksternal (Gambar 10.). Protein skimmer eksternal adalah

protein skimmer yang letaknya berada diluar akuarium atau sump. Sedangkan protein

skimmer internal penempatan diletakan didalam akuarium utama atau sump. Mana

yang akan dipilih akan sangat terntung pada keperluan kita masing-masing.

Page 16: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 15 - 4207 100 513

Gambar 10. skimmer internal dan ekternal

Beberapa Ketetapan Kinerja Skimmer

Antara lain :

1. Laju aliran air dalam skimmer bersifat tetap dan ditentukan oleh

volume akuarium dan laju pertukaran air.

2. Laju bombardir udara tergantung pada lama pertukaran air dan

diameter skimmer.

3. Penambahan panjang skimmer hanya akan meningkatkan waktu

kontak antara air dan udara tapi tidak akan mempengaruhi laju

bombardir.

4. Volume maksimum udara di dalam tabung skimmer hanya akan 16%

dari seluruh volume tabung.

5. Laju udara yang masuk kedalam skimmer harus mampu memproduksi

gelembung tanpa menimbulkan turbulensi dan hal ini ditentukan oleh

diameter skimmer, panjang, laju bombardir, dan waktu kontak.

6. Laju bombardir dalam skimmer, panjang skimmer, diameter dan aliran

udara harus ditentukan dengan tepat agar kinerja skimmer optimum.

7. Apabila diameter skimmer yang diperlukan lebih besar dari diameter

yang tersedia, maka dapat dikompensasikan dengan menggabungkan

beberapa skimmer sekaligus.

Page 17: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 16 - 4207 100 513

PENUTUP

Menjadi kewajiban kita semua untuk menjaga kelestarian lingkungan laut kita,

karena sebagian masyarakat kita sangat bergantung pada laut ini. Pencemaran laut

akibat tumpahan minyak kian waktu kian menjadi kekhawatiran seluruh lapisan

masyarakat atas kelanjutan laut kita dan ketersediaan lahan untuk hidup bagi nelayan

kita. Oleh karenanya kegiatan monitoring dan kontrol menjadi sangat penting untuk

mencegah dan menanggulangi bahaya pencemaran laut dari tumpahan minyak. Semua

pihak instansi/departemen, LSM, TNI AL, Kepolisian harus melakukan koordinasi

yang terus menerus.

Sumber :

http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=137

http://www.its.ac.id/personal/files/pub/176sarwokoenviroSeminar%20kelautan%20ITS.

pdf

http://digilib.its.ac.id/detil.php?id=2306&q=Ekosistem

http://marpolindopn.indonetwork.co.id/837053/oil-boom.htm

http://library.usu.ac.id/download/ft/kimia-erni.pdf

Page 18: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 17 - 4207 100 513

Tema Kajian:

Teknologi Pemulihan untuk Ekosistem Laut Tercemar Minyak

(Remediation Technologies for Oil-Polluted Marine Ecosystem)

A. Pendahuluan

Kebutuhan energi aktivitas kehidupan manusia masih berlanjut menggunakan

sumber energi hidrokarbon (fosil). Berbagai kegiatan eksplorasi, eksploitasi,

transportasi, penyimpanan, pengolahan dan distribusi minyak mentah maupun minyak

olahan masih sering menghasilkan kejadian kebocoran dan/atau tumpahan minyak ke

lingkungan. Khususnya dalam mata rantai eksploitasi – distribusi melalui media laut,

tumpahan minyak di laut telah berdampak pencemaran multidimensi bagi makhluk

hayati laut itu sendiri, usaha perikanan, usaha turisme, sampai kepada tingkat

kerusakan laut (Edwards and White,1999). Minyak masih digunakan secara luas,

meskipun tindakan pengamanan dikembangkan tetapi kebocoran dan/atau tumpahan

minyak di laut hampir dipastikan akan terus terjadi. Oleh karena itu, tindakan pro-

aktif untuk kesiapan pemulihan pencemaran laut adalah diperlukan untuk tujuan:

tanggap pencemaran, atau penggunaan kembali sebagai tempat kegiatan eksploitasi

minyak.

Minyak mentah dan minyak olahan adalah senyawa kompleks hidrokarbon yang

mempunyai ribuan variasi senyawa. Keragaman senyawa minyak menghasilkan

keragaman kualitas fisik kimia. Komposisi dan karakteristik minyak telah

dideskripsikan secara rinci (Jokuty, et al., 2000). Pengetahuan mengenai karakteristik

minyak, dan karakteristik laut, adalah prasyarat untuk dapat memprediksi kelakuan

tumpahan minyak di laut dan perlakuan pemulihan pencemaran. Keragaman

karakteristik minyak dan pengalaman kejadian pencemaran minyak di laut

menunjukkan bahwa metodologi pemulihan pencemaran bersifat site-specific

(Xueqing etal., 2001). Ini adalah suatu tantangan dalam upaya pemulihan pencemaran

minyak di laut diperlukan pre-studi setempat untuk menetapkan teknologi pemulihan

yang tepat.

Teknologi pemulihan dapat dilakukan baik secara fisik kimiawi, biologis, maupun

kombinasinya. Perbedaan penerapan teknologi pemulihan memerlukan metode

pemantauan dan evaluasi yang sesuai. Kesesuaian antara pre-studi, penerapan

Page 19: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 18 - 4207 100 513

teknologi, dan pemantauan berikut evaluasinya akan menghasilkan kinerja yang

efektif dan efisien dalam pemulihan pencemaran minyak di laut.

B. Karakteristik Minyak

Sifat fisik minyak yang mempengaruhi kelakuan minyak di laut dan

pemulihannya, yang penting adalah densitas, viskositas, titik ubah (pour point), dan

kelarutan air.

Densitas diekspresikan sebagai specific gravity dan American Petroleum

Institute (API) gravity. Specific gravity adalah rasio berat massa minyak dan berat

massa air pada temperature tertentu. API gravity dinyatakan dalam angka 10° pada air

murni 10°C. API gravity dapat dihitung dari specific gravity menggunakan formula:

AP Gravity (o) = (141,5/Specific Gravity 10oC) – 131,5 (Xueqing et al., 2001).

Minyak mentah mempunyai specific gravity dalam rentang 0.79 -1.00 (setara dengan

API 10 - 48). Densitas minyak adalah penting untuk memprediksi kelakuan minyak di

air.

Viskositas adalah sifat yang menunjukkan ketahanan dalam perubahan bentuk

dan pergerakan. Viskositas rendah berarti mudah mengalir. Faktor viskositas adalah

komposisi minyak dan temperature. Viskositas ini adalah penting untuk memprediksi

penyebaran minyak di air. Titik ubah adalah tingkat temperature yang mengubah

minyak menjadi memadat atau berhenti mengalir. Titik ubah minyak mentah

bervariasi antara –57°C sampai 32°C. Tititk ubah ini adalah penting untuk prediksi

kelakuan minyak di air dan penetapan strategi pembersihan dari lingkungan.

Kelarutan minyak dalam air adalah rendah sekitar 30 mg/L (NAS, 1985) dan

tergantung kepada komposisi kimia dan temperature. Besaran kelarutan itu dicapai

oleh minyak aromatic dengan berat molekul kecil seperti benzene, toluene,

ethylbenzene, dan xylene (BTEX). Sifat kelarutan ini adalah penting untuk prediksi

kelakuan minyak di air, proses bioremediasi, dan ekotoksisitas minyak.

Karakteristik kimia minyak adalah berbeda untuk minyak mentah dan minyak olahan.

Senyawa baru dapat muncul dalam minyak olahan, yang dihasilkan dari proses

pengolahanminyak mentah. Minyak mentah mengandung senyawa hidrokarbon

sekitar 50–98 % dan selebihnya senyawa non-hidrokarbon (sulfur, nitrogen, oxygen,

dan beberapa logam berat) (Leahy and Colwell, 1990). Selanjutnya minyak

diklasifikasikan berdasarkan kelarutan dalam pelarut organic, yaitu: 1) Hidrokarbon

jenuh. Termasuk dalam kelas ini adalah alkana dengan struktur CnH2n+2 (aliphatics)

Page 20: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 19 - 4207 100 513

dan CnH2n (alicyclics), dimana n > 40. Hidrokarbon jenuh ini merupakan kandungan

terbanyak dalam minyak mentah. 2) Hidrokarbon aromatic. Termasuk dalam kelas ini

adalah monocyclic aromatics (BTEX) dan polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs:

naphthalene, anthracene, dan phenanthrene). PAHs bersifat karsinogen, atau dapat

ditransformasi oleh mikroba menjadi senyawa karsinogen, sehingga menjadi senyawa

penting dalam penjagaan kualitas lingkungan. 3) Resin. Termasuk di sini adalah

senyawa polar berkandungan nitrogen, sulfur, oksigen (pyridines dan thiophenes),

sehingga disebut pula sebagai senyawa NSO. 4) Asphalt. Termasuk di sini adalah

senyawa dengan berat molekul besar dan logam berat nickel, vanadium, dan besi.

Tentu saja variasi komposisi minyak mentah adalah berbeda di berbagai tempat, itulah

sebabnya teknologi remediasi bersifat site-specific. Minyak olahan seperti gasoline,

kerosene, minyak jet, dan lubricant adalah produk olahan minyak mentah melalui

proses catalytic cracking dan fractional distillation. Sebagai hasil olahan, minyak

olahan mempunyai sifat fisik kimia berbeda dengan minyak mentah. Minyak olahan

mempunyai kandungan minyak mentah dan senyawa hidrokarbon tak jenuh seperti

olefins (alkenes dan cycloalkenes) dari proses catalytic cracking. Kandungan olefins

adalah cukup besar sampai 30% dalam gasoline dan sekitar 1% dalam jet fuel.

(NAS, 1985).

C. Kelakuan minyak di laut

Saat minyak terekspose ke lingkungan laut, minyak akan segera berubah sifat-

sifat fisik kimia dan biologis. Perubahan sifat ini akan mengubah/menentukan strategi

remediasi. Proses perubahan sifat fisik meliputi:

1. Perluasaan. Perluasan ini mungkin merupakan proses terpenting selama awal

ekspose minyak dalam air, sepanjang titik ubah minyak adalah lebih rendah

dibanding temperature sekitar. Proses ini akan memperluas sebaran minyak

sehingga meningkatkan perpindahan massa melalui proses evaporasi,

pelarutan dan biodegradasi.

2. Evaporasi. Proses ini dapat diandalkan untuk menghilangkan fraksi minyak

dengan kandungan toksik dan berat molekul rendah. Evaporasi alkana (<

C15) dan aromatic berlangsung antara 1 – 10 hari (Xueqing et al., 2001).

Faktor lingkungan yang mempengaruh evaporasi adalah angin, gelombang air

dan temperature. Evaporasi menyebabkan minyak tertinggal dalam air

mengalami peningkatan densitas dan viskositas.

Page 21: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 20 - 4207 100 513

3. Pelarutan. Proses ini tidak signifikan dari sudut perpindahan massa tetapi

penting dalam proses biodegradasi. Aromatik dengan berat molekul kecil dan

bersifat paling toksik adalah paling larut air dibanding senyawa minyak

lainnya (NAS, 1985). Kecepatan pelarutan dipengaruhi oleh proses foto-

oksidasi dan proses biologis.

4. Foto-oksidasi. Dalam kondisi aerobic dan terpapar sinar matahari, minyak

aromatic dapat ditransformasi menjadi senyawa lebih sederhana. Senyawa

lebih sederhana ini (hydroperoxides, aldehydes, ketones, phenols, dan

carboxylic acids) bersifat lebih larut air sehingga meningkatkan laju

biodegradasi tetapi lebih toksik (Nicodem et al. 1997).

5. Dispersi. Penyebaran ini terjadi karena proses gradient konsentrasi dengan

membentu formasi emulsi minyak-air (butiran minyak dalam kolom air)

sehingga memperluas permukaan butir minyak. Emulsi minyak-air dapat

terjaga dengan agitasi (angin dan gelombang adalah contoh agitasi alamiah),

atau dengan penambahan dispersan.

6. Emulsifikasi. Emulsifikasi adalah proses perubahan status dari butiran

minyak dalam air menjadi butiran air dalam minyak (disebut juga chocolate

mousse). Bahan asphaltic dapat meningkatkan emulsifikasi. Tetapi

emulsifikasi akan mempersulit pembersihan minyak.

7. Lain-lain. Termasuk di sini adalah proses adsorpsi minyak pada zat padat air,

sedimentasi dan formasi butir tar.

Berbeda dengan proses fisik kimia sebagai perpindahan massa antar media

lingkungan, proses biodegradasi adalah proses perpindahan massa dari media

lingkungan ke dalam massa mikroba (menjadi bentuk terikat dalam massa mikroba)

sehingga minyak hilang dari air. Hasil proses biodegradasi adalah umumnya

karbondioksida dan metana yang kurang berbahaya dibanding minyak pada besaran

konsentrasi yang sama. Mikroba yang mampu menguraikan minyak adalah tersedia di

alam laut yaitu sekitar 200 spesies bacteria, ragi dan fungi. Bacteria terpenting adalah

Achromobacter, Acinetobacter, Alcaligenes, Arthrobacter, Bacillus, Brevibacterium,

Cornybacterium, Flavobacterium, Nocardia, Pseudomonas, Vibrio; ragi dan fungsi

adalah Aspergillus, Candida, Cladosporium, Penicillium, Rhodotorula,

Sporobolomyces, Trichoderma (Leahy and Colwell, 1990). Penting dipahami

bahwa mikroba pengurai minyak adalah tidak bekerja secara individu spesies tetapi

konsorsium multi spesies.

Page 22: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 21 - 4207 100 513

Berdasarkan kemampuan proses biodegradasi, potensi senyawa minyak yang dapat

diuraikan oleh mikroba adalah sebagai berikut:

1. Hidrokarbon jenuh.

Umumnya nalkanes siap untuk diuraikan mikroba menjadi alcohol, aldehydes,

atau fatty acid Branched alkanes dan Cycloalkanes adalah sulit diuraikan mikroba

(Atlas, 1995).

2. Aromatik.

Umumnya aromatic sulit terurai biologis tetapi aromatic dengan berat molekul

rendah (naphthalene) dapat terurai biologis (Prince, 1993)

3. Resin dan asphalt. Senyawa

ini mempunyai sturktur kompleks dan sulit diuraikan secara biologis, tetapi

dalamkonsentrasi rendah dapat terurai biologis secara cometabolisme (Leahy and

Colwell, 1990).

D. Pengendalian Resiko

Pemulihan ekosistem berdasarkan kelakuan pencemar minyak dapat dilakukan

dengan pendekatan risiko jejaring pencemar (Vik et al., 2001). Berikut ini

diketengahkan beberapa contoh pendekatan pemulihan ekosistem berdasar

pengendalian risiko. Pengendalian pencemaran pada tempat kejadian. Risiko

penyebaran pencemaran dan perluasan dampak dapat ditekan maksimal.

Pendekatan ini mengarahkan teknologi pemulihan diterapkan di tempat

pencemaran (in-situ remediation). Pemulihan setempat dapat dilakukan untuk

wilayah pesisir, termasuk lahan basah, muara, pantai dan laut lepas yang dapat

terjangkau. Pengendalian media perjalanan pencemar. Pemompaan air laut adalah

contoh pengendalian perjalanan pencemar dan dilanjutkan dengan pemulihan di

luar tempat (exsitu remediation). Penutupan sediment pantai, injeksi oksigen dan

bahan kimia ke dalam air laut adalah contoh pengendalian perjalanan pencemar

dengan pemulihan setempat (insitu remediation). Pengendalian penerima

pencemar. Ini dilakukan dengan cara modifikasi akses bagi penerima pencemar

potensial. Beberapa contoh adalah pengalihan jalur transport menjauh tempat

kejadian pencemaran, pelindung bagi petugas pemulih ekosistem, larangan

konsumsi hewan laut dalam radius 25 km dari kejadian pencemaran.

E. Remediasi fisik kimia

adalah efektif untuk tujuan jangka pendek/segera yaitu melokalisasi dan

mengambil semaksimal mungkin tumpahan minyak dari laut.

Page 23: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 22 - 4207 100 513

Remediasi fisik yang telah dipraktekkan secara umum adalah:

1. Booming and skimming. Booms digunakan untuk melokalisasi dan

mengendalikan pergerakan minyak. Skimmer digunakan untuk mengambil

minyak.

2. Wiping dengan absorben. Bahan hidrofobik digunakan untuk menyeka

minyak dari permukaan air.

3. Mekanis. Peralatan mekanis digunakan untuk mengumpulkan dan

pembuangan sediment tercemar minyak. Ini terutama dilakukan di daerah

pantai.

4. Pencucian. Pencucian menggunakan air dingin bertekanan rendah sampai air

panas bertekanan tinggi.

5. Relokasi sediment dan tilling. Pemindahan sediment tercemar minyak ke

tempat lain atau pencampuran dengan sediment lain. Cara ini analog dengan

pengenceran pencemar.

6. Pembakaran setempat. Pembakaran tempat tercemar minyak biasanya

dilakukan bersamaan dengan substrat mudah terbakar (tumbuhan kering,

sampah kering). Ini terutama untuk kawasan pesisir.

Remediasi kimia yang telah dipraktekkan secara umum adalah:

1. Dispersants.

Kandungan surfaktan digunakan untuk mendispersi minyak menjadi

butiran dalam air. Butiran minyak mempunyai total luas permukaan butiran

luas sehingga mempercepat proses lanjutan. Cara ini dipakai secara rutin di

banyak Negara, terutama jika menghadapi kendala remediasi fisik (Lessard

and Demarco, 2000).

2. Demulsifiers

Bahan ini digunakan untuk memutus emulsi minyak-air guna

mempercepat disperse alamiah.

3. Solidifiers.

Bahan ini digunakan untuk meningkatkan polimerisasi minyak sehingga

minyak menjadi stabil, meminimalkan penyebaran, dan meningkatkan

efektivitas remediasi fisik.

4. Surface film chemicals.

Page 24: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 23 - 4207 100 513

Bahan pembentuk film (Film-forming agents) digunakan untuk

mencegah minyak tertarik ke substrat laut lepas, dan untuk meningkatkan

pembuangan minyak terikat pada permukaan alat pencuci bertekanan.

Remediasi fisik kimia bersifat remediasi jangka pendek dan tidak tuntas

(perpindahan massa antar media lingkungan), hanya sekitar 10 – 15 % pencemar

dapat dipindahkan dari media laut (OTA, 1990)

F. Bioremediasi

Untuk penuntasan remediasi diperlukan penghilangan dari media secara

biologis (bioremediasi). Bioremediasi digunakan saat peristiwa tumpahan minyak

Exxon Valdez yang mencemari laut tahun 1989 (Bragg et al., 1994). Bioremediasi

didefinisikan sebagai teknologi yang menggunakan mikroba untuk mengolah

pencemar melalui mekanisme biodegradasi alamiah (intrinsic bioremediation) atau

meningkatkan mekanisme biodegradasi alamiah dengan menambahkan mikroba,

nutrien, donor electron dan/atau v akseptor elektron (enhanced bioremediation)

(USEPA, 2001). Nutrien terpenting adalah N dan P. Donor electron adalah methanol

atau asam laktat untuk proses anaerobic. Akseptor electron adalah oksigen, atau untuk

anaerobic adalah besi (3) dan nitrat. Perubahan fisik saat minyak terekspose ke

lingkungan laut akan menentukan proses bioremediasi, yang terutama adalah:

1. Evaporasi. Proses ini terutama untuk minyak volatile seperti benzene

and smaller n-alkanes. Evaporasi menghasilkan luas permukaan minyak

dan menguntungkan bagi mikroba untuk menghilangkan senyawa toksik

tersebut.

2. Pelarutan. Proses ini tidak signifikan dari sudut perpindahan massa

tetapi penting dalam.proses biodegradasi. Mikroba berada dalam air

lebih mudah kontak dengan minyak terlarut.

3. Dispersi. Formasi emulsi minyak-air memperluas permukaan butir

minyak sehingga memudahkan mikroba untuk memproses minyak.

Formasi emulsi ini merupakan proses penting dalam penghilangan

hidrokarbon oleh bacteria dan fungi (Singer and Finnerty, 1984). Tetapi

emulsi minyak-air dengan penambahan dispersan tidak efektif untuk

proses biodegradasi minyak, karena adanya tambahan zat organic

dispersan.

4. Emulsifikasi. Emulsifikasi pembentukan chocolate mousse akan

mengurangi luas permukaan minyak sehingga menurunkan proses

Page 25: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 24 - 4207 100 513

biodegradasi. Butir tar sebagai agregat besar akan menghambat akses

mikroba (Leahy and Colwell, 1990).

Keefektifan bioremediasi ditentukan oleh kondisi lingkungan. Kondisi

lingkungan ini digunakan untuk pengambilan keputusan tempat bioremediasi, baik di

tempat (in-situ) atau di luar tempat (ex-situ). Kondisi lingkungan yang terutama

adalah:

1. Temperatur.

Padatemperature rendah maka viskositas minyak meningkat dan

volatilitas senyawa toksik menurun sehingga akan menghambat proses

bioremediasi (Atlas, 1995). Hidrokarbonrantai pendek alkanes lebih

mudah larut pada temperature rendah. Pada temperature tinggi, aromatic

lebih mudah larut (Focht and Westlake, 1987). Secara umum laju

biodegradasi umumnya meningkat dengan peningkatan temperature

sampai batas tertentu. Laju tinggi biodegradasi minyak di laut dapat

dicapai pada temperature 15 - 20°C (Bossert and Bartha, 1984).

2. Oksigen.

Ketersediaan oksigen adalah penting dalam proses biodegradasi

hidrokarbon jenuh dan aromatic (Cerniglia, 1992). Tetapi metabolisme

hidrokarbon secaraanaerobic dapat berhasil baik untuk hidrokarbon

aromatic (BTEX) (Head and Swannell, 1999). PAHs dan alkanes dapat

didegradasi dalam kondisi anaerobic (Caldwell et al., 1998).

3. Nutrients.

Saat minyak tumpah ke laut, suplai karbon ke dalam air laut

meningkat. Pada saat itu air laut terdapat ketimpangan komposisi nutrient

(C meningkat tajam sehingga C/N/P menjadi membesar melebihi

komposisi normal bagi kebutuhan mikroba). Untuk memanfaatkan

mikroba maka diperlukan penambahan nutrient N dan P pada tingkat

proporsi C/N/P sebelum tertumpah minyak. Secara teoretis 150 mg

nitrogen dan 30 mg phosphor diperlukan mikroba untuk konversi 1 g

hidrokarbon menjadi sel baru (Rosenberg and Ron, 1996).

4. pH dan salinitas.

Kebanyakan bacteria heterotrof dan fungi menyukai pH netral dan

fungi masih toleran terhadap pH rendah. Berbagai studi menghasilkan

fakta bahwa biodegradasi minyak akan lebih cepat dengan peningkatan

Page 26: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 25 - 4207 100 513

pH dan kecepatan optimum pada pH alkalin (Focht and Westlake, 1987).

Perubahan salinitas dapat mempengaruhi biodegradasi melalui perubahan

populasi mikroba dan laju metabolisme hidrokarbon akan menurun 3.3 to

28.4% dengan peningkatan salinitas

G. Fitoremediasi

Salah satu proses pemulihan lingkungan tercemar dengan menggunakan

tumbuhan telah dikenal luas, yaitu fitoremediasi (phytoremediation). Fitoremediasi

dapat dilakukan di wilayah pesisir, terutama kejadian pencemaran minyak atau

pembuangan residu minyak berada di lahan basah pesisir. Proses fitoremediasi secara

umum dibedakan berdasarkan mekanisme fungsi dan struktur tumbuhan. USEPA

(1999, 2005) dan ITRC (2001) secara umum membuat klasifikasi proses sebagai

berikut:

1. Fitostabilisasi (phytostabilization).

Akar tumbuhan melakukan imobilisasi polutan dengan cara

mengakumulasi, mengadsorpsi pada permukaan akar dan mengendapkan

presipitat polutan dalam zone akar. Proses ini secara tipikal digunakan

untuk dekontaminasi zat-zat anorganik yang terkandung minyak yaitu

sulfur,nitrogen, dan beberapa logam berat (sekitar 2 - 50 % kandungan

minyak (Leahy andColwell, 1990).

2. Fitoekstraksi / fitoakumulasi (phytoextraction

/phytoaccumulation).

Akar tumbuhan menyerap polutan dan selanjutnya ditranslokasi ke

dalam organ tumbuhan. Proses ini adalah cocok digunakan untuk

dekontaminasi zat-zat anorganik seperti padaproses fitostabilisasi.

3. Rizofiltrasi (rhizofiltration).

Akar tumbuhan mengadsorpsi atau presipitasi pada zone akar atau

mengabsorpsi larutan polutan sekitar akar ke dalam akar. Proses ini

digunakan untuk bahan larutan yang mengandung bahan organic maupun

anorganik (Mangkoedihardjo, 2002).

4. Fitodegradasi / fitotransformasi

(phytodegradation/phytotransformation).

Organ tumbuhan menguraikan polutan yang diserap melalui proses

metabolisme tumbuhan atau secara enzimatik.

Page 27: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 26 - 4207 100 513

5. Rizodegradasi (rhizodegradation / enhanced rhizosphere

biodegradation / phytostimulation / plant-assisted bioremediation

/ degradation).

Polutan diuraikan oleh mikroba dalam tanah, yang diperkuat/sinergis

oleh ragi, fungi, dan zat-zat keluaran akar tumbuhan (eksudat) yaitu

gula, alcohol, asam. Eksudat itu merupakan makanan mikroba yang

menguraikan polutan maupun biota tanah lainnya. Proses ini adalah

tepat untuk dekontaminasi zat organic.

6. Fitovolatilisasi (Phytovolatilization).

Penyerapan polutan oleh tumbuhan dan dikeluarkan dalam bentuk uap

cair ke atmosfer. Kontaminan bisa mengalami transformasi sebelum

lepas ke atmosfer.

Kontaminan zat-zat organic adalah tepat menggunakan proses ini

H. Pre-studi dan pemantauan

Pre-studi dan pemantauan remediasi laut tercemar minyak adalah keharusan

karena bersifat site-specific dan untuk penentuan teknik yang tepat efektif dan efisien

dalam kegiatan remediasi. Pre-studi dan pemantauan minimum yang diperlukan

meliputi hal-hal di bawah ini. Predictive hazard assessments. Kajian ini merupakan

langkah awal untuk penetapan teknologi remediasi. Kajian ini bertujuan untuk

mengetahui secara prediktif kelakuan minyak di air laut baik mengenai sebaran

konsentrasi minyak di media air, udara, zat padat/sediment dan biota. Model kajian ini

dapat digunakan multi media fugacity model atau release from the technosphere, dan

masih banyak model yang dapat dikembangkan (OECD, 1989). Treatability study.

Kajian ini merupakan kelanjutan dari predictive hazard assessments. Setelah diketahui

sebaran konsentrasi minyak di media lingkungan maka besaran konsentrasi minyak di

tiap media diuji dengan teknik remediasi fisik, kimia, mikrobiologis, dan tumbuhan.

Biodegradation study. Kajian ini merupakan pendalaman treatability study khususnya

teknik bioremediasi. Terdapat pendekatan kajian bioremediasi yaitu:

1. Bioaugmentasi.

Prinsipnya adalah mikroba pengurai minyak ditambahkan ke

lingkungandimana telah tersedia mikroba dari berbagai spesies dan

terkontaminasi minyak.Penambahan mikroba pengurai minyak adalah untuk

Page 28: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 27 - 4207 100 513

memperpendek fase adaptasi mikroba yang ada sehingga saat mulai proses

bioremediasi dapat dipercepat (Hozumi et al. (2000).

2. Biostimulasi.

Prinsipnya adalah mikroba pengurai minyak yang telah ada dalamlingkungan

terkontaminasi minyak distimulasi aktivitasnya dengan penambahan

nutrient.Penambahan nutrient diperlukan untuk meningkatkan laju bioremediasi.

Nutrien utamayang diperlukan adalah ammonia N dan P (Jackson and Pardue,

1999).Microbiological study. Studi mikrobiologis ditetapkan menjadi 2 bagian

yaitu:

a. Perubahan komunitas mikroba.

Komunitas mikroba (bacteria, ragi, fungi) perlu diketahui untuk media

tak tercemar dan media tercemar minyak. Tinjauan ini diperlukan untuk

menetapkan kelayakan remediasi di tempat (in-situ) atau di luar tempat

(ex-situ).

b. Isolasi dan karakterisasi mikroba yang mampu menguraikan minyak.

Tinjauan ini diperlukan untuk menetapkan bioaugmentasi.

Phytotechnological study. Studi teknologi pemulihan menggunakan

tumbuhan disesuaikan dengan struktur dan fungsi tumbuhan serta

karakteristik minyak. Tumbuhan uji adalah tumbuhan pesisir seperti

Cattail dan Mangrove.

Fungsi pemantauan didasarkan kepada maksud penggunaan pemantauan, yaitu:

1. Pemantauan retrospektif.

Pemantauan retrospektif adalah pemantauan yang hasil-hasilnya digunakan untuk

melakukan koreksi atau jastifikasi/pembenaran terhadap predictive hazard

assessments dan penerapan teknologi. Keduanya dipantau secara dan/atau

menggunakan indikator fisik, kimia dan biologis.

2. Pemantauan prospektif.

Pemantauan prosepektif adalah pemantauan yang hasil-hasilnya digunakan untuk

melakukan prediksi. Uji ekotoksisitas merupakan contoh pemantauan prospektif.

Salah satu indicator tingkat toksisitas organic adalah rasio BOD/COD. Hasil

pemantauan rasio BOD/COD makin meningkat menunjukkan tingkat toksisitas

menurun

Page 29: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 28 - 4207 100 513

I. Kesimpulan

1. Karakteristik minyak mentah adalah berbeda sesuai dengan sumbernya,

minyak olahanberbeda karakteristik sesuai proses pengolahan, dan apabila

tumpah pada ekosistem maka kelakuan fisik kimia minyak bersifat site-

specific. Kekhususan tempat tersebut menentukan pendekatan pengendalian

risiko pencemaran dan pilihan teknologi remediasi.

2. Remediasi fisik kimia bersifat first aid dan tidak tuntas menghilangkan

minyak darimedia lingkungan. Bioremediasi dan fitoremediasi berfungsi

menuntaskanpenghilangan minyak dari media laut dan penerapannya harus

menjaga kondisi lingkungan aktivitas mikroba dan tumbuhan.

3. Perangkat pres-studi diperlukan untuk mengawal seleksi teknologi pemulihan

dan pemantauan teknologi terpilih.

Reference :

1. Remediation Technologies Selection for Oil-Polluted Marine Ecosystem. Sarwoko Mangkoedihardjo Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. [email protected]. Reference diatas dari reference :

Atlas, R.M. (1995) Petroleum biodegradation and oil spill bioremediation.

Marine Pollution Bulletin, 31, 178-182.

Bossert, I. And Bartha, R. (1984) The fate of petroleum in soil ecosystems. In

Atlas (Ed), Petroleum.Microbiology, Macmillan Publishing Company, New

York, pp435-476.

Bragg, J.R., Prince, R.C., Harner, E.J., and Atlas, R.M. (1994) Effectiveness

of bioremediation for the Exxon Valdez oil spill. Nature, 368, 413-418.

Caldwell, M.E., Garrett, R.M., Prince, R.C., Suflita, J.M. (1998) Anaerobic

biodegradation of longchainn-alkanes under sulfate-reducing conditions.

Environ. Sci. Technol., 32, 2191-2195.

Cerniglia, C.E., (1992) Biodegradation of polycyclic aromatic hydrocarbons.

Biodegradation, 3,351-368.

Edwards, R. and White, I (1999) The Sea Empress oil spill: environmental

impact and recoveryProceedings of 1999 International Oil Spill Conference.

American Petroleum Institute,Washington DC.

Page 30: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 29 - 4207 100 513

Foght, J.M. and Westlake, D.W.S. (1987) Biodegradation of hydrocarbons in

freshwater. In:Vandermeulen and Hrudey (Ed), Oil in Freshwater: Chemistry,

Biology, Countermeasure Technology. Pergamon Press, New York, pp217-

230.

Head, I.M. and Swannell, R.P.J. (1999) Bioremediation of petroleum

hydrocarbon contaminants inmarine habitats. Current Opinion in

Biotechnology, 10, 234-239.

Hozumi, T., Tsutsumi, H. and Kono, M. (2000) Bioremediation on the shore

after an oil spill fromthe Nakhodka in the Sea of Japan. I. Chemistry and

characteristics of the heavy oil loaded onthe Nakhodka and biodegradation

tests on oil by a bioremediation agent with microbial culturesin the laboratory.

Marine Pollution Bulletin, 40, 308-314.

Interstate Technology Regulatory Cuncil (2001). Technical and regulatory

guidance document,phytotechnology. Interstate Technology Regulatory

Council USA.

Jackson, W.A. and Pardue, J.H. (1999) Potential for enhancement of

biodegradation of crude oil inLouisiana salt marshes using nutrient

amendments. Water, Air, and Soil Pollution, 109, 343-355.

Jokuty, P., Whiticar, S.P., Wang, Z., Fingas, M., Lambert, P., Fieldhouse, B.,

and Mullin, J. (2000)A Catalogue of Crude Oil and Oil Product Properties.

Environmental Protection Service,Environment Canada, Ottawa, ON.

Leahy, J.G.; Colwell, R.R. (1990) Microbial Degradation of hydrocarbons in

the environment.Microbial Reviews, 53(3), 305-315.

Lessar R.R. and Demarco G. (2000) The significance of oil spill dispersants.

Spill Science &Technology Bulletin, 6(1), 59-68.

Mangkoedihardjo, Sarwoko. 2002. Waterhyacinth leaves indicate wastewater

quality. J. Biosains, 7(1): 10-13.

National Academy of Sciences (1985) Oil in the Sea: Inputs, Fates and Effects,

National AcademyPress, Washington DC.

Nicodem, D.E., Fernandes, M.C., Guedes, C.L.B., Correa, R.J. (1997)

Photochemical processes andthe environmental impact of petroleum spills.

Biogeochemistry, 39, 121-138.

Office of Technology Assessment (1990), Coping With An Oiled Sea: An

Analysis of Oil Spill

Page 31: Clean Ocean Fix (Muhibburrahman 4207100513)

Tugas MARPOL: “ Kajian safe ship dan clean ocean aplikasi pada kapal di atas 5000 DWT ”

Muhibburrahman - 30 - 4207 100 513

Response Technologies, OTA-BP-O-63, Washington, DC.

Organization of Economic Cooperation for Development. (1989).

Compendium of environmentalexposure assessment methods for chemicals.

OECD Environment Monograph No. 27.

Prince, R.C. (1993) Petroleum spill bioremediation in marine environments.

Critical Rev.Microbiol. 19, 217-242.

Rosenberg, E. and Ron, E.Z (1996) Bioremediation of petroleum

contamination, In R.L. Crawfordand D.L. Crawford (Eds.), Bioremediation:

principles and Applications, Cambridge University Press, UK, 100-124.

Singer M.E. and Finnerty, W.R. (1984) Microbial metabolism of strat-chain

and branched alkanes.In Atlas (Ed), Petroleum Microbiology, Macmillan

Publishing Company, New York, pp1-60.

United States Environmental Protection Agency (2001). Use ofBioremediation

at Superfund Sites.U.S. Environmental Protection Agency. Cincinnati, OH

45268.

United States Environmental Protection Agency. (1999). Phytoremediation

resource guide. Officeof Solid Waste and Emergency Response Technology

USA.

United States Environmental Protection Agency (2005). Use of Field-Scale

Phytotechnology forChlorinated Solvents, Metals, Explosives and Propellants,

and Pesticides. Office of Solid Waste and Emergency Response Technology

USA

Vik EA, Bardos P, Brogan J, Edwards D, Gondi F, Henrysson T, Jensen BK,

Jorge C, Marrioti C,Nathanail P, and Papassiopi N. (2001). Towards a

framework for selecting remediation technologies for contaminated sites. Land

Cont & Reclam, 9, 1: 119-127.

Xueqing Zhu, Albert D. Venosa, Makram T. Suidan, and Kenneth Lee (2001).

Guidelines for theBioremediation of Marine Shorelines and Freshwater

Wetlands. U.S. Environmental Protection Agency. Cincinnati, OH 45268.