Lpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/03/...kuKobaran...

2
Pikiran Rakyat (~::':"ia ~~~====~,,,,,,,-,,~,, ~"'=~"'= \L o Senin 0 Se!asa 0 Rabu 0 /(~mis <- b~~- ~O;;::::s~a~bW:lu="-".~=M:::::in~g;;;;gU~~~~~d/ 1234 5-~7 8 17 ~ 9 10 11 12 13 Cl ,. 19 20 21 22 23 24 25 26 27 2.14 29 15 30 16 31 Jan 0 Peb._ • !:Iar 0 Apr 0 Me; ,0 J,un 0 Jul 0 Ags '-O~S::--.,,-p' --;::0::----::::----=-=---.:::..:. '" OOkt ONov ODes KaD politisasi identitas. Ter- lebih lagi, identitas tidaklah melekat begitu saja, tetapi lebih merupakan suatu kon- struksi sosial. Politisasi identitas merupa- kan bagian yang niscaya dari perangai sebuah rezim, demi menguatkan kontrol atas war- ganya. Politisasi identitas ini leluasa dilakukan atas nama demokrasi, atas nama mayori- tas. Demikian antara lain yang mengemuka dalam Seminar "KonflikAgama, Komunikasi, dan Multikulturalisme" di Fa- kultas Ilmu Komunikasi (Fi- kom) Universitas Padjadjaran, . Jatinangor, Kabupaten Sume- dang,Kamis (24/2). Seminar yang merupakan kerja sama Fikom Unpad, Institut Nalar, dan Penerbit Komodo Books ini menghadirkan pembi~a Maria Hartingsih (jurnalis), pengamat sosial Yudi Latif, dan kritikus sastra BillWatson. Meski seminar ini hendak meletakkan fokus pada novel karya Ratna Sarumpaet, Malu- ku Kobaran Cintaku, tampak- nya novel itu lebih merupakan titik berangkat untuk mengurai sejumlah konflik kekerasan yang berlatar agama, sesuatu EKERASAN yangkerap munculatas nama identi- tasagama merup~ kegagalan multikultura- lisme. Multikulturalisme dan pluralisme ternyata bukan lagi cara untuk meredakan konflik, tetapi justru menjadi penyebab meledaknya berbagai kerusuh- an, termasuk yang mengatas- namakan agama. Namun, ti- daklah lantas keduanya diper- salahkan. Soalnya terletak pa- da bagaimana pluralisme dan multikulturalisme itu dikelola sehingga tidak hanya melahir- kan toleransi yang semu seba- gaimana kerap terjadi akhir- akhir ini, yang berujung kepa- da konflik dan kekerasan. Tol- eransi yang semu terjadi ketika toleransi itu oleh negara difor- malisasikan. Alih-alih hendak meneguh- kan spirit toleransi yang sebe- narnya telah ada dan tumbuh secara alamiah di tengah ma- syarakat sebagai tradisi, for- malisasi semacam ini layak ju- ga dicurigai sebagai bagian dari tabiat negara dalam melaku-

Transcript of Lpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/03/...kuKobaran...

Page 1: Lpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/03/...kuKobaran Cintaku,tampak-nyanovelitulebihmerupakan titikberangkat untuk mengurai sejumlahkonflikkekerasan yangberlatar agama,sesuatu

Pikiran Rakyat (~::':"ia~~~====~,,,,,,,-,,~,, ~"'=~"'= \Lo Senin 0 Se!asa 0 Rabu 0 /(~mis <-b~~- ~O;;::::s~a~bW:lu="-".~=M:::::in~g;;;;gU~~~~~d/

1 2 3 4 5-~7 817 ~ 9 10 11 12 13Cl ,. 19 20 21 22 23 24 25 26 27 2. 14291530 1631Jan 0 Peb._ • !:Iar 0Apr 0Me; ,0J,un 0 Jul 0 Ags '-O~S::--.,,-p'--;::0::----::::----=-=---.:::..:.'" OOkt ONov ODes

KaD politisasi identitas. Ter-lebih lagi, identitas tidaklahmelekat begitu saja, tetapilebih merupakan suatu kon-struksi sosial.Politisasi identitas merupa-

kan bagian yang niscaya dariperangai sebuah rezim, demimenguatkan kontrol atas war-ganya. Politisasi identitas inileluasa dilakukan atas namademokrasi, atas nama mayori-tas.Demikian antara lain yang

mengemuka dalam Seminar"KonflikAgama, Komunikasi,dan Multikulturalisme" di Fa-kultas Ilmu Komunikasi (Fi-kom) Universitas Padjadjaran,

. Jatinangor, Kabupaten Sume-dang,Kamis (24/2). Seminaryang merupakan kerja samaFikom Unpad, Institut Nalar,dan Penerbit Komodo Booksini menghadirkan pembi~aMaria Hartingsih (jurnalis),pengamat sosial Yudi Latif, dankritikus sastra BillWatson.Meski seminar ini hendak

meletakkan fokus pada novelkarya Ratna Sarumpaet, Malu-ku Kobaran Cintaku, tampak-nya novel itu lebih merupakantitik berangkat untuk menguraisejumlah konflik kekerasanyang berlatar agama, sesuatu

EKERASANyangkerapmunculatasnama identi-tasagamamerup~kegagalanmultikultura-

lisme. Multikulturalisme danpluralisme ternyata bukan lagicara untuk meredakan konflik,tetapi justru menjadi penyebabmeledaknya berbagai kerusuh-an, termasuk yang mengatas-namakan agama. Namun, ti-daklah lantas keduanya diper-salahkan. Soalnya terletak pa-da bagaimana pluralisme danmultikulturalisme itu dikelolasehingga tidak hanya melahir-kan toleransi yang semu seba-gaimana kerap terjadi akhir-akhir ini, yang berujung kepa-da konflik dan kekerasan. Tol-eransi yang semu terjadi ketikatoleransi itu oleh negara difor-malisasikan.Alih-alih hendak meneguh-

kan spirit toleransi yang sebe-narnya telah ada dan tumbuhsecara alamiah di tengah ma-syarakat sebagai tradisi, for-malisasi semacam ini layak ju-ga dicurigai sebagai bagian daritabiat negara dalam melaku-

Page 2: Lpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/03/...kuKobaran Cintaku,tampak-nyanovelitulebihmerupakan titikberangkat untuk mengurai sejumlahkonflikkekerasan yangberlatar agama,sesuatu

AHDAIMRAN

PENAMPlLAN Bill Watson yang ekspresifketika tampil menjadi pembicara dalam Seminar KonflikAgama, Komuni asi, dan Mul-tikulturalisme di Fikom Unpad Jatinangor Kab. Sumedang, Kamis (24/2). *

yang memang menjadi latardari kisah yang dituturkan Rat-na Sarumpaet. Di bagian awalseminar Ratna Sarumpaetmenguraikan proses kreatifuya.

**TANTIJM religiopotuit

saudere molarum (Sekianbanyak melapetaka disebabkanoleh agama), demikian tulis pu-jangga Romawi Lucretius ratu-san tahun lalu. Akan tetapi,ungkapan itu bukan lantas ber-arti agamalah yang salah, me-lainkan mereka yang memutar-balikkan agama sebagaimanajuga mereka yang menyele-wengkan ideologi demi kekua-saan dan hasrat untuk berkua-sa. Demikian pula dengan mul-tikulturalisme yang akhir-akhirini dicurigai sebagai penyebabdari munculnya konflik keke-rasan. Bahkan, kata BillWat-son, sebagian pemimpin diEropa, seperti Perdana MenteriInggris David Cameron danKanselir Jerman Angela Mer-kel, menganggap multikultura-lisme telah gagal menyelamat-kan negaranya dari terorismedan kekerasan. Padahal, takada sangkut paut antara keke-

rasan ilim multikulturalisme."Bukanlah multikulturalisme

yang memicu konflik dan ke-kerasan, tetapi itu dipicu olehsebagian orang yang mau me-maksakan kehendak dan kebe-narannya sendiri atas oranglain dengan menciptakan hu-ru-hara yang menakutkan,"ujar Guru Besar Emeritus Uni-versity of Kent, Inggris ini.

Multikulturalisme sebagaistrategi ke depan, dalam pan-dangan Watson hanya mung-kin sepanjang adanya toleransiyang kuat. la menenggaraiadanya bentuk toleransi yang

, lemah, ketika perbedaan itu di-terima setengah hati, bukanpengakuan atas perbedaan itusendiri. Dalam toleransi yangsemu ini, yang liyan memangditerima tetapi tetap bukan di-anggap sebagai bagian dari"kami". Melainkan "mereka",yang dalam berbagai situasitoleransi itu bisa saja dicabutsehingga minoritas mengalamipenindasan. Seperti yang be-berapa kali terjadi pada etnisTionghoa di Indonesia atauYahudi di Rusia abad ke-todan di Jerman pada 1930-an.

Multikulturalisme hanyabisa dibangun dengan bentuktoleransi yang kuat. Inilah yangsesungguhnya telah dimilikioleh masyarakat Indonesia,tetapi ironisnya inilah yang be-lakangan kendur, dan mesti di-hidupkan kembali. Watsonmenilai, dalam konteks ke-sadaran multikulturalisme dantoleransi, masyarakat Indone-sia memiliki bekallebih daricukup. Bahkan, multikultural-isme di Indonesia jauh lebihbaik ketimbang di Malaysiaatau di Inggris.

"Multikulturalisme di Inone-sia tidak berarti bahwa kitaperlu belajar dari luar negeri,cukup dari pengalaman sejarahkita sendiri yang khas Indone-sia. Dari dulu masyarakat diIndonesia telah mengenalungkapan 'tenggang rasa' yangpengertiannya tidak sebatashanya saling menoleransi,tetapi lebih maju dan men-dalam," tutur Watson.

Senada dengan uraian Wat-son, Maria Hartingsih menye-butkan toleransi merupakansesuatu yang mesti terusdinegosiasikan. la bukanlah

sesuatu yang ta enfor grant-ed. Alih-alih dibaca sebagai jar-gon politik, yan kerap diseli-napkan dalam politisasi identi-tas, toleransi me pakan prak-tik hidup keseharian yangmengajari indivi u untukberembuk, bukan hanya de-ngan pihak lain, tetapi jugadengan seluruh identitas yangmelekat dalam irinya.

Sebagaimana atson mem-injam ungkapan 'tenggangrasa", Maria Hartiningsih me-ngatakan toleransi hanyadimungkinkan .. seseorangatau suatu kalllli1menganggapkebenarannya tidak lebih tinggidari kebenaran orang lain, danini memang bukan perkarasederhana. " u kita mem-berikan ucapan 'Selamat Natal'atau 'Selamat Lebaran', itubukan karena kewajiban ataukeharusan. Akantetapi karenasaya tahu apa . ucapan itubagi orang lain. Jadi, ada keter-libatan yang lebih dalam, adapengakuan, ada penghormatanpada apa yang iyakini oranglain yang ber a dari keyaki-nan saya," ujarn a menam-bahkan. (AbWi Irnran)***