Cidera Kepala
-
Upload
dwi-bodhi-setyawan -
Category
Documents
-
view
44 -
download
1
description
Transcript of Cidera Kepala
CIDERA KEPALA
A. Pengertian
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patologis yang dapat melibatkan
kulit kepala, tulang dan jaringan otak sebagai akibat dari pukulan yang
menyebabkan kerusakan langsung atau gerakan intraserebral akibat percepatan atau
perlambatan yang terjadi secara cepat (Mansjoer, 2000).
Menurut Satyanegara (1998) cedera kepala berdasarkan keadaan klinik dapat
dibagi yaitu :
a. Tingkat I (cedera kepala ringan) GCS 13-15
Adanya riwayat kehilangan kesadaran atau pingsan setelah mengalami trauma
dan kemudian sadar kembali. Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh,
orientasi baik dan tidak ada defisit neurologis.
b. Tingkat II (cedera kepala sedang) GCS 9-12
Kesadaran menurun tetapi dapat mengikuti perintah-perintah yang sederhana
dan dijumpai adanya defisit neurologis.
c. Tingkat III (cedera kepala berat) GCS 3-8
Kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti perintah sama sekali.
Penderita masih bisa bersuara, namun susunan kata-kata dan orientasinya kacau,
gagu, gelisah, respon motorik bervariasi dari keadaan yang masih mampu
melokalisis rasa sakit sampai tidak ada respon sama sekali.
Menurut Brunner & Suddarth (2002) panduan dalam pengkajian GCS
adalah sebagai berikut :
Membuka mata
Spontan 4
Dengan perintah 3
Dengan nyeri 2
Tidak berespon 1
Respon motorik
Dengan perintah 6
Melokalisasi nyeri 5
Menarik area yang nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak berespon 1
Respon verbal
Berorientasi 5
Bicara membingungkan 4
Kata-kata tidak tepat 3
Suara tidak dapat dimengerti 2
Tidak ada respon 1
B. Etiologi
Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat dari kontak bentur atau
guncangan lanjut. Cedera kontak bentur terjadi bila kepala membentur atau
menabrak sesuatu objek yang sebaliknya. Sedangkan cedera guncangan lanjut
merupakan akibat peristiwa guncangan kepada yang hebat, baik yang disebabkan
oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan (Satyanegara, 1998).
Selain itu penyebab yang paling umum adanya peningkatan TIK pada pasien
cedera kepala adalah edema serebri. Puncak pembengkakan yaitu 72 jam setelah
cedera. Pada saat otak yang rusak membengkak atau terjadi penumpukan darah
yang cepat, terjadi peningkatan TIK karena ketidakmampuan tengkorak untuk
membesar. Akibat cedera dan peningkatan TIK, tekanan disebarkan pada jaringan
otak dan struktur internal otak yang kaku.
C. Patofisiologi
Menurut Sylvia (1995), kerusakan otak yang dijumpai pada trauma kepala
dapat terjadi melalui dua cara :
a. Efek langsung trauma pada fungsi otak.
b. Efek-efek lanjutan dari sel-sel otak yang bereaksi terhadap trauma.
Kerusakan neurologik langsung disebabkan oleh suatu benda suatu kekuatan atau
energi yang diteruskan ke otak, kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan isi
dalam tengkorak yang keras bergerak dengan demikian memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dengan benturan. Ini
disebut juga cedera contrecoup.
Bagian otak yang paling besar kemungkinannya untuk mengalami cedera
terberat adalah bagian anterior dari lobus frontalis dan temporalis, bagian posterior
lobus oksipitalis, bagian atas mesenfalon. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak
dipengaruhi oleh suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen
dan sangat peka terhadap cedera metabolik apabila supia terhenti. Sebagai akibat
cedera, sirkulasi otak dapat kehilangan kemampuannya untuk mengatur volume
darah yang beredar sehingga menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu
dalam otak.
Prinsip-prinsip patofisiologi :
a. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada cedera kepala, hipoksia atau kerusakan pada otak akan
terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolik anaerob. Hal ini menyebabkan
timbulnya metabolik asidosis.
b. Pola pernafasan
Cedera kepala yang mengubah tingkat kesadaran biasanya menimbulkan gagal
nafas yang mengakibatkan laju mortalitas yang tinggi diantara pasien cedera
kepala.
c. Kerusakan mobilitas fisik
Akibat terjadinya edema dari cedera kepala berat, dapat mengalami perubahan
kesadaran, masalah dalam keseimbangan, kehilangan tonus otot, otot spastik.
Hemiparese dan hemiplegi sebagai akibat kerusakan pada area motorik otak.
d. Keseimbangan hidrasi
Hampir semua pasien cedera kepala akan memounyai masalah untuk
mempertahankan status hidrasi yang seimbang, kondisi ini akan mengurangi
kemampuan tubuh berespon terhadap stres. Dalam keadaan stres fisiologi,
makin banyak antidiuretik (ADH) makin banyak aldosteron diproduksi yang
mengakibatkan retensi cairan dan natrium. Proses ini biasanya membaik dengan
sendirinya dalam satu sampai dua hari, bila diuresis terjadi.
e. Aktivitas menelan
Gangguan area motorik dan sensorik dari hemisfer serebral akan merusak
kemampuan untuk mendeteksi adanya makanan pada sisi mulut dan untuk
memanipulasinya dengan gerakan pipi dan lidah.
f. Kemampuan komunikasi
Pasien dengan cedera kepala juga disertai kerusakan komunikasi yang terjadi
secara tersendiri melainkan akibat dari kombinasi efek-efek disorganisasi dan
kekacauan proses bahasa.
Trauma kepala, benturan akselerasi, deselerasi
Luka-luka lecet Cidera primer atau langsung
Cidera sekunder /tak langsung
Kerusakan integritas kulit jaringan
Resiko infeksi
Kerusakan saraf otak
Laserasi
Aliran darah ke otak menurun
Suplay nutrient ke otak menurun
Perubahan metabolisme anaerob
Asam laktat meningkat Hipoksia Produksi ATP menurun
Vasodilatasi cerebri Edema jaringan otak Energi berkurang, lesu
Aliran darah ke otak bertambah
TIK meningkat Penurunan kemampuan kognitif, motorik, afektif
Fatique
Penekanan pembuluh darah dan jaringan cerebral
Mual, muntah Nyeri kepala Kelemahan fisik
Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral
Gangguan persepsi sensori
Defisit perawatan diri
Kerusakan mobilitas fisik
Kerusakan pertukaran gas Kerusakan memori
Penurunan intake oral
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Pathways
D. Manifestasi Klinis
Menurut Smellzer (1998), manifestasi cedera kepala adalah sebagai berikut :
a. Gegar serebral (komutio serebri)
Bentuk ringan, disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran, pingsan mungkin hanya beberapa detik/ menit.
Gejala lain : sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, pusing, peka, amnesia,
retrogrod.
b. Memar otak (konfusio serebri)
Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejala bervariasi bergantung lokasi
dan derajat.
1) Ptechie dan rusaknya jaringan saraf.
2) Edema jaringan otak.
3) Peningkatan tekanan intrakranial.
4) Herniasi.
5) Penekanan batang otak.
c. Hematoma epidural
“Talk dan Die” tanda klasik :
Penurunan kesadaran ringan saat benturan merupakan periode lucid (pikiran
jernih) beberapa menit, beberapa jam menyebabkan penurunan kesadaran,
neurologis :
1) Kacau mental : koma
2) Pupil isokor : anisokor
d. Hematoma subdural
Akumulasi di bawah lapisan durameter diatas arachonoid, biasanya karena
aselerasi, deselerasi.
Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut). :
1) Perluasan masa lesi.
2) Peningkatan TIK
3) Sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang.
4) Disfasia
e. Hematoma intrakranial
1) Penumpukan darah pada dalam parenkim otak ( 25 ml)
2) Karena fraktur depresi tulang tengkorak
3) Gerakan aselerasi
E. Pemeriksaan penunjang
a. CT Scan kepala
Untuk menggambarkan sifat lokasi dan luasnya lesi yang menunjukkan adanya
oedema cerebral, kontisio hematoma intraserebral, hemoragi dan perubahan
lambat akibat trauma.
b. Angiografi cerebral
Menggambarkan hematoma supra tentoral, intra serebral, konfusio, gambaran
tengkorak dari posterior dan anterior.
c. Rongent kepala tiga posisi
Untuk mengetahui adanya fraktur tulang tengkorak.
d. EEG
Untuk mengetahui adanya gelombang patologi.
e. Fungsi lumbal
Untuk mengetahui perdarahan subarachnoid.
f. Analisa gas darah
Untuk mengetahui masalah ventilasi yang menyebabkan TIK meningkatkan.
g. Kimia/elektrolit darah
Untuk mengetahui keseimbangan yang berperan meningkatkan TIK.
h. Darah rutin
Untuk mengetahui penurunan hubungan akibat perdarahan.
F. Komplikasi
a. Edema subdural dan herniasi otak
b. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai
limfosis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antideuretik.
c. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu
pertama) atau lanjut.
d. Infeksi sistemik (pneumonia, infeksi saluran kemih, septikemia).
G. Penatalaksanaan
Menurut Satyanegara (1998) penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien
dengan cedera kepala meliputi :
a. Keperawatan
1) Cedera Kepala Tingkat I
Penanganannya mencakup anamnesa yang berkaitan dengan jenis dan
waktu kecelakaan, riwayat penurunan kesadaran atau ringan, riwayat adanya
amnesia (retrogradi) serta keluhan-keluhan lain yang berkiatan dengan
peningkatan tekanan intrakranial seperti : nyeri kepala, pusing dan muntah.
Amnesia retrograde cenderung merupakan tanda ada tidaknya trauma
kepala. Sedangkan amnesia antegrade (pasca trauma) lebih berkonoasi akan
berat ringannya konstruksi cedera kepala yang terjadi. Pemeriksaan fisik
disini ditekankan untuk menyingkirkan adanya gangguan sistemik lainnya,
serta mendeteksi defisit neurologis yang mungkin ada. Kepentingan
pemeriksaan radiologis berupa foto polos kepala dimaksudkan untuk
mengetahui adanya : fraktur tengkorak (linier/depresi), posisi kelenjar
pineal, pneumosefalus, korpus alinenum dan lainnya, sedangkan foto
servikal atau bagian tubuh lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi.
Pemeriksaan sken tomografi komputer otak (“CT Scan”) secara ideal perlu
dilakukan bagi semua kasus cedera kepala.
2) Cedera Kepala Tingkat II
Penanganan pertama selain mencakup anamnesa (seperti diatas) dan
pemeriksaan fisik serta foto polos tengkorak, juga mencakup pemeriksaan
sken tomografi komputer otak. Pada tingkat ini semua kasus mempunyai
indikasi untuk dirawat. Selama hari pertama perawatan di rumah sakit perlu
dilakukan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam sekali, sedangkan
follow up sken tomografi komputer otak pada hari ke 3 atau bila ada
pemburukan neurologis.
3) Cedera Kepala Tingkat III
Penderita kelompok ini tidak dapat mengikuti segala perintah
sederhana sekalipun setelah stabilisasi kardiopulmoner. Walaupun definisi
ini masih belum mencakup keseluruhan spektrum cedera otak, kelompok
kasusnya adalah dikategorikan sebagai yang mempunyai resiko terbesar
berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas, dimana tindakan “menunggu”
(wait and see) disini dapat berakibat sangat fatal. Penanganan kasus-kasus
yang termasuk kelompok ini mencakup tujuh tahap yaitu :
a) Stabilitas kardiopulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airway-
Breathing-Circulating) Keadaan-keadaan hipoksemia, hipotensi dan
anemia akan cenderung memperhebat peninggian tekanan intrakranial
dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Semua penderita cedera
kepala tingkat III memerlukan intubasi.
b) Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan-gangguan di bagian tubuh lainnya.
c) Pemeriksaan neurologis mencakup respon mata, motorik, verbal,
pemeriksaan pupil, refleks okulosefalik dan refleks okulovestibuler.
Penilaian neurologis kurang bernilai bila tekanan darah penderita masih
rendah (syok).
d) Penanganan cedera-cedera di bagian lainnya.
e) Pemberian pengobatan seperti : antiedema serebri, anti kejang dan
natrium bikarbonat.
f) Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : sken tomografi komputer
otak, angiografi serebral dan lainnya.
g) Penilaian tindakan operasi versus konservatif.
b. Pengobatan
1) Terapi operasi pada cedera kepala
Kriteria paling sederhana yang dipakai sebagai individu tindakan operatif
adalah adanya lesi massa intrakranial dengan pergeseran garis tengah > 5
mm (kecuali penderita sudah mati otak).
2) Terapi medikamentosa pada cedera kepala
Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah obat-obatan
golongan deksamethasone, mannitol 20%, fenitol, karbamazepin.
H. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian Primer
A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai control
servikal.
B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar
oksigenasi adekwat.
C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan.
D: Disability, mengecek status neurologis
E: Exposure, enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia.
2. Riwayat kesehatan meliputi : keluhan utama, kapan cidera terjadi, penyebab cidera,
riwayat tidak sadar, amnesia, riwayat kesehatan yang lalu, riwayat kesehatan
keluarga.
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
b. Pemeriksaan persistem
System persepsi dan sensori (penmeriksaan panca indera : penglihatan,
pendengaran, penciuman, pengecap, dan perasa)
System persarafan (tingkat kesadaran/ nilai GCS, reflek bicara, pupil,
orientasi waktu dan tempat)
System pernapasan (nilai frekuensi nafas, kualitas, suara, dan kepatenan
jalan nafas)
System kardiovaskuler (nilai TD, nadi dan irama, kualitas dan frekuensi)
System gastrointestinal (nilai kemampuan menelan, nafsu makan/minum,
peristaltic, eliminasi)
System integument (nilai warna, turgor, tekstur dari kulit, luka/lesi)
System reproduksi
System perkemihan (nilai frekuensi BAK, volume BAK)
4. Pola fungsi kesehatan
Pola persepsi dan pemaliharaan kesehatan (termasuk adakah kebiasaan
merokok, minum alcohol, dan penggunaan obat-obatan)
Pola aktivitas dan latihan (adakah keluhan lemas, pusing, kelelahan dan
kelemahan otot)
Pola nutrisi dan metabolism (adakah keluhan mual, muntah)
Pola eliminasi
Pola tidur dan istirahat
Pola kognitif dan perceptual
Persepsi diri dan konsep diri
Pola toleransi dan koping stress
Pola seksual dan reproduktif
Pola hubungan dan peran
Pola nilai dan keyakinan
I. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian
aliran darah, edema serebral (respons lokal atau umum pada edema, perubahan
metabolik), penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, distritmia jantung).
b. Rresiko tinggi terhadap pola nafas tak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler (cedera pada pusat pernafasan otak), kerusakan persepsi atau
kognitif, obstruksi trakheobronkial).
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan transmisi dan/atau integrasi
(trauma atau defisit neurologis).
d. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau
kognitif, penurunan kekuatan/tahanan, terapi pembatasan/ kewaspadaan
keamanan misalnya tirah baring, imobilitasi.
e. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak,
prosesdur invasif, penurunan kerja silia, statis cairan tubuh, kekurangan nutrisi,
respons inflamasi tertekan (gangguan steroid), perubahan integritas sistem
tertutup (kebocoran CSS).
f. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, berhubungan dengan perubahan
kemampuan untuk mencerna nutrisi (penurunan tingkat kesadaran), kelemahan
otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik.
g. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik (penurunan tingkat
kesadaran).
J. Rencana Keperawatan
No Diagnosa NOC NIC Rasional
1. Ketidakefektifan perfusi
jaringan serebral b/d
edema serebral, ditandai
dengan perubahan tingkat
keadaan, kehilangan
memori, perubahan
respons motorik/sensori,
gelisah, perubahan tanda
vital.
Tissue Perfusion :
cerebal
Kriteria Hasil :
- Tingkat kesadaran
membaik
- Fungsi motorik dapat
dipertahankan
- Tanda vital sign
normal.
Monitoring Neurologis :
- Monitor status neurologis
secara teratur
- Kaji respon motorik
- Monitor tanda-tanda vital
- Atur posisi pasien sesuai
indikasi
- Monitor intake dan output
cairan
- Perhatikan adanya gelisah
yang meningkat atau
peningkatan
keluhan
- Anjurkan orang terdekat
untuk bebicara dengan
pasien
- Kolaborasi pemberian
-Mengkaji adanya kecenderungan pada
tingkat kesadaran dan menentukan
lokasi, perluasan dan perkembangan
kerusakan sistem saraf pusat.
-Mengukur kesadaran dan kemampuan
berespon pada rangsangan.
-Mengetahui adanya gangguan sejak dini
-Posisi yang benar meminimalkan
gangguan perfusi jaringan.
-Sebagai indikator dari cairan tubuh yang
terintegrasi dengan pefusi jaringan
-Petunjuk non verbal mengindikasikan
adanya peningkatan tekanan intra
kranial.
-Uangkapan keluarga dapat
menyenangkan pasien mempunyai efek
analgetik, steroid, sedatif relaksasi.
-Analgetik dapat menghilangkan nyeri,
steroid dapat menurunkan inflamasi,
sedatif dapat mengendalikan
kegelisahan.
2 Pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan
kerusakan neurovaskuler,
kerusakan persepsi atau
kognitif.
Respiratory status : Airway patency
- Pola pernafasan
normal/efektif
- Bebas sianosi
- GDA dalam batas
normal.
Air Management :
- Monitor frekuensi, irama,
kedalaman pernafasan, catat
ketidakteraturan pernafasan
- Anjurkan pasien untuk
melakukan nafas dalam
yang efektif jika pasien
sadar.
- Auskutlasi suara nafas,
perhatikan daerah
hipoventilasi dan adanya
suara-suara tambahan yang
tidak normal.
- Perubahan dapat menandakan awitan
komplikasi pulmonal (umumnya
mengikuti cedera otak), pernafasan
lambat, periode apnea dapat
menandakan perlunya ventilasi mekanis.
- Mencegah / menurunkan ateletaksis.
- Untuk mengidentifikasi adanya masalah
paru seperti atelektasis, kongesti, atau
obstruksi jalan nafas yang
membahayakan oksigenasi serebral
dan/atau menanda-kan terjadinya infeksi
paru (umumnya merupakan komplikasi
- Kolaborasi pemeriksaan
analisa gas darah
- Kolaborasi pemberian
oksigen
dari cedera kepala).
- Menentukan kecukupan pernafasan,
keseimbangan asam basa dan kebutuhan
akan terapi.
- Memaksimalkan oksigen pada darah
arteri dan membantu dalam pencegahan
hipoksia.
3 Resiko tinggi terhadap
infeksi berhubungan
dengan jaringan trauma,
prosedur invasif.
Immune Status Risk control
- Tidak terdapat tanda-
tanda infeksi
- Jumlah leukosit dalam batas normal
Infection control :
- Berikan perawatan aseptik
dan antiseptik, pertahankan
teknik
cuci tangan yang baik.
- Obervasi daerah kulit yang
mengalami kerusakan,
daerah yang
terpasang alat invasi (infus
dan sebagainya).
- Monitor suhu tubuh secara
- Cara pertama untuk menghindari
terjadinya infeksi nosokomial.
- Deteksi dini perkembangan infeksi
memungkinkan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan pencegahan
terhadap komplikasi selanjutnya.
- Dapat mengindikasikan perkembangan
sepsis yang selanjutnya memerlukan
evaluasi atau tindakan dengan segera.
- Sebagai indikator dari perkembangan
teratur
- Observasi warna/kejernihan
urine, catat adanya bau
busuk
(yang tidak enak).
- Kolaborasi untuk pemberian
antibiotik sesuai indikasi
infeksi pada saluran kemih yang
memerlukan tindakan dengan segera.
- Terapi profilaksik dapat digunakan pada
pasien yang mengalami trauma
(perlukaan, kebocoran CSS atau setelah
dilakukan pembedahan untuk
menurunkan resiko terjadinya infeksi
nosokomial.
4 Kurang perawatan diri
berhubungan dengan
kelemahan fisik
(penurunan tingkat
kesadaran).
Self care : Activity of
Dailing Living
Kriteri hasil :
- Perawatan diri dapat
terpenuhi dan
dilakukan secara
mandiri.
Self care assistance : ADLs
- Identifikasi kebutuhan akan
kebersihan diri (badan,
rambut, kuku dan gosok
gigi)
- Berikan bantuan sesuai
kebutuhan.
- Perhatikan adanya tanda-
tanda non verbal yang
fisiologis.
- Sesuai dengan perkembangan penyakit,
kebutuhan akan kebersihan dasar
mungkin dilupakan.
- Meningkatkan kepercayaan dan melatih
kemandirian.
- Kehilangan sensori dan penurunan
fungsi bahasa mungkin menyebabkan
pasien mengungkapkan kebutuhan
perawatan diri dengan cara non verbal.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA
CIDERA KEPALA
Oleh :
Dwi bodhi setyawan
070112a009
PRAKTEK KLINIK KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
PROGRAM PROFESI NERS
STIKES NGUDI WALUYO
UNGARAN
2013
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume II. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Carpenito, L.J. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan dan Masalah Kolaborasi. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Doenges, M.E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hudak dan Gallo. 1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Marion Johnson, dkk. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. Mosby.
Mc. Closkey dan Buleccheck. 2000. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. Mosby.
NANDA. 2005. Nursing Diagnosis: Definition and Classification. Philadelphia: North American Nursing Diagnosis Association.