Chevalier Shoes

1
Kisah sukses Egar Putra Bahtera membesarkan Chevalier di pasar sepa- tu premium. Dian Sari Pertiwi B agi Egar Putra Bahtera, berbisnis sama seperti bernapas. Tak lahir dari keluarga pebisnis membuatnya sempat diragukan saat merintis bisnis sepatu kulit untuk pasar premium dengan label Chevali- er. Apalagi, saat itu, statusnya masih mahasiswa. Tapi berkat keteguhan hatinya, Egar sukses membuktikan bahwa sepatu premium lokal punya pasar be- sar. Tak cuma berhasil menem- bus pasar premium, Egar kini telah meluncurkan merek ke- duanya, Cannes. Kendati terlahir di Semarang, lelaki yang akan berusia 25 ta- hun pada 5 November ini meng- habiskan masa kanak-kanak hingga remaja di Jakarta. Pasal- nya, sang ayah mesti hijrah ke Jakarta lantaran bertugas di Bank Indonesia. Pada masa re- maja itulah, lulusan SMA 78 Ja- karta ini kerap menyambangi Pasar Taman Puring di Keba- yoran Baru, Jakarta Selatan. Sekadar membuang waktu atau mencari sepatu yang ia sukai. “Kan, banyak sepatu branded yang KW,” ujarnya terkekeh. Hobi membeli sepatu itulah yang lantas menginspirasi pilih- an bisnisnya. Saat mengung- kapkan gagasan itu pada 2010, orangtuanya tak mendukung. Maklum, ia baru masuk kuliah teknik pertambangan di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2009. Apalagi, tidak ada latar belakang bisnis di keluarganya. Karena itulah, Egar memutar otak untuk mengumpulkan mo- dal. Ia lantas berjualan kaos dan pakaian lainnya dengan sistem pre-order lewat Kaskus selama enam bulan. Keuntung- an dari bisnis pakaian inilah yang ia pakai untuk memulai bisnis sepatunya. Nilainya ter- kumpul sekitar Rp 10 juta. Incar pasar premium Uang tersebut ia belan- jakan kulit sebagai bahan baku sepatu dan ongkos membuat website. Selain itu, ia merogoh kocek sekitar Rp 5 juta untuk membeli dua pasang sepatu dari luar negeri. Ia membongkarnya dan memin- ta pengrajin untuk mempela- jarinya. “Karena kalau belajar dari gambar saja, kan, gak akan bisa. Jadi, saya ajak pengrajin untuk lihat gimana brand luar yang sudah ter- kenal dan harganya mahal itu bikin produk,” ujar Egar. Ternyata, tak mu- dah menggaet peng- rajin yang mau di- ajak kerjasama. Bu- kan karena tak mampu, tapi kebanyakan pengrajin telah berada di comfort zone sehingga enggan menggarap produk premium yang dianggap berisiko tinggi. Tapi, Egar tidak gampang me- nyerah. Setelah lima kali ber- ganti pengrajin, setelah sembi- lan bulan, ia menemukan mitra yang pas. Akhirnya, pada 25 Maret 2011, anak kedua dari tiga ber- saudara ini meluncurkan sepatu bermerek Chevalier. Ada 12 pasang sepatu yang berhasil ia buat ketika itu. Sejak awal, pa- sar premium menjadi incaran- nya. Waktu itu, menurut Egar, belum banyak produsen lokal yang memproduksi sepatu kulit bagus dan berkualitas. “Produ- sen kita belum ada yang berani karena menganggap market- nya gak ada. Padahal, spending power bangsa kita ini besar, tinggal gimana memasarkan- nya aja,” imbuh dia. Terbukti, 12 pasang sepatu tersebut laris terjual meski har- ganya di atas Rp 700.000. Bah- kan, menjual produk di ka- langan premium lebih mudah ketimbang menjual di segmen menengah dan ba- wah. “Satu orang premium itu bisa mempengaruhi 10 orang atau lebih un- tuk ikut beli, dan mereka mampu beli,” katanya. Tapi meraih kepercayaan ke- las atas perlu perjuangan berat. Egar harus benar-benar paham geometri sepatu agar pas dan nyaman saat digunakan. Dia belajar secara otodidak lewat beberapa forum pecinta sepatu kulit di internet. Dari sana, ia mendapat banyak inspirasi pro- duk seperti apa yang belum ada di pasar namun memiliki peminat yang cukup tinggi. Dia juga jadi tahu banyak tentang pemasok kulit ternama asal Amerika dan Jerman hing- ga sol yang berasal dari Austra- lia. Egar pun menyerap masuk- an dari forum tersebut dan ber- alih menggunakan kulit impor. Tak mudah meyakinkan pe- masok kulit kenamaan seperti Horween Leathers Company asal Chicago, Amerika Serikat. Email yang Egar kirim dianggap sebagai spam dan tak kunjung dibalas. Perlu lebih dari lima kali mengirim email dengan kata-kata serius akan membeli, pemasok tersebut baru meres- pons. “Awalnya kirim email mau tanya-tanya dulu, tapi be- berapa kali kirim, enggak diba- las juga. Akhirnya saya bilang mau serius beli, berapa harga- nya, dibalas juga,” kenang Egar sembari tertawa. Egar akhirnya berhasil meng- impor kulit selebar 300 kaki persegi yang harganya menca- pai Rp 100 juta. Uang ini berasal dari keuntungan dari perputar- an uang di awal bisnisnya. De- ngan bahan baku berkualitas tinggi, Egar dan pengrajinnya makin percaya diri melangkah di pasar premium. Tembus ke luar negeri Dia pun mulai aktif mengikuti sejumlah pameran, termasuk Brightspot Market yang digelar oleh ritel modern The Goods Dept. Pameran ini merupakan ajang untuk pengusaha muda di bidang fashion dan desain pro- duk berkualitas. Melihat kuali- tas Chevalier setara dengan produk impor namun harga le- bih rendah, The Goods Dept. tertarik menjajakan produknya di gerai mereka. Harga Chevali- er berkisar Rp 800.000-Rp 1,5 juta per pasang. Untuk Cannes, sekitar Rp 500.000-Rp 900.000. “Awalnya cuma kirim dua, ter- nyata yang beli orang penting semua,” ungkap Egar. Kini, The Goods Dept. menyerap 100 pa- sang sepatu per bulan. Belakangan, Egar mendapat tantangan dari Dian Sastro- wardoyo untuk membuat se- patu perempuan berbentuk lancip. “Itu risetnya luma- yan lama, satu sampai dua bulan baru bisa, karena enggak mudah buat sepatu lancip tapi tetap nyaman dipakai,” kata Egar. Tak cuma dari dalam negeri, permintaan dari luar negeri pun terus tum- buh. Kini, dari kapasitas produksi 500 pasang sepa- tu per bulan, Egar mengi- rimkan sekitar 35% ke luar negeri. Meski telah sukses ber- bisnis, Egar tak lantas mela- laikan pendidikan formal- nya. Ia lulus sarjana da- lam tempo empat tahun pada 2013. Bah- kan, ia menuntaskan pendidikan S2, juga di ITB, dua tahun ke- mudian. Kini dengan kapasitas produksi 500 pasang sepatu per bulan, Egar mengirimkan sekitar 35% ke luar negeri. Berkat Nyali Bermain di Pasar Premium Memberdaya- kan Pengrajin N ama Chevalier makin diperhitungkan di ka- langan pencinta sepa- tu premium internasional setelah memenangkan “Most Wanted Leather Boots” da- lam sebuah ajang voting on- line yang diselenggarakan oleh Mass Drop, yang terafi- liasi dengan Reddit, komuni- tas online tertua di dunia. Chevalier berhasil menyalip suara untuk merek sepatu kelas dunia, termasuk Wol- verine, Rockford, Red Wings Shoes, Viberg Boot, dan Al- len Edmonds. Padahal, me- reka sudah berdiri sejak 1880-an hingga 1920-an. Selain itu, dengan kualitas sama, Chevalier bisa lebih murah daripada produk dari produsen di negara tujuan. “Para pengusaha Indonesia perlu bersyukur karena bia- ya pengrajin sepatu tanah air masih lebih murah daripada pengrajin di luar sana. Itu kenapa kita bisa lebih kom- petitif,” ujar Egar Putra Bah- tera, pendiri Chevalier. Karena itu, ia berkomit- men untuk meningkatkan kemampuan para pengrajin sepatunya dan mengajak pe- masok kulit lokal untuk bisa memproduksi material kulit sebagus kulit impor. Alhasil, Egar kini bisa mendapat pa- sokan 65% kulit dari produ- sen lokal dengan kualitas sama dengan kulit impor. Tak foya-foya Memasuki tahun kelima bisnisnya, Egar, yang pernah mendapat pelatihan bisnis selama sepekan di London dari British Council, melaku- kan diversifikasi usaha de- ngan membuat jam tangan, tas hingga clothing line. Meski telah sukses, pemu- da yang akan melepas masa lajang pada Agustus nanti ini tetap hidup sederhana. “Orangtua saya itu sederha- na banget biar pun mampu, jadi kalau saya foya-foya, saya yang malu sendiri,” kata Egar. Alih-alih, ia mulai ber- investasi di properti. Ia juga punya kesenangan baru, yakni membagikan il- munya dengan mengajar di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Dok.Pribadi Profil TABLOID KONTAN 13 Juni - 19 Juni 2016 19

Transcript of Chevalier Shoes

Page 1: Chevalier Shoes

Kisah sukses Egar Putra Bahtera membesarkan Chevalier di pasar sepa-tu premium.

Dian Sari Pertiwi

Bagi Egar Putra Bahtera, berbisnis sama seperti bernapas. Tak lahir dari

keluarga pebisnis membuatnya sempat diragukan saat merintis bisnis sepatu kulit untuk pasar premium dengan label Chevali-er. Apalagi, saat itu, statusnya masih mahasiswa. Tapi berkat keteguhan hatinya, Egar sukses membuktikan bahwa sepatu premium lokal punya pasar be-sar. Tak cuma berhasil menem-bus pasar premium, Egar kini telah meluncurkan merek ke-duanya, Cannes.

Kendati terlahir di Semarang, lelaki yang akan berusia 25 ta-hun pada 5 November ini meng-habiskan masa kanak-kanak hingga remaja di Jakarta. Pasal-nya, sang ayah mesti hijrah ke Jakarta lantaran bertugas di Bank Indonesia. Pada masa re-maja itulah, lulusan SMA 78 Ja-karta ini kerap menyambangi Pasar Taman Puring di Keba-yoran Baru, Jakarta Selatan. Sekadar membuang waktu atau mencari sepatu yang ia sukai. “Kan, banyak sepatu branded yang KW,” ujarnya terkekeh.

Hobi membeli sepatu itulah yang lantas menginspirasi pilih-an bisnisnya. Saat mengung-kapkan gagasan itu pada 2010, orangtuanya tak mendukung. Maklum, ia baru masuk kuliah teknik pertambangan di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2009. Apalagi, tidak ada latar belakang bisnis di keluarganya.

Karena itulah, Egar memutar otak untuk mengumpulkan mo-dal. Ia lantas berjualan kaos dan pakaian lainnya dengan sistem pre-order lewat Kaskus selama enam bulan. Keuntung-an dari bisnis pakaian inilah yang ia pakai untuk memulai bisnis sepatunya. Nilainya ter-kumpul sekitar Rp 10 juta.

Incar pasar premium

Uang tersebut ia belan-jakan kulit sebagai bahan baku sepatu dan ongkos membuat website. Selain itu, ia merogoh kocek sekitar Rp 5 juta untuk membeli dua pasang sepatu dari luar negeri. Ia membongkarnya dan memin-ta pengrajin untuk mempela-jarinya. “Karena kalau belajar dari gambar saja, kan, gak akan bisa. Jadi, saya ajak pengrajin untuk lihat gimana brand luar yang sudah ter-kenal dan harganya mahal itu bikin produk,” ujar Egar.

Ternyata, tak mu-dah menggaet peng-rajin yang mau di-ajak kerjasama. Bu-k a n k a r e n a t a k mampu, tapi kebanyakan pengrajin telah berada di comfort zone sehingga enggan

menggarap produk premium yang dianggap berisiko tinggi. Tapi, Egar tidak gampang me-nyerah. Setelah lima kali ber-ganti pengrajin, setelah sembi-lan bulan, ia menemukan mitra yang pas.

Akhirnya, pada 25 Maret 2011, anak kedua dari tiga ber-saudara ini meluncurkan sepatu bermerek Chevalier. Ada 12 pasang sepatu yang berhasil ia buat ketika itu. Sejak awal, pa-sar premium menjadi incaran-nya. Waktu itu, menurut Egar, belum banyak produsen lokal yang memproduksi sepatu kulit bagus dan berkualitas. “Produ-sen kita belum ada yang berani karena menganggap market-nya gak ada. Padahal, spending power bangsa kita ini besar, tinggal gimana memasarkan-nya aja,” imbuh dia.

Terbukti, 12 pasang sepatu tersebut laris terjual meski har-ganya di atas Rp 700.000. Bah-kan, menjual produk di ka-langan premium lebih mudah ketimbang menjual di segmen menengah dan ba-wah. “Satu orang premium itu bisa mempengaruhi 10 orang atau lebih un-tuk ikut beli, dan mereka mampu beli,”

katanya. Tapi meraih kepercayaan ke-

las atas perlu perjuangan berat. Egar harus benar-benar paham geometri sepatu agar pas dan nyaman saat digunakan. Dia

belajar secara otodidak lewat beberapa forum pecinta sepatu kulit di internet. Dari sana, ia mendapat banyak inspirasi pro-

duk seperti apa

yang belum ada di pasar namun memiliki peminat yang cukup tinggi. Dia juga jadi tahu banyak tentang pemasok kulit ternama asal Amerika dan Jerman hing-ga sol yang berasal dari Austra-lia. Egar pun menyerap masuk-an dari forum tersebut dan ber-alih menggunakan kulit impor.

Tak mudah meyakinkan pe-masok kulit kenamaan seperti Horween Leathers Company asal Chicago, Amerika Serikat. Email yang Egar kirim dianggap sebagai spam dan tak kunjung dibalas. Perlu lebih dari lima kali mengirim email dengan kata-kata serius akan membeli, pemasok tersebut baru meres-pons. “Awalnya kirim email mau tanya-tanya dulu, tapi be-berapa kali kirim, enggak diba-las juga. Akhirnya saya bilang mau serius beli, berapa harga-nya, dibalas juga,” kenang Egar sembari tertawa.

Egar akhirnya berhasil meng-impor kulit selebar 300 kaki persegi yang harganya menca-pai Rp 100 juta. Uang ini berasal dari keuntungan dari perputar-an uang di awal bisnisnya. De-ngan bahan baku berkualitas tinggi, Egar dan pengrajinnya makin percaya diri melangkah di pasar premium.

Tembus ke luar negeri

Dia pun mulai aktif mengikuti sejumlah pameran, termasuk Brightspot Market yang digelar oleh ritel modern The Goods Dept. Pameran ini merupakan ajang untuk pengusaha muda di bidang fashion dan desain pro-duk berkualitas. Melihat kuali-tas Chevalier setara dengan produk impor namun harga le-bih rendah, The Goods Dept. tertarik menjajakan produknya di gerai mereka. Harga Chevali-er berkisar Rp 800.000-Rp 1,5 juta per pasang. Untuk Cannes, sekitar Rp 500.000-Rp 900.000. “Awalnya cuma kirim dua, ter-nyata yang beli orang penting semua,” ungkap Egar. Kini, The Goods Dept. menyerap 100 pa-sang sepatu per bulan.

Belakangan, Egar mendapat tantangan dari Dian Sastro-wardoyo untuk membuat se-

patu perempuan berbentuk lancip. “Itu risetnya luma-yan lama, satu sampai dua bulan baru bisa, karena enggak mudah buat sepatu lancip tapi tetap nyaman dipakai,” kata Egar.

Tak cuma dari dalam negeri, permintaan dari luar negeri pun terus tum-buh. Kini, dari kapasitas produksi 500 pasang sepa-tu per bulan, Egar mengi-

rimkan sekitar 35% ke luar negeri.

Meski telah sukses ber-bisnis, Egar tak lantas mela-laikan pendidikan formal-

nya. Ia lulus sarjana da-lam tempo empat tahun pada 2013. Bah-kan, ia menuntaskan pendidikan S2, juga di ITB, dua tahun ke-mudian. ❏

Kini dengan kapasitas produksi 500 pasang sepatu per bulan, Egar mengirimkan sekitar 35% ke luar negeri.

Berkat Nyali Bermain di Pasar Premium

Memberdaya-kan Pengrajin

Nama Chevalier makin diperhitungkan di ka-langan pencinta sepa-

tu premium internasional setelah memenangkan “Most Wanted Leather Boots” da-lam sebuah ajang voting on-line yang diselenggarakan oleh Mass Drop, yang terafi -liasi dengan Reddit, komuni-tas online tertua di dunia. Chevalier berhasil menyalip suara untuk merek sepatu kelas dunia, termasuk Wol-verine, Rockford, Red Wings Shoes, Viberg Boot, dan Al-len Edmonds. Padahal, me-reka sudah berdiri sejak 1880-an hingga 1920-an.

Selain itu, dengan kualitas sama, Chevalier bisa lebih murah daripada produk dari produsen di negara tujuan. “Para pengusaha Indonesia perlu bersyukur karena bia-ya pengrajin sepatu tanah air masih lebih murah daripada pengrajin di luar sana. Itu kenapa kita bisa lebih kom-petitif,” ujar Egar Putra Bah-tera, pendiri Chevalier.

Karena itu, ia berkomit-men untuk meningkatkan kemampuan para pengrajin sepatunya dan mengajak pe-masok kulit lokal untuk bisa memproduksi material kulit sebagus kulit impor. Alhasil, Egar kini bisa mendapat pa-sokan 65% kulit dari produ-sen lokal dengan kualitas sama dengan kulit impor.

Tak foya-foya

Memasuki tahun kelima bisnisnya, Egar, yang pernah mendapat pelatihan bisnis selama sepekan di London dari British Council, melaku-kan diversifikasi usaha de-ngan membuat jam tangan, tas hingga clothing line.

Meski telah sukses, pemu-da yang akan melepas masa lajang pada Agustus nanti ini tetap hidup sederhana. “Orangtua saya itu sederha-na banget biar pun mampu, jadi kalau saya foya-foya, saya yang malu sendiri,” kata Egar. Alih-alih, ia mulai ber-investasi di properti.

Ia juga punya kesenangan baru, yakni membagikan il-munya dengan mengajar di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. ❏

Dok.Pribadi

Profil TABLOID KONTAN 13 Juni - 19 Juni 2016 19