Check and Balances Problem Akuntabilitas

download Check and Balances Problem Akuntabilitas

of 27

Transcript of Check and Balances Problem Akuntabilitas

SISTEM POLITIK INDONESIASISTEM PERWAKILAN POLITIK: CHECK AND BALANCES dan PROBLEM AKUNTABILITAS

Arief Yuswan FebriadiNIM 1301114414

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASIJURUSAN ILMU KOMUNIKASIFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIKUNIVERSITAS RIAU2014KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai SISTEM PERWAKILAN POLITIK: CHECK AND BALANCES dan PROBLEM AKUNTABILITASMakalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Pekanbaru, Mei 2014

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR . 2DAFTAR ISI 3BAB I 41.1 PENDAHULUAN . 51.2 RUMUSAN MASALAH ...5 1.3 TUJUAN .5 BAB II ...6. 2.1 KONSEP PERWAKILAN .62.2 PENGUATAN LEMBAGA PERWAKILAN ...102.3 MASYARAKAT 142.4 SISTEM QUASI DUA KAMAR?..................................................................182.5 MASALAH PERWAKILAN KEL.MARGINAL SECARA POLITIK.............22BAB III .263.1 KESIMPULAN ..263.2 SARAN . .26DAFTAR PUSTAKA

BAB I1.1 PENDAHULUANKonstruksi demokrasi di dalam sistem politik Indonesia, sebagaimana di negara-negara modern lainnya, adalah menggunakan sistem perwakilan (representative democracy). Sistem ini berbeda dengan sistem demokrasi langsung, sebagaimana pernah terjadi secara empiris pada masa Yunani kuno, di mana rakyat terlibat secara langsung dalam proses-proses politik tanpa melalui perwakilan. Di dalam sistem perwakilan, citizens do not make decisions on political outcomes directly-rather, political outcomes sre decided by some group of 'representative' (Brennan dan Alan Hamlin, 2000: 1,56-7). Karena itu, esensi penting di dalam sistem perwakilan adalah adanya sekelompok kecil orang yang memiliki peran besar di dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan-keputusan politik, dan sekelompok besar orang yang mewakilkan kepentingan-kepentingannya kepada sekelompok kecil orang itu. Proses mewakilkan itu dilakukan melalui pemilu yang bebas dan adil. Sekelompok kecil itu disebut wakil (representative) yang mewakili, dan banyak orang yang diwakili (represented).Sistem perwakilan sudah dipakai ketika kali pertama Indonesia merdeka. Hanya saja, institusi yang menjalankan fungsi perwakilan itu tidak semuanya terkonstruksi secara demokratis. Contohnya, baik pada masa pemerintahan Soekarno maupun Soeharto, terdapat wakil rakyat yang tidak dipilih melalui pemilu, seperti utusan golongan, atau ada pejabat-pejabat politik yang ditunjuk (appointed). Kalaupun ada para wakil yang dipilih melalui pemilu, hal itu tidak dilakukan secara demokratis. Di samping itu, mengingat proses-proses politik lebih cenderung bercorak elitis, yang terjadi kemudian adalah bahwa para wakil rakyat itu tampak lebih mengedepankan dirinya sebagai ,trustees representation' (Andeweg dan Thomassen, 2005: 509) tanpa reserve. Di dalam corak demikian, para wakil cenderung bergerak sendiri-sendiri seolah-oleh memperoleh kepercayaan penuh dari para pemilihnya. Konsekuensinya, paru wakil itu kurang menunjukkan dirinya sebagai 'delegates representation', yaitu berusaha memperjuangkan terdapatnya kebijakan-kebijakan sebagaimana diinginkan oleh para konstituen. Memang, di awal-awal kemerdekaan, sistem perwakilan politik kita memiliki warna demokratis. Hanya saja, sistem itu tidak bekerja secara efektif dan efisien, yang tercermin dari instabilitas di dalam pemerintahan.Pembahasan ini memperbincangkan sistem perwakilan politik pasca runtuhnya pemerintahan Soeharto. Pertama-tama dibahas mengenai konsep perwakilan politik. Kedua, berkaitan dengan pelembagaan sistem perwakilan politik baru, termasuk di dalamnya adalah adanya upaya untuk membangun sistem dua kamar. Terakhir, berkaitan dengan relasi antarawakil dengan terwakil.1.2 RUMUSAN MASALAH1. Apa itu konsep perwakilan?2. Bagaimana konsep perwakiilan Indonesia?3. Bagaimana sistem perwakilan politik mengakomodir kelompok-kelompok marginal?1.3 TUJUANMengetahui sistem perwakilan politik dan bagaimana cara kerjanya secara singkat, serta memahami bagaimana sistem perwakilan politik di indonesia dapat berlangsung.

BAB II2.1 KONSEP PERWAKILANSebagai konsep politik, perwakilan (representation) tidak muncul bersamaan dengan lahirnya ilmu politik pada masa yunani kuno. Sebagaimana dikemukakan oleh Hanna F. Pitkin (1967: 2) pada masa Yunani kuno tidak dikenal konsep perwakilan. Kalaupun ketika itu sudah mulai ada lembaga-lembaga perwakilan politik, karena ada sejumlah pejabat yang dipilih dan duta yang diutus ke negara lain, lembaga-lembaga ini memiliki peran yang kurang signifikan. Hal ini tidak lepas dari karakteristik sistem politik yunani kuno ketika itu yang bercorak langsung (direct democracy).Istilah perwakilan sendiri baru muncul pada masa Romawi kuno, meskipun tidak secara langsung bermakna politik. Di dalam bahasa Romawi, 'representation' berasal dari kata 'represaentare'. Menurut Pitkin (1969: 2), di dalam bahasa Latin klasik, 'represaentare meant simply to make present or manifest or to present again, and it was applied almost exclusively to inanimate objects'. Dengan kata lain, kata 'represaentare' tidak memiliki kaitan sama sekali, misalnya saja, adanya 'orang' atau 'sekelompok orang' yang mewakili orang lain.Pada Abad Pertengahan, kata perwakilan banyak dipakai oleh gereja. Pitkin memberi gambaran, misalnya saja, 'the pope and cardinals were spoken of as representing the person of Christ and the Apostles-not as their agents, but as their image and embodiment, their mystical re-incorporation' . Setelah itu, seiring dengan berkembangnya lembaga-lembaga politik di Eropa, khususnya setelah lahirnya lembaga parlemen, kata perwakilan dipakai sebagai orang atau sekelompok orang yang mewakili orang lain. Pada abad ketujuh belas, kata perwakilan sudah dikaitkan dengan 'agency and acting for others'. Di sini, konsep perwakilan sudah berkaitan dengan adanya sekelompok kecil orang yang bertindak atas nama atau mewakili orang atau banyak orang lain.Sebagaimana dikemukakan oleh Hannah Pitkin, perwakilan termasuk konsep yang sering diperdebatkan maknanya di dalam ilmu politik. Bahkan, perdebatan itu terus berlangsung di awal-awal abad ke dua puluh satu (Andeweg dan Thomassen ,2005; Brennan dan Hamlin, 2000; Mansbridge, 2003). Perdebatan itu, di antaranya, berkaitan dengan apa yang harus dilakukan oleh para wakil ketika berhadapan dengan terwakil, yaitu apakah akan bertindak sebagai 'delegates' ataukah sebagai 'trustees' . Sebagai 'delegates', para wakil semata-mata hanya mengikuti apa yang menjadi pilihan dari para konstituen. James Madison, termasuk ilmuwan politik yang memandang pentingnya para wakil sebagai 'delegates'.Sementara itu, sebagai 'trustees' berarti para wakil mencoba untuk bertindak atas nama para wakil sebagaimana para wakil itu memahami permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh konstituen. Edmund Burke, termasuk pendukung konsep ini. Di antara dua pandangan itu, terdapat pandangan ketiga, yakni ketika para wakil bertindak sebagai 'politico'. Di sini, para wakil bergerak secara kontitum antara 'delegates' dan 'trustees'. Menurut Pitkin, kita tidak harus memadukan dua pandangan seperti itu. Dalam pandangan dia, yang lebih penting adalah bagaimana membangun relasi yang baik antara wakil dan terwakil. Di satu sisi, para wakil harus bertindak sebagaimana dikehendaki oleh terwakil (the autonomy of the represented), sehingga akuntabel. Di sisi yang lain, mereka juga memiliki kemampuan secara lebih independen dari keinginan-keinginan para terwakil (the autonomy of representative).Berangkat dari argumentasi seperti itu, Pitkin lalu mengelompokkan perwakilan ke dalam empat kategori.

Pertama adalah perwakilan formal (formalistic representation). Di dalam kategori ini, perwakilan dipahami di dalam dua dimensi: otorisasi dan akuntabilitas. Dimensi pertama berkaitan dengan otorisasi apa saja yang diberikan kepada para wakil. Ketika wakil melakukan sesuatu di luar otoritasnya, dia tidak lagi menjalankan fungsi perwakilannya. Sedangkan dimensi akuntabilitas menuntut adanya pertanggungjawaban dari para wakil tentang apa yang telah dikerjakan. Keduanya, menurut Pitkin, acap kali tidak berjalan seiring.Kedua, perwakilan deskriptif (descriptive representation), yaitu adanya para wakil yang berasal dari berbagai kelompok yang diwakili (standing for), meskipun tidak bertindak untuk yang diwakilinya. Para wakil biasanya merefleksikan kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat (seperti yang diwakilinya) tetapi tidak secara inheren melakukan sesuatu untuk kepentingan orang-orang yang diwakilinya tersebut.Ketiga, perwakilan simbolik (symbolic representation), di mana para wakil merupakan simbol perwakilan dari kelompok atau bangsa yang diwakili. Seperti dikatakan oleh Pitkin bahwa 'all representatiln as kind of symbolization, so that political representative is to be understood on the model of flag representing the nation, or emblem representing a cult' (Pitkin, 1967: 92).Keempat, adalah perwakilan substantif (substantive representation), di mana para wakil berusaha bertindak sebaik mungkin atas keinginan dan kehendak orang-orang yang diwakilinya atau publik (acting in the best interest of the public).

Jean Mansbridge (2003), juga mengelompokkan perwakilan ke dalam empat kategori. Yang menjadi pijakan juga berkaitan dengan relasi antara wakil dan terwakil. Tetapi, Mansbridge lebih menekankan relasi itu berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para wakil, Adapun keempat kategori perwakilan itu adalah 'promissory', 'anticipatory' , 'gyroscopic' , dan 'surrogacy'.Pertama, perwakilan 'promissory' adalah bentuk perwakilan di mana penilaian terhadap para wakil itu didasarkan pada janji-janji yang telah dibuat di hadapan konstituen pada saat kampanye, jenis tipe perwakilan demikian tidak berbeda jauh dengan konsep Pitkin tentang perwakilan formal.Kedua adalah perwakilan 'anticipatory' adalah kebalikan dari yang pertama. Para wakil lebih berpikir tentang apa yang akan terjadi pada pemilu yang akan datang, bukan menaruh perhatian pada apa yang telah mereka janjikan pada saat kampanye.Ketiga adalah perwakilan 'gyroscopic', yaitu para wakil yang berangkat dari 'dalam diri sendiri', pengalaman diri sendiri, ketika memperbincangkan kepentingan dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan konstituen.Keempat adalah perwakilan 'surrogate', yaitu para wakil yang berusaha mewakili konstituen di luar daerah pemilihannya.Terlepas dari pemahaman yang tidak sama, ketika memperbincangkan perwakilan, sebenarnya bukan sekadar pada relasi antara kelompok wakil dan terwakil. Paling tidak ada empat hal ketika memperbincangkan konsep perwakilan yaitu:

Pertama adalah adanya sekelompok orang yang mewakili, yang termanifestasi ke dalam bentuk lembaga perwakilan, organisasi, gerakan, dan lembaga-lembaga negara yang lain.Kedua, adanya sekelompok orang yang diwakili, seperti konstituen dan klien.Ketiga, adanya sesuatu yang diwakili, seperti pendapat, kepentingan, dan perspektif.Keempat adalah konteks politik di mana perwakilan itu berlangsung.Dalam situasi seperti itu, perwakilan politik berarti adanya relasi antara wakil dan terwakili, yang terbalut oleh kepentingan-kepentingan, baik kepentingan terwakil maupun wakil, di dalam konteks politik tertentu. Yang terakhir ini bisa mencakup desain kelembagaan politik maupun budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat. Karena berkaitan dengan kepentingan, relasi ,antara wakil dan terwakil itu tidak lepas dari adanya transaksi dan akuntabilitas. Baik transaksi dan akuntabilitas bisa terjadi pada saat pemilu. Ketika itu, antara wakil dan terwakil, misalnya, bisa memperbincangkan tentang kepentingan kepentingan atau kebijakan-kebijakan yang hendak diperjuangkan oleh para wakil. Pada saat yang sama, para pemilih juga bisa melakukan evaluasi, apakah transaksi sebelumnya sudah dilaksanakan oleh para wakil atau tidak. Secara politik, para wakil bisa dikatakan accountable manakala para pemilih memilihnya kembali.

2.2 PENGUATAN LEMBAGA PERWAKILAN Wujud formal kelembagaan perwakilan di Indonesia memang sudah ada sejak lama. Tetapi, lembaga perwakilan itu mengalami kemandekan sejak akhir 1950-an sampai kejatuhan pemerintahan Soeharto ketika Indonesia dalam suasana pemerintahan otoriter. Hal ini terjadi karena adanya konstruksi kekuasaan yang tersentralisasi, khususnya di lembaga kepresidenan/pemerintah daerah atau eksekutif. Sebagai konsekuensinya, lembaga perwakilan rakyat (DPR/D) lebih merepresentasikan kekuasaan dan kepentingan presiden atau eksekutif daripada rakyat yang memilihnya.Adanya istilah DPR/D sebagai lembaga pemberi 'stempel', paling tidak, memberi gambaran betapa lembaga ini berada di bawah bayang-bayang kekuasaan eksekutif. Sebagian besar formulasi kebijakan-kebijakan pemerintah dilakukan oleh eksekutif, sementara DPR/D lebih berperan sebagai pemberi keabsahan bagi kebijakan-kebijakan itu. Hal ini perlu dilakukan karena secara konstitutional kekuasaan legislasi memang berada di tangan DPR/D bersama-sama presiden/pemerintah daerah. Hanya saja, konstruksi konstitusi semacam itu ditafsirkan bahwa draft kebijakan kebijakan penting (RUU dan Raperda) berasal dari eksekutif, sementara DPR/D hanya secara formal saja membahas dan mengabsahkannya.Selain itu, fungsi kontrol yang seharusnya dijalankan oleh DPR/D juga tidak dilakukan secara baik. Dengan kata lain, mekanisme checks and balances tidak cukup kuat. Desain kelembagaan yang dimunculkan pasca-pemerintahan Soeharto adalah untuk membangun lembaga perwakilan yang memiliki otoritas lebih besar. Maksudnya, lembaga itu tidak saja mampu menjalankan fungsi perwakilan, melainkan juga memperjuangkan kepentingan-kepentingan dari konstituen atau rakyat yang diwakilinya.Lembaga demikian juga berfungsi untuk melakukan pengawasan atau kontrol terhadap pemerintah atau eksekutif. Penguatan ini terlihat dari adanya pengeksplisitan fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, anggaran dan kontrol. Selain itu, DPR/D juga diberikan otoritas di dalam mengalokasikan dan mendistribusikan sumber-sumber keuangan melalui APBN/D. Otoritas yang terakhir ini dimaksudkan agar DPR/D memperjuangkan kepentingan-kepentingan konstituen melalui kebijakan anggaran. Selain itu, DPR/D juga memiliki otoritas di dalam mengalokasikan anggaran untuk dirinya agar bisa menjalankan fungsi-fungsi perwakilan lebih maksimal. Penguatan itu, sekali lagi, tidak hanya di DPR melainkan juga di DPRD. Hanya saja, untuk yang terakhir ini terdapat perbedaan, yaitu apakah DPRD itu bisa menjalankan fungsi sebagai legislatif sebagaimana DPR ataukah DPRD merupakan bagian dari pemerintahan di daerah.Perdebatan ini berkaitan dengan pemahaman tentang negara kesatuan. Di satu sisi, terdapat perspektif bahwa DPRD itu merupakan lembaga legislatif di daerah, Di sini, posisi DPRD tidak berbeda dengan posisi DPR. Di sisi lain, terdapat perspektif bahwa di dalam negara kesatuan, yang berfungsi sebagai lembaga legislatif hanya DPR. Di sini, DPRD dilihat sebagai bagian dari pemerintahan daerah yang di antaranya, memiliki tugas untuk mengimplementasikan kebijakan pemerintah pusat. Yang terakhir ini tidak lepas dari pandangan bahwa DPR/D bersama-sama Kepala Daerah menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan di daerah setelah memperoleh otoritas dari pemerintah pusat melalui kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi. Adapun yang membuat kebijakan otonomi daerah itu merupakan eksekutif pemerintah pusat. Hal ini lalu ditafsirkan bahwa Kepala Daerah bersamasama DPRD memiliki kaitan dengan pemerintah pusat.Pada masa pemerintahan Orde Baru, DPRD, merupakan bagian dari Pemerintah Daerah. Di dalam Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1974 dikatakan, 'Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah'. DPRD, dalam posisi seperti ini berada dalam subordinasi Kepala Daerah. Relasi di antara keduanya tidak seimbang. Proses perumusan, pembuatan, dan implementasi kebijakan kebijakan di daerah lebih banyak ditentukan oleh Kepala Daerah daripada DPRD. Relasi ini juga merefleksikan relasi antara eksekutif (Presiden) dengan legislatif (DPR) di pusat, di mana eksekutif memiliki kekuasaan yang jauh lebih kuat kalau dibandingkan dengan legislatif.Setelah terdapat demokratisasi pasca runtuhnya pemerintahan Soeharto, terdapat upaya untuk membangun checks and balances di daerah. DPRD diberi otoritas yang lebih besar. Hal ini terlihat di dalam UU No. 22 Tahun 1999. Di dalam UU ini, terlihat betapa DPRD dikonstruksi memiliki otoritas lebih besar. DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat di daerah, dan merupakan Badan Legislatif Daerah. DPRD tidak hanya memiliki kekuasaan di bidang legislasi, merumuskan dan menetapkan Perda, bersama-sama Kepala Daerah. DPRD memiliki otoritas untuk memilih, mengangkat dan mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah berkaitan dengan penolakan LPJ. Kekuasaan besar yang diberikan kepada DPRD itu merefleksikan masuknya perspektif DPRD sebagai kekuatan legislatif di daerah.Di dalam perspektif demikian, posisi DPRD tidak berbeda jauh dengan posisi DPR di pusat. DPRD dipandang sebagai institusi yang memungkinkan berjalannya demokrasi di daerah karena tidak hanya berfungsi sebagai institusi yang memiliki otoritas di dalam perumusan dan pembuatan aturan di daerah (Perda) melainkan juga sebagai institusi yang memiliki fungsi kontrol terhadap eksekutif. Dalam posisi seperti itu, mekanisme checks and balances di daerah diharapkan bisa berjalan. Hanya saja, kekuasaan yang besar itu kemudian direvisi. Hal ini tidak lepas dari adanya kritik bahwa setelah ada perubahan seperti itu, relasi antara eksekutif dengan legislatif lebih cenderung ke model legislative heavy. Konstruksi seperti ini dianggap menjauhkan Indonesia dari negara kesatuan, dan sebaliknya lebih mendekati negara federal. Daerah, dalam konstruksi seperti itu, dipandang seolah-olah berdiri sendiri-sendiri dan tidak memiliki ikatan kuat dengan pemerintah pusat.Kritik ini berasal dari argumentasi bahwa pemerintah daerah itu bukanlah pemerintahan yang berdiri sendiri dan terpisah dari pusat. Otoritas yang dimiliki daerah itu merupakan pemberian dari pemerintah pusat. Dengan demikian, jalannya pemerintahan di daerah tidak bisa dilepaskan dari jalannya pemerintahan yang ada di pusat. Derivasi dari argumentasi demikian adalah bahwa otoritas DPRD sebagai lembaga legislatif tidak bisa dilepaskan dari pemerintah pusat. DPRD tidak bisa leluasa membuat Perda tanpa merujuk pada peraturan-peraturan yang dimiliki oleh pemerintah pusat.Revisi UU itu, yang berwujud UU No. 32 Tahun 2004 adalah adanya pengurangan fungsi otoritatif DPRD. DPRD memang masih disebut sebagai lembaga perwakilan rakyat. Hanya saja bukan lembaga perwakilan rakyat di daerah, melainkan lembaga perwakilan rakyat daerah. Selain itu, secara eksplisit DPRD tidak lagi disebut sebagai Badan Legislatif Daerah, meskipun memiliki fungsi legislasi di samping fungsi-fungsi anggaran dan pengawasan. Terhadap Kepala Daerah, DPRD tidak lagi memiliki otoritas untuk mengusulkan pemberhentian yang berkaitan dengan LPJ sebagaimana sebelumnya.Meskipun demikian, posisi DPRD sebagaimana terlihat di dalam UU No. 32 Tahun 2O04 itu lebih kuat kalau dibandingkan dengan posisi DPRD pada masa pemerintahan Orde Baru. Paling tidak hal ini tercermin dari tiga fungsi hak pokok yang dimiliki oleh DPRD, yaitu untuk menjalankan fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran. Selain itu, DPRD juga memiliki hak-hak yang tidak berbeda jauh dengan hak-hak yang dimiliki oleh DPR.

2.3 SISTEM QUASI DUA KAMAR?Di dalam UUD 1945 yang belum diamendemen, institusi yang menjalankan fungsi perwakilan adalah MPR dan DPR/D. MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang memiliki otoritas dalam membuat kebijakan-kebijakan paling strategis. Di antara otoritasnya adalah MPR bisa melakukan perubahan-perubahan terhadap konstitusi, menetapkan GBHN, dan memilih presiden/wakil presiden. Karena fungsinya yang sangat strategis, keanggotaan MPR terdiri dari para anggota DPR dan wakil dari utusan daerah dan golongan golongan. DPR dikonstruksi sebagai refleksi hasil pemilu.Sementara itu, utusan daerah merupakan wakil dari daerah-daerah (provinsi), dan utusan golongan merupakan perwakilan dari golongan-golongan yang ada di dalam masyarakat, khususnya golongan-golongan yang tidak atau belum terwakili di DPR melalui pemilu.Hanya saja, sebagai representasi dari rakyat, baik DPR maupun MPR tidak terkonstruksi secara demokratis, yaitu para anggotanya haruslah merupakan pilihan dari rakyat secara langsung. Kenyataannya, di samping terdapat para anggota yang terpilih melalui pemilu (elected), terdapat juga orang-orang yang menjadi anggota karena tunjukan (appointed). Di DPR, di samping terdapat para wakil yang berasal dari PPB Golkar, dan PDI yang dipilih melalui pemilu, terdapat juga para wakil dari TNI/Polri. Sementara itu, di MPR terdapat utusan dari golongan-golongan yang proses seleksinya pada dasarnya melalui proses tunjukan juga.Agar konstruksi lembaga perwakilan itu lebih demokratis, konstitusi baru yang sudah diamendemen lalu mengamanatkan agar semua orang yang duduk di lembaga perwakilan politik itu dipilih secara langsung melalui pemilu. Secara teoritis, sistem demikian memungkinkan para wakil itu menjalankan mandat yang diberikan oleh rakyat kepadanya, yaitu membuat keputusan-keputusan politik sebagaimana diinginkan oleh rakyat (Andeweg dan Thomassen, 2005; Brennan dan Hamlin, 2000; Mansbridge, 2003). Pada akhirnya, para wakil itu akan memiliki akuntabilitas kepada rakyat yang memilihnya.Secara politik, adanya akuntabilitas itu akan terlihat manakala para wakil rakyat itu bisa dipilih kembali di dalam pemilu (Manin et al., 1999; Mulgan,2003) Adanya perubahan proses seleksi para wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan, ditambah dengan adanya konstruksi baru mengenai kedaulatan sebagaimana disebutkan di atas, memiliki implikasi terhadap konstruksi lembaga perwakilan sendiri. Hal ini terlihat dari diperkenalkannya sistem bikameral dalam sistem perwakilan di Indonesia, meskipun masih dilakukan secara terbatas.Melalui sistem bikameral ini, MPR tidak lagi terdiri dari anggota DPR dan utusan golongan-golongan, melainkan terdiri dari para anggota DPR dan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Konstruksi bikameral itu berangkat dari pandangan bahwa lembaga perwakilan yang ada (untuk sementara ini baru terbatas pada apa yang ada di Jakarta saja) itu mencerminkan dua perwakilan. DPR merupakan lembaga yang terkonstruksi sebagai wakil dari orang (penduduk). Sementara itu, DPD merupakan lembaga yang terkonstruksi sebagai wakil dari daerah. Konstruksi seperti ini didasarkan pada realitas bahwa Indonesia merupakan negara bangsa yang terdiri dari daerah-daerah.Dengan demikian, diperlukan para wakil yang memperjuangkan kepentingan daerah-daerah. Karena itu, prinsip dasar di dalam menentukan jumlah para wakil yang mewakili daerah (DPD) tidak didasarkan pada jumlah penduduk sebagaimana di DPR (meskipun tidak sepenuhnya demikian), melainkan pada persamaan pandangan terhadap daerah-daerah itu. Sehingga, sebagaimana terlihat pada DPD hasil pemilu 2004 dan 2009, masing-masing daerah diwakili oleh empat anggota DPD, tidak peduli daerah itu berpenduduk kecil seperti Provinsi Gorontalo maupun yang berpenduduk besar seperti Jawa Barat dan Jawa Timur.Perubahan seperti itu berpengaruh terhadap ritme kerja lembaga perwakilan. Pada masa lalu, MPR menjalankan fungsinya dalam waktu tertentu saja, yaitu lima tahunan saja. Karena itu, yang menjalankan fungsi perwakilan sehari-hari hanyalah para anggota DPR. Saat ini, para anggota MPR, yaitu pada anggota DPR dan DPD, menjalankan fungsi terwakilan sehari-hari. Sebagaimana para anggota DPR, para anggota DPD dituntut bekerja full time. Mereka melakukan fungsi perwakilan di dalam ritme kerja sehari-hari. Hanya saja, mengingat sistem bikameral yang dipakai masih terbatas, yaitu berkaitan dengan kebijakan-kebijakan strategis mengenai daerah, peran DPD juga masih terbatas juga. DPD, misalnya saja, tidak bisa menjalankan fungsi legislasi sebagaimana dimiliki oleh DPR.Dengan demikian, meskipun saat ini sudah terdapat lembaga DPD, ritme kerja dan performance lembaga perwakilan itu tidak berbeda jauh dengan sebelum adanya DPD. Tidaklah mengherankan kalau kemudian ada ungkapan, DPD itu antara ada dan tiada. DPD yang pada awalnya dirancang sebagai lembaga perwakilan daerah yang bisa menjalankan fungsi-fungsi perwakilan seperti fungsi legislasi, kontrol dan anggaran, pada kenyataannya hanya menjalankan sebagian saja fungsi-fungsi demikian. Karena itu, konsep Dua Kamar di dalam sistem perwakilan lebih tepat disebut sebagai "sistem Satu Setengah Kamar".Sistem semacam itu tidak lepas dari konstruksi sistem perwakilan sebagaimana terdapat di dalam konstitusi yang telah diamandemen. Karena itu, upaya untuk menjadikan Sistem Dua Kamar tidak bisa dilakukan sebelum diadakannya perubahan lanjutan di dalam konstitusi. Para anggota DPD telah berusaha melakukan hal itu. Tetapi, upaya-upaya yang telah dilakukan masih belum memperoleh dukungan memadai dari DPR. Kalaupun terdapat perubahan yang berkaitan dengan DPD, hal itu lebih berkaitan dengan sumber rekrutmen. Pada pemilu 2004, DPD dikonstruksi sebagai wakil daerah yang berasal dari orang orang nonpartai (independen). Kalaupun ada orang partai yang hendak mencalonkan diri, harus terlebih dahulu mengundurkan diri.Pada pemilu 2009 tedapat perubahan. Calon anggota DPD bukan hanya orang-orang nonpartai. Anggota dan pengurus partai pun diperbolehkan tanpa ada keharusan untuk mengundurkan diri sebagaimana sebelumnya.

2.4 MASALAH PERWAKILAN KELOMPOK MARGINAL SECARA POLITIKSalah satu masalah yang sering diperbincangkan di dalam sistem perwakilan adalah bagaimana mengakomodasi kelompok-kelompok yang marginal secara politik. Yang termasuk di dalam kelompok demikian adalah kelompok perempuan dan minoritas. Maksudnya, agar kelompok-kelompok yang tergolong marginal ini terakomodasi dan diperhatikan kepentingan-kepentingannya di tengah banyak kepentingan.Permasalahan demikian tidak hanya terjadi di Indonesia, malainkan juga terjadi di negara-negara lain. Dalam sistem negara demokrasi liberal, upaya untuk mengakomodasi kelompok-kelompok marginal itu dilakukan melalui pemberian kesempatan yang sama kepada semua warga negara (equal opportunin) untuk mengambil bagian di dalam proses-proses politik, seperti adanya kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih. Semua warga negara memiliki kedudukan yang sama, tanpa mempertimbangkan karakteristik-karakteristik dasar seseorang, untuk mencalonkan diri sebagai calon wakil rakyat, misalnya, baik di dalam jabatan parlemen maupun di dalam jabatan eksekutif. Kalaupun kemudian terdapat persyaratan-persyaratan tertentu di dalam menduduki jabatan-jabatan politik, hal itu dilakukan tidak berkaitan dengan karakteristik dasar tertentu seperti jenis kelamin, etnisitas, warna kulit dan sejenisnya.Kerangka kesempatan yang sama seperti ini telah dimasukkan di dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan pemilihan para wakil rakyat. Hanya saja, konstruksi semacam itu pada kenyataannya masih tidak memungkinkan adanya sistem perwakilan yang menampung secara memadai kelompok-kelompok marginal itu di dalam lembaga lembaga perwakilan. Studi perbandingan di berbagai negara, misalnya, menunjukkan bahwa kelompok perempuan yang menjadi wakil rakyat itu jumlahnya jauh lebih sedikit kalau dibandingkan dengan kelompok laki-laki. Kelompok-kelompok minoritas juga sulit menembus lembaga perwakilan, meskipun sudah ada kesempatan yang sama. Halangan halangan kultural, seperti adanya konstruksi nilai-nilai tertentu yang memungkinkan adanya pemihakan-pemihakan kepada kelompok kelompok tertentu, dan halangan-halangan struktural seperti adanya pemihakan-pemihakan akibat sistem tertentu, sering dipandang sebagai penyebab mengapa kesempatan yang sama itu masih saja tidak memungkinkan adanya kelompok-kelompok marginal menjadi bagian dari para wakil.Berdasarkan realitas semacam itu, terdapat gagasan untuk memberikan kekhususan terhadap kelompok-kelompok marginal itu melalui kebijakan afirmatif (Afirmative action policy). Kebijakan ini diperlukan karena didasarkan pada pemahaman bahwa adanya kesempatan yang sama itu masih belum mampu menghasilkan sesuatu yang sama (similar result). Kelompok-kelompok yang termarginalkan secara politik itu pada kenyataannya tidak memiliki titik pijak yang sama ketika harus bersaing dengan kelompok-kelornpok yang lain. Implikasinya,. mereka selalu kalah di dalam persaingan.Di Indonesia, kebijakan khusus itu diberikah kepada kelompok perempuan atau yang dikenal sebagai kebijakan kuota. Kebijakan semacam ini dikeluarkan setelah memperoleh desakan dari berbagai kelompok yang menginginkan adanya kesempatan yang lebih besar kepada politisi perempuan untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat (Siregar 2007). Meskipun jumlah perempuan tidak berbeda dengan jumlah laki-laki, seperti yang terlihat di pada .PriodeJumlah PerempuanTotal%

1950-1955(DPRS)1955-19601956-1959(Konstituante)1971-19771977-19821982-19871987-19921992-19971997-19991999-20042004-20092009-2014

9172536193965625445631022362724884604604605005005005005605603,86,35,17,86,38,51312,510,8911,518,21

Sumber: Siregar (2005); KPU

Hanya saja, kebijakan afirmatif itu tidak lagi bermakna penting pada pemilu 2009. Dalam pemilu ini, penentuan siapa yang akan terpilih untuk mewakili partai yang memperoleh alokasi kursi di DPR/D tidak lagi didasarkan pada nomor urut, melainkan pada perolehan suara terbanyak. Keputusan alokasi kursi berdasarkan perolehan suara terbanyak itu dikeluarkan oleh MK pada Pemilu 2009. Artinya, biar pun seorang calon berada pada nomor urut bawah, ia tetap berkemungkinan untuk terpilih asalkan memperoleh suara terbanyak dan partainya memperoleh alokasi kursi.Kebijakan yang didasarkan pada keputusan MK itu pada awalnya ditentang oleh banyak aktivis perempuan. Dalarn pandangan mereka, perempuan seharusnya memperoleh perhatian khusus. Kebijakan suara terbanyak, dipandang hanya akan menguntungkan politisi laki laki. Pandangan demikian didasarkan pada fakta di sejumlah negara lain, bahwa sistem pemilu proporsional dengan daftar tertutup itu lebih ramah terhadap calon perempuan apabila dibandingkan dengan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Hanya saja, seperti yang terlihat di daiam Tabel 3.1 persentase jumlah perempuan yang terpilih sebagai anggota DPR justru meningkat tajam pada pemilu 2009, menjadi 18,04%. Ini merupakan jumlah persentase tertinggi kalau dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Realitas demikian sliring dengan analisis Wahidah Siregar (2007) bahwa, untuk meningkatkan jumlah kursi perempuan di DPR/D, Indonesia sebaiknya menggunakan sistem pemilu dengan daftar terbuka.Di samping perempuan, isu lain berkaitan dengan keterwakilan kelompok-kelompok tertentu yang secara politik marginal. Sebelumnva, hal ini secara kelembagaan dianggap tidak bermasalah. Konstitusi memberi jaminan bahwa ada perwakilan kelompok-kelompok terientu di MPR, berupa utusan golongan. Setelah terjadinya perubahan-perubahan di dalam konstitusi, semua para wakil rakyat harus dipilih melalui pemilu. Konsekuensinya, semua kelompok yang hendak memiliki wakil, harus ikut serta di dalam pemilu, atau berafiliasi kepada partai tertentu untuk mengikuti pemilu. Hanya saja, secara kelembagaan, proses pemilu yang terbuka sekarang ini lebih menyulitkan bagi kelompok-kelompok marginal untuk memiliki wakil di lembaga perwakilan rakyat. Hal ini tidak lepas dari realitas bahwa para wakil itu harus memperoleh dukungan dalam jumlah tertentu. Manakala jumlahnya terbatas, apalagi menyebar ke dalam banyak daerah, kelompok-kelompok marginal itu memiliki kesulitan di dalam menempatkan wakilnya. Kemungkinan adanya anggota kelompok marginal duduk di lembaga perwakilan memang masih terbuka, manakala anggota-anggota itu bergabung di dalam organisasi politik yang memiliki model keanggotaan inklusif dan anggota-anggota itu memperoleh penerimaan yang lebih luas. Dalam situasi semacam ini, yang lebih menjadi titik tolak adalah kualitas anggota itu dan tingkat penerimaan dari kelompok-kelompok yang lain.Hanya saja, manakala hal itu yang terjadi, menjadi lebih sulit untuk mengatakan bahwa anggota kelompok marginal yang terpilih itu merupakan wakil dari kelompok marginal. Hal ini tidak lepas dari realitas bahwa keterpilihannya tidak lepas dari dukungan kelompok kelompok lain yang lebih luas. Implikasinya, yang terpilih itu juga disimbolkan sebagai wakil kelompok-kelompok lain yang lebih luas.2.5 RELASI WAKIL TERWAKILI DAN AKUNTABILITASSecara substansial, perwakilan berarti adanya para wakil yang bertindak sebagaimana kepentingan atau yang diinginkan oleh orang orang yang diwakilinya. Dalam hal ini, Suzanne Dovi, lebih jauh mengatakan: a good representative is simply one who advances the policy preferences of her constituents (provided that those policy preferences are lawful), Good representatives are good lackeys (the theoretical literature calls such representatives "delegates")' In fact, most contemporory empirical research on representation assumes that democratic representation occurs when a repre' sentative's actions reflect and respond to constituents' expressed policy preferences. According to this way of thinking, there is nothing more to reprenting in a demouatic fashion than responsiveness to democratic citizens' policy preferences (Dovi 2007:1).Adanya wakil rakyat yang berkarakter semacam inilah yang diharapkan bisa terjadi setelah pemerintahan Orde Baru jatuh. Hanya saja, seperti telah disinggung sebelumnya, harapan itu belum menjadi kenyataan karena masih terjadi disconnect electoral antara para wakil dan terwakil. Secara kelembagaan, sudah diupayakan untuk membangun relasi vang lebih baik antara wakil dengan terwakil. Adanya sistem pendapilan yang dimulai sejak pemilu 2004, merupakan contohnya. Melalui sistem ini, bisa teridentifikasi lebih jelas tentang siapa mewakili siapa dan dari daerah mana. Para wakil bisa menyadari bahwa mereka terpilih karena mewakili orang dan daerah tertentu. Sebaliknya, para pemilih juga bisa mengetahui siapa yang mewakili mereka dan daerahnya, baik di DPR maupun DPRD.Di samping itu, secara kelembagaan, para wakil juga didorong untuk mengadakan kunjungan secara rutin ke daerah pemilihannya masing-masing, baik pada masa reses maupun pada saat hari-hari kerja. Program itu disebut sebagai program Jaring Aspirasi Masyarakat (Jaring Asmara). Melalui program ini, para wakil rakyat bisa mengetahui permasalahan-permasalahan apa yang serius dihadapi oleh masyarakat di daerah pemilihannya. Pada saat itu, masyarakat juga bisa menyalurkan aspirasi yang dimilikinya secara langsung. Diharapkan, melalui kegiatan semacam itu para wakil rakyat berusaha memperjuangkan kepentingan dan berupaya menyelesaikan permasalahan di daerah pemilihannya melalui kebijakan-kebijakan vang dibuat bersama-sama pemerintah. Para wakil rakyat juga bisa menyalurkan jalan pemecahannya melalui institusi-institusi yang terkait langsung dengan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.Kerangka kelembagaan itu dirancang agar para wakil rakyat lebih responsif terhadap isu-isu yang berkembang di daerah pemilihannya masing-masing, yakni melalui proses pengumpulan berbagai masukan dan memperjuangkannya melalui keputusan-keputusan politik. Selain itu, secara politik, mekanisme kelembagaan semacam itu juga memungkinkan terjadinya akuntabilitas dari wakil rakyat. Secara politik, para wakil rakyat dikatakan accountable ketika masyarakat memberi hadiah untuk memilihnya kembali sebagai wakil rakyat pada pemilu berikutnya. Sebaliknya, dikatakan tidak accountable ketika mereka gagal memperoleh mandat kembali.Melalui desain semacam itu, relasi antara para wakil rakyat sebagai agent dengan para pemilih sebagai principal, diharapkan bisa lebih melembaga. Sebagai agent, para wakil rakyat diharapkan lebih banyak mendengar, mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan konstituen yang diwakilinya. Sementara itu, konstituen sebagai principal diharapkan bisa lebih intens melakukan pengawasan, dan bisa memberikan reward dan punishment kepada para wakil.Manakala para wakil bekerja cukup baik untuk rakyat, bisa diberi reward meialui keterpilihan kembali. Sebaliknya, ketika tidak berkerja untuk rakyat, dihukum berupa ketidakterpilihan kembali. Meskipun demikian, mekanisme kelembagaan semacam itu ternyata tidak membawa perubahan yang cukup berarti. Hal ini terlihat dari realitas bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap anggota DPR periode 2004-2009 itu tidak lebih baik kalau dibandingkan dengan periode sebelumnya. Padahal, dari tingkat pendidikan, misalnya, anggota DPR periode 2004-2009 itu lebih baik dari sebelumnya. Mereka juga sudah dipilih berdasarkan daerah pemilihan tertentu, dan disokong oleh program yang lebih jelas untuk berinteraksi dengan konstituen. Masalah akuntabilitas para wakil juga masih menjadi masalah yang cukup serius, bukan hanya berkait dengan para wakil sendiri, melainkan juga terjadi ketika dikaitkan dengan konstituen.Hal ini terkait dengan realitas bahwa para pemilih tidak sepenuhnya memiliki informasi yang cukup terhadap kinerja para wakilnya. Padahal, penguasaan informasi yang cukup merupakan dasar yang sangat penting bagi para pemilih rasional dalam menentukan pilihannya, termasuk apakah akan tetap mempertahankan para wakilnya ataukah memilih alternatif yang lain, baik dari partainya sendiri maupun dari partai lain. Di samping itu, seperti disinggung di bab yang lain, para pemilih juga tidak semuanya rasional. Di kalangan pemilih masih terdapat pemilih-pemilih yang memiliki keterkaitan dogmatis ideologis'dan kulrural yang kuat. Di kalangan pemilih demikian, terdapat pandangan 'baik atau tidak, benar atau salah', yang penting memilih partainya sendiri. Kalaupun belakangan ini semakin menguat munculnya pemilih rasional, mereka tidak semuanya merupakan pemilih rasional gagasan, melainkan pemilih rasional-material (Marijan, 2009). Di dalam pemilih demikian, yang menjadi pertimbangan pokoknya bukan pada program-program apa yang sudah diperbuat atau yang akan ditawarkan, melainkan materi apa yang telah diberikan dan akan diberikan.

3.1 KESIMPULANDemokrasi modern adalah berkaitan dengan perwakilan, karena proses-proses politik tidak bisa dilakukan secara langsung oleh rakyat mengingat jumlah cakupan wilayah dan masalah-masalah teknis lainnya. Tetapi, di negara demokratis manapun, terdapat upaya untuk membangun sistem perwakilan yang memungkinkan para wakil menjalankan fungsi-fungsi keterwakilannya secara baik.Serangkaian perbaikan kelembagaan politik telah dilakukan untuk memperbaiki relasi antara wakil dengan terwakil. Tetapi, perubahan kelembagaan ini tidak serta-merta bisa memperbaiki relasi itu. Konteks kepentingan dan budaya politik, baik wakil yang terpilih maupun pemilih, memiliki pengaruh pada berjalan tidaknya desain seperti itu. Perubahan kelembagaan di dalam lembaga perwakilan, dengan demikian, perlu diiringi oleh perubahan budaya politik, misalnya.3.3 SARANPerubahan budaya politik sangat diperlukan dalam sistem relasi antara wakil dengan terwakil agar sistem yang ada saat ini dapat berjalan maksimal. Karena akan percuma saja rasanya apabila perubahan kelambagaan didalam perwakilan ini apabila tanpa diiringi perubahan budaya politik dan mental tentunya.

DAFTAR PUSTAKAAlfian. 1978. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: GramediaGrant, Alan. 2004. The American Political Process. New York. Routledge PublishingKartasasmita, Ginandjar (2003) Reinventing Indonesia, Lecture at the Graduate School of Asia and Pacific Studies, Waseda University, February 2004.Lipset, Seymor Martin. (1996) In L. Diamond et al., editors. The Global Resurgence of Democracy. 149-153. Baltimore, Maryland: The John Hopkins University Press.MPR RI (2004) Jejak Langkah MPR dalam Era Reformasi, Gambaran Singkat Pelaksanaan Tugas dan Wewenang MPR RI Periode 2004-2009, Sekretariat Jenderal MPR RIMarijan. Kacung. (2010) Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru Kencana Predana Media Group. Jakarta.Budiarjo, Prof. Miriam.Dasar Dasar Ilmu Politik.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2008.Busroh, H. Abu Daud,S.H.Ilmu Negara.Jakarta:Bumi Aksara,19903