Chapter I.pdf

17
39 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian tentang konvergensi dan divergensi berkaitan erat dengan proses pemunculan variasi bahasa. Dalam kajian variasi bahasa diperlukan sejumlah pemahaman terhadap berbagai teori. Kajian yang selalu menyoroti tentang variasi bahasa adalah kajian dialektologi dan sosiolinguistik. Dialektologi 1) mendeskripsikan variasi bahasa dengan memperlakukannya secara utuh. Variasi bahasa dalam kajian dialek dibedakan berdasarkan waktu, tempat, dan sosial penutur. Artinya, ada dialek temporal, seperti Melayu Kuno; dialek regional, seperti Melayu Ambon, Melayu Jakarta; dialek sosial, seperti bahasa Indonesia yang digunakan oleh etnis yang berbeda. Dialek regional yang dalam kajiannya disebut dialek geografi/geografi dialek 2) mendeskripsikan variasi bahasa berdasarkan variabel geografi atau daerah pengamatan, sedangkan dialek sosial yang merupakan bagian dari kajian sosiolinguistik mendeskripsikan variasi bahasa berdasarkan variabel sosial. Dialek temporal mendeskripsikan variasi 1 ) Dialektologi didefinisikan sebagai ilmu tentang dialek. Sebagian ahli menyebutkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang dari dialektologi. Cabang lainnya adalah linguistik geografi atau disebut juga dialek geografi. 2 ) Sekarang ini banyak juga para peneliti mengindentikkan kajian dialek geografi sama dengan kajian dialektologi. Peneliti di sini tetap sepaham dengan pendapat Dubois, dkk. Dubois, dkk (1973: 230 dalam Ayatrohaedi 2003: 7) menjelaskan bahwa geografi dialek adalah cabang dialektologi yang mengkaji hubungan yang ada dalam ragam-ragam bahasa, bertumpu pada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam itu. Universitas Sumatera Utara

Transcript of Chapter I.pdf

  • 39

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Penelitian tentang konvergensi dan divergensi berkaitan erat dengan

    proses pemunculan variasi bahasa. Dalam kajian variasi bahasa diperlukan

    sejumlah pemahaman terhadap berbagai teori. Kajian yang selalu menyoroti

    tentang variasi bahasa adalah kajian dialektologi dan sosiolinguistik.

    Dialektologi1) mendeskripsikan variasi bahasa dengan memperlakukannya

    secara utuh. Variasi bahasa dalam kajian dialek dibedakan berdasarkan waktu,

    tempat, dan sosial penutur. Artinya, ada dialek temporal, seperti Melayu Kuno;

    dialek regional, seperti Melayu Ambon, Melayu Jakarta; dialek sosial, seperti

    bahasa Indonesia yang digunakan oleh etnis yang berbeda. Dialek regional yang

    dalam kajiannya disebut dialek geografi/geografi dialek2) mendeskripsikan variasi

    bahasa berdasarkan variabel geografi atau daerah pengamatan, sedangkan dialek

    sosial yang merupakan bagian dari kajian sosiolinguistik mendeskripsikan variasi

    bahasa berdasarkan variabel sosial. Dialek temporal mendeskripsikan variasi

    1) Dialektologi didefinisikan sebagai ilmu tentang dialek. Sebagian ahli menyebutkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang dari dialektologi. Cabang lainnya adalah linguistik geografi atau disebut juga dialek geografi. 2) Sekarang ini banyak juga para peneliti mengindentikkan kajian dialek geografi sama dengan kajian dialektologi. Peneliti di sini tetap sepaham dengan pendapat Dubois, dkk. Dubois, dkk (1973: 230 dalam Ayatrohaedi 2003: 7) menjelaskan bahwa geografi dialek adalah cabang dialektologi yang mengkaji hubungan yang ada dalam ragam-ragam bahasa, bertumpu pada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam itu.

    Universitas Sumatera Utara

  • 40

    bahasa berdasarkan kurun waktu. Dialek temporal dalam kajian ini diidentikkan

    dengan variasi bahasa berdasarkan perbedaan latar belakang historis.

    Kajian dialek geografi mendeskripsikan sejumlah variasi bahasa

    berdasarkan wilayah, membandingkannya antara satu wilayah dan wilayah yang

    lain, dan mengelompokkan variasi yang sama dalam sebuah wilayah tertentu, baik

    itu secara sinkronis maupun diakronis. Variasi bahasa tersebut diabstraksikan

    dalam sebuah peta bahasa dengan bantuan lambang-lambang atau sistem tertentu

    dan garis isoglos yang menyatukan persamaan, serta heteroglos yang memisahkan

    perbedaan variasi bahasa tersebut.

    Kajian sosiolinguistik mendeskripsikan sejumlah variasi bahasa

    berdasarkan perbedaan variabel sosial, misalnya variabel daerah, status, ragam

    (style), usia, gender, dan keetnisan (lihat Wolfram 1974). Adanya perbedaan

    tuturan yang dilatarbelakangi perbedaan variabel sosial tersebut, terbentuklah

    variasi bahasa. Tambahan pula, adanya upaya menyamakan tuturan atau

    membedakan tuturan dengan mitra tuturnya dan berlangsung secara terus menerus

    terjadilah apa yang dinamakan konvergensi dan divergensi bahasa. Penutur yang

    berkonvergensi dan berdivergensi itu dilatarbelakangi oleh perbedaan sosial dan

    geografis ketika berinteraksi.

    Dilihat dari sudut kepentingan kajian didapati bahwa kajian dialektologi

    umumnya lebih mementingkan keadaan variasi bahasa yang ada daripada

    mengkaji proses munculnya perbedaan bahasa tersebut, sedangkan kajian

    Universitas Sumatera Utara

  • 41

    sosiolinguistik mengkaji proses munculnya variasi bahasa. Karena itu, kajian

    yang mengamati proses terjadinya variasi bahasa hendaknya perlu diperhitungkan

    untuk memperoleh kajian dialek secara komprehensif (lihat Dhanawaty 2004).

    Dengan kata lain, ada upaya pengombinasian teori dialektologi dan

    sosiolinguistik dan juga teori akomodasi. Selain itu, kajian variasi dialek ini juga

    mengamati bentuk konservatif dan inovatif dari sudut pandang historis, yaitu

    membandingkannya dengan bahasa Proto Melayu. Tujuannya adalah untuk

    mengamati bagaimana konvergensi dan divergensi dalam dialek-dialek di Asahan

    secara diakronis. Jadi, teori linguistik historis komparatif atau linguistik diakronis

    juga diterapkan. Intinya, kajian ini bertemakan kajian dialektososiolinguistik

    secara sinkronis dan diakronis. Namun, perlu pula digarisbawahi bahwa kajian

    yang berjudul Konvergensi dan Divergensi dalam Dialek-Dialek Melayu

    Asahan ini dikaji dalam sudut pandang dialektologi bukan sosiolinguistik.

    Penelitian ini diharapkan memberi warna baru dalam kajian dialektologi dan

    sosiolinguistik.

    Penelitian sejenis ini pernah dilakukan oleh Dhanawaty (2002). Dia

    meneliti penggunaan bahasa Bali oleh penutur bahasa Bali yang berada di daerah

    transmigrasi Lampung Tengah. Kalau Dhanawaty memfokuskan pada bahasa Bali

    yang digunakan penuturnya yang berada di daerah transmigran secara sinkronis,

    penelitian ini justru sebaliknya, yaitu memfokuskan pada penutur yang berbeda

    etnik yang berusaha menggunakan bahasa Melayu Asahan (selanjutnya disebut

    Universitas Sumatera Utara

  • 42

    BMA) karena mereka berada di Asahan. Selanjutnya, variasi yang muncul

    dianalisis secara sinkronis dan diakronis. Yang menarik dari penelitian ini adalah

    situasi kebahasaan di Asahan, yaitu para penutur tiap-tiap etnis berusaha agar

    tuturannya dapat dipahami oleh mitra tutur dialek setempat saat berinteraksi.

    Artinya, ada upaya akomodasi ke arah bahasa Melayu.

    Kajian dialektologi ini melibatkan teori sosisolinguistik karena yang dikaji

    adalah variasi-variasi dialek yang muncul dari usaha penutur mengakomodasikan

    dialeknya saat bertutur. Hasil variasi dialek yang ditemukan digambarkan dalam

    sebuah peta untuk melihat tempat keberadaan variasi dialek tersebut secara

    umum. Dikatakan secara umum karena kajian ini bukan geografi dialek yang

    menempatkan semua gejala kebahasaan yang ditemukan selama penelitian dalam

    peta bahasa3).

    Variasi bahasa dapat terjadi karena perbedaan geografis penutur,

    perbedaan sejarah/waktu, dan perbedaan sosial penutur (misalnya daerah, status,

    ragam (style), usia, gender, dan keetnisan, agama, lingkungan, dan sebagainya.

    Ketiga perbedaan ini dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama, perbedaan

    geografis dan sejarah. Kajian ini dikelompokkan menjadi satu karena berkaitan

    dengan keadaan bahasa. Penutur yang dipisahkan oleh wilayah yang berbeda

    cenderung memiliki perbedaan dalam kosa katanya, baik perbedaan wicara,

    perbedaan subdialek, perbedaan dialek, maupun perbedaan bahasa. Lebih-lebih

    lagi yang dipisahkan oleh batas alam (seperti, sungai/laut, gunung, dan hutan) 3 )Peta bahasa berperan penting dalam kajian geografi dialek.

    Universitas Sumatera Utara

  • 43

    atau batas buatan (seperti jalan tol dan lapangan terbang). Demikian pula halnya

    penutur yang memiliki latar belakang sejarah yang berbeda juga cenderung

    berbeda bahasa atau dialeknya. Misalnya, bahasa Melayu dialek Batubara yang

    dipengaruhi bahasa Minangkabau dan dialek Tanjungbalai yang dipengaruhi oleh

    bahasa Batak (periksa Widayati 1997 dan 2001a). Yang kedua, perbedaan sosial.

    Penutur ketika berinteraksi dengan mitra tuturnya biasanya memperhatikan

    dalil sosiolinguistik, yaitu siapa yang berbicara, kepada siapa ia berbicara, di

    mana, kapan, untuk apa, bagaimana, dan tentang topik apa. Dalam istilah

    Fishmann (1966) disebutkan sebagai ranah yang secara universal digolongkannya

    sebagai partisipan, topik, dan lokal. Dalil atau ranah ini biasanya dipergunakan

    bila meneliti pemakaian bahasa dan di sinilah proses variasi bahasa itu timbul. Di

    sini penutur mengakomodasikan tuturannya menjadi sama atau mirip, atau

    berbeda dengan mitra tuturnya. Kalau tuturannya sama berarti telah terjadi

    konvergensi, tetapi kalau tuturannya menjadi tidak sama berarti telah terjadi

    divergensi.

    Asahan yang saat ini terdiri atas tiga wilayah administratif, yaitu

    Kabupaten Asahan, Kabupaten Batubara, dan Kota Tanjungbalai merupakan

    daerah yang multietnis. Selain etnis Melayu, di Asahan terdapat juga etnis Batak,

    Jawa, Cina, Minangkabau, Banjar, dan beberapa etnis lainnya. Etnis Melayu pada

    umumnya berdomisili di wilayah timur Asahan dan mereka masih tetap

    menggunakan bahasanya dalam berinteraksi. Hasil penelitian terdahulu (lihat

    Universitas Sumatera Utara

  • 44

    Widayati 1997) menyebutkan bahwa di wilayah timur Asahan terdapat dua

    dialek, yaitu dialek Batubara di sebelah utara Asahan (sekarang wilayah dialek itu

    menjadi wilayah Kabupaten Batubara) dan dialek Tanjungbalai di sebelah selatan

    (wilayah ini tetap sebagai wilayah Kabupaten Asahan dan Kotamadya

    Tanjungbalai). Situasi multietnis itu secara tidak langsung membentuk

    masyarakat yang multilingual atau multidialek pula. Karena masyarakat yang

    multilingual/multidialek berada dalam wilayah yang penuturnya mayoritas

    berbahasa Melayu, kondisi ini memacu masyarakat yang bukan penutur Melayu

    untuk menguasai bahasa Melayu Asahan. Demikian pula sebaliknya, masyarakat

    Melayu pun berusaha untuk memahami bahasa lain yang ada di sekitarnya. Ini

    sejalan dengan yang dikatakan Lauder (1993: 3) bahwa pada daerah-daerah yang

    multilingual masalah sentuh bahasa tidak dapat dihindarkan. Dapat diduga bahwa

    di daerah yang multilingual masalah kebahasaan akan lebih kompleks

    dibandingkan dengan daerah yang monolingual.

    Etnis Batak dan Jawa merupakan etnis pendatang yang mayoritas

    menetap di Asahan. Kedua etnis tersebut menjadi sorotan dalam kajian ini selain

    etnis Melayu Asahan itu sendiri. Menetapnya etnis Batak dan Jawa dalam jangka

    waktu yang cukup panjang di Asahan menyebabkan terjadinya kontak adat,

    kontak budaya, dan kontak bahasa, baik antarkedua etnis tersebut maupun dengan

    etnis Melayu di Asahan. Di antara ketiga kontak tersebut yang paling mudah

    terjadi penyesuaian adalah kontak bahasa karena adanya pergaulan antaretnis

    Universitas Sumatera Utara

  • 45

    dalam frekuensi yang cukup tinggi (band. Dhanawaty 2002: 2). Selain adanya

    upaya penyesuaian bahasa antarketiga kelompok penutur bahasa itu (Batak, Jawa,

    dan Melayu), etnis Batak dan Jawa tetap menggunakan bahasanya dalam

    pergaulan intraetnis. Selain itu, bahasa Indonesia tetap dipergunakan dalam

    pergaulan sosial antaretnis. Ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu di Asahan

    dipakai secara berdampingan dengan bahasa Indonesia dan juga dengan bahasa

    etnis lain.

    Fenomena di atas mengindikasikan bahwa masyarakat penutur bahasa

    Batak dan bahasa Jawa di Asahan berusaha menyesuaikan tuturannya dengan

    penutur Melayu di daerah tersebut. Artinya, telah terjadi akomodasi bahasa/dialek

    di Asahan. Adanya usaha penutur menyesuaikan tuturannya saat berinteraksi

    memberi dampak munculnya variasi bahasa/dialek di Asahan. Variasi yang

    muncul saat mereka berinteraksi diduga akan mendorong munculnya dialek baru

    di Asahan. Sejauhmana hubungan variasi bahasa yang muncul dibandingkan

    dengan dialek Melayu yang ada di Asahan tersebut akan dideskripsikan dalam

    penelitian ini.

    1.2 Rumusan Masalah Penelitian

    Masyarakat di Asahan yang terdiri atas berbagai etnis dan latar belakang

    sejarah yang berbeda sangat memungkinkan mendorong terjadinya variasi dialek

    Melayu di Asahan. Selain itu, kecenderungan seseorang yang berbeda dialek

    Universitas Sumatera Utara

  • 46

    mengakomodasikan tuturannya ketika berinteraksi akan terjadi konvergensi

    tuturan atau divergensi tuturan. Kenyataan ini diidentifikasikan untuk

    merumuskan variasi dialek yang muncul selain dialek Melayu yang ada di

    Asahan. Konvergensi dan divergensi dalam interaksi antardialek di Asahan akan

    menghasilkan berbagai wujud yang memungkinkan, misalnya wujud fonologis

    atau leksikon. Wujud-wujud ini ada yang disesuaikan dengan mitra tuturnya dan

    ada pula yang tetap dipertahankan, bahkan ada pula yang dimodifikasi antara

    tuturannya dengan tuturan mitra tuturnya. Dalam hal ini yang disoroti adalah

    tuturan yang dihasilkan oleh para penutur yang berbeda etnis yang datang

    menetap di Asahan, yaitu etnis Batak dan Jawayang merupakan etnis mayoritas

    di Asahan selain entik Melayuketika berinteraksi. Tuturan-tuturan yang

    merupakan modifikasi antara dua bahasa/dialek akan menimbulkan variasi dialek

    baru di Asahan. Adanya bentuk baru ini dianalisis sejauhmana kemiripannya

    dengan dialek-dialek yang ada di Asahan. Dalam upaya ini penelusuran dokumen

    diperhitungkan pula tertutama kajian yang bersifat diakronis.

    Dari fenomena di atas masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

    1. Bagaimana sistem segmental dialek-dialek di Asahan?

    2. Bagaimana variasi dialek yang muncul di Asahan akibat adanya konvergensi

    dan divergensi?

    3. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya konvergensi dan divergensi

    dalam dialek-dialek Melayu di Asahan?

    Universitas Sumatera Utara

  • 47

    4. Variasi mana yang merupakan bentuk yang inovatif dan mana yang

    konservatif bila dikaitkan dengan bahasa Proto Melayu?

    1.3 Tujuan Penelitian

    1. Mendeskripsikan sistem segmental dialek-dialek di Asahan.

    2. Mendeskripsikan variasi dialek yang muncul di Asahan akibat adanya

    konvergensi dan divergensi.

    3. Mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konvergensi dan

    divergensi dalam dialek-dialek Melayu di Asahan.

    4. Mendeskripsikan bentuk inovatif dan konservatif dalam dialek-dialek Melayu

    Asahan.

    1.4 Manfaat Penelitian

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk

    1.4.1 Pengembangan Ilmu Pengetahuan

    1. Mengembangkan kajian dialektologi dengan melibatkan dialek sosial karena

    selama ini kajian dialektologi berfokus pada dialek geografis.

    2. Memperkaya model penelitian dialektososiolinguistik dengan menerapkan

    teori akomodasi.

    Universitas Sumatera Utara

  • 48

    3. Memperkaya khazanah kajian dialektososiolinguistik dalam upaya

    penelusuran munculnya perubahan bahasa dalam lintas temporal.

    4. Pembahasan konvergensi dan divergensi dengan teori akomodasi dapat

    bermanfaat bagi kajian psikologi sosial dan kajian antropolinguistik

    khususnya yang mempelajari bahasa dengan perilaku sosial.

    5. Hasil penelitian ini dapat dijadikan data bagi penelitian lebih lanjut.

    6. Memberikan gambaran lengkap tentang dialek-dialek di Asahan.

    1.4.2 Penunjang Pembangunan

    1. Menunjang pelaksanaan program pemerintah dalam upaya melestarikan

    bahasa daerah sebagai salah satu sumber pengembangan korpus bahasa:

    bahasa Indonesia.

    2. Membantu pemerintah dalam penyebarluasan informasi pembangunan ke

    daerah yang masyarakatnya multietnis.

    3. Membantu pemerintah dalam upaya peredaan konflik yang mungkin terjadi

    akibat ketidaksamaan pemahaman dan setidak-tidaknya mengetahui cara

    penyampaian informasi yang berhasil dan berdaya guna.

    4. Memberi masukan bagi penentuan kebijakan dalam pembinaan masyarakat

    yang multietnis melalui kebijakan pembinaan bahasa.

    5. Melestarikan dan mendokumentasikan dialek-dialek Melayu di Asahan dari

    kepunahannya dalam usaha pengembangan BMA itu sendiri sebagai bahasa

    Universitas Sumatera Utara

  • 49

    pergaulan dan ilmu pengetahuan, baik dalam situasi formal maupun tidak

    formal.

    6. Menggalakkan penelitian bahasa Melayu Asahan agar bahasa ini dapat

    dikenal sebagai salah satu variasi bahasa Melayu yang ada.

    1.4.3 Pengembangan Kelembagaan

    1. Mengembangkan minat para linguis untuk mengkaji linguistik lintas teori.

    2. Membantu para dosen dalam memahami kajian dialektologi diakronis dan

    sosiolinguistik.

    3. Membantu para dosen dalam mengajarkan dialektologi sinkronis dan

    diakronis dan sosiolinguistik.

    1.5 Batasan Penelitian

    Penelitian ini merupakan penelitian dialektologi. Kajian ini memfokuskan

    pada bidang fonologi dan leksikon dan sedikit menyinggung morfofonemik dan

    pola kalimat, dengan anggapan bahwa kajian fonologi merupakan kajian yang

    mendasar terhadap kajian di atasnya. Perbedaan-perbedaan fonologi akan

    mendorong pada terbentuknya variasi bahasa. Selanjutnya, dapat membentuk

    variasi pada tataran yang lebih tinggi, misalnya leksikon, morfologi, dan bahkan

    sintaksis. Karena itu, konsep yang berkenaan dengan fonologi digunakan di sini,

    yaitu konsep ciri pembeda (distinctive feature).

    Universitas Sumatera Utara

  • 50

    Daerah Asahan dipilih sebagai lokasi penelitian karena penutur di daerah

    tersebut multietnis. Di daerah ini bahasa Melayu digunakan secara berdampingan

    dengan bahasa Batak dan Jawa. Kajian dialek sosial dalam penelitian ini hanya

    dibatasi pada variabel keetnisan. Wolfram (1974: 73 dalam Dhanawaty 2002: 8)

    mengajukan enam variabel utama dalam sosial, yaitu variabel daerah, status,

    ragam (style), usia, gender, dan keetnisan.

    Variabel keetnisan dipilih dengan pertimbangan bahwa etnis lain yang

    menetap di daerah Melayu (di Asahan) akan berusaha mengakomodasikan

    tuturannya dengan etnis setempat ketika berinteraksi. Variabel usia tidak dipilih

    karena tidak menjadi sorotan dalam pemunculan dialek. Usia hanya diperlukan

    saat penetapan narasumber. Variabel daerah tidak dipilih dalam kajian ini karena

    dikhawatirkan akan bias dengan variabel dialek geografi. Lebih-lebih lagi dalam

    kajian ini tidak berupaya memetakan semua gejala kebahasaan yang ditemukan

    selama penelitian pada wilayah tertentu. Penggambaran daerah penelitian di sini

    hanya sekadar penetapan secara umum tempat kantong-kantong penutur dialek

    yang bervariasi akan muncul. Variabel status sosial juga tidak dipilih dalam

    kajian dialek ini karena penetapan status sosial harus melibatkan dua prosedur

    stratifikasi sosial, yakni penilaian status sosial secara objektif dan subjektif (band.

    Dhanawaty 2002: 8). Demikian pula halnya dengan variabel ragam tidak

    digunakan karena penetapan ragam memerlukan data yang bervariasi dan metode

    yang berbeda dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini. Karena

    Universitas Sumatera Utara

  • 51

    penelitian ini tidak memandang perbedaan gender, variabel gender tidak

    diterapkan. Lebih-lebih lagi belum ditemukan adanya perbedaan gender dalam

    bertutur dalam masyarakat Melayu Asahan.

    1.6 Anggapan Dasar

    Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah bahwa konvergensi dan

    divergensi terjadi karena adanya kecenderungan penutur untuk

    mengakomodasikan tuturannya pada saat hadirnya penutur lain. Bertolak dari

    anggapan dasar di atas, kerangka berpikir dalam penelitian ini dirumuskan

    sebagai berikut.

    a. Penutur-penutur dialek di Asahan berkonvergensi dan berdivergensi karena

    adanya perbedaan dialek dan keetnisan. Sejumlah konvergensi/divergensi

    diduga akan muncul sebagai hasil interaksi (lihat gambar 1)

    b. Hasil dari konvergensi dan divergensi tuturan tersebut berakibat munculnya

    variasi dialek pada BMA. Sejumlah variasi dialek diduga akan muncul. (lihat

    tabel 1 dan 2)

    Tabel 1 Matriks Interaksi Antaretnis/Intraetnis di Asahan

    Interaksi BMA Dialek Tanjungbalai

    (A)

    BMA Dialek Batubara

    (B)

    Bahasa Batak (C)

    Bahasa Jawa (D)

    BMA Dialek Tnj Balai (A)

    -- AB AC AD

    BMA Dialek Batubara (B)

    AB -- BC BD

    Bahasa Batak C) AC BC --- CD Bahasa Jawa (D) AD BD CD --

    Universitas Sumatera Utara

  • 52

    Tabel 2 Variasi Dialek di Asahan

    No. Interaksi Penutur Antaretnis/Intraetnis Konvergensi/ Divergensi

    Variasi Dialek

    1. BMA Dialek Tanjungbalai --- BMA Dialek Batubara AB

    2. BMA Dialek Tanjungbalai --- Bahasa Batak AC 3. BMA Dialek Batubara --- Bahasa Batak BC 4. BMA Dialek Tanjungbalai --- Bahasa Jawa AD 5. BMA Dialek Batubara --- Bahasa Jawa BD 6. Bahasa Batak --- Bahasa Jawa CD

    Gambar 1 Bagan Interaksi antaretnis/Intraetnis di Asahan

    1.7 Penjelasan Istilah

    Dalam penelitian konvergensi dan divergensi ini digunakan sejumlah

    istilah. Istilah-istilah yang akan dijelaskan berikut ini diharapkan dapat juga

    memberi gambaran lingkup kajian yang akan dikerjakan.

    DI ASAHAN

    BAHASA MELAYU ASAHAN

    (BMA)

    BAHASA BATAK (C)

    BAHASA JAWA (D)

    BMA DIALEK TANJUNGBALAI

    (A)

    BMA DIALEK BATUBARA

    (B)

    AC2 BD

    5

    BC 3

    AD4

    CD 6

    AB 1

    Universitas Sumatera Utara

  • 53

    Sesuai dengan topik kajian ini, yang pertama perlu dijelaskan adalah

    tentang konvergensi dan divergensi. Konvergensi dan divergensi yang dimaksud

    dalam kajian ini dikaitkan dengan teori akomodasi. Akomodasi adalah cara yang

    dilakukan penutur dalam berinteraksi untuk menyamakan atau membedakan

    tuturannya dengan mitra tuturnya. Konvergensi dijelaskan sebagai proses dan

    hasil penyesuaian ke arah penyamaan antara penutur dengan mitra tuturnya saat

    terjadi interaksi. Penutur di sini berusaha menyamakan dialeknya dengan dialek

    mitra tuturnya. Sebaliknya, divergensi adalah apabila tidak ada penyamaan

    tuturan dengan mitra tuturnya. Di sini penutur tetap mempertahankan dialeknya

    ketika berinteraksi.

    Wujud konvergensi dan divergensi adalah variasi bahasa. Dalam

    penelitian ini wujud konvergensi dan divergensi adalah variasi dialek bahasa

    Melayu di Asahan. Variasi bahasa secara umum dijelaskan sebagai perbedaan-

    perbedaan yang terdapat dalam bahasa. Istilah variasi bahasa yang dimaksudkan

    di sini adalah variasi dialek yang muncul karena peristiwa konvergensi dan

    divergensi dalam berinteraksi antarpenutur dengan latar belakang etnis yang

    berbeda.

    Selanjutnya, istilah dialek dalam penelitian ini dibedakan antara dialek

    regional dan dialek sosial. Dialek diartikan sebagai variasi bahasa yang berbeda-

    beda menurut pemakaiannya. Apabila pemakaian dialek yang berbeda itu

    dilatarbelakangi oleh perbedaan geografis disebut sebagai dialek geografi/dialek

    Universitas Sumatera Utara

  • 54

    regional, sedangkan dialek sosial diartikan sebagai variasi bahasa yang dipakai

    oleh penutur berdasarkan perbedaan daerah, status, ragam (style), usia, gender,

    dan keetnisan.

    1.8 Sistematika Penyajian Hasil Penelitian

    Mula-mula akan dipaparkan gambaran umum daerah penelitian dalam bab

    IV yang memuat wilayah daerah penelitian, yakni Kabupaten Asahan, Kabupaten

    Batubara, dan Kotamadya Tanjungbalai; sejarah daerah penelitian, yakni

    keberadaan etnik Melayu di Asahan, sejarah pemerintahan administratif

    Kabupaten Asahan, Kabupaten Batubara, dan Kotamadya Tanjungbalai;

    hubungan etnik Melayu dengan etnik yang datang ke wilayah Asahan dan situasi

    kebahasaan, keadaan penduduk, dan keadaan bahasa. Uraian ini dipandang

    sebagai gambaran situasi kedaerahan yang multietnik, situasi kebahasaan, dan

    kesejarahan. Ketiganya dapat menunjang penentuan etnis yang diteliti dan

    pemahaman dalam kajian diakronis.

    Sistem segmental dua dialek Melayu di Asahan, yaitu dialek Tanjungbalai

    (DTB) dan dialek Batubara (DBB), dan juga dua bahasa daerah yang menjadi

    objek penelitian, yaitu bahasa Batak (BBT) dan bahasa Jawa (BJW) diuraikan

    terlebih dahulu dengan ancangan generatif karena dipandang sebagai dasar

    tumpuan bagi inti pokok yang akan dipaparkan dalam bab-bab analisis

    selanjutnya. Dengan berpijak pada pola dan sistem segmental yang ditetapkan,

    Universitas Sumatera Utara

  • 55

    bunyi-bunyi bahasa yang akan muncul dari tuturan akan dibandingkan dengan

    pembandingnya, yaitu DTB, DBB, BBT, dan BJW apakah berbeda atau sama.

    Bagian inti, yaitu bab VI sampai VIII, berturut-turut memaparkan analisis

    variasi dialek Melayu di Asahan akibat konvergensi dan divergensi. Analisis ini

    memuat proses terjadinya variasi bahasa; akomodasi dalam percakapan

    antarpenutur; variasi dialek-dialek Melayu di Asahan akibat adanya konvergensi

    dan divergensi. Selanjutnya, dipaparkan faktor penyebab konvergensi dan

    divergensi, yaitu faktor intralinguistik dan faktor ekstralinguistik. Berbagai

    proses fonologis yang merupakan analisis intalinguistik dipaparkan secara rinci,

    sehingga ditemukan beberapa proses penting. Faktor eksternal diuraikan beserta

    contoh-contohnya. Selanjutnya, analisis konvergensi dan divergensi dipaparkan

    dari sudut pandang diakronis, yaitu adanya bentuk inovatif dan konservatif.

    Ketiga bab ini, masing-masing diakhiri dengan simpulan. Selanjutnya, setiap

    temuan yang diperoleh dalam analisis mulai dari bab V sampai dengan bab VIII

    dirumuskan kembali dalam bab penutup. Bab ini berisi temuan dan simpulan (bab

    XI).

    Sebagai pelengkap uraian, disertakan pula lampiran setelah daftar

    kepustakaan. Adapun singkatan-singkatan dan lambang-lambang yang

    dipergunakan untuk menuliskan kaidah secara formal didaftarkan sesudah daftar

    isi.

    Universitas Sumatera Utara