Chapter II(2)

98
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, DAN KONSTRUK ANALISIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kajian Tematisasi Kajian tentang Tema atau struktur Tema sudah dimulai sejak abad ke-19. Pada waktu itu pakar linguistik Weil (1818-1909) mengkaji titik awal sebuah ujaran yang diikuti dengan urutan pernyataan pesan yang mengikuti klausa dalam wacana. Pelopor dalam kajian tema yang terkenal adalah Vilem Mathesius (1882-1945) pakar linguistik aliran Praha. Kajian Mathesius dikenal sebagai kajian struktural tentang topik dan fokus yang maksudnya sama dengan Tema dan Rema. Tema merupakan topik yang dibicarakan dan rema adalah fokus penjelasan tentang Tema. (Sinar, 2009). Brown dan Yule (1983:133-134) juga mengungkapkan tentang tematisasi dalam linieritas pengorganisasian teks. Ia mengatakan “Thematization and Stagingdengan pernyataan sebagai berikut, “..............thematization as a discoursal rather than simply a sentential process. What the speaker or writer puts first will influence the interpretation of everything that follows.” Berdasarkan kutipan di atas dinyatakan bahwa tematisasi sebagai wacana lebih dari sekedar proses kalimat. Apa yang pembicara dan penulis letakkan pertama kali akan mempengaruhi interpretasi berikutnya. Sementara itu mengenai “Staging”, ia mengemukakan bahasa, “A more general, more inclusive term than thematization Universitas Sumatera Utara

description

semoga

Transcript of Chapter II(2)

Page 1: Chapter II(2)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI,

DAN KONSTRUK ANALISIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Kajian Tematisasi

Kajian tentang Tema atau struktur Tema sudah dimulai sejak abad ke-19. Pada

waktu itu pakar linguistik Weil (1818-1909) mengkaji titik awal sebuah ujaran yang

diikuti dengan urutan pernyataan pesan yang mengikuti klausa dalam wacana. Pelopor

dalam kajian tema yang terkenal adalah Vilem Mathesius (1882-1945) pakar linguistik

aliran Praha. Kajian Mathesius dikenal sebagai kajian struktural tentang topik dan

fokus yang maksudnya sama dengan Tema dan Rema. Tema merupakan topik yang

dibicarakan dan rema adalah fokus penjelasan tentang Tema. (Sinar, 2009).

Brown dan Yule (1983:133-134) juga mengungkapkan tentang tematisasi

dalam linieritas pengorganisasian teks. Ia mengatakan “Thematization and Staging”

dengan pernyataan sebagai berikut, “..............thematization as a discoursal rather

than simply a sentential process. What the speaker or writer puts first will influence

the interpretation of everything that follows.”

Berdasarkan kutipan di atas dinyatakan bahwa tematisasi sebagai wacana lebih

dari sekedar proses kalimat. Apa yang pembicara dan penulis letakkan pertama kali

akan mempengaruhi interpretasi berikutnya. Sementara itu mengenai “Staging”, ia

mengemukakan bahasa, “A more general, more inclusive term than thematization

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II(2)

(which refers only to the linear organization of texts) is ‘Staging”. (Brown dan Yule,

1983:134). “Staging” merupakan istilah yang lebih umum dan inklusif daripada

tematisasi (yang merujuk hanya pada susunan linear teks).

Dalam penelitian ini, tematisasi yang dikaji adalah Tema dengan menggunakan

teori Systemic Functional Linguistics yang diajukan oleh Halliday. Halliday (1994:38)

mendefinisikan Tema sebagai berikut.

The Theme is one element in a particular structural configuration which, taken as a whole, organized the clause as a message; this is the configuration of Theme + Rheme. A message consists of a Theme combined with a Rheme. Within that configuration, the Theme is the starting-point for the message; it is the ground from which the clause is taking off. (Tema adalah satu unsur di dalam konfigurasi struktural tertentu yang secara keseluruhan mengorganisir klausa sebagai pesan; Ini adalah konfigurasi Tema + Rema. Sebuah pesan terdiri atas sebuah Tema yang dikombinasikan dengan Rema. Di dalam konfigurasi ini, Tema sebagai titik awal keberangkatan pesan tersebut; Itu adalah dasar berlepasnya sebuah klausa) Kajian tematisasi ini muncul dari adanya pemahaman bahwa bahasa berfungsi

untuk menyampaikan pesan. Pesan ini disampaikan secara bersistem. Hal ini

menunjukkan bahwa bahasa mempunyai aturan agar dapat menyampaikan pesan

dengan susunan yang baik dan teratur. Fungsi bahasa ini disebut fungsi tekstual di

mana Tema merupakan titik awal dari satu pesan (the starting point of the message)

yang terealisasi dalam klausa.

Di dalam bahasa Inggris dan Indonesia, Tema ditandai dengan posisi di awal

klausa atau unsur paling depan dari klausa. Tema dinyatakan dengan unsur pertama

klausa sedangkan unsur klausa sesudah Tema disebut Rema (Saragih, 2007:8).

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II(2)

Figura 2.1: Posisi Tema dan Rema dalam Teks

Theme: Point of departure of clause as a message; local context of clause as a piece of text Initial position in the clause

Rheme: Non-Theme – where the presentation moves after the point of departure, what is presented in the local context set up by theme Position following initial position

Tema dari segi bentuknya dapat berupa partisipan, proses ataupun sirkumstan

berbentuk kata, frasa, maupun kalimat. Jika hanya ada satu unsur dalam klausa yang

berpotensi menjadi Tema maka unsur tersebut disebut Tema sederhana dan dilabeli

dengan nama “Tema”. Sebaliknya, jika di dalam sebuah klausa terdapat lebih dari satu

unsur yang berpotensi menjadi Tema, maka dikatakan Tema tersebut sebagai Tema

kompleks.

Menurut Saragih (2006:112-114), Tema kompleks dibagi atas tiga jenis yaitu

(1) Tema Tekstual, (2) Tema Antarpersona dan (3) Tema Topikal. Tema Topikal

adalah unsur pertama representasi pengalaman. Ini berarti bahwa Tema Topikal dapat

berupa proses, partisipan, atau sirkumstan. Jika di dalam satu klausa hanya terdapat

satu Tema atau Tema sederhana maka Tema itu cukup diberi label Tema bukan Tema

Topikal.

Selanjutnya, Saragih (2007:47) menjelaskan Tema dapat diidentifikasi

berdasarkan kompleksitasnya dan kebermarkahannya. Kompleksitas terdiri dari

Tunggal (single) dan Majemuk (multiple). Kebermarkahan terdiri dari Bermarkah

(unmarked) dan tidak Bermarkah (marked), seperti terlihat di bawah ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II(2)

Figura 2.2: Klasifikasi Tema Berdasarkan Komplesitas dan Kebermarkahannya

Kompleksitas

Tunggal Majemuk

Tunggal –

Bermarkah

Majemuk –

Bermarkah

Kebermarkahan:

Bermarkah

Tidak Bermarkah Tunggal tidak Bermarkah

Majemuk – tidak Bermarkah

2.1.2 Kajian Translasi dan Penerjemah

Proses pengalihan pesan teks bahasa sumber dipengaruhi oleh budaya

penerjemah, yang tercermin dari cara seseorang dalam memahami, memandang, dan

mengungkapkan pesan itu melalui bahasa yang digunakan. Pengalihan pesan dalam

proses penerjemahan selalu ditandai oleh perbedaan budaya bahasa sumber dan bahasa

sasaran. Perbedaan ini secara langsung akan menempatkan penerjemah pada posisi

yang dilematis. Di satu sisi penerjemah harus mengalihkan pesan teks bahasa sumber

ke dalam bahasa sasaran secara akurat. Di sisi lain dan dalam banyak kasus

penerjemah harus menemukan padanan yang tidak mungkin ada dalam bahasa sasaran.

Pada hakekatnya, teori translasi sudah menyediakan pedoman untuk mengatasi

masalah-masalah penerjemah. Namun, sebagai pedoman umum, teori translasi tidak

selalu dapat diterapkan untuk memecahkan persoalan letak terjemahan yang timbul

dalam peristiwa komunikasi interlingual tertentu. Bahkan, suatu padanan untuk suatu

ungkapan dalam bahasa sumber yang sudah lazim digunakan, diterima dan dianggap

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II(2)

benar oleh pembaca teks bahasa sasaran, apabila dianalisis secara mendalam, bukan

merupakan padanan yang benar.

Pada hakikatnya kajian translasi menitikberatkan proses menerjemahkan

berarti mengalihkan pesan yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa

sasaran sedemikian rupa sehingga orang yang membaca atau mendengar pesan itu

dalam bahasa sasaran kesannya sama dengan orang yang membaca pesan itu dalam

bahasa sumber (Nida, 1976). Sebelumnya, Nida (1964) juga menyatakan bahwa

translasi yang sempurna adalah yang bisa menciptakan efek sebagaimana teks aslinya.

Ahli lainnya (Catford,1974) menyatakan penerjemahan adalah pemindahan materi teks

bahasa sumber yang berekuivalen dengan materi teks pada bahasa sasaran. Mohanty

dalam Dollerup dan Lindegaard, (1994) menyatakan bahwa penerjemahan bukan

hanya aktivitas bilingual tetapi juga pada saat yang bersamaan adalah aktivitas bi-

kultural. Pernyataan ini mengandung perngertian bahwa penerjemahan bukan hanya

menerjemahkan bahasa tetapi sekaligus transfer budaya.

Al Zouby dan Al Asnawi (2001) mendefinisikan pergeseran (shift) sebagai

tindakan wajib yang disebabkan oleh adanya perbedaan struktur dua bahasa yang

terlibat dalam penerjemahan dan tindakan opsional yang ditentukan oleh preferensi

personal dan stilistik yang dilakukan secara sadar untuk menghasilkan translasi yang

alamiah dan komunikatif dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasraran. Mereka

membedakan pergeeran ke dalam dua jenis yakni pergeseran mikro (micro shift) dan

pergeseran makro (macro shift). Pergeseran mikro bisa berwujud pergeseran vertikal

yang mengarah ke atas jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan unit yang lebih

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II(2)

tinggi ‘rank’nya atau mengarah ke bawah jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan

unit yang lebih rendah ‘rank’nya, sedangkan pergeseran horizontal adalah jika

padanan dalam bahasa sumber berada pada ‘rank’ yang sama dengan bahasa sasaran.

Pergeseran makro melibatkan semua variabel tekstur, budaya, gaya dan retorik yang

memungkinkan terjadinya pergeseran pada tataran selain tataran sintaksis. Zellermeyer

(1987) menjelaskan bahwa pergeseran (shift) dalam penerjemahan sebagai

‘metamessages’. Pergeseran dapat terjadi karena adanya penambahan (addition),

penghilangan (delition), substitusi (substitution) dan penyusunan kembali

(reordering).

Penerjemahan teks selalu terkait erat dengan masalah budaya. Pemahaman

budaya agar dapat menerjemahkan teks sangat diperlukan. Masyarakat mempunyai

budaya yang berbeda sehingga diperlukan pemahaman budaya masyakarat tersebut

sehingga teks dapat diterjemahkan sesuai dengan makna yang terdapat dalam bahasa

sumber. Penerjemah merupakan proses pengalihan pesan teks bahasa sumber ke dalam

bahasa sasaran. Tujuan praktis dari proses pengalihan pesan itu adalah untuk

membantu pembaca teks bahasa sasaran dalam memahami pesan yang dimaksudkan

oleh penuli asli teks bahasa sumber. Tugas pengalihan ini menempatkan penerjemah

pada posisi yang sangat penting dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Apabila ilmu pnegetahuan dan teknologi dipahami sebagai bagian dari

budaya, secara tidak langsung penerjemah turut serta dalam proses alih budaya.

Ada terjemahan yang sudah secara setia menyampaikan pesan teks bahasa

sumber ke dalam bahasa sasaran, tetapi bahasa yang digunakan tidak bisa dipahami

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II(2)

oleh pembaca dengan baik. Ada pula terjemahan yang tampak “cantik” dan wajar,

tetapi pesannya menyimpang jauh dari pesan teks aslinya. Jika kasus seperti ini sering

terjadi, tujuan praktis penerjemahan tidak tercapai dengan baik. Terjemahan yang

demikian dianggap telah menghianati tidak hanya penulis teks asli tetapi juga pembaca

teks terjemahan (Damono, 2003).

Terjemahan merupakan alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, terjemahan

mempunyai tujuan komunikatif, dan tujuan komunikatif itu ditetapkan oleh penulis

teks bahasa sumber, penerjeman sebagai mediator, dan pembaca teks bahasa sasaran.

Penetapan tujuan itu sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya serta ideologi

penulis teks bahasa sumber, penerjemah, pembaca teks bahasa sasaran (Nababan,

2004).

Apa yang dimaksud dengan budaya? Dalam ruang lingkup Studi

Penerjemahan, budaya mempunyai pengertian yang sangat luas dan menyangkut

semua aspek kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh aspek sosial (Snell-Hornby,

1995). Konsep budaya ini didefinisikan oleh Gohring (1977), dan Newmark (1988)

sebagai berikut.

As I see it, a society’s culture consists of whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members, and do so in any role that they accept for any one of themselves. Culture, being what people have to learn as distinct from their biological heritage, must consist of the end product of learning : knowledge, in a most general, if relative, sense of the term. By this definition, we should note that culture is not a material phenomenon; it does not consists of things, people, behavior, or emotions. It is rather an organization of these things. It is the forms of things that people have in mind, their models fro perceiving, relating, and otherwisw interpreting them. As such, the things people say and do, their social arrangements and events, are products or by-products of their culture as they apply it to the task of perceiving and dealing with their circumstances. To one

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II(2)

who knows their culture, these things and events are also signs signifying the cultural forms or models of which they are materail presentations.... (Goodenough, 1964).

Culture is everything one needs to know, master and feel in order to judge where people’s behavior conforms to or deviates from what is expected from them in their social roles, and in order to make one’s own behavior conform to the expectations of the society concerned-unless one is prepared to take the consequences of deviant behavior. (Gohring dalam Snell-Hornby, 1995).

The way of life and its manifestations that are perculiar to a community taht uses a particular language as its means of expressions. (Newmark, 1988)

Dari definisi budaya di atas dapat ditarik empat hal pokok. Pertama, budaya

merupakan totalitas pengetahuan, penguasaan dan persepsi. Kedua, budaya

mempunyai hubungan yang erat dengan prilaku (tindakan) dan peristiwa atau

kegiatan. Ketiga, budaya tergantung pada harapan dan norma yang berlaku

dimasyarakat. Keempat, pengetahuan, penguasaan, persepsi, perilaku kita terhadap

sesuatu diwujudkan melalui bahasa. Oleh karena itu, bahasa merupakan ungkapan

tentang budaya dan diri penutur, yang memahami dunia melalui bahasa.

Konsep bahwa bahasa adalah budaya dan budaya diwujudkan melalui perilaku

kebahasaan dapat pula diterapkan dan dikaitkan pada bidang penerjemahan. House

(2002) berpendapat bahwa seseorang tidak menerjemahkan bahasa tetapi budaya, dan

dalam penerjemahan kita mengalihkan budaya bukan bahasa. Pendapat ini sejalan

dengan pandangan bahwa budaya merupakan suatu terjemahan, bukan kata, frase,

klausa, paragraf atau teks yang seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dari

penerjemah.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II(2)

2.2 Kerangka Teori

“Teori bahasa memiliki cara yang beragam dalam melihat fenomena bahasa”

(Sinar, 2003:13). Di dalam penelitian ini, teori bahasa yang akan digunakan adalah

teori Systemic Functional Linguistics dan teori translasi. Oleh karena itu, bab ini akan

menjelaskan kedua teori tersebut, yaitu teori Translasi yang dikemukakan oleh Larson

dan Catford dan teori Systemic Functional Linguistics yang dikemukakan oleh

Halliday. Teori-teori itu dilengkapi oleh model-model penerjemahan yang relevan

dengan penelitian ini.

Secara sistematis, teori yang digunakan peneliti dalam translasi dwibahasa:

Inggris-Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai-berikut.

(1) Kerangka Teori

(2) Teori Translasi dan Penerjemahan

(3) Model-model Penerjemahan

(4) Alasan Memilih Teori Translasi Larson dan Catford

(5) Kerangka Konsep Pergeseran dalam Translasi

(6) Teori Systemic Functional Linguistics

(7) Alasan Memilih Teori Systemic Functional Linguistics

(8) Berbagai Model Systemic Functional Linguistics

(9) Kerangka Konsep Systemic Functional Linguistics

(10) Metafungsi Bahasa

(11) Orientasi Teoritis

(12) Penelitian Sebelumnya

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II(2)

(13) Konstruk Analisis

2.3 Teori Translasi dan Penerjemahan

Pada penelitian ini perlu dibedakan antara kata ‘translasi’ dan ‘penerjemahan’.

Kata ‘penerjemahan’ mengandung pengertian proses alih pesan, sedangkan kata

‘translasi’ sebagai padanan kata ‘translation’ artinya hasil dari suatu penerjemahan

(Nababan, 2003:18). Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan istilah translasi

untuk hasil penerjemahan dan istilah penerjemahan untuk proses alih pesan dalam

translasi.

Berdasarkan pengertian di atas, menerjemahan berarti mengalihkan pesan yang

terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran sedemikian rupa sehingga

orang yang membaca atau mendengar pesan itu dalam bahasa sasaran kesannya sama

dengan orang yang membaca pesan itu dalam bahasa sumber. Hal ini sesuai dengan

pendapat Nida (1976) dalam Hanafi (1986:25) yang mengatakan bahwa, “Translating

consist in producing in the receptor language the closest natural equivalent to the

message of the source language, fist in meaning and secondly in style.” Hal ini berarti,

di dalam kajian translasi harus dicari padanan yang paling dekat dengan bahasa

penerima terhadap bahasa sumber, baik dalam hal makna maupun gaya bahasanya.

Sejalan dengan pendapat di atas, Catford (1965) dalam Nababan (2003:19)

menyatakan penerjemahan adalah pemindahan materi teks bahasa sumber yang

berekuivalen dengan materi teks pada bahasa sasaran. Di dalam proses alih pesan

tersebut, terdapat faktor linguistik dan budaya. Steiner (1994:103) mengatakan,

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II(2)

“Translation can be seen as (co) generation of text under specific contraints that is

relative stability of some situasional factorand, therefore, register, and, classically,

change of language and (context of) culture”. Di dalam hal ini, faktor situasi, budaya,

dan perubahan bahasa sumber dan bahasa sasaran menjadi hal-hal yang menjadi

perhatian penerjemah. Dengan demikian, penerjemahan bukan hanya aktivitas

bilingual tetapi juga pada saat yang bersamaan adalah aktivitas bi-kultural. Pernyataan

ini mengandung perngertian bahwa penerjemahan bukan hanya menerjemahkan

bahasa tetapi sekaligus transfer budaya.

Jacobson dalam artikelnya “On Linguistic Aspecct of Translation” (1959)

dalam Shuttlewarth dan Cowie (1997:82-88), menyatakan translasi dapat dibagi

menjadi tiga jenis berikut ini.

a. Intralingual Translation (Translasi Intralingual) yaitu penerjemahan yang

hanya melibatkan satu bahasa (bahasa yang sama) saja dalam prosesnya.

b. Interlingual Tranlation (Translasi Interlingual) yaitu penerjemahan yang

melibatkan dua bahasa yang berbeda.

c. Intersemiotic Translation (Translasi Intersemiotik) yaitu penerjemahan suatu

simbol yang mempunyai makna ke dalam simbol lain yang juga mempunyai

makna yang sama.

Esksistensi translasi yang dikemukakan oleh Jakobson (1959:232-239) di atas

dapat diklasifikasikan pada konteks translasi bahasa Indonesia sebagaimana terlihat

dalam figura berikut ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II(2)

Figura 2.3: Klasifikasi Eksistensi Translasi

Translasi

Kebahasaan Nonkebahasaan Kebahasaan/ Non-kebahasaan

Intra-kebahasaan Inter-kebahasaan

Translasi ekabahasa

Translasi multibahasa

Translasi dwibahasa

Translasi Bahasa Indonesia-Belanda

Translasi Bahasa Indonesia-Inggris

dan sebagainya

Dari ketiga klasifikasi yang dinyatakan oleh Jacobson tersebut, penelitian ini

berkonsentrasi pada jenis translasi kedua, yaitu interlingual translation, tepatnya antara

dua bahasa yang berbeda yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bahasa Indonesia

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II(2)

merupakan bahasa regional penduduk terbesar di Asia Tenggara sedangkan bahasa

Inggris merupakan bahasa internasional yang berasal dari kawasan Eropa Barat.

Menurut Tou (1997:27) konsep penerjemahan dapat dibedakan atas tiga hal,

yaitu (1) teori fenomena, (2) fenomena studi, dan (3) praktik atau kegiatan

mengerjakan fenomena tersebut. Skema berikut diciptakan untuk memberikan

gambaran yang lebih jelas tentang konsep yang diadopsi seorang peneliti. Sebagai

fenomena studi, penerjemahan bisa diklasifikasikan ke dalam tiga kategori berbeda,

yaitu penerjemahan sebagai fenomena bahasa, penerjemahan sebagai fenomena bukan

bahasa, dan penerjemahan sebagai fenomena bahasa/bukan bahasa.

Figura 2.4: Skema Penerjemahan (Adaptasi dari Choliludin, 2007:21)

TEORI FENOMENA - teori penerjemahan - translatologi - ilmu penerjemahan - translatik - kajian penerjemahan

FENOMENA STUDI

PENERJEMAHAN Fenomena bahasa Intralingual - penerjemahan monolingual Penerjemahan Interlingual - penerjemahan bilingual - penrjemahan multilingual Penerjemahan Intersemiotik - fenomena bukan bahasa - fenomena bahasa/bukan bahasa

KEGIATAN MENGKAJI FENOMENA

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II(2)

Pada hakikatnya, penerjemahan mencakup pemakaian dua bahasa dengan ide

atau makna yang sama (Beekman dan Callow, 1974:58-59). Oleh karena itu,

penerjemahan yang benar adalah penerjemahan yang dapat mentransfer makna dari

bahasa sumber ke bahasa sasaran. Kemampuan menerjemah selain berkaitan dengan

kemampuan menguasai kosa kata, struktur bahasa juga harus dapat memahami situasi

komunikasi dan konteks budaya bahasa sumber, sehingga dapat mentransfer ke dalam

kosa kata, struktur, dan konteks budaya bahasa sasaran (Larson, 1984:15).

Sejalan dengan pendapat di atas, translasi dan penerjemahan berhubungan erat

dengan cara memahami bahasa. Menurut Halliday dan Hasan (1985:5-8), cara

memahami bahasa terletak pada kajian sebuah teks yang memiliki konteks di

dalamnya. Maka dalam proses yang sama, konteks dan teks adalah aspek. Gagasan

tentang sesuatu yang menyertai teks yang melewati batas, yang dikatakan dan ditulis

meliputi nonverbal lain yang muncul dalam lingkungan total yang diungkap. Maka,

lingkungan total yang berlaku sebagai penghubung antara teks dan situasi yaitu tempat

teks yang sebenarnya itu muncul dan ini disebut konteks situasi.

Setiap teks, baik lisan maupun tulisan, mengungkap makna dalam konteks

penggunaannya. Oleh karena itu, bahasa dalam hubungannya dengan struktur sosial

menimbulkan konsekuensi untuk menggambarkan konteks yang diperankan bahasa.

Contoh fenomena ini sering dialami oleh Bronislaw Malinowski. Malinowski

menghadapi masalah cara menerjemahkan atau menyampaikan pikirannya tentang

bahasa dan budaya Kariwian di Pulau Trobriand pada para pembaca penutur bahasa

Inggris. Budaya yang dia pelajari berbeda dengan budaya orang inggris. Malinowski

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II(2)

kemudian mengadopsi berbagai metode. Pada tahap ini, dia memperkenalkan konsep

konteks situasi dan konteks budaya; dan dia menganggap bahwa keduanya sama-sama

penting bagi pemahaman terhadap sebuah teks sebelum menerjemahkannnya

Di dalam proses penerjemahan, penerjemah hanyalah seorang komunikator

yang menjembatani alur informasi dari penulis dan pembaca yang semestinya bisa

menghilangkan sedemikian rupa campur tangan atau subyektivitas. Untuk itu setiap

penerjemah perlu memiliki suatu pedoman dalam pemadanan dan pengubahan

(Machali, 2000:104). Newmark (1988:4) menilai bahwa sebuah teks yang akan

ditranslasikan dapat ditarik ke sepuluh arah dalam analisis sebelum dialihkan.

Dinamika penerjemahan ini digambarkan sebagai berikut.

Figura 2.5 Dinamika Translation (Newmark, 1988:4)

9 The truth (the facts of the matter)

1 SL writer

2 SL norm

3 SL culture

4 SL setting and tradition

5 TL relationship 6 TL norm 7 TL culture 8 TL setting and tradition

TEXT

10 Translator

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II(2)

Terlepas dari berbagai kemungkinan keputusan yang bisa diambil oleh

penerjemah dalam proses penerjemahan sebagai akibat dari keragaman faktor penentu

tersebut di atas, Machali (2000:105) memberikan suatu pegangan dasar dalam proses

penerjemahan. Machali menilai bahwa gambar dinamika penerjemahan Newmark

tersebut menunjukkan, bahwa yang terletak paling atas adalah ‘truth’ kebenaran

berupa fakta atau substansi permasalahan yang akan diterjemahkan yang dibahas

dalam teks atau ‘field’ menurut Halliday. Sejauh perubahan yang ada tidak

menyebabkan perubahan truth (tetap mempertahankan makna referensial) maka

kesepadanan masih dapat berterima. Perubahan atau pergeseran lain yang menyangkut

kaidah bahasa (nomor 2 dan 6 dalam dinamika translasi tersebut) tidak membuat

bergesernya ‘truth’ sehingga masih berterima. Dinamika tersebut di atas memberi

peluang terjadinya campur tangan penerjemah. Machali (2000:106) mengungkapkan

bahwa campur tangan penerjemah dalam proses penerjemahan disebabkan oleh:

(1) merupakan terjemahan manusia (human translation) bukan terjemahan mesin

(machine translation);

(2) bahasa bukanlah sebuah “jaket pengaman” yang mengikat pemakainya

(penerjemah) untuk hanya memilih satu bentuk tertentu; dan,

(3) penerjemah (manusia) mempunyai keunikan (pandangan, prasangka, dll.)

2.3.1 Model-model Translasi

Larson (1984:17) menyatakan bahwa saat menerjemahkan sebuah teks, tujuan

penerjemah adalah mencapai translasi idiomatik yang sedemikian rupa, berusaha

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II(2)

untuk mengkomunikasikan makna teks bahasa sumber ke dalam bentuk alami dari

bahasa sasaran. Oleh karena itu, penerjemahan merupakan kegiatan yang berkenaan

dengan studi tentang leksikon, struktur tata bahasa, situasi komunikasi, dan konteks

budaya teks bahasa sumber yang dianalisis dengan maksud untuk menentukan

maknanya. Makna yang ditemukan kemudian diungkapkan dan dikonstruksikan

kembali dengan menggunakan leksikon dan struktur tata bahasa dan konteks

budayanya.

Di dalam hal ini, Larson (1984:4) secara sederhana menampilkan diagram

proses menerjemah suatu bahasa.

Figura 2.6 Proses Translasi Model Larson (Diadaptasi dari Choliludin, 2007:31)

Teks yang Diterjemahkan

MAKNA

Makna yang Diekspresikan Kembali

Translasi

Menemukan Makna

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter II(2)

Di samping itu, Johannes (1979) membagi bahasa penerjemahan atas dua

bagian, yaitu bahasa keilmuan dan bahasa sastra. Menurutnya penerjemahan bahasa

keilmuan harus mempunyai kriteria-kriteria denotatif sebagai berikut.

(1) bahasa yang dipergunakan adalah bahasa resmi bukan bahasa pergaulan

(2) mempunyai sifat formal dan objektif

(3) mempunyai nada yang tidak emosional

(4) perlu memperhatikan keindahan bahasa

(5) menghindari kemubaziran (redundancy)

(6) mempunyai isi yang lengkap, jelas, ringkas, meyakinkan, tepat dan padat.

Bahasa sastra berbeda dalam pemakaian ungkapan dan kiasan, yang tidak

dijumpai dalam bahasa ilmu. Kriteria-kriteria bahasa sastra ialah sebagai berikut:

(1) bahasa sastra bersifat konotatif

(2) bahasa sastra mengutamakan keindahan sedangkan bahasa ilmu tidak.

(3) bahasa sastra bersifat elastis merupakan dasar karya-karya sastra, sementara

karya-karya ilmiah mengutamakan kepadatan isi.

2.3.2 Alasan Memilih Teori Translasi Larson dan Cadford

Teori translasi mempunyai kelebihan, yaitu dapat memenuhi keinginan peneliti

dalam penyelesaian masalah budaya di dalam penerjemahan. Budaya di sini mencakup

segala sesuatu yang secara historis tercipta karena pola berpikir suatu masyarakat baik

tersurat maupun tersirat, baik yang rasional maupun irrasional. Secara garis besar

kesulitan-kesulitan dalam penerjemahan dapat dibedakan menjadi dua kategori besar.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Chapter II(2)

Kedua kategori ini adalah kesulitan yang berkaitan dengan kebahasaan ‘linguistic

problems’ dan kesulitan yang bersifat non kebahasaan ‘nonlinguistic problems.’

Selanjutnya, dalam penerjemahan adanya perbedaan antara sistem bahasa

sumber dan sistem bahasa sasaran juga ditunjukkan oleh perbedaan struktur baik

tataran kata, frasa, klausa, dan kalimat. Dalam bahasa Inggris, inconceivable ditulis

sebagai satu kata tetapi terdiri atas tiga morfem: in, conceive, dan able. Jika kata itu

dialihkan ke dalam bahasa Indonesia, translasinya akan berbunyi: tidak dapat

dipikirkan atau tidak dapat dibayangkan. Persoalan-persoalan seperti ini dapat dicari

solusinya dengan menggunakan teori penerjemahan yang berorientasi pada penetapan

tema dan rema dalam teks bahasa sumber dan translasinya.

Berdasarkan penjelasan di atas, proses translasi adalah proses mengekspresikan

kembali makna teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran tanpa mengubah makna

bahasa sumber tersebut. Untuk itu, penelitian ini menerapkan teori translasi Larson

dan Cadford. Hal ini disebabkan di dalam penerjemahan ada kesulitan yang

disebutkan kesulitan bahasa ‘linguistik’ dan kesulitan budaya. Catford (1965)

mengatakan kesulitan ialah kesulitan yang berkaitan dengan unsur-unsur budaya. Hal

yang sama juga disebutkan oleh Larson (1984) bahwa salah satu masalah yang paling

sulit dalam penerjemahan ialah perbedaan antara budaya.

Penerjemahan adalah masalah latar belakang budaya dari penerjemah.

Walaupun kemampuan menerjemah seseorang baik karena menguasai bahasa sumber

dan bahasa sasaran dengan kuantitas yang sama artinya, orang tersebut mengetahui

perbedaan persepsi linguistik bahasa sumber dan sasaran. Si penerjemah juga diminta

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Chapter II(2)

meguasai konteks estetika dan budaya bahasa sumber dan sasaran sehingga dengan

pengetahuan materinya yang memadai, ia melakukan mampu penerjemahan.

Menurut Halliday (1985) langkah pertama dalam menerjemah adalah

menemukan makna yang terkandung melalui analisis makna. Menganalisis teks

dengan menggunakan seperangkat framework akan memberikan gagasan

komprehensif pada para pembaca untuk menghasilkan sebuah hasil translasi. Setiap

teks baik lisan maupun tulisan mengungkap makna dalam konteks penggunannya.

Jadi, dengan konteks di sekitar teks, teks menciptakan makna. Untuk dapat memahami

makna teks dapat dilakukan dengan menggunakan framework seperti berikut ini.

Figura 2.7: Kedudukan Teks, Konteks, dan Makna dalam Wacana

TEKS KONTEKS Metafungsi bahasa Konteks Situasi - fungsi ideasional - medan wacana - fungsi antarpersona - pelibat wacana - fungsi tekstual - sarana wacana

Konteks Budaya - institusional - ideasional

Intertekstual - teks yang berkaitan Intratekstual - koherensi - kohesi

MAKNA

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Chapter II(2)

Berdasarkan figura di atas dapat dipahami bahwa teks, konteks dan makna

adalah tiga unsur yang salig berkaitan erat. Makna teks terealisasi melalui fungsi

ideasional, antarpersona, tekstual, dan konteks berperan mempengaruhi makna yang

disampaikan oleh teks. Dengan demikian, teks mengungkapkan maknanya dalam

kaitanya dengan konteks yang terdapat di dalam teks tersebut.

2.3.3 Kerangka Konsep Pergeseran dalam Translasi

Catford (1965:20) menegaskan konsep pergeseran bisa dilihat dari dua

perspektif yang berbeda tentang translasi: (1) translasi sebagai produk, (2) translasi

sebagai suatu proses. Sebagai produk, konsep pergeseran formal identik dengan

konsep pergeseran yang mengacu pada suatu peristiwa atau keadaan di mana sebuah

padanan di seleksi dari bahasa sasaran dalam proses penerjemahan tidak menunjukkan

kesejajaran bentuk teks (unit, struktur, ataupun kelas) dalam bahasa sumber. Sebagai

suatu proses, pengertian pergeseran formal sejajar dengan istilah transposisi

(transposition) yang dikemukakan oleh Newmark (1988) yaitu suatu cara atau

prosedur penerjemahan melalui perubahan bentuk gramatikal dari bahasa sumber ke

dalam bahasa target.

Catford (1965:73-82) membedakan pergeseran dalam translasi ke dalam dua

jenis sebagai-berikut.

(1) level shift yang muncul di permukaan dalam bentuk item bahasa sumber pada

level linguistik tertentu mempunyai padanan dalam level yang berbeda.

Misalnya, tataran gramatika berpadanan dengan leksis.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Chapter II(2)

(2) category shift yaitu suatu istilah generik yang mengacu pada pergeseran yang

mencakup empat kategori sebagai berikut.

a. structure-shifts, yakni pergeseran struktur yang menyangkut perubahan

gramatikal antara struktur bahasa sumber dan sasaran.

b. class-shifts, yakni pergeseran kelas bila kata dalam bahasa sumber

dipadankan dengan bahasa sasaran mempunyai kelas gramatikal yang

berbeda.

c. unit-shifts, yakni pergeseran unit yang menyangkut perubahan ‘rank’

misalnya dari kata diterjemahkan menjadi frasa.

d. intra-system-shifts, yakni pergeseran intra sistem yang terjadi bila secara

formal bahasa sumber dan target mempunyai kondisi yang kelihatannya

sejajar tetapi secara konstituen mempunyai perbedaan. Misalnya, bentuk

tunggal dalam bahasa sumber menjadi bentuk jamak dalam bahasa

sasaran.

Al Zouby dan Al Asnawi (2001) mendefinisikan pergeseran (shift) sebagai

tindakan wajib yang disebabkan oleh adanya perbedaan struktur dua bahasa yang

terlibat dalam penerjemahan dan tindakan operasional yang ditentukan oleh preferensi

personal dan stilistik yang dilakukan secara sadar untuk menghasilkan translasi yang

alamiah dan komunikatif dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Mereka

membedakan pergeseran ke dalam dua jenis yakni pergeseran mikro (micro shift) dan

pergeseran makro (macro shift). Pergeseran mikro bisa berwujud pergeseran vertikal

yang mengarah ke atas jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan unit yang lebih

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Chapter II(2)

tinggi ‘rank’nya atau mengarah ke bawah jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan

unit yang lebih rendah ‘rank’nya, sedangkan pergeseran horizontal adalah jika

padanan dalam bahasa sumber berada pada ‘rank’ yang sama dengan bahasa sasaran.

Pergeseran makro melibatkan semua variabel tekstur, budaya, gaya, dan retorik yang

memungkinkan terjadinya pergeseran pada tataran selain tataran sintaksis.

Berdasarkan penjelasan di atas, pergeseran dalam penerjemahan terjadi karena

berbagai aspek, bergantung pada konteksnya. Di dalam hal ini, Zellermeyer (1987)

menjelaskan bahwa pergeseran (shift) dalam penerjemahan sebagai ‘metamessages’.

Pergeseran dapat terjadi karena adanya penambahan (addition), penghilangan

(delition), substitusi (substitution), dan penyusunan kembali (reordering).

2.4 Teori Systemic Functional Linguistics

Penelitian ini menggunakan teori Systemic Functional Linguistics yang

dikemukakan oleh Halliday. Teori Systemic Functional Linguistics ini di Indonesia

memperoleh dua penerjemahan yang menjadi rujukan teks berbahasa Indonesia dalam

penelitian ini. Terjemahan pertama adalah Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) oleh

Tengku Silvana Sinar dalam bukunya Teori dan Analisis Wacana: Pendekatan

Sistemik-Fungsional (terbit 2003 dan dicetak ulang 2008). Terjemahan kedua

Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) oleh Amrin Saragih dalam bukunya Bahasa

dalam Konteks Sosial: Pendekatan Lunguistik Fungsional Sistemik terhadap Tata

Bahasa dan Wacana (2006) dan Fungsi Tekstual dalam Wacana: Panduan Menulis

Rema dan Tema (2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Chapter II(2)

Menurut Sinar (2008:14), teori ini meyakini bahwa bahasa atau teks selalu

berada pada konteks pemakaiannya. Secara historis, menurut Saragih (2007:1), teori

ini dikembangkan oleh Halliday (2004) dan para pakar lainnya, seperti Martin (2003),

Halliday dan Matthiessen (2001), Kress (2002). Teori ini berkembang di Inggris,

tetapi perkembangannya sangat pesat terutama di Universiy of Sydney, Australia sejak

Linguistics Department dibuka di universitas itu pada 1976.

Sinar (2003:14) menjelaskan istilah ‘Teori Linguistik’ mempunyai dua

implikasi. Implikasinya, analisis wacana harus menggunakan teori bahasa yang

memiliki kerangka penelitian analisis wacana dalam konteks linguistik dengan

mengikuti prinsip-prinsip teori Systemic Functional Linguistics. Kemudian, investigasi

fenemona analisis wacana mengisyaratkan pemilihan pendekatan bahasa yang secara

interpretatif bersifat semiotik, tematis, dan antardisiplin.

Selanjutnya, Sinar (2003:15) bersepakat bahwa istilah ‘Sistemik’ berimplikasi

kepada tiga hal. Ketiga hal itu mengisyaratkan bahwa analisis bahasa untuk

memperhatikan hubungan sistem(ik) dalam berbagai kemungkinan pada jaringan

sistem hubungan dan dapat memulai pilihan dari dari fitur umum ke spesifik, yang

vertikal atau paradigmatik. Di samping itu, fenomena yang diinvestigasi melibatkan

sistem-sistem makna. Sistem-sistem makna tersebut mendasari analisis bahasa, baik

berada di belakangnya, di bawahnya, di atasnya, di sekelilingnya, atau di seberang

fenomena yang sedang diinvestigasi.

Sebaliknya, istilah ‘Fungsional’ mengimplikasikan tiga hal. Ketiga hal tersebut

menekankan bahwa analisis wacana memberi perhatian pada realisasi fungsional

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Chapter II(2)

sistem dalam struktur-struktur dan pola-pola yang secara struktur bersifat horizontal

dan sintagmatis. Perhatian juga ditujukan pada fungsi-fungsi atau makna-makna yang

ada dalam bahasa tersebut dan fungsi-fungsi atau makna-makna yang beroperasi di

dalam tingkat dan dimensi bervariasi dalam bahasa yang bersangkutan.

Menurut Saragih (2007:1-6), pendekatan fungsional memiliki tiga pengertian,

yang saling bertaut. Pertama, pendekatan fungsional berpendapat bahwa bahasa

terstruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain,

bahasa terstruktur berdasarkan tujuan penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan

untuk suatu fungsi atau tujuan disebut teks (text). Oleh karena itu, teks yang digunakan

untuk menceritakan peristiwa (narasi) terstuktur berbeda dengan teks yang digunakan

untuk melaporkan satu peristiwa (laporan), kecenderungan tata bahasa dalam teks

sejarah berbeda dengan teks fisika, dan struktur teks politik berbeda dengan teks

kesastraan.

Dengan pengertian fungsional yang pertama ini, teks dinterpretasikan

berdasarkan konteks sosial, yakni segala unsur yang terjadi di luar teks. Dengan kata

lain, konteks sosial memotivasi pengguna atau pemakai bahasa menggunakan struktur

tertentu. Konteks sosial yang mempengaruhi bahasa ini dalam teori Systemic

Functional Linguistics terdiri atas konteks situasi (register) dan budaya (culture) yang

di dalamnya termasuk ideologi (ideology).

Konteks situasi mengacu kepada kondisi dan lingkungan yang mendampingi

atau sedang berlangsung ketika penggunaan bahasa berlangsung atau ketika interaksi

antarpemakai bahasa terjadi. Menurut Halliday dan Hasan (1985) dalam Butt, dkk.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Chapter II(2)

(2003:4) konteks situasi terdiri atas tiga unsur, yaitu field, tenor, dan mode of

discourse. Ketiga unsur tersebut mengandung arti (1) medan (field), yakni apa—what

yang dibicarakan dalam interaksi, (2) pelibat (tenor), yakni siapa—who yang terkait

atau terlibat dalam interaksi, dan (3) cara (mode), yakni bagaimana—how interaksi

dilakukan.

Lebih lanjut, Halliday (1974) dalam Saragih (2007:2) menegaskan bahwa

bahasa adalah fenomena antarmanusia yang disebut sebagai interorganism, yang

berbeda dengan pendapat para pakar linguistik formal, misalnya Chomsky yang

berpendapat bahasa sebagai fenomena intraorganism atau hal yang terjadi di dalam

diri manusia. Dengan kata lain, secara spesifik para pakar Systemic Functional

Linguistics mengamati, bahwa struktur teks ditentukan oleh unsur yang ada di luar

teks, yakni konteks sosial. Hubungan antara teks dan konteks sosial adalah hubungan

construal, yakni saling menentukan, konteks sosial menentukan teks dan teks

menentukan konteks sosial. Dengan kata lain, pada suatu saat konteks sosial terbentuk

dan konteks sosial ini mempengaruhi teks. Pada saat berikutnya, teks yang wujud itu

merujuk dan membentuk konteks sosialnya.

Kedua, berkaitan dengan pengertian fungsional pertama, fungsi bahasa dalam

kehidupan manusia mencakup tiga hal, yaitu (1) memaparkan atau menggambarkan

(ideational function), (2) mempertukarkan (interpersonal function), dan (3) merangkai

(textual function) pengalaman manusia. Ketiga fungsi ini disebut metafungsi bahasa

(metafunction), yakni fungsi bahasa untuk penggunaan bahasa. Masing-masing fungsi

direalisasikan oleh tata bahasa yang berbeda sifatnya dan tidak saling berhubungan.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Chapter II(2)

Dengan demikian, dalam perspektif Systemic Functional Linguistics, tata bahasa

(lexicogrammar) merupakan teori tentang pengalaman manusia, yakni teori yang

mencakupi paparan, pertukaran, dan organisasi pengalaman manusia. Dari ketiga

fungsi itu, kajian ini berkaitan dengan fungsi tekstual. Akan tetapi, karena uraian

mengenai pemakaian bahasa mencakup metafungsi bahasa, maka uraian tentang

fungsi tekstual akan dikaitkan dengan dua fungsi yang lain secara parsial atau jika

fungsi eksperiensia atau antarpersona menambah kejelasan uraian fungsi tekstual.

Pengertian fungsional ketiga adalah setiap unit bahasa adalah fungsional

terhadap unit yang lebih besar, yang di dalamnya unit itu menjadi unsur. Dengan

pengertian ini ditetapkan bahwa morfem adalah fungsional di dalam kata, kata adalah

fungsional dalam grup atau frase, grup atau frase adalah fungsional dalam klausa, dan

klausa menjadi unsur fungsional dalam klausa kompleks. Dengan pandangan ini, para

pakar Systemic Functional Linguistics berpendapat bahwa dalam mengkaji satu unit

linguistik, unit linguistik itu dikaji dari tiga posisi, yakni dari (1) unit yang lebih besar

di atasnya yang di dalam unit di atasnya itu unit linguistik itu menjadi elemen/

konstituen, (2) unit yang lebih kecil di bawahnya yang menjadi elemen/konstituen dan

membangun unit bahasa yang dikaji, dan (3) unit yang setara atau sama posisinya

dengan unit kajian.

Fungsi tekstual bahasa menunjukkan bagaimana pesan dalam bahasa dirangkai

agar menjadi teks yang padu. Secara struktural, untuk merangkai pesan dalam klausa,

dua aspek tata bahasa digunakan, yaitu Tema dan Rema. Struktur Tema di dalam

klausa, menurut teori Systemic Functional Linguistics, ditentukan oleh konteks sosial.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Chapter II(2)

Sebagai bagian dari konteks situasi, unsur cara berkait dengan struktur Tema. Dengan

kata lain, cara berkaitan langsung atau mempengaruhi stuktur Tema dan Rema.

Selanjutnya, cara sebagai bagian dari konteks situasi atau register merupakan realisasi

ideologi. Sebagai unsur semiotik sosial di atas register, terdapat konteks budaya yang

menjadi penentu cara. Dengan kata lain, budaya secara parsial menentukan struktur

Tema dan Rema.

Menurut Saragih (2007:5-6), bahasa digunakan untuk menyampaikan pesan.

Dalam menyampaikan pesan secara berpola, bahasa memiliki aturan bahwa pesan

yang disampaikan tersebut disusun atau dirangkai dengan baik. Dengan demikian,

bahasa berfungsi untuk merangkai pengalaman yang di dalam rangkaian itu terbentuk

keterkaitan, satu (unit) pengalaman (dalam experiential meaning dan interpersonal

meaning) relevan dengan pengalaman yang telah dan akan disampaikan sebelum dan

sesudahnya. Dengan tugasnya membentuk kerelevanan pengalaman dengan

pengalaman lain agar membentuk satu kesatuan (oneness), fungsi tekstual berkaitan

dengan lingkungan atau konteks satu pengalaman linguistik.

Dalam satu situasi atau kesempatan, sumber daya (resources) bahasa (kata,

frase, dan klausa) memiliki kemampuan yang sama untuk (pertama kali) muncul

dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, menurut Saragih (2006:106), ”Semua sumber

daya bahasa memiliki probabilitas yang sama untuk muncul pertama kali. Akan tetapi,

pada saat satu sumber daya muncul pertama sekali, pemunculannya telah menghalangi

atau mengurangi kemungkinan pemunculan sumber daya lain.”

Universitas Sumatera Utara

Page 29: Chapter II(2)

Contohnya, apabila penutur telah mengucapkan klausa Banjir di desa itu

telah membawa korban jiwa, pemunculan klausa Ketegangan di Bangkok antara

kelompok baju merah dan pemerintah meningkat tidak relevan lagi. Sebagai akibat

pemunculan banjir di desa itu, klausa yang lebih relevan adalah Regu penolong dan

bantuan pangan telah didatangkan. Ini berarti, pemunculan sumber daya bahasa

pertama sekali memegang peran penting dalam pemunculan sumber daya yang lain.

Sumber daya bahasa yang pertama disampaikan, yang disebabkan oleh pengaruh

konteks pemakaian bahasa, memiliki fungsi yang berbeda bagi penutur (addresser)

dan mitra tutur (addressee). Bagi penutur unsur pertama ini merupakan unsur penting.

Unsur pertama inilah yang akan diuraikan dalam sumber daya berikutnya atau yang

menjadi tumpuan dalam pemunculan sumber daya berikutnya. Sumber daya pertama

dalam satu unit pengalaman atau klausa dalam perspektif penutur disebut Tema

(Theme) dan sumber daya bahasa berikutnya setelah tema disebut Rema (Rheme).

Bagi mitra tutur, unsur pertama menjadi tidak jelas atau hilang karena sudah

terlalu lama terdengar dalam bahasa lisan. Sementara itu, unsur yang terakhir menjadi

jelas karena terakhir disampaikan dan masih dapat disimak dalam proses penuturan.

Dengan demikian, dari perspektif pendengar atau mitra tutur, unsur pertama disebut

Lama (Given), sementara unsur terakhir disebut Baru (New).

2.4.1 Alasan Memilih Teori Systemic Functional Linguistics

Teori Systemic Functional Linguistics adalah teori yang memandang bahwa

kajian bahasa tidak terlepas dari konteksnya. Berkaitan dengan penelitian ini, kajian

Universitas Sumatera Utara

Page 30: Chapter II(2)

translasi tidak lepas dari kajian terhadap teks dan konteks. Dalam hal ini, baik teks dan

hasil translasi merupakan produk teks yang baru dan itu merupakan unit bahasa yang

fungsional dalam konteks sosial. Artinya, teks sumber dan teks sasaran adalah unit arti

atau unit semantik dan dapat direalisasikan oleh berbagai unit tata bahasa.

Teori Systemic Functional Linguistics sangat potensial dengan berbagai

dimensi analisis dalam teks dan wacana. Dalam dimensi bahasa, analisis dapat

dilakukan terhadap tiga strata bahasa yaitu semantik, leksikogramatika, dan fonologi

atau ortografi. Ketiga strata ini mempunyai pengertian bahwa suatu makna

direalisasikan ke dalam tata bahasa atau disebut leksikogramatika dan akhirnya

direalisasikan ke dalam bunyi bahasa ataupun tulisan.

Selaras dengan penjelasan di atas, analisis juga dapat diterapkan kepada teks

sumber dan teks sasaran translasi. Analisis kedua teks tersebut dapat diterapkan dari

dimensi rangkaian teks (cohesion) dan dimensi koherensi yang merupakan susunan

tata cara yang terjalin erat dan teratur satu sama lain.

Pendekatan Systemic Functional Linguistics terhadap analisis teks juga

mencakup analisis konteks. Konteks atau konteks sosial (context) selalu menyertai

teks dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Halliday mengistilahkan construal

yaitu adanya hubungan konstrual bahwa konteks sosial yang menentukan dan

ditentukan oleh teks. Menurut Halliday (1978) dalam Saragih (2007:2), konteks sosial

terbagi tiga yaitu konteks situasi (register), konteks budaya (genre), dan konteks

ideologi. Konteks situasi merupakan unsur yang penting dalam bahasa karena manusia

berbicara atau menulis harus disesuaikan dengan konteks situasinya.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: Chapter II(2)

Kelebihan lainnya teori Systemic Functional Linguistics adalah pada analisis

konteks budaya teks sebagai aktivitas sosial bertahap untuk mencapai suatu tujuan

keberhasilan teks mencapai sasarannya. Teori ini memandang teks mempunyai ciri

budaya yang memberi karakteristik atau fitur pada teks tersebut. Dalam suatu interaksi

sosial teks, ia harus melalui suatu tahapan untuk menghasilkan tujuan yang tepat

sasaran dan setiap teks membawa misi yang berbeda sehingga dengan demikian teks

ini juga menghasilkan karakteristik tahapan yang berbeda-beda.

Konteks budaya disebut juga dengan genre yaitu kegiatan berbahasa yang

bertahap, bermatlamat sebagai aktivitas yang berorientasi pada tujuan di mana

penulis/penutur melibatkan diri sebagai anggota-anggota dari budaya itu sendiri

(Sinar, 2003:68). Selanjutnya, konteks teks mempunyai ideologi yang merujuk sikap,

nilai yang dikontruksikan secara sosial menjadi konsep yang diyakini oleh masyarakat.

Dengan demikian, bahasa yang terdiri atas unsur makna (semantik, tata bahasa

(leksikogrammar) dan bunyi (fonologi) mempunyai konteks situasi budaya di atasnya.

Ketiga jenis konteks ini direalisasikan oleh bahasa seperti terdapat dalam diagram

berikut.

Figura 2.8: Hubungan Teks dan Konteks (Saragih, 2006:3)

Ideologi

Budaya

Situasi

Semantik Tata Bahasa Fonologi

Universitas Sumatera Utara

Page 32: Chapter II(2)

Untuk itu semua, maka peneliti akhirnya memilih teori Systemic Functional

Linguistics. Hal ini dimaksudkan agar di dalam perjalanan panjang penelitian ini dapat

mengeksplorasi teks dengan memahami dan mengkaji unsur-unsur yang terdapat di

dalam bahasa, yaitu analisis tekstual dan di luar bahasa yaitu konteks sosial bahasa

yang mencakup konteks situasi (register). Hal itu disebabkan bahasa tidak dapat

dipisahkan dari konteksnya. Dengan kata lain, untuk memahami bahasa maka

sebaiknya memahami konteks.

2.4.2 Berbagai Model Systemic Functional Linguistics

Berbagai model Systemic Functional Linguistics telah dikembangkan oleh

Halliday di Universitas Sydney dan para pengikut teori ini. Di antaranya, model

Systemic Functional Linguistics telah dirancang dan dikembangkan oleh Fawcet di

Universitas Cardiff, Gregory di Universitas York, yang kemudian diterapkan oleh

Young di Universitas Leuven Catholic, model Martin di Universitas Sydney, dan

model Halliday yang dikembangkan oleh Matthiessen di Universitas Macquarie.

Model Systemic Functional Linguistics dirancang dan dikembangkan oleh para

pengikut teori ini dengan didasarkan pada hubungan bahasa dan konteksnya. Bahasa

dibangun atas unsur makna yang dirangkaikan atau disusun menurut strukturnya

(lexicogrammar) yang pada akhirnya direalisasikan ke dalam bunyi (fonologi) ataupun

tulisan (grafologi). Halliday (1991:8) menganggap bahwa terdapat hubungan yang erat

antara bahasa dan konteks sebagaimana terlihat dalam figuru berikut ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 33: Chapter II(2)

Figura 2.9: Bahasa dan Konteks (Adaptasi dari Halliday, 1991:8) sistem (potensi) instan konteks fungsi bahasa BUDAYA SITUASI

(ranah budaya) (Jenis situasi) bahasa SISTEM TEKS Note: kiri – kanan = instansiasi [cf. iklim cuaca] atas– bawah = realisasasi [dalam bahasa, leksikogramatika, fonologi]

Selanjutnya, Martin (1993) dalam Sinar (2008:8-9) menjelaskan dalam

rancangannya bahwa bahasa berada di dalam konteks sosial. Konsekuansinya, untuk

memahami bahasa harus memahami konteks sosialnya juga karena bahasa sebagai

sistem semiotik merealisasikan konteks sosial sebagai sebuah sistem sosial.

Figura 2.10: Bahasa sebagai Realisasi Konteks Sosial (Adaptasi dari Martin, 1993:142)

Universitas Sumatera Utara

Page 34: Chapter II(2)

Selain itu, Matthiessen (1993) dalam Sinar (2008:17) merancang stratifikasi

bahasa dalam konteks. Ia berpendapat bahwa di dalam bahasa terdapat makna

(semantik), di dalam makna terdapat leksikogrammar dan di dalam leksikogrammar

terdapat fonologi. dengan demikian bahasa meliputi tiga unsur sekaligus yaitu

semantik, leksikogrammar, dan semantik.

Figura 2.11: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks (Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227)

bahasa

leksikogramatika

semantik

Konteks: sistem makna tingkat lebih tinggi

Isi

Fonologi ekspresi

Berikut ini adalah perbandingan enam model konteks dalam kerangka teori

Systemic Functional Linguistics oleh beberapa pakar.

Universitas Sumatera Utara

Page 35: Chapter II(2)

Figura 2.12: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks (Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227; lihat juga Sinar, 2008:55)

Konteks Halliday (1964)

Gregory (1967)

Ure & Elis (1977)

Halliday (1978)

Fawcett (1980)

Martin (1992)

Budaya Genre Medan Wacana

Medan Wacana

Medan Wacana

Medan Wacana

Pokok Persoalan

Medan Wacana

Pelibat Wacana personal

Formalitas Tujuan Hubungan

Pelibat Wacana

Pelibat Wacana fungsional

Peran

Pelibat Wacana

Tujuan pragmatik

Pelibat Wacana

Situasi

Sarana Wacana

Sarana Wacana

Sarana Wacana

Sarana Wacana

Sarana Wacana

Sarana Wacana

Berdasarkan perbandingan di atas dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan

konteks situasi. Halliday membagi konteks situasi menjadi tiga, yaitu medan wacana,

pelibat wacana dan sarana wacana. Sedangkan Martin menggunakan genre sebagai

rujukan untuk konteks budaya. Berbeda dengan Halliday dan Martin, Gregory

membagi pelibat wacana menjadi dua bagian pelibat wacana personal dan fungsional,

sedangkan Ure dan Elis membagi pelibat wacana ke dalam dua bagian formalitas dan

peran. Fawcet membagi pelibat wacana berdasarkan tujuan hubungan dan pragmatik.

2.4.3 Kerangka Konsep Systemic Functional Linguistics

Di dalam konsep Systemic Functional Linguistics dijelaskan bahwa (1) bahasa

merupakan sistem semiotik dan (2) bahasa juga bersifat fungsional (3) bahasa

berfungsi untuk membuat makna dan bahasa mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi

memaparkan pengalaman yang disebut dengan fungsi ideasional, fungsi

Universitas Sumatera Utara

Page 36: Chapter II(2)

mempertukarkan pengalaman atau fungsi antarpersona dan fungsi merangkaikan

pengalaman atau fungsi tekstual, dan (4) bahasa bersifat kontekstual.

2.4.3.1 Bahasa adalah Sistem Semiotik Sosial

Systemic Functional Linguistics berbeda dengan aliran linguistik lain karena

berdasarkan teori ini, bahasa dipandang sebagai fenomena sosial yang wujudnya

sebagai semiotik sosial. Konsep semiotik pada mulanya berasal dari konsep tanda

yang berhubungan dengan istilah ‘semainon’ (penanda). Oleh karena itu, Fawcett

(1984:xiii) mengatakan bahwa semiotik merupakan kajian tentang sistem tanda dan

penggunaannya. Dengan demikian, semiotik bukan sebagai kajian tentang tanda

melainkan sebagai kajian tentang sistem tanda. Dengan kata lain, semiotik sebagai

suatu kajian tentang ‘makna’ yang paling umum.

Sejalan dengan pengertian semiotik di atas, kajian makna suatu bahasa harus

ditempatkan pada konteks sosial. Hal ini membawa implikasi bahasa bertautan dengan

makna dalam budaya. Sudah pasti dalam budaya mana pun banyak cara yang

berkenaan dengan makna yang berada di luar bidang bahasa. Cara-cara tersebut

meliputi baik bentuk-bentuk seni seperti lukisan, ukiran bunyi-bunyian, tarian, dan

lainnya, maupun bentuk-bentuk tingkah laku budaya lainnya yang tidak termasuk

dalam ruang lingkup seni, misalnya ragam pertukaran, pakaian, susunan keluarga dan

seterusnya. Ini semua pembawa makna dalam budaya. Pada hakikatnya, dalam

konteks ini budaya didefinisikan sebagai seperangkat sistem semiotik, sistem makna

yang semuanya saling berhubungan. Pengertian umum tentang semiotik ini tidak dapat

Universitas Sumatera Utara

Page 37: Chapter II(2)

dijelaskan melalui konsep tanda sebagai suatu kesatuan lahiriah, tetapi semiotik

sebagai sistem-sistem makna, yang dapat dipandang sebagai tatanan yang bekerja

melalui semacam bentuk luar keluaran (output) yang disebut tanda, tetapi tatanan-

tatanan itu sendiri bukan perangkat benda tersendiri, melainkan merupakan jaringan-

jaringan hubungan. Dalam arti inilah istilah ‘semiotik’ digunakan untuk melihat

bahasa, yaitu bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara

bersama-sama membentuk budaya manusia.

Istilah sosial dalam konteks bahasa adalah sistem semiotik sosial bersinonim

dengan kebudayaan. Menurut Sinar (2008:21), “Konsep semiotik sosial adalah bahwa

hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti dan arti-arti

ini dipelajari melalui interaksi seseorang dengan orang lain yang melibatkan

lingkungan arti tersebut.” Jadi, semiotik sosial yang dimaksudkan adalah batasan

sistem sosial atau kebudayaan sebagai suatu sistem makna. Istilah ‘sosial’ juga

digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan bahasa dengan struktur sosial,

dengan memandang struktur sosial sebagai satu segi dari sistem sosial. Jadi dalam

pengertian ini, bahasa dijelaskan dengan menggunakan pandangan sosial karena

dimensi sosial sangatlah signifikan dan yang selama ini paling diabaikan dalam

pembahasan-pembahasan bahasa dalam pendidikan.

Bahasa dipandang dari perspektif pendidikan suatu proses sosial. Lingkungan

tempat belajar itu berlangsung dalam suatu lembaga sosial, seperti ruangan kelas atau

sekolah dengan struktur sosialnya yang digariskan dengan lebih jelas atau yang lebih

abstrak, menyangkut sistem sekolah atau jalannya kependidikan. Ilmu pengetahuan

Universitas Sumatera Utara

Page 38: Chapter II(2)

disampaikan dalam konteks sosial melalui hubungan-hubungan seperti orang tua

dengan anak, guru dengan murid atau antarteman sekelas yang digariskan dalam tata

nilai dan ideologi kebudayaan yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, menurut

Halliday (1975) dalam Sinar (2008:20-21), belajar bahasa adalah belajar memaknai

yang mempunyai konsekuensi pada proses belajar mengajar. Dengan demikian,

seseorang dalam aksinya belajar berbahasa sekaligus mempelajari budaya melalui

bahasa yang dipelajari dalam sistem sosial kehidupannya.

2.4.3.2 Bahasa adalah Fungsional

Halliday dan Hasan (1985:10) mendefinisikan teks sebagai bahasa yang

fungsional. Fungsional diartikan sebagai bahasa yang melakukan perkerjaan yang

sama dalam suatu konteks. Di dalam konteks ini, bahasa yang fungsional bukan kata-

kata atau kalimat yang terisolir yang mungkin dituliskan seseorang di atas papan tulis.

Dengan demikian, hakekat teks adalah sebagai entitas semantik, sehingga sebuah teks

harus dipertimbangkan dari dua perspektif sekaligus, baik sebuah produk maupun

sebagai sebuah proses.

Menurut Saragih (2006:3) terdapat tiga pengertian dalam konsep fungsional di

dalam konteks sosial.

(1) Bahasa terstruktur sesuai dengan kebutuhan manusia akan bahasa.

(2) Bahasa berfungsi untuk memaparkan, mempertukarkan dan merangkai

pengalaman. Ketiga fungsi ini disebut dengan metafungsi bahasa.

Universitas Sumatera Utara

Page 39: Chapter II(2)

(3) Satu unit bahasa fungsional terhadap unit lain yang lebih besar. Artinya satu

unit bahasa dapat menjadi unit bahasa yang lebih besar misalnya kata, frase

dan klausa. Bahasa dalam analisis wacana dengan pendekatan linguistik

fungsional sistemik mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi memaparkan,

mempertukarkan dan merangkai pengalaman.

2.4.3.3 Fungsi Bahasa Membuat Makna

Bahasa berfungsi membuat makna. Hal ini dapat dibuktikan ketika manusia

mengekspresikan keperluan-keperluan mereka melalui bahasa, mereka membuat

makna dalam teks. Halliday (1975) dalam Sinar (2008:20) berpendapat bahwa belajar

bahasa adalah belajar memaknai yang mempunyai konsekuensi pada proses belajar-

mengajar. Di dalam hal ini, Halliday (1975:37) memandang pembelajaran bahasa

sebagai belajar memaknai atau mempelajari cara membuat makna. Dengan demikian,

teori Systemic Functional Linguisticsi mempunyai kekuatan pada nilai pendidikan

linguistik.

Fokus Systemic Functional Linguistics terhadap bahasa sebagai institusi sosial

memberi makna khusus teks dan konteks. Hal ini memunculkan pandangan bahwa

bahasa adalah sebuah sistem atau sistem pilihan yang relevan dengan pendidikan

linguistik. Bagi praktisi pendidikan merupakan sesuatu yang penting untuk memahami

perspektif bahwa seseorang belajar dalam proses sosial dan potensinya sangat erat

hubungannya dengan bagaimana seorang anak membuat makna dengan menggunakan

bahasa. Di dalam fungsi bahasa ini, seorang anak dalam aksinya belajar berbahasa, ia

Universitas Sumatera Utara

Page 40: Chapter II(2)

sekaligus mempelajari budaya melalui bahasa yang dipelajarinya. Sistem semiotik

yang dikonstruksikan oleh anak tersebut menjadi sarana utama bagi transmisi budaya.

2.4.3.4 Bahasa adalah Kontekstual

Secara historis, bahasa terikat dengan penutur dan situasi penuturannya. Situasi

penggunaan bahasa seperti ini bersifat kontekstual, sehingga pemahaman makna

bahasa tersebut terikat pada konteks pemakaiannya (Sinar, 2008:23). Konsep konteks

ini merujuk pada hubungan linguistik dengan konteks budaya yang disebabkan oleh

ketergantungan makna linguistik terhadap konteks budaya. Hal ini disebabkan bahasa

merupakan ungkapan ekspresi seseorang dalam merespon kondisi sosial budayanya,

sehingga makna dari setiap kata dalam tingkat tertentu sangat tergantung pada konteks

pembicaraan seseorang.

Halliday dan Hasan (1985) dalam Saragih (2006:4) bahasa adalah kontekstual

karena pemahaman tentang bahasa terletak dalam kajian teks. Ada teks dan ada teks

lain yang menyertainya: teks yang menyertai teks itu disebut konteks. Namun,

pengertian mengenai hal yang menyertai teks itu meliputi tidak hanya yang dilisankan

atau ditulis, tetapi juga meliputi kejadian-kejadian yang nonverbal lainnya pada

keseluruhan lingkungan teks itu. Bahkan, menurut Saragih (2006:4), “Dengan

pengertian konstrual ini, dalam satu konteks sosial tertentu hanya teks tertentu yang

dihasilkan. Sebaliknya, dengan teks tertentu hanya konteks sosial tertentu pula yang

(dapat) dirujuk.”

Universitas Sumatera Utara

Page 41: Chapter II(2)

Dalam teori Systemic Functional Linguistics, konteks terbagi atas konteks

linguistik dan konteks sosial. Konteks linguistik merujuk pada bahasa itu sendiri

sedangkan kontek sosial terbagi atas tiga yaitu (1) konteks situasi yang mencakup

‘field’, ‘tenor’ dan ‘mode’, (2) konteks budaya, dan (3) konteks ideologi. Konteks

situasi diperlukan untuk memahami jenis teks. Konteks situasi yaitu konteks yang

memiliki teks yang mengungkap dan mewakili lingkungan tempat makna itu

dipertukarkan.

Konteks situasi dijabarkan oleh Halliday dan Hasan (1985) dalam Sinar

(2008:56-59) melalui tiga cirinya, yaitu (1) Medan Wacana (Field of Discourse), (2)

Pelibat Wacana (Tenor of Discourse), dan (3) Sarana Wacana (Mode of Discourse).

Ketiga ciri tersebut dijelaskan oleh Halliday dan Hasan (1985) dalam Choliludin

(2007:10-13) berikut ini.

(1) Field of discourse adalah istilah abstrak bagi pernyataan ‘apa yang sedang terjadi’ yang mengacu pada pilihan substansi linguistik si pembicara. Pilihan linguistik yang berbeda dibuat oleh pembicara yang berbeda tergantung pada jenis tindakannya, selain tindakan berbicara langsung yang mereka pandang sendiri saat ikut andil di dalamnya. Misalnya, pilihan linguistik akan beragam menurut andil pembicara masing-masing, apakah ikut dalam pertandingan sepak bola, berpidato politik, melakukan operasi atau membahas tentang obat-obatan.

(2) Tenor of discourse adalah istilah abstrak untuk hubungan antara orang-orang yang ikut andil dalam berbicara.bahasa yang digunakan orang beragam tergantung pada jenis hubungannya, seperti hubungan interpersonal antara ibu dan anak, dokter dan pasien, atau derajat orang atas dan yang rendah seorang pasien tidak akan memakai kata sumpah serapah untuk menyebut seorang dokter di hadapannya dan seorang ibu tidak akan memulai permintaan kepada anaknya dengan mengatakan, “Maaf apakah bisa kalau kamu...” menerjemahkan tenor of discourse secara benar dalam translasi bisa cukup menyulitkan. Hal ini tergantung pada apakah seseorang itu memandang tingkat formalitas teretntu sebagai hal yang ‘benar’ dari sudut pandang budaya bahasa sumber atau dari sudut pandang budaya bahasa sasaran. Misalnya, seorang remaja Amerika boleh menggunakan tenor yang sangat

Universitas Sumatera Utara

Page 42: Chapter II(2)

informal dengan dengan orang tuanya dengan menggunakan nama depan dan bukan dengan panggilan ibu atau ayah. Tingkat formalitas ini akan sangat tidak bisa diterima oleh kebanyakan kebudayaan lain. Seorang penerjemah harus memilih antara mengganti tenornya untuk disesuaikan dengan budaya pembaca sasaran atau tetap seperti aslinya, yaitu mentransfer tenor informalnya untuk memberikan kesan jenis hubungan yang biasa dilakukan oleh para remaja dengan orang tuanya di masyarakat Amerika. Apa yang dipilih penerjemah pada situasi teretntu tentunya akan bergantung pada apa yang dia lihat sebagai tujuan penerjemahan secara menyeluruh.

(3) Mode of discourse mengacu pada jenis peran yang dimainkan bahasa (bicara/pidato, esai, kuliah, instruksi), yaitu jenis peran yang diharapkan partispian terhadap bahasa dalam suatu situasi: organisasi teks yang simbolik, status yang dimiliki dan fungsinya dalam konteks termasuk alat penghubung (lisan/tulisan atau gabungan dari keduanya), dan juga mode retorika, apa yang sedang dicapai oleh teks dalam kondisi kategori berikut ini yaitu persuasif, paparan, didaktis, dan hal senada. Misalnya, seperti ‘re’ adalah kata yang diterima dalam bahasa surat bisnis tetapi sangat jarang digunakan dalam bahasa lisan.

2.4.4 Metafungsi Bahasa

Makna metafungsional adalah makna yang secara simultan terbangun dari tiga

fungsi bahasa, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Fungsi

ideasional mengungkapkan realitas fisik dan biologis serta berkenaan dengan

interpretasi dan representasi pengalaman. Fungsi interpersonal mengungkapkan

realitas sosial dan berkenaan dengan interaksi antara penutur/penulis dengan

pendengar/pembaca. Sementara itu, fungsi tekstual mengungkapkan realitas semiotis

dan berkenaan dengan cara penciptaan teks dalam konteks (Matthiessen, 1995:6;

Halliday & Martin, 1993:29; Halliday & Matthiessen, 1999:7-8).

Berdasarkan penjelasan di atas, makna metafungsional melingkupi tiga jenis

makna, dan realisasinya di dalam teks dapat dilihat dari unsur-unsur leksikogramatika

(lexicogrammar), yaitu cara kata-kata disusun beserta segala akibat maknanya dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 43: Chapter II(2)

membentuk registernya. Sebagai salah satu wilayah makna metafungsional, makna

tekstual tercipta dari gabungan antara fungsi ideasional dan fungsi interpersonal.

Makna tekstual adalah makna sebagai hasil dari realisasi unsur-unsur leksikogramatika

yang menjadi media terwujudnya sebuah teks, tertulis atau lisan, yang runtut dan yang

sesuai dengan situasi tertentu pada saat bahasa itu dipakai dengan struktur yang

bersifat periodik (Martin, 1992:10,13,21).

Pada tataran kelompok kata dan klausa, makna tekstual diungkapkan dengan

tematisasi, hubungan makna secara repetisi, sinonimi, antonimi, hiponimi,

kohiponimi, meronimi, dan komeronimi untuk mengungkapkan kohesi leksikal. Pada

tataran wacana, makna tekstual diungkapkan dengan rajutan leksikal, jalinan referensi,

akumulasi penataan Tema-Rema pada tingkat klausa, Hiper-tema/Hiper-rema pada

paragraf, dan struktur teks. Makna tekstual pada tingkat wacana sesungguhnya adalah

persoalan bagaimana sebuah teks itu ditata dan dimediakan sehingga tercipta

sebagaimana wujudnya.

Dalam hal tematisasi pada tataran klausa, Tema yang paling dominan pada

teks-teks tersebut adalah Tema Topikal Tak Bermarkah, disusul Tema Tekstual dan

Tema Topikal Bermarkah yang kesemuanya mengungkapkan kekohesifan yang cukup

tinggi pada tataran klausa. Pada tataran wacana, tematisasi direalisasikan oleh pola

pengembangan topik (dalam hubungan Tema Rema dan Hiper-tema Hiper-rema).

Dalam hal rajutan leksikal, terbukti bahwa rajutan leksikal merealisasikan

makna tekstual melalui berbagai variasi hubungan makna (yang meliputi repetisi,

sinonimi, antonimi, hiponimi, kohiponimi, meronimi, dan komeronimi). Hubungan

Universitas Sumatera Utara

Page 44: Chapter II(2)

tersebut menunjukkan tidak saja cakupan pokok persoalan yang disajikan secara

ideasional tetapi juga kerekatan di antara leksis-leksis tersebut secara tekstual.

Kerekatan leksis dalam berbagai variasi hubungan semantis tersebut menunjukkan

bahwa teks-teks tersebut memiliki derajat kohesi leksikal yang cukup tinggi pada

tataran wacana. Di dalam hal jalinan referensi, terbukti bahwa jalinan referensi

berfungsi untuk mengidentifikasi partisipan yang ada di dalam teks menurut sistem

pengacuan. Secara tekstual, pengacuan pada jalinan referensi dapat mencerminkan

derajat kekohesifan teks. Sebagian besar partisipan pada teks-teks tersebut adalah

partisipan benda umum, bukan partisipan benda manusia. Selain itu, benda yang

disebut sesudahnya bukan selalu merupakan benda yang disebut sebelumnya. Hal ini

menunjukkan makna bahwa benda-benda yang dimaksud adalah benda-benda yang

memenuhi konsep generalitas, yaitu benda-benda yang sudah diabstrakkan untuk

menyatakan generalisasi, bukan benda-benda yang secara eksperiensial berada di

sekitar manusia. Secara tekstual, cara pengacuan di atas lebih berorientasi kepada

makna tekstual pada tataran wacana.

2.4.4.1 Fungsi Ideasional

2.4.4.1.1 Fungsi Eksperensial

Di dalam fungsi eksperensial, bahasa terdiri dari enam proses yaitu proses

material, verbal, mental, relasional, perilaku, dan wujud. Setiap proses didampingi

oleh partisipan yang direalisasi oleh nomina atau grup nomina. (Sinar, 2008:31-37;

dan lihat juga, Saragih, 2006:28-41).

Universitas Sumatera Utara

Page 45: Chapter II(2)

(1) Proses material adalah proses yang melibatkan kegiatan fisik, seperti mendorong,

mengangkat dan berlari. Proses material didampingi oleh dua partisipan utama

yaitu aktor dan gol. Partisipan lain yang dapat mendampingi proses material

adalah jangkauan dan penerima. Contohnya:

Pemerintah membangun gedung sekolah ini. Aktor Proses Material Gol

(2) Proses verbal berada di antara proses mental dan realsional dan proses ini

melibatkan informasi misalnya berkata, bertanya, menyapa. Partisipan dalam

proses verbal adalah penyampai, pesan, target, dan penerima. Contohnya:

Turis itu bertanya kepada saya suatu alamat Penyampai proses verbal penerima target

(3) Proses mental adalah proses yang berkaitan dengan indera, kognisi, emosi dan

persepsi misalnya melihat, mencintai, dan berpikir. Partisipan dalam proses mental

adalah pengindera dan fenomenon. Contohnya:

Para ilmuwan tersebut mengamati kelinci percobaan tersebut Pengidera proses mental fenomenon

(4) Proses relasional adalah proses hubungan antarunit bahasa yang terbagi atas

hubungan intensif, hubungan sirkumstan, dan hubungan posesif. Ketiga hubungan

ini dibagi atas mode intensif (posisi kedua entitas dapat saling dipertukarkan) dan

atribut (posisi kedua entitas tidak dapat saling dipertukarkan). Partisipan dalam

proses relasional terdiri atas bentuk, nilai, penyandang, dan atribut. Hubungan

intensif menunjukkan hubungan satu entitas dengan entitas yang lain, seperti:

ayahnya (adalah) seorang dokter Penyandang proses relasional atribut

Universitas Sumatera Utara

Page 46: Chapter II(2)

Hubungan sirkumstan menunjukkan hubungan satu entitas dengan lingkungan

yang terdiri atas lokasi (waktu, tempat, urut), sifat, peran atau fungsi, penyerta dan

sudut pandang, seperti:

Ulang tahunnya (adalah) tanggal 15 Februari Penanda proses relasional nilai (sirkumstan: waktu)

Hubungan posesif menunjukkan kepunyaan, misalnya:

Tanah itu (adalah) milik kami Milik proses relasional pemilik

(5) Proses perilaku (behavioural) merupakan aktivitas atau kegiatan fisiologis yang

menyatakan tingkah laku fisik manusia. Secara semantik, proses tingkah laku

terletak di antara proses material dan mental. Partisipan dalam proses ini adalah

petingkah laku. Proses ini ditandai dengan verba bernafas, batuk, pingsan, tidur,

tertawa, dan sebagainya. Contohnya:

Anak itu telah tidur dengan nyenyak Petingkah laku proses tingkah laku sirkumstan

(6) Proses wujud (eksistensial) menunjukkan keberadaan satu entitas. Secara semantik

proses wujud berada di antara proses material dan relasional. Partisipan dalam

proses wujud (eksistensial) ini adalah maujud (eksisten) Proses ini ditandai oleh

verba ada, berada, muncul, terjadi, bertahan, tumbuh, dan tersebar. Contohnya:

Ada banyak nasabah di bank itu. Proses wujud maujud sirkumstan

2.4.4.1.2 Fungsi Logika

Selain fungsi eksperensial, juga terdapat fungsi logika di dalam fungsi

ideasional. Fungsi logika yang dimaksudkan di sini yaitu bahwa bahasa memiliki satu

Universitas Sumatera Utara

Page 47: Chapter II(2)

atau lebih dari satu klausa yang disusun berdasarkan hubungan logis berdasarkan

posisi antarklausa dan makna antarklausa. Posisi antarklausa mengacu pada status

satu klausa dengan klausa lainnya yang disebut taksis. Sedangkan makna antarklausa

menunjukkan arti atau fungsi satu klausa dengan klausa yang mendahuluinya yang

dimaksud dengan hubungan logis semantik.

Taksis terbagi atas parataksis (hubungan klausa yang setara ditandai dengan

angka 1,2,3.....n) dan hipotaksis (hubungan klausa yang tidak setara yang ditandai

dengan α, β, χ, δ ). Hubungan logis semantik menunjukkan makna yang timbul antar

klausa dan dibagi dua yaitu ekspansi dan proyeksi. Ekspansi menunjukkan bahwa

klausa kedua memperluas makna klausa pertama dengan tiga cara yaitu elaborasi,

ekstensi, dan ganda sedangkan proyeksi merupakan representasi kembali pengalaman

linguistik ke pengalaman linguistik lain.

Dari tabel berikut ini dapat diketahui bahwa parataksis menunjukkan

kesetaraan hubungan dua klausa. Sebaliknya, hipotaksis menunjukkan ketidaksetaraan

hubungan dua klausa. Elaborasi menunjukkan makna klausa pertama sejajar/setara

dengan makna klausa kedua. Ekstensi berarti makna klausa kedua menambah makna

yang ada pada klausa pertama. Ganda berarti makna klausa kedua melipatgandakan

makna yang ada pada klausa pertama. Proyeksi lokusi menunjukkan proyeksi kata

sedangkan proyeksi ide menunjukkan proyeksi makna.

Figura 2.13: Hubungan Logis dan Taksis (Adaptasi dari Halliday, 1994:216-220)

Hubungan Logis Taksis

Universitas Sumatera Utara

Page 48: Chapter II(2)

Semantik Parataksis Hipotaksis

Elaborasi (=) Anak itu buta; dia tidak

bisa melihat apa-apa.

1=2

Anak itu buta, yang

sangat menyusahkan kami

α = β

Ekstensi (+) Ayahnya bekerja di

Medan dan ibunya

bekerja di Surabaya

1+2

Ayahnya bekerja di

Medan sedangkan ibunya

bekerja di Surabaya

α + β

Ekspansi

Ganda (x) Dia sedang marah dan

karena itu dia pergi

1x 2

Dia pergi karena dia

marah

α x β

Lokusi (“) Dia berkata, “aku akan

pergi.”

1”2

Dia mengatakan bahwa

dia akan pergi

α ” β

Proyeksi

Ide (‘ ) He thought, “I’ll go

now.”

1’2

Dia berpendapat dia harus

pergi

α ’ β

2.4.4.2 Fungsi Antarpersona

Setelah dijelaskan fungsi memaparkan (fungsi ideasional) yang mencakup

fungsi eksperensial dan logika, maka berikut ini dijelaskan fungsi kedua bahasa yaitu

memaparkan pengalaman atau disebut fungsi antarpersona. Fungsi antarpersona

adalah fungsi bahasa yang mampu mempertukarkan pengalaman dalam interaksi

sosial. Fungsi antarpersona merupakan aksi yang dilakukan pemakai bahasa dalam

saling bertukar pengalaman linguistik. Dengan kemampuan berinteraksi sosial, maka

manusia dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam melakukan suatu aksi maka dari segi

Universitas Sumatera Utara

Page 49: Chapter II(2)

semantik, aksi terbagi dalam empat aksi dasar yang disebut dengan protoaksi yaitu

pernyataan (memberi informasi), pertanyaan (meminta informasi), tawaran (memberi

barang dan jasa), dan perintah (meminta barang dan jasa).

Keempat aksi dasar atau protoaksi tersebut kemudian direalisasikan ke dalam

tingkat tata bahasa yang disebut modus. Aksi pernyataan biasanya direalisasikan ke

dalam modus deklaratif. Aksi pertanyaan biasanya direalisasikan oleh modus

interogatif dan aksi perintah direalisasikan oleh modus imperatif. Namun, aksi tawaran

tidak mempunyai modus karena tidak mempunyai modus yang Bermarkah sebagai

realisasinya. Dengan demikian, tawaran dapat direalisasikan oleh salah satu dari ketiga

modus. Modus itu dibangun oleh lima unsur yaitu subjek, finit, predikator,

komplemen, dan adjunct.

Figura 2.14:

Posisi Subjek, Finit, Predikator, Komplemen, dan Adjuct dalam Teks

Kami akan mengadakan Rapat besok pagi

Subjek Finit Predikator Komplemen Adjunct

Mood Residue

2.4.4.3 Fungsi Tekstual

Fungsi ketiga dari bahasa adalah merangkai pengalaman yang disebut dengan

fungsi tekstual. Fungsi tekstual bahasa adalah sebuah interpretasi bahasa dalam

fungsinya sebagai pesan. Hal ini diinterpretasikan sebagai sebuah fungsi intrinsik

Universitas Sumatera Utara

Page 50: Chapter II(2)

kepada bahasa itu sendiri, dalam arti bahwa bahasa berkaitan dnegan aspek situasional

dimana bahasa atau teks terdapat di dalamnya. Dengan kata lain, fungsi titik temu

membuat bahasa atau teks relevan secara internal ke dalam bahasa itu sendiri

demikian juga secara eksternal kepada konteks atau situasi di mana bahasa itu

digunakan. Fungsi ini memberi kemampuan kepada seseorang untuk membedakan

sebuah teks sebagai bahasa yang termotivasi secara fungsional dan kontekstual dan

pada sisi yang lain dari yang bukan teks sebagai bahasa terpisah dari yang lain.

2.5 Teks Translasi

Teks sebagai sarana untuk menyatakan suatu makna, gagasan, ide, pikiran

dalam bentuk bahasa yang tersusun atas kata, frase sampai pada klausa dan paragraf

perlu mendapat perhatian bagaimana makna teks tersebut dapat diekspresikan melalui

struktur atau tata bahasa sampai akhirnya dapat didengar atau dibaca orang lain.

Pengekspresian makna dari satu bahasa tentulah tidak sama cara atau srukturnya

dengan bahasa lain. Perbedaan struktur bahasa ini tidak hanya berkaitan dengan

masalah linguistik namun juga non linguistik seperti masalah budaya. Untuk dapat

memahami apa yang dimaksud dengan teks maka di bawah ini dibahas pengertian

teks.

2.5.1 Pengertian Teks

Saragih (2002) memberikan pengertian teks sebagai unit bahasa tertulis yang

diawali dengan huruf besar dan diakhiri dengan tanda baca. Kridalaksana (2001)

Universitas Sumatera Utara

Page 51: Chapter II(2)

menjelaskan teks adalah (1) satuan bahasa terlengkap yang bersifat abstrak; (2)

deretan, kata, kalimat, dsb.; (3) bentuk bahasa tertulis, naskah.

Halliday dan Hassan (1976:1) menyatakan bahwa:

A text is a unit of language in use. It is not a grammatical unit, like a clause or sentences; and it is not defined by its size. A text is sometimes envisaged to be some kond of super-sentence, a grammatical unit that is larger than a sentence but it is related to a sentence in the same way that a is relateed to a clause, a clause to a group and so on. Sebuah teks adalah terdiri dari unit-unit bahasa dalam penggunannya. Unit-unit

bahasa tersebut adalah merupakan unit gramatikal seperti klausa atau kalimat namun

tidak pula didefenisikan berdasarkan ukuran panjang kalimatnya. Teks terkadang pula

digambarkan sebagai sejenis kalimat yang super yaitu sebuah unit grammatikal yang

lebih panjang daripada sebuah kalimat yang saling berhubungan satu sama lain. Jadi

sebuah teks terdiri dari beberapa kalimat sehingga hal itulah yang membedakannya

dengan pengertian kalimat tunggal. Selain itu, sebuah teks dianggap sebagai unit

semantik yaitu unit bahasa yang berhubungan dengan klausa yaitu satuan bahasa yang

terdiri atas subyek dan predikat dan apabila diberi intonasi final akan menjadi sebuah

kalimat.

Singkatnya, sebuah teks adalah sesuatu yang dihasilkan secara lisan atau

tulisan yang mempunyai makna. Sebuah rangkaian kata tidak menghasilkan teks. Teks

lebih dari itu. Sebuah teks bisa panjang atau pendek tapi teks diciptakan atau

dihasilkan untuk membuat makna. Berdasarkan definisi tersebut, apakah isi tabel di

bawah ini adalah –Teks A, B, dan C?

Universitas Sumatera Utara

Page 52: Chapter II(2)

Figura 2.15: Perbandingan Teks Berdasarkan Ukuran Panjang Kalimat

A B C

Ouch Cow mouse sweet house were sea anger

It was in the middle of June when they first started to work on the house. It is now late November and the house still looks like it did before. Nothing seems to have progressed.

Teks ‘A’ bisa menjadi sebuah teks atau bisa juga hanya serangkaian huruf. Teks A

dapat dimaksudkan untuk membawa makna - bunyi atau ekspresi rasa sakit bagi

sebagian orang. Teks A bisa juga menjadi kata “Touch” dengan alfabet ‘T’ yang

hilang dan karena itu sekarang tak bermakna atau hanya huruf yang tertera tanpa

makna yang dimaksudkan. Pendapat yang sama juga terhadap teks B dan C.

Selanjutnya, untuk memberikan makna, sebuah teks dihasilkan untuk

melakukan fungsi tertentu. Ide teks ini sejalan dengan Teori Fungsional Bahasa yang

diajukan oleh Halliday dan Buhler. Apakah kita menulis untuk fungsi atau alasan

tertentu? Kita menulis untuk menuangkan pikiran kita di atas kertas, untuk

menyatakan kepada orang lain tentang norma-norma dan aturan-aturan, untuk

mengajar orang lain suatu perihal tertentu, untuk mengeksplorasi berita tertentu, untuk

mengekspresikan perasaan, untuk menyatakan kesulitan-kesulitan kita dan membuat

kreativitas kita mengalir dan untuk tujuan-tujuan lainnya. Kita menulis ketika kita

tidak cukup mampu mengutarakannya secara lisan. Terkadang, kita menulis dengan

beberapa tujuan. Misalnya, kita bisa menulis untuk mempromosikan sebuah produk

yang kita inginkan pelanggan beli dan mengkonsumsinya. Pada saat yang sama, kita

memberikan mereka informasi sehingga mereka dapat membuat pilihan yang tepat.

Universitas Sumatera Utara

Page 53: Chapter II(2)

Sebuah contoh iklan minuman kesehatan menampilkan gambar segelas

minuman jus berwarna yang bagus dan bersama dengan tulisan tentang manfaat apa

yang dapat diberikan minuman tersebut kepada pelanggan yang meminumnya. Pada

teks yang sama, penghasil minuman tersebut bisa memasukkan komposisi minuman

dan tulisan tentang kebaikan komposisinya. Penulis teks berusaha membujuk pembaca

untuk membeli minuman itu dan terakhir, penghasil minuman memberikan informasi,

walaupun informasi itu bisa membantu untuk membujuk para pembaca.

Sebuah buku teks sains yang ditulis untuk mengajarkan atau

menginformasikan pembaca tentang suatu ilmu pengetahuan bisa berisi ilustrasi visual

yang “cerah” dengan tulisan di bawah gambar sebagai tambahan charts, grafik dan

diagram. Apakah kartun tersebut menampilkan hal yang lucu dan tidak serius? Penulis

dan penerbit bisa menyatukan tayangan visual tersebut untuk membujuk pembaca

sehingga merasa mudah memahami ilmu pengetahuan atau untuk menunjukkan ilmu

pengetahuan tidak berarti membosankan (Mahanji dan Moidjie, 2006).

2.5.2 Pengorganisasian Teks

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa teks adalah unit semantik yang

mempunyai makna. Pada umumnya, konstruksi makna dalam teks diakibatkan oleh

dua level: Struktur Makro dan Mikro. Bagaimana penulis teks merangkaikan kata-kata

dan visual dan menyatakan ide, pesan, informasi, emosi dan lain-lain direfleksikan

dalam teks. Dengan kata lan ada banyak komponen yang membantu memberikan

makna kepada teks; sebagian komponen tidak beraturan dan sebagian lagi sifatnya

Universitas Sumatera Utara

Page 54: Chapter II(2)

lebih beraturan. Di sini dijelaskan makna apa yang dimasukkan ke dalam teks pada

tiap-tiap dua level Struktur Makro dan Mikro.

Struktur Makro teks menggunakan susunan ideasional dan format. Struktur

Makro dapat dilihat dengan menjawab pertanyaan, “Bagaimana penulis teks

menyusun idenya?” Sebaliknya, Struktur Mikro menggunakan struktur gramatikal dan

kalimat dalam uraiannya. Struktur Mikro dapat dilihat dengan menjawab pertanyaan

“jenis struktur kalimat, gramatikal dan kata apa yang digunakan penulis?’.

2.5.2.1 Struktur Makro Teks

Struktur Makro Teks dapat dianalisis dengan cara pertama dengan memahami

susunan ideasionalnya. Ketika tahap ini telah dilakukan maka akan dianalisis format

dalam teks dan implikasinya terhadap penerjemahan.

Dari perspektif ideasional, teks apapun disusun secara deduktif atau induktif.

Jika teks disusun secara deduktif, urutannya bergerak dari umum ke khusus, misalnya

teks berikut ini.

Many countries have become aware that tourism is the best resource for boosting economy and employment. Economist find it an excellent and easy means to assure the welfare and wellbeing for a country population; it allows tourist in general and the rich in particular to come in the country and spend their money in return for piece of mind, happiness, fun, amenity, healthy environment, good service or safe exploration. It has become an important resource for developed countries such as United State of America, United Kingdom, France, Spain, etc.; and developing countries like China, Egypt, Thailand, Malaysia, etc.

Paragraf di atas memberikan pembaca ide utama tentang keseluruhan teks

yakni ide utama seluruh peristiwa dinyatakan di awal; dan yang mengikuti setelahnya

Universitas Sumatera Utara

Page 55: Chapter II(2)

adalah rincian penjelas yang menjelaskan lebih khusus dan rinci ide utama. Inilah

yang disebut dengan susunan deduktif. Penulis bisa berpindah dari ide umum

penjelasan dan ilustrasi melalui penambahan, kontras, contoh, dan lain-lain.

Cara lain menulis teks yakni memulainya dengan penjelasan khusus dan

kemudian bergeser ke penjelasan umum. Inilah yang dimaksudkan dengan susunan

teks yang induktif dimana penulis memberikan penjelasan khusus tentang observasi

yang menuntun pada penjelasan umum, misalnya teks induktif berikut ini.

Zainul had a dream to become a gynaecologist or pilot from childhood. Although he did well in schools in science and mathematics in the secondary certificate exam, he was offered a scholarship to study asian studies in University of Paris. Poor that his family was, he was compelled to accept the offer. Now he has graduated and become a brilliant lecturer in University of Malaya. Therefore, he understands that life is not what you want to be, it is what it is. Teks ini dimulai dengan penjelasan khusus tapi berakhir dengan penjalasan

umum atau ide utama. Apakah teks bergerak dari penjelasan umum ke khusus atau

dari penjelasan khusus ke umum akan tergantung pada penulis dan maksud mereka.

Ada beberapa cara menulis yang diterima oleh kelompok-kelompok tertentu

(kelompok yang dikategorikan menurut daerah geografis, suku bangsa, profesi, suai

dan sebagainya). Terdapat norma-norma tertentu bagi kelompok tertentu. “Budaya’

tiap-tiap kelompok masyarakat bisa menjadi faktor penentu bagaimana tiap-tiap

kelompok mengutarakan ide dan pikiran mereka. Anggota-anggota kelompok tertentu

mengutarakan maksud mereka dengan cara yang sama baik dalam bentuk lisan

maupun tulisan.

Universitas Sumatera Utara

Page 56: Chapter II(2)

Cara berbahasa yang sama baik dalam bentuk lisan maupun tulisan dapat

dibuktikan dengan mengamati masyarakat Melayu, dan cara berfikir mereka dan cara

mereka berbahasa. Misalnya penutur Melayu dari Penang mengenali contoh

komunikasi berikut ini.

Ketika Mengunjungi Rumah Melayu di Penang

Tuan Rumah : Dudok sat nah. Nak buat kopi.

(Duduklah sebentar. Mau membuat kopi)

Tamu : Tak payahlah susah-susah. Dah minum dah tadi.

Tuan Rumah : Tak pa. Bukan ada apa-apa, air kosong saja.

Tamu : (Diam)

Ketika tuan rumah kembali dengan kopi, percakapan berlanjut dengan

perlahan, dimulai dengan tamu mengutarakan maksudnya, seringkali dengan cara

berbasa-basi (tidak langsung ke maksud utama). Tamu bisa memulai pembicaraan

dengan pertanyaan tentang keluarga, cuaca, lingkungan/tetangga, pekerjaan, dan lain-

lain. Komunikasi fatis ini bisa memakan waktu sebentar sebelum tamu mengutarakan

maksudnya-untuk meminjam sesuatu, atau meminta rekomendasi pekerjaan atau

meminjam mobil tuan rumah atau hanya sekedar berkunjung.

Contoh di atas bertujuan untuk menunjukkan budaya orang Melayu (secara

umum), melihat mereka menghindari “bahasa yang kasar”. Tergantung pada hubungan

kedekatan tamu dengan tuan rumah. Tuan rumah dapat memprediksi bahwa

percakapan dibangun untuk sesuatu. Bagian percakapan ini disebut “Percakapan fatis”

oleh sebagian sosiolinguis. Untuk tujuan apa pun suatu percakapan dipakai, susunan

Universitas Sumatera Utara

Page 57: Chapter II(2)

ide, maksud, rencana dan perasaan digunakan sebagai hal yang umum oleh orang

Melayu. Oleh karena itu, jika dua orang Melayu melakukan percakapan, mereka tidak

menemukan kesalahan memahami maksud tujuan mitra bicaranya. Namun jika salah

seorang diantaranya adalah orang Melayu dan satu lagi adalah orang asing yang tidak

berbagi pemahaman yang sama. Komunikasi ini akan berakhir dengan cara yang

berbeda. Orang asing tersebut bisa mengakhiri percakapan dengan merasa tersinggung

karena dibiarkan sendiri oleh orang Melayu sebagai Tuan rumah, sementara tuan

rumah mengira orang asing ini tidak mempunyai sopan-santun jika merespon dengan

mengatakan, “Ya, Saya nak kopi.” Atau dengan mengatakan, “Saya tak mau kopi,

saya perlu berbicara dengan anda.

Cara teks tertulis Melayu disusun seperti cara teks lisan Melayu disusun,

karena itu bisa beraneka ragam teks bahasa Inggrisnya. Contoh lainnya

keberanekaragaman tersebut adalah bukti pada teks yang dihasilkan oleh para

praktisioner yang sah dan novelis, dan pratisioner medis dan orang-orang di

periklanan (Mahadi dan Moindie, 2006).

2.5.2.2 Struktur Mikro Teks

Selain struktur makro, memperhatikan struktur mikro juga penting dalam

terjemahan. Pada dasarnya, analisis mikro struktur melibatkan pengujian sintaksis dan

leksis teks. Seringkali terdapat jenis teks yang menggunakan struktur sintaktis ke arah

akhir tertentu. Misalnya legislasi mengandung banyak pernyataan dalam kalimat pasif.

Dalam legislasi, orang yang merancang peraturan atau undang-undang tidak lah

Universitas Sumatera Utara

Page 58: Chapter II(2)

sepenting peraturan atau undang-undang yang harus dipatuhi masyarakat atau

pembaca. Bentuk imperatif, misalnya, digunakan dalam teks sains misalnya lembaran

dokumen keselamatan penggunaan suatu materi yan bertujuan untuk menginstruksi

pembaca tentang cara penggunaan bahan kimia yang benar. Bentuk imperatif

menyampaikan pesan /instruksi dengan cara yang cepat, tepat dan ringkas. Singkatnya,

dalam iklan kata-kata dan pemakaian kata adalah suatu norma.

Struktur kalimat bisa dirubah dan kata-kata bisa bervariasi atau diubah untuk

memberi makna yang berbeda, untuk membuat nada bahasa yang berbeda dan untuk

melakukan fungsi yang berbeda. Meminta seseorang untuk duduk bisa menggunakan

bentuk-bentuk bahasa seperti berikut ini:

1) Please take a seat.

2) Please have a seat.

3) Have a seat.

4) Sit!

5) Would you like to sit?/ Would you like to take a seat?

6) Take a seat.

Bentuk pertama “peraturan atau undang-undang” digunakan dalam dialog pada

suasana resmi tapi terlalu resmi jika digunakan di antara Teman-Teman, juga bersifat

terlalu instruktif .

Bagaimanakah “Have a seat” diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu?

Haruskah “Silahkan duduk?” atau “Duduklah” atau “duduk” atau secara literal

“Ambillah kursi” atau “Ada kursi?”. Jika kita menerjemahkan teks lisan, kita bisa

Universitas Sumatera Utara

Page 59: Chapter II(2)

menentukanpilihan dengan lebih mudah karena petunjuknya bisa didapat dari intonasi,

titinada suara pembicara. Dalam teks tertulis, maka analisis struktur makro berkaitan

dan sejalan dengan analisis struktur mikro.

Dalam penerjemahan, jika tidak menggunakan aspek sintaksis dan lesikal ini

maka akan membuat terjemahan kurang efektif. Penerjemah dapat membuat

terjemahan yang maknanya kurang atau berlebih dari teks bahasa sumber (disebut

undertranslation dan overtranslation), bahkan lebih buruk lagi yaitu salah

menerjemahkan.

Analisis leksis penting disesuaikan dengan struktur makro untuk memastikan

teks bahasa target sama koherensi dan kohesif nya dengan teks bahasa sumber.

Konsep koherensi dan kohesi dijelaskan sedikit lebih banyak.

2.5.3 Jenis Teks

Di samping keberanekaragaman menurut “kelompok partisipan komunikasi”,

susunan teks beraneka ragam menurut fungsi teksnya. Dalam konteks ini, variasi ini

melahirkan adanya jenis teks.

Banyak linguis menyatakan bahwa ada banyak jenis – jenis teks yang

melakukan berbagai fungsi dan untuk berbagai jenis pembaca bahasa target. Tiap-tiap

linguis bisa mengkategorikan teks ini dengan cara yang berbeda. Misalnya menurut

fungsi teks, menurut tujuan komunikasi, dan partisipan dalam komunikasi. Mereka

menggunakan istilah misalnya “genre”, “register”, dan “style” yang berbeda dengan

jenis teks atau untuk memperluasnya, dan penggunaan teks tersebut bisa bermacam-

Universitas Sumatera Utara

Page 60: Chapter II(2)

macam satu dengan yang lain karena perbedaan konsep-konsep yang dicakup dalam

ide teks tersebut atau disebabkan apa yang dilihat linguis sebagai istilah yag tepat.

Apapun istilah dan cara yang dipakai linguis untuk mengklasifiksaikan teks,

para penerjemah tidak perlu terlalu atau sangat memperhatikannya. Apa yang lebih

penting bagi para penerjemah adalah pengetahuan bahwasanya penulis menulis untuk

tujuan yang berbeda dan untuk pembaca bahasa target yang berbeda. Dengan

demikian, penulis melakukan cara tertentu dalam menulis untuk mencapai tujuan

mereka. Sebagai penerjemah, perlu diperhatikan ciri-ciri teks tertentu untuk membuat

kita mampu mentransfer pesan yang dikodekan dalam teks bahasa sumber.

Jenis teks adalah salah satu yang menjadi perhatian penerjemahan dengan

pengertian bahwa kata, struktur dan wacananya tergantung pada medan dan status

tersebut digunakan. Halliday dan Hasan (1976) menegaskan bahwa teks bisa secara

lisan maupun tulisan.

Kata ‘Teks’ dalam linguistik merujuk pada “teks apapun, yang secara

keseluruhan sebagai satu kesatuan.” Newmark (1981) menyatakan teks dibagi ke

dalam (1) Teks Ekspresif, (2) Teks Informatif, (3) Teks Vokatif. Teks Ekpresif

mencakup tulisan kesusastraan misalnya: puisi, drama, novel, cerita pendek, dan lain-

lain; Teks Informatif mencakup laporan sains, dan teknis, buku teks; dan Teks Vokatif

berkaitan dengan tulisan polemik misalnya: publisitas, pemberitahuan, hukum dan

peraturan, propaganda, dll. Walaupun demikian, Newmark menegaskan bahwa teks

apapun itu apakah ekspresif, informatif, atau vokatif bisa masuk ke dalam bahasa

standard dan tidak standard, dimana hal in harus diperhatikan oleh penerjemah.

Universitas Sumatera Utara

Page 61: Chapter II(2)

Seperti halnya Newmark (1981), Reiss (2001) mengklasifikasikan jenis teks

dari perspektif penerjemahan komunikatif. Reiss mengkategorikan jenis teks ke dalam

(1) informatif, (2) ekspresif, dan (3) Operatif. Teks Informatif merepresentasikan

objek dan fakta; Teks Ekspresif mengekspresikan sikap atau perilaku pengirim; dan

Teks Operatif membuat suatu seruan/permohonan kepada penerima teks.

Crystal dan Davy (1969) menyatakan bahwa gaya bahasa (style) tergantung

pada jenis teks. Bagi mereka, jenis teks tergantung pada bidang wewenang mereka

mengklasifikasikan teks ke dalam teks percakapan, jurnalistik, agama, sain, dan

sebagainya.

Hal penting lainnya yang perlu diingat dalam penerjemahan adalah bahwa

biasa ditemukan teks yang mempunyai fungsi dominan, tujuan dan beberapa subfungsi

lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam iklan kesehatan sebelumnya teks bisa bersifat

persuasif, tapi juga sekaligus informatif. Juga terdapat teks yang mempunyai

subfungsi, misalnya ditemukan dalam teks legal yang mencakup teks yang berkaitan

dengan praktek hukum.

Halliday (1978) memahami teks mempunyai medan makna, pelibat dan

diaktualisasikan ke dalam modus. Analisis struktur makro akan dipandu dengan baik

dengan menggunakan ketiga konsep ini. Medan makna adalah lokasi atau tempat teks

ini dihasilkan dan digunakan, pelibat tergantung pada pembaca dan konsumen teks

dan jarak yang penulis ciptakan antara dirinya dan pembacanya. Dengan istilah

pelibat, komunikasi dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk formal, atau semi-formal,

non-formal atau koloqial. Modus adalah bentuk teks tersebut misalnya apakah teks

Universitas Sumatera Utara

Page 62: Chapter II(2)

tersebut ditulis untuk dibaca atau teks lisan yang dibuat ke dalam tulisan sebagai

referensi atau ditulis untuk diujarkan, dan sebagainya.

Aspek-aspek ini menjadi bukti yang lebih banyak, ketika analisis mikrostruktur

dilakukan yang membantu kita untuk membuat dan menyesuaikan jenis teks, untuk

menentukan prosedur penerjemahan yang paling tepat sehingga aspek-aspek ini dapat

dipindahkan dalam bahasa terjemahan.

Setelah selesai dengan analisis struktur makro, maka dapat dilanjutkan aspek

teknis dan konkret struktur makro. Komponen-komponen teks sebaiknya diperiksa

apakah terdapat unsur-unsur berikut ini.

(1) Teks terdiri dari daftar isi, kata pengantar, lampiran, bibliografi, ucapan terima

kasih, diagram, uraian singkat isi buku dan sampul depan.

(2) Dituliskan dalam bab, paragraf, menggunakan bentuk visual seperti gambar,

tabel, dan sebagainya.

(3) Jika teks diketik apakah ukuran dan jenis huruf teks semuanya sama dalam

teks dan dipakai secara konsisten.

(4) Apakah unsur-unsur tertentu yang digunakan dalam teks berulang dalam

seluruh isi teks – kutipan? Analogi? Puisi? Latihan? Kartun ? dan sebagainya.

Seluruh komponen ini menghasilkan susunan ideasional dan format,

penerjemah bisa mnggabungkan semua jenis informasi –penulis, tahun buku

diterbitkan, pembaca yang dituju (apakah khusus atau tersirat), tujuan teks, tahun

cetak ulang, informasi tentang penerbit, dan sebagainya. Pembaca bisa menanyakan

Universitas Sumatera Utara

Page 63: Chapter II(2)

apakah manfaat informasi teks ini baginya karena ada sebagian informasi yang

mungkin tidak berguna baginya. Sebagai contoh berikut ini.

Di suatu program iklan, “Old Spice” salah diterjemahkan karena penerjemah

gagal memahami dua hal yaitu konteks dan budaya.

Finally, I decided to give my father Old Spice.

Akhirnya saya berikan ayah saya rempah lama.

Tanpa konteks, terjemahan menjadi salah. Apakah terjemahan tersebut kedengaran

ganjil? Mengapa anda memberikan ayah anda rempah lama? Apakah tujuannya?

Apakah rempah lama bermakna khusus? Sekarang jika anda mempunyai konteks

seperti di bawah ini, bagaimanakah terjemahannya?

I didn’t know what to give him. What would be good for him? I gave him a wallet the year before. I thought and thought. Finally, i decided to give him Old Spice. Dengan konteks ini, bisakah teks diterjemahkan dengan lebih tepat?

Berdasarkan konteks dan petunjuk ekstra linguistik yang belum disebutkan di atas,

terjemahan yang paling memungkinkan untuk “Old Spice” adalah minyak wangi Old

Spice (Old spice perfume). Dari konteks yang diberikan dapat diduga orang yang

berbicara sedang mencari hadiah untuk ayahnya. Bisa kemungkinan hadiah atau

hadiah natal atau hadiah khusus untuk suatu kesempatan yang dirayakan setiap tahun.

Anda juga tidak akan berfikir bahwa seorang pria menginginkan rempah-rempah

untuk ulang tahunnya, apakah lama atau baru, kecuali ia adalah pria yang suka

memasak atau seorang koki.

Universitas Sumatera Utara

Page 64: Chapter II(2)

Agar tidak salah menerjemah, penerjemah sebaiknya memahami bahwa Old

Spice adalah minyak wangi pria. Berdasarkan pengetahuan dunia dan ekstra linguistik,

kita yakin Old Spice merujuk pada nama minyak wangi. Pada tahun 60-an dan 70-an

dulu terdapat minyak wangi yang dinamakan Old Spice yang sangat populer.

Singkatnya penerjemahan yang tepat tidak akan dapat dilakukan tanpa analisis struktur

makro teks, konteks situasi, konteks budaya yang terdapat di dalam struktur makro.

2.5.4 Konteks Situasi Teks

Halliday, McIntosh dan Stevens (1964) menyatakan bahwa konteks situasi

(register), ditinjau dari kerangka konseptual mempunyai tiga pokok bahasan yaitu

medan makna (Field), pelibat (Tenor) dan sarana (Mode). Menurut Halliday, dan

kawan-kawan (1964), medan, sarana, dan pelibat wacana adalah prinsip-prinsip yang

digunakan untuk memberi tafsiran konteks situasi teks atau wacana:

(1) Medan wacana adalah seluruh kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang

termasuk di dalamnya topik yang sedang dibicarakan, tujuan kegiatan

tersebut sehingga perlu dilakukan.

(2) Sarana Wacana adalah media yang dipilih partisipan untuk mengadakan

interaksi baik dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan, secara

spontan ataupun terencana, dan jenis genre atau sarana retoris dapat sebagai

narasi, didaktis, persuasif, basa-basi, dan lain-lain.

(3) Pelibat Wacana adalah jenis peran interaksi antara partisipan ketika

berhubungan dengan lawan bicara di dalam hubungan sosial, jenis-jenis

Universitas Sumatera Utara

Page 65: Chapter II(2)

hubungan dapat berupa permanen atau sementara tuturan yang dilakukan

antar-pelibat.

2.5.5 Kohesi dan Koheren

2.5.5.1 Kohesi

Kohesi adalah salah satu standard tekstualitas yang berkaitan dengan struktur

luar teks. Baker (1992) menjelaskan bahwa kohesi adalah rangkaian leksikal,

hubungan tata bahasa atau hubungan lainnya yang terjalin secara logis dalam struktur

luar. Hoed (1991) dan Swales (1990) menjelaskan kohesi sebagai properti teks yang

membantu pembaca atau pendengar memahami teks. Karena itu, papan arah penunjuk

jalan dalam teks berperan penting. Charolles (1978) menyatakan bahwa kohesi adalah

aspek yangsaling berkaitan dengan koherensi dalam pembuatan teks. Jadi kohesi dan

koherensi tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling membantu untuk dapat

mencapai logika dan keterhubungan. Dalam penerjemahan, perlu menangani kohesi

dengan hati-hati karena tiap-tiap bahasa mempunyai sarana kohesifnya masing-masing

(Callow, 1975). Halliday dan Hasan (1976) menjelaskan bahwa kohesi adalah aspek

tekstual non-struktural dan dikategorikan ke dalam referensi, substitusi, elipsis,

conjungsi dan leksikal. Kohesi dibuat berdasarkan kriteria-kriteria tersebut untuk

menunjukkan hubungan semantik eksternal antara pranggapan (presupposition) dan

diperanggapan (presupposed) di antara kalimat-kalimat teks, contohnya:

Universitas Sumatera Utara

Page 66: Chapter II(2)

Figura 2.16: Teks dan Kategori Kohesi

Teks Kategori Kohesi

My daughter does physical exercises

every day. She wants to reduce her

weight.

Does the minister speak French

language? Yes, he does so.

You have said that. No, I haven’t.......

The spread of nuclear in the world poses

a danger to human being, the fauna and

flora. Thus many people have raised

their voices to stop it. But to no avail

since superpowers avail themselves the

right of possessing it.

Of course you know Nurhaliza. She was

the best student of our school. Now she

is a PhD candidate in medicine at the

University of London.

Referensi Kohesif : “she” merujuk pada

“my daughter”.

Substitusi Kohesif : “so” adalah

substitusi dari kata kerja “speak”.

Elipsis Kohesif : elipsis kata kerja

leksikal “said”.

Konjungsi Kohesif : menunjukkan

hubungan semantik kausalitas “thus” dan

pertentangan “but”

Leksikal : “student” dan ‘candidate

berpraanggapan “Nurliza” ; “university”

berkolokasi dengan “school”.

Saragih (2003) menjelaskan satu unit pengalaman dalam klausa dapat

dihubungkan dengan klausa lain sebagai unit pengalaman dengan hubungan makna.

Keterkaitan ini membentuk satu kesatuan yang disebut kohesi. Kohesi adalah ciri satu

Universitas Sumatera Utara

Page 67: Chapter II(2)

teks. Kohesi terbentuk dengan tautan makna antarklausa. Tautan ini direalisasikan

oleh empat alat kohesi (cohesive device), yaitu:

(1) perujuk (reference)

(2) elipsis/substitusi

(3) konjungsi (conjunction)

(4) kohesi leksikal (lexical cohesion)

Pautan makna antarklausa membentuk kesatuan yang disebut teks atau wacana.

Tautan dalam teks semakin erat jika semakin banyak alat kohesi yang digunakan

dalam teks. Dengan kata lain, teks yang padu ditandai dengan eksistensitas dan

intensitas variasi alat kohesi yang digunakan.

Kohesi juga merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Dengan itu kohesi

adalah ‘organisasi sintaktik’. Organisasi sintaktik itu adalah merupakan wadah ayat-

ayat yang disusun secara padu dan juga padat. Dengan susunan demikian organisasi

tersebut adalah untuk menghasilkan tuturan. Ini bermaksud bahwa kohesi adalah

hubungan di antara kalimat di dalam sebuah wacana, baik dari segi tingkat gramatikal

maupun daro segi tingkat leksikal tertentu. Dengan penguasaan dan juga pengetahuan

kohesi yang baik, seorang penulis akan dapat menghasilkan wacana yang baik.

(1) Perujuk

Perujuk sebagai alat kohesi terdiri dari pronomina (pronoun), penunjuk

(demonstrative), dan perbandingan (comparatives). Pronomina adalah kata ganti diri

untuk orang seperti kamu, engkau, saya. Penunjuk menyatakan posisi partisipan atau

sirkumstan relatif kepada pemakai bahasa seperti ini, itu, di sini, di situ. Perbandingan

Universitas Sumatera Utara

Page 68: Chapter II(2)

meletkkan dua proses, partisipan atau sirkumstan atau lebih pada perspektif pemakai

bahasa dengan mendapat proses, partisipan, sirkumstan tertentu sama dalam, lebih

dalam kualitas dari yang lain, atau paling dalam kualitas dari sejumlah proses,

partisipan, sirkumstan yang lain, seperti besar, lebih besar, paling besar.

Perujukan merujuk kepada unsur sebelum atau selepas yang berkaitan dengan

hubungan semantik. Perujukan dapat dilihat dari dua sudut, yaitu perujukan eksoforik

dan perujukan endoforik. Perujukan eksoforik berasal dari kata “ekso” yaitu “keluar”

yang berarti apabila kita tidak dapat menemukan rujukan dalam teks maka kita akan

keluar dari teks agar dapat memahami teks tersebut. Selain itu perujukan eksoforik ini

digunakan untuk merujuk kepada hal-hala yang mempunyai kaitan dengan situasi

yang berkembang di depan penutur ataupun pendengar yang menerima pesan ataupun

informasi yang telah disampaikan kepadanya.

Halliday dan Hasan (1976) mengatakan bahwa perujukan eksoforik ini

menerangkan tentang situasi yang merujuk kepada sesuatu yang telah didentifikasi

dalam sesuatu konteks bagi sebuah situasi. Sedangkan Harimurti Kridalaksana (1982)

memberikan pengertian bahwa perujukan eksoforik ini adalah fungsi yang

menunjukkan kembali kepada sesuatu yang ada di luar daripada sebuah situasi. Hal ini

berarti bahwa perujukan eksoforik ini adalah merujuk kepada hal-hal yang di luar

daripada konteks.

Menurut Azmi Abdullah (2005) perujukan eksoforik terbagi ke dalam tiga

jenis yaitu:

Universitas Sumatera Utara

Page 69: Chapter II(2)

a. Konteks Segera

Dalam konteks segera atau dikenal dengan Immediate Context, kita dapat

langsung memahami maksud kalimat itu melalui pemahaman yang berdasarkan dua

hal. Pertama, pengetahuan shared knowledge dalam contoh kalimat, “Keadaan

ekonomi dunia sekarang gawat. Oleh karena itu, pemerintah mengambil beberapa

langkah yang praktis untuk menangani masalah tersebut.“ Kedua, pengetahuan dunia

wacana dalam contoh kalimat, “Terlihat dari kelakuannya, Pangeran Charles marah

kepada Putri Diana”. Dari contoh kalimat tersebut dapat dilihat bahwa ada kalimat

atau wacana yang tidak segera memberikan pemahaman atau maksud kalimat tersebut

sehingga memerlukan rujukan terhadap konteks sebelumnya.

b. Perujukan Endoforik

Perujukan endoforik ini merujuk kepada apa yang hanya ada di dalam sebuah

teks. Seperti apa yang telah dijelaskan oleh Halliday dan Hasan (1976) yang

mengatakan bahwa perujukan endoforik ini merujuk hanya kepada teks. Harimurti

Kridalaksana (1982) memberikan pendapat bahwa perujukan endoforik ini adalah hal

atau fungsi yang menunjukkan kembali pada hal-hal yang ada dalam wacana,

termasuk pada perujukan anaforik dan perujukan kataforik.

c. Perujukan Anaforik

Perbedaan antara perujukan anaforik dan kataforik dilihat dari letak perujuk

dan penganjur. Letak “perujuk” dalam perujukan anaforik adalah di belakang

“penganjur”.

Universitas Sumatera Utara

Page 70: Chapter II(2)

(2) Elipsis/ Substitusi

Pertautan yang erat antar klausa terbentuk dengan pelesapan dan penggantian

unsur klausa. Elipsis menunjukkan penghilangan atau pelesapan bnetuk linguistik

dengan bentuk linguistik yang hilang itu dapat ditemukan atau dijajagi dari konteks.

Dalam klausa Amin membeli buku dan pensil untuk anaknya sesungguhnya dilesapkan

sejumlah bentuk linguistik. Bentuk lengkap teks itu adalah Amin membeli buku untuk

anaknya dan Amin membeli pensil untuk anaknya. Dengan demikian, bentuk linguistik

yang dilesapkan atau benyuk elipsis adalah “untuk anaknya” dan “Amin membeli.”

Sama dengan elipsis, substitusi juga menunjukkan penghilangan atau

pelesapan bnetuk linguistik. Perbedaannya adalah bentuk linguistik yang hilang itu

diganti dengan bentuk linguistik lain. Dalam teks Kami membeli buku; Ali juga

membeli itu yang dilesapkan dalam klausa kedua adalah buku; tetapi kata buku diganti

dengan itu. Sesungguhnya bentuk lengkap teks itu adalah Kami membeli buku; Ali

juga membeli buku.

(3) Konjungsi

Konjungsi berfungsi menghubungkan dua klausa atau lebih. Dalam sistemnya

konjungsi dapat dirinci berdasarkan makna, wujud dan fungsinya. Menurut maknanya,

konjungsi terdiri dari konjungsi tambahan, perbandingan, waktu dan akibat atau

konsekuensi yang masing-masing masih dapat dirinci lebih lanjut, seperti dalam bagan

berikut. Secara rinci, makna logis konjungsi masih dapat dibagi ke berbagai sub

bagian, seperti diringkas dalam bagan dengan kata, grup, atau frase sebagai

realisasinya.

Universitas Sumatera Utara

Page 71: Chapter II(2)

Figura 2.17: Konjungsi dalam bahasa Indonesia

No. Makna Submakna Realisasi Konjungsi

1

2

Tambahan

Perbandingan

Waktu

Konsekuensi

Penambahan

Pilihan

Kesamaan

Perbedaan

Bersamaan

Berurutan

Tujuan

Kondisi

Akibat

Pengecualian

Cara

Konklusif

Dan, lagi pula, di samping itu

Atau, sebagai ganti, jika tidak..lalu..

Sama dengan, yakni, seperti,.......

Tetapi, kecuali, berbeda dengan.....

Ketika, pada saat yang sama, sementara

itu,......

Lalu, akhirnya,sesudah itu.

Sampai, sehingga, supaya,......

Lalu, jika, kalau tidak,............

Jadi, sebagai simpulan, sebab,..

Namun demikian, bagaimanapun,

tetapi,....

Dengan cara ini, dengan, (dan) lalu,.

Jadi, dengan demikian, sebagai

simpulan,...

(4) Kohesi Leksikal

Tautan antar- atau intra klausa kompleks dapat terjadi oleh ikatan makna unsur

leksikal. Tautan berdasarkan makna leksikal ini disebut kohesi leksikal yang terdiri

atas ulangan, sinonim, antonim, hiponim, meronim, dan kolokasi.

Universitas Sumatera Utara

Page 72: Chapter II(2)

a. Ulangan

Dua klausa atau lebih akan bertaut jika satu kata dalam klausa pertama diulang

dalam klausa kedua dan seterusnya. Pengulangan leksikal dapat dibedakan atas dua

jenis yaitu ulangan penuh atau sempurna dan ulangan sebagian atau variasi.

Ulangan penuh menunjukkan bahwa unsur leksikal diulang sepenuhnya

sebagaimana ditampilkan pertama sekali atau diperkenalkan, seperti buku diulang

sebagai buku lagi. Berbeda dengan ulangan penuh, ulangan sebagian, variasi, atau

turunan menunjukkan bahwa satu kata yang ditampilkan pertama sekali atau saat

diperkenalkan diulang kembali dengan variasi bentuk. Dengan kata lain, ulangan

sebagian merupakan penampilan bentuk lain dari satu kata sebagai turunan dari kata

itu. Dengan pengertian ini, kata “menulis” dipandang sebagai diulang dengan

pemmunculan leksis seperti “ditulis, penulis, tulisan, menulisi, menuliskan, penulisan,

dan kepenulisan. Berikut adalah teks dengan contoh pemakaian ulangan.

Ali membeli rumah. Rumah itu disewakannya kepada udin

(rumah: ulangan penuh)

Ali membeli rumah. Pembelian itu mengecewakan isterinya karena lingkungan

perumahan itu tidak baik.

(membeli-pembelian, rumah-perumahan: ulangan sebagian atau variasi)

b. Sinonim

Pemakaian dua kata yang bersinonim dalam dua klausa membuat kedua klausa

bertaut. Sinonim dibatasi sebagai dua kata yang mempunyai sejumlah hal (pemakaian)

sama. Batasan ini mengisyaratkan bahwa dua kata yang bersinonim juga mempunyai

Universitas Sumatera Utara

Page 73: Chapter II(2)

perbedaan. Pada dasarnya, tidak ada dua kata yang identik dalam arti. Jika dua kata

berbeda dalam bentuk (tulisan atau ucapan), kedua kata itu tidak identik dalam arti.

Walaupun kata ‘kawin” dan “nikah” bersinonim dengan tes sederhana dapat

ditunjukkan bahwa mas kawin berterima sementara *mas nikah tidak berterima;

demikian juga “akad nikah’ berterima, sedangkan *akad kawin tidak berterima.

c. Antonim

Dua unsur leksikal dikatakan berlawanan atau antonim jika makna

pertentangan atau perlawanan wujud di dalam kedua kata itu. Dengan dua kata

berlawanan dua klausa atau lebih dapat bertaut. Antonim terbagi atas dua bagian

berdasarkan sifat perlawanannya, yaitu berlawanan dalam dua hala (binary atau

categorical) dan dalam rentang (cline atau continuum).

Berlawanan dua hala adalah unsur leksikal yang hanya memiliki satu unsur

leksikal lain sebagai lawannya. Kata seperti itu disebut juga kata yang berlawanan

secara kategorikal. Dengan sifatnya yang dua hala atau kategorikal apabila sesuatu

berada dalam sifat kata tertentu sesuatu itu tidak berada dalam sifat kata lain yang

menjadi lawannya. Sebaliknya bila sesuatu tidak berada dalam sifat kata itu sesuatu itu

berada dalam sifat kata yang menjadi lawannnya. Misalnya lawan mati adalah hidup.

Seorang yang mati harus tidak hidup, sebaliknya seorang yang hidup harus tidak mati.

Berlawanan dalam rentang menunjukkan bahwa satu unsur leksikal memiliki

sejumlah kata sebagai lawannya. Sebagai contoh, lawan dari panas tidak selamanya

dingin. Beberapa kemungkinan dapat menjadi lawan kata itu seperti sejuk, beku.

Universitas Sumatera Utara

Page 74: Chapter II(2)

d. Hiponim

Hiponim menunjukkan hubungan ‘anggota-kelompok.’ Dua kata atau lebih

merupakan hiponim jika satu kata merupakan anggota dari kata yang menjadi grup

atau kelompoknya. Dengan kata lain, hiponim merupakan rincian atau anggota dari

satu kelompok, misalnya hubungan antara bunga dengan ros, dahlia, mawar, atau

kana. Dengan pengertian yang sama, kata hewan mencakup anggota sebagai

hiponimnya seperti kutu, kecoa, semut, ikan, ular, tenggiling, kera, beruang, kuda,

harimau dan gajah. Hubungan sesama anggota hiponim merupakan hubungan

horizontal yang disebut kohiponim.

e. Meronim

Kata dengan pertautan meronim dengan yang lain menunjukkan bahwa kata itu

adalah bagian atau unsur dari kata yang lain yang lebih luas cakupannya. Dengan kata

lain, dalam meronim terdapat hubungan ‘bahagian-keseluruhan’, seperti hubungan

antara tanaman dan hiponimnya akar, batang daun, cabang dan bunga. Hubungan

meronim ini adalah hubungan vertikal. Hubungan sesama bahagian atau unsur, seperti

dalam tanaman:

d. Kolokasi

Kolokasi merupakan hubungan probabilitas dalam pemunculan antara dua kata

atau lebih. Berbeda dengan hubungan arti dalam sinonim, antonim, hiponim dan

sinonim, kolokasi menunjukkan kemungkinan pemunculan satu kata dengan kata lain.

Dengan demikian, jika satu kata muncul dalam satu klausa, kata lain sangat besar

kemungkinannya untuk muncul di klausa kedua atau berikutnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 75: Chapter II(2)

Di dalam bahasa Inggris kata ‘snow’ dikatakan berkolokasi dengan ‘white’

karena begitu kata ‘snow’ muncul di dalam klausa pertama dalam satu teks, kata

‘white’ besar kemungkinannya untuk muncul di klausa berikutnya. Kata ‘ice’

berkolokasi dengan kata ‘cold’ demikian juga ‘friend’ berkolokasi dengan kata

‘relation’, dan kata ‘family’ dengan ‘neighbourhood.’

Di dalam bahasa Indonesia dapat diasumsikan bahwa kata ‘darah’ berkolokasi

dengan kata ‘merah’. Demikian juga kata ‘hujan’ berkolokasi dengan kata ‘deras’ atau

‘gerimis.’ Dalam pola hubungan yang sangat erat, satu kata langsung dengan yang lain

dengan membentuk satu kesatuan, seperti antara ‘pertumpahan’ dan ‘darah’ menjadi

‘pertumpahan darah’; demikian juga ‘naik daun’, ‘di atas angin’, ‘sanak saudara’,

‘beranak pinak’, ‘maju mundur’ dan ‘hidup mati.’

2.5.5.2 Koherensi

Koherensi adalah peristiwa yang tersusun secara logis dalam teks. Susunan

logis dapat digunakan untuk membuat makna dalam bahasa. Baker (1992) menyatakan

bahwa koherensi berkaitan dengan hubungan konseptual dan diberi makna melalui

pengetahuan intrinsik teks dan pengetahuan ekstrinsik yaitu pengetahuan encyclopedia

pembaca. Hoey (1991) menyatakan koherensi adalah properti teks yang dapat

dievaluasi oleh pembaca. Charolles (1979) menjelaskan bahwa koherensi berhubungan

dengan teks yang menggunakan struktur makro dan mikro. Misalnya:

My father went to the Bumiputera bank. He was fishing there. Then he turned

off the light and slept.

Universitas Sumatera Utara

Page 76: Chapter II(2)

Teks di atas tidak koheren karena tidak ada kelogisan dalam rangkaian

peristiwa atau proposisi-proposisinya. Tidak ada hubungan antara bank dan fishing

(memancing). Juga tidak ada hubungan antara ‘fishing’ (memancing) dan ‘turning off

the light’ (mematikan lampu). Masalah tersebut adalah aspek-aspek yang tergantung

pada kelogisan proposisi. Tetapi jika penerjemah tidak mempunyai pengetahuan

duniawi yakni dia bukan orang malaysia dan belum pernah ke Malaysia, maka ia bisa

mengira bank Bumiputera adalah nama sungai dan jadi ayahnya memancing di sana.

Konsep yang salah tersebut terjadi ketika penerjemah tidak mempunyai pengetahuan

yang baik tentang dunia bahasa sumber. Karena itu penerjemah harus berhati-hati

dengan hal tersebut karena bisa menyebabkan tidak koheren.

Enkvist (1990) mengklasifikasikan koherensi ke dalam tujuh kategori yaitu :

(1) Hubungan antara koherensi dan kohesi (struktur dalam dan luar teks dan

tekstur).

(2) Pesan dan metapesan (pesan tentang peasn yang diekspresikan oleh sarana

paralinguistik dan interaksi).

(3) Pengaruh interpretasi (pengetahuan yang sama antara penulis, interpreter, dan

situasi)

(4) Relevansi konteks situasional (konteks dan interpretasi)

(5) Pengetahuan dan interpretabilitas reseptor (pengetahuan linguistik dan empiris)

(6) Strategi teks dan kategori (jenis teks), dan

(7) Strategi, struktur dan proses (gaya bahasa tulisan).

Universitas Sumatera Utara

Page 77: Chapter II(2)

2.6 Budaya dalam Penerjemahan

Budaya, yang bertentangan dengan barbarisme, adalah cara pandang, berfikir

dan persepsi yang beradab dan berbudi dalam suatu masyarakat. Karena itu budaya

adalah sarana bagi bahasa apapun. Perusakan menara Babel telah telah menyebabkan

perbedaan bahasa dan budaya. Derrida (1985) menyatakan bahwa suku Semetic yang

ingin memaksakan bahasa mereka kepada semua suku, tapi dekonstruksi menara

tersebut merusak impian ini sehingga menambah kebingungan dan perbedaan bahasa

mereka disebabkab oleh kurangnya komunikasi dengan menggunakan budaya dan

leksis.

Perbedaan bahasa dan budaya bisa menjadi masalah kajian dan penelitian

dalam penerjemahan. Budaya merupakan unsur yang penting dalam penerjemahan.

Misalnya:

“Let’s make a toast!”

Terjemahan (mari kita bakar roti!)

Apakah terjemahan “Let’s make a toast!” adalah Mari kita bakar roti (Literal:

Let us toat bread) atau Mari kita minum merayakannya (Literal: Let us drink to

celebrate it) akan sangat tergantung pada konteks ujaran tersebut. Dalam film dimana

satu cuplikan menampilkan sekelompok orang berkumpul bersama, sambil memegang

gelas dan salah seorang diantaranya menuangkan sebotol minuman, subjudul yang

dibaca “Mari kita bakar roti” sangatlah diluar dari konteks peristiwa tersebut. Jika

penerjemah belum menonton film tersebut, membuat terjemahan yang salah ini sangat

dapat dimengerti. Dengan kata lain, penerjemah hanya melihat baris kalimat pada

Universitas Sumatera Utara

Page 78: Chapter II(2)

skrip tanpa melihat filmnya, dia dapat membuat kesalahan ini dalam terjemahan.

Dengan adanya adegan film yang ditayangkan kepada penerjemah tersebut, akan ada

sedikit keraguan bahwa sekelompok orang diminta mengangkat gelasnya untuk

minum bersama dan karena ini terjemahan “mari kita bakar roti” adalah terjemahan

yang salah. Jika terdapat keraguan, maka tayangan sebaikanya disaksikan sehingga

memungkinkan penerjemah mengenali dan menyesuaikan makna situasi tayangan

tersbut. Dengan demikian, dapat diperoleh terjemahan yang benar dan tepat.

2.6.1 Pengertian Budaya Penerjemah

Setiap penerjemah mempunyai budaya. Budaya yang dimiliki penerjemah akan

mempengaruhi cara pemahaman makna teks yang akan diterjemahkan, sehingga

penerjemah perlu memahami budaya teks yang akan diterjemahkan. Jika penerjemah

tersebut adalah orang Indonesia dan akan menerjemahkan sebuah teks bahasa

Indonesia ke dalam teks bahasa Inggris maka diperlukan pemahaman budaya bahasa

Inggris. Dalam hal ini penerjemah tidak dapat memaksakan budaya penerjemah

sebagai orang Indonesia ke dalam teks bahasa Inggris karena kedua bahasa Indonesia

dan Inggris adalah dua bahasa yang berbeda budaya.

Sebaliknya, jika ia seorang Indonesia yang ingin menerjemahkan teks bahasa

Inggris ke dalam bahasa Indonesia maka tetap diperlukan pemahaman budaya bahasa

Inggris dengan tujuan teks bahasa Inggris tersebut dapat dipahami dengan baik

sebagaimana yang dimaksudkan oleh penulis teks bahasa Inggris tersebut. Dengan

memahami makna teks bahasa Inggris tersebut tergantung pada budayanya maka

Universitas Sumatera Utara

Page 79: Chapter II(2)

penerjemah akan dapat mentransfer makna yang ada dalam teks bahasa Inggris ke

dalam bahasa Indonesia sesuai dengan budaya Indonesia. Dengan demikian, tidak

dapat dipahami dengan baik suatu teks jika budaya teks tersebut tidak ikut serta

dipahami dan setiap teks dengan bahasa yang berbeda maka akan mempunyai budaya

yang berbeda sehingga penerjemah perlu menyesuaikan teks tersebut sesuai dengan

budayanya masing-masing.

2.6.2 Aspek Budaya Penterjemah

Ada delapan aspek budaya yang harus diperhatikan saat hendak

menterjemahkan. Berikut ini adalah dua belas aspek tersebut:

(1) Perangkat Mental

Kata ‘house’ dalam bahasa Inggris seringkali dipadankan dengan kata ‘rumah’

dalam bahasa Indonesia meskipun kedua padanan itu tidak sama persis maknanya.

(2) Ungkapan-ungkapan Steriotip

Ungkapan steriotip ialah ungkapan-ungkapan seperti Good Morning, Good

Afternoon, Good Evening, atau Good Night. Padanan untuk ungkapan-ungkapan

semacam ini tampaknya mudah dan sederhana. Good Morning (bahasa Inggris)

biasanya dipadankan dengan selamat pagi. Tetapi sesungguhnya konsep morning

dalam bahasa Inggris tidak sama dengan konsep pagi dalam bahasa Indonesia. Ihwal

semacam ini kadang-kadang menimbulkan kesulitan bagi penerjemah.

Universitas Sumatera Utara

Page 80: Chapter II(2)

(3) Peristiwa Budaya

Tiap-tiap negara mempunyai apa yang disebut dengan Peristiwa Budaya. Di

Amerika Serikat orang mengenal apa yang disebut dengan Thanksgiving Day. Di

Jawa, terutama di Surakarta dan Yogyakarta, orang mengenal peristiwa-peristiwa

budaya seperti, Sekaten, Tedhak Siti, Kenduren dan sebagainya. Dalam peristiwa –

peristiwa budaya semacam itu penerjemah juga akan menjumpai banyak kesulitan-

kesulitan dalam menerjemahkannya karena dalam peristiwa-peristiwa budaya seperti

itu akan ditemukan istilah-istilah budaya yang tidak akan dapat ditemukan di negara

lain.

(4) Bangunan Tradisional

Biasanya di setiap negara sekarang ini banyak bangunan yang sama dengan

bangunan yang terdapat di negara lain. Fenomena semacam ini barangkali karena

adanya film-film di T.V. Namun demikian di masing-masing negara masih banyak

terdapat bangunan yang mempunyai ciri khas lokal, dan tidak terdapat di negara atau

di daerah lain. Misalnya di Cina terdapat apa yang disebut Tembok Cina, Kota

Larangan, sedang di Thailand terdapat apa yang disebut Pagoda, di Mesir dapat

ditemui Pyramid. Di Sumatera Barat ada rumah yang disebut Rumah Gadang, dan di

Jawa, khususnya di Sala dan Yogyakarta, ada bangunan atau bagian dari bangunan

yang disebut Pendhopo Agung, Gandhok, Gadri dan sebagainya. Bangunan seperti itu

dalam penerjemah menimbulkan banyak kesulitan.

Universitas Sumatera Utara

Page 81: Chapter II(2)

(5) Kekerabatan

Setiap bangsa di suatu negara mempunyai sistem kekerabatan. Sistem

kekerabatan ini tampaknya sederhana bagi yang memilikinya. Tetapi yang tampaknya

sederhana itu ternyata menimbulkan banyak kesulitan bagi seorang penerjemah karena

sistem kekerabatan ini berbeda daro bangsa atau etnik yang satu dengan yang lain. Di

sistem kekerabatan orang Jawa dikenal istilah Bapak dan Ibu. Penyebutan Bapak dan

Ibu tidak menimbulkan masalah dalam penerjemahan karena penyebutan Bapak dan

Ibu itu tampaknya bersifat universal. Tetapi di dalam sistem kekerabatan etnis Jawa

sangat rumit karena di atas Bapak dan Ibu, ada Pak/Bu-gedhe, Mbah/Eyang, Mbah/

Eyang Buyut, Mbah/Eyang Canggah, Mbah/Eyang Wareng, Mbah/Eyang Udheg-

Udheg Siwor, dan sebagainya. Di bawah Bapak/Ibu terdapat Bu/Pak Cilik. Masih ada

lagi sebutan Ipe dan Pripean. Sedangkan dalam Bahasa Inggris kita hanya mengenal

kata-kata Father, Mother, Aunt, Uncle, Brother, Sister, Grandfather/mother dan

sebagainya yang tentu saja sistem kekerabatan antara kedua bangsa itu tidak sama. Ini

jelas akan menimbulkan banyak kesulitan bagi seorang penerjemah.

(6) Kata Ganti

Kata-kata seperti I, You, He, She, It, We, dan They tampaknya juga tidak

menimbulkan masalah dalam penerjemahan. Tetapi kata ganti he dan she sering juga

menimbulkan masalah. Kata ganti he dan she menunjukkan jenis seks yang berbeda,

ialah jenis seks laki-laki dan perempuan, sedangkan perbedaan itu tidak terdapat

dalam sistem bahasa Indonesia. Fenomena ini juga kadang-kadang menimbulkan

kesulitan bagi seorang penerjemah meskipun tidak begitu serius. Dalam bahasa

Universitas Sumatera Utara

Page 82: Chapter II(2)

Indonesia kata he, dan she dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi

dia/ia, beliau, bapak. Kesulitan akan timbul manakala seorang penerjemah harus

menerjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Masalah seperti ini

akan timbul apabila seorang penerjemah harus menerjemahkan kata you dari bahasa

Inggris ke dalam bahasa Indonesia apalagi ke dalam bahasa Jawa karena kata you

mempunyai padanan (equivalent) dengan engkau, kamu, anda, saudara, dan bapak

(Soemarsono, 1988) sedangkan kata itu mempunyai padanan dengan kowe, sliramu,

sampeyan, panjenengan, dan panjengan dalem yang penerapannya lebih rumi

terutama apabila ditinjau dari kepantasannya atau status dari lawan bicaranya.

(7) Undha-Usuk Basa (Speech levels)

Bahasa Jawa khususnya mempunyai apa yang disebut dengan Undah Usuk

Basa. Menurut Sudaryanto Bahasa Jawa memiliki empat varian yaitu ngoko, krama,

ngoko alus, atau krama alus. Sedangkan Sriyasa menyatakan bahwa di kota Sala dan

Yogyakarta orang Jawa menggunakan tiga varian dalam kehidupan berbahasa sehari-

hari, ialah basa ngoko, basa madya, dan basa krama. Masih menurut Sriyoso (1991)

dalam bahasa Jawa sebenarnya terdapat kurang lebih ada 13 varian. Penggunaan

varian-varian bahasa ini sangat rumit sehingga pada jaman sekarang banyak orang

Jawa sendiri, terutama yang muda, tidak dapat menggunakannya dengan benar.

(8) Idiom

Idiom juga sarat dengan muatan budaya dan vatiasi idiom sangat luas. Feare (1980) mengatakan, idiom is an expression which has a special meaning, and this meaning cannot be understood completely by looking at the individual words in the idioms. (Feare ,1980)

Universitas Sumatera Utara

Page 83: Chapter II(2)

Feare memberikan contoh idiom seperti go over, die down, break in, dan

sebagainya. Orang lain mungkin memasukkan ungkapan seperti to burry the hatchet,

dan to beat about the bush sebagai idiom. Menerjemahkan idiom bukanlah pekerjaan

yang mudah. Pertama-tama seorang penerjemah harus mampu mengenali atau

menentukan apakah suatu ungkapan tertentu itu adalah sebuah idiom atau bukan.

Kemudian setelah seorang penerjemah dapat mengenali bahwa ungkapan itu dapat

dikategorikan sebagai idiom barulah mampu menentukan makna idiom itu. Kemudian

mencari padanan yang tepat.

2.6.2.1 Budaya Universal

Budaya universal sebagian besar muncul dari negara kolonial dan adikuasa dan

berpengaruh secara universal karena kekuasaan mereka dan memonopoli media dan

investasi yang menyebarkannya ke seluruh dunia. Setiap orang di dunia mengetahui:

apa artinya jazz, tenis, pizza, dan lain-lain; tapi kungfu, grillot, sepak raga, dan lain-

lain perlu dijelaskan ke bangsa-bangsa lainnya yang berbeda budaya.

2.6.2.2 Budaya Agamis dan Budaya Sosial

Munculnya ide seperti humanisme dan revolusi industri telah memarjinalkan

agama sebagai faktor penentu kehidupan sehari-hari di Eropa. Agama telah menjadi

masalah pilihan dan bukan sistem atau kode kehidupan, telah dibuat tunduk terhadap

ide dan budaya. Namun di negara islam, agama menentukan budaya dan pandangan

hidup manusia.

Universitas Sumatera Utara

Page 84: Chapter II(2)

Di Perancis, Inggris, Jerman, Amerika dan lain-lain, budaya, aksi seperti

bermesraan di depan umum diterima, namun hal ini tidak diterima oleh masyarakat di

negara islam. Demikian juga halnya dalam memberi salam di Eropa termasuk Perancis

biasa dengan ciuman namun tidak sama dengan di negara Islam. Contohnya kalimat:

Le Professeur a embrasse la secretaire le Matin. Jika kalimat ini diterjemahkan:

“Guru mencium sekertarisnya pagi tadi” tanpa memperhatikan keberagaman budaya

akan memberikan makna konotatif perlokusi yang berbeda misalnya perselingkuhan

atau tidak bermoral kepada pembaca muslim, sehingga lebih baik menerjemahkannya

“Guru memberi salam kepada sekertaris tadi pagi.

Memberi nama putra anda Jesuis atau Jesus tidak berterima di negara Islam

tapi menamainya Isa yaitu nama Jesus dalam bahasa Arab akan berterima. Masalahnya

adalah orang Arab yang Kristen bisa menamai anaknya Isa. Itulah yang Nida

maksudkan dengan budaya linguistik karena semua nama yang disebut merujuk pada

satu orang yang sama, sedangkan masyarakat memahami nama-nama tersebut berbeda

menurut budaya bahasanya.

Demikian juga halnya dalam rasa anggur di Eropa adalah bagian dari budaya

Eropa. Pembaca Eropa tidak akan melihat hal yang buruk dengan anggur misalnya :

John used to wine and dine his girlfriend. Pembaca Eropa akan mengerti bahwa

dulunya John memberi makanan mahal kepada pacarnya. Jika diterjemahkan kata per

kata : John biasanya memberi arak dan makan-makan dengan kekasihnya. Membaca

terjemahan ini, pembaca muslim bisa memahami perbuatan John berdosa, maka untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 85: Chapter II(2)

masyarakat muslim lebih baik menerjemahkannya: John makan dan minum bersama

kekasihnya.

Dari contoh-contoh tersebut maka dapat diketahui bahwa melakukan

penerjemahan ditentukan dan disesuaikan dengan budaya agamis dan budaya

sosialnya. Sesuatu aksi yang diterima atau lazim di masyarakat tertentu, belum tentu di

terima oleh masyarakat lain dengan agama yang berbeda karena setiap aksi

masyarakat juga dipengaruhi oleh agama yang dianutnya.

2.6.2.3 Budaya Akademis

Budaya akademik adalah kategori lainnya yang perlu dikaji dalam bahasa-

bahasa. Di Eropa, mahasiswa masuk universitas di usia 17 atau 18 dan juga di

Malaysia. Masalah yang sebagian besar terjadi ada pada gelar Diploma dan Profesor.

Sebagian besar negara di dunia mengikuti atau dipengaruhi oleh sistem Akedemik

Inggris, tapi akademik Perancis dan Jerman mempunyai sistem hirarki yang berbeda

dan telah mempengaruhi beberapa negara. Negara Arabofon mengikuti keduanya

sistem Akademik Inggris dan Perancis.

Masalah yang timbul dari budaya akademik adalah khusushya antara negara-

negara Fransofon, Jermanofon dan Anglofon dan negara-negara berbahasa Melayu

adalah banyak Diploma seperti DEA, DESS, Agregation, CAPES, dan EUG tidak

berequivalen dengan sistem akademik Melayu. DEA, DESS, dan CAPES adalah

kuliah singkat satu tahun setelah gelar Magister. Yang mengejutkan adalah menurut

sistem akademik Perancis, mahasiswa tidak diperbolehkan program Ph.D tanpa

Universitas Sumatera Utara

Page 86: Chapter II(2)

mempunyai salah satu dari tiga gelar DEA, DESS, atau CAPES. Gelar “Agregation

misalnya di Perancis sangat dihargai di Perancis dan mempunyai makna diploma yang

sangat pintar.

Untuk menerjemahkan diploma tersebut ke dalam budaya akademik Melayu,

penerjemah harus memberikan tambahan catatan kaki untuk menjelaskan isi dan

hirarki diploma tersebut. Terlebih lagi, nama profesi mengajar mempunyai konotasi

yang berbeda. Misalnya Professeur adalah nama umum untuk guru dari sekolah

menengah sampai universitas. Di melayu, dalam budaya akademik terdapat hirarki.

Untuk sekolah menengah guru sekolah disebut Guru tapi di tingkat universitas disebut

pensyarah, professor madya atau profesor. Karena itu penerjemah harus berhati-hati

dalam menerjemahkan istilah atau kata yang berkaitan dengan sistem akademik.

2.6.2.4 Budaya Legalisasi

Dhuic dan Frison (1993) menjelaskan ada masalah yang berkaitan dengan teks

resmi Perancis dan Inggris karena sistem resmi Inggris tergantung pada doktrin dan

kode sedangkan sistem resmi Inggris tergantung pada hukum umum dan keadilan.

Karena sistem resmi Malaysia dipengaruhi oleh sistem resmi Inggris, maka ada

masalah dalam menerjemahkan teks resmi Perancis ke dalam bahasa Malaysia. Karena

itu penerjemah harus memperhatikan kekhususan dua dunia yang berbeda tersebut.

Misalnya:

tribunaux correctionnels (criminal courts)

cour de cassation (court of cassation)

Universitas Sumatera Utara

Page 87: Chapter II(2)

communeaute de bien (communal estate)

cour de la surete de l’etat (state security court)

certificat de concubinage (certificate of concubinage), dan lain-lain.

Dengan demikian, budaya akademik, budaya resmi harus diberi catatan kaki.

Pada akhirnya, budaya adalah cara yang berbeda dalam hal melihat segala sesuatu dan

tergantung pada persepsi tertentu tentang dunia tertentu. Persepsi tersebut tidak dapat

saling dipertukarkan di antara bahasa-bahasa. Bahasa tergantung pada budayanya.

Karena itu, bahasa tidak menentukan budaya tetapi budaya yang menentukan bahasa.

2.7 Orientasi Teoritis

Penelitian ini memfokuskan pembahasan pada penemaan yang terdapat di

dalam analisis tekstual disebut Tema dan Rema dalam teks. Tema dan Rema diteliti

berdasarkan teori Systemic Functional Linguistics yang diajukan oleh Halliday. Kajian

Tema dan Rema dilakukan dalam tiap-tiap klausa tunggal. Dengan demikian, jika

ditemukan ide dalam bentuk kalimat, maka kalimat tersebut dipisahkan ke dalam

klausa-klausa tunggal terlebih dahulu sebelum diidentifikasi Tema dan Remanya. Hal

ini disebabkan klausa dipandang sebagai unit yang tertinggi di dalam bahasa karena

klausa mampu membawa tiga fungsi bahasa sekaligus, yaitu memaparkan,

mempertukarkan, dan merangkai pengalaman.

Tema ditandai melalui unit bahasa yang terletak di awal kalimat dan Rema

adalah unsur yang terdapat setelah Tema. Jadi, dalam mengidentifikasi Tema dapat

diketahui, bahwa unit bahasa yang terletak di awal klausa adalah Tema. Menurut

Universitas Sumatera Utara

Page 88: Chapter II(2)

Saragih (2006:112-113), Tema dalam teori Systemic Functional Linguistics dibedakan

menjadi Tema sederhana dan Tema kompleks. Tema sederhana adalah jika terdapat

satu unit bahasa yang berfungsi sebagai Tema, tetapi jika lebih dari satu unit bahasa

yang berfungsi sebagai Tema maka disebut sebagai Tema kompleks. Dalam kajiannya,

Tema Kompleks juga terbagi menjadi tiga jenis, yaitu Tema Tekstual, Tema

Antarpersona, dan Tema Topikal.

(2) Tema Tekstual dapat diidentifikasi jika Tema tersebut berupa,

a. kata ganti relatif (misalnya: who, which, that, whom, whose);

b. penerus (misalnya: ee..., mmm,...well..);

c. konjungsi (misalnya: dan, atau tetapi);

d. penghubung (misalnya: dengan demikian, oleh sebab itu).

(3) Tema Antarpersona dapat diidentifikasi melalui unit bahasa yang berupa,

b. vokatif yaitu nama oranng atau objek yang ditujukan padanya;

c. keterangan modus yaitu pendapat, ide pribadi, misalnya: seharusnya,

sebaiknya;

d. pemarkah pertanyaan, misalnya: apakah;

e. kata tanya pertanyaan informasi, misalnya: mengapa, siapakah, di

manakah.

(4) Tema Topikal terdapat pada unit bahasa yang berfungsi sebagai partisipan,

proses ataupun sirkumstan.

Selain itu, Tema juga dapat dibedakan berdasarkan Tema Tunggal dan Tema

Majemuk, Tema Bermarkah, dan Tema tak Bermarkah. Tema Bermarkah dapat

Universitas Sumatera Utara

Page 89: Chapter II(2)

diidentifikasi jika yang menjadi Tema tersebut adalah kata benda atau kata ganti benda

ataupun frasa kata benda yang berfungsi sebagai subjek. Namun, jika terdapat

komplemen, frase adverba atapun frase preposisi yang terletak di awal klausa maka

unit-unit bahasa tersebut adalah Tema tak Bermarkah. Dengan demikian, berbagai

jenis Tema ini, yang mencakup Tema Tekstual, Tema Antarpersona, Tema Topikal,

Tema Tunggal, Tema Majemuk, dan Tema Bermarkah-Tema tak Bermarkah,

keseluruhannya akan dikaji dalam klausa-klausa yang ditemukan di dalam teks

translasi penelitian ini.

2.8 Penelitian Sebelumnya

Penelitian mengenai Tema dan Rema pernah dilakukan sebelumnya di

antaranya berjudul “Theme and Rheme in The Thematic Organization of Text:

Implications for Teaching Academic Writing” oleh Lixia Wang seorang master

pendidikan (TESOL) dari University of South Australia dan juga sebagai dosen di

Jurusan Sastra Inggris di Nanjing University of Finance and Economics di China.

Penelitiannya adalah tentang Tema dan Rema dengan menggunakan teori Systemic

Functional Linguistics dengan tujuan untuk memperbaiki kohesi dalam teks akademik.

Melalui penelitiannya, beliau menyatakan bahwa dengan menganalisis Tema dan

Rema dalam teks, mahasiswa dapat belajar melakukan analisis yang sama dalam

tulisan mereka sehingga akan memperbaiki kohesi dalam tulisan mereka. Dalam

penelitian ini juga dibahas masalah umum yang menyebabkan kesalahan dalam

menggunakan Tema dan Rema dengan menggunakan tulisan mahasiswa sebagai

Universitas Sumatera Utara

Page 90: Chapter II(2)

contoh kesalahan. Karena itu penelitian ini menunjukkan bagaimana mahasiswa

memperbaiki kemampuan kohesi tekstual dalam tulisan khususnya tulisan akademik.

Selain itu, penelitian Tema-Rema juga dilakukan oleh Arif Budiman dan

Kristianto dengan judul “How Much Shift on Theme-Rheme Construction Affect on the

Meaning of Translation”. Penelitian ini memfokuskan pada pidato pelantikan Obama

dengan tujuan untuk menjelaskan kontsruksi Tema bahasa Inggris dan Indonesia,

memperlihatkan konstruksi Tema menurut kategori dan konstituen dalam kedua versi

bahasa tersebut dan untuk menemukan efek pergeseran struktur Tema pada makna

ataupun ketepatan penerjemahan. Penemuan penelitian ini adalah (1) variasi Tema

dalam kedua teks mencakup Tema Topikal Antarpersona dan Tekstual, dengan Tema

Topikal lazim yang paling dominan, (2) pergeseran struktur Tema antara bahasa

Indonesia dan Inggris dapat dibagi ke dalam pergeseran kategori dan perubahan

konstituen Tema, dan (3) secara umum pergeseran struktur Tema tidak banyak

mempengaruhi makna dan tidak mempengaruhi makna secara keseluruhan pada klausa

atau tekstur teks.

Penelitian pergeseran dalam translasi bahasa Indonesia dan Inggris telah

dilakukan sebelumnya oleh Putra Yadna dan Resen (1986) dengan studi kasus

“Pergeseran Formal Fase Kata Benda dalam Penerjemahan Bahasa Inggris-Indonesia.”

Hasil temuan dari analisis ini adalah adanya pergeseran unit, struktur, dan kelas kata.

Selain itu, Yadnya dalam disertasinya mengkaji, “Pemadanan Makna Berkonteks

Budaya: Sebuah Kajian Translasi Indonesia-Inggris.” Hasil temuannya adalah translasi

dapat tercapai dalam berbagai tataran (level), juga terdapat pergeseran mikro (vertikal

Universitas Sumatera Utara

Page 91: Chapter II(2)

dan horizontal) dan pergeseran makro. Perbedaan sistem bahasa Indonesia dan Inggris

telah mengakibatkan pergeseran formal menjadi wajib dan otomatis faktor perbedaan

sistem makna kata antar bahasa Inggris dan Indonesia menyebabkan terjadinya

pergeseran semantik yang bersifat wajib.

Selain itu, penelitian penerjemahan dwibahasa pernah dilakukan oleh Diana

Chitra Hasan dengan judul “Penerjemahan Informasi Implisit dari Bahasa Inggris ke

Bahasa Indonesia”. Penelitian ini memberikan informasi implisit dari bahasa Inggris

ke bahasa Indonesia yang dikategorikan sebagai penelitian dengan metode deskriptif

karena dalam penelitian ini dipaparkan informasi implisit dalam bahasa Inggris dan

terjemahannya dalam bahasa Indonesia, yang selanjutnya dilakukan analisis terhadap

kesepadanan antara unsur bahasa sumber dan terjemahannya dalam bahasa sasaran

sehingga faktor-faktor yang menyebabkan tercapai atau tidaknya kesepadanan dalam

penerjemahan tersebut. Data dalam penelitian ini diambil dari tiga buah novel dan

terjemahannya, yaitu (1) 4,50 from Paddington karya Agatha Christie yang diterbitkan

oleh Fontana Books pada tahun 1979 dan diterjemahkan oleh Lily Wibisono dengan

judul Kereta 4,50 dari Paddington terbitan Gramedia, Jakarta pada tahun 1987; (2)

Absolute Power karya David Baldacci (1996) dan diterjemahkan oleh Hidayat Saleh

dengan judul Kekuasaan Absolut diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 1997;

(3) Bloodline karya Sidney Sheldon (1977) dan diterjemahkan oleh Threes Sulastuti

Garis Darah diterbitkan oleh Gramedia (1991). Dari penelitian terhadap informasi

implisit dalam bentuk elipsis dan bahasa figuratif ditemukan beberapa jenis prosedur

penerjemahan yang dapat mengalihkan pesan bahasa sumber antara lain adalah

Universitas Sumatera Utara

Page 92: Chapter II(2)

modulasi bebas berupa pergeseran sudut pandang dan eksplisitasi serta pergeseran

tataran dari tataran gramatikal ke tataran leksikal. Jenis prosedur penerjemahannya

dapat mengalihkan pesan yang terkandung dalam bahasa sumber ke dalam bahasa

sasaran dengan tepat. Sedangkan penerjemahan harfiah terhadap sebagian unsur

figuratif, seperti metafora, tidak dapat mengalihkan informasi implisit dengan baik.

Penelitian tentang terjemahan dilakukan oleh Roswita Silalahi dalam

disertasinya dengan judul “Dampak Teknik, Metode, dan Ideologi Penerjemahan Pada

Kualitas Terjemahan Teks Medical-Surgical Nursing dalam Bahasa Indonesia”. Ada

dua pendekatan penerjemahan yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu: pendekatan

bawah-atas (bottom-up approach) dan pendekatan atas-bawah (top-down approach)

(Baker, 1992; Newmark, 1988). Jika penerjemah mulai dengan satuan lingual yang

lebih kecil dari teks (misalnya kata, frasa, klausa, dan kalimat), dia menerapkan

pendekatan bawah-atas. Sebaliknya, jika penerjemah mulai dari tataran yang paling

tinggi, yaitu teks, dan dilanjutkan pada tataran yang lebih rendah, dia menerapkan

pendekatan atas-bawah. Temuan dalam penelitian ini adalah: Pertama, delapan teknik

penerjemahan diterapkan dalam menerjemahkan teks Medical-Surgical Nursing yaitu

teknik harfiah (literal), peminjaman murni, peminjaman alamiah, calque, transposisi,

modulasi, penghilangan, dan penambahan. Berdasarkan frekuensi penggunaannya,

teknik harfiah menempati urutan pertama (489), yang diikuti oleh peminjaman murni

(224), peminjaman alamiah, transposisi (68), calque (67), modulasi (25), penghilangan

(16), dan teknik penambahan (9). Kedua, secara teori, teknik harfiah, peminjaman

murni dan peminjaman alamiah, dan teknik calque berorientasi pada bahasa sumber

Universitas Sumatera Utara

Page 93: Chapter II(2)

sedangkan teknik transposisi, modulasi, penghilangan, dan teknik penambahan

berorientasi pada bahasa sasaran. Dengan demikian, metode penerjemahan yang

dipilih penerjemah adalah metode penerjemah literal, setia, dan semantik. Ketiga,

penggunaan teknik penerjemahan dan pemilihan metode penerjemahan lebih dilandasi

oleh ideologi foreignisasi dalam menerjemahkan teks sumber data penelitian.

Keempat, dalam hal kualitas terjemahan, didapatkan 338 (64,75%) diterjemahkan

secara akurat, 136 (26,05%) kurang akurat, dan 48 (9,20%) tidak akurat. Dari aspek

keberterimaannya, 396 (75,86%) berterima, 91 (17,44%) kurang berterima dan 35

(6,70%) tidak berterima. Sementara itu, 493 (96,29%) data sasaran mempunyai tingkat

keterbacaan tinggi dan 19 (3,71%) mempunyai tingkat keterbacaan sedang. Kemudian,

teknik peminjaman murni, teknik peminjaman alamiah, calque, dan juga harfiah

memberikan dampak yang sangat positif terhadap keakuratan terjemahan, sementara

kekurang akuratan dan ketidak akuratan yang terjadi pada terjemahan lebih

disebabkan oleh penerapan teknik penghilangan, penambahan, modulasi, dan teknik

transposisi. Kekurang berterimaan dan ketidak berterimaan cenderung disebabkan oleh

penggunaan kalimat yang tidak gramatikal, dan masalah yang menghambat

pemahaman pembaca sasaran cenderung disebabkan oleh penggunaan istilah asing

yang tampaknya belum akrab bagi pembaca, kolokasi yang tidak tepat, kata bahasa

Indonesia yang belum lazim bagi pembaca dan kesalahan ketik.

Penelitian juga dilakukan oleh Syahron Lubis dalam disertasinya yang berjudul

“Penerjemahan Teks Mangupa Dari Bahasa Mandailing ke Dalam Bahasa Inggris”.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa bahasa Mandailing dan bahasa Inggris

Universitas Sumatera Utara

Page 94: Chapter II(2)

memiliki lebih banyak perbedaan daripada persamaan dalam struktur bahasa seperti

afiksasi, pemajemukan, reduplikasi, pemenggalan kata, sistem pronomina, struktur

frasa, pola-pola kalimat, komponen makna, polisemi, sinonim dan antonim, makna

generik dan spesifik, metafora, idiom dan eufisme. Juga ditemukan bahwa masyarakat

Mandailing dan Inggris berbeda luas dalam sejumlah aspek kultural seperti agama dan

kepercayaan, keluarga dan perkawinan, tipe masyarakat, ketimpangan gender,

pemakaian bahasa dan sopan santun sosial. Adanya perbedaan struktur kedua bahasa,

menerjemahkan frase, kata majemuk dan kalimat dari teks sumber ke dalam teks

sasaran menghadapi masalah. Subjek kalimat, jumlah dan konjungsi yang sering

implisit dalam teks sumber juga menyebabkan masalah penerjemahan. Pemakaian

banyak kata arkais juga membuat kesulitan penerjemahan dan karena bahasa

Mandailing tidak memiliki tenses, hal itu juga menyebabkan masalah penerjemahan ke

dalam bahasa Inggris yang memiliki tenses. Oleh sebab itu penerjemahan teks

mangupa tidak hanya menghadapi masalah-masalah kebahasaan tetapi juga masalah-

masalah budaya dan berbagai teknik penerjemahan diperlukan untuk mengatasi

masalah-masalah tersebut ssupaya tercapai terjemahan yang akurat, terbaca dan dapat

diterima penutur asli bahasa sasaran.

Persoalan tentang pergeseran dalam terjemahan juga disinggung dalam

penelitian Abdul Munif. Melalui penelitiannya yang berjudul “Pergeseran Dalam

Penerjemahan Klausa Pasif Dari Novel The Lord of The Rings: The Return of The

King Karya JRR Tolkien yang Diterjemahkan oleh Gita Yuliani K.” Penelitian Abdul

Munif berorientasi pada (1) Pendeskripsian pergeseran bentuk dalam penerjemahan

Universitas Sumatera Utara

Page 95: Chapter II(2)

klausa pasif, (2) Pendeskripsian pergeseran makna dalam penerjemahan klausa pasif,

(3) Ketepatan penerjemahan klausa pasif yang mengalami pergeseran bentuk dan

makna. Data penelitian ini klausa pasif yang mengalami pergeseran dalam

penerjemahan. Teknik sampling yang digunakan adalah sampling purposif. Kriteria

sampel dalam penelitian ini adalah klausa pasif yang berbentuk be + past participle

dan terjemahannya yang mengalami pergeseran bentuk dan makna. Adapun hasil dari

penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) bentuk-bentuk pergeseran dalam

penerjemahan klausa pasif meliputi; pergeseran tataran ada 12 data (14%), pergeseran

struktur ada 43 data (60%), dan pergeseran kelas kata ada 4 data (6%), (2) pergeseran

makna dalam penerjemahan klausa pasif meliputi; pergeseran pasif-aktif ada 20 data

(26%), pergeseran topik-komen ada 15 data (19%), pergeseran makna leksikal ada 23

data (30%), dan pergeseran makna gramatikal ada 11 data (14%), dan (3) ketepatan

makna pada pergeseran dalam penerjemahan klausa pasif meliputi; kategori

terjemahan tidak tepat ada 2 data (3%). Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh bahwa

untuk mendapatkan terjemahan yang wajar dan setia makna khususnya penerjemahan

klausa pasif dapat dapat digunakan salah satu teknik atau strategi dalam penerjemahan

yang disebut dengan pergeseran (translation shift).

Masalah pergeseran juga diteliti oleh Lydia K. Sitompul. Penelitiannya

berjudul “Pergeseran Penerjemahan Teks Beregister Popular Pada Serial Komedi

Friends Episode “The Last One”. Penelitian ini berorientasi pada pergeseran yang

terjadi pada penerjemahan teks film atau subtitle pada serial komedi televisi Friends

episode terakhir yang berjudul “The Last One”. Pergeseran yang ditemukan dapat

Universitas Sumatera Utara

Page 96: Chapter II(2)

dikelompokkan berdasarkan bentuk, penyebab, dan efeknya. Bentuk pergeseran pada

tataran morfem, pergeseran pada tataran sintaksis, pergeseran kategori kata,

pergeseran pada tataran semantik, dan pergeseran karena perbedaan sudut pandang

budaya. Kelima bentuk pergeseran tersebut ditemukan pada data, yang kemudian

dianalisis secara deskriptif. Analisis dilakukan untuk mendapatkan sebab-sebab

terjadinya pergeseran. Karakteristik data sebagai transkip dan subtitle dari sebuah

moving picture berperan penting sebagai penentu sebab terjadinya pergeseran.

Karakteristik tersebut adalah data yang bergenre komedi dengan ragam bahasa lisan.

Dialog pada tayangan bergenre komedi memiliki kaitan erat dengan konteks adegan

yang melingkupinya. Konteks tersebut berperan dalam mendeskripsikan kejenakaan

pada setiap adegan, sehingga penerjemahan utuh tidak diperlukan. Ciri bahasa popular

dengan ragam lisan pada data yang eksprefis dinilai sebagai dialog minor. Ciri tersebut

bertentangan dengan ciri subtitle film yang singkat dan padat. Pergeseran yang terjadi

yaitu pengurangan atau reduksi. Reduksi pada penerjemahan tayangan bergenre

komedi mengakibatkan terjadinya reduksi pemahaman pemirsa terhadap kejenakaan

yang terjadi. Reduksi kejenakaan sebagai efek dari pergeseran dikelompokkan

menjadi reduksi kejenakaan ringan dan reduksi kejenakaan fatal.

2.9 Konstruk Analisis

Penelitian ini menggunakan model penelitian yang menitikberatkan pada

penggabungan teori translasi Larson dan Cadford dengan teori Systemic Functional

Linguistics dengan pusat perhatian pada analisis Tema dan Rema.

Universitas Sumatera Utara

Page 97: Chapter II(2)

Figura 2.18: Model Penelitian

PENELITI

Teks yang Diterjemahkan

Menemukan Makna

Makna yang Diekspresikan Kembali

Translasi

MAKNA Konteks Situasi

Konteks Budaya

Konteks Ideologi

Analisis Tema dan Rema

Tema D minan o

Jenis Pergeresan Tema

Sebab Pergeseran Tema dan Rema

Universitas Sumatera Utara

Page 98: Chapter II(2)

Model penelitian yang didesain sedemikian rupa untuk mengaplikasikan teori

translasi Larson dan Cadford serta penerapan LSF menempatkan peneliti pada dua

sisi. Sisi pertama, peneliti bekerja secara objektif untuk membaca, meneliti, dan

menerjemahkan teks bahasa sumber agar menjadi teks translasi dalam bahasa sasaran.

Sisi kedua, peneliti harus bekerja secara objektif dan ilmiah dalam mengdentifikasi

dan menganalisis Tema-Rema dalam teks translasi dwibahasa Indonesia-Inggris.

Di antara dua sisi, sisi translasi dengan sisi Tema-Rema terdapat perangkat

bahasa dan konteksnya dalam analisis Systemic Functional Linguistics. Di dalam hal

ini, konteks situasi, konteks budaya, dan konteks ideologi yang melatarbelakangi tata

bahasa sumber dan tata bahasa sasaran menjadi bahan pertimbangan sekaligus penentu

ketepatan pemahaman terhadap teks bahasa sumber dan teks translasi dalam bahasa

sasaran. Dengan kata lain, untuk menemukan makna teks bahasa sumber harus

diperhatikan konteks yang melatarbelakangi bahasa tersebut, sehingga makna tersebut

dapat diekspresikan kembali dengan relatif sama dalam translasi bahasa sasaran.

Kedua teks tersebut (bahasa sumber dan bahasa sasaran) sama-sama bergantung pada

konteks pemakaian bahasa dalam kajian Tema dan Rema yang menjadi fokus

penelitian ini. Hasil kajian ini, peneliti akan menemukan Tema dominan, jenis

pergeseran Tema, dan faktor yang menyebabkan persegeran Tema.

Universitas Sumatera Utara