Chapter II
-
Upload
zolla-verbianti-suwita -
Category
Documents
-
view
15 -
download
3
description
Transcript of Chapter II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Kosmetik
Kosmetika berasal dari kata kosmein (Yunani) yang berarti “berhias”.
Kosmetika sudah dikenal orang sejak zaman dahulu kala. Di Mesir, 3500 tahun
Sebelum Masehi telah digunakan berbagai bahan alami baik yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan, hewan maupun bahan alam lain misalnya tanah liat, lumpur, arang,
batubara bahkan api, air, embun, pasir atau sinar matahari.
Penggunaan susu, akar, daun, kulit pohon, rempah, minyak bumi, minyak
hewan, madu dan lainnya sudah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan masyarakat
saat itu. Hal ini dapat diketahui melalui naskah-naskah kuno yang ditulis dalam
papirus atau dipahat pada dinding piramida.
Pengetahuan kosmetik tersebut kemudian menyebar keseluruh penjuru dunia
melalui jalur komunikasi yang terjadi dalam kegitan perdagangan, agama, buadaya,
politik dan militer. Di Indonesia sendiri sejarah tentang kosmetologi telah dimulai
jauh sebelum zaman penjajahan Belanda, namun sayang tidak ada catatan yang jelas
mengenai hal tersebut yang dapat dijadikan pegangan.
Namun dari cerita dan legenda Ken Dedes, Dewi Ratih dan roro Jongrang,
dapat diperkiarakan adanya usaha dan cara untuk meningkatkan kecantikan dengan
kosmetik tradisional. Sekarang kosmetika dibuat manusia tidak hanya dari bahan
alami saja tetapi juga bahan buatan untuk maksud meningkatkan kecantikan
(Wasitaatmaja, S.M, 1997).
2.2. Defenisi Kosmetika
Menurut Wall dan Jellinek, 1970, kosmetik dikenal manusia sejak berabad-
abad yang lalu. Pada abad ke-19, pemakaian kosmetik mulai mendapat perhatian,
yaitu selain untuk kecantikan juga untuk kesehatan. Perkembangan ilmu kosmetik
serta industrinya baru dimulai secara besar-besaran pada abad ke-20 (Tranggono,
2007).
Kosmetika adalah bahan atau campuran bahan untuk digosok, dilekatkan,
dituangkan, dipercikkan, atau disemprotkan pada badan atau bagian badan manusia
dengan maksud untuk membersihkan, memelihara, menembah daya tarik atau
mengubah rupa, dan tidak termasuk golongan obat. Defeisi tersebut jelas
menunjukkan bahwa kosmetika bukan satu obat yang dipakai untuk diagnosis,
pengobatan maupun pencegahan penyakit (Wasitaatmadja,1997).
Sejak semula kosmetik merupakan salah satu segi ilmu pengobatan atau ilmu
kesehatan, sehingga para pakar kosmetik dahulu adalah juga pakar kesehatan; seperti
para tabib, dukun, bahkan penasehat keluarga istana. Dalam perkembangannya
kemudian, terjadi pemisahan antara kosmetik dan obat, baik dalam hal jenis, efek,
efek samping dan lainnya
Ilmu yang mempelajari kosmetika disebut “kosmetologi”, yaitu ilmu yang
berhubungan dengan pembuatan, penyimpanan, aplikasi penggunaan, efek dan efek
samping kosmetika. Dalam kosmetologi berperan berbagai disiplin ilmu terkait yaitu:
teknik kimia, farmakologi, farmasi, biokimia, mikrobiologi, ahli kecantikan dan
dermatologi. Dalam disiplin ilmu dermatologi yang menangani khusus peranan
kosmetika disebut “dermatologi kosmetik“ (cosmetic dermatology) (Wasitaatmadja,
1997).
2.2.1. Penggolongan Kosmetik
Adapun penggolongan kosmetik terbagi atas beberapa golongan, diantaranya:
a. Menurut Jellinek (1959) dalam Formulation and Function of Cosmetics membuat
penggolongan kosmetika menjadi :
1. Preparat pembersih
2. Preparat deodorant da antiperspirasi
3. Preparat protektif
4. Preparat dengan efek dalam
5. Emolien
6. Preparat dekoratif/superficial
7. Preparat dekoratif/dalam
8. Preparat buat kesenangan
b. Menurut Wells FV dan Lubowe-II (Cosmetics and The Skin, 1964),
mengelompokkan kosmetik menjadi:
1. Preparat untuk kulit muka
2. Preparat untuk higienis mulut
3. Preparat untuk tangan dan kaki
4. Kosmetik badan
5. Preparat untuk rambut
6. Kosmetika untuk pria dan toilet
c. Menurut Brauer EW dan Principles of Cosmetics for The Dermatologist membuat
klasifikasi sebagai berikut :
1. Toiletries : sabun, shampo, pengkilap rambut, kondisioner rambut, piñata,
pewarna, pengeriting, pelurus rambut, deodorant, antipespiran,dan tabir surya.
2. Skin care : pencukur, pembersih, astringen, toner, pelembab, masker, krem
malam, dan bahan untuk mandi.
3. Make up : foundation, eye make up, lipstick, rouges, blushers, enamel kuku.
4. Fragrance : perfumes, colognes, toilet waters, body silk, bath powders.
d. Penggolongan kosmetik menurut cara pembuatan (Tranggono, 2004) sebagai
berikut:
1. Kosmetik modern, diramu dari bahan kimia dan diolah secara modern
(termasuk di antaranya adalah cosmedic).
2. Kosmetik tradisional:
a. Betul-betul tradisional, misalnya mangir, lulur, yang dibuat dari bahan alam
dan diolah menurut resep dan cara yang turun-temurun.
b. Semi tradisional, diolah secara modern dan diberi bahan pengawet agar
tahan lama.
c. Hanya namanya yang tradisional, tanpa komponen yang benar-benar
tradisional dan diberi warna yang menyerupai bahan tradisional.
e. Menurut Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI membagi kosmetik
menjadi :
1. Preparat untuk bayi
2. Preparat untuk mandi
3. Preparat untuk mata
4. Preparat wangi-wangian
5. Preparat untuk rambut
6. Preparat untuk rias (make up)
7. Preparat untuk pewarna rambut
8. Preparat untuk kebersihan mulut
9. Preparat untuk kebersihan badan
10. Preparat untuk kuku
11. Preparat untuk cukur
12. Preparat untuk perawatan kulit
13. Preparat untuk proteksi sinar matahari (Wasitaatmadja, 1997).
2.2.2. Persyaratan Kosmetik
Kosmetik yang diproduksi dan atau diedarkan harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Menggunakan bahan yang memenuhi standar dan persyaratan mutu serta
persyaratan lain yang ditetapkan.
b. Diproduksi dengan menggunakan cara pembuatan kosmetik yang baik.
c. Terdaftar pada dan mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan
RI (BPOM RI) (Wasitaatmadja, 1997).
2.2.3. Komposisi Kosmetika
Pada umumnya kosmetika terdiri atas berbagai macam bahan, yang
mempunyai tugas tertentu didalam campuran tersebut. Adapun pembagian isi atau
komposisi kosmetika berdasarkan tugas bahan kosmetika adalah sebagai berikut:
1. Bahan Dasar (Vehikulum)
Bahan dasar sebagai pelarut atau merupakan tempat dasar bahan lain sehingga
umumnya menempati volume yang jauh lebh besar dari bahan yang lainnya. Bahan
dasar kosmetika terdiri dari:
a. Air atau campurannya dengan bahan dasar lain seperti alcohol, aseton, minyak,
bedak
b. Alkohol atau campurannya dengan air atau minyak
c. Vaselin atau campurannya dengan lanonin, gliserin atau talk
d. Minyak atau garam minyak dengan campurannya dengan air atau alcohol
e. Talkum atau cmpurannya dengan minyak atau vaselin.
2 Bahan aktif (Active Ingredients)
Merupakan bahan kosmetika terpenting dan mempunyai daya kerja
diunggulkan dalam kosmetika tersebut sehingga memberikan nama daya kerjanya
pada seluruh campuran bahan tersebut. Konsentrasi bahan aktif kosmetik pada
umumnya kecil, namun dapat pula tinggi apabila bahan aktif kosmetika tersebut
sekaligus berperan sebagai bahan dasarnya,misalnya bahan aktif dalam preparat
pembersih muka.
3. Bahan yang menstabilkan campuran (Stabilizer)
Bahan-bahan yang menstabilkan campuran (Stabilizer) sehingga kosmetik
tersebut dapat lebih lama lestari baik dalam warna, baud an bentuk fisik. Bahan-bahan
tersebut adalah:
a. Emulgator, yaitu bahan yang memungkinkan tercampurnya semua bahan-
bahan secara merata (homogen). Misalnya lanonin,gliserin, alcohol,
monostearat.
b. Pengawet, yaitu bahan yang dapat mengawetkan kosmetika dalam jangka
waktu yang panjang agar dapat digunakan lebih lama. Misalnya asam
benzoate, formaldehid, dan lain sebagainya.
c. Pelekat, yaitu yang dapat melekatkan kosmetika ke kulit terutama pada
kosmetika yang tidak lengket ke kulit semacam bedak. Misalnya seng,
magnesium stearat.
4. Bahan pelengkap kosmetika
Sebagai bahan pelengkap kosmetika yang berupa pengawet (perfumery),
maksudnya agar kosmetika segar baunya bila dipakai, dan pewarna (coloring), agar
kosmetika enak dipandang mata sebelum dan sewaktu dipakai. Pada kosmetika yang
tujuannya untuk mewangikan kulit atau mewarnai kulit (dekoratif), maka bhan
pelengkap ini menjadi bahan aktif dari kosmetika. (Wasitaatmadja, 1997).
2.3. Kosmetika Dekoratif
Kekhasan kosmetik dekoratif adalah bahwa kosmetik ini bertujuan semata-mata
untuk mengubah penampilan, yaitu agar tampak lebih cantik dan noda-noda atau kelainan
pada kulit tertutupi. Kosmetik dekoratif tidak perlu menambah kesehatan kulit. Kosmetik
ini dianggap memadai jika tidak merusak kulit (Tranggono, 2007).
2.3.1. Pembagian Kosmetik Dekoratif
Kosmetik dekoratif dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu :
1. Kosmetik dekoratif yang hanya menimbulkan efek pada permukaan dan
pemakaiannya sebentar, misalnya bedak, lipstik, pemerah pipi, eye shadow, dan
lain-lain.
2. Kosmetik dekoratif yang efeknya mendalam dan biasanya dalam waktu lama
baru luntur, misalnya kosmetik pemutih kulit, cat rambut, dan pengeriting
rambut. (Tranggono,2007)
2.3.2. Persyaratan Kosmetik Dekoratif
Persyaratat untuk kosmetik dekoratif antara lain adalah :
a. Warna yang menarik.
b. Bau harum yang menyenangkan.
c. Tidak lengket.
d. Tidak menyebabkan kulit tampak berkilau.
e. Tidak merusak atau mengganggu kulit.. (Tranggono, 2007):
2.4. Kosmetika Rias Bibir
Bagi bibir yang begitu sempit ternyata tersedia berbagai macam kosmetika
rias. Kosmetika rias bibir selain untuk merias bibir ternyata disertai juga dengan bahan
untuk meminyaki dan melindungi bibir dari lingkungan yang merusak, misalnya sinar
ultraviolet. Ada beberapa macam kosmetika rias bibir, yaitu:
a. Lipstik dan lip crayon
b. Krim bibir (lip cream) dan pengkilat bibir (lip gloss)
c. Penggaris bibir (lip liner) dan lip sealers. (Tranggono, 2007)
2.4.1. Lipstik
Tak ada wanita yang tak pernah memakainya. Bahkan ada sementara wanita
yang memandangnya sebagai sebuah kebutuhan. Tak akan merasa nyaman kalau tidak
memakainya. Lipstik digunakan terutama oleh para wanita untuk menambah warna
pada wajah sehingga tampak lebih segar, membentuk bibir, serta memberi ilusi bibir
lebih kecil atau besar tergantung warna yang digunakan.
Lipstik adalah pewarna bibir yang dikemas dalam bentuk batang padat (roll up)
yang dibentuk dari minyak, lilin dan lemak. Bila pengemasan dilakukan dalam bentuk
batang lepas disebut lip crayon yang memerlukan bantuan pensil warna untuk
memperjelas hasil usapan pada bibir. Sebenarnya lipstik adalah juga lip crayon yang
diberi pengungkit roll up untuk memudahkan pemakaian dan hanya sedikit lebih
lembut dan mudah dipakai. Lip crayon biasanya menggunakan lebih banyak lilin dan
terasa lebih padat dan kompak. (Wasitaatmadja, 1997)
Lipstik terdiri dari zat warna yang terdispersi dalam pembawa yang terbuat
dari campuran lilin dan minyak, dalam komposisi yang sedemikian rupa sehingga
dapat memberikan suhu lebur dan viskositas yang dikehendaki. Suhu lebur lipstik
yang ideal yang sesungguhnya diatur suhunya hingga mendekati suhu bibir, bervariasi
antara 36-38ºC. Tetapi karena harus memperhatikan faktor ketahanan terhadap suhu
cuaca disekelilingnya, terutama suhu daerah tropik, maka suhu lebur lipstik dibuat
lebih tinggi yang dianggap lebih sesuai dan diatur pada suhu lebih kurang 62ºC, atau
bisanya berkisar antara 55º-75ºC. (Depkes RI, 1985)
2.4.2. Komposisi lipstik
Adapun bahan-bahan utama pada lipstik adalah sebagai berikut :
a. Lilin
Misalnya carnauba wax, paraffin waxes, ozokerite, beewax, candellila wax,
spermaceti, ceeresine. Semuanya berperan pada kekerasan lipstik
b. Minyak
Fase minyak dalam lipstik dipilih terutama berdasarkan kemampuannya
melarutkan zat-zat eosin. Misalnya minyak castrol, tetrahydrofurfuril alcohol, fatty
acid alkylolamides, dihydric alcohol, beserta monoethers dan monofatty acid
esternya, isopropyl myristate, isopropyl palmitate, butyl stearate, paraffin oil.
c. Lemak
Misalnya, krim kakao, minyak tumbuhan yang sudah dihidrogenasi (misalnya
hydrogenated castrol oil), cetyl alcohol, oleyil alcohol, lanolin.
d. Acetoglycerides
Direkomendasikan untuk memperbaiki sifat thoxotropik batang lipstik meskipun
tempertur berfluktuasi, kepadatan lipstik tetap konstan.
e. Zat-zat pewarna
Zat pewarna yang dipakai secara universal didalam lipstick adalah zat warna eosin
yang memenuhi dua persyaratan sebagai zat warna untuk lipstik, yaitu kelekatan
pada kulit dan kelarutan dalam minyak. Pelarut terbaik didalam eosin adalah
castrol oil. Tetapi furfuryl alcohol beserta ester-esternya terutama stearat dan
ricinoleat memiliki daya melarutkan eosin yang lebih besar. Fatty acid
alkylolamides jika dipasang sebagai pelarut eosin, akan memberikan warna yang
intensif pada bibir.
f. Surfaktan
Surfaktan kadang-kadang ditambahkan dalam pembuatan lipstik untuk
memudahkan pembasahan disperse partikel-partikel pigmen warna yang padat.
g. Antioksidan
h. Bahan pengawet
Bahan pengawet (fragrance) atau lebih tepat bahan pemberi rasa segar (flavoring)
harus mampu menutupi rasa bau dan rasa kurang sedap dari lemak-lemak dalam
lipstik dan menggantinya dengan bau dan rasa yang menyenangkan.
(Trenggono,2004)
2.4.3. Persyaratan Lipstik
Persyaratan untuk lipstik yang diinginkan atau dituntut oleh masyarakat, antara
lain :
1. Melapisi bibir secara mencukupi
2. Dapat bertahan di bibir dalam waktu yang lama
3. Cukup melekat pada bibir tetapi tidak sampai lengket
4. Melembabkan bibir dan tidak mengeringkannya
5. Memberikn warna yang merata pada bibir
6. Penampilannya harus menarik, baik warna maupun bentuknya
7. Tidak meneteskan minyak, permukaannya mulus, tidak bopeng atau berbintik-
bintik, atau memperlihatkan hal lain yang tidak menarik. (Trenggono,2004)
2.5. Zat Pewarna Kosmetik
Salah satu penentuan mutu suatu bahan dapat diamati dengan warna. Warna hasil
produksi suatu bahan sangat berpengaruh bagi pemakainya, sebagai contoh, warna suatu
kosmetika sangat berperan secara psikologis bagi pemakainya terhadap pembentuk
kecantikan. Adapun maksud dan tujuan pemberian zat warna pada suatu bahan, baik obat,
kosmetika dan makanan sebagai berikut :
1. Supaya bahan atau hasil produksi itu menarik bagi pemakainya,
2. Menghindari adanya pemalsuan terhadap hasil suatu pabrik,
3. Menjaga keseragaman hasil suatu pabrik.
Yang lebih penting adalah keamanan bagi para pemakai zat warna, sebab
pemakaian yang keliru dapat menyebabkan hal-hal yang tidak dikehendaki seperti
misalnya memberikan efek karsinogenik, teratogenik, alergi, dan lain-lain.
Pewarna yang digunakan dalam kosmetika umumnya terdiri atas 2 jenis yaitu:
a. Pewarna yang dapat larut dalam cairan (solube), air, alkohol dan minyak. Contoh
warna kosmetika ialah pewarna asam (acid dyes) yang merupakan golongan
terbesar pewarna pakaian, makanan dan kosmetika. Unsur terpenting dari
pewarna ialah gugus azo; solvent dyes yang larut dalam air atau alkohol, misal
merah DC, merah hijau No.17, violet, kuning, xanthenes dyes yang dipakai dalam
lipstick, misalnya DC orange, merah dan kuning.
b. Pewarna yang tidak dapat larut dalam cairan (insoluble), yang terdiri atas bahan
organik dan inorganik, misalnya lakes, besi oksida.
Tidak semua zat warna dapat digunakan untuk kosmetika. Zat warna yang
sudah sejak lama dikenal dan digunakan salah satunya adalah daun pandan dan daun
suji untuk warna hijau dan kunyit untuk warna kuning. Kini dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi telah ditemukan zat warna sintetis, karena
penggunaannya lebih praktis dan harganya lebih murah. Ada beberapa hal yang dapat
menyebabkan suatu bahan pewarna, antara lain dengan penambahan zat pewarna.
Secara garis besar, berdasarkan sumbernya dikenal dua jenis zat pewarna yang
termasuk dalam golongan bahan tambahan pangan, yaitu pewarna alami dan pewarna
sintetis.
1. Zat warna alam yang larut.
Zat ini sekarang sudah jarang dipakai dalam kosmetik. Sebetulnya dampak zat
alam ini pada kulit lebih baik dari pada zat warna sintetis, tetapi kekuatan
pewarnaanya relatif lemah, tak tahan cahaya, dan relatif mahal. Misalnya carmine zat
warna merah yang diperoleh dari dari tubuh serangga coccus cacti yang dikeringkan ,
klorofil daun-daun hijau, henna yang diekstraksi dari daun Lawsonia inermis,
carotene zat warna kuning.
2. Zat warna sintetis yang larut.
Zat warna sintetis pertama kali disintetis dari anilin, sekarang benzena, toluena,
anthracene yang berfungsi sebagai produk awal bagi kebanyakan zat warna. Sifat-sifat
zat warna sintetis yang perlu diperhatikan antara lain :
a. Intensitas harus kuat sehingga jumlah sedikit pun sudah memberi warna.
b. Harus bisa larut dalam air, alkohol, minyak, atau salah satunya. Yang larut air
untuk emulsi O/W dan larut minyak untuk emulsi W/O. Yang larut air hampir
selalu juga larut dalam alkohol encer, gliserol, dan glikol. Yang larut minyak juga
larut dalam benzena, karbon tetraklorida, dan pelarut organik lainnya, kadang-
kadang juga dalam alkohol tinggi. Tidak pernah ada zat warna yang sekaligus
larut dalam air dan minyak.
c. Sifat yang berhubungan dengan pH. Beberapa zat warna hanya larut dalam pH
asam, lainnya hanya dalam pH alkalis.
d. Kelekatan pada kulit atau rambut. Daya lekat berbagai zat warna pada kulit dan
rambut barbeda-beda. Terkadang kita memerlukan daya lekat besar seperti cat
rambut, namun terkadang kita menghindarinya misalnya untuk pemerah pipi.
e. Toksisitas. Yang toksis harus dihindari, tetapi ada derajat keamanannya.
3. Pigmen alam.
Pigmen alam adalah pigmen warna pada tanah yang memang terdapat secara
alamiah, misalnya aluminium silikat, yang warnanya tergantung pada kandungan
besi oksida atau mangan oksidanya (misalnya kuning, coklat, merah bata, coklat
tua). Zat warna ini murni, sama sekali tidak berbahaya, penting untuk mewarnai
bedak-krim dan make-up sticks. Warnanya tidak seragam, tergantung asalnya,
dan pada pemanasan kuat menghasilkan pigmen warna baru.
4. Pigmen sintetis.
Dewasa ini besi oksida sintetis sering menggantikan zat warna alam. Warnanya
lebih intens dan lebih terang. Pilihan warnanya antara lain kuning, coklat sampai
merah, dan macam-macam violet. Pigmen sintetis putih seperti zinc oxida dan
titanium oxida termasuk dalam kelompok zat pewarna kosmetik yang terpenting.
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
Nomor 00386/C/SK/II/90 bahwa zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan
berbahaya dalam obat, makanan, dan kosmetika adalah seperti yang disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1 zat warna sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan, dan makanan
No Nama Nomor Indeks Warna
1 Jingga K1 (C.I. Pigment Orange 5, D&C Orange No.17) 12075 2 Merah K3 (C.I. Pigment Red 53, D&C Red No.8) 15585 3 Merah K4 (C.I. Pigment Red 53 : 1, D&C Red No.9) 15585 : 1 4 Merah K10 (Rhodamin B, C.I. Food Red 15, D&C Red
No.19) 45170
5 Merah K11. 45170 : 1 Sumber: Skep Dirjen POM No.00386/C/SK/II/90
2.6. Rhodamin B
2.6.1. Defenisi Rhodamin B
Rhodamin B merupakan zat warna golongan xanthenes dyes. Rhodamin adalah
bahan kimia yang digunakan untuk pewarna merah pada industri tekstil dan plastik.
Rhodamin B adalah pewarna sintetis yang berasal dari metanlinilat dan dipanel alanin
yang berbentuk serbuk kristal berwarna kehijauan, berwarna merah keunguan dalam
bentuk terlarut pada konsentrasi tinggi dan berwarna merah terang pada
konsentrasi rendah. Rhodamin B sering disalah gunakan untuk pewarna pangan
(kerupuk,makanan ringan,es-es dan minuman yang sering dijual di sekolahan) serta
kosmetik dengan tujuan menarik perhatian konsumen. Rhodamine B
(C28N31N2O3Cl) adalah bahan kimia sebagai pewarna dasar untuk berbagai
kegunaan, semula zat ini digunakan untuk kegiatan histologi dan sekarang
berkembang untuk berbagai keperluan yang berhubungan dengan sifatnya yang
berfluorensi dalam sinar matahari (Budavari, 1996).
Berikut ini adalah nama-nama lain dari Rhodamin B, diantaranya adalah
sebagai berikut :
a. Acid Bruliant Pink B
b. ADC Rhodamine B
c. Aizen Rhodamine BH
d. Aizen Rhodamine BHC
e. Akiriku Rhodamine B
f. Briliant Pink B
g. Calcozine Rhodamine BL
h. Calcozine Rhodamine BX
i. Calcozine Rhodamine BXP
j. Cerise Toner
k. [9-(orto-Karboksifenil)-6-(dietilamino)-3H-xantin-3-ylidene] dietil ammonium
klorida
l. Cerise Toner X127
m. Certiqual Rhodamine
n. Cogilor Red 321.10
o. Cosmetic Briliant Pink Bluish D conc
p. Edicol Supra Rose B
q. Elcozine rhodamine B
r. Geranium Lake N
s. Hexacol Rhodamine B Extra
t. Rheonine B
u. Symulex Magenta
v. Takaoka Rhodmine B
w. Tetraetilrhodamine
2.6.2. Struktur Rhodamin B
Gambar. Rumus bangun Rhodamin B (Tetraethyl Rhodamine)
Nama umum : Rumus Bangun Rhodamin B
Nama Kimia : N-[9-(carboxyphenyl)-6-(diethylamino)-3H-xanten-3-ylidene]-N-
ethylethanaminium chlorida
Nama Lazim : Tetraethylrhodamine; D&C Red No. 19; Rhodamine B chlorida; C.I.
Basic Violet 10; C.I. 45170
Rumus Kimia : C28H31ClN2O3
BM : 479
Pemerian : Hablur hijau atau serbuk ungu kemerahan
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air menghasilkan larutan merah kebiruan
dan berfluoresensi kuat jika diencerkan. Sangat mudah larut dalam
alkohol; sukar larut dalam asam encer dan dalam larutan alkali. Larutan
dalam asam kuat membentuk senyawa dengan kompleks antimon
berwarna merah muda yang larut dalam isopropil eter (Budavari,
1996).
Penggunaan : Sebagai pewarna untuk sutra, katun, wol, nilon, kertas, tinta, sabun,
pewarna kayu, bulu, dan pewarna untuk keramik China. Jug digunakan
sebagai pewarna obat dan kosmetik dalam bentuk larutan obat yang
encer, tablet, kapsul, pasta gigi, sabun, larutan pengering rambut,
garam mandi, lipstick, pemerah pipi (Budavari, 1996).
Penggunaan rhodamin B pada makanan dan kosmetik dalam waktu lama akan
mengakibatkan kanker dan gangguan fungsi hati. Namun demikian, bila terpapar
rhodamin B dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan terjadi gejala akut
keracunan rhodamin B. Bila rhodamin B tersebut masuk melalui makanan akan
mengakibatkan iritasi pada saluran pencernaan dan mengakibatkan gejala keracunan
dengan urine yang berwarna merah maupun merah muda. Selain melalui makanan
ataupun kosmetik, rhodamin B juga dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, jika
terhidup terjadi iritasi pada saluran pernafasan. Mata yang terkena rhodamin B juga
akan mengalami iritasi yang ditandai dengan mata kemerahan dan timbunan cairan
atau udem pada mata. Jika terpapar pada bibir dapat menyebabkan bibir akan pecah-
pecah, kering, dan gatal. Bahkan, kulit bibir terkelupas (Yulianti, 2007).
2.6.3. Tanda-tanda Terpapar Rhodamin B
Tanda-tanda dan gejala Akut bila terpapar Rhodamin B, adalah sebagai
berikut:
1. Jika tertelan, dapat menimbulkan iritasi pada saluran pencernaan dan
menimbulkan gejala keracunan dan air seni berwarna merah atau merah muda.
2. Jika terkena kulit, dapat menimbulkan iritasi pada kulit.
3. Jika terkena mata, dapat menimbulkan iritasi pada mata, mata kemerahan,
oedema pada kelopak mata.
4. Jika terhirup, dapat menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan.
5. Jika tertelan, dapat menimbulkan iritasi pada saluran pencernakan dan
menimbulkan gejala keracunan dan air seni berwarna atau merah muda
(Yulianti, 2007).
2.7. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) dan Kromatografi Cair (KKt) adalah metode
kromatografi cair yang paling sederhana diantara kromatografi lainnya. Dengan
memakai kromtografi lapis tipis, pemisahan senyawa yang amat berbeda seperti
senyawa organic alam dan senyawa organic sintetik, kompleks anorganik-organik, dan
bahkan ion anorganik, dapat dilakukan dalam beberapa menit dengan alat yang
harganya tidak terlalu mahal. Kelebihan kromatografi lapis tipis ialah pemakaian
pelarutan cuplikan (sampel) yang jumlahnya sedikit, kemungkinan penotolan cuplikan
berganda (saling membandingkan langsung cuplikan praktis), dan tersedianya
berbagai metode (seperti KG, KCC, dan kromatografi ekslusif) (Gritter,1991).
Semua pemisahan dengan kromatografi tergantung pada kenyataan bahwa
senyawa-senyawa yang dipisahkan terdistribusi sendiri di antara fase gerak dan fase
diam dalam perbandingan yang sangat berbeda-beda dari satu senyawa terhadap
senyawa yang lain (Hardjono, 1985).
Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan noda dalam kromatografi lapis tipis
yang juga mempengaruhi harga Rf, yaitu :
1. Struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan.
2. Sifat dari penyerap dan derajat aktifitasnya.
Biasanya aktifitas dicapai dengan pemanasan dalam oven, hal ini akan
mengeringkan molekul-molekul air yang menempati pusat-pusat serapan dari
penyerap.
3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap.
Meskipun dalam prakteknya tebal lapisan tidak dapat dilihat pengaruhnya, tapi
perlu diusahakan tebal lapisan yang rata. Ketidakrataan akan menyebabkan aliran
pelarut menjadi tak rata pula dalam daerah yang kecil dari plat.
4. Pelarut dan derajat kemurnian fase gerak.
Kemurnian dari pelarut yang digunakan sebagai fase gerak pada kromatografi
lapis tipis adalah sangat penting dan bila campuran pelarut diguanakan maka
perbandingan yang dipakai harus betul-betul diperhatikan.
5. Derajat kejenuhan dari uap dalam bejana pengembangan yang digunakan.
6. Teknik percobaan.
7. Jumlah cuplikan yang digunakan.
Penetesan cuplikan dalam jumlah yang berlebihan memberikan tendensi
penyebaran noda-noda dengan kemungkinan terbentuknya ekor dan efek tak
seimbang lainnya sehingga mengakibatkan kesalahan-kesalahan pada harga-harga
Rf.
8. Suhu.
Pemisahan-pemisahan sebaiknya dikerjakan pada suhu tetap, hal ini terutama
untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi pelarut yang disebabkan
oleh penguapan atau perubahan-perubahan fase.
9. Kesetimbangan.
Kesetimbangan dalam lapisan tipis sangat penting, hingga perlu mengusahakan
atmosfer dalam bejana jenuh dengan uap pelarut. Suatu gejala bila atmosfer
dalam bejana tidak jenuh dengan uap pelarut, bila digunakan pelarut campuran,
akan terjadi pengembangan dengan permukaan pelarut yang berbentuk cekung
dan fasa bergerak lebih cepat pada bagian tepi-tepi dari pada di bagian tengah
(Hardjono, 1985).
2.8. Spektrofotometri UV Visibel
Radiasi elektromagnetik, yang mana sinar ultraviolet dan sinar tampak
merupakan salah satunya, dapat dianggap sebagai energy yang merambat dalam
bentuk gelombang. Beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan
gelombang ini. Panjang gelombang merupakan jarak linier dari suatu titik pada satu
gelombang ke titik yang bersebelahan pada gelombang yang bersebelahan. Dimensi
panjang gelombang adalah panjang (L) yang dapat dinyatakan dalam centimeter (cm)
(Rohman, 2007).
Sepektrum ultraviolet adalah suatu gambaran antara panjang gelombang atau
frekuensi serapan lawan intensitas serapan (transmitasi atau absorbansi). Sering juga
data ditunjukkan sebagai gambar grafik atau table yang menyatakan panjang
gelombang lawan serapan molar atau log dari serapan molar Emax atau log Emax .
Instrumen yang digunakan untuk mempelajari serapan atau emisi radiasi
elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang disebut “Spektrometer” atau
spektrofotometer. Komponen –komponen pokok dari spektrofotometer meliputi :
1. Sumber tenaga radiasi yang stabil
Sumber radiasi ultra violet yang kebanykan digunakan adalah lampu hidrogen
dan lampu deuterium. Yang terdiri dari sepasang elektroda yang terselubung
dalamtabung gas dan disi dengan gas hidrogen dan deuterium yang bertekanan rendah.
Sumber radiasi ultraviolet lain adalah lampu xenon, tetapi tidak se stabil lampu
hidrogen. Sumber radiasi terlihat dan radiasi inframerah dekan dengan biasa
digunakan adalah lampu filamen tungsten. Filament dipanaskan oleh sumber arus
searah (DC), atau oleh baterai. Filamen tungsten menghasilkan radiasi kontinu dalam
daerah antara 350 dan 2500 nm.
2. Monokromator
Dalam spektrometer, radiasi yang polikromatik yang harus diubah menjadi
radiasi monokromatik. Ada dua jenis alat yang digunakan untuk mengurai radiasi
polikromatik menjadi monokromatik yaitu penyaring dan monokromator. Penyaring
dibuat dari benda khusus yang hanya meneruskan radiasi pada daerah panjang
gelombang tertentu dan penyerap radiasi dari panjang gelombang yang lain.
Monokromator merupakan serangkaian alat optik yang mengurai radiasi polikromatik
menjadi jalur-jalur yang efektif/panjang gelombang-gelombang tunggalnya dan
memisahkan panjang gelombang-gelombang tersebut menjadi jalur-jalur yang sangat
sempit.
3. Tempat Cuplikan
Cuplikan pada daerah ultraviolet atau terlihat yang biasnya berupa gas atau
larutan ditempatkan dalam sel atau kuvet. Untuk daerah violet biasanya digunakan
Quartz atau sel dari silica yang dilebur, sedangkan untuk daerah terlihat digunkan
gelas biasa atau quartz. Sel yang digunakan untuk cuplikan yang berupa gas
mempunyai panjang lintasan dari 0,1 – 100 nm, sedangkan sel untuk larutan
mempunyai panjang lintasan tertentu dari 1 hingga 10 cm. Sebelum sel dipakai harus
dibersihkan dengan air, atau jika dikehendaki dapat dicuci dengan larutan detergen
atau asam nitrat panas.
4. Detektor
Setiap detektor penyerap tenaga foton yang mengenainya dan mengubah tenaga
tersebut untuk dapat di ukur secara kuantitatif seperti sebagai arus listrik atau
perubahan-perubahan panas. Kebanyakan detektor menghasilkan sinyal listrik yang
dapat mengaktifkan meter atau pencatat. Setiap pencatat harus menghasilkan sinyal
yang secara kuantitatif berkaitan dengan tenaga cahaya yang mengenainya
(Sastrohamidjodjo.H,2001).