Chapter II

download Chapter II

of 35

description

bab 2

Transcript of Chapter II

  • 10

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Keluarga Sadar Gizi

    Kadarzi merupakan suatu gerakan yang terkait dengan program Kesehatan

    Keluarga dan Gizi (KKG), yang merupakan bagian dari Usaha Perbaikan Gizi

    Keluarga (UPGK). Disebut Kadarzi, jika sikap dan perilaku keluarga dapat secara

    mandiri mewujudkan keadaan gizi yang sebaik-baiknya yang tercermin dari pada

    konsumsi pangan yang beraneka ragam dan bermutu gizi seimbang. Dalam keluarga

    sadar gizi sedikitnya ada seorang anggota keluarga yang dengan sadar bersedia

    melakukan perubahan ke arah keluarga yang berperilaku gizi baik dan benar. Bisa

    seorang ayah, ibu, anak, atau siapapun yang terhimpun dalam keluarga itu (Depkes

    RI, 2007).

    2.1.1. Program Keluarga Sadar Gizi

    Tahun 1998 telah dicanangkan gerakan keluarga sadar gizi (Kadarzi) yang

    dimotori oleh Departemen Kesehatan dengan tujuan agar pada tahun 2000 paling

    tidak setengah keluarga Indonesia telah menjadi keluarga sadar gizi.

    2.1.2. Konseling Keluarga Sadar Gizi

    Konseling Kadarzi adalah dialog atau konsultasi antara kader dasawisma,

    Tenaga Penggerak Masyarakat (TPM) dengan keluarga untuk membantu

    memecahkan masalah perilaku gizi yang belum dapat dilakukan oleh keluarga.

    10

    Universitas Sumatera Utara

  • 11

    1. Tujuan Konseling Kadarzi

    Memantapkan kemauan dan kemampuan keluarga untuk melaksanakan perilaku

    gizi yang baik dan benar dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki keluarga

    atau yang ada di lingkungannya.

    2. Pelaksana Konseling Kadarzi

    Untuk pertama kali konseling dilakukan oleh Tenaga Pelaksana Gizi (TPG)

    puskesmas bersama Tenaga Penggerak Masyarakat (TPM) dan kader dasawisma.

    Untuk selanjutnya konseling Kadarzi dilakukan oleh kader dasawisma dan TPM.

    3. Sasaran Konseling Kadarzi

    Konseling dilakukan pada keluarga yang belum menerapkan indikator sadar gizi.

    Konseling ditujukan kepada anggota keluarga yang sudah dewasa.

    2.1.3. Pemetaan Keluarga Sadar Gizi

    Pemetaan Kadarzi dilakukan untuk mengetahui situasi Kadarzi di suatu

    wilayah kerja puskesmas yang dilakukan pertama kali oleh TPG, kemudian untuk

    berikutnya dilakukan oleh ketua kelompok posyandu. Pemetaan dilakukan setiap 6

    bulan sekali yaitu pada bulan Februari dan Agustus.

    1. Tujuan Pemetaan Kadarzi

    1. Mendapatkan informasi situasi Kadarzi dalam suatu wilayah atau dasawisma

    berdasarkan indikator yang ditentukan

    2. Mendapatkan gambaran masalah gizi dan perilaku gizi yang baik dan benar

    yang belum dapat dilaksanakan oleh keluarga

    3. Sebagai bahan acuan konseling dan intervensi gizi

    Universitas Sumatera Utara

  • 12

    4. Sebagai bahan acuan pemantauan dan evaluasi situasi Kadarzi dari waktu ke

    waktu.

    2. Sasaran Pemetaan Kadarzi

    Sasaran pemetaan Kadarzi adalah semua keluarga yang ada di wilayah kerja

    puskesmas (Depkes RI., 2007).

    2.1.4. Indikator Keluarga Sadar Gizi

    Indikator Kadarzi digunakan untuk mengukur tingkat sadar gizi keluarga.

    Menurut Depkes RI (2007), suatu keluarga disebut Kadarzi apabila telah berperilaku

    gizi yang baik yang dicirikan minimal dengan:

    1. Menimbang berat badan secara teratur;

    2. Memberikan air susu ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur enam

    bulan (ASI eksklusif);

    3. Makan beraneka ragam;

    4. Menggunakan garam beryodium; dan

    5. Minum suplemen gizi sesuai anjuran.

    Perilaku Kadarzi diukur minimal dengan lima indikator di atas yang

    penggunaannya disesuaikan dengan karakteristik keluarga, seperti berikut:

    Universitas Sumatera Utara

  • 13

    Tabel 2.1. Indikator Kadarzi Berdasarkan Karakteristik Keluarga

    Indikator

    No.Karakteristik Keluarga KADARZI Keterangan

    yang berlaku *)1 2 3 4 5

    1. Bila keluarga mempunyai ibu hamil, bayi 0-6 bulan, balita 6-59 bulan

    2. Bila keluarga mempunyai bayi 0-6 bulan,balita 6-59 bulan

  • Indikator kelima yangdigunakan adalah balitamendapat kapsul vitamin A

    -3. Bila keluarga mempunyai ibu hamil,

    balita 6-59 bulan

    4. Bila keluarga mempunyai ibu hamil

    5. Bila keluarga mempunyai bayi 0-6bulan

    6. Bila keluarga mempunyai balita 6-59bulan

    7. Bila keluarga tidak mempunyai bayi,balita, dan ibu hamil

    *) 1. Menimbang berat badansecara teratur; 2. MemberikanAir Susu Ibu (ASI) saja kepadabayi sejak lahir sampai umur 6bulan (ASI Eksklusif); 3. Makanberaneka ragam; 4.Menggunakan garam beryodium;

    dan 5.Minumsuplemengizi (TTD,kapsulvitamin Adosis tinggi)sesuaianjuran.

    1. MenimbangBerat Badan Secara Teratur

    Sala

    h satu

    sarana yang

    disediakan

    untuk

    memantau

    pertumbuhan

    balita yang

    tersebar di

    seluruh

    wilayah

    Indonesia

    adalah

    Posyandu.

    Sebagai salah satu bentuk

    Upaya Kesehatan Bersumber

    Daya Masyarakat (UKBM),

    Posyandu diselenggarakan

    dari, oleh, untuk, dan

    bersama masyarakat dalam

    penyelenggaraan

    pembangunan kesehatan

    guna memberdayakan

    masyarakat dan memberikan

    kemudahan kepada

    Universitas Sumatera Utara

  • 14

    masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat

    penurunan angka kematian ibu dan bayi (Depkes, RI. 2007). Pelayanan Posyandu

    yang berhubungan dengan pemantauan pertumbuhan balita meliputi penimbangan

    berat badan, penentuan status pertumbuhan, serta tindak lanjut hasil pemantauan

    pertumbuhan berupa konseling dan rujukan kasus.

    Menimbang berat badan secara teratur merupakan salah satu cara yang efektif

    dilakukan dalam upaya memantau pertumbuhan balita, karena berat badan tidak naik

    satu kali sudah merupakan indikator penting yang tidak boleh diabaikan, karena

    semakin sering berat badan tidak naik maka risiko untuk mengalami gangguan

    pertumbuhan akan semakin besar.

    2. ASI Eksklusif

    Kelebihan ASI eksklusif telah dibuktikan oleh berbagai penelitian, termasuk

    menurunkan risiko pneumonia, penyakit diare, otitis media, asma dan kondisi atopik

    lainnya, serta pencegahan obesitas dan penyakit kronis lainnya di masa kanak-kanak

    kemudian dan remaja (Arifeen et al., 2001; Harder et al., 2002). Manfaat lainnya, ibu

    yang menyusui bayinya juga mengalami penurunan risiko kanker payudara (Chang et

    al., 2000). Meskipun penelitian yang luas menunjukkan manfaatnya, dan strategi

    yang dilakukan oleh pemerintah, pemberian ASI eksklusif masih belum umum

    dilakukan. Pada tahun 2006, data dari Survei Kesehatan dan Morbiditas Nasional,

    yang merupakan survei nasional yang dilakukan di Malaysia, menunjukkan bahwa

    94,7% dari wanita yang pernah menyusui bayi mereka, tetapi hanya 14,5% dari

    Universitas Sumatera Utara

  • 15

    mereka memberikan ASI ekslusif sampai usia enam bulan (Institute for Public

    Health, Ministry of Health Malaysia, 2008).

    Data Susenas maupun Riskesdas menunjukkan adanya kecenderungan

    penurunan pemberian ASI ekslusif. Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa

    cakupan ASI ekslusif rata-rata nasional baru sekitar 15.3%. Data DHS 2007 mencatat

    32,4% ASI-Eksklusif 24 jam sebelum interview, ibu-ibu desa lebih banyak yang ASI-

    Eksklusif. Ibu-ibu yang berpendidikan SMA lebih sedikit (40,2%) yang ASI-

    Eksklusif dibanding yang tidak berpendidikan (56%). Data yang menarik dari DHS

    bahwa ibu-ibu yang melahirkan ditolong oleh petugas kesehatan terlatih ASI-

    Eksklusif nya lebih sedikit (42,7%) dari pada ibu-ibu yang tidak ditolong tenaga

    kesehatan (54,7%) (USAID Indonesian Nutrition Assessment Report, 2010).

    Meskipun data-data di atas memerlukan validasi, yang jelas cakupan ASI-

    Eksklusif masih jauh dari target yang harus dicapai pada tahun 2015 yaitu sebesar

    80%. Selain masih kurangnya pengetahuan ibu tentang pentingnya ASI, juga

    maraknya promosi susu formula yang diwaktu yang lalu, menurut UNICEF, "out of

    control", merupakan hambatan yang menyebabkan tidak efektifnya promosi ASI

    Eksklusif. Dengan dikeluarkannya PP No. 33 tahun 2012 tentang ASI sebagai

    peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang

    diharapkan dapat dilakukan tindakan hukum yang lebih tegas bagi penghambat

    pelaksanaan ASI Ekslusif

    Bagi ibu, ASI memberikan manfaat yang besar yaitu mengurangi perdarahan

    setelah melahirkan, mencegah/mengurangi terjadinya anemia, menunda kembalinya

    Universitas Sumatera Utara

  • 16

    kesuburan ibu sesudah melahirkan sehingga dapat menjaga waktu hingga kehamilan

    berikutnya, membantu rahim kembali keukuran semula, mempercepat penurunan

    berat badan seperti sebelum hamil, mengurangi kemungkinan menderita kanker

    ovarium dan payudara, lebih ekonomis, serta tidak merepotkan. Memberikan ASI

    Eksklusif dijadikan sebagai salah satu indikator perilaku Kadarzi dengan harapan

    dapat meningkatkan status gizi balita yang berpengaruh pada kualitas hidupnya

    dimasa mendatang.

    3. Makanlah Beraneka Ragam

    Pemenuhan gizi yang lengkap dan seimbang diperlukan makanan yang aneka

    ragam. Mengkonsumsi makanan hanya satu jenis makanan dalam jangka waktu relatif

    lama dapat mengakibatkan berbagai penyakit kekurangan gizi atau gangguan

    kesehatan. Keanekaragaman makanan dalam hidangan sehari-hari yang dikonsumsi,

    minimal harus berasal dari satu jenis makanan sumber zat tenaga, satu jenis makanan

    sumber zat pembangun dan satu jenis makanan sumber zat pengatur. Ini adalah

    penerapan prinsip penganekaragaman yang minimal.

    Makanan sumber zat tenaga antara lain beras, jagung, gandum, ubi kayu, ubi

    jalar, kentang, sagu, roti dan mi. Minyak dan santan yang mengandung lemak juga

    dapat menghasilkan tenaga. Makanan sumber zat pembangun yang berasal dari bahan

    makanan nabati adalah kacang-kacangan, tempe, tahu. Sedangkan yang berasal dari

    hewan adalah telur, ikan, ayam, daging, susu serta hasil olahan seperti keju. Zat

    pembangun berperan peting untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan

    seseorang. Makanan sumber zat pengatur adalah semua sayur-sayuran dan buah-

    Universitas Sumatera Utara

  • 17

    buahan. Makanan ini mengandung berbagai vitamin dan mineral yang berperan untuk

    melancarkan bekerjanya fungsi organ tubuh.

    4. Menggunakan Garam Beriodium

    Garam beriodium adalah garam yang telah diperkaya dengan KIO3 (kalium

    iodat) sebanyak 30-80 ppm. Sesuai Keppres No. 69 tahun 1994, semua garam yang

    beredar di Indonesia harus mengandung iodium. Kebijaksanaan ini berkaitan erat

    dengan masih tingginya kejadian gangguan kesehatan akibat kekurangan iodium

    (GAKI) di Indonesia. GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) merupakan

    masalah gizi yang serius, karena dapat menyebabkan penyakit gondok dan kretin.

    Kekurangan unsur iodium dalam makanan sehari-hari, dapat pula menurunkan

    tingkat kecerdasan seseorang. Seperti halnya anemia gizi besi, anak sekolah yang

    menderita GAKI biasanya memerlukan waktu yang relatif lebih lama untuk

    menyelesaikan tingkat pendidikan formal tertentu. Bahkan mereka yang menderita

    GAKI tingkat berat (kretin, kretinoid) tidak mampu menyerap pelajaran pendidikan

    dasar. Dengan mengkonsumsi garam beriodium 6 gram sehari, kebutuhan iodium

    dapat terpenuhi, namun ambang batas penggunaan natrium tidak terlampaui.

    Dalam kondisi tertentu, misalnya keringat yang berlebihan, dianjurkan

    mengonsumsi garam sampai 10 gram atau dua sendok teh per orang perhari. Bagi

    seseorang yang harus mengurangi konsumsi garam, dianjurkan untuk mengkonsumsi

    makanan dari laut yang kaya iodium. Demikian penting manfaat garam beriodium

    untuk mencegah dan menanggulangi GAKI, maka mutu garam beriodium yang

    beredar di pasar perlu dipantau. Cara untuk menilai mutu garam beriodium tidak sulit,

    Universitas Sumatera Utara

  • 18

    yaitu dengan Test Kit Iodina yang tersedia di puskesmas dan apotik. Ambil garam,

    kemudian tetesi dengan cairan iodina. Warna yang timbul dibandingkan dengan

    petunjuk warna yang ada pada Kit. Garam yang bermutu baik akan menunjukkan

    warna biru keunguan. Semakin berwarna tua, semakin baik mutu garam.

    Selain itu, pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan singkong parut.

    Caranya sebagai berikut : singkong (ubi kayu) segar dikupas, diparut dan diperas

    tanpa diberi air. Tuang satu sendok perasan singkong parut ke dalam gelas bersih.

    Tambahkan 4-6 sendok teh munjung garam yang akan diperiksa. Tambahkan dua

    sendok teh cuka makan berkadar 25%. Aduk sampai rata, dan tunggu beberapa menit.

    Apabila timbul warna biru keunguan, berarti garam tersebut mengandung iodium.

    Semakin berwarna pekat, semakin baik mutu garam. Garam yang tak beriodium tidak

    akan mengalami perubahan warna setelah diperiksa dengan cairan iodina maupun

    cairan singkong parut. Garam beriodium sebaiknya disimpan dalam wadah terbuat

    dari beling (kaca) dan bertutup, seperti stoples atau botol selai.

    Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (2010), persentase rumah tangga

    yang mengkonsumsi garam dengan kadar yodium yang memenuhi syarat hanya

    62,3% jauh dibawah sasaran (90%). Sasaran tersebut hanya dicapai enam provinsi

    yaitu Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung,

    Gorontalo dan Papua Barat. Apabila keadaan ini terus berlangsung akan mengancam

    keselamatan janin dan anak pada 1000 HPK. Kekurangan yodium pada kehamilan

    merusak pertumbuhan fisik dan perkembangan otak anak. Kendala utama rendahnya

    pencapaian konsumsi garam beryodium, karena kurangnya perhatian Pemerintah

    Universitas Sumatera Utara

  • 19

    Daerah yang antara lain ditengarai dengan lemahnya penegakan hukum Peraturan

    Daerah yang mengatur produksi dan peredaran garam beryodium. Misalnya

    keharusan pemasangan label garam beryodium di tiap kemasan banyak yang tidak

    dipatuhi

    5. Minum Suplemen Gizi

    a. Balita Mendapat Kapsul Vitamin A Sesuai Anjuran

    Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting yang larut dalam lemak dan

    disimpan dalam hati dan tidak dibuat oleh tubuh sehingga harus dipenuhi melalui

    asupan dari luar. Manfaat penting vitamin A antara lain:

    1) Meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit dan infeksi seperti campak dan

    diare.

    2) Membantu proses penglihatan dalam adaptasi dari tempat yang terang ke tempat

    yang gelap.

    3) Mencegah kelainan pada sel-sel epitel termasuk selaput lender mata.

    4) Mencegah terjadinya proses metaplasi sel-sel epitel sehingga kelenjar tidak

    memproduksi cairan yang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan pada mata

    (xerosis konjungtiva).

    5) Mencegah terjadinya kerusakan mata berlanjut yang akan menjadi bercak bitot

    (bitots spot) bahkan kebutaan.

    6) Vitamin A essensial untuk membantu proses pertumbuhan.

    Anak dibawah umur tiga tahun (batita) membutuhkan vitamin A sebanyak

    1320 SI per hari (AKG menurut WNPG VIII, 2004). Apabila dilihat kebutuhannya

    Universitas Sumatera Utara

  • 20

    berdasarkan golongan umur menurut Institut of Medicine 2004, adalah sebagai

    berikut:

    1 0-6 bulan : 400 g/d

    2 7-12 bulan : 500 g/d

    3 1-3 tahun : 300 g/d

    4 4-5 tahun : 400 g/d

    Vitamin A dapat bersumber dari air susu ibu, bahan makanan hewani (hati,

    kuning telur, ikan, daging, ayam, bebek), buah-buahan berwarna kuning dan jingga

    (papaya, mangga masak, alpukat, jambu biji merah, pisang), sayuran yang berwarna

    hijau tua dan jingga (bayam, daun singkong, kangkung, daun katuk, daun mangkokan,

    daun kelor, daun bluntas, kecipir, labu kuning, daun ubi jalar, tomat, wortel), bahan

    makanan yang difortifikasi dengan vitamin A (margarine, susu, mie instant).

    Kurang Vitamin A (KVA) dapat terjadi pada saat simpanan vitamin A dalam

    tubuh berkurang. Pada tahap awal ditandai dengan gejala rabun senja, atau kurang

    dapat melihat pada malam hari. Gejala tersebut juga ditandai dengan menurunnya

    kadar serum retinol dalam darah (kurang dari 20 ug/dl). Pada tahap selajutnya terjadi

    kelainan jaringan epitel dari organ tubuh sepeti paru-paru, usus, kulit, dan mata.

    Salah satu upaya penanggulangan masalah KVA adalah dengan

    mengupayakan rencana program penanggulangan jangka pendek melalui pemberian

    kapsul vitamin A. Kapsul vitamin A dengan sasaran bayi 6-11 bulan berwarna biru

    Universitas Sumatera Utara

  • 21

    dengan dosis 100.000 SI dan diberikan pada bulan Februari atau Agustus. Sedangkan

    untuk balita 12-59 bulan berwarna merah dengan dosis 200.000 SI, diberikan setiap

    bulan Februari dan Agustus. Kapsul vitamin A mudah didapatkan karena ibu cukup

    membawa balita ke Posyandu tanpa perlu mengeluarkan biaya. Kapsul vitamin A

    juga diberikan pada balita yang sakit campak, diare, gizi buruk atau xeroftalmia

    dengan dosis sesuai umurnya.

    b. Ibu Hamil Mendapat TTD 90 Tablet

    Perlindungan tersebut diatas bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi

    masalah-masalah anemi gizi besi dan ibu hamil kurus karena kurang energi dan

    protein kronis. Anemia besi merupakan faktor penting (13,8%) penyebab kematian

    ibu (Ross, 2003). Disamping itu terdapat 23 persen ibu yang kurus. Selain

    kekurangan gizi ternyata ibu hamil di Indonesia juga ada yang menderita kegemukan

    sebesar 29 persen yang berdampak negatif pada pertumbuhan janin (USAID

    Nutrition Report 2010).

    Sejak tahun 1970-an pemerintah melaksanakan pemberian suplemen tablet

    besi-folat. Masalahnya kegiatan ini cakupannya sangat rendah. Diharapkan ibu hamil

    minum minimal 90 tablet besi-folat selama kunjungan antenatal pertama (K1),

    terutama pada semester ke-1, sampai kunjungan ke-4 (K4) kehamilan. Namun data

    Riskesdas tahun 2010 kunjungan antenal empat kali hanya 61,4 persen, dan yang

    mengomsumsi 90 tablet besi hanya 18 persen, keduanya jauh dari sasaran MDGs

    masing-masing 95 persen dan 85 persen.

    Universitas Sumatera Utara

  • 22

    Menurut berbagai laporan, rendahnya cakupan tablet besi-folat terutama

    karena kurangnya perencanaan pengadaan dan distribusi tablet besi-folat, serta

    pendidikan atau KIE gizi dan kesehatan yang efektif. Khusus untuk penanggulangan

    energi dan protein kronis pada ibu hamil belum ada program yang teratur dan

    berkesinambungan, kecuali pemberian makanan tambahan dan pada waktu keadaan

    darurat. Belum ada program untuk upaya pencegahan kegemukan pada ibu hamil.

    Dibeberapa daerah telah dicoba suplementasi untuk ibu hamil dengan biskuit yang

    difortifikasi. Masalahnya berbagai kelemahan dari kegiatan ini belum pernah

    dianalisa, demikian juga efektivitasnya.

    2.2. Faktor yang Berpengaruh terhadap Praktek Keluarga Sadar Gizi

    Keluarga sadar gizi adalah keluarga yang berperilaku gizi baik, mampu

    mengenali dan mengatasi masalah gizi anggota keluarganya. Kadarzi merupakan

    bentuk penerapan perilaku gizi dalam keluarga. Suatu keluarga disebut keluarga sadar

    gizi (kadarzi) apabila keluarga tersebut telah berperilaku gizi yang baik yang dicirikan

    minimal dengan lima indikator sebagaimana telah disebutkan di atas yaitu

    menimbang berat badan secara teratur, memberi ASI saja kepada bayi hingga usia

    enam bulan, makan beraneka ragam, memberikan suplemen gizi sesuai anjuran

    (Depkes RI, 2007).

    Menurut Sediaoetama (2008) perilaku gizi ditingkat keluarga merupakan salah

    satu manifestasi gaya hidup keluarga yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. faktor-

    faktor yang berpengaruh terhadap perilaku gizi dikeluarga adalah pendapatan,

    Universitas Sumatera Utara

  • 23

    pendidikan, lingkungan hidup (tempat tinggal, faktor fisiologis (umur), pekerjaan,

    suku bangsa, kepercayaan dan agama (budaya), sikap tentang kesehatan, pengetahuan

    gizi. Struktur keluarga adalah individu-individu dalam keluarga sesuai dengan

    perannya masing-masing yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Dalam struktur

    keluarga, ibu mempunyai peran dominan dalam penerapan perilaku gizi keluarga

    karena pada umumnya di Indonesia ibu bertanggung jawab penuh dalam penyediaan

    makanan bagi keluarga dan pola pengasuhan anak sehingga masing-masing individu

    dalam keluarga mengikuti perilaku gizi yang diterapkan oleh ibu terutama dalam

    konsumsi makanan dan pengasuhan anak.

    Ningsih (2008), menyatakan bahwa peranan wanita dalam usaha perbaikan

    gizi keluarga terutama meningkatkan status gizi bayi dan anak sangatlah penting

    karena berperan sebagai pengasuh anak dan pengatur konsumsi pangan keluarga.

    Perilaku ibu yang kurang sadar akan gizi baik pada saat kehamilan maupun saat

    merawat anak dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik

    maupun mental anaknya.

    Selain itu, menurut Hardinsyah dan Martianto (2007), konsumsi pangan

    beraneka ragam keluarga dipengaruhi oleh umur ibu, pendidikan ibu dan paparan

    media massa, pendapatan, status dan jenis pekerjaan ibu, besar dan komposisi rumah

    tangga. Sedangkan menurut Depkes RI (2007) perilaku keluarga sadar gizi

    dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap ibu, kepercayaan, tradisi dalam keluarga dan

    peran tokoh masyarakat serta keterpaparan informasi kadarzi.

    Universitas Sumatera Utara

  • 24

    2.2.1 Karakteristik Keluarga

    1. Umur Ibu

    Umur berpengaruh terhadap terbentuknya kemampuan, karena kemampuan

    yang dimiliki dapat diperoleh melalui pengalaman sehari-hari di luar faktor

    pendidikannya (Sedioetama, 2008). Umur orang tua terutama ibu yang relatif muda,

    cenderung untuk mendahulukan kepentingan sendiri. Sebagian besar ibu yang masih

    muda memiliki sedikit sekali pengetahuan tentang gizi dan pengalaman dalam

    mengasuh anak (Budiyanto, 2002). Dapat diasumsikan bahwa kemampuan pemilihan

    makanan ibu rumah tangga muda akan berbeda dengan kemampuan pemilihan

    makanan pada ibu rumah tangga yang telah berumur lebih tua dan pola pembelian

    makanan cenderung lebih berpengaruh kepada orang tuanya. Umur ibu berpengaruh

    pada tipe pemilihan konsumsi makanan di rumah dan juga pengeluaran makanannya

    (Hardinsyah & Martianto, 2007).

    Ibu yang relatif muda cenderung kurang memiliki pengetahuan dan

    pengalaman dalam mengasuh anak sehingga umumnya mereka mengasuh dan

    merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. umumnya mengasuh

    anak hanya berdasarkan pengalaman orang tuanya dahulu. Sebaliknya pada ibu yang

    lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu

    sehingga akan memengaruhi pula terhadap kualitas dan kuantitas pengasuhan anak

    (Hurlock, 1999). Umur akan berpengaruh terhadap perilaku seseorang seiring dengan

    perkembangan fisik dan mental orang tersebut sehingga perilakunya akan semakin

    matang dengan bertambahnya umur (Gunarsa, 2000).

    Universitas Sumatera Utara

  • 25

    2. Pendidikan Ibu

    Tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang

    untuk memahami berbagai aspek pengetahuan termasuk pengetahuan gizi

    (Hardinsyah & Martianto, 2007). Pendidikan merupakan salah satu faktor penting

    dalam proses tumbuh kembang anak. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi

    akan lebih mudah menerima pesan dan informasi gizi dan kesehatan anak (Gabriel,

    2008). Orang tua yang memiliki pendidikan tinggi akan lebih mengerti tentang

    pemilihan pengolahan pangan serta pemberian makan yang sehat dan bergizi bagi

    keluarga terutama untuk anaknya (Soetjiningsih, 2004).

    Madihah (2002), menyatakan bahwa makanan merupakan hasil proses

    pengambilan keputusan yang dikendalikan oleh ibu. Oleh karena itu, tingkat

    pendidikan ibu sangat berperan dalam penyusunan pola makan keluarga, mulai dari

    perencanaan belanja, pemilihan bahan pangan maupun dalam pengolahan dan

    penghidangan makanan bagi anggota keluarga (Ningsih, 2008). Hasil peneltian

    Sutrisno (2001) dan Munadhiroh (2009), menunjukkan ada hubungan yang signifikan

    antara pendidikan ibu dengan perilaku keluarga sadar gizi.

    Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting

    yang akan memengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang

    lebih tinggi diharapkan informasi gizi yang dimiliki jadi lebih baik (Berg, 1987).

    Menurut Ningsih (2008), tingkat pendidikan formal orang tua terutama ibu sering

    memiliki hubungan dengan perbaikan pola konsumsi pangan keluarga. Semakin

    tinggi tingkat pendidikan ibu maka akan terjadi perbaikan kebiasaan makan, serta

    Universitas Sumatera Utara

  • 26

    perhatian kepada kesehatan dan makanan yang bergizi juga bertambah. Menurut

    Madanijah (2003), terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan

    pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan

    tinggi cenderung mempunyai pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan

    gizi, kesehatan dan pengasuhan anak baik.

    Pendidikan formal dari ibu rumah tangga sering kali mempunyai manfaat

    yang positif dengan pengembangan pola konsumsi makanan dalam keluarga.

    Beberapa studi menunjukkan bahwa jika pendidikan dari ibu meningkat maka

    pengetahuan gizi dan praktek gizi bertambah baik (Joyomartono, 2004). Menurut

    Gabriel (2008), ibu yang berpendidikan lebih tinggi cenderuang memilih makanan

    yang lebih baik dalam kualitas dan kuantitas dibandingkan ibu yang berpendidikan

    rendah.

    3 Pekerjaan Ibu

    Menurut Sediaoetama (2008), pekerjaan adalah mata pencaharian, apa yang

    dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah.

    Lamanya seseorang bekerja sehari-hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-18 jam)

    dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur dan lain-

    lain.

    Peningkatan kedudukan wanita dan tersedianya peluang yang sama di bidang

    pendidikan, latihan dan pekerjaan yang akan memberi kontribusi yang berarti dalam

    perkembangan sosial ekonomi keluarganya. Padahal keluarga terutama ibu

    mempunyai tanggung jawab utama atas perawatan dan perlindungan anak sejak bayi

    Universitas Sumatera Utara

  • 27

    hingga dewasa (Soetjiningsih, 2004). Menurut Gabriel (2008), seorang ibu yang tidak

    bekerja di luar rumah akan memiliki lebih banyak waktu dalam mengasuh serta

    merawat anak. Hasil penelitian Misbakhudin (2007), di Kota Bandung menunjukkan

    ada hubungan yang signifikan antara aktifitas ibu dengan perilaku keluarga sadar gizi.

    Salah satu penyebab terjadinya gizi kurang adalah karena status pekerjaan ibu

    sehingga ibu yang bekerja di luar rumah cenderung menelantarkan pola makan

    keluarganya sehingga mengakibatkan menurunnya keadaan gizi keluarga yang hal ini

    akan berakibat pada keadaan status gizi anggota keluarga terutama anak-anaknya

    (Apriadji, 1996). Ibu yang bekerja tidak dapat memberikan perhatian kepada anak

    balitanya apalagi mengurusnya sehingga ibu yang bekerja waktu untuk merawat anak

    menjadi berkurang (Sediaoetama, 2008).

    Seseorang yang mempunyai pekerjaan dengan waktu yang cukup padat akan

    memengaruhi ketidakhadiran dalam pelaksanaan penimbangan balita posyandu. Hal

    ini sesuai dengan pernyataan Gabriel (2008) yang mengungkapkan bahwa faktor

    pekerjaan ibu balita merupakan salah satu faktor penghambat ibu balita

    memanfaatkan penimbangan balita di posyandu. Pada umumnya orang tua tidak

    mempunyai waktu luang, sehingga semakin tinggi aktivitas pekerjaan orang tua

    semakin sulit datang ke posyandu. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ningsih

    (2008), yang menyatakan bahwa ibu balita yang tidak bekerja berpeluang baik untuk

    berkunjung ke posyandu dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Padahal beberpa

    indikator perilaku sadar gizi sangat erat kaitannya denga kunjungan ibu balita ke

    posyandu.

    Universitas Sumatera Utara

  • 28

    Menurut Hardinsyah dan Martianto (2007), peranan wanita dalam usaha

    perbaikan gizi keluarga terutama untuk meningkatkan status gizi bayi dan anak

    sangatlah penting karena wanita berperan sebagai pengasuh anak dan pengatur

    konsumsi pangan anggota keluarga. Keterlibatan ibu dalam kegiatan ekonomi/bekerja

    dibatasi oleh waktu mereka untuk pengelolaan pangan buat keluarga.

    Saat wanita dari keluarga menengah ke bawah lebih mengalokasikan untuk

    kegiatan bekerja di luar rumah, biasanya mereka akan mengurangi waktu untuk

    mengelola makanan di rumah tangga dengan cara mengurangi frekuensi memasak

    dan mengurangi jenis makanan yang dimasak yang pada akhirnya akan mengurangi

    kualitas gizi pada menu makanan anggota keluarga tersebut (Hardinsyah & Martianto,

    2007).

    4. Pendapatan Keluarga

    Pendapatan merupakan faktor yang terpenting menentukan kualitas dan

    kuantitas hidangan keluarga. Semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula

    persentase dari penghasilan tersebut untuk membeli buah, sayur dan beberapa jenis

    bahan makanan lainnya (Berg, 1986). Pengaruh pendapatan terhadap perbaikan

    kesehatan dan kondisi lain yang mengadakan interaksi dengan status gizi adalah sama

    jelasnya bahwa penghasilan meningkatkan daya beli (Farida, 2004). Meningkatnya

    pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan

    kuantitas yang lebih baik (Sayogyo, 1995). Hasil peneltian Munadhiroh (2009) di

    Desa Subah menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga

    dengan status keluarga sadar gizi.

    Universitas Sumatera Utara

  • 29

    Menurut Berg (1986), pendapatan dianggap sebagai salah satu determinan

    utama dalam diet dan status gizi. Ada kecenderungan yang relevan terhadap

    hubungan pendapatan dan kecukupan gizi keluarga. Hukum Perisse mengatakan jika

    terjadi peningkatan pendapatan, maka makanan yang dibeli akan lebih bervariasi

    (Parsiki, 2003). Selain itu menurut hukum ekonomi (hukum Engel) yang disebutkan

    bahwa mereka yang berpendapatan sangat rendah akan selalu membeli lebih banyak

    makanan sumber karbohidrat, tetapi jika pendapatannya naik maka makanan sumber

    karbohidrat yang dibeli akan menurun diganti dengan makanan sumber hewani dan

    produk sayuran (Soekirman, 2000).

    Menurut Madihah (2002) pada umumnya bila pendapatan keluarga meningkat

    maka kecukupan gizi keluarga akan meningkat. Namun, pendapatan tinggi tidak

    menjamin untuk mendapatkan gizi yang cukup, jadi kemampuan membeli makanan

    tidak menjamin untuk dapat memilih makanan yang baik. Menurut Suhardjo (2003)

    pada keluarga yang pendapatannya rendah, tentu rendah pula jumlah uang yang

    dibelanjakan untuk makanan itu. Bila pendapatan menjadi semakin baik, maka jumlah

    uang dipakai untuk membeli makanan dan bahan makanan itu juga meningkat,

    sampai suatu tingkat tertentu dimana uang tidak banyak berubah.

    Penurunan daya beli akan menurunkan kualitas dan kuantitas pangan serta

    aksesibilitas pelayanan kesehatan terutama sekali bagi warga kelas ekonomi bawah.

    Hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan anak yang rentan terhadap

    gangguan gizi dan kesehatan (Gabriel, 2008). Besarnya pendapatan yang diperoleh

    setiap keluarga tergantung dari pekerjaan mereka sehari-hari. Pendapatan dalam satu

    Universitas Sumatera Utara

  • 30

    keluarga akan memengaruhi aktivitas keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehingga

    akan menentukan kesejahteraan keluarga termasuk dalam perilaku gizi seimbang

    (Yuliana, 2004).

    5. Besar Keluarga

    Keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang jumlahnya banyak akan

    berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak

    sesuai lagi dengan kebutuhan anggota keluarga secara proporsional (Suhardjo, 2003).

    Besar keluarga akan memengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga dan juga

    memengaruhi konsumsi zat gizi dalam suatu keluarga (Sukarni, 1994). Hasil

    penelitian Sutrisno (2001), menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara besar

    keluarga dengan perilaku keluarga sadar gizi.

    Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak yang dekat akan

    menimbulkan banyak masalah. Kalau pendapatan keluarga hanya pas-pasan

    sedangkan anak banyak maka pemerataan dan kecukupan makanan di dalam keluarga

    kurang bisa dijamin. Keluarga ini bisa disebut keluarga rawan, karena kebutuhan

    gizinya hampir tidak pernah terpenuhi (Apriadji, 1996). Hasil penelitian Sutrisno

    (2001) dan Madihah (2002), menunjukkan hubungan yang signifikan antara besar

    keluarga dengan keluarga sadar gizi.

    Apabila besar keluarga semakin banyak, maka kebutuhan pangannya akan

    semakin banyak pula. Besar keluarga juga akan memengaruhi jumlah dan jenis

    makanan yang tersedia dalam keluarga. Pada taraf ekonomi yang sama, pemenuhan

    kebutuhan makanan yang menjadi lebih mudah pada keluarga yang memiliki jumlah

    Universitas Sumatera Utara

  • 31

    anggota yang lebih sedikit. Keluarga yang besar dibarengi dengan distribusi makanan

    yang tidak merata akan menyebabkan anak dalam keluarga tersebut menderita kurang

    gizi umumya pada keluarga yang mempunyai besar keluarga 7-8 orang (Suhardjo,

    2003).

    6. Pengetahuan Gizi Ibu

    Secara umum di negara berkembang ibu memainkan peranan penting dalam

    memilih dan mempersiapkan pangan untuk konsumsi keluarganya sehingga

    pengetahuan gizi ibu akan memengaruhi jenis pangan dan mutu gizi makanan yang

    dikonsumsi anggota keluarganya (Hardinsyah, 2007). Menurut Munadhiroh (2009),

    pengetahuan gizi diartikan sebagai segala apa yang diketahui berkenaan dengan zat

    makanan. Tingkat pengetahuan menentukan perilaku konsumsi pangan, salah satunya

    melalui pendidikan gizi sehingga akan memperbaiki kebiasaan konsumsi pangan

    dirinya dan keluarganya (Suhardjo, 2003).

    Tingkat pengetahuan ibu bermakna dengan sikap positif terhadap perencanaan

    dan persiapan makan. Semakin tinggi pengetahuan ibu, maka semakin positif sikap

    ibu terhadap gizi makanan. Kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan

    untuk menerapkan dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebab penting gangguan

    gizi (Suhardjo, 2003). Menurut Khomsan (2009), faktor yang tidak kalah penting

    penyebab timbulnya masalah gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi masyarakat

    khususnya pada ibu yang sebagian besar pengasuh anak. Hasil penelitian Madihah

    (2002) dan Munadhiroh (2009), menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara

    pengetahuan gizi dengan perilaku keluarga sadar gizi.

    Universitas Sumatera Utara

  • 32

    Pengetahuan yang diperoleh ibu sangat bermanfaat bagi balita apabila ibu

    tersebut berhasil mengaplikasikan pengetahuan gizi yang dimiliki (Farida, 2004).

    Masalah gizi selain merupakan sindroma kemiskinan yang erat kaitannya dengan

    ketahanan pangan di tingkat rumah tangga juga menyangkut aspek pengetahuan dan

    perilaku yang kurang mendukung perilaku hidup sehat. Pengetahuan sangat penting

    dalam menentukan bertindak atau tidaknya seseorang yang pada akhirnya sangat akan

    memengaruhi status kesehatan anggota keluarganya (Depkes RI, 2007).

    Menurut Apriadji (1996), seseorang yang mempunyai pendidikan rendah

    belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi

    dibandingkan dengan orang lain yang berpendidikan lebih tinggi. Karena sekalipun

    berpendidikan rendah kalau orang tersebut rajin mendengarkan informasi tentang gizi

    bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik. Tindakan yang didasari oleh

    pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan

    (Notoatmodjo, 2007).

    7. Sikap Ibu

    Sikap ibu tentang kesehatan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh

    terhadap perilaku gizi di tingkat keluarga. Sikap tentang kesehatan adalah pendapat

    atau penilaian seseorang terhadapap hal-hal yang berkaitan dengan gizi sebagai upaya

    untuk memelihara kesehatannya (Sedioetama, 2006). Menurut Depkes RI (2007),

    pada umumnya keluarga telah memiliki pengetahuan dasar mengenai gizi. Namu

    demikian, sikap mereka terhadap perbaikan gizi keluarga masih rendah. Hal ini

    disebabkan karena sebagian ibu menganggap asupan makanannya selama ini cukup

    Universitas Sumatera Utara

  • 33

    memadai karena tidak ada dampak buruk yang mereka rasakan. Selain itu, sebagian

    keluarga juga mengetahui bahwa ada jenis makanan yang lebih berkualitas, namun

    mereka tidak ada kemauan dan keterampilan menyiapkannya.

    Menurut Kwick (1974), sikap adalah kecenderungan untuk mengadakan

    tindakan suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk

    menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap belum merupakan suatu

    perbuatan, tetapi dari sikap dapat diramalkan perbutannya. Hal ini sesuai dengan

    pernyataan Pranadji (1988) bahwa sikap akan sangat berguna bagi seseorang, sebab

    sikap akan mengarahkan perilaku secara langsung.

    Notoatmodjo (2007), menyatakan sikap merupakan kesiapan atau

    kesediaan/kemauan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif

    tertentu sehingga sikap merupakan predisposisi perilaku atau reaksi tertutup. Makin

    tinggi pendidikan ibu cenderung makin sadar gizi dan semakin positif pula sikap

    gizinya dan nantinya akan meningkatkan status gizi keluarga. Hasil penelitian

    Madihah (2002), menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara sikap ibu dengan

    perilaku keluarga sadar gizi. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan

    tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat responden

    terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan

    hipotesis kemudian responden diminta bagaimana pendapatnya.

    Universitas Sumatera Utara

  • 34

    2.2.2. Pemberdayaan Masyarakat

    Pemberdayaan adalah membantu individu untuk memperoleh daya untuk

    mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan terkait dengan

    diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial. Hal ini dilakukan

    untuk meningkatkan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya

    yang dimiliki antara lain dengan transfer daya dari lingkunganya (Prijono & Pranaka,

    1996).

    Menurut Notoatmodjo (2003), pemberdayaan merupakan proses pemberian

    informasi secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan

    sasaran, serta proses membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu

    menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude),

    dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek

    practice)

    Perlu diketahui bahwa dalam Kadarzi, pemberdayaan masyarakat merupakan

    ujung tombak, yang untuk keberhasilannya harus didukung oleh upaya bina suasana

    (opini publik) dan advokasi. Namun demikian, selama ini dirasakan bahwa upaya

    pemberdayaan masyarakat kurang mendapat perhatian dengan minimnya dana

    pelaksanaan. Kegiatan-kegiatan komponen pemberdayaan masyarakat meliputi

    serangkaian kegiatan yang diawali dengan membangun kesadaran kritis masyarakat,

    pengorganisasian masyarakat hingga perencanaan partisipatif.

    Universitas Sumatera Utara

  • 35

    a. Tujuan Pemberdayaan

    Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk

    individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi

    kemandirian berfikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan

    tersebut. Kemandirian masyarakat adalah merupakan suatu kondisi yang dialami oleh

    masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta

    melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-

    masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang terdiri atas

    kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, afektif, dengan mengerahkan

    sumberdaya yang di miliki oleh lingkungan internal masyarakat tersebut.

    Terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (afektif, kognitif dan

    psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian

    masyarakat yang dicita-citakan, dalam masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan,

    yang dilengkapi dengan kecakapan-keterampilan yang memadai, diperkuat oleh rasa

    memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan kebutuhan tersebut (Ambar,

    2004).

    Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan akan menghasilkan

    kemandirian masyarakat di bidang kesehatan. Dengan demikian pemberdayaan

    masyarakat merupakan proses, sedangkan kemandirian merupakan hasil, karenanya

    kemandirian masyarakat di bidang kesehatan dapat diartikan sebagai kemampuan

    untuk dapat mengidentifikasi masalah kesehatan yang ada di lingkungannya. Peran

    serta masyarakat di dalam pembangunan kesehatan dapat diukur dengan makin

    Universitas Sumatera Utara

  • 36

    banyaknya jumlah anggota masyarakat yang mau memanfaatkan pelayanan kesehatan

    seperti, Puskesmas, Pustu, Polindes, mau hadir ketika ada kegiatan penyuluhan

    kesehatan, dan mau menjadi kader kesehatan (Depkes RI, 2007).

    Pemberdayaan keluarga sadar gizi maksudnya adalah melakukan berbagai

    upaya untuk meningkatkan kemampuan keluarga agar terwujud keluarga yang sadar

    gizi. Upaya meningkatkan kemampuan keluarga itu dilakukan dengan penyuluhan,

    demo, diskusi, dan pelatihan. Melalui pemberdayaan Kadarzi, maka proses pemberian

    informasi Kadarzi secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti

    perkembangan sasaran di berbagai tatanan, serta proses membantu sasaran, agar

    sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar gizi, dari tahu

    menjadi mau dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku sadar gizi.

    Sasaran utama pemberdayaan masyarakat adalah individu, keluarga dan kelompok

    masyarakat (Depkes RI, 2007).

    Tujuan pemberdayaan keluarga sadar gizi (Kadarzi) adalah: a) Menimbang

    balita ke posyandu secara berkala; b) Mampu mengenali tanda-tanda sederhana

    keadaan kelainan gizi (gizi kurang dan gizi lebih); c) Mampu menerapkan susunan

    hidangan yang baik dan benar, sesuai dengan Pedoman Umum Gizi Seimbang

    (PUGS); d) Mampu mencegah dan mengatasi kejadian, atau mencari rujukan,

    manakala terjadi kelainan gizi di dalam keluarga; dan e) Menghasilkan makanan

    melalui pekarangan.

    c. Tahap-Tahap Pemberdayaan

    Menurut Sumodingningrat (2004) pemberdayaan tidak bersifat selamanya,

    melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri, dan kemudian dilepas

    Universitas Sumatera Utara

  • 37

    untuk mandiri, meski dari jauh dijaga agar tidak jatuh lagi. Dilihat dari pendapat

    tersebut berarti pemberdayaan melalui suatu masa proses belajar, hingga mencapai

    status, mandiri. Meskipun demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut

    tetap dilakukan pemeliharaan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus

    menerus supaya tidak mengalami kemunduran lagi.

    Sebagaimana disampaikan dimuka bahwa proses belajar dalam rangka

    pemberdayaan akan berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui

    tersebut adalah meliputi:

    1 Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli

    sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.

    2 Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan

    keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga

    dapat mengambil peran di dalam pembangunan.

    3 Tahap peningkatan intelektual, kecakapan keterampilan sehingga terbentuklah

    inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mehantarkan pada kemandirian (Ambar,

    2004).

    c. Sasaran Pemberdayaan

    Sasaran utama pemberdayaan adalah individu dan keluarga, serta kelompok

    masyarakat. Dalam mengupayakan agar seseorang tahu dan sadar, kuncinya terletak

    pada keberhasilan membuat orang tersebut memahami bahwa sesuatu (misalnya

    Kadarzi) adalah masalah baginya dan bagi masyarakatnya. Sepanjang orang yang

    bersangkutan belum mengetahui dan menyadari bahwa sesuatu itu merupakan

    Universitas Sumatera Utara

  • 38

    masalah, maka orang tersebut tidak akan bersedia menerima informasi apapun lebih

    lanjut. Manakala ia telah menyadari masalah yang dihadapinya, maka kepadanya

    harus diberikan informasi umum lebih lanjut tentang masalah yang bersangkutan

    (Depkes RI, 2007).

    Bilamana sasaran sudah akan berpindah dari mau ke mampu melaksanakan,

    boleh jadi akan terkendala oleh dimensi ekonomi. Dalam hal ini kepada yang

    bersangkutan dapat diberikan bantuan langsung, tetapi yang seringkali dipraktekkan

    adalah dengan mengajaknya ke dalam proses pengorganisasian masyarakat atau

    pembangunan masyarakat. Pemberdayaan akan lebih berhasil jika dilaksanakan

    kemitraan. Pada saat ini banyak dijumpai Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat

    (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan atau peduli terhadap kesehatan. LSM ini

    harus digalang kerjasamanya, baik diantara mereka maupun anatara mereka dengan

    pemerintah, agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat berdayaguna dan

    berhasilguna. Selain dengan pihak LMS, tokoh masyarakat dalam hal ini kepala desa

    juga dapat memberikan dukungan dalam pelaksanaan promosi Kadarzi. Peran kepala

    desa adalah sebagai motivator atau penyuluh kesehatan yang membantu para petugas

    untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perlunya hidup sehat dan

    memotivasi mereka untuk melakukan perilaku Kadarzi.

    Sasaran pemberdayaan Kadarzi adalah semua keluarga di wilayah kerja

    puskesmas. Namun perhatian utama pemberdayaan ditujukan pada keluarga yang

    memiliki kelainan gizi, keluarga pra-sejahtera dan keluarga sejahtera tahap I (Depkes

    RI, 2007). Hasil studi Misbakhudin (2003); Depkes RI (2007), menyebutkan bhawa

    pemberdayaan masyarakat dari tenaga kesehatan merupakan salah satu faktor yang

    Universitas Sumatera Utara

  • 39

    memengaruhi pencapaian program Kadarzi. Sarjunani (2009), juga menyebutkan

    bawah salah satu upaya untuk memperbaiki status gizi masyarakat yaitu melalui

    program Kadarzi dengan cara pemberdayaan gizi masyarakat. Rumniati (2005),

    menyimpulkan bahwa adanya masyarakat yang belum mengerti tentang Kadarzi

    sehingga masih diperlukan pemberdayaan dari kader dan tenaga kesehatan.

    Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dapat memotivasi keluarga untuk

    memperaktekkan indikator-indikator Kadarzi.

    2.3. Dampak dari Praktek Keluarga Sadar Gizi

    Penelitian yang dilakukan oleh Zahraini (2009), di Provinsi di Yogyakarta dan

    Nusa Tenggara Timur (NTT) menunjukkan bahwa perilaku Kadarzi mempunyai

    hubungan yang signifikan dengan status gizi balita pada indeks BB/U dan TB/U

    (p

  • 40

    Hasil penelitian Hariyadi (2010), menunjukkan pada indeks BB/U ada

    hubungan yang signifikan (p0,05)

    antara konsumsi vitamin A dengan status gizi balita pada indeks BB/TB dan TB/U,

    meskipun secara proporsi konsumsi vitamin A balita 85% AKG cenderung lebih

    tinggi pada status gizi normal/gemuk (BB/TB), normal/lebih (BB/U) dan normal

    (TB/U).

    Anak balita merupakan anggota keluarga yang memerlukan perhatian khusus

    dari orang tua, karena pada usia ini seorang anak masih tergantung secara fisik

    maupun emosional kepada orang tua. Anak balita belum mandiri dalam memenuhi

    kebutuhan makannya. Oleh karena itu asupan makanan anak balita hampir

    sepenuhnya tergantung pada orang dewasa yang mengasuhnya artinya pertumbuhan

    anak balita sangat dipengaruhi oleh kualitas makannya, sementara kualitas makannya

    sangat tergantung pada pola asuh makan anak yang diterapkan keluarga (Khomsan

    2009).

    2.4. Landasan Teori

    Menurut Green (1980), menjelaskan bahwa tindakan seseorang dipengaruhi

    oleh 3 faktor yaitu:

    1. Faktor Predisposisi

    Faktor-faktor ini mencakup mengenai demografi masyarakat, pengetahuan dan

    sikap masyarakat terhadap kesehatan, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi

    Universitas Sumatera Utara

  • 41

    2. Faktor Pemungkin (enabling factors)

    Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas

    kesehatan bagi masyarakat

    3. Faktor Penguat

    Faktor-faktor ini meliputi faktor dukungan tokoh masyarakat, tokoh agama,

    dukungan para petugas termasuk petugas kesehatan, termasuk juga disini undang-

    undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang

    terkait dengan kesehatan.

    Menurut Payne (1997), beberapa ciri-ciri pemberdayaan masyarakat, yaitu

    adanya dukungan dari tokoh masyarakat atau pemimpin masyarakat, misalnya camat,

    lurah, kepala adat, ustad, dan sebagainya. Selain itu, peran petugas kesehatan dalam

    pemberdayaan masyarakat, yaitu : a) Memfasilitasi masyarakat melalui kegiatan-

    kegiatan maupun program-program pemberdayaan masyarakat meliputi pertemuan

    dan pengorganisasian masyarakat; b) Memberikan motivasi kepada masyarakat untuk

    bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan pemberdayaan agar masyarakat mau

    berkontribusi terhadap program tersebut; dan c) mengalihkan pengetahuan,

    keterampilan, dan teknologi kepada masyarakat dengan melakukan pelatihan-

    pelatihan yang bersifat vokasional.

    Universitas Sumatera Utara

    Faktor Predisposisi

    1. Demografi (Umur,Pendidikan, Pekerjaan,

  • dan Besar Keluarga)2. Pengetahuan3. Sikap Masyarakat terhadap

    Kesehatan4. Tingkat Sosial Ekonomi

    Faktor Pemungkin

    1. Sarana

    2. Prasarana

    Faktor Penguat

    1. Dukungan Tokoh Masyarakat

    2. Dukungan Tokoh Agama

    3. Dukungan Petugas Kesehatan

    4. Dukungan Swasta

    42

    Perilaku Kesehatan

    Gambar 2.1.

    TeoriPerubahan

    PerilakuSumber : Green, LW (1980) dan Payne (1997)

    Universitas Sumatera Utara

  • 43

    2.5. Kerangka Konsep

    Berdasarkan latar belakang masalah, maka kerangka konsep penelitian ini

    dapat digambarkan sebagai berikut :

    Karakteritik Keluarga

    1. Umur2. Pendidikan3. Pekerjaan

    4. Pendapatan Keluarga Praktek Keluarga Sadar Gizi5. Besar Keluarga 1. Menimbang Berat Badan Anak6. Pengetahuan Ibu

    2. Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif7. Sikap Ibu

    3. Makan Beraneka Ragam4. Menggunakan Garam BeryodiumPemberdayaan5. Suplemen Kapsul Vitamin AMasyarakat:

    1 Tenaga Kesehatan2 Kader3 Tokoh Masyarakat4 Sektor Swasta

    Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

    Keterangan :

    Faktor yang memengaruhi Kadarzi diantaranya adalah faktor karakteristik

    keluarga yang meliputi: umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga,

    besar keluarga, serta pengetahuan, sikap ibu terhadap gizi, dan pemberdayaan

    masyarakat.

    Universitas Sumatera Utara