Chapter II
-
Upload
aries-yunanda -
Category
Documents
-
view
15 -
download
0
description
Transcript of Chapter II
TINJAUAN PUSTAKA
RebungRebung adalah tunas muda dari pohon bambu yang tumbuh dari akar
pohon bambu. Rebung tumbuh dibagian pangkal rumpun bambu dan biasanya
dipenuhi oleh glugut (rambut bambu) yang gatal. Morfologi rebung berbentuk
keucut, setiap ujung glugut memiliki bagian seperti ujung daun bambu, tetapi
warnanya coklat.
Menurut klasifikasi botani, tanaman bambu termasuk Monocotyledoneae,
sebagaimana penggolongan dari tingkat kingdom hingga species sebagai berikut.
- Kingdom : Plantae
- Division : Spermatophyta
- Class : Monocotyledoneae
- Order : Liliales
- Familiy : Liliaceae
- Genus : Asparagus
- Species : Asparagus officinalis L.
Bambu banyak ditanam didaerah tropis Asia. Tanaman ini dapat tumbuh
di daratan rendah sampai ditempat dengan ketinggian 2.000 meter di atas
permukaan laut. Tidak semua jenis bambu memiliki rebung yang enak dimakan.
Beberapa jenis bambu memiliki rebung yang rasanya pahit. Rebung yang biasa
dibuat masakan merupakan rebung pilihan.
Rebung dari bambu betung memiliki rasa yang paling enak. Rebung
betung berwarna merah kecoklatan dan ujung kelopaknya berwarna ungu. Setiap
jenis rebung dilindungi kelopak-kelopak kuat yang berbulu halus.
4
Universitas Sumatera Utara
Senyawa utama di dalam rebung mentah adalah air, yaitu sekitar 85,63 %.
Di samping itu, rebung mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin A,
thiamin, riboflavin, vitamin C serta mineral lain seperti kalsium, fosfor, besi dan
kalium. Bila dibandingkan dengan sayuran lainnya kandungan protein, lemak dan
karbohidrat pada rebung tidak berbeda jauh.
Komposisi kimia rebung
Kandungan serat pangan pada rebung cukup tinggi yaitu sekitar 2,56 %,
lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis sayuran tropis lainnya, seperti
kecambah kedelai 1,27 %, ketimun 0,61 % dan sawi 1,01 %. Oleh sebab itu
rebung cukup baik untuk dimanfaatkan menjadi jenis bahan makanan olahan
lainnya.
Tabel 1. Komposisi kimia rebung per 100 gram bahan
Komposisi Jumlah
Air (g) 85,63Protein (g) 2,50Lemak (g) 0,20Glukosa (g) 2,00Serat (g) 9,10Fosfor (mg) 50,00Kalsium (mg) 28,00Vitamin A (mg) 0,10Vitamin B1 (mg) 1,74Vitamin B2 (mg) 0,08Vitamin C (mg) 7,00
Sumber : Andoko (2003).
6
5
Universitas Sumatera Utara
Kerupuk
Kerupuk merupakan makanan khas Indonesia dan sudah sangat dikenal
oleh masyarakat. Kerupuk sangat beragam dalam bentuk, ukuran, warna, bau,
rasa, kerenyahan, ketebalan ataupun nilai gizinya.
Kerupuk adalah salah satu jenis produk makanan kering khas Indonesia.
Kerupuk disukai baik sebagai lauk pauk maupun makanan ringan. Kerupuk sangat
beragam baik dalam bentuk, ukuran, kenampakan, cita rasa, warna, ketebalan dan
nilai gizinya (Praptiningsih, et al., 2003).
Bahan dasar kerupuk adalah pati dengan kandungan amilopektin
menentukan daya kembang kerupuk. Semakin tinggi kandungan amilopektin pati
maka kerupuk yang dihasilkan akan mempunyai daya kembang yang semakin
besar. Pada pembuatan kerupuk sering ditambahkan bahan-bahan lain untuk
memperbaiki cita rasa dan nilai nutrisi seperti udang, ikan, telur dan lain-lain
(Praptiningsih, et al., 2003).
Tabel 2. Komposisi kimia kerupuk per 100 gram bahanKomposisi Jumlah
Protein (g) 5,64Lemak (g) 0,85Karbohidrat (g) 84,38Air (g) 9,12Abu (g) 0,65
Sumber : B.P.P.I., (2004).
Tepung terigu
Tepung terigu mengandung pati 65 % - 70 % dengan rasio amilosa-
amilopektin 74 % dan 26 %. Tergantung jenisnya, gandum mengandung protein
sebesar 6-13 % (Praptiningsih, et al., 2003).
6
Universitas Sumatera Utara
Protein dalam gandum yang berupa gliadin dan glutenin membantu proses
pengikatan air dalam adonan kerupuk. Dengan demikian penambahan tepung
gandum dalam pembuatan kerupuk akan meningkatkan kadar air adonan,
sehingga akan mempengaruhi proses glatinisasi dan lama pemasakan adonan
(Praptiningsih, et al., 2003).
Proporsi penggunaan terigu untuk industri pengolahan bahan pangan di
Indonesia relatif besar. Oleh kerena itu, pemanfaatan tepung tapioka sebagai
pensubsitusi (mengurangi penggunaan) terigu dalam pembuatan produk olahan
diharapkan memberi keuntungan yang cukup besar (Astawan, 2003).
Tabel 3. Komposisi kimia tepung terigu per 100 gram bahan
Komposisi Jumlah
Kalori (Kal) 365,00Protein (g) 8,90Lemak (g) 1,30Karbohidrat (g) 77,30Air (g) 12,00P (mg) 106,00Kalsium (mg) 16,00Fe (mg) 1,20Bdd 100,00
Sumber : Departemen Kesehatan R.I., (1996).
Tepung tapioka
Tepung tapioka adalah pati yang diperoleh dari ekstraksi ubi kayu melalui
proses pemarutan, pemerasan penyaringan, pengendapan pati dan pengeringan.
Dalam pembuatan tapioka ditambahkan natrium metabisulfit untuk memperbaiki
warna sehingga tapioka menjadi putih bersih (0,1 %) (Radiyati dan Agusto, 2003).
Tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku ataupun campuran
pada berbagai macam produk antara lain kerupuk dan kue kering lainnya. Selain
7
Universitas Sumatera Utara
itu tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengental (thickener), bahan
pengisi, bahan pengikat pada industri makanan olahan (Astawan, 2003).
Tabel 4. Komposisi kimia tepung tapioka per 100 gram bahan
Komposisi Jumlah
Kalori (Kal) 362,00Protein (g) 0,50Lemak (g) 0,30Karbohidrat (g) 86,90Air (g) 12,00Bdd 100,00
Sumber : Departemen Kesehatan R.I., (1996).
Blanching
Blanching adalah proses pemanasan pendahuluan yang dilakukan terhadap
buah dan sayuran sebelum bahan tersebut dikeringkan, dengan tujuan
menonaktifkan enzim, membunuh mikroorganisme, mempercepat pengeringan
serta dapat mempertahankan dari kerusakan karena oksidasi selama pengeringan
maupun penyimpanan (Woodroof dan Luh, 1975).
Blanching dapat membuat produk hasil penggorengan menjadi lebih
seragam, absorbsi minyak oleh produk dapat berkurang karena adanya glatinisasi
pati, mengurangi waktu penggorengan dan dapat memperbaiki tekstur hasil
penggorengan (Fuetsel dan Kueneman, 1975). Komersial blanching dapat
dilakukan pada temperatur 87,7 oC – 93,3 oC selama 18,5 menit tergantung
kondisi dari bahan (Harris dan Loseqke, 1973).
Proses pencetakan dimaksudkan untuk memperoleh bentuk dan ukuran
yang lebih seragam dan lebih menarik. Keseragaman ukuran penting untuk
memperoleh penampakan dan penetrasi panas yang merata sehingga memudahkan
8
Universitas Sumatera Utara
proses penggorengan dan menghasilkan produk garing dengan warna yang lebih
seragam (Muchtadi et al., 1979).
Reaksi pencoklatan
Reaksi pencoklatan adalah perubahan wana menjadi kecoklatan pada saat
diolah atau selama penyimpanan yang terjadi pada bahan dan produk pangan,
pembentukan warna coklat tersebut dapat dipicu oleh aktivitas enzim atau reaksi
kimia. Reaksi pencoklatan terdiri dari reaksi pencoklatan enzimatis dan nom
enzimatis (Feri, 2010).
1. Reaksi pencoklatan enzimatis
Pembentukan warna coklat ini dipicu oleh reaksi oksidasi yang dikatalisis
oleh enzim fenol oksidase atau polifenol oksidase. Kedua enzim ini dapat
mengkatalis reaksi oksidasi senyawa fenol (misalnya katekol) yang dapat
menyebabkan perubahan warna menjadi coklat. Dalam bahan pangan, seperti
apel, pisang dan kentang kelompok enzim oksidase tersebut dan senyawa fenol
tersedia secara alami. Enzim oksidase akan reaktif dengan adanya oksigen, ketika
bahan pangan tersebut terkelupas atau terpotong, maka bagian dalam permukaan
akan terpapar oleh oksigen, sehingga akan memicu reaksi oksidasi senyawa fenol
dan merubah permukaan bahan pangan menjadi coklat (Feri, 2010).
2. Reaksi non enzimatis
Pada umumnya ada tiga jenis reaksi pencoklatan non-enzimatis, yaitu
reaksi maillard, karamelisasi dan pencoklatan akibat oksidasi dari vitamin C
(Winarno, 2002).
9
Universitas Sumatera Utara
a. Reaksi maillard
Reaksi antara gula pereduksi dan gugus amin dikenal sebagai reaksi
Maillard. Warna coklat dalam reaksi maillard disebabkan oleh pembentukan
melanoidin, yang merupakan kompleks molekul berberat molekul besar. Reaksi
ini diawali reaksi antara grup aldehid atau keton pada molekul gula dengan grup
amino bebas pada molekul protein atau asam amino membentuk glucosyl amine.
Senyawa ini kemudian melalui amadori rearrangement membentuk amino-deoxy-
ketose. Produk-produk amadori tidak stabil dan setelah melalui serangkaian reaksi
yang kompleks menghasilkan komponen aroma dan flavor, serta pigmen coklat
melanoidin (Eskin et al., 1971).
b. Karamelisasi
Gula dalam larutan sangat stabil pada pH 3 - 7. Pencairan gula atau
pemanasan larutan gula dengan keberadaan katalis asam atau basa dapat
menyebabkan gula mengalami karamelisasi. Karamelisasi menghasilkan warna
coklat dan aroma yang disukai. Warna karamel banyak digunakan untuk
mewarnai minuman cola dan makanan lain (Eskin et al., 1971).
c. Oksidasi dari vitamin C
Vitamin C merupakan suatu senyawa reduktor yang juga dapat bertindak
sebagai precursor untuk pencoklatan non-enzimatis. Asam- asam askorbat berada
dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin
lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversibel dengan membentuk suatu
senyawa diketoglukonat (Winarno, 2002).
10
Universitas Sumatera Utara
Natrium metabisulfit
Sulfitasi merupakan salah satu perlakuan pendahuluan pada pengolahan
kerupuk. Tujuan utama dari sulfitasi adalah untuk mengurangi pencoklatan pada
waktu pengolahan dan penyimpanan berikutnya. SO2 tidak dapat secara mutlak
menghentikan reaksi pencoklatan tetapi memperlambat reaksi tersebut
(Hulme, 1991).
Salah satu aplikasi yang digunakan sebagai sumber sulfur dioksida adalah
natrium metabisulfit. Merupakan bahan pengawet yang digolongkan ke dalam
garam-garam sulfit. Natrium metabisulfit biasa digunakan pada bahan pangan
untuk mencegah pencoklatan enzimatis maupun non enzimatis, sebagai pemutih,
penghambat bakteri, kapang, dan khamir (Desrosier, 1988).
Natrium metabisulfit berbentuk serbuk bewarna putih mudah larut dalam
air, sedikit larut dalam alkohol dan berbau khas seperti gas sulfur dioksida,
mempunyai rasa asam dan asin. Pada konsentrasi 200 ppm bahan pengawet ini
dapat menghambat pertumbuhan bakteri, kapang dan khamir
(Chicester et al., 1975).
Mekanisme menghambat pertumbuhan mikroba oleh senyawa sulfur
adalah dengan merusak sel mikroba, mereduksi ikatan sulfit, bereaksi dengan
gugus karbonil. Molekul asam sulfit yang tidak terdisosiasi akan masuk kedalam
sel mikrobia. Karena sel mikrobia pH nya netral, asam sulfit akan terdisosiasi
sehingga dalam sel mikroba banyak terdapat ion H+ yang menyebapkan pH sel
menjadi rendah, keadaan ini menyebabkan organ-organ sel mikroba rusak
(Winarno dan Betty, 1974).
11
Universitas Sumatera Utara
Natrium metabisulfit bersifat mengikat air dimana natrium metabiuslfit
akan berikatan dengan air dimana reaksinya adalah :
Na2S2O5 + H2O 2NaHSO3
Sipayung (1982) menyebutkan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium
metabisulfit yang digunakan untuk mengawetkan bahan pangan kering akan
cenderung mengakibatkan kadar air rendah pada bahan tersebut.
Natrium metabisulfit adalah bahan sulfitasi yang tidak karsinogenik dan
telah mendapat predikat GRAS (Generally Recognized As Save) dari Food and
Drugs Administration (FDA) sejak Agustus 1959. Artinya bahan pengawet ini
aman untuk digunakan pada bahan pangan sesuai dengan batas konsentrasi yang
diizinkan. Batas maksimum penggunaan sulfur dioksida dalam bahan makanan
yang dikeringkan di Amerika Serikat yang ditetapkan FDA yaitu 200 ppm sampai
3000 ppm (Barnet, 1985).
Reaksi penguraian garam sulfit menjadi ion-ion sebagaimana tersebut
dibawah digambarkan oleh (Frazier 1976) sebagai berikut :
Na2S2O5 + H2O 2NaHSO3
NaHSO3 + Na+ + HSO3-
HSO3- + H+ H2SO3
H2SO3- + H+ SO2 + H2O
Natrium metabisulfit yang diperdagangkan berbentuk kristal.
Pemakaiannya dalam pengolahan bahan pangan bertujuan untuk mencegah proses
pencoklatan pada buah sebelum diolah, menghilangkan bau dan rasa getir
serta untuk mempertahankan warna agar tetap menarik. Natrium metabisulfit yang
berlebihan akan hilang sewaktu pengeringan (Deman, 1980).
13
12
Universitas Sumatera Utara
Kontrol pencoklatan
Natrium metabisulfit yang diberikan selain bertujuan mengikat air juga
untuk mengontrol pencoklatan yang terjadi pada bahan, karena bahan
mengandung juga gula pereduksi. Dimana gula reduksi ini bila bereaksi dengan
asam amino selama pengolahan akan menimbulkan warna coklat. Bisulfit juga
dapat menghambat proses pencoklatan dimana sulfit bereaksi dengan gugus
aldehid atau keton sehingga reaksi antara gula reduksi dengan asam amino tidak
terjadi (Apandi, 1984).
Pengeringan
Pengeringan adalah suatu metoda untuk mengeluarkan atau
menghilangkan sebagian air dari bahan dengan cara menguapkan air tersebut
dengan menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air dikurangi sampai
batas agar mikroba tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya (Winarno et al., 1980).
Pengeringan bahan makanan dilakukan manusia sebagai usaha pengawetan
dalam tahapan proses rekayasa pengolahan pangan. Pengeringan ditujukan untuk
menurunkan kadar air dalam bahan pangan, sekaligus menurunkan aktivitas air.
Dengan menurunnya jumlah air bebas hingga mendekati nol, maka pertumbuhan
mikroorganisme, aktivitas enzim dan reaksi kimia dalam bahan makanan akan
terhenti. Dampaknya, umur simpan bahan pangan akan lebih panjang
(Taib et al., 1988).
Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume
bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang
pengepakan dan pengangkutan, dengan demikian diharapkan biaya produksi
menjadi lebih murah (Winarno, 2002).
13
Universitas Sumatera Utara
Pengecilan ukuran akan meningkatkan luas permukaan bahan sehingga
akan mempercepat proses pengeluaran air. Sebelum dikeringkan, bahan pangan
sebaiknya diblansir untuk menginaktifkan enzim yang dapat menyebabkan
perubahan warna pangan menjadi coklat (Buckle et al., 2010).
Mekanisme pengeringan hasil pertanian adalah dengan pemanfaatan
panas, berlangsung sebagai akibat konveksi, radiasi dan konduksi. Pada batas-
batas tertentu, kandungan air dapat diturunkan sehingga kualitas dari produk
pertanian tersebut tetap memenuhi persyaratan seperti yang direncanakan
sebelumnya. Dengan adanya pengeringan ini maka diharapkan akan menimbulkan
keuntungan-keuntungan (Matondang, 1999).
Banyaknya kandungan air dalam bahan pangan merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi kecepatan dan aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan
aktivitas kimiawi, yaitu terjadi ketengikan dan reaksi non enzimatis, sehingga
menimbulkan sifat-sifat organoleptik, penampakan, tekstur dan cita rasa serta nilai
gizi yang berubah, dimana kadar air pada bahan pangan dapat diukur dengan
berbagai cara. Metoda yang umum digunakan untuk pengukuran kadar air di
laboratorium adalah dengan cara pemanasan dalam oven atau dengan cara
destilasi (Syarief dan Hariyadi, 1993).
Pada waktu pengeringan masih berlangsung proses enzimatis. Pengeringan
dengan oven lebih baik ditinjau dari segi kecepatan pengeringan dan bahaya
serangan jamur pada waktu pengeringan (Tjiptadi, 1982).
Pengeringan dengan alat mekanis (pengeringan buatan) yang
menggunakan tambahan panas memberikan keuntungan diantaranya, tidak
tergantung cuaca, kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang
14
Universitas Sumatera Utara
diperlukan, tidak memerlukan tempat yang luas, serta kondisi pengeringan dapat
dikontrol. Penegeringan ini memerlukan energi untuk memanaskan alat
pengering, mengimbangi radiasi panas yang keluar dari alat dan memanaskan
bahan (Kartasapoetra, 1994).
Perubahan kimiawi bahan akibat pengeringan
Pada umumnya bahan pangan yang dikeringkan berubah warnanya
menjadi coklat. Ini disebabkan oleh reaksi browning non enzimatis antara asam
organik dengan gula pereduksi dan antara asam amino dengan gula pereduksi.
Reaksi asam amino dengan gula pereduksi dapat menurunkan nilai gizi yang
terkandung didalamnya. Case hardening dapat disebabkan oleh adanya
perubahan-perubahan kimia tertentu, misalnya terjadi penggumpalan protein pada
permukaan karena panas atau terbentuknya dekstrin dari pati
(Winarno et al., 1980).
Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari berbagai komponen
di samping ikut sebagai bahan pereaksi. Bentuk air dapat ditemukan sebagai air
terikat dan air bebas. Air bebas dapat mudah hilang apabila terjadi penguapan atau
pengeringan, sedangkan air terikat apabila terjadi penguapan atau pengeringan
tetap menempel pada bahan pangan tersebut (Purnomo, 1995).
15
Universitas Sumatera Utara