Chapter II

12
TINJAUAN PUSTAKA Rebung Rebung adalah tunas muda dari pohon bambu yang tumbuh dari akar pohon bambu. Rebung tumbuh dibagian pangkal rumpun bambu dan biasanya dipenuhi oleh glugut (rambut bambu) yang gatal. Morfologi rebung berbentuk keucut, setiap ujung glugut memiliki bagian seperti ujung daun bambu, tetapi warnanya coklat. Menurut klasifikasi botani, tanaman bambu termasuk Monocotyledoneae, sebagaimana penggolongan dari tingkat kingdom hingga species sebagai berikut. - Kingdom : Plantae - Division : Spermatophyta - Class : Monocotyledoneae - Order : Liliales - Familiy : Liliaceae - Genus : Asparagus - Species : Asparagus officinalis L. Bambu banyak ditanam didaerah tropis Asia. Tanaman ini dapat tumbuh di daratan rendah sampai ditempat dengan ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut. Tidak semua jenis bambu memiliki rebung yang enak dimakan. Beberapa jenis bambu memiliki rebung yang rasanya pahit. Rebung yang biasa dibuat masakan merupakan rebung pilihan. Rebung dari bambu betung memiliki rasa yang paling enak. Rebung betung berwarna merah kecoklatan dan ujung kelopaknya berwarna ungu. Setiap jenis rebung dilindungi kelopak-kelopak kuat yang berbulu halus. 4 Universitas Sumatera Utara

description

rtgt rgr grgrt grtgrtgt efew jkyuj dwdw uuu7 ytjy reret

Transcript of Chapter II

Page 1: Chapter II

TINJAUAN PUSTAKA

RebungRebung adalah tunas muda dari pohon bambu yang tumbuh dari akar

pohon bambu. Rebung tumbuh dibagian pangkal rumpun bambu dan biasanya

dipenuhi oleh glugut (rambut bambu) yang gatal. Morfologi rebung berbentuk

keucut, setiap ujung glugut memiliki bagian seperti ujung daun bambu, tetapi

warnanya coklat.

Menurut klasifikasi botani, tanaman bambu termasuk Monocotyledoneae,

sebagaimana penggolongan dari tingkat kingdom hingga species sebagai berikut.

- Kingdom : Plantae

- Division : Spermatophyta

- Class : Monocotyledoneae

- Order : Liliales

- Familiy : Liliaceae

- Genus : Asparagus

- Species : Asparagus officinalis L.

Bambu banyak ditanam didaerah tropis Asia. Tanaman ini dapat tumbuh

di daratan rendah sampai ditempat dengan ketinggian 2.000 meter di atas

permukaan laut. Tidak semua jenis bambu memiliki rebung yang enak dimakan.

Beberapa jenis bambu memiliki rebung yang rasanya pahit. Rebung yang biasa

dibuat masakan merupakan rebung pilihan.

Rebung dari bambu betung memiliki rasa yang paling enak. Rebung

betung berwarna merah kecoklatan dan ujung kelopaknya berwarna ungu. Setiap

jenis rebung dilindungi kelopak-kelopak kuat yang berbulu halus.

4

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II

Senyawa utama di dalam rebung mentah adalah air, yaitu sekitar 85,63 %.

Di samping itu, rebung mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin A,

thiamin, riboflavin, vitamin C serta mineral lain seperti kalsium, fosfor, besi dan

kalium. Bila dibandingkan dengan sayuran lainnya kandungan protein, lemak dan

karbohidrat pada rebung tidak berbeda jauh.

Komposisi kimia rebung

Kandungan serat pangan pada rebung cukup tinggi yaitu sekitar 2,56 %,

lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis sayuran tropis lainnya, seperti

kecambah kedelai 1,27 %, ketimun 0,61 % dan sawi 1,01 %. Oleh sebab itu

rebung cukup baik untuk dimanfaatkan menjadi jenis bahan makanan olahan

lainnya.

Tabel 1. Komposisi kimia rebung per 100 gram bahan

Komposisi Jumlah

Air (g) 85,63Protein (g) 2,50Lemak (g) 0,20Glukosa (g) 2,00Serat (g) 9,10Fosfor (mg) 50,00Kalsium (mg) 28,00Vitamin A (mg) 0,10Vitamin B1 (mg) 1,74Vitamin B2 (mg) 0,08Vitamin C (mg) 7,00

Sumber : Andoko (2003).

6

5

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II

Kerupuk

Kerupuk merupakan makanan khas Indonesia dan sudah sangat dikenal

oleh masyarakat. Kerupuk sangat beragam dalam bentuk, ukuran, warna, bau,

rasa, kerenyahan, ketebalan ataupun nilai gizinya.

Kerupuk adalah salah satu jenis produk makanan kering khas Indonesia.

Kerupuk disukai baik sebagai lauk pauk maupun makanan ringan. Kerupuk sangat

beragam baik dalam bentuk, ukuran, kenampakan, cita rasa, warna, ketebalan dan

nilai gizinya (Praptiningsih, et al., 2003).

Bahan dasar kerupuk adalah pati dengan kandungan amilopektin

menentukan daya kembang kerupuk. Semakin tinggi kandungan amilopektin pati

maka kerupuk yang dihasilkan akan mempunyai daya kembang yang semakin

besar. Pada pembuatan kerupuk sering ditambahkan bahan-bahan lain untuk

memperbaiki cita rasa dan nilai nutrisi seperti udang, ikan, telur dan lain-lain

(Praptiningsih, et al., 2003).

Tabel 2. Komposisi kimia kerupuk per 100 gram bahanKomposisi Jumlah

Protein (g) 5,64Lemak (g) 0,85Karbohidrat (g) 84,38Air (g) 9,12Abu (g) 0,65

Sumber : B.P.P.I., (2004).

Tepung terigu

Tepung terigu mengandung pati 65 % - 70 % dengan rasio amilosa-

amilopektin 74 % dan 26 %. Tergantung jenisnya, gandum mengandung protein

sebesar 6-13 % (Praptiningsih, et al., 2003).

6

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II

Protein dalam gandum yang berupa gliadin dan glutenin membantu proses

pengikatan air dalam adonan kerupuk. Dengan demikian penambahan tepung

gandum dalam pembuatan kerupuk akan meningkatkan kadar air adonan,

sehingga akan mempengaruhi proses glatinisasi dan lama pemasakan adonan

(Praptiningsih, et al., 2003).

Proporsi penggunaan terigu untuk industri pengolahan bahan pangan di

Indonesia relatif besar. Oleh kerena itu, pemanfaatan tepung tapioka sebagai

pensubsitusi (mengurangi penggunaan) terigu dalam pembuatan produk olahan

diharapkan memberi keuntungan yang cukup besar (Astawan, 2003).

Tabel 3. Komposisi kimia tepung terigu per 100 gram bahan

Komposisi Jumlah

Kalori (Kal) 365,00Protein (g) 8,90Lemak (g) 1,30Karbohidrat (g) 77,30Air (g) 12,00P (mg) 106,00Kalsium (mg) 16,00Fe (mg) 1,20Bdd 100,00

Sumber : Departemen Kesehatan R.I., (1996).

Tepung tapioka

Tepung tapioka adalah pati yang diperoleh dari ekstraksi ubi kayu melalui

proses pemarutan, pemerasan penyaringan, pengendapan pati dan pengeringan.

Dalam pembuatan tapioka ditambahkan natrium metabisulfit untuk memperbaiki

warna sehingga tapioka menjadi putih bersih (0,1 %) (Radiyati dan Agusto, 2003).

Tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku ataupun campuran

pada berbagai macam produk antara lain kerupuk dan kue kering lainnya. Selain

7

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II

itu tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengental (thickener), bahan

pengisi, bahan pengikat pada industri makanan olahan (Astawan, 2003).

Tabel 4. Komposisi kimia tepung tapioka per 100 gram bahan

Komposisi Jumlah

Kalori (Kal) 362,00Protein (g) 0,50Lemak (g) 0,30Karbohidrat (g) 86,90Air (g) 12,00Bdd 100,00

Sumber : Departemen Kesehatan R.I., (1996).

Blanching

Blanching adalah proses pemanasan pendahuluan yang dilakukan terhadap

buah dan sayuran sebelum bahan tersebut dikeringkan, dengan tujuan

menonaktifkan enzim, membunuh mikroorganisme, mempercepat pengeringan

serta dapat mempertahankan dari kerusakan karena oksidasi selama pengeringan

maupun penyimpanan (Woodroof dan Luh, 1975).

Blanching dapat membuat produk hasil penggorengan menjadi lebih

seragam, absorbsi minyak oleh produk dapat berkurang karena adanya glatinisasi

pati, mengurangi waktu penggorengan dan dapat memperbaiki tekstur hasil

penggorengan (Fuetsel dan Kueneman, 1975). Komersial blanching dapat

dilakukan pada temperatur 87,7 oC – 93,3 oC selama 18,5 menit tergantung

kondisi dari bahan (Harris dan Loseqke, 1973).

Proses pencetakan dimaksudkan untuk memperoleh bentuk dan ukuran

yang lebih seragam dan lebih menarik. Keseragaman ukuran penting untuk

memperoleh penampakan dan penetrasi panas yang merata sehingga memudahkan

8

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II

proses penggorengan dan menghasilkan produk garing dengan warna yang lebih

seragam (Muchtadi et al., 1979).

Reaksi pencoklatan

Reaksi pencoklatan adalah perubahan wana menjadi kecoklatan pada saat

diolah atau selama penyimpanan yang terjadi pada bahan dan produk pangan,

pembentukan warna coklat tersebut dapat dipicu oleh aktivitas enzim atau reaksi

kimia. Reaksi pencoklatan terdiri dari reaksi pencoklatan enzimatis dan nom

enzimatis (Feri, 2010).

1. Reaksi pencoklatan enzimatis

Pembentukan warna coklat ini dipicu oleh reaksi oksidasi yang dikatalisis

oleh enzim fenol oksidase atau polifenol oksidase. Kedua enzim ini dapat

mengkatalis reaksi oksidasi senyawa fenol (misalnya katekol) yang dapat

menyebabkan perubahan warna menjadi coklat. Dalam bahan pangan, seperti

apel, pisang dan kentang kelompok enzim oksidase tersebut dan senyawa fenol

tersedia secara alami. Enzim oksidase akan reaktif dengan adanya oksigen, ketika

bahan pangan tersebut terkelupas atau terpotong, maka bagian dalam permukaan

akan terpapar oleh oksigen, sehingga akan memicu reaksi oksidasi senyawa fenol

dan merubah permukaan bahan pangan menjadi coklat (Feri, 2010).

2. Reaksi non enzimatis

Pada umumnya ada tiga jenis reaksi pencoklatan non-enzimatis, yaitu

reaksi maillard, karamelisasi dan pencoklatan akibat oksidasi dari vitamin C

(Winarno, 2002).

9

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II

a. Reaksi maillard

Reaksi antara gula pereduksi dan gugus amin dikenal sebagai reaksi

Maillard. Warna coklat dalam reaksi maillard disebabkan oleh pembentukan

melanoidin, yang merupakan kompleks molekul berberat molekul besar. Reaksi

ini diawali reaksi antara grup aldehid atau keton pada molekul gula dengan grup

amino bebas pada molekul protein atau asam amino membentuk glucosyl amine.

Senyawa ini kemudian melalui amadori rearrangement membentuk amino-deoxy-

ketose. Produk-produk amadori tidak stabil dan setelah melalui serangkaian reaksi

yang kompleks menghasilkan komponen aroma dan flavor, serta pigmen coklat

melanoidin (Eskin et al., 1971).

b. Karamelisasi

Gula dalam larutan sangat stabil pada pH 3 - 7. Pencairan gula atau

pemanasan larutan gula dengan keberadaan katalis asam atau basa dapat

menyebabkan gula mengalami karamelisasi. Karamelisasi menghasilkan warna

coklat dan aroma yang disukai. Warna karamel banyak digunakan untuk

mewarnai minuman cola dan makanan lain (Eskin et al., 1971).

c. Oksidasi dari vitamin C

Vitamin C merupakan suatu senyawa reduktor yang juga dapat bertindak

sebagai precursor untuk pencoklatan non-enzimatis. Asam- asam askorbat berada

dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin

lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversibel dengan membentuk suatu

senyawa diketoglukonat (Winarno, 2002).

10

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II

Natrium metabisulfit

Sulfitasi merupakan salah satu perlakuan pendahuluan pada pengolahan

kerupuk. Tujuan utama dari sulfitasi adalah untuk mengurangi pencoklatan pada

waktu pengolahan dan penyimpanan berikutnya. SO2 tidak dapat secara mutlak

menghentikan reaksi pencoklatan tetapi memperlambat reaksi tersebut

(Hulme, 1991).

Salah satu aplikasi yang digunakan sebagai sumber sulfur dioksida adalah

natrium metabisulfit. Merupakan bahan pengawet yang digolongkan ke dalam

garam-garam sulfit. Natrium metabisulfit biasa digunakan pada bahan pangan

untuk mencegah pencoklatan enzimatis maupun non enzimatis, sebagai pemutih,

penghambat bakteri, kapang, dan khamir (Desrosier, 1988).

Natrium metabisulfit berbentuk serbuk bewarna putih mudah larut dalam

air, sedikit larut dalam alkohol dan berbau khas seperti gas sulfur dioksida,

mempunyai rasa asam dan asin. Pada konsentrasi 200 ppm bahan pengawet ini

dapat menghambat pertumbuhan bakteri, kapang dan khamir

(Chicester et al., 1975).

Mekanisme menghambat pertumbuhan mikroba oleh senyawa sulfur

adalah dengan merusak sel mikroba, mereduksi ikatan sulfit, bereaksi dengan

gugus karbonil. Molekul asam sulfit yang tidak terdisosiasi akan masuk kedalam

sel mikrobia. Karena sel mikrobia pH nya netral, asam sulfit akan terdisosiasi

sehingga dalam sel mikroba banyak terdapat ion H+ yang menyebapkan pH sel

menjadi rendah, keadaan ini menyebabkan organ-organ sel mikroba rusak

(Winarno dan Betty, 1974).

11

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II

Natrium metabisulfit bersifat mengikat air dimana natrium metabiuslfit

akan berikatan dengan air dimana reaksinya adalah :

Na2S2O5 + H2O 2NaHSO3

Sipayung (1982) menyebutkan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium

metabisulfit yang digunakan untuk mengawetkan bahan pangan kering akan

cenderung mengakibatkan kadar air rendah pada bahan tersebut.

Natrium metabisulfit adalah bahan sulfitasi yang tidak karsinogenik dan

telah mendapat predikat GRAS (Generally Recognized As Save) dari Food and

Drugs Administration (FDA) sejak Agustus 1959. Artinya bahan pengawet ini

aman untuk digunakan pada bahan pangan sesuai dengan batas konsentrasi yang

diizinkan. Batas maksimum penggunaan sulfur dioksida dalam bahan makanan

yang dikeringkan di Amerika Serikat yang ditetapkan FDA yaitu 200 ppm sampai

3000 ppm (Barnet, 1985).

Reaksi penguraian garam sulfit menjadi ion-ion sebagaimana tersebut

dibawah digambarkan oleh (Frazier 1976) sebagai berikut :

Na2S2O5 + H2O 2NaHSO3

NaHSO3 + Na+ + HSO3-

HSO3- + H+ H2SO3

H2SO3- + H+ SO2 + H2O

Natrium metabisulfit yang diperdagangkan berbentuk kristal.

Pemakaiannya dalam pengolahan bahan pangan bertujuan untuk mencegah proses

pencoklatan pada buah sebelum diolah, menghilangkan bau dan rasa getir

serta untuk mempertahankan warna agar tetap menarik. Natrium metabisulfit yang

berlebihan akan hilang sewaktu pengeringan (Deman, 1980).

13

12

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II

Kontrol pencoklatan

Natrium metabisulfit yang diberikan selain bertujuan mengikat air juga

untuk mengontrol pencoklatan yang terjadi pada bahan, karena bahan

mengandung juga gula pereduksi. Dimana gula reduksi ini bila bereaksi dengan

asam amino selama pengolahan akan menimbulkan warna coklat. Bisulfit juga

dapat menghambat proses pencoklatan dimana sulfit bereaksi dengan gugus

aldehid atau keton sehingga reaksi antara gula reduksi dengan asam amino tidak

terjadi (Apandi, 1984).

Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metoda untuk mengeluarkan atau

menghilangkan sebagian air dari bahan dengan cara menguapkan air tersebut

dengan menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air dikurangi sampai

batas agar mikroba tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya (Winarno et al., 1980).

Pengeringan bahan makanan dilakukan manusia sebagai usaha pengawetan

dalam tahapan proses rekayasa pengolahan pangan. Pengeringan ditujukan untuk

menurunkan kadar air dalam bahan pangan, sekaligus menurunkan aktivitas air.

Dengan menurunnya jumlah air bebas hingga mendekati nol, maka pertumbuhan

mikroorganisme, aktivitas enzim dan reaksi kimia dalam bahan makanan akan

terhenti. Dampaknya, umur simpan bahan pangan akan lebih panjang

(Taib et al., 1988).

Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume

bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang

pengepakan dan pengangkutan, dengan demikian diharapkan biaya produksi

menjadi lebih murah (Winarno, 2002).

13

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II

Pengecilan ukuran akan meningkatkan luas permukaan bahan sehingga

akan mempercepat proses pengeluaran air. Sebelum dikeringkan, bahan pangan

sebaiknya diblansir untuk menginaktifkan enzim yang dapat menyebabkan

perubahan warna pangan menjadi coklat (Buckle et al., 2010).

Mekanisme pengeringan hasil pertanian adalah dengan pemanfaatan

panas, berlangsung sebagai akibat konveksi, radiasi dan konduksi. Pada batas-

batas tertentu, kandungan air dapat diturunkan sehingga kualitas dari produk

pertanian tersebut tetap memenuhi persyaratan seperti yang direncanakan

sebelumnya. Dengan adanya pengeringan ini maka diharapkan akan menimbulkan

keuntungan-keuntungan (Matondang, 1999).

Banyaknya kandungan air dalam bahan pangan merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi kecepatan dan aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan

aktivitas kimiawi, yaitu terjadi ketengikan dan reaksi non enzimatis, sehingga

menimbulkan sifat-sifat organoleptik, penampakan, tekstur dan cita rasa serta nilai

gizi yang berubah, dimana kadar air pada bahan pangan dapat diukur dengan

berbagai cara. Metoda yang umum digunakan untuk pengukuran kadar air di

laboratorium adalah dengan cara pemanasan dalam oven atau dengan cara

destilasi (Syarief dan Hariyadi, 1993).

Pada waktu pengeringan masih berlangsung proses enzimatis. Pengeringan

dengan oven lebih baik ditinjau dari segi kecepatan pengeringan dan bahaya

serangan jamur pada waktu pengeringan (Tjiptadi, 1982).

Pengeringan dengan alat mekanis (pengeringan buatan) yang

menggunakan tambahan panas memberikan keuntungan diantaranya, tidak

tergantung cuaca, kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang

14

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II

diperlukan, tidak memerlukan tempat yang luas, serta kondisi pengeringan dapat

dikontrol. Penegeringan ini memerlukan energi untuk memanaskan alat

pengering, mengimbangi radiasi panas yang keluar dari alat dan memanaskan

bahan (Kartasapoetra, 1994).

Perubahan kimiawi bahan akibat pengeringan

Pada umumnya bahan pangan yang dikeringkan berubah warnanya

menjadi coklat. Ini disebabkan oleh reaksi browning non enzimatis antara asam

organik dengan gula pereduksi dan antara asam amino dengan gula pereduksi.

Reaksi asam amino dengan gula pereduksi dapat menurunkan nilai gizi yang

terkandung didalamnya. Case hardening dapat disebabkan oleh adanya

perubahan-perubahan kimia tertentu, misalnya terjadi penggumpalan protein pada

permukaan karena panas atau terbentuknya dekstrin dari pati

(Winarno et al., 1980).

Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari berbagai komponen

di samping ikut sebagai bahan pereaksi. Bentuk air dapat ditemukan sebagai air

terikat dan air bebas. Air bebas dapat mudah hilang apabila terjadi penguapan atau

pengeringan, sedangkan air terikat apabila terjadi penguapan atau pengeringan

tetap menempel pada bahan pangan tersebut (Purnomo, 1995).

15

Universitas Sumatera Utara