Chapter II

15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapsul Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil yang dapat larut dalam air. Pada umumnya cangkang kapsul terbuat dari gelatin. Tergantung pada formulasinya kapsul dapat berupa kapsul gelatin lunak atau keras. Bagaimana pun, gelatin mempunyai beberapa kekurangan, seperti mudah mengalami peruraian oleh mikroba bila menjadi lembab atau bila disimpan dalam larutan berair (Ansel, 2005). Kapsul tidak berasa, mudah pemberiannya, mudah pengisiannya tanpa persiapan atau dalam jumlah yang besar secara komersil. Didalam praktek peresepan, penggunaan kapsul gelatin keras diperbolehkan sebagai pilihan dalam meresepkan obat tunggal atau kombinasi obat pada perhitungan dosis yang dianggap baik untuk pasien secara individual. Fleksibilitasnya lebih menguntungkan daripada tablet. Beberapa pasien menyatakan lebih mudah menelan kapsul daripada tablet, oleh karena itu lebih disukai bentuk kapsul bila memungkinkan. Pilihan ini telah mendorong pabrik farmasi untuk memproduksi sediaan kapsul dan dipasarkan, walaupun produknya sudah ada dalam bentuk sediaan tablet (Gennaro, 2000). Universitas Sumatera Utara

description

antimalaria

Transcript of Chapter II

Page 1: Chapter II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kapsul

Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu

macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam

cangkang atau wadah kecil yang dapat larut dalam air. Pada umumnya cangkang

kapsul terbuat dari gelatin. Tergantung pada formulasinya kapsul dapat berupa

kapsul gelatin lunak atau keras. Bagaimana pun, gelatin mempunyai beberapa

kekurangan, seperti mudah mengalami peruraian oleh mikroba bila menjadi

lembab atau bila disimpan dalam larutan berair (Ansel, 2005).

Kapsul tidak berasa, mudah pemberiannya, mudah pengisiannya tanpa

persiapan atau dalam jumlah yang besar secara komersil. Didalam praktek

peresepan, penggunaan kapsul gelatin keras diperbolehkan sebagai pilihan dalam

meresepkan obat tunggal atau kombinasi obat pada perhitungan dosis yang

dianggap baik untuk pasien secara individual. Fleksibilitasnya lebih

menguntungkan daripada tablet. Beberapa pasien menyatakan lebih mudah

menelan kapsul daripada tablet, oleh karena itu lebih disukai bentuk kapsul bila

memungkinkan. Pilihan ini telah mendorong pabrik farmasi untuk memproduksi

sediaan kapsul dan dipasarkan, walaupun produknya sudah ada dalam bentuk

sediaan tablet (Gennaro, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II

2.2 Alginat

Natrium alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang

diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah

Natrium alginat larut dengan lambat dalam air, membentuk larutan kental; tidak

larut dalam etanol dan eter Alginat ini diperoleh dari spesies Macrocystis

pyrifera, Laminaria, Ascophyllum dan Sargassum (Belitz, dkk., 1987).

Gambar 2. Struktur alginat (Chaplin, 2009).

Asam alginat adalah kopolimer biner yang terdiri dari residu β-D-

mannuronat (M) dan α-L-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang

membentuk rantai linear (Grasdalen, dkk., 1979). Kedua unit tersebut berikatan

pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu

(MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, dkk.,

1980).

Asam alginat tidak larut dalam air, karena itu yang digunakan dalam

industri adalah dalam bentuk garam natrium dan garam kalium. Salah satu sifat

dari natrium alginat adalah mempunyai kemampuan membentuk gel dengan

penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium

tartrat dan kalsium sitrat. Pembentukan gel ini disebabkan oleh terjadinya kelat

antara rantai L-guluronat dengan ion kalsium (Thom, dkk., 1980).

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II

2.3 Interaksi Uap Air-Padatan

Molekul air terdiri dari dua atom hidrogen, yang berikatan secara kovalen

dengan atom pusat oksigen. Molekul air saling menarik satu sama lain melalui ikatan

hidrogen, yang melibatkan polaritas dari molekul air (Airaksinen, 2005).

Di dalam suatu bahan terdapat air dalam bentuk :

(1) Air Bebas, yaitu air yang berada di permukaan benda padat dan sifatnya

mudah diuapkan,

(2) Air Terikat, yaitu air yang terikat secara fisik (menurut sistem kapiler atau air

absorpsi karena adanya tenaga penyerapan), dan air terikat secara kimia (air

yang berada dalam bahan dalam bentuk air kristal dan air yang terikat dalam

sistem dispersi koloid) (Supriyono, 2003).

(a) (b) (c)

Gambar 3. Jenis air pada suatu bahan ( a = air bebas, b = air terikat secara fisik,

c = air terikat secara kimia) (Supriyono, 2003).

Uap air yang diadsorpsi pada permukaan disebut adsorbat, sedangkan zat

padat yang mengadsorpsi uap air tersebut disebut adsorben. Kecenderungan

adsorpsi pada permukaan zat padat sangat tergantung pada tekanan uap air,

temperatur dan perbedaan energi pengikatan interfacial. Proses adsorpsi terjadi

antara molekul air dengan bagian hidrofilik permukaan zat padat melalui ikatan

hidrogen (Airaksinen, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II

Molekul air pertama-tama diadsorpsi pada permukaan bahan kering

membentuk suatu lapisan monomolekular, yang dipengaruhi oleh tenaga

pengikatan pada permukaan dan difusi. Ketika tenaga difusi melebihi tenaga

pengikatan, lebih banyal molekul air yang terikat pada permukaan dan uap air

dipindahkan ke dalam bahan. Jadi, uap air dapat diadsorpsi sebagai suatu lapisan

tunggal atau multilapisan atau sebagai uap air yang terkondensasi (York, 1981).

Gambar 4. Lokasi uap air dalam zat padat (A = uap air yang terikat pada

permukaan, B = uap air di dalam bahan, C = uap air yang

terkondensasi (lapisan multimolekular uap air) (York, 1981).

2.4 Aktivitas Air

Aktivitas air (Water Activity) adalah jumlah air bebas yang dapat

digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Istilah aktivitas air digunakan

untuk menjabarkan air bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi

biologis dan kimiawi. Air yang terkandung dalam bahan, apabila terikat kuat

dengan komponen bukan air lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas

mikrobiologis maupun aktivitas kimia hidrolitik (Fennema, 1985).

Aktivitas air menggambarkan status energi air dalam sistem, didefinisikan

sebagai perbandingan tekanan uap air dalam suatu bahan (p) terhadap tekanan uap

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II

air murni (po) pada temperatur yang sama. Aktivitas air dinyatakan dalam angka

antara 0 sampai 1.0 yang secara langsung juga sebanding dengan keadaan

kelembaban relatif (relative humidity/RH) 0% sampai 100% (Fennema, 1985).

aw = p/po = RH (%) / 100

Ada beberapa faktor yang menyebabkan berkurangnya aktivitas air suatu

bahan, seperti efek koligatif larutan, efek kapiler, dan interaksi permukaan. Efek

koligatif zat terlarut berinteraksi dengan air melalui ikatan dipol-dipol, ionik dan

hidrogen. Efek kapiler akan menurunkan aktivitas air karena terjadi perubahan

ikatan hidrogen antara molekul air. Interaksi permukaan antara air dengan gugus

kimia zat yang tidak larut (seperti amilum dan protein) melalui ikatan dipol-dipol,

ikatan ionik (H3O+ or OH-), ikatan van der Waals (hidrofobik), dan ikatan

hidrogen (Fennema, 1985).

Aktivitas air tergantung pada temperatur. Temperatur mengubah aktivitas

air sehubungan dengan perubahan ikatan air, disosiasi air, solubilitas zat terlarut

dalam air ataupun keadaan matriks. Efek temperatur terhadap aktivitas air suatu

bahan bersifat spesifik. Beberapa produk mengalami peningkatan aw dengan

terjadinya kenaikan temperatur, dan beberapa produk mengalami penurunan aw

dengan terjadinya kenaikan temperatur (Fennema, 1985).

Karena merupakan energi potensial, akan terjadi perpindahan air dari

daerah dengan aktivitas air tinggi menuju daerah dengan aktivitas air rendah.

Sebagai contohnya, madu (aw ≈ 0.6) yang terpapar dengan udara lembab (aw ≈

0.7), madu akan menyerap air dari udara (Fennema, 1985).

Mikroba hanya dapat hidup pada besaran aw tertentu. Sebagian besar

bakteri membutuhkan aw 0.75 – 1.00 untuk perkembangbiakannya, sedangkan

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II

beberapa khamir dan kapang dapat berkembang secara lambat pada aw 0.62

(Fennema, 1985).

Mikro organisme aw

Clostridium botulinum E. 0.97 Pseudomonas fluorescens 0.97 Escherichia coli 0.95 Clostridium perfringens 0.95 Salmonella 0.95 Vibrio cholerae 0.95 Clostridium botulinum A, B 0.97 Bacillus cereus 0.93 Listeria monocytogenes 0.92 Bacillus subtilis 0.91 Staphylococcus aureus 0.86 Lumut 0.80

Tabel 1. aw minimum pertumbuhan mikroorganisme tertentu (Chaplin, 2005).

2.5 Permeasi Uap Air

Banyak makanan dan bahan farmasetik yang sensitif terhadap uap air,

sehingga perlu mengontrol laju permeasi uap air dari lingkungan untuk

mendapatkan kualitas, keamanan dan waktu edar yang dikehendaki. Ada beberapa

teknik untuk mengukur laju permeasi uap air, mulai dari teknik gravimetri yang

mengukur penambahan atau pengurangan uap air melalui berat kalsium klorida

anhidrat, sampai teknik yang menggunakan instrumen yang sangat rumit untuk

mengukur laju permeasi uap air. Banyak metode standar yang digunakan dalam

industri, seperti ISO,ASTM, BS, DIN, dll untuk mengukur laju permeasi uap air.

Kondisi selama pengukuran sangat mempengaruhi hasil yang diperoleh.

Temperatur dan kelembaban selama pengukuran harus dicatat, karena tidak dapat

membandingkan dua hasil yang diperoleh jika kondisi tersebut tidak diketahui.

Satuan laju permeasi uap air yang paling banyak dipakai adalah g/m2/hari.Laju

permeasi uap air dapat sangat rendah, seperti pada aluminium foil (0,001

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II

g/m2/hari) maupun sangat tinggi seperti pada kain (dapat mencapai beberapa ribu

g/m2/hari) (Anonim, 2010).

2.6 Kesetimbangan Kandungan Uap Air

Hubungan antara kelembaban dan kandungan uap air pada temperatur

yang sama (isoterm) dikenal sebagai kesetimbangan isoterm sorpsi uap air

(Equilibrium Moisture Sorption Isotherm) seperi yang dikemukakan oleh Bell dan

Labuza. Masing-masing produk mempunyai kesetimbangan kandungan uap air

yang unik karena perbedaan interaksi (efek koligatif larutan, efek kapiler, dan

interaksi permukaan) antara air dengan komponen padat pada kandungan uap air

yang berbeda. Peningkatan aw biasanya dibarengi dengan peningkatan kandungan

uap air, walaupun tidak secara linier. Kesetimbangan kandungan uap air biasanya

berbentuk sigmoidal untuk kebanyakan makanan, walaupun makanan tersebut

mengandung gula dalam jumlah besar (Fontana, 2000).

Informasi mengenai mekanisme sorpsi uap air pada suatu bahan dapat

diketahui dari bentuk kesetimbangan kandungan uap airnya, karena hal itu sangat

tergantung pada interaksi antara molekul air dengan suatu bahan padat. Isoterm sorpsi

fisis ini dapat digolongkan menjadi 6 tipe utama (I-VI), berdasarkan klasifikasi

IUPAC. Isoterm tipe V dan VI tidak umum untuk dijumpai (Sing, dkk., 1985).

Tipe I adalah tipe Langmuir, yang ditandai oleh adanya adsorpsi yang terbatas

yang diasumsikan sebagai terbentuknya suatu lapisan tunggal yang sempurna. Tipe I

memiliki adsorben dengan mikropori yang luas permukaannya relatif kecil, yang

dapat menyimpan banyak uap air pada RH yang rendah (Sing, dkk., 1985).

Isoterm tipe II, bentuk sigmoidal atau bentuk S umumnya berhubungan

dengan sorpsi lapisan tunggal-multi lapisan pada bahan dengan permukaan yang tidak

berpori atau makropori. Isoterm tipe II dan IV menunjukkan pengikatan tertentu pada

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II

kelembaban rendah yang diikuti dengan adsorpsi yang rendah pada kelembaban

menengah, selanjutnya meningkat lagi pada kelembaban yang lebih tinggi. Adanya

histeresis menunjukkan adanya mesopori dan umum terjadi pada isoterm tipe II dan

IV (Sing, dkk., 1985).

Berbeda dengan isoterm tipe IV, isoterm tipe II tidak memiliki penyerapan

yang stabil pada aw yang tinggi. Isoterm tipe IV terjadi karena tertutupnya mesopori

yang diikuti dengan kondensasi kapiler atau pengisian pori (Sing, dkk., 1985).

Isoterm tipe III dan V menandakan adanya interaksi adsorbent-adsorbat yang

lemah dan ditandai dengan penyerapan yang rendah pada kelembaban rendah dan

terjadi peningkatan yang pesat pada kelembaban yang lebih tinggi. Isoterm tipe VI,

isoterm bertingkat dimana terjadi sorpsi tingkat demi tingkat pada permukaan bahan

tidak berpori yang seragam (Sing, dkk., 1985).

Gambar 5. Klasifikasi Isoterm Sorpsi Uap Air dan Berbagai Bentuknya (Sing,

dkk., 1985).

Kesetimbangan dari adsorpsi uap air (dimulai dari keadaan kering) tidak

sama persis dengan kesetimbangan yang dihasilkan dari desorpsi uap air (dimulai

dari keadaan basah). Fenomena dari kandungan uap air yang berbeda dengan aw

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II

yang sama ini dikenal sebagai histeresis sorpsi uap air (moisture sorption

hysteresis) dan dimiliki oleh kebanyakan makanan (Fontana, 2000).

Gambar 6. Skema Histeresis antara Adsorpsi dan Desorpsi Uap Air (Chaplin,

2005).

Ada beberapa alasan hal ini dapat terjadi, seperti perbedaan pengisian dan

pengosongan uap air pada pori-pori, pengembangan bahan polimer, transisi

keadaan gelas dan karet, dan supersaturasi beberapa zat terlarut selama desorpsi.

Kesetimbangan kandungan uap air ini biasanya digambarkan dalam bentuk grafik,

dengan memplot kandungan uap air sebagai suatu fungsi aw atau dalam suatu

bentuk persamaan (Fontana, 2000).

Ada lebih dari 70 persamaan yang telah dikembangkan untuk memprediksi

kesetimbangan kandungan uap air ini. Model GAB (Guggenheim-Anderson-de

Boer) merupakan salah satu model yang telah diterima secara luas untuk bahan

dengan aktivitas air dari 0,1 sampai 0,9.

C1 k mo aw

(1 – k aw)(1 – k aw + C1 k aw)

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II

Dimana C1 dan k adalah suatu konstanta dan mo adalah kadar uap air lapisan

tunggal. Persamaan ini dapat diselesaikan menggunakan program regresi non-

linear terkomputerisasi ataupun dalam bentuk persamaan polinomial (Fontana,

2000).

2.7 Pengaruh Air terhadap Stabilitas Kimia dan Biokimia

Air (terutama aktivitas air) tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan

mikroba, tetapi juga mempengaruhi reaktivitas kimia dan enzimatik suatu bahan.

Air dapat mempengaruhi stabilitas kimia dalam berbagai cara. Air dapat bertindak

sebagai pelarut, reaktan, atau mengubah mobilitas dari suatu reaktan dengan

mengubah viskositas sistem. Aktivitas air mempengaruhi pengcoklatan non-

enzimatik (non-enzymatic browning), oksidasi lipid enzimatik, denaturasi protein,

gelatinisasi amilum, dan retrodegradasi amilum (Fontana, 2000).

Gambar 7. Aktivitas air – Diagram Stabilitas (Labuza, 1972).

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II

Pengcoklatan non-enzimatik (non-enzymatic browning) meningkat dengan

meningkatnya aw, dan mencapai maksimum pada range aw 0,60 – 0,70.

Umumnya, peningkatan aw yang lebih lanjut justru akan menghambat reaksi

pengcoklatan. Lipid oksidasi akan mencapai minimum pada range aw menengah

sedangkan mencapai maksimum pada range aw rendah dan tinggi. Stabilitas enzim

dan vitamin juga dipengaruhi oleh aktivitas air sehubungan sifat alamiahnya yang

rapuh. Kebanyakan reaksi enzimatik berjalan lambat pada aw di bawah 0,80 tetapi

beberapa reaksi dapat terjadi pada aw yang sangat rendah. Selain itu, juga

mempengaruhi temperatur gelatinisasi dan laju retrodegradasi dari amilum

(Fontana, 2000).

2.8 Stabilitas Fisik Cangkang Kapsul Gelatin dan HPMC

2.8.1 Warna

Warna, merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi penilaian

konsumen terhadap kualitas produk. Warna suatu bahan dapat berasal dari warna

alamiahnya atau warna yang terjadi selama proses pengolahannya (Morales, dkk.,

1998).

Temperatur dan kadar uap air yang relatif tinggi selama proses pengolahan

dan penyimpanan yang berkepanjangan merupakan salah satu faktor utama yang

menyebabkan terjadinya reaksi pengcoklatan (enzimatik dan non-enzimatik)

(Labuza, dkk., 1972).

Reaksi pengcoklatan adalah suatu reaksi dimana suatu bahan berubah

menjadi coklat, baik melalui proses enzimatik maupun non-enzimatik.

Pengcoklatan enzimatik ini melibatkan polifenol oksidase atau enzim lain yang

menghasilkan melanin, sehingga menimbulkan warna coklat. Sedangkan

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II

pengcoklatan non-enzimatik dapat menimbulkan warna coklat tanpa adanya

aktivitas enzim (Marshall, dkk., 2000).

Ogura dkk (1998) mengisi cangkang kapsul gelatin dan HPMC dengan

asam askorbat dan membungkusnya dalam botol polietilen tanpa desikan dan

menyimpannya pada suu 400C/RH 75% selama 2 bulan. Cangkang kapsul gelatin

menjadi berwarna coklat, sedangkan cangkang kapsul HPMC tidak mengalami

perubahan warna. Hal ini menandakan bahwa perubahan warna yang terjadi

merupakan reaksi antara asam askorbat dan cangkang kapsul gelatin (dikenal

dengan reaksi Maillard) (Honkanen, 2004).

Reaksi Maillard merupakan suatu reaksi kimia pengcoklatan non-enzimatik

antara gula pereduksi dengan protein atau asam amino. Tergantung pada jenis bahan

dan jalannya reaksi, perubahan warna yang terjadi bisa dari kuning lemah sampai

coklat gelap. Banyak faktor yang mempengaruhi reaksi Maillard, seperti temperatur,

aktivitas air, pH, kadar uap air dan komposisi kimia suatu bahan (Morales, dkk.,

1998).

2.8.2 Kerapuhan

Perlu diketahui bahwa cangkang kapsul bukan tidak reaktif, secara fisika

atau kimia. Perubahan kondisi penyimpanan seperti temperatur dan kelembaban

dapat mempengaruhi sifat kapsul. Dengan terjadinya kenaikan temperatur dan

kelembaban dapat menyebabkan kapsul mengikat/melepaskan uap air. Sebagai

akibatnya kapsul dapat menjadi rapuh atau lunak (Margareth, dkk., 2009).

Laju pengeringan kapsul juga mempengaruhi kekerasan dan kerapuhan

kapsul, kemampuan pelarutan, dan kecenderungan untuk melekat satu sama lain..

Kadar uap air yang rendah pada kapsul dapat menghambat pertumbuhan mikroba.

Jika kadar uap air pada kapsul gelatin kurang dari 10%, kapsul cenderung menjadi

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II

rapuh, dan sebaliknya jika kadar air lebih tinggi dari 18% kapsul gelatin melunak.

Kondisi penyimpanan yang direkomendasikan untuk bentuk sediaan kapsul

gelatin berkisar 15-300C dan 30%-60% kelembaban relatif (RH). (Margareth,

dkk., 2009).

Perubahan kerapuhan kapsul oleh kelembaban relatif telah dipelajari oleh

Kontny dan Mulski. Pemantauan terhadap karakteristik kapsul yang disimpan

pada kelembaban yang bervariasi membuktikan bahwa kelembaban merupakan

salah satu parameter yang penting dalam pembuatan dan penyimpanan kapsul.

Kriteria yang diterima bahwa kerapuhan kapsul yang signifikan tidak boleh

terdeteksi pada kapsul yang disimpan pada kelembaban relatif 30% dan 50%

selama 4 minggu (Kontny, dkk., 1989).

Gambar 8. Kelembaban Relatif (RH), Kandungan Uap Air Gelatin dan Sifat

Kapsul Gelatin Keras (Kontny, dkk., 1989)

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II

2.8.3 Waktu Hancur

Chiwele dkk. (2000) telah meneliti mengenai waktu hancur cangkang

kapsul gelatin kosong dan kapsul HPMC (Hydroxypropyl Methylcellulose) setelah

penyimpanan selama 24 jam pada kondisi tropis lembab (suhu 370C, RH 75%)

dan pada temperatur kamar. Dalam metode ini, mereka menggunakan bola besi

sebagai bahan pengisi dalam kapsul. Pada penyimpanan kondisi tropis lembab,

cangkang kapsul gelatin tidak mengalami perubahan waktu hancur dalam medium

apapun, sedangkan waktu hancur kapsul HPMC tidak berubah hanya dalam

medium cairan lambung buatan (Honkanen, 2004).

Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan Ogura (1998) bahwa

cangkang kapsul HPMC yang telah diisi dengan spiramisin dan disimpan pada

suhu 600C, RH 75% selama 10 hari tidak mengalami perubahan sifat waktu

hancur. Tetapi, mereka menggunakan prosedur standar uji waktu hancur dalam

farmakope, yang tidak dapat menentukan waktu hancur cangkang kapsul dan

bahan obat secara terpisah. Sedangkan dalam metode yang digunakan Chiwele

dkk. (2000), bola besi yang digunakan tidak mempengaruhi waktu hancur

(Honkanen, 2004).

2.9 Spektroskopi IR

Spektroskopi Infrared (IR) merupakan suatu teknik analisa spektroskopi

yang menggunakan spektrum daerah inframerah. Analisis IR ini dapat digunakan

untuk mengidentifikasi campuran dan menyelidiki komposisi sampel, berdasarkan

serapan radiasi inframerah oleh ikatan kimia senyawa (Anonim, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II

2.10 Differential Thermal Analyzer

Analisis termal juga sangat penting untuk diketahui karena dalam proses

industri umumnya berkaitan dengan suhu/panas dan dapat memberikan data

mengenai stabilitas dan residu penguraian suatu bahan. Kadar uap air juga dapat

dipelajari dari pengukuran termal ini Salah satu analisis termal ini adalah

Differential Thermal Analyzer (DTA), yaitu suatu teknik analisa yang mengukur

perbedaan temperatur antara suatu sampel dengan pembanding, apakah endotem

atau eksoterm. Puncak endoterm terjadi jika temperatur pada sampel lebih kecil

daripada pembanding (ΔT -), sebaliknya puncak eksoterm terjadi jika temperatur

pada sampel lebih besar daripada pembanding (ΔT +) (Soares, 2004).

Stabilitas termal asam alginat dan Na alginat telah diperiksa menggunakan

thermogravimetry (TG) dan differential scanning calorimetry (DSC). Kurva

thermogravimetry dari asam alginat menunjukkan bahwa proses penguraian

berlangsung melalui dua tahap. Pertama, terjadi kehilangan uap air diikuti dengan

penguraian polimer. Sedangkan Na alginat terurai melalui tiga tahap. Pertama,

terjadi pelepasan uap air diikuti penguraian polimer dan terakhir terbentuk residu

Na2CO3 (Soares, 2004).

Terbentuknya residu Na2CO3 telah diteliti oleh Newkirk, dimana residu

Na2CO3 dapat dipastikan dengan memanaskan sampel sampai suhu 550oC di

dalam oven kemudian dengan menambahkan HCl pada sisanya. Terbentuknya gas

CO2 pada residu tersebut di dalam tabung reaksi membuktikan adanya residu

Na2CO3 (Soares, 2004).

Universitas Sumatera Utara