Chapter II
-
Upload
arif-santoso -
Category
Documents
-
view
7 -
download
2
description
Transcript of Chapter II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kapsul
Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu
macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam
cangkang atau wadah kecil yang dapat larut dalam air. Pada umumnya cangkang
kapsul terbuat dari gelatin. Tergantung pada formulasinya kapsul dapat berupa
kapsul gelatin lunak atau keras. Bagaimana pun, gelatin mempunyai beberapa
kekurangan, seperti mudah mengalami peruraian oleh mikroba bila menjadi
lembab atau bila disimpan dalam larutan berair (Ansel, 2005).
Kapsul tidak berasa, mudah pemberiannya, mudah pengisiannya tanpa
persiapan atau dalam jumlah yang besar secara komersil. Didalam praktek
peresepan, penggunaan kapsul gelatin keras diperbolehkan sebagai pilihan dalam
meresepkan obat tunggal atau kombinasi obat pada perhitungan dosis yang
dianggap baik untuk pasien secara individual. Fleksibilitasnya lebih
menguntungkan daripada tablet. Beberapa pasien menyatakan lebih mudah
menelan kapsul daripada tablet, oleh karena itu lebih disukai bentuk kapsul bila
memungkinkan. Pilihan ini telah mendorong pabrik farmasi untuk memproduksi
sediaan kapsul dan dipasarkan, walaupun produknya sudah ada dalam bentuk
sediaan tablet (Gennaro, 2000).
Universitas Sumatera Utara
2.2 Alginat
Natrium alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang
diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah
Natrium alginat larut dengan lambat dalam air, membentuk larutan kental; tidak
larut dalam etanol dan eter Alginat ini diperoleh dari spesies Macrocystis
pyrifera, Laminaria, Ascophyllum dan Sargassum (Belitz, dkk., 1987).
Gambar 2. Struktur alginat (Chaplin, 2009).
Asam alginat adalah kopolimer biner yang terdiri dari residu β-D-
mannuronat (M) dan α-L-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang
membentuk rantai linear (Grasdalen, dkk., 1979). Kedua unit tersebut berikatan
pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu
(MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, dkk.,
1980).
Asam alginat tidak larut dalam air, karena itu yang digunakan dalam
industri adalah dalam bentuk garam natrium dan garam kalium. Salah satu sifat
dari natrium alginat adalah mempunyai kemampuan membentuk gel dengan
penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium
tartrat dan kalsium sitrat. Pembentukan gel ini disebabkan oleh terjadinya kelat
antara rantai L-guluronat dengan ion kalsium (Thom, dkk., 1980).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Interaksi Uap Air-Padatan
Molekul air terdiri dari dua atom hidrogen, yang berikatan secara kovalen
dengan atom pusat oksigen. Molekul air saling menarik satu sama lain melalui ikatan
hidrogen, yang melibatkan polaritas dari molekul air (Airaksinen, 2005).
Di dalam suatu bahan terdapat air dalam bentuk :
(1) Air Bebas, yaitu air yang berada di permukaan benda padat dan sifatnya
mudah diuapkan,
(2) Air Terikat, yaitu air yang terikat secara fisik (menurut sistem kapiler atau air
absorpsi karena adanya tenaga penyerapan), dan air terikat secara kimia (air
yang berada dalam bahan dalam bentuk air kristal dan air yang terikat dalam
sistem dispersi koloid) (Supriyono, 2003).
(a) (b) (c)
Gambar 3. Jenis air pada suatu bahan ( a = air bebas, b = air terikat secara fisik,
c = air terikat secara kimia) (Supriyono, 2003).
Uap air yang diadsorpsi pada permukaan disebut adsorbat, sedangkan zat
padat yang mengadsorpsi uap air tersebut disebut adsorben. Kecenderungan
adsorpsi pada permukaan zat padat sangat tergantung pada tekanan uap air,
temperatur dan perbedaan energi pengikatan interfacial. Proses adsorpsi terjadi
antara molekul air dengan bagian hidrofilik permukaan zat padat melalui ikatan
hidrogen (Airaksinen, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Molekul air pertama-tama diadsorpsi pada permukaan bahan kering
membentuk suatu lapisan monomolekular, yang dipengaruhi oleh tenaga
pengikatan pada permukaan dan difusi. Ketika tenaga difusi melebihi tenaga
pengikatan, lebih banyal molekul air yang terikat pada permukaan dan uap air
dipindahkan ke dalam bahan. Jadi, uap air dapat diadsorpsi sebagai suatu lapisan
tunggal atau multilapisan atau sebagai uap air yang terkondensasi (York, 1981).
Gambar 4. Lokasi uap air dalam zat padat (A = uap air yang terikat pada
permukaan, B = uap air di dalam bahan, C = uap air yang
terkondensasi (lapisan multimolekular uap air) (York, 1981).
2.4 Aktivitas Air
Aktivitas air (Water Activity) adalah jumlah air bebas yang dapat
digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Istilah aktivitas air digunakan
untuk menjabarkan air bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi
biologis dan kimiawi. Air yang terkandung dalam bahan, apabila terikat kuat
dengan komponen bukan air lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas
mikrobiologis maupun aktivitas kimia hidrolitik (Fennema, 1985).
Aktivitas air menggambarkan status energi air dalam sistem, didefinisikan
sebagai perbandingan tekanan uap air dalam suatu bahan (p) terhadap tekanan uap
Universitas Sumatera Utara
air murni (po) pada temperatur yang sama. Aktivitas air dinyatakan dalam angka
antara 0 sampai 1.0 yang secara langsung juga sebanding dengan keadaan
kelembaban relatif (relative humidity/RH) 0% sampai 100% (Fennema, 1985).
aw = p/po = RH (%) / 100
Ada beberapa faktor yang menyebabkan berkurangnya aktivitas air suatu
bahan, seperti efek koligatif larutan, efek kapiler, dan interaksi permukaan. Efek
koligatif zat terlarut berinteraksi dengan air melalui ikatan dipol-dipol, ionik dan
hidrogen. Efek kapiler akan menurunkan aktivitas air karena terjadi perubahan
ikatan hidrogen antara molekul air. Interaksi permukaan antara air dengan gugus
kimia zat yang tidak larut (seperti amilum dan protein) melalui ikatan dipol-dipol,
ikatan ionik (H3O+ or OH-), ikatan van der Waals (hidrofobik), dan ikatan
hidrogen (Fennema, 1985).
Aktivitas air tergantung pada temperatur. Temperatur mengubah aktivitas
air sehubungan dengan perubahan ikatan air, disosiasi air, solubilitas zat terlarut
dalam air ataupun keadaan matriks. Efek temperatur terhadap aktivitas air suatu
bahan bersifat spesifik. Beberapa produk mengalami peningkatan aw dengan
terjadinya kenaikan temperatur, dan beberapa produk mengalami penurunan aw
dengan terjadinya kenaikan temperatur (Fennema, 1985).
Karena merupakan energi potensial, akan terjadi perpindahan air dari
daerah dengan aktivitas air tinggi menuju daerah dengan aktivitas air rendah.
Sebagai contohnya, madu (aw ≈ 0.6) yang terpapar dengan udara lembab (aw ≈
0.7), madu akan menyerap air dari udara (Fennema, 1985).
Mikroba hanya dapat hidup pada besaran aw tertentu. Sebagian besar
bakteri membutuhkan aw 0.75 – 1.00 untuk perkembangbiakannya, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
beberapa khamir dan kapang dapat berkembang secara lambat pada aw 0.62
(Fennema, 1985).
Mikro organisme aw
Clostridium botulinum E. 0.97 Pseudomonas fluorescens 0.97 Escherichia coli 0.95 Clostridium perfringens 0.95 Salmonella 0.95 Vibrio cholerae 0.95 Clostridium botulinum A, B 0.97 Bacillus cereus 0.93 Listeria monocytogenes 0.92 Bacillus subtilis 0.91 Staphylococcus aureus 0.86 Lumut 0.80
Tabel 1. aw minimum pertumbuhan mikroorganisme tertentu (Chaplin, 2005).
2.5 Permeasi Uap Air
Banyak makanan dan bahan farmasetik yang sensitif terhadap uap air,
sehingga perlu mengontrol laju permeasi uap air dari lingkungan untuk
mendapatkan kualitas, keamanan dan waktu edar yang dikehendaki. Ada beberapa
teknik untuk mengukur laju permeasi uap air, mulai dari teknik gravimetri yang
mengukur penambahan atau pengurangan uap air melalui berat kalsium klorida
anhidrat, sampai teknik yang menggunakan instrumen yang sangat rumit untuk
mengukur laju permeasi uap air. Banyak metode standar yang digunakan dalam
industri, seperti ISO,ASTM, BS, DIN, dll untuk mengukur laju permeasi uap air.
Kondisi selama pengukuran sangat mempengaruhi hasil yang diperoleh.
Temperatur dan kelembaban selama pengukuran harus dicatat, karena tidak dapat
membandingkan dua hasil yang diperoleh jika kondisi tersebut tidak diketahui.
Satuan laju permeasi uap air yang paling banyak dipakai adalah g/m2/hari.Laju
permeasi uap air dapat sangat rendah, seperti pada aluminium foil (0,001
Universitas Sumatera Utara
g/m2/hari) maupun sangat tinggi seperti pada kain (dapat mencapai beberapa ribu
g/m2/hari) (Anonim, 2010).
2.6 Kesetimbangan Kandungan Uap Air
Hubungan antara kelembaban dan kandungan uap air pada temperatur
yang sama (isoterm) dikenal sebagai kesetimbangan isoterm sorpsi uap air
(Equilibrium Moisture Sorption Isotherm) seperi yang dikemukakan oleh Bell dan
Labuza. Masing-masing produk mempunyai kesetimbangan kandungan uap air
yang unik karena perbedaan interaksi (efek koligatif larutan, efek kapiler, dan
interaksi permukaan) antara air dengan komponen padat pada kandungan uap air
yang berbeda. Peningkatan aw biasanya dibarengi dengan peningkatan kandungan
uap air, walaupun tidak secara linier. Kesetimbangan kandungan uap air biasanya
berbentuk sigmoidal untuk kebanyakan makanan, walaupun makanan tersebut
mengandung gula dalam jumlah besar (Fontana, 2000).
Informasi mengenai mekanisme sorpsi uap air pada suatu bahan dapat
diketahui dari bentuk kesetimbangan kandungan uap airnya, karena hal itu sangat
tergantung pada interaksi antara molekul air dengan suatu bahan padat. Isoterm sorpsi
fisis ini dapat digolongkan menjadi 6 tipe utama (I-VI), berdasarkan klasifikasi
IUPAC. Isoterm tipe V dan VI tidak umum untuk dijumpai (Sing, dkk., 1985).
Tipe I adalah tipe Langmuir, yang ditandai oleh adanya adsorpsi yang terbatas
yang diasumsikan sebagai terbentuknya suatu lapisan tunggal yang sempurna. Tipe I
memiliki adsorben dengan mikropori yang luas permukaannya relatif kecil, yang
dapat menyimpan banyak uap air pada RH yang rendah (Sing, dkk., 1985).
Isoterm tipe II, bentuk sigmoidal atau bentuk S umumnya berhubungan
dengan sorpsi lapisan tunggal-multi lapisan pada bahan dengan permukaan yang tidak
berpori atau makropori. Isoterm tipe II dan IV menunjukkan pengikatan tertentu pada
Universitas Sumatera Utara
kelembaban rendah yang diikuti dengan adsorpsi yang rendah pada kelembaban
menengah, selanjutnya meningkat lagi pada kelembaban yang lebih tinggi. Adanya
histeresis menunjukkan adanya mesopori dan umum terjadi pada isoterm tipe II dan
IV (Sing, dkk., 1985).
Berbeda dengan isoterm tipe IV, isoterm tipe II tidak memiliki penyerapan
yang stabil pada aw yang tinggi. Isoterm tipe IV terjadi karena tertutupnya mesopori
yang diikuti dengan kondensasi kapiler atau pengisian pori (Sing, dkk., 1985).
Isoterm tipe III dan V menandakan adanya interaksi adsorbent-adsorbat yang
lemah dan ditandai dengan penyerapan yang rendah pada kelembaban rendah dan
terjadi peningkatan yang pesat pada kelembaban yang lebih tinggi. Isoterm tipe VI,
isoterm bertingkat dimana terjadi sorpsi tingkat demi tingkat pada permukaan bahan
tidak berpori yang seragam (Sing, dkk., 1985).
Gambar 5. Klasifikasi Isoterm Sorpsi Uap Air dan Berbagai Bentuknya (Sing,
dkk., 1985).
Kesetimbangan dari adsorpsi uap air (dimulai dari keadaan kering) tidak
sama persis dengan kesetimbangan yang dihasilkan dari desorpsi uap air (dimulai
dari keadaan basah). Fenomena dari kandungan uap air yang berbeda dengan aw
Universitas Sumatera Utara
yang sama ini dikenal sebagai histeresis sorpsi uap air (moisture sorption
hysteresis) dan dimiliki oleh kebanyakan makanan (Fontana, 2000).
Gambar 6. Skema Histeresis antara Adsorpsi dan Desorpsi Uap Air (Chaplin,
2005).
Ada beberapa alasan hal ini dapat terjadi, seperti perbedaan pengisian dan
pengosongan uap air pada pori-pori, pengembangan bahan polimer, transisi
keadaan gelas dan karet, dan supersaturasi beberapa zat terlarut selama desorpsi.
Kesetimbangan kandungan uap air ini biasanya digambarkan dalam bentuk grafik,
dengan memplot kandungan uap air sebagai suatu fungsi aw atau dalam suatu
bentuk persamaan (Fontana, 2000).
Ada lebih dari 70 persamaan yang telah dikembangkan untuk memprediksi
kesetimbangan kandungan uap air ini. Model GAB (Guggenheim-Anderson-de
Boer) merupakan salah satu model yang telah diterima secara luas untuk bahan
dengan aktivitas air dari 0,1 sampai 0,9.
C1 k mo aw
(1 – k aw)(1 – k aw + C1 k aw)
Universitas Sumatera Utara
Dimana C1 dan k adalah suatu konstanta dan mo adalah kadar uap air lapisan
tunggal. Persamaan ini dapat diselesaikan menggunakan program regresi non-
linear terkomputerisasi ataupun dalam bentuk persamaan polinomial (Fontana,
2000).
2.7 Pengaruh Air terhadap Stabilitas Kimia dan Biokimia
Air (terutama aktivitas air) tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan
mikroba, tetapi juga mempengaruhi reaktivitas kimia dan enzimatik suatu bahan.
Air dapat mempengaruhi stabilitas kimia dalam berbagai cara. Air dapat bertindak
sebagai pelarut, reaktan, atau mengubah mobilitas dari suatu reaktan dengan
mengubah viskositas sistem. Aktivitas air mempengaruhi pengcoklatan non-
enzimatik (non-enzymatic browning), oksidasi lipid enzimatik, denaturasi protein,
gelatinisasi amilum, dan retrodegradasi amilum (Fontana, 2000).
Gambar 7. Aktivitas air – Diagram Stabilitas (Labuza, 1972).
Universitas Sumatera Utara
Pengcoklatan non-enzimatik (non-enzymatic browning) meningkat dengan
meningkatnya aw, dan mencapai maksimum pada range aw 0,60 – 0,70.
Umumnya, peningkatan aw yang lebih lanjut justru akan menghambat reaksi
pengcoklatan. Lipid oksidasi akan mencapai minimum pada range aw menengah
sedangkan mencapai maksimum pada range aw rendah dan tinggi. Stabilitas enzim
dan vitamin juga dipengaruhi oleh aktivitas air sehubungan sifat alamiahnya yang
rapuh. Kebanyakan reaksi enzimatik berjalan lambat pada aw di bawah 0,80 tetapi
beberapa reaksi dapat terjadi pada aw yang sangat rendah. Selain itu, juga
mempengaruhi temperatur gelatinisasi dan laju retrodegradasi dari amilum
(Fontana, 2000).
2.8 Stabilitas Fisik Cangkang Kapsul Gelatin dan HPMC
2.8.1 Warna
Warna, merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi penilaian
konsumen terhadap kualitas produk. Warna suatu bahan dapat berasal dari warna
alamiahnya atau warna yang terjadi selama proses pengolahannya (Morales, dkk.,
1998).
Temperatur dan kadar uap air yang relatif tinggi selama proses pengolahan
dan penyimpanan yang berkepanjangan merupakan salah satu faktor utama yang
menyebabkan terjadinya reaksi pengcoklatan (enzimatik dan non-enzimatik)
(Labuza, dkk., 1972).
Reaksi pengcoklatan adalah suatu reaksi dimana suatu bahan berubah
menjadi coklat, baik melalui proses enzimatik maupun non-enzimatik.
Pengcoklatan enzimatik ini melibatkan polifenol oksidase atau enzim lain yang
menghasilkan melanin, sehingga menimbulkan warna coklat. Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
pengcoklatan non-enzimatik dapat menimbulkan warna coklat tanpa adanya
aktivitas enzim (Marshall, dkk., 2000).
Ogura dkk (1998) mengisi cangkang kapsul gelatin dan HPMC dengan
asam askorbat dan membungkusnya dalam botol polietilen tanpa desikan dan
menyimpannya pada suu 400C/RH 75% selama 2 bulan. Cangkang kapsul gelatin
menjadi berwarna coklat, sedangkan cangkang kapsul HPMC tidak mengalami
perubahan warna. Hal ini menandakan bahwa perubahan warna yang terjadi
merupakan reaksi antara asam askorbat dan cangkang kapsul gelatin (dikenal
dengan reaksi Maillard) (Honkanen, 2004).
Reaksi Maillard merupakan suatu reaksi kimia pengcoklatan non-enzimatik
antara gula pereduksi dengan protein atau asam amino. Tergantung pada jenis bahan
dan jalannya reaksi, perubahan warna yang terjadi bisa dari kuning lemah sampai
coklat gelap. Banyak faktor yang mempengaruhi reaksi Maillard, seperti temperatur,
aktivitas air, pH, kadar uap air dan komposisi kimia suatu bahan (Morales, dkk.,
1998).
2.8.2 Kerapuhan
Perlu diketahui bahwa cangkang kapsul bukan tidak reaktif, secara fisika
atau kimia. Perubahan kondisi penyimpanan seperti temperatur dan kelembaban
dapat mempengaruhi sifat kapsul. Dengan terjadinya kenaikan temperatur dan
kelembaban dapat menyebabkan kapsul mengikat/melepaskan uap air. Sebagai
akibatnya kapsul dapat menjadi rapuh atau lunak (Margareth, dkk., 2009).
Laju pengeringan kapsul juga mempengaruhi kekerasan dan kerapuhan
kapsul, kemampuan pelarutan, dan kecenderungan untuk melekat satu sama lain..
Kadar uap air yang rendah pada kapsul dapat menghambat pertumbuhan mikroba.
Jika kadar uap air pada kapsul gelatin kurang dari 10%, kapsul cenderung menjadi
Universitas Sumatera Utara
rapuh, dan sebaliknya jika kadar air lebih tinggi dari 18% kapsul gelatin melunak.
Kondisi penyimpanan yang direkomendasikan untuk bentuk sediaan kapsul
gelatin berkisar 15-300C dan 30%-60% kelembaban relatif (RH). (Margareth,
dkk., 2009).
Perubahan kerapuhan kapsul oleh kelembaban relatif telah dipelajari oleh
Kontny dan Mulski. Pemantauan terhadap karakteristik kapsul yang disimpan
pada kelembaban yang bervariasi membuktikan bahwa kelembaban merupakan
salah satu parameter yang penting dalam pembuatan dan penyimpanan kapsul.
Kriteria yang diterima bahwa kerapuhan kapsul yang signifikan tidak boleh
terdeteksi pada kapsul yang disimpan pada kelembaban relatif 30% dan 50%
selama 4 minggu (Kontny, dkk., 1989).
Gambar 8. Kelembaban Relatif (RH), Kandungan Uap Air Gelatin dan Sifat
Kapsul Gelatin Keras (Kontny, dkk., 1989)
Universitas Sumatera Utara
2.8.3 Waktu Hancur
Chiwele dkk. (2000) telah meneliti mengenai waktu hancur cangkang
kapsul gelatin kosong dan kapsul HPMC (Hydroxypropyl Methylcellulose) setelah
penyimpanan selama 24 jam pada kondisi tropis lembab (suhu 370C, RH 75%)
dan pada temperatur kamar. Dalam metode ini, mereka menggunakan bola besi
sebagai bahan pengisi dalam kapsul. Pada penyimpanan kondisi tropis lembab,
cangkang kapsul gelatin tidak mengalami perubahan waktu hancur dalam medium
apapun, sedangkan waktu hancur kapsul HPMC tidak berubah hanya dalam
medium cairan lambung buatan (Honkanen, 2004).
Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan Ogura (1998) bahwa
cangkang kapsul HPMC yang telah diisi dengan spiramisin dan disimpan pada
suhu 600C, RH 75% selama 10 hari tidak mengalami perubahan sifat waktu
hancur. Tetapi, mereka menggunakan prosedur standar uji waktu hancur dalam
farmakope, yang tidak dapat menentukan waktu hancur cangkang kapsul dan
bahan obat secara terpisah. Sedangkan dalam metode yang digunakan Chiwele
dkk. (2000), bola besi yang digunakan tidak mempengaruhi waktu hancur
(Honkanen, 2004).
2.9 Spektroskopi IR
Spektroskopi Infrared (IR) merupakan suatu teknik analisa spektroskopi
yang menggunakan spektrum daerah inframerah. Analisis IR ini dapat digunakan
untuk mengidentifikasi campuran dan menyelidiki komposisi sampel, berdasarkan
serapan radiasi inframerah oleh ikatan kimia senyawa (Anonim, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.10 Differential Thermal Analyzer
Analisis termal juga sangat penting untuk diketahui karena dalam proses
industri umumnya berkaitan dengan suhu/panas dan dapat memberikan data
mengenai stabilitas dan residu penguraian suatu bahan. Kadar uap air juga dapat
dipelajari dari pengukuran termal ini Salah satu analisis termal ini adalah
Differential Thermal Analyzer (DTA), yaitu suatu teknik analisa yang mengukur
perbedaan temperatur antara suatu sampel dengan pembanding, apakah endotem
atau eksoterm. Puncak endoterm terjadi jika temperatur pada sampel lebih kecil
daripada pembanding (ΔT -), sebaliknya puncak eksoterm terjadi jika temperatur
pada sampel lebih besar daripada pembanding (ΔT +) (Soares, 2004).
Stabilitas termal asam alginat dan Na alginat telah diperiksa menggunakan
thermogravimetry (TG) dan differential scanning calorimetry (DSC). Kurva
thermogravimetry dari asam alginat menunjukkan bahwa proses penguraian
berlangsung melalui dua tahap. Pertama, terjadi kehilangan uap air diikuti dengan
penguraian polimer. Sedangkan Na alginat terurai melalui tiga tahap. Pertama,
terjadi pelepasan uap air diikuti penguraian polimer dan terakhir terbentuk residu
Na2CO3 (Soares, 2004).
Terbentuknya residu Na2CO3 telah diteliti oleh Newkirk, dimana residu
Na2CO3 dapat dipastikan dengan memanaskan sampel sampai suhu 550oC di
dalam oven kemudian dengan menambahkan HCl pada sisanya. Terbentuknya gas
CO2 pada residu tersebut di dalam tabung reaksi membuktikan adanya residu
Na2CO3 (Soares, 2004).
Universitas Sumatera Utara