Chapter II

29
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pneumokoniosis 2.1.1. Definisi Pneumokoniosis International Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis sebagai suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang menyebabkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan debu di paru adalah fibrosis (Susanto, 2011). 2.1.2. Penyebab Pneumokoniosis Penyebab Pneumokoniosis adalah inhalasi debu mineral. Pneumokoniosis digunakan untuk menyatakan berbagai keadaan berikut : a. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis), asbes (asbestosis) dan timah (stannosis). b. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batubara. c. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis). 2.1.3. Gejala Gejala sering kali timbul sebelum kelainan radiologis seperti : batuk produktif yang menetap dan sesak nafas saat beraktifitas (Susanto, 2011). 2.1.4. Patogenesis Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah partikel debu dan respons tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu tersebut. Universitas Sumatera Utara

Transcript of Chapter II

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pneumokoniosis

2.1.1. Definisi Pneumokoniosis

International Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis

sebagai suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang

menyebabkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan

debu di paru adalah fibrosis (Susanto, 2011).

2.1.2. Penyebab Pneumokoniosis

Penyebab Pneumokoniosis adalah inhalasi debu mineral. Pneumokoniosis

digunakan untuk menyatakan berbagai keadaan berikut :

a. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis), asbes

(asbestosis) dan timah (stannosis).

b. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batubara.

c. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis).

2.1.3. Gejala

Gejala sering kali timbul sebelum kelainan radiologis seperti : batuk produktif

yang menetap dan sesak nafas saat beraktifitas (Susanto, 2011).

2.1.4. Patogenesis

Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah partikel

debu dan respons tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Komposisi kimia, sifat fisis, dosis dan lama pajanan menentukan dapat atau mudah

tidaknya terjadi pneumokoniosis. Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respons

makrofag alveolar terhadap debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi

fagositosis debu oleh makrofag dan proses selanjutnya sangat tergantung pada sifat

toksisitas partikel debu.

Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi debu. Jika

pajanan terhadap debu anorganik cukup lama maka timbul reaksi inflamasi awal.

Gambaran utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas bawah.

Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar karena dapat

menimbulkan luka dan fibrosis pada unit alveolar yang secara klinis tidak diketahui.

Sebagian debu seperti debu batubara tampak relatif inert dan menumpuk dalam

jumlah relatif banyak di paru dengan reaksi jaringan yang minimal. Debu inert akan

tetap berada di makrofag sampai terjadi kematian oleh makrofag karena umurnya,

selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis lagi oleh makrofag lainnya, makrofag

dengan debu di dalamnya dapat bermigrasi ke jaringan limfoid atau ke bronkiolus

dan dikeluarkan melalui saluran napas. Pada debu yang bersifat sitoktoksik, partikel

debu yang difagositosis makrofag akan menyebabkan kehancuran makrofag tersebut

yang diikuti dengan fibrositosis.

Menurut Lipscomb, partikel debu akan merangsang makrofag alveolar untuk

mengeluarkan produk yang merupakan mediator suatu respons peradangan dan

memulai proses proliferasi fibroblast dan deposisi kolagen. Mediator yang paling

banyak berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah Tumor Necrosis Factor

Universitas Sumatera Utara

(TNF)-α, Interleukin (IL)-6, IL-8, platelet derived growth factor dan transforming

growth factor (TGF)-β. Sebagian besar mediator tersebut sangat penting untuk proses

fibrogenesis. Mediator makrofag penting yang bertanggung jawab terhadap kerusakan

jaringan.

Sitokin telah terbukti berperan dalam patogenesis pneumokoniosis. Pappas

merangkum sitokin yang dihasilkan oleh makrofag alveolar dalam merespon partikel

debu yang masuk ke paru yang selanjutnya menyebabkan fibrosis pada jaringan

interstitial paru. Sitokin ini terdiri atas faktor fibrogenesis seperti TNF-α, PDGF,

IGF-1 dan fibronektin serta faktor proinflamasi seperti LBT4, IL-8, IL-6, MIP1a.

Disamping proses fagositosis debu oleh makrofag alveolar, yang lebih penting adalah

interstisialisasi partikel debu tersebut. Bila partikel debu telah difagositosis oleh

makrofag dan ditransfer ke sistem mukosilier maka proses pembersihan debu yang

masuk dalam saluran napas dikategorikan berhasil. Hilangnya integritas epitel akibat

mediator inflamasi yang dilepaskan makrofag alveolar merupakan kejadian awal

proses fibrogenesis di interstitial paru. Bila partikel debu telah masuk dalam

interstitial maka nasibnya ditentukan oleh makrofag interstitial, difagositosis untuk

kemudian di transfer ke kelenjar getah bening mediastinum atau terjadi sekresi me

diator inflamasi kronik pada interstitial. Sitokin yang dilepaskan di interstitial seperti

PDGF, TGF, TNF, IL-1 menyebabkan proliferasi fibroblas dan terjadilah pneumoko

niosis.

Sifat toksisitas debu menentukan reaksi jaringan yang terjadi pada

pneumokoniosis. Debu silika dan asbes mempunyai efek biologis yang sangat kuat.

Universitas Sumatera Utara

Reaksi parenkim dapat berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik dari silikosis,

fibrosis difus pada asbestosis dan pembentukan makula dengan emfisema fokal akibat

debu batubara (Susanto, 2011).

2.1.5. Jenis Pneumokoniosis

Penamaan pneumokoniosis tergantung pada debu penyebabnya, pajanan asbes

menyebabkan asbestosis, debu silika berhubungan dengan silikosis, debu batubara

menyebabkan pneumokoniosis batubara dan lain-lain. Secara ringkas beberapa yang

dikategorikan pneumokoniosis berdasarkan jenis debu penyebabnya terlihat pada

tabel 2.1.

Tabel 2.1. Beberapa Jenis Pneumokoniosis Berdasarkan Debu Penyebabnya

Jenis Debu Pneumokoniosis

Asbes Asbestosis

Silika Silikosis

Batubara Pneumokoniosis Batubara

Besi Siderosis

Berilium Beriliosis

Timah Stanosis

Aluminium

Grafit

Aluminosis

Pneumokoniosis grafit

Debu antimony Antimony Pneumokoniosis

Debu Mineral Barite Baritosis

Debu Karbon Pneumokoniosis Karbon

Debu Polyvinyl Chloride (PVC) Pneumokoniosis PVC

Debu Bakelite Pneumokoniosis Bakelite

Titanium Oksida Pneumokoniosis Titanium

Universitas Sumatera Utara

Zirkonium Pneumokoniosis Zirkonium

Silicon Carbide Carborundum Pneumokoniosis

Hard Metal Tungsten Carbide Pneumokoniosis

Nylon Flock Flock Worker’s Lung

Debu Campuran :

Campuran SiliKa dan Besi Silikosiderosis

Silikat Silikatosis

Slate (campuran mica, feldspar, crystalline quartz) Slate worker’s Pneumokoniosis

Kaolin Pneumokoniosis Kaolin

Mica Mica Pneumokoniosis

Sumber:

Susanto, 2011

2.1.6. Diagnosis

Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan gejala klinis.

Ada tiga kriteria mayor yang dapat membantu untuk diagnosis pneumokoniosis.

Pertama, pajanan yang signifikan dengan debu mineral yang dicurigai dapat

menyebabkan pneumokoniosis dan disertai dengan periode laten yang mendukung.

Oleh karena itu, diperlukan anamnesis yang teliti mengenai kadar debu di lingkungan

kerja, lama pajanan dan penggunaan alat pelindung diri serta kadang diperlukan

pemeriksaan kadar debu di lingkungan kerja. Gejala seringkali timbul sebelum

kelainan radiologis seperti batuk produktif yang menetap dan atau sesak napas saat

aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun setelah pajanan. Kedua, gambaran

spesifik penyakit terutama pada kelainan radiologi dapat membantu menentukan jenis

pneumokoniosis. Gejala dan tanda gangguan respirasi serta abnormalitas faal paru

sering ditemukan pada pneumokoniosis tetapi tidak spesifik untuk mendiagnosis

Tabel 2.1. (lanjutan)

Universitas Sumatera Utara

pneumokoniosis. Ketiga, tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai

pneumokoniosis. Pneumokoniosis kemungkinan mirip dengan penyakit interstisial

paru difus seperti sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis (IPF) atau interstitial

lung disease (ILD) yang berhubungan dengan penyakit kolagen vascular. Beberapa

pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu dalam diagnosis

pneumokoniosis yaitu pemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru dan analisis debu

penyebab (Susanto, 2011).

2.1.6.1. Pemeriksaan Radiologi

a. Foto Toraks

Pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar menurut International Labour

Organization (ILO) untuk interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus

yang terjadi. Klasifikasi ini digunakan untuk keperluan epidemiologik penyakit paru

akibat kerja dan mungkin untuk membantu interpretasi klinis (Susanto, 2011).

b. Computed Tomography (CT) Scan

Computed Tomography (CT) Scan bukan merupakan bagian dari klasifikasi

pneumokoniosis secara radiologi. Pemeriksaan CT mungkin sangat bermanfaat secara

individual untuk memperkirakan beratnya fibrosis interstisial yang terjadi, menilai

luasnya emfisema dan perubahan pleura atau menilai ada tidaknya nekrosis atau abses

yang bersamaan dengan opasiti yang ada. High Resolution CT (HRCT) lebih sensitif

dibanding radiologi konvensional untuk evaluasi abnormalitas parenkim pada

asbestosis, silikosis dan pneumokoniosis lainnya. Gambaran paling sering HRCT

pada pneumokoniosis adalah nodular sentrilobular atau high attenuation pada area

Universitas Sumatera Utara

percabangan seperti gambaran lesi bronkiolar. Fibrosis interstisial mungkin

bermanifestasi bronkiektasis traksi, sarang tawon/honey comb atau hyperattenuation.

Gambaran HRCT yang khas pada silikosis, pneumokoniosis batubara dan asbestosis

adalah terdapat opasitas halus (small nodular opacities) yang predominan pada zona

paru atas (upper zone). Gambaran opasitas halus pada HRCT ada 2 karakteristik (1)

ill defined fine branching lines dan (2) well defined discrete nodules. Asbestosis

menunjukkan gambaran garis penebalan interlobular dan intralobular, opasitas

subpleura atau curvilinier dan honey comb, predominan terdistribusi pada basal paru.

(Susanto, 2011).

2.1.6.2. Pemeriksaan Faal Paru

Pemeriksaan faal paru diperlukan untuk 2 tujuan yaitu studi epidemiologi

pekerja yang terpajan debu dan diagnosis penyakit paru akibat kerja. Pemeriksaan

faal paru memerlukan pemeriksaan volume paru dengan spirometri dan pemeriksaan

kapasitas difusi (DLco), namun tidak selalu tersedia. Pemeriksaan faal paru juga

diperlukan untuk menilai hendaya yang telah terjadi. Pada pneumokoniosis dapat

ditemukan nilai faal paru normal atau bisa juga terjadi obstruksi, restriksi ataupun

campuran. Sebagian besar penyakit paru difus yang disebabkan debu mineral ber

hubungan dengan kelainan restriksi karena terjadi fibrosis di parenkim paru. Pada

kasus dengan fibrosis interstisial yang luas umumnya terjadi penurunan kapasitas

difusi. Inflamasi, fibrosis dan distorsi pada saluran napas dengan konsekuensi terjadi

obstruksi saluran napas dapat ditemukan pada beberapa kondisi. (Susanto, 2011).

Putranto (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa konsentrasi debu 229

Universitas Sumatera Utara

µg/m³ menyebabkan terjadinya penurunan fungsi paru sebanyak 31% pekerja dengan

umur antara 20 sampai 45 tahun.

2.1.7. Penatalaksanaan

Pneumokoniosis tidak akan mengalami regresi, menghilang ataupun

berkurang progresivitasnya hanya dengan menjauhi pajanan. Tata laksana medis

umumnya terbatas hanya pengobatan simptomatik. Tidak ada pengobatan yang

efektif yang dapat menginduksi regresi kelainan ataupun menghentikan progesivitas

pneumokoniosis (Susanto, 2011).

2.1.8. Pencegahan Pneumokoniosis

Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting. Regulasi dalam

pekerjaan dan kontrol pajanan debu telah dilakukan sejak lama terutama di negara

industri dan terus dilakukan dengan perbaikan-perbaikan. Pada bentuk

pneumokoniosis sub akut dengan manfaat yang didapat untuk efek jangka

panjangnya terutama jika bahan penyebab masih ada di paru. Menjaga kesehatan

dapat dilakukan dengan cara :

a. Berhenti merokok

b. Pengobatan dilakukan bila dicurigai terdapat penyakit paru obstruktif kronik

(PPOK)

c. Gunakan APD seperti Masker

d. Pencegahan infeksi dengan vaksinasi dapat dipertimbangkan

Universitas Sumatera Utara

2.2. Alat Pelindung Diri

2.2.1. Pengertian Alat Pelindung Diri

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik

Indonesia Nomor Per.08/Men/VII/2010 tentang alat pelindung diri, bahwa APD

adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang

fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat

kerja.

Alat pelindung diri (APD) yang baik adalah APD yang memenuhi standar

keamanan dan kenyamanan bagi pekerja (Safety and Acceptation), apabila pekerja

memakai APD yang tidak nyaman dan tidak bermanfaat maka pekerja enggan

memakai, hanya berpura-pura sebagai syarat agar masih diperbolehkan untuk bekerja

atau menghindari sanksi perusahaan (Khumaidah, 2009).

Dengan demikian alat pelindung diri merupakan pertahanan terakhir, Oleh

karenanya alat pelindung diri tidak pernah dipertimbangkan sebagai suatu pertahanan

yang utama untuk menghilangkan atau mengendalikan bahaya dalam upaya

pencegahan kecelakaan kerja (termasuk agar tenaga kerja tidak menderita penyakit

akibat kerja). Kebanyakan alat pelindung diri mengakibatkan beberapa perasaan tidak

enak dan menghalangi gerakan atau tanggapan panca indera si pemakai. Oleh karena

itu, umumnya tenaga kerja akan menolak memakai alat pelindung diri bila diberi.

(Suardi, 2005).

2.2.2. Syarat-syarat APD

Menurut Budiono (2005), Pemilihan APD yang cermat adalah merupakan

Universitas Sumatera Utara

persyaratan mutlak yang sangat mendasar. Pemakaian APD yang tidak tepat dapat

mencelakakan tenaga kerja yang memakainya karena mereka tidak terlindung dari

bahaya potensial yang ada di tempat mereka terpapar. Oleh karena itu agar dapat

memilih APD yang tepat, maka perusahan harus mampu mengidentifikasi bahaya

potensial yang ada, khususnya yang tidak dapat dihilangkan atau dikendalikan, serta

memahami dasar kerja setiap jenis APD yang akan digunakan di tempat kerja dimana

bahaya potensial tersebut ada dengan ketentuan :

a. Dapat memberikan perlindungan yang adekuat terhadap bahaya yang spesifik atau

bahaya-bahaya yang dihadapi oleh tenaga kerja.

b. Berat alat hendaknya seringan mungkin, dan alat tersebut tidak menyebabkan rasa

ketidaknyamanan yang berlebihan.

c. Dapat dipakai secara fleksibel

d. Bentuknya harus cukup menarik

e. Tahan untuk pemakaian yang lama

f. Tidak menimbulkan bahaya tambahan bagi pemakainya, yang dikarenakan bentuk

dan bahayanya tidak tepat atau karena salah dalam penggunaannya.

g. Harus memenuhi standar yang telah ada

h. Tidak membatasi gerakan dan persepsi sensoris pemakainya

i. Suku cadangnya harus mudah didapat guna mempermudah pemeliharaannya

Menurut Suma’mur (1992), menyatakan bahwa persyaratan yang harus

dipenuhi APD :

a. Enak dipakai

Universitas Sumatera Utara

b. Tidak mengganggu kerja

c. Memberikan perlindungan efektif terhadap jenis bahaya

2.2.3. Fungsi dan Jenis Alat Pelindung Diri

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik

Indonesia Nomor Per.08/Men/VII/2010, bahwa fungsi dan jenis alat pelindung diri:

a. Alat pelindung kepala

a.1 Fungsi

Alat pelindung kepala adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi

kepala dari benturan, terantuk, kejatuhan atau terpukul benda tajam atau benda

keras yang melayang atau meluncur di udara, terpapar oleh radiasi panas, api,

percikan bahan-bahan kimia, jasad renik (mikro organisme) dan suhu

yang ekstrim.

a.2 Jenis

Jenis alat pelindung kepala terdiri dari helm pengaman (safety helmet), topi

atau tudung kepala, penutup atau pengaman rambut, dan lain-lain.

b. Alat pelindung mata dan muka

b.1 Fungsi

Alat pelindung mata dan muka adalah alat pelindung yang berfungsi

untuk melindungi mata dan muka dari paparan bahan kimia berbahaya,

paparan partikel-partikel yang melayang di udara dan di badan air, percikan

benda-benda kecil, panas, atau uap panas, radiasi gelombang elektromagnetik

yang mengion maupun yang tidak mengion, pancaran cahaya, benturan atau

Universitas Sumatera Utara

pukulan benda keras atau benda tajam.

b.2 Jenis

Jenis alat pelindung mata dan muka terdiri dari kacamata pengaman

(spectacles), goggles, tameng muka (face shield), masker selam, tameng muka

dan kacamata pengaman dalam kesatuan (full face masker).

c. Alat pelindung telinga

c.1 Fungsi

Alat pelindung telinga adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi

alat pendengaran terhadap kebisingan atau tekanan.

c.2 Jenis

Jenis alat pelindung telinga terdiri dari sumbat telinga (ear plug) dan penutup

telinga (ear muff).

d. Alat pelindung pernapasan beserta perlengkapannya

d.1 Fungsi

Alat pelindung pernapasan beserta perlengkapannya adalah alat pelindung

yang berfungsi untuk melindungi organ pernapasan dengan cara menyalurkan

udara bersih dan sehat dan/atau menyaring cemaran bahan kimia, mikro-

organisme, partikel yang berupa debu, kabut (aerosol), uap, asap, gas/

fume, dan sebagainya.

d.2 Jenis

Jenis alat pelindung pernapasan dan perlengkapannya terdiri dari masker,

respirator, katrit, kanister, Re-breather, Airline respirator, Continues Air

Universitas Sumatera Utara

Supply Machine=Air Hose Mask Respirator, tangki selam dan regulator (Self-

Contained Underwater Breathing Apparatus /SCUBA), Self-Contained

Breathing Apparatus (SCBA), dan emergency reathing apparatus.

e. Alat pelindung tangan

e.1 Fungsi

Pelindung tangan (sarung tangan) adalah alat pelindung yang berfungsi untuk

melindungi tangan dan jari-jari tangan dari pajanan api, suhu panas, suhu

dingin, radiasi elektromagnetik, radiasi mengion, arus listrik, bahan kimia,

benturan, pukulan dan tergores, terinfeksi zat patogen (virus, bakteri) dan

jasad renik.

e.2 Jenis

Jenis pelindung tangan terdiri dari sarung tangan yang terbuat dari logam,

kulit, kain kanvas, kain atau kain berpelapis, karet, dan sarung tangan yang

tahan bahan kimia.

f. Alat pelindung kaki

f.1 Fungsi

Alat pelindung kaki berfungsi untuk melindungi kaki dari tertimpa atau

berbenturan dengan benda-benda berat, tertusuk benda tajam, terkena cairan

panas atau dingin, uap panas, terpajan suhu yang ekstrim, terkena bahan kimia

berbahaya dan jasad renik, tergelincir.

f.2 Jenis

Jenis Pelindung kaki berupa sepatu keselamatan pada pekerjaan peleburan,

Universitas Sumatera Utara

pengecoran logam, industri, kontruksi bangunan, pekerjaan yang berpotensi

bahaya peledakan, bahaya listrik, tempat kerja yang basah atau licin, bahan

kimia dan jasad renik, dan/atau bahaya binatang dan lain-lain.

g. Pakaian pelindung

g.1 Fungsi

Pakaian pelindung berfungsi untuk melindungi badan sebagian atau seluruh

bagian badan dari bahaya temperatur panas atau dingin yang ekstrim, pajanan

api dan benda-benda panas, percikan bahan-bahan kimia, cairan dan logam

panas, uap panas, benturan (impact) dengan mesin, peralatan dan bahan,

tergores, radiasi, binatang, mikroorganisme patogen dari manusia, binatang,

tumbuhan dan lingkungan seperti virus, bakteri dan jamur.

g.2 Jenis

Jenis pakaian pelindung terdiri dari rompi (Vests), celemek (Apron/Coveralls),

Jacket, dan pakaian pelindung yang menutupi sebagian atau seluruh bagian

badan.

h. Alat pelindung jatuh perorangan

h.1. Fungsi

Alat pelindung jatuh perorangan berfungsi membatasi gerak pekerja agar tidak

masuk ke tempat yang mempunyai potensi jatuh atau menjaga pekerja berada

pada posisi kerja yang diinginkan dalam keadaan miring maupun tergantung

dan menahan serta membatasi pekerja jatuh sehingga tidak membentur lantai

dasar.

Universitas Sumatera Utara

h.2 Jenis

Jenis alat pelindung jatuh perorangan terdiri dari sabuk pengaman tubuh

(harness), karabiner, tali koneksi (lanyard), tali pengaman (safety rope), alat

penjepit tali (rope clamp), alat penurun (decender), alat penahan jatuh

bergerak (mobile fall arrester), dan lain-lain.

i. Pelampung

i.1. Fungsi

Pelampung berfungsi melindungi pengguna yang bekerja di atas air atau

dipermukaan air agar terhindar dari bahaya tenggelam dan atau mengatur

keterapungan (buoyancy) pengguna agar dapat berada pada posisi tenggelam

(negative buoyant) atau melayang (neutral buoyant) di dalam air.

i.2. Jenis

Jenis pelampung terdiri dari jaket keselamatan (life jacket), rompi keselamatan

(life vest), rompi pengatur keterapungan (Bouyancy Control Device).

Menurut Budiono (2005), APD yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada

lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah :

a. Masker

Masker untuk melindungi dari debu atau partikel-partikel yang lebih kasar yang

masuk ke dalam saluran pernafasan. Masker terbuat dari kain dengan ukuran pori-

pori tertentu. Terdiri atas beberapa jenis yaitu :

a.1 Masker penyaring debu

Masker ini berguna untuk melindungi pernafasan dari serbuk-serbuk logam,

Universitas Sumatera Utara

penggerindaan atau serbuk kasar lainya.

a.2 Masker berhidung

Masker ini dapat menyaring debu atau benda sampai ukuran 0,5 mikron, bila

kita sulit bernafas waktu memakai alat ini maka hidungnya harus diganti

karena filternya tersumbat oleh debu. Alat pelindung pernapasan/masker

diperlukan di tempat kerja dimana udara didalamnya tercemar. Pencemaran

udara berkisar dari pencemaran yang tidak berbahaya sampai pada

pencemaran yang sangat berbahaya. Bahan pencemaran udara biasanya dalam

bentuk debu, uap, gas, asap, atau kabut. Untuk menentukan alat pelindung diri

pernapasan, maka lebih dahulu ditentukan jenis dan kadar bahan pencemar

yang ada serta dievaluasi tingkat bahayanya.

a.3 Masker bertabung

Masker bertabung mempunyai filter yang baik daripada masker berhidung.

Masker ini sangat tepat digunakan untuk melindungi pernafasan dari gas

tertentu. Bermacam-macam tabungnya tertulis untuk macam-macam gas yang

sesuai dengan jenis masker yang digunakan.

a.4. Masker kertas

Masker ini digunakan untuk menyerap partikel-pertikel berbahaya dari udara

agar tidak masuk ke jalur pernafasan. Pada penggunaan masker kertas, udara

disaring permukaan kertas yang berserat sehingga partikel-partikel halus yang

terkandung dalam udara tidak masuk ke saluran pernafasan.

Universitas Sumatera Utara

a.5 Masker plastik

Masker ini digunakan untuk menyerap partikel-partikel berbahaya dari udara

agar tidak masuk jalur pernafasan. Ukuran masker ini sama dengan masker

kertas, namun ada lubang-lubang kecil dipermukaannya untuk aliran udara,

tetapi tidak bisa menyaring udara, fungsi penyaring udara terletak pada sebuah

tabung kecil yang diletakkan di dekat rongga hidung. Didalam tabung ini

diisikan semacam obat yang berfungsi sebagai penawar racun.

b. Respirator

Respirator berguna untuk melindungi pernafasan dari debu, kabut, uap, logam,

asap dan gas. Alat ini dibedakan menjadi :

b.1 Respirator pemurni udara

Membersihkan udara dengan cara menyaring atau menyerap kontaminan

dengan toksisitas rendah sebelum memasuki sistem pernafasan. Alat

pembersihnya terdiri dari filter untuk menangkap debu dari udara atau

tabung kimia yang menyerap gas, uap dan kabut.

b.2 Respirator penyalur udara

Membersihkan aliran udara yang terkontaminasi secara terus menerus. Udara

dapat dipompa dari sumber yang jauh (dihubungkan dengan selang tahan

tekanan) atau dari persediaan yang portable (seperti tabung yang berisi udara

bersih atau oksigen). Jenis ini biasa dikenal dengan SCBA (Self Contained

Breathing Apparatus) atau alat pernafasan mandiri. Digunakan untuk tempat

kerja yang terdapat gas beracun atau kekurangan oksigen

Universitas Sumatera Utara

Dengan mengenakan masker, diharapkan pekerja melindungi dari

kemungkinan terjadinya gangguan pernafasan akibat terpapar udara yang kadar

debunya tinggi. Walaupun demikian, tidak ada jaminan bahwa dengan mengenakan

masker, seorang pekerja akan terhindar dari kemungkinan terjadinya gangguan

pernafasan (Khumaidah, 2009).

2.2.4. Manfaat Pemakaian APD

Pemakaian APD bermanfaat untuk melindungi tenaga kerja dan juga

merupakan salah satu upaya mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit

akibat kerja oleh bahaya potensial pada suatu perusahaan yang tidak dapat

dihilangkan atau dikendalikan (Suma’mur, 1996).

2.3. Perilaku

2.3.1. Pengertian Perilaku

Dari aspek biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme

atau makhluk hidup yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2012).

Menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2012) merumuskan bahwa perilaku

merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).

Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses :

Stimulus --- Organisme--- Respon, sehingga teori Skinner ini disebut teori “SOR”.

Berdasarkan Teori SOR, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua,

yakni :

a. Perilaku tertutup (covert behavior); Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap

Universitas Sumatera Utara

stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas.

Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi,

pengetahuan dan sikap terhadap stimulus.

b. Perilaku terbuka (overt behavior); Perilaku terbuka terjadi bila respons terhadap

stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain

dari luar

Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan

pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut

(Notoatmodjo, 2012) :

a. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan

sebagainya).

b. Sikap (Attitude)

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu,

yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan.

c. Tindakan atau praktik (Practice)

Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk

bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk

terwujudnya tindakan perlu faktor lain; adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.

2.3.2. Determinan Perilaku Kesehatan

Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena

Universitas Sumatera Utara

perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal

(lingkungan). Secara lebih terinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi

dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat,

motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Namun demikian pada realitasnya sulit

dibedakan atau dideteksi gejala kejiwaan yang menentukan perilaku seseorang.

Apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan tersebut ditentukan atau dipengaruhi

oleh berbagai faktor lain, diantaranya adalah faktor pengalaman, keyakinan, sarana

fisik, sosiobudaya masyarakat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2012).

2.3.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku

Menurut teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2012) menyatakan

bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku

(behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes). Selanjutnya

perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu :

a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors), yang mencakup pengetahuan,

sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

b. Faktor Pendukung (Enabling Factors), yang mencakup lingkungan fisik,

tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana keselamatan

kerja, misalnya ketersediaan alat pelindung diri (APD), pelatihan, dan sebagainya.

c. Faktor Penguat (Reinforcing Factors), faktor-faktor ini meliputi undang-

undang, peraturan-peraturan, kebijakan, pengawasan dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

2.3.3.1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)

2.3.3.1.1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca

indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga

(Notoatmodjo, 2012).

Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang

didasari pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan

bersifat langgeng (long lasting) daripada perilaku yang tidak didasari oleh

Pendidikan Kesehatan

Predisposing Factors - kebiasaan - kepercayaan - tradisi - pengetahuan - sikap

Enabling Factors - ketersediaan fasilitas - ketercapaian fasilitas

Reinforcing Factors - sikap dan perilaku petugas - peraturan pemerintah

Non Perilaku

Perilaku

Masalah Kesehatan

Gambar 2.1 Bagan Precede Lawrence W. Green

Universitas Sumatera Utara

pengetahuan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

dalam membentuk tindakan seseorang dalam hal ini pengetahuan yang tercakup

dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan (Notoatmodjo, 2012).

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi

tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus

dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan

sebagainya terhadap objek yang telah dipelajari.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat

diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip

dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

Universitas Sumatera Utara

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi,

dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari

penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan),

membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi

baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat

merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap

suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada

suatu kriteria yang telah ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria- kriteria

yang telah ada.

Menurut Lavine (1962) pengetahuan pekerja dalam penggunaan alat pelindung

diri yang baik dan aman mutlak dimiliki penggunanya mengingat bahaya yang dapat

ditimbulkan, untuk itu pekerja harus tahu fungsi dari APD itu sendiri serta potensi

bahaya pada tempat kerjanya. Dengan demikian pengetahuan akan timbul akibat

rasa takut akan sesuatu yang mungkin terjadi dan jika pekerja tahu akan dampak

atau bahaya yang akan timbul jika tidak menggunakan APD, maka diharapkan

Universitas Sumatera Utara

pekerja akan memberikan perhatian dalam penggunaan APD (Elfrida, 2006).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pudjowati pada tahun 1998

dikatakan bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara

pengetahuan pekerja dengan perilaku penggunaan APD. Menurutnya bahwa

pengetahuan adalah sesuatu yang perlu tetapi bukan merupakan faktor yang cukup

kuat untuk mengubah perilaku, bahkan tidak jarang mereka yang mempunyai

pengetahuan yang tinggi cenderung bertindak ceroboh, dengan demikian

pengetahuan yang tinggi merupakan sarana yang baik untuk mengubah perilaku,

namun perlu dibarengi dengan niat yang kuat sehingga seorang pekerja akan

bertindak sesuai dengan tingkatan pengetahuannya.

2.3.3.1.2. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Dari batasan –batasan diatas dapat disimpulkan

bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat

ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup (Notoatmodjo, 2012). Allport

(1954) dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3

komponen pokok :

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek

2. Kehidupan emosional atau evaluasi tehadap suatu objek

3. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave)

Universitas Sumatera Utara

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total

atitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan

emosi memegang peranan penting.

2.3.3.2. Faktor Pendukung (Enabling Factors)

2.3.3.2.1. Ketersediaan Alat Pelindung Diri

Dalam UU No.1 Tahun 1970 pasal 14 butir c menyatakan bahwa pengurus

(pengusaha) diwajibkan untuk mengadakan secara cuma-cuma, semua alat

perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada dibawah

pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja

tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk

pegawai pengawas atau ahli-ahli keselamatan kerja.

Perlindungan perorangan harus dianggap sebagai garis pertahanan terakhir,

karena sering peralatan ini tidak praktis untuk dipakai dan menghambat gerakan.

Karenanya tidak mengherankan bila kadangkala dikesampingkan oleh pekerja.

Karena peralatan dirancang untuk mencegah bahaya luar agar tidak mengenai tubuh

pekerja, ia menahan panas tubuh dan uap air di dalamnya, sehingga pekerja menjadi

gerah, berkeringat dan cepat lelah (ILO, 1989).

Oleh karena itu alat pelindung diri yang dianggap sebagai garis pertahanan

terakhir harus disediakan sesuai dengan kebutuhan dan cocok untuk setiap pekerja

yang menggunakannya agar tidak timbul adanya kecelakaan dan penyakit akibat

kerja disebabkan karena ketidaknyamanan pekerja dalam menggunakan APD

tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pudjowati pada tahun 1998

dikatakan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara proporsi

penggunaan APD yang mengatakan bahwa fasilitas tersedia cukup dan yang

menyatakan fasilitas tersedia kurang. Menurut penjelasannya bahwa selain sebagian

besar pekerjanya menyatakan bahwa fasilitas yang tersedia mencukupi juga

berdasarkan informasi dari pihak manajemen yang disediakan telah mencukupi. Hal

ini menunjukkan bahwa ketersediaan alat pelindung yang cukup menjadi salah satu

faktor yang memudahkan untuk terbentuknya perilaku menggunakan APD.

Sedangkan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumbung pada tahun

2000 bahwa secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara

fasilitas dengan penggunaan APD. Menurut pernyataan sebagian besar pekerja bahwa

fasilitas APD yang telah disediakan telah mencukupi namun masih terdapat beberapa

jenis alat pelindung diri yang kurang nyaman pada saat dipakai. Sehingga

memungkinkan pekerja tidak disiplin dalam menggunakannya.

2.3.3.3. Faktor Penguat (Reinforcing Factors)

Faktor-faktor ini mencakup faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat

terjadinya perilaku.

2.3.3.3.1. Dukungan Koperasi TKBM

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haru (2008) terhadap praktek kerja

TKBM di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang Tahun 2008 menunjukkan bahwa ada

pengaruh dukungan koperasi TKBM terhadap penggunaan APD untuk pencegahan

kecelakaan kerja dan berkaitan dengan penyakit yang bisa ditimbulkan akibat kerja.

Universitas Sumatera Utara

2.3.3.3.2. Dukungan Petugas Kesehatan

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hakim terhadap Perilaku penggunaan

APD oleh pekerja radiasi pada Instalasi Radiologi Rumah Sakit di Kota Palembang

Tahun 2004 bahwa dukungan petugas kesehatan menunjukkan hubungan yang

bermakna dengan perilaku penggunaan APD, dimana dari hasil penelitian tersebut

perlu dilakukan penyuluhan atau sosialisasi tentang perlunya penggunaan APD untuk

pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

2.4. Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM)

Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) adalah semua tenaga kerja yang

terdaftar pada pelabuhan setempat yang melakukan kegiatan bongkar muat di

Pelabuhan (Dephub RI, 2007).

2.5. Kegiatan Bongkar Muat

Kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal adalah kegiatan yang

meliputi :

2.5.1. Stevedoring

Adalah pekerjaan membongkar barang dari kapal ke dermaga/tongkang/truk

atau memuat barang dari dermaga/tongkang/truk kedalam kapal sampai dengan

tersusun dalam palka kapal dengan menggunakan Derek kapal atau Derek darat.

2.5.2. Cargodoring

Adalah pekerjaan melepaskan barang dari tali/jala-jala (ex tackle) di dermaga

Universitas Sumatera Utara

dan mengangkut dari dermaga ke gudang/lapangan penumpukan selanjutnya

menyusun di gudang/lapangan penumpukan atau sebaliknya.

2.5.3. Receiving/Delivery

Adalah pekerjaan memindahkan barang dari timbunan/tempat penumpukan di

gudang/lapangan penumpukan dan menyerahkan sampai tersusun di atas kendaraan di

pintu gudang/lapangan penumpukan atau sebaliknya. (Dephub RI, 2007).

2.6. Landasan Teori

Dalam membuat kerangka konsep, peneliti menggunakan teori Lawrence

Green (1980) dimana faktor perilaku ditentukan oleh 3 (tiga) faktor utama, yaitu :

2.6.1. Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing Factors), yaitu faktor-faktor yang

mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara

lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi.

2.6.2. Faktor-faktor Pendukung (Enabling Factors) adalah faktor-faktor yang

memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang

dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas

untuk terjadinya perilaku kesehatan.

2.6.3. Faktor-faktor Penguat (Reinforcing Factors) adalah faktor-faktor yang

mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Seperti keluarga, teman,

guru, tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas kesehatan dan pengambil

kebijakan.

Universitas Sumatera Utara

2.7. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori diatas maka dapat disusun kerangka konsep

penelitian sebagai berikut :

Variabel Independent Variabel Dependent

Gambar 2.2 Bagan Kerangka Konsep Penelitian

Pencegahan

Pneumokoniosis

Faktor Predisposisi 1. Pengetahuan 2. Sikap

Faktor Penguat 1. Dukungan Koperasi TKBM 2. Dukungan Petugas

Kesehatan

Faktor Pendukung 1. Ketersediaan APD

Universitas Sumatera Utara