Chapter II

28
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Durian (Durio zibethinus Murr) Durian (Durio zibethinus Murr) merupakan salah satu tanaman hasil perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya dimanfaatkan sebagai buah saja. Sebagian sumber literatur menyebutkan tanaman durian adalah salah satu jenis buah tropis asli Indonesia (Rukmana, 2001). Sebelumnya durian hanya tanaman liar dan terpencar-pencar di hutan raya "Malesia", yang sekarang ini meliputi daerah Malaysia, Sumatera dan Kalimantan. Para ahli menafsirkan, dari daerah asal tersebut durian menyebar hingga ke seluruh Indonesia, kemudian melalui Muangthai menyebar ke Birma, India dan Pakistan. Adanya penyebaran sampai sejauh itu karena pola kehidupan masyarakat saat itu tidak menetap. Hingga pada akhirnya para ahli menyebarluaskan tanaman durian ini kepada masyarakat yang sudah hidup secara menetap (Setiadi, 2008). Tanaman durian di habitat aslinya tumbuh di hutan belantara yang beriklim panas (tropis). Pengembangan budidaya tanaman durian yang paling baik adalah di daerah dataran rendah sampai ketinggian 800 meter di atas permukaan laut dan keadaan iklim basah, suhu udara antara 25-32 o C, kelembaban udara (rH) sekitar 50- 80%, dan intensitas cahaya matahari 45-50% (Rukmana, 2001). Klasifikasi ilmiah tanaman durian dapat dilihat pada tabel berikut: Universitas Sumatera Utara

Transcript of Chapter II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Durian (Durio zibethinus Murr)

Durian (Durio zibethinus Murr) merupakan salah satu tanaman hasil

perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya

dimanfaatkan sebagai buah saja. Sebagian sumber literatur menyebutkan tanaman

durian adalah salah satu jenis buah tropis asli Indonesia (Rukmana, 2001).

Sebelumnya durian hanya tanaman liar dan terpencar-pencar di hutan raya

"Malesia", yang sekarang ini meliputi daerah Malaysia, Sumatera dan Kalimantan.

Para ahli menafsirkan, dari daerah asal tersebut durian menyebar hingga ke seluruh

Indonesia, kemudian melalui Muangthai menyebar ke Birma, India dan Pakistan.

Adanya penyebaran sampai sejauh itu karena pola kehidupan masyarakat saat itu

tidak menetap. Hingga pada akhirnya para ahli menyebarluaskan tanaman durian ini

kepada masyarakat yang sudah hidup secara menetap (Setiadi, 2008).

Tanaman durian di habitat aslinya tumbuh di hutan belantara yang beriklim

panas (tropis). Pengembangan budidaya tanaman durian yang paling baik adalah di

daerah dataran rendah sampai ketinggian 800 meter di atas permukaan laut dan

keadaan iklim basah, suhu udara antara 25-32oC, kelembaban udara (rH) sekitar 50-

80%, dan intensitas cahaya matahari 45-50% (Rukmana, 2001). Klasifikasi ilmiah

tanaman durian dapat dilihat pada tabel berikut:

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Klasifikasi Ilmiah Tanaman Durian

Klasifikasi Ilmiah Kingdom Divisi Sub Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Plantae (tumbuhan) Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Angiospermae (berbiji tertutup) Dicotyledonae (berkeping dua) Malvaceae Bombacaceae Durio Durio zibethinus Murr

Sumber: Rukmana (2001)

Buah khas daerah tropis ini termasuk ordo Malvaceae, family Bombacaceae,

dan genus Durio. Kostermans mencatat ada 27 spesies durian. Sejumlah 19 spesies

ditemukan di Kalimantan, 11 di Semenanjung Malaka, 7 di Sumatera dan 1 di

Myanmar. Dari sekian banyak spesies itu, yang bisa dimakan hanya tujuh. Spesies

lain tidak bisa dikonsumsi karena berbagai sebab, sepert rasa yang tidak enak, buah

terlalu kecil, atau daging buah tidak ada. Tujuh spesies durian yang bisa dimakan itu

terdiri dari: Durio zibethinus (durian), Durio kutejensis (lai), Durio oxleyanus

(kerantongan), Durio dulcis (lahong), Durio graveolens (labelak), Durio grandiflorus

(durian monyet), serta Durio testudinarium (durian kura-kura). Dari ketujuh spesies

itu hanya Durio zibethinus yang paling banyak dibudidayakan karena buahnya enak

(Untung, 2008).

Di Indonesia, ada 21 kultivar durian unggul yang dirilis oleh Dinas Pertanian,

yaitu: petruk, sukun, sitokong, kani, otong, simas, sunan, sihijau, sijapang, siriwig,

bokor, perwira, sidodol, bantal mas, hepe, matahari, aspar, sawah mas, raja mabah,

kalapet, dan lai mansau (Untung, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Buah durian berbentuk bulat, bulat panjang, atau variasi dari kedua bentuk itu.

Buah yang sudah matang panjangnya sekitar 30-45 cm dengan lebar 20-25 cm,

beratnya sebagian besar berkisar antara 1,5-2,5 kg. Setiap buah berisi 5-7 ruang yang

didalamnya terletak 2-5 biji. Biji terbungkus oleh daging buah, dimana daging buah

tersebut strukturnya tipis sampai tebal yang berwarna putih, kuning, atau kemerah-

merahan dan merah tembaga. Besar kecilnya ukuran biji, rasa, tekstur dan ketebalan

daging buah tergantung varietas (Barus, 2008).

Daging buah strukturnya tipis sampai tebal, berwarna putih, kuning atau

kemerah-merahan atau juga merah tembaga. Buah durian berwarna hijau sampai

kecoklatan, tertutup oleh duri-duri yang berbentuk piramid lebar, tajam dan panjang 1

cm. Tiap pohon durian dapat menghasilkan buah antara 80-100 butir, bahkan hingga

200 buah, terutama pada pohon durian berumur tua (Rukmana, 2001).

2.1.1. Kandungan Gizi Biji Durian

Biji durian berbentuk bulat-telur, berkeping dua (dikotil), berwarna putih

kekuning-kuningan atau coklat muda. Tiap rongga terdapat 2-6 biji atau lebih. Biji

durian merupakan alat atau bahan perbanyakkan tanaman secara generatif, terutama

untuk batang bawah pada penyambungan (Tim Bina Karya Tani, 2008).

Biji durian memiliki kandungan pati yang cukup tinggi sehingga berpotensi

sebagai alternatif pengganti bahan makanan atau bahan baku pengisi farmasetik,

contohnya pati biji durian diketahui dapat digunakan sebagai bahan pengikat dalam

formulasi tablet ketoprofen (Jufri, 2006). Berikut adalah kandungan gizi yang

terdapat dalam biji durian:

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Kandungan Gizi dalam 100 gram Biji Durian Zat Gizi Jumlah

Karbohidrat 30 gr Protein 9,79 gr Lemak 0,2 gr Serat 1,08 gr Kalsium 270 mg Fosfor 900 mg Air 51,1 gr

Sumber: Winarti, 2006

2.1.2. Tepung Biji Durian

Biji durian dapat diperoleh pada beberapa daerah yang mempunyai potensi

akan adanya buah durian dimana biji durian tersebut menjadi salah satu limbah yang

terbengkalai atau tidak dimanfaatkan, yang sebenarnya banyak mengandung nilai

tambah. Agar limbah ini dapat dimanfaatkan sebagaimana sifat bahan tersebut dan

digunakan dalam waktu yang relatif lama, perlu diproses lebih lanjut, menjadi

beberapa hasil yang bervariasi.

Biasanya biji durian hanya dikonsumsi sebagian kecil masyarakat setelah

direbus atau dibakar, padahal biji durian dapat diolah menjadi makanan lain yang

lebih menarik dan enak. Produk pengolahan biji durian antara lain keripik biji durian,

bubur biji durian dan tepung biji durian (Rukmana, 2001).

Biji durian apabila dibuat menjadi tepung biji durian akan menghasilkan

tepung yang berwarna putih kekuningan, yang mana dari tepung biji durian

mempunyai kandungan amilopektin hampir sama dengan tepung beras ketan, dapat

kita ketahui dengan pemberian sedikit air teksturnya akan lengket.

Universitas Sumatera Utara

Pada pembuatan tepung, seluruh komponen yang terkandung di dalam bahan

pangan dipertahankan keberadaannya, kecuali air. Teknologi tepung merupakan salah

satu proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan

disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi),

dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang ingin serba

praktis (Widowati, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian Paulina Hutapea (2010), tepung biji durian

mengandung kadar air sebesar 8,44%, kadar abu 8,31%, lemak 0,75%, protein

10,23%, serta kadar karbohidrat 72,27%. Sedangkan menurut Winarti (2006), tepung

biji durian memiliki kadar air sebesar 10,1%, protein 2,16%, lemak 0,11%, dan serat

kasar sebanyak 1,08%. Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Amiza Mat Amin

dan Roslan Arshad (2009) disebutkan bahwa tepung biji durian memiliki kadar air

6,6%, protein sebesar 7,6%, lemak 0,4%, karbohidrat 76,8%, serat kasar 4,8%, dan

kadar abu 3,8%.

2.1.3. Pembuatan Tepung Biji Durian

Pengubahan bentuk biji durian menjadi tepung akan mempermudah

pemanfaatan biji durian menjadi bahan setengah jadi yang fleksibel, karena selain

tahan lama daya simpannya juga dapat dipakai sebagai penganekaragaman

pengolahan bahan makanan. Pembuatan tepung dari biji durian dilakukan melalui

proses penyortiran, pencucian, pengupasan, pengirisan, pencelupan, pengeringan, dan

penepungan (Hutapea, 2010).

Universitas Sumatera Utara

1. Penyortiran

Pemilihan biji durian yang baik yang diambil dari buah durian yang dalam

keadaan baik, tidak terserang hama maupun penyakit.

2. Pencucian

Biji durian yang sudah disortir kemudian dicuci berulang kali sampai bersih,

setiap kali cuci airnya diganti. Pencucian ini berfungsi untuk melepaskan segala

kotoran yang melekat pada biji durian, terutama untuk menghilangkan daging

buah durian yang masih melekat pada bijinya (Afif, 2007).

3. Pencelupan

Pencelupan dilakukan dengan memasukkan biji durian pada air panas atau

pengukusan selama beberapa menit. Tujuannya untuk inaktivasi enzim-enzim

yang dapat menyebabkan degradasi warna, penghasil getah dan pengempukan

tekstur pangan. Fungsi lain dari blansing untuk mengurangi gas-gas terlarut dan

memperbaiki tekstur (Jarod, 2007).

4. Pengupasan

Pengupasan yaitu proses pemisahan biji durian dari kulit arinya dengan

menggunakan pisau, karena biasanya kulit bahan memiliki karakteristik yang

berbeda dengan isi bahan (Sulistyowati, 2001).

5. Pengirisan

Biji durian yang telah dikupas kemudian diiris tipis dengan menggunakan

pisau atau alat pengiris. Tujuan pengirisan ini adalah untuk mempermudah dalam

proses penepungan (Afif, 2007).

Universitas Sumatera Utara

6. Pengeringan

Pengeringan dilakukan secara langsung dengan menggunakan tenaga

matahari, proses penjemuran dilakukan sampai kering. Karena dengan daging biji

yang kering tersebut guna mempermudah dalam proses penepungan pada biji

durian (Afif, 2007). Tujuan pengeringan adalah menghilangkan atau mengurangi

kadar air bahan agar mikroba penyebab penyakit tidak bisa hidup, sehingga bahan

pangan menjadi awet dan tahan lama. Pengurangan air menurunkan bobot dan

memperkecil volume pangan sehingga mengurangi biaya pengangkutan dan

penyimpanan.

Selama pengeringan terjadi perubahan fisik dan kimiawi yang tidak semuanya

diinginkan. Selain penyusutan volume, pangan dapat mengalami perubahan warna

yang tidak disukai seperti pencoklatan, dapat pula terjadi penurunan nilai gizi,

aroma dan rasa, dan kemampuan menyerap air (WHO, 1991).

7. Penepungan

Irisan biji durian yang sudah kering ditumbuk atau dihaluskan untuk

memperkecil ukuran partikel, hingga menjadi bubuk halus/tepung. Kemudian

diayak sehingga diperoleh hasil berupa tepung yang halus dan homogen

(Rukmana, 2001).

Pada pembuatan tepung, seluruh komponen yang terkandung di dalam bahan

pangan dipertahankan keberadaannya, kecuali air. Teknologi tepung merupakan

salah satu proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih

tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi

Universitas Sumatera Utara

(difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan

modern yang ingin serba praktis (Widowati, 2009).

Pengubahan bentuk biji durian menjadi tepung akan mempermudah

pemanfaatan biji durian menjadi bahan setengah jadi yang fleksibel, karena selain

tahan lama daya simpannya juga dapat dipakai sebagai penganekaragaman

pengolahan bahan makanan.

2.2. Mi

Mi merupakan suatu jenis makanan hasil olahan tepung yang sudah dikenal

oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan

bahwa jenis makanan ini digemari oleh berbagai lapisan masyarakat yang telah

mengenalnya. Hal ini antara lain karena penyajiannya untuk siap dikonsumsi sangat

mudah dan cepat. Disamping itu, selalu dapat digunakan sebagai variasi dalam lauk

pauk juga dapat digunakan sebagai pengganti nasi (Nasution, 2005).

Mi adalah makanan yang populer di Asia khususnya di Asia Timur dan Asia

Tenggara. Menurut catatan sejarah, mi pertama kali dibuat di daratan Cina sekitar

2000 tahun yang lalu pada masa pemerintahan dinasti Han. Mi berkembang dan

menyebar ke Jepang, Korea, Taiwan dan negara-negara di Asia Tenggara bahkan

meluas sampai ke benua Eropa. Menurut buku-buku sejarah, di benua Eropa mi mulai

dikenal setelah Marco Polo berkunjung ke Cina dan membawa oleh-oleh mi. Namun

pada perkembangannya di Eropa mi berubah menjadi pasta seperti yang kita kenal

saat ini (Winneke, 2007).

Orang Italia, Tionghoa, dan Arab telah mengklaim bangsa mereka sebagai

pencipta mi, meskipun tulisan tertua mengenai mi berasal dari Dinasti Han Timur,

Universitas Sumatera Utara

antara tahun 25 dan 220 Masehi. Pada Oktober 2005, mi tertua yang diperkirakan

berusia 4.000 tahun ditemukan di Qinghai, Tiongkok.

Mi adalah nama lazimnya. Orang Eropa menyebutnya pasta (dari bahasa

Italia) secara generik, dan noodle (bahasa Inggis) untuk pasta yang berbentuk

memanjang. Namun begitu, di Eropa bahan baku mi biasanya dari jenis-jenis gandum

sementara di Asia bahan baku mi lebih bervariasi. Di Asia sendiri, pasta yang dibuat

selalu berbentuk memanjang. Berbagai bentuk mi dapat ditemukan di berbagai

tempat. Perbedaan mi terjadi karena campuran bahan, asal-usul tepung sebagai bahan

baku, serta teknik pengolahan.

2.2.1. Jenis-jenis Mi

Menurut Sutomo (2008), jenis-jenis mi adalah sebagai berikut :

1. Mi Berdasarkan Bahan Dasarnya

a. Mi Tepung Gandum

- Mi Telur

Mi ini terbuat dari tepung terigu jenis hard wheat/protein tinggi dan diperkaya

dengan telur. Biasanya dijual dalam kondisi kering dengan bentuk bulat dan pipih.

Seduh dengan air panas sebelum digunakan. Karena kondisinya kering, mi ini dapat

disimpan lama.

- Mi Basah Kuning

Terbuat dari tepung terigu protein tinggi. Mi ini dijual dalam keadaan basah.

Mi ini sebenarnya sudah matang jadi tidak perlu direbus ketika akan digunakan.

Cukup diseduh dengan air panas. Mi ini dapat bertahan 3 hari dalam lemari

pendingin.

Universitas Sumatera Utara

- Mi Basah Bertepung

Mi mentah yang dijual denga lumuran tepung agar tidak saling menempel.

Terbuat dari tepung erigu protein tinggi. Jenis mi ini harus direbus dulu dalam air

mendidih selama 3-4 menit sebelum digunakan. Mi basah bertepung dapat bertahan

hingga 5 hari dalam lemari pendingin/kulkas.

- Mi Instan

Terbuat dari tepung terigu tinggi protein. Dijual dengan bentuk kering dalam

kemasan sehingga mi ini lebih tahan lama. Biasanya dijual dengan beragam rasa dan

bumbu. Pengolahannya biasa dengan direbus atau digoreng. Sebelum digunakan mi

ini harus direbus selama 3-4 menit.

- Mi Hong Kong

Mi hong kong terbuat dari tepung terigu protein tinggi. Dijual di swalayan

terkemuka dalam kemasan plastik, dalam keadaan basah, dan bertepung. Mi hong

kong warnanya kuning dan lembarannya sangat halus. Mi ini dapat bertahan 5 hari

dalam lemari pendingin.

- Mi Hokien

Terbuat dari tepung terigu protein tinggi. Bentuknya lembaran tebal besar, dan

dijual dalam keadaan basah. Biasanyaa dijual di swalayan terkemuka dalam kemasan

plastik. Mi ini dapat bertahan dalam lemari pendingin selama 5 hari.

- Mi Soba

Terbuat dari tepung sejenis gandum tanpa gluten/buckmheat. Warna mi ini

biasanya hijau atau keabu-abuan. Dijual dalam keadaan kering di gerai bahan

Universitas Sumatera Utara

makanan Jepang di swalayan terkemuka. Mi dijual dalam keadaan kering sehingga

lebih tahan lama.

- Mi Udon

Terbuat dari tepung terigu protein tinggi. Dijual dalam keadaan basah dan

kering. Bentuknya biasa bulat pipih berwarna putih. Mi udon kering dapat bertahan

lama, tetapi mi udon basah hanya bertahan 5 hari dalam lemari pendingin.

- Misoa

Dijual dalam keadaan kering sehingga dapat bertahan lama. Misoa mudah

patah sehingga biasanya digunakan untuk bahan baku isi sup, dimasukkan beberapa

saat sebelum sup diangkat.

- Somen

Warnanya putih dan bentuknya seperti lidi. Dijual dalam keadaan kering di

gerai bahan makanan Jepang di swalayan terkemuka. Mi somen biasanya diolah

menjadi bahan tumisan, campuran salad, digoreng, atau campuran hidangan berkuah.

- Ramen

Orang menyebutnya mi keriting Cina. Dijual dalam kondisi kering dalam

kemasan mi instan. Sangat cocok diolah sebagai mi goreng atau mi kuah.

b. Mi Tepung Beras

- Bihun

Bentuknya lembaran bulat dan sangat halus. Umumnya berwarna putih, tetapi

kini tersedia bihun kuning yang ditambah sari wortel dan bihun ungu dengan

tambahan sari ubi/talas ungu. Penggunannya diseduh dengan air dingi atau panas

Universitas Sumatera Utara

selama 3-4 menit hingga lunak, baru digunalan sesuai dengan kebutuhan resep. Bihun

dijual dalam keadaan kering.

- Kwetiau

Kwetiau warnanya putih bening dengan bentuk pipih dan lebar. Dijual dalam

keadaan basa dan kering. Kwetiau biasanya dibuat menjadi kwetiau goreng dan rebus.

c. Mi Pati Kacang Hijau

- Suun

Bentuknya lembaran bulat halus. Warnanya putih bening dan transparan.

Sebelum digunakan bisa diseduh air panas atau dingin sampai tekstur sun lunak.

Jangan mengolah sun terlalu lama karena akan cepat matang dan mudah patah. Dijual

dalam keadaan kering. Bisa diolah sebagai sun horeng, bahan baku laksa, isi pastel,

atau campuran sup.

2. Mi Berdasarkan Tingkat Kematangannya

a. Mi Segar

Mi segar atau mi mentah adalah mi yang tidak mengalami pengolahan

lanjutan, baik itu direbus, dikukus, atau digoreng. Mi mentah mengandug air sangat

tinggi, yaitu sekitar 35%. Mi segar biasanya dijual dengan taburan tepung terigu agar

tidak saling menempel. Mi jenis ini hanya bisa bertahan satu hari karena kandungan

airnya sangat tinggi. Mi segar biasanya digunakan sebagai bahan baku mi ayam.

b. Mi Basah

Mi basah adalah mi yang dijual dalam keadaan basah. Tekstur mi yang basah

disebabkan karena air perebusan. Jadi setelah dibentuk atau dicetak dengan cetakan,

mi direbus, didinginkan, dikemas dan dipasarkan. Contoh dari mi basah adalah mi

Universitas Sumatera Utara

kuning atau mi bakso. Kandungan air mi basah sekitar 52% sehingga cepat rusak dan

hanya bertahan 40 jam.

c. Mi Kering

Mi kering sering juga disebut sebagai mi telur, karena dalam proses

pembuatannya ditambahkan telur segar atau tepung telur. Mi kering berwarna kuning

karena kandungan telurnya. Setelah dibentuk atau dicetak, mi biasanya dijemur atau

dioven terlebih dahulu hinggi kering, lalu dikemas dan dipasarkan. Mi jenis ini

memiliki daya tahan lebih lama karena kandungan airnya rendah, yaitu sekitar 13%.

d. Mi Instan

Mi instan, mi yang paling popular diantara jenis mi yang lainnya. Selain

praktis, mi instan juga tahan disimpan lama karena kandungan airnya hanya 5-8%.

Proses pembuatannya, setelah mi dibentuk, mi instan biasanya dikeringkan dengan

cara digoreng atau dipanaskan. Jadi mi sebenarnya udah matang, maka hanya dengan

merebus air (sekitar 4 menit) sampai mendidih, mi instan sudah matang dan bisa

dimakan.

2.2.2. Nilai Gizi Mi Basah

Bahan baku untuk membuat mi adalah tepung terigu, telur, air, dan bahan

tambahan lainnya. Dengan demikian, mi mengandung karbohidrat, protein, lemak,

dan mineral. Adapun komposisi gizi bahan pembuat mi disajikan dalam tabel berikut

(Suyanti, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.3. Komposisi Bahan Baku Mi Setiap 100 Gram Bahan Zat Gizi Terigu Telur Ayam

Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (mg) Vitamin B1 (mg) Air (g) BDD(%)

365 8,9 1,3

77,3 16

106 1,2 -

0,12 12

100

162 12,8 11,5 0,7 54 180 2,7 900 0,1 74 90

Sumber: DKBM, 2005

Mi basah merupakan bahan pangan sumber energi. Energi yang dihasilkan mi

basah berasal dari protein, karbohidrat, dan lemak yang terkandung dalamnya. Setiap

1 gram protein dan karbohidrat menyumbang energi sebesar 4 kkal, dan 1 gram

lemak menyumbang energi sebesar 9 kkal.

2.2.3. Bahan Pembuatan Mi Basah

1. Tepung Terigu

Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mi. Tepung terigu diperoleh

dari biji gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Keistimewaan terigu diantara

serealia lainnya adalah kemampuannya membentuk gluten pada adonan mi

menyebabkan mi yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan

pemasakan. Mutu terigu yang dikehendaki adalah terigu yang memiliki kadar air

14%, kadar protein 8-12%, kadar abu 0,25-0,60% dan gluten basah 24-36 %

(Astawan, 2008). Bila ingin mendapatkan mutu mi yang lebih baik dapat

menggunakan terigu jenis hard flour dengan kadar gluten yang lebih tinggi.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan kandungan protein (gluten), terdapat 3 jenis terigu yang ada dipasaran,

yaitu sebagai berikut (Suyanti, 2010):

a. Terigu hard flour. Terigu jenis ini mempunyai kadar protein 12-13 %. Jenis

tepung ini digunakan untuk pembuatan mi dan roti. Contohnya terigu cap cakra

kembar.

b. Terigu medium hard flour. Jenis tepung ini mrngandung protein 9,5-11 %.

Tepung ini banyak digunkan untuk campuran pembuatan mie, roti dan kue.

Contohnya adalah terigu cap segitiga biru.

c. Terigu soft flour. Jenis terigu ini mengandung protein 7-8,5 %. Jenis tepung ini

hanya cocok untuk membuat kue. Contohnya adalah terigu cap kunci.

2. Air

Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat (akan

mengembang), melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Air yang

digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6-9. makin tinggi pH air maka mi yang

dihasilkan tidak mudah patah karena absorbsi air mengikat dengan meningkatnya pH.

Selain pH, air yang digunakan harus air yang memenuhi persyaratan sebagai air

minum, diantaranya tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasal (Astawan, 2008).

Adapun jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan berkisar 28-38 %. Jika air

kurang dari 28 % adonan menjadi sulit dicetak. Sementara itu, penambahan air yang

lebih dari 38 % akan menyebabkan adonan itu lengket (Suyanti, 2010).

3. Garam Dapur

Dalam pembutan mi, penambahan garam dapur untuk memberi rasa,

memperkuat tekstur mi, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mi, serta untuk

Universitas Sumatera Utara

mengikat air (Astawan, 2008). Penambahan garam pada pembuatan mi juga dapat

menghambat pertumbuhan jamur/kapang serta menghambat aktivitas enzim protease

dan amilase sehingga adonan menjadi tidak lengket dan mengembang secara

berlebihan (Suyanti, 2010). Penambahan garam dapur pada pembuatan mi sebanyak

10 gram setiap 1 kg tepung (Sutomo, 2008)

4. Telur

Secara umum, penambahan telur dimaksudkan untuk meningkatkan mutu

protein mi dan menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak mudah terputus-

putus. Putih telur berfungsi untuk mencegah kekeruhan saus mi waktu pemasakan.

Penggunaan putih telur harus secukupnya saja, karena pemakaian yang berlebihan

dapat menurunkan kemampuan mi menyerap air waktu direbus.

Kuning telur dipakai sebagai pengemulsi karena dalam kuning telur terdapat

lechitin. Selain sebagai pengemulsi, lechitin juga dapat mempercepat hidrasi air pada

tepung dan untuk mengembangkan adonan. Penambahan kuning telur juga akan

memberikan warna yang seragam (Astawan, 2008).

Pemakaian minimal telur adalah 3-10% dari berat tepung. Mi yang

menggunakan telur rasanya lebih gurih, lebih kenyal, dan elastis (Suyanti, 2010).

5. CMC (Carboxy Methyl Cellulose)

Carboxy Methyl Cellulose adalah turunan dari selulosa dan sering dipakai

dalam industri makanan untuk mendapatkan tekstur yang baik. Fungsi CMC yang

terpenting adalah sebagai pengental, stabilisator, pembentuk gel, sebagai pengemulsi

dan dalam beberapa hal dapat meratakan penyebaran antibiotik (Winarno, 1997).

Emulsifier memiliki kemampuan untuk menyatukan dua jenis bahan yang tidak saling

Universitas Sumatera Utara

melarut karena molekulnya terdiri dari gugus hidrofilik dan lipofilik sekaligus. Gugus

hidrofilik mampu berikatan dengan air atau bahan lain yang bersifat polar, sedangkan

gugus lipofilik mampu berikatan dengan minyak atau bahan lain yang bersifat non

polar (Suryani et al., 2002). Karboksi metil selulosa memiliki sifat higroskopis,

mudah larut dalam air, dan membentuk larutan koloid (Astawan, 2008).

Dalam pembuatan mi, CMC berfungsi sebagai pengembang. Bahan ini dapat

mempengaruhi sifat adonan, memperbaiki ketahanan tehadap air, dan

mempertahankan keempukkan selama penyimpanan (Widyaningsih, 2006). Jumlah

bahan pengembang yang ditambahkan berkisar antara 0,5-1,0 % dari berat tepung

terigu, tergantung dari jenis terigu. Penggunaan yang berlebihan akan menyebabkan

tekstur mi terlalu keras dan daya rehidrasi mi menjadi berkurang (Astawan, 2008).

6. Garam Alkali

Terdapat beberapa jenis garam alkali yang biasa digunakan dalam pada

pembuatan mi antara lain sebagai berikut :

1. Sodium karbonat (Na2CO3) atau dikenal dengan nama soda abu

2. Potasium karbonat (K2CO3) atau kalium karbonat

3. STPP (sodium tripolifosfat)

4. Kansui (air abu) (Suyanti, 2010).

Soda abu merupakan campuran dari natrium karbonat dan kalium karbonat

(perbandingan 1:1). Berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan

elastisitas dan fleksibilitas mie, meningkatkan kehalusan tekstur, serta meningkatkan

sifat kenyal. Bahan ini dapat diperoleh di toko-toko penjual bahan kimia

(Astawan,2008). Sunaryo (1985) menyatakan bahwa natrium karbonat dan garam

Universitas Sumatera Utara

fosfat telah sejak dahulu dipakai sebagai alkali utuk pembuatan mie. Komponen

tersebut berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas

dan fleksibilitas (garam fosfat) dan meningkatkan kehalusan tekstur (pengaruh

senyawa Na2CO3).

Garam alkali yang ditambahkan pada pembuatan mi cukup dipilih satu jenis

saja atau campuran dari 2 jenis. Jumlah maksimum garam alkali yang ditambahkan

pada pembuatan mi adalah 1 % dari total pemakaian tepung terigu yang digunakan.

Fungsi penambahan garam alkali ke dalam pembuatan mi adalah sebagai berikut

(Suyanti, 2010):

a. Menguatkan struktur gluten sehingga menjadi mi yang lentur

b. Mengubah sifat pati tepung terigu sehingga menjadi lebih kenyal.

c. Mengubah sifat zat warna (pigmen) dalam terigu sehingga lebih cerah

d. Semakin besar garam alkali yang digunakan, mi semakin keras dan kenyal.

Namun, penggunaan yang berlebihan akan menyebabkan bau yang tidak sedap

pada mi yang dihasilkan.

2.2.4. Proses Pembuatan Mi Basah

1. Pencampuran dan pengadukan

Tahap awal dalam pembuatan mi adalah pencampuran tepung terigu dengan

air. Campuran diaduk sampai menjadi adonan yang merata, lama proses ini kira-kira

15 menit. Adonan yang terbentuk diharapkan lunak, lembut, halus, dan kompak

(Astawan, 2008). Tujuan pengadukan adalah mencampur rata air dan bahan lainnya

hingga membentuk adonan yang seragam atau homogen. Pengadukan juga bertujuan

untuk mengembangkan gluten serta membentuk warna mi. Waktu pengadukan yang

Universitas Sumatera Utara

baik sekitar 15 menit. Jika pengadukan lebih dari 25 menit, akan menyebabkan

adonan keras, rapuh, dan kering. Sementara itu, pengadukan kurang dari 15 menit

akan menyebabkan adonan lengket dan tidak merata. Ciri adonan yang baik adalah

agak pera, tidak menggumpal dan tidak kering, serta berwarna kekuningan merata

(Suyanti, 2010).

Proses pencampuran bertujuan untuk menghidrasi tepung dengan air,

membuatnya merata dengan mencampur dan membuat adonan dengan bentuk

jaringan gluten dengan meremas-remas. Untuk membuat adonan yang baik, faktor

yang harus diperhatikan adalah jumlah air yang ditambahkan, waktu pengadukan dan

temperatur (Soenaryo, 1985).

2. Pembentukan Lembaran

Setelah adonan menjadi homogen, campuran tersebut dimasukkan ke dalam

mesin pelempeng. Dalam mesin pelempeng, adonan akan dibentuk menjadi

lempengan-lempengan, dimana pada proses ini serat-serat gluten akan menjadi halus

(Astawan, 2008). Adonan mi yang telah terbentuk dimasukkan ke dalam alat pembuat

lembaran secara bertahap. Awalnya, lembaran yang terbentuk berupa lempengan

tebal. Penggilingan dilakukan beberapa kali sampai diperoleh lembaran agak tebal

yang kalis/merata. Penurunan ketebalan dilakukan secara bertahap. Hal ini

disebabkan jumlah penipisan akan berpengaruh terhadap sifat mi yang dihasilkan.

Lembaran mi yang terbentuk sebaiknya tidak sobek, permukaanya halus berwarna

kekuningan, dan merata serta terjaga dari kotoran (Suyanti,2010).

Universitas Sumatera Utara

3. Pembentukan Mi

Dari lembaran tipis tersebut kemudian secara otomatis masuk ke dalam mesin

penyisir lembaran tipis membentuk untaian tali seperti pita dengan selera konsumen

(Ubaidillah, 1997). Lembaran mi dimasukkan ke dalam alat pemotong mi dan alat

diputar sampai lembaran mi terpotong habis. Potongan mi ditaburi dengan tepung

tapioka dan siap untuk dimasak atau disimpan (Suyanti, 2010). Mi dibuat dalam

bentuk pilinan (bergelombang) karena memiliki keuntungan, diantaranya adalah

mempercepat laju penguapan dan penggorengan karena adanya konduksi panas dan

sirkulasi panas dari minyak di dalamnya (Astawan, 2008).

4. Perebusan

Setelah melalui proses pencetakan dilakukan pemasakan mi dengan

pemanasan. Pemanasan ini menyebabkan gelatinisasi dan koagulasi gluten. Menurut

Astawan (2008) gelatinisasi ini dapat menyebabkan :

- Pati meleleh dan membentuk lapisan tipis (film) yang dapat mengurangi

penyerapan minyak dan memberikan kelembutan mi.

- Meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mi.

- Terjadi perubahan pati beta menjadi alfa yang lebih mudah dimasak sehingga

struktur alfa ini harus dipertahankan dalam mi kering dengan cara dehidrasi

(pengeringan) sampai kadar air kurang dari 10 %.

Tahapan perebusan dilakukan pada pembuatan mi kering maupun mi basah.

Pemanasan tersebut menyebabkan gelatinisasi dan koagulasi gluten sehingga mi

menjadi keras, kuat, dan kenyal serta tidak menyerap minyak terlalu banyak saat

digoreng (Suyanti, 2010).

Universitas Sumatera Utara

5. Pendinginan

Mi yang telah direbus kemudian didinginkan. Tujuan pendinginan adalah

untuk melepaskan sisa uap panas. Jika tidak didinginkan, sisa uap panas akan

terkondensasi saat dikemas sehingga memberi peluang jamur untuk tumbuh (Suyanti,

2010). Mi yang telah direbus didinginkan dengan menggunakan kipas angin dalam

mesin pendingin. Mesin ini bekerja dengan meniupkan angin ke arah mi yang masih

panas. Proses pendinginan ini akan menyebabkan pengerasan minyak yang terserap

dan menempel pada mie sehingga mie pun menjadi keras (Astawan, 2008).

2.3 Cita Rasa Makanan

Menurut Wirakusumah (1990) yang dikutip oleh Latifah (2010), Kesukaan

terhadap makanan didasari oleh sensorik, sosial, psikologi, agama, emosi, budaya,

kesehatan, ekonomi, cara persiapan dan pemasakan makanan, serta faktor-faktor

terkait lainnya. Penilaian seseorang terhadap kualitas makanan berbeda-beda

tergantung selera dan kesenangannya. Perbedaan suku, pengalaman, umur dan tingkat

ekonomi seseorang mempunyai penilaian tertentu terhadap jenis makanan, sehingga

standar kualitas makanan sulit untuk ditetapkan. Walaupun demikian ada beberapa

aspek yang dapat dinilai yaitu persepsi terhadap cita rasa makanan, nilai gizi dan

higiene atau kebersihan makanan tersebut.

1. Penampilan dan cita rasa makanan

Menurut Moehyi (1992) yang dikutip oleh Latifah (2010), Cita rasa makanan

mencakup 2 aspek utama yaitu penampilan makanan sewaktu dihidangkan dan rasa

makanan pada saat dimakan. Kedua aspek tersebut sama pentingnya untuk

diperhatikan agar benar-benar dapat menghasilkan makanan yang memuaskan. Daya

Universitas Sumatera Utara

penerimaan terhadap suatu makanan ditentukan oleh rangsangan yang ditimbulkan

oleh makanan melalui indera penglihat, penciuman serta perasa atau pencecap bahkan

mungkin pendengar. Walaupun demikian faktor utama yang akhirnya mempengaruhi

daya penerimaan terhadap makanan yaitu rangsangan cita rasa yang ditimbulkan oleh

makanan itu. Oleh karena itu, penting sekali dilakukan penilaian cita rasa untuk

mengetahui daya penerimaan konsumen.

Menurut Winarno (1997) rasa suatu makanan merupakan faktor yang turut

menentukan daya terima konsumen. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain.

Warna makanan memegang peranan utama dalam penampilan makanan

karena merupakan rangsangan pertama pada indera mata. Warna makanan yang

menarik dan tampak alamiah dapat meningkatkan cita rasa. Oleh sebab itu dalam

penyeleggaraan makanan harus mengetahui prinsip-prinsip dasar untuk

mempertahankan warna makanan yang alami, baik dalam bentuk tehnik memasak

maupun dalam penanganan makanan yang dapat mempengaruhi makan.

2. Konsistensi atau tekstur makanan

Konsistensi atau tekstur makanan juga merupakan komponen yang turut

menentukan cita rasa makanan karena sensitifitas indera cita rasa dipengaruhi oleh

konsistensi makanan. Makanan yang berkonsistensi padat atau kental akan

memberikan rangsangan lebih lambat terhadap indera kita.

Penyajian makanan merupakan faktor tertentu dalam penampilan hidangan

yang disajikan. Jika penyajian makanan tidak dilakukan dengan baik, seluruh upaya

yang telah dilakukan guna menampilkan makanan dengan cita rasa tinggi akan tidak

Universitas Sumatera Utara

berarti. Penampilan makanan waktu disajikan akan merangsang indera terutama

penglihatan yang berkaitan dengan cita rasa makanan itu.

Rasa makanan merupakan faktor kedua yang menentukan cita rasa makanan

setelah penampilan makanan itu sendiri. Apabila penampilan makanan yang disajikan

merangsang saraf melalui indera penglihatan sehingga mampu membangkitkan selera

untuk mencicipi makanan itu, maka pada tahap selanjutnya rasa makanan itu akan

ditentukan oleh rangsangan terhadap indera penciuman dan indera perasa.

Aroma yang disebarkan oleh makanan merupakan daya tarik yang sangat kuat

dan mampu merangsang indera penciuman sehingga membangkitkan selera.

Timbulnya aroma makanan disebabkan oleh terbentuknya senyawa yang mudah

menguap sebagai akibat atau reaksi karena pekerjaan enzim atau dapat juga terbentuk

tanpa bantuan reaksi enzim.

2.4 Uji Organopleptik

Menurut Soekarto (2002) yang dikutip oleh Latifah (2010), Penilaian

organoleptik yang disebut juga penilaian indera atau penilaian sensorik merupakan

suatu cara penilaian yang sudah sangat lama dikenal dan masih sangat umum

digunakan. Metode penilaian ini banyak digunakan karena dapat dilaksanakan dengan

cepat dan langsung. Dalam beberapa hal, penilaian dengan indera bahkan memiliki

ketelitian yang lebih baik dibandingkan dengan alat ukur yang paling sensitif.

Penerapan penilaian organoleptik pada prakteknya disebut uji organoleptik yang

dilakukan dengan prosedur tertentu. Uji ini akan menghasilkan data yang

penganalisisan selanjutnya menggunakan metode statistika.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Rahayu (1998), Sistem penilaian organoleptik telah dibakukan dan

dijadikan alat penilaian di dalam Laboratorium. Penilaian organoleptik juga telah

digunakan sebagai metode dalam penelitian dan pengembangan produk. Dalam hal

ini prosedur penilaian memerlukan pembakuan yang baik dalam cara penginderaan

maupun dalam melakukan analisa data.

Indera yang berperan dalam uji organoleptik adalah indera penglihatan,

penciuman, pencicipan, peraba dan pendengaran. Panel diperlukan untuk

melaksanakan penilaian organoleptik dalam penilaian mutu atau sifat-sifat sensorik

suatu komoditi, panel bertindak sebagi instrumen atau alat. Panel ini terdiri atas orang

atau kelompok yang bertugas menilai sifat dari suatu komoditi. Orang yang menjadi

anggota panel disebut panelis.

2.5 Panelis

Untuk melaksanakan penilaian organoleptik diperlukan panel. Dalam

penilaian suatu mutu atau analisis sifat-sifat sensorik suatu komoditi, panel bertindak

sebagai instrumen atau alat. Panel ini terdiri dari orang atau kelompok yang bertugas

menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan subjektif. Orang yang menjadi

anggota panel disebut panelis.

Dalam penilaian organoleptik dikenal tujuh macam panel, yaitu panel

perseorangan, panel terbatas, panel terlatih, panel agak terlatih, panel tidak terlatih,

panel konsumen dan panel anak-anak. Perbedaan ketujuh panel tersebut didasarkan

pada keahlian dalam melakukan penilaian organoleptik (Rahayu, 1998).

Universitas Sumatera Utara

1. Panel Perseorangan

Panel perseorangan adalah orang yang sangat ahli dengan kepekaan spesifik

yang sangat tinggi yang diperoleh karena bakat atau latihan-latihan yang sangat

intensif. Panel perseorangan sangat mengenal sifat, peranan dan cara pengolahan

bahan yang akan dinilai dan menguasai metode-metode analisa organoleptik dengan

sangat baik. Keuntungan menggunakan panelis ini adalah kepekaan tinggi, bias dapat

dihindari, penilaian efisien. Panel perseorangan biasanya digunakan untuk mendeteksi

penyimpangan yang tidak terlalu banyak dan mengenali penyebabnya.

2. Panel Terbatas

Panel terbatas terdiri dari 3-5 orang yang mempunyai kepekaan tinggi

sehingga bias lebih dapat dihindari. Panelis ini mengenal dengan baik faktor-faktor

dalam penilaian organoleptik dan mengetahui cara pengolahan dan pengaruh bahan

baku terhadap hasil akhir.

3. Panel Terlatih

Panel terlatih terdiri dari 15-25 orang yang mempunyai kepekaan cukup baik.

Untuk menjadi panelis terlatih perlu didahului dengan seleksi dan latihan-latihan.

Panelis ini dapat menilai beberapa rangsangan sehingga tidak terlampau spesifik.

4. Panel Agak Terlatih

Panel agak terlatih terdiri dari 15-25 orang yang sebelumya dilatih untuk

mengetahui sifat-sifat tertentu. Panel agak terlatih dapat dipilih dari kalangan terbatas

dengan menguji datanya terlebih dahulu. Sedangkan data yang sangat menyimpang

boleh tidak digunakan dalam keputusannya.

Universitas Sumatera Utara

5. Panel Tidak Terlatih

Panel tidak terlatih terdiri dari 25 orang awam yang dapat dipilih berdasarkan

jenis suku-suku bangsa, tingkat sosial dan pendidikan. Panel tidak terlatih hanya

diperbolehkan menilai sifat-sifat organoleptik yang sederhana seperti sifat kesukaan,

tetapi tidak boleh digunakan dalam uji pembedaan. Panel tidak terlatih biasanya

terdiri dari orang dewasa dengan komposisi panelis pria sama dengan panelis wanita.

6. Panel Konsumen

Panel konsumen terdiri dari 30 hingga 100 orang yang tergantung pada target

pemasaran komoditi. Panel ini mempunyai sifat yang sangat umum dan dapat

ditentukan berdasarkan perorangan atau kelompok tertentu.

7. Panel Anak-anak

Panel yang khas adalah panel yang menggunakan anak-anak berusia 3-10

tahun. Biasanya anak-anak digunakan sebagai panelis dalam penilaian produk-produk

pangan yang disukai anak-anak seperti permen, es krim dan sebagainya. Cara

penggunaan panelis anak-anak harus bertahap, yaitu dengan pemberitahuan atau

dengan bermain bersama, kemudian dipanggil untuk diminta responnya terhadap

produk yang dinilai dengan alat bantu gambar seperti boneka yang sedang sedih,

biasa atau tertawa.

2.6 Perhitungan Zat Gizi Bahan Makanan Berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM)

Menurut Auliana (2001), untuk mengetahui nilai gizi bahan pangan atau

makanan diperlukan suatu pedoman, yaitu berupa daftar komposisi bahan makanan

Universitas Sumatera Utara

(DKBM) atau daftar kandungan zat gizi bahan makanan (DKGM). Ada pula yang

menyebut daftar komposisi zat pangan Indonesia (DKGPI).

DKBM adalah suatu daftar yang memuat angka-angka kandungan zat gizi

berbagai jenis makanan, baik mentah maupun masak atau hasil olahan yang ada di

Indonesia. Sebagian besar jenis pangan yang disajikan dalam DKGM berbentuk

makanan mentah. DKGM memuat sepuluh jenis zat gizi dan energi. Zat gizi tersebut

meliputi protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, vitamin B1,

vitamin C, dan air. Bagian akhir dari DKBM memuat bagian yang dapat dimakan

atau edible portion (BDD).

1. Analisis Kadar Zat Gizi DKBM

Untuk mengetahui kadar zat gizi suatu bahan pangan atau makanan harus

dihitung dulu bagian yang dapat dimakan (BDD). Misalnya, tangkai sayuran yang

tidak bisa dimakan dibuang, buah salak dikupas kulitnya dan bijinya dibuang. Pada

umumnya, bahan pangan atau makanan diambil sebanyak 100 gram berat kotor,

kemudian dihitung persentase BDD-nya.

2. Penggunaan DKBM

Untuk memudahkan penggunaannya, bahan makanan dalam DKBM

dikelompokkan menjadi sepuluh golongan, yaitu :

a. serealia (padi-padian), umbi, dan hasil olahannya

b. kacang-kacangan, biji-bijian, dan hasil olahannya

c. daging dan hasil olahannya d. telur dan hasil olahannya e. ikan, kerang, udang, dan hasil

olahannya

f. sayuran dan hasil olahannya g. buah-buahan h. susu dan hasilnya i. lemak dan minyak j. serba-serbi

Universitas Sumatera Utara

2.7 Kerangka Konsep

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

2.8 Hipotesis Penelitian

Ho : Tidak ada pengaruh penambahan tepung biji durian 15%, 20%, dan

25% terhadap aroma, warna, rasa, dan tekstur mi basah.

Ha : Ada pengaruh penambahan tepung biji durian 15%, 20%, dan 25%

terhadap aroma, warna, rasa, dan tekstur mi basah.

Mi Basah

Cita rasa (Aroma, Warna, Rasa, dan Tekstur)

- Tepung biji durian 15% - Tepung biji durian 20% - Tepung biji durian 25%

Tepung Terigu

Universitas Sumatera Utara