Chapter II

13
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Leukosit 2.1.1. Pengertian Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah  putih. Rata-rata jumlah leukosit dalam darah manusia normal adalah 5000- 9000/mm 3 , bila jumlahnya lebih dari 10.000/mm 3 , keadaan ini disebut leukositosis, bila kurang dari 5000/mm 3 Leukosit terdiri dari dua golongan utama, yaitu agranular dan granular. Leukosit agranular mempunyai sitoplasma yang tampak homogen, dan intinya  berbentuk bulat atau berbentuk ginjal. Leukosit granular mengand ung granula spesifik (yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair) dalam sitoplasmanya dan mempunyai inti yang memperlihatkan banyak variasi dalam bentuknya. Terdapat 2 jenis leukosit agranular yaitu; limfosit yang terdiri dari sel-sel kecil dengan sitoplasma sedikit, dan monosit yang terdiri dari sel-sel yang agak besar dan mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat 3 jenis leukosit gran ular y aitu n eutrofil, b asofil, dan asidofil (eosinofil ). (Effendi, Z., 2003) disebut leukopenia. (Effendi, Z., 2003) Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses diapedesis leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung. (Effendi, Z., 2003) Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah 5000-9000/mm 3 , waktu lahir 15000-25000/mm 3  , dan menjelang hari ke empat turun sampai 12000, pada usia 4 t ahun sesuai jumlah normal. (Effendi, Z., 2003) Universitas Sumatera Utara

Transcript of Chapter II

  • BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Leukosit

    2.1.1. Pengertian

    Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah

    putih. Rata-rata jumlah leukosit dalam darah manusia normal adalah 5000-

    9000/mm3, bila jumlahnya lebih dari 10.000/mm3, keadaan ini disebut

    leukositosis, bila kurang dari 5000/mm3

    Leukosit terdiri dari dua golongan utama, yaitu agranular dan granular.

    Leukosit agranular mempunyai sitoplasma yang tampak homogen, dan intinya

    berbentuk bulat atau berbentuk ginjal. Leukosit granular mengandung granula

    spesifik (yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair)

    dalam sitoplasmanya dan mempunyai inti yang memperlihatkan banyak variasi

    dalam bentuknya. Terdapat 2 jenis leukosit agranular yaitu; limfosit yang terdiri

    dari sel-sel kecil dengan sitoplasma sedikit, dan monosit yang terdiri dari

    sel-sel yang agak besar dan mengandung sitoplasma lebih banyak.

    Terdapat 3 jenis leukosit granular yaitu neutrofil, basofil, dan asidofil (eosinofil).

    (Effendi, Z., 2003)

    disebut leukopenia. (Effendi, Z., 2003)

    Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral

    organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid

    dan melalui proses diapedesis leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan

    menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung.

    (Effendi, Z., 2003)

    Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah

    5000-9000/mm3, waktu lahir 15000-25000/mm3

    , dan menjelang hari ke empat

    turun sampai 12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal. (Effendi, Z., 2003)

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.2. Jenis Sel Darah Putih

    2.2.1 Granula

    a. Neutrofil

    Neutrofil (Polimorf), sel ini berdiameter 1215 m memilliki inti yang

    khas padat terdiri atas sitoplasma pucat di antara 2 hingga 5 lobus dengan rangka

    tidak teratur dan mengandung banyak granula merah jambu (azuropilik) atau

    merah lembayung. Granula terbagi menjadi granula primer yang muncul pada

    stadium promielosit, dan sekunder yang muncul pada stadium mielosit dan

    terbanyak pada neutrofil matang. Kedua granula berasal dari lisosom, yang primer

    mengandung mieloperoksidase, fosfatase asam dan hidrolase asam lain, yang

    sekunder mengandung fosfatase lindi dan lisosom. (Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E,

    1996)

    b. Eosinofil

    Sel ini serupa dengan neutrofil kecuali granula sitoplasmanya lebih kasar

    dan berwarna lebih merah gelap (karena mengandung protein basa) dan jarang

    terdapat lebih dari tiga lobus inti. Mielosit eosinofil dapat dikenali tetapi stadium

    sebelumnya tidak dapat dibedakan dari prekursor neutrofil. Waktu perjalanan

    dalam darah untuk eosinofil lebih lama daripada untuk neutropil. Eosinofil

    memasuki eksudat peradangan dan nyata memainkan peranan istimewa pada

    respon alergi, pada pertahanan melawan parasit dan dalam pengeluaran fibrin

    yang terbentuk selama peradangan. (Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E, 1996)

    c. Basofil

    Basofil hanya terlihat kadang-kadang dalam darah tepi normal. Diameter

    basofil lebih kecil dari neutrofil yaitu sekitar 9-10 m. Jumlahnya 1% dari total

    sel darah putih. Basofil memiliki banyak granula sitoplasma yang menutupi inti

    dan mengandung heparin dan histamin. Dalam jaringan, basofil menjadi mast

    cells. Basofil memiliki tempat-tempat perlekatan IgG dan degranulasinya

    Universitas Sumatera Utara

  • dikaitan dengan pelepasan histamin. Fungsinya berperan dalam respon alergi.

    (Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E, 1996)

    2.2.2 Tidak Bergranula

    a. Monosit

    Rupa monosit bermacam-macam, dimana ia biasanya lebih besar daripada

    leukosit darah tepi yaitu diameter 16-20 m dan memiliki inti besar di tengah oval

    atau berlekuk dengan kromatin mengelompok. Sitoplasma yang melimpah

    berwarna biru pucat dan mengandung banyak vakuola halus sehingga memberi

    rupa seperti kaca. Granula sitoplasma juga sering ada. Prekursor monosit dalam

    sumsum tulang (monoblas dan promonosit) sukar dibedakan dari mieloblas dan

    monosit. (Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E, 1996)

    b. Limfosit

    Sebagian besar limfosit yang terdapat dalam darah tepi merupakan sel

    kecil yang berdiameter kecil dari 10m. Intinya yang gelap berbentuk bundar atau

    agak berlekuk dengan kelompok kromatin kasar dan tidak berbatas tegas.

    Nukleoli normal terlihat. Sitoplasmanya berwarna biru-langit dan dalam

    kebanyakan sel, terlihat seperti bingkai halus sekitar inti. Kira-kira 10% limfosit

    yang beredar merupakan sel yang lebih besar dengan diameter 12-16m dengan

    sitoplasma yang banyak yang mengandung sedikit granula azuropilik. Bentuk

    yang lebih besar ini dipercaya telah dirangsang oleh antigen, misalnya virus atau

    protein asing. (Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E, 1996)

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 2.1 Jenis sel darah putih (Dikutip dari White Blood Cell Function, Kempert P.H., University of California at Los Angeles, Mattel Children's Hospital and UCLA Medical Center Contributor Information and Disclosures.)

    2.3 Reaksi Inflamasi

    Inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap masuknya benda asing, invasi

    mikroorganisma atau kerusakan jaringan. Dalam usaha pertama untuk

    menghancurkan benda asing dan mikroorganisma serta membersihkan jaringan

    yang rusak, maka tubuh akan mengerahkan elemen-elemen sistem imun ke tempat

    masuknya benda asing dan mikroorganisma atau jaringan yang rusak.

    (Baratawidjaja K.G., 1998)

    Fagositosis merupakan komponen penting pada inflamasi. Dalam proses

    inflamasi ada 3 hal yang terjadi sebagai berikut:

    i) Peningkatan peredaran darah ke tempat benda asing,

    mikroorganisma atau jaringan yang rusak.

    ii) Peninggian permeabilitas kapiler yang ditimbulkan oleh

    pengerutan sel endotel. Hal tersebut memungkinkan molekul yang

    lebih besar seperti antibodi dan fagosit bergerak ke luar pembuluh

    darah dan sampai di tempat benda asing, mikroorganisme atau

    jaringan rusak.

    iii) Peningkatan leukosit terjadi terutama apabila fagosit

    polimorfonuklear dan makrofag dikerahkan dari sirkulasi dan

    bergerak ke tempat benda asing, mikroorganisma atau jaringan

    Universitas Sumatera Utara

  • yang rusak. Hal tersebut dipermudah dengan pelepasan C3a dan

    C5a pada aktivasi komplemen yang bersifat kemotaksis.

    Dalam proses tersebut banyak leukosit dihancurkan. Kemudian makrofag

    lain yang memasuki daerah tersebut akan mengakhiri inflamasi. (Baratawidjaja

    K.G., 1998)

    Ketiga kejadian di atas disebut inflamasi. C3a dan C5a merupakan

    nafilatoksin yang dapat melepaskan histamin melalui degranulasi mastosit dan

    basofil yang juga mempunyai sifat biologik. Selain C3a dan C5a pada aktivasi

    komplemen dilepas bahan-bahan lain yang berperanan pada inflamasi.

    (Baratawidjaja K.G., 1998)

    Fagosit akhirnya memakan benda asing, mikroorganisma atau jaringan

    yang rusak. Selama proses tersebut enzim lisosom dilepaskan oleh makrofag ke

    luar sel, sehingga hal itu dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan sekitarnya.

    Jelas bahawa sistem imun nonspesifik dan sistem imun spesifik bekerja sama

    dalam usaha untuk mengembalikan keseimbangan badan dan bahawa dalam usaha

    tersebut, hal-hal yang tidak menyenangkan untuk tubuh seperti panas, bengkak,

    sakit dan kerusakan jaringan dapat terjadi. Sel polimorfonuklear lebih sering

    ditemukan pada inflamasi akut, sedangkan proliferasi monosit ditemukan pada

    inflamasi kronik. (Baratawidjaja K.G., 1998)

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 2.2 Inflamasi Akut (Dikutip dari Color Atlas of Pathophysiology, Silbernagl. S.& Lang. F., 2000)

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.4 Apendisitis Akut

    2.4.1 Pengertian

    Apendisitis akut umumnya akibat dari inflamasi akut pada kuadran bawah

    kanan rongga abdomen. Infeksi terjadi di umbai cacing dan kebanyakan kasus

    memerlukan apendektomi sebagai perawatan. Di Amerika lebih dari 250.000

    apendektomi dilaksanankan setiap tahun dan merupakan satu keadaan gawat

    darurat. Apendisitis akut direkodkan tinggi pada dekad kedua hidup pasien.

    Walaubagaimanapun perforasi sering terjadi dikalangan bayi (infant) dan

    dikalangan lanjut usia, dimana kadar mortaliti golongan ini tinggi. Insidensi lelaki

    dan wanita yang menderita apendisitis akut sama kecuali lelaki lebih pridominan

    pada waktu pubertas dan sekitar umur 25 tahun dengan rasio 3:2. Kadar mortaliti

    di Amerika menurun sebanyak lapan kali ganda terutama pada tahun 1941 dan

    1970-an. Sejak itu, jumlahnya kekal sebanyak < 1 kasus setiap 100.000 kasus.

    Insidensi apendisitis ternyata lebih rendah dikalangan penduduk Negara sedang

    berkembang dan yang rendah sosioekonominya. (Gearhart S.L. & Silen W., 2008)

    2.4.2 Anatomi dan Histologi Apendiks

    Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya bervariasi

    berkisar antara 2-22 cm. Letak basis apendiks berada pada posteromedial sekum

    pada pertemuan ketiga taenia koli, kira-kira 1-2 cm di bawah ileum. Dari ketiga

    taenia tersebut terutama taenia anterior yang digunakan sebagai penanda untuk

    mencari basis apendiks. Basis apendiks terletak di fossa iliaka kanan, bila

    diproyeksikan ke dinding abdomen terletak di kuadran kanan bawah yang disebut

    dengan titik Mc Burney. Apendiks mempunyai lumen yang sempit, bentuknya

    seperti cacing, dan apeksnya menempel pada sekum. (Sandy Craig, 2010)

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 2.3 Apendiks (dikutip dari MedicineNet)

    Gambar 2.4 Retrocecal appendix (Dikutip dari: Atlas of Human

    Anatomy, Fourth Edition, Frank H.Netter)

    Universitas Sumatera Utara

  • Appendiks mendapatkan darah dari cabang arteri ileokolika berupa

    appendiksularis yang merupakan satu-satunya feeding arteri untuk appendiks.

    Arteri apendikuler adalah cabang terminal dari arteri ileokolika dan berjalan pada

    ujung bebas mesoapendiks. Vena appendiks bermuara di vena ileokalika yang

    melanjutkan diri ke vena mesenterika superior. Sedangkan sistim limfatiknya

    mengalir ke limfonodi ileosekal. Syaraf apendiks berasal dari syaraf simpatis dan

    parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus mesenterika superior. Serabut syaraf

    aferen yang menghantarkan rasa nyeri visceral dari apendiks berjalan bersama

    syaraf simpatis dan masuk ke medulla spinalis setinggi segmen torakal X karena

    itu nyeri visceral pada apendiks bermula disekitar umbilikus. (H.F.Netter,

    S.Elsevier, 2006)

    Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar

    submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan

    pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh

    lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam

    mesoapendiks. Lapisan epitel lumen apendiks sama seperti pada epitel kolon

    tetapi kelenjar intestinalnya lebih kecil daripada kolon. Apendiks mempunyai

    lapisan muskulus dua lapis. Lapisan dalam berbentuk sirkuler yang merupakan

    kelanjutan dari lapisan muskulus sekum, sedangkan lapisan luar berbentuk

    muskulus longitudinal yang dibentuk oleh fusi dari 3 tenia koli diperbatasan

    antara sekum dan apendiks. (J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper,

    2007)

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.5 Pathogenesis Apendisitis Akut

    2.5.1 Peranan Lingkungan Diet dan Higiene

    Penelitian epidemiologi menunjukkan kebiasaan makan makanan rendah

    serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan

    menaikkan tekanan intrasekal yang mengakibatkan sumbatan fungsional apendiks

    dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya ini memudahkan

    timbulnya apendisitis. Diet memainkan peranan utama pada pembentukan sifat

    feses, yang mana penting pada pembentukan fekalit. Kejadian apendisitis jarang

    di negara yang sedang berkembang, dimana diet tinggi serat menghasilkan

    konsistensi feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah

    penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan menghasilkan

    feses dengan konsistensi keras. (Gearhart.S.L & Silen.W, 2008)

    2.5.2. Peranan Obstruksi

    Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam apendisitis

    akut. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen apendiks pada 20%

    anak-anak dengan apendisitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah

    serat Frekuensi obstruksi meningkat sesuai dengan derajat proses inflamasi.

    Fekalit ditemukan 40% pada kasus apendisitis sederhana (simpel), sedangkan

    pada apendisitis akut dengan gangren tanpa ruptur terdapat 65% dan apendisitis

    akut dengan gangren disertai ruptur terdapat 90%. (Gearhart.S.L & Silen.W,

    2008)

    Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan mengalami

    edema dan hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi virus di sistem

    gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan menyebabkan obstruksi

    lumen apendiks. (Gearhart.S.L & Silen.W, 2008)

    Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada kolon bagian distal yang

    diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini merupakan salah satu alasan

    terjadinya apendisitis pada neonatus. (Gearhart.S.L & Silen.W, 2008)

    Universitas Sumatera Utara

  • Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi

    mukosa apendiks karena parasit seperti Entamuba histolitica dan benda asing

    mungkin tersangkut di apendiks untuk jangka waktu yang lama tanpa

    menimbulkan gejala, namun cukup untuk menimbulkan risiko terjadinya

    perforasi. (Gearhart.S.L & Silen.W, 2008)

    Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya apendisitis adalah adanya

    obstruksi lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Sekresi mukosa

    yang terkumpul selama adanya obstruksi lumen apendiks menyebabkan distensi

    lumen akut sehingga akan terjadi kenaikkan tekanan intraluminer dan sebagai

    akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia. Akibat dari keadaan tersebut

    akan terjadi ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh lapisan dinding apendiks ,

    lebih lanjut akan terjadi perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam

    submukosa. Dengan adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi

    berupa peradangan supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding

    yang masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer

    akan semakin meningkat, sehingga desakan pada dinding apendiks akan

    bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa dinding apendiks.

    Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa limfatika, kemudian vena dan

    terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema dan iskemia dari apendiks,

    infark seterusnya melanjut menjadi gangren. Keadaan ini akan terus berlanjut

    dimana dinding apendiks akan mengalami perforasi, sehingga pus akan tercurah

    kedalam rongga peritoneum dengan akibat terjadinya peradangan pada

    peritoneum parietale. Hasil akhir dari proses peradangan tersebut sangat

    tergantung dari kemampuan organ dan omentum untuk mengatasi infeksi tersebut,

    jika infeksi tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-

    anak omentum belum berkembang dengan sempurna, sehingga kurang efektif

    untuk mengatasi infeksi, hal ini akan mengakibatkan apendiks cepat mengalami

    komplikasi. (Gearhart S.L. & Silen W.,2008)

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.5.3 Peranan Flora Bakterial

    Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya

    beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam

    apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur dari cairan

    peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis sederhana. Pada tahap

    apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak

    ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme termasuk Proteus,

    Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik

    yang paling banyak dijumpai adalah E.coli. Sebagian besar penderita apendisitis

    gangrenosa atau apendisitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik

    terutama Bacteroides fragilis. (Gearhart S.L. & Silen W., 2008)

    2.6 Manifestasi Klinis

    Merupakan kasus akut abdomen yang dimulai dengan ketidak nyamanan

    perut dibagian atas, diikuti dengan mual dan penurunan nafsu makan. Nyeri

    menetap dan terus menerus, tapi tidak begitu berat dan diikuti dengan kejang

    ringan di daerah epigastrium, kadang diikuti pula dengan muntah, kemudian

    beberapa saat nyeri pindah ke abdomen kanan bawah.

    Nyeri menjadi terlokalisir, yang menyebabkan ketidak enakan waktu

    bergerak, jalan atau batuk. Penderita kadang juga mengalami konstipasi.

    Sebaliknya karena ada gangguan fungsi usus bisa mengakibatkan diare, dan hal

    ini sering dikacaukan dengan gastroenteritis akut. Penderita apendisitis akut

    biasanya ditemu berbaring di tempat tidur serta memberikan penampilan

    kesakitan(somatic pain).

    Pemeriksaan pada abdomen kanan bawah, menghasilkan nyeri terutama

    bila penderita disuruh batuk. Pada palpasi dengan satu jari di regio kanan bawah

    ini, akan teraba defans musculer ringan . Tujuan palpasi adalah untuk menentukan

    apakah penderita sudah mengalami iritasi peritoneum atau belum. Pada

    pemeriksaan auskultasi, peristaltik usus masih dalam batas normal, atau kadang

    Universitas Sumatera Utara

  • sedikit menurun. Suhu tubuh sedikit naik, kira-kira 7,8 o

    C, pada kasus appendix

    yang belum mengalami komplikasi. Nyeri di epigastrium kadang merupakan awal

    dari appendicitis yang letaknya retrocaecal/ retroileal. Untuk appendix yang

    terletak retrocaecal tersebut, kadang lokasi nyeri sulit ditentukan bahkan tidak ada

    nyeri di abdomen kanan bawah. Karena letak appendix yang dekat dengan uretra

    pada lokasi retrocaecal ini, sehingga menyebabkan frekuensi urinasi bertambah

    dan bahkan hematuria. Sedangkan pada appendix yang letaknya pelvical, kadang

    menimbulkan gejala seperti gastroenteritis akut.

    2.7 Nilai Leukosit pada Apendisitis Akut

    Pemeriksaan laboratorium merupakan alat bantu diagnosis yang masih

    merupakan bagian penting untuk menilai awal keluhan nyeri kwadran kanan

    bawah dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut. Pada pasien dengan

    apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit akan meningkat,

    walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik. Penyakit infeksi pada pelvis

    terutama pada wanita akan memberikan gambaran laborotorium yang terkadang

    sulit dibedakan dengan apendisitis akut. (Brian K.S., 2009)

    Pada pasien dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik

    apendisitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya lekositosis

    10.000-18.000/mm3. Menurut Raffensperger (1990), jika jumlah lekosit lebih dari

    18.000/mm3

    maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis. (Brian K.S.,

    2009)

    Universitas Sumatera Utara