Chapter II

download Chapter II

of 21

Transcript of Chapter II

  • TINJAUAN PUSTAKA

    Eceng Gondok

    Eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan tumbuhan air yang tumbuh di

    rawa-rawa, danau, waduk dan sungai yang alirannya tenang. Menurut sejarahnya,

    eceng gondok di Indonesia dibawa oleh seorang ahli botani dari Amerika ke kebun

    Raya Bogor. Akibat pertumbuhan yang cepat (3% per hari), eceng gondok ini mampu

    menutupi seluruh permukaan suatu kolam. Eceng gondok tersebut lalu dibuang

    melalui sungai disekitar Kebun Raya Bogor sehingga menyebar ke sungai-sungai,

    rawa-rawa dan danau-danau di seluruh Indonesia. Eceng gondok dewasa, terdiri dari

    akar, bakal tunas, tunas atau stolon, daun, petiole, dan bunga. Daun-daun eceng

    gondok berwarna hijau terang berbentuk telur yang melebar atau hamper bulat dengan

    garis tengah sampai 15 sentimeter. Pada bagian tangkai daun terdapat masa yang

    menggelembung yang berisi serat seperti karet busa. Kelopak bunga berwarna ungu

    muda agak kebirua. Setiap kepala putik dapat menghasilkan sekitar 500 bakal biji atau

    5000 biji setiap tangkai bunga, sehigga eceng gondok dapat berkembang biak dengan

    dua cara yaitu dengan tunas dan biji.

    Komposisi kimia eceng gondok tergantung pada kandungan unsure hara

    tempatnya tumbuh, dan sifat daya serap tanaman tersebut. Eceng gondok mempunyai

    sifat-sifat yang baik antara lain dapat menyeraplogam-logam berat, senyawa sulfida,

    selain itu mengandung protein lebih dari 11,5% dan mengandung selulosa yang lebih

    tinggi besar dari non selulosanya seperti lignin, abu, lemak, dan zat-zat lain.

    Kompos

    Kompos adalah zat akhir suatu proses fermentasi tumpukan sampah/serasah

    tanaman dan adakalanya pula termasuk bangkai binatang. Sesuai dengan humifikasi

    Universitas Sumatera Utara

  • fermentasi suatu pemupukan dicirikan oleh hasil bagi C/N besar yang menurun.Bahan-

    bahan mentah yang biasa digunakan seperti; merang, daun, sampah dapur, sampah

    kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai hasil bagi C/N yang melebihi 30

    (Sutedjo, 2002).

    Di alam terbuka, kompos bisa terjadi dengan sendirinya, lewat proses alamiah.

    Namun proses tersebut berlangsung lama sekali padahal kebutuhan akan tanah yang

    subur sudah mendesak. Oleh karenanya proses tersebut perlu dipercepat dengan

    bantuan manusia. Dengan cara yang baik, proses mempercepat pembuatan kompos

    berlangsung wajar sehingga bisa diperoleh kompos yang berkualitas baik

    (Murbandono, 2000).

    Kompos ibarat multi-vitamin untuk tanah pertanian. Kompos akan

    meningkatkan kesuburan tanah, merangsang perakaran yang sehat. Kompos

    memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organic tanah dan

    akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah.

    Aktivitas mikroba tanahyang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan

    penambahan kompos. Aktivitas mikroba ini membantu tanaman untuk menyerap

    unsure hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat merangsang

    pertumbuhan tanaman. Aktivitas mikroba tanah juga diketahui dapat membantu

    tanaman menghadapi serangan penyakit.

    Kompos memilki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek:

    Aspek ekonomi:

    1. Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah

    2. Mengurangi volume/ukuran limbah

    3. Meiliki nilai jual yang lebih tinggi daripada bahan asalnya

    Universitas Sumatera Utara

  • Aspek lingkungan:

    1. Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah

    2. Mengurangi kebtuhan lahan untuk penimbunan

    Aspek bagi tanah/tanaman:

    1. Meningkatkan kesuburan tanah

    2. Memperbaiki struktur dan karakteristik tanah

    3. Meningkatkan kapasitas jerap air tanah

    4. Meningkatkan aktivitas mikroba tanah

    5. Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen)

    6. Menyediakan hormone dan vitamin bagi tanaman

    7. Menekan pertumbuhan/srangan penyakit tanaman

    8. Meningkatkan retensi/ketersediaan hara di dalam tanah

    (Isroi; Wikipedia, 2008)

    Kompos dibuat dari bahan organic yang berasal dari bermacam-macam

    sumber. Dengan demikian, kompos merupakan sumber bahan organic dan nutrisi

    tanaman. Kemungkinan bahan dasar kompos mengandung selulose 15-60%,

    hemiselulose 10-30%, lignin 5-30%, protein 5-30%, disamping itu tedapat bahan larut

    air panas dan dingin (gula, pati, asam amino, urea, garam ammonium) sebanyak 2-

    30% dan 1-15% lemak larut eter dan alcohol, minyak dan lilin (Sutanto, 2002).

    Pengomposan

    Menurut Simamora dan Salundik (2002) pengomposan merupakan proses

    perombakan (dekomposisi) dan stabilisasi bahan organik oleh mikroorganisme dalam

    keadaan lingkungan yang terkenali (terkontrol) dengan hasil akhir berupa humus dan

    Universitas Sumatera Utara

  • kompos. Dalam mengunakan aktivator pengomposan strategi yang lebih maju adalalah

    dengan memanfaatkan organisme yang dapat mempercepat proses

    pengomposan.organisme yang sudah banyak dimanfaatkan misalnya cacing tanah.

    Proses pengomposannya disebut vermikompos dan kompos yang dihasilkan dikenal

    dengan sebutan kascing. Organisme lain yang banyak dipergunakan adalah mikroba,

    baik bakteri, aktinomicetes maupun kapang/cendawan. Saat ini dipasaran banyak

    sekali beredar activator-aktivator pengomposan, misalnya Promi, OrgaDec, SuperDec,

    ActiComp, EM4, Stardec, Starbio, BioPos, dan lain-lain. Activator yang menggunakan

    Promi, OrgaDec, SuperDec dan Acticomp tidak memerlukan tambahan bahan-bahan

    lain dan tanpa pengadukan secara berkala. Namun, kompos perlu ditutup/sungkup

    untuk mempertahankan suhu dan kelembaban agar proses proses pengomposan

    berjalan optimal dan cepat. Pengomposan dapat dipercepat hingga 2 minggu untuk

    bahan-bahan lunak/mudah dikomposkan hingga 2 bulan untuk bahan-bahan keras/sulit

    dikomposkan (Isroi; Wikipedia, 2008).

    Prinsip pengomposan adalah menurunkan nilai nisbah C/N bahan organik

    menjadi sama dengan nisbah C/N tanah. Nisbah C/N adalah hasil perbandingan antara

    karbohidrat dan nitrogen yang terkandung didalam suatu bahan. Nilai nisbah C/N

    tanah adalah 10-12. Bahan organik yang mamiliki nisbah C/N sama dengan tanah

    memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman (Djuarnani dkk, 2005).

    Dalam proses pengomposan terjadi perubahan seperti 1) karbohidrat, selulosa,

    hemiselulosa, lemak, dan lilin menjadi CO2 dan air 2) zat putih telur menjadi

    amoniak, CO2 dan air 3) peruraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat

    diserap tanaman. Dengan perubahan tersebut kadar karbohidrat akan hilang atau turun

    Universitas Sumatera Utara

  • dan senyawa N yang larut (amonia) meningkat. Dengan demikian C/N semakin rendah

    dan relative stabil mendekati C/N tanah (Indriani, 2007).

    Ada dua mekanisme proses pengomposan berdasarkan ketersediaan oksigen

    bebas, yakni pengomposan secara aerobik dan anaerobik.

    a. Pengomposan secara aerobic

    Pada pengomposan secara aeorobik, oksigen mutlak dibutuhkan.

    Mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan membutuhkan oksigen dan

    air untuk merombak bahan organik dan mengasimilasikan sejumlah karbon, nitrogen,

    fosfor, belerang dan unsure lainnya untuk sintesis protoplasma sel tubuhnya

    (Simamora dan Salundik, 2006).

    Dalam system ini kurang lebih 2/3 unsur karbon (C) menguap menjadi CO2

    dan sisanya 1/3 bagian bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup. Selama proses

    pengomposan aerobik tidak timbul bau busuk. Selama proses pengomposan

    berlangsung akan terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan

    energi (Sutanto, 2002).

    Hasil dari dekomposisi bahan organik secara aerobik adalah CO2, H2O

    (air), humus dan energi. Proses dekomposisi bahan organik secara aerobik dapat

    disajikan dengan reaksi sebagai berikut:

    Bahan Organik

    (Djuarnani dkk, 2005).

    b. Pengompsan secara Anaerobik

    Dekomposisi secara anaerobik merupakan modifikasi biologis secara struktur

    kimia dan biologi bahan organic tanpa kehadiran oksigen (hampa udara).

    Universitas Sumatera Utara

  • Proses ini merupakan proses yang dingin dan tidak terjadi fluktuasi temperatur

    seperti yang terjadi pada proses pengomposan secara aerobik.Namun,pada proses

    anaerobik perlu tambahan panas dari luar sebesar 300C (Djurnani dkk,2005).

    Pengomposan anaerobic akan menghasilkan gas mentah (CH4), karbondioksida

    (CO2), dan asam organic yang memiliki bobot molekul rendah seperti asam asetat,

    asam propionate, asam butirat, asam laktat, dan asam suksinat. Gas metan bisa

    dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternative (biogas). Sisanya berupa lumpur yang

    mengandung bagian padatan dan cairan. Bagian padatan ini yang disebut kompos.

    Namun, kadar airnya masih tinggi sehingga sebelum digunakan harus dikeringkan

    (Simamora dan Salundik,2006).

    Pembuatan kompos pada prinsipnya cukup mudah bisa dilakukan dengan cara

    membiarkan bahan organic hingga melapuk atau menambahkan activator untuk

    mempercepat proses pengomposan. Pembuatan kompos dapat dilakukan dengan

    berbagai cara, diantaranya:

    c. Pembuatan kompos dengan cacing tanah (Vermicomposting)

    Vermikompos merupakan bahan campuran hasil proses pengomposan bahan

    organic yang memanfaatkan kegiatan cacing tanah. Apabila kegiatan cacing tanah

    dibiarkan dalam waktu beberapa bulan tanpa penambahan bahan organic baru, maka

    keseluruhan bahan berubah menjadi kasting. Cacing tanah dapat mengkonsumsi semua

    jenis bahan organic seberat tubuh cacing. Sebagai contoh 1 kg cacing tanah setiap

    hari mampu mengkonsumsi bahan organic seberat 1 kg. Komposisi hara produk akhir

    proses pengomposn konvensional (casting) mengandung cukup banyak hara tersedia,

    termasuk nitrat, fosfor, kalsium dan magnesium. Berdasarkan hasil penelitian oleh

    Universitas Sumatera Utara

  • Tapiador (1981) 1000 ton bahan organic lembab dapat diubah oleh cacing tanah

    menjadi 300 ton kompos (Sutanto, 2002).

    Untuk dapat bernapas, cacing tanah hanya mengandalkan kulitnya karena

    tidak memiliki alat pernapasan. Oksigen yang digunakan untuk proses metabolisme

    tubuh diambil dari udara dengan bantuan pembuluh darah yang terdapat dibawah

    kutikula. Pembuluh darah itupun dapat berfungsi melepaskan karbondioksida (CO2)

    sebagai sisa hasil metabolism. Namun, agar proses bernapas pada cacing tanah dapat

    berlangsung dengan baik, kelembaban lingkungannya harus cukup tinggi (Palungkun,

    1999).

    Bermacam-macam spesies cacing tanah yang masing-masing memerlukan

    kondisi linkungan yang berbeda: jenis tanah dan pH, kandungan lengas dan

    temperature. Spesies local harus dipilih apabila akan digunakan untuk kultur cacing,

    karena lebih adaptif dengan kondisi setempat. Kecuali ada pertimbangan lain,

    misalnya kemampuan cacing tanah dalam memanfaatkan limbah organic. Lumbricus

    rubellus (cacing tanah berwarna merah) dan Eisenia foetida merupakan cacing yang

    toleran pada temperatur yang tinggi sehingga sangat bermanfaat. Pengomposan model

    ini selain diperoleh vermikompos yang kaya hara, juga dihasilkan biomassa cacing

    sebagai sumber protein hewani (Sutanto, 2002).

    Faktor Yang Mempengaruhi Pengomposan

    a. Ukuran Bahan

    Bahan yang berukuran kecil akan cepat didekomposisi kerena luas

    permukaannya meningkat dan mempermudah aktivitas mikroorganisme perombak.

    Ukuran bahan mentah yang terlalu kecil akan menyebabkan rongga udara berkurang

    sehingga timbunan menjadi lebih mampat da pasokan oksigen ke dalam timbunan

    Universitas Sumatera Utara

  • akan semakin berkurang. Jika pasokan oksigen berkurang, mikroorganisme yang ada

    di dalamnya tidak bisa bekerja secara optimal (Djuarnani, dkk, 2005).

    Bahan organik perlu dicacah sehingga berukuran kecil. Bahan yang keras

    sebaliknya dicacah hingga berukuran 0.5-1 cm, sedangkan bahan yang tidak keras

    dicacah dengan ukuran yang agak besar sekitar 5 cm. pencacahan bahan yang tidak

    keras sebaliknya tidak terlalu kecil karena bahan yang terlalu hancur (banyak air)

    (kelembabannya menjadi tinggi) (Indriani, 2007).

    b. Nisbah C/N Kondisi kelengasan dan bahan dasar kompos menentukan nisbah C/N dan nilai

    pupk kompos. Hasil akhir kompos hara mengandung antara 30-60% bahan

    organic.pengujian kimiawi termasuk pengkuran C, N dan nisbah C/N merupakan

    indicator kematangan kompos. Apabila nisbah C/N kompos 20 atau lebih kecil

    berarti kompos tersebut siap digunakan. Akan tetapi, nisbah C/N bahan kompos yang

    baik dapat berkisar antara 5 dan 20 (Sutanto, 2002).

    Jika C/N tinggi, aktivitas biologi mikroorganisme akan berkurang. Selain itu,

    diperlukan beberapa siklus mikroorganisme untuk menyelesaikan degradasi bahan

    kompos sehingga waktu pengomposan akan lebih lama dan kompos yang dihasilkan

    akan memilki mutu rendah. Jika nisbah C/N terlalu rendah atau kurang dari 30,

    kelebihan nitrogen N yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi

    dan akan hilang melalui volatisasi sebagai amonia atau terdenitrifikasi (Djuarnani,

    dkk, 2005).

    Universitas Sumatera Utara

  • Pada proses dekomposisi bahan organik, sebahagian C akan diassimilasikan dalam

    mikroorganisme dan sebahagian lagi hilang dalam bentuk CO2 oleh proses respirasi.

    Rasio C dan N dari mikroorganisme berkisar 10. Oleh karena itu jika bahan memiliki

    ratio C dan N tinggi maka perlu penambahan N, dan jika ratio C/N bahan organik

    rendah maka N yang terlalu banyak akan hilang.

    Tingkat kelembaban dan aerasi tidak mempengaruhi jumlah C dan N yang

    hilang, tetapi rasio C/N dari residu mempengaruhi jumlah N yang tervolatilisasi pada

    proses pengomposan. Sedangkan jumlah C yang hilang dalam bentuk gas berkorelasi

    dengan BOD5 (ketersediaan C) dari bahan. Jumlah N yang hilang juga berhubungan

    dengan panjang berlangsungnya proses pengomposan (Baca et al., 2001). Dari

    hubungan antara C dan N yang hilang dalam proses pengomposan menunjukkan

    bahwa 85% dari total awal N kompos tersedia bagi mikrobia untuk tumbuh dan 70%

    dari C tersedia hilang sebagai CO2 selama proses immobilisasi.

    Mikroorganisme akan mengikat nitrogen tetapi tergantung pada ketersediaaan

    karbon. Apabila ketersediaan karbon terbatas (nisbah C/N terlalu rendah)tidak cukup

    senyawa sebagai sumber energy yang dapat dimanfaatkan mikroorganisme untuk

    mengikat seluruh nitrogen bebas. Dalam hal ini jumlah nitrogen bebas dilepaskan

    dalam bentuk gas NH3- dan kompos yang dihasilkan mempunyai kualitas rendah.

    Apabila ketersediaan karbon berlebihan (C/N>40) jumlah nitrogen sangat terbatas

    sehingga merupakan factor pembatas pertumbuhan mikroorganisme. Proses

    dekomposisi menjadi terhambat karena kelebihan karbon pertama kali harus

    dibakar/dibuang oleh mikroorganisme dalam bentuk CO2 (Sutanto, 2002).

    Universitas Sumatera Utara

  • Dari hubungan antara C dan N yang hilang dalam proses pengmposan

    menunjukkan bahwa 85% dari total awal N kompos tersedia bagi mikroba untuk

    tumbuh dan 70% dari C tersedia hilang sebagai CO2 selama proses immobilisasi (Baca

    et al., 1993).

    c. Komposisi Bahan

    Pengomposan dari beberapa macam bahan akan lebih baik dan lebih cepat.

    Pengomposan bahan organic dari tanaman akan lebih cepat bila ditambah dengan

    kotoran hewan. Ada juga yang menambah bahan makanan dan zat pertumbuhan yang

    dibutuhkan mikroorganisme sehingga selain dari bahan organik, mikroorganisme juga

    mendapatkan bahan tersebut dari luar (Indriani, 2007).

    Laju dekomposisi bahan organik juga tergantung dari sifat bahan yang akan

    dikomposkan. Sifat bahan tanaman tersebut diantaranya jenis tanaman, umur, dan

    komposisi kimia tanaman. Semakin muda umur tanaman maka proses dekomposisi

    akan berlangsung lebih cepat. Hal ini disebabkan kadar airnya masih tinggi, kadar

    nitrogennya tinggi , imbangan C/N yang sempit serta kandungan lignin yang rendah

    (Simamora dan Salundik, 2006)

    d. Kelembaban dan Aerasi

    Bahan mentah yang baik untuk penguraian atau perombakan berkadar air 50-

    70%. Bahan dari hijauan biasanya tidak memerlukan tamabahan air, sedangkan cabang

    tanaman yang kering atau rumput-rumputan harus diberi air saat dilakukan

    penimbunan. Kelembaban timbunan secara menyeludiusahakan sekitar 40-60%

    (Musnamar.2006). aerasi yang tidak seimbang akan menyebabkan timbunan berada

    dalam keadaan anaerob dan akan mebyebabkan bau busuk dari gas yang banyak

    mengandung belerang (Djuarnani dkk, 2005).

    Universitas Sumatera Utara

  • Kandungan kelembaban udara optimum sangat diperlukan dalam proses

    pengomposan. Kisaran kelembaban yang ideal adalah 40-60% dengan nilai yang

    paling baik adalah 50%. Kelembaban yang optimum harus dijaga untuk memperoleh

    jumlah mikroorganisme yang maksimal sehingga proses pengomposan dapat berjalan

    dengan cepat. Apabila kondisi tumpukan terlalu lembab, tentu dapat menghambat

    pertumbuhan mikroorganisme karena molekul air akan mengisi rongga udara sehingga

    terjadi kondisi anaerobic yang akan menimbulkan bau. Bila tumpukan terlalu kering

    (kelembaban kurang dari 40%), dapat mengakibatkan berkurangnya populasi

    milroorganisme pengurai karena terbatasnya habitat yang ada (Anonim, 2008).

    e. Temperatur

    Pada pengomposan secara aerobic akan terjadi kenaikan temperature yang

    cukup cepat selama 3-5 hari pertama dan temperature kompos dapat mencapai 55-

    700C. kisaran temperatur tersebut merupakan yang terbaik bagi pertumbuhan

    mikrooranisme. Pada kisaran temperature ini, mikroorganisme dapat tumbuh 3

    kali lipat dibandingkan dengan temperatur yang kurang dari 550C. Selain itu, pada

    temperature tersebut enzim yang dihasilkan juga paling efektif menguraikan bahan

    organic. Penurunan nisbah C/N juga dapat berjalan dengan sempurna

    (Djuarnani dkk, 2005).

    Kegagalan untuk mencapai temperature termofilik dalam waktu 3 sampai 6

    hari disebabkan timbunan terlalu tipis untuk mempertahankan panas atau kelembaban

    yang berlebihan atau nisbah C/N bahan organic terlalu rendah atau hara yang

    dikandung kompos terlalu rendah. Pendinginan mrupakan indicator selesinya proses

    Universitas Sumatera Utara

  • pengomposan, meskipun bahan kompos telah dibalik dan disiram tidak timbul panas

    (Sutanto, 2002).

    Berdasarkan kemampuan bertahan hidup, mikroba terbagi atas 3 kelompok,

    yaitu psycrofilik (50100C), mesofilik (10/150C40/450C) dan termofilik (40/450C

    700C). Suhu yang berkisar antara 600C dan 700C merupakan kondisi optimum

    kehidupan mikroorganisme tertentu (Sutanto, 2002) dan membunuh patogen yang

    tidak kita kehendaki. Ukuran reaktor kompos terutama tingginya mempengaruhi suhu

    kompos. Semakin tinggi volume timbunan dibanding permukaan maka semakin

    mudah timbunan menjadi panas. Timbunan bahan yang paling ideal menurut

    Murbandoro (2000) adalah 1,22 m.

    f. Keasaman (pH)

    Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas

    mikroorganisme. Kisaran pH yang baik yaitu sekitar 6,5-7,5 (netral). Oleh karena itu,

    dalam proses pengomposan sering diberi tambahan kapur atau abu dapur untuk

    menaikkan pH (Indriani, 2007).

    Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang

    optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5-7,5. pH kotoran ternak

    umumnya berkisar antara 6,8 hingga 7,4. Proses pengomposan sendiri akan

    menyebabkan perubahan pada bahan organic dan pH bahan itu sendiri. Sebagai

    contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau local, akan menyebabkan

    penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi ammonia dari senyawa-senyawa

    yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan.

    Universitas Sumatera Utara

  • pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral (Wikipedia Indonesia,

    2008).

    g. Pengadukan atau Pembalikan Tumpukan

    Pengadukan sangat diperlukan agar cepat tercipta kelembaban yang dibutuhkan

    saat proses pengomposan berlangsung. Pengadukan pun dapat menyebabkan

    terciptanya udara dibagian dalam timbunan, terjadinya penguarian bahan organic yang

    mampat, dan proses penguraian berlangsung merata. Hal ini terjadi karena lapisan

    pada bagian tengah tumpukan akan terjadi pengomposan cepat. Pembalikan sebaliknya

    dilakukan dengan cara pemindahan lapisan atas ke lapisan tengah., lapisan tengah ke

    lapisan bawah, dan lapisan bawah ke lapisan atas (Musnamar, 2006).

    Pencampuran yang kurang baik dari komposan yang mempunyai tingkat

    kematangan berbeda harus dihindarkan karena menyebabkan terjadinya genangan di

    tempat-tempat tertentu, kehilangan struktur yang tidak seragam dan nisbah hara yang

    tidak seimbang dari timbunan kompos. Pada kondisi yang menguntungkan , awal

    homogenesis limbah dapat dilaksanakan pada saat pengumpulan limbah dan

    kemungkinan melalui proses penghalusan. Homogenisasi dan pencampuran bahan

    dasar kompos dan bahan aditif sekaligus mengatur kandungan lengas dari bahan yang

    sudah matang (Sutanto, 2002).

    h. Organisme Perombak

    Jasad hidup dalam tanah atau mikroorganisme tanah terdiri dari dua golongan

    besar, yaitu golongan fauna dan golongan flora. Golongan fauna terdiri dari mikro

    fauna (protozoa dan nematoda), mesofauna (Collembola dan akarina), dan makro

    Universitas Sumatera Utara

  • fauna (cacing tanah, semut, rayap). Golongan flora terdiri dari mikro flora (Bakteri,

    fungi, ganggang dan aktinomicetes).

    Dilihat dari fungsinya, mikroorganisme mesofilik yang hidup pada temperature

    rendah (10-450C) berfungsi untuk memperkecil ukuran partikel bahan organic

    sehingga luas permukaan bahan bertambah dan mempercepat proses pengomposan.

    Sementara itu, bakteri termofilik yang hidup pada temperature tinggi (45-650C) yang

    tumbuh dalam waktu tebatas berfungsi untuk mengkonsumsi karbohidrat dan protein

    sehingga bahan kompos dapat terdegredasidengan cepat (Djuarnani dkk, 2005).

    Mikrorganisme kelompok mesophilik dan termophilik melakukan proses

    pencernaan secara kimiawi, dimana bahan organic dilarutkan dan kemudian diuraikan.

    Cara kerjanya yaitu dengan mengeluarkan enzim yang dilarutkan enzim yang

    dilarutkan kadalam selaput air (water film) yang melapisi bahan organic, enzim

    tersebut berfungsi menguraikan bahan organic menjadi unsure-unsure yang mereka

    serap, karena terjadi di permukaan bahan, maka proses proses penguraian ini akan

    mengakibatkan mikroorganisme. Demikian seterusnya, semakin besar

    populasi mikroorganisme, semakin cepat pula proses pembusukan (Rochaeni

    dkk, 2008).

    Semua organisme hidup termasuk fungi memerlukan nutrient untuk

    mendukung pertumbuhannya. Nutrient berupa unsure-unsur atau senyawa kimia dari

    lingkungan digunakan sel sebagai konstituen kimia penyusun sel. Secara umum,

    nutrient yang diperlukan dalam bentuk karbon, nitrogen, sulfur, fosfor, kalium,

    magnesium, natrium, kalsium, nutrient mikro (besi, mangan, zinc, kobalt,

    molybdenum) dan vitamin. Karbon, menempati posisi yang unik karena semua

    Universitas Sumatera Utara

  • organism hidup memiliki karbon sebagai salah salah satu senyawa pembangun tubuh

    (Gandjar dkk, 2006).

    Produk dari Proses Pengomposan

    Kualitas kompos sangat ditentukan oleh tingkat kematangan kompos,

    disamping kandungan logam beratnya. Bahan organic yang tidak terdekomposisi

    secara sempurna akan menimbulkan efek yang merugikan pertumbuhan tanaman.

    Penambahan kompos yang belum matang kedalam tanah dapat menyebabkan

    terjadinya persaingan bahan nutrient antara tanaman dan mikroorganisme tanah.

    Keadaan ini dapat mengganggu pertumbuhan tanaman (Djuarnani dkk, 2005).

    Menurut Isroi ( 2008), secara umum kompos yang sudah matang dapat

    dicirikan dengan sifat sebagai berikut:

    1. Berwarna coklat tua hingga hitam mirip dengan warna tanah

    2. Tidak larut dalam air, meski sebagian kompos dapat membentuk suspense

    3. Nisbah C/N sebesar 10-20, tergantung dari bahan baku dan derajat humifikasinya

    4. Berefek baik jika diaplikasikan pada tanah

    5. Suhunya kurang lebih sama dengan suhu lingkungan, dan

    6. Tidak berbau

    Menurut IPPT (2001), keunggulan dari vermikompos adalah sebagai berikut:

    1. Vermikompos mengandung berbagai unsure hara yang dibutuhkan tanaman seperti

    N, P, K, Ca, Mg, S, Fe, Mn, Al, Na, Cu, Zn, Bo, dan Mo tergantung pada bahan

    yang digunakan, dapat meningkatkan kesuburan tanah, dan juga dapat membantu

    proses penghancuran limbah organic

    Universitas Sumatera Utara

  • 2. Vermikompos berperan memperbaiki kemampuan menahan air, membantu

    menyediakan nutrisi bagi tanaman, memperbaiki struktur tanah dan menetralkan pH

    tanah

    3. Vermikompos mempunyai kemampuan air sebesar 40-60%. Hal ini karena struktur

    vermikompos yang memiliki ruang-ruang yang mampu menyerap dan menyimpan

    air, sehingga mampu mempertahankan kelembaban

    Produk dari proses pengomposan yang dihasilkan oleh cacing kotoran cacing

    (kascing) yang biasanya lebih netral dari tanah dimana cacing tersebut hidup. Salah

    satu kemungkinan alasannya adalah bahwa cacing tanah menetralisir tanah pada saat

    melaluinya dengan mengeluarkan kelenjar kalsiferous. Hal ini ada yang meragukan

    dan memberikan alasan lain yaitu bahwa kotoran cacing dinetralisir oleh sekresi dari

    ususnya dan oleh ammonia yang dikeluarkan oleh cacing (Anas, 1990).

    Tabel 3. Komposisi Komponen Kimiawi pada Kascing Komponen Komposisi (%) Nitrogen (N) 1,1-4,0 Fosfor (P) 0,3-3,5 Kalium (K) 0,2-2,1 Belerang (S) 0,24-0,63 Magnesium (Mg) 0,3-0,6 Besi (Fe) 0,4-1,6 Kalsium (Ca) 0,25-0,6 (Sumber: Palungkun, 1999) Tabel 4. Standar Kualitas Kompos Secara Umum Komponen Kandungan (%) Kadar air 41,00-43,00 C-organik 4,83-8,00 N 0,10-0,51 P2O5 0,35-1,12

    Universitas Sumatera Utara

  • K2O 0,32-0,80 Ca 1,00-2,09 Mg 0,10-0,19 Fe 0,50-0,64 Al 0,50-0,92 Mn 0,02-0,04 (Sumber: Musnamar, 2006).

    Bahan dan Metode

    Tempat dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian

    Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan April sampai

    Mei 2009.

    Bahan dan Alat Penelitian

    Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah eceng gondok

    sebagai bahan bahan yang dikomposkan dan kotoran lembu sebagai aktifator, T.

    harzianum dan E. fetida sebagai perombak bahan organic, media (PDA) untuk tempat

    tumbuh T. harzianum, air sebagai pelarut sekaligus menyiram kompos supaya terjaga

    kelembabannya dan bahan kimia lainnya untuk keperluan analisis.

    Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sterofom untuk tempat

    kompos, thermometer untuk mengukur temperature kompos, botol untuk tempat

    NaOH, timbangan dan alat-alat lainnya yang diperlukan untuk analisis.

    Metode Penelitian

    Universitas Sumatera Utara

  • Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non factorial

    dengan 4 perlakuan dan 6 ulangan.

    Masing-masing perlakuan adalah:

    D0 = 1kg eceng gondok

    D1 = 1kg eceng gondok + 10g E. fetida

    D2 = 1kg eceng gondok + 100mL T. harzianum

    D3 = 1kg eceng gondok + 100mL T. harzianum + 10g E. fetida

    Dengan demikian diperoleh 24 unit percobaan (4x6)

    Model Linier Rancangan Acak Kelompok (RAK) non factorial: Yij = + i + j + ij Dimana: Yij = nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan Blok ke-j

    = nilai tengah umum

    i = pengaruh perlakuan ke-i

    j = pengaruh blok ke-j

    ij = pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan blok ke-j

    Pelaksanaan Penelitian

    Persiapan Agen Perombak di Laboratorium Biologi Tanah FP USU

    a. Perbanyakan T. harzianum

    1. Diambil 1 ose dari media agar miring (koleksi pribadi) kemudian digoreskan ke

    media PDA padat lalu diinkubasi selama 3 hari

    2. Dipurifikasikan ke media PDA padat lalu diinkubasi selama 3 hari sampai

    mendapatkan biakan murni

    Universitas Sumatera Utara

  • 3. Diambil biakan murni tersebut sebanyak 1x1 cm dari permukaan media

    kemudian dimasukkan ke media PDA cair untuk diperbanyak lalu diinkubasi

    selama 1 minggu

    b. Persiapan Cacing

    1. Diambil E. fetida

    2. Ditentukan bobotnya setelah itu diaplikasikan ke kompos

    Persiapan Bahan Organik

    Eceng gondok dipotong-potong menjadi kecil-kecil dengan ukuran kurang dari

    5cm, hal ini bertujuan agar memperluas permukaan perombakan oleh mikroorganisme

    dan cacing tanah yang diberikan sehingga dapat mempercepat proses dekomposisi

    eceng gondok. Eceng gondok yang telah dicacah dicampur dengan kotoran lembu

    kering udara 100g/kg eceng gondok.

    Pengomposan

    Eceng gondok sebanyak 1 kg kering udara yang telah dicacah dimasukkan

    kedalam sterofom. Kemudian diberi agen perombak T. harzianum dan E.

    fetida (setelah kompos berumur 8 hari) sesuai dengan perlakuan. Kemudian dilakukan

    pencampuran bahan sampai homogen dan disiram dengan air sampai kondisi cukup

    lembab. Pengomposan ini menggunakan metode vermikompos (Mulat, 2003).

    Pemeliharaan

    Universitas Sumatera Utara

  • Pemeliharaan kompos meliputi penyiraman, pembalikan, pengukuran respirasi

    CO2 dan temperature kompos dilakukan setiap hari, dengan tujuan menjaga fluktuasi

    respirasi CO2 dan temperatur tersebut.

    Akhir Pengomposan Akhir pengomposan ditandai dengan berubahnya laju respirasi CO2, nisbah

    C/N dan temperature selama 26 hari masa pengomposan.

    Pengukuran CO2 selama Pengomposan (Schinner et al, 1996), dengan tahapan sebagai

    berikut:

    1. Dimasukkan NaOH (0,05M) kedalam botol

    2. Botol tersebut dihubungkan langsung dengan menggunakan selang ke sterofom

    yang berisi kompos eceng gondok

    3. Diinkubasi selama 1 hari

    4. Dituang NaOH (0,05M) tadi kedalam beaker gelas

    5. Ditambahkan 2 mL BaCl2 (0,5M) lalu diberi 4 tetes larutan indicator

    6. Kemudian titrasi dengan HCl (0,1M)

    Untuk kontrol, lakukan prosedur diatas tanpa eceng gondok

    mgCO2/gdm.24h = dmSWx

    xxsc%

    1002,2)(

    keterangan:

    C = Volume HCl yang digunakan kontrol (mL)

    S = Volume HCl yang digunakan sampel (mL)

    2,2 = Faktor konversi (1 mL dari 0,1M HCl equivalen dengan

    2,2 mg CO2)

    SW = Berat eceng gondok

    Universitas Sumatera Utara

  • 100% -1 dm = Faktor kekeringan eceng gondok yang terjadi

    Parameter Penelitian

    - Respirasi CO2 (mgCO2/g dm.24h)

    Respirasi CO2 dengan metode titrasi yang diukur setiap hari selama 25 hari masa

    pengomposan

    - Nisbah C/N

    Nisbah C/N diukur pada awal (0 hari), tengah (12 hari), dan akhir (25 hari) masa

    pengomposan

    - Temperatur (0C)

    Temperature diukur setiap hari selama 25 hari masa pengomposan

    - pH

    pH diukur pada (0 hari), tengah (12 hari), dan akhir (25 hari) masa pengomposan

    - Bobot Cacing Tanah (g)

    Bobot cacing tanah diukur pada akhir pengomposan

    Universitas Sumatera Utara