Chapter II
-
Upload
premawahini -
Category
Documents
-
view
39 -
download
5
Transcript of Chapter II
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Indeks Massa Tubuh
Komposisi tubuh didefinisikan sebagai proporsi relatif dari jaringan lemak
dan jaringan bebas lemak dalam tubuh. Penilaian komposisi tubuh diperlukan
untuk berbagai alasan. Ada korelasi kuat antara obesitas dan peningkatan risiko
berbagai penyakit kronis (penyakit arteri koroner), diabetes, hipertensi, kanker
tertentu, hiperlipidemia. Menilai komposisi tubuh dapat membantu untuk
menetapkan berat badan yang optimal bagi kesehatan dan kinerja fisik (ACSM,
2008).
Antropometri adalah pengukuran tubuh manusia yang mencakup body
weight dan body dimension/build. Ada beberapa teknik yang lazim digunakan:
tinggi badan / berat badan, lingkar, dan tebal lipatan kulit. Berbagai teknik
pengukuran antropometri dilakukan pada berbagai lokasi pengukuran yang
berbeda dengan instrumen yang berbeda-beda pula. Beberapa teknik (seperti
penilaian tebal lipatan kulit) adalah untuk mengestimasi komposisi tubuh atau
lemak tubuh, sementara teknik lain (seperti IMT) adalah penilaian untuk body
build (ACSM, 2008; Thang et al., 2006).
Ada beberapa cara untuk mengevaluasi komposisi tubuh
manusia. Komposisi tubuh dapat diperkirakan melalui pemeriksaan di
laboratorium maupun di lapangan dengan cara yang bervariasi dalam hal
kompleksitas, biaya, dan akurasi. Salah satu cara yang paling akurat untuk menilai
komposisi tubuh adalah dengan hydrostatic weighing. Hydrostatic weighing, juga
dikenal sebagai underwater weighing, merupakan kriteria standar/ baku emas
untuk menilai komposisi tubuh. Meskipun secara teori sederhana, pemeriksaan ini
memerlukan peralatan laboratorium yang mahal dan seringkali tidak nyaman
untuk subjek. Oleh karena itu, pemeriksaan ini jarang dilakukan (ACSM, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Menurut ACSM (2008) dan dikemukakan dalam penelitian Thang et al.
(2006), berikut ini adalah beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
menilai antropometri:
1. Tabel tinggi badan dan berat badan
2. Indeks Massa Tubuh
3. Rasio pinggang-pinggul (Waist-to-hip ratio)
4. Lingkar
5. Tebal lipatan kulit
6. Bioelectrical Impedance Analysis
7. Hydrostatic weighing
Indeks Massa Tubuh (IMT) dihitung dengan menggunakan persamaan
berat badan dalam kilogram/kuadrat tinggi badan dalam meter. Untuk Asia
Pasifik, WHO mengklasifikasikan IMT menjadi:
Tabel 2.1 Klasifikasi IMT Berdasarkan WHO untuk Asia Pasifik IMT (kg/m2) Kategori
< 18.5 Underweight 18.5 – 22.9 Normoweight 23 – 24.9 Overweight
> 25 Obese Sumber: So dan Choi, 2010
Penggunaan IMT sebagai parameter dalam menentukan total lemak tubuh
seseorang memiliki beberapa keuntungan dan kekurangan dibanding cara yang
lain. Pengukuran IMT dapat memperkirakan total lemak tubuh dengan
perhitungan yang sederhana, cepat, dan murah dalam populasi tertentu.
Pengukuran IMT rutin dilakukan dan sering digunakan dalam studi-studi
epidemiologi. Namun kelemahannya, IMT tidak dapat menjelaskan tentang
distribusi lemak dalam tubuh seperti pada obesitas sentral maupun obesitas
abdominal maupun menggambarkan jaringan lemak viseral. Nilai IMT berbeda
dalam ras/etnis tertentu dan tidak membedakan antara laki-laki maupun
perempuan. Nilai IMT yang tinggi belum tentu karena jaringan lemak tapi dapat
Universitas Sumatera Utara
juga karena jaringan otot (Thang et al., 2006; Shakher et al., 2004 dalam
Tomlinson et al., 2008).
2.2 Kebugaran Fisik
Kebugaran fisik menurut Sadoso (1992) dalam Sinaga (2004) adalah
kemampuan fungsional seseorang dalam melakukan pekerjaan sehari-hari yang
relatif cukup berat untuk jangka waktu yang cukup tanpa menimbulkan kelelahan
yang berlebihan serta masih mempunyai tenaga cadangan untuk melakukan hal-
hal yang mendadak, setelah selesai bekerja dapat pulih ke keadaan semula dalam
waktu yang relatif singkat pada saat istirahat.
Kebugaran fisik diperlukan tidak hanya oleh atlet untuk performa yang
lebih baik tetapi juga untuk nonatlet untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani
(Prajapati et al., 2008).
Kebugaran fisik terbagi menjadi dua komponen yaitu kebugaran fisik
terkait kesehatan (health related component) dan kebugaran fisik terkait
kemampuan atletis (performance or skill related component). Kebugaran fisik
terkait kesehatan mencakup kebugaran kardiorespirasi, komposisi tubuh,
fleksibilitas, kekuatan otot, dan ketahanan otot. Kebugaran fisik terkait
kemampuan atletis mencakup keseimbangan, waktu reaksi, koordinasi,
ketangkasan, kecepatan, dan kekuatan (ACSM, 2008).
Kebugaran kardiorespirasi mencerminkan kemampuan fungsional dari
jantung, pembuluh darah, darah, paru-paru, dan otot yang terkait selama berbagai
jenis tuntutan latihan. Secara khusus, kebugaran kardiorespirasi memengaruhi
berbagai respon fisiologis yaitu saat istirahat, dalam menanggapi latihan
submaksimal, dalam menanggapi latihan maksimal, dan selama kerja yang
berkepanjangan (Lee et al., 2010; Martinez-Viscaino dan Sanchez-Lopez, 2008).
Kebugaran kardiorespirasi adalah sinonim untuk banyak istilah yang
mungkin digunakan untuk hal yang sama. Hal ini dapat membingungkan. Menurut
Universitas Sumatera Utara
ACSM (2008), berikut ini adalah daftar istilah yang pada dasarnya mengacu pada
hal yang sama:
• Kapasitas Aerobik Maksimal
• Kapsitas Fungsional
• Physical Work Capacity
• Ambilan atau Konsumsi Oksigen Maksimal
• VO2max
• Cardiovascular Endurance, Fitness, or Capacity
• Cardiorespiratory Endurance, Fitness, or Capacity
• Cardiopulmonary Endurance, Fitness, or Capacity
Kebugaran kardiorespirasi adalah kemampuan sistem peredaran darah dan
pernapasan untuk memasok bahan bakar dan oksigen selama aktivitas fisik yang
berkelanjutan. Penelitian menemukan bahwa dengan rendahnya kebugaran pada
usia dewasa muda dikaitkan dengan perkembangan faktor risiko penyakit
kardiovaskular pada usia pertengahan (Steele et al., 2008).
Kebugaran kardiorespirasi yang tinggi akan meningkatkan sensitivitas
insulin, meningkatkan transportasi glukosa yang diperantarai oleh insulin dari
darah ke otot, memperbaiki fungsi sistem saraf, dan menurunkan denyut
jantung. Selain itu juga akan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase pada
otot rangka sehingga akan meningkatkan bersihan trigliserida plasma,
meningkatkan transportasi lipid dan lipoprotein dari sirkulasi perifer dan jaringan
ke hati. Semua hal ini dapat terjadi jika seseorang memiliki kebugaran
kardiorespirasi yang baik (Carnethon et al., 2003).
2.3 Ambilan Oksigen Maksimal (VO2max)
Ambilan oksigen maksimal (VO2max) merupakan karakteristik fisiologis
yang dibatasi oleh persamaan Fick:
volume diastolik akhir ventrikel kiri – volume akhir sistolik ventrikel kiri x denyut
jantung x perbedaan oksigen darah arteri-vena.
Universitas Sumatera Utara
VO2max adalah suatu ukuran seberapa banyak jumlah oksigen tubuh dapat
diproses untuk menghasilkan energi. Hal ini diukur dalam milimeter oksigen per
kilogram berat badan per menit (Levine, 2007).
VO2max adalah hasil dari curah jantung maksimal dan ekstraksi O2 maksimal oleh
jaringan, dan keduanya meningkat dengan latihan. Perubahan yang terjadi pada
otot rangka dengan latihan adalah peningkatan jumlah mitokondria dan enzim
yang berperan dalam metabolisme oksidatif. Terjadi peningkatan jumlah kapiler
dengan distribusi darah ke serat otot menjadi lebih baik. Efek akhir ialah ekstraksi
O2 yang lebih sempurna dan akibatnya untuk beban kerja yang sama, peningkatan
pembentukan laktat lebih rendah. Peningkatan aliran darah ke otot menjadi lebih
rendah dan karena hal ini, kecepatan denyut jantung dan curah jantung kurang
meningkat dibanding orang yang tidak terlatih (Ganong, 2001).
VO2max adalah kadar oksigen tertinggi yang dapat dikonsumsi selama
latihan, yang menggambarkan fungsi paru, kardiovaskular, dan hematologi serta
mekanisme oksidasi dari otot yang aktif selama proses latihan. Selain itu VO2max
dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam latihan aerobik dengan VO2max
menentukan kebugaran kardiorespirasi (Armstrong dan Welsman, 1997).
Jika seseorang melakukan kerja, makin berat kerja yang dilakukan, makin
tinggi konsumsi oksigennya. Pada awalnya, jika beban latihan ditambah akan
diikuti dengan kenaikan konsumsi oksigen. Pada suatu saat ketika beban kerja
ditambah terus, tidak diikuti lagi oleh penambahan konsumsi oksigen dan
konsumsi oksigen mulai konstan. Jika hal ini digambarkan pada suatu kurva
konsumsi oksigen memperlihatkan gambar yang mendatar (plateau). Pada
keadaan ini dikatakan ambilan oksigennya sudah maksimum (VO2max). Namun,
hanya sebagian orang yang menunjukkan gambaran yang mendatar (plateau)
dalam konsumsi oksigennya walaupun latihan yang dilakukan sudah menjadi
kelelahan. Jika hal ini terjadi, konsumsi oksigen tertinggi yang dicapai disebut
VO2peak (Armstrong dan Welsman, 1997).
VO2max adalah salah satu pengukuran yang sering digunakan dalam ilmu
keolahragaan. Konsepnya adalah ada sejumlah oksigen yang ditranspor dengan
kecepatan tertentu ke mitokondria untuk mendukung fosforilasi oksidatif yang
Universitas Sumatera Utara
akan menghasilkan ATP (adenosine tri phosphate) untuk melakukan
aktivitas fisik (Levine, 2007).
VO2max telah digunakan secara luas dalam ilmu klinis sebagai alat ukur
dalam menilai performa olahraga, penanda kebugaran dan penyakit jantung, dan
bahkan sebagai sinyal bahwa pasien dengan gagal jantung berada di ambang
dekompensasi dan harus dirujuk untuk transplantasi jantung (Levine, 2007).
2.4 Faktor-Faktor Yang Memengaruhi VO2max
Pada intinya ada tiga faktor yang menentukan ambilan oksigen maksimal:
1. Curah Jantung (cardiac output)
Curah jantung adalah volume darah yang dipompa oleh jantung dalam satu
menit. Curah jantung merupakan hasil kali stroke volume dengan denyut
jantung. Volume sekuncup (stroke volume) adalah volume darah yang dipompa
keluar dari ventrikel kanan atau kiri per menit. Denyut jantung adalah jumlah
kontraksi jantung per menit. Curah jantung pada individu dalam keadaan istirahat
rata-rata sekitar 5 liter/menit. Detak jantung individu tidak terlatih dalam keadaan
normal adalah sekitar 72 kali per menit, sehingga volume sekuncupnya sekitar 70
mililiter. Volume sekuncup akan meningkat dengan olahraga dan curah jantung
maksimal pada individu yang sangat terlatih bisa mencapai 40 liter/menit.
Kemampuan untuk menghasilkan curah jantung yang tinggi merupakan penentu
utama untuk memiliki nilai ambilan oksigen maksimal yang tinggi (Ganong,
2001; Vander et al., 2001; The Nicholas Institute of sports Medicine and Athletic
Trauma [NISMAT], 2007).
2. Jumlah hemoglobin dalam sel darah merah
Pada sebagian besar individu, jumlah hemoglobin dalam darah sekitar 15
gram/ 100 ml darah. Setiap gram hemoglobin dapat mengikat sekitar 1,34 ml
oksigen. Jadi, 15 gram hemoglobin dalam 100 ml darah dapat membawa oksigen
sekitar 20 ml setelah melewati paru-paru. Kemampuan jaringan untuk mengambil
oksigen dari darah disebut sebagai ekstraksi oksigen (Ganong, 2001; Vander et
al., 2001; NISMAT, 2007).
Universitas Sumatera Utara
3. Jumlah otot yang terlibat dalam latihan dan kemampuan otot untuk
memanfaatkan oksigen yang dipasok.
Semakin besar massa otot rangka yang diberikan beban kerja, semakin
besar potensi untuk meningkatkan ambilan oksigen tubuh. Otot yang terbiasa
terhadap latihan memiliki kemampuan yang lebih besar/baik untuk mengekstraksi
oksigen dari darah karena otot-otot tersebut menggunakan oksigen dengan cepat
dan memiliki lebih banyak kapiler-kapiler pembuluh darah (Ganong, 2001;
Vander et al., 2001; NISMAT, 2007).
Menurut Foss dan Keteyian (1998) dalam Cheevers dan Pettersen (2007)
setidaknya ada satu atau lebih kriteria tercapai untuk menunjukkan bahwa VO2max
telah diukur:
1. Tidak ada peningkatan lebih lanjut dalam ambilan oksigen meskipun beban
latihan terus ditingkatkan.
2. Konsentrasi laktat darah di atas 70-80 mg/dl
3. Respiratory Exchanged Ratio antara 1.10 – 1.15
Faktor-faktor yang memengaruhi ambilan oksigen maksimum (VO2max):
1. Jenis Kelamin
VO2max laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Hal ini disebabkan
karena konsentrasi hemoglobin dalam darah pada laki-laki lebih tinggi
daripada perempuan.
2. Umur
Nilai VO2max mencapai puncak pada usia 18-20 tahun. Nilai ini akan
berkurang secara bertahap (1% per tahun) setelah usia 25 tahun. Pada
orang yang aktif secara fisik, penurunan terjadi 5% per dekade, sedangkan
pada orang dengan gaya hidup sedenter, penurunan VO2max mencapai 10%
per dekade (Strijk, 2010)
3. Komposisi dan Ukuran Tubuh
Bervariasi menurut massa, tinggi badan maupun luas permukaan tubuh
4. Genetika
Universitas Sumatera Utara
Pengaruh genetika adalah sekitar 25% - 40% untuk VO2max (Church et al.,
2005)
5. Ketinggian
VO2max menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian di atas 1600 m.
Untuk setiap kenaikan 1000 m diatas 1600 m, ambilan oksigen maksimum
akan menurun sekitar 8% - 11%. VO2max berkurang 26% pada ketinggian
4000 m. Penurunan ini terjadi karena penurunan curah jantung (hasil kali
volume sekuncup dengan denyut jantung). Volume sekuncup mengalami
penurunan karena terjadinya penurunan volume plasma darah.
6. Latihan
Latihan merupakan kegiatan terstruktur yang direncanakan dan dirancang
untuk meningkatkan kebugaran fisik secara keseluruhan (Steele et al.,
2008). Kebiasaan latihan pada seseorang memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap VO2max, hal ini bervariasi antara 5% - 20% tergantung
dari kebugaran pada saat melakukan uji kebugaran.
2.5 Pengukuran VO2max
Kebugaran kardiorespirasi dapat dinilai dengan berbagai teknik, secara
langsung ataupun tidak langsung. Kebugaran kardiorespirasi dapat diukur secara
langsung di dalam laboratorium atau secara tidak langsung dengan diprediksi
menggunakan banyak metode (ACSM, 2008).
Ada tiga jenis tes yang umum untuk menilai kebugaran kardiorespirasi,
yaitu tes di lapangan (field test), tes dengan kekuatan sub maksimal (sub maximal
exertion), dan tes dengan kekuatan maksimal (maximal exertion) (ACSM, 2008).
Pada tes di lapangan, subjek melakukan suatu latihan dengan jarak tertentu
atau melakukan latihan menurut waktu yang ditetapkan untuk memprediksi
kebugaran kardiorespirasi. Tes ini umumnya menuntut upaya maksimal untuk
memperoleh hasil terbaik dalam menentukan kebugaran kardiorespirasi. Metode
pengujian meliputi berjalan, berjalan dan berlari, berlari, bersepeda, berenang, dan
lain-lain (ACSM, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Pada tes dengan beban kerja submaksimal (submaximal exertion) dapat
menggunakan tes langkah (step test) atau tes dengan tahapan tunggal maupun
multi-protokol untuk memprediksi kapasitas aerobik maksimal atau kebugaran
kardiorespirasi. Variabel tertentu diukur dari test ini (biasanya respon denyut
jantung), dari hasil tersebut dapat diestimasi nilai kebugaran
kardiorespirasi. Metode pengujian mencakup tes langkah (step test), treadmill,
bersepeda, dan lain-lain. Sebagian dari tes ini dilakukan di laboratorium (ACSM,
2008).
Tes dengan beban kerja maksimal (maximal exertion) menggunakan tes
olahraga yang berjenjang dan progresif untuk mengukur kelelahan. Dengan
demikian, tes ini menggunakan tenaga semaksimal mungkin. Tes ini menetukan
nilai kebugaran kardiorespirasi bukan sekedar memprediksi nilai kebugaran
kardiorespirasi. Tes ini dilakukan dengan atau tanpa pengumpulan gas metabolik
dan dilakukan di laboratorium (ACSM, 2008).
Pengukuran terbaik terhadap kemampuan maksimal sistem kardiorespirasi
adalah dengan beban kerja maksimal. Pengukuran secara langsung, yaitu dengan
menggunakan spirometer sirkuit terbuka atau tertutup (untuk mengumpulkan gas
metabolik atau gas yang diekspirasikan) selama latihan dengan treadmill dan
ergocycle di laboratorium. Namun cara ini tidak dapat dilakukan di lapangan,
sehingga dilakukan uji tidak langsung, yaitu digunakan estimasi VO2max dengan
uji submaksimal menggunakan ergocycle, treadmill atau step test. Menurut
penelitian tidak terdapat perbedaan bermakna antara pengukuran cara langsung
dan tidak langsung. Pada tiap protokol hubungan antara denyut jantung maksimal
dengan beban maksimal telah diuji. Kapasitas VO2max kemudian diestimasikan
dari perhitungan VO2max pada beban maksimal (ACSM, 2008).
Menentukan tingkat kebugaran kardiorespirasi paling baik dengan
pengukuran secara langsung nilai VO2max ketika malakukan latihan. VO2max
menggambarkan kemampuan tubuh untuk mentransportasikan oksigen dan
menggunakannya. Mengukur VO2max secara langsung biasanya melalui latihan
fisik bertahap dan menggunakan protokol tes tertentu yang paling sesuai dengan
orang yang akan ditentukan VO2max-nya (Cheevers dan Pettersen, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Pengukuran langsung VO2max adalah cara terbaik namun juga memiliki
beberapa kelemahan, antara lain tes sulit dan sangat melelahkan. Banyak orang,
terutama penderita penyakit kronis tidak dapat mencapai nilai VO2max yang
sebenarnya, hal ini bukan dikarenakan keterbatasan pasokan oksigen tetapi karena
faktor lain seperti kelelahan mental, katakutan, hilangnya motivasi, dan
munculnya gejala nyeri dada maupun pandangan gelap. Menurut Durstine dan
Moore (2003) dalam Cheevers dan Pettersen (2007), jika hal tersebut terjadi,
berarti orang tersebut dikatakan mengalami symptom-limited exhaustion dan
hanya mencapai nilai VO2peak.
Menurut Maud dan Foster (1995) dalam Cheevers dan Pettersen (2007),
pengukuran VO2max secara langsung juga memerlukan peralatan yang mahal,
instruktur yang terlatih dan kehadiran seorang ahli jantung atau dokter diharuskan.
Berdasarkan alasan di atas, pengukuran VO2max secara langsung tidaklah praktis
untuk screening secara umum dan populasi yang besar.
Tes langkah telah ada selama lebih dari 50 tahun dalam pengujian
kebugaran. Ada banyak protokol yang telah dikembangkan yang menggunakan tes
langkah untuk memprediksi kebugaran kardiorespirasi. Penulis akan membahas
penggunaan Mc Ardle Step Test atau Queens College Step Test untuk
memprediksi VO2max (ACSM, 2008).
Pada tes ini, subjek akan melangkah ke atas dan ke bawah pada bangku
dengan standar tinggi yang telah ditetapkan, selama jangka waktu tertentu dalam
irama langkah yang telah ditetapkan. Setelah periode waktu tes selesai, denyut
nadi radialis pada masa pemulihan akan diukur dan digunakan dalam
memprediksi VO2max. Semakin rendah denyut nadi radialis pada masa pemulihan,
semakin bugar individu tersebut (ACSM, 2008).
Secara umum, tes langkah hanya menggunakan sedikit peralatan dan
cukup sederhana. Yang diperlukan adalah sebuah arloji, metronom, dan sebuah
bangku dengan tinggi tertentu. Tindakan pencegahan khusus untuk keamanan
diperlukan bagi mereka yang mungkin memiliki masalah keseimbangan atau
kesulitan dengan melangkah (ACSM, 2008).
Prosedur McArdle Step Test
Universitas Sumatera Utara
1. Subjek melangkah ke atas dan ke bawah pada bangku dengan ketinggian
16,25 inchi (41,30 cm) selama 3 menit.
2. Subjek laki-laki melangkah dengan irama 24 kali per menit, sedangkan
perempuan 22 kali per menit. Irama ini harus dipantau dan diatur dengan
penggunaan metronom elektronik. Dua puluh empat kali per menit berarti
bahwa melangkah ke atas dengan satu tungkai, diikuti dengan tungkai
yang lain, kemudian melangkah turun dengan satu tungkai, dan diikuti
dengan tungkai yang lain, dilakukan 24 kali dalam satu menit.
3. Setelah selesai (setelah 3 menit) subjek diminta untuk tetap berdiri dan
denyut nadi radialis diukur dari detik ke-5 sampai detik ke-20 periode
pemulihan. Denyut nadi selama 15 detik tersebut dikonversi menjadi
denyut per menit dengan dikalikan empat.
Besar VO2max ditentukan dari denyut nadi pada periode pemulihan melalui rumus:
Untuk Laki-laki: VO2max (ml/kg/min) = 111.33 - (0.42 x DJ)
Untuk Perempuan: VO2max (ml/kg/min) = 65.81 - (0.1847 x DJ)
DJ= denyut jantung (kali/menit) di arteri radialis pada periode pemulihan
Tabel 2.2 Klasifikasi VO2max pada McArdle Step Test berdasarkan Pulsasi Nadi Radialis (kali/menit)
Jenis Kelamin
Sangat Baik Baik Cukup Kurang Sangat
Kurang
Laki-laki < 121 148 - 121 156 – 149 162 - 157 > 162
Perempuan < 129 158 - 129 166 – 159 170 – 167 > 170
Sumber: ACSM, 2008
Sehingga besar VO2max berdasarkan rumus menjadi:
Tabel 2.3 Klasifikasi Nilai VO2max Jenis
Kelamin
Sangat
Baik Baik Cukup Kurang
Sangat
Kurang
Laki-laki > 60.5 49.2 – 60.5 45.8 – 48.8 43.3 – 45.4 < 43.3
Universitas Sumatera Utara
Perempuan > 42 36.6 - 42 35.2 – 36.4 34.4 - 35 < 34.4
Untuk melakukan Mc Ardle Step Test, ada persyaratan yang harus
dipenuhi, yaitu tidak berada pada keadaan yang kontraindikasi, baik relatif
maupun absolut untuk melakukan tes ini. Yang menjadi kontraidikasi absolut
adalah ada riwayat miokard infark, angina tidak stabil, aritmia jantung, stenosis
aorta, gagal jantung, emboli paru akut, miokarditis atau perikarditis akut. Yang
menjadi kontraidikasi relatif adalah stenosis arteri coroner, stenosis katup, hamil,
ketidakseimbangan elektrolit, hipertensi, takiaritmia, bradiaritmia, kardiomiopati,
AV blok, gangguan sistem muskuloskeletal, demensia atau kondisi psikiatri
lainnya (ACSM, 2008).
2.6 Hubungan Antara Indeks Massa Tubuh dengan Kebugaran Fisik
Ada banyak sekali faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan
jaringan adiposa, salah satu yang dihipotesiskan adalah berkurangnya kebugaran
kardiorespirasi. Kebugaran kardiorespirasi adalah salah satu faktor determinan
kesehatan sepanjang hidup yang independen. Pada usia dewasa, tingginya
kebugaran kardiorespirasi merupakan faktor proteksi terhadap penyakit
kardiovaskuler dan semua penyebab mortalitas. Pada usia dewasa muda,
kebugaran kardiorespirasi memiliki hubungan terbalik dengan tekanan darah,
kolesterol total, dan penanda proinflamasi (Byrd-William et al., 2008).
Kelebihan berat badan memberikan pengaruh buruk hampir pada semua
sistem di dalam tubuh manusia. Pada dasarnya pengaruh buruk tersebut berasal
dari 2 faktor:
1. Peningkatan massa dari jaringan adiposa
2. Peningkatan sekresi produk patogenik dari sel-sel lemak yang membesar
Peningkatan jaringan adiposa, khususnya jaringan adiposa viseral,
berhubungan dengan penurunan fungsi endotel pembuluh darah. Fungsi endotel
mengacu pada kapasitas fungsional secara umum dari sel endotel pembuluh darah,
Universitas Sumatera Utara
terutama dalam menghasilkan dan melepaskan nitric oxide (NO). Berkurangnya
sintesis dan/atau ketersediaan NO berhubungan dengan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, inflamasi, adhesi, trombosis, dan berkurangnya kemampuan
vasodilatasi. Selain itu abnormalitas fungsi endotel berhubungan dengan sejumlah
faktor penyakit kardiovaskuler (Davison et al., 2010).
Peningkatan asam lemak bebas dari hasil sel-sel lemak pada individu yang
mengalami obesitas berperan dalam terjadinya resistensi insulin. Penurunan
kebugaran kardiorespirasi merupakan pertanda awal terjadinya resistensi insulin
pada orang yang menderita diabetes mellitus (DM) tipe 2. Tahap awal terjadinya
resistensi insulin pada pasien DM tipe 2 adalah terganggunya aktivitas
mitokondria. Kaplan et al. (1991) dalam Leite et al. (2009) mengemukakan bahwa
insulin memainkan peranan yang penting dalam meregulasi fungsi transporter
anion di mitokondria selama terjadinya siklus Kreb. Jika mitokondria terganggu
maka konsumsi glukosa dan oksigen akan terganggu dan hal ini akan berdampak
pada kemampuan seseorang untuk memiliki tingkat kebugaran yang baik dan
sebagai konsekuensi nilai VO2max orang tersebut akan rendah.
Pada individu yang mengalami obesitas, terjadi pelepasan sitokin,
khususnya IL-6, yang menstimulasi faktor-faktor proinflamasi. Selain itu, juga
terjadi peningkatan sekresi protrombin activator inhibitor-1 dari sel-sel lemak
yang membuat orang obesitas memiliki faktor prokoagulan yang lebih sensitif.
Hal ini kemudian berpengaruh pada fungsi endotel dan akan meningkatkan risiko
penyakit jantung dan hipertensi. Produksi estrogen dari massa stroma memainkan
peranan dalam risiko terjadinya kanker payudara. Keseluruhan efek ini akan
meningkatkan risiko terjadinya pemendekan usia harapan hidup (Bray, 2004).
Jumlah lemak tubuh yang berlebihan juga akan menghambat fungsi
jantung pada saat melakukan latihan. Hal ini terjadi karena otot-otot yang aktif
bekerja pada saat latihan gagal untuk melakukan ekstraksi oksigen akibat deposisi
jaringan lemak yang tidak proporsional. Pada individu yang kehilangan berat
badan selama program penurunan berat badan, terjadi peningkatan VO2max karena
terjadi pengurangan jumlah lemak yang dapat menghambat penggunaan oksigen
oleh otot (Chatterjee et al., 2005).
Universitas Sumatera Utara
Tekanan darah meningkat pada individu yang kelebihan berat badan.
Hipertensi pada orang yang kelebihan berat sangat berkaitan dengan terganggunya
aktivitas saraf simpatik. Pada individu yang mengalami kegemukan terjadi
peningkatan nerve firing rate dibanding individu dengan berat badan normal.
Akibatnya terjadi peningkatan yang tidak seimbang dalam output jantung karena
peningkatan aktivitas simpatik yang meningkatkan tekanan darah. Selain itu juga
terjadi peningkatan resistensi perifer. Kegemukan dan hipertensi berinteraksi
dengan fungsi jantung (Laxmi, 2008).
Obesitas dikaitkan dengan tingginya prevalensi hipertrofi ventrikel kiri.
Pola yang paling umum dari geometri ventrikel kiri pada orang gemuk adalah
hipertrofi konsentris. Kombinasi kelebihan berat badan dan hipertensi
menyebabkan penebalan dinding ventrikel sehingga terjadi hipertrofi ventrikel.
Hipertrofi ventrikel akan menyebabkan volume jantung menjadi lebih besar
sehingga kemungkinan besar dapat terjadi gagal jantung. Penyebab lain terjadinya
hipertrofi ventrikel kiri pada obesitas termasuk efek trofik dari hormon yang
disekresikan lemak. Bila fungsi jantung terganggu atau menurun maka kebugaran
kardiorespirasi akan terganggu juga (Shakher et al., 2004 dalam Tomlinson et al.,
2008).
Peningkatan lemak tubuh memberikan dampak yang signifikan hampir
pada semua sistem yang ada di dalam tubuh manusia. Tingginya deposisi lemak
akan memengaruhi cardiac output karena terjadi penebalan ventrikel. Akibatnya
jumlah darah yang dipompakan menjadi lebih sedikit, oksigen yang diedarkan ke
otot yang sedang bekerja juga menjadi sedikit. Deposisi lemak juga akan
menghambat otot dalam menggunakan pasokan oksigen dari darah. Hal ini
diperburuk dengan peningkatan resistensi pembuluh darah akibat penumpukan
lemak yang dapat menghambat pendistribusian oksigen ke seluruh sel dalam
tubuh. Semua hal ini akan mengakibatkan berkurangnya ambilan oksigen. Jika hal
ini terus menerus terjadi maka akan terjadi penurunan dalam kebugaran
kardiorespirasi seseorang. Penurunan kardiorespirasi akan memperburuk dampak
Universitas Sumatera Utara
negatif yang telah ditimbulkan dari peningkatan lemak tubuh, akibatnya risiko
morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan menjadi meningkat (Bray, 2004).
Pada individu yang overweight dan obese, tubuh akan menjadi kurang
sensitif dan terjadi keterbatasan tubuh dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-
hari secara leluasa. Obesitas akan memberikan beban yang terlalu berat untuk
jantung dengan meningkatnya low density lipoprotein (LDL) dan menurunnya
high density lipoprotein (HDL). Beban yang terlalu berat akan mengganggu
fungsi jantung, bahkan dapat menyebabkan gagal jantung. Hal ini dapat
diinterpretasikan sebagai penurunan kebugaran kardiorespirasi (Ming et al., 1999;
So dan Choi, 2010).
Obesitas berhubungan dengan resistensi insulin yang akan berakibat
terjadinya hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia akan meningkatkan tekanan darah
secara langsung dengan peningkatan reabsorpsi natrium di tubulus renalis bagian
distal dan secara tidak langsung melalui perangsangan sistem saraf simpatis serta
augmentasi angiotensin II yang diperantarai oleh sekresi aldosteron. Hal ini
menunjukkan bahwa obesitas memainkan peranan penting dalam inisiasi dan
perkembangan hipertensi (Shakher et al., 2004 dalam Tomlinson et al., 2008).
Kebugaran kardiorespirasi bukan hanya merupakan alat ukur objektif
dalam menilai kebiasaan aktivitas fisik, tetapi juga berguna sebagai indikator
diagnostik dan prognostik pada pasien klinis (Lee et al., 2010).
Aktivitas fisik dan kebugaran kardiorespirasi adalah determinan yang
penting dan bersifat dependen sebagai penentu kematian pada individu yang
overweight dan obesitas. Rendahnya aktivitas fisik dan kebugaran kardiorespirasi
juga berhubungan dengan meningkatnya tingkat mortalitas pada individu dengan
diabetes. Ada hubungan terbalik antara angka kematian dengan tingkat kebugaran
pada orang dengan normoweight, overweight, maupun individu yang obesitas
(Church et al., 2005).
Rendahnya kebugaran kardiorespirasi berhubungan kuat dengan tingginya
risiko semua penyebab kematian pada pria dengan diabetes dan hubungan ini
berlaku baik untuk normoweight, overweight, dan obese. Kebugaran yang lebih
tinggi berbanding terbalik dengan kematian akibat penyakit kardiovaskuler pada
Universitas Sumatera Utara
pria dengan diabetes pada IMT normoweight, overweight, atau obese kelas I.
Walaupun kebugaran kardiorespirasi dipengaruhi oleh komponen genetik (25% -
40%), cukup jelas jika latihan fisik yang regular adalah penentu kebugaran
(Church et al., 2005).
Berdasarkan penelitian Ross dan Janiszewski (2008), pada individu yang
mengalami obesitas yang terkait dengan risiko penyakit kardiovaskuler sebaiknya
disarankan untuk melakukan olahraga yang menurunkan berat badan karena akan
memberikan efek yang besar dalam menurunkan risiko terjadinya penyakit
kardiovaskuler. Hal ini dilakukan karena setelah berolahraga terjadi perbaikan
dalam beberapa faktor risiko penyakit kardiometabolik, contohnya, resistensi
insulin akan membaik kurang lebih 20% setelah olahraga aerobik selama satu jam
pada orang yang sehat, orang yang mengalami resistensi insulin, maupun orang
dengan diabetes. Perbaikan ini sebanding dengan intervensi farmakologi.
Olahraga aerobik selama satu jam juga akan menurunkan trigliserida
sampai 10% - 25% dan meningkatkan kolesterol HDL 7% - 15% serta dapat
menurunkan tekanan darah. Olahraga akan memengaruhi komposisi tubuh
terutama mengurangi lemak viseral, selain itu akan memperbaiki fungsi glucose
transporter 4 (GLUT 4) di otot rangka dan meningkatkan efisiensi metabolism
pada otot (Ross dan Janiszewski, 2008).
Universitas Sumatera Utara