Chapter II

16
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Indeks Massa Tubuh Komposisi tubuh didefinisikan sebagai proporsi relatif dari jaringan lemak dan jaringan bebas lemak dalam tubuh. Penilaian komposisi tubuh diperlukan untuk berbagai alasan. Ada korelasi kuat antara obesitas dan peningkatan risiko berbagai penyakit kronis (penyakit arteri koroner), diabetes, hipertensi, kanker tertentu, hiperlipidemia. Menilai komposisi tubuh dapat membantu untuk menetapkan berat badan yang optimal bagi kesehatan dan kinerja fisik (ACSM, 2008). Antropometri adalah pengukuran tubuh manusia yang mencakup body weight dan body dimension/build. Ada beberapa teknik yang lazim digunakan: tinggi badan / berat badan, lingkar, dan tebal lipatan kulit. Berbagai teknik pengukuran antropometri dilakukan pada berbagai lokasi pengukuran yang berbeda dengan instrumen yang berbeda-beda pula. Beberapa teknik (seperti penilaian tebal lipatan kulit) adalah untuk mengestimasi komposisi tubuh atau lemak tubuh, sementara teknik lain (seperti IMT) adalah penilaian untuk body build (ACSM, 2008; Thang et al., 2006). Ada beberapa cara untuk mengevaluasi komposisi tubuh manusia. Komposisi tubuh dapat diperkirakan melalui pemeriksaan di laboratorium maupun di lapangan dengan cara yang bervariasi dalam hal kompleksitas, biaya, dan akurasi. Salah satu cara yang paling akurat untuk menilai komposisi tubuh adalah dengan hydrostatic weighing. Hydrostatic weighing, juga dikenal sebagai underwater weighing, merupakan kriteria standar/ baku emas untuk menilai komposisi tubuh. Meskipun secara teori sederhana, pemeriksaan ini memerlukan peralatan laboratorium yang mahal dan seringkali tidak nyaman untuk subjek. Oleh karena itu, pemeriksaan ini jarang dilakukan (ACSM, 2008). Universitas Sumatera Utara

Transcript of Chapter II

Page 1: Chapter II

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Indeks Massa Tubuh

Komposisi tubuh didefinisikan sebagai proporsi relatif dari jaringan lemak

dan jaringan bebas lemak dalam tubuh. Penilaian komposisi tubuh diperlukan

untuk berbagai alasan. Ada korelasi kuat antara obesitas dan peningkatan risiko

berbagai penyakit kronis (penyakit arteri koroner), diabetes, hipertensi, kanker

tertentu, hiperlipidemia. Menilai komposisi tubuh dapat membantu untuk

menetapkan berat badan yang optimal bagi kesehatan dan kinerja fisik (ACSM,

2008).

Antropometri adalah pengukuran tubuh manusia yang mencakup body

weight dan body dimension/build. Ada beberapa teknik yang lazim digunakan:

tinggi badan / berat badan, lingkar, dan tebal lipatan kulit. Berbagai teknik

pengukuran antropometri dilakukan pada berbagai lokasi pengukuran yang

berbeda dengan instrumen yang berbeda-beda pula. Beberapa teknik (seperti

penilaian tebal lipatan kulit) adalah untuk mengestimasi komposisi tubuh atau

lemak tubuh, sementara teknik lain (seperti IMT) adalah penilaian untuk body

build (ACSM, 2008; Thang et al., 2006).

Ada beberapa cara untuk mengevaluasi komposisi tubuh

manusia. Komposisi tubuh dapat diperkirakan melalui pemeriksaan di

laboratorium maupun di lapangan dengan cara yang bervariasi dalam hal

kompleksitas, biaya, dan akurasi. Salah satu cara yang paling akurat untuk menilai

komposisi tubuh adalah dengan hydrostatic weighing. Hydrostatic weighing, juga

dikenal sebagai underwater weighing, merupakan kriteria standar/ baku emas

untuk menilai komposisi tubuh. Meskipun secara teori sederhana, pemeriksaan ini

memerlukan peralatan laboratorium yang mahal dan seringkali tidak nyaman

untuk subjek. Oleh karena itu, pemeriksaan ini jarang dilakukan (ACSM, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II

Menurut ACSM (2008) dan dikemukakan dalam penelitian Thang et al.

(2006), berikut ini adalah beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk

menilai antropometri:

1. Tabel tinggi badan dan berat badan

2. Indeks Massa Tubuh

3. Rasio pinggang-pinggul (Waist-to-hip ratio)

4. Lingkar

5. Tebal lipatan kulit

6. Bioelectrical Impedance Analysis

7. Hydrostatic weighing

Indeks Massa Tubuh (IMT) dihitung dengan menggunakan persamaan

berat badan dalam kilogram/kuadrat tinggi badan dalam meter. Untuk Asia

Pasifik, WHO mengklasifikasikan IMT menjadi:

Tabel 2.1 Klasifikasi IMT Berdasarkan WHO untuk Asia Pasifik IMT (kg/m2) Kategori

< 18.5 Underweight 18.5 – 22.9 Normoweight 23 – 24.9 Overweight

> 25 Obese Sumber: So dan Choi, 2010

Penggunaan IMT sebagai parameter dalam menentukan total lemak tubuh

seseorang memiliki beberapa keuntungan dan kekurangan dibanding cara yang

lain. Pengukuran IMT dapat memperkirakan total lemak tubuh dengan

perhitungan yang sederhana, cepat, dan murah dalam populasi tertentu.

Pengukuran IMT rutin dilakukan dan sering digunakan dalam studi-studi

epidemiologi. Namun kelemahannya, IMT tidak dapat menjelaskan tentang

distribusi lemak dalam tubuh seperti pada obesitas sentral maupun obesitas

abdominal maupun menggambarkan jaringan lemak viseral. Nilai IMT berbeda

dalam ras/etnis tertentu dan tidak membedakan antara laki-laki maupun

perempuan. Nilai IMT yang tinggi belum tentu karena jaringan lemak tapi dapat

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II

juga karena jaringan otot (Thang et al., 2006; Shakher et al., 2004 dalam

Tomlinson et al., 2008).

2.2 Kebugaran Fisik

Kebugaran fisik menurut Sadoso (1992) dalam Sinaga (2004) adalah

kemampuan fungsional seseorang dalam melakukan pekerjaan sehari-hari yang

relatif cukup berat untuk jangka waktu yang cukup tanpa menimbulkan kelelahan

yang berlebihan serta masih mempunyai tenaga cadangan untuk melakukan hal-

hal yang mendadak, setelah selesai bekerja dapat pulih ke keadaan semula dalam

waktu yang relatif singkat pada saat istirahat.

Kebugaran fisik diperlukan tidak hanya oleh atlet untuk performa yang

lebih baik tetapi juga untuk nonatlet untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani

(Prajapati et al., 2008).

Kebugaran fisik terbagi menjadi dua komponen yaitu kebugaran fisik

terkait kesehatan (health related component) dan kebugaran fisik terkait

kemampuan atletis (performance or skill related component). Kebugaran fisik

terkait kesehatan mencakup kebugaran kardiorespirasi, komposisi tubuh,

fleksibilitas, kekuatan otot, dan ketahanan otot. Kebugaran fisik terkait

kemampuan atletis mencakup keseimbangan, waktu reaksi, koordinasi,

ketangkasan, kecepatan, dan kekuatan (ACSM, 2008).

Kebugaran kardiorespirasi mencerminkan kemampuan fungsional dari

jantung, pembuluh darah, darah, paru-paru, dan otot yang terkait selama berbagai

jenis tuntutan latihan. Secara khusus, kebugaran kardiorespirasi memengaruhi

berbagai respon fisiologis yaitu saat istirahat, dalam menanggapi latihan

submaksimal, dalam menanggapi latihan maksimal, dan selama kerja yang

berkepanjangan (Lee et al., 2010; Martinez-Viscaino dan Sanchez-Lopez, 2008).

Kebugaran kardiorespirasi adalah sinonim untuk banyak istilah yang

mungkin digunakan untuk hal yang sama. Hal ini dapat membingungkan. Menurut

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II

ACSM (2008), berikut ini adalah daftar istilah yang pada dasarnya mengacu pada

hal yang sama:

• Kapasitas Aerobik Maksimal

• Kapsitas Fungsional

• Physical Work Capacity

• Ambilan atau Konsumsi Oksigen Maksimal

• VO2max

• Cardiovascular Endurance, Fitness, or Capacity

• Cardiorespiratory Endurance, Fitness, or Capacity

• Cardiopulmonary Endurance, Fitness, or Capacity

Kebugaran kardiorespirasi adalah kemampuan sistem peredaran darah dan

pernapasan untuk memasok bahan bakar dan oksigen selama aktivitas fisik yang

berkelanjutan. Penelitian menemukan bahwa dengan rendahnya kebugaran pada

usia dewasa muda dikaitkan dengan perkembangan faktor risiko penyakit

kardiovaskular pada usia pertengahan (Steele et al., 2008).

Kebugaran kardiorespirasi yang tinggi akan meningkatkan sensitivitas

insulin, meningkatkan transportasi glukosa yang diperantarai oleh insulin dari

darah ke otot, memperbaiki fungsi sistem saraf, dan menurunkan denyut

jantung. Selain itu juga akan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase pada

otot rangka sehingga akan meningkatkan bersihan trigliserida plasma,

meningkatkan transportasi lipid dan lipoprotein dari sirkulasi perifer dan jaringan

ke hati. Semua hal ini dapat terjadi jika seseorang memiliki kebugaran

kardiorespirasi yang baik (Carnethon et al., 2003).

2.3 Ambilan Oksigen Maksimal (VO2max)

Ambilan oksigen maksimal (VO2max) merupakan karakteristik fisiologis

yang dibatasi oleh persamaan Fick:

volume diastolik akhir ventrikel kiri – volume akhir sistolik ventrikel kiri x denyut

jantung x perbedaan oksigen darah arteri-vena.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II

VO2max adalah suatu ukuran seberapa banyak jumlah oksigen tubuh dapat

diproses untuk menghasilkan energi. Hal ini diukur dalam milimeter oksigen per

kilogram berat badan per menit (Levine, 2007).

VO2max adalah hasil dari curah jantung maksimal dan ekstraksi O2 maksimal oleh

jaringan, dan keduanya meningkat dengan latihan. Perubahan yang terjadi pada

otot rangka dengan latihan adalah peningkatan jumlah mitokondria dan enzim

yang berperan dalam metabolisme oksidatif. Terjadi peningkatan jumlah kapiler

dengan distribusi darah ke serat otot menjadi lebih baik. Efek akhir ialah ekstraksi

O2 yang lebih sempurna dan akibatnya untuk beban kerja yang sama, peningkatan

pembentukan laktat lebih rendah. Peningkatan aliran darah ke otot menjadi lebih

rendah dan karena hal ini, kecepatan denyut jantung dan curah jantung kurang

meningkat dibanding orang yang tidak terlatih (Ganong, 2001).

VO2max adalah kadar oksigen tertinggi yang dapat dikonsumsi selama

latihan, yang menggambarkan fungsi paru, kardiovaskular, dan hematologi serta

mekanisme oksidasi dari otot yang aktif selama proses latihan. Selain itu VO2max

dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam latihan aerobik dengan VO2max

menentukan kebugaran kardiorespirasi (Armstrong dan Welsman, 1997).

Jika seseorang melakukan kerja, makin berat kerja yang dilakukan, makin

tinggi konsumsi oksigennya. Pada awalnya, jika beban latihan ditambah akan

diikuti dengan kenaikan konsumsi oksigen. Pada suatu saat ketika beban kerja

ditambah terus, tidak diikuti lagi oleh penambahan konsumsi oksigen dan

konsumsi oksigen mulai konstan. Jika hal ini digambarkan pada suatu kurva

konsumsi oksigen memperlihatkan gambar yang mendatar (plateau). Pada

keadaan ini dikatakan ambilan oksigennya sudah maksimum (VO2max). Namun,

hanya sebagian orang yang menunjukkan gambaran yang mendatar (plateau)

dalam konsumsi oksigennya walaupun latihan yang dilakukan sudah menjadi

kelelahan. Jika hal ini terjadi, konsumsi oksigen tertinggi yang dicapai disebut

VO2peak (Armstrong dan Welsman, 1997).

VO2max adalah salah satu pengukuran yang sering digunakan dalam ilmu

keolahragaan. Konsepnya adalah ada sejumlah oksigen yang ditranspor dengan

kecepatan tertentu ke mitokondria untuk mendukung fosforilasi oksidatif yang

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II

akan menghasilkan ATP (adenosine tri phosphate) untuk melakukan

aktivitas fisik (Levine, 2007).

VO2max telah digunakan secara luas dalam ilmu klinis sebagai alat ukur

dalam menilai performa olahraga, penanda kebugaran dan penyakit jantung, dan

bahkan sebagai sinyal bahwa pasien dengan gagal jantung berada di ambang

dekompensasi dan harus dirujuk untuk transplantasi jantung (Levine, 2007).

2.4 Faktor-Faktor Yang Memengaruhi VO2max

Pada intinya ada tiga faktor yang menentukan ambilan oksigen maksimal:

1. Curah Jantung (cardiac output)

Curah jantung adalah volume darah yang dipompa oleh jantung dalam satu

menit. Curah jantung merupakan hasil kali stroke volume dengan denyut

jantung. Volume sekuncup (stroke volume) adalah volume darah yang dipompa

keluar dari ventrikel kanan atau kiri per menit. Denyut jantung adalah jumlah

kontraksi jantung per menit. Curah jantung pada individu dalam keadaan istirahat

rata-rata sekitar 5 liter/menit. Detak jantung individu tidak terlatih dalam keadaan

normal adalah sekitar 72 kali per menit, sehingga volume sekuncupnya sekitar 70

mililiter. Volume sekuncup akan meningkat dengan olahraga dan curah jantung

maksimal pada individu yang sangat terlatih bisa mencapai 40 liter/menit.

Kemampuan untuk menghasilkan curah jantung yang tinggi merupakan penentu

utama untuk memiliki nilai ambilan oksigen maksimal yang tinggi (Ganong,

2001; Vander et al., 2001; The Nicholas Institute of sports Medicine and Athletic

Trauma [NISMAT], 2007).

2. Jumlah hemoglobin dalam sel darah merah

Pada sebagian besar individu, jumlah hemoglobin dalam darah sekitar 15

gram/ 100 ml darah. Setiap gram hemoglobin dapat mengikat sekitar 1,34 ml

oksigen. Jadi, 15 gram hemoglobin dalam 100 ml darah dapat membawa oksigen

sekitar 20 ml setelah melewati paru-paru. Kemampuan jaringan untuk mengambil

oksigen dari darah disebut sebagai ekstraksi oksigen (Ganong, 2001; Vander et

al., 2001; NISMAT, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II

3. Jumlah otot yang terlibat dalam latihan dan kemampuan otot untuk

memanfaatkan oksigen yang dipasok.

Semakin besar massa otot rangka yang diberikan beban kerja, semakin

besar potensi untuk meningkatkan ambilan oksigen tubuh. Otot yang terbiasa

terhadap latihan memiliki kemampuan yang lebih besar/baik untuk mengekstraksi

oksigen dari darah karena otot-otot tersebut menggunakan oksigen dengan cepat

dan memiliki lebih banyak kapiler-kapiler pembuluh darah (Ganong, 2001;

Vander et al., 2001; NISMAT, 2007).

Menurut Foss dan Keteyian (1998) dalam Cheevers dan Pettersen (2007)

setidaknya ada satu atau lebih kriteria tercapai untuk menunjukkan bahwa VO2max

telah diukur:

1. Tidak ada peningkatan lebih lanjut dalam ambilan oksigen meskipun beban

latihan terus ditingkatkan.

2. Konsentrasi laktat darah di atas 70-80 mg/dl

3. Respiratory Exchanged Ratio antara 1.10 – 1.15

Faktor-faktor yang memengaruhi ambilan oksigen maksimum (VO2max):

1. Jenis Kelamin

VO2max laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Hal ini disebabkan

karena konsentrasi hemoglobin dalam darah pada laki-laki lebih tinggi

daripada perempuan.

2. Umur

Nilai VO2max mencapai puncak pada usia 18-20 tahun. Nilai ini akan

berkurang secara bertahap (1% per tahun) setelah usia 25 tahun. Pada

orang yang aktif secara fisik, penurunan terjadi 5% per dekade, sedangkan

pada orang dengan gaya hidup sedenter, penurunan VO2max mencapai 10%

per dekade (Strijk, 2010)

3. Komposisi dan Ukuran Tubuh

Bervariasi menurut massa, tinggi badan maupun luas permukaan tubuh

4. Genetika

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II

Pengaruh genetika adalah sekitar 25% - 40% untuk VO2max (Church et al.,

2005)

5. Ketinggian

VO2max menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian di atas 1600 m.

Untuk setiap kenaikan 1000 m diatas 1600 m, ambilan oksigen maksimum

akan menurun sekitar 8% - 11%. VO2max berkurang 26% pada ketinggian

4000 m. Penurunan ini terjadi karena penurunan curah jantung (hasil kali

volume sekuncup dengan denyut jantung). Volume sekuncup mengalami

penurunan karena terjadinya penurunan volume plasma darah.

6. Latihan

Latihan merupakan kegiatan terstruktur yang direncanakan dan dirancang

untuk meningkatkan kebugaran fisik secara keseluruhan (Steele et al.,

2008). Kebiasaan latihan pada seseorang memberikan kontribusi yang

signifikan terhadap VO2max, hal ini bervariasi antara 5% - 20% tergantung

dari kebugaran pada saat melakukan uji kebugaran.

2.5 Pengukuran VO2max

Kebugaran kardiorespirasi dapat dinilai dengan berbagai teknik, secara

langsung ataupun tidak langsung. Kebugaran kardiorespirasi dapat diukur secara

langsung di dalam laboratorium atau secara tidak langsung dengan diprediksi

menggunakan banyak metode (ACSM, 2008).

Ada tiga jenis tes yang umum untuk menilai kebugaran kardiorespirasi,

yaitu tes di lapangan (field test), tes dengan kekuatan sub maksimal (sub maximal

exertion), dan tes dengan kekuatan maksimal (maximal exertion) (ACSM, 2008).

Pada tes di lapangan, subjek melakukan suatu latihan dengan jarak tertentu

atau melakukan latihan menurut waktu yang ditetapkan untuk memprediksi

kebugaran kardiorespirasi. Tes ini umumnya menuntut upaya maksimal untuk

memperoleh hasil terbaik dalam menentukan kebugaran kardiorespirasi. Metode

pengujian meliputi berjalan, berjalan dan berlari, berlari, bersepeda, berenang, dan

lain-lain (ACSM, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II

Pada tes dengan beban kerja submaksimal (submaximal exertion) dapat

menggunakan tes langkah (step test) atau tes dengan tahapan tunggal maupun

multi-protokol untuk memprediksi kapasitas aerobik maksimal atau kebugaran

kardiorespirasi. Variabel tertentu diukur dari test ini (biasanya respon denyut

jantung), dari hasil tersebut dapat diestimasi nilai kebugaran

kardiorespirasi. Metode pengujian mencakup tes langkah (step test), treadmill,

bersepeda, dan lain-lain. Sebagian dari tes ini dilakukan di laboratorium (ACSM,

2008).

Tes dengan beban kerja maksimal (maximal exertion) menggunakan tes

olahraga yang berjenjang dan progresif untuk mengukur kelelahan. Dengan

demikian, tes ini menggunakan tenaga semaksimal mungkin. Tes ini menetukan

nilai kebugaran kardiorespirasi bukan sekedar memprediksi nilai kebugaran

kardiorespirasi. Tes ini dilakukan dengan atau tanpa pengumpulan gas metabolik

dan dilakukan di laboratorium (ACSM, 2008).

Pengukuran terbaik terhadap kemampuan maksimal sistem kardiorespirasi

adalah dengan beban kerja maksimal. Pengukuran secara langsung, yaitu dengan

menggunakan spirometer sirkuit terbuka atau tertutup (untuk mengumpulkan gas

metabolik atau gas yang diekspirasikan) selama latihan dengan treadmill dan

ergocycle di laboratorium. Namun cara ini tidak dapat dilakukan di lapangan,

sehingga dilakukan uji tidak langsung, yaitu digunakan estimasi VO2max dengan

uji submaksimal menggunakan ergocycle, treadmill atau step test. Menurut

penelitian tidak terdapat perbedaan bermakna antara pengukuran cara langsung

dan tidak langsung. Pada tiap protokol hubungan antara denyut jantung maksimal

dengan beban maksimal telah diuji. Kapasitas VO2max kemudian diestimasikan

dari perhitungan VO2max pada beban maksimal (ACSM, 2008).

Menentukan tingkat kebugaran kardiorespirasi paling baik dengan

pengukuran secara langsung nilai VO2max ketika malakukan latihan. VO2max

menggambarkan kemampuan tubuh untuk mentransportasikan oksigen dan

menggunakannya. Mengukur VO2max secara langsung biasanya melalui latihan

fisik bertahap dan menggunakan protokol tes tertentu yang paling sesuai dengan

orang yang akan ditentukan VO2max-nya (Cheevers dan Pettersen, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II

Pengukuran langsung VO2max adalah cara terbaik namun juga memiliki

beberapa kelemahan, antara lain tes sulit dan sangat melelahkan. Banyak orang,

terutama penderita penyakit kronis tidak dapat mencapai nilai VO2max yang

sebenarnya, hal ini bukan dikarenakan keterbatasan pasokan oksigen tetapi karena

faktor lain seperti kelelahan mental, katakutan, hilangnya motivasi, dan

munculnya gejala nyeri dada maupun pandangan gelap. Menurut Durstine dan

Moore (2003) dalam Cheevers dan Pettersen (2007), jika hal tersebut terjadi,

berarti orang tersebut dikatakan mengalami symptom-limited exhaustion dan

hanya mencapai nilai VO2peak.

Menurut Maud dan Foster (1995) dalam Cheevers dan Pettersen (2007),

pengukuran VO2max secara langsung juga memerlukan peralatan yang mahal,

instruktur yang terlatih dan kehadiran seorang ahli jantung atau dokter diharuskan.

Berdasarkan alasan di atas, pengukuran VO2max secara langsung tidaklah praktis

untuk screening secara umum dan populasi yang besar.

Tes langkah telah ada selama lebih dari 50 tahun dalam pengujian

kebugaran. Ada banyak protokol yang telah dikembangkan yang menggunakan tes

langkah untuk memprediksi kebugaran kardiorespirasi. Penulis akan membahas

penggunaan Mc Ardle Step Test atau Queens College Step Test untuk

memprediksi VO2max (ACSM, 2008).

Pada tes ini, subjek akan melangkah ke atas dan ke bawah pada bangku

dengan standar tinggi yang telah ditetapkan, selama jangka waktu tertentu dalam

irama langkah yang telah ditetapkan. Setelah periode waktu tes selesai, denyut

nadi radialis pada masa pemulihan akan diukur dan digunakan dalam

memprediksi VO2max. Semakin rendah denyut nadi radialis pada masa pemulihan,

semakin bugar individu tersebut (ACSM, 2008).

Secara umum, tes langkah hanya menggunakan sedikit peralatan dan

cukup sederhana. Yang diperlukan adalah sebuah arloji, metronom, dan sebuah

bangku dengan tinggi tertentu. Tindakan pencegahan khusus untuk keamanan

diperlukan bagi mereka yang mungkin memiliki masalah keseimbangan atau

kesulitan dengan melangkah (ACSM, 2008).

Prosedur McArdle Step Test

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II

1. Subjek melangkah ke atas dan ke bawah pada bangku dengan ketinggian

16,25 inchi (41,30 cm) selama 3 menit.

2. Subjek laki-laki melangkah dengan irama 24 kali per menit, sedangkan

perempuan 22 kali per menit. Irama ini harus dipantau dan diatur dengan

penggunaan metronom elektronik. Dua puluh empat kali per menit berarti

bahwa melangkah ke atas dengan satu tungkai, diikuti dengan tungkai

yang lain, kemudian melangkah turun dengan satu tungkai, dan diikuti

dengan tungkai yang lain, dilakukan 24 kali dalam satu menit.

3. Setelah selesai (setelah 3 menit) subjek diminta untuk tetap berdiri dan

denyut nadi radialis diukur dari detik ke-5 sampai detik ke-20 periode

pemulihan. Denyut nadi selama 15 detik tersebut dikonversi menjadi

denyut per menit dengan dikalikan empat.

Besar VO2max ditentukan dari denyut nadi pada periode pemulihan melalui rumus:

Untuk Laki-laki: VO2max (ml/kg/min) = 111.33 - (0.42 x DJ)

Untuk Perempuan: VO2max (ml/kg/min) = 65.81 - (0.1847 x DJ)

DJ= denyut jantung (kali/menit) di arteri radialis pada periode pemulihan

Tabel 2.2 Klasifikasi VO2max pada McArdle Step Test berdasarkan Pulsasi Nadi Radialis (kali/menit)

Jenis Kelamin

Sangat Baik Baik Cukup Kurang Sangat

Kurang

Laki-laki < 121 148 - 121 156 – 149 162 - 157 > 162

Perempuan < 129 158 - 129 166 – 159 170 – 167 > 170

Sumber: ACSM, 2008

Sehingga besar VO2max berdasarkan rumus menjadi:

Tabel 2.3 Klasifikasi Nilai VO2max Jenis

Kelamin

Sangat

Baik Baik Cukup Kurang

Sangat

Kurang

Laki-laki > 60.5 49.2 – 60.5 45.8 – 48.8 43.3 – 45.4 < 43.3

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II

Perempuan > 42 36.6 - 42 35.2 – 36.4 34.4 - 35 < 34.4

Untuk melakukan Mc Ardle Step Test, ada persyaratan yang harus

dipenuhi, yaitu tidak berada pada keadaan yang kontraindikasi, baik relatif

maupun absolut untuk melakukan tes ini. Yang menjadi kontraidikasi absolut

adalah ada riwayat miokard infark, angina tidak stabil, aritmia jantung, stenosis

aorta, gagal jantung, emboli paru akut, miokarditis atau perikarditis akut. Yang

menjadi kontraidikasi relatif adalah stenosis arteri coroner, stenosis katup, hamil,

ketidakseimbangan elektrolit, hipertensi, takiaritmia, bradiaritmia, kardiomiopati,

AV blok, gangguan sistem muskuloskeletal, demensia atau kondisi psikiatri

lainnya (ACSM, 2008).

2.6 Hubungan Antara Indeks Massa Tubuh dengan Kebugaran Fisik

Ada banyak sekali faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan

jaringan adiposa, salah satu yang dihipotesiskan adalah berkurangnya kebugaran

kardiorespirasi. Kebugaran kardiorespirasi adalah salah satu faktor determinan

kesehatan sepanjang hidup yang independen. Pada usia dewasa, tingginya

kebugaran kardiorespirasi merupakan faktor proteksi terhadap penyakit

kardiovaskuler dan semua penyebab mortalitas. Pada usia dewasa muda,

kebugaran kardiorespirasi memiliki hubungan terbalik dengan tekanan darah,

kolesterol total, dan penanda proinflamasi (Byrd-William et al., 2008).

Kelebihan berat badan memberikan pengaruh buruk hampir pada semua

sistem di dalam tubuh manusia. Pada dasarnya pengaruh buruk tersebut berasal

dari 2 faktor:

1. Peningkatan massa dari jaringan adiposa

2. Peningkatan sekresi produk patogenik dari sel-sel lemak yang membesar

Peningkatan jaringan adiposa, khususnya jaringan adiposa viseral,

berhubungan dengan penurunan fungsi endotel pembuluh darah. Fungsi endotel

mengacu pada kapasitas fungsional secara umum dari sel endotel pembuluh darah,

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II

terutama dalam menghasilkan dan melepaskan nitric oxide (NO). Berkurangnya

sintesis dan/atau ketersediaan NO berhubungan dengan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah, inflamasi, adhesi, trombosis, dan berkurangnya kemampuan

vasodilatasi. Selain itu abnormalitas fungsi endotel berhubungan dengan sejumlah

faktor penyakit kardiovaskuler (Davison et al., 2010).

Peningkatan asam lemak bebas dari hasil sel-sel lemak pada individu yang

mengalami obesitas berperan dalam terjadinya resistensi insulin. Penurunan

kebugaran kardiorespirasi merupakan pertanda awal terjadinya resistensi insulin

pada orang yang menderita diabetes mellitus (DM) tipe 2. Tahap awal terjadinya

resistensi insulin pada pasien DM tipe 2 adalah terganggunya aktivitas

mitokondria. Kaplan et al. (1991) dalam Leite et al. (2009) mengemukakan bahwa

insulin memainkan peranan yang penting dalam meregulasi fungsi transporter

anion di mitokondria selama terjadinya siklus Kreb. Jika mitokondria terganggu

maka konsumsi glukosa dan oksigen akan terganggu dan hal ini akan berdampak

pada kemampuan seseorang untuk memiliki tingkat kebugaran yang baik dan

sebagai konsekuensi nilai VO2max orang tersebut akan rendah.

Pada individu yang mengalami obesitas, terjadi pelepasan sitokin,

khususnya IL-6, yang menstimulasi faktor-faktor proinflamasi. Selain itu, juga

terjadi peningkatan sekresi protrombin activator inhibitor-1 dari sel-sel lemak

yang membuat orang obesitas memiliki faktor prokoagulan yang lebih sensitif.

Hal ini kemudian berpengaruh pada fungsi endotel dan akan meningkatkan risiko

penyakit jantung dan hipertensi. Produksi estrogen dari massa stroma memainkan

peranan dalam risiko terjadinya kanker payudara. Keseluruhan efek ini akan

meningkatkan risiko terjadinya pemendekan usia harapan hidup (Bray, 2004).

Jumlah lemak tubuh yang berlebihan juga akan menghambat fungsi

jantung pada saat melakukan latihan. Hal ini terjadi karena otot-otot yang aktif

bekerja pada saat latihan gagal untuk melakukan ekstraksi oksigen akibat deposisi

jaringan lemak yang tidak proporsional. Pada individu yang kehilangan berat

badan selama program penurunan berat badan, terjadi peningkatan VO2max karena

terjadi pengurangan jumlah lemak yang dapat menghambat penggunaan oksigen

oleh otot (Chatterjee et al., 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II

Tekanan darah meningkat pada individu yang kelebihan berat badan.

Hipertensi pada orang yang kelebihan berat sangat berkaitan dengan terganggunya

aktivitas saraf simpatik. Pada individu yang mengalami kegemukan terjadi

peningkatan nerve firing rate dibanding individu dengan berat badan normal.

Akibatnya terjadi peningkatan yang tidak seimbang dalam output jantung karena

peningkatan aktivitas simpatik yang meningkatkan tekanan darah. Selain itu juga

terjadi peningkatan resistensi perifer. Kegemukan dan hipertensi berinteraksi

dengan fungsi jantung (Laxmi, 2008).

Obesitas dikaitkan dengan tingginya prevalensi hipertrofi ventrikel kiri.

Pola yang paling umum dari geometri ventrikel kiri pada orang gemuk adalah

hipertrofi konsentris. Kombinasi kelebihan berat badan dan hipertensi

menyebabkan penebalan dinding ventrikel sehingga terjadi hipertrofi ventrikel.

Hipertrofi ventrikel akan menyebabkan volume jantung menjadi lebih besar

sehingga kemungkinan besar dapat terjadi gagal jantung. Penyebab lain terjadinya

hipertrofi ventrikel kiri pada obesitas termasuk efek trofik dari hormon yang

disekresikan lemak. Bila fungsi jantung terganggu atau menurun maka kebugaran

kardiorespirasi akan terganggu juga (Shakher et al., 2004 dalam Tomlinson et al.,

2008).

Peningkatan lemak tubuh memberikan dampak yang signifikan hampir

pada semua sistem yang ada di dalam tubuh manusia. Tingginya deposisi lemak

akan memengaruhi cardiac output karena terjadi penebalan ventrikel. Akibatnya

jumlah darah yang dipompakan menjadi lebih sedikit, oksigen yang diedarkan ke

otot yang sedang bekerja juga menjadi sedikit. Deposisi lemak juga akan

menghambat otot dalam menggunakan pasokan oksigen dari darah. Hal ini

diperburuk dengan peningkatan resistensi pembuluh darah akibat penumpukan

lemak yang dapat menghambat pendistribusian oksigen ke seluruh sel dalam

tubuh. Semua hal ini akan mengakibatkan berkurangnya ambilan oksigen. Jika hal

ini terus menerus terjadi maka akan terjadi penurunan dalam kebugaran

kardiorespirasi seseorang. Penurunan kardiorespirasi akan memperburuk dampak

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II

negatif yang telah ditimbulkan dari peningkatan lemak tubuh, akibatnya risiko

morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan menjadi meningkat (Bray, 2004).

Pada individu yang overweight dan obese, tubuh akan menjadi kurang

sensitif dan terjadi keterbatasan tubuh dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-

hari secara leluasa. Obesitas akan memberikan beban yang terlalu berat untuk

jantung dengan meningkatnya low density lipoprotein (LDL) dan menurunnya

high density lipoprotein (HDL). Beban yang terlalu berat akan mengganggu

fungsi jantung, bahkan dapat menyebabkan gagal jantung. Hal ini dapat

diinterpretasikan sebagai penurunan kebugaran kardiorespirasi (Ming et al., 1999;

So dan Choi, 2010).

Obesitas berhubungan dengan resistensi insulin yang akan berakibat

terjadinya hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia akan meningkatkan tekanan darah

secara langsung dengan peningkatan reabsorpsi natrium di tubulus renalis bagian

distal dan secara tidak langsung melalui perangsangan sistem saraf simpatis serta

augmentasi angiotensin II yang diperantarai oleh sekresi aldosteron. Hal ini

menunjukkan bahwa obesitas memainkan peranan penting dalam inisiasi dan

perkembangan hipertensi (Shakher et al., 2004 dalam Tomlinson et al., 2008).

Kebugaran kardiorespirasi bukan hanya merupakan alat ukur objektif

dalam menilai kebiasaan aktivitas fisik, tetapi juga berguna sebagai indikator

diagnostik dan prognostik pada pasien klinis (Lee et al., 2010).

Aktivitas fisik dan kebugaran kardiorespirasi adalah determinan yang

penting dan bersifat dependen sebagai penentu kematian pada individu yang

overweight dan obesitas. Rendahnya aktivitas fisik dan kebugaran kardiorespirasi

juga berhubungan dengan meningkatnya tingkat mortalitas pada individu dengan

diabetes. Ada hubungan terbalik antara angka kematian dengan tingkat kebugaran

pada orang dengan normoweight, overweight, maupun individu yang obesitas

(Church et al., 2005).

Rendahnya kebugaran kardiorespirasi berhubungan kuat dengan tingginya

risiko semua penyebab kematian pada pria dengan diabetes dan hubungan ini

berlaku baik untuk normoweight, overweight, dan obese. Kebugaran yang lebih

tinggi berbanding terbalik dengan kematian akibat penyakit kardiovaskuler pada

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II

pria dengan diabetes pada IMT normoweight, overweight, atau obese kelas I.

Walaupun kebugaran kardiorespirasi dipengaruhi oleh komponen genetik (25% -

40%), cukup jelas jika latihan fisik yang regular adalah penentu kebugaran

(Church et al., 2005).

Berdasarkan penelitian Ross dan Janiszewski (2008), pada individu yang

mengalami obesitas yang terkait dengan risiko penyakit kardiovaskuler sebaiknya

disarankan untuk melakukan olahraga yang menurunkan berat badan karena akan

memberikan efek yang besar dalam menurunkan risiko terjadinya penyakit

kardiovaskuler. Hal ini dilakukan karena setelah berolahraga terjadi perbaikan

dalam beberapa faktor risiko penyakit kardiometabolik, contohnya, resistensi

insulin akan membaik kurang lebih 20% setelah olahraga aerobik selama satu jam

pada orang yang sehat, orang yang mengalami resistensi insulin, maupun orang

dengan diabetes. Perbaikan ini sebanding dengan intervensi farmakologi.

Olahraga aerobik selama satu jam juga akan menurunkan trigliserida

sampai 10% - 25% dan meningkatkan kolesterol HDL 7% - 15% serta dapat

menurunkan tekanan darah. Olahraga akan memengaruhi komposisi tubuh

terutama mengurangi lemak viseral, selain itu akan memperbaiki fungsi glucose

transporter 4 (GLUT 4) di otot rangka dan meningkatkan efisiensi metabolism

pada otot (Ross dan Janiszewski, 2008).

Universitas Sumatera Utara