Chapter II
-
Upload
mariatul-kiptiyah -
Category
Documents
-
view
48 -
download
7
Transcript of Chapter II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemanasan Global dan Energi
Energi adalah kemampuan untuk melakukan uasaha dan menghasilkan panas.
Ada bermacam-macam sumber energi yang terdapat dialam ini. Pada hakekatnya
sumber energi ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu fosil, renewable dan
nuklir (fissile). Bahan bakar fosil terbentuk secara geologi dan tak dapat dengan
cepat terpebarukan (non renewable) contohnya minyak bumi, batubara, bitumen,
gas alam, oil shale dan tar sands. Sumber energi renewable seperti biomasa,
tenaga air, angin, matahari, panas bumi dan energi laut. Sumber energi nuklir
terutama adalah uranium dan thorium. Sejak lama manusia telah menggunakan
sumber energi renewable seperti kayu bakar, maupun air namun energinya tidak
efisien. Sampai saat ini minyak bumi masih merupakan sumber energi utama bagi
dunia. Pada penggunaan bahan tipe hidrokarban sebagai energi maka timbul
energi disertai reaksi kimia. Secara umum reaksi dapat dituliskan:
CxHy + (x+ 0,25y) O2 x CO2 + 0,5 H2O + ∆Hc ∆Hc adalah panas pembakaran, nilainya tergantung pada perbandingan jumlah
karbon dengan hidrogen. Bahan hidrokarbon yang mengandung sedikit hidrogen
menghasilkan CO2 yang lebih besar jika dibandingkan dengan bahan lain yang
kaya hidrogen untuk menghasilkan energi. Jadi gas alam merupakan bahan bakar
yang paling bersih sedangkan bahan yang berlignin paling kotor. Saat ini emisi
CO2 global hasil bahan bakar fosil , diperkirakan 30-40% berasal dari batu bara.
Emisi CO2 sudah lama terakumulasi diudara dan konsentrasinya menaik terus dan
ini menimbulkan pemanasan global ( global warming). Berdasarkan pengukuran
lebih dari satu abad maka telah tercatat bahwa terdapat kenaikan suhu global
0,56oC. Kenaikan ini disebut perubahan cuaca global atau pemanasan global.
Karena kenaikan emisi CO2 maka terjadi mekanisme pemanasan kembali secara
sendiri( auto-feedback mechanism of heating) dan akibat ini maka suhu global
diperkirakan naik 1,5oC sampai 5,8oC pada abad yang berikut. Kenaikan suhu
11
Universitas Sumatera Utara
12
yang demikian tajam dapat mengakibatkan beberapa perubahan seperti daerah
pertanian, perpindahan daerah penyakit tropis, pencairan es dikutub maupun
naiknya pemukaan laut sebesar 9-88cm. Karena isu perubahan cuaca global maka
telah dibuat kesepakatan Kyoto yang dipatuhi oleh semua negara.
Untuk menurunkan jumlah emisi CO2 dan pencemar lain sebaiknya dilakukan
dengan penghematan pemakaian bahan bakar fosil atau dengan menggunakan
sumber energi bebas karbon seperti energi nuklir, energi matahari, angin, panas
bumi. Penggunaan sumber energi biomasa sebagai bahan bakar akan
menghasilkan CO2, tapi jumlah emisi yang sama dari udara akan dilepaskan
kepada tumbuh tumbuhan sehingga membentuk siklus dengan total karbon
menjadi nol. Untuk mengurangi pemakaian ini perlu cara pemakaian energi fosil
yang efisien. Karena kebutuhan energi terus meningkat dan menurut laporan,
lebih dari 88% total energi yang dibutuhkan diambil dari bahan fosil. Ada
kekhawatiran tentang kecepatan pengurangan cadangan akan melampaui
kecepatan penemuan cadangan baru sementara ketergantungan pada pemakaian
bahan bakar fosil belum dapat diselesaikan maka akan timbul krisis energi dan
berbahaya pada masa mendatang ( Gupta, R. B dan Demirbas, A 2010).
Kebijaksanaan penggunaan energi pada sektor transportasi telah mendapat
perhatian di United Kingdom (UK) sebagai tindak lanjut kesepakatan Kyoto. Pada
2004 sektor transportasi telah mengkonsumsi bahan bakar paling tinggi dan sektor
ini menimbulkan emisi gas CO2 sebesar 30%. Untuk mencegah kenaikan laju
emisi gas CO2 ini maka pemerintah telah mengeluarkan kebijakan penggunaan
bahan bakar pada sektor transport. Penggantian sebagian bahan bakar fosil akan
dengan biofuel telah dikaji dari sumber bahan baku, metode produksi hingga
pengembangan kepada tipe bahan bakar yang lain. Ada dua jenis biofuel dapat
dihasilkan di dalam negeri dari sumber tumbuh-tumbuhan melalui berbagai
teknologi proses yaitu biodiesel dan bioetanol. Biofuel umumnya dijual dalam
bentuk campuran berkadar 5% namun pada beberapa daerah, campuran dapat
digunakan lebih dari 5%. Keberhasilan program itu telah ditunjang oleh sarana
lahan perkebunan yang sesuai untuk memperoleh kebutuhan yang cukup. Selain
dari biodiesel dan bioetanol telah dibuat bahan bakar generasi kedua yaitu tipe
Universitas Sumatera Utara
13
minyak biodiesel FT dan bioetanol hasil dari selulosa dan lignin. FT biodiesel ini
mempunyai bilangan cetan tinggi dan kandungan kalor yang tinggi. Pemerintah
Inggris (UK) telah memperhitungkan ketersediaan suplai biofuel kadar 5% pada
tahun 2014 cukup untuk sektor transportasi (Hammond, G.P 2008). Pencemaran
lingkungan dan aspek pemanasan global terutama oleh emisi gas CO2 hasil
pembakaran menyebabkan perlu inovasi mengurangi pemakaian petroleum
sebagai sumber energi. Energi alternatif yang digunakan terutama dari bahan yang
terpebarukan.
2.2 Energi Terpebarukan
Bahan bakar bersumber dari fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas alam
masih dapat dihasilkan dengan kecepatan alamiah, sehingga kecepatan jumlah
pemakaian lebih tinggi dari pada kecepatan pembentukannya. Kondisi kecepatan
kedua belah pihak yang jauh berbeda maka bahan bakar fosil tergolong bahan tak
terpebarukan (non renewable). Secara global energi teperbarukan saat ini dipakai
berkisar 13,6% dan diperediksi pada tahun 2040 energi terpebarukan berkisar
47,7%. Distribusi penggunaan sumber energi terpebarukan yang digunakan,
diperediksikan hingga tahun 2040 dapat dilihat pada data Tabel 2.1 dibawah ini
Tabel 2.1 Distribusi jenis energi terpebarukan
Sumber energi terpebarukan dalam (109) ton Tahun 2001 Tahun 2040
Biomasa 1.008 3.271
Air terjun besar 22.7 358
Panas bumi 43,2 493
Air terjun kecil 9,5 189
Angin 4,7 688
Pans matahari 4,1 480
Sel surya 0,22 784
Listrik panas matahari 0,1 68
Energi lautan 0,05 20
Total sumber energi terpebarukan 1.365,5 6.351
Universitas Sumatera Utara
14
Sumber energi terpebarukan yang sering dijumpai misalnya dari tumbuhan hewan
akan cepat diperoleh dengan menggunakan teknologi untuk menghasilkan energi
sesuai yang diperlukan, karena kecepatan konsumsi dan produksi relatif sama
maka disebut renewable energi. Sumber energi terpebarukan lebih menyebar dan
lebih mudah didapat dari pada sumber fosil dan bahan nuklir di alam ini dan
keuntungan menggunakan bahan energi terpebarukan ini dapat mengurangi
pencemaran lingkungan. Bahan renewable telah lama digunakan oleh manusia
lebih dari 5 ribu tahun yang lalu. Bahan ini umumnya digunakan untuk
pemanasan tapi efisiensinya sangat rendah. Saat ini energi biomasa hanya
digunakan 3% dari kebutuhan energi pokok, namun pada daerah pedesaan
penggunaan biomasa mencapai 50% umumnya dari bahan kayu. ( Gupta, R. B dan
Demirbas, A 2010).
Dengan cara menggunakan sumber bahan energi terpebarukan secara efisien,
maka sumber energi yang tersedia dialam tidak terbuang secara percuma dan yang
berdampak pada krisis pemanasan global ( global warming).
2.3 Industri bahan baku oleo kimia
Perhatian dunia terhadap komponent kimia pada bahan baku terpebarukan telah
beralih dari petroleum karena aspek ekonomi maupun lingkungan. Minyak
tumbuhan merupakan golongan minyak yang banyak diolah sebagai bahan kimia
karena mungkin ditransformasi dan juga banyak tersedia secara universal. Ada
juga telah melaporkan proseses polimerisasi minyak kacang dngan tiga metode.
Yang pertama secara langsung pada ikatan rangkap rantai asam lemak itu dengan
bahan kopolimer stirena, divinylbenzena maupun dengan senyawa stirena
mengandung silikon. Material yang dihasilkan mempunyai sifat mekanis yang
kuat dan tahan api. Cara yang kedua menghasilkan gugus fungsi dari ikatan
rangkap pada gliserida itu kemudian gugus itu dapat selanjutnya berpolimerisasi.
Dengan teknik fotoperoksidasi oksigen singlet pada minyak biji matahari maka
terjadi dehidrasi pada posisi alil asam oleat yang terkandung pada minyak itu
sehingga dihasilkan bentuk enon. Senyawa ini dapat menghasilkan reaksi kimia
kroslink dengan diamina aromatis. Cara yang ketiga, polimerisasi metatesis
Universitas Sumatera Utara
15
senyawa alil 10-undecenoate, 10-[2′,5′-bis(10-undecenoyloxy)phenyl]-9,10-
dihydro-9-oxa-10-phospha-phenanthrene-10-oxide, dan 1,3-bis(10-undecenoyl)
glycerol untuk menghasilkan poliester yang mengandung fosfor dan gugus
hidroksil. Karena itu minyak yang mengandung asam lemak tidak jenuh dapat
menghasilkan bahan polimer termoseting (Ronda, J.C 2010).
Bahan kimia dari minyak nabati dapat dihasilkan dalam 3 katagori proses yaitu
sistim splitting, enzimatis dan transesterifikasi. (Ahmad, S 2000).
a. Sistim splitting : Lemak dengan uap air serta katalis menghasilkan gliserol dan
asam-asam lemak campuran.
b. Sistim enzimatis : Lemak dapat terhidrolisa dengan enzim lipase menghasilkan
gliserol dan asam lemak.
c. Sistem transesterifikasi : Lemak dicampurkan dengan larutan metanol-KOH
menghasilkan metil ester asam lemak campuran. Campuran ini difraksinasi, maka
dapat diperoleh fraksi metil ester dengan panjang rantai berbeda beda. Rantai
panjang umumnya kaya akan lemak tak jenuh seperti metil oleat meti linoleat dan
metil linolenat. Jumlah kandungannya bervariasi tergantng dari bahan baku.
Asam-asam lemak rantai pendek ini lebih awal keluar kemudian rantai sedang dan
rantai panjang (C16 keatas). Fraksi rantai panjang tak jenuh dapat menjadi umpan
pada reaksi karbonilasi.
2.3.1 Sistim Splitting
Asam lemak untuk keperluan bahan kimia telah lama diproduksi secara komersial.
Lemak dapat dihidrolisa dengan asam , maupun dengan menyabunkan kemudian
diasamkan menghasilkan campuran asam lemak dan glisrin maupun hasil
samping. Selain itu dapat juga terjadi dengan memberikan tekanan uap yang
tinggi sehingga asam lemak terdestilasi keluar (Ruston, N. A 1952).
2.3. 2 Sistim Enzimatis
Enzim lipase dapat menghidrolisa lemak dalam kondisi yang rendah
menghasilkan asam lemak dan dapat juga membentuk metil ester asam lemak.
Bebagai jenis enzim lipase dan cara perlakuan telah dilaporkan. Cara yang yang
Universitas Sumatera Utara
16
menarik ialah dengan menjerat enzim ini supaya dapat digunakan berulang-ulang
(Ranganathan S.V. 2008) .
2.3.3 Transeterifakasi
Usaha untuk menjadikan minyak nabati sebagai bahan bakar mesin diesel telah
dicoba, namun bahan ini terhambat karena viskositas terlalu tinggi. Beberapa
usaha telah dilakukan mengurangi viskositas itu seperti pengenceran, mikro
emulsi, pirolisis dan transesterifikasi. Perubahan kimia dari minyak menjadi ester
asam lemak (FAME) secara industri dilakukan dengan reaksi transesterifikasi.
Berbagai teknik reaksi transesterifikasi telah dilakukan baik dari sumber pangan
maupun non pangan dengan menggunakan katalis dan juga non katalis.
Reaksi transesterifikasi membutuhkan katalis baik homogen seperti KOH, NaOH,
metoksida dan katalis asam seperti asam sulfat, para toluena sulfonat. Katalis
heterogen juga telah dipakai seperti oksida logam ataupun senyawa karbonat.
Berbagai teknik reaksi dengan mengubah media maupun suhu dan tekanan seperti
kondisi superkritis metanol dan menggunakan kosolven telah dilaporkan. Teknik
reaksi yang cukup penting dan tidak mencemari lingkungan yaitu menggunakan
enzim lipase digolongkan pada reaksi biokatalisis juga telah digunakan.
Transesterifikasi menggunakan katalis basa dilakukan dengan melarutkan KOH
ataupun NaOH dalam metanol dalam satu reaktor. Minyak nabati diinjeksikan
kedalam reaktor biodiesel diikuti kemudian larutan katalis. Campuran dipanaskan
pada 67oC selama 2 jam pada tekanan 1 atm. Hasil reaksi membentuk 2 lapisan
yaitu ester dan gliserol kasar. Pemisahan akan sempurna setelah dibiarkan dalam 2
jam. Kesempurnaan diperoleh dengan setling 20 jam, kemudian ditambahkan air
sebanyak 5,5% voluma dari jumlah metil ester, kemudian diaduk selama 5 menit.
Proses pencucian ester dilakukan dalam dua step. Pertama dicuci menggunakan
air sebanyak 28% dari volume minyak dan pencucian kedua dengan larutan 1 g
asam titanat per liter air sambil diaduk perlahan-lahan. Kedalam lapisan air
digelembungkan udara sambil diaduk sampai diperoleh lapisan ester menjadi
jernih. Setelah setling, lapisan air dipisahkan dan ahirnya ditambahkan lagi air
sebanyak 28% dari jumlah minyak untuk pencucian ahir.
Universitas Sumatera Utara
CH2
CH
CH2
O
O
O
C
C
C
R
R
R
O
O
O
CH3 OH+
CH2
CH
CH2
OH
OH
OH
+ R C
O
O CH3
Trigliserida
Katalis
Glisrol
Metil ester asam lemak( FAME )
.
Gambar 2.1 Reaksi umum transesterifikasi
Metode transesterifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan katalis asam.
m metanol sebagai katalis dapat dibuat dengan
. Minyak nabati
Katalis asam yang digunakan antara lain seperti asam klorida anhidrat, asam
sulfat, maupun turunan sulfonat.
Asam klorida anhidrous 5% dala
penggelembungan gas HCl kering kedalam metanol.). Pembuatan asam klorida
anhidrous dapat dilakukan dengan dengan menambahkan amonium klorida
kedalam asam sulfat pekat. Cara pembuatan HCl dapat juga dilakukan dengan
menambahkan 5ml asetil klorida kedalam 50 ml metanol kering.
Asam sulfat dalam metanol secara umum sudah banyak dilakukan
mengalami reaksi transesterifikasi dikatalisis dengan campuran 10% asam sulfat
dalam metanol sambil dipanaskan. Kemampuan katalisis asam sulfat metanol 1-
2% setara dengan sifat asam klorida – metanol 5% dan katalis asam sulfat ini
mudah dibuat. Transesterifikasi dengan katalis ini menghasikan alkil ester
berjumlah banyak, tetapi berjalan lambat. Faktor perbandingan jumlah alkohol
dengan minyak adalah penting. Kelebihan alkohol membuat glisrol sulit untuk
diperoleh. Karena itu perbandingan pemakaian alkohol dengan minyak harus
dibuat dengan tepat. Dengan prinsip kesetimbangan, maka pemakaian alkohol
yang berlebih akan menggeser kesetimbangan kearah kanan sehingga berpengaruh
pada peningkatan jumlah ester yang terbentuk. Mekanisme transesterifikasi
dengan katalis asam dapat dilihat pada Gambar 2.2 dibawah ini
17
Universitas Sumatera Utara
R CO
O R1
H+
R CO
O+
H
R1
R2OHR C
O
O+
O
H
R2H
R1
R CO
O+
H
R2R C
O
O R2
HOR1
H+
Ester / Lemak
( alkohol)
Alkil Ester
Gambar 2.2 Mekanisme Transesterifikasi dikatalisis dengan Asam
Pada Gambar diatas menunjukkan bahwa pada reaksi langkah pertama terjadi
protonasi menghasilkan ion oksonium selanjutnya mengalami reaksi pertukaran
dengan alkohol menghasilkan suatu intermediate. Zat intermediate ini melepaskan
suatu alkohol (glisrol) dan selanjutnya menghasilkan alkil ester setelah
melepaskan proton. Dalam reaksi transesterifikasi ini terjadi kesetimbangan dalam
tiap langkah, karena itu jika terdapat alkohol yang berlebih maka reaksi
pembentukan ester menjadi sempurna (Demirbas, A 2008).
Transesterifikasi minyak nabati dengan katalis asam relatif lambat dibandingkan
dengan katalis basa, akan tetapi sangat tepat digunakan pada minyak yang
mengandung asam lemak bebas sehingga perlu pengembangan metode reaksi.
Pengembangan tehnik reaksi transesterifikasi minyak nabati mengandung asam
lemak telah dilaporkan. Katalis yang bersifat asam, seperti asam sulfat dan para
toluen sulfonat (PTS) telah digunakan pada reaksi transesterifikasi minyak nabati.
Percampuran minyak nabati dengan alkohol dan katalis asam tidak dapat
bercampur homogen, karena itu perlu ditambahkan pelarut organik, dimetil eter.
Percobaan reaksi ini dilakukan dalam sebuah reaktor glas yang tahan tekanan.
Kedalam reaktor ini dimasukkan minyak, katalis asam dan metanol. Dimetil eter
dialirkan dari suatu tabung melalui pipa sampai mencapai tekanan 5 atm. Jumlah
metanol divarisi 3 sampai 10 % mol sedangkan katalis dibuat 1 sampai 4% berat
dari minyak. Variasi suhu reaksi dibuat 40; 60 dan 80oC. Alat ini dikocok dengan
kecepatan 2,6 Hz. Hasil reaksi bahwa katalis asam para toluena sulfonat (PTSA)
18
Universitas Sumatera Utara
lebih aktif dari pada asam sulfat. Setelah reaksi 8 jam pada 60oC dalam pelarut
dimetil eter dihasilkan metil ester 90,2%. Pada pertambahan suhu menjadi
80oC, reaksi menghasilkan metil ester 97,1% dalam 2 jam. PTSA lebih aktif dari
asam sulfat diduga karena sifat hidrofobilitasnya yang tinggi sehingga mudah
menyerang molekul triglisrida sebaliknya dengan asam sulfat selain sifatnya dapat
mengoksidasi, kemampuannya bercampur dengan minyak (hidrofobilitasnya)
rendah(Guan, G 2009).
Cara lain dengan menggunakan katalis basa organik seperti amine. Yao
menampilkan 3 jenis katalis basa organik, isopropil amine (IPA), tertier butil
amine (t-BA), and tertier etil amine(TEA) pada transesterifikasi minyak biji lobak
dan minyak biji kacang. Katalis ini mempunyai keunggulan karena pada ahir
reaksi dapat diperoleh dari campuran hasil reaksi dengan cara mendestilasi dan
tidak menghasilkan sabun. Kelemahan sistim ini dibandingkan dengan katalis
basa anorganik adalah suhu dan tekanan serta jumlah metanol yang dibutuhkan
relatif tinggi. Untuk mengatasi kesulitan ini maka dibutuhkan KOH dalam jumlah
kecil. Reaksi transesterifikasi minyak pada 190oC selama 3 jam dengan katalis
campuran amine 6% berat minyak serta menambahkan KOH 367,1 mg/ kg dalam
metanol 9% mol minyak. Peran KOH mempertinggi aktifitas amine sebagai
katalis transesterifikasi dapat terlihat dari yield metil ester. Pada sistim katalis
TEA yield metil ester meningkat dari 55,3 menjadi 94,1%, demikian juga dengan
katalis DEA meningkat dari 67,5 menjadi 92,8%. Penggunaan katalis t-BA
mengalami pertambahan yield metil ester dari 62,4 menjadi 91,3% ( Yao, J 2010).
Berbagai tipe katalis lain juga telah dipakai misalnya natrium metoksida dan
boron triflorida. Penggunaan natrium metoksida sebagai katalis transesterifikasi
dapat dilakukan pada sekala yang besar. Reaksi antara natrium metoksida dengan
minyak nabati bersama metanol berlangsung cepat, dalam 2- 5 menit reaksi terjadi
dengan sempurna meskipun pada suhu kamar (Dermibas, A 2008). Penggunaan
basa seperti NaOH, KOH sebagai katalis transesterifikasi diduga membetuk
metoksida secara insitu. NaOH mula mula bereaksi dengan CH3OH menghasilkan
NaOCH3. Na OH + HOCH3 NaOCH3 + H2O
19
Universitas Sumatera Utara
Adanya air pada reaksi transesterifikasi dapat mengganggu reaksi karena dapat
menghidrolisa metil ester yang dihasilkan reaksi. CH2 OCOR1
CH
CH2
OCOR2
OCOR3
+ 3 CH3OHKatalis
CH2 OH
CH
CH2
OH
OH
+
R1 COOCH3
R2 COOCH3
R3 COOCH3
Minyak/Lemak Metanol Glisrol Metil ester
RCOOCH3 + H2O RCOOH + CH3OHMetil ester Asam lemak Mekanisme reaksi transesterifikasi dengan katalis natrium metoksida diusulkan
menurut Gambar 2.3 sebagai berikut
NaOCH3 Na+ + CH3O
-
R1 C
O
O R2
+ CH3O- R1 C
O-
O
O R2
CH3
+ CH3OH
R1 C
O-
O+
CH3
O R2
H
CH3O- +
R1 C
O
O CH3R2OH +
R2 adalah
CH2-
CH
CH2
OCOR1
OCOR1
R1 adalah rantai karbon asam lemak
triglisrida
metoksida
metoksida
metoksidanatrium metoksida
Gambar 2.3 Mekanisme reaksi transesterifikasi dikatalisis oleh alkoksida
Dari mekanisme ini terlihat metoksida kembali dihasilkan pada langkah
berikutnya tanpa terjadi air. Adanya air menyebabkan terjadi hidrolisis sehingga 20
Universitas Sumatera Utara
21
metil ester yang dihasilkan menghasilkan asam, selanjutnya dapat menghasilkan
sabun karena bereaksi dengan basa. Karena itu reaksi transesterifikasi dengan
katalis metoksida lebih baih dibandingkan dengan memakai hidroksida dari
golongan alkali. Kesulitan katalis metoksida ini ada pada penyimpanan dan
penanganan (handling).Bahan ini mudah terurai pada kelembapan dan sifatnya
basa membuat perlu penanganan hati-hati. Hal inilah membuat perusahaan
pemasok bahan mencampur natrium metoksida bersama metanol kering( Meher,
L. C 2006).
Usaha untuk memperoleh hasil transesterifikasi minyak nabati yaitu metil ester
dan juga gliserol yang baik, maka digunakan metode dengan kondisi metanol
superkritis. Problem terbesar pada reaksi menggunakan katalis basa adalah sulit
untuk mendapatkan gliserol, karena itu telah dicoba usaha melakukan reaksi
transesterifikasi minyak nabati dengan metanol superkritis tanpa katalis.
Hawash melaporkan transesterifikasi minyak jarak menggunakan kondisi metanol
superkritis tanpa katalis. Serangkaian percobaan reaksi telah dilakukan untuk
mempelajari pengaruh suhu, tekanan, perbandingan mol metanol terhadap
triglisrida terhadap jumlah metil ester yang dihasilkan. Zat hasil reaksi dianalisis
menggunakan plat TLC dan juga dengan kromatografi cair performansi yang
tinggi (HPLC). Pada TLC dapat diketahui adanya triglisrida yang belum bereaksi
dan komponen yang berupa senyawa mono, diglisrida serta juga metil ester.
Dengan HPLC dapat ditentukan kandungan senyawa polar seperti di, dan mono
glisrida serta glisrol. Jumlah asam lemak bebas pada bahan ditentukan secara
titrasi menggunakan larutan standart 0,1 N KOH dengan fenol ftalena sebagai
indikator. Plat TLC berukuran 20x 20 cm dilapisi dengan bubur silika gel ( 60 G)
dalam air ( 15 g silika gel/100ml air), dikeringkan diudara kemudian
dipanaskan(diaktifkan) pada 110oC selama 1 jam. Sampel minyak jatropha yang
sudah diesterkan dan sampel jatropha sebelum diesterkan serta sampel standart
metil ester ditotolkan pada plat TLC kira kira 3 cm dari bawah. Pelarut eluen yang
digunakan terdiri dari n-heksana :dietil eter : asam asetat = 80:20:1. Selanjutnya
plat itu setelah dielusi, dimasukkan ke ruang berisi uap jodium, untuk melihat
noda yang berbeda. Alat HPLC yang digunakan Shimadzu L C 10 dihubungkan
Universitas Sumatera Utara
22
dengan detektor refraksi index menggunakan kolom Shim-Pack SCR- 10 N (7,9
mm – 30 cm) buatan Shimadzu. Suhu dibuat 50oC dan air dipompa melalui kolom
dengan kecepatan 0,5 ml/menit untuk membuat komponen terpisah. Kondisi
reaksi pada 512-613 K dengan tekanan 5.7-8.6 MPa, menggunakan perbandingan
alkohol : minyak adalah 10 : 43 mol menghasilkan FAME 100% (Hawash, S
2009). Prinsip dasar proses pada oleo kimia melalui reaksi transesterifikasi
minyak seperti CPO, PKO maupn minyak jarak menghasilkan ester metil maupun
etil telah banyak dilaporkan. Baik ester asam lemak maupun asam lemak bebas
telah diubah menjadi alkohol (fatty alcohol). Melalui berbagai metode
transesterifikasi trigliserida dapat dihasilkan berbagai bahan kimia secara industri. Table 2.2 Beberapa bahan kimia yang dapat dihasilkan dari minyak nabati
Nama minyak
Bahan hasil
Hasil hilir Penggunaan
CPO Glisrol Mono glisrida Pengemulsi makanan
1-2 propana diol, dimetil propana glikol (1)
Pelarut minyak wangi
RCOOCH3 RCOONa Sabun
Asam oleat
Asam azelat, asam pelargonat, 1,9-nona diamida, 1,9-nona diamina, pelargo namida.(2)
Bahan polimer, insektisida, dan pelumas
Dikarboksilat anhidrid , asam dikarboksilat rantai cabang(3)
Bahan aditif biodiesel(3)
Asam linoleat
Asam dikarboksilat anhidrid tak jenuh(4)
Bahan adesif
PKO asam dekanoat
Dekil amine, dekil aldehid (5) insektisida
Castor oil Metil risinoleat
Lakton cincin 6 , hidroksi dimetil ester rantai cabang(6)
Aditif biodiesel kaya oksigen
1-6 ditemukan oleh Nimpan Bangun dan Seri Bima Sembiring berupa teknologi proses dan manfaat, beserta mhasiswa maupun beberapa orang luar USU.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Asam-asam dikarboksilat rantai lurus.
Struktur asam dikarboksilat dapat digolongkan sebagai rantai bercabang dan
berantai lurus. Pembuatan rantai lurus dapat dilakukan dengan beberapa cara.
2.4.1 Reaksi oksidasi
Asam lemak tak jenuh, seperti asam oleat dapat dioksidasi dengan ozon sehingga
terbentuk asam pelargonat (C9) dan asam dikarboksilat C9 disebut sebagai asam
azelat menurut reaksi dibawah ini ( Kadesch, R. G 1979). Baik asam pelargonat
maupun asam azelat adalah asam berantai lurus.
CH3 (CH2)7 CH CH (CH2)7 COOH + O3 CH3 (CH2)7 CH CH (CH2)7
O O
OCOOH
+ H2O
CH3 (CH2)7 C
O
OH+
C (CH2)7
O
OHC
O
OH
Asam oleat
Asam pelargonat Asam azelat
Gambar 2. 4 Reaksi ozonisasi asam oleat
Dengan metode yang sama oksidasi terhadap asam lemak tak jenuh yang lain
dapat dihasilkan asam cebasit, maupun asam dikarboksilat C21. Proses oksidasi
dapat dibuat melalui penggunaan asam kromat, kalium permanganate maupun
dengan hidrogen peroksida.
Berbeda dengan penggunaan ozon, oksidasi asam oleat dengan menggunakan
larutan KMnO4 dapat menghasilkan asam asam dihidroksi, asam keto hidroksi,
asam diketo stearat selain asam azelat dan asam pelargonat. Distribusi hasil reaksi
oksidasi asam oleat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis emulsifier,
konsentrasi asam oleat dalam emulsi dan perbandingan KMnO4 terhadap asam
oleat (Garti, N dan Avni, E 1981).
Kegunaan asam dikarboksilat bermacam, C9, C10 dan C12 dipakai sebagai
plastisizer. Polivynil klorida berguna sebagai pelumas mesin , sebagai bahan
intermediate, poliamida, poliester , poliuretane, adhesive coating, resin dan lain-
lain ( Kadesch, R.G 1979 dan Jhonson, R.W 1984 ).
23
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Reaksi metatesis
Asam lemak tak jenuh dapat ditransformasi menjadi bahan kimia lain dengan
berbagai cara metatesis. Ester campuran asam lemak, hasil dari minyak biji
matahari mengalami metatesis dengan katalisis heterogen memakai katalisis
Re2O7 / SiO2-Al2O3 / SnBu4. Pada reaksi metatesis dengan konversi metil linoleat
81,1% dapat membentuk 20,4% senyawa dimetil ester campuran. Jika metil oleat
bercampur dengan metil linoleat dilakuksn reaksi metatesis maka jumlah dimetil
ester total tergantung pada total konversi linoleat (Marvey, B.B 2003).
Metatesis asam karboksilat tak jenuh maupun esternya bersama dengan etena
(cross metatesis) dikatalisa dengan katalis Grubb; suatu komplek Ruthenium,
dapat menghasilkan α,ω senyawa dikarboksilat tak jenuh dengan hasil 38-40%.
Berbeda hasilnya dengan cara metatesis asam tak jenuh seperti asam oleat tanpa
pelarut dan alkena lain dikatalisa oleh katalis Grubb generasi ke dua dapat
menghasilkan α,ω asam dikarboksilat tak jenuh, dengan konversi >80% ( Ngo,
H.L 2006 ). Reaksi dapat digambarkan seperti dibawah ini CH3(CH2)7CH=CH(CH2)COOH +CH2=CH2
CH2=CH(CH2)7COOH + CH3(CH2)7CH=CH2 Selanjutnya terjadi reaksi mengalami koupling 2 CH2=CH(CH2)7COOH HOOC(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH + CH2=CH2 Reaksi tanpa etena dapat berjalan langsung menghasilkan dikarboksilat tak jenuh
dan olefin internal; disebut self metatesis
2CH3(CH2)7CH=CH(CH2)COOH HOOC(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH
+ CH3(CH2)7CH=CH(CH2)CH3
Reaksi metatesis terhadap metil oleat dikatalisa dengan komplek ruthenium
indenylidena phoban dapat menghasilkan diester rantai panjang. Katalis phoan ini
lebih stabil dari katalis Grubb generasi 1 sehingga proses metatesisi lebih
ekonomis (Forman, G.S 2006).
24
Universitas Sumatera Utara
2.5 Asam-asam dikarboksilat rantai cabang
Asam dikarboksilat rantai cabang dapat diturunkan dari asam lemak tak jenuh
melalui reaksi karbonilasi. Reaksi ini terjadi antara asam lemak dengan CO
dengan pertolongan katalis disebut reaksi karbonilasi. Reaksi ini berdasarkan zat
hasilnya dapat dikelompokkan menjadi hidroformilasi, hidrokarbonilasi maupun
hidroesterifikasi.
2.5.1 Hidroformilasi
Reaksi hidroformilasi adalah suatu cara menghasilkan aldehide dari senyawa tak
jenuh yang bereaksi dengan CO dan H2. Pioner reaksi ini adalah O. Roelen yang
saat itu bekerja untuk mencoba meresiklus olefin ke reaktor sintesis Fischer –
Tropsch. Pada saat itu industri butanol dihasilkan 4 juta ton per tahun dari reaksi
karbonilasi propena.
Reaksi hidroformilasi ini pada mulanya dikatalisis oleh kobalt, menurut reaksi
RCH=CH2 + CO + H2 + R C
CH3
COH
H
bentuk normal bentuk iso
2 R CH2C
O
HKobalt
Untuk R adalah CH3 maka dihasilkan n- butanol dan iso butanol
Otto Roelen pada 1938 mengoperasikan industri ini dengan katalis [Co2(CO)8]
pada 120oC-170oC dengan tekanan 200 -300 atm. Industri yang sama telah
ditemukan oleh Union Carbide pada 1976 dengan katalis lain [RhCl(CO)2(PPh3)2]
didalam cairan PPh3. Fungsi cairan PPh3 untuk menstabilkan spesies katalis yang
aktif dan menutup lokasi kordinasi pada logam Rh yang membentuk insersi
propena sehingga cenderung menghasilkan isomer yang linier. PBu3 telah dipakai
sebagai ligan terhadap kobalt dan memberikan kereaktifan yang tinggi serta
selektifitas pembentukan isomer linier yang tinggi. Reaktifitas yang sedemikian
tinggi menyebabkan produk aldehid mengalami reaksi dengan hidrogen menjadi
alkohol. Pada langkah terahir berlangsung secara ireversibel menghasilkan
butiraldehida sebagai hasil adisi H2 pada spesies formil metal hidrida. Pada katalis
25
Universitas Sumatera Utara
kobalt karbonil, spesies yang aktif adalah [HCo(CO)3], berelektron 16 yang
dihasilkan oleh adisi H2 pada Co2(CO)8 menurut reaksi
Co2(CO)8 2[Co(CO)4 ]. [(CO)4 Co- H - H -Co(CO)4]H2 2[HCo(CO)4 ] Hidrida spesies ini kemudian terdisosiasi menjadi 3 karbonil menghasilkan
kordinasi tak jenuh 16 elektron, sehingga reaktif. Hidroformilasi dengan katalis
rodium, komplek dengan [Rh (CO)12] dan [Rh (CO)16] adalah stabil, karena itu
harus dirubah menjadi komplek hidrida dengan memberi tekanan gas campuran
H2 dan CO menghasilkan [HRh (CO)4] dan kemudian bersama ligan fosfin, PPh3
menghasilkan [HRh(CO)2(PPh3)2]. Spesies ini kemudian melepaskan CO
membentuk komplek 16 elektron sehingga reaktif. Komplek rhodium 1000 kali
lebih reaktif dari pada kobalt, tapi harganya lebih mahal (Astruc, D 2007).
Secara umum reaksi hidroformilasi menghasilkan aldehid berantai lurus (normal)
dan isomernya berantai cabang (iso). Mekanisme pembentukan butiraldehida dari
propena dapat dilihat seperti Gambar 2.5 dibawah ini.
Gambar 2.5 Siklus mekanisme hidrofomilasi propena menjadi butiraldehida 26
Universitas Sumatera Utara
Perusahaan Rhône Poulenc telah berhasil mengatasi kesulitan pembiayaan katalis
rhodium itu, dengan cara mempertahankan penggunaan katalis berulang-ulang. Metode
yang dipakai adalah menggunakan ligan fosfina terlarut dalam air, P(m-C6H4SO3-Na)3
yang diberi nama triphenil phosphine sulfonat sodium, TPPS. Bahan ini dibuat dari
sulfonasi fosfina menggunakan asam sulfat berasap menyebabkan gugus sulfonat
terbentuk pada posisi meta dari cincin fenil seperti Gambar 2.6 dibawah ini.
PSO3H
SO3H
HO3S
Gambar 2.6 Struktur trifenil fosfina meta asam sulfonat
Rhodium komplek dengan ligan sulfonat memiliki sifat larut dalam air dan
reaktifitas katalisis tidak berkurang. Pada ahir proses hidroformilasi, dihasilkan
aldehide yang terdapat pada fase organik, sedangkan katalis rhodium berada pada
fase air sehingga dapat digunakan kembali.
Pengembagan teknologi reaksi pada industri aldehid dengan cara hidroformilasi
telah berlanjut pada Union Carbida. Bahan baku olefin internal telah digunakan
bersama katalis rhodium komplek dengan ligan fosfite yang besar untuk
menghasikan senyawa yang asimetris. Bagian ini berkembang menjadi asimetrik
katalisis.
Asam lemak tak jenuh mengalami hidroformilasi dengan bantuan katalis
membentuk persamaan seperti di bawah ini :
CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOR CO,H2
CH3 (CH2)7 C
C
H
OH
CH2 (CH2)7 COOR
Aldehide yang dihasilkan dapat dioksidasi menjadi asam dikarboksilat jika R=H.
Kondisi reaksi bervariasi tergantung katalis yang digunakan. Reaksi
hydroformilasi senyawa lemak tak jenuh memakai katalis Co2(CO)8 berlangsung
pada 100oC dengan tekanan gas H2/CO 3000-4000 psi, tetapi dengan katalis 27
Universitas Sumatera Utara
RhCl3/PPh3 suhu operasional 90o-110oC dengan tekanan 500-2000 psi
menghasilkan konversi 95% ( Frankel dan Pryde 1977 ). Perkembangan terakhir
hidroformilasi menggunakan katalis rhodium. Dengan memakai ligan phosphit
yang bulky bersama rhodium karbonil asetil asetonate, hidroformilasi ester
maupun asam lemak tak jenuh berlangsung lebih cepat. Telah dipelajari pengaruh
perbandingan ligan dengan atom Rh, suhu, tekanan CO tekanan H2. Kecepatan
reaksi paling besar, dengan turn over frekuensi 500 mol/jam, pada perbandingan
metil oleat: Rh=910 mol, suhu 80-100oC dan tekanan CO/H2=20 bar. Dalam 3
jam diperoleh konversi metil oleat 95% (Muilwijk, K. F 1997). Aldehide diatas
yang diperoleh dapat dioksidasi menjadi asam dikarboksilat bercabang.
2.5.2 Hidrokarboksilasi
Karbonilasi terhadap senyawa olefine seing disebut reaksi Reppe, karene pioner
reaksi ini oleh Walter von Reppe. Telah diduga bahwa reaksi diawali dengan
proses insersi olefine kedalam ikatan M-H, sehingga reaksi ini menyerupai
hidroformilasi. Karena itu terbentuk spesies metal alkil kemudian berpindah
kepada ligan CO menghasilkan komplek asil. Komplek ini sangat mudah
terserang oleh nukleofil seperti H2O, ROH, RNH2, RSH maupun RCOOH.
Sebagai contoh pada reaksi olefine dengan CO beserta H2O.
R CH CH2 + CO + H2O[Fe(CO)5]
OH-,90
oC
CO2 + R -CH(CHO)CH3 + R -CH2 -CH2 CHO
Hidrokarboksilasi terhadap senyawa alkuna maupun olefin sejak lama telah
berkembang dan menghasilkan asam-asam organik tak jenuh dan asam organik
yang jenuh. Bahan baku pada awal reaksi ini ditemukan dari asetilena kemudian
diubah menjadi asam akrilat, metil akrilat kemudian bahan tak jenuh ini
mengalami polimerisasi menjadi poliakrilat. Melalui teknik reaksi karbonilasi
seperti ini dikembangkan reaksi dengan bahan baku yang berbeda seperti propuna
dan alkuna yang lain. Banyak senyawa intermediet yang mungkin diturunkan
dengan reaksi karbonilasi ini. Senyawa alkuna dan senyawa olefine mempunyai
ikatan pi yang dengan katalis membentuk komplek organologam, pembentukan
komplek ini menyebabkan kereaktifan atom karbon terhadap nukleofil meningkat
28
Universitas Sumatera Utara
dan karena itu terjadi adisi pada atom karbon. Reaksi karbonilasi senyawa alkuna
menjadi asam tak jenuh pada mulanya dikatalisis Ni(CO)4 dengan adanya
promotor asam halida (HX). Reaksi ini membentuk hidrida HNi (CO)2X, suatu
komplek 16 elektron, mudah berkordinasi dengan alkuna. Mekanisme reaksi
diduga seperti Gambar 2.7 dibawah ini.
Ni(CO)4 + HX
- 2CO HNi(CO)2 XC C CH3R
HNi(CO)2 X
R C C CH3
C C
CH3
HC
R
Ni(CO)2X
O + CO
C C
CH3
CH
R
Ni(CO)2X
O
+ CO
H2O
H2O
R C CCH3
HHOOC
R CH
C
COOH
CH3
Gambar 2.7 Ni(CO)4 mengkatalisis hidrokarbonilasi alkuna
Reaksi Reaksi karbonilasi beberapa alkuna telah dilaporkan oleh Reppe.
karbonilasi asetilena dikatalisis oleh komlpek Ni(CO)4 dalam air menghasilkan
asam akrilat seperti berikut
CH CH + H2O CH2 CH C
O
OH
asetilena asam akrilat
Ni(CO)4
HX
Jika nukleofil air diganti dengan alkohol aka akan dihasilkan ester akrilat m
menurut reaksi dibawah ini.
29
Universitas Sumatera Utara
CH CH CO CH2 CH C O CH3
O
+ CH3OH+
Nikel tetrakarbonil (Ni(CO)4 merupakan suatu katalis reaksi karbonilasi paling
efektif pada awal kreasi oleh Walter von Reppe. Bahan ini telah dibuat dalam
sekala besar menurut reaksi berikut ini.
NiX2 + 5 CO H2O+ Ni(CO)4 + CO2 + 2 HX
Senyawa asetilen bereaksi dengan air dengan katalis Ni(CO)4 menghasilkan asam
akrilat dengan yield di atas 90% pada suhu 150o C dan tekanan 30 atm. Metil
asetilen dapat membentuk metil metakrilat dengan reaksi karbonilasi dalam
metanol dengan katalis Ni(CO)4. Asam lemak tak jenuh dapat dipandang sebagai
molekul olefin sehingga dapat membentuk reaksi hidrokarboksilasi menurut
reaksi dibawah ini.
CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH CO,H2O CH3 (CH2)7 C
COOH
H
CH2 (CH2)7 COOH
Asam oleat telah diubah menjadi dikarboksilat melalui reaksi hidrokarboksilasi
dengan katalis nikel halida pada suhu dan tekanan yang tinggi. Pembentukan asam
dikarboksilat ini dipublikasikan dalam bentuk paten (Falbe, J 1970)
Hidrokarboksilasi asam oleat dengan katalis PdCl2/PPh3 telah dapat menghasilkan
9(10)-asam karboksi stearat dengan yield 85-99% tergantung kondisi reaksi. Pada
umumnya reaksi karbonilasi dengan katalis ini terjadi isomerisasi baik pada
tekanan rendah maupun pada suhu tinggi. Katalis yang lebih baik dapat digunakan
dari campuran Pd/C, trifenilfosfine, hidrogen klorida. Konversi asam oleat makin
tinggi pada suhu 140-150oC dan tekanan 4000 psi. Untuk penggunaan katalis
PdCl2 0,5%., PPh3 2%, air 110 mol suhu 160oC tekanan 4000 psi selama 6 jam,
konversi asam oleat 89,8%. Jika PdCl2 1%., PPh3 2%, air 110 mol suhu 140oC
tekanan 4250 psi selama 4 jam maka diperoleh konversi 99,4% ( Frankel dan
Pryde 1977 ).
2.5.3 Paladium katalisis karbonilasi
Paladium sebagai katalis karbonilasi pada awalnya tidak popular dibandingkan
dengan nikel. Katalisis karbonilasi menggunakan Pd pertama sekali diperkenalkan 30
Universitas Sumatera Utara
pada 1962 di paten Jerman. Perbedaan pokok antara unsur Pd, Ni dan Co sebagai
katalis adalah bahwa Pd(II) mengkatalisis karbonilasi senyawa alkuna bertindak
sebagai promotor dan berlangsung secara stoikiometri dan pada ahir reaksi
membentuk Pd(0) sehingga reaksi berhenti. Tsuji telah melaporkan karbonilasi
olefin dalam alkohol menggunakan paladium klorida sebagai katalis. Zat yang
dihasilkan senyawa organoklor ( Tsuji, J 1964 ). Reaksinya seperti dibawah ini:
RCH=CH2+CO+ROH+PdCl2 RCH(Cl)CH2COOR+Pd0+HCl
Graziani melaporkan reaksi etanol dengan karbon monoksida pada tekanan
atmosfer dan suhu (20-40oC) menghasilkan etilkloro karbonat, etil asetat dan
logam paladium. Spekulasi reaksi karbonilasi etanol dengan katalis paladium
dituliskan pada Gambar 2.8 dibawah ini
C O Pd2-
H Cl
H
Cl
CH3
H
CH
OCH3
+ 2H+ + 2Cl
- + Pd(0)
PdCl2 + CH3 CH2OH
+CH2O C Cl
O
CH3 +C
O
OCH2CH3CH2CH3
asetaldehid kloro etil karbonat etil asetat
CO
Gambar 2.8 Kemungkinan hasil karbonilasi etanol
Dalam laporan telah dipostulatkan terjadi komplek hidrida [HPd(CO)Cl2]yang
reaktif namun kurang stabil. Pembentukan spesies ini diduga terjadi dari
pemecahan ikatan O- H dari alkohol menyebabkan posisi proton ß terabstraksi ke
Pd menghasilkan asetaldehid, sebagai salah satu jalur reaksi yang terjadi pada
karbonilasi etanol diatas. Spesies hidrida ini sangat reaktif, sehingga cepat
bereaksi menghasilkan Pd(0) sejalan dengan terjadinya oksidasi alkohol menjadi
zat hasil (Graziani, M 1971).
Karbonilasi metanol dengan katalis paladium asetat dengan adanya ligan pospin
maka dihasilkan dimetil oksalat 87 % dengan tekanan 40 atm dan suhu 800C.
31
Universitas Sumatera Utara
Besarnya hasil ditentukan oleh perbandingan mol palladium dengan posphin
maupun jenis fosfina yang digunakan. Intermediet pada reaksi ini diyakini adalah
alkoksi karbonil komplek; Pd (COOCH3)(OAc)(PPh3)2. Dari hasil karbonilasi ini
maka diperoleh bahwa menggunakan ligan tri aril phospin bentuk orto adalah
paling baik.
2 EtOH + CO + PdCl2 + Na2CO3 (EtO)2CO + Pd + 2 NaCl + 2 NaHCO3
Dengan perbandingan mol phosphine terhadap palladium sama dengan 2 dan
selama 2 jam dengan tekanan 40 atm dan suhu 800C diperoleh dimetil oksalat
100% dan tidak ada dihasilkan dimetil karbonat. Pada pengamatan ini telah terjadi
pemisahan logam paladium (Rivetti, F 1979).
Karbonilasi alkuna terminal dengan katalis paladium klorida dan kokatalis CuCl2
menghasilkan anhidrat maleat, asam maleat dan asam fumarat. Reaksi katalisis
berlangsung pada udara terbuka dengan mengalirkan gas CO dan O2 ke dalam
larutan PdCl2, CuCl2, asam formiat dalam THF selama 3-8 jam.
+ HCOOH/H2O + PdCl2 /CuCl2THF, 25
oC
CO/O2 Ph -C CH
C CH
C C
O
OO
Ph
(1) anhidrid maleat
C
CPh
HOOC
COOH
H
(2) asam fumarat
C
C
COOHH
Ph COOH
(3) asam maleat
(1) + (2) + (3)
Perbandingan mol PdCl2 (10 mol): CuCl2(10-20 mol) dapat menghasilkan 75%
phenyl maleat anhidrid. Dengan kondisi yang sama karbonilasi senyawa 3,3-
dimetil butuna dihasilkan 49% campuran tertier butil maleat anhidrid dengan trtier
butil asam maleat. Perubahan sifat bulky Ph dengan t-Bu memberikan perubahan
pada hasil reaksi. Selain itu jumlah zat hasil reaksi dipengaruhi oleh jenis pelarut,
kecepatan aliran gas, dan jenis alkuna yang dipakai. Dalam reaksi ini
dipostulatkan bahwa ikatan Pd-H mengalami insersi oleh O2 menghasilkan
paladium hidro prokso komplek. Reaksi terhadap alkuna internal tidak dapat
berlangsung (Zagarian, D and Alper. H 1991). Sistim reaksi senyawa alkuna
dengan katalis Pd(II) menggunakan CuCl2/O2 berlangsung peristiwa oksidasi
32
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan senyawa dikarbonil disebut karbonilasi reaksi oksidasi. Berbeda
dari cara karbonilasi diatas, senyawa alkuna dengan menggunakan campuran
Pd(II) bersama ligan phosphine dapat menghasilkan senyawa monokarbonil.
Reaksi ini menggunakan suhu dan tekanan tinggi dan menghasilkan campuran dua
isomer seperti reaksi dibawah ini
+ C C
COOH
HR
H
Pd(OAc)2 , PR3HCOOH100 -110
oC
R -C CHC C
H
HHOOC
R+ CO+ H2O
Jumlah hasil reaksi dipengaruhi oleh faktor gugus R, jenis ligan fosfine yang
digunakan dan juga terdapat perbedaan reaktifitas antara katalis PdCl2 dan
Pd(OAc)2. Pengamatan pengaruh lama reaksi terhadap hasil reaksi adalah
berbanding lurus (Zagarian, D dan Alper, H 1993).
Perkembangan katalisis karbonilasi senyawa alkuna dengan mudah menghasikan
ester maupun asam asam tak jenuh pada posisi α,ß (α,ß unsaturated carboxylic
acid/esters) .Material ini mendapat perhatian penting karena kebutuhan bahan
dasar polimer maupun bahan kimia dan obat obatan. Karbonilasi senyawa aril
asetilena seperti 4-isobutilfenilasetilena dan 4-metoksinaftilasetilena dapat
menghasilkan obat anti inflammatory seperti S-ibuprofena dan S-naproxena.
Reaksi umum karbonilasi senyawa 4-isobutilasetilena ditulis seperti berikut
CHCH3
CH3
CH2C
CH CH
CH CH
C C CH+ CO, H2O
CH CH2C
CH3
CH3
CH
CH
CHC
CH
C
COOH
CH2
H2 reduksi
CHCH3
CH3
CH2C
CH CHC
CH CH
C
COOH
CH3
H
ibuprofene
4 -isobutilfenilasetilene
2.5.4 Slektifitas
Reaksi katalisis karbonilasi senyawa tak jenuh selalu menghasilkan produk
campuran bentuk isomernya. Untuk memperoleh zat hasil yang diinginkan lebih
33
Universitas Sumatera Utara
tinggi dari pada isomernya maka dilakukan kontrol. Perlakuan ligan pada katalisis
karbonilasi telah menunjukkan kontribusi pada slektifitas reaksi.
R1 C C R2 + CO + R'OHPd(OAc)2, PR3, p - tsa
C CHR1 R2
COOR'
CH CR1 R2
COOR'
+
2 -pyridin asam karboksilat
isomer 1 isomer 2
Untuk R1 adalah 4-isobutilfenil asetilena dan R2 adalah H dengan reaksi
karbonilasi dapat menghasilkan ibuprofen dengan katalis Pd.
Peggunaan katalis Pd(OAc)2 berupa senyawa komplek maupun dalam bentuk
campuran dengan ligan fosfina baik bidentat maupun monodentat pada reaksi
karbonilasi alkuna telah dapat berlangsung pada tekanan CO yang rendah. Sistim
katalis karbonilasi Pd(PPh3)4, Pd(OAc)2/dppf, Pd(OAc)2/PPh3/dppb maupun
Pd(dba)2/4PPh3 dilaporkan belangsung lambat dengan slektivitas reaksi yang
rendah.Untuk mempercepat reaksi dan menaikkan slektivitas pada karbonilasi
fenilasetilen dan turunannya maka telah dilaporkan suatu sistim katalis
menggunakan Pd(OAc)2/monofosfine/asam p-toluena sulfonat monohidrat(p-tsa)/
asam 2-pyridin karboksilat (pyca) maupun dengan ligan asam 2- piperidin
karboksilat (pypca). Produk bentuk cabang dihasilkan dengan slektivitas 98%
pada tekanan 1-3 atm CO dan suhu 100oC. Juga dilaporkan bahwa penggunaan
senyawa alkuna internal dapat mengalami reaksi karbonilasi namun berlangsung
lebih lambat dan slektifitas yang rendah (Jayasree, S 1999).
Katalisis karbonilasi secara sistim homogen menggunakan katalis paladium
komplek mendapat perhatian karena selain slektivitas yang tinggi dapat
berlangsung dengan kecepatan relatif tinggi. Masalah yang muncul adalah metode
resiklus katalis paladium, yang belum banyak mendapat perhatian. Salah satu cara
untuk meresiklus katalis paladium dilaporkan oleh B. R. Sakar dalam reaksi
karbonilasi alkuna, alkena maupun alkohol menghasilkan senyawa ester. Katalis
berinti paladium seperti Pd(pyca)(PPh3)(OTs) dengan beberapa ligan campuran
seperti struktur dibawah ini telah diikatkan secara kimia kepada bahan berpori
34
Universitas Sumatera Utara
supaya katalis ini tetap pada fase heterogen (padat) sewaktu dipisahkan dan tidak
mencemari lingkungan (Sarkar, B. R dan Chaudhari, R. V 2005). Interaksi antara
katalis dan senyawa silika sebagai pengikat menurut mekanisme reaksi pada
Gambar 2.9 berikut ini.
atau
Gambar 2.9 Mekanisme interaksi katalis terikat pada silika
Katalis paladium komplek telah dimodifikasi kearah pemakaian air sebagai
pelarut reaksi. Pada sistim ini terjadi reaksi dalam 2 fase, yaitu fase organik dan
fase organik. Komplek itu mengandung ligan yang dapat terlarut dalam air,
sementara paladium berada pada fase organik yang mengkatalisis reaksi
karbonilasi pereaksi. Ligan seperti ini dapat dibuat dari senyawa fosfor dan
senyawa nitrogen. Ligan natrium trifenilfosfina sulfonat(TPPS) maupun gunidium
fosfina dan gunidino aril dicampur dengan Pd(OAc)2 telah digunakan digunakan
pada reaksi hidrokarboksilasi styrena dalam air sebagai pelarut menurut reaksi
dibawah ini:
R CH2 + CO + H2O RCOOH
CH3R
COOH
+ Katalis
Dari pengamatan rekasi ini menunjukkan ligan turunan aril guanidium lebih stabil
dan menghasilkan reaksi lebih slektif dari gunidium fosfina (Aghmiza, A 2005).
Kedua reaksi diatas ini terjadi pada kondisi tinggi dengan katalis paladium
komplek.
Berhubungan dengan sistesis obat obatan maka reaksi karbonilasi terhadap stirene
maupun turunan stirena sebagai bahan prokiral. Reaksi karbonilasi terhadap
styrene dalam methanol /THF dimasukkan PdCl2, CuCl2, ligan, BNPPA dan
menggunakan HCl dengan berbagai konsentasi menurut reaksi dibawah ini.
35
Universitas Sumatera Utara
CH2
+ CO + CH3OH
PdCl2, CuCl2
S -( +)-BNPPA, O2(1 atm)
COOCH3
CH3
+
(CH2)2COOCH3
Stirena metil -2 -fenil propionat metil -1 -fenil propionat Gas CO dan O2 dialirkan ke dalam larutan ini maka diperoleh 2 fenil propionate
adalah suatu senyawa asimetris sehingga reaksi ini disebut juga hiroesterifikasi
asimetris. Dengan memvariasi jumlah katalis dan kokatalis serta HCl maka
diperoleh 97% konversi styrene namun slektifitas reaksi masih rendah( iso/
normal berkisar 70/30. Penggunaan O2 dalam reaksi ini dilaporkan sebagai
reoksidan yang bersama sama gas CO dialirkan melalui larutan dengan kondisi
gelembung dan dilewatkan keudara ( Kewu, Y dan Xuanzhen, J 2005 ). Sistem
ini pelepasan gas ini keudara serta penggunaan HCl dalam reaksi memberikan
aspek yang kurang baik, karena selain mengakibatkan polusi, peralatan gelas sulit
diterapkan dalam sekala besar.
Hidroesterifikasi 1- heksena dengan katalis [PdCl2(PhCN)2]/P(3,5-CF3C6H4)
dalam karbondioksida superkritis menghasilkan metil ester 67% dengan kondisi
sangat tinggi. Reaksi campuran heksena, CO, alkohol dalam reaktor kemudian
dialirkan CO2 cair. Jenis alkohol sebagai koreaktan sangat mempengaruhi jumlah
konversi dan selektivitas karbonilasi heksena. Keuntungan menggunakan sistim
ini adalah memungkinkan katalis dapat diperoleh dan digunakan kembali
(Estorach, C, T dan Bulto, A. M. M 2008 ).
Perubahan sistim katalis dari 2 logam menjadi 1 logam menunjukkan kondisi
reaksi yang jauh berbeda.
Reaksi asam oleat dengan karbon monoksida dengan katalis PdCl2/CuCl2 dalam
air maupun metanol diduga dapat menghasilkan senyawa anhidrid melingkar.
Senyawa anhidrid melingkar dengan metanol / H2SO4 membentuk dimetil ester
rantai panjang bercabang. Reaksi-reaksinya dapat digambarkan seperti dibawah
ini ( Bangun, N dan Siahaan, D 2007 )
36
Universitas Sumatera Utara
CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH CO
CH3 (CH2)7 C
C
H
CH2 (CH2)7 C=O
O O
PdCl2/CuCl2
Anhidrid melingkar3 -oktil -undekana -dikarboksilat anhidrid
Di Metil Ester BercabangD M E B
CH3OH/H2SO4C
COOCH3
H
CH3 -(CH2)7 CH2(CH2)7 COOCH3C
C
H
(CH2)7
O
CH3 CH2(CH2)7 C
O
O
Anhidrid melingkar3 -oktil -undekana -dikarboksilat anhidrid
Reaksi karbonilasi asam oleat dengan katalis PdCl2 / CuCl2 dalam kondisi
sedang menghasilkan asam dikarboksilat berlangsung 20 jam dengan hasil 82%.
Berbeda dengan reaksi karbonilasi metil oleat dalam kosolvent metanol dengan
katalis PdCl2 / CuCl2 menghasilkan dimetil ester ( Bangun, N 2004 ).
Reaksi karbonilasi dengan katalis PdCl2 / CuCl2 dapat berlangsung pada suhu
kamar diduga mekanisme melalui adisi ikatan olefinik internal dengan spesies Pd-
H. Hasil adisi ini diikuti dengan pembentukan senyawa asi dari paldium dengan
adanya CO, selanjutnya terbentuk senyawa anhidrit melingkar karena adany
serangan nukleofil intramolekular. Risinoleat dan linoleat, memiliki ikatan
olefinik pada posisi internal, sehingga dapat diharapkan terjadi reaksi karbonilasi
dengan cara yang sama seperti terhadap oleat.
2.6 Pemakaian Metil Ester (FAME) dalam Campuran bahan bakar.
Fatty Acid Methyl Ester (FAME) adalah nama populer biodiesel. Bahan bakar ini
berbeda sifat kimianya dengan bahan bakar fosil yang mengandung senyawa
alkana dan aromatik, karena itu biodiesel menunjukkan sifat fisika yang berbeda
dari bahan fosil. Sifat fisika seperti angka cetan, penurunan angka pembakaran,
viskositas yang tinggi dan titik nyala pada biodiesel berpengaruh pada
pembakaran dan emisi yang terjadi pada mesin berbahan bakar diesel. Biodiesel
sebagai bahan bakar sangat baik karena dapat menurunkan emisi partikulat,
unburn hidrokarbon (UHC) dan CO2 tapi mengkonsumsi bahan bakar lebih tinggi
37
Universitas Sumatera Utara
38
serta menaikkan emisi NOx. Polutan yang dihasilkan tergantung pada banyak
faktor antara lain konsentrasi metil ester. Blending minyak kacang dengan
petrodiesel dengan variasi konsentrasi 10% dan 20%, menyebabkan emisi dari
mesin diesel bertambah 15% menjadi 40%, mutu biodiesel termasuk densitas,
viskositas, jenis metil ester maupun panjang rantai metil ester itu (Lapuerta 2008).
Monyem dan Van Gerpen melaporkan bahwa biodiesel turunan minyak kacang
mengandung kadar asam lemak tidak jenuh yang tinggi. Adanya ketidakjenuhan
ini menyebabkan gugus CH2 dekat kepada ikatan rangkap mudah terserang
radikal bebas. Asam asam linoleat dan linolenat mempunyai 2 dan 3 ikatan
rangkap lebih cepat teroksidasi dibandingkan denga asam yang hanya mempunyai
1 ikatan rangkap. Kedua jenis asam ini terdapat pada minyak kacang yang dapat
menghasilkan hidroperoksida pada reaksi autooksidasi. Bahan ini yang kemudian
dapat membentuk polimerisasi menghasilkan suatu zat berat molekul tinggi
berbentuk sendimet yang memisah dari campuran. Zat ini pada pembakaran
membentuk endapan dan melapisi sistem pembakaran mesin diesel. Dalam hal
yang sama, bentuk hidroperoksida dari asam lemak terurai menjadi asam rantai
pendek maupun aldehide. Dampak oksidasi biodiesel ini menyebabkan
performansi mesin dan emisi gas sulit dipahami. Untuk memahami sifat ketidak
setabilan biodiesel turunan minyak kacang, maka semua ikatan rangkap dioksidasi
sebelum digunakan sebagai bahan bakar diesel. Bahan teroksidasi dan yang belum
teroksidasi kemudian diuji sifat performansi pada mesin. Dengan menggunakan
bentuk teroksidasi dari metil ester menunjukkan hasil efisiensi termal yang sama
dengan bahan bakar diesel tetapi mengkonsumsi bahan bakar lebih banyak. Emisi
gas NOx dengan bahan itu dihasilkan lebih tinggi 13- 14% dari pada bahan bakar
diesel, sedangkan emisi hidrokarbon 51% lebih rendah. (Monyem, A 2001).
Penelitian lebih mendalam tentang ketidakstabilan metil ester asam tak jenuh telah
dilaporkan oleh Herbint. Telah dipelari mekanisme oksidasi pada dua jenis ester
tak jenuh yaitu metil – 5-dekenoat dan metil- 9- dekenoat. Hal ini dibuat sebagai
model untuk membandingkan mekanisme reaksi oksidasi metil ester minyak biji
lobak yang dilakukan pada reaktor yang diaduk secara jet. Juga telah
dibandingkan kecepatan oksidasi terhadap tiga senyawa yang telah dioksigenasi
Universitas Sumatera Utara
kemudian dianalisa perbedaan distribusi hasil oksidasi yang terjadi, serta
dipelajari pengaruh posisi ikatan rangkap pada rantai hidrokarbon itu. Diperoleh
hasil perbedaan reaktivitas ester metil-5-dekenoat lebih lambat dari pada metil-9-
dekanoat, karena proses isomerisasi ikatan rangkap lebih sulit terjadi. Pada metil-
9-dekanoat terdapat ikatan rangkap diujung rantai karbon sehingga mudah
membentuk peroksida dan berlanjut memutuskan ikatan C-C menurut aturan ß-
scisson.
CH3O
O
CH2-
O2 CH3O
O
O-O
Akibat serangan radikal ini, maka terjadi isomerisasi membentuk cincin 3- 6
melalui penangkapan proton pada posisi vinyl selanjutnya terjadi senyawa radikal
tak jenuh yang baru. Karena proses ini terjadi pemutusan menjadi rantai pendek
yang diesebut jelaga (soot) (Herbinet, O 2010).
Studi bahan bakar metil ester terhadap emisi gas yang lain seperti NOx telah
dilaporkan. Besarnya emisi gas NO x ini erat hubungan dengan angka cetan (CN).
Angka cetan adalah suatu petunjuk tentang kemampuan suatu bahan bakar dapat
digunakan dengan baik. Hidrokarbon heksadekana (C16H34) disebut dengan nama
trivial cetana , suatu rantai lurus berantai panjang telah menjadi standar dengan
bilangan CN = 100. Senyawa yang mutu pembakarannya rendah diberi angka CN
15 adalah senyawa 2,2,4,4,6,8,8,-heptametilnonana C16H34. Hubungan antara
struktur ester asam lemak dengan emisi gas NOx yang terjadi telah dapat
dipelajari. Emisi gas NOx bertambah dengan menaiknya jumlah bahan yang tak
jenuh dan menurunnya panjang rantai hidrokarbon. Karena itu perlu memberikan
bahan aditif untuk mencapai tingkat CN yang tepat (Knothe, G 2005).
Pemakaian biodiesel mempunyai beberapa dibanding dari minyak solar. Biodiesel
tidak mengandung bahan belerang sehingga pada penggunaan dalam energi tidak
mengemisi SO2, jadi ramah lingkungan. Juga telah dilaporkan bahwa biodiesel
yang tertumpah mudah terurai dialam ( biodegradable). Studi kecepatan
penguraian dalam air menunjukkan bahwa biodiesel dengan campuran 5% (B5)
39
Universitas Sumatera Utara
40
dapat terurai 50% antara 28 hingga 28 hari, sedangkan untuk B20 dapat terurai
50% selama 28 hingga 16 hari. Dari data ini terlihat bahwa efek bahan fosil ini
memperlambat penguraian biodiesel ( Pasqualino, J.C 2006) . Studi siklus bahan
biodiesel menunjukkan bahwa biodiesel tidak mempengaruhi pemanasan global
dan emisi gas CO2 lebih rendah 78% dibandingkan dengan petrodiesel (Gerpen, J
2005). Pemakaian biodiesel tidak hanya pada campuran dengan minyak solar, tapi
telah dilakukan pencampuran dengan bahan bensin (gasoline) dalam berbagai
perbandingan. Campuran ini kemudian telah dicoba pada mesin SI sebagai bahan
bakar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biodiesel dapat menurunkan gesekan
mesin pada suhu tinggi serta menurunkan emisi gas ( ChunDe, Y 2008 ).
Kegunaan biodiesel sebagai energi alternatif telah nyata baik kepada pengguna
maupun aspek terhadap lingkungan. Supaya bahan ini dapat berkesinambungan
maka perlu meningkatkan efisiensi proses pembuatan maupun usaha
produksibahan baku yang lebih murah, serta mengembangkan katalis. Untuk
menekan harga biodiesel maka perlu dilakukan pendayagunaan hasil samping
sehingga diperoleh keuntungan secara menyeluruh (Janaun, J 2010).
Sejauh ini biodiesel komersial B10 masih bersifat mono metil ester yang
mempunyai rantai lurus, sedemikian sehingga belum mampu bertindak
menghemat bahan bakar. Penggunaan B20 mono metil ester turunan soyabean oil,
memberi efek emisi gas NOx 6,2% ( Wyatt,V.T 2005). Diduga faktor struktur
linier metil ester menjadi penyebab emisi gas buang tinggi yang , sehingga perlu
dicari bentuk yang bercabang.
2.7 Bahan bakar aditif organik beroksigen
Penelitian tentang hubungan bahan bakar beroksigen yang dicampurkan
terhadap minyak bensin maupun minyak solar telah mendapat perhatian banyak
pihak. Bahan bakar yang mengandung oksigen sebagai tambahan disebut bahan
aditif. Masalah besar pada mesin berbahan bakar diesel adalah emisi partikulat
dan emisi gas NOx yang tinggi. Untuk menurunkan emisi ini maka penelitian
tentang cara dan perbaikan bahan bakar diesel telah mendapat perhatian serius.
Beberapa bahan organik mengandung oksigen telah dicampur dengan minyak
Universitas Sumatera Utara
solar dan efek campuran itu menunjukkan pengaruh pada penurunan emisi
terutama pada partikulat. Usaha yang telah dilakukan pada awal adalah dengan
mencampurkan metil ester turunan minyak kacang, asam dekanoat dan oktanol.
Bahan yang diujikan 1-2% dalam campuran itu telah menunjukkan penurunan
partikulat mencapai 10-15% tergantung pada struktur senyawa yang
mengandung oksigen itu. Meskipun penurunan jumlah emisi partkulat terjadi,
namun emisi gas NOx terdapat peningkatan pada metil ester minyak kacang 2-
3%. Perlakuan dengan campuran asam dekanoat tidak memberi pengaruh pada
kenaikan emisi gas NOx (Mc Cormick, R.L 1997).
Teknologi seperti ini menunjukkan sifat pembakaran yang lebih sempurna
sehingga dapat menurunkan emisi polutan secara umum. Pembakaran bahan
biodiesel ini telah menurunkan emisi partikulat, CO dan UHC akan tetapi emisi
gas NOX sedikit bertambah. Bahan aditif seperti metanol, metil tertier butil eter
(MTBE) dan dimetilkarbonat (DMC) maupun asetal telah digunakan untuk
meningkatkan kinerja bahan bakar bensin. DMC ini merupakan bahan turunan
sumber terpebaharukan, telah digunakan sebagai bahan aditif pada solar.
Penggunaan etanol 10% dalam campuran bensin telah menurunkan emisi
hidrokarbon 24%, emisi CO 61% sedangkan dengan menggunakan DMC 5%
dapat menurunkan emisi hidrokarbon 35%, beserta turunnya emisi CO 65%.
Namun sebaliknya emisi gas CO2 naik 14,8% dengan memakai etanol 10% dan
18% dengan menggunakan DMC 5%. Adapun perubahan emisi gas NOX dengan
aditif beroksigen tidak begitu nyata. Konsumsi bahan bakar memakai etanol dan
DMC sebagai bahan aditif dilaporkan mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan
kalor bakar dengan bending bahan aditif ini menjadi lebih rendah dibanding tanpa
blending(Wen, L 2010).
Pengaruh penambahan asetal suatu senyawa dengan rumus 1, 1-diethoxy ethana
CH3CH (OC2H5)2 telah diturunkan dari bahan etanol.
2 CH3 -CH2 -OH + CH3CHO CH3 C
O
O
CH3
CH3H + H2O
Katalis
41
Universitas Sumatera Utara
42
Katalis yang dipakai terbuat dari asam perfluorosulfonat dimuat pada silika
disingkat (PFS-SiO2). Bahan asetal ini digolongkan dalam energi terpebarukan
karena material ini berdasar pada bioetanol.
Pengujian kinerja bahan ini sebagai aditif dilakukan dengan membandingkan
bahan 1 % asetal diblending dengan minyak solar terhadap minyak solar murni.
Kemudian diuji penurunan titik nyala dalam bahan itu dengan kenaikan
kandungan oksigen dalam bahan blending itu. Titik nyala untuk blending berubah
menurut kadar kandungan asetal. Minyak solar dengan kadar berturut-turut
(100%)., 95% ., 90% dan 80% mempunyai titik nyala 73., 45., 32 dan 28 oC.
Makin tinggi kadar asetal dalam bahan itu menunjukkan titik nyala yang semakin
rendah. Untuk pengujian performansi mesin dilakukan dengan menggunakan
blending 10% asetal yaitu bahan dengan titik nyala 32 oC dibandingkan dengan
minyak 100%( titik nyala 73oC. Besaran emisi dari kedua jenis bahan bakar
kemudian diukur.
Pengaruh bahan aditif ini. pada bahan bakar solar terhadap emisi gas buang mesin
berbahan bakar minyak diesel telah dianalisis. Emisi unburn hidrokarbon dan gas
CO menunjukkan tidak ada perbedaan diantara penggunaan bahan bakar solar
dengan bahan bakar blending 10% asetal. Asetal sebagai bahan beroksigen tinggi
telah diharapkan akan berdampak pada menurunnya pembentukan asap. Emisi gas
NOx yang dihasilkan kemungkinan lebih dipengaruhi oleh sistim sirkulasi gas
buang dari pada mutu bahan bakar yang digunakan, walaupun emisi yang
teramati bertambah. (Frusteri, F 2007).
Bahan ini dapat bercampur baik dan berkinerja menurunkan emisi partikulat
maupun emisi gas dibandingkan tanpa aditif, namun mengkonsumsi bahan bakar
lebih banyak. Selain itu emisi bahan asetaldehide meningkat empat kali lipat.
Acetal disebut untuk 1, 1-diethoxy ethana maupun dimetil karbonat memiliki
rantai yang pendek namun mengandung oksigen yang tinggi dan dapat cepat
terurai sehingga menyebabkan kenaikan emisi asetaldehide. Ketidak stabilan
bahan aditif diatas kemungkinan karena efek sinergi rantai pendek dengan rantai
panjang parafin masih rendah. Untuk meningkatkan sifat sinergi itu maka perlu
dibuat suatu molekul berantai panjang yang mengandung oksigen dan bercabang.
Universitas Sumatera Utara
Senyawa yang dimaksud ini dapat diturunkan dari oleat, linoleat maupun
risinoleat yang berbahan baku renewable dengan reaksi karbonilasi. Proses
pembuatan asam oleat dari minyak kelapa sawit melalui reaksi transesterfikasi
sebagaimana dengan proses oleokimia. Hasil transesterifikasi berupa metil ester
campuran dan mengandung sedikit glisrida. Untuk mendapatkan metil oleat perlu
pemurnian dalam beberapa langkah yang meliputi destilasi vakum yang
menggunakan bahan pemantap maupun tanpa pemantap. Kemurnian tinggi dapat
diperoleh dengan fraksinasi rekristalisasi dalam urea-metanol mulai dalam bentuk
metil ester kemudian dilakukan dalam bentuk asam lemak hingga diperoleh kadar
asam oleat 85-95%. Asam oleat ini kemudian direaksikan dengan gas CO
menggunakan katalis PdCl2/CuCl2 bersama SiO2 aerosil, sehingga diperoleh
campuran hasil reaksi. Isolasi hasil reaksi dilakukan seperti prosedure yang
dilaporkan (Bangun, N dan Siahaan, D 2007).
Dimetil ester ini dipakai sebagai bahan aditif bersama metil ester campuran dan
dibelending dengan petrodiesel. Sedian bahan bakar ini diuji performance mesin
dan emisi gas yang dihasilkan.
Sebagaimana metode isolasi asam oleat maka isolasi risinoleat dilakukan dari
minyak jarak risinus. Cara yang dilakukan umumnya mengikuti proses yang
dilaporkan Berdeaux (Berdeaux, O 1997). Dengan metode ini metil risinoleat
dapat diperoleh dengan kemurnian 97,3%. Diharapkan hasil karbonilasi dapat
menghasilkan dimetil ester rantai panjang bercabang mengandung 5 atom oksigen
dengan struktur dibawah ini. + CO
CH3 (CH2)5 CHO
CH2 CH CH2C=O
(CH2)7COOCH3
CH3 (CH2)5CHOH
CH2 CH CH (CH2)7 COOCH3
(lakton cincin -5)
CH3OH/H2SO4CH3 (CH2)5CH
OHCH2 CH
COOCH3
CH2 (CH2)7COOCH3
dimetil ester bercabang dengan 5 atom oksigen Jika bahan baku dimulai dengan 2 buah ikatan rangkap seperti metil linoleat,
43
maka akan dihasilkan trimetil ester bercabang mengandung 6 atom oksigen.
Universitas Sumatera Utara