Chapter II

33
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanasan Global dan Energi Energi adalah kemampuan untuk melakukan uasaha dan menghasilkan panas. Ada bermacam-macam sumber energi yang terdapat dialam ini. Pada hakekatnya sumber energi ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu fosil, renewable dan nuklir (fissile). Bahan bakar fosil terbentuk secara geologi dan tak dapat dengan cepat terpebarukan (non renewable) contohnya minyak bumi, batubara, bitumen, gas alam, oil shale dan tar sands. Sumber energi renewable seperti biomasa, tenaga air, angin, matahari, panas bumi dan energi laut. Sumber energi nuklir terutama adalah uranium dan thorium. Sejak lama manusia telah menggunakan sumber energi renewable seperti kayu bakar, maupun air namun energinya tidak efisien. Sampai saat ini minyak bumi masih merupakan sumber energi utama bagi dunia. Pada penggunaan bahan tipe hidrokarban sebagai energi maka timbul energi disertai reaksi kimia. Secara umum reaksi dapat dituliskan: C x H y + (x+ 0,25y) O 2 x CO 2 + 0,5 H 2 O + H c Hc adalah panas pembakaran, nilainya tergantung pada perbandingan jumlah karbon dengan hidrogen. Bahan hidrokarbon yang mengandung sedikit hidrogen menghasilkan CO 2 yang lebih besar jika dibandingkan dengan bahan lain yang kaya hidrogen untuk menghasilkan energi. Jadi gas alam merupakan bahan bakar yang paling bersih sedangkan bahan yang berlignin paling kotor. Saat ini emisi CO 2 global hasil bahan bakar fosil , diperkirakan 30-40% berasal dari batu bara. Emisi CO 2 sudah lama terakumulasi diudara dan konsentrasinya menaik terus dan ini menimbulkan pemanasan global ( global warming). Berdasarkan pengukuran lebih dari satu abad maka telah tercatat bahwa terdapat kenaikan suhu global 0,56 o C. Kenaikan ini disebut perubahan cuaca global atau pemanasan global. Karena kenaikan emisi CO 2 maka terjadi mekanisme pemanasan kembali secara sendiri( auto-feedback mechanism of heating) dan akibat ini maka suhu global diperkirakan naik 1,5 o C sampai 5,8 o C pada abad yang berikut. Kenaikan suhu 11 Universitas Sumatera Utara

Transcript of Chapter II

Page 1: Chapter II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemanasan Global dan Energi

Energi adalah kemampuan untuk melakukan uasaha dan menghasilkan panas.

Ada bermacam-macam sumber energi yang terdapat dialam ini. Pada hakekatnya

sumber energi ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu fosil, renewable dan

nuklir (fissile). Bahan bakar fosil terbentuk secara geologi dan tak dapat dengan

cepat terpebarukan (non renewable) contohnya minyak bumi, batubara, bitumen,

gas alam, oil shale dan tar sands. Sumber energi renewable seperti biomasa,

tenaga air, angin, matahari, panas bumi dan energi laut. Sumber energi nuklir

terutama adalah uranium dan thorium. Sejak lama manusia telah menggunakan

sumber energi renewable seperti kayu bakar, maupun air namun energinya tidak

efisien. Sampai saat ini minyak bumi masih merupakan sumber energi utama bagi

dunia. Pada penggunaan bahan tipe hidrokarban sebagai energi maka timbul

energi disertai reaksi kimia. Secara umum reaksi dapat dituliskan:

CxHy + (x+ 0,25y) O2 x CO2 + 0,5 H2O + ∆Hc ∆Hc adalah panas pembakaran, nilainya tergantung pada perbandingan jumlah

karbon dengan hidrogen. Bahan hidrokarbon yang mengandung sedikit hidrogen

menghasilkan CO2 yang lebih besar jika dibandingkan dengan bahan lain yang

kaya hidrogen untuk menghasilkan energi. Jadi gas alam merupakan bahan bakar

yang paling bersih sedangkan bahan yang berlignin paling kotor. Saat ini emisi

CO2 global hasil bahan bakar fosil , diperkirakan 30-40% berasal dari batu bara.

Emisi CO2 sudah lama terakumulasi diudara dan konsentrasinya menaik terus dan

ini menimbulkan pemanasan global ( global warming). Berdasarkan pengukuran

lebih dari satu abad maka telah tercatat bahwa terdapat kenaikan suhu global

0,56oC. Kenaikan ini disebut perubahan cuaca global atau pemanasan global.

Karena kenaikan emisi CO2 maka terjadi mekanisme pemanasan kembali secara

sendiri( auto-feedback mechanism of heating) dan akibat ini maka suhu global

diperkirakan naik 1,5oC sampai 5,8oC pada abad yang berikut. Kenaikan suhu

11 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II

12 

 

yang demikian tajam dapat mengakibatkan beberapa perubahan seperti daerah

pertanian, perpindahan daerah penyakit tropis, pencairan es dikutub maupun

naiknya pemukaan laut sebesar 9-88cm. Karena isu perubahan cuaca global maka

telah dibuat kesepakatan Kyoto yang dipatuhi oleh semua negara.

Untuk menurunkan jumlah emisi CO2 dan pencemar lain sebaiknya dilakukan

dengan penghematan pemakaian bahan bakar fosil atau dengan menggunakan

sumber energi bebas karbon seperti energi nuklir, energi matahari, angin, panas

bumi. Penggunaan sumber energi biomasa sebagai bahan bakar akan

menghasilkan CO2, tapi jumlah emisi yang sama dari udara akan dilepaskan

kepada tumbuh tumbuhan sehingga membentuk siklus dengan total karbon

menjadi nol. Untuk mengurangi pemakaian ini perlu cara pemakaian energi fosil

yang efisien. Karena kebutuhan energi terus meningkat dan menurut laporan,

lebih dari 88% total energi yang dibutuhkan diambil dari bahan fosil. Ada

kekhawatiran tentang kecepatan pengurangan cadangan akan melampaui

kecepatan penemuan cadangan baru sementara ketergantungan pada pemakaian

bahan bakar fosil belum dapat diselesaikan maka akan timbul krisis energi dan

berbahaya pada masa mendatang ( Gupta, R. B dan Demirbas, A 2010).

Kebijaksanaan penggunaan energi pada sektor transportasi telah mendapat

perhatian di United Kingdom (UK) sebagai tindak lanjut kesepakatan Kyoto. Pada

2004 sektor transportasi telah mengkonsumsi bahan bakar paling tinggi dan sektor

ini menimbulkan emisi gas CO2 sebesar 30%. Untuk mencegah kenaikan laju

emisi gas CO2 ini maka pemerintah telah mengeluarkan kebijakan penggunaan

bahan bakar pada sektor transport. Penggantian sebagian bahan bakar fosil akan

dengan biofuel telah dikaji dari sumber bahan baku, metode produksi hingga

pengembangan kepada tipe bahan bakar yang lain. Ada dua jenis biofuel dapat

dihasilkan di dalam negeri dari sumber tumbuh-tumbuhan melalui berbagai

teknologi proses yaitu biodiesel dan bioetanol. Biofuel umumnya dijual dalam

bentuk campuran berkadar 5% namun pada beberapa daerah, campuran dapat

digunakan lebih dari 5%. Keberhasilan program itu telah ditunjang oleh sarana

lahan perkebunan yang sesuai untuk memperoleh kebutuhan yang cukup. Selain

dari biodiesel dan bioetanol telah dibuat bahan bakar generasi kedua yaitu tipe

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II

13 

 

minyak biodiesel FT dan bioetanol hasil dari selulosa dan lignin. FT biodiesel ini

mempunyai bilangan cetan tinggi dan kandungan kalor yang tinggi. Pemerintah

Inggris (UK) telah memperhitungkan ketersediaan suplai biofuel kadar 5% pada

tahun 2014 cukup untuk sektor transportasi (Hammond, G.P 2008). Pencemaran

lingkungan dan aspek pemanasan global terutama oleh emisi gas CO2 hasil

pembakaran menyebabkan perlu inovasi mengurangi pemakaian petroleum

sebagai sumber energi. Energi alternatif yang digunakan terutama dari bahan yang

terpebarukan.

2.2 Energi Terpebarukan

Bahan bakar bersumber dari fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas alam

masih dapat dihasilkan dengan kecepatan alamiah, sehingga kecepatan jumlah

pemakaian lebih tinggi dari pada kecepatan pembentukannya. Kondisi kecepatan

kedua belah pihak yang jauh berbeda maka bahan bakar fosil tergolong bahan tak

terpebarukan (non renewable). Secara global energi teperbarukan saat ini dipakai

berkisar 13,6% dan diperediksi pada tahun 2040 energi terpebarukan berkisar

47,7%. Distribusi penggunaan sumber energi terpebarukan yang digunakan,

diperediksikan hingga tahun 2040 dapat dilihat pada data Tabel 2.1 dibawah ini

Tabel 2.1 Distribusi jenis energi terpebarukan

Sumber energi terpebarukan dalam (109) ton Tahun 2001 Tahun 2040

Biomasa 1.008 3.271

Air terjun besar 22.7 358

Panas bumi 43,2 493

Air terjun kecil 9,5 189

Angin 4,7 688

Pans matahari 4,1 480

Sel surya 0,22 784

Listrik panas matahari 0,1 68

Energi lautan 0,05 20

Total sumber energi terpebarukan 1.365,5 6.351

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II

14 

 

Sumber energi terpebarukan yang sering dijumpai misalnya dari tumbuhan hewan

akan cepat diperoleh dengan menggunakan teknologi untuk menghasilkan energi

sesuai yang diperlukan, karena kecepatan konsumsi dan produksi relatif sama

maka disebut renewable energi. Sumber energi terpebarukan lebih menyebar dan

lebih mudah didapat dari pada sumber fosil dan bahan nuklir di alam ini dan

keuntungan menggunakan bahan energi terpebarukan ini dapat mengurangi

pencemaran lingkungan. Bahan renewable telah lama digunakan oleh manusia

lebih dari 5 ribu tahun yang lalu. Bahan ini umumnya digunakan untuk

pemanasan tapi efisiensinya sangat rendah. Saat ini energi biomasa hanya

digunakan 3% dari kebutuhan energi pokok, namun pada daerah pedesaan

penggunaan biomasa mencapai 50% umumnya dari bahan kayu. ( Gupta, R. B dan

Demirbas, A 2010).

Dengan cara menggunakan sumber bahan energi terpebarukan secara efisien,

maka sumber energi yang tersedia dialam tidak terbuang secara percuma dan yang

berdampak pada krisis pemanasan global ( global warming).

2.3 Industri bahan baku oleo kimia

Perhatian dunia terhadap komponent kimia pada bahan baku terpebarukan telah

beralih dari petroleum karena aspek ekonomi maupun lingkungan. Minyak

tumbuhan merupakan golongan minyak yang banyak diolah sebagai bahan kimia

karena mungkin ditransformasi dan juga banyak tersedia secara universal. Ada

juga telah melaporkan proseses polimerisasi minyak kacang dngan tiga metode.

Yang pertama secara langsung pada ikatan rangkap rantai asam lemak itu dengan

bahan kopolimer stirena, divinylbenzena maupun dengan senyawa stirena

mengandung silikon. Material yang dihasilkan mempunyai sifat mekanis yang

kuat dan tahan api. Cara yang kedua menghasilkan gugus fungsi dari ikatan

rangkap pada gliserida itu kemudian gugus itu dapat selanjutnya berpolimerisasi.

Dengan teknik fotoperoksidasi oksigen singlet pada minyak biji matahari maka

terjadi dehidrasi pada posisi alil asam oleat yang terkandung pada minyak itu

sehingga dihasilkan bentuk enon. Senyawa ini dapat menghasilkan reaksi kimia

kroslink dengan diamina aromatis. Cara yang ketiga, polimerisasi metatesis

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II

15 

 

senyawa alil 10-undecenoate, 10-[2′,5′-bis(10-undecenoyloxy)phenyl]-9,10-

dihydro-9-oxa-10-phospha-phenanthrene-10-oxide, dan 1,3-bis(10-undecenoyl)

glycerol untuk menghasilkan poliester yang mengandung fosfor dan gugus

hidroksil. Karena itu minyak yang mengandung asam lemak tidak jenuh dapat

menghasilkan bahan polimer termoseting (Ronda, J.C 2010).

Bahan kimia dari minyak nabati dapat dihasilkan dalam 3 katagori proses yaitu

sistim splitting, enzimatis dan transesterifikasi. (Ahmad, S 2000).

a. Sistim splitting : Lemak dengan uap air serta katalis menghasilkan gliserol dan

asam-asam lemak campuran.

b. Sistim enzimatis : Lemak dapat terhidrolisa dengan enzim lipase menghasilkan

gliserol dan asam lemak.

c. Sistem transesterifikasi : Lemak dicampurkan dengan larutan metanol-KOH

menghasilkan metil ester asam lemak campuran. Campuran ini difraksinasi, maka

dapat diperoleh fraksi metil ester dengan panjang rantai berbeda beda. Rantai

panjang umumnya kaya akan lemak tak jenuh seperti metil oleat meti linoleat dan

metil linolenat. Jumlah kandungannya bervariasi tergantng dari bahan baku.

Asam-asam lemak rantai pendek ini lebih awal keluar kemudian rantai sedang dan

rantai panjang (C16 keatas). Fraksi rantai panjang tak jenuh dapat menjadi umpan

pada reaksi karbonilasi.

2.3.1 Sistim Splitting

Asam lemak untuk keperluan bahan kimia telah lama diproduksi secara komersial.

Lemak dapat dihidrolisa dengan asam , maupun dengan menyabunkan kemudian

diasamkan menghasilkan campuran asam lemak dan glisrin maupun hasil

samping. Selain itu dapat juga terjadi dengan memberikan tekanan uap yang

tinggi sehingga asam lemak terdestilasi keluar (Ruston, N. A 1952).

2.3. 2 Sistim Enzimatis

Enzim lipase dapat menghidrolisa lemak dalam kondisi yang rendah

menghasilkan asam lemak dan dapat juga membentuk metil ester asam lemak.

Bebagai jenis enzim lipase dan cara perlakuan telah dilaporkan. Cara yang yang

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II

16 

 

menarik ialah dengan menjerat enzim ini supaya dapat digunakan berulang-ulang

(Ranganathan S.V. 2008) .

2.3.3 Transeterifakasi

Usaha untuk menjadikan minyak nabati sebagai bahan bakar mesin diesel telah

dicoba, namun bahan ini terhambat karena viskositas terlalu tinggi. Beberapa

usaha telah dilakukan mengurangi viskositas itu seperti pengenceran, mikro

emulsi, pirolisis dan transesterifikasi. Perubahan kimia dari minyak menjadi ester

asam lemak (FAME) secara industri dilakukan dengan reaksi transesterifikasi.

Berbagai teknik reaksi transesterifikasi telah dilakukan baik dari sumber pangan

maupun non pangan dengan menggunakan katalis dan juga non katalis.

Reaksi transesterifikasi membutuhkan katalis baik homogen seperti KOH, NaOH,

metoksida dan katalis asam seperti asam sulfat, para toluena sulfonat. Katalis

heterogen juga telah dipakai seperti oksida logam ataupun senyawa karbonat.

Berbagai teknik reaksi dengan mengubah media maupun suhu dan tekanan seperti

kondisi superkritis metanol dan menggunakan kosolven telah dilaporkan. Teknik

reaksi yang cukup penting dan tidak mencemari lingkungan yaitu menggunakan

enzim lipase digolongkan pada reaksi biokatalisis juga telah digunakan.

Transesterifikasi menggunakan katalis basa dilakukan dengan melarutkan KOH

ataupun NaOH dalam metanol dalam satu reaktor. Minyak nabati diinjeksikan

kedalam reaktor biodiesel diikuti kemudian larutan katalis. Campuran dipanaskan

pada 67oC selama 2 jam pada tekanan 1 atm. Hasil reaksi membentuk 2 lapisan

yaitu ester dan gliserol kasar. Pemisahan akan sempurna setelah dibiarkan dalam 2

jam. Kesempurnaan diperoleh dengan setling 20 jam, kemudian ditambahkan air

sebanyak 5,5% voluma dari jumlah metil ester, kemudian diaduk selama 5 menit.

Proses pencucian ester dilakukan dalam dua step. Pertama dicuci menggunakan

air sebanyak 28% dari volume minyak dan pencucian kedua dengan larutan 1 g

asam titanat per liter air sambil diaduk perlahan-lahan. Kedalam lapisan air

digelembungkan udara sambil diaduk sampai diperoleh lapisan ester menjadi

jernih. Setelah setling, lapisan air dipisahkan dan ahirnya ditambahkan lagi air

sebanyak 28% dari jumlah minyak untuk pencucian ahir.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II

CH2

CH

CH2

O

O

O

C

C

C

R

R

R

O

O

O

CH3 OH+

CH2

CH

CH2

OH

OH

OH

+ R C

O

O CH3

Trigliserida

Katalis

Glisrol

Metil ester asam lemak( FAME )

.

Gambar 2.1 Reaksi umum transesterifikasi

Metode transesterifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan katalis asam.

m metanol sebagai katalis dapat dibuat dengan

. Minyak nabati

Katalis asam yang digunakan antara lain seperti asam klorida anhidrat, asam

sulfat, maupun turunan sulfonat.

Asam klorida anhidrous 5% dala

penggelembungan gas HCl kering kedalam metanol.). Pembuatan asam klorida

anhidrous dapat dilakukan dengan dengan menambahkan amonium klorida

kedalam asam sulfat pekat. Cara pembuatan HCl dapat juga dilakukan dengan

menambahkan 5ml asetil klorida kedalam 50 ml metanol kering.

Asam sulfat dalam metanol secara umum sudah banyak dilakukan

mengalami reaksi transesterifikasi dikatalisis dengan campuran 10% asam sulfat

dalam metanol sambil dipanaskan. Kemampuan katalisis asam sulfat metanol 1-

2% setara dengan sifat asam klorida – metanol 5% dan katalis asam sulfat ini

mudah dibuat. Transesterifikasi dengan katalis ini menghasikan alkil ester

berjumlah banyak, tetapi berjalan lambat. Faktor perbandingan jumlah alkohol

dengan minyak adalah penting. Kelebihan alkohol membuat glisrol sulit untuk

diperoleh. Karena itu perbandingan pemakaian alkohol dengan minyak harus

dibuat dengan tepat. Dengan prinsip kesetimbangan, maka pemakaian alkohol

yang berlebih akan menggeser kesetimbangan kearah kanan sehingga berpengaruh

pada peningkatan jumlah ester yang terbentuk. Mekanisme transesterifikasi

dengan katalis asam dapat dilihat pada Gambar 2.2 dibawah ini

17 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II

R CO

O R1

H+

R CO

O+

H

R1

R2OHR C

O

O+

O

H

R2H

R1

R CO

O+

H

R2R C

O

O R2

HOR1

H+

Ester / Lemak

( alkohol)

Alkil Ester  

Gambar 2.2 Mekanisme Transesterifikasi dikatalisis dengan Asam

Pada Gambar diatas menunjukkan bahwa pada reaksi langkah pertama terjadi

protonasi menghasilkan ion oksonium selanjutnya mengalami reaksi pertukaran

dengan alkohol menghasilkan suatu intermediate. Zat intermediate ini melepaskan

suatu alkohol (glisrol) dan selanjutnya menghasilkan alkil ester setelah

melepaskan proton. Dalam reaksi transesterifikasi ini terjadi kesetimbangan dalam

tiap langkah, karena itu jika terdapat alkohol yang berlebih maka reaksi

pembentukan ester menjadi sempurna (Demirbas, A 2008).

Transesterifikasi minyak nabati dengan katalis asam relatif lambat dibandingkan

dengan katalis basa, akan tetapi sangat tepat digunakan pada minyak yang

mengandung asam lemak bebas sehingga perlu pengembangan metode reaksi.

Pengembangan tehnik reaksi transesterifikasi minyak nabati mengandung asam

lemak telah dilaporkan. Katalis yang bersifat asam, seperti asam sulfat dan para

toluen sulfonat (PTS) telah digunakan pada reaksi transesterifikasi minyak nabati.

Percampuran minyak nabati dengan alkohol dan katalis asam tidak dapat

bercampur homogen, karena itu perlu ditambahkan pelarut organik, dimetil eter.

Percobaan reaksi ini dilakukan dalam sebuah reaktor glas yang tahan tekanan.

Kedalam reaktor ini dimasukkan minyak, katalis asam dan metanol. Dimetil eter

dialirkan dari suatu tabung melalui pipa sampai mencapai tekanan 5 atm. Jumlah

metanol divarisi 3 sampai 10 % mol sedangkan katalis dibuat 1 sampai 4% berat

dari minyak. Variasi suhu reaksi dibuat 40; 60 dan 80oC. Alat ini dikocok dengan

kecepatan 2,6 Hz. Hasil reaksi bahwa katalis asam para toluena sulfonat (PTSA)

18 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II

lebih aktif dari pada asam sulfat. Setelah reaksi 8 jam pada 60oC dalam pelarut

dimetil eter dihasilkan metil ester 90,2%.      Pada pertambahan suhu menjadi

80oC, reaksi menghasilkan metil ester 97,1% dalam 2 jam. PTSA lebih aktif dari

asam sulfat diduga karena sifat hidrofobilitasnya yang tinggi sehingga mudah

menyerang molekul triglisrida sebaliknya dengan asam sulfat selain sifatnya dapat

mengoksidasi, kemampuannya bercampur dengan minyak (hidrofobilitasnya)

rendah(Guan, G 2009).

Cara lain dengan menggunakan katalis basa organik seperti amine. Yao

menampilkan 3 jenis katalis basa organik, isopropil amine (IPA), tertier butil

amine (t-BA), and tertier etil amine(TEA) pada transesterifikasi minyak biji lobak

dan minyak biji kacang. Katalis ini mempunyai keunggulan karena pada ahir

reaksi dapat diperoleh dari campuran hasil reaksi dengan cara mendestilasi dan

tidak menghasilkan sabun. Kelemahan sistim ini dibandingkan dengan katalis

basa anorganik adalah suhu dan tekanan serta jumlah metanol yang dibutuhkan

relatif tinggi. Untuk mengatasi kesulitan ini maka dibutuhkan KOH dalam jumlah

kecil. Reaksi transesterifikasi minyak pada 190oC selama 3 jam dengan katalis

campuran amine 6% berat minyak serta menambahkan KOH 367,1 mg/ kg dalam

metanol 9% mol minyak. Peran KOH mempertinggi aktifitas amine sebagai

katalis transesterifikasi dapat terlihat dari yield metil ester. Pada sistim katalis

TEA yield metil ester meningkat dari 55,3 menjadi 94,1%, demikian juga dengan

katalis DEA meningkat dari 67,5 menjadi 92,8%. Penggunaan katalis t-BA

mengalami pertambahan yield metil ester dari 62,4 menjadi 91,3% ( Yao, J 2010).

Berbagai tipe katalis lain juga telah dipakai misalnya natrium metoksida dan

boron triflorida. Penggunaan natrium metoksida sebagai katalis transesterifikasi

dapat dilakukan pada sekala yang besar. Reaksi antara natrium metoksida dengan

minyak nabati bersama metanol berlangsung cepat, dalam 2- 5 menit reaksi terjadi

dengan sempurna meskipun pada suhu kamar (Dermibas, A 2008). Penggunaan

basa seperti NaOH, KOH sebagai katalis transesterifikasi diduga membetuk

metoksida secara insitu. NaOH mula mula bereaksi dengan CH3OH menghasilkan

NaOCH3. Na OH + HOCH3 NaOCH3 + H2O

19 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II

Adanya air pada reaksi transesterifikasi dapat mengganggu reaksi karena dapat

menghidrolisa metil ester yang dihasilkan reaksi. CH2 OCOR1

CH

CH2

OCOR2

OCOR3

+ 3 CH3OHKatalis

CH2 OH

CH

CH2

OH

OH

+

R1 COOCH3

R2 COOCH3

R3 COOCH3

Minyak/Lemak Metanol Glisrol Metil ester

RCOOCH3 + H2O RCOOH + CH3OHMetil ester Asam lemak Mekanisme reaksi transesterifikasi dengan katalis natrium metoksida diusulkan

menurut Gambar 2.3 sebagai berikut

NaOCH3 Na+ + CH3O

-

R1 C

O

O R2

+ CH3O- R1 C

O-

O

O R2

CH3

+ CH3OH

R1 C

O-

O+

CH3

O R2

H

CH3O- +

R1 C

O

O CH3R2OH +

R2 adalah

CH2-

CH

CH2

OCOR1

OCOR1

R1 adalah rantai karbon asam lemak

triglisrida

metoksida

metoksida

metoksidanatrium metoksida

 

Gambar 2.3 Mekanisme reaksi transesterifikasi dikatalisis oleh alkoksida

Dari mekanisme ini terlihat metoksida kembali dihasilkan pada langkah

berikutnya tanpa terjadi air. Adanya air menyebabkan terjadi hidrolisis sehingga 20 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II

21 

 

metil ester yang dihasilkan menghasilkan asam, selanjutnya dapat menghasilkan

sabun karena bereaksi dengan basa. Karena itu reaksi transesterifikasi dengan

katalis metoksida lebih baih dibandingkan dengan memakai hidroksida dari

golongan alkali. Kesulitan katalis metoksida ini ada pada penyimpanan dan

penanganan (handling).Bahan ini mudah terurai pada kelembapan dan sifatnya

basa membuat perlu penanganan hati-hati. Hal inilah membuat perusahaan

pemasok bahan mencampur natrium metoksida bersama metanol kering( Meher,

L. C 2006).

Usaha untuk memperoleh hasil transesterifikasi minyak nabati yaitu metil ester

dan juga gliserol yang baik, maka digunakan metode dengan kondisi metanol

superkritis. Problem terbesar pada reaksi menggunakan katalis basa adalah sulit

untuk mendapatkan gliserol, karena itu telah dicoba usaha melakukan reaksi

transesterifikasi minyak nabati dengan metanol superkritis tanpa katalis.

Hawash melaporkan transesterifikasi minyak jarak menggunakan kondisi metanol

superkritis tanpa katalis. Serangkaian percobaan reaksi telah dilakukan untuk

mempelajari pengaruh suhu, tekanan, perbandingan mol metanol terhadap

triglisrida terhadap jumlah metil ester yang dihasilkan. Zat hasil reaksi dianalisis

menggunakan plat TLC dan juga dengan kromatografi cair performansi yang

tinggi (HPLC). Pada TLC dapat diketahui adanya triglisrida yang belum bereaksi

dan komponen yang berupa senyawa mono, diglisrida serta juga metil ester.

Dengan HPLC dapat ditentukan kandungan senyawa polar seperti di, dan mono

glisrida serta glisrol. Jumlah asam lemak bebas pada bahan ditentukan secara

titrasi menggunakan larutan standart 0,1 N KOH dengan fenol ftalena sebagai

indikator. Plat TLC berukuran 20x 20 cm dilapisi dengan bubur silika gel ( 60 G)

dalam air ( 15 g silika gel/100ml air), dikeringkan diudara kemudian

dipanaskan(diaktifkan) pada 110oC selama 1 jam. Sampel minyak jatropha yang

sudah diesterkan dan sampel jatropha sebelum diesterkan serta sampel standart

metil ester ditotolkan pada plat TLC kira kira 3 cm dari bawah. Pelarut eluen yang

digunakan terdiri dari n-heksana :dietil eter : asam asetat = 80:20:1. Selanjutnya

plat itu setelah dielusi, dimasukkan ke ruang berisi uap jodium, untuk melihat

noda yang berbeda. Alat HPLC yang digunakan Shimadzu L C 10 dihubungkan

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II

22 

 

dengan detektor refraksi index menggunakan kolom Shim-Pack SCR- 10 N (7,9

mm – 30 cm) buatan Shimadzu. Suhu dibuat 50oC dan air dipompa melalui kolom

dengan kecepatan 0,5 ml/menit untuk membuat komponen terpisah. Kondisi

reaksi pada 512-613 K dengan tekanan 5.7-8.6 MPa, menggunakan perbandingan

alkohol : minyak adalah 10 : 43 mol menghasilkan FAME 100% (Hawash, S

2009). Prinsip dasar proses pada oleo kimia melalui reaksi transesterifikasi

minyak seperti CPO, PKO maupn minyak jarak menghasilkan ester metil maupun

etil telah banyak dilaporkan. Baik ester asam lemak maupun asam lemak bebas

telah diubah menjadi alkohol (fatty alcohol). Melalui berbagai metode

transesterifikasi trigliserida dapat dihasilkan berbagai bahan kimia secara industri. Table 2.2 Beberapa bahan kimia yang dapat dihasilkan dari minyak nabati

Nama minyak

Bahan hasil

Hasil hilir Penggunaan

CPO Glisrol Mono glisrida Pengemulsi makanan

1-2 propana diol, dimetil propana glikol (1)

Pelarut minyak wangi

RCOOCH3 RCOONa Sabun

Asam oleat

Asam azelat, asam pelargonat, 1,9-nona diamida, 1,9-nona diamina, pelargo namida.(2)

Bahan polimer, insektisida, dan pelumas

Dikarboksilat anhidrid , asam dikarboksilat rantai cabang(3)

Bahan aditif biodiesel(3)

Asam linoleat

Asam dikarboksilat anhidrid tak jenuh(4)

Bahan adesif

PKO asam dekanoat

Dekil amine, dekil aldehid (5) insektisida

Castor oil Metil risinoleat

Lakton cincin 6 , hidroksi dimetil ester rantai cabang(6)

Aditif biodiesel kaya oksigen

1-6 ditemukan oleh Nimpan Bangun dan Seri Bima Sembiring berupa teknologi proses dan manfaat, beserta mhasiswa maupun beberapa orang luar USU.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II

2.4 Asam-asam dikarboksilat rantai lurus.

Struktur asam dikarboksilat dapat digolongkan sebagai rantai bercabang dan

berantai lurus. Pembuatan rantai lurus dapat dilakukan dengan beberapa cara.

2.4.1 Reaksi oksidasi

Asam lemak tak jenuh, seperti asam oleat dapat dioksidasi dengan ozon sehingga

terbentuk asam pelargonat (C9) dan asam dikarboksilat C9 disebut sebagai asam

azelat menurut reaksi dibawah ini ( Kadesch, R. G 1979). Baik asam pelargonat

maupun asam azelat adalah asam berantai lurus.

CH3 (CH2)7 CH CH (CH2)7 COOH + O3 CH3 (CH2)7 CH CH (CH2)7

O O

OCOOH

+ H2O

CH3 (CH2)7 C

O

OH+

C (CH2)7

O

OHC

O

OH

Asam oleat

Asam pelargonat Asam azelat  

Gambar 2. 4 Reaksi ozonisasi asam oleat

Dengan metode yang sama oksidasi terhadap asam lemak tak jenuh yang lain

dapat dihasilkan asam cebasit, maupun asam dikarboksilat C21. Proses oksidasi

dapat dibuat melalui penggunaan asam kromat, kalium permanganate maupun

dengan hidrogen peroksida.

Berbeda dengan penggunaan ozon, oksidasi asam oleat dengan menggunakan

larutan KMnO4 dapat menghasilkan asam asam dihidroksi, asam keto hidroksi,

asam diketo stearat selain asam azelat dan asam pelargonat. Distribusi hasil reaksi

oksidasi asam oleat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis emulsifier,

konsentrasi asam oleat dalam emulsi dan perbandingan KMnO4 terhadap asam

oleat (Garti, N dan Avni, E 1981).

Kegunaan asam dikarboksilat bermacam, C9, C10 dan C12 dipakai sebagai

plastisizer. Polivynil klorida berguna sebagai pelumas mesin , sebagai bahan

intermediate, poliamida, poliester , poliuretane, adhesive coating, resin dan lain-

lain ( Kadesch, R.G 1979 dan Jhonson, R.W 1984 ).

23 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II

2.4.2 Reaksi metatesis

Asam lemak tak jenuh dapat ditransformasi menjadi bahan kimia lain dengan

berbagai cara metatesis. Ester campuran asam lemak, hasil dari minyak biji

matahari mengalami metatesis dengan katalisis heterogen memakai katalisis

Re2O7 / SiO2-Al2O3 / SnBu4. Pada reaksi metatesis dengan konversi metil linoleat

81,1% dapat membentuk 20,4% senyawa dimetil ester campuran. Jika metil oleat

bercampur dengan metil linoleat dilakuksn reaksi metatesis maka jumlah dimetil

ester total tergantung pada total konversi linoleat (Marvey, B.B 2003).

Metatesis asam karboksilat tak jenuh maupun esternya bersama dengan etena

(cross metatesis) dikatalisa dengan katalis Grubb; suatu komplek Ruthenium,

dapat menghasilkan α,ω senyawa dikarboksilat tak jenuh dengan hasil 38-40%.

Berbeda hasilnya dengan cara metatesis asam tak jenuh seperti asam oleat tanpa

pelarut dan alkena lain dikatalisa oleh katalis Grubb generasi ke dua dapat

menghasilkan α,ω asam dikarboksilat tak jenuh, dengan konversi >80% ( Ngo,

H.L 2006 ). Reaksi dapat digambarkan seperti dibawah ini CH3(CH2)7CH=CH(CH2)COOH +CH2=CH2

CH2=CH(CH2)7COOH + CH3(CH2)7CH=CH2 Selanjutnya terjadi reaksi mengalami koupling 2 CH2=CH(CH2)7COOH HOOC(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH + CH2=CH2 Reaksi tanpa etena dapat berjalan langsung menghasilkan dikarboksilat tak jenuh

dan olefin internal; disebut self metatesis

2CH3(CH2)7CH=CH(CH2)COOH HOOC(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH

+ CH3(CH2)7CH=CH(CH2)CH3  

Reaksi metatesis terhadap metil oleat dikatalisa dengan komplek ruthenium

indenylidena phoban dapat menghasilkan diester rantai panjang. Katalis phoan ini

lebih stabil dari katalis Grubb generasi 1 sehingga proses metatesisi lebih

ekonomis (Forman, G.S 2006).

24 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II

2.5 Asam-asam dikarboksilat rantai cabang

Asam dikarboksilat rantai cabang dapat diturunkan dari asam lemak tak jenuh

melalui reaksi karbonilasi. Reaksi ini terjadi antara asam lemak dengan CO

dengan pertolongan katalis disebut reaksi karbonilasi. Reaksi ini berdasarkan zat

hasilnya dapat dikelompokkan menjadi hidroformilasi, hidrokarbonilasi maupun

hidroesterifikasi.

2.5.1 Hidroformilasi

Reaksi hidroformilasi adalah suatu cara menghasilkan aldehide dari senyawa tak

jenuh yang bereaksi dengan CO dan H2. Pioner reaksi ini adalah O. Roelen yang

saat itu bekerja untuk mencoba meresiklus olefin ke reaktor sintesis Fischer –

Tropsch. Pada saat itu industri butanol dihasilkan 4 juta ton per tahun dari reaksi

karbonilasi propena.

Reaksi hidroformilasi ini pada mulanya dikatalisis oleh kobalt, menurut reaksi

RCH=CH2 + CO + H2 + R C

CH3

COH

H

bentuk normal bentuk iso

2 R CH2C

O

HKobalt

Untuk R adalah CH3 maka dihasilkan n- butanol dan iso butanol

Otto Roelen pada 1938 mengoperasikan industri ini dengan katalis [Co2(CO)8]

pada 120oC-170oC dengan tekanan 200 -300 atm. Industri yang sama telah

ditemukan oleh Union Carbide pada 1976 dengan katalis lain [RhCl(CO)2(PPh3)2]

didalam cairan PPh3. Fungsi cairan PPh3 untuk menstabilkan spesies katalis yang

aktif dan menutup lokasi kordinasi pada logam Rh yang membentuk insersi

propena sehingga cenderung menghasilkan isomer yang linier. PBu3 telah dipakai

sebagai ligan terhadap kobalt dan memberikan kereaktifan yang tinggi serta

selektifitas pembentukan isomer linier yang tinggi. Reaktifitas yang sedemikian

tinggi menyebabkan produk aldehid mengalami reaksi dengan hidrogen menjadi

alkohol. Pada langkah terahir berlangsung secara ireversibel menghasilkan

butiraldehida sebagai hasil adisi H2 pada spesies formil metal hidrida. Pada katalis

25 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II

kobalt karbonil, spesies yang aktif adalah [HCo(CO)3], berelektron 16 yang

dihasilkan oleh adisi H2 pada Co2(CO)8 menurut reaksi

Co2(CO)8 2[Co(CO)4 ]. [(CO)4 Co- H - H -Co(CO)4]H2 2[HCo(CO)4 ] Hidrida spesies ini kemudian terdisosiasi menjadi 3 karbonil menghasilkan

kordinasi tak jenuh 16 elektron, sehingga reaktif. Hidroformilasi dengan katalis

rodium, komplek dengan [Rh (CO)12] dan [Rh (CO)16] adalah stabil, karena itu

harus dirubah menjadi komplek hidrida dengan memberi tekanan gas campuran

H2 dan CO menghasilkan [HRh (CO)4] dan kemudian bersama ligan fosfin, PPh3

menghasilkan [HRh(CO)2(PPh3)2]. Spesies ini kemudian melepaskan CO

membentuk komplek 16 elektron sehingga reaktif. Komplek rhodium 1000 kali

lebih reaktif dari pada kobalt, tapi harganya lebih mahal (Astruc, D 2007).

Secara umum reaksi hidroformilasi menghasilkan aldehid berantai lurus (normal)

dan isomernya berantai cabang (iso). Mekanisme pembentukan butiraldehida dari

propena dapat dilihat seperti Gambar 2.5 dibawah ini.

Gambar 2.5 Siklus mekanisme hidrofomilasi propena menjadi butiraldehida 26 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II

Perusahaan Rhône Poulenc telah berhasil mengatasi kesulitan pembiayaan katalis

rhodium itu, dengan cara mempertahankan penggunaan katalis berulang-ulang. Metode

yang dipakai adalah menggunakan ligan fosfina terlarut dalam air, P(m-C6H4SO3-Na)3

yang diberi nama triphenil phosphine sulfonat sodium, TPPS. Bahan ini dibuat dari

sulfonasi fosfina menggunakan asam sulfat berasap menyebabkan gugus sulfonat

terbentuk pada posisi meta dari cincin fenil seperti Gambar 2.6 dibawah ini.

PSO3H

SO3H

HO3S

Gambar 2.6 Struktur trifenil fosfina meta asam sulfonat

Rhodium komplek dengan ligan sulfonat memiliki sifat larut dalam air dan

reaktifitas katalisis tidak berkurang. Pada ahir proses hidroformilasi, dihasilkan

aldehide yang terdapat pada fase organik, sedangkan katalis rhodium berada pada

fase air sehingga dapat digunakan kembali.

Pengembagan teknologi reaksi pada industri aldehid dengan cara hidroformilasi

telah berlanjut pada Union Carbida. Bahan baku olefin internal telah digunakan

bersama katalis rhodium komplek dengan ligan fosfite yang besar untuk

menghasikan senyawa yang asimetris. Bagian ini berkembang menjadi asimetrik

katalisis.

Asam lemak tak jenuh mengalami hidroformilasi dengan bantuan katalis

membentuk persamaan seperti di bawah ini :

CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOR CO,H2

CH3 (CH2)7 C

C

H

OH

CH2 (CH2)7 COOR

Aldehide yang dihasilkan dapat dioksidasi menjadi asam dikarboksilat jika R=H.

Kondisi reaksi bervariasi tergantung katalis yang digunakan. Reaksi

hydroformilasi senyawa lemak tak jenuh memakai katalis Co2(CO)8 berlangsung

pada 100oC dengan tekanan gas H2/CO 3000-4000 psi, tetapi dengan katalis 27 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter II

RhCl3/PPh3 suhu operasional 90o-110oC dengan tekanan 500-2000 psi

menghasilkan konversi 95% ( Frankel dan Pryde 1977 ). Perkembangan terakhir

hidroformilasi menggunakan katalis rhodium. Dengan memakai ligan phosphit

yang bulky bersama rhodium karbonil asetil asetonate, hidroformilasi ester

maupun asam lemak tak jenuh berlangsung lebih cepat. Telah dipelajari pengaruh

perbandingan ligan dengan atom Rh, suhu, tekanan CO tekanan H2. Kecepatan

reaksi paling besar, dengan turn over frekuensi 500 mol/jam, pada perbandingan

metil oleat: Rh=910 mol, suhu 80-100oC dan tekanan CO/H2=20 bar. Dalam 3

jam diperoleh konversi metil oleat 95% (Muilwijk, K. F 1997). Aldehide diatas

yang diperoleh dapat dioksidasi menjadi asam dikarboksilat bercabang.

2.5.2 Hidrokarboksilasi

Karbonilasi terhadap senyawa olefine seing disebut reaksi Reppe, karene pioner

reaksi ini oleh Walter von Reppe. Telah diduga bahwa reaksi diawali dengan

proses insersi olefine kedalam ikatan M-H, sehingga reaksi ini menyerupai

hidroformilasi. Karena itu terbentuk spesies metal alkil kemudian berpindah

kepada ligan CO menghasilkan komplek asil. Komplek ini sangat mudah

terserang oleh nukleofil seperti H2O, ROH, RNH2, RSH maupun RCOOH.

Sebagai contoh pada reaksi olefine dengan CO beserta H2O.

R CH CH2 + CO + H2O[Fe(CO)5]

OH-,90

oC

CO2 + R -CH(CHO)CH3 + R -CH2 -CH2 CHO

Hidrokarboksilasi terhadap senyawa alkuna maupun olefin sejak lama telah

berkembang dan menghasilkan asam-asam organik tak jenuh dan asam organik

yang jenuh. Bahan baku pada awal reaksi ini ditemukan dari asetilena kemudian

diubah menjadi asam akrilat, metil akrilat kemudian bahan tak jenuh ini

mengalami polimerisasi menjadi poliakrilat. Melalui teknik reaksi karbonilasi

seperti ini dikembangkan reaksi dengan bahan baku yang berbeda seperti propuna

dan alkuna yang lain. Banyak senyawa intermediet yang mungkin diturunkan

dengan reaksi karbonilasi ini. Senyawa alkuna dan senyawa olefine mempunyai

ikatan pi yang dengan katalis membentuk komplek organologam, pembentukan

komplek ini menyebabkan kereaktifan atom karbon terhadap nukleofil meningkat

28 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Chapter II

dan karena itu terjadi adisi pada atom karbon. Reaksi karbonilasi senyawa alkuna

menjadi asam tak jenuh pada mulanya dikatalisis Ni(CO)4 dengan adanya

promotor asam halida (HX). Reaksi ini membentuk hidrida HNi (CO)2X, suatu

komplek 16 elektron, mudah berkordinasi dengan alkuna. Mekanisme reaksi

diduga seperti Gambar 2.7 dibawah ini.

Ni(CO)4 + HX

- 2CO HNi(CO)2 XC C CH3R

HNi(CO)2 X

R C C CH3

C C

CH3

HC

R

Ni(CO)2X

O + CO

C C

CH3

CH

R

Ni(CO)2X

O

+ CO

H2O

H2O

R C CCH3

HHOOC

R CH

C

COOH

CH3

Gambar 2.7 Ni(CO)4 mengkatalisis hidrokarbonilasi alkuna

Reaksi Reaksi karbonilasi beberapa alkuna telah dilaporkan oleh Reppe.

karbonilasi asetilena dikatalisis oleh komlpek Ni(CO)4 dalam air menghasilkan

asam akrilat seperti berikut

CH CH + H2O CH2 CH C

O

OH

asetilena asam akrilat

Ni(CO)4

HX

Jika nukleofil air diganti dengan alkohol aka akan dihasilkan ester akrilat m

menurut reaksi dibawah ini.

29 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Chapter II

CH CH CO CH2 CH C O CH3

O

+ CH3OH+  

Nikel tetrakarbonil (Ni(CO)4 merupakan suatu katalis reaksi karbonilasi paling

efektif pada awal kreasi oleh Walter von Reppe. Bahan ini telah dibuat dalam

sekala besar menurut reaksi berikut ini.

NiX2 + 5 CO H2O+ Ni(CO)4 + CO2 + 2 HX 

Senyawa asetilen bereaksi dengan air dengan katalis Ni(CO)4 menghasilkan asam

akrilat dengan yield di atas 90% pada suhu 150o C dan tekanan 30 atm. Metil

asetilen dapat membentuk metil metakrilat dengan reaksi karbonilasi dalam

metanol dengan katalis Ni(CO)4. Asam lemak tak jenuh dapat dipandang sebagai

molekul olefin sehingga dapat membentuk reaksi hidrokarboksilasi menurut

reaksi dibawah ini.

CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH CO,H2O CH3 (CH2)7 C

COOH

H

CH2 (CH2)7 COOH

Asam oleat telah diubah menjadi dikarboksilat melalui reaksi hidrokarboksilasi

dengan katalis nikel halida pada suhu dan tekanan yang tinggi. Pembentukan asam

dikarboksilat ini dipublikasikan dalam bentuk paten (Falbe, J 1970)

Hidrokarboksilasi asam oleat dengan katalis PdCl2/PPh3 telah dapat menghasilkan

9(10)-asam karboksi stearat dengan yield 85-99% tergantung kondisi reaksi. Pada

umumnya reaksi karbonilasi dengan katalis ini terjadi isomerisasi baik pada

tekanan rendah maupun pada suhu tinggi. Katalis yang lebih baik dapat digunakan

dari campuran Pd/C, trifenilfosfine, hidrogen klorida. Konversi asam oleat makin

tinggi pada suhu 140-150oC dan tekanan 4000 psi. Untuk penggunaan katalis

PdCl2 0,5%., PPh3 2%, air 110 mol suhu 160oC tekanan 4000 psi selama 6 jam,

konversi asam oleat 89,8%. Jika PdCl2 1%., PPh3 2%, air 110 mol suhu 140oC

tekanan 4250 psi selama 4 jam maka diperoleh konversi 99,4% ( Frankel dan

Pryde 1977 ).

2.5.3 Paladium katalisis karbonilasi

Paladium sebagai katalis karbonilasi pada awalnya tidak popular dibandingkan

dengan nikel. Katalisis karbonilasi menggunakan Pd pertama sekali diperkenalkan 30 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Chapter II

pada 1962 di paten Jerman. Perbedaan pokok antara unsur Pd, Ni dan Co sebagai

katalis adalah bahwa Pd(II) mengkatalisis karbonilasi senyawa alkuna bertindak

sebagai promotor dan berlangsung secara stoikiometri dan pada ahir reaksi

membentuk Pd(0) sehingga reaksi berhenti. Tsuji telah melaporkan karbonilasi

olefin dalam alkohol menggunakan paladium klorida sebagai katalis. Zat yang

dihasilkan senyawa organoklor ( Tsuji, J 1964 ). Reaksinya seperti dibawah ini:

RCH=CH2+CO+ROH+PdCl2 RCH(Cl)CH2COOR+Pd0+HCl

Graziani melaporkan reaksi etanol dengan karbon monoksida pada tekanan

atmosfer dan suhu (20-40oC) menghasilkan etilkloro karbonat, etil asetat dan

logam paladium. Spekulasi reaksi karbonilasi etanol dengan katalis paladium

dituliskan pada Gambar 2.8 dibawah ini

C O Pd2-

H Cl

H

Cl

CH3

H

CH

OCH3

+ 2H+ + 2Cl

- + Pd(0)

PdCl2 + CH3 CH2OH

+CH2O C Cl

O

CH3 +C

O

OCH2CH3CH2CH3

asetaldehid kloro etil karbonat etil asetat

CO

 

Gambar 2.8 Kemungkinan hasil karbonilasi etanol

Dalam laporan telah dipostulatkan terjadi komplek hidrida [HPd(CO)Cl2]yang

reaktif namun kurang stabil. Pembentukan spesies ini diduga terjadi dari

pemecahan ikatan O- H dari alkohol menyebabkan posisi proton ß terabstraksi ke

Pd menghasilkan asetaldehid, sebagai salah satu jalur reaksi yang terjadi pada

karbonilasi etanol diatas. Spesies hidrida ini sangat reaktif, sehingga cepat

bereaksi menghasilkan Pd(0) sejalan dengan terjadinya oksidasi alkohol menjadi

zat hasil (Graziani, M 1971).

Karbonilasi metanol dengan katalis paladium asetat dengan adanya ligan pospin

maka dihasilkan dimetil oksalat 87 % dengan tekanan 40 atm dan suhu 800C.

31 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Chapter II

Besarnya hasil ditentukan oleh perbandingan mol palladium dengan posphin

maupun jenis fosfina yang digunakan. Intermediet pada reaksi ini diyakini adalah

alkoksi karbonil komplek; Pd (COOCH3)(OAc)(PPh3)2. Dari hasil karbonilasi ini

maka diperoleh bahwa menggunakan ligan tri aril phospin bentuk orto adalah

paling baik.

2 EtOH + CO + PdCl2 + Na2CO3 (EtO)2CO + Pd + 2 NaCl + 2 NaHCO3

Dengan perbandingan mol phosphine terhadap palladium sama dengan 2 dan

selama 2 jam dengan tekanan 40 atm dan suhu 800C diperoleh dimetil oksalat

100% dan tidak ada dihasilkan dimetil karbonat. Pada pengamatan ini telah terjadi

pemisahan logam paladium (Rivetti, F 1979).

Karbonilasi alkuna terminal dengan katalis paladium klorida dan kokatalis CuCl2

menghasilkan anhidrat maleat, asam maleat dan asam fumarat. Reaksi katalisis

berlangsung pada udara terbuka dengan mengalirkan gas CO dan O2 ke dalam

larutan PdCl2, CuCl2, asam formiat dalam THF selama 3-8 jam.

+ HCOOH/H2O + PdCl2 /CuCl2THF, 25

oC

CO/O2 Ph -C CH

C CH

C C

O

OO

Ph

(1) anhidrid maleat

C

CPh

HOOC

COOH

H

(2) asam fumarat

C

C

COOHH

Ph COOH

(3) asam maleat

(1) + (2) + (3)

 

Perbandingan mol PdCl2 (10 mol): CuCl2(10-20 mol) dapat menghasilkan 75%

phenyl maleat anhidrid. Dengan kondisi yang sama karbonilasi senyawa 3,3-

dimetil butuna dihasilkan 49% campuran tertier butil maleat anhidrid dengan trtier

butil asam maleat. Perubahan sifat bulky Ph dengan t-Bu memberikan perubahan

pada hasil reaksi. Selain itu jumlah zat hasil reaksi dipengaruhi oleh jenis pelarut,

kecepatan aliran gas, dan jenis alkuna yang dipakai. Dalam reaksi ini

dipostulatkan bahwa ikatan Pd-H mengalami insersi oleh O2 menghasilkan

paladium hidro prokso komplek. Reaksi terhadap alkuna internal tidak dapat

berlangsung (Zagarian, D and Alper. H 1991). Sistim reaksi senyawa alkuna

dengan katalis Pd(II) menggunakan CuCl2/O2 berlangsung peristiwa oksidasi

32 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Chapter II

menghasilkan senyawa dikarbonil disebut karbonilasi reaksi oksidasi. Berbeda

dari cara karbonilasi diatas, senyawa alkuna dengan menggunakan campuran

Pd(II) bersama ligan phosphine dapat menghasilkan senyawa monokarbonil.

Reaksi ini menggunakan suhu dan tekanan tinggi dan menghasilkan campuran dua

isomer seperti reaksi dibawah ini

+ C C

COOH

HR

H

Pd(OAc)2 , PR3HCOOH100 -110

oC

R -C CHC C

H

HHOOC

R+ CO+ H2O

Jumlah hasil reaksi dipengaruhi oleh faktor gugus R, jenis ligan fosfine yang

digunakan dan juga terdapat perbedaan reaktifitas antara katalis PdCl2 dan

Pd(OAc)2. Pengamatan pengaruh lama reaksi terhadap hasil reaksi adalah

berbanding lurus (Zagarian, D dan Alper, H 1993).

Perkembangan katalisis karbonilasi senyawa alkuna dengan mudah menghasikan

ester maupun asam asam tak jenuh pada posisi α,ß (α,ß unsaturated carboxylic

acid/esters) .Material ini mendapat perhatian penting karena kebutuhan bahan

dasar polimer maupun bahan kimia dan obat obatan. Karbonilasi senyawa aril

asetilena seperti 4-isobutilfenilasetilena dan 4-metoksinaftilasetilena dapat

menghasilkan obat anti inflammatory seperti S-ibuprofena dan S-naproxena.

Reaksi umum karbonilasi senyawa 4-isobutilasetilena ditulis seperti berikut

CHCH3

CH3

CH2C

CH CH

CH CH

C C CH+ CO, H2O

CH CH2C

CH3

CH3

CH

CH

CHC

CH

C

COOH

CH2

H2 reduksi

CHCH3

CH3

CH2C

CH CHC

CH CH

C

COOH

CH3

H

ibuprofene

4 -isobutilfenilasetilene

2.5.4 Slektifitas

Reaksi katalisis karbonilasi senyawa tak jenuh selalu menghasilkan produk

campuran bentuk isomernya. Untuk memperoleh zat hasil yang diinginkan lebih

33 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Chapter II

tinggi dari pada isomernya maka dilakukan kontrol. Perlakuan ligan pada katalisis

karbonilasi telah menunjukkan kontribusi pada slektifitas reaksi.

R1 C C R2 + CO + R'OHPd(OAc)2, PR3, p - tsa

C CHR1 R2

COOR'

CH CR1 R2

COOR'

+

2 -pyridin asam karboksilat

isomer 1 isomer 2

Untuk R1 adalah 4-isobutilfenil asetilena dan R2 adalah H dengan reaksi

karbonilasi dapat menghasilkan ibuprofen dengan katalis Pd.

Peggunaan katalis Pd(OAc)2 berupa senyawa komplek maupun dalam bentuk

campuran dengan ligan fosfina baik bidentat maupun monodentat pada reaksi

karbonilasi alkuna telah dapat berlangsung pada tekanan CO yang rendah. Sistim

katalis karbonilasi Pd(PPh3)4, Pd(OAc)2/dppf, Pd(OAc)2/PPh3/dppb maupun

Pd(dba)2/4PPh3 dilaporkan belangsung lambat dengan slektivitas reaksi yang

rendah.Untuk mempercepat reaksi dan menaikkan slektivitas pada karbonilasi

fenilasetilen dan turunannya maka telah dilaporkan suatu sistim katalis

menggunakan Pd(OAc)2/monofosfine/asam p-toluena sulfonat monohidrat(p-tsa)/

asam 2-pyridin karboksilat (pyca) maupun dengan ligan asam 2- piperidin

karboksilat (pypca). Produk bentuk cabang dihasilkan dengan slektivitas 98%

pada tekanan 1-3 atm CO dan suhu 100oC. Juga dilaporkan bahwa penggunaan

senyawa alkuna internal dapat mengalami reaksi karbonilasi namun berlangsung

lebih lambat dan slektifitas yang rendah (Jayasree, S 1999).

Katalisis karbonilasi secara sistim homogen menggunakan katalis paladium

komplek mendapat perhatian karena selain slektivitas yang tinggi dapat

berlangsung dengan kecepatan relatif tinggi. Masalah yang muncul adalah metode

resiklus katalis paladium, yang belum banyak mendapat perhatian. Salah satu cara

untuk meresiklus katalis paladium dilaporkan oleh B. R. Sakar dalam reaksi

karbonilasi alkuna, alkena maupun alkohol menghasilkan senyawa ester. Katalis

berinti paladium seperti Pd(pyca)(PPh3)(OTs) dengan beberapa ligan campuran

seperti struktur dibawah ini telah diikatkan secara kimia kepada bahan berpori

34 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Chapter II

supaya katalis ini tetap pada fase heterogen (padat) sewaktu dipisahkan dan tidak

mencemari lingkungan (Sarkar, B. R dan Chaudhari, R. V 2005). Interaksi antara

katalis dan senyawa silika sebagai pengikat menurut mekanisme reaksi pada

Gambar 2.9 berikut ini.

atau

Gambar 2.9 Mekanisme interaksi katalis terikat pada silika

Katalis paladium komplek telah dimodifikasi kearah pemakaian air sebagai

pelarut reaksi. Pada sistim ini terjadi reaksi dalam 2 fase, yaitu fase organik dan

fase organik. Komplek itu mengandung ligan yang dapat terlarut dalam air,

sementara paladium berada pada fase organik yang mengkatalisis reaksi

karbonilasi pereaksi. Ligan seperti ini dapat dibuat dari senyawa fosfor dan

senyawa nitrogen. Ligan natrium trifenilfosfina sulfonat(TPPS) maupun gunidium

fosfina dan gunidino aril dicampur dengan Pd(OAc)2 telah digunakan digunakan

pada reaksi hidrokarboksilasi styrena dalam air sebagai pelarut menurut reaksi

dibawah ini:

R CH2 + CO + H2O RCOOH

CH3R

COOH

+ Katalis

Dari pengamatan rekasi ini menunjukkan ligan turunan aril guanidium lebih stabil

dan menghasilkan reaksi lebih slektif dari gunidium fosfina (Aghmiza, A 2005).

Kedua reaksi diatas ini terjadi pada kondisi tinggi dengan katalis paladium

komplek.

Berhubungan dengan sistesis obat obatan maka reaksi karbonilasi terhadap stirene

maupun turunan stirena sebagai bahan prokiral. Reaksi karbonilasi terhadap

styrene dalam methanol /THF dimasukkan PdCl2, CuCl2, ligan, BNPPA dan

menggunakan HCl dengan berbagai konsentasi menurut reaksi dibawah ini.

35 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Chapter II

CH2

+ CO + CH3OH

PdCl2, CuCl2

S -( +)-BNPPA, O2(1 atm)

COOCH3

CH3

+

(CH2)2COOCH3

Stirena metil -2 -fenil propionat metil -1 -fenil propionat Gas CO dan O2 dialirkan ke dalam larutan ini maka diperoleh 2 fenil propionate

adalah suatu senyawa asimetris sehingga reaksi ini disebut juga hiroesterifikasi

asimetris. Dengan memvariasi jumlah katalis dan kokatalis serta HCl maka

diperoleh 97% konversi styrene namun slektifitas reaksi masih rendah( iso/

normal berkisar 70/30. Penggunaan O2 dalam reaksi ini dilaporkan sebagai

reoksidan yang bersama sama gas CO dialirkan melalui larutan dengan kondisi

gelembung dan dilewatkan keudara ( Kewu, Y dan Xuanzhen, J 2005 ). Sistem

ini pelepasan gas ini keudara serta penggunaan HCl dalam reaksi memberikan

aspek yang kurang baik, karena selain mengakibatkan polusi, peralatan gelas sulit

diterapkan dalam sekala besar.

Hidroesterifikasi 1- heksena dengan katalis [PdCl2(PhCN)2]/P(3,5-CF3C6H4)

dalam karbondioksida superkritis menghasilkan metil ester 67% dengan kondisi

sangat tinggi. Reaksi campuran heksena, CO, alkohol dalam reaktor kemudian

dialirkan CO2 cair. Jenis alkohol sebagai koreaktan sangat mempengaruhi jumlah

konversi dan selektivitas karbonilasi heksena. Keuntungan menggunakan sistim

ini adalah memungkinkan katalis dapat diperoleh dan digunakan kembali

(Estorach, C, T dan Bulto, A. M. M 2008 ).

Perubahan sistim katalis dari 2 logam menjadi 1 logam menunjukkan kondisi

reaksi yang jauh berbeda.

Reaksi asam oleat dengan karbon monoksida dengan katalis PdCl2/CuCl2 dalam

air maupun metanol diduga dapat menghasilkan senyawa anhidrid melingkar.

Senyawa anhidrid melingkar dengan metanol / H2SO4 membentuk dimetil ester

rantai panjang bercabang. Reaksi-reaksinya dapat digambarkan seperti dibawah

ini ( Bangun, N dan Siahaan, D 2007 )

36 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Chapter II

CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH CO

CH3 (CH2)7 C

C

H

CH2 (CH2)7 C=O

O O

PdCl2/CuCl2

Anhidrid melingkar3 -oktil -undekana -dikarboksilat anhidrid

 

Di Metil Ester BercabangD M E B

CH3OH/H2SO4C

COOCH3

H

CH3 -(CH2)7 CH2(CH2)7 COOCH3C

C

H

(CH2)7

O

CH3 CH2(CH2)7 C

O

O

Anhidrid melingkar3 -oktil -undekana -dikarboksilat anhidrid

 

Reaksi karbonilasi asam oleat dengan katalis PdCl2 / CuCl2 dalam kondisi

sedang menghasilkan asam dikarboksilat berlangsung 20 jam dengan hasil 82%.

Berbeda dengan reaksi karbonilasi metil oleat dalam kosolvent metanol dengan

katalis PdCl2 / CuCl2 menghasilkan dimetil ester ( Bangun, N 2004 ).

Reaksi karbonilasi dengan katalis PdCl2 / CuCl2 dapat berlangsung pada suhu

kamar diduga mekanisme melalui adisi ikatan olefinik internal dengan spesies Pd-

H. Hasil adisi ini diikuti dengan pembentukan senyawa asi dari paldium dengan

adanya CO, selanjutnya terbentuk senyawa anhidrit melingkar karena adany

serangan nukleofil intramolekular. Risinoleat dan linoleat, memiliki ikatan

olefinik pada posisi internal, sehingga dapat diharapkan terjadi reaksi karbonilasi

dengan cara yang sama seperti terhadap oleat.

2.6 Pemakaian Metil Ester (FAME) dalam Campuran bahan bakar.

Fatty Acid Methyl Ester (FAME) adalah nama populer biodiesel. Bahan bakar ini

berbeda sifat kimianya dengan bahan bakar fosil yang mengandung senyawa

alkana dan aromatik, karena itu biodiesel menunjukkan sifat fisika yang berbeda

dari bahan fosil. Sifat fisika seperti angka cetan, penurunan angka pembakaran,

viskositas yang tinggi dan titik nyala pada biodiesel berpengaruh pada

pembakaran dan emisi yang terjadi pada mesin berbahan bakar diesel. Biodiesel

sebagai bahan bakar sangat baik karena dapat menurunkan emisi partikulat,

unburn hidrokarbon (UHC) dan CO2 tapi mengkonsumsi bahan bakar lebih tinggi

37 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Chapter II

38 

 

serta menaikkan emisi NOx. Polutan yang dihasilkan tergantung pada banyak

faktor antara lain konsentrasi metil ester. Blending minyak kacang dengan

petrodiesel dengan variasi konsentrasi 10% dan 20%, menyebabkan emisi dari

mesin diesel bertambah 15% menjadi 40%, mutu biodiesel termasuk densitas,

viskositas, jenis metil ester maupun panjang rantai metil ester itu (Lapuerta 2008).

Monyem dan Van Gerpen melaporkan bahwa biodiesel turunan minyak kacang

mengandung kadar asam lemak tidak jenuh yang tinggi. Adanya ketidakjenuhan

ini menyebabkan gugus CH2 dekat kepada ikatan rangkap mudah terserang

radikal bebas. Asam asam linoleat dan linolenat mempunyai 2 dan 3 ikatan

rangkap lebih cepat teroksidasi dibandingkan denga asam yang hanya mempunyai

1 ikatan rangkap. Kedua jenis asam ini terdapat pada minyak kacang yang dapat

menghasilkan hidroperoksida pada reaksi autooksidasi. Bahan ini yang kemudian

dapat membentuk polimerisasi menghasilkan suatu zat berat molekul tinggi

berbentuk sendimet yang memisah dari campuran. Zat ini pada pembakaran

membentuk endapan dan melapisi sistem pembakaran mesin diesel. Dalam hal

yang sama, bentuk hidroperoksida dari asam lemak terurai menjadi asam rantai

pendek maupun aldehide. Dampak oksidasi biodiesel ini menyebabkan

performansi mesin dan emisi gas sulit dipahami. Untuk memahami sifat ketidak

setabilan biodiesel turunan minyak kacang, maka semua ikatan rangkap dioksidasi

sebelum digunakan sebagai bahan bakar diesel. Bahan teroksidasi dan yang belum

teroksidasi kemudian diuji sifat performansi pada mesin. Dengan menggunakan

bentuk teroksidasi dari metil ester menunjukkan hasil efisiensi termal yang sama

dengan bahan bakar diesel tetapi mengkonsumsi bahan bakar lebih banyak. Emisi

gas NOx dengan bahan itu dihasilkan lebih tinggi 13- 14% dari pada bahan bakar

diesel, sedangkan emisi hidrokarbon 51% lebih rendah. (Monyem, A 2001).

Penelitian lebih mendalam tentang ketidakstabilan metil ester asam tak jenuh telah

dilaporkan oleh Herbint. Telah dipelari mekanisme oksidasi pada dua jenis ester

tak jenuh yaitu metil – 5-dekenoat dan metil- 9- dekenoat. Hal ini dibuat sebagai

model untuk membandingkan mekanisme reaksi oksidasi metil ester minyak biji

lobak yang dilakukan pada reaktor yang diaduk secara jet. Juga telah

dibandingkan kecepatan oksidasi terhadap tiga senyawa yang telah dioksigenasi

Universitas Sumatera Utara

Page 29: Chapter II

kemudian dianalisa perbedaan distribusi hasil oksidasi yang terjadi, serta

dipelajari pengaruh posisi ikatan rangkap pada rantai hidrokarbon itu. Diperoleh

hasil perbedaan reaktivitas ester metil-5-dekenoat lebih lambat dari pada metil-9-

dekanoat, karena proses isomerisasi ikatan rangkap lebih sulit terjadi. Pada metil-

9-dekanoat terdapat ikatan rangkap diujung rantai karbon sehingga mudah

membentuk peroksida dan berlanjut memutuskan ikatan C-C menurut aturan ß-

scisson.

CH3O

O

CH2-

O2 CH3O

O

O-O

Akibat serangan radikal ini, maka terjadi isomerisasi membentuk cincin 3- 6

melalui penangkapan proton pada posisi vinyl selanjutnya terjadi senyawa radikal

tak jenuh yang baru. Karena proses ini terjadi pemutusan menjadi rantai pendek

yang diesebut jelaga (soot) (Herbinet, O 2010).

Studi bahan bakar metil ester terhadap emisi gas yang lain seperti NOx telah

dilaporkan. Besarnya emisi gas NO x ini erat hubungan dengan angka cetan (CN).

Angka cetan adalah suatu petunjuk tentang kemampuan suatu bahan bakar dapat

digunakan dengan baik. Hidrokarbon heksadekana (C16H34) disebut dengan nama

trivial cetana , suatu rantai lurus berantai panjang telah menjadi standar dengan

bilangan CN = 100. Senyawa yang mutu pembakarannya rendah diberi angka CN

15 adalah senyawa 2,2,4,4,6,8,8,-heptametilnonana C16H34. Hubungan antara

struktur ester asam lemak dengan emisi gas NOx yang terjadi telah dapat

dipelajari. Emisi gas NOx bertambah dengan menaiknya jumlah bahan yang tak

jenuh dan menurunnya panjang rantai hidrokarbon. Karena itu perlu memberikan

bahan aditif untuk mencapai tingkat CN yang tepat (Knothe, G 2005).

Pemakaian biodiesel mempunyai beberapa dibanding dari minyak solar. Biodiesel

tidak mengandung bahan belerang sehingga pada penggunaan dalam energi tidak

mengemisi SO2, jadi ramah lingkungan. Juga telah dilaporkan bahwa biodiesel

yang tertumpah mudah terurai dialam ( biodegradable). Studi kecepatan

penguraian dalam air menunjukkan bahwa biodiesel dengan campuran 5% (B5)

39 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 30: Chapter II

40 

 

dapat terurai 50% antara 28 hingga 28 hari, sedangkan untuk B20 dapat terurai

50% selama 28 hingga 16 hari. Dari data ini terlihat bahwa efek bahan fosil ini

memperlambat penguraian biodiesel ( Pasqualino, J.C 2006) . Studi siklus bahan

biodiesel menunjukkan bahwa biodiesel tidak mempengaruhi pemanasan global

dan emisi gas CO2 lebih rendah 78% dibandingkan dengan petrodiesel (Gerpen, J

2005). Pemakaian biodiesel tidak hanya pada campuran dengan minyak solar, tapi

telah dilakukan pencampuran dengan bahan bensin (gasoline) dalam berbagai

perbandingan. Campuran ini kemudian telah dicoba pada mesin SI sebagai bahan

bakar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biodiesel dapat menurunkan gesekan

mesin pada suhu tinggi serta menurunkan emisi gas ( ChunDe, Y 2008 ).

Kegunaan biodiesel sebagai energi alternatif telah nyata baik kepada pengguna

maupun aspek terhadap lingkungan. Supaya bahan ini dapat berkesinambungan

maka perlu meningkatkan efisiensi proses pembuatan maupun usaha

produksibahan baku yang lebih murah, serta mengembangkan katalis. Untuk

menekan harga biodiesel maka perlu dilakukan pendayagunaan hasil samping

sehingga diperoleh keuntungan secara menyeluruh (Janaun, J 2010).

Sejauh ini biodiesel komersial B10 masih bersifat mono metil ester yang

mempunyai rantai lurus, sedemikian sehingga belum mampu bertindak

menghemat bahan bakar. Penggunaan B20 mono metil ester turunan soyabean oil,

memberi efek emisi gas NOx 6,2% ( Wyatt,V.T 2005). Diduga faktor struktur

linier metil ester menjadi penyebab emisi gas buang tinggi yang , sehingga perlu

dicari bentuk yang bercabang.

2.7 Bahan bakar aditif organik beroksigen

Penelitian tentang hubungan bahan bakar beroksigen yang dicampurkan

terhadap minyak bensin maupun minyak solar telah mendapat perhatian banyak

pihak. Bahan bakar yang mengandung oksigen sebagai tambahan disebut bahan

aditif. Masalah besar pada mesin berbahan bakar diesel adalah emisi partikulat

dan emisi gas NOx yang tinggi. Untuk menurunkan emisi ini maka penelitian

tentang cara dan perbaikan bahan bakar diesel telah mendapat perhatian serius.

Beberapa bahan organik mengandung oksigen telah dicampur dengan minyak

Universitas Sumatera Utara

Page 31: Chapter II

solar dan efek campuran itu menunjukkan pengaruh pada penurunan emisi

terutama pada partikulat. Usaha yang telah dilakukan pada awal adalah dengan

mencampurkan metil ester turunan minyak kacang, asam dekanoat dan oktanol.

Bahan yang diujikan 1-2% dalam campuran itu telah menunjukkan penurunan

partikulat mencapai 10-15% tergantung pada struktur senyawa yang

mengandung oksigen itu. Meskipun penurunan jumlah emisi partkulat terjadi,

namun emisi gas NOx terdapat peningkatan pada metil ester minyak kacang 2-

3%. Perlakuan dengan campuran asam dekanoat tidak memberi pengaruh pada

kenaikan emisi gas NOx (Mc Cormick, R.L 1997).

Teknologi seperti ini menunjukkan sifat pembakaran yang lebih sempurna

sehingga dapat menurunkan emisi polutan secara umum. Pembakaran bahan

biodiesel ini telah menurunkan emisi partikulat, CO dan UHC akan tetapi emisi

gas NOX sedikit bertambah. Bahan aditif seperti metanol, metil tertier butil eter

(MTBE) dan dimetilkarbonat (DMC) maupun asetal telah digunakan untuk

meningkatkan kinerja bahan bakar bensin. DMC ini merupakan bahan turunan

sumber terpebaharukan, telah digunakan sebagai bahan aditif pada solar.

Penggunaan etanol 10% dalam campuran bensin telah menurunkan emisi

hidrokarbon 24%, emisi CO 61% sedangkan dengan menggunakan DMC 5%

dapat menurunkan emisi hidrokarbon 35%, beserta turunnya emisi CO 65%.

Namun sebaliknya emisi gas CO2 naik 14,8% dengan memakai etanol 10% dan

18% dengan menggunakan DMC 5%. Adapun perubahan emisi gas NOX dengan

aditif beroksigen tidak begitu nyata. Konsumsi bahan bakar memakai etanol dan

DMC sebagai bahan aditif dilaporkan mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan

kalor bakar dengan bending bahan aditif ini menjadi lebih rendah dibanding tanpa

blending(Wen, L 2010).

Pengaruh penambahan asetal suatu senyawa dengan rumus 1, 1-diethoxy ethana

CH3CH (OC2H5)2 telah diturunkan dari bahan etanol.

2 CH3 -CH2 -OH + CH3CHO CH3 C

O

O

CH3

CH3H + H2O

Katalis

 

41 

 

Universitas Sumatera Utara

Page 32: Chapter II

42 

 

Katalis yang dipakai terbuat dari asam perfluorosulfonat dimuat pada silika

disingkat (PFS-SiO2). Bahan asetal ini digolongkan dalam energi terpebarukan

karena material ini berdasar pada bioetanol.

Pengujian kinerja bahan ini sebagai aditif dilakukan dengan membandingkan

bahan 1 % asetal diblending dengan minyak solar terhadap minyak solar murni.

Kemudian diuji penurunan titik nyala dalam bahan itu dengan kenaikan

kandungan oksigen dalam bahan blending itu. Titik nyala untuk blending berubah

menurut kadar kandungan asetal. Minyak solar dengan kadar berturut-turut

(100%)., 95% ., 90% dan 80% mempunyai titik nyala 73., 45., 32 dan 28 oC.

Makin tinggi kadar asetal dalam bahan itu menunjukkan titik nyala yang semakin

rendah. Untuk pengujian performansi mesin dilakukan dengan menggunakan

blending 10% asetal yaitu bahan dengan titik nyala 32 oC dibandingkan dengan

minyak 100%( titik nyala 73oC. Besaran emisi dari kedua jenis bahan bakar

kemudian diukur.

Pengaruh bahan aditif ini. pada bahan bakar solar terhadap emisi gas buang mesin

berbahan bakar minyak diesel telah dianalisis. Emisi unburn hidrokarbon dan gas

CO menunjukkan tidak ada perbedaan diantara penggunaan bahan bakar solar

dengan bahan bakar blending 10% asetal. Asetal sebagai bahan beroksigen tinggi

telah diharapkan akan berdampak pada menurunnya pembentukan asap. Emisi gas

NOx yang dihasilkan kemungkinan lebih dipengaruhi oleh sistim sirkulasi gas

buang dari pada mutu bahan bakar yang digunakan, walaupun emisi yang

teramati bertambah. (Frusteri, F 2007).

Bahan ini dapat bercampur baik dan berkinerja menurunkan emisi partikulat

maupun emisi gas dibandingkan tanpa aditif, namun mengkonsumsi bahan bakar

lebih banyak. Selain itu emisi bahan asetaldehide meningkat empat kali lipat.

Acetal disebut untuk 1, 1-diethoxy ethana maupun dimetil karbonat memiliki

rantai yang pendek namun mengandung oksigen yang tinggi dan dapat cepat

terurai sehingga menyebabkan kenaikan emisi asetaldehide. Ketidak stabilan

bahan aditif diatas kemungkinan karena efek sinergi rantai pendek dengan rantai

panjang parafin masih rendah. Untuk meningkatkan sifat sinergi itu maka perlu

dibuat suatu molekul berantai panjang yang mengandung oksigen dan bercabang.

Universitas Sumatera Utara

Page 33: Chapter II

Senyawa yang dimaksud ini dapat diturunkan dari oleat, linoleat maupun

risinoleat yang berbahan baku renewable dengan reaksi karbonilasi. Proses

pembuatan asam oleat dari minyak kelapa sawit melalui reaksi transesterfikasi

sebagaimana dengan proses oleokimia. Hasil transesterifikasi berupa metil ester

campuran dan mengandung sedikit glisrida. Untuk mendapatkan metil oleat perlu

pemurnian dalam beberapa langkah yang meliputi destilasi vakum yang

menggunakan bahan pemantap maupun tanpa pemantap. Kemurnian tinggi dapat

diperoleh dengan fraksinasi rekristalisasi dalam urea-metanol mulai dalam bentuk

metil ester kemudian dilakukan dalam bentuk asam lemak hingga diperoleh kadar

asam oleat 85-95%. Asam oleat ini kemudian direaksikan dengan gas CO

menggunakan katalis PdCl2/CuCl2 bersama SiO2 aerosil, sehingga diperoleh

campuran hasil reaksi. Isolasi hasil reaksi dilakukan seperti prosedure yang

dilaporkan (Bangun, N dan Siahaan, D 2007).

Dimetil ester ini dipakai sebagai bahan aditif bersama metil ester campuran dan

dibelending dengan petrodiesel. Sedian bahan bakar ini diuji performance mesin

dan emisi gas yang dihasilkan.

Sebagaimana metode isolasi asam oleat maka isolasi risinoleat dilakukan dari

minyak jarak risinus. Cara yang dilakukan umumnya mengikuti proses yang

dilaporkan Berdeaux (Berdeaux, O 1997). Dengan metode ini metil risinoleat

dapat diperoleh dengan kemurnian 97,3%. Diharapkan hasil karbonilasi dapat

menghasilkan dimetil ester rantai panjang bercabang mengandung 5 atom oksigen

dengan struktur dibawah ini. + CO

CH3 (CH2)5 CHO

CH2 CH CH2C=O

(CH2)7COOCH3

CH3 (CH2)5CHOH

CH2 CH CH (CH2)7 COOCH3

(lakton cincin -5)

CH3OH/H2SO4CH3 (CH2)5CH

OHCH2 CH

COOCH3

CH2 (CH2)7COOCH3

dimetil ester bercabang dengan 5 atom oksigen Jika bahan baku dimulai dengan 2 buah ikatan rangkap seperti metil linoleat,

43 

 

maka akan dihasilkan trimetil ester bercabang mengandung 6 atom oksigen.

Universitas Sumatera Utara