Chapter II

23
BAB II KARAKTERISTIK TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING BERDASARKAN MODUS OPERANDI PELAKU DI WILAYAH PERAIRAN A. Pengaturan Wilayah Perairan Indonesia berkaitan dengan Praktek Illegal Fishing Pengaturan menyangkut illegal fishing terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan. Salah satu pengaturan di bidang illegal fishing adalah di bidang pelayaran dan kelautan. Dekrit Juanda yang dinyatakan melalui Pengumuman Pemerintah 13 Desember 1957 merupakan konsep kewilayahan perairan Indonesia, yang menjadikan wilayah daratan dan wilayah perairan Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Yang melatar belakangi dikeluarkannya Pengumuman Pemerintah ini salah satu diantaranya, yaitu atas dasar pertimbangan bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari pemerintahan kolonial jaman Hindia Belanda yang termaktub dalam “Teritorial Zee En Martieme Kringen Ordonantie 1939” tidak sesuai lagi dengan kepentingan, keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia. 57 Pasal 1 ayat (1) Ordonantie 1939 tersebut menyatakan bahwa laut teritorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis pangkal air rendah (“laag waterlijn”) dari pada pulau-pulau dan yang merupakan bagian dari wilayah daratan Indonesia. Konsekwensi dari cara pengukuran laut yang demikian itu, secara teoritis Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau, setiap pulaunya mempunyai laut teritorial sendiri- sendiri. 57 Rosmi Hasibuan, Penegakan Hukum Di Bidang Pelayaran Bagi Kapal Asing Di Perairan Indonesia (Suatu Studi Melalui Perairan Belawan Lantamal-I Sumatera Utara), USU Librery, hlm. 14 Universitas Sumatera Utara

Transcript of Chapter II

Page 1: Chapter II

BAB II

KARAKTERISTIK TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING BERDASARKAN MODUS OPERANDI PELAKU DI WILAYAH PERAIRAN

A. Pengaturan Wilayah Perairan Indonesia berkaitan dengan Praktek Illegal

Fishing

Pengaturan menyangkut illegal fishing terkait dengan berbagai peraturan

perundang-undangan. Salah satu pengaturan di bidang illegal fishing adalah di bidang

pelayaran dan kelautan. Dekrit Juanda yang dinyatakan melalui Pengumuman

Pemerintah 13 Desember 1957 merupakan konsep kewilayahan perairan Indonesia,

yang menjadikan wilayah daratan dan wilayah perairan Indonesia merupakan satu

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Yang melatar belakangi dikeluarkannya

Pengumuman Pemerintah ini salah satu diantaranya, yaitu atas dasar pertimbangan

bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari pemerintahan kolonial

jaman Hindia Belanda yang termaktub dalam “Teritorial Zee En Martieme Kringen

Ordonantie 1939” tidak sesuai lagi dengan kepentingan, keselamatan dan keamanan

Negara Republik Indonesia.57

Pasal 1 ayat (1) Ordonantie 1939 tersebut menyatakan bahwa laut teritorial

Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis pangkal air rendah (“laag waterlijn”)

dari pada pulau-pulau dan yang merupakan bagian dari wilayah daratan Indonesia.

Konsekwensi dari cara pengukuran laut yang demikian itu, secara teoritis Indonesia

yang terdiri dari beribu-ribu pulau, setiap pulaunya mempunyai laut teritorial sendiri-

sendiri.

57 Rosmi Hasibuan, Penegakan Hukum Di Bidang Pelayaran Bagi Kapal Asing Di Perairan

Indonesia (Suatu Studi Melalui Perairan Belawan Lantamal-I Sumatera Utara), USU Librery, hlm. 14

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II

Hal ini tentunya akan menyulitkan pelaksanaan tugas pengawasan laut dengan

sempurna, karena susunan daerah atau pulau-pulau yang harus diawasi demikian

sulitnya. Kantong-kantong laut lepas di tengah-tengah di antara pulau-pulau atau di

antara wilayah daratan Indonesia tunduk pada rejim hukum laut lepas yang bebas

dilayari oleh kapal-kapal semua negara.

Dikeluarkannya PP 13 Desember 1957 tersebut, cara mengukur laut teritorial

Indonesia diukur dari titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar, cara pengukuran yang

demikian ini laut lepas sudah tidak ada lagi di antara pulau-pulau karena telah

menjadi perairan nusantara (kepulauan) Indonesia. Oleh karena itu, pengumuman

Pemerintah ini mempunyai akibat hukum yang penting bagi pelayaran internasional,

sebab bagian laut lepas yang tadinya bebas dilayari untuk pelayaran internasional

dijadikan bagian laut wilayah (laut teritorial) dan perairan nusantara yang berada di

bawah kekuasaan hukum Indonesia.58

Posisi geografis Indonesia yang merupakan persilangan antara dua garis yang

menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta terletak di antara dua

benua, yaitu benua Asia dan Australia, kehadiran kenderaan di atas air (kapal) asing

dalam rangka memperpendek jarak pelayarannya merupakan suatu hal yang tidak

terhindari. Karena itu dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional, maka

sebagai masyarakat internasional yang menginginkan persahabatan antar bangsa di

dunia ini, tidak begitu saja meniadakan kebebasan berlayar di perairan Indonesia. PP

13 Desember 1957 kemudian ditingkatkan menjadi Undang-undang pada tanggal 18

Pebruari 1960, yaitu UU No. 4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia. Pada Pasal UU

58 Ibid

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II

tersebut menyatakan, bahwa jalur laut wilayah Indonesia selebar 12 mil dihitung dari

garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau- pulau terluar

(Pasal 1 UU). Hak lintas damai kenderaan air asing (kapal) melalui perairan nusantara

(aechipelagic waters) dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara dan

mengganggu keamanan.59

Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago state) terbesar di dunia

yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut

sekitar 3,1 juta km2 (0,8 juta km2 perairan territorial, dan 2,3 juta km2 perairan

Nusantara atau 62% dari luas teritorialnya) (Tabel 1). Berdasarkan UNCLOS (United

Nation Convention On Law of the Sea (1982), Indonesia diberi kewenangan

memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km2 yang menyangkut

eksplorasi, eksploitasi dan pengelolaan sumberdaya hayati dan non hayati, penelitian

dan yurisdiksi mendirikan instalasi atau pulau buatan. Secara administratif wilayah

pesisir menempati 60% dari sekitar 300 kabupaten di seluruh Indonesia.60

Wilayah pesisir dan lautan merupakan wilayah yang memiliki arti penting

secara ekonomi dan politik bagi kehidupan masyarakat di Indonesia sejak dahulu.

Sumberdaya di wilayah ini merupakan penopang hidup bagi masyarakat yang hidup

di wilayah pesisir untuk memperoleh makanan, kayu bakar, bangunan, dan fungsi

lainnya.

59 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia 60 Sekolah Pasca Sarjana IPB, Strategi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Lautan,

Makalah Kelompok 7 Semenster Ganjil 2004 Falsafah Sains (PPS-702) Program Pasca Sarjana S3, November 2004, hal. 3

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II

Tabel 1. Perkiraan luasan wilayah pesisir dan perairan Indonesia

Wilayah/Garis Luas/Panjang Keterangan Teritorial Total Indonesia 5,0 juta km2 Teritorial Perairan

3,1 juta km2 62% dari total teritori Indonesia

Teritorial Daratan 1,9 juta km2 Perairan tertutup 2,7 juta km2 87% dari total laut Perairan terbuka 0,3 juta km2 13% dari total laut Perairan paparan benua 1,5 juta km2 47% dari total laut Perkiraan garis pantai 80.791 – 81.000 km Sumber: Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan

Perikanan, 1996

Sumberdaya perairan dan kelautan tersebut ada yang dapat diperbaharui

(renewable resources) dan ada yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable

resources). Sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan tangkap,

perikanan budidaya, perikanan payau, budidaya laut, mangrove, energi gelombang ,

pasang surut, angin, dan industri bioteknologi kelautan maupun industri pengolahan

hasil laut. Sementara itu sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui adalah seperti

minyak, gas bumi, berbagai jenis mineral dan bahan tambang dan mineral lainnya,

energi kelautan (gelombang, pasang surut dan angin). Disamping kedua sumberdaya

tersebut, masih terdapat berbagai macam jasa-jasa lingkungan (media transportasi,

pengatur iklim, keindahan alam serta penyerapan limbah). Berikut dibahas beberapa

sumberdaya pesisir dan lautan dari sisi potensi dan perannya dalam pembangunan

nasional.61

Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi

dalam garis pangkal lurus kepulauan Indonesia tanpa memperhatikan kedalaman atau

jaraknya dari pantai. Panjang garis pangkal lurus yang dimaksudkan tidak boleh

61 Ibid, hal. 3

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II

melebihi 100 (seratus) mil laut kecuali, 3 % dari jumlah keseluruhan garis pangkal

yang mengelilingi kepulauan Indonesia hingga suatu kepanjangan maksimum 125

meter sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 11 UU tentang Perairan, bahwa kapal

semua negara baik berpantai atau tidak berpantai dapat menikmati hak lintas damai di

perairan kepulauan. Dalam melakukan lintas damai di perairan kepulauan, yaitu

melalui alur- alur laut yang khusus ditetapkan untuk pelaksanaan hak pelayaran dan

penerbangan di atasnya.62

Negara Indonesia merupakan Negara Kepulauan (Archipelago State) dengan

jumlah pulau sebanyek 17.508 pulau dengan panjang pantai 81.000 Km2 yang terdiri

dari 0,3 juta km2 (5,17 %). Laut teritorial, 2,8 juta km2 (48,28 %) perairan

kepulauan, serta 2,7 jura km2 (46,55 %) Zona Ekonomi Eksklusif, sehingga

menempatkan Indonesia pada posisi strategis dan memiliki potensi sumber daya

perikanan yang besar.63

Dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan Kelautan dan Perikanan, pemerintah

telah mengeluarkan berbagai kebijakan yakni :

1. Undang-undang No 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan 2. Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok

Pertambangan; 3. Undang-undang No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina; 4. Undang-undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia; 5. Undang-undang No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara; 6. Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

Indonesia; 7. Undang-undang No. 5 Tahun 1985 tentang Perindustrian; 8. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati

dan Ekosistemnya; 9. Undang-undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan;

62 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia 63 Aji Sularso, Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan

DKP, http://www.google.co.id, diakses tanggal 18 Juli 2010

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II

10. Undang-undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran; 11. Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Konvensi PBB Mengenai

Keanekaragaman Hayati; 12. Undang-undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia; 13. UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; (Revisi UU No.9 Tahun 1985 Tentang

Perikanan) 14. Undang-undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir &

Pulau-Pulau Kecil 15. PP No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona

Ekonomi Eksklusif Indonesia 16. PP Nomor 15 Tahun 1990 Tentang Usaha Perikanan dan PP Nomor 46 tahun

1993 Tentang Perubahan Atas PP 15 Tahun 1990 dan PP Nomor 141 tahun 2000 Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tentang Usaha Perikanan.

17. PP N0. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut

18. PP No. 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan 19. Keppres 39 Tahun 1980 tentang Pelarangan Pengunaan Pukat Harimau (Trawl). 20. Kep. Menteri Pertanian No. 01/Kpts/Um/1/1975 tentang Pembinaan Kelestarian

Kekayaan Yang Terdapat Dalam Sumber Perikanan Indonesia 21. Kep. Menteri Pertanian Nomor 473a/KPts/IK.250/6/1985: tentang Jumlah

Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 22. Kep. Menteri Pertanian Nomor 475/Kpts/IK.120/7/1985 tentang Perizinan bagi

orang atau Badan Hukum Asing untuk Menangkap Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

23. Kep. Menteri Pertanian Nomor 476/Kpts/IK.120/1985 tentang Penetapan Tempat Melapor bagi Kapal Perikanan yang mendapat Izin Menangkap Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

24. Kep. Menteri Pertanian Nomor 477/Kpts/IK.120./7/1988 tentang Perubahan Besarnya Pungutan Penangkapan Ikan bagi orang atau Badan Hukum Asing yang Melakukan Penangkapan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

Selanjutnya peraturan pelayaran telah disahkan yakni UU No 17 Tahun 2008

yang mengatur secara khusus tentang Pelayaran.64 Definisinya sangat tegas teruraikan

64 Menurut Pasal 5 PP No 2 Tahun 1969 tentang Penyelenggaraan Dan Pengusahaan

Angkutan Laut, Pelayaran terdiri atas : (1) Pelayaran dalam negeri yang meliputi : (a) Pelayaran Nusantara, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan antar pelabuhan Indonesia tanpa memandang jurusan yang ditempuh satu dan lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (b) Pelayaran Lokal, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengankutan antar pelabuhan Indonesia yang ditujukan untuk menunjang kegiatan pelayaran luar negeri dengan mempergunakan kapal-kapal yang berukuran 500 m3 isi kotor ke bawah atau sama dengan 175 BRT ke bawah; (c) Pelayaran Rakyat, yaitu pelayaran Nusantara dengan menggunakan perahu-perahu layer; (d) Pelayaran Pedalaman, terusan dan sungai, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan di perairan pedalaman, terusan dan

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II

di Pasal 1 (satu) bahwa pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas

angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta

perlindungan lingkungan maritim. Fokus peraturan ini pada pengangkutan di perairan

termasuk pula pelabuhan, adapun jenis angkutan di perairan terdiri atas: (a) angkutan

laut; (b) angkutan sungai dan danau; dan (c). angkutan penyeberangan.65 Namun

ketentuan pidana dalam peraturan ini hanya berlaku bagi pidana yang berkaitan

dengan perniagaan, perizinan dan pengangkutan.

Indonesia merupakan terdiri dari kawasan maritim termasuk didalamnya

yakni zona ekonomi ekslusif (ZEE). Menurut UU No 5 Tahun 1983 tentang ZEE

Indonesia menegaskan batasnya yakni 200 mil dari garis pangkal laut wilayah

Indonesia namun apabila bersinggungan dengan ZEE dari Negara lain maka harus

ada persetujuan atau kesepakatan antara Indonesia dengan Negara tersebut3. Hal ini

menjadi sangat penting karena Secara geografis Indonesia merupakan negara

kepulauan yang dikelilingi oleh perairan serta perbatasan yang sangat tipis dengan

negara lain sehingga perairan berpotensi digunakan sebagai jalur melakukan kegiatan

illegal. Misalkan kegiatan illegal loging, illegal fishing dan illegal migration. Namun

dalam praktek pertanggungjawaban pidana pihak yang paling bertanggungjawab

sungai; (e) Pelayaran Penundaan Laut, yaitu pelayaran nusantara dengan menggunakan tongkangtongkang yang ditarik oleh kapal-kapal tunda. (2) Pelayaran luar negeri, yang meliputi : (a) Pelayaran Samudera Dekat, yaitu pelayaran ke pelabuhanpelabuhan negara tetangga yang tidak melebihi jarak 3.000mil laut dari pelabuhan terluar Indonesia, tanpa memandang jurusan; (b) Pelayaran Samudera, yaitu pelayaran kedan dari luar negeri yang bukan merupakan pelayaran samudera dekat. (3) Pelayaran khusus, yaitu pelayaran dalam dan luar negeri dengan menggunakan kapal-kapal pengangkut khusus untuk pengangkutan hasil industri, pertambangan dan hasil-hasil usaha lainnya yang bersifat khusus, seperti minyak bumi, batu bara, biji besi, biji nikkel, timah bauxiet, logs dan barang-barang bulk lainnya. Dalam PP ini hanya mengatur regulasi untuk Kapal Niaga yang berperan dalam jasa angkutan 65 Lihat Pasal 6 UU No 17 Tahun 2008

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II

terhadap penyelewengan jasa angkutan ini adalah nahkoda dan awak kabin kapal,

kemudian pemilik kapal tidak diminta pertanggungjawaban pidana.

B. Dampak Pencurian Ikan terhadap Ekosistem Kelautan

Indonesia mempunyai potensi kekayaan laut sangat besar yang baru dapat

dimanfaatkan sebagian kecilnya saja. Potensi ini kemudian dieksploitasi oleh

pengusaha-pengusaha lokal dan asing baik melalui jalur legal maupun jalur illegal.

Eksploitasi sumber daya kelautan khususnya perikakan lebih marak saat ini adalah

jalur illegal. Perairan Indonesia dengan sumber daya laut yang kaya raya tidak luput

dari illegal fishing yang dilakukan oleh warga negara asing (WNA).66

Potensi perikanan Indonesia secara keseluruhan mencapai 65 juta ton, terdiri

7,3 juta ton pada sektor perikanan tangkap dan 57,7 juta ton pada sektor perikanan

budidaya. Hingga saat ini Indonesia menempati urutan ke-12 sebagai Negara

pengekspor produk perikanan di bawah posisi Thailand dan Vietnam. Hal ini

sebagaimana disampaikan dalam laporan DKP sebagai berikut:67

“Hasil evaluasi selama kurun waktu lima tahun terakhir produksi dari sektor perikanan terutama dari hasil penangkapan ikan mencapai 6,4 juta ton per tahun pada tahun 2000. Berdasarkan perhitungan dari harga di tingkat produsen maka nilai produksi tersebut mencapai Rp. 18,46 triliun, sedangkan untuk nilai ekonomi dari benih ikan laut mencapai Rp. 8,07 milyar. Begitu juga berdasarkan produksi pada kegiatan budidaya laut mencapai angka sebesar 994.962 ton dengan nilai sebesar Rp.1,36 triliun berdasarkan nilai pada tingkat produsen”.

66 Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Op.cit, hal. 14 67 Statistik Perikanan Tangkap DKP dalam Sekolah Pasca Sarjana IPB, Op.cit, hal. 5

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II

Eksplotasi yang dilakukan mempergunakan sarana yang illegal yaitu dengan

bahan peledak dan potasium sianida dalam mengeruk kekayaan ikan. Hal ini

berdampak buruk bagi kesejahteraan nelayan lokal maupun kesinambungan usaha

pengusaha legal. Dampak yang diakibatkan penggunaan bahan peledak dan potasium

sianida antara lain:68

1. Rusaknya terumbuk karang dan gugusan karang serta bibit rumput laut sebagai

tempat bersarangnya ikan, dimana dalam proses terbentuknya membutuhkan

waktu ratusan tahun.

2. Matinya ikan/anak ikan (ikan kecil)

3. Matinya plankton-plankton, matinya organisme lainnya yang hidup di laut,

matinya tumbuh-tumbuhan laut (rumput laut dll), sehingga dampak tersebut telah

menghancurkan dan merusak ekosistem laut.

Ekosistem kelautan merupakan sistem pendukung kehidupan manusia (life-

support system) di muka bumi (spaceship earth). Ekosistem kelautan sebagai

pendukung kehidupan juga ditentukan oleh beberapa persyaratan, antara lain:

1. Jumlah jenis hayati herbivore (phytoplankton) atau tanaman hijau yang dapat

menyediakan makanan bagi jenis kehidupan lainnya (dalam mata rantai makanan

atau food web). Di sini kita bicara tentang proses fotosintesa dengan bantuan zat

hijau (chlorophy) yang mengubah energi matahari menjadi zat makanan dan

oksigen bagi kesegaran jasmani (lingkungan yang sehat dan baik).

68 Ibid

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II

2. Stabilitas ekosistem lingkungan tergantung kepada tingkat kemurnian jalinan

komponen lingkungan (stability of ecological system depends on complexity). Ini

berarti hilangnya satu jenis spesies saja akan mengurangi tingkat kerumitan

sistem, dan selanjutnya akan mengurangi stabilitas lingkungan alami sehingga

planet bumi sebagai ekosistem besar akan terancam pula. Hal ini dapat

digambarkan dengan komputer yang tergantung kepada kerumitan sistem

transistor yang diibaratkan dengan species dan ekosistem.69

Ekosistem perairan pesisir seperti estuaria, hutan mangrove, padang lamun,

dan terumbu karang mempunyai potensi yang sangat besar untuk menunjang produksi

perikanan.70 Produktivitas primer rata-rata diperairan pesisir dapat mencapai lebih

dari 500 g C/m2/tahun. Nilai produktivitas primer ini sangat tinggi dibandingkan

dengan produktivitas primer laut dangkal pada umumnya, yaitu sekitar 100 g

C/m2/thn atau diperairan laut dalam yang hanya sekitar 50 g C/m2/tahun.71

Ekosistem tersebut diketahui pula memiliki produktivitas sekunder yang

cukup tinggi. Potensi sumberdaya alam hayati ekosistem perairan pesisir, berikut

diuraikan potensi ekologis masing-masing ekosistem di wilayah pesisir. Ekosistem

hutan mangrove merupakan perpaduan antara dua habitat yaitu teristrial dan akuatik.

Perpaduan ini menjadikan ekosistem hutan mangrove memiliki karakteristik khas,

baik ditinjau dari segi fisiografi maupun keragaman biota yang terintegrasi dalam

69 M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan

Indonesia, Edisi Revisi, Bandung: Alumni, 2001, hal. 4-5 70 Mann, K.H, Ecology of Coastal Waters: a System Approach, In Anderson, D.J., P. Greic-

Smith, and F.A. Pitelka (eds.) Studies in ecology, vol.8. University of California Press, California, 1982, hal. 14

71 Ryther, J.H, Potential productivity of the Sea, Science 130: 602 – 608, 1959, hal. 7

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II

sistem ekologi Mangrove. Interaksi-interaksi tersebut terjadi secara alami berada

dalam tatanan yang saling mendukung satu sama lain secara serasi dan seimbang.

Keserasian hubungan antara komponen sistem yang alamiah inilah yang akan

membentuk kekhasan suatu wilayah atau ekosistem. Ekosistem alami yang telah

mencapai keseimbangan ini selalu bersifat dinamis dan tingkat kedinamisannya

berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. Ekosistem hutan mangrove

dikenal sebagai ekosistem yang paling dinamis dan sangat rentan terhadap perubahan

lingkungan di sekitarnya. Hutan mangrove mempunyai fungsi protektif dan

pendukung ekosistem perairan. Secara fisik hutan mangrove merupakan daerah

penyangga yang dapat melindungi pantai dari intrusi, abrasi dan secara spesifik dapat

berperan sebagai penyaring (filter) terhadap berbagai limbah dari kawasan pantai

sekitarnya. Hutan mangrove juga mempunyai produktivitas hayati yang tinggi.

Produktivitas primer hutan mangrove dapat mencapai 5.000 g C/m2/tahun.72

Walaupun produktivitas mangrove tinggi, namun dari total produksi daun tersebut

hanya sekitar 5% yang dikonsumsi langsung oleh hewan-hewan terestrial

pemakannya, sedangkan sisanya (95%) masuk ke lingkungan perairan sebagai debris

dalam bentuk serasah.73

Tingginya bahan organik di perairan hutan mangrove, menjadikan tempat ini

sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), dan

pembesaran atau mencari makan (feeding ground) dari beberapa ikan atau hewan-

72 Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan

Lautan Secara Terpadu, Jakarta: PT. Pramadya Paramita, 1996, hal. 18 73 Dahuri. R, Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan, Orasi Ilmiah

Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, 2003, hal. 7

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II

hewan tertentu, sehingga di dalam hutan mangrove terdapat sejumlah besar hewan-

hewan air, seperti kepiting, moluska, dan invertebrate lainnya, yang hidupnya

menetap di kawasan hutan. Namun, ada pula hewan-hewan air tertentu, seperti

udang-udangan dan ikan, yang hidupnya ke luar masuk hutan mangrove bersama arus

pasang-surut. Oleh karena itu hutan mangrove mempunyai “arti” yang sangat penting

bagi keberlanjutan perikanan. Terumbu karang sering dijumpai di ekosistem perairan

yang sangat miskin akan unsur hara dan mempunyai produktivitas primer yang

rendah, terumbu karang juga berfungsi sebagai tempat pemijahan (spawning

ground), pengasuhan (nursery ground), dan pembesaran atau mencari makan (feeding

ground) dari beberapa ikan atau hewan-hewan tertentu.74

Penanggulangan terhadap dampak pencurian ikan terhadap ekosistem kelautan

diarahkan agar terciptanya pembangunan berkelanjutan (sustainable develompment)

di bidang kelautan melalui kebijakan-kebijakan nasional berkaitan dengan upaya

preventif atau pencegahan kerusakan ekosistem kelautan. Prinsip pembangunan

berkelanjutan antara lain:75

1. Prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity). Prinsip ini mengandung

manka bahwa setiap generasi umat manusia di dunia memiliki hak untuk

menerima dan menempati bumi bukan dalam kondisi yang buruk akibat perbuatan

generasi sekeluarga.

74 Ibid 75 Mas Achmad Santosa dalam Syamsuharya Bethan, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian

Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Aktivitas Industri Nasional, Sebuah Upaya Penyelematan Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar Generasi, Bandung: Alumni, 2008, h lm. 33-34

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II

2. Prinsip keadilan dalam satu generasi (intragenerational equity). Prinsip ini

berbicara tentang keadilan di dalam sebuah generasi umat manusia dan beban dari

permasalahan lingkungan harus dipikul bersama oleh masyarakat dalam satu

generasi.

3. Prinsip pencegahan dini (precautionary principles). Prinsip ini mengandung suatu

pengertian bahwa apabila terdapat ancaman yang berarti atau adanya ancaman

kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan, ketiadaan temuan atau

pembuktian ilmiah yang konklusif dan pasti, tidak dapat dijadikan alasan untuk

menunda upaya-upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.

4. Prinsip perlindungan keragaman hayati (conservation of biological diversity).

Prinsip ini merupakan prasarat dari berhasil tidaknya pelaksanaan prinsip keadilan

antar generasi. Perlindungan keberagaman hayati juga terkait dengan masalah

pencegahan, sebab mencegah kepunahan jenis dari keragaman hayati diperlukan

demi pencegahan dini.

5. Prinsip internalisasi biaya lingkungan. Kerusakan lingkungan dapat dilihat

sebagai akibat dari suatu kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pihak yang

terlibat dalam kegiatan ekonomi tersebut. Oleh karena itu, biaya kerusakan

lingkungan harus ditanggung oleh pelaku kegiatan ekonomi dan diintergrasikan

ke dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan

sumber-sumber alam tersebut.

Menurut Emil Salim, bahwa pola pembangunan berkelanjutan semakin

diterima sebagai koreksi terhadap pola pembangunan konvensional. Ada perbedaan

mendasar antar pembangunan berkelanjutan dan pembangunan konvensional, antara

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II

lain:76 Pertama, pemakaian sumber daya alam pada pembangunan berkelanjutan

menjaga keutuhan fungsi ekosistemnya, sedangkan sumber daya alam pada

pembangunan konvensional dikelola terlepas dari fungsi ekosistemnya. Fungsi

keterkaitan, keanekaragaman, keselarasan dan keberlanjutan ekosistem diabaikan

sepenuhnya. Kedua, dampak pembangunan terhadap lingkungan pada pembangunan

berkelanjutan diperhitungkan dengan menerapkan analisis sehingga dampak negatif

dikendalikan dan dampak positif dikembangkan. Dalam pembangunan konvensional

tidak diterapkan sistem analisis, sehingga dampak kerusakan lingkungan terutama

oleh perusahaan tidak diperhitungkan. Ketiga, pembangunan berkelanjutan

memperhitungkan kepentingan generasi masa depan, bahkan diusahakan tercapainya

keadilan antar generasi sehingga kualitas dan kuantitas sumber daya alam dijaga

keutuhannya untuk generasi masa depan. Dalam pembangunan konvensional tidak

terdapat secara eksplisit, orientasi perhatian terhadap nasib generasi masa depan.

Keempat, pembangunan berkelanjutan berwawasan jangka panjang, sedangkan pada

pembangunan konvensional memiliki prespektif jangka pendek, sehingga keputusan

yang diambil pun tidak sesuai dengan kepentingan pengembangan jangka panjang.

Kelima, hasil pengelolaan sumber daya alam dalam pembangunan berkelanjutan

memperhitungkan menciutnya sumber daya alam akibat proses pembangunan.

Sebaliknya pembangunan konvensional tidak memperhatikan penciutan sumber daya

alam akibat penggunaannya. Keenam, pembangunan berkelanjutan secara sadar turut

memperhitungkan komponen lingkungan yang tidak dipasarkan seperti nilai sumber

daya hayati yang utuh di hutan, bebas polusi, bebas kebisingan dan lain-lain sehingga

76 Emil Salim dalam Ibid, hal. 85

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II

proses ekonomi secara integral memperhitungkan kualitas lingkungan. Sebaliknya

dalam pembangunan konvensional tidak dimasukkan komponen lingkungan yang

tidak dipasarkan sehingga udara, sungai, laut dan komponen media lingkungan secara

gratis bisa dicemari tanpa kenaikan biaya.

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menurut Joint Group

of Experts on The Scientific Aspect of Marine Environment Protection (GESAMP)

mendefinisikan sebagai “pembangunan yang dapat mempertemukan kebutuhan pada

saat ini tanpa melupakan kebutuhan generasi mendatang”. Lebih spesifik lagi

dinyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pengelolaan dan konservasi

sumberdaya alam dan orientasi perubahan-perubahan teknologi dan institusi untuk

memenuhi kesejahteraan manusia pada saat ini dan masa yang akan datang”. Bila

pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan pembangunan pesisir dan lautan

diterapkan, maka secara teknis dapat didefinisikan bahwa “pembangunan pesisir dan

lautan berkelanjutan (sustainable coastal-marine development) adalah suatu upaya

pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat dalam

kawasan pesisir dan lautan sedemikian rupa sehingga laju (tingkat) pemanfaatannya

tidak melebihi daya dukung (carrying capacity) kawasan pesisir dan lautan untuk

menyediakannya sehingga kebutuhan dan kesejahteraan manusia pada saat ini dan

mendatang dapat terpenuhi ”.77

77 Dahuri. R,, Loc.cit

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II

C. Illegal Fishing dan Pelanggaran Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Pembangunan dalam bentuk apapun sebenarnya pada hakekatnya selalu akan

berdampak pada perubahan suatu ekosistem. Idealnya perubahan tersebut diusahakan

dengan meniadakan atau menekan seminimal mungkin dampak yang bersifat negatif

dan memaksimalkan dampak yang bersifat positif. Daerah pesisir secara alami

merupakan eksistem yang rapuh, yang sangat dipengaruhi oleh segala kegiatan di

daratan maupun di laut. Oleh karena itu segala kegiatan pembangunan di daerah

pesisir dan daerah yang turut mempengaruhinya perlu direncanakan secara baik dan

penuh kehati-hatian.

Ada 3 (tiga) bentuk tujuan dalam hal pengelolaan Pesisir dan Laut serta

Perikanan yaitu: Pertama untuk pelestarian (conservation). Kedua, untuk kepentingan

ekonomi (economic interest) dan Ketiga, pola pengelolaan yang memadukan antara

tujuan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Dalam prakteknya pengelolaan

sumberdaya kelautan dan perikanan lebih dominan untuk tujuan ekonomi daripada

mempertimbangkan kelestariannya. Kerusakan lingkungan yang terjadi baik pada

ekosistem laut maupun ekosistem lainya memang dipicu banyak faktor. Namun,

secara umum dua faktor pemicu yang cukup dominan adalah kebutuhan ekonomi

(economi driven) dan kegagalan kebijakan.78 Kondisi ini juga terjadi pada

sumberdaya kelautan berupa pemanfaatan melebihi daya dukungnya (over capacity)

sehingga laju dan tingkat kerusakannya mencapai tingkat yang mengkhawatirkan

78 Akhmad Fauzi , Kebijakan Perikanan dan Kelautan; Isu, Sintesis dan Gagasan, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama Jakarta , 2005 hal.43

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II

ditambah lagi terjadinya pencurian-pencurian ikan yang dilakukan di wilayah

perairan Indonesia.79

Kerusakan ekosistem pesisir misalnya, berimplikasi langsung terhadap

penurunan kualitas habitat perikanan dan juga mengurangi estetika lingkungan

pesisir. Demikian pula pencemaran dan sedimentasi menimbulkan ancaman serius

pada wilayah tersebut yang pada akhirnya terakumulasi pada semakin

terdegradasinya ekosistem pesisir. Dampak dari semua itu berkorelasi terhadap

menurunnya pendapatan masyarakat Persoalan tersebut, umumnya banyak dialami di

wilayah pesisir Indonesia. Namun, belum banyak upaya memperbaiki kerusakan yang

ada. Sebagai Negara kepulauan dengan segala potensi dan kekayaan yang terkandung

di dalamnya belum diimbangi dengan kebijakan yang mendukung. Pengelolaan

sumber daya kelautan dan perikanan masih ditangani setengah hati, padahal persoalan

79 Secara teoritis, ada dua bentuk regulasi dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan

perikanan, yakni open access dan controlled access regulation. Open access adalah regulasi yang membiarkan nelayan menangkap ikan dan mengeksploitasi sumber daya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Regulasi ini mirip ”hukum rimba” dan ”pasar bebas”. Secara empiris, regulasi ini menimbulkan dampak negatif, antara lain apa yang dikenal dengan tragedy of common baik berupa kerusakan sumber daya kelautan dan perikanan maupun konflik antar nelayan. Sebaliknya, controlled access regulation adalah regulasi terkontrol yang dapat berupa (1) pembatasan input (input restriction), yakni membatasi jumlah pelaku, jumlah jenis kapal, dan jenis alat tangkap, (2) pembatasan output (output restriction), yakni membatasi berupa jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan kuota. Salah satu formulasi dari pembatas input itu adalah territorial use right yang menekankan penggunaan fishing right (hak memanfaatkan sumberdaya perikanan) dalam suatu wilayah tertentu dalam yurisdiksi yang jelas. Pola fishing right system ini menempatkan pemegang fishing right yang berhak melakukan kegiatan perikanan di suatu wilayah, sementara yang tidak memiliki fishing right tidak diizinkan beroperasi di wilayah itu. Selain diatur siapa yang berhak melakukan kegiatan perikanan, juga diatur kapan dan dengan alat apa kegiatan perikanan dilakukan. Sistem yang menjurus pada bentuk pengkavlingan laut ini menempatkan perlindungan kepentingan nelayan kecil yang beroperasi di wilayah pantai-pesisir serta kepentingan kelestarian fungsi sumber daya sebagai fokus perhatian. UU No. 32 Tahun 2004 yang membuat pengaturan tentang yurisdiksi laut provinsi (12 mil) dan kabupaten/kota (4 mil) mengindikasikan bahwa produk hukum itu menganut konsep pengkavlingan laut. Konsep pengkavlingan laut merupakan instrumen dari konsep regulasi akses terkontrol (controlled access regulation) dalam pola pembatasan input (territorial use right). UU No. 32 Tahun 2004 sebenarnya entry point penerapan territorial use right.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter II

sumber daya alam umumnya sudah dalam kondisi kritis. Jika dicermati, kebijakan

pengelolaan pesisir dan laut selama ini terdapat beberapa ciri yakni:80

a. Kebijakan masih bias daratan (terrestrial oriented) seperti penempatan kawasan-kawasan perlindungan laut dan reklamasi pantai dengan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal.

b. Pengabaian hubungan keterikatan masyarakat dengan sumber daya alamnya yang diatur berdasarkan hukum lokal.

c. Berfokus pada eksploitasi yang memperburuk kualitas maupun kuantitas sumber daya perikanan dan kelautan.

Persoalan sumber daya kelautan dan perikanan tidak terbatas seperti yang

telah disebutkan di atas, lebih jauh lagi jika dilihat persoalannya sangatlah kompleks.

Dari identifikasi yang dilakukan berbagai pihak, masalah pengelolaan kelautan dan

perikanan dapat dikelompokkan pada tiga bidang masalah yakni (1) ekonomi (2)

sosial dan kelembagaan (3) lingkungan

Dalam skala lebih besar ekspansi ekonomi di bidang perikanan juga lebih

banyak mengarah pada peningkatan pertumbuhan produksi maksimal yang dicirikan

dengan kegiatan eksploitatif yang cenderung merusak (destruktif) sehingga tidak

menjamin kesinambungan (sustainable). Illegal fishing, pelanggaran dan

ketidakbijaksanaan dalam pengambilan hasil di bidang perikanan semakin meningkat

dan bila ini tidak dapat ditanggulangi maka akan terjadi degradasi sumberdaya

perairan akibat overfishing, konversi mangrove untuk tambak yang tidak ramah

lingkungan dan kerusakan ekosistem padang lamun dan terumbu karang.

80 Akhmad Fauzi. Loc.cit

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Chapter II

D. Karakteristik Tindak Pidana Illegal Fishing di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan telah

mengklasifikasi tindak pidana perikanan dibagi atas 2 jenis tindak pidana yaitu:

tindak pidana kejahatan di bidang perikanan (Pasal 84, 85, 86, 88, 91, 92, 93 dan

Pasal 94) dan tindak pidana pelanggaran di bidang perikanan (Pasal 87,

89,90,95,96,97,98,99, dan Pasal 100). Illegal fishing memenuhi unsur-unsur tindak

pidana yang digolongkan sebagai konvensional crime. Baik dari segi pelaku, tempat

kejadian, maupun dampak yang ditimbulkannya. Berdasarkan rumusan Undang-

undang No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, tindak pidana illegal fishing secara

keseluruhan adalah sebagai berikut :

1. Menangkap ikan atau memungut ikan yang berasal dari kawasan perikanan tanpa

memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.

2. Mengelola dan atau membudidayakan ikan yang berasal dari kawasan perikanan

tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.

3. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil perikanan tanpa melengkapi surat

keterangan sahnya pelayaran hasil perikanan berupa ikan

4. Membawa alat-alat dan atau bahan-bahan lainnya yang digunakan dalam

penangkapan dan atau pengelolaan perikanan di kawasan pengelolaan perikanan

tanpa izin pejabat yang berwenang.

Selanjutnya berdasarkan pasal 84 ayat (1 sampai dengan 4) undang-undang

No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, sanksi tindak pidana “illegal fishing” adalah

sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Chapter II

1. Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik

Indonesia melakukan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan dengan

menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan

atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber

daya ikan dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1)

dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp

1. 200.000.000 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

2. Narkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah

kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia

melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis,

bahan peledak, alat dan atau cara dan / atau bangunan yang dapat merugikan dan /

atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat ( 2 ) dipidana dengan pidana penjara

paling lama 10 ( sepuluh ) tahun denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,00 ( satu

milliar dua ratus juta rupiah ).

3. Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, bertanggung jawab

perusahaan perikanan, dan / atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di

wilayah pengelolaan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan

dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan / atau

bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber

daya ikan dan / atau lingkungannya sebagaimana dan atau lingkungannya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat ( 3 ) dipidana dengan pidana penjara

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Chapter II

paling lama 10 ( sepuluh ) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (

dua milliar rupiah ).

4. Pemilik perusahaan, pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan

pembudidayaan ikan, dan / atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan

ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah

pengelolaan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis,

bahan peledak, alat dan / atau cara, dan / atau bangunan yang dapat merugikan

dan / atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/ atau lingkungannya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat ( 4) dipidana dengan pidana penjara

paling lama 10 (sepuluh ) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (

dua milliar rupiah).

5. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ), ayat ( 3 ), ayat ( 4 ) adalah

merupakan kejahatan dan juga memenuhi unsur pelanggaran.

6. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat ( 1 ), ayat ( 3 ), dan

ayat ( 4 ) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan

usaha tuntutan pidananya dijatuhkan pada pengurusnya, baik sendirisendiri

maupun bersama-sama dikenakan sanksi pidana dengan ancaman pidana masing-

masing dari tuntutan pidana yang dijatuhkan.

7. Semua hasil perikanan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat

termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan atau

pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dirampas untuk negara.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Chapter II

Sanksi tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 84 ayat ( 1 ), ayat ( 2 ), ayat

( 3 ), dan ayat ( 4 ) Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan adalah

sebagai berikut :

1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan laut.

2) Setiap orang yang diberi izin usaha penangkapan, pengelolaan, serta

pembudidayaan perikanan dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan

kerusakan biodiversity laut / lingkungan ekosistem laut.

3) Setiap orang dilarang :

a. Mengerjakan dan atau melakukan penangkapan ikan, pengelolaan, serta

pembudidayaan di kawasan perairan Indonesia dengan tidak sah /

melanggar Undang-Undang.

b. Melakukan penangkapan ikan, pengelolaan, serta pembudidayaan di

kawasan perairan Indonesia sesuai dengan ketentuan batasan ZEE dengan

menggunakan bahan-bahan kimia, bahan-bahan peledak dan juga alat

yang dapat merusak ekosistem laut.

c. Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi ikan di kawasan

perairan Republik Indonesia, tanpa izin.

d. Membawa alat-alat dan juga bahan-bahan kimia yang lazin dan patut

diduga akan digunakan untuk melakukan penangkapan, pengelolaan dan

atau pembudidayaan perikanan tanpa izin dari pihak yang berwewenang.

e. Membuang bahan-bahan kimia atau pun benda-benda yang berbahaya dan

dapat menyebabkan kerusakan ekosistem laut serta membahayakan

keberadaan atau kelangsungan fungsi laut ke dalam kawasan perairan.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Chapter II

Berdasarkan bentuk dan sanksi tindak pidana illegal fishing tersebut, maka

dapat dirumuskan unsur pokok subyek dan obyeknya adalah : Setiap orang ; dengan

sengaja (termuat pada Pasal 8 ayat ( 1 ), ayat ( 2 ), ayat (3), dan ayat(4 ) dan karena

kelalaiannya ( termuat dalam Pasal 84 ayat ( 1 ), ayat ( 2 ), ayat ( 3 ) dan ayat ( 4 )

melanggar ketent uan ( melawan hukum ) ; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84

ayat ( 1 ), ayat ( 2 ), ayat ( 3 ), dan ayat ( 4 ).

Tindak pidana illegal fishing juga merupakan pelanggaran atas Undang-

Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat ( 3 ) dimana aturan kepidanaannya dirumuskan

dalam Pasal 262 – 265 ayat ( 4 ) KUHP Tentang Kejahatan Pencurian, dengan

hukuman terberatnya adalah hukuman mati atau pidana seumur hidup atau selama

waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Berdasarkan akibat yang ditimbulkan,

maka pelaku tindak pidana illegal fishing juga dapat dijerat Pasal 187 KUHP Tentang

yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, dengan hukuman

terberatnya pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh

tahun. Jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan

matinya orang lain.

Universitas Sumatera Utara