Chapter II
-
Upload
haqrah-dewi-safytra -
Category
Documents
-
view
89 -
download
0
Transcript of Chapter II
BAB II
KARAKTERISTIK TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING BERDASARKAN MODUS OPERANDI PELAKU DI WILAYAH PERAIRAN
A. Pengaturan Wilayah Perairan Indonesia berkaitan dengan Praktek Illegal
Fishing
Pengaturan menyangkut illegal fishing terkait dengan berbagai peraturan
perundang-undangan. Salah satu pengaturan di bidang illegal fishing adalah di bidang
pelayaran dan kelautan. Dekrit Juanda yang dinyatakan melalui Pengumuman
Pemerintah 13 Desember 1957 merupakan konsep kewilayahan perairan Indonesia,
yang menjadikan wilayah daratan dan wilayah perairan Indonesia merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Yang melatar belakangi dikeluarkannya
Pengumuman Pemerintah ini salah satu diantaranya, yaitu atas dasar pertimbangan
bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari pemerintahan kolonial
jaman Hindia Belanda yang termaktub dalam “Teritorial Zee En Martieme Kringen
Ordonantie 1939” tidak sesuai lagi dengan kepentingan, keselamatan dan keamanan
Negara Republik Indonesia.57
Pasal 1 ayat (1) Ordonantie 1939 tersebut menyatakan bahwa laut teritorial
Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis pangkal air rendah (“laag waterlijn”)
dari pada pulau-pulau dan yang merupakan bagian dari wilayah daratan Indonesia.
Konsekwensi dari cara pengukuran laut yang demikian itu, secara teoritis Indonesia
yang terdiri dari beribu-ribu pulau, setiap pulaunya mempunyai laut teritorial sendiri-
sendiri.
57 Rosmi Hasibuan, Penegakan Hukum Di Bidang Pelayaran Bagi Kapal Asing Di Perairan
Indonesia (Suatu Studi Melalui Perairan Belawan Lantamal-I Sumatera Utara), USU Librery, hlm. 14
Universitas Sumatera Utara
Hal ini tentunya akan menyulitkan pelaksanaan tugas pengawasan laut dengan
sempurna, karena susunan daerah atau pulau-pulau yang harus diawasi demikian
sulitnya. Kantong-kantong laut lepas di tengah-tengah di antara pulau-pulau atau di
antara wilayah daratan Indonesia tunduk pada rejim hukum laut lepas yang bebas
dilayari oleh kapal-kapal semua negara.
Dikeluarkannya PP 13 Desember 1957 tersebut, cara mengukur laut teritorial
Indonesia diukur dari titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar, cara pengukuran yang
demikian ini laut lepas sudah tidak ada lagi di antara pulau-pulau karena telah
menjadi perairan nusantara (kepulauan) Indonesia. Oleh karena itu, pengumuman
Pemerintah ini mempunyai akibat hukum yang penting bagi pelayaran internasional,
sebab bagian laut lepas yang tadinya bebas dilayari untuk pelayaran internasional
dijadikan bagian laut wilayah (laut teritorial) dan perairan nusantara yang berada di
bawah kekuasaan hukum Indonesia.58
Posisi geografis Indonesia yang merupakan persilangan antara dua garis yang
menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta terletak di antara dua
benua, yaitu benua Asia dan Australia, kehadiran kenderaan di atas air (kapal) asing
dalam rangka memperpendek jarak pelayarannya merupakan suatu hal yang tidak
terhindari. Karena itu dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional, maka
sebagai masyarakat internasional yang menginginkan persahabatan antar bangsa di
dunia ini, tidak begitu saja meniadakan kebebasan berlayar di perairan Indonesia. PP
13 Desember 1957 kemudian ditingkatkan menjadi Undang-undang pada tanggal 18
Pebruari 1960, yaitu UU No. 4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia. Pada Pasal UU
58 Ibid
Universitas Sumatera Utara
tersebut menyatakan, bahwa jalur laut wilayah Indonesia selebar 12 mil dihitung dari
garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau- pulau terluar
(Pasal 1 UU). Hak lintas damai kenderaan air asing (kapal) melalui perairan nusantara
(aechipelagic waters) dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara dan
mengganggu keamanan.59
Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago state) terbesar di dunia
yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut
sekitar 3,1 juta km2 (0,8 juta km2 perairan territorial, dan 2,3 juta km2 perairan
Nusantara atau 62% dari luas teritorialnya) (Tabel 1). Berdasarkan UNCLOS (United
Nation Convention On Law of the Sea (1982), Indonesia diberi kewenangan
memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km2 yang menyangkut
eksplorasi, eksploitasi dan pengelolaan sumberdaya hayati dan non hayati, penelitian
dan yurisdiksi mendirikan instalasi atau pulau buatan. Secara administratif wilayah
pesisir menempati 60% dari sekitar 300 kabupaten di seluruh Indonesia.60
Wilayah pesisir dan lautan merupakan wilayah yang memiliki arti penting
secara ekonomi dan politik bagi kehidupan masyarakat di Indonesia sejak dahulu.
Sumberdaya di wilayah ini merupakan penopang hidup bagi masyarakat yang hidup
di wilayah pesisir untuk memperoleh makanan, kayu bakar, bangunan, dan fungsi
lainnya.
59 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia 60 Sekolah Pasca Sarjana IPB, Strategi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Lautan,
Makalah Kelompok 7 Semenster Ganjil 2004 Falsafah Sains (PPS-702) Program Pasca Sarjana S3, November 2004, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Perkiraan luasan wilayah pesisir dan perairan Indonesia
Wilayah/Garis Luas/Panjang Keterangan Teritorial Total Indonesia 5,0 juta km2 Teritorial Perairan
3,1 juta km2 62% dari total teritori Indonesia
Teritorial Daratan 1,9 juta km2 Perairan tertutup 2,7 juta km2 87% dari total laut Perairan terbuka 0,3 juta km2 13% dari total laut Perairan paparan benua 1,5 juta km2 47% dari total laut Perkiraan garis pantai 80.791 – 81.000 km Sumber: Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan, 1996
Sumberdaya perairan dan kelautan tersebut ada yang dapat diperbaharui
(renewable resources) dan ada yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable
resources). Sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan tangkap,
perikanan budidaya, perikanan payau, budidaya laut, mangrove, energi gelombang ,
pasang surut, angin, dan industri bioteknologi kelautan maupun industri pengolahan
hasil laut. Sementara itu sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui adalah seperti
minyak, gas bumi, berbagai jenis mineral dan bahan tambang dan mineral lainnya,
energi kelautan (gelombang, pasang surut dan angin). Disamping kedua sumberdaya
tersebut, masih terdapat berbagai macam jasa-jasa lingkungan (media transportasi,
pengatur iklim, keindahan alam serta penyerapan limbah). Berikut dibahas beberapa
sumberdaya pesisir dan lautan dari sisi potensi dan perannya dalam pembangunan
nasional.61
Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi
dalam garis pangkal lurus kepulauan Indonesia tanpa memperhatikan kedalaman atau
jaraknya dari pantai. Panjang garis pangkal lurus yang dimaksudkan tidak boleh
61 Ibid, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
melebihi 100 (seratus) mil laut kecuali, 3 % dari jumlah keseluruhan garis pangkal
yang mengelilingi kepulauan Indonesia hingga suatu kepanjangan maksimum 125
meter sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 11 UU tentang Perairan, bahwa kapal
semua negara baik berpantai atau tidak berpantai dapat menikmati hak lintas damai di
perairan kepulauan. Dalam melakukan lintas damai di perairan kepulauan, yaitu
melalui alur- alur laut yang khusus ditetapkan untuk pelaksanaan hak pelayaran dan
penerbangan di atasnya.62
Negara Indonesia merupakan Negara Kepulauan (Archipelago State) dengan
jumlah pulau sebanyek 17.508 pulau dengan panjang pantai 81.000 Km2 yang terdiri
dari 0,3 juta km2 (5,17 %). Laut teritorial, 2,8 juta km2 (48,28 %) perairan
kepulauan, serta 2,7 jura km2 (46,55 %) Zona Ekonomi Eksklusif, sehingga
menempatkan Indonesia pada posisi strategis dan memiliki potensi sumber daya
perikanan yang besar.63
Dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan Kelautan dan Perikanan, pemerintah
telah mengeluarkan berbagai kebijakan yakni :
1. Undang-undang No 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan 2. Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok
Pertambangan; 3. Undang-undang No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina; 4. Undang-undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia; 5. Undang-undang No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara; 6. Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Indonesia; 7. Undang-undang No. 5 Tahun 1985 tentang Perindustrian; 8. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya; 9. Undang-undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan;
62 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia 63 Aji Sularso, Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
DKP, http://www.google.co.id, diakses tanggal 18 Juli 2010
Universitas Sumatera Utara
10. Undang-undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran; 11. Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Konvensi PBB Mengenai
Keanekaragaman Hayati; 12. Undang-undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia; 13. UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; (Revisi UU No.9 Tahun 1985 Tentang
Perikanan) 14. Undang-undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir &
Pulau-Pulau Kecil 15. PP No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia 16. PP Nomor 15 Tahun 1990 Tentang Usaha Perikanan dan PP Nomor 46 tahun
1993 Tentang Perubahan Atas PP 15 Tahun 1990 dan PP Nomor 141 tahun 2000 Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tentang Usaha Perikanan.
17. PP N0. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut
18. PP No. 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan 19. Keppres 39 Tahun 1980 tentang Pelarangan Pengunaan Pukat Harimau (Trawl). 20. Kep. Menteri Pertanian No. 01/Kpts/Um/1/1975 tentang Pembinaan Kelestarian
Kekayaan Yang Terdapat Dalam Sumber Perikanan Indonesia 21. Kep. Menteri Pertanian Nomor 473a/KPts/IK.250/6/1985: tentang Jumlah
Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 22. Kep. Menteri Pertanian Nomor 475/Kpts/IK.120/7/1985 tentang Perizinan bagi
orang atau Badan Hukum Asing untuk Menangkap Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
23. Kep. Menteri Pertanian Nomor 476/Kpts/IK.120/1985 tentang Penetapan Tempat Melapor bagi Kapal Perikanan yang mendapat Izin Menangkap Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
24. Kep. Menteri Pertanian Nomor 477/Kpts/IK.120./7/1988 tentang Perubahan Besarnya Pungutan Penangkapan Ikan bagi orang atau Badan Hukum Asing yang Melakukan Penangkapan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Selanjutnya peraturan pelayaran telah disahkan yakni UU No 17 Tahun 2008
yang mengatur secara khusus tentang Pelayaran.64 Definisinya sangat tegas teruraikan
64 Menurut Pasal 5 PP No 2 Tahun 1969 tentang Penyelenggaraan Dan Pengusahaan
Angkutan Laut, Pelayaran terdiri atas : (1) Pelayaran dalam negeri yang meliputi : (a) Pelayaran Nusantara, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan antar pelabuhan Indonesia tanpa memandang jurusan yang ditempuh satu dan lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (b) Pelayaran Lokal, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengankutan antar pelabuhan Indonesia yang ditujukan untuk menunjang kegiatan pelayaran luar negeri dengan mempergunakan kapal-kapal yang berukuran 500 m3 isi kotor ke bawah atau sama dengan 175 BRT ke bawah; (c) Pelayaran Rakyat, yaitu pelayaran Nusantara dengan menggunakan perahu-perahu layer; (d) Pelayaran Pedalaman, terusan dan sungai, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan di perairan pedalaman, terusan dan
Universitas Sumatera Utara
di Pasal 1 (satu) bahwa pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas
angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta
perlindungan lingkungan maritim. Fokus peraturan ini pada pengangkutan di perairan
termasuk pula pelabuhan, adapun jenis angkutan di perairan terdiri atas: (a) angkutan
laut; (b) angkutan sungai dan danau; dan (c). angkutan penyeberangan.65 Namun
ketentuan pidana dalam peraturan ini hanya berlaku bagi pidana yang berkaitan
dengan perniagaan, perizinan dan pengangkutan.
Indonesia merupakan terdiri dari kawasan maritim termasuk didalamnya
yakni zona ekonomi ekslusif (ZEE). Menurut UU No 5 Tahun 1983 tentang ZEE
Indonesia menegaskan batasnya yakni 200 mil dari garis pangkal laut wilayah
Indonesia namun apabila bersinggungan dengan ZEE dari Negara lain maka harus
ada persetujuan atau kesepakatan antara Indonesia dengan Negara tersebut3. Hal ini
menjadi sangat penting karena Secara geografis Indonesia merupakan negara
kepulauan yang dikelilingi oleh perairan serta perbatasan yang sangat tipis dengan
negara lain sehingga perairan berpotensi digunakan sebagai jalur melakukan kegiatan
illegal. Misalkan kegiatan illegal loging, illegal fishing dan illegal migration. Namun
dalam praktek pertanggungjawaban pidana pihak yang paling bertanggungjawab
sungai; (e) Pelayaran Penundaan Laut, yaitu pelayaran nusantara dengan menggunakan tongkangtongkang yang ditarik oleh kapal-kapal tunda. (2) Pelayaran luar negeri, yang meliputi : (a) Pelayaran Samudera Dekat, yaitu pelayaran ke pelabuhanpelabuhan negara tetangga yang tidak melebihi jarak 3.000mil laut dari pelabuhan terluar Indonesia, tanpa memandang jurusan; (b) Pelayaran Samudera, yaitu pelayaran kedan dari luar negeri yang bukan merupakan pelayaran samudera dekat. (3) Pelayaran khusus, yaitu pelayaran dalam dan luar negeri dengan menggunakan kapal-kapal pengangkut khusus untuk pengangkutan hasil industri, pertambangan dan hasil-hasil usaha lainnya yang bersifat khusus, seperti minyak bumi, batu bara, biji besi, biji nikkel, timah bauxiet, logs dan barang-barang bulk lainnya. Dalam PP ini hanya mengatur regulasi untuk Kapal Niaga yang berperan dalam jasa angkutan 65 Lihat Pasal 6 UU No 17 Tahun 2008
Universitas Sumatera Utara
terhadap penyelewengan jasa angkutan ini adalah nahkoda dan awak kabin kapal,
kemudian pemilik kapal tidak diminta pertanggungjawaban pidana.
B. Dampak Pencurian Ikan terhadap Ekosistem Kelautan
Indonesia mempunyai potensi kekayaan laut sangat besar yang baru dapat
dimanfaatkan sebagian kecilnya saja. Potensi ini kemudian dieksploitasi oleh
pengusaha-pengusaha lokal dan asing baik melalui jalur legal maupun jalur illegal.
Eksploitasi sumber daya kelautan khususnya perikakan lebih marak saat ini adalah
jalur illegal. Perairan Indonesia dengan sumber daya laut yang kaya raya tidak luput
dari illegal fishing yang dilakukan oleh warga negara asing (WNA).66
Potensi perikanan Indonesia secara keseluruhan mencapai 65 juta ton, terdiri
7,3 juta ton pada sektor perikanan tangkap dan 57,7 juta ton pada sektor perikanan
budidaya. Hingga saat ini Indonesia menempati urutan ke-12 sebagai Negara
pengekspor produk perikanan di bawah posisi Thailand dan Vietnam. Hal ini
sebagaimana disampaikan dalam laporan DKP sebagai berikut:67
“Hasil evaluasi selama kurun waktu lima tahun terakhir produksi dari sektor perikanan terutama dari hasil penangkapan ikan mencapai 6,4 juta ton per tahun pada tahun 2000. Berdasarkan perhitungan dari harga di tingkat produsen maka nilai produksi tersebut mencapai Rp. 18,46 triliun, sedangkan untuk nilai ekonomi dari benih ikan laut mencapai Rp. 8,07 milyar. Begitu juga berdasarkan produksi pada kegiatan budidaya laut mencapai angka sebesar 994.962 ton dengan nilai sebesar Rp.1,36 triliun berdasarkan nilai pada tingkat produsen”.
66 Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Op.cit, hal. 14 67 Statistik Perikanan Tangkap DKP dalam Sekolah Pasca Sarjana IPB, Op.cit, hal. 5
Universitas Sumatera Utara
Eksplotasi yang dilakukan mempergunakan sarana yang illegal yaitu dengan
bahan peledak dan potasium sianida dalam mengeruk kekayaan ikan. Hal ini
berdampak buruk bagi kesejahteraan nelayan lokal maupun kesinambungan usaha
pengusaha legal. Dampak yang diakibatkan penggunaan bahan peledak dan potasium
sianida antara lain:68
1. Rusaknya terumbuk karang dan gugusan karang serta bibit rumput laut sebagai
tempat bersarangnya ikan, dimana dalam proses terbentuknya membutuhkan
waktu ratusan tahun.
2. Matinya ikan/anak ikan (ikan kecil)
3. Matinya plankton-plankton, matinya organisme lainnya yang hidup di laut,
matinya tumbuh-tumbuhan laut (rumput laut dll), sehingga dampak tersebut telah
menghancurkan dan merusak ekosistem laut.
Ekosistem kelautan merupakan sistem pendukung kehidupan manusia (life-
support system) di muka bumi (spaceship earth). Ekosistem kelautan sebagai
pendukung kehidupan juga ditentukan oleh beberapa persyaratan, antara lain:
1. Jumlah jenis hayati herbivore (phytoplankton) atau tanaman hijau yang dapat
menyediakan makanan bagi jenis kehidupan lainnya (dalam mata rantai makanan
atau food web). Di sini kita bicara tentang proses fotosintesa dengan bantuan zat
hijau (chlorophy) yang mengubah energi matahari menjadi zat makanan dan
oksigen bagi kesegaran jasmani (lingkungan yang sehat dan baik).
68 Ibid
Universitas Sumatera Utara
2. Stabilitas ekosistem lingkungan tergantung kepada tingkat kemurnian jalinan
komponen lingkungan (stability of ecological system depends on complexity). Ini
berarti hilangnya satu jenis spesies saja akan mengurangi tingkat kerumitan
sistem, dan selanjutnya akan mengurangi stabilitas lingkungan alami sehingga
planet bumi sebagai ekosistem besar akan terancam pula. Hal ini dapat
digambarkan dengan komputer yang tergantung kepada kerumitan sistem
transistor yang diibaratkan dengan species dan ekosistem.69
Ekosistem perairan pesisir seperti estuaria, hutan mangrove, padang lamun,
dan terumbu karang mempunyai potensi yang sangat besar untuk menunjang produksi
perikanan.70 Produktivitas primer rata-rata diperairan pesisir dapat mencapai lebih
dari 500 g C/m2/tahun. Nilai produktivitas primer ini sangat tinggi dibandingkan
dengan produktivitas primer laut dangkal pada umumnya, yaitu sekitar 100 g
C/m2/thn atau diperairan laut dalam yang hanya sekitar 50 g C/m2/tahun.71
Ekosistem tersebut diketahui pula memiliki produktivitas sekunder yang
cukup tinggi. Potensi sumberdaya alam hayati ekosistem perairan pesisir, berikut
diuraikan potensi ekologis masing-masing ekosistem di wilayah pesisir. Ekosistem
hutan mangrove merupakan perpaduan antara dua habitat yaitu teristrial dan akuatik.
Perpaduan ini menjadikan ekosistem hutan mangrove memiliki karakteristik khas,
baik ditinjau dari segi fisiografi maupun keragaman biota yang terintegrasi dalam
69 M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia, Edisi Revisi, Bandung: Alumni, 2001, hal. 4-5 70 Mann, K.H, Ecology of Coastal Waters: a System Approach, In Anderson, D.J., P. Greic-
Smith, and F.A. Pitelka (eds.) Studies in ecology, vol.8. University of California Press, California, 1982, hal. 14
71 Ryther, J.H, Potential productivity of the Sea, Science 130: 602 – 608, 1959, hal. 7
Universitas Sumatera Utara
sistem ekologi Mangrove. Interaksi-interaksi tersebut terjadi secara alami berada
dalam tatanan yang saling mendukung satu sama lain secara serasi dan seimbang.
Keserasian hubungan antara komponen sistem yang alamiah inilah yang akan
membentuk kekhasan suatu wilayah atau ekosistem. Ekosistem alami yang telah
mencapai keseimbangan ini selalu bersifat dinamis dan tingkat kedinamisannya
berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. Ekosistem hutan mangrove
dikenal sebagai ekosistem yang paling dinamis dan sangat rentan terhadap perubahan
lingkungan di sekitarnya. Hutan mangrove mempunyai fungsi protektif dan
pendukung ekosistem perairan. Secara fisik hutan mangrove merupakan daerah
penyangga yang dapat melindungi pantai dari intrusi, abrasi dan secara spesifik dapat
berperan sebagai penyaring (filter) terhadap berbagai limbah dari kawasan pantai
sekitarnya. Hutan mangrove juga mempunyai produktivitas hayati yang tinggi.
Produktivitas primer hutan mangrove dapat mencapai 5.000 g C/m2/tahun.72
Walaupun produktivitas mangrove tinggi, namun dari total produksi daun tersebut
hanya sekitar 5% yang dikonsumsi langsung oleh hewan-hewan terestrial
pemakannya, sedangkan sisanya (95%) masuk ke lingkungan perairan sebagai debris
dalam bentuk serasah.73
Tingginya bahan organik di perairan hutan mangrove, menjadikan tempat ini
sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), dan
pembesaran atau mencari makan (feeding ground) dari beberapa ikan atau hewan-
72 Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu, Jakarta: PT. Pramadya Paramita, 1996, hal. 18 73 Dahuri. R, Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan, Orasi Ilmiah
Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, 2003, hal. 7
Universitas Sumatera Utara
hewan tertentu, sehingga di dalam hutan mangrove terdapat sejumlah besar hewan-
hewan air, seperti kepiting, moluska, dan invertebrate lainnya, yang hidupnya
menetap di kawasan hutan. Namun, ada pula hewan-hewan air tertentu, seperti
udang-udangan dan ikan, yang hidupnya ke luar masuk hutan mangrove bersama arus
pasang-surut. Oleh karena itu hutan mangrove mempunyai “arti” yang sangat penting
bagi keberlanjutan perikanan. Terumbu karang sering dijumpai di ekosistem perairan
yang sangat miskin akan unsur hara dan mempunyai produktivitas primer yang
rendah, terumbu karang juga berfungsi sebagai tempat pemijahan (spawning
ground), pengasuhan (nursery ground), dan pembesaran atau mencari makan (feeding
ground) dari beberapa ikan atau hewan-hewan tertentu.74
Penanggulangan terhadap dampak pencurian ikan terhadap ekosistem kelautan
diarahkan agar terciptanya pembangunan berkelanjutan (sustainable develompment)
di bidang kelautan melalui kebijakan-kebijakan nasional berkaitan dengan upaya
preventif atau pencegahan kerusakan ekosistem kelautan. Prinsip pembangunan
berkelanjutan antara lain:75
1. Prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity). Prinsip ini mengandung
manka bahwa setiap generasi umat manusia di dunia memiliki hak untuk
menerima dan menempati bumi bukan dalam kondisi yang buruk akibat perbuatan
generasi sekeluarga.
74 Ibid 75 Mas Achmad Santosa dalam Syamsuharya Bethan, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian
Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Aktivitas Industri Nasional, Sebuah Upaya Penyelematan Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar Generasi, Bandung: Alumni, 2008, h lm. 33-34
Universitas Sumatera Utara
2. Prinsip keadilan dalam satu generasi (intragenerational equity). Prinsip ini
berbicara tentang keadilan di dalam sebuah generasi umat manusia dan beban dari
permasalahan lingkungan harus dipikul bersama oleh masyarakat dalam satu
generasi.
3. Prinsip pencegahan dini (precautionary principles). Prinsip ini mengandung suatu
pengertian bahwa apabila terdapat ancaman yang berarti atau adanya ancaman
kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan, ketiadaan temuan atau
pembuktian ilmiah yang konklusif dan pasti, tidak dapat dijadikan alasan untuk
menunda upaya-upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.
4. Prinsip perlindungan keragaman hayati (conservation of biological diversity).
Prinsip ini merupakan prasarat dari berhasil tidaknya pelaksanaan prinsip keadilan
antar generasi. Perlindungan keberagaman hayati juga terkait dengan masalah
pencegahan, sebab mencegah kepunahan jenis dari keragaman hayati diperlukan
demi pencegahan dini.
5. Prinsip internalisasi biaya lingkungan. Kerusakan lingkungan dapat dilihat
sebagai akibat dari suatu kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pihak yang
terlibat dalam kegiatan ekonomi tersebut. Oleh karena itu, biaya kerusakan
lingkungan harus ditanggung oleh pelaku kegiatan ekonomi dan diintergrasikan
ke dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan
sumber-sumber alam tersebut.
Menurut Emil Salim, bahwa pola pembangunan berkelanjutan semakin
diterima sebagai koreksi terhadap pola pembangunan konvensional. Ada perbedaan
mendasar antar pembangunan berkelanjutan dan pembangunan konvensional, antara
Universitas Sumatera Utara
lain:76 Pertama, pemakaian sumber daya alam pada pembangunan berkelanjutan
menjaga keutuhan fungsi ekosistemnya, sedangkan sumber daya alam pada
pembangunan konvensional dikelola terlepas dari fungsi ekosistemnya. Fungsi
keterkaitan, keanekaragaman, keselarasan dan keberlanjutan ekosistem diabaikan
sepenuhnya. Kedua, dampak pembangunan terhadap lingkungan pada pembangunan
berkelanjutan diperhitungkan dengan menerapkan analisis sehingga dampak negatif
dikendalikan dan dampak positif dikembangkan. Dalam pembangunan konvensional
tidak diterapkan sistem analisis, sehingga dampak kerusakan lingkungan terutama
oleh perusahaan tidak diperhitungkan. Ketiga, pembangunan berkelanjutan
memperhitungkan kepentingan generasi masa depan, bahkan diusahakan tercapainya
keadilan antar generasi sehingga kualitas dan kuantitas sumber daya alam dijaga
keutuhannya untuk generasi masa depan. Dalam pembangunan konvensional tidak
terdapat secara eksplisit, orientasi perhatian terhadap nasib generasi masa depan.
Keempat, pembangunan berkelanjutan berwawasan jangka panjang, sedangkan pada
pembangunan konvensional memiliki prespektif jangka pendek, sehingga keputusan
yang diambil pun tidak sesuai dengan kepentingan pengembangan jangka panjang.
Kelima, hasil pengelolaan sumber daya alam dalam pembangunan berkelanjutan
memperhitungkan menciutnya sumber daya alam akibat proses pembangunan.
Sebaliknya pembangunan konvensional tidak memperhatikan penciutan sumber daya
alam akibat penggunaannya. Keenam, pembangunan berkelanjutan secara sadar turut
memperhitungkan komponen lingkungan yang tidak dipasarkan seperti nilai sumber
daya hayati yang utuh di hutan, bebas polusi, bebas kebisingan dan lain-lain sehingga
76 Emil Salim dalam Ibid, hal. 85
Universitas Sumatera Utara
proses ekonomi secara integral memperhitungkan kualitas lingkungan. Sebaliknya
dalam pembangunan konvensional tidak dimasukkan komponen lingkungan yang
tidak dipasarkan sehingga udara, sungai, laut dan komponen media lingkungan secara
gratis bisa dicemari tanpa kenaikan biaya.
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menurut Joint Group
of Experts on The Scientific Aspect of Marine Environment Protection (GESAMP)
mendefinisikan sebagai “pembangunan yang dapat mempertemukan kebutuhan pada
saat ini tanpa melupakan kebutuhan generasi mendatang”. Lebih spesifik lagi
dinyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pengelolaan dan konservasi
sumberdaya alam dan orientasi perubahan-perubahan teknologi dan institusi untuk
memenuhi kesejahteraan manusia pada saat ini dan masa yang akan datang”. Bila
pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan pembangunan pesisir dan lautan
diterapkan, maka secara teknis dapat didefinisikan bahwa “pembangunan pesisir dan
lautan berkelanjutan (sustainable coastal-marine development) adalah suatu upaya
pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat dalam
kawasan pesisir dan lautan sedemikian rupa sehingga laju (tingkat) pemanfaatannya
tidak melebihi daya dukung (carrying capacity) kawasan pesisir dan lautan untuk
menyediakannya sehingga kebutuhan dan kesejahteraan manusia pada saat ini dan
mendatang dapat terpenuhi ”.77
77 Dahuri. R,, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
C. Illegal Fishing dan Pelanggaran Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Pembangunan dalam bentuk apapun sebenarnya pada hakekatnya selalu akan
berdampak pada perubahan suatu ekosistem. Idealnya perubahan tersebut diusahakan
dengan meniadakan atau menekan seminimal mungkin dampak yang bersifat negatif
dan memaksimalkan dampak yang bersifat positif. Daerah pesisir secara alami
merupakan eksistem yang rapuh, yang sangat dipengaruhi oleh segala kegiatan di
daratan maupun di laut. Oleh karena itu segala kegiatan pembangunan di daerah
pesisir dan daerah yang turut mempengaruhinya perlu direncanakan secara baik dan
penuh kehati-hatian.
Ada 3 (tiga) bentuk tujuan dalam hal pengelolaan Pesisir dan Laut serta
Perikanan yaitu: Pertama untuk pelestarian (conservation). Kedua, untuk kepentingan
ekonomi (economic interest) dan Ketiga, pola pengelolaan yang memadukan antara
tujuan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Dalam prakteknya pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan lebih dominan untuk tujuan ekonomi daripada
mempertimbangkan kelestariannya. Kerusakan lingkungan yang terjadi baik pada
ekosistem laut maupun ekosistem lainya memang dipicu banyak faktor. Namun,
secara umum dua faktor pemicu yang cukup dominan adalah kebutuhan ekonomi
(economi driven) dan kegagalan kebijakan.78 Kondisi ini juga terjadi pada
sumberdaya kelautan berupa pemanfaatan melebihi daya dukungnya (over capacity)
sehingga laju dan tingkat kerusakannya mencapai tingkat yang mengkhawatirkan
78 Akhmad Fauzi , Kebijakan Perikanan dan Kelautan; Isu, Sintesis dan Gagasan, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama Jakarta , 2005 hal.43
Universitas Sumatera Utara
ditambah lagi terjadinya pencurian-pencurian ikan yang dilakukan di wilayah
perairan Indonesia.79
Kerusakan ekosistem pesisir misalnya, berimplikasi langsung terhadap
penurunan kualitas habitat perikanan dan juga mengurangi estetika lingkungan
pesisir. Demikian pula pencemaran dan sedimentasi menimbulkan ancaman serius
pada wilayah tersebut yang pada akhirnya terakumulasi pada semakin
terdegradasinya ekosistem pesisir. Dampak dari semua itu berkorelasi terhadap
menurunnya pendapatan masyarakat Persoalan tersebut, umumnya banyak dialami di
wilayah pesisir Indonesia. Namun, belum banyak upaya memperbaiki kerusakan yang
ada. Sebagai Negara kepulauan dengan segala potensi dan kekayaan yang terkandung
di dalamnya belum diimbangi dengan kebijakan yang mendukung. Pengelolaan
sumber daya kelautan dan perikanan masih ditangani setengah hati, padahal persoalan
79 Secara teoritis, ada dua bentuk regulasi dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan
perikanan, yakni open access dan controlled access regulation. Open access adalah regulasi yang membiarkan nelayan menangkap ikan dan mengeksploitasi sumber daya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Regulasi ini mirip ”hukum rimba” dan ”pasar bebas”. Secara empiris, regulasi ini menimbulkan dampak negatif, antara lain apa yang dikenal dengan tragedy of common baik berupa kerusakan sumber daya kelautan dan perikanan maupun konflik antar nelayan. Sebaliknya, controlled access regulation adalah regulasi terkontrol yang dapat berupa (1) pembatasan input (input restriction), yakni membatasi jumlah pelaku, jumlah jenis kapal, dan jenis alat tangkap, (2) pembatasan output (output restriction), yakni membatasi berupa jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan kuota. Salah satu formulasi dari pembatas input itu adalah territorial use right yang menekankan penggunaan fishing right (hak memanfaatkan sumberdaya perikanan) dalam suatu wilayah tertentu dalam yurisdiksi yang jelas. Pola fishing right system ini menempatkan pemegang fishing right yang berhak melakukan kegiatan perikanan di suatu wilayah, sementara yang tidak memiliki fishing right tidak diizinkan beroperasi di wilayah itu. Selain diatur siapa yang berhak melakukan kegiatan perikanan, juga diatur kapan dan dengan alat apa kegiatan perikanan dilakukan. Sistem yang menjurus pada bentuk pengkavlingan laut ini menempatkan perlindungan kepentingan nelayan kecil yang beroperasi di wilayah pantai-pesisir serta kepentingan kelestarian fungsi sumber daya sebagai fokus perhatian. UU No. 32 Tahun 2004 yang membuat pengaturan tentang yurisdiksi laut provinsi (12 mil) dan kabupaten/kota (4 mil) mengindikasikan bahwa produk hukum itu menganut konsep pengkavlingan laut. Konsep pengkavlingan laut merupakan instrumen dari konsep regulasi akses terkontrol (controlled access regulation) dalam pola pembatasan input (territorial use right). UU No. 32 Tahun 2004 sebenarnya entry point penerapan territorial use right.
Universitas Sumatera Utara
sumber daya alam umumnya sudah dalam kondisi kritis. Jika dicermati, kebijakan
pengelolaan pesisir dan laut selama ini terdapat beberapa ciri yakni:80
a. Kebijakan masih bias daratan (terrestrial oriented) seperti penempatan kawasan-kawasan perlindungan laut dan reklamasi pantai dengan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal.
b. Pengabaian hubungan keterikatan masyarakat dengan sumber daya alamnya yang diatur berdasarkan hukum lokal.
c. Berfokus pada eksploitasi yang memperburuk kualitas maupun kuantitas sumber daya perikanan dan kelautan.
Persoalan sumber daya kelautan dan perikanan tidak terbatas seperti yang
telah disebutkan di atas, lebih jauh lagi jika dilihat persoalannya sangatlah kompleks.
Dari identifikasi yang dilakukan berbagai pihak, masalah pengelolaan kelautan dan
perikanan dapat dikelompokkan pada tiga bidang masalah yakni (1) ekonomi (2)
sosial dan kelembagaan (3) lingkungan
Dalam skala lebih besar ekspansi ekonomi di bidang perikanan juga lebih
banyak mengarah pada peningkatan pertumbuhan produksi maksimal yang dicirikan
dengan kegiatan eksploitatif yang cenderung merusak (destruktif) sehingga tidak
menjamin kesinambungan (sustainable). Illegal fishing, pelanggaran dan
ketidakbijaksanaan dalam pengambilan hasil di bidang perikanan semakin meningkat
dan bila ini tidak dapat ditanggulangi maka akan terjadi degradasi sumberdaya
perairan akibat overfishing, konversi mangrove untuk tambak yang tidak ramah
lingkungan dan kerusakan ekosistem padang lamun dan terumbu karang.
80 Akhmad Fauzi. Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
D. Karakteristik Tindak Pidana Illegal Fishing di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan telah
mengklasifikasi tindak pidana perikanan dibagi atas 2 jenis tindak pidana yaitu:
tindak pidana kejahatan di bidang perikanan (Pasal 84, 85, 86, 88, 91, 92, 93 dan
Pasal 94) dan tindak pidana pelanggaran di bidang perikanan (Pasal 87,
89,90,95,96,97,98,99, dan Pasal 100). Illegal fishing memenuhi unsur-unsur tindak
pidana yang digolongkan sebagai konvensional crime. Baik dari segi pelaku, tempat
kejadian, maupun dampak yang ditimbulkannya. Berdasarkan rumusan Undang-
undang No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, tindak pidana illegal fishing secara
keseluruhan adalah sebagai berikut :
1. Menangkap ikan atau memungut ikan yang berasal dari kawasan perikanan tanpa
memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
2. Mengelola dan atau membudidayakan ikan yang berasal dari kawasan perikanan
tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
3. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil perikanan tanpa melengkapi surat
keterangan sahnya pelayaran hasil perikanan berupa ikan
4. Membawa alat-alat dan atau bahan-bahan lainnya yang digunakan dalam
penangkapan dan atau pengelolaan perikanan di kawasan pengelolaan perikanan
tanpa izin pejabat yang berwenang.
Selanjutnya berdasarkan pasal 84 ayat (1 sampai dengan 4) undang-undang
No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, sanksi tindak pidana “illegal fishing” adalah
sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia melakukan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan
atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber
daya ikan dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1)
dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp
1. 200.000.000 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
2. Narkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah
kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis,
bahan peledak, alat dan atau cara dan / atau bangunan yang dapat merugikan dan /
atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat ( 2 ) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 ( sepuluh ) tahun denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,00 ( satu
milliar dua ratus juta rupiah ).
3. Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, bertanggung jawab
perusahaan perikanan, dan / atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di
wilayah pengelolaan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan
dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan / atau
bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber
daya ikan dan / atau lingkungannya sebagaimana dan atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat ( 3 ) dipidana dengan pidana penjara
Universitas Sumatera Utara
paling lama 10 ( sepuluh ) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (
dua milliar rupiah ).
4. Pemilik perusahaan, pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan
pembudidayaan ikan, dan / atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan
ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah
pengelolaan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis,
bahan peledak, alat dan / atau cara, dan / atau bangunan yang dapat merugikan
dan / atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/ atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat ( 4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh ) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (
dua milliar rupiah).
5. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ), ayat ( 3 ), ayat ( 4 ) adalah
merupakan kejahatan dan juga memenuhi unsur pelanggaran.
6. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat ( 1 ), ayat ( 3 ), dan
ayat ( 4 ) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan
usaha tuntutan pidananya dijatuhkan pada pengurusnya, baik sendirisendiri
maupun bersama-sama dikenakan sanksi pidana dengan ancaman pidana masing-
masing dari tuntutan pidana yang dijatuhkan.
7. Semua hasil perikanan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat
termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan atau
pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dirampas untuk negara.
Universitas Sumatera Utara
Sanksi tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 84 ayat ( 1 ), ayat ( 2 ), ayat
( 3 ), dan ayat ( 4 ) Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan adalah
sebagai berikut :
1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan laut.
2) Setiap orang yang diberi izin usaha penangkapan, pengelolaan, serta
pembudidayaan perikanan dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan
kerusakan biodiversity laut / lingkungan ekosistem laut.
3) Setiap orang dilarang :
a. Mengerjakan dan atau melakukan penangkapan ikan, pengelolaan, serta
pembudidayaan di kawasan perairan Indonesia dengan tidak sah /
melanggar Undang-Undang.
b. Melakukan penangkapan ikan, pengelolaan, serta pembudidayaan di
kawasan perairan Indonesia sesuai dengan ketentuan batasan ZEE dengan
menggunakan bahan-bahan kimia, bahan-bahan peledak dan juga alat
yang dapat merusak ekosistem laut.
c. Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi ikan di kawasan
perairan Republik Indonesia, tanpa izin.
d. Membawa alat-alat dan juga bahan-bahan kimia yang lazin dan patut
diduga akan digunakan untuk melakukan penangkapan, pengelolaan dan
atau pembudidayaan perikanan tanpa izin dari pihak yang berwewenang.
e. Membuang bahan-bahan kimia atau pun benda-benda yang berbahaya dan
dapat menyebabkan kerusakan ekosistem laut serta membahayakan
keberadaan atau kelangsungan fungsi laut ke dalam kawasan perairan.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan bentuk dan sanksi tindak pidana illegal fishing tersebut, maka
dapat dirumuskan unsur pokok subyek dan obyeknya adalah : Setiap orang ; dengan
sengaja (termuat pada Pasal 8 ayat ( 1 ), ayat ( 2 ), ayat (3), dan ayat(4 ) dan karena
kelalaiannya ( termuat dalam Pasal 84 ayat ( 1 ), ayat ( 2 ), ayat ( 3 ) dan ayat ( 4 )
melanggar ketent uan ( melawan hukum ) ; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84
ayat ( 1 ), ayat ( 2 ), ayat ( 3 ), dan ayat ( 4 ).
Tindak pidana illegal fishing juga merupakan pelanggaran atas Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat ( 3 ) dimana aturan kepidanaannya dirumuskan
dalam Pasal 262 – 265 ayat ( 4 ) KUHP Tentang Kejahatan Pencurian, dengan
hukuman terberatnya adalah hukuman mati atau pidana seumur hidup atau selama
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Berdasarkan akibat yang ditimbulkan,
maka pelaku tindak pidana illegal fishing juga dapat dijerat Pasal 187 KUHP Tentang
yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, dengan hukuman
terberatnya pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh
tahun. Jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan
matinya orang lain.
Universitas Sumatera Utara