Chapter II 2

13
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan 2.1.1. Pengertian Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang ( Notoatmodjo, 2007). 2.1.2. Tingkat Pengetahuan Menurut Bloom (1956), ada enam tingkat pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif, yakni: 1. Tahu (know) Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. 2. Memahami (comprehension) Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 3. Menerapkan (application) Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada kondisi yang sebenarnya. 4 Universitas Sumatera Utara

Transcript of Chapter II 2

  • BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Pengetahuan

    2.1.1. Pengertian Pengetahuan

    Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang

    melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan ini terjadi

    melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman,

    rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan

    telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya

    perilaku seseorang ( Notoatmodjo, 2007).

    2.1.2. Tingkat Pengetahuan

    Menurut Bloom (1956), ada enam tingkat pengetahuan yang dicakup

    dalam domain kognitif, yakni:

    1. Tahu (know)

    Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

    Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)

    terhadap sesuatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang dipelajari atau

    rangsangan yang telah diterima.

    2. Memahami (comprehension)

    Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang

    objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara

    benar.

    3. Menerapkan (application)

    Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

    dipelajari pada kondisi yang sebenarnya.

    4

    Universitas Sumatera Utara

  • 4. Analisa (analysis)

    Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam

    komponen-komponen tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih

    ada kaitannya satu sama lainnya.

    5. Sintesa (synthesis)

    Menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

    menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

    Dengan kata lain, sintesa adalah kemampuan untuk menyusun formulasi-

    formulasi yang ada.

    6. Evaluasi (evaluation)

    Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

    penilaian terhadap suatu objek atau materi. Penilaian-penilaian ini didasarkan

    pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria

    yang telah ada.

    2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

    Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi

    oleh beberapa faktor, yaitu:

    1. Pengalaman

    Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang lain.

    Pengalaman yang sudah diperloeh dapat memperluas pengetahuan seseorang.

    2. Tingkat pendidikan

    Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara

    umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai

    pengetahuan lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat

    pendidikannya lebih rendah.

    3. Keyakinan

    Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya

    pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini bisa mempengaruhi pengetahuan

    seseorang, baik keyakinan itu sifatnya positif maupun negatif.

    5

    Universitas Sumatera Utara

  • 4. Fasilitas

    Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi

    pengetahuan seseorang, misalnya radio, televisi, majalah, koran, dan buku.

    5. Penghasilan

    Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseorang.

    Namun bila seseorang berpenghasilan cukup besar, maka dia akan mampu

    untuk menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi.

    6. Sosial budaya

    Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi

    pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.

    2.1.4. Pengukuran Pengetahuan

    Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket

    yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau

    responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat

    disesuaikan dengan tingkat domain di atas (Notoatmodjo, 2007).

    2.2. Status Gizi

    Menurut Gibson (1990), status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan

    hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan

    utilisasinya. Ketidakseimbangan antara asupan kebutuhan atau kecukupan akan

    menimbulkan masalah gizi, baik itu berupa masalah gizi lebih maupun gizi

    kurang. Status gizi dapat ditentukan melalui pemeriksaan labiratorium ataupun

    secara antropometri. Antropometri merupakan cara penentuan status gizi yang

    paling mudah dan murah.

    Untuk mengukur berat lemak di tubuh amatlah sulit dan tidak praktis.

    Berat lemak dapat diukur dengan beberapa metode (skin-fold thickness,

    bioelectrical impedance, dan underwater weighting). Sesuai dengan persentase

    berat lemak, seorang pria dapat dinyatakan obesitas apabila berat lemaknya 25%

    atau lebih sedangkan pada wanita apabila berat lemaknya 35% atau lebih

    (Grundy, 2004). Peningkatan jumlah lemak biasanya, tapi tidak selalu, sebanding

    6

    Universitas Sumatera Utara

  • dengan peningkatan berat badan. Misalnya pada individu yang kurus namun

    sangat berotot, dapat tergolongkan overweight tanpa ada peningkatan sel adiposit

    (Flier, 2005). Pengukuran berat lemak dapat menggunakan body mass index

    (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT) untuk menentukan berat badan lebih dan

    obesitas pada orang dewasa. IMT dapat ditentukan dengan membagi berat badan

    dalam kilogram (kg) dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (m2

    Tabel 2.1. menunjukkan klasifikasi WHO untuk nilai IMT pada orang

    dewasa secara internasional. Nilai normalnya yaitu antara 18,5 sampai 24,9

    kg/m

    ).

    2. Berat badan dinyatakan kurang apabila lebih rendah dari 18,5 kg/m2 dan

    berat badan lebih apabila di atas 25 kg/m2. Pra-obes apabila di antara 25 sampai

    29,9 kg/m2, obes tingkat I apabila antara 30 sampai 34,9 kg/m2, obes tingkat II

    apabila di antara 35 sampai dengan 39,9 kg/m2, dan obes tingkat III apabila di atas

    40 kg/m2

    .

    Tabel 2.1. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa Berdasarkan IMT Menurut WHO

    Klasifikasi IMT (kg/m2)

    Berat Badan Kurang < 18,5

    Kisaran Normal 18,5 24,9

    Berat Badan Lebih > 25

    Pra-Obes 25,0 29,9

    Obes Tingkat I 30,0 34,9

    Obes Tingkat II 35,0 39,9

    Obes Tingkat III > 40

    Sumber: WHO technical series, 2000 dikutip dari Ilmu Penyakit Dalam UI halaman 1921

    Hasil meta-analisis pada beberapa kelompok etnik yang berbeda, dengan

    konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama menunjukkan etnik Amerika

    berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi 1,3 kg/m2 dan etnik Polinesia memiliki

    IMT lebih tinggi 4,5 kg/m2 dibandingkan dengan etnik Kaukasia. Sebaliknya,

    nilai IMT pada bangsa Cina, Ethiopia, Indonesia, dan Thailand adalah 1,9, 4,6,

    7

    Universitas Sumatera Utara

  • 3,2, dan 2,9 kg/m2 lebih rendah daripada etnik Kaukasia. Oleh karena itu,

    Wilayah Asia Pasifik melalui IOTF mengusulkan kriteria dan klasifikasi obesitas

    tersendiri (Tabel 2.2). Pada klasifikasi menurut kriteria Asia Pasifik, kisaran

    normal adalah apabila IMT antara 18,5 sampai 22,9 kg/m2 berbeda dengan

    menurut WHO yaitu 18,5 sampai 24,9 kg/m2. Berat badan berlebih apabila di atas

    23 kg/m2, beresiko apabila antara 23 sampai 24,9 kg/m2, obes I apabila antara 25

    sampai 29,9 kg/m2, dan obes II apabila lebih dari 30 kg/m2

    . Selain berdasarkan

    IMT, terdapat juga kriteria berdasarkan lingkar pinggang. Untuk pria, lingkar

    pinggang di atas 90 cm dan lingkar pinggang di atas 80 cm untuk wanita memiliki

    resiko yang lebih besar dibandingkan dengan pria dengan lingkar pinggang kecil

    dari 90 cm dan wanita dengan lingkar pinggang kecil daripada 80 cm dengan nilai

    IMT yang sama.

    Tabel 2.2. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT dan Lingkar Perut Menurut Kriteria Asia Pasifik

    Klasifikasi IMT

    (kg/m2

    Resiko Ko-morbiditas

    )

    Lingkar Pinggang

    < 90 cm (Laki-Laki)

    < 80 (Perempuan)

    > 90 cm (Laki-Laki)

    > 80 (Perempuan)

    Berat Badan

    Kurang < 18,5

    Rendah (resiko

    meningkat pada

    masalah klinis lain)

    Sedang

    Kisaran Normal 18,5 22,9 Sedang meningkat

    Berat Badan

    Lebih 23,0

    Beresiko 23,0 24,9 Meningkat Moderat

    Obes I 25,0 29,9 Moderat Berat

    Obes II 30,0 Berat Sangat Berat

    Sumber: WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pasific Perspective: Redefining Obesity and its Treatment (2000) dikutip dari Ilmu Penyakit Dalam UI halaman 1922

    8

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.3. Obesitas

    Pada dunia dimana sumber makanan tidak menentu, kemampuan untuk

    menyimpan energi berlebih sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup. Sel

    lemak, terletak pada jaringan adiposa yang tersebar luas, telah beradaptasi untuk

    menyimpan energi berlebihan seefektif mungkin dan dapat dilepaskan kembali

    ketika diperlukan. Namun, makanan yang berlimpah serta gaya hidup yang

    kurang gerak dan sumbangan dari pengaruh genetik telah meningkatkan

    penyimpanan energi di adiposa dan menghasilkan masalah kesehatan (Flier,

    2005).

    Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial, yang terjadi akibat

    akumulasi jaringan lemak berlebih sehingga dapat mengganggu kesehatan.

    Obesitas terjadi bila besar dan jumlah sel lemak bertambah pada tubuh seseorang

    (Sugondo, 2007).

    Obesitas adalah hasil dari faktor genetik, perilaku, lingkungan, fisiologis,

    sosial, dan budaya yang berakibat pada ketidakseimbangan energi dan

    penyimpanan lemak berlebihan. Peran dari masing-masing faktor ini telah

    dipelajari secara ekstensif, dan walaupun genetik memiliki peran penting dalam

    pengaturan berat badan, WHO Consultation on Obesity menyimpulkan bahwa

    faktor perilaku dan lingkungan (misalnya gaya hidup yang menetap

    dikombinasikan dengan masukan energi berlebihan) bertanggung jawab terhadap

    peningkatan kejadian obesitas secara dramatis dalam 20 tahun ini (Racette, 2003).

    Prevalensi obesitas di seluruh dunia selalu meningkat dari tahun ke tahun.

    Menurut penelitian Malnick dan Kobler pada tahun 2006, dibandingkan antara

    tahun 1976-1980 dengan tahun 1999-2000 terdapat peningkatan prevalensi

    overweight dari 46% menjadi 64,5%. Demikian halnya dengan prevalensi

    obesitas yang meningkat dua kali lipat menjadi 30,5%. WHO (2003) mencatat

    bahwa sekitar satu milyar penduduk dunia mengalami overweight dan sedikitnya

    300 juta menderita obesitas secara klinis. WHO juga memprediksikan bahwa pada

    tahun 2015, 2,3 milyar orang dewasa akan mengalami overweight dan 700 juta

    yang mengalami obesitas.

    9

    Universitas Sumatera Utara

  • Prevalensi obesitas dan overweight di Indonesia sendiri juga masih tinggi.

    Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007, prevalensi

    obesitas pada penduduk berusia 15 tahun berdasarkan IMT adalah 10,3% (laki -

    laki 13,9%, perempuan 23,8%). Sedangkan prevalensi overweight pada anak-

    anak usia 6-14 tahun adalah 9,5% pada laki-laki dan 6,4% pada perempuan.

    Prevalensi obesitas berhubungan urbanisasi dan mudahnya mendapatkan

    makanan serta banyaknya jumlah makanan yang tersedia. Urbanisasi dan

    perubahan status ekonomi yang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang

    berdampak pada peningkatan prevalensi obesitas pada populasi di negara-negara

    ini, termasuk di Indonesia (Sugondo, 2007). Peningkatan pendapatan pada

    kelompok masyarakat tertentu menyebabkan perubahan dalam gaya hidup

    terutama pola makan.

    Pola makan tradisional yang tinggi karbohidrat, tinggi serat, dan rendah

    lemak berubah ke pola makan baru yang rendah karbohidrat, rendah serat, dan

    tinggi lemak. Perubahan pola makan ini dipercepat oleh kemajuan teknologi

    informasi dan globalisasi ekonomi. Perbaikan tingkat ekonomi juga

    menyebabkan berkurangnya aktivitas fisik masyarakat tertentu. Perubahan pola

    makan dan aktivitas fisik ini berakibat kepada semakin banyaknya penduduk yang

    mengalami masalah overweight dan obesitas (Almatsier, 2006).

    Lemak tidak terdistribusi secara merata di seluruh tubuh (Tabel 2.3).

    Deposit terbesar dari adiposa terletak di subkutan (80% dari seluruh lemak tubuh).

    Terdapat perbedaan deposit lemak subkutan pada orang yang obes dan yang tidak

    obes berdasarkan gendernya. Wanita yang tidak obes memiliki lebih banyak

    lemak subkutan di daerah gluteofemoral daripada daerah subkutan lainnya

    sedangkan pada pria non-obes, lemak subkutan tersebar secara merata. Perbedaan

    distribusi lemak juga terlihat pada pria dan wanita yang obesitas. Pada pria obes,

    lemak biasanya terakumulasi di subkutan di daerah abdominal. Obesitas tipe ini

    disebut central obesity, android obesity, atau apple-shaped obesity. Sedangkan

    pada wanita yang obesitas, lemak subkutan terakumulasi pada bagian bawah dari

    dinding abdomen dan area gluteofemoral. Tipe obesitas ini disebut gynecoid,

    peripheral, atau pear-shaped obesity (Arner, 1997).

    10

    Universitas Sumatera Utara

  • Tabel 2.3. Penyebaran deposit lemak

    Deposit

    Subkutan

    Sekitar 80% dari lemak tubuh. Secara

    fungsional dibagi menjadi abdominal

    dan gluteofemoral.

    Viseral Dibagi secara anatomis menjadi lemak

    omentum dan mesenterik.

    Lainnya Retroperitoneal, perirenal, orbita.

    Sumber: P. Arner dalam Journal of Endocrinology edisi 155 (1997) halaman 191

    2.4. Komplikasi Obesitas

    Obesitas dihubungkan dengan sejumlah komplikasi medis. Terdapat bukti

    bahwa obesitas bukan hanya berhubungan dengan diabetes, hipertensi,

    dislipidemia, penyakit jantung, obstructive sleep apnea, asma, non-alcoholic fatty

    liver disease, osteoarthritis, dan polycystic ovary syndrome tetapi penurunan berat

    badan juga akan menurunkan resiko terjadinya komplikasi-komplikasi tersebut.

    Tidak semua pasien obesitas akan mengalami komplikasi. Faktor-faktor

    yang mempengaruhi resiko terjadinya komplikasi adalah aktifitas fisik, distribusi

    lemak, resistensi insulin, dan riwayat keluarga yang menderita penyakit yang

    berhubungan dengan obesitas (Tabel 2.4). Umur kejadian obesitas juga harus

    diperhitungkan dimana resiko terjadi penyakit yang berhubungan dengan obesitas

    lebih tinggi pada obesitas yang early-onset dibandingkan dengan obesitas yang

    late-onset (Malnick, 2006).

    11

    Universitas Sumatera Utara

  • Tabel 2.4.Karakteristik pasien obesitas resiko tinggi

    Obesitas abdominal (central obesity)

    Aktifitas fisik yang rendah

    Trigliserida tinggi dan HDL rendah

    Kadar insulin puasa tinggi

    Kadar glukosa darah puasa tinggi

    Riwayat keluarga:

    o Diabetes o Hipertensi o Dislipidemia o Penyakit jantung koroner

    Sumber: S.D.H. Malnick dan H. Knobler dalam QJ Med edisi 99 (2006) halaman 574

    2.4.1. Diabetes Mellitus Tipe 2

    Diabetes mellitus mencakup sekelompok penyakit yang ditandai dengan

    peningkatan kadar gula darah dan mengakibatkan penurunan kualitas hidup dan

    harapan hidup dengan komplikasi antara lain penyakit jantung, stroke, peripheral

    neuropathy, penyakit ginjal, dan kebutaan. Berdasarkan jenisnya, diabetes terbagi

    menjadi dua yaitu diabetes mellitus tipe 1 (DM-1) dan diabetes mellitus tipe 2

    (DM-2). DM-1 terjadi pada anak-anak dan disebabkan karena proses autoimun

    yang menyebabkan kerusakan pada sel -Langerhans pada pankreas yang

    mengakibatkan defisiensi insulin absolut. DM-2 ditandai dengan adanya

    resistensi insulin dan/atau produksi insulin yang abnormal. Penderita DM-2 tidak

    tergantung dengan insulin eksogen namun dapat membutuhkannya untuk

    mengendalikan kadar gula darah bila tidak dapat dicapai hanya dengan diet atau

    terapi farmakologis (Thvenod, 2008).

    Terdapat keterkaitan yang kuat antara obesitas dengan diabetes mellitus

    tipe 2 pada kedua jenis kelamin dan seluruh kelompok etnis. Berdasarkan data

    dari Nurses Health Study, terdapat peningkatan resiko hingga 40 kali lipat pada

    untuk menjadi diabetes pada wanita dengan IMT 31 kg/m 2 dibandingkan dengan

    12

    Universitas Sumatera Utara

  • wanita dengan IMT
  • bekerja dengan menstimulasi c-Jun aminoterminal kinase (JNK) dan NF-kB,

    mengakibatkan upregulation dari mediator-mediator peradangan yang dapat

    berujung kepada resistensi insulin. Peningkatan sekresi MCP-1 kemudian

    memicu perekrutan makrofag dan sel yang terinfiltrasi dapat mensekresikan

    berbagai jenis kemokin dan sitokin yang akan menambah respon peradangan dan

    mempengaruhi ekspresi gen di adiposit, yang mengakibatkan resistensi insulin

    sistemik (Thvenod, 2008).

    2.4.2. Hipertensi

    Hipertensi memiliki hubungan yang kuat dengan obesitas. The Swedish

    Obesity Study menunjukkan bahwa hipertensi terdapat pada 44-51% penderita

    obesitas. Penambahan berat badan juga berhubungan peningkatan resiko

    terjadinya hipertensi. Wanita dengan penambahan berat badan 5 sampai 9,9 kg

    memiliki resiko 1,7 kali lebih besar dan wanita dengan penambahan >25 kg

    memiliki resiko 5,2 kali lebih besar. Temuan yang serupa juga ditemukan pada

    pria (Malnick, 2006). Selain itu, pada subjek Kaukasia dan Afrika, wanita lebih

    rentan terhadap hipertensi akibat obesitas daripada pria (Kolanowski, 1999).

    Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa obesitas tipe abdominal

    memilki keterkaitan yang lebih besar dengan hipertensi dibandingkan obesitas

    secara keseluruhan (Bethesda, 2004). Selain hipertensi, obesitas tipe abdominal

    juga terlibat dalam patogenesis dari coronary artery disease, sleep apnea, stroke,

    dan gagal jantung kongestif (Narkiewicz, 2006).

    Bukan hanya obesitas berkaitan dengan hipertensi tapi penurunan berat

    badan juga berhubungan dengan penurunan tekanan darah. Dalam follow-up yang

    dilakukan selama 4 tahun terhadap 181 pasien overweight yang hipertensi,

    penurunan berat badan 10% berhubungan dengan penurunan tekanan darah

    sebesar 4,3/3,8 mm/Hg. Sebuah meta-analisis terhadap 25 RCT yang melibatkan

    5000 subjek menemukan bahwa tekanan darah baik sistol maupun diastol

    menurun sekitar 1 mmHg untuk tiap kilogram penurunan berat badan (Malnick,

    2006).

    14

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.4.3. Dislipidemia

    Obesitas berhubungan dengan profil lemak yang kurang baik. Kelainan

    profil lemak yang berhubungan dengan obesitas termasuk peningkatan konsentrasi

    kolesterol di serum, kolesterol LDL, kolesterol VLDL, trigliserida, dan

    apolipoprotein B dan penurunan kolesterol HDL. Pada meta-analisis yang luas,

    penurunan berat badan sebanyak 1 kg menurunkan total kolesterol serum

    sebanyak 0,05 mmil/L dan kolesterol LDL sebanyak 0,02 mmol/L serta

    peningkatan kolesterol HDL sebanyak 0,009 mmol/L (Malnick, 2006).

    Obesitas sentral atau android adalah penyebab utama resistensi insulin dan

    hiperinsulinemia kompensatori, yang kemudian bertanggung jawab untuk

    kebanyakan, bila tidak semua, abnormalitas lipoprotein. Terdapat tiga komponen

    dislipidemia yang terjadi pada obesitas yaitu peningkatan triglyceride-rich

    lipoproteins (TRLs) puasa dan setelah makan, penurunan HDL, dan peningkatan

    sdLDL. Mekanisme terjadinya dislipidemia belum dipahami sepenuhnya dan

    melibatkan kombinasi dari resistensi insulin dan hiperinsulinemia yang

    menstimulasi sintesis trigliserida hepatik (Ruotolo, Horward, dan Robbins, 2003).

    2.4.4. Penyakit Kardiovaskular

    Di Indonesia saat ini penyakit kardiovaskular masih merupakan penyebab

    kematian utama. Menurut survei kesehatan rumah tangga, prevalensi penyakit

    jantung dan pembuluh darah menduduki urutan ketiga pada tahun 1980 dengan

    prevalensi sebesar 9,9%, meningkat menjadi 9,7% di urutan kedua pada tahun

    1986, dan menduduki peringkat pertama pada tahun 1990 dengan prevalensi

    sebesar 16,5% (Sugondo, 2007).

    Peningkatan resiko penyakit kardiovaskular pada obesitas terlihat jelas

    pada berdasarkan data dari Framingham Heart Study dan Nurses Health Study.

    Terdapat peningkatan relative risk untuk penyakit jantung koroner dari 1,19 untuk

    IMT 21 sampai 22,9 kg/m2 hiingga 3,56 untuk IMT >29 kg/m2. Asia-Pasific

    Cohort Study, yang melibatkan 4.300.000 orang dewasa yang di-follow up selama

    7 tahun, menemukan peningkatan kejadian penyakit jantung iskemik sebanyak 9%

    untuk setiap peningkatan nilai IMT (Malnick, 2006).

    15

    Universitas Sumatera Utara

  • Peningkatan kejadian penyakit kardiovaskular dapat terjadi secara tidak

    langsung akibat faktor resiko yang berhubungan dengan metabolic syndrome

    seperti dislipidemia, hipertensi, dan intoleransi glukosa. Metabolic syndrome

    dihubungkan dengan obesitas tipe abdominal atau central obesity. Pada obesitas

    tipe abdominal, terjadi peningkatan dari berbagai mediator peradangan.

    Peningkatan ini memiliki efek yang merugikan bagi sistem kardiovaskular dengan

    menghasilkan kondisi yang pro-inflammatory (pro-inflammatory state) dan

    kondisi yang protrombotic (protrombotic state) serta mengakibatkan kerusakan

    endotel dan hipertrofi vaskular (Mathew, 2008).

    16

    Universitas Sumatera Utara