Cha Leptospirosis Fix
-
Author
muhamad-ikbal-ibank -
Category
Documents
-
view
185 -
download
0
Embed Size (px)
Transcript of Cha Leptospirosis Fix
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar BelakangPembangunan kesehatan dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehati bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.Dalam kerangka mencapai tujuan tersebut, pembangunan kesehatan dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan. Program pembangunan kesehatan yang akan diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, diarahkan dengan memberdayakan masyarakat di desa agar mampu menanggulangi faktor resiko masalah kesehatan yang terjadi dimasyarakat (Depkes RI, 2004).Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan (zoonosis).Penyakit ini disebabkan oleh leptospira bakteri aerob (termasuk golongan spirochaeta) yang berbentuk spiral dan bergerak aktif (Gasem, 2002).Leptospirosis merupakan zoonosis yang paling tersebar luas di dunia.Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit dengan gejala tersebut disebut sebagai Weils Disease (Levett, 2001). Leptospirosis adalah salah satu kegawatan penyakit menular. Secara epidemiologik, kejadian leptospirosis dipengaruhi oleh 3 faktor pokok, yaitu faktor agen penyakit, seperti jumlah, virulensi, dan paogenitas bakteri leptospira; faktor host (penjamu), seperti kebersihan perorangan, kebiasaan menggunakan alat pelindung diri ketika sedang bekerja di tempat berisiko leptospirosis, keadaan gizi, usia, dan tingkat pendidikan; dan faktor lingkungan, seperti lingkungan fisik, kimia, biologi, dan sosial (Suratman, 2006). Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki curah hujan yang tinggi.Lingkungan optimal untuk hidup dan berkembangbiaknya leprospira ialah pada suasana lembab, suhu sekitar 250c, serta pH mendekati netral (pH sekitar 7).Pada keadaan tersebut leptospira dapat bertahan hidup sampai berminggu-minggu (Syukran, 1996). WHO menyebutkan kejadian leptospirosis untuk negara subtropis adalah berkisar 0,1-1 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun, sedangkan di negara tropis berkisar antara 10-100 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun (WHO, 2003).Kejadian leptospirosis di Indonesia pertama kali ditemukan di Sumatera pada tahun 1971.Angka kejadian leptospirosis di seluruh dunia belum diketahui secara pasti.Hal ini disebabkan oleh belum lengkapnya sarana laboratorium, khususnya di negara-negara berkembang. Pada periode 1 Januari 1996 sampai 31 Desember 2001 proporsi penderita leptospirosis tertinggi terjadi di bangsal penyakit infeksi RS sanglah Denpasar Bali. Pada bulan februari 2002 sampai April 2002 terjadi kejadian luar biasa leptospirosis di kota Jakarta. Angka kematian akibat penyakit leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, dengan angka Case Fatality rate (CFR) bias mencapai 2,5%-16,45% (rata-rata 7,1%). Pada usia lebih 50 tahun kematian bias menyampai 56% (Widarso, 2002). Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan 3%-54% tergantung sistem organ yang terinfeksi (Saban, 2004). Berdasarkan profil puskesmas Pekuncen periode agustus sampai dengan september 2012 tercatat dalam data 1 pasien terdiagnosis leptospirosis.Sistem surveilans kejadian leptospirosis samapi saat ini belum dilaksanakan secara optimal, data penderita leptospirosis sebagian besar berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit. Sebagian besar masyarakat nelum mengetahui penyebab, faktor resiko, dan cara penanggulangan leptospirosis, sehingga upaya penganggulangan leptospirosis di provinsi Jawa Tengah saat ini terbatas pada pengobatan penderita. Sedeangkan pencarian penderita, pencegahan penularan leptospirosis dan pengendalian tikus sebagai penular utamanya belum dilakukan optimal (Dinkes Jateng, 2005).Beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kejadian leptospirosis berkaitan dengan faktor lingkungan, baik lingkungan abiotik maupun biotic. Komponen lingkungan abiotik yang diduga merupakan faktor resiko kejadianleptospirosis di Indonesia antara lain adalah vegetasi, kberhasilan penangkapan tikus, dan prevalensi leptospirosis pada tikus (Ristiyanto, 2006).Oleh karena itu, masalah ini perlu mendapat perhatian yang seirus agar dapat diupayakan cara pencegahan dan penanggulangannya. Hasil studi CHA ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk pelaksanaan intervensi komunitas guna menghilangkan angka kejadian leptospirosis di Kecamatan Pekuncen.
B. TujuanTujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan masyarakat tentang penyakit leptospirosis di Desa Cikembulan.
C. Manfaat1 Manfaat Praktisa. Memberikan informasi pada warga masyarakat di wilayah Puskesmas Pekuncen khususnya tentang masalah kesehatan yang telah dianalisis beserta solusinya yang terdiri dari tindakan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dalam upaya menurunkan angka kejadian leptospirosis.b. Membantu Puskesmas dalam menjalankan salah satu dari enam program pokok yang ada ke masyarakat.2 Manfaat Teoritisa. Menambah ilmu dan wawasan pengetahuan di bidang kesehatan dalam mencegah kejadian leptospirosis.b. Menjadi dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang masalah kesehatan yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Pekuncen.
BAB IIANALISIS SITUASI
A. Deskripsi Situasi dan Kondisi Puskesmas dan Wilayah Kerjanya1. Keadaan Geografi Kecamatan PekuncenKecamatan Pekuncen merupakan salah satu wilayah bagian kabupaten Banyumas yang berbatasan langsung dengan wilayah kabupaten lain yaitu Kabupaten Brebes. Kecamatan Pekuncen memiliki luas wilayah kurang lebih 92.70 Km2 dan terdiri dari 16 desa yaitu: Desa Pekuncen, Desa Kranggan, Desa Karangkemiri, Desa Banjaranyar, Desa Cikawung, Desa Krajan, Desa Glempang, Desa Pasiraman Lor, Desa Pasiraman Kidul, Desa Karangklesem, Desa Candinegara, Desa Cikembulan, Desa Cibangkong, Desa Semedo dan Desa Petahunan. Desa Krajan merupakan desa dengan wilayah terluas di Kecamatan Pekuncen, yaitu sekitar 24,61 Km2. Sedangkan Desa Pasiraman Kidul merupakan desa yang mempunyai wilayah paling sempit yaitu sekitar 0,79 Km2.Luas penggunaan lahan di Kecamatan Pekuncen dapat dirinci sebagai berikut:a. Tanah sawah: 1.858,29 Ha b. Tanah pekarangan: 919,74 Hac. Tanah hutan: 38.434,7 Had. Tanah Perkebunan: 1.743,7 Hae. Lain-lain : 224,8 HaSecara geografis, Kecamatan Pekuncen memiliki batas wilayah sebagai berikut: a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Paguyangan Kabupaten Brebesb. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumasc. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumasd. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Gumelar Kabupaten Banyumas
Gambar 2.1. Peta Kecamatan Pekuncen
2. Keadaan Demografi Kecamatan Pekuncena. Pertumbuhan pendudukBerdasarkan BPS Kecamatan Pekuncen hasil registrasi penduduk akhir tahun 2011 jumlah penduduk Kecamatan Pekuncen adalah 64.689 jiwa terdiri dari 32.056 jiwa lali-laki (49,55%) dan 32.633 jiwa perempuan (50,44%) tergabung dalam 17.068 rumah tangga/KK dengan rata-rata jiwa/rumah tangga adalah 3 orang.Jumlah penduduk Kecamatan Pekuncen tahun 2011 yang tertinggi/terbanyak adalah di desa Pekuncen yaitu sebanyak 6.575 jiwa dan paling sedikit adalah Desa Pasiraman Kidul sebanyak 1.587 jiwa. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 2010 , terjadi penurunan sebesar1,85 %pada tahun 2011.b. Kepadatan pendudukKepadatan penduduk Kecamatan Pekuncen Tahun 2011 sebesar 698 jiwa/km2, dengan tingkat kepadatan tertinggi yaitu di desa Cikembulan sebesar 2.433 jiwa/km2, sedangkan tingkat kepadatan terendah yaitu di desa Krajan sebesar 184 jiwa/km2.c. Jumlah penduduk menurut golongan umurBerdasarkan data statistik kecamatan, dapat diketahui bahwa proporsi penduduk menurut umur di Kecamatan Pekuncen adalah kelompok umur terbesar pada umur 10-14 tahun yaitu sebanyak 5.998 jiwa, sedangkan kelompok umur terkecil yaitu pada kelompok umur > 75 tahun sebanyak 415 jiwa.d. Keadaan Sosial Ekonomi1. Tingkat PendidikanTingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Pekuncen pada tahun 2010 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kecamatan PekuncenNo.Jenis PendidikanJenis KelaminJumlah
Laki-lakiPerempuan
1.2.34.56Tidak/ Belum pernah sekolahTidak/ Belum tamat SDSDSLTPSLTAPerguruan Tinggi1.4756.55816.2093.7423.0604461.3656.06014.3783.3213.0603392.84012.61830.5877.0632.214785
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan penduduk sebagian besar adalah tamat SD sebesar 30.587 orang atau 54,51% dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah tingkat pendidikan terkecil yaitu Perguruan tinggi sebanyak 785 orang atau 1,40 % dari jumlah penduduk.Angka melek huruf di Kecamatan Pekuncen juga sudah cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari penduduk usia 10 tahun ke atas yang melek huruf di kecamatan Pekuncen yaitu sebesar 83,01%.2. Jenis PekerjaanBerdasarkan data statistik Kecamatan Pekuncen, dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian pada sektor informal yaitu sebesar 50,33 % dari jumlah penduduk, sedangkan yang memiliki mata pencaharian pada sektor formal sebesar 1,89 % dari total penduduk. Secara spesifik, mata pencaharian sebagian besar penduduk Kecamatan Pekuncen adalah sebagai buruh tani yaitu sebanyak 11.890 orang atau sebesar 18,50% dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah terkecil adalah penduduk yang bekerja pada BUMN/BUMD yaitu sebanyak 18 orang atau sebesar 0,03 % dari total penduduk.
B. Capaian Program dan Derajat Kesehatan MasyarakatUntuk memberikan gambaran derajat kesehatan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Pekuncen pada tahun 2011 disajikan situasi mortalitas dan morbiditas.I. Angka Kesakitan (Morbiditas)1. Penyakit DiareKejadian atau kasus penyakit diare di wilayah Puskesmas Pekuncen, berdasarkan data dari programer P2 Diare Puskesmas Pekuncen adalah sebanyak 1.041 kasus atau sebesar 16,09 per 1000 penduduk. Berdasarkan analisis pelaporan kasus dapat diketahui bahwa kejadian diare tahun 2011, terbanyak terjadi pada bulan Januari dan Juli.2. Penyakit MalariaKasus penyakit Malaria Klinis tahun 2011 sebanyak 0 kasus atau sebesar 0,00 per 1.000 penduduk. Kasus Malaria di Puskesmas Pekuncen biasanya merupakan kasus import dari luar jawa. Meski demikian ini perlu diwaspadai oleh petugas kesehatan dan masyarakat terutama untuk Desa Tumiyang, Cikembulan, Semedo, Petahunan dan Cibangkong yang memiliki letak geografis yang memungkinkan untuk terjadinya malaria.3. TB ParuJumlah kasus TB Paru Positif pada tahun 2011 sebanyak 32 kasus atau CDR (Case Detection Rate) BTA positif sebesar 46,43 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2011 jumlah pasien TB Paru yang diobati sebanyak 33 kasus dan yang sembuh sebanyak 16 atau 48,48% sembuh, dengan pengobatan lengkap sebanyak 15 atau sebesar 45,45%. 4. Demam Berdarah Dengue (DBD)Jumlah kasus DBD di Kecamatan Pekuncen tahun 2011 sebanyak 6 kasus atau sebesar 9,28 per 100.000 penduduk. Dari semua kasus DBD yang ada tersebut, semuanya (100%) mendapat penanganan dan tidak terdapat kematian akibat DBD.5. HIVJumlah kasus HIV-AIDS di kecamatan Pekuncen pata tahun 2011 adalah 0 kasus.Kasus HIV-AIDS merupakan fenomena gunung es sehingga kemungkinan adanya kasus HIV-AIDS yang tidak terdeteksi atau tidak terdata.6. Acute Flaccid Paralysis (AFP)Jumlah penemuan kasus AFP di kecamatan Pekuncen pada tahun 2011 sebanyak 0 kasus. Standar penemuan kasus polio adalah 2 per 100.000 penduduk usia kurang dari 15 tahun.7. Pneumonia pada BalitaJumlah kasus ISPA pada balita ditemukan/ditangani di Kecamatan Pekuncen adalah sebanyak 20 kasus dari jumlah perkiraan penemuan kasus pneumonia balita sebanyak 485 atau hanya sebesar 9,93%.
38
II. Angka Kematian (Mortalitas)Berikut ini akan diuraikan perkembangan tingkat kematian pada periode tahun 2011 yaitu sebagai berikut :1. Angka Kematian BayiBerdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas Pekuncen dapat diketahui bahwa, pada tahun 2011 terdapat 1.076 kelahiran hidup dan jumlah lahir mati sebanyak 19 bayi. Angka kematian bayi (AKB) di kecamatan Pekuncen pada tahun 2011 adalah sebesar 11,2 per 1000 kelahiran hidup.2. Angka Kematian IbuBerdasarkan hasil laporan dari petugas KIA Puskesmas Pekuncen diketahui bahwa jumlah kematian ibu hamil di Kecamatan Pekuncen sebanyak 0 orang, jumlah kematian ibu bersalin sebanyak 1 orang, dan jumlah kematian ibu nifas sebanyak 1 orang. Sehingga Angka Kematian Ibu (AKI) di Kecamatan Pekuncen sebesar 185,9 per 100.000 kelahiran hidup.Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2010-2014 di bidang kesehatan, target angka kematian ibu adalah 118 per 100.000 penduduk, dan Millenium Development Goals (MDG) tahun 2015 adalah 102 per 100.000 penduduk. Angka kematian ibi di Kecamatan Pekuncen masih tinggi. Namun bila dibandingkan dengan data tahun 2010 (262,93 per 100.000), angka kematian ibu di Kecamatan Pekuncen sudah mengalami penurunan.3. Angka KecelakaanKejadian kecelakaan lalu lintas di Kecamatan Pekuncen pada tahun 2011 sebanyak 145 kejadian, dengan korban mati sebanyak 3 orang, luka berat sebanyak 23 orang, dan luka ringan sebanyak 139 orang. Dengan demikian rasio kejadian kecelakaan per 100.000 penduduk adalah sebesar 255,07.
III. Status Gizi MasyarakatTujuan umum upaya perbaikan gizi puskesmas adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan setiap keluarga di wilayah Puskesmas untuk mencapai Keluarga Sadar Gizi agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.Sedangkan tujuan khususnya adalah:1. Meningkatkan cakupan dan kualitas pemberdayaan Keluarga menuju Keluarga Sadar Gizi.2. Meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan gizi (Pelayanan gizi masyarakat dan pelayanan gizi perorangan).Berdasarkan pemantauan status gizi Balita pada tahun 2011 dengan jumlah balita yang ditimbang 3.594 ditemukan:a. Balita dengan Gizi Lebih sebanyak 16 anak (0,45%)b. Balita dengan Gizi Baik sebanyak 3.534 anak (98,33%)c. Balita dengan Gizi Kurang sebanyak 30 anak (0,83%)d. Balita dengan Gizi Buruk sebanyak 14 anak (0,39%)Jumlah balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk sebanyak 44 anak dan dari jumlah tersebut semuanya mendapat perawatan.SPM untuk balita gizi buruk mendapatkan perawatan adalah sebesar 100%.Sehingga cakupan gizi buruk mendapat perawatan di Kecamatan Pekuncen dibanding dengan SPM sudah memenuhi target.Disamping itu berdasarkan laporan petugas gizi puskesmas, Kecamatan Pekuncen termasuk kecamatan yang bebas rawan gizi.
IV. Upaya KesehatanUpaya pelayanan kesehatan merupakan langkah awal yang sangat penting dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar secara tepat dan cepat, diharapkan sebagian besar masalah kesehatan masyarakat sudah dapat diatasi. Kegiatan pokok Puskesmas biasa dikenal dengan istilah basic six atau enam program pokok puskesmas yang meliputi: Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular, KIA-KB, Gizi Masyarakat, Kesehatan Lingkungan, Promosi Kesehatan (Promkes), dan Pelayanan Kesehatan Dasar. Tiap program tersebut dilaksanakan melalui suatu rangkaian yang sistematis, meliputi perencanaan (P1), penggerakan dan pelaksanaan (P2), pengawasan, pengendalian dan penilaian (P3).A. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular1. Pencegahan dan Pemberantasan TB ParuBerdasarkan data dari programer TB Paru Puskesmas dapat diketahui bahwa pada tahun 2010 kasus TB Paru sebanyak 10 kasus, diobati 10 kasus dan yang sembuh sebanyak 10 kasus atau 100%. Sedangkan pada tahun 2011 terdapat 32 kasus baru BTA positif, dari perkiraan kasus baru sebanyak 69 kasus.Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk kesembuhan penderita TBC BTA positif adalah > 85%.Sehingga jika dibandingkan dengan SPM maka kesembuhan penderita TBC BTA positif sudah memenuhi target.2. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit DBDPada tahun 2011 berdasarkan data petugas P2 DBD Puskesmas Pekuncen diketahui bahwa kasus penyakit DBD sebanyak 6 kasus, dan jumlah tersebut semuanya telah mendapat pelayanan/ditangani (100%).Upaya pemberantasan demam berdarah terdiri dari 3 hal yaitu: Peningkatan kegiatan surveilance penyakit dan vektor; Diagnosis dini dan pengobatan dini; serta Peningkatan upaya pemberantasan vektor penular DBD.3. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ISPA dan PneumoniaPada tahun 2011 berdasarkan data petugas P2 ISPA Puskesmas Pekuncen, dapat diketahui bahwa kasus pneumonia balita sebanyak 20 kasus, yang ditangani sebanyak 20 kasus (100%). Perkiraan kasus pneumonia balita adalah sebanyak 485 kasus, sehingga pneumonia balita yang ditemukan/ ditangani belum memenuhi target. Sedangkan jika dibandingkan dengan SPM untuk balita dengan pneumonia yang ditangani sebesar 100% maka Puskesmas Pekuncen sudah memenuhi standar SPM.4. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit KustaBerdasarkan data petugas P2 Kusta Puskesmas Pekuncen, pada tahun 2011 terdapat 2 penderita Kusta tipe MB (Kusta Basah) dan 1 penderita Kusta tipe PB (Kusta Kering). Angka ini mungkin merupakan keadaan sebenarnya dan bisa juga bukan.Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit kusta dilakukan dengan melakukan penemuan dini kasus kusta dan pengawasan terhadap penderita, keluarga penderita dan orang-orang yang melakukan kontak dengan penderita.5. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIV-AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS)Berdasarakan data Puskesmas, jumlah kasus penyakit HIV-AIDS dan IMS pada tahun 2011 sebanyak 0 kasus. Angka ini bisa merupakan keadaan sebenarnya dan bisa juga bukan. Hal ini karena kasus penyakit HIV-AIDS dan IMS merupakan fenomena gunung es, sehingga bisa saja di kecamatan Pekuncen ada penderita HIV-AIDS dan IMS tapi tidak terdata karena penderita sulit terdeteksi.B. Pembinaan Kesehatan Lingkungan dan Sanitasi Dasar1. Pendataan Rumah SehatSalah satu usaha guna pembinaan kesehatan lingkungan adalah dengan dilakukannya pendataan rumah sehat. Berdasarkan hasil pendataan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa dari jumlah rumah sebanyak 17.299 rumah dengan jumlah rumah yang diperiksa sebanyak 837 rumah atau 4,8%. Didapatkan bahwa sebanyak 624 rumah atau sebesar 74,6 % termasuk dalam rumah sehat.2. Akses Rumah Tangga Terhadap Air BersihAkses rumah tangga terhadap air bersih dapat dilihat dalam tabel 64 lampiran profil kesehatan puskesmas pekuncen. Dari 20.181 kepala keluarga (KK) yang ada dengan jumlah KK yang diperiksa sebanyak 837 KK atau sebesar 4,1 %, didapatkan bahwa sebanyak 66 KK atau 7,9 % mengunakan ledeng sebagai sumber air bersihnya.3. Kepemilikan Sarana Sanitasi Dasar3.1 Persediaan Air BersihDari jumlah kepala keluarga sebanyak 20.181 KK dengan jumlah KK yang diperiksa sebanyak 837 KK didapatkan bahwa semua KK yang dijadikan sampel pemeriksaan memiliki persediaan air bersih (100%). Keadaan ini menggambarkan bahwa sebagian besar warga di Kecamatan Pekuncen memiliki persediaan air bersih dan sehat.3.2 Kepemilikan JambanDari jumlah kepala keluarga sebanyak 20.181 KK dengan jumlah KK yang diperiksa sebanyak 837 KK didapatkan bahwa sebanyak 638 KK atau 76,2 % memiliki jamban dan dari jumlah tersebut, jumlah jamban yang sehat sebanyak 407 atau 63,8 %.3.3 Kepemilikan Tempat SampahDari jumlah kepala keluarga sebanyak 20.181 KK dengan jumlah KK yang diperiksa sebanyak 837 KK didapatkan bahwa sebanyak 710 KK atau 84,8% memiliki tempat sampah dan jumlah tempat sampah yang sehat sebanyak 131 atau sebesar 18,50%.4. Tempat Umum dan Pengelolaan Makanan (TUPM) SehatBerdasarkan data petugas sanitarian Puskesmas Pekuncen, dapat diketahui bahwa terdapat 6 restauran dan Jumlah yang diperiksa ada 4, dengan hasil pemeriksaan terdapat 3 restauran atau 75 % sehat. Jumlah pasar yang ada yaitu sebanyak 1 pasar dan setelah dilakukan pemeriksaan diketahui bahwa pasar tersebut tidak memenuhi syarat sehat.5. Pembinaan Kesehatan Lingkungan bagi Institusi Jumlah sarana kesehatan yang ada di Kecamatan Pekuncen adalah sebanyak 18 buah, yang terdiri dari Puskesmas, Puskesmas Pembantu (Pustu), PKD, Balai Pengobatan/Klinik Swasta. Sedangkan jumlah sarana pendidikan yang ada adalah sebanyak 94 buah, tempat ibadah sebanyak 98 buah, perkantoran sebanyak 29 buah, instalasi pengelolaan air minum sebanyak 2 buah dan sarana lain sebanyak 28 buah. Sehingga jumlah keseluruhan dari institusi yang ada di wilayah Kecamatan Pekuncen adalah sebanyak 269 buah dengan jumlah intitusi yang dibina kesehatan lingkungannya adalah sebanyak 140 buah atau 52,0% dibina.C. Perbaikan Gizi Masyarakat1. Cakupan Bayi dan Balita Mendapat Pelayanan KesehatanBerdasarkan laporan dari petugas gizi puskesmas Pekuncen tahun 2011, dapat diketahui bahwa jumlah bayi umur 6-11 bulan sebanyak 600 orang dan seluruhnya telah mendapat vit A 1x atau 100%. Balita umur 12 59 bulan sebanyak 4.854 orang dan 3.767 balita atau (77,60%) telah mendapat vit A 2x. 2. Cakupan Ibu Hamil Mendapat Tablet FeBerdasarkan laporan petugas gizi Puskesmas Pekuncen diketahui bahwa jumlah ibu hamil di wilayah. Puskesmas Pekuncen pada tahun 2011 adalah sebanyak 1.057 orang. Dari jumlah tersebut yang sudah mendapat tablet Fe1 sebanyak 932 orang atau sebesar 88,17%, dan yang sudah mendapat tablet Fe3 sebanyak 945 orang atau sebesar 89,40%. Sedangkan jumlah ibu nifas adalah sebanyak 989 orang dengan 868 orang atau 87,76% diantaranya telah mendapat vit A. D. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) KB1. Cakupan Kunjungan Neonatus, Bayi Dan Bayi BBLR yang DitanganiBerdasarkan data koordinator KIA Puskesmas Pekuncen diketahui bahwa cakupan kunjungan neonatus KN1 adalah sebanyak 1.076 orang atau 100%, adapun cakupan kunjungan KN Lengkap adalah sebanyak 1.076 atau sebesar 100%. Jumlah bayi lahir hidup sebanyak 1.076 orang dengan jumlah bayi dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) sebanyak 16 orang atau sebesar 1,50%. Dari sejumlah 16 bayi dengan BBLR tersebut, semuanya atau 100% telah mendapat penanganan.2. Cakupan Kunjungan Ibu Hamil (K1, K4), Persalinan Ditolong Tenaga Kesehatan, Dan Pelayanan Ibu Nifas Jumlah ibu hamil di wilayah Puskesmas Pekuncen pada tahun 2011 tercatat sebanyak 1.057 orang. Dari jumlah tersebut yang melakukan pemeriksaan kesehatan ke petugas kesehatan untuk kunjungan pertama (K1) sebanyak 1.224 orang atau 100%, sedangkan yang melakukan kunjungan ke empat (K4) sebanyak 987 orang atau 93,4%. Jumlah ibu bersalin sebanyak 997 orang, dan ibu bersalin yang ditolong tenaga kesehatan sebanyak 967 atau sebesar 97%.Sedangkan jumlah ibu nifas sebanyak 1.024 orang dan yang mendapat palayanan nifas sebanyak 1.024 orang atau 100%.3. Cakupan Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak Balita, Pemeriksaan Kesehatan Siswa SD/SMP/SMUPada tahun 2011, di Kecamatan Pekuncen terdapat balita (Pra sekolah) sebanyak 4.861 orang, dan yang dideteksi sebanyak 3.506 orang atau sebesar 72,13%. Sedangkan jumlah anak usia SD sebanyak 7.286 orang dengan jumlah diperiksa sebanyak 1.312 orang atau sebesar 16,68%. 4. Jumlah PUS, Peserta KB, Peserta KB Baru, Dan KB Aktif Berdasarkan data koordinator KB Puskesmas Pekuncen, diketahui bahwa jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di wilayah Puskesmas Pekuncen sebanyak 14.012 orang. Dari jumlah PUS yang ada tersebut jumlah peserta KB baru sebanyak 2.562 orang atau 18,3%. Sedangkan jumlah peserta KB aktif sebanyak 10.470 orang atau 74,7%.
5. Jumlah Peserta KB Aktif Menurut Jenis KontrasepsiJumlah seluruh peserta KB aktif di kecamatan Pekuncen pada tahun 2011 sebanyak 10.470 orang. Dari jumlah tersebut yang menggunakan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) jenis IUD sebanyak 1.018 orang, MOP/MOW sebanyak 456 orang dan implant sebanyak 1.395 orang. Sedangkan yang mengunakan Non MKJP jenis suntik sebanyak 5,855 orang, jenis PIL sebanyak 1.554 orang, dan kondom sebanyak 192 orang.6. Cakupan Imunisasi BayiBerdasarkan data petugas koordinator imunisasi Puskesmas Pekuncen diketahui bahwa jumlah bayi di Kecamatan Pekuncen pada tahun 2011 sebanyak 600 bayi. Sedangkan cakupan imunisasinya untuk tiap jenis imunisasi adalah sebagai berikut: bayi mendapat imunisasi BCG sebanyak 1.057 atau sebesar 176%, bayi mendapat imunisasi DPT1+HB1 sebanyak 1.041 atau sebesar 173,5%, bayi mendapat imunisasi DPT3+HB3 sebanyak 1.063 atau 177.2%, bayi mendapat imunisasi polio 3 sebanyak 1.045 atau sebesar 174,167%, bayi mendapat imunisasi campak sebanyak 1.037 atau 172,8% . Sedangkan angka Drop Out (DO) sebesar 0,4%.7. Bumil dan Neonatal Risiko TinggiData petugas KIA Puskesmas Pekuncen menunjukan bahwa jumlah ibu hamil sebanyak 1.057 orang, dan dari jumlah tersebut ibu hamil dengan resiko tinggi/komplikasi sebanyak 211 orang dengan jumlah bumil risti ditangani sebanyak 287 orang. Jumlah neonatal sebanyak 1.076, dengan jumlah perkiraan neonatal risti/komplikasi sebanyak 161 orang dan ditangani sebanyak 42 orang atau sebesar 26%.Rendahnya neonatal risti yang ditangani diakibatkan jumlah neonatal risti yang bisa ditangani di PKD tidak terlaporkan.E. Promosi KesehatanProgram-program yang dilakukan oleh Puskesmas Pekuncen khususnya dalam bidang Promosi Kesehatan adalah melalui kegiatan-kegiatan berikut:1. Penyuluhan KesehatanPenyuluhan kesehatan bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Jumlah kegiatan penyuluhan kesehatan kelompok (secara langsung) yang dilakukan sebanyak 4.818 dan yang jumlah kegiatan penyuluhan massa adalah 18. Materi penyuluhan adalah mengenai masalah-masalah kesehatan seperti PHBS, KIA, Kesehatan Lingkungan, Gizi, NAPZA dan Penyakit Menular.2. PosyanduStandar Pelayanan Minimal (SPM) 2011 untuk prosentase posyandu dengan strata purnama adalah sebesar 40% dan strata mandiri sebesar >2%. Sehingga pencapaian strata Posyandu purnama belum mencapai target dan posyandu mandiri di Kecamatan Pekuncen sudah mencapai target. Sedangkan tingkat partsipasi masyarakat di posyandu (D/S) adalah sebesar 74,04%, tingkat keberhasilan program posyandu (N/D) sebesar 70,01%. D/S belum mencapai target SPM yaitu 80% disebabkan kesadaran masyarakat yang kurang dan menganggap di posyandu hanya ditimbang saja. Untuk N/D juga belum mencapai target SPM yaitu 80% karena usia diatas 1-5 tahun kebanyakan mengalami kesulitan dalam hal makan.F. Pelayanan Kesehatan DasarSalah satu upaya kesehatan wajib yang ditetapkan berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta yg mempunyai daya ungkit tinggi untuk meningkatkan derajat kesehatan masyrakat.Upaya ini harus diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di Indonesia.
Salah satu upaya kesehatan wajib adalah upaya kesehatan dasar, upaya-upaya kesehatan dasar yang dilakukan oleh Puskesmas Pekuncen diantaranya adalah:1. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir2. Pelayanan Kesehatan Bayi dan Anak Pra Sekolah3. Pelayanan Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja4. Pelayanan Kesehatan Usia Subur5. Pelayanan Kesehatan Usia Lanjut6. Pelayanan Imunisasi7. Pelayanan Kesehatan Jiwa Masyarakat8. Pelayanan Pengobatan / PerawatanG. KefarmasianGambaran stok obat, pemakaian rata-rata obat per bulan, dan tingkat kecukupan obat di puskesmas pekuncen berdasarkan data dari petugas obat dapat diketahui bahwa secara umum tingkat kecukupan obat di puskesmas pekuncen sudah cukup terpenuhi.
BAB IIIIDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN PRIORITAS MASALAH
A. Daftar Permasalahan Kesehatan Yang Ada (Berdasar Data Sekunder Puskesmas Pekuncen) Januari-Agustus 2012Masalah merupakan sesuatu yang menunjukkan adanya kesenjangan antara harapan dan sesuatu yang dicapai, sehingga menimbulkan rasa tidak puas.Masalah dapat menyebabkan ketidakmaksimalan dalam melaksanakan suatu kegiatan.Dalam penetapan masalah, perlu diperhatikan hal-hal yang diinginkan dan keadaan yang terjadi sekarang, sehingga dapat dicari penyebab atau hal-hal yang dapat membuat tujuan tidak tercapai.Untuk memutuskan adanya masalah, diperlukan tiga syarat yang harus dipenuhi, antara lain: adanya kesenjangan, adanya rasa tidak puas, adanya rasa tanggung jawab untuk menanggulangi masalah.Tabel 3.1. Daftar 10 Penyakit Tertinggi dan KLB di Puskesmas Pekuncen dan Periode Januari-Agustus 2012NoPenyakitJumlah Kasus
1 ISPA (Common Cold)1761
2Hipertensi556
3Dyspesia474
4Mialgia332
5Dermatitis Kontak Alergika (DKA)331
6Faringitis310
7TB BTA Positif211
8Chepalgia Cluster182
9Abses, Furunkel, Karbunkel138
10Diare Non Spesifik124
11Leptospirosis1 (KLB)
Sumber: Data Sekunder Puskesmas Pekuncen 2012
B. Penentuan Prioritas Masalah (Berdasarkan Metode Tertentu)Penentuan prioritas masalah di Kecamatan Tambak dengan menggunakan metode Hanlon Kuantitatif. Untuk keperluan ini digunakan 4 kelompok kriteria, yaitu:1. Kelompok kriteria A: besarnya masalah2. Kelompok kriteria B: kegawatan masalah, penilaian terhadap dampak, urgensi dan biaya3. Kelompok kriteria C: kemudahan dalam penanggulangan, yaitu penilaian terhadap tingkat kesulitan penanggulangan masalah4. Kelompok kriteria D: PEARL faktor, yaitu penilaian terhadap propriety, economic, acceptability, resources availability, legalityAdapun perincian masing-masing bobot kriteria pada prioritas masalah di Puskesmas Tambak adalah sebagai berikut :Kriteria A (besarnya masalah)Untuk menentukan besarnya masalah kesehatan diukur dari besarnya penduduk yang terkena efek langsung.
Tabel 3.2. Skor Besarnya MasalahMasalah KesehatanBesarnya Masalah per 10000 pendudukNilai
600(5)
ISPA (Common Cold)X5
HipertensiX4
DyspesiaX4
MialgiaX3
DKAX3
FaringitisX3
TB BTA PositifX2
Chepalgia ClusterX2
Abses, Furunkel, KarbunkelX1
Diare Non SpesifikX1
LeptospirosisX
Kriteria B (kegawatan masalah)Severity (Memberikan mortalitas atau fatalitas yang tinggi)1. Tidak gawat2. Kurang gawat3. Cukup gawat4. Gawat5. Sangat gawatUrgency (Apakah masalah tersebut menuntut penyelesaian segera, menjadi perhatian publik)1. Tidak urgent2. Kurang urgent3. Cukup urgent4. Urgent5. Sangat urgentCost (Besarnya dampak ekonomi kepada masyarakat)1. Sangat murah2. Murah3. Cukup mahal4. Mahal5. Sangat mahalTabel 3.3. Skor KegawatanMasalah
Masalah kesehatanSeverityUrgencyCostNilai
ISPA (Common Cold)4444
Hipertensi10888,7
Dyspesia6465,3
Mialgia6666
DKA4464,7
Faringitis8867,3
TB BTA Positif81068
Chepalgia Cluster6465,3
Abses, Furunkel, Karbunkel4243,3
Diare Non Spesifik101068,7
Leptospirosis10101010
Kriteria C (Kemudahan dalam Penanggulangan)Kriteria C digunakan untuk menilai kemudahan dalam penanggulangan masalah, maka dinilai apakan sumber daya dan teknologi yang ada dapat menyelesaikan masalah.Skor yang digunakan dari skala 1 sampai 5.Semakin sulit penanggulangan, skor yang diberikan semakin kecil.
Tabel 3.4 Skor yang Diberikan Tiap-Tiap AnggotaMasalahSeptiEkoPuputRinaPrimaJmlN
ISPA 54445224,4
Hipertensi55555255
Dyspesia44545224,4
Mialgia45454224,4
DKA55555255
Faringitis44444204
TB BTA Positif23323132,6
Chepalgia Cluster55555255
Abses, Furunkel, Karbunkel55555255
Diare Non Spesifik55555205
Leptospirosis55555255
Kriteria D (PEARL factor)Kriteria D terdiri dari beberapa faktor yang saling menentukan dapat tidaknya suatu program dilaksanakan. Faktor-faktor tersebut adalah:a. Kesesuaian (Propriety)b. Murah (Economic)c. Dapat diterima (Acceptability)d. Tersedianya sumber (Resources Availability)e. Legalitas terjamin (Legality)Dari diskusi kelompok, didapatkan nilai PEARL untuk masing-masing masalahTabel 3.5 Kriteria PEARLMasalah KesehatanPEARLHasil Perkalian
ISPA 111111
Hipertensi111111
Dyspesia111111
Mialgia111111
DKA101110
Faringitis111111
TB BTA Positif111111
Chepalgia Cluster111111
Abses, Furunkel, Karbunkel101110
Diare Non Spesifik111111
Leptospirosis111111
Penetapan nilai Setelah nilai kriteria A, B, C, dan D didapatkan kemudian nilai tersebut dimasukkan ke dalam formula sebagai berikut :Nilai prioritas dasar (NPD) = (A+B)x CNilai prioritas total (NPT) = (A+B) x C x D
Tabel 3.5. Skor total penilaian HanlonMasalahABCDNPDNPTUrutan prioritas
PEARL
ISPA 544,41111139,639,66
Hipertensi48,751111163,563,51
Dyspesia45,34,41111140,940,95
Mialgia364,41111139,639,67
DKA34,751011138,5010
Faringitis37,341111141,241,24
TB BTA Positif282,61111126269
Chepalgia Cluster25,351111136,536,58
Abses, Furunkel, Karbunkel13,351011121,5011
Diare Non Spesifik18,751111148,548,53
Leptospirosis11051111155552
Prioritas pertama masalah diperoleh dengan nilai NPT tertinggi. Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode Hanlon kuantitatif urutan prioritas masalahnya adalah sebagai berikut :1. Hipertensi2. Leptospirosis3. Diare non spesifik4. Faringitis5. Dyspepsia6. ISPA7. Mialgia8. Chepalgia Cluster9. TB BTA positif10. DKA11. Abses, Furunkel, KarbunkelBAB IVKERANGKA KONSEPTUAL MASALAH
A. Daftar Teori dan Pembahasan Berdasar Referensi Yang Berkaitan Dengan Penyebab Masalah1. DefinisiLeptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikro organisme Leptospira Interogans tanpa memandang bentuk serotipenya (Levetta, 2003). Bentuk yang beratnya dikenal sebagai Weils Disease. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever, came cutter, dan lain-lain (Zein, 2006).2. EpidemiologiLeptospirosis tersebar diseluruh dunia, semuja benua kecuali benua Antartika.Leptospira biasa terdapat pada binatang piaraan seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, kelinci, atau binatang pengerat lainnya seperti tupai, musang, kelelawar, tikus, dan sebagainya (Zein, 2006). Kejadian infeksi leptospira pada negara subtropik jarang ditemukan, Di Amerika terdapat 100-200 kasus leptospirosis pertahunnya, hal tersebut juga terjadi di Hawai terdapat 50-100 kasus per tahunnya (Meites et al., 2004).Angka kejadian tersebut tergolong sedikit dibanding negara-negara beriklim tropis, iklim yang sesuai untuk perkembangan leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan pH alkalis.Keadaan yang demikian dapat dijumpai di Negara tropik sepanjang tahun (Priyanto et al., 2008).Di negara beriklim tropik, kejadian leptospirosis lebih banyak 1000 kali dibandingkan dengan negara subtropik dengan risiko penyakit lebih berat.Angka insiden leptospirosis di negara tropik basah 5- 20/100.000 penduduk per tahun.Leptospirosis tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia. Angka insidensi leptospirosis di New Zealand antara tahun 2001 sampai 2010 sebesar 44 per 100.000 penduduk. Angka insiden tertinggi terjadi pada pekerja yang berhubungan dengan daging (163/100.000 penduduk), peternak (91,7/100.000 penduduk) dan pekerja yang berhubungan dengan hutan sebesar 24,1 per 100.000 penduduk. Di Indonesia dilaporkan bahwa sejak 1936 telah diisolasi berbagai serovar leptospira, baik dari hewan liar maupun hewan peliharaan (Priyanto et al., 2008).Di Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Angka kematian leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45%. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56%. Penderita Leptospirosis yang disertai selaput mata berwarna kuning (kerusakan jaringan hati), risiko kematian akan lebih tinggi. Beberapa publikasi angka kematian di laporkan antara 3 % - 54 % tergantung system organ yang terinfeksi.Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan, pekerja tambang/selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer. Ancaman ini berlaku pula bagi mereka yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau di sungai seperti berenang (Priyanto et al., 2008)..3. EtiologiLeptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, family treponematacecae, suatu mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini adalah berbelit, tipis, fleksibel, panjangnya 5-15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2 um. Salah satu ujung organisme sering membengkak, membentuk suatu kait.Terdapat gerakrotasi aktif, tetapi tidak ditemukan adanya flagella.Spirochaeta ini demikian halus sehingga dalam mikroskop lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai kokus kecil-kecil.Pemeriksaan lapang pandang redup pada mikroskop biasa morfologi leptospira secara umum dapat dilihat.Untuk mengamati lebih jelas gerakan leptospira digunakan mikroskop lapang pandang gelap (darkfield microscope). Leptospira membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat kultur yang positif. Dengan medium Fletchers dapat tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob (Zein, 2006).Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies :L.interrogans yang pathogen dan L.biflexa yang non pathogen/ saprofit. Tujuh spesies dari leptospira pathogen sekarang ini telah diketahui dasar ikatan DNA nya, namun lebih praktis dalam klinik dan epidemiologi menggunakan klasifikasi yang didasarkan atas perbedaan serologis.Spesies L.interrogans dibagi menjadi beberapa serogroup dan serogroup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut komposisi antigennya.Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23 serogroup. Bebebrapa serovar L.interrogans yang dapat menginfeksi manusia di antaranya adalah L. icterohaemorrhagiae, L. canicola, L. pomona, L. grippothyposa, L. javanica, L. celledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L. automnalis, L. hebdomadis, L. bataviae, L. tarassovi, L. panam, L. andamana, L. shermani, L. rararum, L. bufonis, L. australis, L. noguchii, L. santarosai, L. meyeri, L. borgpetersenii, L. kirschneri, L. weilii, L. inadai, L. fainei and L. alexanderi, dan lain-lain (OIE, 2005 dan Zein, 2006).4. Faktor ResikoManusia dapat dapat terinfeksi melalui kontak air, atau tanah, lumpur, yang telah terkontaminasi oleh urin binatang yang terinfeksi leptospira.Infeksi tersebut terjadi jika luka/erosi pada kulit ataupun selaput lender (Dutta, 2005). Air tergenang atau mengalir lambat yang terkontaminasi urin yang infeksius memainkan peranan penting dalam penularan penyakit ini, bahkan air deraspun dapat berperan, jarang dijumpai penyakit ini akibat gigigtan binatang yang sebelumnya terinfeksi leptospira, atau kontak dengan kultur leptospira di laboratorium. Ekspos yang lama pada genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang utuh juga dapat menularkan leptospira. Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi terinfeksi penyakit leptospirosis adalah pekerja-pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang, pekerja di rumah potong hewan atau orang-orang yang mengadakan perkemahan di hutan, dokter hewan, seperti yang ditampilkan pada table dibawah ini :Kelompok PekerjaanKelompok AktivitasKelompok Lingkungan
Petani dan peternakBerenang di sungaiAnjing piaraan
Tukang potong hewanBersampanTernak
Penangkap/ penjerat hewanKemahGenangan air hujan
Dokter/ mantra hewanBerburuLingkungan tikus
Penebang kayuKegiatan di hutanBanjir
Pekerja selokan
Pekerja perkebunan
(Zein, 2006 dan Lau et al., 2009).
5. PatogenesisLeptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lender, memasuki aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh.Selanjutnya terjadi respon imunologi baik secara seluler atau secara humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibody spesifik. Permasalahannya ada beberapa organisme ini yang masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal dimana sebagian mikroorganisme akan mencapai convoluted tubules, bertahan disana dan dilepaskan melalui urin. Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulab bahkan sampai bertahun-tahun kemudian.Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya agglutinin. Pada fase leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler.Pada fase leptospiruria berlangsung 1-4minggu.Tiga mekanisme yang terlihat pada patogenesis adalah invasi bakteri langsung, faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi imunologi (Zein, 2006).6. PatofosiologiPada fase leptospiremia, leptospira akan mengeluarkan toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologis pada beberapa organ. Lesi muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler.Pada leptospirosis terdapat perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik.Pada leptospirosis lesi histologis yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata pada organ tersebut.Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur organ.Lesi inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosti, limfosit, dan sel plasma.Pada kasus yange rat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi hepatiseluler dengan retensi bile.Leptospira juga dapat bertahan hidup di otak dan mata. Leptospira dapat masuk kedalam cairan serebrospinal pada fase leptospiremia, hal ini akan menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yangs sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, oto, dan pembuluh dara. Kelainan spesifik pada organ yaitu :a. GinjalInterstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal.Gagal ginjal terjadi akibat nekrosis tubular akut.Adanya peranan nefrotoksi, reaksi imunologi, iskemia ginjal, hemolysis, dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan pada ginjal.b. HatiHati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan prpliferasi sel Kupfer dengan kolestatis.Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar.Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel parenkim.c. JantungEpikardium, endocardium, dan miokardium dapat terlibat pada keadaan patologis yang disebabkan oleh leptospira.Kelainan miokardium dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma.Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrophil.Dapat terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan dapat juga terjadi endokarditis.d. Otot rangkaPada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa local nekrotis, vakuolisasi dan kehilangan striata.Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung leptospira.Pada otot rangka dapat juga ditemukan antigen leptospira.e. MataLeptospira dapat masuk ke ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan bertahan beberapa bulan walaupun antibody yang terbentuk cukup tinggi, hal tersebut menyebabkan uveitis.f. Pembuluh darahPada pembuluh dara terjadi perubahan akibat terjadinya vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan. Perdarahan/ ptekie sering ditemukan pada mukosa, permukaan serosa, dan organ-organ viscera.
g. Susunan saraf pusatLeptospira mudah masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS) dan dikaitkan dengan terjadinya meningitis.Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibody, tidak pada saat memasuki CSS.Diduga bahwa terjadinya meningitis diperantarai oleh oleh mekanisme imunologis.Terjadi penebalan meningens dengan sedikit peningkatan sel mononuclear arachnoid.Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptik, biasanya paling sering disebabkan oleh L. canicola.h. Weil diseaseWeil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan icterus, biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe kontinua. Penyakit weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus leptospirosis. Penyebab weil disease adalah serotype icterohaemorragica pernah juga dilaporkan serotype copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal, hepatic, dan disfungsi vaskular (Zein, 2006).7. Gambaran KlinisMasa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia dan fase imun.a. Fase LeptospiremiaFase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat (terutama pada gluteus, gastroknemeus, dan, femur) disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesia kulit, demam tinggi yang disertai menggigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah, mencret, bradikardia relatif, ikterus, bahkan sekitar 25% kasus terjadi penurunan kesadaran. Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffusion dan fotofobia.Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk makular, makulopapular atau utikaria.Kadang-kadang dijumpai splenomegaly, hepatomegaly, serta limfadenopati.Fase ini berlangsung 4-7 hari. Pasien apabila cepat ditangani maka akan membaik, suhu akan segera normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal dalam 3-6 minggu (Zein, 2006 dan Fransiska, 2008).b. Fase ImunPada keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali.Keadaan tersebut disebut dengan fase imun.Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam yang mencapai suhu 40o C disertai menggigil dan kelemahan umum.Tedapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut, dan otot-otot kaki terutama otot betis.Terdapat perdarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan ginjal dan hati, uremia, ikterik.Perdarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik, purpura, ptechie, epistaksis, perdarahan pada gusi merupakan manifestasi yang paling sering.Conjunctiva injection dan conjunctivial suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomosis untuk leptospirosis. Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase ini, walaupun hanya 50% gejala dan tanda meningitis, tetapi pleositosis pada CSS dijumpai pada 50-90% pasien. Tanda-tanda meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya mengilang setelah 1-2 hari. Pada fase ini leptospira akan dijumpai dalam urin (Zein, 2006 dan Fransiska, 2008).Leptospirosis memiliki gambaran klinis yang sering ditemui dan jarang ditemui seperti table dibawah ini :Gambaran klinis yang sering ditemuiGambaran klinis yang jarang ditemui
Demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, myalgia, conjunctival suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, foto fobia.Penumonitis, hemaptoe, perdarahan, diare, edema, splenomegaly, atralgia, gagal ginjal, peroferal neuritis, pankreatitis, parotitis, epididymitis, hematemesis, asites, miokaditis.
(Zein, 2006).8. DiagnosisPada umumnya diagnosis awal leptospirosis sulit ditegakkan, karena pasien biasanya datang dengan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, sindroma syok toksik, demam yang tidak diketahui asalnya dan diatetesis hemoragik, bahkan beberapa kasus datang dengan pankreatitis (Sejvar et al., 2003 dan Zein, 2006). Leptospirosis memiliki manifestasi klinis hampir sama dengan influenza, DBD (demam berdarah dengue), dan malaria sehingga tidak mudah menegakkan diagnosis dalam praktek klinik (Bajani et al., 2002). Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompik berisiko tinggi atau tidak.Gejala/ keluhan didapati demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama di bagian frontal, nyeri otot (biasanya adalah gluteus, gastroknemeus, femur), mata merah/ fotofobia, mual atau muntah.Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegaly, dan lain-lain.Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin dijumpai lekositosis, normal, atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi.Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituria, dan torak (cast).Bila organ hati terlibat, bilirubin direk mingkat tanpa peningkatan transaminase.BUN, ureum, dan kreatinin juga bisa meninggi apabila terjadi komplikasi pada ginjal.Trombositopenia terdapat pada 50% kasus. Diagnosa pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi :a. KulturMengambil specimen dari darah atau CSS segera pada awal gejala. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil specimen pada fase leptospiremia serta belum diberi antibiotik. Kultur urine diambil setelah 2-4 minggu onset penyakit. Pada specimen yang terkontaminasi, inokulasi hewan dapat digunakan (Zein, 2006).b. SerologiPemeriksaan untuk mendeteksi adanya letospira dengan cepat adalah dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR),silver stain atau flouroscent antibody, dan mikroskop lapangan gelap.(Levetta, 2003).9. PenatalaksanaanPengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan, dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien, namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisa temporer. Pemberian antiniotik harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian 4 hari setelah onset cukup efektif. Pemberian antibiotik dibagi menjadi 3 kategori yaitu pemberian pada leptospirosis ringan, sedang/ berat, dan kemoprofilaksis seperti pada table dibawah ini :
IndikasiRegimenDosis
Leptospirosis ringanDoksisiklinAmpisilinAmoksisilin2 x 100 mg4 x 500-750 mg4 x 500 mg
Leptospirosis sedang/ beratPenisilin GAmpisilinAmoksisilin1,5 juta unit/ 6 jam (i.v)1 gram/ 6 jam (i.v)1 gram/ 6 jam (i.v)
KemoprofilaksisDoksisiklin200 mg/minggu
Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama, namun perlu diingat bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira masih di dalam darah (fase leptospiremia).Penisilin G apabila dikombinasikan dengan Ceftriakson sangat efektif untuk mengobati leptospirosis berat (Panaphut et al., 2003).Pengobatan dengan antibiotika seperti streptomycin, chlortetracycline, atau oxytetraxycline, efektif bila diberikan sedini mungkin.Dihydrostreptomycin 10 mg/ pound atau 10 g/1000 pound berat badan sapi dilaporkan sangat efektif untuk menyembuhkan hewan karier.Pada outbreak, pada kasus leptospirosis akut, direkoinendasikan pengobatan dengan chlortetracycline atau oxytetracvcline selama 2-3 minggu; pada saat bersamaan diberikan vaksinasi.Dengan prosedur ini, kekebalan dapat berkembang pada sapi sebelum pemberian antibiotika selesai.Dihydrostreptomycin juga dapat diberikan pada babi jantan dengan dosis tunggal 10 mg/pound untuk mengeliminasi Leptospira pada hewan karier.Pemberian dihydrostreptomycin 25 mg/kg berat badan sapi yang diinfeksi Leptospira serovar hardjo dapat menghilangkan pengeluaran bakteri tersebut bersama urin (Kusmiyati et al., 2008).Tindakan supportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikaso yang timbul.Keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara umum.Kalau terjadi azotemia/ uremia berat sebaiknya dilakukan dialysis (Zein, 2006).10. PrognosisPrognosis pada penyakit leptospirosis ditentukan oleh cepatnya penegakkan diagnosis, penanganan dan organ yang sudah mengalami kerusakan.Apabila diagnosis segera ditegakkan dan penanganan awal segera dilakukan maka prognosisnya baik.Apabila sudah ada kerusakan pada organ, misalnya pada ginjal maka prognosisnya pun buruk.Apabila tidak ada ikterus maka penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus angka kematian 5 % pada umur dibawah 30 tahun, dan pada usia lanjut mencapai 30-40% (Zein, 2006).11. PencegahanPencegahan penularan Leptospira dapat dilakukan melalui 3 aspek yang meliputi hewan sebagai sumber infeksi, jalur penularan, dan manusia sebagai incidental host. Melakukan vaksinasi untuk hewan ternak dan hewan kesayangan guna meningkatkan kekebalan merupakan salah satu cara yang cukup efektif. Meskipun vaksinasi tidak mencegah atau mengobati infeksi tetapi dapat mengurangi pengeluaran Leptospira melalui urin, menurunkan kasus prematur, lahir lemah atau lahir mati, serta menurunkan jumlah sapi yang seropositif Leptospira. Kerugian ekonomi yang disebabkan adanya abortus dan penurunan produksi susu juga dapat dicegah dengan dilakukannya vaksinasi Leptospirosis. Pada sapi perah, vaksinasi dapat menormalkan kembali produksi susu. Pada anjing, vaksinasi leptospirosis dilakukan untuk anjing-anjing yang beresiko tinggi terinfeksi Leptospira (Kusmiyati et al., 2008).Vaksinasi pada anjing juga dapat menurunkan jumlah Leptospira yang dikeluarkan melalui urin. Vaksin komersial untuk anjing yang berisi Leptospira serovar canicola dan icterohaemorrhagiae tidak efektif terhadap Leptospira serovar grippotyphosa dan pomona. Pada penelitian terbaru yang dilakukan oleh Wang et al., 2007 kombinasi antara vaksin outer membrane protein (OMP), vaksin lipopolisakaradia, dan vaksin DNA cukup efektif sebagai upaya preventif terhadap kejadian penyakit leptospirosis. Untuk hewan yang terinfeksi Leptospira, pemberian antibiotik efisien untuk mempersingkat durasi penyakit, mengurangi penularan, dan menurunkan kerusakan hati dan ginjal.Membersihkan tempat-tempat yang Inenjadi habitat atau sarang tikus dan meniadakan akses tikus ke lingkungan manusia juga dapat dilakukan dalam upaya pengendalian leptospirosis (Kusmiyati et al., 2008).Pencegahan melalui jalur penularan dapat dilakukan dengan mengurangi kontak dengan sumber infeksi seperti air tercemar Leptospira, satwa liar dan hewan yang terinfeksi atau hewan karier.Untuk kelompok individu beresiko tinggi dianjurkan untuk memakai pakaian pelindung seperti sepatu bot, pakaian kerja/praktek dan sarung tangan, untuk menghindari kemungkinan kontak dengan percikan urin, darah, atau jaringan fetus waktu menolong kelahiran hewan.Pada manusia, pengobatan terhadap penderita leptospirosis dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik bersamaan dengan pengobatan simtomatik dan terapi suportif.Selain itu diperlukan adanya pendekatan kepada masyarakat dan kelompok beresiko tinggi terinfeksi Leptospira untuk meningkatkan pemahaman mengenai leptospirosis agar dapat melakukan tindakan pencegahan penularannya (Kusmiyati et al., 2008).
B. Skema Kerangka Konseptual Dari Penyebab Masalah
PengetahuanLeptospirosis
BAB VMETODOLOGI PENELITIAN
1. Desain PenelitianPenelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan metode wawancara mendalam(indept interview).
2. Ruang Lingkup KerjaRuang lingkup kerja pada penelitian ini di wilayah cakupan Puskesmas Penkuncen khususnya di Desa Cikembulan.
3. Populasi dan Sampel1. Populasi Penelitiana. Populasi TargetPopulasi target pada penelitian ini adalah warga Desa CikembulanKecamatan Pekuncen.b. Populasi TerjangkauPopulasi terjangkau pada penelitian ini adalah keluarga yang tinggal serumah dengan penderita.2. Subjek PenelitianResponden diambildari semua anggota keluarga yang tinggal satu rumah dengan penderita leptospirosis.
4. Faktor Yang DitelitiVariabel yang diteliti adalah pengeathuan masyarakat tentang penyakit leptospirosis.
5. Definisi OperasionalNo.DefinisiAlat Ukur Cara PengukuranSkala
1.Pengetahuan masyarakat tentang penyakit leptospirosis adalah masyarakat pernah mendengar tentang penyakit leptospirosis, mengetahui penyebab penyakit leptospirosis, mengetahui cara penularan leptospirosis, mengetahui hubungan pekerjaan dengan penyakit leptospirosis, mengetahui hubungan hewan piaraan dengan penyakit leptospirosis, mengetahui tanda dan gejala penyakit leptospirosis, mengetahui cara menanggulangi penyakit leptospirosis, dan mengetahui cara mencegah penyakit leptospirosis.
KuesionerWawancara dengan panduan kuesionerNominal-Kualitatif
6. Instrumen Pengambilan DataAlat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan merupakan jenis data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya.Kuesioner dan observasi langsung digunakan untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan masyarakat mengenai penyakit leptospirosis. Pertanyaan yang terdapat pada kuesioner meliputi pengetahuan responden tentang leptospirosis,gejala klinis, riwayat pengobatan, riwayat pekerjaan, riwayat mandi, riwayat luka, kondisi lingkungan, riwayat status gizi, riwayat sosial, kegiatan waktu senggang, riwayat penderita yang mengeluhkan demam di lingkungan sekitar pasien, keadaan penderita sekarang, dan hasil pemeriksaan laboratorium.
7. Rencana Analisis DataAnalisis dan pengolahan data merupakan suatu langkah penting agar data hasil wawancara penelitian mampu ditafsirkan oleh peneliti serta dibaca oleh orang lain. Langkah-langkah analisis dan pengolahan data adalah sebagai berikut:1. Transkrip Wawancara.Transkrip wawancara adalah menulis hasil wawancara penelitian antara peneliti dan informan.Transkrip wawancara dilakukan setelah selesai melakukan pengambilan data penelitian.2. Pengkodean Data (Coding).Pengkodean data (coding) adalah memberikan tanda atau kode dalam setiap jawaban informan.Pengkodean data dilakukan setelah peneliti menyelesaikan transkrip wawancara penelitian. Selanjutnya peneliti menentukan topik atau tema-tema yang akan dibahas lebih mendalam.3. Penyajian Data.Selanjutnya data disajikan ke dalam hasil dan pembahasan penelitian yang lebih mendalam.Apabila dalam menyajikan data masih merasa ada data yang kurang, maka peneliti dapat melihat kembali dalam pengkodean data (coding).4. Penarikan kesimpulan/verifikasi.Langkah berikutnya adalah pengambilan kesimpulan dan verifikasi terhadap data yang telah disusun secara deskriptif.Kedua hal tersebut dapat dilakukan secara bersamaan selama penelitian berlangsung. Data yang telah disajikan akan ditarik kesimpulan sehingga menghasilkan informasi yang lebih jelas.
BAB VIHASIL DAN ANALISIS PENYEBAB MASALAH
A. Deskripsi Data Dasar1. Proses penelitianPenelitian ini dilaksanakan selama 4 hari, yaitu tanggal 28 Sepetember 2012 sampai 1 Oktober 2012. Jumlah informan yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah 6 orang, namun, keluarga yang tinggal 1 rumah dengan Bapak Catung hanya 1 orang yaitu ibu kandung informan. Pengambilan data pada penelitian ini dilaksankan pada tempat yang berbeda, yaitu di rumah Bapak Catung dan di tempat bekerja Bapak Catung. Hal tersebut dikarenakan ingin melihat keadaan lingkungan rumah dan tempat bekerja Bapak Catung sebagai salah satu pertimbangan untuk mengetahui perbedaan faktor resiko.Waktu pengambilan data berbeda. Durasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan wawancara adalah dari 11 menit 38 detik hingga 25 menit 23 detik. Keenam informan dapat menyelesaikan wawancara dalam 1 sesi. Hasil wawancara ditulis ulang (transkripsi) dan dibaca oleh tim peneliti untuk reduksi data dan proses coding (mencari kode dari kata-kata atau kalimat informan). Proses tersebut dapat juga menentukan apakah ada tambhaan informasi yang diperlukan. Bila ada informasi yang dirasa belum lengkap maupun diperdalam, maka dilakukan wawancara lanjutan terhadap informan. Selanjutnya peneliti menentukan tema-tema yang akan didiskusikan lebih dalam pada pembagian pembahasan.2. Karakteristik informanKarakteristik informan dalam penelitian ini cukup bervariasi. Dari segi jenis kelamin sebagian besar adalah perempuan. Pendidikan terakhir informan sebagian besar lulusan SD. Usia informan pada penelitian ini juga beragam, kisaran usia tersebut antara 30 tahun sampai 60 tahun, dengan rerata 40 tahun. Karakteristik informan tersebut disajikan sesuai dengan diagram dibawah ini :
a. Pendidikan Gambar 6.1. Karaktersitik Pendidikan InformanHasil penelitian menunjukan bahwa informan dengan pendidikan terakhir tidak lulus SD adalah 1 orang (16 %), lulus SD adalah 4 orang (67%), dan lulus SMP adalah 1 orang (17%).b. Usia
Gambar 6.2. Karaktersitik Usia InformanHasil penelitian menunjukan bahwa informan dengan usia 20 - 30 tahun adalah 1 orang (16%), usia 30 40 tahun adalah 3 orang (50%), usia 40 50 tahun adalah 1 orang (17%), dan usia lebih dari 50 tahun adalah 1 orang (17%).
c. Jenis kelamin
Gambar 6.3. Karaktersitik Jenis Kelamin InformanHasil penelitian menunjukan bahwa informan dengan jenis kelamin laki-laki adalah 2 orang ( 38%) dan jenis kelamin perempuan adalah 4 orang (68%). B. Analisis Hubungan Faktor PenyebabHasil penelitian pengetahuan masyarakat tentang penyakit Leptospirosis1. Pengalaman informan mendengar tentang penyakit Leptospirosis
Hasil penelitian menunjukan hanya 1 orang yang pernah mendengar tentang penyakit Leptospirosis diantara keluarga dan kerabat Bapak Catung. 2. Pengetahuan informan tentang penyebab penyakit Leptospirosis
Hasil penelitian menunjukan hanya 1 orang yang mengetahui tentang penyebab penyakit Leptospirosis diantara keluarga dan kerabat Bapak Catung.3. Pengetahuan informan tentang penularan penyakit Leptospirosis
Hasil penelitian menunjukan hanya 1 orang yang mengetahui tentang penularan penyakit Leptospirosis diantara keluarga dan kerabat Bapak Catung.4. Pengetahuan informan tentang hubungan pekerjaan dengan penyakit Leptospirosis
Hasil penelitian menunjukan hanya 1 orang yang mengetahui tentang hubungan pekerjaan dengan penyakit Leptospirosis diantara keluarga dan kerabat Bapak Catung.
5. Pengetahuan informan tentang hubungan hewan piaraan dengan penyakit Leptospirosis
Hasil penelitian menunjukan hanya 1 orang yang mengetahui tentang hubungan piaraan dengan penyakit Leptospirosis diantara keluarga dan kerabat Bapak Catung.6. Pengetahuan informan tentang gejala dan tanda penyakit Leptospirosis
Hasil penelitian menunjukan hanya 1 orang yang mengetahui tentang gejala dan tanda penyakit Leptospirosis diantara keluarga dan kerabat Bapak Catung.7. Pengetahuan informan tentang cara menanggulangi penyakit LeptospirosisHasil penelitian menunjukan bahwa seluruh informan tidak mengetahui cara menanggulangi penyakit Leptospirosis.8. Pengetahuan informan tentang cara mencegah penyakit LeptospirosisHasil penelitian menunjukan bahwa seluruh informan tidak mengetahui cara mencegah penyakit Leptospirosis.
C. Pengambilan Kesimpulan Penyebab Utama MasalahBerdasarkan hasil penelitian diatas. Dapat diketahui bahwa pengetahuan masyarakat masih sangat rendah tentang penyakit leptospirosis. Pengetahuan tersebut diantaranya adalah penyebab, cara penularan, hubungan pekerjaan dengan kejadian penyakit, hubungan hewan piaraan dengan kejadian penyakit, gejala dan tanda, cara penganggulangan, dan cara pencegahan penyakit leptospirosis, maka penyebab utama masalah kejadian penyakit leptospirosis di Desa Cikembulan, Kecamatan Pekuncen Kabupaten Banyumas adalah kurangnya pengetahuan msayarakat tentang penyakit leptospirosis.
VII. RENCANA KEGIATAN (PLAN OF ACTION)
A. Latar BelakangPerilaku merupakan hasil dari pada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya. Skinner merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Perilaku dapat dibagi dua yaitu perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka (overt behaviour). Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Bentuk perilaku terbuka (overt behavior) berupa respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati oleh orang lain (Hurlock, 2002 dan Nursallam, 2003).Pengetahuan yang kurang baik akan mengakibatkan sikap dan perilaku seseorang menjadi kurang tepat dalam menanggapi suatu hal. Dan setelah dilakukan Community Health Analysis di Desa Cikembulan, Kecamatan Pekuncen, faktor paling utama yang menyebabkan terjadinya penyakit leptospirosis adalah faktor kurangnya tingkat pengetahuan masyarakat mengenai penyakit leptospirosis. Untuk menyikapi rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit leptopspirosis maka diperlukan suatu upaya tertentu. Upaya yang dapat dilaksanakan sesuai dengan penentuan prioritas pemecahan masalah adalah dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit leptospirosis dengan harapan nantinya dapat mengubah pola pikir dan pola perilaku masyarakat Kecamatan Pekuncen, hususnya Desa Cikembulan terkait dengan penyakit leptospirosis.
B. Tujuan1. Tujuan UmumPenyuluhan mengenai penyakit leptospirosis diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam mencegah, mengenali faktor resiko, dan menangggulangi tanda, gejala, kompilkasi dari penyakit leptospirosis di Desa Cikembulan, Kecamatan Pekuncen. 2. Tujuan KhususTujuan dilakukannya penyuluhan adalah untuk meningkatkan jumlah masyarakat yang mengetahui tentang :a. Penyebab leptospirosisb. Cara penularan leptospirosisc. Hubungan pekerjaan dengan kejadian penyakit leptospirosisd. Hubungan hewan piaraan dengan kejadian penyakit leptospirosise. Gejala dan tanda penyakit leptospirosisf. Cara penganggulangan penyakit leptospirosisg. Cara pencegahan penyakit leptospirosis.
C. Bentuk Kegiatan (Termasuk Materi Kegiatan)Penyuluhan mengenai penyakit leptospirosis yang terdiri dari pengertian, etiologi, cara penyebaran, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis, serta upaya pencegahan terhadap penyakit leptospirosis.
D. SasaranWarga desa Cikembulan Kecamatan Pekuncen sebanyak 35 orang.
E. Pelaksanaan (Waktu dan Tempat)a. Waktu : Senin, 8 Oktober 2012 jam 08.00 WIBb. Tempat : Posyandu Khusnul Khotimah Desa Cikembulan Kecamatan Pekuncen
F. AnggaranPembuatan leaflet= Rp 50.000,00Pembuatan surat edaran edukasi= Rp. 20.000,00Snack= Rp 100.000,00Doorprize= Rp 100.000,00Total = Rp 270.000,00
G. Evaluasi1. Formatifa. Mengevaluasi kesesuaian antara pemecahan masalah dengan masalah yang ada. Berdasarkan hasil analisis masalah ternyata keluarga pasien memiliki pegetahuan yang kurang tentang penyakit leptospirosis cara penyebaran penyakit, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis, serta bagaimana cara mencegah kejadian penyakit leptospirosis. Oleh sebab itu metode penyuluhan kepada keluarga pasien dan masyarakat di lingkungan sekitar pasien, yaitu warga desa Cikembulan, merupakan metode yang cukup tepat.b. Anggaran kegiatanAnggaran kegiatan yang digunakan dan perinciannya dalam pelaksanaan kegiatan adalah :Pembuatan leaflet= Rp 50.000,00Pembuatan surat edaran edukasi= Rp 20.000,00Snack= Rp 100.000,00Doorprize= Rp 100.000,00Total = Rp 270.000,00Dengan demikian terdapat sisa penggunaan anggaran dana. Terjadi ketidaksesuaian rencana anggaran dengan saat pelaksanaan kegiatan
2. PromotifMengevaluasi pelaksanaan program yang meliputi :a. Waktu pelaksanaan kegiatanPelaksanaan kegiatan berjalan tepat waktu sesuai dengan jadwal yang sudah dibuat yaitu pukul 08.30 WIB.b. Jumlah peserta yang ditargetkanJumlah peserta yang hadir dengan yang ditargetkan mengalami kesesuian. Jumlah peserta yang hadir sebanyak 35 orang.
BAB IXLAPORAN HASIL PELAKSANAAN
Kegiatan penyuluhan tentang leptospirosis berupa pemberian informasi kepada kader dan sebagian masyarakat Desa Cikembulan yang diselenggarakan pada hari Senin, 8 Oktober 2012 pukul 08.30 10.00 di Posyandu Khusnul Khotimah Desa Cikembulan Kecamatan Pekuncen. Sebelum penyuluhan dimulai, peserta yang datang mendaftarkan diri kepada ibu bidan desa Cikembulan yang merupakan pengurus posyandu Khusnul Khotimah. Kemudian peserta diberikan kegiatan penyuluhan mengenai leptospirosis. Media yang digunakan adalah laptop yang memuat gambar-gambar serta slide penjelasan penyakit leptospirosis dan lembar balik mengenai leptospirosis. Para peserta menunjukkan antusiasmenya selama penyuluhan berlangsung. Dalam kesempatan itu pula, peserta diberi kesempatan untuk bertanya tentang hal-hal yang belum dipahami. Peserta sangat aktif untuk bertanya ketika diberikan kesempatan untuk bertanya. Acara penyuluhan ini diakhiri dengan pemberian soal untuk mengetahi sejauhmana para peserta memahami yang telah diberikan mengenai penyakit leptospirosis, bagi peserta yang dapat menjawab akan diberikan hadiah sebagai bentuk penghargaan atas perhatiannya selama mengikuti penyuluhan. Kegiatan dilanjutkan dengan acara tanya jawab mengenai berbagai penyakit dan segera dikonsultasikan dengan dokter puskesmas yang saat itu berkenan hadir menemani penyuluhan mengenai penyakit leptospirosis.Pelaksanaan penyuluhan ini tidak terlepas dari beberapa kendala. Kendala yang dihadapi diantaranya adalah kurang kondusifnya suasana ketika penyuluhan, dikarenakan para peserta membawa balita mereka yang kadang-kadang rewel, sehingga terdapat peserta yang kurang memperhatikan isi penyuluhan. Selain itu media yang digunakan (berupa laptop tanpa penggunaan LCD) dirasa kurang memadai sehingga mungkin dapat mengurangi maksud dan isi penyampaian tentang penyakit leptospirosis. Peserta yang mengikuti penyuluhan 35 orang.
BAB XKESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulana. Masalah kesehatan yang sekarang menjadi fokus perhatian oleh semua pihak adalah kasus Leptospirosis yang menjadi Kejadia4 Luar Biasa (KLB).b. Masalah utama yang ada pada daerah tersebut adalah Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menjadi perhatian semua pihak. c. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit Leptospirosis sehingga secara tidak langsung menjadi penyebab terjadinya kasus Leptospirosis. d. Penyuluhan dan pembagian leaflet tentang penyakit Leptospirosis menjadi alternatif yang dilakukan.e. Tujuan penyuluhan dan pembagian leaflet adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit Leptospirosis sehingga diharapkan dapat mempengaruhi sikap para masyarakat untuk dapat melakukan tindakan preventif (pencegahan).f. Kegiatan penyuluhan ini dianggap berhasil, karena sebagian besar peserta penyuluhan dapat menjawab pertanyaan yang diajukan seputar penyakit Leptospirosis.
2. Saran Berkaitan dengan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) kasus Leptospirosis pada wilayah kerja Puskesmas Pekuncen maka disarankan pada para tenaga kesehatan agar lebih meningkatkan promosi kesehatan tentang usaha pencegahan penyakit Leptospirosis. Hal ini dapat dititik beratkan pada bidan dan kader kesehatan desa. Bidan dan kader kesehatan desa diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat dan memonitoring upaya preventif (pencegahan) terhadap penyakit Leptospirosis setiap minggunya melalui kerja bakti di Desa masing-masing. Harapan peneliti, dengan adanya penyuluhan tersebut, para peserta juga dapat mebagikan pengetahuan serta informasi yang didapat kepada kerabat, tetangga, maupun masyarakat lainnya sehingga tidak ada lagi kasus Leptospirosis di wilayah kerja Puskesmas Pekuncen.
LAMPIRANFoto Kegiatan POA (Plan Of Action)
Gambar 1. Penyuluhan materi leptospirosis
Gambar 2. Warga dan kader kesehatan yang sedang mendengarkan materi
Gambar 3. Penjelasan materi oleh dr. Nurul Eka Santi (Dokter Puskesmas Pekuncen)
Gambar 4. Sesi tanya jawab dengan peserta penuluhan
Gambar 5. Sesi penyerahan doorprize kepada peserta penyuluhan
Gambar 6. Sesi penyerahan doorprize kepada peserta penyuluhan
DAFTAR PUSTAKA
Bajani DM, Ashford AD, Bragg LS, Woods WC, Aye T, Spiegel AR, Plikaytis DB, Perkins AB, Phelan M, Levett NP, Weyant SR. 2002. Evaluation of Four Commercially Available Rapid Serologic Tests for Diagnosis of Leptospirosis.Journal of Clinical Microbiology. (41) : 802-809.Dinas Kesehatan Jawa Tengah. 2004. Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kabupaten/ Kota Provinsi Jawa tengah. Availble: SPM http://www.jawatengah.go.id/dinkes/new/SPM/lamp1.htm. diakses: 20 September 2012.Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2005. Spot Survey Leptospirosis di Kabupaten Demak dan Semarang.Dutta TK, Christopher M. 2005. Leptospirosis- Jawaharlal Institute of Postgraduate Medical Education and Research.Review Article. (53) : 545-551.Esen Saban. 2004. Impact of Clinical and Laboratory Findings on prognosis in Leptospirosis. Swiss Medical Weekly. (40) : 347-352.Fransiska B. 2008. Manifestasi Klinis dan Laboratoris Gangguan Perdarahan Pada Penderita Leptospirosis Berat.Karya Tulis Ilmiah.Program Pendidikan SarjanaFakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.Gasem MH. 2002. Gambaran Klinik dan Diagnosis Leptospirosis pada Manusia.Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis.Badan Penerbit Universitas Diponegoro.Institute for International Cooperation in Animal Biologics (OIE), The Center For Food Security and Public Health College of Veterinary Medicine Lowa State Univesity. 2005. Leptospirosis Institute for International Cooperation in Animal Biologics. Diunduh di http://www.cfsph.iastate.edu.Pada tanggal 21 September 2012.Kusmiyati, Noor MS, Supar. 2008. Leptospirosis Pada Hewan dan Manusia di Indonesia. Balai Penelitian Veteriner. Pusat Penelelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor.Lau C, Smythe L, Weinstein L. 2009. Leptospirosis: An emerging disease in travelers. The Journal of Travel Medicine and Infectious Disease. (12) : 33- 40.Levett. 2001. Leptospirosis. Clinical Microbiology Reviews. (32) : 296-326.Levetta NP. 2003. Usefulness of Serologic Analysis as a Predictor of the Infecting Serovar in Patients with Severe Leptospirosis. Major Article. (36) : 447-452.Hurlock, 2002. Pengetahuan dan Perilaku Manusia. Psikologi Perkembangan. Edisi 5. Jakarta: EGC.Meites E, Jay TM, Deresinski S, Shieh JW, Zaki RS, Tompkins L, Smith SD. 2004. Reemerging Leptospirosis California.Article. (10) : 406-412.Moleong JL. 2002. Menyusun Rancangan Penelitian Kualitatif. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya, Bandung :85-86 hal.Nursallam,2003.Pengetahuan dan Perilaku Manusia.Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Cetakan Kedua. Rineka Cipta: Jakarta.Panaphut T, Domrongkitchaiporn S, Vibhagool A, Thinkamrop B, Susaengrat B. 2003. Ceftriaxone Compared with Sodium Penicillin G for Treatment of Severe Leptospirosis. Major Article. (36) : 1507-1513.Priyanto A, Hadisaputro S, Santoso L, Gasem H, Adi S. 2008. Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis.Tesis.Program Magister Epidemiologi Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.Ristiyanto. 2006. Leptospirosis di Dataran rendah Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Studi Epidemiologi.Sastroasmoro S, Sofyan I. 2008.Menyusun Proposal Penelitian.Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Binarupa Aksara, Jakarta : 78-83 hal. Sejvar J, Bancroft E, Winthrop K, Bettinger J, Bajani M, Bragg S, Shutt K, Kaiser R, Marano N, Popovic J, Tappero, Ashford D, Mascola L, Vugia D, Perkins B, Rosenstein N. 2003.Leptospirosis in Eco-Challenge Athletes, Malaysian Borneo, 2000.The Journal of Infectious Diseases.(9) : 702-707.Soedin K, Syukran OLA. 1996. Leptospirosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi ke 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI : 477-482 hal.Sugiyono. 2010. Populasi dan Sampel Pada Penelitian Kualitatif. Memahami Penelitian Kualitatif. Alfa Beta, Bandung : 49-52 hal.Suratman.2006. Analisis Faktor Risiko Lingkungan Dan Perilaku Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptopirosis Berat Di Kota Semarang.Karya tulis Ilmiah.Program pendidikan Magister Kesehatan Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang.Wang Z, Jin L, Wegrzyn A. 2007. Leptospirosis vaccines.Microbial Cell Factories Biomed Central.(6) : 1-10.WHO. Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis, Surveillance and Control, Geneva, 2003.Widarso HS dan Wilfried P. 2002.Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam penanggulangan Leptospirosis di Indonesia.Kumpulan Makalah Symposium Leptospirosis.Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.Zein U. 2006.Leptospirosis.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi IV Jilid III. Jakarta : EGC, 1823-1826 hal.