Cha Kebasen#Afif Puput Mei

download Cha Kebasen#Afif Puput Mei

of 52

Transcript of Cha Kebasen#Afif Puput Mei

LAPORAN COMMUNITY HEALTH ANALYSIS KARAKTERISTIK PENGETAHUAN PENDERITA HIPERTENSI DENGAN DIABTETES MELITUS

Disusun oleh: M. Afif Heldian Putra Tri Meiningsih Manggala Sariputri G1A210059 G1A210096 G1A210116

Pembimbing Fakultas : dr. Madya Ardi Wicaksono, M.Si. Pembimbing Lapangan : dr. Purwanto

KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2011

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KEMAJUAN / AKHIR COMMUNITY HEALTH ANALYSIS KARAKTERISTIK PENGETAHUAN PENDERITA HIPERTENSI DENGAN DIABTETES MELITUS

Disusun untuk memenuhi sebagian syarat dari Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Kedokteran Komunitas/ Ilmu Kesehatan Masyarakat Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman

Disusun oleh: M. Afif Heldian Putra Tri Meiningsih Manggala Sariputri G1A2104087 G1A210096 G1A210116

Telah dipresentasikan dan disetujui Tanggal, ..

Pembimbing Fakultas

Pembimbing Lapangan

dr. Madya Ardi Wicaksono, M.Si. NIP. 19810511.201012.1.003

dr. Purwanto NIP. 19660223.200212.1.002

PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Taala atas rahmat dan karuniaNya, penulis kelompok 2 Puskesmas Kebasen dapat menyelesaikan Laporan Akhir Comunity Health Analysis dengan lancar. Tidak lupa shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Shalallahualaihi Wasallam, kepada keluarganya, sahabatnya, dan kepada para umatnya sampai akhir zaman. Laporan Akhir Comunity Health Analysis ini berjudul KARAKTERISTIK PENGETAHUAN PENDERITA HIPERTENSI DENGAN DIABTETES

MELITUS. Laporan ini penulis dedikasikan untuk pihak Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman, Puskesmas Kebasen, dan masyarakat Desa Kebasen. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi masa depan Puskesmas Kebasen khususnya untuk perbaikan kesehatan di Desa Kebasen. Penyusunan laporan ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak baik moral maupun material. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih, penghargaan, serta rasa hormat kepada : 1. dr. Hj. Retno Widiastuti, M.S., selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto atas dukungan birokrasi dan perizinan kepada pihak Puskesmas Kebasen. 2. dr. Joko Setyono, M. Sc. selaku ketua jurusan Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto atas dukungan birokrasi dan perizinan kepada pihak Puskesmas Kebasen. 3. dr. Madya Ardi Wicaksana, M.Si. selaku pembimbing fakultas yang berkenan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dan perhatian kepada penulis 4. dr. Purwanto selaku Kepala Puskesmas Kebasen sekaligus pembimbing lapangan yang berkenan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dan perhatian kepada penulis 5. dr. Srie Astuti H. selaku dokter puskesmas beserta seluruh staf dan pihak-pihak lain di Puskesmas Kebasen yang mungkin tidak dapat penulis sebutkan satupersatu atas bimbingan dan penerimaan yang baik sehingga penulis tidak mengalami kesulitan dalam melakukan praktik lapangan.

6. Warga Desa Kebasen yang telah membantu dalam kegiatan Comunity Health Analysis 7. Keluarga penulis yang selalu memberikan doa, semangat, bantuan, perhatian dan dorongan serta nasihat kepada penulis dalam penyusunan laporan ini. 8. Teman kelompok IKM Puskesmas Kebasen atas kerjasama dan kekompakan serta pengertian dan pengorbanan baik itu secara materi, moril, dan doa. Semoga kekompakan ini akan selalu terjaga. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang dapat membangun laporan ini menjadi lebih baik. Penulis berharap laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca serta perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kedokteran. Aamiin.

Purwokerto,

Mei 2011

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpenting dari pembangunan nasional. Tujuan diselenggarakannya pembangunan kesehatan adalah

meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan pembangunan kesehatan tersebut, maka diselenggarakan berbagai upaya kesehatan secara menyeluruh, berjenjang, dan terpadu (Budiarto, 2003). Kebijakan pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat yang memberikan prioritas pada upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan, dan rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai lanjut usia, sedangkan tujuan Pembangunan Kesehatan adalah meningkatkan jumlah, efektivitas, dan efisiensi penggunaan biaya kesehatan (Budiarto, 2003). Tingginya angka kejadian penyakit yang disebabkan oleh perilaku hidup sehat masyarakat yang tidak baik berdasarkan data di Puskesmas Kebasen menjadi permasalahan yang semestinya dapat ditanggulangi atau diminimalisasi melalui upaya promosi kesehatan. Untuk dapat mewujudkan visi dan misi promosi kesehatan, maka perlu dilakukan pemecahan masalah terhadap

tingginya angka kejadian penyakit yang disebabkan karena perilaku hidup sehat yang kurang baik. Dengan adanya pemecahan masalah di puskesmas Kebasen melalui promosi kesehatan ini diharapkan berhasilnya pembangunan kesehatan di sektor paling dasar yaitu puskesmas. Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskuler yang umum dan sering dijumpai. Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkanya (Vita Health, 2004). Menurut Hasan (2006) hipertensi adalah adanya peningkatan tekanan darah signifikan yang berkaitan baik dengan kerusakan secara mendadak terhadap

target organ maupun tidak. Nilai tekanan darah sering dihubungkan dengan diastolik di atas 120 mmHg. Penderita hipertensi dari tahun ke tahun mempunyai kecenderungan meningkat. Data longitudinal yang dikumpulkan hingga 30 tahun menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi meningkat seiring dengan

bertambahnya usia. Peningkatan tekanan darah arteri yang makin cepat selama kehidupan, menurut European Working Party on High Blood Pressure in the Elderly (EWPHE), menyebabkan sekitar dua sampai tiga lansia dapat mengalami hipertensi. Sebagian besar lansia yang mengalami hipertensi mempunyai peningkatan tekanan sistolik dan diastolik, hanya 20% yang mengalami hipertensi sistolik terisolasi (Khalil, 1996). Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik kronis dikarenakan insulin resisten atau defisiensi insulin (Balakumar, et al, 2009). DM memiliki banyak tipe yang dihasilkan dari kompleks interaksi yaitu genetik dan lingkungan (Fauci, 2008). DM merupakan beban bagi World Health Organization (WHO) karena terjadi peningkatan prevalensi DM secara dramatis selama dua dekade di dunia. Pada tahun 1985, didunia terdapat 30 juta jiwa penderita DM, jumlah ini meningkat menjadi 135 juta jiwa pada tahun 1995 dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 177 juta jiwa (Annemans, 2008). Berdasarkan data WHO diprediksikan terjadi peningkatan jumlah penderita DM menjadi 366 juta jiwa pada tahun 2030. Hipertensi dan diabetes melitus merupakan penyakit tidak menular yang prevalensinya cukup tinggi di dunia. Hipertensi terjadi dua kali lebih sering pada pasien diabetes dibandingkan dengan kontrol nondiabetes. Sebaliknya data akhirakhir menunjukkan bahwa pasien hipertensi memiliki kecenderungan lebih besar untuk menjadi diabetes dibandingkan dengan normotensi. Selanjutnya adanya diabetes dan hipertensi secara bersamaan pada seseorang meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada orang tersebut. Sampai 75% penyakit kardiovaskuler pada pasien diabetes berkaitan dengan hipertensi. Oleh sebab itu target utama pengobatan sindroma metabolik adalah pencegahan diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler (Schupp, et al, 2004; Kurtz dan Prevenec, 2005; Yamagishi, Nakamura, dan Telmisartan, 2006).

Berdasarkan laporan pencatatan Puskesmas Kebasen, kasus TB positif pada tahun 2009 di Puskesmas Kebasen sebanyak 72 kasus, yaitu 63 kasus pada dewasa dan 9 kasus pada anak. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 2008 yang hanya terdapat 35 kasus TB dan pada tahun 2007 sebanyak 16 kasus TB. Jumlah kasus ini tidak mencerminkan keadaan yang sesungguhnya, masih terdapat kemungkinan penderita TB yang berobat ke dokter praktik swasta dan tidak dipantau oleh Puskesmas ataupun kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai gejala-gejala TB, sehingga tidak memeriksakan diri. Adanya peningkatan lebih dari 200% jumlah kasus TB yang terdata di Puskesmas Kebasen sejak tahun 2007 menjadi alasan kelompok penulis mengangkat kasus TB Paru sebagai permasalahan utama pada Puskesmas Kebasen. Penelitian kemudian akan diteruskan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya TB paru sampai pada langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan utama tersebut dalam bentuk Plan of Action (POA).

B. Tujuan Tujuan Umum Melakukan analisis kesehatan komunitas (Community Health Analysis) di wilayah kerja Puskesmas Kebasen. Tujuan Khusus a. Mengenali permasalahan kesehatan masyarakat yang terjadi di tempat penelitian. b. Menentukan prioritas masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di desa yang menjadi tempat penelitian. c. Mengetahui karakteristik pengetahuan masyarakat tentang hipertensi dan diabetes melitus d. Mencari alternatif pemecahan masalah kesehatan di tempat penelitian. e. Melakukan intervensi terhadap penyebab masalah kesehatan untuk mengatasi masalah kesehatan di tempat penelitian.

C. Manfaat

1. Manfaat Teoritis a. Memberikan pengalaman bagi peneliti di bidang penelitian serta menambah dan mengembangkan pengetahuan selama kuliah. b. Menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang kesehatan. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan informasi pada warga masyarakat di wilayah Puskesmas Kebasen khususnya tentang masalah kesehatan yang telah dianalisis beserta solusinya. b. Sebagai bahan untuk tindakan preventif atau pencegahan terhadap kejadian hipertensi dan diabetes melitus. c. Sebagai pengetahuan untuk meningkatkan pemahaman kepada

masyarakat tentang hipertensi dan diabetes melitus. d. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pencegahan terhadap penyakit dan manfaat hidup sehat. e. Membantu Puskesmas dalam menjalankan salah satu dari enam program pokok yang ada

II. ANALISIS SITUASI

A. Deskripsi, Situasi, Kondisi, dan Wilayah Kerja Puskesmas 1. Keadaan Geografis Kecamatan Kebasen terdiri dari 12 desa yang terletak di bagian selatan Kabupaten Banyumas dengan batas-batas sebagai berikut : - Sebelah Timur - sebelah Barat - Sebelah Utara - Sebelah Selatan : Kecamatan Banyumas : Kecamatan Rawalo : Kecamatan Patikraja : Kabupaten Cilacap

Kecamatan Kebasen dengan luas daerah 5399,51 Ha (5400 Km2) yang terdiri dari : - Tanah Sawah - Tanah Pekarangan/ Bangunan - Tanah Tegal/ Kebun - Tanah Kebasen - Tanah Hutan Negara - Tanah Perkebunan Rakyat - Lain- lain : 1.049,60 Ha (19,43 % ) : 1.542,33 Ha (28,56 % ) : 1.041,66 Ha (19,29 % ) : 10,800 Ha (0,20 % )

: 916,000 Ha (16,96 %) : 565,100 Ha (10.44 %) : 274,025 Ha (5,09 %)

2. Keadaan Demografi 1. Pertumbuhan Penduduk. Jumlah penduduk Kecamatan Kebasen berdasarkan hasil regristasi penduduk akhir tahun 2009 adalah 57968 jiwa, terdiri dari 29101 jiwa laki-laki ( 50,20 % ) dan 28867 jiwa perempuan ( 49,80 % ). Kepala Keluarga sebesar 14254 KK, jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2008 jumlah penduduk sebesar 57968 jiwa, ada kenaikan sebesar 3,10%. Jumlah penduduk terbanyak tahun 2009 adalah penduduk desa Cindaga yaitu sebanyak 9553 jiwa (16,48%), sedangkan terendah ada di desa Tumiyang sebanyak 1567 jiwa (2,70%). Kepadatan penduduk adalah 1073 jiwa/ Km2. 2. Jumlah penduduk menurut golongan umur.

Jumlah penduduk menurut golongan umur di Kecamatan Kebasen tahun 2009 dapat dilihat pada tabel : Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur Jumlah Peduduk Kelompok Umur (Th ) Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan 04 59 10 14 15 19 20 24 25 29 30 34 35 39 40 44 45 49 50 54 55 59 60 64 65 + Jumlah 2.951 2.786 3.058 3.120 2.467 2.262 2.249 2.108 1.893 1.608 1.222 884 828 1.665 29101 2.900 2.803 2.894 2.616 2.286 2.472 2.374 2.213 1.961 1.474 1.159 929 926 1.861 28867 5.851 5.589 5.952 5.736 4.753 4.734 4.623 4.321 3.854 3.082 2.381 1.813 1.754 3.526 57968

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

3. Tingkat Pendidikan Hasil Susenas tahun 2009 menyatakan bahwa jumlah penduduk laki-laki dan perempuan usia 10 th keatas menurut pendidikan yang tidak/ belum tamat SD sebesar 15672 orang atau 33,56 %, tamat SD/MI sederajat sejumlah 20175 atau 43,20 %, tamat SLTP/ MTS/ sederajat sejumlah 6317 atau 13,52 %, tamat SMU/SMK/MA/ sederajat sebanyak 3429 atau 7,34 %, tamat AK/ Diploma sebesar 705 orang 1,51 %, tamat S1 dan S2 sebesar 406 atau 0,87 %.

B. Pencapaian Program Kesehatan 1. Derajat Kesehatan Masyarakat Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator Indonesia Sehat 2010. Indikator derajat kesehatan masyarakat terdiri atas indikator-indikator mortalitas, morbiditas, dan status gizi. Pembangunan kesehatan di Kabupaten Banyumas diarahkan pada masih rendahnya derajat kesehatan, status gizi, dan kesejahteraan sosial, oleh karena

itu, pembangunan kesahatan diarahkan dalam upaya perbaikan kesehatan masyarakat melalui perbaikan gizi, kebersihan lingkungan, pemberantasan penyakit menular, penyediaan air bersih serta pelayanan kesehatan ibu dan anak. Gambaran derajat kesehatan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Kebasen pada tahun 2010 yaitu : a. Mortalitas Gambaran perkembangan derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari kejadian kematian di masyarakat. Selain itu, kejadian kematian dapat digunakan sebagai indikator dalam penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan program pembangunan kesehatan lainnya. Angka kematian pada umumnya dapat dihitung dengan melakukan berbagai survey dan penelitian. Perkembangan tingkat kematian dan penyakit-penyakit yang terjadi pada periode tahun 2009 akan diuraikan di bawah ini. 1.) Angka Kematian Bayi Puskesmas Kebasen tahun 2009 jumlah lahir mati sebanyak 20 bayi dan jumlah bayi mati sebanyak 1 bayi. Jumlah kematian bayi keseluruhan sebanyak 21 bayi. Jumlah lahir hidup tahun 2009 sebanyak 1054. Angka Kematian Bayi (AKB) di Kecamatan Kebasen adalah sebesar 19,92 per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan AKB tahun 2008 sebesar 13,38 per 1000 kelahiran hidup. Dengan demikian AKB tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 6,54 per 1000 kelahiran hidup, hal ini di antaranya karena faktor ekonomi, sosial dan penyakit ibu. Kondisi yang demikian masih perlu dilakukan perbaikan dengan menyusun perencanaan yang optimal melalui kegiatan penyuluhan kesehatan ibu kepada masyarakat dan peningkatan ketrampilan bidan melalui pelatihan. Jika dibandingkan dengan Indikator Indonesia Sehat terhitung masih rendah ( IIS 2010 = 40 per 1000 kelahiran bayi). 2.) Angka Kematian Ibu

Jumlah kematian ibu di Kecamatan Kebasen tahun 2009 sebanyak 1 orang. Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 2009 sebesar 0,949 per 100.000 kelahiran hidup. Jumlah kematian ibu tahun 2008 sebesar 3 orang. Jumlah lahir hidup 1046. Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 2008 sebesar 2,868 per 1000 kelahiran hidup. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, AKI tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 1,919 per 1000 kelahiran hidup. b. Morbiditas 1.) Penyakit Malaria Tahun 2009 kasus malaria klinis sebanyak 23 kasus. Jika dibandingkan dengan tahun 2008 yang ditemukan sebanyak 11 kasus berarti mengalami peningkatan sebanyak 0,0206 %. Hal ini dapat disebabkan karena masih kurangnya kesadaran masyarakat tentang penyakit malaria, terutama masalah cara penularan dan

pengobatannya. 2.) TB Paru Jumlah kasus TB yang positif tahun 2009 sebanyak 72 kasus. 3.) Diare Tahun 2009 kasus penyakit diare sebanyak 564 kasus. Jika dibandingkan dengan tahun 2008 yang ditemukan sebanyak 575 kasus berarti mengalami penurunan sebanyak 0,024 %. Hal ini dapat disebabkan karena masih kurangnya kesadaran masyarakat tentang penyakit diare, terutama masalah akan perilaku hidup sehat dan kebersihan lingkungan. 4.) Status Gizi Jumlah balita di Kecamatan Kebasen tahun 2009 sebesar 4596 balita dengan jumlah bayi yang ditimbang sebanyak 3183 balita, yang naik berat badannya sebanyak 2115 balita. Balita BGM (Bawah Garis Merah) sebanyak 110 balita (3,46 %). 5.) Demam Berdarah Dengue Jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Kebasen tahun 2009 sebanyak 6 kasus, sedangkan pada tahun 2008

terdapat sebesar 3 kasus, yang berarti mengalami peningkatan sebesar 0,005 %. Hal ini dapat disebabkan karena masih kurangnya kesadaran masyarakat tentang penyakit DBD, terutama masalah cara penularan dan pengobatannya. 6.) Penyakit Tidak Menular Data penyakit tidak menular yang sering ditemukan di Puskesmas Kebasen terdiri dari diabetes melitus tipe 2, penyakit jantung dan pembuluh darah, gangguan mental dan perilaku, dan katarak. Kasus terbanyak adalah hipertensi. 2. Perilaku Masyarakat Perilaku masyarakat merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Pendidikan dan pengetahuan mengenai kesehatan harus ditanamkan agar terjadi perubahan menjadi perilaku sehat. Terjadinya perilaku sehat membutuhkan waktu yang lama, oleh sebab itu program KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) seharusnya lebih merupakan prioritas dalam setiap pengambilan kebijakan pelayanan kesehatan. Perilaku yang sehat mendorong masyarakat untuk berperan aktif menuju masyarakat yang sehat, sehingga akan tercapai penurunan angka kematian bayi. Pencapaian program perilaku masyarakat khususnya program KIA pada Puskesmas Kebasen adalah sebagai berikut: a. K1 : 96,99% Target : 95% b. K4 c. Resti nakes d. DRT masyarakat e. Persalinan nakes f. Pemberian ASI ekslusif 3. Kesehatan Lingkungan Lingkungan merupakan hal yang penting bagi kesehatan. Jalur penyakit dapat diputus melalui lingkungan yang sehat. Wilayah Puskesmas Kebasen merupakan wilayah pegunungan dan daerah tinggi sehingga mempunyai hal khusus dalam pola penyakit. Pencapaian program kesehatan lingkungan pada Puskesmas Kebasen adalah sebagai berikut: Inspeksi sanitasi: a. Rumah sehat : 47,51% Target : 65% b. Sarana air bersih : 79,13% Target : 80% : 91,35% : 10,59% : 8,2 % : 94,41% : 13,94% Target : 95% Target : 20% Target : 12% Target : 90% Target : 80%

c. Jamban keluarga d. SPAL

: 55,61% : 40,58 %

Target : 88% Target : 85%

Kesehatan adalah suatu masalah yang kompleks yang merupakan hasil dari berbagai masalah, termasuk masalah lingkungan (alamiah maupun buatan), sosial budaya, perilaku penduduk, genetika, dan sebagainya. Sampai saat ini, teori tentang derajat kesehatan masyarakat (psychosociosomatic health well being) yang masih relevan adalah teori menurut Hendrik L.Blum (1972). Menurut H. L. Blum, derajat kesehatan masyarakat merupakan hasil dari empat faktor, yaitu lingkungan; perilaku dihubungkan dengan ecological balance; keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk, dan sebagainya; serta health care service yang berupa program kesehatan yang bersifat preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Dari keempat faktor tersebut, lingkungan dan perilaku merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat. 1. Lingkungan (environment) Menurut H L Blum, lingkungan dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: a. lingkungan alami b. lingkungan non-alami atau buatan Upaya penyehatan lingkungan dilaksanakan dengan lebih

diarahkan pada peningkatan kualitas lingkungan, yaitu melalui kegiatan yang bersifat promotif, preventif, dan protektif. Pelaksanaannya bersamasama dengan masyarakat, diharapkan secara epidemiologi akan mampu memberikan kontribusi yang bermakna terhadap kesehatan masyarakat. Namun demikian pada umumnya yang menjadikan permasalahan utama adalah masih rendahnya jangkauan program. Hal ini lebih banyak diakibatkan oleh berbagai faktor antara lain dan, otonomi, dan lain-lain. Sedangkan permasalahan utama yang dihadapi masyarakat adalah akses terhadap kualitas lingkungan yang masih sangat rendah. a. Lingkungan Alami Lingkungan alam yang berkaitan dengan lingkungan daerah Kebasen yaitu wilayah kerja Puskesmas Kebasen yang sebagian besar merupakan daerah pegunungan dan kondisinya cenderung dingin dan lembab terutama pada musim hujan dan kering pada musim kemarau. Sebagian besar warga Kebasen bermata pencaharian sebagai petani

sehingga memungkinkan mereka mudah terkena penyakit, mulai dari penyakit kulit karena air sawah sampai penyakit saluran pernafasan karena debu yang berasal dari debu padi saat memanen. Keadaan lingkungan seperti inilah yang menurut HL Blum berpengaruh terhadap munculnya berbagai macam jenis penyakit yang berdampak pada kondisi derajat kesehatan masyarakat. b. Lingkungan Buatan Lingkungan buatan yang berada di wilayah kerja Puskesmas Kebasen secara umum yaitu letak rumah antar keluarga banyak yang berdekatan. Desain rumah tempat tinggal sebagian besar masyarakat belum mempunyai ventilasi yang cukup, jamban dan sumur juga terletak berdekatan, bahkan ada sebagian yang memelihara unggas bergandengan dengan rumah. Selain itu juga dapat dilihat kondisi tempat tidur, keadaan dapur atau tempat memasak, dan dinding. Beberapa aspek yang dapat dilihat dari lingkungan luar rumah antara lain keadaan halaman rumah, tempat pembuangan sampah akhir, dan juga pengolahan sampah rumah tangga. Halaman rumah sebagian besar masyarakat berdebu dan akhirnya dapat menimbulkan polusi udara. Semua hal tersebut di atas akan berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat. 2. Perilaku (behavior) Perilaku mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap derajat kesehatan masyarakat. Diperlukan upaya untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku masyarakat yang bertentangan dengan norma hidup sehat. Perilaku masyarakat tersebut biasanya bersifat lokal spesifik, terjadi pada golongan, ras atau daerah tertentu, dipengaruhi oleh lingkungan alam, serta sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Perilaku tersebut harus digali secara mendalam penyebabnya agar dalam penanggulangannya masyarakat dapat dilibatkan secara aktif. Perilaku masyarakat dilihat dari cara pandang pentingnya arti kesehatan. Perilaku yang mendukung pentingnya kesehatan antara lain adalah kebiasaan dan pola makan, gaya hidup, pengambilan keputusan

dalam mencari pelayanan kesehatan, dan juga kesadaran diri terhadap kebersihan lingkungan mereka. Keputusan untuk menyelesaikan masalah juga harus dilihat dalam sebab-sebab perilaku tersebut. a. Perilaku dan pola Kebiasan Makanan Perilaku dan pola kebiasaan makan ini meliputi beberapa hal, yang dapat dilihat antara lain frekuensi atau rutinitas makan setiap harinya, dengan gizi yang terpenuhi atau tidak, kebiasaan jajan atau snack, kebiasaan mengkonsumsi fast food, makan makanan yang terbuka, dan juga kebiasaan makan bersama dalam satu piring juga ikut berpengaruh dalam berkembangnya suatu penyakit. b. Gaya Hidup Gaya hidup masyarakat mencakup kebiasaan merokok, waktu istirahat yang cukup, kebiasaan begadang, kebiasaan menggunakan jamban sebagai tempat buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB), kebiasaan mencuci tangan dengan menggunakan sabun sebelum dan sesudah makan atau pun BAK dan BAB, kebiasaan merokok. c. Budaya dan adat istiadat Masyarakat sekitar Puskesmas Kebasen sebagian besar berasal dari suku Jawa, yang mempunyai kebiasaan sepitan atau khitan atau sirkumsisi, kebiasaan makan dengan menggunakan tangan, rutinitas ronda malam dengan diselingi merokok yang biasanya adalah rokok kretek yang notabene tanpa filter yang lebih berpengaruh terhadap kesehatan perokoknya. d. Pengambilan keputusan dalam mencari pelayanan kesehatan Masyarakat yang menderita suatu penyakit ada yang lebih memilih mengobati sendiri dengan meracik sendiri menggunakan tanaman obat, atau membeli obat-obat racikan yang dijual bebas di warung-warung di dekat rumah mereka, ada juga yang memilih mengobati dengan memanfaatkan jasa dukun, bidan, perawat, dokter ataupun dokter spesialis. e. Perilaku masyarakat terhadap lingkungan tempat tinggal

Perilaku ini meliputi diantaranya adalah bagaimana membuang dan mengolah sampah rumah tangga mereka, ditimbun atau dibuang begitu saja, atau dikumpulkan untuk kemudian dibakar, juga bagaimana mereka memasak di dapur, menggunakan kompor minyak, kompor gas, atau pun tungku. Dari semua faktor perilaku yang disebutkan di atas, faktor yang paling berpengaruh terhadap keadaan kesehatan masyarakat sekitar puskesmas Kebasen, terutama desa Karangsari adalah faktor gaya

hidup dan perilaku masyarakat terhadap lingkungan tempat tinggal mereka. Daerah Karangsari merupakan daerah pemukiman yang terletak di pegunungan sehingga jarak dengan layanan kesehatan cukup jauh dan harus melewati medan yang cukup sulit.

3. Pelayanan kesehatan (health service) Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak. Tidak hanya oleh orang perorang, tapi juga oleh keluarga, kelompok, dan bahkan oleh masyarakat. Untuk dapat mewujudkan keadaan sehat tersebut banyak hal yang perlu dilakukan. Salah satu diantaranya yang dinilai mempunyai peranan yang cukup penting adalah menyelenggarakan pelayanan kesehatan.

4. Keturunan (heredity) dan Kependudukan Faktor keturunan merupakan salah satu faktor yang menentukan jenis penyakit yang diderita oleh individu dan bahkan dapat menjadi suatu permasalahan di suatu wilayah. Penyakit yang biasanya diturunkan diantaranya adalah Diabetes Mellitus, hipertensi, penyakit jantung koroner yang saat ini menjadi kasus tertinggi baik di Indonesia maupun dunia. Keturunan memegang peranan penting dalam masalah-masalah penyakit tersebut di atas. Dari hasil data sekunder, diperoleh hasil bahwa sebagian besar penyakit yang diderita oleh pengunjung Puskesmas Kebasen merupakan menular dan bukan penyakit yang diturunkan seperti malaria, TBC, diare, infeksi kulit, dan beberapa penyakit lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa

faktor keturunan tidaklah besar pengaruhnya terhadap derajat kesehatan masyarakat di sekitar Puskesmas Kebasen, tidak seperti pengaruh faktor perilaku dan faktor lingkungan yang telah dijelaskan di atas.

III. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN PRIORITAS MASALAH

A. Daftar Permasalahan Kesehatan yang Ada (Berdasar Data Sekunder) Tabel 3.1. Daftar penyakit wialyah kerja Puskesmas Kebasen tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Nama Penyakit ISPA Dispepsia Hipertensi Infeksi Kulit Diare Pernapasan Mata Skabies Anemia ASI Ekslusif Jumlah 3300 1032 962 939 542 446 253 50 38 143 % 33,32 10,4 9,7 9,4 5,4 4,5 2,5 0,5 0,03 13,94

B. Penentuan Prioritas Masalah (Berdasarkan Metode Tertentu) Penentuan prioritas masalah di Kecamatan Kebasen dengan menggunakan metode Hanlon Kuantitatif. Untuk keperluan ini digunakan 4 kelompok kriteria, yaitu: 1. Kelompok kriteria A: besarnya masalah 2. Kelompok kriteria B: kegawatan masalah, penilaian terhadap dampak, urgensi dan biaya 3. Kelompok kriteria C: kemudahan dalam penanggulangan, yaitu penilaian terhadap tingkat kesulitan penanggulangan masalah 4. Kelompok kriteria D: PEARL faktor, yaitu penilaian terhadap propriety, economic, acceptability, resources availability, legality

Adapun perincian masing-masing bobot kriteria pada prioritas masalah di Puskesmas Kebasen adalah sebagai berikut : Kriteria A (besarnya masalah). Untuk menentukan besarnya masalah kesehatan diukur dari besarnya penduduk yang terkena efek langsung.

Masalah kesehatan

Besarnya masalah dari data sekunder Puskesmas Kebasen(%) 0-20 (1) 21-40 (2) X X X X X X X X X X 41-60 (3) 61-80 (4) 81-100 (5)

Nilai

ISPA Dispepsi Hipertensi Infeksi Kulit Diare Pernapasan Mata Skabies Anemia ASI Ekslusif

2 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Kriteria B (kegawatan masalah) Kegawatan : (paling cepat mengakibatkan kematian) 1. Tidak gawat 2. Kurang gawat 3. Cukup gawat 4. Gawat 5. Sangat gawat

Urgensi: (harus segera ditangani, apabila tidak ditangani dapat menyebabkan kematian) 1. Tidak urgen 2. Kurang urgen 3. Cukup urgen 4. Urgen 5. Sangat urgen Biaya: (biaya penanggulangan)

1. Sangat mahal 2. Mahal 3. Cukup mahal 4. Murah 5. Sangat murah Masalah ISPA Dispepsia Hipertensi Infeksi Kulit Diare ASI Ekslusif Pernapasan Mata Skabies Anemia Kegawatan 3 3 4 2 4 2 2 1 2 2 Urgensi 3 3 4 2 4 2 3 1 2 2 Biaya 2 2 2 2 2 5 3 4 2 2 Nilai 8 8 10 6 10 9 8 6 6 6

Kriteria C (penaggulangan masalah) Untuk menilai kemudahan dalam penanggulangan, pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah sumber-sumber dan teknologi yang tersedia mampu menyelesaikan masalah: makin sulit dalam penanggulangan, skor diberikan makin kecil. 1. Sangat sulit ditanggulangi 2. Sulit ditanggulangi 3. Cukup bisa ditanggulangi 4. Mudah ditanggulangi 5. Sangat mudah ditanggulangi Pada tahap ini dilakukan pengambilan suara dari 3 orang yang kemudian dirata-rata untuk menentukan skor, dimana skor tertinggi merupakan masalah yang paling mudah ditanggulangi. Adapun hasil konsensus tersebut adalah sebagai berikut : ISPA yang

(4+4+3)/3 = 3,6 Dispepsia (4+4+3)/3 = 3,6 Hipertensi (4+4+3)/3 = 3,6 Infeksi Kulit (3+4+4)/3 = 3,6 Diare (4+3+3)/3 = 3,3 ASI Eksklusif (4+3+4)/3 = 3,6 Pernapasan (3+4+3)/3 = 3,3 Mata (3+4+3)/3 = 3,3 Skabies (3+3+3)/3 = 3 Anemia (3+3+3)/3 = 3 Kriteria D (PEARL faktor) Propriety Economic Acceptability : Kesesuaian (1/0) : Ekonomi murah (1/0) : Dapat diterima (1/0)

Resources availability : Tersedianya sumber daya (1/0) Legality : Legalitas terjamin (1/0)

Masalah

P

E

A

R

L

Hasil Perkalian

ISPA Dispepsia Hipertensi

1 1 1

1 1 1

1 1 1

1 1 1

1 1 1

1 1 1

Infeksi Kulit Diare ASI Eksklusif Pernapasan Mata Skabies Anemia

1 1 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1

Penetapan nilai Setelah nilai kriteria A, B, C, dan D didapatkan kemudian nilai tersebut dimasukkan ke dalam formula sebagai berikut : Nilai prioritas dasar (NPD) = (A+B)x C Nilai prioritas total (NPT) = (A+B) x C x D

Prioritas pertama masalah diperoleh dengan nilai NPT tertinggi. Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode Hanlon kuantitatif urutan prioritas masalahnya adalah sebagai berikut :

Masalah

A

B

C

D P E 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 A 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 R 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 L 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

NPD

NPT

Urutan prioritas

ISPA Dispepsia Hipertensi Infeksi kulit Diare ASI Eksklusif Pernapasan Mata Skabies Anemia

2 1 1 1 1 1 1 1 1 1

8 8 10 6 10 9 8 6 6 6

3,6 3,6 3,6 3,6 3,3 3,6 3,3 3,3 3 3

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

36 32,4 39,6 25,2 36,3 36 29,7 23,1 21 21

36 32,4 39,6 25,2 36,3 36 29,7 23,1 21 21

3 5 1 7 2 4 6 8 9 10

IV. KERANGKA KONSEP MASALAH

A. Hipertensi 1. Epidemiologi Prevalensi hipertensi di seluruh dunia, diperkirakan sekitar 15-20%. Hipertensi lebih banyak menyerang pada usia setengah baya pada golongan umur 55-64 tahun. Hipertensi di Asia diperkirakan sudah mencapai 8-18% pada tahun 1997, hipertensi dijumpai pada 4.400 per 10.000 penduduk. Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga tahun 1995, prevalensi hipertensi di Indonesia cukup tinggi, 83 per 1.000 anggota rumah tangga, pada tahun 2000 sekitar 15-20% masyarakat Indonesia menderita hipertensi (Depkes, 2003). Menurut Darmojo Boedhi (1993), bahwa 50% orang yang diketahui hipertensi pada negara berkembang hanya 25% yang mendapat pengobatan, dan 12,5% yang diobati secara baik. Prevalensi hipertensi di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun 19881993. Prevalensi hipertensi pada lakilaki dari 134 (13,6%) naik menjadi 165 (16,5%), hipertensi pada perempuan dari 174 (16,0%) naik menjadi 176 (17,6%). Penelitian yang membandingkan hipertensi pada wanita dan pria oleh Sugiri di daerah kota Semarang diperoleh prevalensi hipertensi 7,5% pada pria dan 10,9% pada wanita, sedangkan di daerah kota Jakarta didapatkan prevalensi hipertensi 14,6% pada pria dan 13,7% pada wanita (Arjatmo dan Hendra, 2001). Jumlah penduduk berusia lebih dari 60 tahun di Indonesia pada tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar 400%, sehingga jumlahnya lebih di bawah lima tahun (balita). Usia lanjut membawa konsekuensi meningkatnya berbagai penyakit kardiovaskuler, infeksi, dan gagal jantung. TDS (tekanan darah sistolik) meningkat sesuai dengan peningkatan usia, akan tetapi TDD (tekanan darah diastolik) meningkat seiring dengan TDS sampai sekitar usia 55 tahun, yang kemudian menurun oleh karena terjadinya proses kekakuan arteri akibat arterosklerosis. Sekitar usia 60 tahun dua pertiga pasien dengan hipertensi mempunyai hipertensi sistolik terisolasi (HST), sedangkan di atas 75 tahun tiga perempat dari seluruh pasien

mempunyai hipertensi sistolik. Di negara maju saat ini tekanan darah yang terkontrol (TDS 110 mg/dl - < 126 mg/dl, dan 126 mg/dl. Kadar glukosa plasma puasa < 110 mg/dl dinyatakan normal, 126 mg/dl adalah diabetes melitus, sedangkan antara 110-126 mg/dl disebut glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Dengan demikian pada mereka dengan kadar glukosa plasma vena setelah berpuasa sedikitnya 10 jam > 126 mg/dl sudah cukup untuk membuat diagnosis diabetes melitus. Bahkan untuk penelitian epidemiologis di lapangan dianjurkan untuk menggunakan pemeriksaan kadar glukosa plasma puasa bukan tes toleransi glukosa oral (Fauci, 2008). c. Dengan menggunakan tes toleransi glukosa oral Apabila pada pemeriksaan glukosa darah sewaktu kadar glukosa plasma tidak normal, yaitu antara 140-200 mg/dl, maka pada mereka ini harus dilakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa oral untuk meyakinkan apakah diabetes melitus atau bukan. Sesuai dengan kesepakatan WHO maka tes toleransi glukosa oral harus dilakukan dengan beban 75 gram setelah berpuasa minimal 10 jam. Penilaian dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Nilai glukosa plasma puasa dan toleransi glukosa setetah beban 75 gram glukosa Glukosa plasma puasa Normal Glukosa puasa terganggu < 110 mg/dl (6,1 mmol/L)

110 mg/dl (6,1 mmol/L), dan < 126 mg/dl (7,0 mmol/L) Diabetes mellitus > 126 mg/dl (7,0 mmol/L) Hasil tes toleransi glukosa oral, < 140 mg/dl (7,8 mmol/L) glukosa plasma 2 jam Normal Toleransi glukosa terganggu > 140 mg/dl (7,8 mmol/L), dan < 200 mg/dl (11,1 mmol/L) Diabetes mellitus 200 mg/dl (11,1 mmol/L) Sumber: ADA 2007

Cara mendiagnosis DM menurut American Diabetes Association (ADA) 1997 sebenarnya tidak berbeda dengan cara WHO 1985. Perbedaan utama hanya terletak pada batasan glukosa plasma puasa, yaitu 126 mg/dl. Pada Tabel 2.2 dapat dilihat secara ringkas kriteria diagnosis ADA 1997. Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis DM orang dewasa tidak hamil (ADA, 1997) 1. Glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L) pada seseorang dengan keluhan diabetes melitus, seperti banyak kencing, haus dan berat badan menurun. 2. Glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7,0 mmol/L), pada keadaan puasa sedikitnya 10 jam. 3. Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral, 2 jam setelah beban 75 mg glukosa oral, > 200 mg/dl (11,1 mmol/L) Sumber: ADA, 2007 3. Klasifikasi Diabetes Melitus Klasifikasi DM berdasarkan proses patogenesis hingga menyebabkan hiperglikemia (Fauci, 2008). Secara umum DM dibagi menjadi 4 tipe DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional dan tipe khusus lainnya (Fauci, 2008). Menurut American Diabetes Association 2007, DM diklasifikasikan berdasarkan etiologinya yaitu a. DM Tipe 1 Prevalensi DM tipe 1 paling tinggi di Scandavia, sedangkan negara-negara yang berada di daerah samudra pasifik termasuk Indonesia memiliki prevalensi yang lebih rendah (Kronenberg, 2008). Sebagian besar terjadi destruksi sel . Biasanya menyebabkan defisiensi absolut insulin. Kerusakan maupun defisiensi sel disebabkan oleh proses imunologi dan idiopatik (Fauci, 2008) Selain proses autoimun terdapat proses nonimun yang

menyebabkan defisiensi insulin. Mekanisme nonimun tersebut adalah karena kecepatan mengalami ketosis, kebanyakan hal ini diwariskan pada orang Afrika, Amerika, atau Asia. Pada mereka ini jelas ditemukan insulinopeni tanpa petanda imun, dan mudah sekali mengalami ketoasidosis (Fauci, 2008).

b. DM Tipe 2 Diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2) dikarakteristikkan dengan berkurangnya sekresi insulin, resisten insulin, over produksi dari glukosa hepar, dan abnormalitas metabolisme lemak (Fauci, 2008). Patogenesis DM tipe 2 kompleks dan merupakan interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang dimaksud adalah gaya hidup. DM tipe 2 sebagian besar penyebabnya adalah komponen genetik (Fauci, 2008). DM tipe 2, patofisiologinya berdasarkan karakteristiknya yaitu berkurangnya sekresi insulin, resistensi insulin, over produksi dari glukosa hepar, dan abnormalitas metabolisme lemak (Fauci, 2008). Mayoritas kejadian intoleransi glukosa dalam diabetes disebabkan oleh resistensi insulin (Kronenberg, 2008). c. DM Tipe Khusus lainnya DM ini disebabkan oleh a. Defek genetik fungsi sel yang dikarakteristikkan mutasi pada: 1) Kromosom 20, Hepatocyte nuclear transcription factor 4 (MODY 1) 2) Kromosom 7, Glucokinase (MODY 2) 3) Kromosom 12, HNF-1 (MODY 3) 4) Kromosom 13, Insulin promoter factor-1 (IPF-1; MODY 4) 5) Kromosom 17, HNF-1 (MODY 5) 6) Kromosom 2, NeuroD1 (MODY 6) 7) DNA Mitokondria 8) Subunit dari ATP-sensitive potassium channel 9) Proinsulin atau konversi insulin b. Defek Genetik dalam kerja insulin, misalnya 1) Tipe A resisten insulin 2) Leprechaunism 3) Sindrom Rabson-Mendenhall 4) Sindrom Lipodystrophy (HNF)

c. Penyakit eksokrin pankreas misalnya: pankreatitis, pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, fibrocalculous

pancreatopathy, mutasi pada carboxyl ester lipase d. Endokrinopati glucagonoma, misalnya akromegali, Cushing's syndrome,

pheochromocytoma,

hyperthyroidism,

somatostatinoma, aldosteronoma e. Karena obat atau zat kimia misalnya Vacor, pentamidine, nicotinic acid, glucocorticoids, thyroid hormone, diazoxide, -adrenergic agonists, thiazides, phenytoin, -interferon, protease inhibitors, clozapine f. Infeksi misalnya infeksi congenital rubella, cytomegalovirus, coxsackie g. Imunologi misalnya "stiff-person" syndrome, antibody anti reseptor insulin h. Sindrom genetik lain Down's syndrome, Klinefelter's syndrome, Turner's syndrome, Wolfram's syndrome, Friedreich's ataxia, Huntington's chorea, Laurence-Moon-Biedl syndrome, myotonic dystrophy, porphyria, Prader-Willi syndrome. d. Diabetes Mellitus Gestasional Diabetes ini berkembang selama kehamilan

4. Komplikasi DM DM yang tidak terkontrol dapat menimbulkan komplikasi akut maupun komplikasi kronik. Komplikasi akut berupa diabetik ketoasidosis dan sindrom hiperosmolar non-ketotik yang dapat mengancam jiwa penderita (American Diabetes Association, 2007). Sedangkan komplikasi kroniknya yaitu: a. Mikrovaskular 1) Penyakit mata a) Retinopathy (nonproliferative/proliferative) b) Edema Makular 2) Neuropati

a) Sensorik dan motorik (mono- and polyneuropathy) b) Autonomik 3) Nefropati b. Makrovaskular 1) Penyakit arteri koroner 2) Penyakit arteri perifer 3) Penyakit Serebrovaskuler c. Yang lain 1) Gastrointestinal (gastroparesis, diare) 2) Genitourinary (uropathy/sexual dysfunction) 3) Dermatologik 4) Infeksi 5) Katarak 6) Glaukoma 7) Penyakit Periodontal (Qureshi, 2007; Fauci, 2008; Kronenberg, 2008) Durasi dan keparahan hiperglikemia berhubungan kuat dengan progresivitas penyakit mikrovaskular akibat diabetes. (Fauci, 2008; Kronenberg, 2008), Hal ini berdasarkan bahwa pencegahan hiperglikemia kronik dapat menunda terjadinya retinopathy, neuropathy, dan nephropathy. (Fauci, 2008)

5. Patofisiologi Komplikasi DM Mekanisme hiperglikemia kronik menyebabkan komplikasi belum sepenuhnya diketahui, tetapi ada beberapa teori yang menjelaskan patogenesis tersebut (Fauci, 2008; Kronenberg, 2008). a. Komplikasi mikrovaskular Komplikasi mikrovaskular diawali dengan keadaan hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia yang menyebabkan kerusakan hanya terjadi pada beberapa jenis sel seperti sel endotel. Sel endotel mengalami keadaan hiperglikemik intraselular pada keadaan hiperglikemia karena mereka tidak dapat mengatur penurunan transpor glukosa dalam keadaan hiperglikemia. Transpor glukosa ke dalam sel endotel memiliki jumlah

yang sama pada konsentrasi gula ekstraselular yang rendah maupun tinggi. Tidak seperti sel lain yang akan menurunkan masukan glukosa ke dalam sel jika berada pada lingkungan yang hiperglikemia (Kronenberg, 2008). Peningkatan glukosa intraselular meningkatkan pembentukan Advanced Glycosylation End Products (AGEs) secara nonenzimatik. Hal ini merupakan hasil dari interaksi antara glukosa dan asam amino dalam protein. AGEs tampak pada protein cross linked (misalnya kolagen, ektraselular matrix) yang mempercepat terjadinya atherosclerosis, disfungsi glomerular, penurunan sintesis NO, disfungsi endotel, dan mengganggu komposisi dan struktur matrix ekstraselular (Fauci, 2008) Hiperglikemia menyebabkan gangguan pada aliran dan

permeabilitas retina, glomerulus, dan vasa nervorum. Peningkatan aliran darah dan tekanan intrakapiler disebabkan oleh penurunan NO dan juga peningkatan sensitivitas angiotensin II yang diinduksi oleh DM. Keadaan tersebut mengakibatkan disfungsi endotel, misalnya terjadi kebocoran pada kapiler retina dan glomerulus. Pada awalnya, keadaan ini bersifat reversibel, tetapi pada tahap lanjut dapat menjadi irreversibel

(Kronenberg, 2008). Pada keadaan hiperglikemia terjadi penyempitan dan oklusi lumen pembuluh darah yang mengakibatkan perfusi tidak adekuat dan gangguan fungsi jaringan (Kronenberg, 2008). Penyempitan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1) Kebocoran protein plasma yang mengandung karbohidrat sehingga tertumpuk pada dinding pembuluh darah. Kebocoran ini merangsang sekresi growth factor dan matriks ekstraselular oleh sel mesangial dan perisit. 2) Ekstravasasi growth factor yang menstimulasi overproduksi

komponen ekstraselular. 3) Hipertensi menginduksi ekspresi gen seperti GLUT 1, Growth Factor, Growth Factor Receptor, dan molekul adesi yang mengkativasi sirkulasi leukosit (Kronenberg, 2008).

Oklusi pada lumen pembuluh darah juga diikuti dengan apoptosis sel. Pada retina, apoptosis diinduksi poleh sel Muller, gangglion, perisit, dan endotel. Di glomerulus masih belum diketahui, tetapi diperkirakan berhubungan dengan hilangnya podosit. Pada vasa nervorum, sel endotel dan pericyte terjadi degenerasi (Kronenberg, 2008). Teori lain mengatakan bahwa hiperglikemia meningkatkan metabolisme glukosa melalui jalur sorbitol. Glukosa intraselular terutama dimetabolisme dengan fosforilasi dan glikolisis, tetapi ketika jumlah glukosa meningkat maka beberapa glukosa diubah menjadi sorbitol dengan enzim aldose reductase. Peningkatakn konsentrasi sorbitol ini mengganggu potensial redoks, peningkatan osmolaritas selular,

menghasilkan ROS (reactive oxygen species) (Nam, 2008), dan disfungsi selular. Tetapi penggunaan aldose inhibitor tidak menghasilkan efek yang signifikan pada manusia untuk menghambat efek komplikasi

mikrovaskular (Fauci, 2008). Growth factor tampaknya memiliki peran penting dalam patogenesis komplikasi DM (Ezzidi 2008). VEGF-A meningkat pada penderita diabetik retinopati dan menurun setelah dilakukan dan meningkat pada diabetik nephropati

fotokoagulasi.

TGF-

menstimulasi produksi kolagen serta fibronektin pada membranan basalis oleh sel mesangial. PDGF, IGF, EGF, FGF, dan insulin juga diperkirakan mempengaruhi terjadinya komplikasi DM (Fauci 2008, Thomson 2008). b. Komplikasi makrovaskular Insulin pada dasarnya mempunyai dua efek yaitu antiaterogenik dan aterogenik. Efek antiaterogenik adalah menstimulasi produksi NO dari endotel. NO sendiri salah satu fungsinya adalah menginhibisi proses pengumpulan dan perlekatan platelet ke dinding pembuluh darah. NO endotel juga berfungsi mengontrol ekspresi gen termasuk aterogenesis. NO sel endotel juga menurunkan permeabilitas pembuluh darah. Dan NO menginhibisi proliferasi sel otot polos pembuluh darah (King, 1996; Hsueh, 1998; Ezzidi 2008; Fauci, 2008).

Resistensi insulin pada jaringan adiposa dapat menyebabkan pelepasan asam lemak bebas. Asam lemak bebas ini menstimulasi hepatosit untuk mensekresi VLDL sehingga terjadi hipertrigliseridemia (TG). VLDL menstimulasi perubahan TG menjadi cholesteryl ester (CE) berbanding terbalik dengan High Density Lipoprotein (HDL) dan Low Density Lipoprotein (LDL), dikatalis dengan CE transfer protein (CETP). TG memperkaya HDL dengan memisahkan diri dari ApoA-1, meninggalkan sidikit HDL untuk transport kolesterol. TG memperkaya LDL kemudian berubah menjadi atherogenik kecil, Small Dense LDL Particles (SD LDL) (Kronenberg, 2008). Untuk lebih memahami lihat gambar 2.6 Gambar 2.6 Resistensi Insulin menghasilkan Asam Lemak Bebas

Sumber Gambar Kronenberg 2008 Diabetes mellitus biasanya secara kronik terjadi iskemia oleh karena itu untuk mengkompensasinya dibentuk pembuluh darah baru hasil dari sel progenitor yang berasal dari sumsum tulang. Pembuluh darah baru tersebut sering disebut neovaskularisasi, misalnya di retina menyebabkan retinopati diabetik (Kronenberg, 2008).

C. Hipertensi dan Diabetes Melitus Insidensi penyakit kardiovaskuler dan gagal ginjal pada penderita hipertensi terus meningkat sejalan dengan peningkatan insidensi diabetes melitus. Banyak cara telah dilakukan untuk upaya pencegahan meningkatnya insidensi tersebut, antara lain upaya mengendalikan hipertensi salah satu faktor risiko penyakit jantung koroner. Obat anti hipertensi yang layak digunakan telah banyak ditawarkan pada pengelolaan hipertensi penderita diabetes melitus. Diharapkan dengan terkontrol dengan baik tekanan darah akan menyebabkan pengurangan risiko penyakit kardiovaskuler (Haffner, 1998). Hipertensi, kelainan profil lipid, resistensi insulin dan obesitas merupakan komponen-komponen yang penting pada sindroma metabolik, suatu prekursor penyakit kardiovaskuler dan diabetes melitus tipe 2. Hipertensi terjadi dua kali lebih sering pada pasien Diabetes dibandingkan dengan kontrol nondiabetes. Sebaliknya, data akhir - akhir ini menunjukkan bahwa pasien hipertensi memiliki kecenderungan lebih besar untuk menjadi diabetes dibandingkan dengan pasien normotensif. Selanjutnya adanya diabetes dan hipertensi secara bersamaan pada seseorang meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada orang tersebut. Sampai 75% penyakit kardiovaskuler pada pasien diabetes berkaitan dengan hipertensi. Oleh sebab itu, target utama pengobatan sindroma metabolik adalah pencegahan diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler (Schupp, et al, 2004; Kurtz dan Prevenec, 2005; Yamagishi, Nakamura, dan Telmisartan, 2006). Terapi yang efektif terhadap komponen-komponen sindroma metabolik secara individual telah diketahui, misalnya pengobatan hipertensi, pengobatan dislipidemia, pengobatan diabetes dan sebagainya. Namun, terapi akan lebih menguntungkan bila dapat mengatasi beberapa faktor risiko penyakit kardiovaskuler secara bersamaan. Setiap pengobatan yang dapat memperbaiki lebih dari satu komponen sindroma metabolik akan memberi keuntungan bagi pasien dalam usaha mencegah penyakit kardiovaskuler (Benson, 2004; Schupp, et al, 2004; Kurtz dan Prevenec, 2005)

D. Kerangka Teori

V. METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik deskriptif dengan menyajikan rangkuman hasil survei dalam bentuk tabulasi. Pengumpulan data dilakukan dengan metode Focus Group Discussion (FGD). B. Ruang Lingkup Kerja a. Tempat: Desa Kebasen Kecamatan Kebasen Kabupaten Banyumas b. Waktu: Kamis, 28 Mei 2011 C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi dan Sampel a. Populasi target Semua penderita hipertensi dan diabetes melitus b. Populasi terjangkau Semua penderita hipertensi dan diabetes melitus di Kabupaten Banyumas 2. Kriteria Sampel Sampel penelitian diperoleh dengan menggunakan purposive sampling, yaitu semua subjek yang memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi. Sampel yang diteliti merupakan populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut a. Kriteria inklusi 1) Warga Desa Kebasen Kecamatan Kebasen Kabupaten Banyumas 2) Bersedia menjadi sampel penelitian. b. Kriteria eksklusi 1) Mengundurkan diri dalam perjalanan penelitian

D. Pengumpulan Data Data yang digunakan adalah data primer yaitu dengan metode Focus Group Discussion (FGD) mengenai pengetahuan tentang hipertensi dan diabetes melitus.

E. Focus Group Discussion (FGD) Focus Group Discussion (FGD) adalah metode penelitian yang bertujuan untuk mengetahui kecenderungan yang ada pada individu mengenai persepsi individu itu tentang suatu hal [HOED 1995]. Menurut Litosseliti, Focus Group Discussion adalah kelompok kecil yang terstruktur dengan partisipan yang telah dipilih, dengan dipandu moderator. Focus Group Discussion ini disusun untuk tujuan menggali topik yang spesifik, dan pandangan dan pengalaman individu, melalui interaksi kelompok (Litosseliti, 2003). Focus Group Discussion sebagai salah satu bentuk penelitian kualitatif, merupakan wawancara kelompok yang ditekankan pada interaksi dan perilaku yang muncul dalam kelompok, ketika kelompok itu disodorkan suatu topik atau isu tertentu sesuai dengan kepentingan penelitian. Tujuan Focus Group Discussion adalah untuk memperoleh persepsi dan sikap mengenai isu yang didiskusikan. Diskusi berlangsung secara terbuka, sehingga setiap individu yang terlibat dapat mengekspresikan pendapatnya dengan bebas dan terbuka. Alasan penulis memilih metode Focus Group Discussion adalah agar memperoleh informasi yang akurat mengenai pengetahuan penderita hipertensi dani diabetes melitus. Focus Group Discussion atau FGD memiliki lima karakteristik yang berkaitan dengan unsur-unsur kelompok diskusi sebagai berikut: a. Jumlah peserta Focus Group Discussion sebaiknya empat sampai dengan dua belas orang. Bila jumlah peserta kurang dari empat orang dikhawatirkan anggota kelompok cepat memperoleh giliran berbicara dan tidak terjadi penggalian ide. Situasi ini akan mengurangi keragaman dan terjadi kekuasaan ide. Jumlah peserta lebih dari dua belas mengakibatkan diskusi akan sulit dikendalikan, karena peserta terlalu banyak pandangan/ide atau bosan menunggu giliran berbicara. Jumlah peserta Focus Group Discussion (FGD) secara tipikal berkisar antara enam dan delapan partisipan, tetapi ukuran itu dapat pada rentang empat sampai dengan dua belas tergantung pada tujuan penelitian (Litosseliti, 2003). Menurut Krueger (I998), jumlah peserta Focus Group

Discussion adalah empat sampai dengan enam orang merupakan jumlah yang ideal, karena kelompok tersebut akan lebih akrab, perekrutan lebih mudah dan lebih nyaman. Selain itu hal yang perlu diperhatikan dalam Focus Group Discussion adalah khalayak sasaran harus homogen. b. Peserta mempunyai karakteristik yang homogen. Homogenitas menjadi salah satu dasar pemilihannya. Peserta diskusi dipilih karena mempunyai persamaan pengalaman, profesi, gender, usia, status dan sebagainya. Disamping itu peserta mempunyai kepentingan dengan permasalahan yang akan dibahas. c. Informasi yang diambil dalam diskusi bukan yang bersifat konsensus atau rekomendasi untuk mengambil keputusan. Melainkan informasi mengenai sikap, persepsi dan perasaan peserta yang berkaitan dengan topik diskusi yang diperlukan penulis. d. Data yang dihasilkan adalah data kualitatif yang dapat memberikan gambaran dan pemahaman atas sikap, persepsi dan perasaan peserta. Hasil ini akan diperoleh melalui pertanyaan terbuka yang memungkinkan peserta merespon dengan cara mereka sendiri. Disini peneliti dapat berperan sebagai moderator, pendengar, pengamat dan akhirnya menganalisis secara induktif. e. Pertanyaan diajukan dengan cara yang mudah dimengerti oleh peserta, spontan, logis, dengan menekankan pemahaman atas proses berpikir dari peserta atas topik yang didiskusikan.

F. Analisis Data Analisis data Focus Group Discussion (FGD) merupakan proses analisis yang dapat digambarkan sebagai kontinum yang diawali dari tahap-tahap berikut ini (Krueger, 1998).

Raw data

Description statetment

Interpretation

Raw data adalah satu sisi kontinum berupa penyajian dari data mentah, yaitu pernyataan-pernyataan yang tepat dan teliti dari peserta focus group discussion, ketika mereka menjawab topik-topik yang diangkat dalam diskusi. Descriptive statement yang merupakan pusat kontinum adalah pernyataanpernyataan deskriptif, ringkasan dari pernyataan responden. Dengan

mengembangkan model ini maka peneliti diharuskan membuat deskripsi singkat dari data mentah yang disertai oleh gambaran-gambaran contoh dari data tersebut. Jika penyajian data mentah bersisi semua jawaban, maka keterangan deskriptif ini merupakan penyederhanaan bagi pembaca dengan memberikan bagian-bagian yang penting dan menonjol saja. Keputusan tentang bagian mana yang akan dipergunakan terkadang menimbulkan masalah bagi peneliti, maka pemilihan ini harus berdasarkan maksud dan tujuan dari penelitian. Jika penelitian bertujuan untuk menjelaskan pendapat-pendapat yang luas dan berbeda maka contoh-contoh harus dipilih berdasarkan tujuan tersebut. Dilain hal jika tujuannya adalah menjelaskan hal-hal yang spesifik, umum, atau bagaimana partisipan bereaksi secara biasa maka peneliti tidak boleh memasukkan komentar-komentar yang tidak umum. Interpretation atau penafsiran adalah peranan yang sangat rumit bagi peneliti. Bagian penafsiran dari kontinum ini dibentuk dari proses deskriptif dengan menjelaskan arti dari data, bukannya ringkasan dari data. Meskipun proses penjelasan deskriptif ini menghasilkan kesimpulan, tetapi tujuan dari tahap ini adalah hanya untuk memberikan penjelasan.

VI. HASIL DAN ANALISIS PENYEBAB MASALAH

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian:

Kecamatan Pekuncen merupakan salah satu bagian wilayah Kabupaten Banyumas dengan luas wilayah 130 Km2. Terbagi dalam 16 desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Pekuncen. Desa Cikawung merupakan desa yang mempunyai wilayah paling luas yaitu sekitar ; 39,3 Km2. Sedangkan desa Pasiraman Kidul merupakan desa yang paling sempit wilayahnya yaitu : 0,79Km2. Pada penelitian ini lokasi yang diambil adalah desa TumiyangRW II kecamatan Pekuncen BanyumasB. Hasil

VII. ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

VIII. RENCANA KEGIATAN (PLAN OF ACTION)

Rencana Pelaksanaan Kegiatan 1. Latar Belakang 2. Tujuan 3. Bentuk Kegiatan 1. Nama Kegiatan Kenali Hipertensi Sedini Mungkin 2. Sasaran Semua usia lanjut, terutama yang mempunyai riwayat hipertensi di desa Tumiyang RW II Kecamatan Pekuncen Kabupaten Banyumas. 3. Pelaksanaan Tempat Waktu Hari/Tanggal 4. Pokok kegiatan Jenis kegiatan a. b. c. 5. Pemeriksaan Tekanan Darah Penyuluhan tentang Hipertensi dan Komplikasi Senam Lansia : Aula Balai Desa Desa Tumiyang : Pukul 09.00 WIB-selesai :........./..............

Alat & Sarana Alat a. Tensimeter b. Stetoskop c. Timbangan Badan d. Sound sistem e. Alat peraga penyuluhan Sarana a. Aula b. Kursi, meja

6.

Pelaksana Penanggungjawab Kegiatan : dr. Sri Setyati Yulia Pembimbing Tim Pelaksana : dr. Yudhi Wibowo : 1. Rizki Astuti

1. Mustofa 2. Luvita 7. Rencana Anggaran a. Pemasukan : Danus b. Pengeluaran Perlengkapan : Sound system Pamflet Konsumsi Dekorasi Keamanan : Rp. 50.000,: Rp. 300.000,-

: Rp. 50.000,: Rp. 50.000,: Rp. 100.000.: Rp. 50.000,-

IX. LAPORAN HASIL PELAKSANAAN

DAFTAR PUSTAKA Khalil, H.H. Hypertension in elderly Egyptians. 1996. Eastern Mediterranean Health Journal Vol 2 [serial online]: 206-10. Hasan, R.2006. Hypertension Urgency and Emergency dan Abstract & Procceding 11 NCIHA and 15th ASHIMA. Departement of Cardiologi, Medical School USU Medan. Vita Health. 2004. Hipertensi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Annemans, L., Nadia Demarteau, Shanlian Hu, Tae-Jin Lee, Zaher Morad, Thanom Supaporn, Wu-Chang Yang, Andrew J. Palmer (2008). "An Asian Regional Analysis of Cost-Effectiveness of Early Irbesartan Treatment versus Conventional Antihypertensive, Late Amlodipine, and Late Irbesartan Treatments in Patients with Type 2 Diabetes, Hypertension, and Nephropathy." Value In Health II Nomer 3: 354-364 Balakumar, P., Mandeep Kumar Arora, Manjeet Singh (2009). "Emerging role of PPAR ligands in the management of diabetic nephropathy." Pharmacological Research xxx: xxxxxx. Fauci, A. S., Braunwald Eugene, Kasper Dennis, Hauser Stephen, Longo, Larry Jameson, Joseph Loscalzo. (2008). Harrison's Principles Of Internal Medicine Seventeenth Edition. United States of America, The McGraw-Hill Companies. Yamagishi, S., Nakamura, K., dan Telmisartan. 2006. Its Potential Therapeutic Implications in Cardiometabolic Disorders. Recent Patents on Cardiovascula Drug Discovery; 1: 79-83. Schupp, M., et al. 2004. Angiotensin 1 receptor blockers induce peroxisome proliferators-activated receptor-gamma activity. Circulation: 2054-2056. Kurtz, W.T. dan Prevenec, M. 2005. Antidiabetic mechansm of ACE Inhibitors and all receptor antagonist: Beyond the rennin angiotensin system. Journal of Hypertension; 22 (12):2253-2261. Haffner, S.M. et al. 1998. N Engl J Med;339:229234. Benson, S. et al. 2004. Identification of temisartan as a unique angiotensin receptor antagonist with elective PPAR-g modulating activity. Hypertension 2004. 43: 931002. Litosseliti, L. 2003. Using Focus Group in Research. Continuum London. Krueger, Richard A. 1998. Focus Group A Practical Guide for Applied Research. SAGE Publication, Inc. Newbury Park, California.

Nama Usia Alamat

: : :

Status Obstetri :

Pertanyaan 1. Alasan untuk melakukan ANC, seberapa perlunya dilakukan ANC dalam kehamilan? 2. Mengapa perlu dilakukan ANC dan kemana sebaiknya melakukan ANC? 3. Seberapa sering ANCharus dilakukan, apakan fungsinya? 4. Apakah ANC harus dilakukan sesering mungkin, kenapa? 5. Apakah setelah melakukan ANC, ibu mengetahui masalah-masalah di dalam kehamilannya? 6. Apa yang harus dilakukan setelah ibu mengetahui problem dalam kehamilan?

1. Apakah ada kaitannya antara hipertensi dan diabetes melitus? Jika ada, bagaimana kaitan atau hubungan kedua penyakit tersebut? 2. Apakah ada dampak jika seseorang mengidap hipertensi dan diabetes melitus sekaligus? Jelaskan? 3. Apa yang perlu dilakukan pada pasien hipertensi dan diabetes melitus? Jelaskan! 4. Apa saja hal yang sudah Anda lakukan dalam mengendalikan penyakit Anda? Apakah ada hambatan dalam pengendalian penyakit Anda? Apa saja? 5. Bagaimana cara mengatasinya hambatan yang ada?