cerpen - mitrajayausaha.files.wordpress.com · cerpen “S ial!! Hujan semakin deras!” pekikku...

7
cerpen Sial!! Hujan semakin deras!” pekikku dalam ruangan kerja yang mulai sepi. Kulirik jam tanganku, jarum jam menunjuk angka 11. Tapi pekerjaanku masih menumpuk dan baru 45% aku menyelesaikannya. Perutku yang keroncongan kutahan sedari tadi demi pekerjaan yang harus dipresentasikan pada meeting besok. Isi dompetku mulai menipis seiring hari berlalu, jadi aku tak membawa banyak uang untuk pulang naik taksi. Aku semakin kesal tatkala mendengar detik jam yang terus membuat malam ini semkin gelap. Rumahku sangat jauh dari kantor. Sepertinya aku akan bermalam di kantor lagi. Huh!!! ***** “Woy…Bangun!” akibat ulah Fredi, aku jadi gelagapan kaget dan bangun. Hampir saja tubuh rampingku ini terbanting ke lantai marmer saking kagetnya. “Apaan sih? Rese banget!” umpatku sembari membersihkan cairan kental yang masih menempel di pipi. “Yaelah, Dina! Pake ngiler segala! Udah sono bersihin dulu tuh iler!” ujar Fredi. Aku bergegas menuju toilet kantor. Well, Fredi adalah sahabat sekaligus rekan kerjaku. Dia yang membantuku masuk bekerja di sebuah kantor advertisement. Belum lama aku kerja di kantor ini, baru sekitar lima bulan. Aku memandangi wajahku di depan cermin toilet. Aku tersenyum, merasa diriku memiliki kesan cantik. Bibirku mungil, mata bulat lebar, dan hidung mancung. Aku jadi merasa mirip Selena Gomez, sang penyanyi idolaku. Dengan wajah seperti ini, aku semakin optimis mendapatkan perhatian Pak Karel, manajer utama di kantorku. Sejak awal bekerja, aku telah menaruh hati padanya. Ia seorang pria muda tampan berdarah Inggris. Aku semakin 24 GESMAJA - Edisi 72 Orang yang menjaga lidah dan mulut adalah menjaga jiwanya By: Anonim

Transcript of cerpen - mitrajayausaha.files.wordpress.com · cerpen “S ial!! Hujan semakin deras!” pekikku...

Page 1: cerpen - mitrajayausaha.files.wordpress.com · cerpen “S ial!! Hujan semakin deras!” pekikku dalam ruangan kerja yang mulai sepi. Kulirik jam tanganku, jarum jam menunjuk angka

cerpen

“Sial!! Hujan semakin deras!” pekikku dalam ruangan kerja yang mulai sepi.

Kulirik jam tanganku, jarum jam menunjuk angka 11. Tapi pekerjaanku masih menumpuk dan baru 45% aku menyelesaikannya. Perutku yang keroncongan kutahan sedari tadi demi pekerjaan yang harus dipresentasikan pada meeting besok.

Isi dompetku mulai menipis seiring hari berlalu, jadi aku tak membawa banyak uang untuk pulang naik taksi. Aku semakin kesal tatkala mendengar detik jam yang terus membuat malam ini semkin gelap. Rumahku sangat jauh dari kantor. Sepertinya aku akan bermalam di kantor lagi. Huh!!!

*****“Woy…Bangun!” akibat ulah Fredi, aku jadi gelagapan

kaget dan bangun. Hampir saja tubuh rampingku ini terbanting

ke lantai marmer saking kagetnya.“Apaan sih? Rese banget!” umpatku sembari

membersihkan cairan kental yang masih menempel di pipi.“Yaelah, Dina! Pake ngiler segala! Udah sono

bersihin dulu tuh iler!” ujar Fredi. Aku bergegas menuju toilet kantor.

Well, Fredi adalah sahabat sekaligus rekan kerjaku. Dia yang membantuku masuk bekerja di sebuah kantor advertisement. Belum lama aku kerja di kantor ini, baru sekitar lima bulan.

Aku memandangi wajahku di depan cermin toilet. Aku tersenyum, merasa diriku memiliki kesan cantik. Bibirku mungil, mata bulat lebar, dan hidung mancung. Aku jadi merasa mirip Selena Gomez, sang penyanyi idolaku. Dengan wajah seperti ini, aku semakin optimis mendapatkan perhatian Pak Karel, manajer utama di kantorku. Sejak awal bekerja, aku telah menaruh hati padanya. Ia seorang pria muda tampan berdarah Inggr is. Aku semakin

24 GESMAJA - Edisi 72

Orang yang menjaga lidah dan mulut adalah menjaga jiwanya

By : Anonim

Page 2: cerpen - mitrajayausaha.files.wordpress.com · cerpen “S ial!! Hujan semakin deras!” pekikku dalam ruangan kerja yang mulai sepi. Kulirik jam tanganku, jarum jam menunjuk angka

cerpen

mengaguminya dengan sikapnya yang bijaksana, konsisten, dan professional. Sayang, dia sangat cuek. Aku belum melihat ia tertarik padaku. Mungkin aku hanya karyawan biasa yang tak begitu menarik perhatiannya.

*****Hari demi hari berlalu. Roda kehidupan memang selalu

berputar. Tak kusangka, bahkan masih sulit kupercaya, kini hubunganku dengan Pak Karel semakin dekat sejak ia menyukai ide-ideku yang berhasil menarik banyak customer. Ia bahkan mengangkatku sebagai leader team pada setiap meeting pembuatan iklan. T a k h a n y a i t u , i a menyuruhku memanggilnya 'Karel' saja saat di luar jam kantor, supaya lebih akrab katanya. Aku pun tak melihat sifat cueknya lagi.

Rasa GR-ku mulai kambuh, aku merasa bahwa kedekatan kami m e n u n j u k k a n ketertarikannya padaku. Aku merasa ia menaruh hati padaku. Namun entah m e n g a p a , s e i r i n g kedekatan hubunganku dengan Karel, aku juga melihat perubahan sikap Fredi. Ia semakin menjauh dariku. Bahkan, ia terlihat tak senang tiap kali bertemu Karel.

Suatu hari, aku seperti bermimpi dapat menerima ajakan dinner oleh Karel, di restoran elit pula. Kupersiapkan segalanya untuk itu. Aku ingin tampil secantik mungkin di depan Karel. Aku ingin malam ini menjadi special momentku dengannya.

*****Kulihat jam tanganku sekali lagi. Hampir lima belas

menit aku duduk mematung di kursi restoran. Karel tak kunjung tiba. Selang beberapa detik, aku dikagetkan oleh Fredi yang menepuk bahuku dari belakang. Cowok satu ini memang suka mengagetkanku, huh!

“Fredi? Kok kamu di sini?” tanyaku.“Dina, aku mau ngomong sesuatu” Fredi mengalihkan

pembicaraan. Wajahnya tampak sangat serius. Aku hanya mengangguk mempersilakan.

“Sudah lama kupendam ini, aku nggak berani mengungkapkan karena kamu sahabatku. Tapi aku nggak bisa nahan ini lagi semenjak kamu semakin dekat dengan Pak Karel.” Ujar Fredi. Aku mengerti arah pembicaraan Fredi.

“Dina, I love you. Lebih dari sahabat. Malam ini, aku

nggak mau kamu jadian sama Karel. Itu sebabnya aku ngomong duluan.” Lirih Fredi. Ia menatapku lekat. Namun mulutku seperti terkunci. Aku tak mampu mengatakan apa pun. Aku tak percaya Fredi mencintaiku.

“Hey, Fredi juga di sini?” suara Karel membuyarkan tatapan kosongku pada Fredi. “Maaf ya, Din. Tadi di jalan macet. Jadi telat deh.” Lanjutnya.

“Nggak apa apa kok, Rel” jawabku pelan.“Fred, kamu datang ke sini sendirian?” Tanya

Karel.“Sendiri. Saya hanya ingin

mengutarakan isi hati saya pada wanita yang saya cinta, Dina.” Ucap Fredi tegas sambil menatapku. Aku semakin menjadi tak menguasai keadaan ini. Aku diam seribu bahasa atas sikap Fredi yang sangat agresif.

“Apa maksud kamu? Kamu nembak Dina?” Karel memastikan. Wajahnya sedikit gusar. Fredi hanya mengangguk.

“Dina, sebenarnya aku juga sangat mencintaimu. Tapi kuserahkan semua keputusan padamu” ujar Karel lirih. Tatapannya sangat dalam padaku.

Memang sudah lama aku menginginkan hubungan spesial dengan Karel. Tapi tidak dengan situasi membingungkan seperti ini. Aku ingin menerima cinta Karel. Tapi aku tak bisa menyakiti Fredi, sahabatku.

“Apa pun keputusanmu, akan kuterima” ujar Fredi padaku.

“Maafkan aku, Fredi” aku memberanikan diri bicara, “Aku mencintai Karel. Aku menyayangimu, tapi sebatas sahabat. Berat rasanya berada dalam posisi seperti ini. Aku tak ingin melukaimu atas penolakanku. Maaf, Fred” jawabku. Aku tak berani menatap wajah Fredi.

“Jika itu keputusanmu, aku terima asal kau bahagia bersama Pak Karel” jawabnya pelan. Ia mengalihkan pandangan pada Karel.

“Jaga cintaku dengan baik. Kupercayakan Dina padamu” ucap Fredi pada Karel. Ia tersenyum lalu pergi meninggalkan kami berdua.

“Dina, aku sangat senang mendengar keputusanmu” Karel meraih kedua tanganku dan menatapku lekat, “Jadi, kamu mau kan, jadi pacarku?” lanjutnya.

Aku gembira mendengar ucapan Karel. Jantungku serasa berdegup seratus kali lebih kencang. Aku tak dapat menguasai diriku. Aku mengangguk kepala mengiyakan. Spontan Karel memelukku erat dan membelai rambutku. Malam ini benar-benar menjadi my special moment in my life. Maafkan aku, Fredi. Ini yang terbaik untuk kita.

25GESMAJA - Edisi 72

Orang yang menabur kejahatan akan menuai bencana

Page 3: cerpen - mitrajayausaha.files.wordpress.com · cerpen “S ial!! Hujan semakin deras!” pekikku dalam ruangan kerja yang mulai sepi. Kulirik jam tanganku, jarum jam menunjuk angka

cerpen

Aku tak pernah menyangka bisa duduk di kursi ini

dan bersanding dengan ratusan wartawan asing

sebelumnya. Bahkan, aku masih tak percaya tanda

pengenal wartawan VOA (Voice of America) menggantung manis di

leherku.

Ruangan besar dan luas ini tak mampu membuatku

bertahan dari dinginnya salju di bulan Nopember. Kupeluk erat

tubuhku, tak kusangka malam ini sangat dingin sehingga sengaja

tak kubawa mantel bulu domba kesayanganku. Malam ini akan

menjadi malam terdingin sepanjang riwayat hidupku.

“Sir, it's your time” seorang wartawan asal Singapura

menepuk bahuku.

Aku semakin gugup, tapi aku mencoba yakin dan mulai

berjalan menuju mimbar. Mataku menelusuri tiap sudut ruangan di

hadapanku. Seluruh wartawan dari berbagai negara nampak

menungguku membuka mulut.

*****

The International Conversation of Journalist usai tepat

tengah malam dan semua wartawan dipersilakan menyantap

hidangan khas negara tuan rumah, Inggris. Sebuah piring lebar tipis

tepat diadapanku. Namun dapat kuperkirakan aku akan selesai

menyantap hidangan itu dalam empat suap. Porsi yang sangat kecil

untuk perutku yang keroncongan. Sangat kontras dengan porsi

makanku yang seperti porsi makan pekerja kuli bangunan.

Aku duduk di samping seorang wartawan wanita berwajah

oriental. Wajahnya mengingatkanku pada semua tentang masa-

masa indah di kampung halamanku, Indonesia. Sejenak aku sadar

betapa telah lima tahun kutinggalkan Indonesia demi

profesionalitas kerja di negeri orang.

“Hi! let me know yourself, where are you come from?”

Dengan modal rasa penasaran, aku meberanikan diri bertanya

pada wanita muda itu.

“Oh, I'm Ratna, from Indonesia” jawab wanita itu

lembut. Senyumnya menyungging.

“Indonesia? Oh, saya Rafli Prabudipura,

wartawan VOA tapi asli orang Indonesia” kataku

bersemangat sambil menunjukkan tanda pengenalku.

“Oh, ya? Wow! hebat sekali Anda bisa menjadi

wartawan radio terkenal itu, Pak”

“Ah, hanya kebetulan. Tapi jangan panggil

'pak', cukup Rafli saja biar terkesan akrab. Kan,

sesama orang Indonesia”

Percakapan kami berlangsung hangat meski

baru mengenal satu sama lain. Berbicara dengan

Ratna seperti berbicara dengan keluargaku sendiri di

Indonesia. Aku juga tahu banyak tentang

perkembangan Indonesia melalui Ratna. Sejenak, aku

merasa nyaman dengan sosok wanita muda itu. Meski

baru mengenalnya, namun gaya bahasa Ratna

menunjukkan bahwa ia adalah wanita yang cerdas,

ambisius, plus cantik. Aku pun tertarik untuk

mengenalnya lebih jauh.

*****

Tiga Hari Kemudian

Aku tak bisa menahan air mata. Aku tak kuasa melihat

ibu terbaring lemah di ruang operasi. Aku tak akan memalingkan

pandangan dari balik kaca pintu untuk terus memantau ibu,

namun aku tak mampu menahan kesedihan yang terus

membara dalam hati. Pikiranku kacau tak karuan. Semua

berkecamuk jadi satu. Hatiku sangat panas. Sangat ingin

memuntahkan semua samudra kepedihan yang muncul berbait

dalam kalbuku yang lemah.

“Ibu demam tinggi tiga hari terakhir. Aku kira hanya

kecapekan biasa.” Suara adikku dari belakangku sedikit

mengagetkan. Aku segera membalikkan badan.

“Apa yang terjadi? Kenapa kau tak mengabari abang,

Sharon?” desisku kecewa.

“Aku mengabari abang jika aku tahu soal ini. Abang

tahu sendiri, ibu sangat keras kepala. Ibu tak pernah

memberitahuku bahwa telah mengidap kanker payudara,

hingga sekarang telah stadium tiga.” Jelas Rosa panjang lebar.

Aku semakin terpuruk mendengar pernyataan Sharon.

Aku hampir putus asa dengan kesembuhan ibu. Aku merasa

bersalah telah pergi ke negara orang demi mengejar cita-cita

tanpa memerhatikan kesehatan ibu.

Aku yang melemah mencoba tegar dan menyandarkan

tubuh di kursi depan ruang operasi bersama Sharon. Suasana

hening sejenak. Hanya selang beberapa detik, kudengar suara

langkah kaki tergesa-gesa. Kualihkan pandangan pada sumber

You're My Angel, RatnaBy : Nana Red

26 GESMAJA - Edisi 72

Orang yang menolak agama adalah orang tercelaka

Page 4: cerpen - mitrajayausaha.files.wordpress.com · cerpen “S ial!! Hujan semakin deras!” pekikku dalam ruangan kerja yang mulai sepi. Kulirik jam tanganku, jarum jam menunjuk angka

cerpen

suara itu. Dari jarak yang cukup jauh, kulihat sosok gadis

mengenakan minidress merah jambu setengah berlari kearahku

dan Sharon. Aku tak begitu jelas melihat wajahnya karena aku

lupa mengenakan kacamata minusku akibat tergesa-gesa

menuju rumah sakit. Namun, perawakan gadis itu seperti pernah

kukenal. Aku tak begitu asing dengan gadis itu.

“Kak Ratna!” adikku menyapa si gadis. Gadis itu

semakin mendekat dan aku pun semakin jelas melihat wajahnya.

Astaga! Dia Ratna! Wartawan yang kujumpai saat makan malam

konversasi elit para wartawan itu! Mengapa dia di sini? Mengapa

Sharon mengenalnya?

“Bagaimana keadaan ibumu, Sharon?” Kerut dahi

Ratna sangat menunjukan empati. Ia mengalihkan pandangan

padaku.

“Rafli Prabudipura, wartawan VOA! Kau kah itu?” Ia

bertanya padaku.

“Ya, aku Rafli, abangnya Sharon” Jawabku datar. Masih

heran dengan semua kebetulan ini.

“Jadi kalian telah saling kenal?” Timpal Sharon

mengernyitkan kening.

*****

Dua Minggu Kemudian

Awan mendung seakan turut melampiaskan bela

sungkawa atas kepergian wanita yang telah mengandungku

sembilan bulan. Angin mengayun semilir bak mencoba

mengisyaratkanku untuk tetap tegar.

Semua telah meninggalkan pemakaman. Hanya aku,

Sharon, dan Ratna yang masih setia menemani peristirahatan

terakhir ibu dengan beratap awan yang menghitam. Sharon tak

henti-hentinya menangis dan memeluk batu nisan ibu, sesekali ia

menciumnya. Aku mencoba tegar menghadapi semua ini.

Dua tahun aku tak pulang ke Indonesia karena

kesibukanku sebagai wartawan. Dua tahun aku tak berjumpa ibu

dan Sharon. Tapi kini, semua telah dipertemukan kembali dalam

balutan kesedihan.

“Sudahlah, Raf. Ikhlaskan ibumu. Semua sudah takdir

Tuhan” Ratna menenangkanku.

Aku menatap wajah Ratna lekat. Ia wanita lembut dan

penuh kasih. Anak seorang pengacara di Jakarta. Ayahnya

kawan akrab ibuku. Ia mengirim Ratna ke Jogja untuk membantu

merawat ibuku yang sering sakit.

*****

Empat Bulan Kemudian

“Dunia ini sangat lucu. Aku mengenalmu di dua Negara

berbeda.” Ujarku sembari meneguk segelas teh hangat di

beranda rumah Ratna. Udara pagi ini masih basah oleh embun

yang sejuk. Kicauan merdu sang Merpati turut mengindahkan

ketenteraman hati meski masih sebenarnya masih terbalut

kepedihan atas kepergian Ibu.

“Di Inggris, aku mengenalmu sebagai wartawan

cerdas. Di Indonesia, aku mengenalmu sebagai wanita lembut

dan baik hati” lanjutku.

“Kau ini ada-ada saja, Raf!” Jawab Ratna tersenyum.

Lukisan senyum di wajahnya yang indah semakin membuatku

terpana.

“Ratna, aku sangat berterimakasih padamu. Kau rela

ke Jogja demi merawat ibu.”

“Ah, sudahlah. Memang kita harus saling menolong.

Lagipula, orang tua kita kan teman akrab. Aku tak bisa

membiarkan Sharon bersusah payah merawat ibumu. Dia juga

harus kuliah”

“Tapi gara-gara ini, kau meninggalkan pekerjaanmu

sebagai wartawan. Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa

cita-cita kau sedari dulu adalah menjadi wartawan cemerlang?”

Ratna tersenyum kecil. Ia tak menjawab sepatah kata

pun. Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku akan

mengutarakan semuanya. Semua tentang perasaanku pada

Ratna sejak awal bertemu.

“Ratna, pulanglah ke Jakarta” Ujarku.

“Aku memang tak lagi bisa merawat ibumu. Jadi,

mungkin ya.”

“Bukan itu maksudku. Aku ingin kau pulang ke Jakarta

bersamaku”

“Bersamamu?” Ratna mengerutkan dahi.

“Aku akan menghadap ayahmu. Mengatakan bahwa

aku ingin menikahi putrinya”

“Rafli, kau….” Suara Ratna meredup. Sorot matanya

menampakan sebuah kepastian.

“Ya. Aku mencintaimu” aku memotong perkataan

Ratna. “Aku akan berlutut dengan satu kaki di hadapanmu

dengan sebuah cincin suci.”

Aku mengeluarkan cincin emas bermata berlian dari

kantong celana dan kutaruh lembut di jari manis Ratna. Ia

memberiku senyum indah. Dua bola matanya mulai mengkilap

bercahaya. Ia terlihat sangat gembira. Aku tahu dia juga

mencintaiku.

“Shandita Ratna Delise, aku berjanji akan mencintai

dan menjagamu selamanya. Will you marry me?” aku mencium

tangan Ratna dengan penuh kasih.

“Ya.. aku, aku mau menikah denganmu, Rafli

Prabudipura” Ratna tampak gugup.

Aku sangat bahagia mendengar jawaban Ratna. Aku

memeluknya erat dan mencium rambutnya. Cinta kami bersemi

hari ini. Dan beranda rumah Ratna menjadi saksi cinta suci

kami. Tuhan, terima kasih telah mengirimku bidadarimu. Aku

akan menjaganya sepenuh hati. Aku yakin ibu pasti sangat

bahagia di sana. Thanks God, You've send me your special

angel!!!27GESMAJA - Edisi 72

Satu kata bagi orang bijak sudah cukup

Page 5: cerpen - mitrajayausaha.files.wordpress.com · cerpen “S ial!! Hujan semakin deras!” pekikku dalam ruangan kerja yang mulai sepi. Kulirik jam tanganku, jarum jam menunjuk angka

cerbung

Cerita Sebelumnya

"Kamu harus kesana Shania, karena Rendi lagi berantem sama Toni!" Aku terkejut mendengar jawaban Dea, tanpa basi-basi Dea menarik tanganku sehingga aku terpaksa mengikutinya.

Saat tiba di lapangan, aku melihat Rendi dan Toni bersemangat baku hantam. Di sudut lain aku melihat Risa, pacar Toni. Risa terlihat ketakutan. Matanya menunjukkan sebuah jawaban atas pertengkaran dua lelaki yang kukenal itu. Aku jadi paham apa penyebab dari perkelahian ini.

BUG!Pukulan itu melayang tepat di wajah Toni, hingga sudut bibir Toni mengeluarkan darah segar. Tampaknya Rendi masih belum puas dengan keadaan Toni yang melemah.

"STOP!" Pekik Risa yang melihat Rendi akan melayangkan satu pukulan lagi pada wajah Toni, Rendi menghentikan aksinya.

"Toni, kamu gak apa apa??" Tangis Risa pecah saat melihat keadaan Toni.

"Kamu salah paham Ren, aku gak pernah suka sama kamu, aku gak pernah anggap kamu lebih dari teman. Toni masih pacar aku Ren, wajar ia melakukan ini karena kamu selalu deketin aku!" Jelas Risa dengan air mata menetes di pipinya. Suaranya tak begitu jelas oleh tangisnya yang semakin menjadi. Rendi terdiam

mendengar penuturan Risa.Aku dan Dea masih berdiri di t e m p a t . D e a m e n a r i k t a n g a n k u u n t u k meninggalkan lapangan yang sudah tak berpenghuni kecuali Rendi yang masih b e r d i r i m e m a t u n g , i a menatapku sendu. Aku s e g e r a m e m a l i n g k a n wajahku.*****" H a i ! " S u a r a i t u m e n g e j u t k a n k u , a k u m e n g a n g k a t w a j a h k u m e n c o b a m e m a s t i k a n apakah tebakanku benar." Bisa minta waktunya sebentar ? Cuma sebentar, please." Ucapnya memohon, aku menghela napas dan menutup bukuku.

" Ada apa lagi Ren?" Tanyaku dengan tatapan kosong ke depan. Jenuh dengan cowok satu ini.

" Aku mau tanya, tapi aku minta kamu jujur. Apa kamu masih menganggapku pacar ??" Pertanyaan konyol yang pernah kudengar, bagaimana bisa ia bertanya seperti itu dengan status kami yang masih pacaran walau tidak pernah lagi bersama karena ulahnya.

" Terus apa yang kamu mau?? Kamu mau pastikan hubungan kita berakhir agar kamu tidak merasa bersalah kalau kamu jalan sama cewek lain?" Tanyaku

" Bukan, Sha. Aku ingin memperbaiki semuanya dan menebus kesalahanku selama ini, itu pun kalau kamu mau memulai lagi dari awal. Dan harus kamu tahu, perempuan yang waktu itu kamu lihat bukan selingkuhanku. Dia sepupuku, Sha." Jelasnya

" Aku nggak peduli siapa dia. Dan kamu juga harus tahu, nggak mudah memaafkan cowok kayak kamu. Bukan kali pertama kamu mengucapkan hal ini, tapi kamu sering mengulangi lagi. Aku sadar aku cewek bodoh yang mau bertahan sampai saat ini meski kamu selalu menyakitiku. Tapi aku gak pernah menyalahkan kamu Ren, karena hati gak bisa dipaksakan. Aku ikhlas kalau kamu mau akhiri

BERTAHAN

By : Irul Red

28 GESMAJA - Edisi 72

Hanya orang berdosalah yang akan menerima siksa

Page 6: cerpen - mitrajayausaha.files.wordpress.com · cerpen “S ial!! Hujan semakin deras!” pekikku dalam ruangan kerja yang mulai sepi. Kulirik jam tanganku, jarum jam menunjuk angka

hubungan kita" Ucapku dan beranjak dari duduk, ingin pergi.

Namun Rendi menahan tanganku, menarik tubuhku dalam pelukannya. Memintaku tidak pergi meninggalkannya, EGOIS! Itulah kata yang pantas untuknya.

“Aku cinta kamu, Sha. Aku gak mau kehilangan kamu dalam hidupku. Aku sadar cuma kamu yang bisa menerima aku apa adanya. Cuma kamu yang tulus menyayangi dan mencintaiku, cuma kamu yang sabar menghadapai sikapku selama ini." Tangisku semakin menjadi mendengar ucapan yang keluar dari mulut Rendi, seorang playboy akut menurutku.

Aku diam seribu bahasa, yang terdengar hanya isak tangisku. Aku berada dalam sebuah pilihan yang memojokkanku. Aku ingin keluar dari segala permasalahan menyakitkan hubungan ini. Namun aku juga takut kehilangan Rendi karena aku sangat mencintainya. Aku melihat satu penyesalan dan ketulusan dari matanya, membuat keraguanku sirna.

" Jika kamu mengulanginya??" Tanyaku menatap matanya yang sayu." Aku siap untuk kamu tinggalin walau sebenarnya aku gak

cerbung

mau sampai hal itu terjadi." Jawabnya, senyum mengembang di bibirku.

" Aku kasih kamu kesempatan Ren. Tapi jika kamu mengingkari, jangan salahkan aku jika aku harus pergi selamanya." Ucapku, terpancar wajah bahagia saat ia mendengar jawabanku. Mungkin ini memang yang terbaik.

Sejak hari itu, hubunganku dan Rendi kembali membaik, bahkan lebih baik dari 2 tahun yang lalu. Seperti ABG yang baru merasakan jatuh cinta, seperti itulah sikap Rendi padaku. Aku sangat bahagia dengan perubahan Rendi yang membuktikan janji yang ia ucapkan.*****

H a r i i n i s a a t y a n g k u n a n t i , pengumuman kelulusan SMA. Aku dan Rendi gelisah menunggu hasil akhir, begitu pun Dea. Kertas putih itu sudah berada di tangan kami. Kami membuka lipatan kertas yang menentukan masa depan kami. Aku membuka perlahan kertas itu dan seketika senyum mengembang di bibirku saat aku menemukan kata "LULUS" di lembaran kertas yang ada di tanganku

" Yeeay, aku lulus!" Ucap kami kompak dan berpelukan.

Selamat datang bahagia selamat tinggal kesedihan, kini usaha ku untuk bertahan menjalin hubungan dengan seorang playboy tidak sia-sia, karena Rendi benar-benar berubah dan sangat mencintaiku.

Aku tak pernah tahu rencana Tuhan. Tapi aku percaya bahwa Tuhan selalu berlaku adil. Jika ada kesedihan maka akan ada kebahagiaan seperti yang dijanjikan. Terimakasih Tuhan, untuk semua kekuatan dan ketegaran yang kau berikan padaku untuk melewati semua masa kelam dalam hidupku. Kini aku bahagia bersama orang yang kucinta dan mencintaiku.

29GESMAJA - Edisi 72

Jagalah masa hidup sebelum datang masa kematian

Page 7: cerpen - mitrajayausaha.files.wordpress.com · cerpen “S ial!! Hujan semakin deras!” pekikku dalam ruangan kerja yang mulai sepi. Kulirik jam tanganku, jarum jam menunjuk angka

gombalan

A : Kemarin aku ke dokter, check up. Kamu tahu dokter bilang apa?B : Apa? Parah?A : Aku harus dioperasi karena ada kamu dihatikuB : Hah??A : Iya, katanya saking parahnya cintaku padamu

By: X-3

Cowok : eh , maaf kayaknya aku curiga deh sama kamu .Cewek : curiga kenapa emangnya ??Cowok : curiga , kayaknya kamu yang udah nyimpen tulang rusuk aku yang hilang :DCewek : ???? #cuek2 aja

By: Johan XI-IPA-1

Cowok : Yank, kamu itu kayak kopiCewek : Kok bisa?Cowok : Iya, yank. Item-item tapi banyak yang nyariCewek : Ah, kamu yang.bisa aja deh (tersipu malu)

By: Item,e X-2

Ujian DitundaSeorang guru sedang mengawasi ujian di suatu kelas. Ia memerhatikan Joni yang sedari tadi nampak ngantuk.Guru : Jon, kamu lesu banget. Ngantuk ya?Joni : Maaf pak. Semalam saya tidak bisa tidurGuru : Kalau gitu ujian kamu ditunda minggu depanJoni : Kenapa, pakGuru : Tidur saja nggak bisa apalagi mengerjakan soalBy : X2

Tukang becak VS KuntilanakSuatu malam, seorang tukang becak hampir putus asa karena belum dapat penumpang sama sekali. Saat ia hendak pulang, tiba-tiba bertemu seorang wanita berrambut panjang, “Asik! Ada penumpang nih” bisik si Tukang becakTkg Becak : Mau naik becak neng?Wanita : Anterin ke sana ya bang (jawab si wanita datar)(setelah berlama-lama mengayuh becak. Tapi si wanita tak kunjung minta berhenti)Wanita : Bang, anterin ke kuburan ya.(Si tukang becak sangat curiga. Dan benar saja, saat dilihat wanita itu, ia memang kuntilanak. Kakinya tak menyentuh tanah. Si tukang becak sangat takut dan berdoa supaya bisa cepat kabur. Tapi si tukang becak tak pernah tahu macam-macam doa. Ia hanya tahu satu doa, yaitu doa mau makan)Tkg becak : Allahuma barik lanaa fiima razaqtanaa wa qinaa adzabannarKuntilanak : Eh, enak aja lo! Lo mau makan gue?Tkg becak : Ya Allah, lindungi hambaKuntilanak : Susah kalau ganggu manusia. Dikit-dikit ngadu, dikit-dikit ngadu. Huh!Tkg Becak : Ya Allah, dia beneran kuntilanak. Lindungi hamba ya AllahKuntilanak : Masih mending gue kuntilanak daripada lo tukang becak!By : Anonim

humor

Gombalan

HUMOR

30 GESMAJA - Edisi 72

Jagalah masa kaya sebelum datang masa kemiskinan