CERITA RAKYAT SEBAGAI FRAGMENTARIS SASTRA ANAK DAN ...
Transcript of CERITA RAKYAT SEBAGAI FRAGMENTARIS SASTRA ANAK DAN ...
Prosiding SENASBASA http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA
(Seminar Nasional Bahasa dan Sastra) Volume 3 Nomor 2 Tahun 2019
Halaman 914-925 E-ISSN 2599-0519
914 | Halaman
CERITA RAKYAT SEBAGAI FRAGMENTARIS SASTRA ANAK
DAN KESESUAIANNYA DENGAN PERKEMBANGAN ANAK
Septian Adi Kurniawan dan Asman
Pascasarjana Universitas Negeri Malang
Abstrak: Cerita rakyat merupakan cerita yang lahir dan berkembang dari masyarakat
tradisional yang disebarkan dalam bentuk relatif tetap dan di antara kolektif tertentu dari
waktu yang cukup lama sebagai sarana untuk menyampaikan pesan moral. Cerita rakyat
dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu mite, legenda, dan dongeng. Cerita rakyat
berfungsi sebagai media hiburan, alat pendidikan, kontrol sosial, pemersatu, dan pelestarian
lingkungan. Karakteristik cerita rakyat anak ditentukan pada pola kalimatnya yang terstruktur
dan mudah dipahami, gambaran konflik yang dikemas sederhana dan menarik, disertai
gambar ilustrasi peristiwa, penegasan inti cerita pada bagian akhir. Banyak cerita rakyat yang
sudah didokumentasikan dalam bentuk buku cerita rakyat. Selain itu, perlu adanya
kesesuaian pemilihan cerita rakyat untuk anak yang harus diperhatikan dan disesuaikan
dengan kondisi anak-anak. Kesesuaian tersebut meliputi kesesuaian literal dan kesesuaian
moral anak.
Kata Kunci: cerita rakyat, sastra anak, perkembangan anak
PENDAHULUAN
Cerita rakyat di Indonesia tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan
masyarakat dengan jumlah yang sangat banyak. Dari penelusuran laman https://histori.id/
tercatat setidaknya ada 365 lebih cerita rakyat di Indonesia. Jumlah ini diperkirakan dapat
terus bertambah karena mengingat kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan
dengan beragam suku bangsa, bahasa, dan tradisi yang mengakar pada masyarakat.
Cerita rakyat menjadi bagian yang mengakar dan tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan masyarakat. Hal ini terjadi karena penyebarluasan cerita rakyat tidak memerlukan
media yang rumit bagi masyarakat. Media yang dibutuhkan dalam penyeberluasan cerita
rakyat cukup melalui media lisan, yaitu dari mulut ke mulut. Walaupun saat ini banyak cerita
rakyat yang dituangkan dalam bentuk tulisan, akan tetapi pada dasarnya cerita rakyat terus
berkembang melewati perantara lisan. Oleh karena itu, semua kalangan diasumsikan dapat
mengakses berbagai cerita rakyat yang berkembang di masyarakat ini, dari mulai orang
dewasa hingga anak-anak.
Cerita rakyat memiliki banyak manfaat bagi perkembangan dunia anak. Manfaat
tersebut meliputi perkembangan holistik, kognitif, moral, bahasa, dan sosial. Melalui cerita
rakyat, anak akan mengalami perkembangan ranah kognitifnya karena cerita tersebut menjadi
buah cerminan bermacam-macam kebudayaan yang menjadi refleksi bagi keunikan suatu
budaya. Selain itu, cerita rakyat juga berfungsi untuk mengembangkan literasi anak-anak.
Wollman-Bonilla & Werchadlo (1995) menyatakan bahwa anak-anak mampu memberikan
respon terhadap karya sastra yang dapat mereka ungkapkan dengan berbagai cara, salah satu
di antaranya yaitu melalui tulisan. Hal ini dapat dijadikan sebagai suatu tolok ukur
mengetahui sejauh mana pemahaman anak terhadap suatu cerita dan sekaligus mengenalkan
bentuk atau pola-pola cerita sastra lainnya yang lebih kompleks.
Pada awalnya, cerita rakyat hadir dalam bentuk lisan. Namun, seiring dengan tahap
perkembangannya, cerita rakyat banyak didokumentasikan dalam bentuk buku cerita yang
915 | Halaman
merupakan salah satu bacaan yang ditujukan untuk anak-anak. Dari titik ini, cerita rakyat
dapat dikatakan sebagai “cikal bakal” pengenalan anak terhadap dunia sastra. Buku-buku
yang berisikan tentang cerita rakyat berusaha mengenalkan dunia kepada anak-anak tanpa
mengesampingkan aspek pertumbuhan dan perkembangan anak. Sama halnya dengan anak-
anak pada masa lalu, dunia sastra dikenalkan melalui kesusastraan lisan, seperti legenda,
mite, dan dongeng yang merupakan bagian dari cerita rakyat.
Cerita rakyat memiliki banyak manfaat khusus bagi anak-anak. Bagi anak-anak (usia
10 tahun), cerita sastra dapat digunakan sebagai proses interaktif dan strategis, pembentukan
pengetahuan melalui sastra, memberikan respon pribadi, dan bentuk literasi kritis. Selain itu,
cerita rakyat juga memiliki manfaat untuk mengembangkan daya imajinasi anak,
meningkatkan keterampilan dalam berbahasa, membangkitkan minat baca anak, membangun
kecerdasan emosional anak, dan membentuk rasa empati anak.
PEMBAHASAN
Pada pokok bahasan ini dijelaskan gagasan teoretis yang menjadi acuan substansial
dari penjabaran cerita rakyat sebagai sastra anak. Gagasan-gagasan tersebut meliputi, konsep
dasar cerita rakyat, jenis-jenis cerita rakyat, fungsi cerita rakyat untuk anak, karakteristik
cerita rakyat untuk anak, dan kesesuaian pemilihan cerita rakyat untuk anak.
KONSEP DASAR CERITA RAKYAT
Cerita rakyat merupakan warisan budaya yang sangat penting dan perlu dilestarikan
kepada anak-anak. Cerita rakyat menjadi salah satu media komunikasi budaya yang memiliki
nilai luhur dengan karakteristiknya. Danandjaja (2002) mendefinisikan cerita rakyat sebagai
suatu bentuk karya sastra lisan yang lahir dan berkembang dari masyarakat tradisional yang
disebarkan dalam bentuk relatif tetap dan di antara kolektif tertentu dari waktu yang cukup
lama dengan menggunakan kata klise. Pandangan ini selaras dengan pendapat Nurgiyantoro
(2010) yang menyatakan bahwa cerita rakyat adalah cerita yang berasal dari masyarakat dan
berkembang secara turun-temurun dalam masyarakat pada masa lampau sebagai sarana untuk
memberikan pesan moral. Cerita ini diwariskan masyarakat secara tradisional dari mulut ke
mulut.
Cerita rakyat merupakan salah satu bagian dari sastra lisan atau genre folklor yang
diceritakan secara turun-temurun. Folklor berasal dari kata folk dan lore. Folk memiliki
makna ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan suatu kelompok, sedangkan lore
bermakna sebagian kebudayaan yang diwariskan turun-temurun secara lisan atau suatu
contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device)
(Sulistyorini & Andalas, 2017).
Di dalam cerita rakyat, banyak terkandung nilai-nilai moral dan kearifan lokal
masyarakat sekitar yang menjadi wujud tatanan dalam keterakaitannya dengan kehidupan
bermasyarakat. Pada umumnya, cerita rakyat banyak mengisahkan tentang kejadian di suatu
daerah atau asal muasal suatu tempat. Cerita rakyat juga menjadi bagian ekspresi budaya
suatu kelompok masyarakat yang berhubungan dengan berbagai aspek budaya dan sosial.
Melalui cerita rakyat, orang tua menyampaikan nasihat dan mengajarkan nilai-nilai yang
berkembang di masyarakat sekitar. Penggunaan cerita rakyat biasanya disampaikan oleh
orang tua kepada anak-anak dalam situasi dan suasana yang lebih bersahabat
Setiap daerah memiliki budaya yang berbeda dengan budaya daerah lain. Apabila
melihat aspek bahasa, warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, taraf pendidikan, dan
agama, tentu tradisi masyarakat di berbagai daerah juga pasti berbeda pula. Adanya kategori-
kategori seperti ini juga membawa pengaruh terhadap cerita rakyat yang berkembang di
masyarakat sekitar. Selain itu, kondisi geografi suatu daerah juga berpengaruh pada cerita
rakyat yang berkembang di sekitar masyarakat, misalnya cerita rakyat yang berkembang di
916 | Halaman
daerah pegunungan akan berbeda pula dengan cerita rakyat yang berkembang di daerah
pesisir.
Cerita rakyat memiliki ciri-ciri yang diidentikkan dengan sastra lisan dalam tradisi
masyarakat. Danandjaja (2002) menyebutkan rumusan ciri-ciri tersebut, yaitu (1) penyebaran
dan pewarisannya dilakukan secara lisan, (2) bersifat tradisional dan relatif tetap dalam
bentuk standar, (3) versi yang beragam (penyebaran secara lisan), (4) bersifat anonim atau
tidak diketahui pengarangnya, (5) memiliki bentuk rumus atau pola cerita, (6) memiliki
kegunaan dalam kehidupan bersama, (7) bersifat pralogis (tidak sesuai logika umum), (8)
menjadi milik bersama (kolektif), dan (9) bersifat polos atau lugu.
JENIS-JENIS CERITA RAKYAT
Cerita rakyat untuk anak memiliki keseragaman penggolongan yang sama seperti
cerita rakyat pada umumnya. Cerita rakyat sebagai bahan literatur untuk anak-anak dapat
dikelompokkan menjadi tiga golongan. Bascom (2006) menyebutkan tiga golongan cerita
rakyat, yaitu sebagai berikut.
Pertama, mite, yaitu cerita rakyat yang berada di tengah-tengah masyarakat dan
dianggap sebagai catatan yang benar tentang apa yang terjadi di masa lalu. Mite dianggap
sebagai sesuatu yang harus dipercaya dan dapat disebut sebagai otoritas dalam menjawab
ketidaktahuan, keraguan, atau ketidakpercayaan. Mite merupakan perwujudan dari sebuah
ajaran yang bersifat suci dan sering dikaitkan dengan teologi dan ritual. Karakter utama mite
biasanya bukan manusia, tetapi sering memiliki atribut manusia, yaitu dewa atau makhluk
setengah dewa yang perlakuannya berbeda dengan manusia pada umumnya. Contoh cerita
rakyat berupa mite adalah Nyi Roro Kidul, Mado-Mado dari Nias, dan Dewi Nawang Wulan.
Kedua, legenda, yaitu cerita rakyat yang hampir sama seperti mite, dianggap benar
oleh pencerita dan pendengarnya, serta diatur dalam jangka periode waktu yang dianggap
tidak terlalu jauh dari saat ini. Legenda lebih sering bersifat sekuler (keduniawian) daripada
sakral. Karakter utama dalam legenda adalah manusia, walaupun ada kalanya mempunyai
sifat-sifat luar biasa, dan seringkali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Legenda sering kali
dipandang sebagai sejarah kolektif, walaupun sejarah tersebut tidak tertulis dan telah
mengalami distorsi, sehingga seringkali dapat jauh berbeda dari cerita aslinya. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa legenda memang erat dengan sejarah kehidupan di masa
lampau meskipun tingkat kebenarannya seringkali tidak bersifat murni. Contoh cerita rakyat
berupa legenda adalah Legenda Batu Menangis (Kalimantan Selatan), Legenda Asal Mula
Danau Toba (Sumatera Utara), dan Legenda Asal Mula Salatiga (Semarang).
Ketiga, dongeng, yaitu cerita rakyat yang dianggap sebagai sebuah fiksi yang tidak
benar-benar terjadi. Dongeng tidak dianggap sebagai sebuah cerita yang berisi tentang suatu
prinsip ajaran (dogma) atau suatu sejarah. Dongeng menceritakan tentang petualangan
karakter hewan atau manusia. Dongeng juga memiliki fungsi sebagai sarana hiburan. Tidak
jarang orang tua sering menceritakan dongeng kepada anak-anak sebelum tidur untuk
menyegarkan kembali fungsi otak dan meningkatkan daya imajinasi anak-anak. Contoh cerita
rakyat berupa dongeng adalah Telur Emas, Timun Emas, dan Situ Bagendit.
Cerita
Rakyat Kepercayaan Waktu Tempat Sifat
Prinsip
Cerita
Mite Fakta Masa lalu yang
sangat lama
Dunia yang
berbeda: dunia
lain atau
terdahulu
Suci Bukan
manusia
Legenda Fakta Masa lalu yang
mendekati masa Dunia saat ini
Duniawi
atau suci Manusia
917 | Halaman
kini
Dongeng Fiksi Tidak terikat
waktu
Tidak terikat
tempat Duniawi
Manusia
atau bukan
manusia
FUNGSI CERITA RAKYAT UNTUK ANAK
Cerita rakyat memiliki peranan penting dalam membentuk karakter anak. Karakter
yang diharapkan tumbuh dan berkembang dalam diri anak dan disampaikan melalui media
perantara cerita rakyat adalah karakter-karakter yang luhur dan dapat diterima oleh
masyarakat. Janthaluck & Ounjit (2012) menegaskan bahwa cerita rakyat membawa
pemulihan hubungan orang-orang yang bermukim dalam suatu masyarakat. Hal ini tentu
menyadarkan masyarakat sebagai suatu kelompok yang harus membentuk kesadaran
bersama, perasaan, kebermanfaaatan satu sama lain, dan cerminan cara hidup yang baik.
Selain itu, cerita rakyat juga memiliki peran yang strategis sebagai proses interaksi
memperkenalkan dunia sastra kepada anak-anak dengan disertai umpan balik berupa respon
secara pribadi sebagai bentuk literasi kritis anak-anak. Sulistyorini & Andalas (2017)
memaparkan lima fungsi cerita rakyat sebagai berikut.
Pertama, cerita rakyat berfungsi sebagai media hiburan untuk melepas penat bagi
anak-anak. Contoh cerita rakyat yang memiliki fungsi sebagai media hiburan adalah cerita
rakyat Kelingking Sakti yang berasal dari Jambi. Kisah ini menceritakan tentang sepasang
suami-istri yang memohon kepada Tuhan agar dikaruniai seorang anak, walaupun sebesar
kelingking. Akhirnya, sepasang suami-istri tersebut dikaruniai seorang anak sebesar
kelingking. Anak tersebut mampu mengalahkan nenek gergasi dan diberi gelar seorang
panglima perang.
Kedua, cerita rakyat berfungsi sebagai alat pendidikan bagi anak-anak untuk
menanamkan nilai-nilai luhur. Cerita rakyat “Mbok Rondho Dadapan” dari Tulungagung
menceritakan seorang anak yang dipanggil ibunya, namun tidak menjawab. Ibunya tidak tahu
bahwa anaknya sedang melakukan semedi, sehingga si ibu mengeluarkan ucapan bahwa anak
yang dipanggil tidak menjawab seperti batu. Hal ini mengajarkan bahwa seorang anak harus
segera menjawab dengan cara yang baik jika dipanggil oleh orang tua.
Ketiga, cerita rakyat yang berfungsi sebagai kontrol sosial anak di lingkungan
masyarakat. Cerita rakyat Keris Sempena Riau merupakan salah satu contoh cerita rakyat
yang menjadi kontrol sosial. Kontrol sosial dalam cerita tersebut tersirat ketika Pendekar
Galang menghalangi muridnya-muridnya untuk berkelahi. Kontrol diri sebelum bertindak dan
berpikir positif terhadap lawan merupakan hal yang paling utama. Hal ini mengajarkan pada
manusia agar tidak mudah marah dan balsas dendam, serta mau memaafkan kesalahan orang
lain. Selain itu juga diajarkan untuk mendoakan orang lain agar lebih baik.
Keempat, cerita rakyat yang berfungsi sebagai pemersatu. Cerita rakyat Keris
Sempena Riau menceritakan tentang Panglima Galang yang dipercaya raja untuk menjaga
sebuah pulau, mengemban amanat tersebut dengan sungguh-sungguh tanpa meminta imbalan.
Walaupun ia sempat difitnah oleh seseorang yang membencinya karena telah
mengalahkannya dalam sebuah pertandingan, Panglima Galang tetap mengabdi dengan
sungguh-sungguh pada raja. Dari cerita tersebut dapat dimaknai adanya persatuan demi
menjaga keutuhan sebuah kerajaan.
Kelima, cerita rakyat sebagai pelestarian lingkungan. Cerita rakyat Minahasa Gunung
Lokon bercerita tentang penghuninya, Makalawang, yang sudah hidup bahagia didesak orang
lain untuk pindah. Makawalang pun mencari tempat tinggal lain dengan berjalan menerobos
pohon-pohon besar sambil menuruni bukit mencari tempat lain. Akhirnya, ia menemukan
sebuah gua dan tinggal di dalamnya bersama seekor babi hutan. Makawalang menancapkan
918 | Halaman
tiang-tiang besar penyangga tanah agar bumi tidak runtuh. Namun, saat babi hutan
menggosok-gosokkan tubuhnya ke tiang tersebut, terjadiah gempa bumi. Kepercayaan
tersebut dipercayai hingga sampai saat ini. Untuk meredakan gempa bumi itu, orang-orang di
kampung yang berada di atas bumi harus menyembunyikan atau memukul tongtong, buluh,
atau barang apa saja. Mereka juga harus berseru, “Wangko!Tambah hebat lagi!” Maksudnya,
untuk mengolok babi hutan-babi hutan Makawalang supaya berhenti menggosok.
KARAKTERISTIK CERITA RAKYAT UNTUK ANAK
Pola Kalimat Terstruktur dan Mudah Dipahami
Cerita rakyat untuk anak-anak memiliki pola bahasa yang sederhana dan mudah
dipahami. Pola yang terbentuk dalam cerita rakyat untuk anak-anak disusun dengan
memperhatikan pemahaman anak terhadap struktur kalimat pada teks bacaan. Pola yang
tampak dituliskan dalam bentuk kalimat dasar.
Setelah mengadakan keperluan seperlunya, Malin Kundang berangkat
meninggalkan kampung halaman Pantai Air Manis. Sang ibu melepasnya
dengan cucuran air mata dan iringan doa.
Penggalan cuplikan kalimat di atas menunjukkan pola kalimat yang terstruktur dan
sederhana. Pembentukan kalimat berpola dasar mengacu pada unsur fungsi kalimat, yaitu
subjek, predikat, objek, keterangan, dan pelengkap. Alwi dkk. (2003) menyatakan bahwa
pola kalimat dasar tulisan mengacu pada enam pola kalimat dasar dipaparkan sebagai berikut.
(1) S-P (Orang itu sedang tidur)
(2) S-P-O (Ayah membeli mobil baru)
(3) S-P-Pel (Zikri menjadi ketua kelas)
(4) S-P-Ket (Kami tinggal di Jogja)
(5) S-P-O-Pel (Dia mengirimi ibunya uang)
(6) S-P-O-Ket (Beliau memperlakukan kami dengan baik)
Kalimat pada cerita rakyat untuk anak-anak tidak mengalami proses delesi (penghilangan).
Meskipun ada, namun tidak sebanyak cerita rakyat untuk kalangan pembaca dewasa. Hal ini
menyesuaikan dengan pemahaman anak-anak bahwa anak pada taraf usia 7-11 tahun
memiliki kemungkinan implikasi pada buku0buku cerita yang mengandung urutan logis dari
yang sederhana ke yang lebih kompleks (Nurgiyantoro, 2005).
Gambaran Konflik Dikemas Sederhana dan Menarik
Konflik cerita rakyat untuk anak-anak menjadi salah satu bagian penting dalam
membangun emosi anak-anak saat mebaca buku cerita rakyat. Konflik bersifat dramatik,
yakni pertarungan yang mengacu pada dua kekuatan seimbang dan menyiratkan adanya aksi
dan balasan aksi. Konflik juga dapat terjadi jika tidak ada kesepakatan antara sebuah
keinginan/harapan dan kenyataan.
Cerita rakyat untuk anak-anak menggambarkan konflik dengan sederhana, namun
tidak mengurangi kemenarikan cerita sebagai sebuah konsekuen.
Pada saat tetes air matanya jatuh ke pinggir sungai, tiba-tiba kilat menyambar
disertai bunyi guruh yang menggelegar. Sesaat kemudian, dia melompat ke
dalam sungai dan tiba-tiba berubah menjadi seekor ikan besar.
Samosir berteriak-teriak ketakutan melihat ganasnya alam. Namun, ia tetap
berada di puncak pohon kelapa di atas bukit.
919 | Halaman
“Ibu… Tolonggggg… Tolooooongggggg…!”
Hampir dua hari Samosir tak berani turun dari puncak pohon kelapa.
Penggambaran konflik pada cerita Asal Mula Danau Toba di atas dipaparkan secara
sederhana. Akan tetapi, kemenarikan cerita dengan melibatkan penggambaran suasana yang
seolah-olah terjadi begitu dahsyat mampu memperkuat pusat konflik untuk membangkitkan
emosi anak-anak dalam memahami cerita.
Disertai Gambar Ilustrasi Peristiwa
Gambar ilustrasi menjadi elemen yang esensial pada cerita rakyat untuk anak-anak.
Selain untuk menarik perhatian anak-anak (center of interest), gambar ilustrasi juga memiliki
peranan untuk menuntun pemahaman pola berpikir anak terhadap suatu adegan/peristiwa
dalam cerita. Secara umum, gambar ilustrasi memiliki lima fungsi, yaitu (1) menarik
perhatian pembaca, (2) memudahkan memahami suatu keterangan cerita, (3) saran
mengungkapkan pengalaman suatu kejadian yang diekspresikan dalam sebuah gambar, (4)
memberikan gambaran singkat tentang isi cerita, dan (5) sebagai nilai keindahan dalam
perwajahan.
Gambar (a) Gambar (b)
Gambar ilustrasi (a) menggambarkan cuplikan peristiwa saat Malin Kundang tidak
mau mengakui ibunya. Gambar ilustrasi (b) menggambarkan situasi dan kondisi saat Mande
Rubayah (Ibu Malin Kundang) berdoa kepada Tuhan dan memohon kepada Tuhan agar
anaknya dihukum dengan hukuman yang setimpal karena telah durhaka kepada ibunya.
Berdasarkan potret gambar ilustrasi tersebut, tampak bahwa penulis cerita berusaha untuk
memvisualisasikan peristiwa tersebut dan menuangkannya dalam bentuk sebuah gambar.
Nurgiyantoro (2005) menyatakan bahwa berdasarkan perkembangan intelektualnya, anak
usia 7-11 tahun memiliki implikasi ketertarikan pada buku-buku cerita yang menampilkan
objek gambar secara bervariasi, bahkan mungkin dalam bentuk diagram dan model
sederhana. Hal ini dilakukan untuk membantu anak-anak memahami peristiwa yang sedang
terjadi dalam cerita.
Penegasan Inti Cerita pada Bagian Akhir
Cerita rakyat untuk anak memiliki kesamaan secara struktur sebagaimana teks narasi
pada umumnya. Rentetan peristiwa cerita dapat dijabarkan menjadi 5 tahapan susunan, yakni
(1) situasi awal cerita, (2) unsur perubah yang berasal dari situasi awal, (3) proses perubahan
yang mengandung satu atau beberapa aksi, (4) unsur revolusi, yakni cerita sampai pada
momen akhir transformasi, dan (5) situasi akhir yang menunjukkan cerita berada pada suatu
keseimbangan yang baru.
(a) Ratu teringat bahwa bekal makanan anaknya hanya cukup untuk tiga bulan,
sedangkan peperangan terjadi selama empat bulan. Ratu Cik Sima jatuh sakit
dan tak lama kemudian, ia meninggal dunia. Dari cerita ini, masyarakat
920 | Halaman
Dumai meyakini bahwa nama Kota Dumai diambil dari kata duma’i, seperti
yang pernah diucapkan oleh Pangeran Empang Kuala.
(b) Demikianlah legenda Malin Kundang. Tentang kebenarannya, hanya Allah
SWT yang Maha Mengetahui. Yang jelas, hikmah di balik kisah ini adalah
seorang ibu pasti sengsara dan menderita jika anaknya yang sudah berhasil
jadi orang kaya ternyata tak mau mengakuinya sebagai seorang ibu.
(c) Demikianlah, Bawang Putih yang baik hati dan senantiasa bersabar atas
derita itu akhirnya diboyong ke istana untuk dijadikan istri pangeran. Mereka
hidup bahagia hingga akhir hayatmya.
Kutipan (a), (b), dan (c) merupakan contoh penggalan cerita rakyat untuk anak yang
memberikan penegasan pada bagian akhir. Kutipan (a) diambil dari kisah Asal Mula Kota
Dumai. Kutipan tersebut memberikan penjelasan atau penegasan kepada pembaca, khususnya
anak-anak bahwa cerita tersebut merupakan kisah Asal Mula Kota Dumai. Selanjutnya,
kutipan (b) diambil dari kisah Malin Kundang, seorang anak yang durhaka kepada ibunya.
Kutipan akhir pada cerita tersebut menjelaskan kembali inti dari cerita yang dikemas dalam
bentuk amanat kepada pembaca. Kutipan (c) diambil dari kisah Bawang Merah dan Bawang
Putih. Kutipan cerita tersebut menggambarkan situasi pada akhir cerita yang menjadi
keseimbangan baru dan berakhir dengan sebuah kebahagiaan. Dengan demikian, dapat ditarik
kesimpulan bahwa karakteristik cerita rakyat untuk anak ditandai dengan penegasan inti
cerita pada bagian akhir berupa (1) asal usul cerita, (2) amanat cerita, dan (3) kehidupan
bahagia sebagai keseimbangan baru cerita.
KESESUAIAN PEMILIHAN CERITA RAKYAT UNTUK ANAK
Kesesuaian Literal
Cerita rakyat sebagai kategori sastra anak dapat menjadi media yang menarik dalam
menyampaikan pesan moral kepada anak secara implisit. Piaget (dalam Hasanah, 2012)
mengatakan bahwa anak-anak usia 7-12 tahun berada dalam taraf perkembangan kognitif:
operasi konkret dan operasi formal awal. Pada taraf ini, anak baru dapat berpikir sistematis
terhadap hal atau objek konkret. Terkait dengan taraf perkembangan tersebut, buku cerita
secara potensial berisikan pesan-pesan moral dan persoalan yang dikonkretkan melalui peran
yang dimainkan oleh tokoh-tokoh dalam cerita.
Beragam jenis cerita rakyat yang hadir dengan pesan moral tersebut mengajarkan
anak-anak untuk memahami keadaan lingkungan sekitar yang pluralis dan sarat akan nilai
dan norma. Orang tua tidak perlu menjelaskan kepada anak-anak tentang nilai dan norma
yang berlaku di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari secara eksplisit. Anak juga tidak
merasa bosan karena cerita rakyat yang dibaca atau didengar sangat bervariasi. Namun
demikian, tidak semua cerita rakyat dapat begitu saja diberikan dan dikonsumsi oleh anak-
anak. Keselektifaan dan keterbacaan pemilihan cerita rakyat harus diperhatikan dan
disesuaikan dengan kondisi anak-anak.
Tingkat keterbacaan adalah mudah tidaknya suatu bacaan untuk dicerna, dipahami,
dihayati, dan dinikmati oleh anak-anak. Tidak semua bacaan, khususnya cerita rakyat mudah
dicerna dan dinikmati oleh anak-anak. Oleh karena itu, ada enam kriteria yang perlu menjadi
perhatian terhadap kesesuaian pemilihan cerita rakyat bagi anak-anak.
1. Ketepatan Penggunaan Bahasa dalam Cerita Rakyat
Cerita rakyat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat biasanya menyesuaikan
dengan kondisi wilayah daerah tersebut. Sebagian besar penggunaan bahasa mengadaptasi
dari bahasa daerah tersebut untuk menunjukkan kelokalitasan cerita. Namun demikian,
banyak cerita rakyat yang sudah ditulis ulang dengan versi yang mudah dipahami, atau
921 | Halaman
bahkan dengan versi yang menyesuaikan usia perkembangan kognitif anak-anak. Berikut
contoh penggunaan ketepatan bahasa pada cerita rakyat yang tepat untuk dibaca oleh anak-
anak.
Tak hanya mengakui kalau sang ibu hanyalah seorang pembantu, sepanjang
perjalanan pun ia diperlakukan sama seperti budak. Mungkin, kalau sekali atau
dua kali sang ibu bisa memahami, akan tetapi banyak orang yang bertanya
kepada gadis itu dan jawabannya masih sama. Tentu saja hal itu membuat sang
ibu sakit hati. Tak dapat menahan diri, ibu tersebut berdoa. Ia memohon kepda
Tuhan untuk menghukum anaknya yang durhaka itu. Doa sang ibu pun
dikabulkan. Tak lama setelah itu, badan gadis cantik tersebut perlahan-lahan
mengeras dan berubah menjadi batu. Dengan sangat menyesal, gadis itu
menangis dan memohon ampun. Namun saying, semuanya sudah terlanjur,
permohonan maaf tersebut sudah tidak berguna dan ia tetap menjadi batu.
Cerita rakyat yang berjudul “Batu Menangis” dari Kalimantan Barat tersebut mengisahkan
tentang seorang anak yang durhaka kepada ibunya. Kemudian, sang ibu berdoa kepada Tuhan
agar anaknya diberi hukuman. Akhirnya, tubuh anak tersebut mengeras dan ia berubah
menjadi batu.
Cerita rakyat tersebut tergolong dalam cerita rakyat yang penggunaan bahasanya
sesuai untuk anak-anak. Nurgiyantoro (2005) menyatakan bahwa anak usia 7-12 tahun mulai
mengembangkan konsep dan hubungan spasial, serta melanjutkan pemerolehan bahasa. Hal
ini berhubungan erat kaitannya dengan pemerolehan bahasa dan penguasaan kata pada anak
usia 7-12 tahun yang bergerak dari sekitar 2500 kata menuju 50.000 kata. Selain itu, anak
juga sudah bisa mengaitkan pemerolehan konsep hubungan waktu serta sebab-akibat dalam
sebuah cerita yang dibaca.
2. Kesesuaian Tema Cerita Rakyat
Tema cerita rakyat sangat bervariasi. Hal ini bergantung pada pesan moral yang ingin
disampaikan kepada pembaca. Mayoritas, cerita rakyat Indonesia bertemakan tentang nilai
dan norma yang berhubungan dengan karakter pribadi seseorang dalam kehidupan
bermasyarakat, misalnya kisah Kelingking Sakti dari Jambi. Cerita Kelingking Sakti ini
menggambarkan sepasang suami-istri yang sudah lama tidak kunjung dikaruniai seorang
anak. Kemudian, mereka berdoa dan meminta kepada Tuhan agar diberi momongan seorang
anak laki-laki walaupun sebesar kelingking. Akhirnya, sepasang suami-istri tersebut memiliki
seorang anak pemberani sebesar kelingking yang mampu mengalahkan raksasa jahat.
Cerita rakyat “Kelingking Sakti” ini menunjukkan tema cerita tentang keberanian.
Tema ini dapat dijumpai pada bagian akhir cerita di mana tokoh Kelingking berhasil
mengalahkan gergasi atau raksasa jahat.
Namun, Kelingking tidak mempedulikannya. Berkat keberanian dan kecerdasan
Kelingking, ia mampu membunuh raksasa jahat tersebut dengan cara
memasukkannya ke jurang. Oleh karenanya, Raja Desa Jambi menghadiahkan
Kelingking berupa pangkat Panglima Perang.
Penggalan cerita tersebut mengajarkan kepada anak-anak bahwa sifat pemberani harus
dimunculkan dalam keadaan yang tepat untuk membela kebenaran dan membantu orang-
orang yang sedang membutuhkan.
922 | Halaman
3. Kesederhanaan Alur Cerita Rakyat Alur cerita menggambarkan urutan terjadinya peristiwa dalam sebuah cerita. Cerita
dapat dikembangkan melalui alur cerita untuk memberikan kemasan yang menarik bagi
pembaca. Terdapat tiga jenis alur, yaitu alu maju, mundur, dan campuran. Cerita rakyat
disajikan dengan menggunakan alur maju. Hanya saja, potret penggambarannya tentang
peristiwa yang terjadi pada kisah masa lalu. Penggambaran alur pada cerita rakyat yang layak
dikonsumsi anak-anak adalah alur cerita yang sederhana dan tidak menimbulkan
kebingungan.
Kesederhanaan alur cerita rakyat memiliki peranan yang penting dalam membantu
anak membangun dimensi cerita melalui perspektifnya. Iser (1974) menyatakan bahwa dalam
proses melibatkan perspektif manusia terhadap teks bacaan terus bergerak dan berhubungan
dengan fase-fase tertentu, serta membangun apa yang dimaksud dimensi virtual pencerita
atau pendengar. Terkait dengan perspektif anak terhadap cerita, teori Piaget tentang
perkembangan kognitif pada anak-anak menyatakan bahwa pada usia 2-7 tahun, anak-anak
menggunakan simbol (gambar dan bahasa) untuk mewakili dan memahami berbagai aspek
lingkungan hidup di sekitarnya. Anak-anak merespon benda dan peristiwa secara egosentris,
artinya anak-anak berpikir semua orang melihat dunia dengan cara yang sama seperti yang
mereka lakukan. (Shaffer & Kipp, 2010). Hal ini tentu memberikan ruang bagi anak untuk
membentuk dimensi cerita dari sudut pandangnya secara leluasa dan fleksibel.
4. Kejelasan Perwatakan Cerita Rakyat Watak tokoh dalam cerita rakyat merupakan gambaran dari lakuan dan citraan
karakter tokoh yang menjadi unsur terpenting dalam cerita rakyat. Sama dengan cerita
bergenre lain, cerita rakyat juga memiliki tokoh yang berkarakter protagonis dan antagonis
untuk memunculkan konflik cerita. Cerita rakyat sebagai sastra anak yang dikonsumsi oleh
anak-anak harus menggambarkan watak pada setiap masing-masih tokoh secara jelas,
misalnya pada cerita rakyat Malin Kundang yang berasal dari Sumatera Barat.
Malin terkejut karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang-
camping itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Sebelum dia
sempat berpikir berbicara, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata,
“Wanita jelek inikah ibumu? Mengapa dahulu kau bohong padaku!” ucapnya
sinis, “Bukankah dulu kau katakan bahwa ibumu adalah seorang bangsawan
yang sederajat denganku?”
Mendengar kata-kata pedas istrinya, Malin Kundang langsung mendorong
ibunya hingga terguling ke pasir, “Wanita gila! Aku bukan anakmu!” ucapnya
kasar.
Mande Rubayah tidak percaya akan perilaku anaknya, ia jatuh terduduk
sambil berkata, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak! Mengapa kau jadi
seperti ini Nak?!” Malin Kundang tidak memperdulikan perkataan ibunya. Dia
tidak akan mengakui ibunya. la malu kepada istrinya. Melihat wanita itu
beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata,
“Hai, wanita gila! lbuku tidak seperti engkau! Melarat dan kotor!” Wanita tua
itu terkapar di pasir, menangis, dan sakit hati.
Kutipan cerita tersebut menggambarkan watak si Malin yang durhaka kepada ibunya,
sedangkan sang ibu memiliki karakter yang baik, sabar, dan penyayang. Anak-anak dapat
mengidentifikasi dengan jelas bagaimana karakter tokoh antara si Malin dan ibunya. Dengan
demikian, anak tidak mengalami kebingungan dalam memahami jalannya cerita.
923 | Halaman
5. Kesederhanaan Latar Cerita Rakyat Latar cerita rakyat untuk anak-anak dihadirkan dengan sesedarhana mungkin, namun
tidak mengurangi kemenarikan cerita. Cerita rakyat memiliki banyak variasi latar, terutama
cerita rakyat di Indonesia. Kondisi wilayah di Indonesia yang beragam juga mempengaruhi
latar cerita rakyat yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Cerita rakyat untuk anak-
anak hendaknya merupakan cerita rakyat yang memiliki latar dekat dengan kehidupan anak-
anak. Pengertian “dekat” pada bahasan ini bukan mengacu pada jarak lokasi, akan tetapi
mengacu pada pemahaman anak.
Latar yang belum pernah dijangkau oleh anak dapat mengakibatkan anak sulit
memahami cerita jika tidak disertai dengan gambar ilustrasi. Cerita rakyat di Indonesia
didominasi latar tempat yang kondisinya mudah dikenali oleh masyarakat. Contoh latar
tempat tersebut antara lain, hutan, kerajaan, pasar, dan pedesaan. Selain itu, kesederhanaan
latar ini juga meliputi penggambaran waktu dan suasana yang konkret. Waktu yang keadaan
suasana yang konkret mampu memproyeksikan cerita secara mendetail dan anak tidak perlu
meraba-raba gambaran situasi peristiwa yang terjadi dalam imajinasinya.
6. Kejelasan Pusat Pengisahan Cerita Rakyat Cerita rakyat untuk anak-anak hendaknya berpusat pada satu fokus, tidak berganti-
ganti fokus. Kekonsistensian pusat pengisahan cerita dapat digambarkan pada sosok tokoh
utama dalam cerita rakyat. Tokoh utama ini yang akan menjadi fokus perhatian anak-anak
dalam mengikuti alur cerita. Apabila fokus cerita terlalu banyak dan berganti-ganti, anak
akan menjadi bingung dan kesulitan mengukuti jalan cerita.
Putra yang lain bernama Gözö Tuhazangaröfa, yang waktu diturunkan
rantainya putus, sehingga ia tercebur ke dalam sungai untuk selanjutnya
menjadi dewa sungai. Ia menjadi pujaan para nelayan karena ia adalah
penguasa ikan-ikan.
Putra Sirao yang lain lagi Lakindrölai Sitambalina, yang pada waktu
diturunkan ke bumi Nias tidak jatuh ke bawah, tetapi melayang terbawa
angin dan tersangkut di pohon dan menjelma menjadi Béla Hogugéu, yaitu
dewa hutan yang menjadi pujaan para pemburu.
Putra Sirao terakhir yang kurang beruntung bernama Sifuso Kara. Ketika
diturunkan ke bumi Nias, ia jatuh di daerah berbatu-batu, di daerah Laraga
sekarang, dan menjadi leluhur orang-orang gaib yang berkesaktian kebal.
Kutipan cerita di atas adalah salah satu cerita rakyat yang berasal dari Nias. Cerita rakyat
tersebut menceritakan tentang mado (marga) yang menjadi dewa-dewa kepercayaan bagi
masyarakat setempat. Bagi orang dewasa, cerita rakyat ini tergolong kategori yang layak,
namun apabila sasarannya adalah anak-anak, maka cerita rakyat ini tergolong tidak layak.
Selain bahasa yang mengandung unsur lokalitas daerah yang sulit dimengerti, fokus cerita
juga berpindah-pindah dari satu tokoh ke tokoh yang lain. Sosok tokoh utama tidak begitu
tampak dalam cerita ini meskipun sebenarnya ada, yaitu Sirao.
Kesesuaian Moral
Selain mempelajari perkembangan kognitif anak, Piaget juga mendalami hal-hal yang
berkaitan dengan perkembangan moral. Menurut Piaget perbedaan nyata antara anak dan
dewasa adalah bahwa anak memiliki “dua moral”. Piaget dan Kohlberg (ahli lain yang
mengembangkan teori Piaget lebih lanjut), mengemukakan bagaimana anak mungkin saja
mengubah interpretasinya terhadap dilema konflik dan moral dalam cerita. Penilaian anak
924 | Halaman
terhadap moral bergerak dari keterkaitannya pada orang dewasa menuju keterpengaruhannya
pada kelompok dan pola berpikirnya.
Perubahan-perubahan penilaian moral dari sudut pandang anak dapat diuraikan dalam
empat poin penting. Pertama, penilaian anak kecil terhadap masalah atau tindakan baik dan
buruk berdasarkan kemungkinan adanya hukuman dan hadiah yang diperoleh dari orang
dewasa. Hal ini menjadi penanda bahwa anak masih terkendala oleh aturan yang dibuat oleh
dewasa. Pada usia anak yang lebih lanjut terdapat standar penilaian tentang baik dan buruk
tersebut dari kelompoknya, maka kemudian anak-anak mulai secara sadar memahami situasi
kapan dapat membuat aturan sendiri. Kedua, penilaian tingkah laku dalam kaca mata anak
kecil hanya dapat dibedakan ke dalam baik dan buruk, tidak ada alternatif lain. Pada usia
anak yang lebih kemudian terdapat kemauan untuk mempertimbangkan lingkungan dan
situasi yang membuat legitimasi adanya perbedaan pendapat. Ketiga, penilaian anak kecil
terhadap suatu tindakan cenderung didasarkan pada konsekuensi yang terjadi kemudian tanpa
memperhatikan pelakunya. Namun, dalam usia selanjutnya sebagian anak mulai
mengubahnya dengan memperhatikan aspek motivasi daripada sekadar konsekuensi untuk
menetukan kelayakan tingkat kesalahan. Keempat, pandangan anak kecil terhadap tingkah
laku buruk dengan hukuman berjalan bersama, semakin besar kesalahan akan semakin berat
hukumannya. Namun, bagi anak dalam usia yang lebih kemudian, mereka tidak akan begitu
saja menerima keadaan itu. Anak mulai tertarik untuk mencari hukuman yang lebih fair
berdasarkan aturan yang ada di dalam kelompok.
Berdasarkan perkembangan moral anak, terdapat dua kemungkinan implikasi cerita
rakyat yang dapat dikonsumsi oleh anak-anak. (1) Pemahaman yang baik terhadap
karakteristik perkembangan moral anak pada seiap tahap, kemudian memilih bacaan cerita
rakyat yang sesuai. Misalnya, anak usia tiga tahun baik untuk dipilihkan bacaan cerita rakyat
yang melukiskan persetujuan orang tua yang berupa tingkah laku, tindakan, dan kata-kata
yang baik. Anak usia empat tahun baik untuk dipilihkan bacaan cerita rakyat yang dapat
melatih anak untuk bertanggung jawab dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan aturan
sosial. (2) Pemilihan buku bacaan cerita rakyat yang mengandung dan menawarkan unsur
moral, alasan pemilihan moral tertentu oleh tokoh anak, atau yang mengandung nasihat-
nasihat tentang moral sebagai “model” bertingkah laku.
PENUTUP
Cerita rakyat merupakan cerita yang lahir dan berkembang dari masyarakat tradisional
yang disebarkan dalam bentuk relatif tetap dan di antara kolektif tertentu dari waktu yang
cukup lama sebagai sarana untuk menyampaikan pesan moral. Cerita rakyat dapat dikatakan
sebagai “cikal bakal” pengenalan anak terhadap dunia sastra. Buku-buku yang berisi tentang
cerita rakyat berusaha mengenalkan dunia kepada anak-anak tanpa mengesampingkan aspek
pertumbuhan dan perkembangan anak. Sama halnya dengan anak-anak pada masa lalu, dunia
sastra dikenalkan melalui kesusastraan lisan, seperti legenda, mite, dan dongeng yang
merupakan bagian dari cerita rakyat. Namun, tidak semua cerita rakyat dapat begitu saja
diberikan dan dikonsumsi oleh anak-anak. Keselektifaan dan keterbacaan pemilihan cerita
rakyat harus diperhatikan dan disesuaikan dengan kondisi anak-anak. Kesesuaian pemilihan
cerita rakyat untuk anak harus diperhatikan dan disesuaikan dengan kondisi anak-anak.
Kesesuaian tersebut meliputi kesesuaian literal dan kesesuaian moral anak.
DAFTAR RUJUKAN
Alwi, H., Dardjowidjojo, S., Lapoliwa, H., & Moeliono. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Perum Balai Pustaka.
925 | Halaman
Bascom, W. 2006. The Forms of Folklore: Prose Narratives. The Journal of American
Folklore, Vol. 78, No. 307, (Jan.-Mar., 1965), pp. 3-20. Dari
http://www.ucs.louisiana.edu/~jjl5766/share/Bascom_1965.pdf
Histori. 2016. Cerita Rakyat Indonesia. (Online), (https://histori.id/category/folklore/),
diakses 16 Februari 2019.
Danandjaja, J. 2002. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, Jurnal Bahasa, Sastra, dan
lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Hasanah, M. 2012. Model Cerita Fiksi Kontemporer Anak-Anak untuk Pengembangan
Kemahirwicaraan Siswa Kelas 5 Sekolah Dasar. Jurnal LITERA, Vol. 11, No. 1. April
2012. Dari https://journal.uny.ac.id/index.php/litera/article/view/1150
Iser, W. 1974. The Reading Process: A Phenomenological Approach. Dalam Ralph Cohen
(Ed.). New Directions in Literary History. London: RKP.
Janthaluck, M. & Ounjit, W. 2012. Folklore, Restoration of Social Capital and Community
Culture. Procedia Social and Behavioral Sciences 65 (2012) 218-224. Dari
https://core.ac.uk/download/pdf/81122820.pdf
Nurgiyantoro, B. 2005. Tahap Perkembangan Anak dan Pemilihan Bacaan Sastra Anak.
Jurnal Cakrawala Pendidikan, Juni 2005, Th. XXIV, No. 2. Dari
https://media.neliti.com/media/publications/86131-ID-tahapan-perkembangan-anak-
dan-pemilihan.pdf.
Nurgiyantoro, B. 2010. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Jogjakarta: Gajah
Mada University Press.
Shaffer D. R. & Kipp, K. 2010. Development Psychology: Childhood and Adolescence.
Belmont: Wadsworth Cengage Learning.
Sulistyorini, D. & Andalas, E. F. 2017. Sastra Lisan: Kajian Teori dan Penerapannya dalam
Penelitian. Malang: Penerbit Madani.
Wollman-Bonilla, J.E. & Werchadlo, B. 1995. Literature Response Journals in a First Grade
Classroom. Language Arts, 72(8):562-570. Dari
https://www.jstor.org/stable/41482240?seq=1#metadata_info_tab_contents