Cerita pendek oleh siswi kelas 10 SMA - Logarhytm
-
Upload
aulia-srie-wardani -
Category
Education
-
view
119 -
download
9
Transcript of Cerita pendek oleh siswi kelas 10 SMA - Logarhytm
Logarhythm
Pagi ini terlihat begitu cerah, tak ada satupun awan yang mengganggu pancaran matahari,
sehingga langit pun terasa kosong dengan hanya berhiaskan warna biru terang dan burung-burung
yang berterbangan.
Deretan motor terlihat penuh sesak di parkiran sekolah, mengingat banyaknya siswa-siswi
yang berada di SMA N 1 Samarinda atau dikenal dengan nama Smansa. Pengurus osis dengan giat
menyusun parkiran motor para siswa.
Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah kenaikan kelas.
Di bagian timur sekolah terlihat banyak siswa-siswi baru yang berlarian mencari kelas
masing-masing. Sedangkan di sisi lainnya terlihat banyak para remaja kelas 11 dan 12 SMA yang
sedang bertemu-kangen dengan teman-teman mereka masing-masing.
“Astrid…” seorang siswi berambut pendek sebahu menggumankan sebuah nama “Itu Astrid
kan? Astrid!” tak lama setelahnya ia meneriakan nama itu lagi dengan lebih kencang
Seorang siswi lainnya terbangun dari lamunannya dan segera menuju tangga, tempat dimana
teriakan tadi berasal “Eh? Rena! Ya ampun, kangen banget. Kamu ga berubah ya, haha” siswi ini
masih menggendong tas nya dipundak, tas berwarna coklat tua yang belum ia ganti dari kelas 9
SMP.
“Haha iya, kamu juga sama aja, ga berubah. Baru datang ya? Telat mulu, sih” Rena
menjawab dengan nada sedikit meledek.
“Kalau datang sebelum bel itu ga telat, tau! Eh, kamu udah dapet kelas belum?” jawab
Astrid.
“Oh iya, aku di 11 ipa 5. Kamu masuk 11 ipa 1 tuh, pinter banget sih” Rena menjawab
dengan nada yang sedikit cemburu tetapi bangga akan sahabatnya ini.
“Hahaha apa hubungannya? Lagian ngga pinter ah, biasa aja” Astrid tertawa renyah dengan
segera bergegas untuk menuju kelas barunya yang berada di lantai 2, “Ren, nggak ke atas?” tanya
nya.
“Nggak deh, aku mau ke wc dulu, biasalah ngaca” jawab Rena singkat dan lalu
meninggalkan Astrid sendirian di tangga, “Daaaah” katanya sambil berlalu
Astrid hanya tersenyum melihat temannya itu. Ia tau benar kebiasaan Rena dari dulu. Mereka
bertemu saat MOS SMP dan sampai sekarang masih berteman baik, bahkan dapat dibilang
partner. Mereka selalu terlihat kemana-mana bersama, ke kantin, wc, musholla, bahkan jadwal
datang bulan mereka sama.
Astrid menaiki anak tangga satu per satu, melewati mading di samping kirinya yang berisi
daftar peringkat ujian semester. Namanya ada di deretan 10 besar, urutan ke-enam tepatnya, tapi
Astrid terlihat tak begitu pepduli. Sudah beberapa orang menyenggolnya saat ia ingin naik,
mengingat pagi ini memang pagi yang ramai, pagi dimana murid-murid semangat sekolah.
Cewek kalem, berambut ikal alami, dan memiliki mata coklat ini akhirnya sampai di lorong
kelas nya berada. Ia terus berjalan tanpa memperhiraukan kanan-kirinya, Astrid memang
tergolong anak yang cuek dan pendiam, tetapi ia juga sangat peduli pada orang-orang yang ia
anggap teman.
Jari-jari lentik Astrid menari-nari di atas kertas berisikan daftar nama murid di 11 IPA 1,
memastikan bahwa Rena tak salah melihat kelasnya. Benar saja, Rena tak salah menyebutkan
kelasnnya, nama Astrid Vega ada di urutan nomor 7 yang kebetulan adalah angka kesukaannya.
***
Dua bulan dari hari pertama masuk sekolah telah berlalu, kelas 11 begitu tak terasa bagi
Astrid. Ia menjumpai banyak teman baru yang sebelumnya tak pernah ia kenal. Tetapi tetap saja,
Astrid adalah Astrid, beda sekali dengan sahabatnya Rena yang centil dan kekanak-kanakna, ia
tergolong anak-anak yang gila belajar dan terkenal karenanya, meskipun begitu Astrid tak pernah
merasa pintar, karena itu ia terus menerus belajar.
Hari ini hari biasa dari rutinitas sekolah, kecuali hari ini adalah hari ulangan Matematika
tentang Logaritma yang pertama bagi kelas 11 IPA 1.
“Memandang senyumanmu dari kejauhan membuatku bahagia..” terdengar nyanyian yang
diiringi dengan petikan gitar klasik. Seorang musisi muda tengah bernyanyi di depan kelas nya.
“RING RING” bel sekolah berbunyi tanda pelajaran pertama akan di mulai. Semua murid
bergegas memasuki kelasnya masing-masing. Kecuali Okto, seorang cowok famous yang
mengaku dirinya sebagai musisi muda. Ia tetap dengan santai bermain gitar sambil bernyanyi.
Sampai terlihat sosok mungil guru senior matematika yang akan masuk, barulah Okto beranjak
dari tempatnya. Ia berjalan sangat lambat seperti bermalas-malasan, sehingga ia masuk setelah
guru matematika tadi masuk kelas.
“Selamat pagi anak-anak” sapa sang guru saat ia berdiri di depan untuk memulai ulangan hari
ini, “Hari ini kita ulangan tentang Logaritma ya, masih ingat kan?”
Mata Okto terbelalak kaget menderngarnya, ia yang baru sampai di depan pintu kelas sambil
menenteng gitarnya berseru “HAH? Kok saya nggak tau bu?”
“Kamu ini, memang selalu tidak tau kabar” jawab sang guru singkat lalu melengos ke meja
nya untuk mempersiapkan soal.
Okto memang sempat panik mendengar hari ini ulangan, tetapi anak lelaki tunggal dari
keluarga yang cukup berada ini tak habis akal. Catatan matematika Okto memang sangat lengkap
dengan di tulis kecil-kecil yang rapi untuk situasi seperti ini, ‘lumayan bisa buat cerpe-an’
katanya dalam hati, sambil ia berjalan ke meja duduknya yang ‘strategis’ yaitu pojok belakang
kelas, ia berlalu sambil berbisik, “Haha mampus lo” kepada temannya, Zaki, yang duduk paling
depan berdampingan dengan Astrid.
Baru saja Okto sampai di meja nya untuk melipat-lipat catatannya, guru matematika sudah
menyebutkan namanya “Okto, kamu pindah kedepan di samping Astrid. Zaki, kamu tukar tempat
dengan Okto”
Okto benar-benar tak menyangka nasibnya begitu sial hari ini. Okto sudah tak bisa
melakukan apa-apa lagi, ia menutup buku catatannya, benar-benar sia-sia usaha mikro-buku
catatannya, mengetahui sang guru termasuk guru ‘killer’ di Smansa.
Zaki yang berpapasan dengan Okto tertawa kecil kepada nya “Hahaha yang mampus siapa
sekarang?”
Okto tak bisa menjawab, ia benar-benar mati kutu tanpa ada persiapan untuk ulangan hari
ini.
Tak lama setelah guru menuliskan soal Logaritma di papan tulis, ulangan pun di mulai. 5
menit, 10 menit, 15 menit, waktu terus berjalan sedangkan Okto hanya menuliskan namanya dan
kelas lalu menyalin soal yang ada di depan. Okto berusaha untuk mengerjakan soal-soal tersebut
tapi hasilnya nihil, ia benar-benar tidak mengerti.
Usaha Okto tidak hanya sampai di situ, Okto juga berusaha menyontek, kanan, kiri, atas,
bawah, depan, belakang, semua arah sudah ia tolehi. Banyak anak yang ketahuan menyontek oleh
dirinya, termasuk Zaki yang sekarang sedang duduk di meja nya. Entah kenapa mereka tidak
ketahuan, mungkin karena mata guru hanya tertuju pada satu arah, Okto.
Kesempatan emas bagi Okto, saat sang guru sedang menelpon keluarganya yang sedang
sakit. Okto meminta jawaban dari teman-temannya, tetapi sepertinya teman-teman Okto terlalu
serius dengan contekan masing-masing. ‘Harapan terakhir. Astrid.’ pikir Okto dalam hati. Entah
mengapa ia berani berpikir seperti itu.
“Ssst.. sst.. Astrid” katanya setengah berbisik.
Astrid menoleh dan menatapnya tajam, benar-benar tajam. Astrid tak suka saat ia di ganggu
konsentrasinya, apalagi dengan orang seperti Okto.
Melihat tatapan ‘maut’ Astrid, Okto segera berpaling dan tak berani lagi mengharapkan
jawaban dari Astrid. Kini ia pasrah.
***
Keesokan harinya, hasil ulangan Matematika tentang Logaritma bagi kelas 11 IPA 1 sudah
tersedia di tangan ketua kelas, siap untuk di bagikan.
Kertas pertama, kertas paling atas, bertuliskan nama Okto Arya Pradewo dengan nilai yang
lumayan untuk-nya, 20.
“Okto, ini ulangan kamu sengaja di taruh paling atas karena nilai kamu paling rendah” kata
ketua kelas.
Okto hanya menengok sedikit untuk melihat nilai nya “YA AMPUN! Masih ada yang benar
satu soal? Hebat!” serunya sambil tertawa.
“Heh! Dapet 20 kok seneng! Kamu satu-satu nya yang remidi tau. Di tunggu kapan kamu
siapnya untuk remidi sendiri di ruang guru” tawa Okto terhenti mendengar penjelasan ketus dari
ketua kelas.
Spontan Okto berdiri dari tempatnya sambil menunjuk Astrid “Itu anak dapet berapa?”
“Dia sih 100, biasa lah, paling tinggi di kelas” jawab ketua kelas
Dengan perasaan marah, Okto mengahmpiri meja Astrid sambil menghempaskan kertas
ulangannya, “Heh! Ini gara-gara lo tau! Pelit banget sih jadi orang, ngga mau bagi-bagi jawaban
lagi”
Astrid yang sedang mengerjakan tugas, hanya melirik ke arah Okto sambil berkata “Jangan
nyalahin orang karena kamu ngga belajar, dong. Kalo mau, ayo belajar bereng” Astrid serius
dengan kata-katanya, saat mengucapkan kalimat terkahir, wajahnya sudah menghadap ke wajah
Okto sepenuhnya.
Okto tambah kaget dengan penawaran Astrid, gadis yang begitu jutek menurutnya mau
ngajak belajar bareng? Hari bersejarah bagi Okto.
Dengan tergagap, Okto menjawab “Y-ya oke. Ajarin sampai bisa”
Astrid kembali mengerjakan tugas dan hanya melirik dengan berkata “Hari ini, di sini, pulang
sekolah”
***
Bel terakhir hari itu, tanda jam pulangan sekolah sudah berbunyi. Saat semua murid sudah
pulang, bahkan murid yang piket pun sudah tak ada, barulah pelajaran bagi Okto dari Astrid di
mulai.
Okto, laki-laki berparas tampan, berambut ikal pendek, dan tinggi ini benar-benar tak
menyangka bahwa hari ini akan tiba, hari dimana Okto dan Astrid hanya berduaan di kelas dan
terlihat akrab. Sebenarnya, Astrid dan Okto adalah teman lama di SMP dan sudah sekelas 3 tahun
berturut-turut, tetapi jarak antara anak teladan dan anak band seperti Okto memanglah sangat jauh
dan nyata, mereka hampir tak pernah mengobrol, kalau pernah-pun itu hanya karena ada
kelompok belajar yang di buat oleh guru. Karena ini lah Okto menganggap Astrid adalah cewek
yang jutek yang tak peduli dengan sekitarnya.
Jam demi jam berlalu, Okto memperhatikan Astrid dengan seksama, berulang kali ia
memperhatika wajah Astrid yang begitu manis ketika serius, dan berulang kali juga Astrid
mendapati Okto sedang melamun menatapi wajahnya.
Tanpa terasa jam dinding kelas mulai menunjuk angka 6, pertanda hari sudah mulai berganti
malam. Sinar matahari senja yang mengintip dari sela-sela jendela bersentuhan dengan kulit
kuning langsat milik Astrid, membuatnya terlihat lebih mempesona.
“Okay, menurutku kamu sudah cukup paham” kata Astrid memecah konsentrasi Okto.
“Iya, makasih ya. Udah mau malam juga” jawab Okto
“Aku pulang duluan ya” Astrid kemudian menyimpuni barang-barangnya
“Eh, aku juga mau pulang, kok. Hati-hati” sahut Okto dengan nada simpatik. Tulus.
Astrid hanya tersenyum mendengarnya dan bergegas meninggalkan kelas. Sekarang hanya
ada Okto dan suara detikan jam dinding yang ada di kelas. Okto berniat untuk menyusul Astrid
dan mengantarnya pulang, tetapi saat ia keluar dari kelas ia mendapati Astrid begitu akrab dengan
seorang laki-laki yang tak di kenalnya. Okto lalu menghampiri mereka.
“Cie, katanya duluan, eh sama yang lain ternyata, haha” Canda Okto sambil melalui mereka.
Okto berbalik dan melanjutkan langkahnya, menyusuri lorong, bertemu dengan tangga
disana. Entah dari mana asalnya, dada Okto terasa sesak saat itu.
***
Hari telah berganti malam. Okto dan Astrid masing-masing sudah berada di rumah. Okto
hanya berbaring di ranjang tidur bercorak tim sepak bola kesukaannya sambil memegang buku
tulis yang matematika yang ia kerjakan bersama Astrid tadi sore. Ia hanya menatap dan
membolak-balikkan buku tanpa membaca dan mengingat pelajaran yang tadi di ajarkan Astrid.
“Ah, ngga ngerti” seru Okto capek pada dirinya sendiri. Ia lalu bangun dari tempat tidurnya.
Okto melihat sekeliling kamarnya. Matanya tertuju pada piano tua yang diberikan ayah nya untuk
ulang tahunnya ke-15 tahun lalu.
Okto mulai memainkan sebuah lagu dengan di iringi piano nya. Ia lalu menndapatkan ide
cemerlang. Okto dengan cepat menyambar buku yang sejak tadi ngganggur di ranjangnya untuk
di bawa ke piano.
“2log8 sama dengan 3…” Okto bernyanyi dengan membaca buku nya. Ia pun tersenyum
optimis.
***
“Astrid! Astrid!” teriak Okto sepanjang koridor. Hari ini ia tak hanya membawa gitar, tetapi
juga membawa kertas remidi nya.
Hari ini sebelum Okto masuk kelas, ia memang sengaja menyelesaikan remedi-nya pagi-pagi
di ruang guru.
“Astrid!” mata Okto mencari-cari sosok Astrid di kelas, tak kunjung ketemu Okto bertanya
pada salah satu temannya “Eh! Astrid mana sih?”
“Ngga masuk hari ini, ngga ada kabar tu” jawab temannya.
Okto bingung sekaligus kaget mendengarnya. Murid rajin seperti Astrid tidak mungkin
melewatkan sekolah tanpa ada nya surat.
Hari terasa hambar bagi Okto, ia yang tadi nya semangat menunjukkan hasil remedi nya
menjadi bermalas-malasan.
Okto memang sangat berbeda dengan Astrid. Okto pemalas, emosional, kadang-kadang
manja seperti anak kecil. Tetapi ada satu hal yang sama dari mereka berdua. Okto adalah orang
yang sangat peduli terhadap teman dan keluarganya. Sama seperti Astrid.
Siang itu, setelah sekolah usai, Okto memutuskan untuk tidak langsung pulang kerumah, ia
pun berlalu ke tempat yang sudah lama tak ia kunjungi, danau di belakang Smansa.
Pijakan-pijakan Okto di tanah basah meninggalkan jejaknya di atas tanah, dan juga di bagian
bawah sepatu Okto yang mahal. Setelah sampai, Okto mendengar suara nyanyian merdu di pinggir
danau.
Siapa sangka, itu adalah Astrid. Hal yang lebih mengejutkan lagi adalah Astrid menggunakan
seragam sekolah lengkap dengan tas punggung coklatnya.
“Astrid!” teriak Okto tak menyangka
Astrid terlihat kaget dan juga tak menyangka akan kedatangan Okto, “Okto, kamu ngapain?”
terlihat mata merah-sembab Astrid menandakan ia habis menangis.
“Eh..” Okto tak percaya apa yang ia lihat. Astrid di danau, dengan menggunakan seragam,
lalu menangis? “Kamu.. kenapa?” tanya Okto, dengan sangat berhati-hati
“Kamu ditanya kok malah balik nanya sih, haha” gurau Astrid dengan suara nya yang
terdengar sedih
Okto tersenyum tipis, “Kamu banyak kejutan, ya. Aku kesini cuma mau main gitar”
“Aku cuma mau nyanyi” sahut Astrid spontan berusaha menyembunyikan masalah nya.
Pandangan mereka sekarang beradu satu sama lain, mata mereka bertemu di titik yang sama.
“Oh, ini. Ambil nih buat kamu” Okto berusaha memecah keheningan dengan memberikan
kertas remidinya
“Wah, bagus ni dapat 75. Kok buat aku?” tanya Astrid heran.
“Iya, tanda terima kasih sudah mau bantu. Nilai-nya buat kamu, hehe” jawab Okto
Desahan angin dan suara ikan melompat di atas air mengisi keheningan panjang yang mulai
tercipta di antara mereka. Angin sepoi-sepoi meniup rambut panjang Astrid dengan lembut. Okto
mulai memainkan lagu dengan gitarnya.
Mata belo Astrid melirik Okto memainkan jemari nya di senar-senar gitar. Merasakan
nadanya, dan lalu ikut bernyanyi.
***
Malamnya, di rumah masing-masing Astrid dan Okto mengingat-ngingat kejadian singkat
yang begitu manis tadi sore.
Astrid mengelap kepalanya yang basah dengan handuk, matanya tertuju pada tas coklat yang
berisikan hasil ulangan Okto. Ia lalu mengambil kertas itu dan membolak-balikkan nya, di
belakang kertas terdapat tulisan kecil khas Okto berbunyi “Terima kasih Astrid, kamu cantik juga
kalau lagi serius, hehe. Okto.” Astrid hanya tertawa kecil membacanya.
Okto hanya terbaring di ranjang tidurnya dan menatap langit-langit rumahnya yang tinggi,
sedang menerka-nerka apa yang dipikiran Astrid saat ia membaca pesan kecilnya. Okto hanya
tersenyum-senyum kecil, tak sabar menunggu besok. Sekolah tak pernah semenarik ini baginya.
***
Keesokan harinya berjalan seperti biasa, Okto dan Astrid pun begitu. Tak ada yang spesial,
mereka kembali seperti sedia kala.
“Hey, teman-teman! Hari ini pulang cepat! Guru-guru pada rapat! Sekarang waktunya
pulaang yaaaaay!” teriak ketua kelas.
Semua murid langsung berhamburan dan bersorak mendengar seruan kabar gembira dari
ketua kelas. Mereka bersiap-siap pulang, atau jalan dengan temannya.
Astrid menyiapkan tasnya, dan bergegas. Dari tempat duduknya, ia melihat Okto sedang
bergembira dengan teman-temannya di belakang. Ia lalu meninggalkan kelas.
Tepat saat Astrid menyiapkan barang-barang nya sebelum ia meninggalkan kelas, Okto
memperhatikannya dari jauh. Ia lalu bergegas diri.
Siang itu semua murid bergembira, dan langsung menuju tempat tujuan masing-masing.
Begitu juga Astrid, ia menuju danau. Tempat biasa nya menghabiskan waktu jika tak ada kerjaan.
Kalau ditanya mengapa ia menyukai danau, jawabannya adalah “Aku menyukai air hijau
didalamnya.” Atau “tempat ini sejuk, banyak pepohonan, dan sepi.”
Astrid hanya sendiri saat itu, dalam hati kecilnya ia mengharapkan keaadaan menjadi seperti
kemaren. Saat Okto datang melengkapi nyanyiannya.
Lima belas menit sudah berlalu, Okto tak kunjung datang.
“Bodoh..” bisik Astrid untuk dirinya sendiri.
Tepat saat kata itu terucap, langkahan kaki terdengar dari belakang. Astrid tak berani
menoleh, tak berani berharap. Jika itu bukan Okto, maka entah bagaimana sedihnya ia.
“Astrid..” terdengar suara lembut dari belakang sambil menepuk bahu Astrid.
Astrid tersenyum bahagia, ia tau.
“Okto” Astrid menoleh ke belakang mendapati Okto berdiri sambil menggendong gitarnya.
Okto langsung mengambil posisi tepat di sebelah Astrid, “Ini kali kedua kita ketemu ya,
kamu ngapain kesini?”
“Mau nyanyi aja, kamu?” Astrid menghadapkan wajahnya ke arah Okto.
Okto tersenyum lembut dengan berkata “Mau main gitar aja”
Astrid tertawa kecil sambi berkata, “Lucu ya bisa barengan gini”
“Mungkin memang kita ditakdirkan untuk main bareng” air muka Okto serius, yang tadi
wajahnya menatap air danau, sekarang ia menantang mata Astrid untuk berhadapan.
Astrid kaget, ia sangat tak menyangka Okto akan menjawab seperti itu.
Dari dulu, Astrid sudah menaruh perhatian khusus untuk Okto. Begitu pun Okto, ia sadar
bahwa perasaannya untuk Astrid adalah bukan perasaan untuk hanya sekedar pertemanan. Dari
SMP mereka saling menaruh perhatian satu sama lain, tetapi gengsi yang tinggi dari keduanya
membuat proses pendekatan seolah berlangsung begitu lama. Sekarang, saat gengsi sudah
dikalahkan, mereka tahu apa yang mereka benar-benar inginkan.
Astrid menjawab lembut pernyataan dari Okto, “Mungkin”
Keduanya tersenyum bersama-sama, tangan mereka beradu menjadi satu.