CERAI GUGAT KARENA SUAMI TERPIDANA PERSPEKTIF FIQIH DAN...
Transcript of CERAI GUGAT KARENA SUAMI TERPIDANA PERSPEKTIF FIQIH DAN...
i
“CERAI GUGAT KARENA SUAMI TERPIDANA
PERSPEKTIF FIQIH DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA”
(Analisis Putusan Nomor 999/Pdt.G/2016/PA.Tng)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh :
Dewi Novitasari
NIM. 1113043000040
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439/2018
ii
CERAI GUGAT KARENA SUAMI TERPIDANA PERSPEKTIF FIQIH
(Analisis Putusan Nomor 999/Pdt.G/PA.Tng)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh:
Dewi Novitasari
NIM : 1113043000040
Di Bawah Bimbingan
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag Dr. Hj. Maskufa, M.A
NIP.196511191998031002 NIP.196807031994032002
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Dewi Novitasari
NIM : 1113043000040
Fak/Prodi : Syariah dan Hukum/Perbandingan Mazhab dan Hukum
No. Hp : 089646738902
Dengan ini menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan kebutuhan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukanlah hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 6 Februari 2018
v
ABSTRAK
DEWI NOVITASARI. NIM 1113043000040. CERAI GUGAT KARENA
SUAMI TERPIDANA PERSPEKTIF FIQIH (ANALISIS PUTUSAN NOMOR
999/Pdt.G/PA.Tng) Program Studi Perbandingan Madzhab, Konsentrasi
Perbandingan Madzhab Fiqih, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. XVI+62 halaman+ 1
lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai dalil dan pertimbangan
hukum yang digunakan oleh Hakim Pengadilan Agama Tangerang dalam
memutuskan perkara terkait cerai gugat karena suami terpidana. Bagaimana
pandangan Fiqih terkait putusan hakim tersebut dan pertimbangan hukum yang
digunakan oleh Hakim dalam memutuskan perkara cerai gugat karena suami
terpidana.
Penelitian ini merupakan penggabungan dari penelitian normatif dan
penelitian empiris. Penelitian normatif dilakukan dengan cara mempelajari data
sekunder berupa buku-buku dan perundang-undangan yang terkait dengan
masalah yang dibahas, sedangkan penelitian empiris dilakukan dengan
menganalisa penetapan Pengadilan Agama Tangerang. Metode pengumpulan data
yang digunakan yaitu studi pustaka (library research). Studi pustaka dalam
penelitian ini dilakukan guna mengeksplorasi teori-teori tentang konsep dan
pemahaman yang terkait dengan tema penelitian penulis yaitu cerai gugat karena
suami terpidana (analisis putusan nomor 999/Pdt.G/PA.Tng)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan Hakim Pengadilan
Agama Tangerang menyimpulkan bahwa hakim berusaha objektif dan berhati-hati
dalam memutuskan perkara cerai gugat karena suami terpidana karena bukan
hanya factor suami yang terpidana, tetapi ada beberapa factor lain yang
melatarbelakanginya seperti masalah ekonomi/ tidak adanya pemberian nafkah
dari suami, sering terjadi perselisihan dan percekcokan yang berujung kepada
kekerasan fisik.
Kata kunci : Cerai Gugat, Analisis Putusan, Perspektif Fiqih
Pembimbing : 1. Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag
2. Dr. Hj. Maskufa, M.A
Daftar Pustaka : 1987 s.d. 2017
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Kuasa alam
semesta yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis
terutama dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam penulis
menyanjungkan kepada Baginda Alam yakni junjungan kita Nabi
Muhammad SAW dan keluarga, serta para Sahabat yang telah banyak
berkorban dan menyebarkan dakwah Islam.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit
hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu
ada jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang
sepanjang penulisan skripsi ini banyak membantu dan memberikan
bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis hingga
terselesaikannya skripsi ini.
Dengan demikian dengan kesempatan yang berharga ini penulis
mengungkapkan rasa hormat serta ucapan terimakasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Dede Rosyada selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Asep Saepudin Jahar Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah
3. Dr. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si Ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hj. Siti Hana, LC, M.A Sekretaris Program
Studi Perbandingan Mazhab
4. Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag dan Dr. Hj. Maskufa, M.A keduanya
pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan
vii
bimbingan dan motivasi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan
skripsi ini tepat pada waktunya
5. Staf Lembaga Pengadilan Agama Tangerang yang telah memberikan
penulis izin dan membantu meluangkan waktunya untuk melaksanakan
observasi dan wawancara selama penulis mengadakan penelitian
6. Seluruh staf pengajar/Para Dosen Prodi Perbandingan Mazhab yang
namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu namun tidak
mengurangi rasa takdzim saya, yang telah banyak memberikan ilmunya
tanpa kenal lelah sepanjang penulis ada disini. Selain itu, para pimpinan
dan staf Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum juga Perpustakaan
Utama yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini
7. Teristimewa untuk kedua orangtua penulis Ayahanda Sarjo dan Ibunda
Nurhayati, yang telah merawat dan mendidik dengan baik sampai saat
ini. Dengan kasih sayangnya yang abadi, dengan do’anya yang tiada
henti, dengan kesabarannya yang tak terdantingi dan selalu
memberikan penulis support baik segi moril maupun materil.
Terimakasih atas segala didikannya, doanya, kesabarannya, jerih
payahnya, serta nasihat yang selalu mengalir tiada henti tanpa pernah
jemu hingga ananda dapat menyelesaikan studi. Sungguh jasa kalian
tiada tara dan tak akan pernah bisa terbalas seperti apa yang telah kalian
berikan.
8. Pimpinan Pondok Pesantren Qotrun Nada Abuya KH. Burhanudin
Marzuki beserta para Asatidz dan Asatidzah yang telah mendidik
penulis selama 3 Tahun dan semoga Buya dan keluarga sehat selalu,
panjang umur dan semoga ilmu yang telah diberikan kepada seluruh
santri akan bermanfaat dan juga semoga suatu saat penulis bisa
mengharumkan nama baik almamater tercinta Qotrun Nada.
9. Teman-teman seperjuangan Prodi Perbandingan Mazhab angkatan 2013,
Terkhusus sahabat-sahabatku Ladies PMH 2013. Terimakasih sudah
memberikan arti dari sebuah persahabatan tanpa melihat harta, tahta,
viii
dan lainnya. Terimakasih kalian yang telah memberikan kritik dan
saranya dalam pembuatan skripsi ini, semoga persahabatan kita tidak
akan pernah pudar walau terpisahkan oleh jarak dan waktu.
10. Akbar Wijaya yang selalu meluangkan waktunya untuk membantu,
mendokan serta mensupport penulis.
11. Sahabat-sahabatku Ade Inayati Farida, Fitria Annisa, Astri
Amalia,Ananda Putri, walau raga kita jauh, do’a dan support kalian
selalu ada sampai detik ini. Terimakasih telah menjadi pendengar yang
baik untuk penulis ketika mencurahkan keluh kesah penulisan skripsi ini
juga terimakasih untuk tetap menjadi sahabat yang baik sampai detik
ini.
Kepada semua pihak yang telah banyak memotivasi dan
memberi inspirasi kepada penulis untuk mencapai suatu cita-cita, dan
yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung
moril maupun materil. Hanya ucapan terimakasih yang dapat penulis
haturkan semoga segala bantuan tersebut akan dibalas oleh Allah SWT
dengan balasan yang berlipat ganda. Aamiin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kesalahan
dan kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun perlu
kiranya diberikan demi kebaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Maka
akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya, dan pembaca pada umumnya.
Aamiin ya Rabbal ‘Alamiin.
Jakarta, 07 Februari 2018
Robi’ul Awwal 1439H
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................... v
DAFTAR ISI .............................................................................................. ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................... xi
BAB I: PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................... 7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................ 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 8
E. Review Kajian Terdahulu .................................................................. 9
F. Metode Penelitian ............................................................................... 10
H. Sistematika Penulisan ........................................................................ 13
BAB II: Tinjauan Umum Tentang Cerai Gugat................................. 15
A. Cerai Gugat (Khulu’) Perspektif Fiqih .............................................. 15
B. Cerai Gugat Menurut Hukum Keluarga di Indonesia ........................ 30
BAB III: CERAI GUGAT KARENA SUAMI TERPIDANA DI
PENGADILAN AGAMA TANGERANG…………….. 39
A. Peristiwa Hukum Terkait Putusan Cerai Gugat Karena Suami
Terpidana Di Pengadilan Agama Tangerang................................... 39
x
B. Pertimbangan Hakim Terkait Putusan Tentang Cerai Gugat Karena
Suami Terpidana .............................................................................. 42
BAB IV : PUTUSAN HAKIM TENTANG CERAI GUGAT KARENA
SUAMI TERPIDANA PERSPEKTIF FIQIH……………... 47
A. Pandangan Ulama Fiqih Tentang Pertimbangan Hakim Mengenai
Putusan Tentang Cerai Gugat Karena Suami Terpidana ................ 47
B. Analisa Penulis ................................................................................ 53
BAB V: PENUTUP ................................................................................... 58
A. Kesimpulan ..................................................................................... 58
B. Saran ............................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 60
LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................ 63
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari
tulisan asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini
diperlukan terutama bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin
menggunakan beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata
bahasa Indonesia atau lingkup masih penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam
aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا Tidak dilambangkan
بB Be
تT Te
ثTs te dan es
جJ Je
حH ha dengan garis bawah
خKh ka dan ha
دD De
ذDz de dan zet
xii
رR Er
زZ Zet
سS Es
شSy es dan ye
صS es dengan garis bawah
ضD de dengan garis bawah
طT te dengan garis bawah
ظZ zet dengan garis bawah
ع
koma terbalik di atas hadap
kanan
غGh ge dan ha
فF Ef
قQ Qo
كK Ka
لL El
مM Em
xiii
نN En
وW We
هH Ha
ء Apostrop
يY Ya
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa
Indonesia, memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap
atau diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih
aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah ــــــــــ
I Kasrah ــــــــــ
U Dammah ــــــــــ
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih
aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي___ Ai a dan i
xiv
و___ Au a dan u
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam
bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
 a dengan topi diatas ـــــا
Î i dengan topi atas ـــــى
Û u dengan topi diatas ـــــو
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan
huruf alif dan lam( ال ), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik
diikuti huruf syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya:
اإلجثهاد = al-ijtihâd
الرخصة = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah
e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah.
Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah
itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf
syamsiyyah. Misalnya:
al-syuî ‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah = الشفعة
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf
xv
ta marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika
huruf ta marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka
huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
syarî ‘ah شزيعة 1
al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشزيعة اإلسالمية 2
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب 3
g. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital,
namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya,
.al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri = البخاري
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring
atau cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama
yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak
dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari bahasa
Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf
(harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih
aksara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
al-darûrah tubîhu al-mahzûrât الضرورة تبيح احملظورات 1
al-iqtisâd al-islâmî اإلقتصاد اإلسالمي 2
xvi
usûl al-fiqh أصول الفقه 3
al-‘asl fi al-asyyâ’ al-ibâhah األصل يف األشياء اإلباحة 4
al-maslahah al-mursalah املصلحة املرسلة 5
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena
itu, pengertian perkawinan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974
mempunyai nilai ibadah, ini diperkuat oleh Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mistqan
ghalizan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan
ibadah.1
Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa suatu perkawinan
dapat diputus dengan tiga sebab, yaitu karena kematian, perceraian dan atas
keputusan pengadilan sesuai dengan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 113 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991 Kompilasi Hukum Islam. Perceraian merupakan jalan untuk
memutuskan hubungan perkawinan antara suami istri yang bukan disebabkan
oleh kematian salah satu pihak, akan tetapi didasarkan atas keinginan dan
kehendak para pihak dan perceraian harus dilakukan di Pengadilan.2
Pemutusan hubungan perkawinan dalam hukum Islam dikenal dengan
cerai talaq, gugat cerai, dan fasakh. Jadi, perkara perceraian bisa timbul dari
pihak suami dan juga bisa muncul dari pihak istri, perkara perceraian yang
1 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taragin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia
(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI ( Jakarta:
Kencana, 2004) h. 43
2 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan, Hukum
Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika 2014) h.19
2
diajukan oleh suami disebut dengan perkara Cerai Talak dengan suami
sebagai Pemohon dan istri sebagai Termohon, dan perkara perceraian yang
diajukan oleh istri disebut dengan perkara Cerai Gugat dengan istri sebagai
Penggugat dan Suami sebagai Tergugat ini dimuat dalam Pasal 114 Kompilasi
Hukum Islam.3
Munculnya perubahan hidup yang dialami oleh pasangan suami istri,
seperti terjadinya perselisihan, pertengkaran diantara keduanya itu dapat
menimbulkan krisis rumah tangga yang akan merubah suasana rumah tangga
menjadi tidak lagi harmonis. Hak melepaskan diri dari ikatan perkawinan
tidak mutlak ditangan kaum lelaki, memang hak talak itu diberikan
kepadanya, tetapi disamping itu kaum wanita diberi juga hak menuntut cerai
dalam keadaan-keadaan dimana ternyata pihak lelaki tersebut berbuat
menyalahi dalam menunaikan kewajibannya atau dalam keadaan-keadaan
yang khusus.4
Sama dengan hak yang diberikan bagi suami untuk menceraikan
istrinya, maka istri juga dapat menuntut cerai kalau ada cukup alasan
untuknya. Jika suami berlaku kejam, maka istri dapat meminta cerai dan tidak
dipaksa untuk menerima perlakuan yang sekiranya tak patut baginya. Khulu‟
adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan
tebusan atau „iwad kepada istri dan atas persetujuan suami. Jadi disini khulu
termasuk kedalam kategori cerai gugat.5
Telah terjadi banyak kasus-kasus penyiksaan dan perlakuan semena-
mena kepada istri dalam masyarakat yang tidak diperkenankan cerai. Islam
dengan izin cerai yang dituntut oleh si istri telah menolong banyak keluarga
3 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers 2013)
Cet-1. h. 233 4 Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1989) h.50 5 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2013) h. 237
3
Muslim sehingga terhindar dari kesengsaraan atas anak-anak yang
disebabkan percekcokan dan pertikaian antara ayah dan ibu mereka.6
Perceraian terjadi disebabkan oleh berbagai macam faktor, salah
satunya yaitu pernikahan sudah tidak bisa lagi dipertahankan. Sebenarnya
perceraian merupakan sebuah kesalahan yang mengorbankan kedua belah
pihak. Disebut suatu kesalahan, karena perceraian melanggar maksud dan
tujuan yang akan dicapai oleh pasangan suami istri, yaitu kehidupan bahagia
dan sejahtera.7
Adapun alasan-alasan terjadinya perceraian dimuat dalam pasal 19 PP
Nomor 9 Tahun 1975 jo. PAsal 116 KHI sebagai berikut:8
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang susah disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahu atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pada umumnya perceraian dilakukan oleh pihak laki-laki yang
menceraikan istrinya. Namun, di zaman modern ini banyak pula kasus yang
6 Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1992)
h.106 7 Ali Husain Muhammad Makki al-Amili, Bimbingan Islam Dalam Mengatasi
Problematika Rumah Tangga (Jakarta: Lentera Basritama, 2001) h.12-13 8 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 218-219
4
dilakukan oleh pihak istri menggugat cerai suaminya atau disebut dengan
cerai gugat.
Cerai Gugat yaitu, seseorang istri menggugat suaminya untuk bercerai
melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan
dimaksud sehingga putus hubungan (istri) dengan tergugat (suami)
perkawinan.9
Pernikahan, tidak luput dari kesalahpahaman,. Jika kesalahpahaman
tidak dapat diselesaikan sendiri oleh pasangan suami istri, dan perselisihan
telah mencapai satu tingkat yang mengancam kelangsungan hidup rumah
tangga, ayat diatas menfatwakan bahwa: Dan jika seorang wanita khawatir
menduga adanya tanda-tanda akan nusyuz keangkuhan yang mengakibatkan
ia meremehkan istrinya dan menghalangi hak-haknya atau bahkan hanya sikap
berpaling, yakni tidak acuh dari suaminya yang menjaadikan sang istri merasa
tidak lagi mendapatkan sikap tidak ramah, baik dalam percakapan atau sikap
dari suaminya, kemudian hal tersebut menghantarkan kepada perceraian,
maka tidak mengapa bagi keduanya melakukan perdamaian. Istri diminta
untuk lebih sabar menghadapi suaminya dan merelakan hak-haknya dikurangi
untuk sementara waktu agar perceraian tidak terjadi. Akan tetapi, jika suami
melalaikan kewajiban dan istrinya berulang kali mengingatkannya, namun
tetap tidak ada perubahan baik, maka taklik talak adalah jalan terbaik untuk
melindungi kaum wanita.10
Pasal 65 UUPA menegaskan bahwa perceraian yang sah hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
Salah satu kasus yang terjadi pada saat ini adalah istri menggugat cerai
suaminya dikarenakan suaminya masuk penjara atau tersandung kasus pidana
9 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2012)
h.77 10
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002) h.739-740
5
sehingga harus menjalani hukuman di penjara. Istri menggugat suaminya
karena merasa khawatir juga tidak merasa nyaman sebagai istri yang tanpa
suami karena suaminya tersandung kasus pidana dan masuk penjara. Sehingga
pada saat ini sudah tidak sedikit lagi seorang istri yang memutuskan tali
perkawinannya dengan cara menggugat cerai suaminya demi melanjutkan
kehidupannya dimasa yang akan datang.
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, hakim boleh menceraikan
suami-istri karena dipenjara. Menurutnya, suami yang dipenjara menyebabkan
kerugian bagi istrinya karena sang suami menjadi jauh dari istrinya. Apabila
pengadilan menjatuhkan vonis kepada sang suami dengan dipenjara selama
tiga puluh tahun atau lebih, dan keputusan itu adalah keputusan yang sudah
final, lalu sang suami sudah menjalaninya selama satu tahun, maka istri boleh
mengajukan tuntutan cerai kepada hakim karena kerugian yang dijalaninya.11
Meninjau dari pembahasan yang telah penulis paparkan di atas,
penulis tergugah untuk meneliti terkait tentang Cerai Gugat karena suami
terpidana yang menyebabkan si istri diterlantarkan tidak diberi nafkah lahir
maupun bathin, dari itu penulis mengambil objek penelitian di Pengadilan
Agama Tangerang yang merupakan lembaga peradilan yang menangani kasus
bagi orang-orang yang beragama Islam. Karena latar belakang di atas penulis
mengambil skripsi dengan judul “CERAI GUGAT KARENA SUAMI
TERPIDANA PERSPEKTIF FIQIH (Analisis Putusan Nomor
999/Pdt.G/2016/PA.Tng)”.
11
Al-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Beirut Libanon, Daarul Kitab Al-a‟rabi 2013) h.
190.
6
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, penulis
mencoba mengidentifikasi beberapa masalah yang terdapat pada judul
penelitian ini sebagai berikut:
1. Apa penyebab mendasar istri menggugat cerai suaminya?
2. Bagaimana pandangan Islam mengenai cerai gugat?
3. Bagaimana aturan hukum di Indonesia terhadap cerai gugat?
4. Bagaimana jika suami tidak ingin digugat oleh istrinya?
5. Bagaimana cara penyelasain di persidangan mengenai cerai gugat di
Pengadilan Agama?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terarah, maka penulis
membatasi lingkup permasalahan yang terjadi dalam hal cerai gugat
dikarenakan suami terpidana dalam putusan Pengadilan Agama
Tangerang.
Putusan perkara ini dibatasi pula oleh putusan hakim yang
memutuskan bahwa istri dapat mengajukan cerai gugat dngan alasan
suami masuk penjara.
Selanjutnya pembatasan masalah diuraikan sebagai berikut:
a. Cerai gugat dibatasi pada gugatan perceraian yang diajukan oleh istri
serta apa saja penyebab seorang istri boleh mengajukan cerai gugat.
b. Suami terpidana dibatasi pada perbuatan sumianya yang melanggar
hukum dengan menggunakan narkoba sehingga dirinya dipenjara.
c. Fikih dibatasi pada pandangan 4 Imam Mazhab.
d. Putusan nomor 999/Pdt.G/PA.TNG) putusan ini tentang uraian alasan-
alasan yang digunakan oleh istri untuk mengajukan gugatan
perceraiannya di Pengadilan Agama Tangerang.
7
2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan pembatasan masalah diatas maka rumusan
masalahnya secara umum adalah bagaimana pandangan fiqih dan hukum
positif di Indonesia terhadap putusan hakim mengenai cerai gugat karena
suami dipidana.
Rumusan masalah tersebut dirinci dalam beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara
karena suami dipidana?
b. Bagaimana perbandingan Imam Mazhab tentang cerai gugat karena
suami terpidana?
c. Pandangan Imam Mazhab yang manakah yang paling diikuti oleh
hakim?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sebagaimana rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulisan
skripsi ini adalah:
1. Tujuan penelitian
a. Untuk menjelaskan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara
nomor 999/Pdt.G/2016/PA.Tng tentang cerai gugat
b. Untuk membandingkan pendapat para imam mazhab dan hukum
positif tentang cerai gugat karena suami terpidana
c. Untuk mendeskripsikan apakah kesesuaian pendapat hakim dengan
pandangan imam mazhab
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pengetahuan
dalam menjelaskan tentang cara hakim memutuskan perkara dan
metode yang digunakan oleh hakim dalam menetapkan suatu putusan.
8
b. Manfaat Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini bisa memberikan masukan dan manfaat
bagi pengembangan ilmu hukum perdata maupun hukum positif. Dan
bagi suami dan istri hendaknya selalu menjaga dan memelihara
keutuhan serta keharmonisan rumah tangga, dari segala sesuatu yang
tidak diinginkan.
E. Review Kajian Terdahulu
Untuk mengetahui kajian terdahulu yang sudah pernah ditulis dan
dibahas oleh penulis lainnya, maka penulis mereview beberapa skripsi dan
karya tulis terdahulu yang pembahasannya hampir sama dengan yang penulis
angkat.
Dalam hal ini penulis menemukan beberapa skripsi dan karya tulis
terdahulu, yaitu:
1. Skripsi dengan judul ”Cerai Gugat Karena Suami Pengguna Narkoba”
yang ditulis oleh Hendrix (208044100008) . Dalam skripsinya, Hendrix
memaparkan tentang beberapa analisa putusan di Pengadilan Agama
Tigaraksa, disimpulkan bahwa:
a. Didalam memutuskan perkara-perkara tersebut, hakim berusaha
objektif dan berhati-hati dengan teliti karena tidak sedikit juga kasus
yang timbul bukan murni dari faktor narkoba, tetapi dari unsur lain
seperti masalah ekonomi, komunikasi pasif, perselingkuhan, bahkan
kekerasan dalam rumah tangga yang menjadikan unsur narkoba,
sebagai alasan tambahan dalam pengajuan gugatan perceraian.
b. Putusan hakim tentang gugatan perceraian yang mengandung
kekerasan dalam rumah tangga kurang tepat karena terdapat unsur
narkoba, karena didalam pasal 116 KHI huruf (f) yang menyatakan
narkoba termasuk unsur yang memabukan, meskipun kasus ini tidak
murni karena narkoba atau alasan lain.
9
Adapun yang menjadi perbedaan dalam skripsi ini penulis
menganalisis apa saja peristiwa hukum yang terjadi. Kemudian penulis
lebih menitikberatkan bagaimana pandangan ulama mazhab terkait
cerai gugat karena suami terpidana.
2. Skripsi dengan judul “Cerai Gugat Karena Suami Dipenjara Menurut
Hukum Islam dan Hukum Positif” yang ditulis oleh Syaiful Bahri
(102043224975), Syaiful Bahri memaparkan bagaimana Pengadilan
Agama Jakarta Selatan memutuskan perkara ini berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam menyelesaikan perkara cerai
gugat ini memang telah mengikuti aturan yang ada berlandaskan kepada
UU No. 1/1974 tentang perkawinan, PP No.9/1975 tentang peraturan
pelaksanaan dari UU perkawinan tersebut, Kompilasi Hukum Islam, UU
No.3/2006 tentang Pengadilan Agama.
Dalam analisisnya terhadap putusan No.116/pdt.G/2007/PAJS, tentang
Cerai Gugat tersebut sudah relevan dengan Kompilasi Hukum Islam dan
UU No. 1974 tentang perkawinan, karena hakim telah mengikuti aturan
yang ada dalam peraturan-peraturan tersebut. Sedangkan disini penulis
membedakan dengan cara menganalisis bagaimana pandangan ulama
mazhab mengenai cerai gugat karena suami dipenjara.
F. Metode dan Teknik Penelitian
Penelitian adalah suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala, dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut, untuk kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh
10
fakta tersebut.12
Pencarian yang dimaksud dalam hal ini adalah pencarian
yang tentunya akan dipakai untuk menjawab permasalah tertentu. Dalam
metode penelitian terdapat berbagai maca, jenis penelitian. Agar penelitian
dapat terlaksana secara rasional, maka diperlukan metode atau cara yang
sistematis, mulai dari jenisnya, sumber-sumbernya hingga teknik dalam
pengumpulan serta pengolahan datanya.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah suatu tindakan untuk mencari jawaban secara
dinamis dengan tujuan yang terfokus untuk memecahkan masalah serta
mengikuti langkah-langkah yang logis.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis metode penelitian hukum
yuridis normative, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan sumber
data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan
kepustakaan.13
Sesuai dengan karakteristik kajiannya, maka menggunakan
kajian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif.
2. Pendekatan Penelitian
Metode ini dilakukan dan ditunjukan pada praktek pelaksanaan hukum
(law in action) terhadap peraturan perundang-undangan dengan menelaah
undang-undang yang bersangkut paut dengan penelitian dan dokumen-
dokumen hukum yang ada di Indonesia, maka pendekatannya bersifat
Kualitatif Yuridis Normatif.14
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia
1981) h. 2 13
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia
Indonesia 1987) h. 24 14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group 2010) h. 133
11
3. Sumber Data
a. Data Primer, bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-
undangan, kemudian catatan-catan resmi atau berupa putusan hakim.
b. Data Sekunder, berupa publikasi tentang hukum meliputi buku-buku
teks yang berhubungan langsung dengan objek penelitian. Dalam hal
ini adalah kitab-kitab, buku-buku, dan literatur yang berkaitan dengan
hukum perceraian karena suami dipidana baik dari Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
4. Metode Pengumpulan Data
a. Dokumentasi, untuk mendapatkan data-data tentang masalah yang
diangkat terutama dalam lingkupan di Pengadilan Agama Tangerang.
b. Observasi, untuk mendapatkan data terkait putusan teks yang terdapat
di Pengadilan Agama Tangerang, maka dari itu dibutuhkan langsung
observasi ke lapangan.
5. Metode Analisis Data
Analisis data yaitu proses penyederhanaan data diolah menjadi
informasi sehingga karakteristik data tersebut bisa dipahami dan
bermanfaat untuk solusi permasalahan, terutama masalah yang berkaitan
dengan penelitian.15
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode analisis data secara
kualitatif. Yaitu dengan menggunakan penafsiran hukum, penalaran
hukum dan argumentasi rasional. Kemudian data tersebut uraikan dalam
bentuk narasi sehingga menjadi kalimat yang jelas dan mudah dipahami.
Dalam hal ini penulis membagi secara spesifik terkait metode kualitatif
yang digunakan yaitu:
15
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian, (Jakarta: Pranada Media Group 2016) h. 338
12
Content Analysis (Analisis isi) yaitu dengan mempelajari dokumen.
Analisis isi dapat mendokumentasikan dalam cara yang objektif hal ini
dapat memberikan hasil yang dapat diulang dan tepat mengenai teks
tersebut.16
Pada penelitian kali ini analisis isi digunakan dengan cara
menganalisis pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim dalam
memutuskan perkara cerai gugat karena suami terpidana.
6. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
Tahun 2017.
G. Sistematika Penulisan
Dalam memudahkan penyusunan skripsi ini dan untuk memberikan
gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan maka penulis membagi
kedalam beberapa bab, pada masing-masing bab mempunyai spesifikasi
pembahasan mengenai topic-topik yang akan dibahas.
BAB PERTAMA menjelaskan mengenai Latar Belakang Masalah,
Identifikasi Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Review Kajian Terdahulu, Signifikasi Masalah, Metode Penelitian,
dan Sistematika penulisan.
BAB KEDUA mejelaskan mengenai Alasan Perceraian Menurut
Hukum Islam dan Hukum Positif.
BAB KETIGA menjelaskan mengenai Peristiwa Hukum, dan
Pertimbangan Hakim Terkait Putusan Tentang Cerai Gugat Karena Suami
Terpidana
16 W. Lawrence Neuman, Metode Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif, (Jakarta, indeks 2013) h. 400
13
BAB KEEMPAT menguraikan tentang Pandangan Fiqih Terkait
Pertimbangan Hakim Mengenai Putusan Tentang Cerai Gugat Karena Suami
Dipenjara, kemudian menganalisis putusan perkara cerai No.
999/Pdt.G/2016/PA.Tng.
BAB KELIMA merupakan bab penutup yang berisi tentang
kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dan saran yang berguna untuk
perbaikan dimasa yang akan datang.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG CERAI GUGAT
A. Cerai Gugat (Khulu’) Perspetif Fikih
Kehidupan suami dan istri akan berlangsung dengan baik dan damai
apabila dijalani dengan rasa saling mencintai, saling menyayangi, apabila
masing-masing dari pihak menjalankan hak-hak dan kewajiban mereka
sebagai suami istri, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur‟an. Jika salah
satu dari mereka tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka sebagai
suami dan istri maka akan timbul pertengkaran, kesalahpahaman, dan juga
kebencian diantara mereka.
Perceraian dalam hukum Islam adalah perbuatan yang halal namun
mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT. Berdasarkan hadis Nabi
Muhammad SAW. sebagai berikut: ث نا كث د بن خالد عن معرف بن واصل عن مارب حد ث نا مم ر بن عب يد حد ي
بن دثار عن ابن عمر عن النب صلى اللو عليو وسلم قال أب غض حالل إل اللو
17ت عال الطالق
Artinya: “Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah
talak/perceraian”
Hadits diatas menjelaskan bahwa perceraian adalah alternatif terakhir
(pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan
(rumah tangga) sudah tidak bisa dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya.
17
Abu Daud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Sajistani, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dâr al-
Kitâb al‟Arabi, t.th.) juz 2 h.220
15
Sifat alternative terakhir dimaksud, berarti sudah ditempuh berbagai cara dan
teknik untuk mencari kedamaian di antara kedua belah pihak, baik melalui
hakim (arbitrator) dari kedua belah pihak maupun langkah-langkah dan teknik
yang diajarkan oleh al-Qur‟an dan hadis.
Dalam al-Qur‟an Surat An-Nisa ayat 128 dijelaskan:
وإن امرأة خافت من ب علها نشوزا أو إعراضا فال جناح عليهما أن يصلحا
ن هما صلحا ر ب ي لح خي ح وأحضرت ا والص وإن تسنوا لن فس الش
قوا فإن اللو كان با ت عملون خبريا وت ت Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi
mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu
bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan
sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (Q.S An-Nisa (4): 128)
Jika kebencian datang dari pihak suami maka ia boleh menjatuhkan
talak kepada istrinya karena hal itu merupakan salah satu dari hak sang suami.
Ia juga boleh menggunakan haknya selama masih berada dalam koridor
syariat Islam. Tetapi, jika kebencian datang dari pihak istri maka Islam
memperbolehkannya untuk melepaskan diri dari kehidupan berkeluarga
dengan cara khulu‟ kemudian memberikan kepada suami harta yang sudah
diambil darinya untuk mengakhiri hubungan dengannya. Berkenaan dengan
hal ini, Allah swt. berfirman:18
18
Al-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut Libanon, Dârul Kitab Al-a‟rabi 2013) jilid
II h. 301
16
ل لكم أن تأخذوا ما آت يتموىن شيئا إل أن يافا أل يقيما حدود اللو ول يتلك حدود اللو فإن خفتم أل يقيما حدود اللو فال جناح عليهما فيما اف تدت بو
فأولئك ىم الظالمون ومن ي ت عد حدود اللو تدوىا فال ت ع
17
“ Tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir bahwa tidak dapat
melaksanakan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya” (Q.S Al
Baqarah (2): 229)
Ayat di atas sudah jelas menunjukan bahwa tidak ada halangan bagi
seorang istri untuk mengajukan cerai gugat. Dalam hal ini masalah perceraian,
al-Qur‟an menempatkan kedua belah pihak dalam kedudukan yang sama.
Bahkan persamaannya itu sudah nampak jelas diterangkan dalam Hadist.
Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menikah dengan
seorang perempuan bernama Umaimah atau Ibnatul-Jaun. Ketika itu beliau
mendatangi perempuan itu, kemudian berkata bahwa ia memohon
perlindungan Allah untuk dijauhkan dari beliau, yang artinya ia telah meminta
cerai. Kemudian dijelaskan kembali dari kisah Tsabit bin Qais yang konon
istrinya menghadap Nabi Muhammad SAW dan berkata:
عن ابن عباس قال : جاءت امرأة ثابت بن ق يس إل رسول اهلل ص م ف قالت : يا ابن ق يس ما أعيب عليو ف خلق ول دين ولكن أكره كفر ف رسول اهلل ثابت
سالم. ف قال رسول اهلل عليو حدي قتو ؟ ف قالت: ن عم, ف قال رسول اهلل: : أتريدين ال 19اقبل الدي قة وطلقها تطلي قة )رواه البخارى(
“Wahai Rasulullah, aku tak melihat ada kekurangan yang ada pada Tsabit
bin qais dalam hal akhlak dan imannya, tetapi aku sudah tidak dapat lagi
hidup bersama dengannya” Muhammad SAW bersabda: “Maukah engkau
mengembalikan kepadanya kebun buah-buahan yang telah dia berikan
kepadamu sebagai mas kawin?” Setelah itu ia menjawab setuju, kemudian
Muhammad SAW memanggil Tsabit bin Qais dan memerintahkan kepadanya
19
Muhammad bin Ismail al Ja‟fi al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (T.tp: Dar Tuq al-
Najah, 1422 H) Juz 13 h. 274
18
untuk menerima kembali kebunbuah-buahannya, lalu menceraikan istrinya.
(H.R Al-Bukhori)
Hadis tersebut, terdapat beberapa permasalahan. Sebagian jumhur
ulama ada yang membolehkan mengambil tebusan dan ada juga sebagian
ulama yang bersepakat untuk melarang pengembalian harta istri kecuali jika
hubungan keluarga rusak disebabkan oleh istri. Apabila keretakan hubungan
keluarga menjadi baik karena suami, maka tidak diperbolehkan suami
mengambil apa yang telah diberikan kepada istrinya.20
Hak untuk memohon untuk mengajukan gugatan perceraian
kepengadilan dalam hukum Islam disebut khulu‟ yaitu perceraian atas
keinginan pihak istri, sedang suami tidak menghendaki.21
Khulu‟ berarti “menanggalkan”, seperti “menanggalkan pakaian”.
Kemudian dipakai dengan arti menanggalkan istri, karena istri adalah pakaian
dari suami dan suami adalah pakaian dari istri, sebagaimana firman Allah
S.W.T:
ىن لباس لكم وأن تم لباس لن
“Mereka (istri) adalah pakaianmu (suami dan kamu adalah pakaian
mereka…” (Q.S. Al-Baqarah (2): 187)
Gambaran di atas, di mana masing-masing istri berfungsi sebagai
pakaian suaminya dan begitu juga sebaliknya istri sebagai pakaian untuk
suaminya. Maksudnya, suami bisa melengkapi dan menutupi kekurangan istri,
dan istri juga harus menutupi dan melengakapi kekurangan suaminya.
Masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang seimbang
20 Zaitunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan: Menuju Kesetaran Gender dalam
Penafsiran, (Jakarta: Kencana 2015) h. 212 21
Bahder Johan Nasution dan sri warjiyati, Hukum Perdata Islam, (bandung: mandar
Maju, 1997) h. 33
19
berdasarkan peranan masing-masing dalam kehidupan demi keberlangsungan
dalam membina sebuah rumah tangga. 22
Khulu‟ menurut istilah ilmu fiqh yang artinya adalah menghilangkan
atau membuka buhul akad nikah dengan kesediaan istri membayar „iwad
(ganti rugi kepada pemilik akad nikah itu (suami) dengan menggunakan kata
cerai atau khulu‟. „Iwad yang dimaksud dapat berupa pengembalian mahar
oleh istri kepada suami atau sejumlah barang, uang atau suatu yang dipandang
mempunyai nilai yang telah disepakati oleh suami dan istri23
. Kemudian
menurut masing-masing mazhab khulu‟ mempunyai beberapa istilah masing-
masing.
Khulu‟ secara bahasa menurut mazhab Hanafi adalah pemisahan,
percampuran atau perceraian dan secara istilah khulu‟ adalah penghilangan
kepemilikan ikatan pernikahan yang bergantung kepada penerimaan sang istri,
dengan lafal khulu‟ dan kalimat lain yang memiliki makna yang sama.
Menurut mazhab Maliki khulu‟ secara bahasa pemisahan, pencampuran,
perceraian, perbaikan dan fidyah. Mencakup perpisahan yang terjadi dengan
„iwad atau dengan tanpa iwadh. Definisi khulu‟ selanjutnya menurut mazhab
Syafi‟i dan Imam Hambali khulu‟ adalah memperbaiki lafadz talak dengan
jelas atau kinayah dengan niat. Yang membedakan dikedua ulama mazhab ini
yaitu cara menafsirkan terkait kinayah. Kinayah menurut imam Syafi‟i
kinayah itu seperti lafadz kinayah adalah talak sedangkan menurut imam
Hambali lafadz kinayah tidak langsung tapi dicontohkan dengan lafadz lain.
Seperti ucapan seorang suami kepada istrinya, dengan kalimat “Aku talak
kamu atau aku khulu‟ kamu berdasarkan ini”, maka si istri menerima. Definisi
inilah yang paling tepat karena sesuai dengan maksud yang ingin dituju pada
khulu‟ ini, yang juga sesuai dengan pemahaman manusia dan undang-undang
22
Zaitunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan: Menuju Kesetaran Gender dalam
Penafsiran, h. 217 23
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan
Bintang 1987)h. 181
20
yang berlaku di Negara Mesir dan Syiria. Mazhab Hambali pun memberikan
definisi terkait khulu‟, yaitu perpisahan antara suami dengan istrinya dengan
„iwad yang dia ambil dari si istri, atau dari orang yang selain istri, dengan
lafal khusus.24
Khulu‟ disyariatkan berdasarkan firman Allah SWT, “jika mereka
menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,
maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati,” (QS. An-
Nisa: 4). Hukum khulu‟ secara syariat dimakruhkan bagi si istri dengan jalan
lurusnya kondisi perkawinan, berdasarkan hadist riwayat Tsauban, bahwa
Nabi SAW. bersabda,
“Perempuan mana saja yang meminta talak kepada suaminya dengan
tanpa alasan, maka diharamkan kepadanya bau surga”.
Menurut Imam Syafi‟i hukum khulu‟ dibolehkan pada waktu terjadi
perselisihan dan pada saat rukunnya dilaksanakan dengan cara yang lebih baik
dan tepat.25
Hukum makruh tersebut berlaku secara umum, namun ada dua khulu‟
yang hukumnya tidak makruh. Pertama, suami atau salah satunya khawatir
tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah (maksudnya, sesuatu yang
diwajibkan dalam perkawinan). Penyebutan “khawatir” yang terdapat dalam
Surat al-Baqarah ayat 229 bersifat umum. Sebab, umumnya khulu‟ terjadi
akibat pertengkaran. Jika, istri tidak suka suaminya karena buruk rupa atau
sikap yang tidak terpuji, dan dia khawatir tidak bias memenuhi hak suaminya,
dia boleh meminta khulu‟ dengan kompensasi tertentu.
Kedua, suami bersumpah akan melakukan taklik talak tiga terhadap
istrinya dengan perbuatan yang pasti dia lakukan (seperti makan, minum, dan
buang hajat) lalu dia mengkhulu‟nya, kemudian melakukan hal yang dijadikan
sumpah, selanjutnya menikahi dia, maka dia tidak melanggar sumpah, sebab
24
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa adilatuhu, jilid 9 h. 7010 25
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, (Pustaka Al-Kautsar, 2006) Cet-5 h. 307
21
sumpahnya sudah batal dengan perbuatan pertama. Maksudnya, talak tiganya
tidak jatuh.26
Karena itu khulu‟ yang tidak memiliki alasan, maka jadi makruh. Akan
tetapi, biarpun dimakruhkan, khulu‟ tetap terjadi. Kemudian disunnahkan juga
bagi suami untuk memberikan jawaban khulu‟ yang diminta oleh si istri, hal
ini berdasarkan kisah istri Tsabit bin Qais.
Khulu‟ dalam perspektif syara‟ ada yang shahih ada pula yang fasid.
Khulu‟ yang shahih adalah khulu‟ yang memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan, terutama syarat kompensasi (barang ganti rugi), seperti bisa
diserah terimakan, milik tetap, dibolehkan secara syara‟ dan sebagainya.
Sebab khulu‟ tidak boleh dilakukan dengan kompensasi barang haram,
mengandung unsur tipuan dan bukan sesuatu yang bisa diserahterimakan.
Khulu‟ fasid adalah khulu‟ yang tidak mensyaratkan harus
diketahuinya nilai kompensasi. Apabila seorang suami mengkhulu‟ istrinya
dengan kompensasi suatu yang tidak diketahui, seperti baju yang tidak
ditentukan atau dengan tumpangan kendaraan, atau mengkhulu‟ istri dengan
syarat yang fasid, seperti syarat tidak memberikan nafkah padahal si istri
sedang hamil, atau syarat tidak menyediakan tempat tinggal; atau mengkhulu‟
istri dengan kompensasi seribu sampai waktu yang tidak diketahui, dan lain
hal sebagainya, maka dalam seluruh ilustrasi ini si istri tertalak bain dengan
kompensasi sebesar marah mitsil.27
Perceraian di dalam Hukum Islam biasanya bisa terjadi disebabkan
oleh dua hal:
1. Istri atau suami yang mandul. Jika istri mandul, tentu rumah tangga
yang dijalani bersama suaminya menjadi terasa hambar, karena kehadiran
anak adalah menjadi perhiasan dalam keluarga. Tujuan utama dari pekawinan
26
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhu Asy-Syafi‟I Al-Muyassar (Jakarta: Almahaira 2010)
h.632 27
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu Imam Asy-Syafi‟I Al-Muyassar, h. 647-648
22
adalah memperoleh keturunan yang sholeh atau sholehah. Dengan
kemandulan yang terjadi diantara keduanya maka sudah jelas salah satu tujuan
dari perkawinan tidak dapat terwujud. Sebaliknya jika suami yang mandul,
maka seorang istri dapat mengujkan gugatan perceraian kepada pengadilan.28
2. Tidak dapat rukun dalam rumah tangga. Kerukunan merupukan suatu
unsur utama bagi pembinaan untuk rumah tangga yang bahagia dan damai.
Jika kerukunan dalam rumah tangga tidak dapat diwujudkan lagi maka akan
menimbulkan rasa kebencian dan rasa permusuhan di antara keduanya yang
menyebabkan rumah tangga mereka hancur.
Bagaimana jika talak dalam khulu‟ apakah talak telah jatuh dengan
adanya khulu‟ ataukah tidak jatuh sehingga suami menyebutkan lafazh talak
tersebut, baik dengan kata-kata maupun hanya dengan niat saja? Jika terjadi
khulu‟ yang lepas dari talak, baik secara lisan maupun niat, maka ada tiga
pendapat.
Pendapat yang sering dikemukanan di dalam kitab Imam Syafi‟i yang
baru, yaitu bahwa khulu‟ termasuk talak. Ini juga menjelaskan bahwa khulu‟
termasuk thalak sharih ini pendapat yang dikemukakan oleh jumhur ulama
dan Imam Syafi‟i dalam kitabnya Al-imla‟. Yang dijadikan hujjah oleh
jumhur ulama dalam hal ini bahwasannya lafadz khulu‟ itu hanya dimiliki
oleh suami saja, sehingga disebut dengan talak. Apabila khulu‟ dianggap
sebagai fasakh (batal), maka tidak akan boleh mengambil harta pemberian
selain mahar. Tetapi disini jumhur ulama membolehkan pengambilan harta
selain mahar, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak. Dengan demikian
hal itu menunjukan bahwasannya khulu‟ sesungguhya merupakan talak.29
Kemudian rukun-rukun khulu‟ menurut jumhur selain mazhab hanafi
ada lima, yaitu: orang yang menerima, orang yang menjawab, „iwad, barang
28 M. Quraish Shihab, Wawasan Qur‟an, Tafsir Maudhu‟I Atas Pelbagai Persoalan
Umat. (Bandung: Mizan 1996) h. 200 29
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidh, Fiqih wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
1998) h. 444
23
yang di‟iwadhkan, dan ucapan. Orang yang menerima adalah orang yang
mesti membayar „iwad. Orang yang menjawab adalah suami atau walinya atau
wakilnya. Salah satu dari rukun khulu‟ adalah suami. Syarat yang harus
dipenuhi oleh suami adalah khulu‟ dapat sah bila dilakukan oleh setiap suami
yang sah melakukan talak. Yaitu orang baligh, berakal, dan atas keinginan
sendiri karena khulu‟ sama dengan talak. Suami merupakan rukum dari khulu‟
bukan syarat. Jadi, khulu‟ yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila dan
orang yang dipaksa hukumnya tidak sah, seperti tidak sahnya talak mereka.30
„Iwad (ganti rugi) yaitu semua yang bisa dijadikan mahar dari harta
atau manfaat yang berdasarkan harta. Akan tetapi, tidak ada batasan batasan
minimal bagi „iwad khulu. Tidak mesti ada penyebutan secara terang-terangan
mengenai iwadh. Jika suami berkata, “Aku khulu‟ kamu”, atau dia berkata
kepada istri, khulu‟lah dariku” maka si istri berkata, “Aku khulu‟ kamu” dan
salah satu dari keduanya tidak menyebutkan „iwad, maka khulu‟nya sah dan
mesti diserahkan „iwad.
Ganti rugi dalam masalah khulu‟ ada beberapa persoalan yang
dikemukakan ulama dalam kaitannya dengan hukum menerima ganti rugi itu
sendiri.31
(1) Jika istri membenci suaminya karena pergaulannya yang tidak serasi,
maka suami boleh mengkhulu‟nya dan meminta ganti rugi. Akan tetapi,
menurut ulama Mazhab hanafi, suami tidak boleh mengambil ganti rugi
melebihi mahar yang telah diberikannya dengan alasan berdasarkan hadist
yang berkaitan dengan dengan kasus istri Qais. Tetapi menurut jumhur
ulama, suami boleh menerima ganti rugi melebihi mahar yang telah
diberikannya.
30
Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu Asy-Syafi‟I Al-Muyassar, h.633 31
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve
1996) jilid 6 h.933
24
(2) Jika suami yang membenci istrinya berkeinginan untuk mengkhulu‟
istrinya, maka ulama fikih sepakat mengatakan hukumnya makruh bagi
suami menuntut bagi rugi.
(3) Jika keretakan rumah tangga itu datangnya dari kedua belah pihak (suami
dan istri) sehingga akan berakibat hak-hak dan kewajiban diantara
keduanya terabaikan, maka khulu‟ dibolehkan dan suami boleh meminta
ganti rugi.
Mengenai pemberian dari istri yang ingin mengajukan khulu‟
terhadap suaminya, apakah boleh mengambil harta melebihi apa yang telah
diberikan suami kepada istrinya? Az-Zuhri mengatakan: “Tidak
diperbolehkan bagi suami mengambil harta melebihi apa yang telah diberikan
kepadanya.” Begitu pula dengan para hakim yang tidak memperbolehkan
seorang suami mengambil harta dari istrinya kecuali apa yang telah diberikan
kepadanya, ini pendapat yang dikemukakan oleh Al-Auza‟i.32
Ada pula yang berpendapat golongan yang memakruhkan hal tersebut.
Di antaranya adalah Al-Hakam bin „Uyainah, hammad bin Abi Sulaiman, dan
Amir Asy-Sya‟abi. Mereka mengatakan bahwa “dimakruhkan bagi suami
mengambil dari istrinya seluruh apa yang telah diberikan kepadanya.” Adapun
Abu Hanifah berpendapat: “Tidak diperbolehkan bagi seorang suami
mengambil tebusan dari istrinya melebihi dari apa yang telah diberikan. Jika
melakukan hal itu, maka hendaklah ia mensedekahkan kelebihan yang ia
ambil”.33
Mazhab Maliki dalam satu riwayat mazhab Hambali berpendapat,
“khulu‟ terjadi dengan tanpa „iwad”. Sedangkan pendapat yang rajah menurut
mazhab Hambali adalah, bahwa „iwad adalah rukun dari khulu‟. Jika suami
32
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidh, Fiqih wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
1998) h. 446 33
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidh, Fiqih wanita, h. 446
25
mengkhulu‟ istrinya tanpa „iwad maka tidak jatuh khulu‟, kecuali jika khulu‟
diucapkan dengan lafal talak, maka jatuh talak raj‟i.
Selanjutnya adapun syarat-syarat khulu‟ sebagai berikut:34
a. Kerelaan dan persetujuan
Para ahli Fiqh sepakat bahwa khulu‟ dapat dilakukan berdasarkan
kerelaan dan persetujuan dari suami dan istri, asal kerelaan dan
persetujuan itu tidak akan berakibat kerugian bagi pihak lain. Firman
Allah Surah annisa ayat 19
ل لكم أن ترثوا النساء كرىا ول ت عضلوىن يا أي ها الذين آمنوا ل ينة وعاشروىن لتذىبوا بب عض ما آت يتموىن إل أن يأتني بفاحشة مب ي
را بالمعروف فإن كرىتموىن ف عسى أن تكرىوا شيئا ويعل اللو فيو خي كثريا
“Wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kamu mewarisi
perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang
telah kamu berikan kepadanya., kecuali apabila mereka melakukan
perbuatan keji yang nyata. Dan bergaulah dengan merka menurut
cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan kebaikan kepadanya”
Apabila sang suami tidak mengabulkan permintaan khulu‟ dari
istrinya, sedangkan sang istri merasa tetap dirugikan haknya sebagai
seorang istri, maka istri dapat mengajukan gugatan untuk bercerai ke
Pengadilan.
34
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang 1987)h. 184-187
26
b. Istri yang dapat dikhulu‟
Sepakat para ahli fiqh bahwa istri yang dapat dikhulu itu adalah istri
yang mukallaf dan telah terikat dengan akad nikah yang sah dengan
suaminya. Apabila istri yang tidak atau belum mukallaf, yang berhak
mengajukan permintaan khulu‟ kepada suaminya adalah walinya.
c. „Iwad
„Iwad (pengganti) merupakan ciri khas dari khulu‟. Selama „Iwad
belum diberikan oleh pihak istri kepada pihak suami, maka selama itu
pula tergantung perceraian. Setelah „iwad diserahkan kepada pihak
suamimaka barulah terjadi perceraian. Bentuk „iwad sama dengan
bentuk mahar. Benda apa saja yang dapat dijadikan mahar masa bisa
juga dapat dijadikan „iwad. Mengenai jumlahnya itu tergantung
persetujuan dari pihak-pihak suami dan istri. Ketentuan jumlahnyaini
tidak disebutkan secara spesifik dalam Al-Qur‟an dan hadist, hanya
saja disebutkan secara umum, Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah
229:
“Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh istri untuk menebus dirinya” (Q.S Al-Baqarah (2): 229)
d. Waktu menjatuhkan khulu‟
Para ahli fiqh sepakat bahwa khulu‟ dapat dijatuhkan pada
masa haid, pada masa nifas, pada masa suci yang belum dicampuri
atau yang telah dicampuri. Pendapat ini berdasarkan pengertian secara
umum yang terdapat disurat Al Baqarah ayat 229 yang tidak
menyebutkan waktu-waktu menjatuhkan khulu‟. Dan juga berdasarkan
bahwa lama masa iddah itu ditetapkan sedemikian rupa adalah
menjaga hak suami dan menjaga hak istri setelah terjadi perceraian.
Allah memerintahkan agar suami mentalak istrinya hendaklah
melakukan pada waktu atau keadaan yang dapat memperpendek masa
iddah istrinya. Bila istri meminta suami mengkhulu‟nya pada waktu
27
yang menyebabkan masa iddahnya lebih lama, berarti istri telah
bersedia mempunyai masa iddah yang lebih lama, sekalipun hal yang
demikian merugikan dirinya.
Abdul Ghofur Anshori menjelaskan bahwa khulu‟ memiliki
beberapa unsur yang sekaligus menjadi rukun, serta karakteristik dari
khulu‟ tersebut:
a. Suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan.35
Suami hendaklah seseorang yang ucapannya telah diperhitungkan
secara syara‟, yaitu baligh dan tidak bertindak atas kehendaknya
sendiri secara sengaja. Dengan kata lain, suami dalam keadaan gila
atau dibawah pengampuan tidak sah melakukan khulu‟
b. Istri yang meminta cerai dari suaminya dengan tebusan.
Untuk keperluan pengajuan khulu ini ia harus menyerahkan harta.
syarat ini ia harus seseorang yang telah baligh, berakal sehat dan cakap
bertidak atas harta. Kalau syarat ini tidakdipenuhi, maka yang
melakukan khulu‟ adalah walinya, sedangkan iwadh dibebankan
kepada hartanya sendiri, kecuali keinginan itu datang dari walinya.
Maka khulu‟ dapat dilakukanatas kehendak pihak ketiga dengan
persetujuan istri. Pembayaran iwadhnya pun ditanggung oleh pihak
ketiga tersebut.
c. Uang Tebusan atau „iwad
Mayoritas ulama menempatkan iwadh sebagai rukun yang tidak boleh
ditinggalkan untuk kebsahan khulu‟.
35
Muhammad Syaifudin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum
Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika 2014) h. 134-135
28
d. Sighat atau ucapan Khulu‟
Menurut para ulama ucapan khulu‟ terdiri dari dua macam, yaitu
menggunakan lafaz yang jelas dan terang (sharih) dan menggunakan
lafaz kinayah yang harus disertai dengan niat.
e. Alasan untuk terjadinya khulu‟
Alasan utama untuk terjadinya khulu‟ adalah adanya kekhawatiran istri
tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai istri yang menyebabkan
tidak dapat menegakkan hukum Allah.
Dalam Undang-Undang ada berbagai dampak khulu‟. Undang-Undang
Negara Syiria mengadopsi mazhab Abu Hanifah mengenai bahwa khulu‟
membuat hilang berbagai hak masing-masing suami dan istri yang mereka
penuhi, berupa mahar, dan nafkah suami istri.Meskipun pasangan suami dan
istri ini tidak bersepakat mengenai iwadh. Hal itu tertuang dalam kedua pasal
berikut ini:36
Pada pasal 89: jika khulu‟ terjadi berdasarkan harta yang selain mahar,
maka mesti dibayar. Dan bebas tanggungan dua orang yang saling melakukan
khulu‟ yang terdiri dari hak mahar dan nafkah suami-istri.
Selanjutnya pada pasal 99:jika pasangan suami istri yang melakukan
khulu‟ tidak menyebut iwadh pada saat terjadinya khulu‟, maka masing-
masing dari keduanya bebas dari pemenuhan hak yang lain, yang berupa
mahar dan nafkah suami-istri. Khulu‟ kemudian menyebabkan munculnya
berbagai macam dampak yang berikut ini:37
1. Jatuh talak bâ‟in akibat khulu‟, meskipun dengan tanpa iwadh ataupun
niat, menurut mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dalam pendapatnya yang
rajah, dan Ahmad dalam satu riwayat darinya. Berdasarkan firman
Allah SWT:
36
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islami wa Adilatuhu, jilid 9 h.7039 37
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa adilatuhu, jilid ke 9 h. 7035
29
“Tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
istri untuk menebus dirinya.” (Q.S Al-Baqarah (2): 229)
2. Khulu‟ tidak bergantung kepada keputusan qadhi, sebagaimana halnya
semua talak yang dilakukan suami. Khulu‟ menjadi batal akibat syarat
yang rusak
3. Istri diwajibkan untuk menepati pengganti khulu‟ yang telah
disepakati.
4. Semua hak dan hutang salah satu pasangan suami yang berada pada
tangggungan salah satu dari pasangan ini dan yang bergantung dengan
perkawinan yang membuat khulu‟ jatuh, seperti mahar dan nafkah
yang telah lalu dan yang beku menjadi hilang akibat khulu‟ menurut
mazhab Hanafi karena tujuan dari khulu‟ adalah memutuskan
pertikaian dan perselisihan di antara suami-istri ini menurut pendapat
imam Abu Hanifah.
5. Apakah khulu‟ menyebabkan terjadinya talak? Menurut pendapat
mazhab Imam Abu Hanifah khulu‟ menjadi penyebab terjadinya talak
secara langsung. Sedangkan menurut jumhur tidak menyebabkan
terjadinya talak. Sedangkan imam malik, imam Syafi‟I imam Ahmad
sama, tidak menyebabkan datangnya talak kecuali apabila ucapannya
secara langsung.
6. Para ulama tidak menjadikan khulu‟ sebagai rujuk di waktu iddah.
Pada intinya tidak ada nash al-Qur‟an dan ijma‟ ulama yang
menetapkan bahwa tidak ada rujuk dalam khulu‟. Jumhur ulama juga
berpendapat termasuk imam mazhab empat, bahwa suami tidak boleh rujuk
kepada istri karena harta sudah dikeluarkan oleh istri dalam proses perceraian,
meskipun jika suami mengembalikan uang (yang diambil dari istri) kepada
30
istrinya dan diterima, tidak boleh rujuk karena istri cerai dengan suaminya
dengan khulu‟ yang sama.38
Suami boleh menikahinya lagi dan membuat akad baru dengan catatan
harus ridha dan kemauan dari sang istri. Seorang istri mengajukan khulu‟
karena ada sebab yang mendorong kearah itu, seperti suami tidak dapat
memenuhi hak istrinya, kemudian takut karena tidak mampu menjalankan
perintah Allah Subhanahu wa Ta‟ala yang diwajibkan atas keduanya.
Akibat perceraian karena cerai gugat diatur dalam pasal 156 Kompilasi
Hukum Islam dinyatakan39
;
a) anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan
oleh;
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. ayah
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
6. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah;
b) anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah
dari ayah atau ibunya;
c) apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasamani dan rohani anak, meskipun biayanafkah dan hadhanah telah
dicukupi,maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat
memindahkan hak hadhanah kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah
pula;
38
Zaitunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan: Menuju Kesetaran Gender dalam
Penafsiran, (Jakarta, Kencana 2015) h. 214 39
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, h.43
31
d) semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak dewasa dan dapat
mengurus dirinya sendiri (21 tahun)
e) bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan
Agama memberikan putusannya.
f) pengadilan dapat pula dengan memngingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan.
Adapun selanjutnya yang menyebakan terjadinya khulu‟ menurut
ulama fikih diantaranya, munculnya sikap suami yang meremehkan istri
dengan enggan melayani istri sehingga menimbulkan pertengkaran. Dalam
keadaan seperti itu Islam memberikan jalan keluar bagi rumah tangga tersebut
dengan menempuh jalan khulu‟. Inilah yang dimaksud oleh Firman Allah
SWT dalam firman-Nya pada surah an-Nisa (4) ayat 128 yang artinya “Dan
jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tak acuh dari suaminya,
maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-
benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)….”perdamaian yang
dimaksud disini ialah mereka dapat mengakhiri hubungan suami istri melalui
perceraian atas permintaan dari istri dengan kesediannya membayar ganti rugi
atau mengembalikan mahar yang telah diberikan ketika akad berlangsung.40
B. Cerai Gugat Dalam Perspektif Hukum Keluarga Di Indonesia
Putusnya perkawinan adalah suatu ikatan perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita sudah putus. Didalam Undang-Undang
Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 38 menjelaskan bahwa perkawinan dapat
diputus dengan tiga hal: karena kematian, perceraian, dan keputusan
40
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve
1996)h.933
32
pengadilan41
. Didalam KHI juga mengikuti alur dari Undang-Undang
Perkawinan, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih menunjukan aturan-
aturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah putusnya perkawinan pada Bab
XVI. Pasal 113 dinyatakan: Perkawinan dapat diputus karena: kematian,
perceraian, dan atas putusan Pengadilan.42
Kata “cerai” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: v (kata
kerja, 1. pisah; 2. putus hubungan sebagai suami istri; talak. Kemudian kata
perceraian mengandung arti; n (kata benda), 1. perpisahan; 2. perihal bercerai
(antara suami istri; perpecahan. Adapun kata “bercerai” berart: v (kata kerja),
1. tidak bercampur (berhubungan, bersatu,dsb) lagi; 2. berhenti berlaki bini
(suami istri).43
Kemudian dalam hal ini keputusan untuk bercerai tidak mutlak
ditangan suami, istripun dapat mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan
apabila si istri sudah tidak tahan lagi dengan keadaan si suami. Putusnya
perkawinan karena perceraian ada dua istilah, yaitu: a.cerai gugat (khulu‟) dan
b.cerai talak.
Selanjutnya berkenaan dengan cerai gugat, Undang-Undang N0.7
Tahun 1989 Pasal 73 (1) menyebutkan bahwa perceraian dapat diajukan oleh
istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. Sedangkan,
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 132 (1) bahwa gugatan perceraian yang
diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah
41
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam diIndonesia, (Jakarta, Sinar Grafika
2012)h.73 42
Ammir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigin, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta, Prenada Media 2004) h.220 43
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta, Balai Pustaka 1997)h. 185
33
hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa seizin suami.44
Kompilasi Hukum Islam membedakan cerai gugat dengan khulu‟.
Namun demikian, ia mempunyai kesamaan dan perbedaan di antara keduanya.
Persamaannya adalah keinginan untuk bercerai datangnya dari pihak istri.
Adapun perbedaaannya, yaitu cerai gugat tidak selamanya membayar uang
iwad (uang tebusan), sedangkan khulu‟ uang iwad (uang tebusan) menjadi
dasar akan terjadinya khulu‟ atau perceraian.45
Suatu gugatan perceraian dapat diakui Negara dan akan memiliki
kekuatan hukum legal formal apabila dilakukan di Pengadilan Agama dan
diputuskan oleh majelis hakim, ini sesuai dengan pasal 1 bab 1 ketentuan
umum Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Pengajuan gugatan perceraian dalam Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989
jo. UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 diajukan oleh istri
sebagai penggugat atau kuasanya kepada Pengadilan Agama yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman istri sebagai penggugat, kecuali jika istri
sebagai penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama
tanpa izin suami sebagai tergugat. Dalam hal ini, istri sebagai penggugat
bertempat kediaman di luar Negara, maka gugatan perceraian diajukan kepada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman suami
sebagai tergugat. Jika istri dan suami bertempat kediaman diluar Negara,
maka gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah
hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
44
Abdul Manan dan Muhammad Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang
Peradilan Agama, (Jakarta, Raja Grafindo Persada 2002)h.51-52 45
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,h. 85
34
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.46
Prosesnya pula diatur dalam Pasal 148
Kompilasi Hukum Islam47
.
Pasal 148 KHI:
1) Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khulu‟
menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.
2) Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil istri
dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing
3) Dalam persidangan tersebut, Pengadilan Agama memberi penjelasan
tentang akibat khulu‟ dan memberi nasihat-nasihatnya.
4) Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnyaiwad atau tebusan,
maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi
suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama.
terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan
kasasi.
5) Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam
pasal 131ayat (5).
6) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau
„iwad. Pengadilan Agama memeriksa dan memutus sebagai perkara
biasa.
Uraian cerai gugat dan khulu‟ di atas, tampak ada perbedaannya.
Namun, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 UUPA dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tidak membedakan di antara keduanya
sehingga tidak membicarkannya.
Pada pasal 161 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa
“perceraian dengan jalan khulu‟ mengurangi jumlah talak dan tak dapat
46
Muhammad Syaifudin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum
Perceraian, h. 255 47
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,h. 85
35
rujuk”. Menurut Ibnu Rusyd, khulu‟ itu khusus bagi pemberian istri untuk
semua yang telah diberikan suami kepadanya. Jadi, akibat hukum khulu‟ sama
dengan akibat talak tiga. Menurut mayoritas jumhur ulama, termasuk Imam
empat, suami mengkhulu istrinya, maka istrinya itu bebas dan semua
urusannya terserah kepadanya, dan tidak boleh lagi bagi suami suami rujuk
kepadanya, karena pihak istri telah memberikan hartanya dengan
membebaskan dirinya dari perkawinan48
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat 2 menjelaskan
bahwa untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup, bahwa
antara suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri. Kompilasi
hukum Islam juga menyebutkan pada pasal 116 menjelaskan bahwa
perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan49
. Alasan-Alasan
yang dapat dijadikan oleh seorang istri untuk mengajukan gugatan perceraian
sama dengan alasan yang digunakan dalam perceraian karena talak.
Beberapa kesimpulan dari rumusan perundang-undangan di atas
adalah: Pertama, perceraian dengan talak atau cerai gugat mungkin terjadi
harus dengan alasan atau alasan-alasan, bahwa suami istri tidak akan dapat
hidup rukun sebagai suami istri dalam satu rumah tangga. Dengan demikian,
perceraian dipandang sebagai jalan terbaik bagi para pasangan. Pihak yang
menentukan talak sebagai jalan terbaik adalah pihak ketiga, yaitu pengadilan.
Kedua, dari sekian banyak terjadinya perceraian, semua mempunyai prinsip
proses penyelesaian yang sama yaitu (1) pihak yang memutuskan perceraian
adalah pengadilan, (2) langkah-langkah yang harus ditempuh adalah
mengajukan permohonan atau gugatan dari salah satu pihak, pemanggilan
untuk diperiksa oleh pengadilan, dan putusan oleh pengadilan. Ketiga,
terjadinya perceraian baik karena talak atau cerai gugat, terhitung sejak
48
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta, Citra
Grafika Desain 2007)h. 43 49
Abdul Manan dan Muhammad Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang
Peradilan Agama, h. 52-53
36
putusan Pengadilan Agama, putusan perkawinan hanya dibuktikan dengan
surat cerai.50
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menjelaskan tentang
sebab putusnya perkawinan yang sudah disebutkan diatas. Selain rumusan
hukum dalam Undang-Undang Nomor 1 tentang perkawinan, pasal 113
sampai 162 Kompilasi Hukum Islam merumuskan garis hukum yang lebih
rinci mengenai sebab terjadinya perceraian, tata caranya, dan akibat
hukumnya. Alasan terjadinya perceraian berdasarkan pasal 19 PP Nomor 9
Tahun 1975 jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, sudah mengakomodir
keperluan laki-laki atau perempuan (suami-istri) yang artinya sudah
berperspektif gender. Adapun alasan-alasan cerai gugat:51
a. Cerai gugat dengan alasan suami berbuat zina, atau menjadi pemabuk,
pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang susah disembuhkan diatur
dalam PP No. 19/1975 Pasal 19 (a). Di dalam Kompilasi Hukum Islam
juga disebutkan dalam Pasal 116 (a)
b. Cerai gugat dengan alasan suami meninggalkan istri selama dua tahun
diatur dalam PP No. 9/1975 Pasal 19 (b)
c. Cerai gugat dengan alasan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima)
tahun diatur dalam PP No. 9/1975 Pasal 19 (c). Dalam Kompilasi
Hukum Islam diatur dalam Pasal 116 (c).
d. Cerai gugat dengan alasan suami melakukan kekejaman atau
penganiayaan diatur dalam PP No. 9/1975 Pasal 19 (a). Dalam
Kompilasi hukumIslam diatur pada Pasal 116 (a).
50
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
h.233-234 51
Abdul Manan dan Muhammad Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang
Peradilan Agama, h. 53-60
37
e. Cerai gugat dengan alasan suami mendapat cacat badan atau penyakit
diatur dalam PP No. 9/1975 Pasal 19 (c). Dalam Kompilasi Hukum
Islam diatur pada Pasal 116 (c).
f. Cerai gugat dengan alasan antara suami istri terjadi perselisihan terus
menerus diatur pada PP No. 9/1975 Pasal 19 (f). Dalam Kompilasi
Hukum Islam terdapat pada Pasal 116 (f).
g. Cerai gugat dengan alasan suami melakukan pelanggaran sighat taklik
talak diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 116 (g).
h. Cerai gugat dengan alasan suami murtad terdapat pada Kompilasi
Hukum Islam Pasal 116 (h).
i. Cerai gugat dengan alasan suami melalaikan kewajibannya terdapat
pada UU No. 1/1974 pasal 34 dan diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 77.
j. Cerai gugat dengan alasan syiqaq diatur dalam UU No. 7/1989 pasal
76.
k. Cerai gugat dengan alasan khulu‟ dan acaranya diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 148
Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam Instruksi Presiden RI Nomor 1
tahun 1991 ada dua tambahan sebab terjadinya perceraian dibanding dengan
pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 yaitu dengan penambahan taklik talak dan
murtad penambahan ini sangat penting karena di peraturan sebelumnya tidak
ada yang mengatur tentang hal ini.52
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan satu di antara kedua
belah pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan
perceraian sebagai bukti, istri sebagai penggugat menurut UU No. 3 Tahun
52
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(studi kritis perkembangan hukum islam dari fikih UU No 1/1974 sampai KHI), (Jakarta:
Kencana 2006), Cet Ke3, h.206
38
2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 cukup menyampaikan salinan putusan
Pengadilan Negeri yang berwenang yang memutuskan perkara tersebut
disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap.53
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan istri
sebagai penggugat, Pengadilan Agama berdasarkan Pasal 78 UU No. 7 Tahun
1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009, dapat menentukan
nafkah yang ditanggung suami, atau menentukan hal-hal yang perlu untuk
menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, atau menentukan hal-hal yang
perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami dan istri atau barang-barang yang menjadi hak bersama suami
dan istri atau barang-barang yang menjadi hak istri.54
Gugatan perceraian dapat gugur demi hukum apabila suami sebagai
tergugat dan istri sebagai penggugat meninggal dunia sebelum adanya putusan
Pengadilan Agama ini berdasarkan Pasal 79 UU No. ( Tahun 1989 jo. UU No.
3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009.55
Adapun hikmah dari adanya cerai gugat adalah telah memberikan
kemaslahatan kepada manusia yang telah menempuh hidup dalam berumah
tangga dimana dalam masa perkawinan tersebutu diantara keduanya
ditemukan hal-hal yang tidak memungkinkan sepasang suami istri tersebut
untuk mencapau tujuan perkawinan. Hikmah yang lainnya adalah nampaknya
sebuah keadalian Allah sehubungan dengan hubungan antara suami istri. Bila
sang suami berhak melepaskan dirinya dengan istrinya dengan menggunakan
cara mentalaknya, maka istri juga mempunyai hak dan kesempatan yang sama
dapat bercerai dari suaminya dengan menggunakan jalan khulu‟. Jadi,
53
Muhammad Syaifudin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum
Perceraian, h. 255 54
Muhammad Syaifudin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum
Perceraian, h. 256 55
Muhammad Syaifudin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum
Perceraian, h. 257
39
sudahlah jelas bahwasannya dengan adanya khulu‟ pihak dari istri bisa
menggunakan haknya dengan sebaik-baiknya dan dengan tentu menggunakan
alasan-alasan yang dibenarkan.56
Pada dasarnya perkawinan dilakukan untuk seumur hidup akan tetapi,
jika perkawinan itu tetap dilanjutkan akan banyak kemudhorotan yang
didapatnya maka dalam keadaan hal-hal tertentu percerain adalah jalan keluar
terbaik.
56
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 234
40
BAB III
CERAI GUGAT KARENA SUAMI TERPIDANA DI PENGADILAN AGAMA
TANGERANG
A. Peristiwa Hukum Terkait Putusan Cerai Gugat Karena Suami Terpidana
Di Pengadilan Agama Tangerang
Peristiwa hukum/duduk perkara atau disebut juga dengan posita dalam
surat gugatan sangat penting eksistensinya, dimana setiap gugatan memuat posita.
Pada hakikatnya posita atau fundamentum petendi yaitu menguraikan kejadian-
kejadian atau peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi pada perkara tersebut.
Biasanya, dalam praktik baik dalam putusan atau surat gugatan lebih dikenal
dengan duduk perkara dimana hal itu adalah menjadi suatu dasar gugatan atau
dengan menguraikan secara kronologis duduk perkaranya yang kemudian
dilanjutkan dengan penguraian tentang hukumnya, tidak berarti harus
menyebutkan peraturan-peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan,
melainkan cukup hak atau peristiwa yang harus dibuktikan dalam persidangan
nanti sebagai dasar tuntutannya.57
Berikut penulis akan memaparkan peristiwa hukum yang terjadi pada
perkara tersebut. Dalam dokumen Pengadilan Agama Tangerang telah memeriksa
dan mengadili putusan Perkara dengan Nomor 999/Pdt.G/2016/PA.Tng dalam
persidangannya Majelis hakim menjatuhkan putusan perkara yang diajukan oleh
Penggugat dengan usia 25 tahun, pekerjaan Selanjutnya, Tergugat yang berumur
26 tahun beragama Islam, keduanya bertempat tinggal di Kota Tangerang.
57 Zara Putri Aulia, Putusan Karena Suami Mafqud (Studi Putusan Nomor 314/Pdt.
G/2016/PA.Cbn dan Putusan Nomor 02/Pdt.G/2016/PA/GM, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas syariah dan Hukum, 2017
41
Pengadilan Agama Tangerang telah mempelajari surat-surat dalam berkas
perkara tersebut, mendengar pula keterangan dari Penggugat, dan juga telah
memeriksa alat bukti surat-surat serta saksi-saksi yang ada.
Pada tanggal 24 Mei 2016 penggugat yang mengajukan gugatan cerainya
terhadap Tergugat telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama
Tangerang. Pada Tanggal tersebut pula Penggugat dengan mengemukakan
berbagai alasan dan dalil-dalil yang akan memperkuat gugatannya.
Penggugat lalu mengemukakan berbagai alasan serta dalil-dalilnya untuk
memperkuat gugatannya dan memberikan keterangan bahwa Penggugat
merupakan istri yang sah dari Tergugat dan mereka telah melangsungkan
pernikahannya pada tanggal 08 Agustus 2009, sebagaimana yang tercatat dalam
Kutipan Akta Nikah Nomor: 503/18/VIII/2009.
Setelah menikah Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai 1 (satu) orang
anak perempuan. Awalnya rumah tangga yang dijalani oleh keduanya berjalan
dengan rukun dan cukup harmonis selama kurang lenih dua tahun, namun dirasa
oleh Penggugat kurang lebih sejak akhir tahun 2011, rumah tangganya mulai
terasa goyah sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit dirukunkan
kembali sehingga terjadi kekerasan fisik. Perselisihan tersebut mencapai
puncaknya kurang lebih terjadi pada akhir bulan Oktober 2012.
Perselisihan dan pertengkaran yang terjadi disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut: a. Tergugat dalam memberikan nafkah lahir kepada Penggugat hanya
sekedarnya, saja tidak peduli terhadap keluarganya; b. Tergugat pernah
mengucapkan kata “cerai” kepada Penggugat sehingga membuat Penggugat
merasa sakit hati atas apa yang diucapkannya; c. Tergugat juga sering melakukan
kekerasan terhadap Penggugat seperti menampar wajah dan lain-lain; d. Tergugat
diketahui langsung oleh Penggugat suka menggunakan narkoba jenis shabu-
shabu; e. Komunikasi antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak terbina dengan
baik, karena antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak serumah sejak 4 tahun
yang lalu karena Tergugat dipenjara akibat mengkonsumsi obat-obatan terlarang
42
sehingga diantara keduanya sudah tidak ada hubungan layaknya suami istri lagi,
sehingga sering timbul perselisihan dan percekcolan walaupun karna hal sepele.
Tujuan dari terbentuknya rumah tangga adalah menjadi rumah tangga yang
baik dan harmonis, tetapi itu tidak bisa dirasakan lagi oleh Penggugat sehingga
tujuan dari perkawinan untuk membentuk suatu rumah tangga yang sakinah
mawaddah dan rahmah tidak mungkin bisa tercapai sebagaimana yang disebutkan
pula didalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Selanjutnya, pada hari dan tanggal persidangan yang telah ditetapkan,
Penggugat dan Tergugat dipanggil untuk menghadap di persidangan, atas
panggilan tersebut hanya Penggugat yang hadir di persidangan, sedangkan
Tergugat tidak pernah hadir dan tidak pula mengutus orang lain untuk hadir di
persidangannya, meskipun telah dipanggil secara patut, sesuai relas panggilan
tanggal 7 Juni 2016 dan tanggal 21 Juni 2016 dan ketidak hadiran Tergugat
tersebut tidak disebabkan oleh suatu alasan yang sah.
Berdasarkan PERMA RI No.1 Tahun 2016 setiap perkara perdata terlebih
dahulu diupayakan mediasi. Akan tetapi Tergugat tidak pernah hadir di
persidangan, maka perkara ini tidak dapat dilakukan mediasi. Majelis hakim telah
berusaha memberikan nasihat dan saran kepada Penggugat agar bersabar guna
mempertahankan rumah tangganya dan berbaikan kembali dengan Tergugat akan
tetapi Penggugat menolak dan tetap ingin bercerai.
Bahwa, karena Tergugat tidak pernah hadir di persidangan, maka tidak
dapat didengar jawaban maupun bantahannya, akan tetapi karena perkara a quo
mengenai perceraian bersifat lex spesialis, maka kepada Penggugat tetap
dibebankan untuk membuktikan dalil-dalilnya. Untuk meneguhkan dalil-dalil
gugatannya Penggugat juga menghadirkan 2 (dua) orang saksi. Saksi pertama
berumur 23 tahun, pekerjaan Wiraswasta, tempat tinggal di Kota Tangerang, di
bawah sumpahnya saksi memberikan keterangan pokoknya sebagai berikut: a.
saksi adalah sebagai tetangga Tergugat dan Penggugat; b. bahwa, saksi
mengetahui juga Penggugat dan Tergugat rumah tangganya sudah tidak rukun
43
lagi sejak 5 tahun terakhir, Tergugat juga tidak peduli dengan Penggugat dan
Penggugat mengkonsumsi narkoba; c. Penggugat dan Tergugat juga sudah pisah
rumah sejak 4 tahun yang lalu karena Tergugat di penjara.
Saksi kedua berumur 48 tahun Pekerjaan Ibu Rumah Tangga dan mengaku
sebagai ibu kandung Penggugat. Dalam sumpahnya saksi memberikan keterangan
yang sama mengenai Penggugat dan Tergugat. Bahwa, penggugat dan Tergugat
sering berselisih dan sering terjadi pertengkaran disebabkan oleh masalah
ekonomi, Tergugat tidak memberi nafkah, Tergugat kalau marah sering sekali
berkata “cerai” dan Tergugat adalah pengguna narkoba hingga dipenjara. Saksi
kedua juga membenarkan bahwa, Penggugat dan Tergugat sudah pisah rumah
sejak 4 tahun yang lalu dan Tergugat di penjara.
Setelah pembuktian tersebut, Penggugat menyatakan sangat yakin sudah
tidak ada harapan lagi untuk meneruskan rumah tangganya dengan Tergugat dan
Penggugat tidak akan mengajukan bukti-bukti apapun lagi, dan menyampaikan
kesimpulan pada pokoknya tetap dengan dalil gugatannya dan memohon untuk
putusannya.
B. Pertimbangan Hakim Terkait Putusan Nomor 999/Pdt.G/2016/PA.Tng
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat
Negara yang berwenang untuk itu, di ucapkan didalam persidangan dimana
bertujuan untuk megakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa yang
diajukan oleh para pihak.58
Maka dari itu, pertimbangan hakim harus mengacu
kepada dalil-dalil yang dijadikan alasan oleh pihak yang mengajukan perkara.
Disini hakim ditekankan untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya kepada
pihak yang mengajukan perkara tersebut. Oleh karena itu, hakim mempelajari
suatu perkara tersebut dengan baik berdasarkan peristiwa hukum yang ada serta
fakta-fakta yang diajukan memang benar-benar terjadi.
58 Elfrida R Gultom, Hukum Acara perdata, (Jakarta: Literata 2010) h. 111
44
Pelaksanaan tugas peradilan seorang hakim tidak dapat dipengaruhi oleh
apapun dan tidak bisa diintimidasi oleh kekukuasaan siapapun. Bahkan jabatan
sebagai ketua Pengadilan pun tidak berhak untuk ikut campur dalam soal
peradilan yang diputus oleh majelis hakim. Hakim lah yang akan
mempertanggung jawabkan atas dirinya sendiri dihadapan Tuhan Yang Maha Esa
atas segala sesuatu yang diputuskan olehnya.
Keputusan Peradilan Agama disebutkan dengan berbentuk penetapan yang
ditegaskan dalam penjelasan pasal 60. Dimana dalam penjelasan ini disebutkan
bahwa penetapan adalah keputusan pengadilan atas perkara “permohonan.
Penetapan tersebut juga dapat diartikan sebagai pernyataan hakim yang
dituangakan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim dalam
sidang terbuka untuk umum.59
Setiap perkara putusan pengadilan yang tertuang dalam bentuk tertulis
maka harus di tanda tangani oleh hakim ketua sidang dan hakim anggota yang
ikut serta dalam memeriksa dan memutuskan perkara tersebut serta panitra yang
ikut bersanding. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan di
sidang pengadilan yang dibuka untuk umum untuk menyelesaikan atau
mengakhiri perkara.60
Mengenai bentuk dan isi putusan hakim telah diatur dalam pasal 183 dan
184 HIR/pasal 194 dan pasal 195 RBg. Putusan Hakim harus dibuat dengan
tertulis serta kemudian ditanda tangani sebagai suatu dokumen yang resmi. Suatu
putusan haim harus terdiri dari empat bagian:61
a. Kepala putusan.
b. Identitas para pihak.
59
A. Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar 2000) edisi revisi, h. 251 60
Elfrida R Gultom, Hukum Acara Perdata, h.111 61
A. Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 262
45
c. Pertimbangan (konsideran) yang memuat tentang duduk perkara dan harus ada
pertimbangan hukum.
d. Amar dan dictum putusan.
Acuan utama dalam membuat pertimbangan hukum adalah apa yang terjadi
dalam proses persidangan serta ketentuan hukum yang berlaku dilingkungan
peradilan. Putusan-putusan hakim pada dasarnya tidak boleh melewati apa yang
dimohon atau digugat oleh penggugat.
Pertimbangan hakim untuk mengabulkan perkara berdasarkan penetapan
putusan Nomor 999/Pdt.G/2016/PA.Tng karena setelah dilakukan mediasi oleh
mediator keduanya tetap pada pendiriannya untuk bercerai. Menurut Pasal 4
PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang mediasi, setiap perkara harus diupayakan
melalui mediasi terlebih dahulu, tetapi Tergugat tidak pernah hadir dalam
persidangan, majelis hakim sudah berupaya untuk mendamaikan kedua belah
pihak antara Penggugat dan Tergugat namun usaha tersebut tidak berhasil. Dengan
demikian, telah terpenuhi ketentuan pasal 82 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo
pasal 31 ayat (1 dan 2) Perutaran Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Selain itu, banyak dalil yang diajukan oleh Penggugat untuk memohon
putusan, bermula bahwa sejak akhir tahun 2011 diantara keduanya sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran yang sudah sulit untuk dirukunkan kembali,
suaminya adalah pengguna narkoba yang kemudian dipenjara hal ini
menyebabkan dampak yang berkelanjutan seperti terjadinya masalah ekonomi,
nafkah yang seharusnya menjadi tanggungan Tergugat kepada Penggugat sudah
tidak bisa diberikan lagi. Pada penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf f UU 1/1974 yang
kelak dijabarkan pula dalam pasal 116, huruf f Kompilasi Hukum Islam memuat
salah satu alasan perceraian “antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran.
46
Majelis hakim melihat secara psikologis ikatan bathin dan hati antara
Penggugat dan Tergugat telah hancur, dan sudah tidak memiliki satu tujuan dalam
mengarungi kehidupan berumah tangga tidak hanya itu tujuan dari perkawinan
yang membentuk untuk menjadikan suatu rumah tangga yang sakinah, mawaddah
dan rahmah sudah tidak bisa tercapai lagi yang dimana berarti antara keduanya
sudah gagal dalam membina rumah tangga secara baik. Terpisahnya antara
Penggugat dan Tergugat sejak 4 tahun hingga sekarang juga menjadi
pertimbangan fakta yang hakim lihat. Dimana setelah berpisah komunikasi antara
Penggugat dan Tergugat sudah tidak terjalin dengan baik bahkan antara hak dan
kewajiban sebagai seorang suami dan istri telah keduanya tinggalkan. Ini
mengacu dalam pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yaitu “suami dan istri wajib saling mencintai, menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin satu sama lain”. Kewajiban seorang suami juga
diatur dalam pasal 34 ayat 1 yaitu “ suami wajib melindungi istrinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan kehidupan berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya”. Sedangkan kewajiban seorang istri sudah diatur dalam pasal 34
ayat 2 “istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya” jo
pasal 77 ayat 1dan 2 pasal 80 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam.
Menimbang bahwa dengan jelasnya pokok gugatan yang penggugat ajukan
serta ditemukannya dasar hukum tentang gugatan tersebut yang kemudian juga
majelis hakim telah memberikan pokok-pokok pemikirsn kepada penggugat agar
mengurungkan niatnya agar penggugat berpikir ulang tetapi ternyarta penggugat
tetap pada pendiriannya. Setelah itu majelis hakim berpendapat bahwa diantara
keduanya sudah tidak dapat didamaikan kembali.
Kita ketahui juga bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk mewujudkan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah apabila terjadi perselisihan
yang terus menerus, maka didalam kehidupan berumah tangga sudah tidak dapat
tercipta lagi suasana yang aman, tentram, dan sejahtera. Oleh karena itu majelis
hakim berpendapat diantara keduanya berperkara dapat menentukan jalan
47
hidupnya masing-masing dengan tidak melanggar norma-norma agama, maka
perceraian menjadi jalan alternative untuk menyelesaikan sengketa yang terdapat
diantara penggugat dan tergugat.
Berdasarkan fakta sebagai pertimbangan hakim adalah dengan
dibuktikannya atau didatangkannya saksi-saksi yang memberikan keterangan
dengan sebenar-benarnya sesuai dalil yang dijadikan alasan Penggugat untuk
mengajukan gugatan tersebut. Majelis hakim berpendapat pula gugatan cerai
Penggugat dengan menunjukan alasan-alasan sebagaimana di atas, maka sangat
beralasan hukum dan telah sejalan dengan alasan perceraian sebagaimana termuat
dalam pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 19 huruf (f)
huruf (a) dan huruf (b) PP Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 huruf (f), huruf (a)
dan huruf (b) KHI, berdasarkan gugatan Penggugat tersebut maka dapat
dikabulkan.
Setelah melalui proses peradilan, maka majelis Hakim yang berada
dibawah naungan Pengadilan Agama Tangerang memutuskan jatuh talak satu
bâ‟in sughra.
48
BAB IV
PUTUSAN HAKIM TENTANG CERAI GUGAT KARENA SUAMI
TERPIDANA PERSPEKTIF FIQIH
A. Pandangan Fiqih Terkait Putusan Cerai Gugat Karena Suami Terpidana
Setelah menguraikan putusan perkara dengan Nomor
999/Pdt.G/2016/PA.Tng penulis melihat adanya beberapa faktor penyebab
yang menjadi alasan kenapa istri tersebut menggugat cerai suaminya ke
Pengadilan Agama Tangerang.
Cerai gugat karena suami terpidana tidak dibahas secara rinci menurut
pandangan fiqih tetapi itu menjadi salah satu alasan seorang istri dapat
mengajukan gugatan cerainya ke Pengadilan Agama.
Berawal dari suami dipenjara akibat obat-obatan terlarang yang
dikonsumsinya, istri merasa hak yang seharusnya diterimanya dari sang suami
tidak bisa didapatkan kembali. Suami yang dipenjara mebuat keduanya
berpisah jarak kemudian hal itu menyebabkan komunikasi yang seharusnya
terjalin dengan baik tetapi ini malah menimbulkan masalah-masalah kecil
yang tidak bisa dihindarkan, seperti percekcokan serta perdebatan secara
terus-menerus yang berujung kepada kekerasan baik kekerasan fisik dan
kekerasan psikis.
Istri juga merasa menderita karena harus menjalani kehidupannya
dengan sendiri. Nafkah yang seharusnya menjadi tanggungan suami berubah
menjadi tanggungan istri demi untuk menjalani kehidupan kedepannya
bersama dengan anaknya sehingga membuat batin si istri merasa terguncang.
Berdasarkan fakta yang dikemukakan pada putusan di atas bahwa
nafkah yang seharusnya diberikan oleh suami tidak dipenuhi, sang suami
tidak pernah memberikan nafkah untuk istrinya padahal dalam al-Qur‟an
49
terkait kewajiban nafkah suami atas istrinya sudah sangat jelas disebutkan
dalam Firman Allah SWT
“Dan kewajiban ayah adalah memberi makanan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara yang ma‟ruf”. (Q.S Al-Baqarah (2): 233)
Yang dimaksud para ibu diatas adalah istri, sedangkan yang dimaksud dengan
ayah adalah suami.62
Ulama berbeda pendapat mengenai apakah boleh seorang istri
menggugat cerai suaminya apabila sang suami tidak mampu membelanjai
istrinya (tidak memberikan nafkah) dan kemudian istri merasa tidak rela.
Disini jumhur ulama berpendapat bahwa istri mempunyai hak minta cerai
kepada suaminya dan hakim dapat memisahkan keduanya (mengabulkan
gugatannya) akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai pemisahan
tersebut, apakah itu dijatuhi talak atau fasakh?. Dalam firman Allah SWT
yang terdapat dalam surat Al-Baqarah adalah bahwa Allah SWT
memerintahkan suami menahan dengan cara merujuk istri dengan cara yang
baik, dan hal ini tidak mungkin dalam keadaan miskin. Oleh sebab itu,
bolehlah dengan mengambil jalan keluar untuk melepaskan dengan cara yang
baik, yaitu dengan cara menceraikannya.63
Adapun pendapat selanjutnya menurut mazhab Imam Hambali, apabila
suami tidak mampu memberikan nafkah maka istri berhak meminta hak untuk
bercerai. Pendapat diatas sama dengan pendapat yang dikatakan oleh Imam
Syafi‟i, akan tetapi sang istri tidak boleh meminta cerai tidak boleh meminta
cerai jika suami masih mampu memberikan nafkah dengan standar diatas
62
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidh, Fiqih Wanita, h. 452
63 Diana Handayani, Kekurangan Nafkah Sebagai Alasan Gugat Cerai di Pengadilan
Agama Cibinong (Ditinjau dari empat pendapat Imam Mazhab), Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
50
nafkah orang miskin karena pengguguran nafkah terjadi jika keadaan suami
miskin (tidak mampu).64
Sedangkan menurut mazhab Maliki, istrinya tidak boleh meminta
gugat, karena nafkah itu merupakan tanggung jawab yang harus ditunaikan
oleh seorang suami. Mazhab Maliki juga mengatakan bahwa, selama suami
belum mampu, kewajiban dalam memberi nafkah tersebut menjadi gugur.
Menurutnya disinilah perlunya kearifan dari seorang istri, sebab pada awal
pernikahan berjanji akan sehidup semati. Jadi jangan semata-mata pernikahan
berjalan dengan baik karena adanya nafkah.65
Mahkamah Syariyah Mesir dalam hal ini memutuskan bahwa menurut
mazhab Hanafi dan menurut Undang-Undang No 25 Tahun 1929 ayat 4 yang
berbunyi sebagai berikut: “Apabila sang suami yang tidak mau memberi
nafkah istrinya, kemudian nafkah tersebut nampak adanya maka hakim
memutuskan dibayar nafkahnya dengan hal itu untuk mengambil dari harta
tersebut. Jika suami tidak mempunyai harta yang nampak dan dia mengaku
miskin atau dia merasa dirinya kaya, tetapi ia tidak mau memberikan nafkah
utnuk istri dan keluarganya, maka hakim memutuskan untuk memisahkan
(menceraikan) keduanya.66
Mengenai hal seberapa ukuran nafkah yang harus diberikan oleh suami
untuk istrinya, dikalangan ulama madzhab terjadi perbedaan pendapat.
Jumhur ulama berpendapat untuk meniadakan ukuran nafkah kecuali dengan
istilah secukupnya. Berkenaan dengan ini Imam Syafi‟i mengatakan: “bagi
orang yang berada dalam kesulitan adalah satu mud. Sementara bagi orang
yang berada dalam kemudahan adalah dua mud, dan yang berada diantara
64
Diana Handayani, Kekurangan Nafkah Sebagai Alasan Gugat Cerai di Pengadilan
Agama Cibinong (Ditinjau dari empat pendapat Imam Mazhab), Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017. 65
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam. (Jakarta: Prenada
Media, 2003) h.221-222. 66
Syaikh Mahmud Sayalthut dan Syaikh M. Ali As-Sayis, “ Perbandingan Mazhab
(Dalam Masalah Fiqh)” (Jakarta: Bulan Bintang Cet VII). h 203.
51
keduanya adalah setengah mud”. Sedangkan menurut Abu Hanifah: “Bagi
orang yang berada dalam kemudahan memberikan tujuh sampai dengan
delapan dirham dalam satu bulannya dan bagi yang berada dalam kesulitan
memberikan empat sampai dengan lima dirham pada setiap bulannya.”
Sebagian dari sahabat beliau (Abu Hanifah) mengemukakan: “ukuran ini
diberikan untuk kebutuhan makanan dan untuk selain makanan memakai
ukuran secukupnya saja”.67
Mayoritas ulama mazhab Imamiyah mengeluarkan pendapat bahwa,
nafkah itu diukur berdasar kebutuhan istri yang mencakup pangan, lauk pauk,
pakaian, tempat tinggal, pelayanan, alat rumah tangga, yang sesuai dengan
kehidupan orang-orang seperti dia di daerahnya.68
Para ulama fikih menyimpulkan, nafkah yang wajib diberikan suami
kepada istri meliputi: makanan, minuman berikut lauk-pauknya, pakaian,
tempat tinggal, pembantu (jika dibutuhkan), alat-alat untuk membersihkan
anggota tubuh, dan perabot rumah tangga. Sedangkan nafkah untuk alat-alat
kecantikan bukanlah merupakan kewajiban suami, kecuali sebatas untuk
menghilangkan bau badannya. Imam al-Nawawī (631-676 H) dari Mazhab
Shāfi„ī berpendapat bahwa suami tidaklah berkewajiban memberikan nafkah
untuk biaya kecantikan mata, pewarna kuku, minyak wangi, dan alat-alat
kecantikan lainnya yang semuanya dimaksudkan untuk menambah gairah
seksual.
Pembangkangan suami memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya
dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk kekerasan ekonomi (penelantaran
rumah tangga) sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 9 Undang-Undang RI
Nomor 23 Tahun 2004.
67
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidh, Fiqih Wanita, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar
2004) h. 453 68
Muhammad Jawad Mughniyah, al-fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, (Beirut: Dar
al jawad 2010) h. 423
52
Selanjutnya dari uraian tersebut dikatakan dapat dikatakan, bahwa
fikih Islam menentang kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami
kepada istrinya, baik kekerasan fisik, psikis, seksual maupun ekonomi
(penelantaran rumah tangga). Hal ini didukung oleh maqāṣid al-sharī„ah,
khususnya ḥifẓ al-nafs (anti kekerasan fisik dan psikis), ḥifẓ al-nasl (anti
kekerasan seksual), dan ḥifẓ al-māl (anti kekerasan ekonomi).69
Pembahasan mengenai nafkah yang wajib diberikan kepada istri dan
keluarganya sudah diatur secara rinci didalam al-Qur‟an, sehingga sudah
sepantasnya jika seorang istri menggugat cerai suaminya karena si suami yang
lalai dalam pemberian nafkahnya. Belum lagi si suami juga melakukan
kekerasan terhadap istrinya, seperti memukul wajah dan lain-lain.
Kewajiban lain seorang suami selain pemberian nafkah, yaitu
kewajiban dalam konteks ini menurut Abu al-A‟la al-Maududi adalah tidak
menganiaya istri. Bentuk penganiayaan yang dimaksud adalah penganiyaan
yang dilakukan secara fisik maupun psikis. Menurut Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga menyebutkan bahwa bentuk kekerasan dalam rumah tangga ada
empat, yakni kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan
penelantaran dalam rumah tangga (kekerasan ekonomi).70
Kekerasan terhadap pasangan, seperti kekerasan fisik atau kekerasan
seksual, memang sudah menjadi persoalan global, terjadi di semua budaya,
dan bahkan menimpa hingga 79% wanita di dunia. Beberapa studi tentang
kekerasan di kalangan masyarakat muslim sama-sama menunjukan bahwa
69
La Jamaa, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Fiqih, Fakultas Syariah
IAIN Ambon 70
La Jamaa, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Fiqih, Fakultas Syariah
IAIN Ambon
53
melakukan pemukulan terhadap istri merupakan bentuk kekerasan keluarga
yang paling umum yang sering terjadi.71
Jika seorang suami melakukan kekerasan atau melakukan pemukulan
terhadap istrinya ini sudah jelas sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip
umum ayat al-Qur‟an atau sumber-sumber Islam lain yang membahas tentang
wanita.
Pertama, didalam sejumlah hadist, Nabi meriwayatkan pernah dengan
tegas menganjurkan agar menghindari melakukan pemukulan terhadap istri.
Menurutnya seorang suami yang memukul istrinya itu merupakan tabiat buruk
dan sifat tercela yang dimiliki oleh suaminya.
Kedua, sunnah menunjukan juga bahwasannya Nabi tidak
menganjurkan memukul istri karena temasuk tindakan yang dibenci.
Misalnya, „Aisyah, istri Nabi dalam riwayatnya menyebutkan bahwa Nabi
tidak pernah sekalipun memukul seorang wanita bahkan pembantunya
sekalipun. Terlebih lagi, Nabi tidak pernah sekalipun memukul istrinya dalam
situasi apapun.72
ضرب خادما لو قط ول امرأة لو قط -صلى اهلل عليو وسلم-ما رأيت رسول اللو
73ول ضرب بيده شيئا قط إل أن ياىد ف سبيل اللو “Aku tidaklah pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah
pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad (berperang)
71
Bernar Adeney- Risakotta, Mengelola Keragaman di Indonesia: Agama dan Isu-
Isu Globalisasi, Kekerasan, Gender, dan Bencana di Indonesia, ( Bandung, Mizan Pustaka
2015) h.267-268 72
Bernar Adeney- Risakotta, Mengelola Keragaman di Indonesia: Agama dan Isu-
Isu Globalisasi, Kekerasan, Gender, dan Bencana di Indonesia, h. 275 73
Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (T,tp. Muassasah al-
Risalah, 1420 H/1999 M) juz 43, h. 92
54
di jalan Allah”. (HR. Ahmad 6: 229. Syaikh Syu‟aib Al Arnauth mengatakan
bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)
Islam sangat melarang jika suami berlaku zalim terhadap istrinya, baik
secara fisik maupun secara psikis. Karena didalam rumah tangga seharusnya
menekankan kasih sayang satu sama lain dan menumbuhkan kebaikan untuk
pasangan satu sama lain.
B. Analisis Penulis
Keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya
sengketa yang menuntut pemutusan dan penyelesaian pengadilan perkara ini
bersifat verstek, ini adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sementara
tergugat tidak hadir meskipun telah dipanggil secara resmi oleh pihak
pengadilan. Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:74
a. Tergugat telah dipanggil secara patut.
b. Tergugat tidak hadir dalam persidangan dan tidak diwakilkan oleh orang
lain serta tidak diketahui pula ketidakhadirannya itu berdasarkan karena
suatu alasan yang sah.
c. Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan.
d. Penggugat hadir dipersidangan.
e. Penggugat memohon keputusan.
Penggugat mengajukan gugatannya karena merasa ada haknya yang
tidak terpenuhi oleh tergugat atau disebabkan karena tergugat telah melanggar
perbuatan hukum. Maka dengan adanya keputusan dari pengadilan ini sebagai
lembaga yang secara konstitusi memiliki kewenangan dalam menyelesaikan
sengketanya.
74
A. Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, , h. 251
55
Dari uraian putusan perkara di atas sudah sangat jelas dan dapat
diketahui alasan-alasan apa saja yang dijadikan penggugat untuk memperkuat
dalil gugatannya. Adapun menurut pendapat penulis terkait masalah yang
diuraikan pada putusan Nomor 999/Pdt.G/PA.Tng dengan menarik
kesimpulan bahwa bukan hanya karena suaminya terpidana tetapi ada
beberapa alasan pendukung lainnnya seperti suami melakukan kekerasan
secara terus menerus kemudian tidak peduli dengan anak serta istrinya maka
sudah sepantasnya seorang istri mengajukan gugatannya ke Pengadilan
Agama Tangerang karena dengan sengaja suami mendzalimi dan
menelantarkan istri serta anaknya dengan tidak memberikan nafkah tidak
memenuhi segala kebutuhan anak serta istrinya. sedangakan itu merupakan
kewajiban suami yang telah dilalaikannya, dan istri berhak menuntut hak-
haknya karena nafkah merupakan suatu hak yang seharusnya didapatkannya
dari suaminya.
Mengenai putusan Pengadilan Agama Tangerang dapat diketahui
bahwasannya para hakim dalam memutuskan perkara pada umumnya
mengacu pada PP No. 1 Tahun 1974 pasal 19 huruf f mengenai perceraian
yang terjadi karena tidak menafkahi secara lahir dan batin.
Nafkah merupakan sesuatu yang diwajibkan dalam kehidupan
berumah tangga, karena nafkah semuanya akan tercapai jikalau kebutuhan
lahir maupun batinnya sudah terpenuhi.
Alasan lain yang dijadikan istri untuk mengajukan cerai gugat karena
suami sering kali melakukan kekerasan terhadap istrinya, dengan melakukan
kekerasan secara terus menerus itu sudah jelas melanggar ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam al-Qur‟an bahwasannya seorang istri harus disayangi,
sekalipun istrinya melakukan kesalahan atau pembangkangan sang suami
harus mengingatkan dengan cara bertahap bukan dengan langsung
memukulnya. Melakukan pemukulan terhadap istri sangat dilarang dalam
Islam kecuali hanya untuk sekedar memberikan pengajaran.
56
Hukum Islam pun menegaskan bahwasannya tugas atau kewajiban
dari seorang suami adalah melindungi perempuan, menjadi pemimpin dalam
keluarganya yang mengaharuskan membimbing istri serta anaknya,
memberikan nafkah untuk keluarganya bukan menelantarkan keluarganya,
berperilaku semena-mena terhadap keluarganya. Ini sudah dijelaskan dalam
ayat al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 34:
ل اللو ب عضهم على ب عض وبا أن فقوا من أموالم الرجال ق وامون عل ى النساء با فض
الات ت قانتات حافظات للغيب با حفظ اللو فالص تافون نشوزىن والال
غوا فال أطعنكم فإن اضربوىن فعظوىن واىجروىن ف المضاجع و سبيال عليهن ت ب
ابري ك عليا كان اللو إن
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,
maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.”
Berdasarkan ayat di atas disebutkan bahwa kaum laki-laki adalah
pelindung bagi wanita. Mengepa disebut demikian? Karena kaum laki-lakilah
yang member nafkah untuk istri mereka dan nafkah merupakan tanggung
jawab bagi kaum laki-laki. Maka dari itu, dalam hubungan suami-istri nafkah
merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang suami.
57
Dengan demikian, apabila seorang istri tidak memiliki pelindung dan
seorang suami tidak memberikan hartanya untuk menafkahi istrinya maka
sang istri boleh memilih diantara dua yang pertama bersabar dan tetap
menjalani dengan kondisi seperti itu ataupun boleh memili jalan dengan
meminta untuk berpisah dari suaminya.75
Dari pemaparan diatas penulis menyimpulkan bahwa cerai gugat yang
diajukan ke Pengadilan dengan sebab karena suami tidak memberi nafkah
atau dengan melakukan kekerasan secara psikis itu dibolehkan karena
berdasarkan surat al-Baqarah ayat 231:
ول وإذا طلقتم النساء ف ب لغن أجلهن فأمسكوىن بعروف أو سرحوىن بعروف
لك ي فعل ومن ضرارا لت عتدوا تسكوىن ول ت تخذوا آيات ن فسو ظلم ف قد ذ
عليكم وما أن زل عليكم من الكتاب والكمة اللو نعمت ذكرواوا اللو ىزوا
شيء عليم بكل اللو أن واعلموا اللو وات قوا يعظكم بو
Ayat diatas menjelaskan bahwa seorang suami dilarang menahan
istrinya dengan tujuan dan maksud untuk menelantarkan, memberikan banyak
kemudharatan ataupun menyakitinya.
Untuk membentuk rumah tangga yang harmonis sudah seharusnya
antara hak dan kewajiban antara suami istri harus sama-sama terpenuhi, agar
diantara keduanya tidak ada yang merasa dirugikan.
Menurut pandangan ulama mazhab cerai gugat dengan alasan karena
suami tidak memberi nafkah mereka berbeda pendapat ada yang
membolehkan akan tetapi nafkah yang belum diberikan menjadi hutang ini
75
Syaikh Mahmud Sayalthut dan Syaikh M. Ali As-Sayis, Perbandingan Mazhab (Dalam
Masalah Fiqh)h. 203.
58
menurut pendapat Imam Syafi‟i hal ini sesuai dengan pendapat Imam Ahmad
bin Hambal akan tetapi istri tidak boleh menggugat apabila suami masih
mampu member nafkah di atas standar orang miskin. Sedangkan menurut
ulama Hanafiyah istri harus bersabar jika suami belum mampu memberikan
nafkah dan dianjurkan untuk mencari pinjaman, jika suami tidak
membolehkan maka hakim dibolehkan mengambil keputusan.
Kekerasan fisik terhadap suami istri pada masa sekarang ini sudah
menjadi persoalan global, seperti salah satu alasan seorang istri mengajukan
gugatan karena mendapat perlakuan semena-mena dari suaminya. Fiqih Islam
melarang keras untuk tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga yang
dilakukan suami terhadap istrinya, dengan memukul istrinya yang nusyuz
sampai luka-luka dan cidera tanpa menasehatinya itu merupakan sebuah
kesalahan besar apalagi melukai istri yang tidak bersalah. Jika istri nusyuz
maka harus dinasehati dengan cara bertahap yang pertama dengan
menasihatinya jika cara ini tidak bisa maka dengan berpisah ranjang terlebih
dahulu jika cara ini tidak bisa juga maka dengan cara terakhir yaitu dengan
memukulnya akan tetapi dengan pukulan yang tidak sampai melukai.76
Berdasarkan alasan-alasan diatas juga sudah sesuai dengan kaidah
fiqih yaitu “sesuatu yang mudharat harus ditinggalkan” bahkan menurut
kaidah hukum lainnya menolak mudharat harus didahulukan daripada menarik
maslahat.77
Uraian pada putusan di atas juga sudah jelas dan dibenarkan jika
seorang istri mengajukan gugatan cerainya ke Pengadilan Agama Tangerang.
76
Yusuf Al-Qardhawi, Hādī al-Islām Fatāwā Mu„āṣirah, terj As‟ad Yasin, Fatwa-
fatwa Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press 1999) Jilid I h. 500-501 77
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyah Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya 2004) h. 125
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Putusan Perkara dengan Nomor 999/Pdt.G/2016/PA.Tng yang diputus
oleh majelis hakim di Pengadilan Agama Tangerang telah menyelesaikan
perkara cerai gugat karena suami terpidana tersebut, maka penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan fakta-fakta dan pertimbangan-pertimbangan hakim yang
berpendapat bahwa gugatan cerai penggugat terhadap tergugat dengan
alasan-alasan sebagaimana di atas sangat beralasan hukum dan telah
sejalan dengan alasan perceraian sebagaimana yang telah termuat pada
pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum
Islam dan Peraturan Pemerintah dalam No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 (a)
Dalam analisis putusan tersebut sudah relevan karena hakim telah
mengikuti sesuai dengan aturan-aturan hukum yang ada.
2. Perbandingan pendapat para Imam Mazhab sebagai berikut:
a. Menurut Imam Abu Hanifah seorang istri dibolehkan mencari
pinjaman tetapi jika suaminya tidak mengizinkan hakim boleh
menjatuhkan putusannya.
b. Imam Syafi‟i juga membolehkan seorang istri menggugat cerai
suaminya karena tidak diberi nafkah, akan tetapi nafkah tersebut menjadi
hutang.
c. Menurut Imam Ahmad bin Hambal juga membolehkan hal tersebut
tetapi istri tidak boleh mengajukan cerai jika suami masih mampu memberi
nafkah di atas standar orang miskin.
d. Imam Malik tidak boleh meminta fasakh karena suami belum mampu
tetapi nafkah tersebut menjadi hutang.
60
3. Antara pertimbangan hakim dan pendapat Imam Mazhab sudah
relevan dan yang paling diikuti oleh hakim adalah pendapatnya Imam
Syafi‟I karena dalam pertimbangan hakim menyebutkan apabila suami
tidak memberi nafkah maka hakim mengabulkan gugatannya dan
nafkah yang belum diberikan akan menjadi tanggungan suami yang
harus dilunasi.
B. Saran
Hasil penelitian dari penulis dan dari kesimpulan yang ada, ternyata
banyak permasalahan yang masih harus di bahas oleh penulis-penulis skripsi
selanjutnya. Bisa dilihat dari bagaimana pandangan/pertimbangan hakim jika
suami yang digugat cerai istrinya tidak ingin mengabulkan permintaan istrinya.
Bagi masyarakat juga harus lebih banyak mengetahui mengenai tentang hukum
perkawinan serta hak dan kewajiban apa saja yang harus dipenuhi oleh masing-
masing pasangan.
61
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Teks
Abbas, Ahmad Sudirman, Qawaid Fiqhiyah Dalam Perspektif Fiqh, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya 2004
Arto, A Mukri, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar 2000
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam diIndonesia, Jakarta: Sinar Grafika 2012
Al-Asy‟ats al-Sajistani, Abu Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, Beirut: Dâr al-Kitâb
al‟Arabi, t.th juz 2
Al-Amili, Ali Husain Muhammad Makki, Bimbingan Islam Dalam Mengatasi
Problematika Rumah Tangga, Jakarta: Lentera Basritama 2001
Ayub, Syaikh Hasan, Fiqih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006 Cet-5
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqhu Asy-Syafi‟I Al-Muyassar , Jakarta: Almahaira 2010
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve
1996 jilid 6
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya
1989
Gultom, R Elfrida, Hukum Acara perdata, Jakarta: Literata 2010
Hanbal, bin Ahmad, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, T,tp. Muassasah al-Risalah,
1420 H/1999 M juz 43
Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Prenada
Media, 2003
Jamaa, La, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Fiqih, Fakultas Syariah
IAIN Ambon
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group 2010
62
Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan
Bintang 1987
Manan, Abdul dan Fauzan, Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang
Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada 2002
Mughniyah, Jawad Muhammad, al-fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, Beirut: Dar al
jawad 2010
Neuman, W. Laurence, Metode Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif, Jakarta: indeks 2013
Nasution, Bahder Johan dan warjiyati, sri, Hukum Perdata Islam, bandung: mandar
Maju, 1997
Nuruddin, Ammir dan, Azhari Akmal Tarigin, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta Prenada Media 2004
Nuruddin, Ammir Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (studi kritis
perkembangan hukum islam dari fikih UU No 1/1974 sampai KHI), (Jakarta:
Kencana 2006), Cet Ke3
Putusan Nomor 999/Pdt.G/PA.Tng
Risakotta, Bernar Adeney, Mengelola Keragaman di Indonesia: Agama dan Isu-Isu
Globalisasi, Kekerasan, Gender, dan Bencana di Indonesia, Bandung,
Mizan Pustaka 2015
Rusdiana, Kama dan Aripin, Jaenal Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Citra
Grafika Desain 2007
Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada
2013
Rahman, Abdur, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta: Rineka Cipta 1992
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al Mishbah, Jakarta: Lentera Hati 2002
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Beirut Libanon: Daarul Kitab Al-a‟rabi 2013
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia
1981
63
Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas
Indonesia Press 1987
Subhan, Zaitunah, Al-Qur‟an dan Perempuan: Menuju Kesetaran Gender dalam
Penafsiran, Jakarta: Kencana 2015
Syaifudin, Muhammad, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian,
Jakarta: Sinar Grafika 2014
Sayalthut, Syaikh Mahmud dan Syaikh M. Ali As-Sayis, Perbandingan Mazhab
(Dalam Masalah Fiqh) Jakarta: Bulan Bintang Cet VII
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka 1997
„Uwaidh, Syaikh Kamil Muhammad, Fiqih Wanita, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar
2004
64
LAMPIRAN
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
PUTUSAN
Nomor 999/Pdt.G/2016/PA.Tng.
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Tangerang yang memeriksa dan mengadili
perkara tertentu pada tingkat pertama dalam persidangan Majelis
menjatuhkan putusan perkara cerai gugat yang diajukan oleh:
PENGGUGAT, umur 25 tahun, agama Islam, pendidikan SMA, pekerjaan
Wiraswasta, tempat tinggal di KOTA TANGERANG. Selanjutnya
disebut Penggugat;
melawan
TERGUGAT, umur 26 tahun, agama Islam, pendidikan SMA, pekerjaan
Depkolektor, tempat tinggal di KOTA TANGERANG. Selanjutnya
disebut Tergugat;
Pengadilan Agama tersebut;
Telah mempelajari surat-surat dalam berkas perkara;
Telah mendengar keterangan Penggugat;
Telah memeriksa alat bukti surat-surat dan saksi-saksi;
DUDUK PERKARA
Bahwa, Penggugat mengajukan gugatan cerai terhadap Tergugat
dengan surat gugatan tertanggal 24 Mei 2016 yang telah didaftar di
Kepaniteraan Pengadilan Agama Tangerang dengan Nomor Register:
999/Pdt.G/2016/PA.Tng. pada tanggal tersebut dengan mengemukakan
alasan dan dalil-dalil sebagai berikut:
1. bahwa, Penggugat adalah isteri sah dari Tergugat yang telah
melangsungkan pernikahan pada tanggal 08 Agustus 2009 dihadapan
Pejabat Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Ciledug
Kota Tangerang, sebagaimana terbukti dalam Buku Kutipan Akta Nikah
Nomor: XXXXXXXXX, tertanggal 10 Agustus 2009;
1
Hal 1 dari 14 hal. Putusan No.627/Pdt.G/2010/PAJB
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
2. bahwa, setelah menikah Penggugat dan Tergugat hidup berumah
tangga terakhir tinggal bersama disebuah kontrakan KOTA
TANGERANG;
3. bahwa, selama hidup berumah tangga antara Penggugat dengan
Tergugat telah berhubungan sebagaimana layaknya suami isteri dan
sudah dikaruniai 1 (satu) orang anak, yang bernama: ANAK
PENGGUGAT DAN TERGUGAT, perempuan, lahir di Tangerang, 21
April 2010;
4. bahwa, semula rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat
berjalan rukun dan harmonis, namun kurang lebih sejak akhir tahun
2011, rumah tangga dirasakan mulai goyah sering terjadi perselisihan
dan pertengkaran yang sulit untuk dirukunkan lagi yang disebabkan
oleh hal-hal sebagai berikut: a. Tergugat dalam memberikan nafkah
lahir kepada Penggugat hanya sekedarnya; b. Tergugat pernah
mengucapkan kata cerai terhadap Penggugat; c. Tergugat sering
melakukan kekerasan terhadap Penggugat seperti menampar wajah,
dll; d. Tergugat diketahui langsung oleh Penggugat suka menggunakan
Narkoba jenis shabu; dan e. Komunikasi antara Penggugat dan
Tergugat sudah tidak terbina dengan baik, sehingga sering timbul
perselisihan dan percekcokan walau hal sepele;
5. bahwa, perselisihan dan pertengkaran tersebut di atas mencapai
puncaknya kurang lebih terjadi pada akhir bulan Oktober 2012 , Antara
Penggugat dan Tergugat sudah tidak serumah dan tidak ada hubungan
seperti layaknya suami isteri lagi;
6. bahwa, rumah tangga tersebut sudah sulit untuk dibina menjadi suatu
rumah tangga yang baik dan harmonis kembali, sehingga tujuan
perkawinan untuk membentuk suatu rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah sudah tidak mungkin tercapai lagi;
2
214
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
7. bahwa, Penggugat yakin tidak ada lagi harapan untuk meneruskan
rumah tangga dengan Tergugat karena tujuan perkawinan untuk
membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah sudah
tidak terwujud lagi sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
sehingga sangat beralasan apabila gugatan ini dikabulkan;
8. bahwa, oleh karena perkawinan tersebut dilangsungkan di Kantor
Urusan Agama Kecamatan Ciledug Kota Tangerang, maka mohon
kepada Panitera Pengadilan Agama Tangerang untuk mengirimkan
salinan putusan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan Ciledug
Kota Tangerang untuk dicatat perceraiannya;
9. bahwa, Penggugat sanggup membayar biaya dari perkara ini;
Bahwa, berdasarkan alasan-alasan tersebut, Penggugat mohon
kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Tangerang Cq. Majelis Hakim
yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menjatuhkan putusan
sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat;
2. Menjatuhkan talak satu bain shugra Tergugat (TERGUGAT) kepada
Penggugat (PENGGUGAT);
3. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Tangerang untuk
mengirimkan salinan putusan kepada Kantor Urusan Agama
Kecamatan Ciledug Kota Tangerang dan Kantor Urusan Agama tempat
tinggal Penggugat dan Tergugat untuk dicatat dalam daftar yang
disediakan untuk itu;
4. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat;
Atau, apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon keputusan yang
seadil- adilnya.
3
Hal. 3 dari 14 hal. Put. No. 999/Pdt.G/2016/PA.Tng.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa, pada hari dan tanggal persidangan yang ditetapkan
Penggugat dan Tergugat dipanggil untuk menghadap di persidangan, atas
panggilan tersebut Penggugat hadir di persidangan, sedangkan Tergugat
tidak pernah hadir dan tidak pula mengutus orang lain untuk hadir di
persidangan sebagai sebagai wakil/kuasanya, meskipun telah dipanggil
secara resmi dan patut, sesuai relas panggilan tanggal 7 Juni 2016 dan
tanggal 21 Juni 2016 dan ketidak hadiran Tergugat tersebut tidak
disebabkan oleh suatu alasan yang sah;
Bahwa, berdasarkan Perma RI No. 1 Tahun 2016: setiap perkara
perdata harus terlebih dahulu diupayakan mediasi. Akan tetapi oleh
karena Tergugat tidak pernah hadir di persidangan, maka terhadap
perkara ini tidak dapat dilkukan mediasi;
Bahwa, Majelis Hakim berusaha memberikan nasehat dan saran
kepada Penggugat agar dapat bersabar guna mempertahankan rumah
tangganya dan berbaikan kembali dengan Tergugat akan tetapi tidak
berhasil;
Bahwa, oleh karena usaha penasehatan tidak berhasil, maka
dibacakanlah surat gugatan tersebut, yang tetap dipertahankan oleh
Penggugat;
Bahwa, oleh karena Tergugat tidak pernah hadir di persidangan,
maka tidak dapat didengar jawaban maupun bantahannya, akan tetapi
karena perkara a quo mengenai perceraian yang bersifat lex spesialis,
maka kepada Penggugat tetap dibebankan untuk membuktikan dalil-
dalilnya;
Bahwa untuk meneguhkan dalil gugatannya, Penggugat telah
mengajukan bukti surat berupa :
1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Nomor 3671064312900005, atas
nama Devy Sriwahyuni, yang dikeluarkan oleh Pemda Kota Tangerang,
tanggal 30 Agustus 2013, sesuai aslinya dan telah dinazegellen, diberi
kode bukti P.1);
4
414
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
2. Fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor XXXXXXXXX, atas nama
Muamad Rochmat, yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama
Kecamatan Ciledug, Kota Tangerang, tanggal 10 Agustus 2009, sesuai
aslinya dan telah dinazegellen, diberi kode bukti P.2);
Bahwa, untuk meneguhkan dalil-dalil gugatannya Penggugat juga
menghadirkan bukti 2 (dua) orang saksi. Saksi I bernama: SAKSI I, umur
23 tahun, agama Islam, Pekerjaan Wiraswasta, tempat tinggal di KOTA
TANGERANG;, dengan di bawah sumpahnya saksi tersebut memberikan
keterangan pada pokoknya sebagai berikut:
• bahwa, saksi sebagai tetangga kenal dengan Penggugat bernama:
PENGGUGAT dan kenal dengan Tergugat selaku suami Penggugat
yang bernama TERGUGAT;
• bahwa, saksi hadir pada saat Penggugat dan Tergugat menikah pada
tanggal bulan Agustus 2009;
• bahwa, Penggugat dan Tergugat tinggal mengontrak di KOTA
TANGERANG;
• bahwa, Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai seorang anak
bernama ANAK PENGGUGAT DAN TERGUGAT;
• bahwa, keadaan rumah tangga Penggugat dan Tergugat pada awal
pernikahan dalam keadaan rukun dan harmonis, namun sejak 5 tahun
yang lalu mulai tidak rukun, terjadi perselisihan dan pertengkaran
disebabkan: Tergugat tidak peduli dengan Penggugat dan
mengkomsumsi narkoba;
• bahwa, Penggugat dan Tergugat sudah pisah rumah sejak 4 tahun
yang lalu karena Tergugat di penjara;
• bahwa, saksi sudah menasehati Penggugat dan Tergugat, namun tidak
berhasil;
5
Hal. 5 dari 14 hal. Put. No. 999/Pdt.G/2016/PA.Tng.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• bahwa, saksi sudah tidak sanggup lagi untuk menasehati Penggugat
dan Tergugat, dan menurut saksi rumah tangga Penggugat dan
Tergugat sudah sulit untuk dipersatukan;
Saksi II bernama: SAKSI II, umur 48 tahun, agama Islam,
Pekerjaan Ibu rumah tangga, tempat tinggal di KOTA TANGERANG, dan
mengaku sebagai ibu kandung Penggugat. Di bawah sumpahnya saksi
tersebut memberikan keterangan pada pokoknya sebagai berikut:
• bahwa, saksi sebagai ibu kandung kenal dengan Penggugat bernama
Devy Sriwahyuni dan Tergugat adalah menantu saksi yang bernama
TERGUGAT;
• bahwa, saksi hadir pada saat Penggugat dan Tergugat menikah pada
tanggal 10 Agustus 2009;
• bahwa, Penggugat dan Tergugat tinggal mengontrak di KOTA
TANGERANG;
• bahwa, Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai seorang anak
bernama ANAK PENGGUGAT DAN TERGUGAT;
• bahwa, keadaan rumah tangga Penggugat dan Tergugat pada awal
pernikahan rukun dan harmonis, namun sejak awal tahun 2011 yang
lalu mulai tidak rukun, terjadi perselisihan dan pertengkaran
disebabkan: masalah ekonomi, Tergugat tidak memberi nafkah,
Tergugat kalau marah sering berkata cerai dan Tergugat adalah
pengguna narkoba hingga dipenjara;
• bahwa, Penggugat dan Tergugat sudah pisah rumah sejak 4 tahun
yang lalu dan Tergugat di penjara;
• bahwa, saksi sudah menasehati Penggugat dan Tergugat, namun tidak
berhasil;
• bahwa, saksi sudah tidak sanggup lagi untuk menasehati Penggugat
dan Tergugat dan menurut saksi rumah tangga Penggugat dan
Tergugat sudah sulit untuk dipersatukan;
6
614
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa, setelah pembuktian tersebut, Penggugat menyatakan
tidak akan mengajukan bukti-bukti apapun lagi, dan menyampaikan
kesimpulan pada pokoknya tetap dengan dalil gugatannya dan mohon
putusan;
Bahwa, telah terjadi hal-hal sebagaimana dicatat di dalam berita
acara sidang pemeriksaan perkara ini dan untuk mempersingkat uraian
putusan ini maka ditunjuk lah berita cara tersebut yang merupakan satu
kesatuan tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat
adalah cerai gugat terhadap Tergugat sebagaimana diuraikan di atas;
Menimbang, bahwa berdasarkan posita gugatan Penggugat telah
jelas menunjukan sengketa perkawinan (perceraian), yang didasarkan
kepada dalil Penggugat tentang identitas dan domisili Penggugat yang
berada diwilayah Kecamatan Benda, Kota Tangerang, maka berdasarkan
ketentuan pasal 49 ayat (1) hurup (a) dan pasal 73 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989, Tentang Peradilan Agama sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, maka perkara
gugatan cerai Penggugat merupakan wewenang Pengadilan Agama;
Menimbang, bahwa pada persidangan yang hanya dihadiri oleh
Penggugat, sedangkan Tergugat tidak pernah hadir, Majelis Hakim
berupaya mendamaikan kedua belah pihak berperkara namun usaha
tersebut tidak berhasil. Dengan demikian telah terpenuhi ketentuan pasal
82 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 sebagaimana
telah diuah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentag Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo pasal 31 ayat
(1 dan 2 ) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;
7
Hal. 7 dari 14 hal. Put. No. 999/Pdt.G/2016/PA.Tng.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa meskipun menurut ketentuan Pasal 4 PERMA
Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi, setiap perkara perdata harus
diupayakan melalui mediasi terlebih dahulu, akan tetapi karena Tergugat
tidak pernah hadir di persidangan, maka perkara ini tidak layak mediasi;
Menimbang, bahwa dalil-dalil yang dijadikan alasan oleh
Penggugat menggugat cerai Tergugat adalah sejak akhir tahun 2011,
rumah tangga dirasakan mulai goyah sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran yang sulit untuk dirukunkan lagi yang disebabkan oleh hal-
hal sebagai berikut: a. Tergugat dalam memberikan nafkah lahir kepada
Penggugat hanya sekedarnya; b. Tergugat pernah mengucapkan kata
cerai terhadap Penggugat; c. Tergugat sering melakukan kekerasan
terhadap Penggugat seperti menampar wajah, dll; d. Tergugat diketahui
langsung oleh Penggugat suka menggunakan Narkoba jenis shabu; dan e.
Komunikasi antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak terbina dengan
baik, sehingga sering timbul perselisihan dan percekcokan walau hal
sepele. Perselisihan dan pertengkaran tersebut di atas mencapai
puncaknya kurang lebih terjadi pada akhir bulan Oktober 2012, antara
Penggugat dan Tergugat sudah tidak serumah dan tidak ada hubungan
seperti layaknya suami isteri lagi. Sehingga rumah tangga tersebut sudah
sulit untuk dibina menjadi suatu rumah tangga yang baik dan harmonis
kembali, sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk suatu rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sudah tidak mungkin
tercapai lagi;
Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat tidak hadir di
persidangan, maka tidak dapat di dengan jawaban/keberatan Tergugat
terhadap gugatan Penggugat tersebut;
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pasal 125 HIR
gugatan Penggugat dapat diputus dengan verstek selama dalil-dalil
Penggugat sesuai dengan hukum dan tidak melawan hak, akan tetapi
8
814
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
karena perkara ini adalah perceraian yang merupakan lex spesialis, maka
Penggugat tetap dibebani pembuktian;
Menimbang, bahwa Penggugat telah mengajukan bukti surat-surat
yang diberi tanda P.1 dan P.2 serta 2 (dua) orang saksi yaitu: SAKSI I dan
SAKSI II;
Menimbang, bahwa terhadap bukti surat Penggugat yang diberi
tanda P.1, Majelis menyatakan: Penggugat sebagai warga Negara
Indonesia yang beragama Islam dan bertempat tinggal di wilayah
Kecamatan Ciledug, Kota Tangerang. Dengan demikian gugatan
Penggugat merupakan wewenang Pengadilan Agama Tangerang;
Menimbang, bahwa terhadap bukti surat Penggugat yang diberi
tanda P.2, Majelis menyatakan: Penggugat dan Tergugat terikat
pernikahan yang sah sejak tanggal 8 Agustus 2009 sampai sekarang
belum pernah bercerai. Dengan demikian Penggugat telah memenuhi
syarat sebagai legal standing dalam perkra ini;
Menimbang, bahwa 2 (dua) orang saksi yang dihadirkan oleh
Penggugat telah memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada
pokonya menguatkan dalil-dalil Penggugat dan atas pengetahuannya,
serta saling berkiatan antara satu dengan lainnya. Dengan demikian
keterangan saksi-saksi tersebut telah memenuhi syarat formil dan materil
kesaksian, sesuai ketetuan pasal 171 ayat (1) dan 172 HIR. Dengan
demikian dapat dipertimbagkan dalam perkara ini;
Menimbang, bahwa berdasarkan gugatan Penggugat yang telah
dibuktikan dengan alat bukti surat-surat dan saksi-saksi, dimana antara
satu dengan lainnya saling berkiatan, maka majelis menemukan fakta-
fakta kejadian dan fakta hukum di persidangan sebagai berikut:
• bahwa, Penggugat dan Tergugat adalah suami istri sah;
• bahwa, setelah menikah Penggugat dan Tergugat membina rumah
tangga tinggal di rumah kontrakan bapak KOTA TANGERANG;
9
Hal. 9 dari 14 hal. Put. No. 999/Pdt.G/2016/PA.Tng.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• bahwa, Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai seorang anak
bernama: ANAK PENGGUGAT DAN TERGUGAT, Perempuan, lahir
di Tangerang, 21 April 2010;
• bahwa, keadaan rumah tangga Penggugat dan Tergugat awalnya
berjalan rukun dan harmonis, namun sejak 5 (lima) yang lalu sering
terjadi perseisihan dan pertengkaran yang terus menerus yang sulit
untuk rukun disebabakan: masalah ekonomi, Tergugat tidak memberi
nafkah, Tergugat tidak peduli terhadap keluarga, Tergugat kalau marah
sering berkata cerai dan Tergugat adalah pengguna narkoba hingga
dipenjara;
• bahwa, sebagai akibat perselisihan dan pertengkaran Penggugat dan
Tergugat pisah rumah sejak 4 (empat) tahun yang lalu hingga
sekarang ini;
• bahwa, selama pisah rumah tersebut tidak ada komunikasi yang
baik lagi antara Penggugat dengan Tergugat, dan Tergugat pun
tidak memberikan nafkah apapun kepada Penggugat;
• bahwa, upaya perdamaian telah dilakukan, tetapi tidak berhasili;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta dan pertimbangan hukum
sebagai tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat: keadaan kehidupan
rumah tangga Penggugat dan Tergugat sejak 5 (lima) tahun yang lalu
sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus yang sulit
untuk rukun lagi yang disebabkan sebagaimana terbukti berdasarkan
keterangan saksi sebagai tersebut di atas;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta dan pertimbangan sebagai
tersebut itu pula Majelis berpendapat: secara psikologis ikatan bathin/hati
antara Penggugat dengan Tergugat telah rapuh, dan tidak satu haluan lagi
(broken heart) dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga,
segingga menurut penilaian Majelis pun rumah tangga keduanya dapat
dikatagorikan telah pecah (marriage breakdown), bahkan telah kehilangan
10
1014
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
ma’na dan hakikat perkawian sehingga tujuan perkawinan untuk membina
rumah tangga yang kekal, sakinah, mawaddah, warahmah mawaddah dan
rahmah telah tidak terwujud lagi dalam rumah tangga Penggugat dan
Tergugat, yang berarti pula Penggugat dan Tergugat telah gagal membina
rumah tangga idaman sebagai yang disabdakan Nabi SAW. dalam
haditsnya yang artinya: ”rumahku adalah surgaku”;
Menimbang, bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah pisah
ranjang sejak 4 (empat) tahun hingga sekarang. Selama pisah tersebut
tidak ada lagi komunikasi yang baik antara keduanya bahkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban suami isteri sebagai tersebut dalam pasal 33
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Tentang Perkawinan yaitu:
”Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain” dan pasal 34
ayat (1) yang berbunyi : ”Suami wajib melindungi isterinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya” dan pasal 34 ayat (2) yang berbunyi : ”Isteri
wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya” jo pasal 77 ayat
(1) dan (2) dan pasal 80 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam:
sudah tidak berjalan lagi dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta dan pertimbangan-
pertimbangan hukum sebagai tersebut di atas, Majelis Hakim pun menilai
pula telah terjadi krisis dalam kehidupan rumah tangga Penggugat dan
Tergugat sehingga mempertahankan rumah tangga yang demikian
keadaannya secara psikologis akan berdampak negatif, tekanan bathin
dan penderitaan (mudhorot) yang berkepanjangan dan secara sosiologis
ketidak nyamanan kehidupan Penggugat di tengah-tengah kehidupan
sosial dan kehidupan berkeluarga, sehingga meskipun menurut Hadits
Nabi SAW. yang artinya: ”perceraian adalah perbuatan halal, namun
sangat dibenci oleh Allah SWT.” dan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan menganut azas dan prinsif: ”mempersulit
11
Hal. 11 dari 14 hal. Put. No. 999/Pdt.G/2016/PA.Tng.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
perceraian”, justru perceraian merupakan pintu darurat yang mau tidak
mau dapat ditempuh oleh Penggugat sebagai jalan keluar untuk
mengakhiri krisis rumah tangganya dengan Tergugat, sejalan dengan
hadits Nabi saw. yang artinya: ”tidak boleh me-mudhorrot-kan diri sendiri
dan orang lain”, sedangkan yang mudhorrot, sesuai dengan kaidah
hukum Islam: الضرر يزال yang artinya: ”yang mudhorrot harus
dihilangkan”, bahkan menurut kaidah hukum lainnya: menolak yang
mudhorrot harus didahulukan dari pada menarik maslahat;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta dan pertimbangan-
pertimbangan hukum sebagai tersebut di atas maka Majelis Hakim
berpendapat pula: gugatan cerai Penggugat terhadap Tergugat dengan
alasan-alasan sebagaimana tersebut di atas sangat beralasan hukum dan
telah sejalan dengan alasan perceraian sebagaimana termuat dalam pasal
39 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 19 huruf (f) huruf
(a) dan huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116
huruf (f), huruf (a) dan huruf (b) Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu
gugatan Penggugat dapat dikabulkan dengan talak satu bain sughro;
Menimbang, bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 84
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah pertama
dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua
dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Majelis Hakim
memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Tangerang untuk
mengirimkan salinan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Ciledug,
dan Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang untuk dicatatkan
perceraiannya dalam daftar yang disediakan untuk itu;
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk bidang perkawinan,
maka berdasakan ketentuan pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7
tahun 1989 sebagaimana telah diubah pertama dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang
12
1214
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, maka biaya perkara
dibebankan kepada Penggugat;
Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat tidak pernah hadir
dipersidangan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 125 HIR. gugatan
Penggugat dikabulkan dengan verstek;
Menimbang, bahwa selain apa yang yang telah terbukti dan telah
dipertimbangkan di atas, maka hal-hal lain yang tidak relevan dengan
pokok perkara Majelis Hakim berpendapat tidak perlu dipertimbangkan
lebih lanjut;
Menimbang, bahwa dengan mengingat dan mempedomani segala
ketentuan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
serta berkaitan dengan perkara ini.
MENGADILI
1. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil secara resmi dan patut
untuk menghadap di persidangan, tidak hadir;
2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek;
3. Menjatuhkan talak satu ba'in shughraa Tergugat (TERGUGAT)
terhadap Penggugat (PENGGUGAT);
4. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Tangerang untuk
mengirim salinan putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap
kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan
Ciledug dan Kecamatan Tangerang Kota Tangerang untuk dicatatkan
perceraiannya dalam daftar yang disediakan untuk itu;
5. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara yang
hingga kini dihitung sejumlah Rp.391.000,00 (tiga ratus sembilan puluh
satu ribu rupiah);
Demikian putusan ini dijatuhkan di Tangerang dalam
permusyawaratan Majelis Hakim pada hari Senin, tanggal 27 Juni 2016
Miladiyah bertepatan dengan tanggal 22 Ramadan 1437, Hijriyah, oleh
13
Hal. 13 dari 14 hal. Put. No. 999/Pdt.G/2016/PA.Tng.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
kami Drs. Moch. Tadjuddin sebagai Ketua Majelis, Drs. Ali Usman dan
Drs. Masgiri MH., masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan
diucapkan pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum oleh
Ketua Majelis dengan dihadiri Hakim-Hakim Anggota tersebut dan dengan
dibantu Kumalasari, S.H., sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh
Penggugat tanpa hadir Tergugat.
Ketua Majelis:
TTD
Drs. Moch. Tadjuddin.
Hakim Anggota: Hakim Anggota:
TTD TTD
Drs. Ali Usman. Drs. Masgiri MH.
Panitera Pengganti,
TTD
Kumalasari, S.H.
Perincian Biaya Perkara:
1. Biaya Pendaftaran Rp. 30.000,00
2. Biaya ATK Proses Rp. 50.000,00
3. Biaya Panggilan Rp.300.000,00
4. Biaya Redaksi Rp. 5.000,00
5. Biaya Meterai Rp. 6.000,00
J u m l a h Rp. 391.000,00 (tiga ratus sembilan puluh satu ribu
rupiah).
14
1414
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14