CERAI GUGAT AKIBAT SUAMI TERKENA PEMUTUSAN...
Transcript of CERAI GUGAT AKIBAT SUAMI TERKENA PEMUTUSAN...
CERAI GUGAT AKIBAT SUAMI TERKENA PEMUTUSAN HUBUNGAN
KERJA (PHK)
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Perkara Nomor
770/Pdt.G/2010/PA JS)
Oleh:
Ari Amigar
106044201456
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Sebagai suri teladan yang sempurna bagi kita
semua.
Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak
pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis. Sebagai tanda
syukur atas terselesaikannya penulisan skripsi yang berjudul “CERAI GUGAT
AKIBAT SUAMI TERKENA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK),
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Perkara Nomor
770/Pdt.G/2010/PA JS)” Maka penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Jurusan Akhwal Syakhshiyyah
sekaligus pembimbing dalam penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan
waktu dan tenaga serta dengan sabar memberikan petunjuk, motivasi dan
bimbingan kepada penulis.
3. Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Yang telah memberikan bantuan berupa
bahan-bahan yang menjadi referensi dalam penulisan skripsi.
4. Secara khusus penulis juga mengucapkan terimakasih yang mendalam kepada
kedua orang tua penulis yang tercinta, ayahanda dan ibunda yang senantiasa
membimbing dan memotivasi penulis dengan tulus, serta selalu mendoakan
penulis agar penulis selalu sukses dalam segala hal. Semua yang telah mereka
berikan tidak akan dapat tergantikan dengan apapun di dunia ini.
5. Adik-adik tercinta, serta keluarga besar yang telah memberikan motivasi dan
juga semangat, serta memberikan saran-saran kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Sahabat dan teman seperjuangan di Administrasi Keperdataan Islam angkatan
2006, khususnya kepada Irpan, Ahmad Musyawa Ismail, Ubaidillah,
Cahyana, Ahmad Fauzi, Ahmad Sauqy, Azhar, Wahyu, Hadi Zulkarnaen,
yang telah banyak berkorban membangkitkan semangat penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
7. Muzdalifah, SHI. yang telah memberikan motivasi dan juga menghilangkan
kepenatan dan memberikan motivasi kepada penulis dengan semua canda dan
perhatiannya.
8. Tak terlupakan pula terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu
dalam kelancaran penulisan skripsi ini yang penulis tidak bias sebutkan satu
per satu.
Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT.
Kesempurnaan haya milik Allah SWT mudah-mudahan semua yang telah penulis
lakukan mendapat Ridha Allah SWT, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Amin.
Jakarta, 17 Maret 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI. ..................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ..................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 6
D. Metode Penelitian.................................................................. 8
E. Studi Review ......................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ........................................................... 13
BAB II PERCERAIAN ......................................................................... 15
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian .............................. 15
B. Faktor-Faktor Terjadinya Perceraian .................................... 24
C. Akibat perceraian .................................................................. 31
D. Prosedur Perceraian ............................................................... 40
BAB III HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI DAN ISTRI ................... 47
A. Hak dan Kewajiban Bersama Suami dan Istri....................... 47
B. Hak dan Kewajiban Suami Terhadap Istri ............................ 52
C. Hak dan Kewajiban Istri Terhadap Suami ............................ 56
BAB IV PROFIL PENGADILAN AGAMA DAN PUTUSAN
PERKARA NOMOR 770/Pdt.G/2010 ..................................... 60
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan ............................. 60
B. Duduknya Perkara ................................................................. 66
C. Pertimbangan Hukum dan Analisis Hakim ........................... 73
D. Analisis Penulis ..................................................................... 80
BAB V PENUTUP .................................................................................. 90
A. Kesimpulan ........................................................................... 90
B. Saran ...................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 95
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 98
1. Surat Permohonan Data dan Wawancara
2. Surat Pengesahan Ujian Proposal
3. Surat Keterangan Observasi
4. Pedoman Dan Hasil Wawancara
5. Putusan Perkara Nomor 770/Pdt.G/2010/PA JS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, karena manusia adalah makhluk sosial dimana yang satu dengan yang
lainnya saling bergantung untuk kelangsungan kehidupan itu sendiri, tentunya dengan
didasari aturan-aturan atau Undang-Undang yang berlaku di dalam masyarakat
Indonesia.
Yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria
dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
(rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan hukum
Islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formal
semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan sosial. Aspek agama
menetapkan keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal adalah menyangkut
aspek administratif, yaitu pencatatan di KUA.2
Perkawinan adalah suatu bentuk ibadah yang harus dijaga kesucian oleh
kedua belah pihak baik suami ataupun istri agar tercapainya tujuan dari perkawinan
1 Neng Djubaedah, dkk, Hukum Pekawinan Islam di Indonesia: (Jakarta: PT. Mecca Mitra
Utama, 2005), h.56.
2 Salim HS, Pengantar H ukum Perdata Tertulis: (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h.61.
itu sendiri, yaitu melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan
penyambung cita-cita3, membentuk keluarga yang bahagia kekal selamanya serta
dapat mengembangkan dan memenuhi ketentraman jiwa dikarenakan perkawinan
yang harmonis dan didasari syari’at Islam. Terwujudnya tujuan perkawinan tersebut
sudah barang tentu sangat tergantung pada maksimalisasi peran dan tanggung jawab
masing-masing pihak, istri dan suami.4
Apabila terlaksana akad perkawinan yang sah, maka mulai saat itu antara
kedua calon mempelai sudah terikat dalam ikatan perkawinan dan telah resmi hidup
sebagai suami istri5. Keduanya di haruskan untuk menjaga dan mencapai tujuan-
tujuan dari perkawinan.
Agar tercapainya rumah tangga yang baik hendaklah individu-individu
dalam rumah tangga yang pada pokoknya terdiri dari suami dan istri harus pula saling
menunaikan hak dan kewajiban masing-masing. Hak dan kewajiban suami dan istri
itu memegang peranan yang penting dalam suatu rumah tangga. Apabila masing-
masing pihak tidak dapat saling menjaga dan memeliharanya maka dapat di tunggu
saat kehancuran dari perkawinan.6
3 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan: (Jakarta: PT Bulan Bintang
2004), h.12.
4 Amirudin Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2004), h.179
5 Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan: (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya
1989), h.7.
6 Ibid., h.1.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kenyataan hidup yang terdapat dalam
masyarakat kehidupan berjalan dinamis, tidak lepas dari perselisihan antara anggota
tersebut terlebih antara suami dan istri. Kenyataan hidup seperti itu membuktikan
bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup bersama suami dan istri
bukan sesuatu hal yang mudah untuk dilaksanakan, sehingga dalam banyak rumah
tangga tidak berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan dalam perkawinan.
Perkara hak dan kewajiban suami dan istri sangat banyak menimbulkan
masalah ditengah-tengah rumah tangga. Secara umum masalah-masalah yang timbul
dalam kehidupan berumah tangga itu berkaitan banyak faktor, salah satu faktornya
adalah masalah kurangnya kebutuhan untuk hidup dalam rumah tangga.
Setelah terjadinya akad nikah yang sah yang dilakukan oleh suami dan istri,
menyebabkan istri telah terikat dengan hak-hak suaminya dan telah haram untuk
dikawini oleh orang lain. Ikatan tersebut menyebabkan istri tidak dapat mencari
nafkah secara maksimal untuk dirinya sendiri, karena itu istri berhak mendapatkan
nafkah dari orang yang mengikatnya, yaitu suaminya.7
Nafkah menurut bahasa adalah mengeluarkan atau melepaskan.8 Nafkah
merupakan kebutuhan pokok yang sangat penting bagi kehidupan rumah tangga yang
diberikan oleh suami kepada istri berupa pakaian, tempat tinggal, makanan, sebagai
salah satu untuk mewujudkan keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan
istri.
7 Kamal Muchtar,Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, h.131.
8 Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, h.20.
Islam mewajibkan laki-laki sebagai seorang suami untuk memenuhi
kebutuhan istri dan anak-anaknya, namun hal itu tidak dapat menghilangkan
kewajiban perempuan sebagai seorang istri yang secara moral adalah untuk
membantu suaminya mencari nafkah, sebagai nafkah tambahan. Karena dalam
kehidupan yang nyata banyak laki-laki (suami) yang penghasilanya tidak memenuhi
tuntutan kehidupan pokok sehari-hari dalam rumah tangga. Sering kali hal ini
memicu terjadinya perselisihan antara suami dan istri, karena hak istri tidak dapat
dipenuhi oleh suami.
Namun roda kehidupan ekonomi seseorang memang berputar, dalam
mencari nafkah suami tidak serta-merta mendapatkan jalan yang mudah untuk
mencari nafkah bagi keluarganya, terkadang yang dahulunya telah mendapatkan
perkerjaan yang sesuai dengan kemampuan suami dan cukup untuk membiayai
kebutuhan hidup keluarga, tiba-tiba terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh
pihak perusahan dimana suami berkerja, hal ini akan menyulut konflik dalam
keluarga karena setelah terkena Pemutusan Hubugan Kerja (PHK) secara otomatis
kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga menjadi tidak tercukupi. Seperti pada kasus
yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Suami tidak lagi dapat
memberikan nafkah kepada keluarga karena telah terkena pemutusan hubungan kerja
oleh pihak perusahan, dan suami hanya menunggu perkerjaan yang sama seperti yang
dulu, dikarenakan si suami tidak mempunyai keahlian yang lain, suami telah mencoba
bekerja kembali namun hanya satu tahun dikarenakan perkejaannya tidak sesuai
dengan kemampuan suami, dan penghasilan dari suami tidak mencukupi kebutuhan
keluarga. Sehingga istri mencari perkerjaan dengan berdagang untuk memenuhi
kebutuhan keluarga akan tetapi suami tidak menghargai usaha dari si istri. Sehingga
si istri melayangkan surat guagatan cerai, dan diputuskan bercerai oleh Pengadilan
Agama Jakarta Selatan.
Dari penjelasan di atas penulis tergugah untuk meneliti kasus perkara
dengan alasan suami tidak mampu memberikan kebutuhan hidup keluarga
dikarenakan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai penyebab terjadinya
perceraian. Maka dari itu penulis mengambil objek penelitian di Pengadilan Agama
yang menangani kasus perceraian bagi orang-orang yang beragam Islam. Di
khususkan pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan karena sebagai Pengadilan agama
yang memutuskan perkara nomor 770/Pdt.G/2010/ PA JS.
Dari latar belakang di atas penulis mengambil skripsi dengan judul “Cerai
Gugat Akibat Suami Terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)” (Analisis
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor 770/Pdt.G/2010/PA JS)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian skripsi ini lebih terarah. Maka penulis
membatasi lingkup permasalahan yang berkenaan dengan kewajiban suami untuk
memberikan nafkah keluarga menurut aturan yang berlaku di Indonesia(KHI dan
Undang-Undang Perkawinan). Karena peraturan tersebut menjadi acuan hukum
khususnya yang berkenaan dengan tangung jawab suami terhadap istri namun pada
kasus ini suami melalaikan kewajibannya sebagai seorang suami dikarenakan suami
terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
2. Perumusan Masalah
Dalam al-Quran, Hadist, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan,
menjelaskan dengan detail tentang kewajiban suami dalam keluarga, tetapi dalam
kenyataanya banyak suami yang tidak melaksanakan kewajiabanya dengan banyak
alasan khusunya karena tidak mempunyai keahlian perkerjaan atau terkena
Pemutusan Hubungan Kerja, sehingga suami melalaikan kewajibanya sebagai
seorang suami.
Dari rumusan masalah di atas maka penulis dapat merinci dan mengambil
point-piont yang harus di bahas dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.
a. Apakah akibat terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat
menjadi alasan perceraian ?
b. Apa pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan
dalam memutuskan perkara nomor 770/Pdt.g/2010/PAJS ?
c. Bagaiamana kewajiban suami dan istri setelah terjadinya perceraian
akibat suami terkena Pemutusan Hubungan Kerja ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari skripsi ini adalah untuk menjawab beberapa permasalahan
sebagai berikut :
a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana
Hukum Islam (SHI).
b. Untuk mengetahui boleh atau tidak melakukan perceraian dengan alasan
terkena Pemutusan Hubungan Kerja.
c. Dapat memberi pemahaman yang lebih dalam memahami dan
melaksanakan hak dan kewajiban sebagai seorang suami.
d. Dapat mengetahui landasan-landasan hukum para hakim dalam
memutuskan perkara perceraian khususnya putusan nomor
770/Pdt.G/2010/ PA JS.
e. Dapat mengetahui tentang arti perkawinan dan perceraian menurut
aturan hukum yang berlaku.
f. Dapat mengetahui prosedur-prosedur perceraian di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.
2. Manfaat Penelitian
a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana
Hukum Islam (SHI).
b. Memberikan wawasan kepada penulis dalam rangka meningkatkan
kecerdasan pemikiran dalam menganalisis permasalahan yang ada.
c. Memberikan pengetahuan bagi para akademisi, dengan disusunnya
karya ilmiah ini dapat dijadikan sebuah bahan untuk di diskusikan.
d. Sumbang sih kepada masyarakat umum dalam memberikan pemahaman
tentang hak dan kewajiban seorang suami agar terciptanya hubungan
keluarga yang harmonis.
e. Memberikan pelajaran bagi calon hakim dalam menerapkan peraturan-
peraturan yang berlaku di Indonesia.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang ditempuh oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini adalah dengan menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
a. Kualitatif
Jenis penelitin kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif : ucapan atau tulisan dan prilaku yang dapat di amati dari
orang-orang (subjek) itu sendiri.9
b. Penelitian Kepustakaan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode ini, dengan cara
pengkajian dari buku-buku yang mengacu dan berhubungan dengan
pembahasan skripsi ini yang di analisa data-datanya.
c. Penelitian Lapangan
9 Arief furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif : suatu pendekatan fenomologis
terhadap ilmu-ilmu sosial : (Surabaya: Usaha Nasional 1992), h 21-22.
Penelitian ini adalah dengan cara mengumpulkan data-data lapangan10
yang berkaitan dengan judul skripsi ini, dalam hal ini adalah pencarian
data-data di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2. Jenis data
a. Data Primer yaitu bahan-bahan yang dapat dijadikan rujukan dalam
penelitian yakni buku-buku hukum atau yang berkaitan dengan masalah
penelitian ini, dan lampiran putusan yang di keluarkan oleh Pengadilan
Agama Jakarta Selatan.
b. Data Sekunder yaitu dapat berupa hasil wawancara dengan hakim yang
memutuskan perkara nomor 770/Pdt.G/2010/ PA JS.
c. Data Tertier yaitu data yang didapat dari kamus dan jurnal hukum dan
lain-lainya.
3. Objek Penelitian
Objek Penelitian atau yang menjadi titik perhatian dalam penelitian ini
adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai alasan pengajuan
perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan nomor
putusan 770/Pdt.G/2010/PA JS.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam hal teknik pengumpulan data penulis akan menggunakan teknik studi
kepustakaan/studi dokumen (decumentary study)11
, yakni menelusuri buku-
10 Suharsimin Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Pendek: (Jakarta: Bhineka Cipta
1998), h 234.
buku dan literatur yang terkait dengan permasalahan, selain pengumpulan
data menggunkan study kepustakaan penulis juga akan menggunakan teknik
wawancara dengan hakim yang terkait dengan permasalahan.12
5. Teknik analisis data
Teknik analisa data dalam penulisan ini yaitu dengan cara penulis
manganalisi putusan hakim nomor 770/Pdt.G/2010/ PA JS melalui buku-
buku hukum, undang-undang dan wawancara dengan hakim, teknin analisis
ini akan dilakukan dengan memaparkan semua hasil data-data yang
diperoleh dan yang sudah dikumpulkan dan dianalisa oleh penulis dengan
bentuk deskriptif dengan menggunakan bahasa baku dan bahasa penulis
sendiri.
6. Teknik Penulisan Skripsi
Teknik Penulisan Skripsi ini penuis berpedoman pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah dan
Hukum, cet ke-1 tahun 2007. Dan menggunakan deskripstif analisis lalu
selanjutnya dibuat kesimpulan atas permasalahan yang diteliti oleh penulis.
11 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metide Penelitian Hukum: (jakarta: PT Raja
Grafindo Persada 2004), h.61.
12 Ibid., h.82.
E. Studi Riview
Sebelum menetukan judul proposal skripsi penulis melakukan review studi
terdahulu, dalam hal ini peneliti meringkas skripsi yang ada kaitan dengan
permaslahan judul skripsi penulis, adapun penelitian tersebut adalah :
1. Judul Skripsi : Cerai Gugat Akibat Suami Tidak Bisa Menjadi Pemimpin
Keluarga
Dalam penulisan skripsi ini menjelaskan bahwa penyebab terjadinya
perceraian adalah suami tidak bisa menjadi pemimipin keluarga, dalam hal ini suami
tidak dapat memberikan cantoh yang baik bagi keluarga, seperti tidak pernah
melakukan ibadah sholat lima waktu dan percaya dengan hal-hal yang ghaib.
Disamping itu pula suami sering mengeluarkan kata-kata kasar kepada istri apabila
terjadi pertengkaran. Berawal dari masalah inilah si istri mengajukan gugatan cerai
terhadap suaminya.
2. Judul Skripsi : Ketidak Sanggupan Suami Dalam Melunasi Hutang Istri
Sebagai Sebab Pengajuan Perceraian.
Skripsi ini berisi bahwa latar belakang yang menjadi penyebab terjadinya
perceraian dikarenakan suami tidak dapat melunasi hutang istri. Pada awalnya si istri
berniat untuk membantu suaminya memberikan nahkah tambahan dengan cara
melisingkan BPKB kendaran untuk melancarkan usaha suami nya tetapi si suami
tidak mengetahui hal ini, berniat membantu dan mendapatkan keuntungan yang besar
ternyata dalam perjalannya usaha suami tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan
siistri, bukannya mendapatkan keuntungan malah mendapat kerugian. Berawal dari
masalah ini suami tidak dapat melunasi hutang siistri sehingga istri menggugat suami,
maka terjadilah perceraian.
3. Judul Skripsi : Penyelesaian Perceraian Suami Selingkuh
Sebab terjadinya perceraian dalam skripsi ini dikarenakan suami selingkuh,
alasan suami selingkuh dan mengajukan thalak kepada istri dikarenakan tidak ada lagi
rasa percaya istri kepada suami, disamping itu siistri mempunyai sifat yang keras dan
sangat egois. Pada mulanya, suami mengajukan perceraian kepada istri untuk pertama
kalinya, tetapi hakim Pengadilan agama tidak menerima permohonan perceraian
karena tidak cukup alasan untuk mengajukan perceraian disamping itu siistri pun
tidak mau untuk diceraikan. Lalu pada permohonan perceraian untuk yang kedua
kalinya, hakim Pengadilan Agama baru memutuskan Perceraian dan dijatuhkannya
thalak kepada istri, karena alasan-alasan suami sudah dapat dijadikan alasan
perceraian dan istri pun menerima karena siistri sudah tidak sanggup lagi menerima
perlakuan dan tindakan suami.
Dari tiga tinjauan riview atau kajian terdahulu yang sudah dibahas di atas
maka penulis akan lebih mengkhusukan judul skripsi penulis yakni : “Cerai Gugat
Akibat Suami Terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)” (Analisis Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor 770/Pdt.G/2010/PA JS). Oleh sebab
itu penulis dapat lebih terkonsentrasi secara mendalam mengenai permasalahan yang
terjadi antara pasangan suami-istri yang dilatar belakangi karena suami mendapat
Pemutusan Hubungan Kerja.
Maka disini terlihat ada perbedaan dalam pembahasan judul yang sudah
dibahas oleh para penulis terdahulu, karena dalam ketiga karya yang terdahulu,
berbeda permasalah yang melatar belakangi terjadinya perceraian serta putusan yang
akan dianalisi oleh penulis. Disamping itu didalam karya ketiga penulis itu membahas
judul yang tidak spesifik, maka untuk lebih mengkhususkan kembali maka penulis
mengajukan judul yang sudah tertera. Dan mohon izinkan penulis diberikan
kesempatan untuk membahas dan meneliti dari judul yang sudah penulis tetapkan.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penyusunan penelitian ini ialah berformat kerangkat teori
out line dalam bentuk bab dan sub bab, secara ringkas terurai dalam penjelesan
berikut :
BAB PERTAMA : Berisi pendahuluan yang memuat Latar Belakang Masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan maanfaat
penelitian, metode penelitian, studi riview, serta Sistematika
Penulisan.
BAB KEDUA : Berisi Kajian Teoritis Tentang Perceraian, membahas tentang
Pengertian dan Hukum perceraian, Faktor-Faktor terjadinya
Perceraian, Prosedur Percerian, Akibat Perceraian.
BAB KETIGA : Berisi Kajian Teorotis Tentang Hak Dan Kewajiban Suami
Istri, membahas Hak dan Kewajiban Bersama Suami Istri, Hak
Dan Kewajiban Suami Terhadap Istri, Hak Dan Kewajiban
Istri Terhadap Suami.
BAB KEEMPAT : Berisi Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan Dan Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, membahas tentang sejarah,
Duduk Perkara Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Pertimbangan Hukum Hakim, dan Analisis Penulis.
BAB KELIMA : Penutup, yang berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran,
penulis juga melampirkan daftar pustaka dan lampiran-
lampiran yang dianggap penting.
BAB II
PERCERAIAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Kata perceraian atau thalak dalam bahasa Arab berasal dari طك - يطك - طالك
yang bermakna melepaskan atau menguraikan tali pengikat, baik tali pengikat itu
bersifat konkret seperti tali pengikat kuda dan unta maupun bersifat abstrak seperti
tali pengikat perkawinan.13
Dalam kamus Arab Indonesia Al-Munawir, cerai adalah
terjemahan dari bahasa arab ”thalaqa” yang secara bahasa artinya melepaskan
ikatan14
.
Sedangkan menurut istilah, thalaq adalah melepaskan ikatan perkawinan
atau menghilangkan ikatan pernikahan pada saat itu juga (melalui thalaq Ba’in) atau
pada masa mendatang setelah iddah (melalui thalaq Raj’i) dengan ucapan tertentu.
dalam kamus istilah agama, thalaq adalah melepaskan ikatan dengan kata-kata jelas
atau sarih, atau dengan kata-kata sindiran atau kinayah.15
Selanjutnya mazhab Syafe’i
mendefinisikan Thalaq sebagai pelepasan akad nikah dengan lafal Thalaq atau
semakna dengan lafal itu. Sedangkan madzhab Maliki mendefinisikan thalaq sebagai
13 Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Di Jakarta,Ilmu
Fiqih (Jakarta : Departemen Agama, 1985), Cet.ke-2, h.226
14 Ahmad Warsan Munawir, Al-Munawir : Kamus Arab Indonesia, (Surabaya : Pustaka
Progresif, 1997) Cet. ke-14, h.207
15 Salahudin Khairi Sadiq, Kamus Istilah Agama, (Jakarta : CV.Sient Tarama, 1983),h.385
suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.16
Pada Ensklopedi Islam di Indonesia diartikan sebagai pemutusan ikatan
perkawinan yang dilakukan oleh suami-istri secara sepihak dengan menggunakan
kata Thalaq atau seumpamanya.
As-Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Al-Sunah memberi definisi thalaq
sebagai berikut:
جية اء اعمة از او ج ز ابطة از ح17
“Thalaq ialah melepas tali perkawinan dengan mengakhiri hubungan suami istri.”
Menurut H.A Fuad Said mendefinisikan perceraian adalah putus hubungan
perkawinan antara suami dan istri.18
Dari definisi-definisi yang telah dijabarkan, maka
dapatlah dipahami bahwa thalaq adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga
setelah ikatan perkawinan istri tidak halal lagi bagi suaminya, dan ini terjadi dalam
hal thalaq ba’in, sedangkan dalam arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan
adalah berkurang hak thalaq bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah
thalaq menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dan dua menjadi satu menjadi hilang
hak thalaq itu, yaitu terjadi dalam thalaq raj’i.19
16 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. “Thalaq” Ensiklopedia Islam (Jakarta : PT. Ikhtiar
Baru Van Hoeve, 1997), Cet. Ke-4, h.53
17Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunah, kitab at-Thalaq, bab Tarif, (Dar al-Fikr ; Beirut Libanon), h.
206 18H.A Fuad Said, perceraian dalam hokum Islam, (Jakarta : al-Husna), h.1
19Sri Mulyati, Relasi Suami Istri Dalam Islam, PSW, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta : 2004,
Hal 16-17
Putus ikatan perkawinan bisa diartikan juga salah seorang diantara keduanya
meninggal dunia, antara pria dan wanita sudah bercerai, dan salah seorang diantara
keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga
pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal. Berdasarkan
semua itu, dapat berarti ikatan suami-istri sudah putus dan/atau bercerainya antara
seorang pria dengan seorang wanita yang diikat oleh tali perkawinan.20
Jadi dari bebapa pengertian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
thalaq merupakan pemutus hubungan suami dan istri serta hilanglah pula hak dan
kewajiban sebagai suami istri. Meskipun dalam pengucapan thalaq menggunakan
lafal-lafal tertentu, namun penekananya dimaksudkan bertujuan yang sama yaitu
untuk berpisahnya hubungan suami istri, dalam arti kata putusnya hubungan
perkawinan.
2. Dasar Hukum Perceraian
Perkawinan ialah ikatan lahir batin seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, perkawinan
perkawinan dalam ajaran Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga pasal dua (2)
Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat
kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakanya
20 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2006),h.73
merupakan ibadah.21
Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang
mampu untuk segera melaksanakanya. Kerena perkawinan dapat mengurangi
kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinahan.
Akad perkawinan bukanlah perkara perdata semata, melainkan iktan suci
yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah, karena itu Syari’at Islam
menjadikan pertalian ikatan suami-istri dalam ikatan perkawinan sebagai pertalian
yang suci dan kokoh, firman Allah SWT dalam Q.S an-Nissa (4): 21
﴾٤:٢١/اوساء﴿ .
Artinya ;
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang
kuat.”(QS An-Nissa 4:21)
Oleh sebab itu suami-istri wajib hubungan tali pengikat perkawinan dan tidak
sepantasnya pasangan suami istri berusaha merusak dan memutuskan tali perkawinan
tersebut dan perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa
yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera
dapat terwujud.22
Apabila kita melihat besarnya tuntutan mencegah perceraian dalam kondisi
tertentu dengan unsur kesengajaan atau ada maksud lain dari perceraian tersebut,
21 Zainudin Ali, Hukum Perdata Di Indonesia, h. 7
22 H.Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum
Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta : Kencana, 2006), h.206
maka peceraian merupakan perbuatan terlarang dan dosa. Misalnya, apabila dengan
perceraian itu dapat merusak kehidupan agama dan kehormatan wanita. Bertolak dari
sini, sudah seharusnya bagi siapa saja yang melakukan perceraian terlebih dahulu
harus benar-benar mempertimbangkan baik dari segi cara, waktu maupun resiko yang
akan ditimbulkannya sebelumnya berani memutuskan untuk bercerai, agar perceraian
tersebut menjadi perceraian yang baik.23
Seringkali perceraian terjadi tanpa adanya
alasan yang kuat, hal inilah yang menjadi alasan lahirnya Undang-Undang
Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, selain itu juga untuk mewujudkan
suatu perkawinan yang bahagia, kekal dan sejahtera sesuai dengan salah satu prinsip
yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang perkawinan yaitu
mempersulit terjadinya perceraian.24
Dalam hal perceraian agama Islam telah
mengatur sedemekian rupa dengan menurunkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadist-
Hadist Nabi yang berkenaan dengan perceraian tersebut dan dapat dijadkan dasr
hukum serta aturan sendiri. Diantaranya yaitu Q.S at-Thalaq (65) : 1
﴿٦٥:١/ك اطال﴾
23 Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili, Perceraian Salah Siapa?, (Jakarta : Lentera
2001), h.37
24 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1978), h.36
Artinya ;
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah
Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan
perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya
Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui
barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”
(Q.S At-Thalaq(65) : 1)
Selanjutnya dalam Q.S al-Baqarah (2) : 228
﴾٢:٢٢٨/ ابلسة﴿
Artinya;
”Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para
suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S al-Baqarah(2) : 228)
Dilanjutkan dalam Q.S al-Baqarah (2) : 229
﴿٢:٢٢٩/ ابلسة﴾
Artinya :
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S al-
Baqarah(2) : 229)
Demikian pula disebutkan Q.S al-Baqarah (2) : 230
﴾٢:٢٣٠/ ابلسة﴿ Artinya;
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami
yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak
ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang
(mau) mengetahui.” (Q.S al-Baqarah(2) : 230)
Dan dilajutkan pula dalam Q.S al-Baqarah (2) : 231
﴿٢:٢٣١/ ابلسة﴾
Artinya;
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya,
Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka
dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi
kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka.
Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan
ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu
Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran
kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah
serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S al-
Baqarah(2) : 231)
Seterusnya dijelaskan dalam Q.S al-Baqarah (2) : 232
﴿٢:٢٣٢/ ابلسة ﴾
Artinya;
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang
ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci.
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S al-Baqarah(2) : 232)
Namun demikian pada dasarnya hukum perceraian atau thalaq adalah
sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah ushul fiqh disebut makruh.
Berdasarkan hadist nabi:
اهلل ما لاي زس سمعه ابه عمس زضي اهلل عى حاي : صى اهلل عي أبغض ا
د﴿. اطاقاهللعىد د اي اب , ز حاوم,ابه ما ج ا حاجم إزسا , صحح زجح اب
﴾25
Artinya:
“Dari ibnu Umar semoga Allah SWT meridhoi keduanya berkata: Rasulullah
SAW bersabda: perbuatan halal yang dibenci oleh Allah SWT ialah Thalaq”.
(HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Hakim, serta dikuatkan oleh Hatim)
Selain itu hadist nabi lain yang menjadi dasar hukum perceraian adalah
عه وافع دثىا أب بىس به أبى شيبة حدثىا عبد ا به إدزيس عه عبيد ا
ى حائض فروس ذه عمس عه ابه عمس لاي طمث امسأجى -سسي ا
ا» فماي - صى اهلل عي سم يساجع س مسي ف س ثم جحيض ثم جط ححى جط
ا ثم إن شاء ا فئو إن شاء أمسى ا أن يجامع ا لب اعدة احى أمس طم
( اي ابه ماج (ز
Artinnya:
25 Muhammad ibnu Yazid, Sunan Ibnu Majah, (Beirut, Darul fiqr). Juz 1, h. 650
26 Muhammad ibnu Yazid, Sunan Ibnu Majah, (Beirut, Darul fiqr). Juz 1, h. 651
“Sesungguhnya, Ia (Abdullah Ibnu Umar) telah menthalaq istrinya, sedang
istrinya dalam keadaan haid, pada masa Rasulullah SAW, Umar lalu bertanya
kepada Rasulullah SAW, Beliau bersabda: “Suruhlah agar merujuk istrinya itu.
Kemudian hendaklah ia menahan istrinya itu hingga suci, kemudian haid,
kemudian suci, kemudian sesudah itu jika ia mau ia boleh memegang (tetap
menggaulinya) istrinya sesudah itu dan jika ia mau, ia boleh menthalaqnya
diwaktu suci dan belum dicampuri, yang demikian itulah iddah yang
diperintahkan oleh Allah SWT untuk menthalaq istri-istri.” (HR.Ibnu Majah)
Demikian dari ayat al-Qur’an dan hadist yang telah disebutkan diatas para
ulama sepakat membolehkan Thalaq. Ini melihat bahwa bisa saja sebuah rumah
tangga mengalami masalah yang dapat menimbulkan keretakan hubungan suami-istri
sehingga rumah tangga tidak akan berjalan harmonis dan melenceng dari tujuan
perkawinan itu sendiri, apalagi menimbulkan rasa sakit diantara suami dan istri
seperti pertengkaran yang terus menerus, dilanjutkanya pun pernikahan tersebut akan
menimbulkan kemadharatan yang sangat serius. Perceraian adalah satu-satunya jalan
untuk dapat menghindari dan mengilangkan hal-hal yang negatif.
B. FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA PERCERAIAN
Suatu perkawinan dimaksud untuk mewujudkan kehidupan suami istri yang
harmonis dalam rangkan membina dan membentuk keluarga yang sejahtera dan
bahagia sepanjang masa, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam membina rumah
tangga selalu saja ada masalah yang timbul sehingga dapat menimbulkan keretakan
dalam rumah tangga itu sendiri, segala persoalan yang dihadapi harus diselesaikan
atau diputuskan dengan musyawarah.27
27 Ash-Shabbagh, Mahmud. Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Solo : CV. Pustaka Mantiq,
1993), cet.ke-5, h. 140
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 38
disebutkan ada 3 (tiga) hal yang menjadi faktor putusnya perkawinan, yaitu:
(1) Karena Kematian;
(2) Karena perceraian;
(3) Karena Putusan Hakim.
1. Karena Kematian
Putusnya perkawinan karena kematian tidak menimbulkan banyak
persoalan, karena dengan sendirinya ikatan perkawinan menjadi putus. Apabila pihak
suami istri yang masih hidup ingin menikah lagi maka boleh saja asalkan telah
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Hukum Islam.28
2. Karena Perceraian
Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan, sebagaimana
ketentuan dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perceraian pasal 39 ayat
1, yaitu: “perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan, setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak dapat mendamaikan kedua belah
pihak”.
Dalam pasal 39 diatas diterangkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan
didepan sidang Pengadilan, pasal ini dimaksudkan untuk untuk mengatur thalaq pada
perkawinan, dan hal ini sesuai dengan prinsip yang terdapat dalam Undang-Undang
perkawinan prinsip tersubut tercantum pada pasal 4 huruf e sebagai berikut : “Karena
28 Lili Rasidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung
Ramaja Rosdakarya, 1991), h.194
tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera,
maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya
perceraian.29
3. Karena putusan Pengadilan
Perceraian yang terjadi karena putusan Pengadilan merupakan perceraian
yang terjadi diluar kehendak suami istri yang apabila majlis hakim berpendapat atau
menilai perkawinan keduanya tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan. Bentuk
putusan ini dapat berupa fasakh (pembatalan perkawinan).30
Fasakh perkawinan adalah sesuatu yang merusak akad (perkawinan) dan
bukan merupakan Thalaq, fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak
terpenuhi pada waktu akad nikah atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan
dapat membatalkan kelangsungan perkawinan.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada
pasal 39 ayat (2) dijelaskan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan
untuk menyatakan bahwa pasangan tersebut sudah tidak dapat lagi hidup rukun
sebagai suami istri, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasa 116 menjelaskan
faktor-faktor yang dapat menjadi alasan terjadinya perceraian, yaitu:
1. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
29 Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : bulan
bintang, 1975), h.55-56
30 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan agama, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1996), h.95
Perkara perceraian dengan alasan zina, pada umumnya lebih banyak
menggunakan istilah “selingkuh atau menyeleweng”, secara umum zina bagi orang
yang terikat perkawinan adalah hubungan kelamin yang dilakukan oleh suami atau
istri dengan seseorang (pihak ketiga). Perbuatan ini sudah jelas akan menimbulkan
perselisihan dan pertengkaran antara suami dan istri yang sulit untuk diselesaikan,
apabila salah satunya telah berbuat dan saling menuduh satu sama lain berbuat zina,
maka cara penyelesaiannya dengan cara memaparkan bukti-bukti serta data-data yang
konkrit dan jelas dalam mengajukan perceraian dengan alasan zina, bukan hanya
sekedar gosip atau omongan orang luar saja yang ingin menghancurkan rumah tangga
kita. Dengan cara itu mungkin juga bisa mencegah terjadinya perceraian.31
2. Salah satu pihak meniggalkan Pihak lain (suami atau istri) selama 2 (dua) tahun
berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuanya.
Perceraian dengan alasan ini adalah untuk menjaga dan melindungi pihak
yang ditinggalkan, hal ini terkait dengan kewajiban memberi nafkah baik lahir
maupun bathin, apabila salah satu pihak meninggalkan pihak lain tanpa adanya izin
dalam waktu yang lama maka akan dikhawatirkan tidak adanya pemenuhan
kewajiban yang harus diberikan kepada pasangannya. Sehingga bila yang
ditinggalkan kemudian tidak sangup, maka dapat mengajukan alasan ini untuk
menjadi dasar diajukanya gugatan perceraian di Pengadilan.32
31 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.206
3. Salah satu pihak mendapatkan hukum penjara 5 (lima) tahun atau hukum yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Didalam pasal 23 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan
undang-undang Pekawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan “gugatan
perceraian karena salah seorang suami istri mendapat hukuman penjara (5) tahun atau
hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud pasal 19 huruf c maka untuk
mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti, penggugat cukup menyampaikan
salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang
menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap”. Pasal
tersebut diatas menunjukan bahwa salinan putusan pidana yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap langsung dianggap mempunyai kekuatan pembuktian yang
menentukan atau mempunyai kekuatan pembuktian yang memaksa. Hal ini juga
hampir sama dengan point 2 untuk dapat menjadi dasar pengajuan perceraian,
dikarenakan jika salah satu pihak sedang menjalani hukum 5 (lima) tahun atau lebih,
berarti yang bersangkutan tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai suami atau
istri dan tidak terpenuhinya kebutuhan lahir dan bathin.33
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada pasal 6 menjelaskan bahwa kekerasan fisik
32 Ibid., h.208
33 Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama,
(Jakarta : Intermasa, 1991), h.326
adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.34
Selanjutnya pada Undang-Undang PKDRT No 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa
kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap kekerasan yang mengakibatkan luka
fisik, psikis, seksual dan ekonomi yang terjadi dalam ruang lingkup domestik yakni
relasi antara orang-orang yang berbeda dalam hubungan keluarga, perkawinan
maupun hubungan kerja dilingkung domestik dan pasangan dalam hubungan intim
secara sosial maupun seksual. Menurut M.Yahya Harahap yang dimaksud dengan
kekejaman tidak hanya bersifat fisik, melainkan terhadap mental seperti penghinaan,
caci maki, selalu marah akibat cemburu yang berlebihan dan berkata yang tidak
pantas, kekejaman seperti ini pada dasarnya sama dengan penderitaan bathin yang
dapat menganggu pikiran dan jiwa.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
Cacat badan adalah cacat jasmani atau rohani yng tidak dapat dihilangkan
sekalipun dapat disembuhkan tetapi dalam waktu yang cukup lama, sehingga dengan
kondisi yang demikian tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri. Untuk
dapat mengajukan dengan alasan seperti ini seharusnya dilampirkan dengan bukti-
bukti yang kuat, seperti surat keterangan dari dokter yang menyatakan bahwa (suami
34 Undang-Undang nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga pasal 6
atau istri) mengalami cacat badan atau penyakit yang sukar untuk disembuhkan dan
tidak dapat menjalankan kewajibannya.35
6. Antara suami istri trus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan tidak
ada tidak harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Alasan seperti ini sering dijadikan sebagai landasan hukum bagi para hakim,
karena banyak sebab-sebab terjadinya perselisihan diluar alasan-alasan yang termuat
dalam pasal 116 KHI dan masih bersifat umum. Tidak ada kehidupan rumah tangga
yang harmonis dan rukun apabila dipenuhi dengan perselisihan dan pertengkaran,
apabila hal ini berlangsung terus-menerus akan menimbulkan dampak yang buruk
bagi kehidupan rumah tangga atau pun para pihak (suami atau istri), maka
diperbolehkan untuk mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan. Dan dijelaskan
lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 134 bahwa ; “gugatan perceraian
karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruh (f), dapat diterima apabila telah cukup
jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu
dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami
ataupun istri tersebut.”
7. Suami melanggar taklik thalak
Sighat taklik thalaq atau perjanjian perkawinan pada umumnya dibacakan
pada saat akad perkawinan yang dibacakan oleh mempelai pria. Biasanya
pelanggaran taklik thalaq adalah suami dengan sengaja meninggalkan istri tanpa
35 M. Yaser Arafat, Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga, h. 20
memberikan nafkah atau suami melakukan tindak kekerasan kepada istri. Maka oleh
sebab itu istri memiliki hak untuk memohonkan penjatuhan thalaq pada dirinya
kepada Pengadilan Agama yang berwenang.36
8. Peralihan agama/murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam
rumah tangga.
Perkawinan yang diakui oleh hukum perkawinan di Indonesian adalah
perkawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita yang seagama. Orang yang murtad
yaitu orang yang keluar dari agama Islam baik memeluk agama Yahudi, Nasrani atau
yang lain atau sama sekali tidak beragama, maka haram bagi diri istrinya yang masih
beragama Islam.37
Jika dalam rumah tangga salah satu pihak murtad atau berpindah
agama, maka salah satu pihak dapat mengajukan perceraian, dan apabila perkawinan
tersebut dipaksakan, dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakrukunan.38
Dan hal ini
pula dapat dimaksudkan untuk melindungi agama suami atau istri sehingga tidak
terjerumus pada keyakinan hidup yang sesat.
C. AKIBAT PERCERAIAN
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berusaha
semaksimal mungkin adanya perceraian dapat dikendalikan dan menekan angka
perceraian kepada titik yang paling rendah. Banyak sosiologi mengemukakan bahwa
36 M.Thalib, Penyebab Perceraian dan Penanggulangannya, (Bandung : Irsyad Baitus Salam,
1997), Cet. Ke-1 h.179
37 Ibid., h,.179
38 Ibid., h.179
berhasil atau tidaknya suatu masyarakat sangat ditentukan oleh masalah perkawinan
yang merupakan salah satu faktor yang paling vital diantara beberapa faktor yang
lain. Apabila dalam rumah tangga baik dengan sendirinya masyarakat akan baik pula,
karena rumah tangga adalah merupakan masyarakat terkecil.39
Akibat yang timbul dari perceraian yang telah dijatuhi oleh Pengadilan
Agama tidak serta merta dapat dikatakan persoalan itu selesai, tetapi ada akibat-
akibat yang akan timbul setelah perceraian, baik akibat terhadap hubungan mantan
suami dengan mantan istri ataupun akibat terhadap hak asuh anak, serta masalah harta
bersama yang telah didapatkan oleh suami dan istri selama menjalin hubungan
perkawinan.
Untuk lebih jelasnya penulis akan mencoba menjelaskan akibat hukum dari
perceraian yaitu di antaranya, apabila suami telah menthalak istrinya maka timbulah
beberapa hukum bagi masing-masing pasangan, yaitu hukum wajibnya masa iddah
bagi istri, suami diwajibkan memberikan nafkah iddah kepada istri, hukum
disunatkanya suami memberikan mut’ah kepada mantan istri, dan hukum rujuk bagi
suami kepada istri yang dicerainya.40
Bagi istri yang dicerai, maka ia wajib menjalani
masa iddahnya tergantung keadaan istri tersebut. Dalam Kompilasi Hukum Islam
masa iddah diatur dalam pasal 153 sampai 155 yaitu;
39 Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan: (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya
1989), h. 1
40 Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid, Terjamaah Imam Ghazali Said Dan Ahmad Zaidun.
(Jakarta : pustaka Amani, 2002) Cet II, h. 600-601
1. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah,
kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul,
waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktu tunggu bagi yang masih
haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan
puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang
antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul
4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung
sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang
waktu tunggu dihitung sejak kematian suami
5. Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah
tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid.
6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama
satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka
iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.41
Apabila isteri bertalak raj`I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pada pasal 153, di tinggal mati
oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung
saat matinya bekas suaminya. Dan waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya
karena khuluk, fasakh dan li`an berlaku iddah talak hal ini disebutkan dalam pasal
153 Kompilasi Hukum Islam.42
Selama dalam masa iddah istri berhak mendapatkan nafkah dan tempat
tinggal dari suaminya, suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya yang dithalak
raj’i dan istri yang dithalak dalam keadaan hamil, disebutkan dalam pasal 149
Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi ;
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang
atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam
iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam
keadaan tidak hamil;
41 Departemen R.I Kompilasi Hukum Islam (Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan
agama Islam, 1998), h. 67
42 Ibid., 67
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila
qobla al dukhul;
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun.43
Hukum lain yang timbul dari adanya thalak adalah hukum mut’ah. Jumhur
fuqaha berpendapat bahwa pemberian untuk menyenangkan hati istri (mut’ah) tidak
diwajibkan untuk setiap istri yang dicerai.44
Akibat hukum lain yang timbul dari suatu perceraian adalah dalam hal anak-
anak yang menyusui kepada ibunya, apabila terjadi perceraian maka ibunya tetap
berhak untuk menyusui dan memelihara anak itu, kemudian ayahnya juga tetap
berkewajiban untuk memberi nafkah pemeliharaan dan pendidikan anaknya dari bayi
hingga dewasa dan dapat mandiri. Kompilasi Hukum Islam menyatakan dalam pasal
156 terkait dengan akibat perceraian terhadap anak yaitu;
1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali
bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
b. Ayah;
c. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
43 Departemen R.I Kompilasi Hukum Islam (Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan
agama Islam, 1998), h. 66
44 Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid, Terjamaah Imam Ghazali Said Dan Ahmad Zaidun.
(Jakarta : pustaka Amani, 2002) Cet II, h. 623
e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu.
f. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari
ayah atau ibunya;
3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani
dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas
permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan
hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut
kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat
mengurus diri sendiri (21 tahun);
5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan
Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (1),(2),(3), dan (4);
6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut
padanya.
Sedangkan dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan
telah mengatur masalah yang dimuat dalam pasal 41 yaitu;
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
2. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut;
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Sedang mengenai hubungan suami istri , bagi pasangan yang telah bercerai
maka haram bagi mereka untuk melakukan hubungan suami istri 45
, selain itu mantan
suami juga berkewajiban untuk memberikan mut’ah yang pantas kepada mantan istri,
mut’ah yang diberikan oleh mantan suaminya dapat berupa barang ataupun uang.
Mengenai harta bersama, agama Islam tidak mengenalnya ada percampuran
antara kekayaan suami istri yang telah ada sebelum pernikahan. Harta tersebut tetap
menjadi milik masing-masing pihak selama mereka tidak menentukan lain. Apabila
selama perkawinan mereka memperoleh harta maka harta tersebut dinamakan harta
Syirkah. Harta Syirkah yaitu harta yang milik bersama suami istri, oleh karena itu
dalam Islam, ada harta suami istri yang telah dicampur dan ada juga harta yang tidak
dicampur. Harta yang bercampur yang didapatkan selama perkawinan karena usaha
bersama suami istri dan menjadi milik bersama dari suami istri dan dipergunakan
untuk kepentingan bersama. Kemudian apabila perkawinan putus baik karena
45 Fuad Said, Perceraian Dalam Hukum Islam. (Jakarta : Pustaka Al-Husna, 193) h.6
perceraian atau salah satu pihak meninggal dunia, maka harta tersebut dibagi dua
antara suami dan istri.46
Masalah yang berhubungan dengan harta kekayaan suami istri diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam secara merinci yang terdiri dari pasal 85, 91 sampai dengan
pasal 97 dan didalam pasal 35, 36, dan 37 ditambah dengan pasal 65 ayat (1) huruf b
dan c undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam pasal 35 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan :“Harta benda
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Ketentuan pasal ini mengakui adanya harta bersama dalam satu ikatan
perkawinan. Segala kekayaan yang diperoleh suami istri semenjak dilakukanya
pernikahan, dengan sendirinya menjadi harta bersama. Disebutkan dalam pasal 85
Kompilasi Hukum Islam : “Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak
menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.”
Adapun bentuk-bentuk harta bersama seperti disebukan dalam pasal 91 ayat
(1) sampai dengan ayat (4) Kompilasi Hukum Islam :
1. Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda
berwujud atau tidak berwujud.
2. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda
bergerak dan surat- surat berharga.
3. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
46 Ibid., h.8
4. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas
persetujuan pihak lainnya.
Jika terjadi perceraian maka terhadap harta bersama ini, suami istri ini dapat
bertindak atau melakukan perbuatan hukum atas persetujuan dari kedua belah pihak.
Sebagaimana tertuang dalam pasal 37 undang-undang No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan yang menyatakan bahwa “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta
bersama diatur menurut aturanya masing-masing”. Dalam Kompilasai Hukum Islam
lebih tegas dijelaskan dalam pasal 88 yang menyatakan bahwa, “apabila terjadi
perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan
itu diajukan kepada Pengadilan Agama”.
Sedangkan suami yang memiliki istri lebih dari seorang, dalam hal harta
bersama diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
pasal 65 ayat (1) huruf a, b, dan c yang menyebutkan :
a. Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua istri dan
anaknya;
b. Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang
telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;
c. Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak
perkawinannya masing-masing.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, mengenai harta bersama atau harta
kekayaan dalam perkawinan memandang bahwa harta bersama tetap memungkinkan
adanya harta milik masing-masing, hal ini sesuai dengan kesepakatan bersama yang
terjadi antara suami dan istri, disebutkan dalam pasal 94 ayat (1) dan (2) yang
menyatakan :
1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari
seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri
lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat
berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.
Kemudian pasal 97 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan ; “janda atau duda
cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.47
Dari berbagai penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pasal-pasal
tersebut menunjukan bahwa perceraian tidak bisa dilakukan oleh suami terhadap istri
atau sebaliknya, secara semena-mena karena banyak sekali tanggung jawab yang
harus dipenuhi oleh keduannya, terutama bekas suami kepada mantan istrinya setelah
terjadinya perceraian, dengan harapan agar pasal-pasal yang telah disebutkan diatas
dapat menjadi pedoman untuk dapat mewujudkan perceraian yang baik dan tidak
merugikan salah satu pihak, kalau memang peceraian harus terjadi.
D. Prosedur Perceraian
Pemeriksaan sengketa perkawinan dan perceraian hanya dapat dilakukan
didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan berusaha dan tidak berhasil
47 Ibid., h. 47
mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian terbagi dua, yaitu cerai thalak dan cerai
gugat. Yang dimaksud cerai thalak adalah perceraian yang terjadi karena thalak suami
kepada istri. Sedangkan yang dimaksud cerai gugat adalah wanita yang meminta
kepada suaminya untuk melepas dirinya dari ikatan pernikahan48
.
Awal surat gugatan atau permohonan yang telah dibuat dan ditanda tangani
diajukan kepanitra Pengadilan Agama (surat gugatan diajukan kepada sub
kepananitraan gugatan sedangkan permohonan pada sub kepanitraan permohonan).
Sebelum perkara terdaftar di kepanitraan, panitra melakukan penelitian terlebih
dahulu terhadap kelangkapan berkas perkara (penelitian terhadap bentuk dari isi
gugatan permohonan). Misalnya dalam membuat surat gugatan, kepanitraan
dibolehkan memberikan arahan kepada penggugat, apabila surat gugatan yang dibuat
penggugat tidak sesuai. Apabila terjadi kesalahan dalam gugatan atau permohonan
maka tidak boleh didaftarkan sebelum petitum dan positanya jelas, seperti ada
petitum namun tidak didukung oleh posita berarti gugatan atau permohonanya
dianggap tidak jelas.49
Jika hal tersebut terjadi maka gugatan atau permohonan
tersebut terlebih dahulu harus di perbaiki, panitra sebagai pihak yang mempunyai
otoritas dalam meneliti berkas gugatan atau permohonan sebaliknya melakukan
penelitian tersebut disertai dengan membuat resume tersebut diarahkan kepada Ketua
48Syamhudi,Kholid Al-Khulu',” Gugatan Cerai Dalam Islam”, artikel diakses pada 17 maret
2007 dari http://www.almanhaj.or.id/
49 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Pelajar,
2003), cet. Ke-4, h.76
Pengadilan Agama, dengan disertai saran misalnya berbunyi “syarat-syarat cukup
siap untuk disidangkan”.50
Kemudian penggugat atau pemohon menuju meja I (satu) untuk menaksir
besarnya biaya perkara dan menulisnya pada Surat Kuasa Untuk Menbayar (SKUM),
biaya perkara dibebankan kepada penggugat atau pemohon sesuai dengan pasal 89
Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, ayat (1) yang Berbunyi
; ”Biaya dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon”.
Besarnya biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk
menyelesaikan perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan pasal 13 Rbg/pasal 128 Ayat
(1) HIR/ pasal 90 Ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
agama, yang meliputi:
1. Biaya kepanitraan dan biaya matrai
2. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah
3. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain
4. Biaya panggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah Pengadilan yang
berkenaan dengan perkara tersebut.
Ketentuan diatas tidak berlaku bagi yang tidak mampu dan dizinkan untuk
mengajukan gugatan secara prodeo (Cuma-Cuma). Ketidakmampuanya dapat
dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Kelurahan atau Kepala Desa
setempat yang dilegalisir oleh Camat. Setelah itu, penggugat atau Pemohon
50 Raihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001),
ed.ke-2, cet. Ke-8, h.129
menghadap kemeja II dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan dan Surat
Kuasa Untuk Membayar (SKUM) yang telah dibayar. Setelah selesai, kemudian surat
gugatan/permohonan tersebut dimasukan dalam map berkas acara, kemudian
menyerahkan kepada wakil panitra untuk disampaikan kepada ketua Pengadilan
melalui panitra.51
Setelah terdaftar, gugatan diberi nomor perkara kemudian diajukan kepada
Ketua Pengadilan, setelah ketua Pengadilan menerima gugatan maka Ketua
Pengadilan menunjuk Hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut.
Pada prinsipnya pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh hakim maka Ketua
Pengadilan menunjuk seorang hakim sebagai ketua majlis dan dibantu oleh kedua
hakim anggota.52
Setelah itu hakim yang bersangkutan dengan surat ketetapanya dapat
menetapkan hari, tanggal serta jam, kapan perkara itu akan disidangkan, ketua majlis
memerintahkan memanggil kedua belah pihak agar mengadiri persidangan. Untuk
membantu majlis hakim dalam menyelesaikan perkara, maka ditunjuk seorang atau
lebih panitra sidang dalam hal ini panitra, wakil panitra, panitra muda dan panitra
pengganti.53
51 M.Fauzan, Pokok-Pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah Di
Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), cet. Ke-2, h.14
52 R. Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata: Tata Cara Dan Proses Persidangan, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2004), cet. Ke-6, h.39
53 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), cet. Ke-1, h.214
Pemanggilan para pihak harus dilakukan secara resmi dan patut, adapun
tatacara pemanggilan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut;
a. Dilakukan oleh jurusita atau juru sita pengganti diserahkan kepad pribadi yang di
panggil ditempat tinggalnya;
b. Apabila tidak ditemukan maka surat penggilan tersebut diserahkan kepada Kepala
Desa dimana ia tinggal;
c. Apabila salah seorang telah meninggal dunia maka disampaikan kepada ahli
warisnya;
d. Setelah melakukan pemanggilan maka jurusita harus menyerahkan risalah (tanda
bukti bahwa para pihak telah dipanggil) kepada hakim yang memeriksa perkara
yang bersangkutan;
e. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang perkara dimulai.54
Sedangkan proses pemeriksaan perkara didepan sidang dilakukan melalui
tahap-tahap dan hukum acara perdata sebagaimana yang telah tertera dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama Pasal 54 :
“Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-
Undang ini”.
54 R.Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara Dan Proses Persidangan, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2004) cet. Ke-6, h.40
Setelah hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum,
dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak, ini bersifat
pemberitahuan (cecking) identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti
mengapa mereka dipanggil untuk mengahadiri sidang. Pada upaya perdamaian,
inisiatif perdamaian dapat timbul dari hakim, penggugat ataupun tergugat. Hakim
harus bersungguh-sungguh untuk mendamaikan para pihak, apabila ternyata upaya
perdamaian tidak berhasil, maka sidang dilakukan tertutup untuk umum dilanjutkan
ketahap pemeriksaan diawali membaca surat gugatan.55
Selanjutya pada tahap dari tergugat pihak tergugat diberikan kesempatan
untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingan terhadap penggugat melalui
hakim. Pada tahap replik penggugat kembali menegaskan isi gugatannya yang
dilakukan oleh tergugat dan juga mempertahankan diri atas sanggahan-sanggahan
yang disangkal tergugat, kemudian pada tahap duplik tergugat dapat menjelaskan
kembali jawabanya yang disangkal oleh penggugat.56
Tahap replik duplik dapat diulang-ulang sampai hakim dapat memandang
cukup, kemudian dilanjutkan dengan pembuktian. Pada tahap pembuktian, penggugat
dan tergugat mengajukan semua alat-alat bukti yang dimiliki untuk mendukung
jawabannya (sanggahan), masing-masing pihak berhak menilai alat bukti lawanya.
Kemudian tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan pendapat akhir
55 R,Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, h.41-42
56 Ibid., h.43
tentang hasil pemeriksaan. Kemudian pada tahap putusan, hakim menyampaikan
segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan menyimpulkan dalam putusan dan
putusan hakim adalah untuk mengakhiri sengketa atau perkara.57
57 Ibid., h.45
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI DAN ISTRI DALAM RUMAH TANGGA
A. Hak Dan Kewajiban Bersama Suami Dan Istri
Tujuan perkawinan adalah untuk membina keluarga yang bahagia, kekal,
abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terwujudnya tujuan perkawinan
tersebut sudah barang tentu sangat tergantung dari maskimalisasi peran dan tanggung
jawab masing-masing pihak, istri dan suami. Oleh sebab itu, perkawinan tidak saja
dipandang sebagai media merealisasikan syariat Allah agar memperoleh kebaikan
didunia dan akhirat, tetapi juga merupakan sebuah kontrak perdata yang akan
menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.58
Masalah hak dan kewajiban suami istri dalam Undang-Undang perkawinan
diatur dalam bab VI pasal 30 sampai dengan pasal 34, sementara dalam Kompilasi
Hukum Islam diatur dalam bab XII pasal 77 sampai dengan pasal 84. Dalam pasal 30
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan “suami istri memikul kewajiban
yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang menjadi dasar dari susunan
masyarakat”. Selanjutnya hak dan kedudukan semua istri adalah seimbang, suami
berperan sebagai kepala rumah tangga sedangkan istri berperan sebagai ibu rumah
tangga dan masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum, hal ini
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
pasal 31 sebagai berikut:
58 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia : Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No.1 Tahun 1974 Sampai KHI, (Jakarta : Kencana,
2006),cet. Ke-3, h.180
1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Disamping yang telah disebutkan diatas suami wajib melindungi istrinya
dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuanya, suami yang berkewajiban memberi nafkah itu adakalanya dia seorang
yang mampu atau adakalanya dia seorang yang tidak mampu.59
Dan istri wajib
mengatur keperluan rumah tangga dengan sebaik-baiknya dan Jika suami atau istri
melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan, hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 34.
Sesuai dengan prinsip yang dikandung Undang-Undang Perkawinan, pada
pasal 31 sangat jelas disebutkan bahwa kedudukan suami dan istri adalah seimbang,
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun pergaulan dalam masyarakat. Khusus
menyangkut ayat (1) pasal 31 ini merupakan sprit if the age (tuntutan semangat
zaman) dan merupakan hal-hal yang sangat wajar untuk mewujudkan suasana
harmonis dalam kehidupan keluarga. Dan ini merupakan perjuangan emansipasi yang
sudah lama berlangsung.60
59 Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan: (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya
1989), h. 61
60 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : Zahir Trading, 1975), h.91
Semangat keseimbangan ini tampaknya tidak muncul dalm Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Pada pasal 108 KUH Perdata dijelaskan bahwa kedudukan
seorang wanita setelah yang bersangkutan kawin dianggap tidak mampu bertindak,
oleh karena dengan bantuan pihak suami yang bersangkutan dapat melakukan
perbuatan-perbuatan hukum.
Jika suami istri sama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-
masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati, sehingga
sempurnalah kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup
berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tuntunan agama, yaitu sakinah, mawaddah
warahmah.
Adapun hak dan kewajiban bersama suami istri adalah sebagai berikut;
1. hak bersama suami istri;
a. Suami istri dihalalkan saling bergaul mengadakan hubungan seksual. Perbuatan
ini merupakan kebutuhan bersama suami istri yang dihalalkan secara timbal balik.
Jadi bagi suami halal berbuat kepada istrinya, sebagaimana istri kepada suaminya.
Mengadakan hubungan seksual ini adalah hak bagi suami istri, dan tidak boleh
dilakukan kalau tidak bersamaan, sebagaimana tidak dapat dilakukan secara
sepihak saja.
b. Haram melakukan perkawinan; yaitu istri haram dinikahi oleh ayah suaminya,
datuknya (kakaknya), anaknya dan cucunya. Begitu juga ibu istrinya, anak
perempuanya dan seluruh cucunya haram dinikahi oleh suaminya.
c. Hak saling mendapatkan waris akibat dari ikatan perkawinan yang sah, bilamana
salah seorang meninggal dunia sesudah sempurnanya ikatan perkawinan; yang
lain dapat mewarisi hartanya, sekalipun belum pernah berhubungan seksual.
d. Anak mempunyai nasab (keturunan) yang jelas bagi suami.
e. Kedua belah pihak wajib bergaul (berprilaku) yang baik, sehingga dapat
melahirkan kemesraan dan kedamaian hidup.61
Hal ini berdasarkan firman Allah :
... ... ﴿ ٤:۱۹/اوساء﴾
Artinya :
“...dan pergaulilah mereka (istri) dengan baik...” (Q.S. An-nisa’:19)
2. Kewajiban bersama suami istri
Agar terciptanya hubungan rumah tangga yang harmonis dalam keluarga
Kewajiban bersama Suami istri harus senantiasa dijalankan dengan semaksimal
mungkin adapun kewajiban bersama suami istri diatur dalam Dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 77, yang disebutkan:
1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan
masyarakat
61 Abd. Rahaman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media, 2003), h.155-156
2. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain;
3. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak
mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan
pendidikan agamanya;
4. Suami istri wajib memelihara kehormatannya;
5. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Agama.
Mengenai pasal-pasal diatas dapat diambil lima hal yang penting mengenai
hak dan kewajiban suami dan istri.
1. Pergaulan hidup suami istri yang baik dan tentram dengan rasa cinta-mencintai
dan santun-menyantuni. Artinya, masing-masing pihak mewujudkan pergaulan
yang ma’ruf dalam rumah tangg ataupun keluar (masyarakat).
2. Suami memiliki kewajiban dalam posisinya sebagai kepala keluarga dan istri juga
memiliki kewajiban dalam posisi sebagai ibu rumah tangga.
3. Rumah kediaman disediakan oleh suami dan istri wajib tinggal dalam satu
kediaman tersebut. Pada dasarnya suami wajib menyediakan tempat tinggal yang
tetap, namun dalam kasus-kasus tertentu, rumah tersebut dapat diwujudkan secara
bersama-sama.
4. Belanja kehidupan menjadi tanggung jawab suami, sedangkan istri wajib
membantu suami mencukupi biaya hidup tersebut.
5. Istri bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan membelanjakan biaya rumah
tangga yang diusahakan suaminya dengan cara-cara yang benar, wajar dan dapat
dipertanggung jawabkan. 62
Lalu menurut Martiman Projohamidjojo dalam bukunya hukum perkawinan
Indonesia, hak dan kewajiban suami dan istri yang dikandung oleh pasal-pasal
Undang-Undang perkawinan :
1. Cinta-mencintai satu dengan yang lainnya;
2. Hormat-menghormati dan menghargai satu sama lainnya;
3. Setia satu sama lainnya;
4. Saling memberi dan menerima bantuan lahir dan batin satu sama lainnya;
5. Sebagai suami berkewajiban mencari nafkah bagi anak-anak dan istrinya serta
wajib melindungi istrinya serta memberikan segala keperluan hidup rumah
tangga, lahir batin, sesuai dengan kemampuannya;
6. Sebagai istri berkewajiban mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya.63
B. Hak Dan Kewajiban Suami Terhadap Istri
Tidaklah mudah untuk membentuk keluarga yang damai, aman, bahagia,
sejahtera. Diperlukan pengorbanan serta tanggung jawab dari masing-masing pihak
dalam menjalankan peran dalam keluarga. Bagi orang yang tidak mempunyai
keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tangguang jawab untuk
62 Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Berlaku Bagi Umant Islam, (Jakarta : UI Press,
1982), h.73
63 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta : Indonesia Legal
Center Publishing, 2002), h.34
melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila
melangsungkan perkawinan terlantarlah dirinya dan istrinya, maka hukum melakukan
perkawinan orang tersebut adalah haram.64
Dan tidaklah seorang lelaki mukmin membenci seorang istri yang
mukminah apalagi sampai menelantarkanya, hal ini berdasarkan hadist Rasulullah
SAW;
ا خما زضي اآخس ال يفسن مؤمه مؤمىة إن وسي مى مى
Artinya; “Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda,
“janganlah suami yang beriman membenci istri yang yang beriman,
karena apabila suami tidak menyukai suatu perangainya tentu ada
perangai lain yang menyenagkan. (HR.Muslim)
Mengenai kewajiban suami untuk memberikan biaya kehidupan rumah
tangga terhadap istri dan anak diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat (1)
sampai (4) yang menyatakan;
1. Suami adalah pembimbing, terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi
mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh
suami istri bersama.
2. Suami wajib melidungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
64 Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media), cet-1,h. 20.
65 Muhammad Nashirudin Al Albani, Mukhtashar Shahih Muslim (Jakarta : Pustaka Azzam,
2003) cet. Ke-1 h.580
3. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa
dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan
anak;
c. Biaya pendidikan bagi anak66
.
Dalam hal diatas apabila suami tidak dapat menjalankan kewajibanya
terhadap istrinya, pada saat itu istri tidak rela dan tidak sabar menghadapinya, maka
pihak istri boleh mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama karena tidak
kemmapuan suami untuk memberikan nafkah, ini lebih erat nya dengan kelangsungan
kehidupan rumah tangga.maka dengan suami yang tidak mampu memberi nafkah
berarti dia telah menahan istinya dalam kemelaratan.67
Sedangkan firman Allah telah
menjelaskan bahwa;
... ...﴿ ٢:٢٣١/ ابلسة﴾
Artinya:
“...Janganlah kamu tahan mereka (isteri-istri) dengan kemelaratan...”
(Q.S.al-Baqarah:231)
66Departemen R.I Kompilasi Hukum Islam (Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan
agama Islam, 1998)h. 41
67Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, h. 62
Selain itu suami juga wajib menyediakan tempat tinggal bagi istri dan anak-
anaknya yang layak, hal ini menjadi pelindung bagi keluarga serta menciptakan rasa
aman dan tentram, hal ini sesuai dengan penjelasan dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 81, di sebutkan;
1. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau
bekas isteri yang masih dalam iddah.
2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam
ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
3. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari
gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat
kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai
tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
4. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta
disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat
perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
Adapun hak suami terhadap istrinya yang paling pokok adalah:
1. ditaati dalam hal-hal yang tidak maksiat;
2. istri menjaga dirinya sendiri dan harta suami;
3. menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami;
4. tidak bermuka masam diihadapan suami;
5. tidak menunjukan keadaan yang tidak disenangi oleh suami.68
Kewajiban taat kepada suami hanyalah dalam hal-hal yang dibenarkan
agama, bukan dalam hal-hal kemaksiatan kepada Allah SWT. Jika suami menyuruh
istri untuk berbuat maksiat, maka si istri harus menolaknya. Diantara ketatan istri
kepada suami adalah tidak keluar rumah, keculi dengan seizinnya. Kepatuhan Istri
kepada suaminya meliputi segala perintahnya selama tidak melanggar peraturan-
peraturan agama.69
C. Hak Dan Kewajiban Istri Terhadap Suami
Selanjutnya berkenaan dengan kewajiban istri terhadap suami dijelaskan
bahwa wanita-wanita yang shalih seperti yang dijelaskan oleh ayat Alqur’an adalah
mereka yang taat pada suami. Mereka melaksanakan kewajiban ketika suami tidak
ada dirumah menjaga kehormatan, serta memelihara rahasia dan harta suami dengan
ketentuan Allah SWT, karena Allah telah menjaga dan memberi pertolongan kepada
mereka. Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT:
… ﴿٤:٣٤/اوساء﴾
Artinya : “Sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka)...” (Q.S. An-nisa’:34)
68 Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (jakarta : Prenada Media), cet-1, h.158
69 Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, h. 36
Disamping itu istri wajib melayani suami ketika suami ingin melakukan
hubungan suami istri, apabila istri tidak melayani suami sehingga suami marah maka
para malaikan melaknat istri hingga menjelang pagi, hal ini berdasarkan hadist
Rasulullah SAW;
إى امسأج فأبث فبات إذا دعا اسج ا فساش ا عىح امالئىة ححى غضبان عي
جصبح
Artinya;
Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda,’apabila
seorang suami mengajak istrinya untuk berhubungan badan, lalu si istri
menolak sehingga malam itu suaminya jengkel terhadqapnya, maka si istri
dilaknat oleh para malaikat menjelang pagi.”(HR. Muslim)
Maksud memelihara diri dibalik pembelakangan suaminya dalam ayat
tersebut adalah istri dalam menjaga dirinya ketika suaminya tidak ada dan tidak
berbuat khianat kepadanya, baik mengenai diri maupun harta bendanya. Inilah
merupakan kewajiban tertinggi bagi seorang istri terhadap suaminya.71
Diantara kewajiban istri terhadap suami adalah sebagai berikut :
1. taat dan patuh kepada suami
2. pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman
3. mengatur rumah dengan baik
4. menghormati keluarga suami
70 Muhammad Nashirudin Al Albani, Mukhtashar Shahih Muslim (Jakarta : Pustaka Azzam,
2003) cet. Ke-1 h.580
71 Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media), cet-1,h. 161
5. bersikap sopan, penuh senyum terhadap suami
6. tidak mempersulit suami dan selalu mendorong suami untuk maju
7. ridha dan syukur apa yang telah diberikan oleh suami
8. selalu berhemat dan suka menabung
9. selalu berhias dan bersolek untuk atau dihadapan suami.
10. jangan selalu cemburu buta.72
Istri wajib merasa malu terhadap suami, harus menundukan muka dan
pandanganya dihadapan suami, taat terhadap suami ketika diperhatikan apa saja
selain maksiat, diam ketika suami berbicara, berdiri ketika suami datang dan pergi,
menampakan kecintaanya apabila suaminya datang mendekatinya, menampakan
kegembiraan ketika suami melihatnya, menyenangkan suaminya ketika tidur,
mengenakan harum-haruman, membiasakan berhias diri dihadapan suami dan tidak
boleh berhias apabila di tinggal suami. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah
berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum
islam,selain itu kewajiban Istri adalah menyelenggarakan dan mengatur keperluan
rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Hal ini disebutkan dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 83 ayat (1) dan (2).
Apabila seorang istri tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajibanya tanpa
adanya satu alasan yang sah maka istri dapat dikatakan nusyuz,sebagaimana yang
dimaksud dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 84 Ayat (1); ”Istri dapat dianggap
72 Slamet Abidin, Drs, dan Aminudin h, Drs. Fiqh Munakahat, (bandung : CV. Pustaka Setia,
1999), cet. Ke-1, h.172
nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah”. Apabila istri terbukti
nusyuz, maka tidak ada lagi kewajiban suami terhadap istri kecuali dalam hal-hal
untuk kepentingan anak, hal ini disebutkan dalam Kompilsi Hukum Islam pasal 84
ayat (2).
Adapun hak istri terhadap suaminya:
1. hak benda, yaitu mahar dan nafkah.
2. hak rohaniah, yaitu bersikap adil jika suami berpoligami dan tidak boleh
menyengsarakan istri.
Pengaturan ketentuan hak dan kewajiban suami istri dalam Kompilasi
Hukum Islam lebih sistematis dibandingkan dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan.73
Hal ini tentu dimaklumi, karena Kompilsi
Hukum Islam dirumuskan belakangan, setelah tujuh belas tahun sejak Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dikeluarkan.sementara dalam
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pengaturan hak dan
kewajiban suami istri lebih umum.
73 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia,(jakarta : PT. Raja Grafindo, 2003), h.185
BAB IV
ANALISA PUTUSAN PERKARA NOMOR 770/Pdt.G/2010/PA JS
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan
1. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta selatan dibentuk berdasarkan surat keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963, pada mulanya
Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang
dinamakan Kantor Cabang yaitu :
1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara ;
2. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah ;
3. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai Induk ;74
Semua Pengadilan Agama tersebut diatas termasuk Wilayah Hukum Cabang
Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya Cabang Mahkamah
Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Nomor 71 tahun
1976 tangga;l 16 Desember 1976. semua Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat
termasuk Pengadilan Agama yang berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada
dalam wilayah hukum Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung.75
74 Data diakses dari http://www.pa-jakartaselatan.go.id/ sejarah/ pada tanggal 17 maret 2011
75 Ibid., http://www.pa-jakartaselatan.go.id/ sejarah/
Dalam perkembangan selanjutnya istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi
Pengadilan Tinggi agama (PTA). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 61 tahun 1985 Pengadilan Tinggi Agama Surakarta di
pindah di Jakarta, akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober
1987 dan secara otomatis Wilayah Hukum Pengadilan Agama diwilayah DKI Jakarta
adalah menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.76
Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan
jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang ketika itu pada tahun 1967
merupakan cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang berkantor di
jalan Otista Raya Jakarta Timur. Sebutan pada waktu itu adalah cabang Pengadilan
Agama Jakarta Selatan. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk
sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk dan bertambahnya pemahaman
penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang diwilayahnya cukup luas.
Untuk itu keadaan kantor ketika itu masih masih dalam keadaan darurat yaitu
menempati gedung bekas Kantor Kecamatan Pasar Minggu disuatu gang kecil yang
sampai saat ini dikenal dengan gang Pengadilan Agama Pasar Minggu Jakarta
Selatan pimpinan kantor di pegang oleh H. Polana. Penanganan kasus-kasus hanya
berkisar perceraian kalaupun ada tentang warisan masuk kepada Komparisi itu pun
76 Ibid., http://www.pa-jakartaselatan.go.id/ sejarah/
dimulai tahun 1969 kerjasama dengan Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin
oleh Bapak Bismar Siregar, SH.77
Pada tahun 1976 gedung Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan
pindah ke Blok D Kebayoran baru Jakarta Selatan dengan menempati serambi
Masjid Syarief Hidayatullah dan sebutan Kantor Cabang pun dihilangkan menjadi
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan pada masa itu diangkat pula beberapa Hakim
honorer yang diantaranya adalah Bapak H. Ichtijanto, SA, SH. Pada bulan September
1979 kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke gedung Baru di. Jl.
Ciputat Raya Pondok Pinang dengan menempati gedung Baru dengan tanah yang
masih menumpang pada areal tanah PGAN Pondok Pinang dan pada tahun 1979
pada saat Pengadilan Agama Jakarta Selatan dipimpin oleh Bapak H. Alim BA
diangkat pula Hakim-Hakim honorer untuk menangani perkara-perkara yang masuk,
mereka diantaranya KH. Ya’kub, KH. Muhdats Yusuf, Hamim Qarib, Rasyid
Abdullah, Ali Imran, Drs. H. Noer Chazin.78
Pada perkembangan selanjutnya yaitu semasa berkepimpinan Drs. H.
Djabir Manshur, SH, Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke Jalan
Rambutan VII No. 48 Pejaten Barat Pasar Minggu Jakarta Selatan dengan
menempati gedung baru. Digedung baru ini meskipun tidak memenuhi syarat untuk
sebuah kantor Pemerintah setingkat walikota, karena gedungnya berada ditengah-
77 Ibid., http://www.pa-jakartaselatan.go.id/ sejarah/
78 Ibid., http://www.pa-jakartaselatan.go.id/ sejarah/
tengah penduduk dan jalan masuk dengan kelas jalan III C. Namun sudah lebih baik
ketimbang masih di Pondok Pinang, pembenahan-pembenahan fisik terus dilakukan
terutama pada masa kepemimpinan Bapak Drs. H. Jayusman, SH. Begitu pula
pembenahan-pembenahan administrasi terutama pada masa kepemimpinan Bapak
Drs. H. Ahmad Kamil, SH pada masa ini pula Pengadilan Agama Jakarta Selatan
mulai mengenal computer walaupun hanya sebatas pengetikan dan ini terus
ditingkatkan pada masa kepemimpinan Bapak Drs. Rif’at Yusuf.79
Pada masa perkembangannya selanjutnya Tahun 2000 ketika
kepemimpinan dijabat oleh Bapak Drs. H. Zainuddin Fajari, SH pembenahan-
pembenahan semua bidang, baik fisik maupun non fisik diadakan sistim
komputerisasi dengan online Komputer, dan ini terus dibenahi sampai sekarang oleh
Ketua Pengadilan Agama Bapak Drs. H. Syed Usman, SH. Yang tujuannya adalah
untuk meningkatkan pelayan kepada masyarakat pencari keadilan dan menciptakan
peradilan yang mandiri dan beribawa. Perkembangannya selanjutnya Tahun 2007-
2008 ketika kepemimpinan dijabat oleh Bapak Drs. H. A.Choiri, SH,
MH pembenahan-pembenahan semua bidang, baik fisik maupun non fisik sudah
terintegrasi dengan online Komputer, pada periode ini juga Pengadilan agama
Jakarta Selatan berhasil pengadaan tanah untuk bangunan gedung baru seluas + 6000
m2 yang terletak di Jl. Harsono RM, Ragunan, Jakarta Selatan.80
79 Ibid., http://www.pa-jakartaselatan.go.id/ sejarah/
80 Ibid., http://www.pa-jakartaselatan.go.id/ sejarah/
Selanjutnya sejak Tahun 2008 telah dibangun gedung baru yang sesuai
dengan prototype Mahkamah Agung RI. Pembangunan dilaksanakan 2 tahap, tahap
pertama tahun 2008 dan tahap kedua tahun 2009 pada saat itu Pengadilan Agama
Jakarta Selatan di Ketuai oleh Bapak Drs. H. Pahlawan Harahap, SH, MA.
Selanjutnya pada akhir April 2010 Gedung baru Pengadilan Agma Jakarta Selatan
diresmikan bersama-sama dengan gedung-gedung baru lainnya di Pontianak
(Kalimantan Barat) oleh Ketua Mahkamah Agung RI. Kemudian pada awal Mei
2010 diadakan tasyakuran dan sekaligus dimulainya aktifitas perkantoran di gedung
baru tersebut, pada saat itu Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan dijabat
oleh Drs. H. Ahsin.A.Hamid, SH.81
2. Letak Geografis Dan Data Keterang Wilayah Hukum Pengadilan Agama
Jakarta Selatan
Secara geografis, Pengadilan Agama Jakarta Selatan terletak di Kotamadya
Jakarta Selatan, luas wilayah Kotamadya Jakarta Selatan adalah seluas 145,73
Kilometer persegi (Km2) dan secara astronomis wilayah kotamadya Jakarta Selatan
terletak dan berada pada posisi 06’15’40,8’ Lintang Selatan dan 106’45/0,00’Bujur
Timur, dan berada pada kemiringan 26,2 meter diatas permukaan laut. Jakarta Selatan
bercirikan daerah yang beriklim khas Tropis dengan temperature udara sekitar 27,7’
celcius dan kelembaban udara rata-rata 75 % yang disapu angin dengan kecepatan
sekitar 0,2 knot sepanjang tahun. Curah hujan mencapai ketinggian 2,596,7 mm
81 Ibid., http://www.pa-jakartaselatan.go.id/ sejarah/
setahun atau rata – rata sekitar 85,8 mm perhari yang terjadi selama 182 hari dalam
setahun. Curah hujan tertinggi terjadi dalam bulan Januari (737,5 mm) dan Februari
(425,3 mm) Didaerah Jakarta Selatan terdapat Rawa / setu ( Setu Babakan) wilayah
ini cocok digunakan sebagai daerah resapan air, dengan iklimnya yang sejuk sehingga
ideal dikembangkan sebagai wilayah penduduk, Didaerah Jakarta Selatan juga
banyak terdapat kegiatan usaha dan perkantoran.82
Selanjutnya Pembagian Wilayah Pengadilan Agama Jakarta Selatan
meliputi :
1. KECAMATAN TEBET
2. KECAMATAN SETIA BUDI
3. KECAMATAN MAMPANG PRAPATAN
4. KECAMATAN PASAR MINGGU
5. KECAMATAN KEBAYORAN LAMA
6. KECAMATAN CILANDAK
7. KECAMATAN KEBAYORAN BARU
8. KECAMATAN PANCORAN
9. KECAMATAN JAGAKARSA
10. KECAMATAN PESANGGRAHAN.83
Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan representatif
tersebut di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dilakukan pembenahan dalam segala
82Data diakses dari http://www.pa-jakartaselatan.go.id/ sejarah/ pada tanggal 17 maret 2011
83 Ibid., http://www.pa-jakartaselatan.go.id/ sejarah/
hal, baik dalam hal pelayanan terhadap pencari keadilan maupun dalam hal
peningkatkan IT yang sudah semakin canggih disertai dengan program-program
yang menunjang pelaksanaan tugas pokok, seperti program SIADPA yang sudah
berjalan dan terintegrasi dengan TV Media Center, Touch Screen (KIOS-K) serta
beberapa fitur tambahan dari WEBSITE pa-jakartaselatan.go.id.84
B. Duduknya Perkara Nomor 770/Pdt.G/2010/PA JS
Menimbang bahwa penggugat telah mengajukan surat gugatan pada tanggal
8 april 2010 terdaftar di Kepanitraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam
register perkara Nomor 770/Pdt.G/2010/PA Js. Dengan mengemukakan sebagai
berikut:85
1. bahwa, penggugat dan tergugat telah menikah pada tanggal 7 Desember
1997, ketentuan Hukum Islam (agama penggugat dan tergugat) dan telah
tercatat menurut perundang-undangan yang berlaku, sesuai Kutipan Akta
Nikah No. 1002/57/XII/1997 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama
Kecamata Jagakarsa, Jakarta Selatan tanggal 7 Desember 1997.
2. bahwa sesudah menikah penggugat dan tergugat hidup rukun dalam
membina rumah tangga dirumah orang tua penggugat dijalan Srengseng
Sawah, Gg. 0 RT.009 RW. 03 No. 01 Kelurahan Srengseng Sawah
Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, selama 13 (tiga belas) tahun selama
84 Ibid., http://www.pa-jakartaselatan.go.id/ sejarah/
85 Sumber berasal dari arsip Putusan Perkara nomor 770/Pdt.g/2010 Pengadilan Agama
Jakarta Selatan, h. 1
kurang lebih 7 (tujuh) Tahun, telah rukun baik (ba’da Dukhul) dan
dikaruniai 2 (dua) orang anak yang bernama:
a. Daffa Radhiana Arkan, laki-laki, lahir tanggal 13 November 1998.
b. Alfin Fikri Fabian, laki-laki, lahir tanggal 25 Oktober 2004.
3. bahwa kurang lebih sejak 2006 ketentraman Rumah Tanggan Penggugat dan
Tergugat mulai goyah, setelah antara Penguggat dan Tergugat terjadi
perselisihan secara terus menerus sampai dengan saat ini, yang penyebabnya
antara lain:
a. Bahwa Tergugat mendapa PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) sejak
Desember 2006, sehingga tergugat sudah tidak dapat bertanggung jawab
dalam menafkahi keluarga. Namun tergugat tidak mau mencari
perkerjaan yang layak guna menafkahi keluarga ini, akan tetapi hanya
menunggu jenis perkerjaan yang sama.
b. Bahwa Tergugat sempat Berkerja kembali akan tetapi hanya 1 (satu)
tahun dengan penghasilan yang tida mencukupi, namun sejak bulan jni
2009 tergugat tidak memiliki perkerjaan dan menganggur.
c. Tergugat tidak dapat mengatasi masalah emosi (tempramental),
kemudian depresi karena menganggur, sehingga dari hal itu sering
mengelurkan kata-kata kasar dan menyakitkan hati.
d. Penggugat yang selama ini mencukupi kebutuhan rumah tangga dengan
cara berdagang, akan tetapi tergugat tidak dapat menghargai usaha
penggugat tersebut. Dari hal itu yang menyebabkan Penggugat dan
Tergugat sering terjadi konflik atau pertengkaran.
4. bahwa, puncak perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan
Tergugat terjadi Februari 2010, hal ini sebagai bukti perselisihan Penggugat
dan Tergugat telah berada dalam kondisi yang tidak mungkin lagi bersatu
membina rumah tangga, yang mana pada saat ini Penggugat dan Tergugat
tinggan dialamat sebagaimana tersebut diatas.
5. bahwa Penggugat telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan jalan
atau cara musyawarah, namun tida berhasil.
6. bahwa dengan keadaan yang demikian, penggugat merasa tidak mungkin
lagi untuk mempertahankan rumah tangga bersama Tergugat. Oleh karena
itu Penggugat berketetapan hati untuk bercerai dengan tergugat.
7. bahwa disamping Penggugat mengajukan gugatan cerai, penggugat juga
menggugat agar penggugat ditetapan sebagai pemegang hak Hadhonah atau
Pemeliharaan atas anak yang bernama:
a. Daffa Radhiana Arkan, laki-laki, lahir tanggal 13 November 1998.
b. Alfin Fikri Fabian, laki-laki, lahir tanggal 25 Oktober 2004 hasil dari
perkawinan antara Penguggat dan tergugat tersubut diatas.
8. bahwa oleh karena anak penggugat dan tergugat nantinya dalam asuhan
Penggugat, maka segala biaya pemeliharan anak dan biaya pendidikannya
ditangung oleh Tergugat setiap bulannya sebesar Rp. 1.000.000,00 (Satu
Juta Rupiah) sampai anak tersebut dewasa atau mandiri atau mendiri
menurut hukum.
9. bahwa berdasarkan dalil dan alasan diatas, maka dengan ini Penggugat
memohon kepada bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan cq
Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk dapat menentukan suatu
hari persidangan, kemudian memanggil Penggugat dan Tergugat untuk
diperiksa dan diadili, selanjutnya memberikan putusan yang amarnya
sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya.
2. Menjatuhkan Thalak satu bain Sughro Tergugat terhadap Penggugat.
3. Menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak Hadhonah atau
pemeliharaan atas anak Penguggat dan Tergugat yang bernama:
a. Daffa Radhiana Arkan, laki-laki, lahir tanggal 13 November 1998.
b. Alfin Fikri Fabian, laki-laki, lahir tanggal 25 Oktober 2004
4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya Hadhonah atau biaya
Pemeliharaan anak Penggugat dan Tergugat sebesar Rp 1.000.000,00
(Satu Juta Rupiah) sampai anak tersebut dewasa atau mandiri menurut
hukum.
5. Menetapkan biaya perkara ini sesuai dengan peraturan Perundang-
undangan yang berlaku.
Atau apabila Pengadilan berpendapat lain mohon putusan yang seadil-
adilnya;
Bahwa pada hari sidang yang ditetapkan Penggugat telah datang mengadap
secara pribadi ke persidangan, sedangkan tergugta tidak pernah menghadap, dan tidak
pula menyuruh orang lain untuk menghadap sebagai wakil atau kuasanya meskipun
Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut.86
Bahwa majelis Hakim telah menasehati Penggugat agar tetap rukun kembali
dalam membina rumah tangga dengan Tergugat, namun tidak berhasil, kemudian
gugatan Penggugat dibacakan, dan isinya tetap dipertahankan, kecuali Posita angka 8
86 Ibid., h.3
(delapan) dan Petitum angka 4 (empat) tentang nafkah anak, Penguggat Menyatakan
mencabutnya.87
Bahwa untuk menguatkan dalil-dalil gugatan, Penggugat telah mengajukan
bukti surat yaitu:88
a. Fotocopy kutipan Akta Nikah nomor 1002/57/XII/1997 yang dieluarkan
oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan tanggal 8
(delapan) Desember 1997, selanjutnya doberi kode P.1.
b. Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran atas nama Daffa Radhiena Arkan,
selanjutnya diberi kode P.2.
c. Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran atas nama Alfin Fikri Fabian, selanjutnya
diberi kode P.3.
Bahwa bukti P.1, P.2, P.3 berupa fotocopy tersebut telah bermatrai cukup,
dinazegelen, serta telah dicocokan den sesuai dengan aslinya.
Bahwa selain bukti surat tersebut, Penguggat telah mengajukan pula 2 (dua)
orang saksi yaitu;
Saksi I : Siti Nurjanah binti Asmad D, umur 25 tahun, agama Islam, setelah
bersumpah kemudian memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut;
87 Ibid., h.3
88 Ibid., h.3
- Bahwa saksi adalah adik kandung Penggugat
- Bahwa semula Penguggat dan Tergugat hidup rukun, akan tetapi sejak Juni
2006 sudah tidak rukun lagi, keduanya sering cekcok;
- Bahwa penyebab cekcok tersebut karena masalah ekonomi, sejak tergugat di
PHK ditempat kerjanya, tergugat tidak mau mencari pekerjaan lagi, dan
menganggur;
- Bahwa Penguggat dan Tergugat sudah pisah tempat tinggal sejak Februari
2010 sampai sekarang tidak pernah berkumpul lagi, tergugat pergi kerumah
orang tuanya di Depok;
- Bahwa saksi sudah sering menasehati Penggugat agar tetap bersabar dan
tidak bercerai, akan tetapi Penggugat tetap ingin bercerai dengan tergugat.89
Saksi II : Dedi Setyadi bin Cecep Adi Mulya, umur 38 tahun, agama Islam, setelah
bersumpah kemudian memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut;
- Bahwa saksi adalah kakak ipar Penggugat;
- Bahwa penyebab cekcok tersebut karena masalah ekonomi, sejak tergugat di
PHK ditempat kerjanya, tergugat tidak mau mencari pekerjaan lagi, dan
menganggur;
89 Ibid., h.3
- Bahwa Penguggat dan Tergugat sudah pisah tempat tinggal sejak Februari
2010 sampai sekarang tidak pernah berkumpul lagi, tergugat pergi kerumah
orang tuanya di Depok;
- Bahwa saksi sudah sering menasehati Penggugat agar tetap bersabar dan
tidak bercerai, akan tetapi Penggugat tetap ingin bercerai dengan tergugat.90
Bahwa atas keterang kedua saksi diatas tersebut penggugat menyatakan
menerima dan membenarkanya.
Bahwa penguggat telah mengajukan kesimpulan yang ada pokoknya tetap
ingin bercerai dengan penggugat, selanjutnya penggugta mohon putusan.
Bahwa segala sesuatu yang tercantum dalam berita acara persidangan, harus
dianggap telah termasuk dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam putusan
ini.
C. Pertimbangan Hukum Hakim
Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan penggugat adalah
sebagaimana telah diuraikan diatas.
Menimbang, bahwa Penguggat mengajukan gugatan cerai terhadap tergugat
pada pokoknya yaitu karena sejak Desember 2006 Penguggat dan tergugat terjadi
perselisihan secara terus menerus disebabkan tergugat mendapa PHK (pemutusan
90 Ibid., h.4
Hubungan Kerja), tergugat sudah tidak mau mencari pekerjaan yang layak guna
menafkahi keluarga, tergugat temperamental, sering berkata kasar dan menyakitkan
hati, puncak perselisihan dan pertengkaran antara penggugat dan tegugat terjadii
Februari 2010, antara penggugat dan tergugat terjadi pisah tempat tinggal. Kemudian
pihak keluarga pernah mencoba menasehati penggugat, namun upaya tersebut tidak
berhasil.91
Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil gugatan tersebut, penggugat
telah mengajukan bukti P.1, P.2, P.3 dan dua orang saksi.
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.1 menunjukan Penggugat dan
tergugat menikah pada tanggal 7 Desember 1997 di Kecamatan Jagakarsa, Jakarta
Selatan, sehingga sejak saat itu Penggugat dan Tergugat terikat dalam hubungan
hukum perkawinan yang sah, hal mana telah sesuai dengan maksud pasal 7 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam dan belum pernah bercerai, maka bukti P.1 tersebut dapat di
pertimbangkan sebagai dasar untuk melakukan perceraian.92
Menimbang, bahwa dari dua orang saksi telah diperoleh keterengan yaitu
Penggugat dan Tergugat awalnya rukun, namun sejak Juni 2006 Penggugat dan
Tergugat tidak rukun lagi, sering terjadi percekcokan disebabkan Tergugat setelah
dari PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dari perkerjaanya tidak memberi nafkah
91 Ibid., h.4
92 Ibid., h.5
kepada Penggugat, kemudian bulan Februari 2010 Penggugat dan Tergugat pisah
tempat tinggal sampai dengan sekarang, saksi-saksi sudah menasehati Penggugat agar
bersabar dan tidak bercerai, namun Penggugat tetap paa pendiriaanya untuk bercerai
dengan Tergugat.93
Menimbang, bahwa dari keterangan dua orang saksi terebut telah
menguatkan dalil-dalil gugatan Penggugat pada posita angka 3,4, dan angka 5, maka
dalil-dalil Penggugat tersebut dinyatakan terbukti.94
Menimbang, bahwa bahwa dari keterangan Penggugat dikuatkan dengan
keterangan dua orang saksi, ditemukan fakta yaitu sejak Desember 2006 Penggugat
dan Tergugat terjadi perselisihan secara terus-menerus disebabkan Tergugat
mendapatkan PHK, Tergugat sudah tidak mau mencari pekerjaan yang layak guna
menafkahi keluarga, Tergugat Tempramental, sering berkata kasar dn menyakitkan
hati puncak perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat terjadi
Februari 2010, antara Penggugat dan Tergugat terjadi pisah temapt tinggal. Kemudian
pihak keluarga pernah menasehati Penggugat, namun upaya tersebut tidak berhasil.95
Menimbang, bahwa dari fakta tersebut Pengadilan berpendapat bahwa
antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran,
mengakibatkan keduan sudah tidak rukun lagi, Penggugat dan Tergugat sudah tidak
93 Ibid., h.5
94 Ibid., h.5
95 Ibid., h.5
tinggal satu rumah lagi, dan Penggugat telah menyatakan tidak dapat
mempertahankan ikatan perkawinan dengan Tergugat.
Menimbang, bahwa perselisihan dan pertengkarang tersebut telah memenuhi
limit waktu untuk dijadikan sebagai salah satu alasan untuk melakukan perceraian
sebagaiamana dikehendaki Pasal 19 huruf (f) PP Nomor 9 Tahun 1975, juncto Pasal
116 huruf (f) KHI yaitu antara suami dan istri telah trjadi perselisihan dan
pertengkaran secara terus-menerus selama dua tahun berturut-turut, perselisah dan
pertengkaran tersebut telah terjadi sedemikian rupa dan telah menyebabkan keduanya
berpisah tempat tinggal sejak anaknya lahir (tahun 1997) hingga sekarang, telah
mengakibatkan Penggugat dan Tergugat sudah tidak dapat menjalankan hak dan
kewajiban lagi sebaiamana suami istri.96
Menimbang, bahwa upaya majelis Hakim serta saksi-saksi yang diajukan
dalam perkara ini menasehatio Penggugat agar tetap rukun kembali dengan Terguagat
ternyata tidak berhasil, karena Penggugat telah menyatakan sikapnya dengan tetap
berkukuh pada pendirianya untuk bercerai dengan Tergugat, sehinggan Pengadilan
menilai bahwa dengan sebab perselisihan dan pertengkaran itu telah mencapai pada
suatu keadaan yang mana dalam rumah tanggan Penggugat dan Tergugat sudah tidak
dapat ditolerir lagi untuk hidup rukun dalam suatu ikatan perkawinan.97
96 Ibid., h.5
97 Ibid., h.5
Menimbang, bahwa jika salah satu pihak telah menyatakan tetap berkukuh
pada pendirianya untuk bercerai dengan pihak lainnya, maka tidak terdapat cukup
alasan untuk tetap mempertahankan ikatan perkawinan tersebut, karena itu majelis
hakim berkesimpulan bahwa rumah tangga Penggugat dengan Tergugat telah berada
pada tingkat pecahnya perkawinan (broken marriage), keduanya sudah sangat sulit
untuk hidup rukun lagi sebagai suami istri, sehingga rumah tangga keduanya sudah
sangat sulit pula untuk dipertahankan, dalam mana jika dapat dipertahankan dapat
menimbulkan madharat yang lebih besar bagi keduanya, maka alternatif penyelesaian
sengketa perkawinan yang terbaik bagi Penggugat dan Tergugat adalah perceraian,
karena itu petitum pada angka 2 dapat dikabulkan.98
Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan diatas gugatan
Penggugat telah terbukti dan berdasar hukum untuk diterima dan dikabulkan
berdasarkan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, juncto
Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam dengan menjatuhkan Thalaqba’in sughra
dari Terguagat, Hendra Yana bin Tatang Rachmat terhadap Penggugat, Ani Mulianah
binti Asmat D.99
Menimbang, bahwa bukti P.2 dan P.3 adalah Akta kelahiran nama Daffa
Radhiena Arkan, laki-laki, lahir tanggal 13 November 1998 dan Alfin Fikri Fabian,
laki-laki lahir tanggal 25 Oktober 2004, dan berdasarkan bukti tersebut ternyata
98 Ibid., h.5-6
99 Ibid., h.6
kedua anak tersebut adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah antara
Penggugat dan Tergugat.100
Menimbang, bahwa penggugat dalam petitum gugatan angka 3 telah
mengajukan tuntutan menyangkut hak pengasuh anak, Penggugat memohon kepada
Pengadilan agar menetapkan anak tersebut berada dalam pengasuh dan pemeliharaan
Penggugat.101
Menimbang, bahwa oleh karena tergugat tidak perbah hadir di persidangan
untuk mengajukan jawaban atau keberatan-keberatan atas tuntutan Penggugat
tersebut, maka Tergugat dipandang menerima semua tuntutan yang diajukan oleh
Penggugat, apalagi kedua anak tersebut saat ini masih kecil dan masih sangat
membutuhkan belaian kasih sayang dari dari ibunya (Penggugat), maka hak pengasuh
dan pemeliharaanya diserahkan kepada Penggugat.102
Menimbang, bahwa menyangkut nakah anak sebagaimana dalam petitum
Penggugat angka 4, Penggugat dalam persidangan telah mencabut petitum tersebut,
yang mana pencabutan petitum tersebut tidak bertentangan dengan hukum, maka
dapat diterima dan dikabulkan.103
100 Ibid., h.6
101 Ibid., h.6
102Ibid., h.6
103 Ibid., h.6
Menimbang, bahwa Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut untuk
menghadap dipersidangan, tidak pernah datang menghadap tanpa alasah hukum,
harus dinyatakan tidak hadir, maka berdasarkan Pasal 125 HIR gugatan Penggugat
danpat diterima dan dukabulkan seluruhnya dengan verstek.104
Menimbang, bahwa perkara ini adalah perkara perceraian yang berada
dalam lingkup bidang perkawinan, maka biaya perkara dibebankan kepada Penggugat
sesuai Pasal 89 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.105
Memperhatikan segala hukum dan peraturan Perundang-undangan yang
berlaku yang berkaitan dengan perkara ini.
MENGADILI
1. Menyatakan Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut untuk
menghadap dipersidangan, tidak hadir.
2. mengadulkan gugatan Penggugat dengan verstek.
3. menjatuhkan thalaq satu ba.in sughro tergugat, Hendra Yana bin Tatang
Rachmat terhadap Penggugat, Ani Mulianah binti Asmat D.
104 Ibid., h.6
105 Ibid., h.6
4. menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak Hadhonah atau pemeliharaan
atas anak Penggugat dan Tergugat yang bernama Daffa Radhiana Arkan, lahir
13 November 1998 dan Alfin Fikri Fabian, lahir tanggal 25 Oktober 2004.
5. membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara ini sejumlah
Rp.371.000,- (tiga ratus tujuh puluh ribu rupiah).106
Demikian Pengadilan Agama Jakarta Selatan menjatuhkan putusan ini pada
hari Senin tanggal 14 Juni 2010 Masehi, bertepatan tanggal 1 Rajab 1431 Hijriah,
oleh majelis Hakim: Drs. Abdurrahim, M.H. selaku ketua majelis, Drs. Nurhafizal,
S.H.,M.H dan Drs. Chotman Jauhari, M.H. selaku hakim anggota, didampingi
Mahrm, S.H. sebagai panitra pengganti. Pada hari itu putusan ini diucapkan oleh
ketua majelis dalam persidangan yang terbuka untuk umum, dengan dihadiri oleh
Penggugat tanpa dihadiri Tergugat.107
D. Analisi Penulis
Perkawinan adalah suatu bentuk ibadah yang harus dijaga kesucian oleh
kedua belah pihak baik suami ataupun istri agar tercapainya tujuan dari perkawinan
itu sendiri, yaitu melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan
penyambung cita-cita, membentuk keluarga yang bahagia kekal selamanya serta
dapat mengembangkan dan memenuhi ketentraman jiwa dikarenakan perkawinan
106 Ibid., h.7
107 Ibid., h.7
yang harmonis dan didasari syari’at Islam. Terwujudnya tujuan perkawinan tersebut
sudah barang tentu sangat tergantung pada maksimalisasi peran dan tanggung jawab
masing-masing pihak, istri dan suami.
Namun dalam perjalan perkawinan tersebut terdapat persoalan-persoalan yang
sangat pelik dan tidak dapat dihindari dan mengancam putusnya suatu hubungan
perkawinan, sering kali persoalan yang ada dalam rumah tangga harus berakhir
dengan perceraian, dari banyak persoalan rumah tangga yang sering terjadi adalah
hak dan kewajiban salah satu pihak (istri dan suami) tidak dapat dipenuhi atau
dijalankan.
Seperti dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan
Nomor Perkara 770/Pdt.G/2010 PA JS yang disebabkan karena suami tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dalam rumah tangga dikarenakan suami
mendapat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Dalam perkara cerai ini penggugat Ani Mulianah binti Asmat D menggugat
suaminya Hendra Yahya bin Tatang Rahmat pada tanggal 8 April 2010. penggugat
menyatakan dalam surat gugatannya yang menjadi alasan utama penggugat
menggugat cerai suaminya adalah suaminya (tergugat) tidak dapat memberikan lagi
kebutuhan hidup sehari-hari dalam rumah tangga karena suami (tergugat)
mendapatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dimana ia berkerja.
Hal itu yang menjadi sumber perselisihan dan pertengkaran yang terus
menerus sejak Desember 2006, suami (tergugat) hanya menunggu perkerjaan yang
sama dan tidak mau berusaha mencari perkerjaan yang lain, tergugat pernah berkerja
ditempat yang lain namun hanya satu tahun setelah itu berhenti dan penghasilan yang
didapat suami (tergugat) tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.108
Disamping itu tergugat tidak dapat mengatasi masalah emosi (tempramental)
kemudian depresi karena menganggur sehingga dari hal itu sering mengeluarkan
kata-kata kasar dan menyakitkan hati. Penggugat yang selama ini mencukupi
kebutuhan rumah tangga, dengan cara berdagang, akan tetapi suami (tergugat) tidak
menghargai usaha penggugat tersebut. Dari hal itulah yang menyebabkan Penggugat
dan tergugat sering terjadi konflik dan pertengkaran.
Dan berdasarkan alasan diatas, penggugat memohon kepada Ketua Majlis
Hakim yakni;
1. mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya.
2. menjathkan Thalaq satu Bain Sughra tergugat terhadap penggugat
3. menetapkan Penggugat sebagai hak Hadhonah atau Pemeliharaan atas
anak penggugat dan tergugat
4. menetapkan biaya perkara ini sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang ada.
Mengenai pembuktian penggugat mengajukan bukti surat dalam fotocopy
Kutipan Akta Nikah, fotocopy Akat Kelahiran kedua anak tergugat dan tergugat dan
saksi sebanyak 2 orang. Saksi-saksi adalah kelurga penggugat dan tergugat, dan
keterangan saksi-saksi tersebut saling berhubungan dan bersesuaian satu sama lain,
108 Wawancara Pribadi, Tamah, SH, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Jakarta 18
februari 2011
yang antara lain menjelaskan: bahwa penggugat dan tergugat benar suami istri yang
sah dan memilki 2 orang anak, benar telah terjadi perselisihan sejak juni 2006 bahwa
penyebab perselisihan tersebut karena faktor ekonomi sejak tergugat di PHK ditempat
kerjanya, tergugat tidak mau mencari perkerjaan dan menganggur, penggugat dan
tergugat sudah pisah tempat tinggal sejak Februari 2010 sampai sekarang tidak
pernah berkumpul lagi, bahwa saksi sudah sering menasehati penggugat agar bersabar
dan tidak bercerai, akan tetapi penggugat tetap ingin bercerai. Lalu Penggugat
menerima dan membenarkan persaksian mereka yang pada intinya telah terjadi
perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus antara penggugat dan tergugat.
Hemat penulis mengenai alat bukti surat sudah sesuai dengan pasal 165 HIR
yang bukti surat tersebut adalah bukti oetintik yang telah memenuhi syarat formil dan
materil sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat, sedangkan alat bukti
saksi sudah sesuai dengan pasal 22 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, yaitu;
“ Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi
Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah
mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu”.
Lalu Majlis hakim berusaha untuk memberikan nasihat kepada penggugat
agar dapat rukun kembali, namun tidak berhasil, karena penggugat telah menyatakan
sikapnya dengan tetap berkukuh pada pendirianya untuk bercerai dengan tergugat,
Hal ini sesuai dengan pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada
setiap sidang pemeriksaan.
Oleh sebab penggugat tetap ingin bercerai maka untuk dapat melakukan
perceraian harus ada cukup alasan antara suami istri itu tidak akan hidup rukun lagi
sebagai suami istri sebagaimana diamaksud pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan. Adapun alasan-alasan melakukan perceraian terdapat
dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut;
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami melanggar taklik talak;
k. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.
Dari alasan-alasan yang telah dikemukakan diatas dan telah di perolehnya
fakta serta bukti-bukti yang berkaitan dengan duduk perkara antara penggugat dan
tergugat telah terjadi perselisihan yang tidak mungkin lagi dapat dirukunkan, maka
dalam Putusan Majlis Hakim mengabulkan gugatan perceraian yang diajukan oleh
istri, dalam pertimbangannya Majlis Hakim sudah dapat dan cukup hanya
mendalilkan pasal 9 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 maupun
berdasarkan ketentuan hukum Islam sebagaimana terdapat dalam Kompilsasi Hukum
Islam pasal 116 huruf (f), berkaitan dengan perkara Nomor 770/Pdt.G/2010/PA JS.109
Hemat penulis, tentang dalil hukum hakim yang dikemukakan di atas sudah
tepat, karena inti permasalahan dalam perkara ini adalah terjadinya perselisihan dan
pertengkaran secara terus-menerus, dan sudah melanggar pasal 3 Kompilasi Hukum
Islam (KHI) mengenai dasar dan tujuan perkawinan.
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah”.
Akan tetapi yang menjadikan faktor penyebab awal dari perselisihan dan
pertengkaran adalah karena Suami tidak dapat memberikan nafkah untuk kehidupan
sehari-hari karena di PHK (Pemutus Hubungan Kerja) atau tidak terlaksananya
109 Wawancara Pribadi dengan Tamah,SH, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Jakarta
18 februari 2011
kewajiban suami yang berdasarkan pasal 80 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam,
seharusnya pasal tersebut bisa dijadikan pertimbangan hukum Hakim.
Mengenai hak hadhonah atau pemeliharaan anak, penggugat mengajukan
tuntutan menyangkut hak pengasuhan anak, penggugat memohon kepada Pengadilan
menetapkan anak tersebut berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan penggugat,
oleh karena tergugat tidak pernah hadir dipersidangan untuk mengajukan jawaban
atau keberatan-keberatan atas tuntutan penggugat tersebut, maka tergugat dipandang
menerima semua tuntutan yang diajukan apalagi kedua anak tersebut saat ini masih
kecil dan sangat masih membutuhkan belaian kasih sayang dari ibu (penggugat),
maka hak pengasuhan dan pemeliharaannya diserahkan kepada penggugat.
Hemat penulis tentang hak hadonah dan pemeliharan anak memang harus
diberikan kepada ibunya walaupun tergugat hadir dipersidangan, karena melihat dari
usia anak tersebut belum mumayiz, dan hal ini berdasarkan pasal 156 huruf (a) dan (f)
Kompilasi Hukum Islam yaitu;
a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali
bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. ayah;
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut
padanya.
Menyangkut nafkah anak sebagaimana dalam petitum angka 4 untuk
membayar biaya hadhonah atau biaya pemeliharan anak dan pendidikan anak
penggugat dan tergugat, majlis hakim menetapkan biaya pemeliaharaan anak sebesar
Rp.1.000.000,-, hakim memandang bahwa nominal biaya tersebut disesuaikan dengan
penghasilan suami (tergugat), namun bagi yang PNS (Pegawai Negri Sipil) penetapan
biaya pemeliharaan anak adalah sepertiga dari penghasilan gaji110
. Biaya tersebut
dibebankan kepada suami hingga anak tersebut dewasa atau mandiri menuirut hukum.
Hemat penulis dalam membebankan dan menentukan biaya hadhonah atau
biaya pemeliharaan anak sudah sejalan dengan pasal 41 huruf (b) Kompilasi Hukum
Islam, yaitu;
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat
memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.
Seharusnya bapak berkewajiban memberikan nafkah anak sampai anak tersebut
dewasa menurut hukum atau mumayiz karena dalam perkara ini tidak selamanya
110 Wawancara Pribadi dengan Tamah,SH, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Jakarta
18 februari 2011
bapak (tergugat) tidak mendapatkan pengahasilan, hal ini sesuai dengan pasal 156
huruf (d) yaitu;” semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab
ayah menurut kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa
dapat mengurus diri sendiri(21 tahun)”,
namun penggugat dalam persidangan telah mencabut petitum tersebut, yang mana
pencabutan tersebut tidak bertentangan dengan hukum, maka dapat diterima dan
dikabulkan.
Mengenai nafkah iddah, dalam perkara permohonan Thalaq maka suami wajib
memberikan nafkah iddah kepada istri, berbeda halnya dengan perkara cerai gugat
yang tidak mewajibkan suami memberikan nafkah iddah kepada istri, terkecuali
hakim dapat memberikan kewajiban kepada suami apabila pada saat perceraian istri
sedang mengandung, maka hakim berhak menetukan dan mebebankan kepada
mantan suami untuk biaya persalinan atau melahirkan111
. Hemat penulis, seharusnya
mantan suami diberi kewajiban nafkah iddah kepada istrinya dengan mengambil
keputusan yurisprudensi Pengadilan Tinggi Agama yang menafsirkan pasal 41 huruf
(C) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. nafkah iddah yang
diberikan kepada mantan isti oleh mantan suami disesuaikan dengan kemampuanya.
Dalam amar Putusan majlis hakim terhadap perkara ini adalah mengabulkan
gugatan penggugat seluruhnya, oleh karena tergugat tidak pernah hadir di
persidangan untuk mengajukan jawaban atau keberatan-keberatan atas tuntutan
111 Wawancara Pribadi dengan Tamah,SH, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Jakarta
18 februari 2011
tersebut maka tergugat di pandang menerima semua tuntutan yang diajukan oleh
penggugat, maka berdasarkan Pasal 125 HIR gugatan penggugat dapat diterima dan
dikabulkan seluruhnya dengan verstek
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Cerai gugat yang diajukan istri terhadap suami karena alasan suami terkena
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak termasuk menjadi alasan perceraian
karena dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116 maupun Peraturan Pemerintah
no 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan pasal 19, tidak disebutkan bahwa suami terkena Pemutus
Hubungan Kerja (PHK) termasuk kedalam salah satu alasan perceraian, akan
tetapi akibat suami terkena Pemutus Hubungan Kerja adalah dapat dikatakan
sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran
secara terus menerus.
2. a. Kewajiban suami setelah perceraian adalah;
1. Nafkah, suami harus memberikan biaya untuk anaka beserta pendidikannya
hingga usia anak dewasa, hal ini sesuai dengan pasal 41 huruf (b) Undang-
Undang no 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 149 huruf (d)
Kompilasi Hukum Islam.
Namun dalam perkara Nomor 770/pdt.g/2010/ PAJS penggugat menarik isi
gugatan tentang biaya untuk anak, dan suami lepas kewajibanya untuk
memberiakan nafkah untuk anak.
2. Nafkah iddah, mengenai nafkah iddah, dalam perkara nomor
770/Pdt.g/2010/PAJS, pengajuan perceraian dilakukan oleh istri maka
kewajiban suami untuk memberikan nafkah iddah kepada istri gugur dengan
sendirinya.
Akan tetapi sudah ada yurisprudensi yang dikeluarkan hakim PTA jakarta yang
memtuskan suami untuk tetap berkewajiban memberikan nafkah iddah kepada
istri dalam kasus gugat cerai, Hakim PTA ini mengambil dasar putusan dengan
menafsirkan pasal 41 huruf (c) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
b. Kewajiban Istri setelah perceraian,
1. Hak Hadhonah diberikan kepada istri (ibu), karena ke dua anak tersebut
(hasil dari perkawinan penggugat dan tergugat) belum dewasa hal ini sesuai
dengan pasal 156 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, “anak yang belum
mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya”.
2. Bagi seorang istri yang putus perkawinanya berlaku waktu tunggu atau
iddah, keculi qobla al dukhul dan perkawinanya putus bukan karena
kematian. Hal ini berdasarkan pasal 153 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam.
Dan waktu tunggu bagi istri adalah, karena perkawinanya putus karena
perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci
dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari. Hal ini disebutkan
dalam pasal 153 ayat (2) huruf (b).
3. Dalam kasus yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan perceraian
diajukan oleh pihak istri dengan alasan suami terkena Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK), yang berakibat kebutuhan nafkah kehidupan keluarga tidak dapat
dipenuhi lagi oleh suaminya, dengan putusan perkara Nomor
770/Pdt.g/2010.PAJS, majlis Hakim memadang berdasarkan bukti-bukti yang
ada serta para saksi yang hadir dipersidangan membenarkan tentang adanya
perselisihan dan pertengkaran yang disebakan sebagaimana telah disebut diatas
dan telah memenuhi limit waktu. Melihat dari fakta tersebut maka majlis hakim
menyetujui segala tuntutan penggugat dengan mendalilkan pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan, juncto pasal 116 huruf (f)
Kompilasi Hukum Islam yaitu antara suami Istri terjadi Perselisihan secara
Terus Menerus selama dua tahun dan berturut-turut, dengan menjatuhkan
Thalaq Satu Bain Sughra tergugat terhadap penggugat, dan sesuai dengan
dengan tata cara pengambilan keputusan menurut Perundang-Undangan nomor
3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undnag-Undang nomor 7 tahun 1989
Tentang peradilan agama pasal 73 sampai dengan pasal 86 mengenai tata cara
percerian gugat cerai. Karena tergugat tidak pernah hadir pada saat persidangan
maka dianggap menerima semua tuntutan penggugat, maka dikabulkan dengan
verstek.
B. Saran-Saran
1. Dengan memperhatikan tujuan perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam
pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia lahir-bathin, dan juga
menginat akibat yang timbul terhadap anak yang disebabkan perceraian putusan
pengadilan akan membawa dampak kurang baik terhadap perkembangan jiwa,
moral dan psikologis anak, maka sebaiknya dibuat Undang-Undang tersendiri
yang khusus mengatur memeriksa dan mengadili perceraian yang sifatnya
mempersulit terjadinya perceraian dengan cara misalnya lebih mengedepankan
proses mediasi dan atau gugatan perceraian tidak dapat diperiksa oleh
Pengadilan apabila kedua belah pihak tidak hadir di persidangan dan pengadilan
tidak boleh memutuskan pekara perceraian tanpa kehadiran pihak tergugat
sebagaimana yang selama ini dimungkinkan dalam Hukum Acara Perdata yang
berlaku secara umum, andaikata tergugat memang tidak mungkin dapat hadir
dipersidangan, untuk menjatuhkan verstek sebaiknya dibuat kreteria khusus
dalam hal bagaimana putusan verstek daam perkara gugatan perceraian dapat
dijatuhkan. Dengan keadaan yang terjadi saat ini dimana Hukum Acara Perdata
memungkinkan putusan verstek tanpa kehadiran tergugat, timbul kesan seakan-
akan gugatan perceraian gampang dikabulkan walaupun pihak tergugat tidak
hadir.
2. Bagi pasangan suami isteri walaupun perceraian diperbolehkan dalam Islam,
akan tetapi Islam juga memandang bahwa perceraian merupakan jalan terakhir
setelah berbagai cara lain yang ditempuh kedua belah pihak tidak dapat
mengembalikan keutuhan rumah tangga yang tidak dapat terlepas dari konflik.
Dalam hadits juga dijelaskan bahwa perceraian (talak) adalah suatu perbuatan
yang halal, akan tetapi dibenci Allah.
3. Untuk mengoptimalisasi peran mediasi, sebaiknya Pengadilan Agama mencari
orang-orang yang berkompenten dalam bidang perkawinan sebagai mediator diluar
hakim Pengadilan Agama, seperti para ustad, ulama, dan sebagainya. Hal ini
bertujuan untuk bisa lebih memberikan pengertian tentang dampak sebuah
perceraian dengan memberikan pandangan agama bukan saja dengan pasal-pasal
yang berlaku (hukum-hukum positf).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al Karim dan Terjemahnya, Depatermen Agama RI.
Arikunto, Suharsimin. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Pendek. jakarta:
Bhineka Cipta, 1998.
Asikin,Zainal, dan Amiruddin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004.
Asqalany, Hajar, Ibnu. Bulugh Al-Maram. Semarang: Usaha Bersama, 1956.
Arto,Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama. Jakarta:Pustaka
Pelajar, 2003. Cet. ke-4
Abdullah, Abdul Gani, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan
Agama. Jakarta:Intermasa, 1991
Abidin, Slamet, Drs.,dan Aminuddin H, Drs. Fiqh Munakahat. Bandung:CV.Pustaka
Setia, 1999. cet ke-1
Departemen R.I, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan agama Islam, 1998
Djubaedah, Neng. dkk. Hukum Pekawinan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Mecca
Mitra Utama, 2005.
Djalil, A. Basiq Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2006, cet. Ke-1,
Daud, Abu. Sunan Abu Daud. Al-Qahirah, Dar Al-Harin, 1988 H, juz, kedua.
Furchan, Arief. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif: Suatu Pendekatan
Fenomologis Terhadap Ilmu-Ilmu Sosial. Surabaya: Usaha Nasional, 1992.
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan. Jakarta: CV Pedoman Ilmu
Jaya, 1989.
Ghazaly, Rahman, Abd H, Drs, M.A. Fiqh Munakahat. Bogor:kencana, 2003.
HS, Salim. Pengantar H ukum Perdata Tertulis. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Harahap, M.Yahya, Hukum Perkawinan Nasional, Medan:Zahir Trading co Medan,
1975. Cet, ke-1
http://www.pa-jakartaselatan.go.id/sejarah/, Sejarah Pengadilan Agama Jakarta
Selatan , 2010
Imam Abi Husaini Muslim Ibni Hajjaji, Shahih Muslim, darul Fiqr, 1992, Juz 1
Ibnu Yazid, Muhammad , Sunan Ibnu Majah, (Beirut, Darul fiqr). Juz 1
Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta:PT Bulan
Bintang, 2004
Ash-Shabbagh, Mahmud. Keluarga Bahagia Dalam Islam, Solo : CV. Pustaka
Mantiq, 1993. Cet.ke-2
Munawir, Ahmad Warsan. Al-Munawir : Kamus Arab Indonesia. Surabaya:Pustaka
Progresif, 1997, cet. ke-14
Makki Al-Amili, Ali Husain Muhammad, Perceraian Salah Siapa?. Jakarta:Lentera,
2001
Muhammab Ibnu Ismail Al Amir As-Shan’ni, SubulAs-Salam Al Musholah ila
Bulugh Al-Mahram. Kairo:Dar Ibnu Jauzi, 1428 H, juz 3
M. Fauzan, Pokok-Pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah
Di Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika, 2004, Cet. ke-2
Nuruddin,Amiur.H. Hukum Perdata Islam di Indonesia:Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 sampai KHI. Jakarta:Kencana, 2006
Nuruddin,Amiur,dan Azhari Akmal Tarigan.Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. 2006.
Nashirudin, Muhammad, Al Albani, Mukhtashar Shahih Muslim. Jakarta:Pustaka
Azzam, 2003. Cet. ke-1
Prodjohamidjojo, Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta:Indonesia Legal
Center Publishing, 2002
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Di
Jakarta,Ilmu Fiqih,jakarta : Departemen Agama, 1985, Cet.ke-2
Rasidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia.
Bandung:Ramaja Rosdakarya, 1991
Rusdy, Ibnu. Bidayatul Mujtahid, Terjamaah Imam Ghazali Said Dan Ahmad Zaidun.
Jakarta:pustaka Amani, 2002. Cet ke-2
Rasyid,Raihan, A, Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta:Raja Grafindo Persada,
2001, ed.ke-2, cet. Ke-8
R.Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata:Tata Cara Dan Proses Persidangan.
Jakarta:Sinar Grafika, 2004. Cet. ke-6
Sadiq, Salahudin Khairi. Kamus Istilah Agama. Jakarta:CV.Sient Tarama, 1983
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Riyadh:Darul Fath Lil’alami’arabi, 1996, jilid, ke-II
Sosroatmodjo, Arso dan Wasit Aulawi. Hukum Perkawinan di Indonesia,
Jakarta:Bulan Bintang, 1975
Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta:Ghalia Indonesia, 1978
Said, Fuad. Perceraian Dalam Hukum Islam. Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1993
Syamhudi,Kholid Al-Khulu',” Gugatan Cerai Dalam Islam”, artikel dari
http://www.almanhaj.or.id/
Thalib,M. Penyebab Perceraian dan Penanggulangannya. Bandung:Irsyad Baitus
Salam, 1997 Cet. Ke-1
Thalib, Sayuti, Hukum Keluarga Indonesia:Berlaku Bagi Umat Islam. Jakarta:UI
Press, 1982
Zainudin, Ali. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika, 2006
PEDOMAN DAN HASIL WAWANCARA
1. (-) Apakah Akibat Suami Terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Dapat
menjadi Alasan Perceraian ?
(+) Pada Dasarnya Alasan Suami Terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Tidak Terdapat Dalam Salah Satu Sebab Yang Menjadi Alasan Perceraian
Baik Dalam KHI Maupun Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang
Perkwinan, Akan Tetapi Hal itu Bisa Dikatakan Sebagai Pemicu Timbulnya
Konflik Perselisihan dan Pertengkaran Antara Suami dan Istri.
2. (-) Bagaimana Kewajiban Suami dan Istri Setelah Terjadinya Perceraian ?
(+) Kewajiban Suami Dan istri Setelah Perceraian Hakim Menetapkan Sesuai
Dengan Ketentuan Yang Ada, Dalam Kompilsai Hukum Islam Terdapat
Dalam Pasal 149, 153, 155 dan Pasal 156, Sedangkan dalam Uandang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat dalam pasal 41.
3. (-) Apa Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Memutuskan Perkara Nomor
770/Pdt.G/2010/PAJS ?
(+) Melihat Dari Duduk Perkara Yang Ada Serta Bukti-Bukti Yang telah diajukan
Penggugat, Menurut Hakim Sudah Dapat Dijatuhkan Thalaq, Karena
Berdasarkan Bukti Yang Ada Dan Keterangan Para Saksi, Antara Pengguagat
Dan Tergugat Sudah Tidak Dapat Hidup Rukun kembali Karena Sering
Terjadi Perselisihan Dan Pertengkaran Secara Terus Menerus , Apabila Terus
Dipaksakan Perkawinannya Dikhawatirkan Akan Menimbulkan Madharat
Yang Lebih Besar, Dan Hal Ini Telah Sesuai Dengan Alasan-Alasan
perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf (f).
4. (-) Bagaimana Prosedur Perceraianya ?
(+) Prosedur Perceraian, Sejalan Dengan Tatacara Pengambilan Keputusan
Menurut perUndang-Undangan Nomor 7 Tahun 1989 Yang Diamandemen
Dengan Undang-Undang 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 73 Sampai
Dengan pasal 86 Mengenai Tatacara Penyelesaian Perceraian Cerai Gugat.
5. (-) Menurut Pandangan Hakim, Apakah Sudah Cukup Pasal-Pasal Yang
Digunakan Dalam Memutuskan Perkara Nomor 770/Pdt.G/2010/PAJS ?
(+) Sudah, Karena Faktor Terjadinya Perceraian Yaitu Adanya Perselisihan Dan
Pertengkaran Secara Terus-Menerus.
6. (-) Bagaiamana Cara Menentukan Biaya Untuk Anak Setelah Terjadinya
Perceraian ?
(+) Menentukan Besar Biaya Untuk Anak Hakim Melihat Dari Kemampuan
Penghasilan Bapak, Atau Bagi Yang Pekerja Negari Sipil (PNS) Adalah 1/3
Dari Gaji.
7. (-) Bagaiamana Pandangan Hakim Terhadap Istri yang Menggugat Suaminya,
dan Tidak Mendapatkan Nafkah Iddah ?
(+) Karena ini Menyangkut Cerai Gugat, Maka dalam Hal Ini Istri Tidak
Mendapatkan Nafkah Iddah, Berbeda Halnya dengan Cerai Thalaq.
8. (-) Mengapa Hakim Menjatuhkan Thalaq Bain Sughra Dalam Perkara Ini ?
(+) Karena Perceraian Dalam Ruang Lingkup Hukum Perdata, Maka Hakim
Tidak Dapat Memutuskan Diluar Keinginan Penggugat, Karena Dalam Isi
gugatan Penggugat Menginginkan Dijatuhkan Thalaq Dari Tergugat Thalaq
Bain Sughra, Disamping Itu Perkara Ini Adalah Perkara Cerai Gugat.
9. (-) Adakah Hak Suami Untuk Kembali Rujuk Kepada Istrinya ?
(+) Apabila Suami Ingin Rujuk kembali Maka Harus melakukan Akad Nikah
Yang baru karena Telah dijatuhkan Thalaq Bain Sughra.
10. (-) Berapa Hari Masa Iddah Yang Diberikan Kepada Istri ?
(+) dikenakan Pasal 153 point 2 Huruf (b) Kompilasi Hukum Islam.Yaitu;
“Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktutunggubagi yang masih
haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan
puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;”