Masala e ilm e ghaib wa tawassul by dr mufti ghulam sarwar qadr
CERAI GHAIB MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN …
Transcript of CERAI GHAIB MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN …
“ CERAI GHAIB MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN
1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM ( STUDI KASUS PUTUSAN
NOMOR 1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn )”
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam
Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
NISHKA SYLVIANA HARTOYO
NIM. 160200490
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan
anugerahNya, memberikan kekuatan serta kemudahan sehingga penulis dapat
menyelesaikan Skripsi ini dengan judul “CERAI GHAIB MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM
ISLAM (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 1831/PDT.G/2018/PA.MDN)”
sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi
S-1 Fakultas HukumUniversitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan yang berbahagia ini dengan segala kerendahan hati penulis
ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh bahan-
bahan yang diperlukan oleh peneliti selama proses penyusunan skripsi ini serta
yang telah memberikan dorongan dan dukungan moril maupun materil kepada
penulis sehingga skripsi dapat terselesaikan. Maka pada kesempatan yang
berbahagia ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera
Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. OK.Saidin, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ii
4. Puspa Melati, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
5. Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
6. Dr. Rosnidar Sembiring S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Bapak Dr. Edy Ikhsan S.H., MA, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah
meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran untuk memberikan masukan,
bimbingan, saran, nasihat, arahan, serta ilmu yang bermanfaat dalam
proses penelitian skripsi ini.
8. Ibu Dr. Utary Maharani Barus S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing
II, yang telah meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran untuk memberikan
masukan, bimbingan, saran, nasihat, arahan, serta ilmu yang bermanfaat
dalam proses penelitian skripsi ini.
9. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen
Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
10. Seluruh staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang
telah mengajar dan membimbing peneliti selama menempuh pendidikan
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
11. Seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan pelayanan administrasi yang baik selama proses akademik
peneliti di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iii
12. Terimakasih terkhususnya penulis ucapkan kepada kedua orangtua
tercinta yang telah memberikan dukungan, doa, cinta, dan kasih sayang
yang tak terhingga kepada penulis. Ayahanda T. Hedy Hartoyo dan
Ibunda Sari Rahayu Poluan. Terimakasih telah melahirkan, merawat,
membesarkan, mendukung, mendoakan setiap langkah dengan tulus
ikhlas dan penuh dengan kasih sayang. Terimakasih pak, bu semoga
kedepannya kika dapan memenuhi harapan bapak dan ibu.
13. Terimakasih kepada saudara/i kandung penulis, Gazza Mahardika
Hartoyo dan Mae Mayangsari Hartoyo yang telah memberikan semangat
dan dororngan baik dalam bentuk support dan perhatian kepada penulis
dalam proses pengerjaan skripsi.
14. Terimakasih kepada orang-orang teristimewa penulis, Rifany Arbita
Lubis, Dimpu Hamonangan Harahap, dan Hilbertus Sumplisius Marthin
Wau yang telah hadir dalam kehidupan penulis. Terimakasih atas
semangat, dukungan, bantuan, nasihat, motivasi, kasih sayang.
Terimakasih telah meluangkan waktu kalian mendampingi penulis
melewati hari-hari yang penuh kebahagiaan, maupun hari-hari tersulit
penulis. Terimakasih karena selalu ada.
15. Terimakasih kepada sahabat-sahabat penulis, Liza Mayana, Andri Pranata
Tarigan, Amelia Mutiara Panjaitan, Emia Rimtha Sembiring, T. Randy
Ardhansyah Kesuma, Riza Fadli, Firman Ali Idrus, Ikbar Anshary Sinaga
yang telah mendampingi penulis sejak pertamakali memasuki fakultas
hukum hingga menemani dan memberikan dukungan, semnagt, motivasi,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iv
dalam menyelesaikan skripsi ini serta mengisi hari-hari penulis dengan
penuh tawa.
16. Terimakasih kepada keluarga besar Ikatan Mahasiswa Perdata (IMP)
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2016.
17. Terimakasih kepada DADING, yaitu Surya UR Simanjuntak, Dimpu
Hamonangan Harahap, Rifany Arbita Lubis, Liza Mayana, Emia Rimtha
Sembiring, Cornelia Vivi, Ali Ridho, Andri Pranata Tarigan, yang
merupakan sahabat-sahabat pertama yang berjuang bersama dalam
memasuki dunia kampus sebagai mahasiswa baru.
18. Terimakasih kepada GAJE, yaitu Daffa R Ananda, Nabila Yasmin Fahira,
Taufik Hidayat Nst, Sofi Luthfia, Effan Djodie, Shafira Yunike, yang
merupakan sahabat dan support system penulis sejak SMA. Terimakasih
untuk mau meluangkan waktu bersama berbagi tawa dan bahagia.
19. Terimakasih kepada MEVVAH, yaitu Yuva Desia Putri, Shavira Bonita
Prasetyo, Kannia Nabila, Deya aliana, Dita Lubis, Maula Tazkiyah, Safira
Salsabila, sabahat-sahabat penulis sejak SMA, Terimakasih telah
mewarnai hidup menulis dengan tawa dan canda kita bersama.
20. Terimakasih kepada keluarga besar POLUAN-GINTING, kepada kak
aina, kak tari, kak nadia, kak rani, kak aul, kak riri, om, tante, uwak,
kakak,dan adik. Terimakasih banyak sudah memberikan doa dan
dorongan kepada penulis.
21. Terimakasih kepada sahabat penulis Shahnaz Yolandina dan Khathaya
Izzati Laila putri Herrys yang sudah penulis anggap saudari penulis.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
v
Terimakasih atas support dan dukungan sejak hari-hari pertama yang
diberikan kepada penulis.
22. Terimakasih kepada kakanda dan abangda senior, Kak Nadya Putri
Karoza, dan Bang Juangga Saputra Dalimunte yang tidak ada lelahnya
membimbing dan memberikan banyak ilmu, pengetahuan, dukungan dan
bantuan sejak hari pertama penulis memasuki dunia perkuliahan di
Fakultas Hukum USU.
23. Terimakasih kepada GROUP C FH USU 2016 yang menjadi keluarga
pertama bagi penulis di Fakultas Hukum USU, terimakasih atas
kebahagiaan dan cerita yang kita lalui bersama.
24. Terimakasih kepada rekan rekan klinis PTUN, PIDANA, PERDATA,
yang telah berjuang bersama penulis dalam melewati sulitnya perjuangan
sehingga mendapatkan nilai yang memuaskan tidak BS, we did it guys!
Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam skripsi ini masih terdapat
kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan perkembangan hukum di Indonesia.
Terimakasih.
Medan, Januari 2020
Penulis,
Nishka Sylviana Hartoyo
160200490
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 7
E. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 7
F. Metode Penelitian ........................................................................ 10
G. Keaslian Penulisan ...................................................................... 13
H. Sistematika Penulisan ................................................................. 16
BAB II PENGATURAN GUGATAN CERAI GHAIB MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM ............ 18
A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia ...... 18
B. Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ..................... 30
1. Tinjauan Umum Tentang Perceraian ..................................... 30
2. Sebab-Sebab Perceraian ......................................................... 46
3. Prosedur Perceraian ............................................................... 55
C. Cerai Ghaib Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ............ 60
1. Pengertian Cerai Ghaib ........................................................... 60
2. Pengaturan Hukum Cerai Ghaib ............................................. 62
BAB III AKIBAT HUKUM DARI CERAI GHAIB MENURUT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vii
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM ............ 65
A. Sebab Terjadinya Cerai Ghaib .................................................... 65
B. Syarat-Syarat Gugatan Cerai Ghaib ............................................ 66
C. Akibat Hukum Dari Cerai Ghaib ................................................ 68
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK
TERKAIT PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN
NOMOR 1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn ........................................... 71
A. Kasus Posisi ................................................................................ 71
B. Analisis Putusan Nomor 1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn Tentang
Cerai Ghaib ................................................................................ 89
C. Perlindungan Hukum Para Pihak Atas Putusan
Nomor 1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn Tentang Cerai Ghaib ............ 93
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 96
A. KESIMPULAN........................................................................... 96
B. SARAN ....................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 101
LAMPIRAN
SURAT RISET WAWANCARA
HASIL WAWANCARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
viii
ABSTRAK
Nishka Sylviana Hartoyo*
Edy Ikhsan**
Utary Maharani Barus***
Perkawinan merupakan salah satu bagian dari kebutuhan hidup yang ada
dalam masyarakat dan juga merupakan suatu ikatan yang sah dan diakui
masyarakat dan Negara. Tujuan dari perkawinan adalah untuk memperoleh
keturunan guna melanjutkan hidup bersama dalam rumah tangga yang sakinah,
mawadah, warohmah. Namun, pada kenyataannya banyak terjadi ketidakcocokan
yang terjadi antara suami dan istri dalam menjalankan rumah tangga, yang pada
akhirnya menyebabkan tidak tercapainya tujuan perkawinan yang berakhir pada
perceraian. Terdapat banyak faktor yang memicu terjadinya perceraian, salah
satunya menghilangnya salah satu pihak dengan meninggalkan pihak lainnya
tanpa memberikan kabar dalam jangka waktu yang lama dan mengakibatkan
ketidakjelsan terhadap status perkawinan yang ditinggalkan. Berdasarkan hal
tersebut penulis mengangkat judul skripsi; Cerai Ghaib Menurut Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam ( Studi Kasus Putusan Nomor
1831/Pdt.G/2018/Pa.Mdn).
Metode Penelitian ini menggunakan Metode Penelitian Yuridis Normatif.
PenelitianYuridis Normatif mengacu pada bahan hukum utama dengan cara
menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan penelitian ini dan putusan pengadilan nomor:
1831/Pdt.G/2018/Pa.Mdn.
Hasil penelitian, diperoleh bahwa dasar hukum mengenai cerai ghaib di
Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Sejalan
dengan UUP jo PP No. 9 Tahun 1975, KHI melalui pasal 45 tentang taklik talak
dan pasal 116 huruf b juga memuat ketentuang tentang sebab perceraian karena
salah satu pihak meninggalkan pasangannya selama 2 tahun berturut-turut yang
dapat digunakan sebagai dasar gugatan cerai ghaib. Cerai ghaib menimbulkan
akibat hukum berupa kepastian hukum terhadap status cerai terhadap pihak yang
ditinggalkan oleh salah satu pihak yang tidak diketahui keberadaannya yang
menyebabkan tidak jelasnya status perkawinan. Perlindungan hukum yang yang
dikeluarkan dalam putusan cerai ghaib berupa kekuatan status cerai yang
berkekuatan mutlak dan tidak dapat diganggu gugat, namun tidak memberikan
perlindungan hukum terhadap hak istri dalam perceraian berupa nafkah dalam
masa iddah dan terhadap hak hadhanah dan nafkah lahir bathin yang seharusnya
diperoleh anak dan menjadi kewajiban ayah tidak dapat terpenuhi dikarenakan
keberadaan suami yang ghaib atau tidak diketahui keberadaannya. Kata kunci: Perkawinan, Perceraian, Cerai Ghaib. *Mahasiswa, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
*** Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu bagian dari kebutuhan hidup yang ada
dalam masyarakat dan juga merupakan suatu ikatan yang sah dan diakui
masyarakat dan Negara. Perkawinan adalah tuntutan kodrat hidup yang tujuannya
antara lain adalah untuk memperoleh keturunan, guna melangsungkan kehidupan
bersama. Didalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan selanjutnya disebut UUP, dikatakan bahwa “perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”1. Ditegaskan dalam pengertian yuridis perkawinan
menurut pasal 2 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1999 tentang Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, yaitu “Perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau misaqon ghaliza untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Selanjutnya, menurut
pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.2 Dalam
kenyataannya, tujuan perkawinan tersebut tidak selamanya dapat tercapai.
Meskipun dari semua calon suami istri sudah penuh kehati-hatian dalam
1 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum
Adat Hukum Agama, (Bandung : CV Mandar Maju, 2007), hal 6. 2 Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hal 3.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
menjatuhkan pilihannnya sebelum melaksanakan perkawinan, tidak jarang dalam
suatu perkawinan yang sudah berjalan bertahun-tahun berakhir dengan perceraian.
Dalam Islam perkawinan merupakan suatu ikatan, dan ikatan itu harus
diupayakan terjalin secara utuh. Namun tidak demikian apabila secara manusiawi
ikatan perkawinan dalam keluarga itu menjadi mustahil untuk dipertahankan
dalam kurun waktu yang lama. Hanya dalam keadaan yang tidak dapat
dipertahankan itu sajalah perceraian diizinkan dalam syari’ah. Apabila keadaan ini
timbul, seseorang hendaknya mencamkan dalam hatinya bahwa perkawinan itu
dia telah membuat janji ikatan yang kuat (mitsaqan ghalizha). Dalam Pasal 38
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan :
“Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian;
b. Perceraian; dan
c. Atas keputusan Pengadilan.”
Terutama dalam kasus perceraian dapat terjadi karena adanya ikrar talak atau
berdasarkan gugatan perceraian.3
Menurut Abdul Ghofur Anshori, dalam kehidupan rumah tangga sering
dijumpai orang (suami istri) mengeluh dan mengadu kepada orang lain ataupun
kepada keluarganya, akibat tidak terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau
tidak dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau karena alasan lain,
yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan diantara keduanya (suami istri)
3 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003) ,
Cet Ke- 6, hal 274.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
tersebut. Tidak mustahil dari perselisihan itu akan berbuntut pada putusnya ikatan
perkawinan (perceraian).4 Perceraian menurut hukum agama Islam yang telah
dipositifkan dalam Pasal 38 UU No. 1 tahun 1974 dan telah dijabarkan dalam
Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 serta Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan (selanjutnya disingkat PP No.9 tahun 1975),
mencakup: pertama, “cerai talak”, yaitu perceraian yang diajukan permohonan
cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada Pengadilan Agama, yang dianggap
terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak saat perceraian itu
dinyatakan (diikrarkan) di depan sidang Pengadilan Agama; kedua, “cerai gugat”,
yaitu perceraian yang diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada
Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat
hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.5
Dewasa ini seiring dengan perkembangan zaman, yang menjadi penyebab
utama perceraian adalah ketidakcocokan pasangan suami istri satu sama lain,
hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Adapun yang menjadi faktor-
faktor penyebab terjadinya perceraian menurut Pasal 116 Kompilasi Hukum
Islam:
“Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ;
4 Muhammad Syaifuddin, dkk, Op.cit., hal 5.
5 Ibid., hal.7.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lebih dari 5 (lima) tahun
atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri;
f. Antara suami atau istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah
tangga;
g. Suami melanggar taklik talak;
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.”
Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 33 dinyatakan: “suami
isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan
lahir bathin yang satu dengan yang lain.” Undang-undang tersebut dengan jelas
menuntut pasangan suami istri untuk berprilaku dan bertindak seperti yang
disebutkan dalam Undang-undang, tetapi kemudian dalam hal pasangan sering
terjadi penyimpangan, sehingga perceraian sangat mungkin terjadi. Sebagai
contoh, seorang istri menginginkan putusnya perkawinan atau cerai karena suami
tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang kepala rumah tangga, sering
tidak pulang ke rumah tanpa memberikan kabar, dan tidak memberi nafkah baik
lahir maupun bathin dalam kurun waktu yang cukup lama.
Salah satu perceraian yang terjadi dalam masyarakat adalah cerai ghaib,
hukum Islam menganjurkan istri untuk mengajukan cerai gugat di pengadilan
seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam yang berhubungan dengan
suami hilang (ghaib/mafqud) dalam Pasal 116 huruf b menyatakan: “salah satu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5
pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain
dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.”6
Salah satu kasus cerai ghaib yang pernah terjadi di Pengadilan Agama Medan
Sumatera Utara adalah kasus perceraian antara seorang wanita berinisial LSH
yang berumur 42 tahun, yang mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan
Agama Medan kepada suaminya yang berinisial SHA berumur 34 tahun. Alasan
dari LSH mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama Medan karena
selama perkawinan antara SHA dan LSH yang berlangsung, banyak terjadi
perselisihan dan pertengkaran yang berujung pada Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) sehingga kedua belah pihak memutuskan untuk tinggal terpisah.
Sejak saat itu keberadaan dari SHA tidak diketahui oleh LSH, sehingga LSH
mengajukan gugatan cerai ghaib ke Pengadilan Agama Medan Sumatera Utara.
Kasus ini telah diputus pada tanggal 24 Juli 2019 di Pengadilan Agama Medan.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka menarik untuk dilakukan penelitian
dengan judul “Cerai Ghaib Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Nomor
1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn)”.
6 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika
Pressindo,1992), hal 141.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan penulis diatas, maka
permasalahan yang akan dikaji adalah :
1. Bagaimana Pengaturan Tentang Gugatan Cerai Ghaib Menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi
Hukum Islam ?
2. Bagaimana Akibat Hukum Dari Cerai Ghaib Menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam ?
3. Bagaimana Perlindungan Hukum Tergadap Para Pihak Terkait Dengan
Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn
Tentang Cerai Ghaib ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang muncul diatas, maka tujuan dari penelitian ini
ialah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan tentang gugatan cerai ghaib menurut
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam.
2. Untuk mengetahui akibat hukum dari cerai ghaib menurut Undang-undang
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap para pihak terkait dengan
putusan Pengadilan Agama medan Nomor 1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn
tentang cerai ghaib.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Secara Teoritis.
a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat serta memberikan
masukan sekaligus menambah kekayaan ilmu pengetahuan dan
literature dalam Hukum perkawinan, khususnya berkaitan dengan
pembahasan dalam masalah ini yang bertujuan untuk memberikan
kepastian hukum terhadap salah satu pihak yang ditinggalkan oleh
pasangannya tanpa adanya gugatan perceraian.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti-
peneliti lain dimasa mendatang yang bermaksud mengkaji hal yang
relevan dengan penelitian ini.
2. Manfaat Secara Praktis
a) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengatahuan kepada
masyarakat terkait dengan hukum perkawinan khususnya
perceraian yang dilakukan karena tidak diketahuinya keberadaan
salah satu pihak (Ghaib).
b) Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi
masyarakat khususnya pasangan suami istri yang status
perkawinannya tidak jelas akan keberadaan salah satu pihak.
E. Tinjauan pustaka
1. Pengertian perkawinan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
Menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa7.
Dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia berbunyi
“Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”8
2. Sebab-sebab putusnya perkawinan
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa
perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan
pengadilan (pasal 38). Perceraian hanya dapat dilakukan didepaan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak9
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Di
dalam penjelasan disebutkan adanya alasan-alasan yang dapat dijadikan
dasar untuk perceraian adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar dihilangkan;
7 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Karya Gemilang,
2007), hal 8. 8 Rusdi Malik, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta:
Universitas Trisakti,2010), Hal 12. 9 Hilman Hadikusuma, Op. cit., hal 150.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa ada alasan yang
sah atau karena hal lain diluar kemauannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan terhadap pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.10
3. Pengertian perceraian
Perceraian menurut Subekti adalah “penghapusan perkawinan dengan
putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu”. Jadi
pengertian perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan,
baik dengan putusan hakim atau tuntutan suami atau isteri.11
4. Pengertian Cerai ghaib
Seperti yang dijelaskan dalam laman Pengadilan Agama Malang Kelas
1A, Gugatan Cerai Ghoib adalah gugatan yang diajukan kepada
Pengadilan Agama oleh seorang istri untuk menggugat cerai suaminya, di
mana sampai dengan diajukannya gugatan tersebut, alamat
maupun keberadaan suaminya tidak jelas (tidak diketahui).12
10
Sudarso, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta,2005), hal 116. 11
Muhammad Syaifuddin, dkk, Op.cit, hal 20. 12
Dikutip dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt57ccddd31c9bf/arti-
gugatan-cerai-ghaib/, diakses pada hari kamis, 12 September 2019, pukul 17:22
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
F. Metode penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara untuk memecahkan masalah ataupun
cara mengembangkan ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah.
Menurut Sugiyono, metode penelitian adalah cara-cara ilimah untuk
mendaptkan data yang valid, dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan,
dan dibuktikan suatu pengetahuan tertentu, sehingga pada gilirannya dapat
digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah.13
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
yuridis normatif. Menurut Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif
yaitu penelitian hukum yang dilakukanya dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara
mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-
literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
Penelitian hukum normatif atau kepustakaan mencakup :
1) Penelitian terhadap asas-asas hukum
2) Penelitian terhadap sistematik hukum
3) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal
4) Perbandingan hukum
5) Sejarah hukum14
2. Sifat penelitian
Sifat penelitian yang diterapkan dalam penelitian hukum ini adalah
bersifat deskriptif analisis. Dalam penelitian deskriptif, analisis data tidak
13
Jonaedi effendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris,
(Depok: Prenadamedia Group, 2016), Hal 3. 14
Soerjono Soekanto dan Sri mamudji, penelitian hukum normatif (suatu tinjauan
singkat), (jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003), Hal 13-14.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
keluar dari lingkup sample. Bersifat deduktif, berdasarkan teori atau
konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang
seperangkat data, atau menujukkan komparasi atau sehubungan
seperangkat data dengan seperangkat data yang lain.15
3. Sumber data
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data
yang diperoleh seorang peneliti secara tidak langsung dari sumbernya
(objek penelitian), tetapi melalui sumber lain.16
Untuk memperoleh data
sekunder peneliti melakukan studi kepustakaan, yaitu penelitian terhadap
bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan ini, sebagai
referensi untuk menunjang keberhasilan penelitian. Sumber data peneliti
dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Bahan hukum primer
Bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan;
3) Kompilasi Hukum Islam / Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991;
4) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama;
5) Peraturan Perundang-undangan:
15
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2003), hal. 38.-39. 16 Ibid, hal 215.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
a. Undang-undang atau perpu;
b. Peraturan pemerintah;
c. Keputusan presiden;
d. Keputusan menteri;
b. Bahan hukum sekunder
Yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, misalnya rancangan undang-undang (RUU), rancangan
peraturan pemerintah (RPP), hasil penelitian (hukum), hasil karya
ilmiah (ilmiah) dari kalangan hukum, dan sebagainya. Bahan
hukum sekunder dalam penelitian ini berupa: Putusan Nomor
1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn, jurnal-jurnal tentang perkawinan,
perceraian, serta buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan
skripsi ini.
c. Bahan hukum tertier
Yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya: kamus-
kamus (hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya.
Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan
permasalahannya, maka kepustakaan yang dicari dan dipilih harus
relevan dan mutakhir.17
4. Teknik pengumpulan data
a. Studi Kepustakaan (Library Research).
17 Ibid, hal 117.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
Studi Kepustakaan yaitu pengkajian informasi tertulis mengenai
hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara
luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif. Studi
kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder yaitu
melakukan serangkaian kegiatan studi dokumentasi dengan cara
membaca dan mengutip literatur-literatur, mengkaji peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang
dibahas pada penelitian ini.
b. Penelitian Lapangan (Field research)
Pengumpulan data yang dilakukan dengan penelitian lapangan di
Pengadilan Agama Medan, Jalan Sisimangaraja No. Km 9,8 Timbang
Deli kecamatan Medan Amplas Kota Medan Sumatera Utara. Pada
penelitian lapangan ini akan dilakukan juga wawancara dengan
informan yaitu Hakim Pengadulan Agama Medan dan istri
(penggugat), dimana hasil wawancara akan digunakan untuk
mendukung data sekunder dalam penelitian ini.
G. Keaslian Penelitian
Skripsi ini berjudul tentang “CERAI GHAIB MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
(STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 1831/Pdt. G/2018/PA.Mdn)”. Judul ini
telah disetujui oleh Ketua Departemen Hukum Keperdataan dan Sekretaris
Departemen Hukum Keperdataan serta telah melalui tahap pengujian uji bersih di
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan tidak ada
ditemukan judul yang sama dengan judul penulis. Jika mengenai tentang
perceraian saja, namun substansi pembahasannya berbeda dikarenakan penelitian
ini lebih membahas dan meneliti tentang cerai ghaib. Tema diatas didasarkan pada
ide, gagasan, pemikiran, referensi, buku-buku dan pandangan pihak lain terhadap
studi putusan tentang cerai ghaib.
Adapun beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan
perceraian ghaib di Indonesia antara lain :
1. Diana Afrani (502012441) Universitas Muhammadiyah Palembang
Dasar Pertimbangan Hakim Dan Kekuatan Putusan Perceraian Secara
Ghaib Di Pengadilan Agama Palembang
Rumusan Masalah :
a. Peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum
tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
b. Putusan hakim, atau putusan pengadilan adalah pernyataan hakim
karena jabatannya diucapkan di persidangan yang terbuka untuk umum
dalam bentuk tertulis sebagai hasil dari pemeriksaan perkara perdata
yang dimaksudkan mengakhiri perkara.
c. Perceraian ialah putusnya ikatan perkawinan anatara seorang suami
dengan isterinya. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 113 Kompilasi
Hukum Islam, bahwa perkawinan dapat putus karena : a. kemtian, b.
perceraian, c. atas putusan pengadilan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
d. Perceraian secara ghaib adalah perceraian yang salah satu pihak suami
ataupun isteri yang tidak diketahui lagi keberadaannya lebih dari tiga
bulan.
e. Pengadilan Agama Palembang, adalah salah satu Pengadilan Agama
yang ada di propinsi Sumatera Selatan.
2. Mastur Hasin (C01304027) Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel
Putusan Hakim Tentang Suami Ghaib (Mafqud) Sebagai Alasan Cerai
Gugat Di Pengadilan Agama Kabupaten Malang (Putusan No.
0038/Pdt.G/2008/PA.Kab.Mlg)
Rumusan Masalah :
a. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perceraian diluar
gugatan yang digugat di Pengadilan Agama Kabupaten Malang ?
b. Bagaimana analisa putusan hakim terhadap perceraian akibat suami
mafqud di Pengadilan Agama kabupaten Malang ?
Walaupun penulisan skripsi ini memiliki sedikit kesamaan dengan beberapa
skripsi yang telah disebutkan diatas, tetapi substansi yang dibahas dalam ketiga
penulisan diatas tersebut adalah berbeda pembahasannya dengan pembahasan
dalam penulisan ini. Permasalahan dan pembahasan yang diangkat dalam
penulisan ini merupakan hasil pemikiran sendiri dan juga karena referensi dari
buku-buku serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perkawinan dan perceraian. Oleh karena itu penulisan ini adalah asli adanya, dapat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
dipertanggungjawabkan keasliannya karena belum ada yang membuat penulisan
yang sama dengan judul ini.
H. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini membahas mengenai Latar Belakang Penulisan
Skripsi, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
metode penulisan, Keaslian Penulisan dan Sistematika Penulisan.
BAB II PENGATURAN GUGATAN CERAI GHAIB MENURUT
UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
Bab ini membahas tentang pengertian/definisi perceraian menurut
UU perkawinan dan KHI, sebab-sebab perceraian menurut KHI,
prosedur perceraian, pengertian/ definisi cerai ghaib, serta
pengaturan dari cerai ghaib tersebut.
BAB III AKIBAT HUKUM DARI CERAI GHAIB MENURUT
UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
Dalam bab ini membahas mengenai akibat hukum dari cerai ghaib
menurut Undang-undang Perkawinan dan KHI, sebab terjadinya
cerai ghaib, serta syarat-syarat terjadinya cerai ghaib.
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK
TERKAIT PUTUSAN PENGADILAN NOMOR
1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn
Dalam bab ini membahas tentang posisi kasus putusan nomor
1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn, analasis dari putusan nomor
1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn, serta perlindungan hukum bagi para
pihak atas kasus putusan nomor 1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab terakhir ini akan memberikan pemahaman kepada
pembaca yang berisikan mengenai kesimpulan dan saran dari bab-
bab sebelumnya yang mungkin akan berguna dan dapat
dipergunakan untuk menyempurnakan penelitian skripsi ini untuk
kedepannya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
BAB II
PENGATURAN GUGATAN CERAI GHAIB MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perkawinan Di Indonesia
1. Pengertian Perkawinan
Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 selanjutnya disebut UUP, yang berlaku di Indonesia terdapat pada
pasal 1, yakni:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan:18
Pertama: digunakan kata “seorang pria dengan seorang wanita”
mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antar jenis kelamin yang
berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesame jenis yang waktu ini telah di
legalkan oleh beberapa negara Barat.
Kedua: digunakan ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa
perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu
rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.
18
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2009), hal. 40.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
Ketiga: dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan, yaitu
membentuk rumah tangga yang bahagia, dan kekal yang menafikan sekaligus
perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut‟ah dan
perkawinan tahlil.
Keempat: disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan
dilakukan umtuk memenuhi perintah agama.
Di samping definisi yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tersebut diatas, Kompilsai Hukum Islam di Indonesia memberikan definisi
lain yang tidak mengurangi arti yang terdapat didalam Undang-undang
perkawinan tersebut, namun bersifat menambah penjelasan, dengan rumusan yang
terdapat didalam pasal 2 KHI sebagai berikut :
“ Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”.
Ungkapan akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan merupakan
penjelasan ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan UU
perkawinan yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata
perjanjian yang bersifat keperdataan.19
Ungkapan untuk menaati perintah Allah dan melaksanaksanakannya
merupakan ibadah, merpakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan KeTuhanan
19
Ibid, hal. 40.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
Yang Maha Esa” dalam UUP. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi
umat Islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang
melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.20
2. Rukun dan Syarat Perkawinan
A. Syarat sahnya perkawinan
Undang-undang secara lengkap mengatur syarat sahnya perkawinan baik
yang menyangkut orangnya, kelengkapan administrasi, prosedur pelaksanaannya,
dan mekanismenya. Adapun syarat-syarat yang lebih di titik beratkan kepada
orangnya diatur di dalam undang-undang sebagai berikut:21
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur
21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak maka izin
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orangtua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup
dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat-pendapat antara orang-orang yang
disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan
dalam daereah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3
dan 4 pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
20
Ibid, hal 41. 21
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 6.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 6 Undang-undang Perkawinan di mana
ayat 1 dalam pasal ini memerlukan penjelasan yaitu: oleh karena perkawinan
mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal
dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus
disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa
ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti
mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang
sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
dalam Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-
undang ini. Disamping itu undang-undang juga mengatur tentang persyaratan
umur minimal bagi calon suami dan calon isteri serta beberapa alternatif lain
untuk mendapatkan jalan keluar apabila ketentuan umur minimal tersebut belum
terpenuhi. Dalam hal ini Undang-undang mengatur sebagai berikut:22
1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam
belas) tahun. Namun setelah lahirnya Undang-undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, ketentuan tentang batas usia perkawinan menjadi
19 (Sembilan belas) tahun sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 7
ayat (1):
“Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.”
2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini tidak dapat meminta
dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang
tua tersebut dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 Undang-undang ini, berlaku
juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan
tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat 6.
22
Sudarsono, Op.Cit , hal. 41.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
Ketentuan ini diatur didalam Pasal 7 Undang-undang Perkawinan yang
secara otentik pasal ini masih mendapat beberapa penjalasan bahwa: untuk
menjaga kesehatan suami isteri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur
untuk perkawinan.
Selain syarat sah perkawinan yang diatur dalam UUP, KHI juga memuat
ketentuan tentang rukun dan syarat sah perkawinan yang khusus berlaku bagi
orang islam di Indonesia. Menurut Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan
bahwa :
“perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai
dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan”
Lebih lanjut dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam disebutkan pula
bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan agar terjamin ketertiban perkawinan.
Dan dalam Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan yang
dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatatan pernikahan tidak mempunyai
ketentuan hukum.
B. Rukun Perkawinan.
Menurut bahasa rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
pekerjaan. Secara istilah, rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau
tidaknya suatu perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu.23
23
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010),
hal. 45.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
Adapun rukun yang harus dipenuhi untuk melangsungkan pernikahan
terdiri dari: (1). Calon suami dan calon istri, (3). Ijab qabul, (4). Wali, (5). Saksi.24
1. Calon suami dan calon istri
Seorang calon suami yang akan menikah harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Bukan mahram dari calon istri
b. Tidak terpaksa (atas kemauan sendiri)
c. Jelas orangnya
d. Tidak sedang ihram haji
Bagi calon istri yang akan menikah juga harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Tidak bersuami
b. Bukan mahram
c. Tidak dalam masa iddah
d. Merdeka (atas kemauan sendiri)
e. Jelas orangnya
f. Tidak sedang ihram haji
2. Ijab qabul
Ijab adalah sesuatu yang diucapkan oleh wali, sedangkan qabul ialah
sesuatu yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua
orang saksi. Ijab qabul hendaknya menggunakan bahasa yang dapat dimengerti
24
H.S.A Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka
Amani, 2011), hal 69.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
oleh orang yang melakukan akad. Sighat hendaknya mempergunakan ucapan
yang menunjukkan waktu lampau, atau salah seorang mempergunakan kalimat
yang menunjukkan waktu lampau sedang lainnya yang menunjukknan waktu
yang akan datang.
Mempelai laki-laki dapat meminta kepada wali pengantin perempuan:
“kawinkanlah saya dengan anak perempuan bapak.” Kemudian wali menjawab:
“saya kawinkan dia (anak perempuannya) dengan mu.” Permintaan dan jawaban
itu sudah membuahkan perkawinan.
3. Wali
Wali adalah pihak yang memberikan izin terhadap berlangsungnya akad
nikah antara laki-laki dan perempuan. Wali nikah hanya ditetapkan bagi pihak
pengantin perempuan. Untuk menjadi seorang wali dalam sebuah pernikahan,
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Laki-laki
b. Dewasa
c. Waras akalnya
d. Tidak dipaksa
e. Adil
f. Tidak sedang ihram haji
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
Menurut hukum perkawinan islam, wali ada tiga yaitu:25
(1) Wali mujbir, dalam hal ini mujbir adalah wali nikah yang mempunyai hak
memaksa anak gadisnya menikah dengan seorang laki-laki dalam batas-
batas wajar. Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis
keturunan keatas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang
termasuk dalam wali mujbir ialah ayah dan seterusnya keatas menurut
garis patrineal. Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa
persetujuan putrinya apabila hal tersebut dipandang demi kebaikan
putrinya. Disamping itu, kekuasaan wali mujbir menjadi hilang apabila
putrinya telah janda.
(2) Wali nasab, dalam hal ini wali nasab adalah wali nikah yang memiliki
hubungan keluarga dengan pengantin perempuan.
(3) Wali hakim, dalam hal ini wali hakim adalah wali yang ditunjuk dengan
kesepakatan kedua pihak (calon suami-istri).
4. Saksi
Ketentuan saksi di dalam pernikahan harus dua orang. Dua orang saksi
tersebut diatur dalam hukum islam. Syarat-syarat saksi adalah:
a. Laki-laki
b. Baligh
c. Waras akalnya
d. Adil
25 Sudarsono, Op.Cit , hal. 51.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
e. Dapat mendengar dan melihat
f. Bebas (tidak dipaksa)
g. Tidak sedang ihran haji
h. Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul
Di dalam hukum islam, perkawinan tidak sah jika tidak dilaksanakan oleh
wali dan saksi, sebagaimana hadist nabi mengatakan “Tidak sah nikah kecuali
dengan wali dan dua saksi yang adil.”26
3. Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia
Indonesia sebagai Negara hukum memiliki ketentuan yang mengatur warga
Negara dalam berbagai hal, salah satunya ialah perkawinan yang merupakan
perbuatan hukum. Dalam melaksanakan perkawinan maka setiap warga Negara
harus tunduk pada aturan dasar perkwanian yang telah ada ketetapannya.
Tujuannya ialah agar perkawinan yang dilaksanakan tersebut dianggap sah dan
memiliki kekuatan hukum yang mengikat sesuai dengan aturan yang ada.
Dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini antara lain
adalah:27
a. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
b. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
26
Ibid, hal. 52. 27
P.N.H Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: PB Gadjah
Mada, 1999), hal. 37.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
27
c. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang perubahan dan
Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Ijin
Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
e. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia (pasal 1-170 KHI).
4. Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Adapun yang dimaksud dengan hak disini adalah apa-apa yang diterima
oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban
adalah apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain. Dalam hubungan
suami isteri dalam rumah tangga, suami mempunyai hak dan begitu pula istri
mempunyai hak. Di balik itu suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu
pula istri mempunyai beberapa kewajiban.28
Hak dan kewajiban suami istri diatur secara tuntas dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam satu bab yaitu bab VI Pasal 30-
Pasal 34. Dalam Pasal 30 menyebutkan bahwa “Suami isteri memikul kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari
susunan masyarakat”. Selain dalam pasal 30, hak dan kewajiban suami istri di
jabarkan dalam pasal 31-34 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yaitu:
28 Amir Syarifuddin, Op.cit, hal 159.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28
Pasal 31 UUP memuat asas kemitraan/ kesetaraan antara suami dan istri
dalam perkawinan, hal ini dapat dilihat pada bunyi pasal sebagai berikut :
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Selanjutnya pada pasal 32, 33, dan 34 UUP diatur lebih lanjut tentang Hak
dan Kewajiban Suami dan Istri, yakni :
Pasal 32 :
(1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini
ditentukan okeh suami istri bersama
Pasal 33:
“Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.”
Pasal 34:
(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Selain dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, mengenai hak dan
kewajiban suami istri juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 77-
79, yaitu:
Pasal 77:
(1) Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar
dari susunan masyarakat.
(2) Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
(3) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-
anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
(4) Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
(5) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
Pasal 78:
(1) Suami istri harus mempunyai kediaman yang tetap.
(2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentukan oleh suami
istri bersama.
Pasal 79:
(1) Suami adalah kepala keluarga, dan istri ibu rumah tangga.
(2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
(3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Dalam Kompilasi Hukum Islam menyebutkan pula kewajiban suami dan istri
yaitu:
a. Kewajiban suami
Pasal 80:
(1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan
tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami istri bersama.
(2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3) Suami wajib memberikan perlindungan agama kepada istrinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.
(4) Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi
istri dan anak.
c. Biaya pendidikan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf
a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari
istrinya.
(6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud pada ayat (5) gugur apabila
istri nusyuz.
b. Kewajiban istri
Pasal 83:
(1) Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan bathin
kepada suami didalam batas-batas yang dibenarkan dalam hukum
islam.
(2) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-
hari dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
(1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali
dengan alasan yang sah.
(2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut
pada Pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk
kepentingan anaknya.
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali sesudah
istri tidak nusyuz.
(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus
didasarkan pada bukti yang sah.
Berdasarkan ketentuan tentang hak dan kewajiban baik menurut Undang-
undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, maka baik suami maupun istri
telah ada ketapan yang mengaturnya dalam Peraturan Perundang-undangan. Lebih
lanjut bahwa apabila baik suami maupun istri melakukan pelanggaran terhadap
hak dan kewajiban yang diatur, maka ketentuan tersebut dapat dijadikan suatu
dasar yang jelas untuk menuntut hak dan kewajiban yang dimiliki oleh suami
maupun istri.
B. Perceraian menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
1. Tinjauan Umum Tentang Perceraian
a. Pengertian Perceraian
Kata “cerai” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti v (kata kerja),
1. Pisah; 2. Putus hubungan sebagai suami istri; talak. Kemudian, kata
“perceraian” mengandung arti: n (kata benda), 1. Perpisahan; 2. Perihal bercerai
(antara suami istri); perpecahan. Adapun kata “bercerai” berarti: v (kata kerja), 1.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
Tidak bercampur (berhubungan, besatu, dsb.) lagi; 2. Berhenti berlaki-bini
(suami-istri).29
Istilah “perceraian” terdapat dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 yang memuat ketentuan fakultatif bahwa “perkawinan dapat putus
karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan”.30
Istilah perceraian
menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai aturan hukum positif
tentang perceraian menunjukkan adanya:31
a. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk memutus
hubungan perkawinan diantara mereka;
b. Peristiwa hukum yang memutuskan hubungan suami dan istri, yaitu
kematian suami atau istri yang bersangkutan, yang merupakan ketentuan
yang pasti dan langsung diterapkan oleh Tuhan yang Maha Kuasa;
c. Putusan hakim yang dinyatakan oleh pengadilan yang berakibat hukum
putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri.
Perceraian menurut pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah
“putusnya perkawinan”. Adapun yang dimaksud dengan perkawinan adalah
menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah “ikatan lahir
batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi, perceraian ialah putusnya
ikatan lahir batin antara suami dan istri yang mengakibatkan berakhinya
hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan istri tersebut.32
29
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hal. 185. 30
Muhammad Syaifuddin, dkk, Op.cit., hal. 15 31
Ibid, hal. 16. 32
Ibid, hal. 18.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
Pengertian perceraian dapat dijelaskan dari beberapa perspektif hukum
berikut:33
a. Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal 38
dan Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan
dalam PP Nomor 9 Tahun 1975, mencakup antara lain sebagai berikut:
1) Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan
permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada Pengadilan
Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat
hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan (diikrarkan) di depan
sidang Pengadilan Agama (vide Pasal 20 sampai dengan Pasal 18 PP
Nomor 9 Tahun 1975).
2) Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang
diajukan gugatan cerai nya oleh dan atas inisiatif istri kepada
Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala
akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap (vide Pasal 20 sampai dengan
Pasal 36).
b. Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah pula
dipositifkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dijabarkan
dalam PP No. 9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang gugatan cerainya
diajukan oleh dan atas inisiatif suami atau istri kepada Pengadilan Negri,
yang dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak saat
pendaftarannya pada daftar pencatatan oleh Pegawai Pencatatan di Kantor
Catatan Sipil (vide Pasal 20 dan Pasal 34 ayat (2) PP Nomor 9 Tahun
1975).
Perceraian menurut Subekti adalah “penghapusan perkawinan dengan
putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu”.34
Jadi,
pengertian perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan baik
dengan putusan hakim atau tuntutan suami istri. Dengan adanya perceraian,
maka perkawinan antara suami dan istri menjadi hapus. Namun, Subekti tidak
menyatakan pengertian perceraian sebagai penghapusan perkawinan itu
dengan kematian atau yang lazim disebut dengan istilah “cerai mati”.35
33
Ibid, hal. 19. 34
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Internusa, 1985), hal. 42. 35 Muhammad Syaifuddin, dkk, Op.cit., hal. 20.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
Prinsipnya, seorang pria dan wanita mengikat lahir batinnya dalam suatu
perkawinan sebagai suami istri mempunyai hak untuk memutuskan
perkawinan tersebut dengan cara perceraian berdasarkan hukum perceraian
yang berlaku. Namun, suami istri yang akan melakukan perceraian harus
mempunyai alasan-alasan hukum tertentu dan perceraian harus didepan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974:36
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami
istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
(3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan
perundang-undangan itu sendiri.
Kompilasi Hukum Islam Pasal 114 menyebutkan “putusnya perkawinan
yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan
gugatan perceraian”. Selanjutnya, dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam
diebutkan “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama
setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak”. Berdasarkan Pasal tersebut maka yang dimaksud dengan
perceraian perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah proses pengucapan
ikrar talak yang harus dilakukan di depan persidangan dan disaksikan oleh para
hakim Pengadilan Agama. Apabila pengucapan ikrar talak itu dilakukan di luar
persidangan, maka talak tersebut merupakan talak liar yang dianggap tidak sah
dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
36 Ibid, hal. 7.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
b. Asas-asas Hukum Perceraian
Keberadaan asas hukum adalah conditio sine quanon bagi norma hukum,
karena mengandung nilai-nilai moral dan etis, yang mengarahkan pembentukan
hukum yang memenuhi nilai-nilai filosofis berintikan rasa keadilan dan
kebenaran, nilai-nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku
di masyarakat, serta nilai-nilai yuridis yang sesuai dengan hukum yang berlaku.
Memperhatikan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa asas hukum
adalah sebagai berikut:37
a. Refleksi dari kandungan nilai-nilai moral dan tuntutan etis dalam semangat
kebenaran dan keadilan yang mengkarakterisasi hukum itu hidup, tumbuh
dan berkembang dalam ranah masyarakat.
b. Dasar dan tumpuan yang luas, abstrak dan umum, tetapi essensial bagi
aturan hukum positif untuk mengatur perbuatan atau peristiwa hukum
secara konkret.
c. Alasan-alasan pembenar hukum yang rasional (ratio legis) bagi bentuk, isi
sifat dan tujuan norma-norma dalam aturan hukum positif yang diterapkan
dalam praktik.
Dengan pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ini jelas-jelas
diperuntukan bagi warga negara Indonesia untuk menjadi keluarga tentram dan
bahagia, juga bertujuan untuk mengubah tatanan aturan yang telah ada dengan
aturan baru yang menjamin cita-cita luhur dari perkawinan melalui 6 (enam) asas/
prinsip yang dominan berikut:
1. Asas sukarela. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal. Untuk itu, suami istri perlu saling membantu dan
melengkapin agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya
membantu dam mencapai kesejahteraan spiritual ddan material.
2. Asas partisipasi keluarga dan dicatat. Perkawinan merupakan peristiwa
penting, maka partisipasi orang tua diperlukan terutama dalam hal
pemberian izin sebagai perwujudan pemeliharaan garis keturunan
keluarga. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama
37 Ibid, hal. 30.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
dan kepercayaannya masing-masing, juga harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Asas monogami. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya
apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama
dari yang bersangkutan mengizinkan suami dapat beristri lebih dari
seorng. Dengan kata lain, Undang-undangg Nomor 1 Tahun 1974
mengandung asas mempersulit poligami. Khusus bagi Pegawai Negri Sipil
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983.
4. Asas perceraian dipersulit. Karena tujuan perkawinan adalah untuk
membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, maka
mempersulit terjadinya perceraian dikedepankan. Perceraian merupakan
perbuatan halal yang dibenci Allah. Kalaupun pintu perceraian ini dibuka
bagi orang Islam dibuka itu hanya kecil saja, karena imbas negatif dari
perceraian ini begitu banyak selain pada anak hasil perkawinan juga secara
umum berdampak pada masyarakat.
5. Asas kematangan calon mempelai. Calon suami istri harus sudah masak
jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berpikir pada
perceraian.
6. Asas memperbaiki derajat kaum wanita. Hak dan kedudukan istri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah
tangga maupun pergaulan masyarakat.38
Memperhatikan asas-asas hukum perkawinan dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, dapat ditemukan dan dikembangkan beberapa
asas hukum perceraian berikut:
1. Asas mempersukar proses hukum perceraian.
Menurut Abdul Kadir Muhammad, Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 pada dasarnya mempersukar terjadinya perceraian, dengan
alasan karena:39
a. Perkawinan itu tujuannya suci dan mulia, sedangkan perceraian adalah
perbuatan yang dibenci oleh Tuhan;
b. Untuk membatasi kesewenang-wenangan suami terhadap istri;
c. Untuk mengangkat derajat dan martabat istri (wanita), sehingga setaraf
dengan derajat dan martabat suami.
38 Ibid, hal. 36. 39 Ibid, hal. 38.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
Asas mempersukar proses hukum perceraian terkandung dalam
pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 yang
mengharuskan hakim di depan sidang pengadilan untuk mendamaikan
suami dan istri, sehingga menandakan bahwa Undang-undangan ini pun
memandang suatu perkawinan sebaiknya harus tetap dipertahankan. Rasio
hukum dari pasal ini ialah bahwa mungkin saja telah ada alasan-alasan
hukum perceraian, tetapi dengan adanya perdamaian ini, sudah disetujui
oleh suami atau istri, sehingga tidak dapat dipergunakan lagi sebagai
alasan hukum perceraian.
Sifat mempersukar proses hukum perceraian dalam alasan-alasan
hukum perceraian juga diperkuat dengan keharusan hakim di depan sidang
pengadilan untuk memeriksa kebenaran dari alasan-alasan hukum
perceraian tersebut, sehingga tidak cukup hanya bersandar pada adanya
pengakuan belaka dari pihak yang dituduh melakukan kesalahan.40
2. Asas kepastian pranata dan kelembagaan hukum perceraian.
Asas kepastian pranata dan kelembagaan hukum perceraian
mengandung arti asas hukum dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
yang meletakkan peraturan perundang-undangan sebagai pranata hukum
dan pengadilan sebagai lembaga hukum yang dilibatkan dalam proses
hukum perceraian.
40
Ibid, hal. 39.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
Tujuan paling hakiki dari keberadaan peraturan perundang-
undangan, yang menurut Titon Slamet Kurnia, adalah untuk menciptakan
kepastian hukum. Namun, hal ini tidak boleh dipahami dengan pengertian
bahwa hukum tidak pasti tanpa adanya peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan penting untuk menciptakan kepastian
hukum, karena peraturan perundang-undangan dapat dibaca, dapat
dimengerti dengan cara lebih mudah, sehingga sekiurang-kurangnya, dapat
menghindarkan spekulasi di antara subjek hukum tentang apa yang harus
dilakukan atau tidak dilakukan, tentang apa yang boleh dilakukan dan
tidak boleh dilakukan, tentang apa yang merupakan hak dan kewajiban.41
3. Asas perlindungan hukum yang seimbang selama dan setelah proses
hukum perceraian.
Asas perlindungan hukum yang seimbang selama dan setelah
proses hukum perceraian diciptakan sehubungan dengan tujuan hukum
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 untuk melindungi istri (wanita) dari
kesewenang-wenangan suami (pria). Sebaliknya, tujuan hukum Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 juga untuk melindungi suami (pria) dari
kesewenang-wenangan istri (wanita) yang berakibat menurunnya marwah
(harkat dan martabat kemanusiaan) suami (pria). Jadi, yang dilindungi
secara seimbang oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah pihak
41 Ibid, hal. 40.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
yang lemah baik istri (wanita) maupun suami (pria) yang menderita akibat
kesewenang-wenangan sebagai wujud kekerasan dalam rumah tangga.42
C. Bentuk-bentuk perceraian
Bentuk-bentuk perceraian yang mengakibatkan putusnya perkawinan yang
diatur dalam hukum Islam, yang dapat menjadi alasan-alasan hukum
perceraiannya dan bermuara pada cerai talak dan cerai gugat yang telah diatur
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 1 Tahun 1975, dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Talak
Secara etimologis, talak mempunyai arti membuka ikatan, melepaskannya,
dan menceraikan. Secara terminologis, menurut Abdul Rahman al-jaziri, talak
adalah melepaskan ikatan (hall al-qaid) atau bisa juga disebut mengurangi
pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan.
Menurut Sayid Sabiq, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan dan
mengakhiri hubungan suami istri. Menurut Ibrahim Muhammad al-jamal,
talak adalah memutuskan tali perkawinan yang sah, baik seketika atau dimasa
mendatang oleh pihak suami dengan menggunakan kata-kata tertentu atau cara
lain yang menggantikan kedudukan kata-kata tersebut43
42
Ibid, hal. 47. 43 Mardani, hukum keluarga islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2016), hal. 145.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
Talak terbagi atas beberpa macam, dintaranya adalah macam-macam talak
ditinjau dari segi waktu menjatuhkan talak, yaitu44
:
1. Talak sunnah, ialah talak yang dibolehkan atau sunnah hukumnya,
yang diucapkan 1 kali dan istri belum digauli ketika suci dari haidh.
Jika talak yang diucapkan berturut-turut sebanya tiga kali pada waktu
yang berbeda dan istri dalam keadaan suci dari haidh itu. Dua kali dari
talak itu telah dirujuk, sedangkan yang ketiga kalinya tidak dapat
dirujuk lagi.
2. Talak bid‟ah, ialah talak yang dilarang atau haram hukumnya, yang
talaknya dijatuhkan ketika istri dalam keadaan haidh, juga talak yang
dijatuhkan ketika istri suci dari haidh, lalu disetubuhi oleh suami.
Tergolong bid‟ah jika suami menjatuhkan talak tiga sekaligus pada
satu waktu. Adapun talak satu diiringi pernyataan tidak dapat rujuk
lagi tergolong talak bid‟ah. Jika suami menjatuhkan talak dalam
waktu/keadaan/kondisi tersebut, maka talaknya tetap jatuh dan suami
sendiri yang beerdosa, karena ia melakukan perbuatan yang dilarang
syariat islam.
Selanjutnya, macam-macam talak ditinjau dari segi jumlah penjatuhan
talak juga terdiri dari dua macam talak, yaitu sebagai berikut:45
1. Talak raj‟i, ialah talak yang dijatuhkan satu kali oleh suami, dan suami
dapat rujuk kembali kepada istri yang telah ditalak tadi. Dalam syariat
44
Muhammad Syaifuddin, dkk, Op.cit., hal 123. 45 Ibid, hal. 124.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
islam, talak raj‟i terdiri dari beberapa bentuk, antara lain: talak satu,
talak dua dengan menggunakan pembayaran tersebut (iwadl). Akan
tetapi, dapat pula terjadi suatu talak raj‟i yang berupa talak satu, talak
dua dengan tidak menggunakan iwadl juga istri belum diaguli.
2. Talak ba‟in, ialah talak yang terjadi sehubungan dengan adanya
syiqaq. Yang mengarahkan suami istri mendatangkan hakim dan
keluarga masing-masing sebagai juru damai sesuai dengan surah An-
Nisa ayat 35. Seandainya terjadi penjatuhan talak ba‟in kubro oleh
seorang suami, maka dalam hal ini suami tidak diizinkan lagi untuk
rujuk dan atau kawin lagi dengan istri yang telah ditalaknya. Talak
ba‟in kubro terdiri dari beberapa macam, yaitu karena li‟an (menuduh
zina). Jika perceraian terjadi karena tuduhan zina/li‟an, maka suami
istri untuk selama-lamanya tidak boleh kawin lagi. Talak ba‟in dapat
pula terjadi karena penjatuhan talak yang ketiga kalinya. Apabila hal
ini terjadi, maka suami tidak dapat kembali.
2. Syiqaq
Suatu perselisihan yang telah terjadi demikian hebat anatara suami istri,
keadaan mana dapat menimbulkan kesulitan dan penderitaan terutama kepada
istri, karena jalan untuk bercerai baik dengan ta‟lik thalaq maupun dengan
fasakh tertutup, maka persoalan tersebut diselesaikan melalui jalan syiqaq.
Lemaga syiqaq termaktub dalam Al-Qur an, yaitu:
Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya maka kirimlah
seorang dalam seorang hakim (juru damai dari keluarga laki-laki dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
seorang hakim dari keluarga perempuan). Jika kedua hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberikan taufiq kepada suami
istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mengenal.46
Menurut ayat ini bahwa lembaga syiqaq harus ada dua orang hakam
(hakamain) yaitu seorang dari pihak keluarga “laki-laki dan seorang dari
pihak keluarga perempuan, tetapi telah timbul dua pendapat yang masing-
masing memberi arti yang lain kepada istilah hakam”. Menurut pendapat
pertama, “Hakam itu hanya wakil dari suami dan wakil dari istri; mereka
hanya dapat memberi nasihat kepada suami istri yang hidup berselisih itu
supaya berdamai, atau kalau daya upaya ini ternyata tidak berhasil,
menceraikan mereka, akan tetapi kalau salah satu pihak tidak mufakat,
paham-paham itu tidak bisa berbuat apa-apa.” Ini adalah pendapat Hanafi dan
satu riwayat dari Hambali dan salah satu dari kata Syafe’i. Tetapi menurut
pendapat yang kedua, “Hakam itu mempunyai kekuasaan seperti hakim;
kalau nasihatnya tidak berhasil mereka dapat memberi keputusannya, bahkan
boleh menceraikan mereka biarpun salah satunya tidak setuju.47
Hakam bertugas menyelesaikan masalah demi kelangsungan perkawinan
atau memutuskan apakah perceraian harus dilakukan. Hakam sebaiknya dari
keluarga suami istri, kalau tidak ada boleh mengambil dari pihak luar. Kedua
hakam harus mengetahui sebab perselisihan suami istri, suami istri harus
mendamaikan. Apabila sengketa itu datang dari suami istri atau dari salah
satunya, maka hakam menceraikannya dengan thalaq ba‟in. kalau sengketa
46
Al-Qur an: 35, S. 4 (An-Nisa) 47
Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, ( Jakarta: Ghalia Indonesia,
1982), hal 71.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
datang dari pihak istri, maka keduanya dipisahkan bukan dengan thalaq tetapi
dengan khulu‟ (tebusan). Apabila kedua hakam belum mendapatkan kata
sepakat, maka hakim memerintahkan kepada kedua hakam tersebut untuk
mengulangi penyelidikannya. Kalau tetap tidak sependapat, maka hakim
mengangkat hakam lain. Hakam berkewajiban menyampaikan pendapatnya
kepada hakim yang memeriksa perkaranya dan hakim wajib menjalankan
keputusan kedua hakam tersebut.48
Tugas dan syarat-syarat orang yang boleh diangkat menjadi hakam
menurut Syekh Abdul Aziz Al Khuli yang dikutip dari Kamal Muchtar
adalah49
:
a. Berlaku adil di antara pihak yang berperkara;
b. Dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan suami istri itu;
c. Kedua hakam itu disegani oleh kedua pihak suami istri;
d. Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya/dirugikan apabila pihak yang
lain tidak mau berdamai.
3. Khulu‟
Khulu‟ artinya melepas, dari asal kata Khal‟uts tsaub, melepas pakaian
karena perempuan adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian
perempuan. Khulu‟ juga disebut tebusan, karena perempuan yang
mengajukan khulu‟ menebus dirinya dengan sesuatu, diberikan kepada
suaminya supaya diceraikan. Para fuqaha memberikan definisi khulu‟ yaitu:
perceraian laki-laki atas istrinya dengan tebusan disebut khulu‟. Dalam hadist
Ibnu Abbas diterangkan, ada seseorang perempuann yang sebenarnya tidak
48
H.S.A Al-Hamdani, Op.cit, hal 257. 49 Kamal Muchtar dalam Muhammad Syaifuddin, dkk, Op.cit, hal. 130.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
43
menghendaki perceraian, bukan karena suami jelek akhlaknya atau tidak baik
agamanya, tetapi istri tidak suka dengan tampang muka suaminya, istri
enggan melakukan kewajiban terhadap suaminya. Islam memperbolehkan
seorang perempuan memutuskan ikatan perkawinannya dengan jalan khulu‟,
dengan memberikan kembali kepada suami apa yang pernah diberikan suami
kepadanya untuk memutuskan perkawinannya.50
4. Fasakh
Secara etimologi, fasakh berarti membatalkan. Apabila dihubungkan
dengan perkawinan fasakh berarti membatalkan perkawinan atau merusakkan
perkawinan. Kemudian, secara terminologis fasakh bermakna pembatalan
ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau
suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan
yang telah terlanjur menyalahi hukuk pernikahan. Hukum pelaksanaan fasakh
pada dasarnya adalah mubah atau boleh, yakni tidak disuruh dan tidak pula
dilarang. Namun, bila melihat kepada keadaan dan bentuk tertentu,
hukumnya bisa bergeser menjadi wajib, misalnya jika kelak kemudian hari
ditentukan adanya rukun dan syarat yang tidak dipenuhi suami dan/atau
istri.51
50
H.S.A. Al-Hamdani, Op.cit, hal. 260. 51 Muhammad Syaifuddin, dkk, Op.cit, hal. 137.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
44
Biasanya yang menuntut fasakh di pengadilan adalah istri. Alasan-alasan
yang memperbolehkan seorang istri menuntut fasakh di pengadilan menurut
penjelasan Soemiyati, ialah sebagai berikut:52
a. Suami sakit gila.
b. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan dapat
sembuh.
c. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan
hubungan kelamin.
d. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada istrinya.
e. Istri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.
f. Suami pergi tanpa diketahui tempat tinggalnya dan tanpa berita, sehingga
tidak diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama.
5. Ta‟lik Talak
Pada prinsipnya ta‟lik talak, menurut penjelasan Sudarsono, adalah suatu
penggantungan terjadinya jatuhnya talak terhadap peristiwa tertentu sesuai
dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya antara suami istri. Dalam
kenyataan, hubungan suami istri menjadi putus berdasarkan ta‟lik talak
dengan adanya beberapa syarat, yaitu pertama, berkenaan dengan adanya
peristiwa dimana digantungkan talak berupa terjadinya sesuatu seperti yang
diperjanjikan. Misalnya: pernyataan suami bahwa jika ia meninggalkan istri
selama 6 bulan dengan tiada kabar dan tidak mengirim nafkah lahir batin atau
suami berjanji bahwa ia tidak akan memukul istri lagi. Kedua, menyangkut
masalah ketidakrelaan istri. Apabila suami ternyata tetap melakukann
pemukulan kepada istri, maka istri tidak rela. Ketiga, apabila istri sudah tidak
rela, maka ia boleh menghadap penjabat yang berwenang menangani masalah
ini, yang dalam hal ini Kantor Urusan Agama. Keempat, istri membayar
52 Ibid, hal. 138.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
45
„iwadl melalui pejabat yang berwenang sebagai pernyataan tidak senang
terhadap sikap yang dilakukan suami terhadapnya. Lebih lanjut Sudarsono
menjelaskan bahwa secara prinsipil pernyataan ta‟lik talak berupa ikrar dari
suami dan hanya mengikat pada suami istri itu sendiri. Lembaga ta‟lik talak
disamping untuk menjaga kerukunan hubungan suami istri juga untuk
mengimbangi hak talak yang ada pada suami.53
6. Li‟an
Li‟an berasal dari kata la‟ana artinya mengutuk, karena orang yang
meli‟an pada sumpahnya yang kelima bersedia menerima kutukan Allah
apabila ternyata sumpahnya berdusta. Li‟an adalah sumpah seorang suami
apabila ia menuduh istrinya berbuat zina. Sumpah itu diucapkan empat kali,
bahwa tuduhannya benar dan pada sumpah yang kelima ia meminta kutukan
Allah seandainya ia berdusta. Pihak istri juga bersumpah empat kali bahwa
dirinya tidak berbuat sebagaimana yang dituduhkan suaminya, pada sumpah
yang kelima ia bersedia menerima kutukan Allah bila tuduhan suaminya
ternyata benar.54
Semata-mata sumpah li‟an belaka tidaklah dengan sendirinya memutuskan
ikatan perkawinan, tetapi sumpah li‟an harus dilakukan didepan pengadilan.
Karena itu apabila suami telah melakukan li‟an di depan Pengadilan Agama,
maka perkawinan mereka putus untuk selama-lamanya dan suami bebas dari
hukuman tuduhan. Perceraian dengan li‟an tersebut dihukum telah berlaku
53
Ibid, hal. 141. 54 H.S.A. Al Hamdani, Op.cit, hal. 287.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
apabila suami telah melakukan li‟an nya walaupun si istri belum lagi
melakukan li‟annya. Akibat hukum dari sumpah li‟an ini adalah putusnya
ikatan perkawinan antara suami yang menuduh dengan istri yang dituduh
berbuat zina untuk selama-lamanya dan terhindarnya suami dari hukuman
tuduhan dan kalau istri berli‟an pula terhindar pula ia dari hukuman zina.
Perceraian li‟an adalah perceraian yang tidak dapat dicabut kembali untuk
selamanya, karena itu tidak boleh kawin lagi antara keduanya untuk
selamanya.55
2. Sebab-sebab perceraian
Perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia, sejahtera,
kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diatur di dalam
pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan di dalam
pasal 113 KHI, dapat putus dikarenakan :
a. Kematian
b. Perceraian,dan
c. Atas keputusan pengadilan
Perceraian harus disertai dengan alasan-alasaan hukum sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan
dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu:
55 Djamil Latif, Op.cit, hal. 75.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
Zina dapat dijadikan alasan hukum bagi suami istri yang
berkehendak melakukan perceraian. “zina” menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah kata benda (n), yang berarti: “1. Perbuatan bersenggama
antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan
pernikahan (perkawinan); 2. Perbuatan bersenggama seorang laki-laki
yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya,
atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki
yang bukan suaminya.”56
Perzinaan atau perbuatan zina seringkali bermula
dari perselingkuhan yang mengkhianati kesucian dan kesetiaan dalam
perkawinan. Kesuciam dan kesetiaan sangat diperlukan untuk terjalinnya
ikatan lahir batin yang kuat antara suami dan istri sebagai pondasi bagi
terbentuknya keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Oleh
karena itu, jika kesucian dan kesetiaan sudah tidak ada lagi dalam
perkawinan, pihak suami atau istri yang kesucian dan kesetiannya
dikhianati mempunyai hak untuk menuntut perceraian.57
Pemabuk juga dapat dijadikan alasan hukum bagi suami atau istri
yang berkehendak melakukan perceraian. “pemabuk” menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda (n), yang berarti “orang yang
suka atau biasa mabuk”. Kemudian, “mabuk” adalah kata kerja (v), yang
56
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.cit, hal. 1136. 57 Muhammad Syaifuddin, dkk, Op.cit, hal. 182.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
48
berarti: “1. Berasa pening atau hilang kesadaran (karena terlalu banyak
minum minuman keras, makan gadung, dan sebagainya); 2. Berbuat diluar
kesadaran; lupa diri; 3. Sangat gemar (suka); 4. Tergila-gila, sangat birahi,
pb. Tidak berbuat apa-apa, hanya melamun, asyik berangan-angan saja,
pb”.58
Pemabuk adalah suatu predikat (sebutan) negatif yang diberikan
kepada seseorang, (dalam konteks ini suami atau istri) yang suka
meminum atau memakan bahkan mengalami ketergantungan terhadap
bahan-bahan makanan dan minuman yang memabokkan yang umumnya
mengandung alkohol melebihi kadar yang ditoleransi (over dosis) menurut
indikator kesehatan, misalnya minuman keras, gadung, dan lain-lain.
Pemabuk seringkali mengalami pening kepala, bahkan hilang
kesadarannya, tetapi sangat kuat birahi dan nafsu syahwatnya, sehingga
dapat berbuat diluar kesadaran atau lupa diri, yang dapat membahayakan
tidak hanya dirinya, melainkan juga orang lain, misalnya suami atau
istrinya. Pemabuk, dalam kondisi yang lupa diri dapat berbuat zina dengan
pria atau wanita lain yang bukan istri atau suaminya., karena dorongan
birahi atau nafsu syahwat yang sangat kuat dalam dirinya yang
dipengaruhi oleh, misalnya minuman keras yang over dosis. Sebaliknya,
pemabuk juga dapat menjadi lemah pikiran dan tenaganya. Sehingga tidak
mampu berbuat apa-apa, melainkan hanya melamun atau asyik berangan-
angan saja.59
58
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.cit, hal. 610. 59 Muhammad Syaifuddin, Op.cit, hal. 185.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
49
Selain zina dan pemabuk, pemadat juga dapat menjadi alasan
hukum bagi suami atau istri yang berkehendak melakukan perceraian.
“pemadat” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda (n),
yang artinya: “orang yang suka atau biasa mengisap madat”. Adapun
“madat” adalah: 1. Kata benda juga (n), yang artinya: “candu (yang telah
dimasak dan siap untuk diisap; 2. Kata kerja (v), yang artinya “mengisap
candu”.60
Jadi, pemadat adalah suatu predikat negatif yang diberikan
kepada seseorang (dalam konteks ini suami atau istri) yang suka atau bisa
mengonsumsi (mengisap, memakan) bahkan mengalami kecanduan atau
ketergantungan (adiktif) terhadap narkotika dan obat-obatan terlarang
(narkoba), misalnya morpin, ganja, opium, heroin, pil koplo, pil
ekstasi,dan lain-lain.61
Penjudi juga dapat dijadikan alasan hukum bagi suami atau istri
yang berkehendak melakukan perceraian, selain zina, pemabuk dan
pemadat. “Penjudi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata
kerja (v), yang artinya “orang yang suka berjudi”. “Judi” adalah kata
benda (n), yang artinya: “permainan dengan memakai uang sebagai
taruhan (seperti main dadu, kartu)”. “Berjudi” adalah kata kerja (v) yang
artinya: “1. Mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan
tebakan berdasarkan kebetulan dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang
atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau harta semula; 2.
Bermain judi, bermain dadu (kartu dan sebagainya) dengan bertaruh
60
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.cit, hal 611. 61 Muhammad Syaifuddin, Loc.cit.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
uang”.62
Penjudi adalah suatu predikat negatif yang diberikan kepada
seseorang (dalam konteks ini suami atau istri) yang suka bermain bahkan
mengalami ketergantungan terhadap judi. Implikasi negatif dari judi
adalah menjadikan penjudi banyak berangan-angan atau berkhayal, ingin
cepat kaya dengan jalan pintas, boros, lemah hati dan pikiran. Baik zina,
pemabuk, pemadat, penjudi, maupun tabiat buruk lainnya, adalah niat,
perilaku dan sifat atau karakter buruk yang sukar disembuhkan, dan dapat
menjadi sumber potensial atau awal mula dari perbuatan-perbuatan buruk
suami atau istri yang dapat merusak keharmonisan rumah tangga,
menimbulkan perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, yang berakibat
tidak dapat dipertahankannya lagi perkawinan mereka.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
Pasal 39 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan
dalam Pasal 19 huruf b PP No. 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya dapat menjadi alasan hukum perceraian. Meninggalkan
pihak lain tanpa alasan yang sah menunjukkan secara tegas bahwa suami
atau istri sudah tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami atau istri,
baik kewajiban yang bersifat lahiriah maupun bathiniah. Alasan hukum
62 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.cit, hal. 419.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
51
perceraian berupa meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah, harus dimajukan di depan
sidang pengadilan dari rumah kediaman pihak yang menuntut perceraian
setelah lampaunya waktu dua tahun terhitung sejak saat pihak lainnya
meninggalkan rumah kediaman tersebut. Tuntutan ini hanya dapat
dimajukan kedepan sidang pengadilan jika pihak yang meninggalkan
tempat kediaman tanpa sebab yang sah, kemudian tetap segan untuk
kumpul kembali dengan pihak yang ditinggalkan.63
UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No.9 Tahun 1975 tidak memuat
penjelasan tentang pengertian dan kriteria hukum “tanpa alasan yang sah”,
sehingga dapat saja ditafsirkan bahwa jika ada hal-hal dalam rumah tangga
suami dan istri yang sangat buruk, sehingga dianggap pantas bagi suami
atau istri untuk meninggalkan pihak lainnya itu, maka keadaan demikian
tidak merupakan alasan bagi pihak lainnya untuk menuntut perceraian. UU
No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 juga tidak memberikan
penjelasan tentang “hal lain diluar kemampuannya”. Oleh karena itu,
terbuka peluang hukum untuk ditafsirkan bahwa kalimat “hal lain diluar
kemampuannya” adalah faktor yang menyebabkan suami atau istri
meninggalkan pihak lainnya selama 2 (dua) tahun berturut-turut, baik
dengan atau tanpa izin dan alsan yang sah, misalnya suami atau istri
menghilang tanpa diketahui keberadaannya dan kabarnya, meskipun telah
diupayakan pencariannya secara maksimal, menggunakan segala sumber
63 Muhammad Syaifuddin, Op.cit, hal.192.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
52
daya yang ada, termasuk bantuan dari warga masyarakat dan aparat
kepolisian serta media massa.64
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan
dalam Pasal 19 huruf c PP No. 1975 menegaskan bahwa salah satu pihak
mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung dapat menjadi alasan hukum perceraian.
Hukuman penjara atau hukuman berat lainnya dapat membatasi berbagai
aktivitas berumah tangga, termasuk menghambat suami atau istri untuk
melaksanakan kewajibannya, baik kewajiban yang bersifat batiniah,
sehingga membuat penderitaan lahir batin dalam rumah tangga yang sudah
tidak layak lagi untuk dipertahankan.65
UU No.1 Tahun 1974 dan PP No.9 Tahun 1975 tidak memberi
penjelasan tentang “hukuman yang lebih berat” yang dapat menjadi alasan
hukum perceraian. Oleh karena itu, terbuka peluang hukum untuk
ditafsirkan bahwa “hukuman yang lebih berat” adalah hukuman penjara
lebih dari 5 (lima) tahun, atau hukuman penjara seumur hidup, atau
hukuman mati yang dikenakan oleh hakim dipengadilan kepada suami atau
istri yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
tertentu, misalnya pembunuhan berencana dan sadis yang diatur dalam
Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Alasan hukum perceraian
64
Ibid, hal. 193. 65 Ibid, hal. 195.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
53
berupa suami atau istri mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung cukup dengan
memajukan suarat turunan dari putusn hakim dalam perkara pidananya,
yang merupakan bukti menurut hukum untuk mendapatkan putusan
perceraian dari hakim dalam perkara perdata tentang perceraiannya.66
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
Kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan dapat
berdampak penderitaan fisik dan mental (psikologis) bagi suami atau istri
yang menerima kekejaman dan penganiayaan berat sebagai bentuk tindak
kekerasan yang membahayakan “nyawa” tersebut. Perkawinan merupakan
peristiwa hukum yang akibatnya diatur oleh hukum, atau peristiwa hukum
yang diberi akibat hukum. Jadi, apabila terjadi tindakan kekerasan pasti
ada akibat hukumnnya. Terjadinya kekerasan terhadap perempuan tidak
terlepas dari dianutnya budaya patrilineal oleh masyarakat Indonesia yang
menempatkan perempuan sebagai manusia nomor dua, sedangkan laki-laki
adalah manusia nomor satu. Budaya ini terkonstruksi secara terus menerus
dalam waktu yang lama, sehingga menciptakan pola hubungan yang tidak
seimbang antara perempuan dan laki-laki. Ketidakberimbangan ini
menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan masyarakat yang
bermanifestasi dalam bentuk ketidak adilan terhadap perempuan, seperti
marginalisasi/peminggiran dalam mengakses kesempatan dari hasil kerja
66 Ibid, hal. 196.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
54
ekonomis subordinasi/penomorduaan dalam mengambil keputusan,
steriotipe/pelabelan negatif, violence/kekerasan serta double burden
(beban berlebihan). Ketidakadilan terhadap perempuan menyebabkan
lemahnya posisi perempuan, sehingga perempuan rentan terhadap
kekerasan.67
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
Cacat badan atau penyakit adalah kekurangan yang ada pada diri
suami atau istri, baik yang bersifat badaniah (misalnya cacat atau sakit tuli,
buta, dan sebagainya) maupun bersifat rohaniah (misalya cacat mental,
gila, dan sebagainya) yang mengakibatkan terhalangnya suami atau istri
untuk melaksanakan kewajibannya sebagai suami atau istri, sehingga
dengan keadaan yang demikian itu dapat menggagalkan tujuan perkawinan
untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal.68
Satu diantara beberapa kewajiban yang tidak dapat dilaksanakan
karena suami atau istri mendapata cacat badan atau penyakit, adalah
kewajiban yang bersifat lahiriah, yaitu melakukan hubungan kelamin
(persetubuhan) antara suami dan istri. Jika kewajiban persetubuhan ini
tidak dilaksanakan oleh suami atau istri, berarti hak suami atau istri untuk
menikmati persetubuhan tidak terpenuhi. Padahal, menurut penjelasan
Mohd. Idris Ramulyo, perkawinan menurut hukum Islam bermakna nikah
yang menurut arti aslinya ialah hubungan seksual dan menurut arti
67
Ibid, hal. 199. 68 Ibid, hal. 204.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
55
majazinya (methaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang
menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria
dengan seorang wanita.69
6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Perselisihan adalah perbedaan pendapat yang sangat prinsip, tajam
dan tidak ada titik temu antara suami dan istri yang bermula dari
perbedaan pemahaman tentang visi dan misi yang hendak di wujudkan
dalam kehidupan berumah tangga. Misalnya, suami atau istri yang
memahami perkawinan sebagai sarana untuk memenuhi hasrat seksual
semata, atau mengutamakan/mementingkan kebutuhan materialistik saja.
Adapun “pertengkaran” adalah sikap yang sangat keras yang ditampakkan
oleh suami dan istri, yang tidak hanya berwujud nonfisik (kata-kata
lisan/verbal yang menjurus kasar, mengumpat dan menghina), tetapi juga
tindakan-tindakan fisik, yang terjadi karena adannya persoalan rumah
tangga yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah oleh suami dan
istri, bahkan tidak dapat diselesaikan oleh pihak keluarga dan kerabat dari
masing-masing suami dan istri yang bersangkutan.70
3. Prosedur Perceraian
Perkawinan merupakan perbuatan hukum yang memiliki aturan baik terkait
tentang syarat sah sampai pada akibat hukum yang timbul. Dalam perkawinan
tidak selamanya berjalan dengan baik, sehingga terdapat beberapa perkawinan
69
Ibid, hal. 205. 70 Ibid, hal. 208.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
yang berujung pada perceraian sebagai solusi akhir yang dipilih oleh pihak suami
maupun istri. Sama halnya dengan perkawinan, perceraian juga memiliki aturan
hukum sebagai dasar pelaksanaannya.
Berikut merupakan prosedur perceraian yang harus diikuti oleh para pihak
yang ingin mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama:
a. Cerai Gugat
Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Istri) atau
kuasanya:71
1. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan
agama/mahkamah syariah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 73 UU
No. 7 Tahun 1989);
2. Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada pengadilan
agama/mahkamah syariah tentang tata cara membuat surat gugatan
(Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
3. Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan
petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan ternyata ada
perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan
Tergugat.
4. Gugatan tersebut diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah
syariah :
5. Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah
disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan diajukan
kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (1)
UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal 32 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974);
6. Bila Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan
diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (2)
UU No.7 Tahun 1989);
7. Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri,
maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah
syar’iah yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan
dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal
73 ayat (3) UU No.7 Tahun 1989).
8. Permohonan tersebut memuat ;
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman
Pemohon dan Termohon;
71
https://www.pa-semarang.go.id/layanan-hukum/prosedur-beracara/perkara-cerai-gugat,
diakses pada 15 januari 2020 Hari rabu Pukul 22.35 WIB.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
57
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
9. Gugatan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta
bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian
atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap
(Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989).
10. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg.
Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat
berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).
11. Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan
berdasarkan panggilan pengadilan agama/mahkamah syar’iah (Pasal
121, 124, dan 125 HIR, 145 R.Bg).
Proses Penyelesaian Perkara:
1. Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke pengadilan
agama/mahkamah syar’iah.
2. Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh pengadilan
agama/mahkamah syar’iah untuk menghadiri persidangan
3. Tahapan persidangan :
a. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang
secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
b. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua
belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat
(1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara
dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban,
jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap
jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat
mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR,
158 R.Bg);
4. Putusan pengadilan agama/mahkamah syariah atas permohonan cerai
gugat sebagai berikut:
a. Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat
mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah
syar’iah tersebut;
b. Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui
pengadilan agama/mahkamah syar’iah tersebut;
c. Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan
baru.
5. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera
pengadilan agama/mahkamah syar’iah memberikan Akta Cerai
sebagai surat bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan
kepada para pihak.
b. Cerai Talak
Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau
Kuasanya:72
1. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada
pengadilan agama/mahkamah syariah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo
Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989);
2. Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada pengadilan
agama/mahkamah syar’iah tentang tata cara membuat surat
permohonan (Pasal 119 HIR, 143 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun
1989);
3. Surat permohonan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan
petitum. Jika Termohon telah menjawab surat permohonan ternyata
ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan
Termohon.
4. Permohonan tersebut diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah
syar’iah:
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon
(Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989);
b. Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah
disepakati bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonan
harus diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon
(Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989);
c. Bila Termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan
diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal
66 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989);
d. Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar
negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan
agama/mahkamah syariah yang daerah hukumnya meliputi
tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan
Agama Jakarta Pusat (Pasal 66 ayat (4) UU No. 7 Tahun
1989).
5. Permohonan tersebut memuat :
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon
dan Termohon;
72
https://www.pa-tulangbawangtengah.go.id/layanan-hukum/prosedur-beracara/prosedur-
cerai-talak.html, diakses pada 15 januari 2020 Hari rabu Pukul 22.35 WIB.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
59
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
6. Permohonan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan
harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan
cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan (Pasal 66 ayat (5) UU
No. 7 Tahun 1989).
7. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg.
Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat
berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).
Proses Penyelesaian Perkara
1. Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke pengadilan
agama/mahkamah syariah
2. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh pengadilan
agama/mahkamah syar’iah untuk menghadiri persidangan.
3. Tahapan persidangan :
a. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang
secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
b. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua
belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat
(1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara
dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban,
jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap
jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat
mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR,
158 R.Bg);
4. Putusan pengadilan agama/mahkamah syariah atas permohonan
cerai talak sebagai berikut :
a. Permohonan dikabulkan. Apabila Termohon tidak puas dapat
mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah
syar’iah tersebut;
b. Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding
melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iah tersebut;
c. Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan
permohonan baru.
8. Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka:
a. Pengadilan agama/mahkamah syar’iah menentukan hari sidang
penyaksian ikrar talak;
b. Pengadilan agama/mahkamah syar’iah memanggil Pemohon
dan Termohon untuk melaksanakan ikrar talak;
c. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan
sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60
melaksanakan ikrar talak didepan sidang, maka gugurlah
kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat
diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang sama (Pasal 70
ayat (6) UU No. 7 Tahun 1989).
9. Setelah ikrar talak diucapkan panitera berkewajiban memberikan
Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat
(4) UU No. 7 Tahun 1989).
Berdasarkan pada ketentuan di atas, maka perceraian sebagai solusi
yang dipilih oleh pihak istri maupun suami untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi dalam perkawinan sudah ada ketentuan hukum yang mengatur tata
caranya. Sehingga baik pihak istri maupun suami serta Majelis Hakim yang
nantinya memutus permohonan perceraian harus berpenggang pada ketentuan
hukum yang sudah diatur dalam peraturang perundang-undangan.
C. Cerai Ghaib Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
1. Pengertian Cerai Ghaib
Cerai ghaib juga disebut cerai mafqud. Mafqud dalam bahasa Arab secara
harafiah bermakna hilang. Sesuatu dikatakan hilang apabila tidak ada atau
lenyap.73
Sedangkan, mafqud menurut istilah syara’ adalah orang yang pergi dari
tempat tinggalnya dan tidak dapat diketahui apakah dia masih hidup ataukah telah
meninggal dunia.74
Dalam hukum Islam ada fasakh karena suami ghaib (al
mafqud), yaitu suami meninggalkan tempat tetapnya dan tidak diketahui ke mana
perginya, serta tempat tinggalnya dalam waktu yang lama. Hal ini tentu saja akan
73
Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Waris Dalam Syari‟at Islam, (Surakarta:
Diponegoro, 1992), hal. 235. 74
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 214.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
61
menyulitkan kehidupan istri yang ditinggalkan, terutama bila suami tidak
meninggalkan susatu (nafkah) bagi kehidupannya dan anak-anaknya.75
Menurut
kamus istilah fikih mafqud adalah orang yang hilang dan menurut zahirnya
tertimpa kecelakaan, seperti orang yang meninggalkan keluarganya pada waktu
malam atau siang atau keluar rumah untuk menjalankan sholat atau ke satu tempat
yang dekat kemudian tidak kembali lagi atau hilang di dalam kancah
pertempuran.76
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat diambil simpulan bahwa yang
dimaksud dengan cerai ghaib (cerai mafqud) menurut hukum Islam adalah
perceraian yang dimana salah satu pihaknya sudah lama pergi meninggalkan
tempat tinggalnya dan tidak diketahui domisilinya serta tidak pula diketahui hidup
dan matinya. Dalam hal ini hakim dengan keyakinannya dapt menetapkan
mafqudnya seseorang itu dengan berbagai pendapat yang diyakininya sebagai
dasar dan landasan dalam menetapkan orang tersebut masih hidup ataukah sudah
meninggal.
Menurut istilah mafqud bisa diterjemahkan dengan al-ghoib. Kata ini
secara bahasa memiliki arti gaib, tiada hadir, bersembunyi, mengumpat. Hilang
dalam hal ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Hilang yang tidak terputus karena diketahui tempatnya dan ada berita
atau informasi tentangnya.
75
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikih dan Hukum
Positif), (Yogyakarta: UII Press,2011), hal. 143. 76
M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafi‟ah AM, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994) .
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
62
b. Hilang yang terputus, yaitu yang sama sekali tidak diketahui
keberadaannya serta tidak ditemukan informasi tentangnya.77
2. Pengaturan Hukum Cerai Ghaib
Sejalan dengan makna Indonesia sebagai Negara hukum, maka pada
ketentuan cerai gaib juga memiliki aturan dasar yang ketetapannya mengatur
tentang cerai gaib secara menyeluruh. Berbeda dengan perceraian biasa, berikut
beberapa ketentuan khusus yang mengatur mengenai cerai gaib yang terdapat di
Indonesia.
Dasar hukum cerai ghaib :
1. Herzien Indlandsch Reglement (HIR) (S.1941-44);
2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan terakhir kalinya
oleh Undang-Undang No. 50 Tahun 2009;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
4. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi
Hukum Islam.
Proses penyelesaian perkara cerai ghaib didasarkan pada Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Sesuai ketentuan dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 perceraian dapat terjadi karena salah satu pihak
77
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan penyelenggara
Penterjemah/Penafsir Al-Qur‟an, 1973), hal. 304.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
63
meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan
tanpa alasan yang sah, atau karena hal lain diluar kemampuan. .78
Hal ini juga terdapat pengaturannya didalam pasal 45 KHI Tentang Talik
Talak yang menyebutkan, bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan
perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak dan perjanjian lain yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Adapun rumusan taklik talak yang sudah
mengikuti Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 411 Tahun
2000 didalam nya memuat sebagai berikut:
“Apabila saya :
1) Meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
2) Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;
3) Menyakiti badan atau jasmani istri saya;
4) Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya selama 6 (enam) bulan atau
lebih;
Dan karena perbuatan saya tersebut, istri saya tidak ridho dan mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh
Pengadilan tersebut kemudian istri saya membayar uang sebesar Rp. 10,000,-
(sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah
talak saya satu kepadanya. Kepada Pengadilan Agama saya memberikan kuasa
untuk menerima uang iwadh (pengganti) tersebut dan menyerahkannya untuk
keperluan ibadah sosial.”
78
Uswatun Hasanah, “Proses Penyelesaian Perkara Cerai Ghaib Di Pengadilan
Agama”, majalah keadilan, volume 18, nomor 2, desember 2018, hal. 11.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
64
Dalam rumusan yang terdapat dalam taklik talak disebutkan bahwa istri dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama apabila suami meninggalkan istri
selama 2 tahun berturut-turut. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa perceraian dapat
terjadi dikarenakan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama waktu yang
ditentukan dan tidak diketahui keberadaannya maka dapat putus perceraian atas
putusan hakim. Dalam pandangan Hukum Islam menganjurkan suami untuk
mengajukan cerai talak di Pengadilan seperti yang tertuang dalam Kompilasi
Hukum Islam yang berhubungan dengan isteri hilang (mafqud/ghoib) pada pasal
116 point b yang menyatakan: “salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama
2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya.”79
79
Abdurrahman, Op.Cit, hal. 141 .
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
65
BAB III
AKIBAT HUKUM DARI CERAI GHAIB MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI
HUKUM ISLAM
A. Sebab Terjadinya Cerai Ghaib
Putusnya perkawinan didalam UUP dan KHI salah satunya adalah karena
perceraian. Perceraian sebagai penyebab putusnya perkawinan dapat timbul
karena beberapa faktor, diantaranya adalah karena salah satu pihak
meninggalkan pasangannya selama 2 tahun berturut-turut, tanpa adanya kabar
dan tidak diketahui keberadaannya, dan telah dilakukan upaya pemanggilan
melalui papan pengumuman Pengadilan Agama dan disiarkan dalam surat
kabar. Berdasarkan ketentuan diatas, maka terdapat beberapa faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya cerai ghaib, yaitu:80
1. Tanpa sebab pergi meninggalkan salah satu pihak
2. Ternjadinya pertengkaran dan perselisihan secara terus menerus
yang memicu kekerasan dalam rumah tangga
3. Hadirnya orang ketiga dalam rumah tangga yang menyebabkan
terjadinya perselingkuhan oleh suami atau istri
4. Faktor lemahnya ekonomi sehingga tidak terpenuhinya nafkah
dalam rumah tangga
5. Salah satu pihak adalah pecandu narkoba
80
Wawancara dengan Emmafatri, Hakim Pengadilan Agama Medan, 27 Desember 2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
66
B. Syarat-syarat Gugatan Cerai Ghaib
Terdapat hal menjadi syarat mutlak dalam mengajukan gugatan cerai ghaib
yaitu, melampirkan surat keterangan ghaib yang dikeluarkan oleh lurah di
alamat terdahulu tergugat. Dalam surat tersebut dinyatakan tergugat yang
sebelumnya bertempat tinggal di wilayah tersebut kini tidak diketaui
alamatnya baik di dalam wilayah Republik Indonesia maupun di luar wilayah
Republik Indonesia.81
Dalam hal suami ghaib, maka ada persyaratan yang wajib dipenuhi oleh
istri (Penggugat) yang mengajukan gugatan cerai. Masih bersumber dari
laman Pengadilan Agama Malang Kelas 1A, persyaratan yang wajib dipenuhi
yaitu:82
1. Alamat lengkap Penggugat saat ini (RT, RW, Kelurahan, Kecamatan,
Kabupaten/Kota). Apabila tempat tinggal Penggugat saat ini sudah tidak
sesuai dengan alamat yang tertera di KTP, maka harus disertakan juga
Surat Keterangan Domisili dari kelurahan tempat tinggal Penggugat
sekarang. 2. Karena alamat Tergugat sudah tidak diketahui lagi, baik di dalam maupun
di luar wilayah Republik Indonesia, maka harus disertakan juga Surat
Keterangan telah ditinggal oleh suami selama ..... tahun dari Kelurahan
(minta pengantar terlebih dahulu ke RT/ RW) /Surat Keterangan Ghaib
dari kelurahan). 3. Foto Copy KTP Penggugat (2 lembar). 4. Foto Copy Buku Nikah (2 lembar). 5. Buku Nikah Asli. 6. Surat Gugatan (rangkap 4). Surat gugatan harus jelas dan disertai dengan
alasan yang jelas dan terperinci. 7. Membayar Panjar Biaya Perkara.
Khusus perkara perceraian untuk pihak yang gaib (alamat tidak jelas),
telah diatur dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 dan PP. No. 9 tahun 1975.
81
Wawancara dengan Emmafatri, Hakim Pengadilan Agama Medan, 27 Desember 2019 82
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt57ccddd31c9bf/arti-gugatan-
cerai-ghaib/, diakses pada 01 januari 2020 Hari kamis Pukul 20.29 WIB.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
67
Pasal 20 ayat (2) PP.No.9 Tahun 1975 :
“tempat kediaman Tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau
tidak mempunyai tempat kediaman tetap, gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat”
Pasal 27 PP No. 9 Tahun 1975 :
(1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal
20 ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan
pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya
melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang
ditetapkan oleh Pengadilan.
(2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass
media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan
tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
(3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
(4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat
(2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima
tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau
tidak beralasan.
Dalam proses persidangan cerai ghaib, putusan dapat dijatuhkan
dalam 1 kali persidangan saja apabila dalam hal ini tergugat tidak hadir
dan penggugat dapat melengkapi bukti. Namun, jika penggugat tidak
dapat melengkapi bukti dan tergugat tidak memenuhi panggilan, maka
hakim akan menunda persidangan.
Apabila sejak didaftarkannya perkara ke Pengadilan Agama, dan
sudah dilakukan pemanggilan terhadap penggugat dan tergugat sebanyak
2 kali, kemudian kedua pihak tersebut tidak hadir maka hakim akan
menggugurkan gugatan.83
83
Wawancara dengan Emmafatri, Hakim Pengadilan Agama Medan, 27 Desember 2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
68
C. Akibat Hukum Dari Cerai Ghaib
Tujuan dari sebuah perkawinan adalah membangun rumah tangga
yang kekal, namun tidak jarang ketidakcocokan dalam rumah tangga yang
terjadi terus menerus antara suami dan istri menyebabkan berujung pada
perceraian. Berbagai alasan dapat menjadi penyebab utama dari sebuah
perceraian, salah satunya adalah hilangnya atau tidak diketahuinya
keberadaan salah satu pihak baik suami maupun istri yang menyebabkan
tidak jelasnya status baik dari status perkawinan tersebut maupun status
kejelasan suami atau istri tersebut. Ketidakjelasan status oleh salah satu
pihak dapat menyebabkan tidak dapat terpenuhinya baik hak ataupun
kewajiban dari suami atau istri tersebut. Cerai ghaib dapat menjadi jalan
untuk memberikan kepastian status bagi salah satu pihak yang ditinggalkan,
guna untuk menjalakan kehidupan.
Akibat hukum dari cerai ghaib yaitu memberikan kepastian status
bagi pihak yang ditinggalkan. Putusan jatuhnya perceraian yang
dikeluarkan oleh hakim berkekuatan hukum tetap bagi para pihak, apabila
dalam jangka waktu 2 minggu setelah putusan jatuh oleh hakim tidak ada
komplain dari pihak tergugat, maka putusan berkekuatan hukum tetap.
Namun apabila dalam jangka waktu 2 minggu setelah dijatuhkan putusan
perceraian oleh hakim, pihak tergugat muncul untuk melakukan komplain
atau menyatakan keberatan atas putusan tersebut maka dapat mengajukan
perlawanan (verzet) dan hakim akan membuka kembali untuk melanjutkan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
69
persidangan.84
Akibat hukum lainnya dari cerai ghaib adalah hak asuh anak yang
apabila dimohonkan oleh penggugat, maka hak asuh akan jatuh kepada
tangan penggugat. Dalam hal ini penggugat harus melampirkan bukti
berupa akta kelahiran anak yang menunjukkan bahwa anak tersebut adalah
anak dari perkawinan pihak tersebut. Apabila sang anak berusia 12 tahun
maka harus dihadirkan ke persidangan untuk ditanyai keterangannya,
namun apabila berusia dibawah 12 tahun maka tidak harus untuk
dihadirkan, hanya perlu dibuktikan dengan akta kelahiran.85
Terhadap status harta yang ditinggalkan, pada umumnya tidak pernah
diajukan dalam gugatan dikarenakan tujuan utama pihak penggugat dalam
mengajukan gugatan cerai ghaib adalah untuk mendapatkan kepastian
status perkawinan yang selama ini tidak mendapat kejelasan karena
ditinggalkan oleh pihak lainnya. Pada umumnya, harta yang terdapat
dalam perkawinan tersebut jatuh ke tangan penggugat, dikarenakan
ketidakjelasan dari keberadaan tergugat. Selain itu, keadaan dari pihak
tergugat yang sudah meninggalkan pihak penggugat selama bertahun-
tahun secara langsung sudah tidak memenuhi tanggung jawab dari segi
nafkah. Jadi dalam keadaan ini, tidak jarang sudah tidak ada lagi harta
yang ditinggalkan karena dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
84
Wawancara dengan Emmafatri, Hakim Pengadilan Agama Medan, 27 Desember 2019
85
Wawancara dengan Emmafatri, Hakim Pengadilan Agama Medan, 27 Desember 2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
70
nafkah dari penggugat dan anak-anak dalam perkawianan tersebut, guna
untuk tetap melanjutkan kehidupan.86
86
Wawancara dengan Emmafatri, Hakim Pengadilan Agama Medan, 27 Desember 2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
71
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK TERKAIT
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN NOMOR
1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn
A. Kasus Posisi
1. Para pihak yang berperkara didalam putusan Pengadilan Agama Medan
(Nomor 1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn) adalah:
1. Hj. Lina Sorayani Harahap binti H. Baharuddin Harahap, umur
42 tahun, kewarganegaraan Indonesia, pekerjaan PNS Kementrian
Pertanian Direktorat Jendral Perkebunan, bertempat tinggal di
Jalan Selamat gang Rukun No. 152-b Kelurahan Sitirejo III
Kecamatan Medan Amplas Kota Medan, selanjutnya disebut
“penggugat”
2. Siddik Harwis Affandi Lubis bin Irialdi Lubis, umur 34 tahun,
kewarganegaraan Indonesia, Pendidikan SMA, pekerjaan tidak
bekerja, dahulu bertempat tinggal di Jalan Selamat No. 145
Kelurahan Sitirejo III Kecamatan Medan Amplas kota Medan,
akan tetapi sekarang sudah tidak diketahui keberadaannya
diseluruh wilayah Republik Indonesia, selanjutnya disebut
“tergugat”.
2. Kronologi perkara didalam Putusan Pengadilan Agama Medan (Nomor
1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn) adalah:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
72
Bahwa penggugat telah menggugat cerai terhadap Tergugat sesuai
dengan surat gugatannya bertanggal 10 Agustus 2018 yang telah terdaftar
di Kepaniteraan Pegadilan Agama Medan dengan Nomor
1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn, tanggal 14 Agustus 2018, dengan dalil-dalil
yang pada pokoknya mengemukakan sebagai berikut:
1. Bahwa Penggugat dengan Tergugat suami istri yang sah menikah
secara syariat Islam pada tanggal 03 Rabiul Awal 1433 H, atau
bertepatan dengan tanggal 27 Januari 2012 M, Penggugat dengan
Tergugat melangsungkan pernikahan di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Medan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi
Sumatera Utara sesuai dengan Kutipan Akta Nikah
Nomor:584/36/1/2012 yang dikeluarkan pada tanggal 30 Januari 2012
M;
2. Bahwa sebelum Penggugat dan Tergugat menikah secara administari
kenegaraaan yang tercatat di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Patumbak, Penggugat dan Tergugat terlebih dahulu menikah secara
syariat islam (sirih) pada hari minggu tanggal 24 Juli 2011 dengan
mas kawin berupa uang senilai Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah),
dan bahwa pernikahan sirih tersebut Penggugat dan Tergugat telah
dicatat di Departemen Agama "SURAT KETERANGAN TELAH
MENIKAH";
3. Bahwa dari pernikahan Penggugat dan Tergugat tersebut, Penggugat
dan Tergugat telah menjalani hubungan rumah tangga sebagaimana
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
73
layaknya hubungan suami (ba'da Dukhul) dan telah dikaruniai 2 (dua)
orang anak yang masing-masing bernama:
a. Daffa Alfariza, laki-laki, lahir tanggal 03 Juni 2012 M, Umur 6
tahun;
b. Daffi Alfarizi, laki-laki, lahir tanggal 03 Juni 2012 M, Umur 6
tahun;
Dan hingga sampai dengan sekarang kedua anak Penggugat dan
Tergugat masih dalam asuhan Penggugat sebagai ibu kandung kedua
anak tersebut;
4. Bahwa selama Penggugat dan Tergugat menikah Penggugat dan
Tergugat pada awalnya bertempat tinggal di rumah orang tua
Penggugat yang berlamat di Jalan Selamat No. 154, Kelurahan
Sitirejo III, Kecamatan Medan Amplas, Kota Medan dan hingga
akhirnya Penggugat dengan Tergugat masih bertempat tingga di
alamat yang sama seperti alamat diatas;
5. Bahwa dalil Penggugat sebagai alasan utama menggugat cerai dari
Tergugat adalah masalah hubungan rumah tangga Penggugat dengan
Tergugat sebagai suami isteri terhitung sejak 3 (tiga) bulan usia
pemikahan Penggugat dan Tergugat sekitar bulan April 2012, hingga
sampai saat ini telah berada dalam kondisi berselisih dan berterkar
secara terus menerus disebabkan oleh karena:
a. Tergugat memiliki sikap dan prilaku yang kasar, temperamental,
dimana Tergugat sering kali berkata-kata kasar yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
74
menyinggung perasaan Penggugat dan akhirnya apabila
Penggugat dan Tergugat bertengkar, Tergugat sering kali
memukul Penggugat dan melakukan hal-hal Kekerasaan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) lainnya seperti menarik rambut
(menjambak), menyiram air, menyeret Penggugat bahkan
Tergugat pernah mencekik leher Penggugat pada saat Penggugat
dan Tergugat pergi untuk mengobati penyakit Tergugat;
b. Tergugat pernah menyuruh Penggugat agar Penggugat mencuci
kaki Tergugat dengan air dan sisa air tersebut harus Penggugat
sapu dan mengusapkan kewajah Penggugat, dan setelah diketahui
ternyata Tergugat memiliki ilmu turunan dari kakek Tergugat;
c. Tergugat pernah memaksa Penggugat untuk menghantarkan
Tergugat (menyetir mobil) keluar dari rumah hanya sekedar
mencari makanan, padahal pada saat itu Penggugat sedang hamil
dan dalam kondisi tidak enak badan (sakit);
d. Tergugat tidak memiliki pekerjaan menetap dan akhirnya
Tergugat kurang bertanggung jawab dalam memberikan biaya
nafkah rumah tangga kepada Penggugat untuk kebutuhan rumah
tangga sehari-hari;
6. Bahwa puncak dari perselisihan dan pertengkaran terakhir antara
dengan Tergugat tersebut terjadi sekitar pertengahan tahun 2013,
disebabkan karena Penggugat yang meminta tolong kepada Tergugat
agar datang kerumah abang kandung Penggugat, akan tetapi Tergugat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
75
menolak dengan alasan capek dan malas, akhirnya memicu
pertengkaran dan perselisihan antara Penggugat dengan Tergugat,
dimana pada saat pertengkaran tersebut dengan sadamya Tergugat
memukul Penggugat, kemudian setelah pertengkaran tersebut
Penggugat mengusir Tergugat keluar dari rumah orang tua Penggugat.
Maka semenjak saat itulah Penggugat dan Tergugat berpisah dan sudah
tidak hidup bersama sampai dengan sekarang;
7. Bahwa Penggugat sudah berusaha bersabar demi menjaga keutuhan
rumah tangganya. akan tetapi Tergugat tidak berubah;
8. Bahwa pihak keluarga Penggugat dan Tergugat sudah pemah berupaya
menegur dan menasehati hubungan rumah tangga Penggugat dan
Tergugat, akan tetapi upaya tidak berhasil;
9. Bahwa Penggugat dengan Tergugat juga sudah bersepakat bercerai
dengan surat penyataan perceraian yang telah ditanda tangani oleh
Tergugat dan disaksikan Iangsung oleh kepala lingkungan tertanggal
13 Januari 2014 M;
10. Bahwa anak Penggugat dan Tergugat yang bemama : Daffa Alfariza,
laki-Iaki, lahir tanggal 03 Juni 2012 M (Umur 6 tahun) dan Daffi
Alfarizi, laki-Iaki, lahir tanggal 03 Juni 2012 M, (Umur 6 tahun), yang
masih belum mumayyiz atau masih dibawah umur secara psikologis
lebih dekat kepada Penggugat, maka selain menggugat cerai Tergugat,
Penggugat juga memohon untuk ditetapkan sebagai pemegang hak
asuh (hadhanah) terhadap anak Penggugat dan Tergugat tersebut;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
76
11. Bahwa Penggugat adalah seorang PNS KEMENTRIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDRAL PERKEBUNAN, yang mana sebelum
Penggugat mengajukan gugatan perceraian ini, Penggugat terlebih
dahulu sudah melakukan upaya perceraian di kedinasan Penggugat
bekerja serta sudah memperoleh izin perceraian dari atasan
“KEPUTUSAN DIREKTUR JENDRAL PERKEBUNAN NOMOR
13IKPTS/KP.260/01I2018” Tentang Pemberian lzin Perceraian;
12. Bahwa dengan keadaan yang demikian, Penggugat merasa sudah tidak
mungkin lagi untuk mempertahankan rumah tangga bersama dengan
Tergugat, oleh karena itu Penggugat berketetapan hati untuk beroerai
dan Tergugat di sidang Pengadilan Agama Medan;
3. Tuntutan/Posita didalam Putusan Pengadilan Agama Medan (Nomor
1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn) adalah :
Bahwa berdasarkan dalil dan alasan tersebut diatas, maka dengan ini
Penggugat memohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Medan cq
Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk dapat menentukan suatu
hari persidangan, kemudian memanggil Penggugat dan Tergugatuntuk
diperiksa dan diadili, selanjutnya memberikan putusan yang amarnya
sebagai berikut:
a. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
77
b. Menjatuhkan talak satu bain sughra Tergugat (Siddik Harwis Affandi
Lubis bin Irialdi Lubis) atas diri Penggugat (Hj. Lina Sorayani
Harahap binti H. Baharuddin Harahap);
c. Menetapkan hak asuh anak yang bernama: Daffa Alfariza, laki-laki,
lahir tanggal 03 Juni 2012 M, (umur 6 tahun) dan Daffi Alfarizi, laku-
laki, lahir tanggal 03 juni 2012 M, (umur 6 tahun), jatuh kepada
Penggugat;
d. Membebankan biaya perkara ini sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
Atau apabila Majelis berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aquo et bono).
4. Pertimbangan Hakim didalam Putusan Pengadilan Agama Medan (Nomor
1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn) adalah :
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah
sebagaimana telah diuraikan di atas;
Menimbang, bahwa perkara yang diajukan oleh Penggugat
berkenaan dengan peroeraién maka sesuai dengan ketentuan pasal 49 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 sebagaimana telah
diubah untuk kali kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
maka secara kompetensi absolut perkara ini menjadi wewenang
Pengadilan Agama;
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang mediasi, jika kedua
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
78
belah pihak hadir dalam persidangan yang telah ditentukan, maka Hakim
mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi, dalam perkara ini pihak
Tergugat tidak pemah hadir di muka sidang, oleh karena itu Majelis
menyatakan dalam perkara ini tidak dapat dilakukan mediasi, dengan
demikian berdasarkan ketentuan Pasal 149 Ayat (1) RBg Majelis telah
dapat memeriksa dan memutus perkara ini dengan tanpa hadimya Tergugat
(verstek);
Menimbang, bahwa untuk memenuhi maksud dan kehendal pasal
31 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juncto
Pasal 82 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah
diubah untuk kali kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
juncto Pasal 154 ayat (1) RBg, Majelis Hakim selama persidangan
berlangsung teIah berupaya menasehati dan menganjurkan agar Penggugat
bersabar dan tetap mempenahankan perkawinannya dengan Tergugat, akan
tetapi upaya tersebut tidak berhasil karena Penggugat tetap pada tekadnya
untuk bercerai yang berarti tidak ingin lagi mempertahankan keutuhan
rumah tangganya dan Penggugat mohon putusan;
Menimbang, bahwa yang menjadi hal pokok dalam perkara ini
adalah Penggugat telah menggugat cerai terhadap Tergugat dengan alasan-
alasan bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis
lagi karena pada bulan Mei 2016 Penggugat menerima surat talak dari
Tergugat melalui imam kampung setempat sementara Tergugat pergi dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
79
tidak diketahui keberadaannya lagi sebagaimana telah diuraikan pada
bagian duduk perkara putusan ini;
Menimbang, bahwa untuk memenuhi maksud dan kehendak Pasal
55 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 juncto Pasal 27 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Penggugat dan Tergugat telah dipanggil
dengan sepatutnya, Penggugat hadir menghadap sendiri di muka sidang
sedangkan Tergugat tidak pemah hadir dan tidak ada mengutus orang lain
sebagai wakil/kuasa hukumnya dan ketidakhadirannya itu tanpa suatu
alasan yang sah atau hal-hal lain diluar kemampuannya;
Menimbang, bahwa meskipun tidak ada bantahan dari Tergugat
karena tidak pemah hadir di muka sidang, akan tetapi perkara ini adalah
perkara perceraian maka kepada Penggugat tetap dibebankan untuk
membuktikan kebenaran dalil-dalil gugatannya;
Menimbang, bahwa Penggugat telah menguatkan daIil-dalil
gugatannya dengan mengajukan bukti tertulis (P.1 sampai dengan P.7) dan
bukti kesaksian dua orang saksi masing-masing bemama Karimuddin bin
H. Baharuddin Harahap adalah kakak kandung Penggugat dan Budi
Rahmansyah bin Sofyan adalah tetangga Penggugat. Kedua orang saksi
tersebut telah memberikan keterangan dibawah sumpah di muka sidang
yang keterangannya sebagaimana telah diuraikan pada bagian duduk
perkara diatas;
Menimbang, bahwa terhadap alat-alat bukti yang diajukan oleh
pihak Penggugat dapat dipenimbangkan berikut ini;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
80
Menimbang, bahwa berdasarkan pemeriksaan alat bukti P.1 telah
dibubuhi materi sebagaimana ditentukan Undang-Undang Bea Materai dan
meskipun tidak ada aslinya namun didukung alat buktl P.3 mmaka
menurut Majelis Hakim bahwa alat bukti tenebut dapat diterima sebagai
bukti bahwa Penggugat dan Tergugat adalah pasangan suami isteri sampai
saat ini. Dengan demikian Penggugat dan Terougat adalah pihak-pihak
yang mempunyai hubungan hukum dan berkepentingan dengan perkara ini
(persona standi in judicio);
Menimbang, bahwa bukti P.2 adalah fotokopi kartu tanda
penduduk atas nama Penggugat yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang dan ternyata alat bukti tersebut telah memenuhi syarat formal
dan syarat materil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 RBg dan Surat
Mahkamah Agung R.I Nomor MA/Kumdil/225/VIII/K/194 tanggal 15
Agustus 1994, make alat bukti tersebut merupakan bukti otentik yang
membuktikan bahwa Penggugat berdomisili dalam wilayah yurisdiksi
Pengadilan Agama Medan;
Menimbang, bahwa terhadap bukti P.4 adalah dapat dikatogorikan
sebagai alat bukti sepihak oleh karena itu menurut Majelis alat bukti
tersebut dapat dijadikan sebagai bukti petunjuk telah terjadi talak di bawah
tangan antara Penggugat dengan Tergugat;
Menimbang. bahwa berdasarkan pemeriksaan alat bukti P.5 dan
P.6 telah dibubuhi materai sebagaimana ditentukan Undang-Undang Bea
Materai dan menurut Majelis Hakim bahwa alat bukti tersebut telah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
81
memenuhi syarat formal dan syarat materil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 285 RBg dan Surat Mahkamah Agung R.l Nomor
MA/Kumdil/225/VIII/K/94 tanggal 15 Agustus 1994, maka oleh karena
itu alat bukti tersebut dapat diterima sebagai bukti bahwa dua orang anak
laki-laki yang bernama Daffa Alfariza, lahir tanggal 03 juni 2012 M, dan
Daffi Alfarizi, lahir tanggal 03 Juni 2012 M adalah anak dari hasil
perkawinan sah antara Penggugat dan Tergugat;
Menimbang, bahwa bukti P.7 adalah surat keputusan pemberian
Permintaan izin perceraian yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang,
oleh karena itu alat bukti tersebut dapat diterima sebagai bukti bahwa
Penggugat sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil telah memperoleh izin
dari pejabat yang berwenang untuk melakukan peroeraian di Pengadilan
Agama Medan, dengan demikian Majelis Hakim berpendapat gugatan
Penggugat telah memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku
yakni Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 juncto Peraturan
Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 tentang lzin Perkawinan dan Perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil;
Menimbang, bahwa kedua saksi Penggugat, sudah dewasa dan
sudah disumpah, sehingga memenuhi syarat formal sebagaimana diatur
dalam Pasal 145 ayat 1 angka 3e HIR/Pasal 172 ayat 1 angka 4 R.Bg;
Menimbang. bahwa kesaksian yang diberikan oleh dua orang saksi
Penggugat didasarkan pada pengetahuan. penglihatan dan pendengaran
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
82
saksi yang pada intinya keterangannya saling terkait antara satu dengan
yang Iain dan relevan dengan dalil gugatan Penggugat. dengan demikian
kedua orang saksi Penggugat dipandang telah memenuhi syarat materil
kesaksian, maka keterangan saksi tersebut merupakan alat bukti yang
mempunyai nilai pembuktian yang sempuma, sesuai dengan maksud Pasal
308 ayat (1) dan 309 RBg;
Menimbang, bahwa berdasarkan dalil gugatan Penggugat serta
keterangannya dikaitkan dengan bukti-bukti dan sikap Penggugat di muka
sidang, maka ditemukan fakta sebagai berikut:
a. Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah pasangan suami istri sah
yang menikah pada tanggal 27 Januari 2012 dan sudah dikaruniai dua
orang anak yang bemama Daffa Alfariza. lahir tanggal 03 Juni 2012 M dan
Daffi Alfarizi, lahir tanggal 03 Juni 2012 M;
b. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah berpisah
tempattingga1dan tidak pemah hidup bersama Iagi sebagai suami istri
yang hingga kini sudah belangsung lebih kurang enam tahun Iamanya;
Menimbang, bahwa kondisi rumah tangga Penggugat dan tergugat
sudah mengalami keretakan dengan pisah tempat tinggal antara Penggugat
dan Tergugat karena apabila rumah tangga itu harmonis dan bahagia,
tentunya Penggugat dan Tergugat tetap tinggal bersama membina rumah
tangganya;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
83
Menimbang, bahwa pisahnya tempat tinggal antara Penggugat dan
Tergugat sudah Iebih kurang enam tahun lamanya dan tidak saling
memperdulikan Iagi sudah mempakan fakta bahwa adanya perselisihan
dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat. karena tidak mungkin
suami istri sah pisah tempat tinggal dan tidak saling memperdulikan tanpa
adanya suatu perselisihan dan penengkaran;
Memimbang, bahwa fakta-fakta tersebut di atas menunjukkan
bahwa perkawinan Penggugat dan Tergugat telah sampai pada kondisi
yang pecah (marriage breakdown) dan sudah sangat sulit untuk disatukan
lagi sehingga tidak ada harapan akan hidup rukun Iagi dalam rumah
tangga;
Menimbang. bahwa indikasi pecahnya rumah tangga Penggugat
dan Tergugat juga dapat dilihat dari sikap Penggugat selama persidangan
berlangsung yang benar-benar tidak ada keinginan Iagi untuk
mempertahankan ikatan perkawinannya dengan Tergugat;
Menimbang, bahwa oleh karena keadaan rumah tangga Penggugat
dan Tergugat telah sampai pada kondisi pecah (marriage breakdown).
maka dengan tidak mempertimbangkan Iagi dari pihak mana datangnya
penyebab perselisihan dan pertengkaran, sesuai dengan YurisprudenSI
Putusan Mahkamah Agung RI No. 38/K/AG/1990 dan Yurisprudensi
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 237 K/AG/1998 tanggal 17 Maret
1999 yang menetapkan bahwa oekook, hidup berpisah sudah Iebih dua
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
84
tahun, tidak dalam satu tempat kediaman bersama, salah satu pihak tidak
berniat meneruskan kehidupan bersama dengan pihak lain merupakan
fakta yang cukup sesuai alasan perceraian, dimana yang dituju dari Pasal
19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adaIah keadaan
pecah dan runtuhnya rumah tangga itu sendiri;
Menimbang, bahwa apabila salah satu pihak dalam suatu
perkawinan tidak ingin Iagi mempertahankan ikatan pekawinannya.
Makaupaya mempertahankan nya adalah merupakan upaya yang sia-sia
dan dipandang sudah sangat sulit untuk mewujudkan tujuan perkawinan
yaitu membina rumah tangga yang kekal, bahagia, sakinah, mawwadah,
dan rahmah, sebagaimana petunjuk Al Qur an dalam surat Ar-Rum ayat 21
dan maksud Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 juncto Pasal 3
Kompilasi Hukum Islam TAhun 1991;
Menimbang, bahwa perceraian adalah merupakan perbuatan halal
yang dibenci Allah SWT yang sedapat mungkin dihindari oleh setiap
pasangan keluarga, akan tetapi memoertahankan perkawinan Penggugat
dan Tergugat dengan kondisi seperti tersebut diatas, justru akan lebih
mendatangkan keburukan yang lebih besar daripada kemaslahatan yang
akan dicapai, diantaranya penderitaan batin yang berkepanjangan terutama
bagi penggugat, paadahal menolak keburukan lebih di prioritaskan dari
pada menarik kemaslahatan, sebagaimana disebutkan dalam kaidah
fiqhiyah yang dijadikan sebagai hujjah yang berbunyi sebagai berikut:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
85
جلب المصالحدرء المفاسد مقدم على
Artinya: “menolak mafsadat (keburukan) lebih di dahulukan daripada
menarik kemaslahatan (kebaikan)”;
Dengan demikian majelis hakim berpendapat bahwa jalan terbaik bagi
penggugat adalah bercerai dengan tergugat;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas
majelis hakim berkesimpulan bahwa alasan perceraian yang diajukan oleh
penggugat telah terbukti dan memenuhi ketentuan Pasal 39 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 juncto Pasal 19 huruf b dan f
Peraturan Pemerintahan Nomor 9 Tahun 1975 juncto pasal 116 huruf b
dan f Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991;
Menimbang, bahwa oleh karena ternyata tergugat telah dipanggil
dengan sepatutnya untuk menghadap di persidangan tidak pernah hadir
dan ternyata gugatan penggugat tidak melawan hukum dan beralasan, dan
penggugat mohon diberi putusan, maka demikian majelis hakim
berkesimpulan bahwa dengan berdasarkan ketentuan pasal 149 ayat (1)
RBg, gugatan penggugat sudah sepatutnya dapat dikabulkan dengan
verstek;
Menimbang, bahwa dalam hal ini sesuai pula dengan pendapat ahli
hukum Islam dalam kitab al Anwar Juz II halaman 55 yang diambil alih
sebagai pendapat majelis hakim dalam putusan ini yaitu:
فان تعزز بتعزز او توار او غيبة جاز اثباته بالبينة
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
86
Artinya: “apabila ia (tergugat) enggan untuk hadir atau bersembunyi atau
tidak diketahui tempat kediamannya, maka perkaranya boleh diputuskan
dengan didasarkan pada bukti-bukti (persaksian)”;
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan penggugat yang
berkenaan dengan hak asuh anak, maka majelis akan mempertimbangkan,
berikut ini;
Menimbang; bahwa berdasarkan pengakuan penggugat dan
bukti surat, terbukti bahwa perkawinan penggugat dengan tergugat teah
dikaruniai dua orang anak yang belum mummayiz sebagaimana telah di
pertimbangkan diatas;
Menimbang, bahwa majelis hakim perlu mempertimbangkan
bahwa menurut prinsip yang terkandung dalam pasal 41 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juncto Pasal 105 dan Pasal 156
Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991, dapat difahami bahwa kedua
orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan
sebgik-baiknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bila terjadi
perselisihan mengenai pemeliharaan anak (hadhanah), Pengadilan Agama
memberikan keplutusannya;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap
dimuka sidang terbukti bahwa Penggugat adalah beragama Islam,
mempunyai domisili tetap, dipandang cakap dan tidak berperilaku tercela
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
87
yang bisa berpengaruh buruk bagi anaknya serta mampu memeliharaanak
tersebut dengan baik;
Menimbang, bahwa oleh karena dalam perkara ini Tergugat
sudah diberi hak, namun tergugat tidak pernah datang kemuka sidang
untuk mempergunakan haknya baik dengan jawaban, bukti-bukti surat dan
bukti saksi yang menyatakan anak tersebut tidak pantas dibawah asuhan
Penggugat, mka dalam hal ini majelis hakim dengan mempertimbangkan
kondisi kedua anak Pengguga dan Tergugat yang secara yuridis belum
mummayiz atau berumur 12 tahun serta demi perkembangan psikologi dan
pendidikan anak kedepan, maka dengan tidak mengecilkan dan
membedakan peran antara tergugat selaku ayah kandung dengan
Penggugat sebagai ibu kandung, majelis hakim dengan merujuk pada
ketentuan Pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam memandang bahwa
hak pemeliharaan anak tersebut lebih layak dan patut ditetapkan kepada
Penggugat selaku ibu kandungnya;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut di atas maka tuntutan penggugat tentang hak asuh anak (dalam
petitum gugatan huruf c) dapat dikabulkan;
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah untuk kali kedua dengan Undang-
undang Nomor 50 Tahun 2009, semua biaya perkara ini di bebankan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
88
kepada Penggugat untuk membayarnya dengan jumlah sebgimana
termaktub pada ammar putusan ini;
Mengingat, semua ketentuan perundang-undangan yang berlaku
dan pasal-pasal yang berkenaan serta dalil-dalil syar’I yang berkaitan
dalam perkara ini;
5. Putusan dalam putusan Pengadilan Agama Medan (Nomor
1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn) :
1. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil secara resmi dan patut
untuk menghadap di muka sidang terakhir;
2. Mengabulkan gugatan penggugat dengan verstek;
3. Menjatuhkan talak satu ba‟in shugra Tergugat (Siddik Hawris
Affandi Lubis bin Irialdi Lubis) terhadap Penggugat (Hj. Lina
Sorayani Harahap binti H. Baharuddin Harahap)
4. Menetapkan Penggugat sebagai pemenang hak hadhanah terhadap
anak Penggugat dengan Tergugat yang bernama Daffa Alfariza, laki-
laki, lahir tanggal 03 Juni 2012 M dan Daffi Alfarizi, laki-laki, lahir
tanggal 03 Juni 2012 M sampai kedua anak tersebut dewasa;
5. Membebankan kepada Penggugat membayar biaya perkara sejumlah
Rp. 391.000,- (tiga ratu Sembilan puluh satu ribu rupiah);
Demikianlah putusan ini dijatuhkan dalam rapat permusyawaratan Majelis
Hakim Pengadilan Agama Medan pada hari Selasa tanggal 18 Desember
2018 Miladiyah, bertepatan dengan tanggal 10 Rabi’ul Akhir 1440
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
89
Hijriyah, oleh kami Drs. H. Amridal, SH, MA selaku Ketua Majelis, Drs.
H. Dahlan Siregar, SH, MH dan Drs. T. Syarwan, masing-masing selaku
Hakim Anggota, dan diucapkan oleh Ketua Majelis pada hari itu juga
dalam sidang terbuka untuk umum dengan didampingi oleh Hakim-Hakim
Anggota yang turut bersidang dan dibantu oleh Drs. Aidil selaku Panitera
Pengganti serta dihadiri oleh Penggugat tanpa hadirnya Tergugat.
B. Analisis Putusan Nomor 1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn tentang Cerai Ghaib
Dalam sebuah perkawinan tentu saja mengharapkan tercapainya tujuan
dari perkawinan yaitu yang sebagaimana disebutkan dalam Uundang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 yaitu “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Kenyataannya, banyak terjadi ketidakcocokan antara suami dan istri
dalam menjalankan rumah tangga sehingga tidak tercapainya tujuan dari
perkawinan tersebut. Salah satu hal yang menyebabkan putusnya perkawinan
adalah salah satu pihak yang meninggalkan pihak lain dalam kurun waktu
tertentu, Hal ini diatur sesuai ketentuan dalam Pasal 19 huruf (b) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 “perceraian dapat terjadi karena salah satu
pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak
lain dan tanpa alasan yang sah, atau karena hal lain diluar kemampuan”. Hal
inilah yang menyebabkan dan menjadi dasar terjadinya kaus cerai ghaib di
Indonesia, dimana dalam Pengadilan Agama Medan telah terjadi 115 kasus
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
90
perceraian ghaib di tahun 2019 yang terbagi atas cerai talak dan cerai gugat87
.
Dalam putusan cerai ghaib nomor 1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn, terdapat
beberapa hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengambil putusan,
diantaranya adalah adanya perselisihan dalam rumah tangga yang mengakibatkan
pertengkaran secara terus menerus yang berujung pada KDRT yang dilakukan
oleh tergugat kepada penggugat. Sesuai dengan keterangan Penggugat bahwa
sudah sering terjadi cekcok ataupun pertikaian yang terjadi, dimana selalu
berujung pada KDRT seperti mengeluarkan kata-kata kasar hingga berujung pada
tindak kekerasan seperti pemukulan, pencekikan, bahkan rambut penggugat
ditarik dan dijambak oleh tergugat.88
Hal ini sudah menjadi fakta yang cukup
sebagai pertimbangan hakim dalam memutus perceraian sesuai dengan ketetapan
Undang-undang, yaitu yang dapat menjadi alasan perceraian yang terdapat dalam
Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dimana disebutkan
bahwa “(f). Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.
Perselisihan yang terjadi menjadi penyebab berpisahnya Penggugat dan
Terguat dimana pada puncak dari pertikaian yang terjadi pada pertengahan tahun
2013, bermula dari Penggugat yang meminta tolong kepada Tergugat agar datang
kerumah abang kandung Penggugat, akan tetapi Tergugat menolak dengan alsan
capek dan malas, yang ada akhirnya memicu pertengkaran dan perselisihan antara
Penggugat dan Tergugat dimana pada saat pertengkaran tersebut dengan sadarnya
87
Wawancara dengan Emmafatri, Hakim Pengadilan Agama Medan, 27 Desember 2019
88
Wawancara dengan LSH, Penggugat dalam kasus cerai ghaib putusan Nomor
1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn , 27 Desember 2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
91
Tergugat memukul Penggugat, kemudian setelah pertengkaran tersebut Penggugat
mengusir Tergugat keluar dari rumah orangtua Penggugat maka sejak saat itulah
Penggugat dan Tergugat berpisah dan sudah tidak hidup bersama. Setelah itu,
Terugat pergi meninggalkan Penggugat dan anak-anaknya tanpa memberikan
kabar mengenai keberadaannya, sehingga menyebabkan hilang atau tidak
diketahuinya keberadaan Tergugat yang meninggalkan Penggugat selama 6 tahun
hingga saat ini. Atas dasar hal tersebut Penggugat mengajukan gugata cerai ke
Pengadilan Agama Medan yang merupakan gugatan cerai ghaib dikarenakan tidak
diketahuinya keberadaan tergugat dengan melampirkan salah satunya surat
keterangan ghaib sebagai syarat, yang dikeluarkan oleh lurah alamat terdahulu
yang menyebutkan bahwa tergugat tidak diketahui alamatnya baik didalam
wilayah Republik Indonesia maupun diluar wilayah Republik Indonesia.89
Setelah
diajukannya gugatan oleh penggugat ke Pengadilan Agama Medan, maka
selanjutnya akan dilakukan penunjukan Hakim oleh ketua Pengadilan Agama
Medan untuk melanjutkan perkara dan melaksanakan persidangan. Dalam cerai
ghaib juru sita akan memanggil pihak Tergugat dengan pengumuman melalui
surat kabar yaitu harian Sumut POS sebanyak 2 kali panggilan dalam kurun waktu
4 bulan.90
Atas dasar pertimbangan hakim, bahwa oleh karena Tergugat telah
dipanggil dengan sepatutnya untuk menghadap di persidangan tidak pernah hadir
dan terntara gugatan penggugat tidak melawan hukum dan beralsan, dan
Penggugar memohon diberikan putusan, maka dengan demikian Majelis Hakim
89
Wawancara dengan LSH, Penggugat dalam kasus cerai ghaib putusan Nomor
1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn , 27 Desember 2019 90
Wawancara dengan Emmafatri, Hakim Pengadilan Agama Medan, 27 Desember 2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
92
berkesimpulan bahwa dengan gugatan berdasarkan ketentuan pasal 149 ayat (1)
RBg, gugatan penggugat sudah sepatutnya dapat dikabulkan dengan verstek.
Dalam putusan cerai ghaib nomor 1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn, Penggugat
memohon hak hadhanah terhadap anak Penggugat dan Tergugat yang bernama
Daffa Alfariza, laki-laki, lahir tanggal 03 Juni 2012 M dan Daffi Alfarizi, laki-laki,
lahir tanggal 03 Juni 2012 M untuk jatuh ke tangan Penggugat. Merujuk pada
pasal 150 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam dimana dalam hal ternjadinya
perceraian “(a). Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya” maka hakim berdasarkan bukti berupa Fotokopi Kutipan
Akta Kelahiran nomor 1271-LT-28032013-0091 bertanggal 28 Maret 2013 atas
nama Daffa Alfariza, Fotokopi kutipan Akta Lahir nomor 1271-LT-28032013-
0270 bertanggal 23 Maret 2013 atas nama Daffi Alfarizi, yang dalam ini secara
yuridis belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun memutuskan bahwa hak
hadhanah kedua anak dari hasil perkawinan penggugat dan tergugat jatuh kepada
penggugat yang merupakan ibu kandung dari kedua anak tersebut. Selain itu
hakim dengan mempertimbankan keadaan jiwa tergugat yang cendrung
temperamental akan membawa dampak buruk bagi perkembangan psikologis dan
pendidikan anak kedepan.
Berdasarkan pertimbangan hukum hakim diatas, maka dalam hal ini hakim
sudah tepat menerapkan hukum in concreto terhadap kasus tersebut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
93
c. Perlindungan Hukum Para Pihak atas Putusan Nomor
1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn tentang Cerai Ghaib
Perceraian adalah merupakan perbuatan halal yang di benci Allah SWT yang
sedapat mungkin dihindari oleh setiap pasangan keluarga, akan tetapi
mempertahankan perkawinan Penggugat dan Tergugat dengan kondisi seperti
tersebut diatas, justru akan lebih mendatangkan keburukan yang lebih besar
daripada kemaslahatan yang akan dicapai. Dalam hal ini, penggugat telah
mengupayakan berbagai hal dalam mempertahankan perkawinan agar dapat
kembali, akan tetapi perbuatan tergugat yang tidak mengalami perubahan serta
tidak beritikad untuk kembali dan menyelesaikan permasalahan yang ada
menyebabkan perkawinan tidak dapat dipertahankan. Kepergian Tergugat selama
6 tahun tanpa kabar dan tidak diketahui keberadaannya, menyebabkan tidak
adanya kepastian hukum dan hak penggugat sebagai seorang istri, hal ini
diperlukan agar penggugat dapat mendapat kepastian atas status nya serta dapat
melanjutkan kembali kehidupannya.
Dalam putusan cerai ghaib nomor 1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn, perlindungan
hukum terhadap status penggugat bersifat permanent atau tetap. Setelah
dijalankannya berbagai peroses persidangan, hakim menjatuhkan putusan yang
kemudian diumumkan dengan menempelkan putusan di papan pengumuman
pengadilan ataupun melalui pemerintah yaitu kantor walikota, dalam kurun waktu
2 minggu. Jika dalam jangka waktu 2 minggu setelah putusan jatuh tidak ada
komplain ataupun perlawanan (verzet) oleh pihak tergugat, maka putusan bersifat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
94
tetap dan permanent serta tidak dapat diganggu gugat keberadaanya apabila kelak
suatu hari tergugat kembali.91
Menurut Satjito Rahardjo perlindungan hukum adalah adanya upaya
melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu Hak Asasi
Manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya
tersebut. Adapaun perlindungan hukum yang diberikan dalam cerai ghaib adalah
berupa kepastian terhadap status cerai yang didapatkan oleh penggugat. Status ini
bersifat mutlak dan permanen, keberadaaanya tidak dapat dipermasalahkan suatu
waktu jika pihak tergugat kembali. Namun, dalam cerai ghaib tidak ada putusan
hakim yang memberikan perlindungan hukum terhadap pemenuhan hak istri
dalam terjadinya perceraian, yang sebagaimana disebutkan dalam pasal 149 KHI :
“Bilamana perkawinan putus karena cerai talak maka bekas suami wajib:
a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang
atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam
iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba‟in atau nusyus dan
dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila
qobla al dukhul;
d. memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun”
Hak istri untuk memperoleh haknya berupa mut’ah maupun mendapatkan nafkah,
maskan, dan kiswah tidak dapat terpenuhi dikarenakan keberadaan dari suami
yang ghaib atau tidak diketahui keberadaannya.
91
Wawancara dengan Emmafatri, Hakim Pengadilan Agama Medan, 27 Desember 2019.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
95
Putusan hakim juga tidak dapat memberikan perlindungan hukum mengenai
pemenuhan kewajiban nafkah pasca perceraian terhadap anak dari perkawinan
tersebut yang sebagaimana diatur dalam pasal 156 huruf d :
“ semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat
mengurusu diri sendiri (21 tahun)”
Hal ini melanggar ketentuan KHI yang sudah menyebutkan bahwa semua biaya
hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut
kemampuannya, hal ini disebabkan karena tidak diketahuinya keberadaan dari
suami, sehingga tanggung jawab biaya hadhanah dan nafkah menjadi tanggung
jawab dari istri.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
96
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengaturan cerai ghaib di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena
salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama dua tahun berturut-
turut tanpa izin. Sejalan dengan UUP jo PP No. 9 Tahun 1975, KHI juga
melalui pasal 45 tentang taklik talak dan pasal 116 huruf b yang memuat
ketentuan tentang sebab perceraian karena salah satu pihak meninggalkan
pasangannya selama 2 tahun berturut-turut yang dapat digunakan sebagai
dasar gugatan cerai ghaib.
2. Akibat hukum yang ditimbulkan dari cerai ghaib adalah cerai ghaib akan
memberikan kepastian hukum terhadap status pihak yang ditinggalkan tanpa
adanya kabar, hal ini dapat menyebabkan tidak jelasnya status perkawinan,
sehingga menimbulkan tidak terpenuhinya kewajiban dan hak yang
seharusnya dilakukan suami atau istri dalam perkawinan tersebut. Selain
terhadap status perkawinan istri dan suami, hak hadhanah anak juga
mendapat kepastian, dimana hadhanah jatuh ke tangan istri atau pasangan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
97
yang ditinggalkan.
3. Perlindungan hukum terhadap para pihak dalam putusan nomor
1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn yaitu terkait cerai ghaib adalah berupa kepastian
hukum terhadap status perkawinan bagi kedua belah pihak, khususnya pihak
penggugat. Sedangkan perlindungan hukum untuk hak-hak istri dalam masa
iddah sebagaimana yang disebutkam dalam pasal 149 KHI tidak dapat
dipenuhi dikarenakan keberadaan dari suami yang ghaib atau tidak
diketahui. Kemudian, terhadap hak anak untuk mendapatkan nafkah lahir
maupun bathin yang seharusnya diberikan oleh ayahnya sebagaimana diatur
dalam pasal 156 huruf d tidak mendapatkan perlindungan hukum dalam
putusan hakim, hal ini disebabkan karena tidak diketahuinya keberadaan
dari ayah atau tergugat. Sehingga kewajiban untuk memberikan hak
hadhanah dan nafkah lahir bathin, berada ditangan ibu.
2. SARAN
Ada tiga tujuan hukum menurut Gustav Radbruch yaitu keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum. Jadi, hukum yang seharusnya ada yaitu hukum
yang berjalan sesuai perkembangan dan keadaan masyarakat itu dan hukum yang
baik adalah hukum yang bermanfaat dan tepat pada tujuannya. Sehingga hukum
dapat berlaku adil serta berguna dalam hal menjamin hak-hak masyarakat. Saran
penulis setelah melakukan penelitian terkait cerai ghaib yaitu sebagai berikut :
1. Sejatinya tidak ada pasangan yang menginginkan adanya kegagalan dalam
rumah tangga, semua pasangan suami istri tentunya menginginkan
tercapainya tujuan bersama dalam suatu perkawinan. Namun ada banyak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
98
faktor yang mengakibatkan konflik dan ketidakcocokan yang menyebabkan
kandasnya suatu perkawinan. Dalam hukum Islam perceraian adalah
perbuatan yang halal yang dibenci Allah SWT yang sedapat mungkin
dihindari setiap pasangan suami istri. Akan tetapi mempertahankan
perkawinan dengan kondisi konflik dan menyebabkan luka baik fisik maupun
batin terhadap salah satu pihak justru akan mendatangkan keburukan yang
lebih besar daripada kemaslahatan. Cerai ghaib dapat menjadi jalan bagi
suami atau istri yang tidak dapat dipenuhi baik hak maupun kewaibannya
dikarenakan salah satu pihak telah pergi meninggalkannya ataupun hilang
tanpa kabar. Pengaturan hukum mengenai cerai ghaib di Indonesia dinilai
sudah tepat guna memberikan kepastian hukum bagi pihak yang ditinggalkan.
Namun, masih membutuhkan satu pengaturan yang mengatur khusus
mengenai cerai ghaib, sehingga pelaksannnya dapat berjalan tepat sasaran dan
dapat memberikan pengaturan yang lebih memenuhi mengenai hak-hak istri
yang ditinggalkan. Selain itu masih bnyak masyarakat yang belum
mengetahui tentang adanya cerai ghaib, sehingga menyebabkan banyak yang
membiarkan saja status perkawinan yang tidak jelas. Dikarenakan didalam
kehidupan masyarakat terdapat ketidaktahuan mengenai aturan yang berlaku,
pemerintah juga harus melakukan sosialisasi langsung ke masyarakat untuk
memberikan informasi langsung mengenai aturan-aturan mengenai perceraian
dan perkawinan di Indonesia.
2. Akibat hukum yang ditimbulkan dari cerai ghaib adalah timbulnya status
baru bagi pihak yang mengajukan gugatan yang selama ini ditinggalkan dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
99
tidak mendapat kejelasan terhadap pemenuhan hak dan kewajibannya dalam
rumah tangga. Cerai ghiab dapat menjadi jalan keluar bagi suami atau istri
yang tidak mendapat kejelasan bagi status perkawinannya dan status hak
hadhanah terhadap anak yang lahir dalam perkawinan tersebut. Hendaknya
para pihak yang terdapat dalam putusan cerai ghaib tersebut memenuhi dan
menaati putusan yang ada, Agar tidak terjadi konflik dikemudian hari baik
mengenai status perceraian atau hak asuh anak agar para pihak dapat
melanjutkan kembali roda kehidupan sesuai dengan jalannya masing-masing.
3. Perlindungan hukum tergadap para pihak terkait dengan putusan Pengadilan
Agama Medan Nomor 1831/Pdt.G/2018/PA.Mdn adalah putusan cerai yang
dikeluarkan oleh hakim bersifsat tetap dan mutlak, sehingga apabila suatu
hari pihak tergugat datang untuk mempermasalahkan perihal status peceraian
maupun hak asuh anak maka akta perceraian dapat menjadi alat bukti yang
sah dan kuat atas putusan cerai tersebut. Dalam beberapa kasus cerai ghaib
pihak tergugat seringkali datang dikemudian hari untuk mempermasalahkan
status dan keadaan yang ada, dengan beralasan bahwa tidak tersampainya
kabar mengenai gugatan perceraian. Hal ini menunjukkan kurangnya
efektivitas pengadilan dalam melakukan pemanggilan terhadap tergugat
dengan melakukan pemanggilan baik melalui surat kabar maupun papan
pengumuman, hendaknya pihak pengadilan menyesuaikan cara pemanggilan
dengan memanfaatkan tekhnologi yang ada, seperti penyebaran berita melalui
surat kabar online ataupun mempergunakan peran media social yang
sekarang ini banyak dipergunakan masyarakat. Selain hal tersebut, tidak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
100
terpenuhinya perlindungan hukum terhadap hak istri dalam perceraian yang
seharusnya diberikan, dan hak anak untuk mendapatkan nafkah lahir dan
bathin yang seharusnya menjadi kewajiban ayah tidak dapat terpenuhi
sehingga hak tersebut jatuh ke tangan ibu. Hal ini memerlukan aturan khusus
lebih lanjut yang perlu ditetapkan agar kedepannya istri dan anak dalam cerai
ghaib dapat terpenuhi hak nya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
101
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Abdurrahman, 1992, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika
Pressindo, Jakarta
Al-hamdani, H.S.A, 2011, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), Pustaka
Amani, Jakarta
Anshori, Abdul Ghofur, 2011, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikh dan
Hukum Psitif), UII Press, Yogyakarta
As-shabumi, Muhammad Ali, 1992, Hukum Waris Dalam Syari‟at Islam,
Diponegoro, Surakarta
Effendy, Jonaedi & Johny Ibrahi
m, 2016, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Prenadamedia Group,
Depok
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan
Hukum Adat Hukum Agama, 2007, CV Mandar Maju, Bandung
Latif, Djamil, 1982, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta
Malik, Rusdi, 2010, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia,
Universitas Trisakti, Jakarta
Mardani, 2016, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Pernada Media, Jakarta
Mujieb, Muhammad Abdul & Mabruri Tholhah & Syafi’ah AM, 1994, Kamus
Istilah Fikih, Pustaka Firdaus, Jakarta
Prodjohamidjojo, Martiman, 2007, Hukum Perkawinan di Indonesia, Karya
Gemilang, Jakarta
Rofiq, Ahmad, 2003, Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta
Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normative (suatu
Tinjauan Singkat), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Subekti,1985, Pokok-pokok Hukum Perdata, Internusa, Jakarta
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
102
Sudarsono, 2005, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta
Sunggono, Bambang, 2003, Metodelogi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Simanjuntak, P.N.H, 1999, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, PB Gadjah
Mada, Jakarta
Syaifuddin, Muhammad, dkk, 2012, Hukum Perceraian, Sinar Grafika, Jakarta
Syarifudin, Amir, 2009, Hukum perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh
Munarakahat dan Undang-undang Perkawinan, Penada Media, Jakarta
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kamus
Besar Bahasa Indonesia edisi ke 2, 1997, Balai Pustaka, Jakarta
Umam, Dian Khairul, 1999, Fiqih Mawaris, Pustaka Setia, Bandung
Yunus, Mahmud, 1973, Kamus Arab Indonesia, Yayasan
Penyelenggara/Penafdir Al Qur an, Jakarta
B. JURNAL
Hasanah, Uswatu, “Proses Penyelesaian Perkara Cerai Ghaib di Pengadilan
Agama”, Majalah Keadilan, Volume 18, Nomor 2, desember 2018, hal 11.
C. INTERNET
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt57ccddd31c9bf/arti-
gugatan-cerai-ghaib/
https://www.pa-semarang.go.id/layanan-hukum/prosedur-beracara/perkara-cerai-
gugat.
https://www.pa-tulangbawangtengah.go.id/layanan-hukum/prosedur-
beracara/prosedur-cerai-talak.html
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA