Cekungan Sumtera Selatan 2

13
11 BAB II GEOLOGI REGIONAL Pulau Sumatra berada pada daerah busur kepulauan antara lempeng Indo- Australia yang relatif bergerak ke utara dengan lempeng Asia yang relatif bergerak ke arah selatan. Kegiatan tektonik ini membentuk elemen-elemen seperti palung, busur kepulauan, cekungan depan busur, busur gunungapi, dan cekungan belakang busur. Kegiatan tektonik menyebabkan terbentuknya cekungan sedimen yang berumur Tersier yang berada di belakang busur gunung api atau sebelah timur Pegunungan Barisan serta termasuk ke dalam cekungan belakang busur. Salah satu cekungan tersebut adalah Cekungan Sumatera Selatan, tempat terendapkannya batuan sedimen pembawa batubara berumur Tersier Akhir, yaitu Formasi Muara Enim. Pada akhir Tersier sampai Kuarter, aktifitas tektonik terus berlanjut dan menyebabkan batuan sedimen yang ada di P. Sumatera terangkat, tersesarkan dan terlipat. Pada kala ini terbentuk Antiklinorium Muara Enim. Beberapa penyelidikan telah dilakukan oleh para ahli baik regional maupun lokal yaitu : Penyelidikan stratigrafi regional Cekungan Sumatera Selatan, a.l : Tobler (1906), Hartman (1918), De Coster (1974), Koesoemadinata (1978) dan PT. Shell Minjbouw (1978), Pulunggono (1992). Penyelidikan lokal, yaitu pemetaan geologi skala 1 : 10.000 dan pemboran explorasi a.l. : PT. Shell Minjbouw (1978), Kinhill-Otto Gold (1987), PTBA (1995), PPTM (1997) serta pemetaan foto udara skala 1 : 5000 (1997) oleh PT. Mapindo Parama Hasil penyelidikan lain Penyelidikan dilakukan selain pemetaan dan pemboran juga dilakukan penyelidikan logging geofisika pada setiap lubang bor.

Transcript of Cekungan Sumtera Selatan 2

11

BAB II

GEOLOGI REGIONAL

Pulau Sumatra berada pada daerah busur kepulauan antara lempeng Indo-

Australia yang relatif bergerak ke utara dengan lempeng Asia yang relatif bergerak ke

arah selatan. Kegiatan tektonik ini membentuk elemen-elemen seperti palung, busur

kepulauan, cekungan depan busur, busur gunungapi, dan cekungan belakang busur.

Kegiatan tektonik menyebabkan terbentuknya cekungan sedimen yang

berumur Tersier yang berada di belakang busur gunung api atau sebelah timur

Pegunungan Barisan serta termasuk ke dalam cekungan belakang busur. Salah satu

cekungan tersebut adalah Cekungan Sumatera Selatan, tempat terendapkannya batuan

sedimen pembawa batubara berumur Tersier Akhir, yaitu Formasi Muara Enim.

Pada akhir Tersier sampai Kuarter, aktifitas tektonik terus berlanjut dan

menyebabkan batuan sedimen yang ada di P. Sumatera terangkat, tersesarkan dan

terlipat. Pada kala ini terbentuk Antiklinorium Muara Enim.

Beberapa penyelidikan telah dilakukan oleh para ahli baik regional maupun lokal

yaitu :

• Penyelidikan stratigrafi regional Cekungan Sumatera Selatan, a.l : Tobler

(1906), Hartman (1918), De Coster (1974), Koesoemadinata (1978) dan PT.

Shell Minjbouw (1978), Pulunggono (1992).

• Penyelidikan lokal, yaitu pemetaan geologi skala 1 : 10.000 dan pemboran

explorasi a.l. : PT. Shell Minjbouw (1978), Kinhill-Otto Gold (1987), PTBA

(1995), PPTM (1997) serta pemetaan foto udara skala 1 : 5000 (1997) oleh

PT. Mapindo Parama

Hasil penyelidikan lain

• Penyelidikan dilakukan selain pemetaan dan pemboran juga dilakukan

penyelidikan logging geofisika pada setiap lubang bor.

12

• Peta topografi yang tersedia adalah Peta Topografi Skala 1 : 5000 yaitu hasil

pemetaan foto udara Daerah Tanjung Enim oleh PT. Mapindo Parama

(1997).

2.1. FISIOGRAFI

Secara fisiografis bagian selatan dari Sumatera ini dapat dibagi menjadi 4 (empat)

bagian, yaitu :

1. Cekungan Sumatera Selatan,

2. Bukit Barisan dan Tinggian lampung,

3. Cekungan Bengkulu, meliputi lepas pantai antara daratan Sumatera dan

rangkaian pulau-pulau di sebelah barat Sumatera, dan

4. Rangkaian kepulauan (fore arc ridge) di sebelah barat Sumatera, yang

membentuk suatu busur tak bergunung-api di sebelah barat P. Sumatera

(Gambar II.1).

Berdasarkan konsep Tektonik Lempeng, kedudukan cekungan batubara

Tersier di Indonesia bagian barat berkaitan dengan sistem busur kepulauan. Dalam

sistem ini dikenal adanya cekungan busur belakang, cekungan busur depan dan

cekungan antar busur. Masing-masing cekungan tersebut memiliki karakteristik

endapan batubara yang berbeda antara satu dengan lainnya. Menurut Koesoemadinata

dkk. (1978), semua cekungan batubara Tersier di Indonesia (termasuk Cekungan

Sumatera Selatan) digolongkan jenis cekungan paparan karena berhubungan dengan

kerak benua pada semua sisinya, kecuali Cekungan Kutai dan Cekungan Tarakan di

Kalimantan Timur yang digolongkan sebagai continental margin.

13

Gambar II.1. Fisiografi cekungan Sumatra Selatan (Hutchison, 1996)

Cekungan Sumatera Selatan telah mengalami empat kali orogenesa, yakni :

pada zaman Mezosoikum Tengah, Jura Awal –Kapur Awal, Kapur Akhir – Tersier

Awal, Plio-Pleistosen. Setelah orogenesa terakhir dihasilkan kondisi struktur geologi

regional seperti terlihat pada saat ini, yaitu :

• Zone Sesar Semangko, merupakan hasil tumbukan antara Lempeng Sumatera

Hindia dan Pulau Sumatera, akibat tumbukan ini menimbulkan gerak sesar

geser menganan (right lateral) diantara keduanya.

• Perlipatan dengan arah utama baratlaut – tenggara, sebagai hasil efek gaya

kopel sesar Semangko.

• Sesar-sesar yang berasosiasi dengan perlipatan dan sesar-sesar Pra Tersier

yang mengalami peremajaan.

Berkenaan dengan posisi dan aktivitas tektonik lempeng maka hampir di

seluruh wilayah bagian selatan-barat P. Sumatera merupakan daerah yang relatif

sering terjadi gempa bumi. Secara seismik telah tercatat beberapa gempa bumi yang

memiliki skala Richter cukup tinggi antara 5 hingga 6. Namun demikian banyak

14

wilayah prospek tambang di Indonesia yang memiliki kecenderungan seismitivitas

tinggi tepat dapat beroperasi dengan aman selama nilai-nilai keamanan selalu

diperhitungkan dalam pembuatan design tambang, terutama yang menyangkut

stabilitas lereng.

2.2. STRATIGRAFI

Cekungan Sumatera Selatan membentang mulai dari tinggian Asahan di

baratlaut sampai ke tinggian Lampung yang terletak di bagian paling Selatan pulau.

Dibatasi oleh pegunungan Barisan di sebelah Baratdaya.

Batuan Pra-Tersier, yang terdiri atas batuan malihan dan batuan beku berumur

Mesozoikum, diduga merupakan dasar dari cekungan Tersier yang ada. Satuan batuan

dasar ini telah mengalami pensesaran, perlipatan, dan penerobosan.

Sedimentasi yang terjadi di Cekungan Sumatera Selatan berlangsung pada dua

fase (Jackson, 1961), yaitu :

• Fase transgresi, pada fase ini diendapkan dari kelompok Telisa, yang

terdiri dari Formasi Lahat, Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, dan

Formasi Gumai. Kelompok Telisa ini diendapakan secara tidak selaras di

atas Batuan induk Pra-Tersier.

• Fase regresi, pada fase ini dihasilkan endapan dari kelompok Palembang

yang terdiri dari Formasi Air Benakat, Formasi Muara enim, dan Formasi

Kasai.

Batuan yang menjadi dasar cekungan diduga berupa terdiri atas batuan

malihan dan batuan beku yang berumur Mesozoikum

Formasi Lahat

Formasi ini diendapkan tidak selaras di atas batuan dasar yang berumur Pra-tersier

(gambar 2.3). Berumur Paleosen sampai Awal Oligosen. Memiliki ketebalan antara

760 sampai 1070 meter. Formasi ini menipis dan menghilang

15

Gambar II.2 Kolom stratigrafi cekungan Sumatera Selatan (Van

Bemmelen, 1973)

pada sayap antiklin Pendopo. Formasi ini diendapakan pada

lingkungan darat, kehadiran tuff menunjukkan adanya aktifitas volkanik

Formasi ini terdiri dari Konglomerat, Batupasir, Batulempung abu-abu

sampai hitam kecoklatan, tufa, breksi dan terkadang terdapat lapisan Batubara

tipis.

16

Formasi Talang Akar

Formasi ini diendapkan secara tidak selaras (gambar II.2) di atas

Formasi Lahat (de Coster dan Koesomadinata, 1974), tetapi Pulunggono

(1976) mengatakan bahwa formasi ini terletak selaras di atas Formasi Lahat.

Pada bagian tepi cekungan formasi ini diendapakan secara tidak selaras di atas

batuan Pra-Tersier. Formasi ini memiliki umur Oligosen Atas – Miosen

Bawah dengan ketenalan berkisar antara 460 sampai 610 meter. Formasi ini

diendapakan pada lingkungan laut dangkal sampai fluviatil.

Formasi Talang Akar dicirikan oleh batuan berupa Batulanau,

Batupasir, dan sisipan Batubara. Pada bagian tengah terdapat serpih yang

diendapkan pada lingkungan laut. Kandungan pasir yang ada pada formasi ini

semakin bertambah mendekati tepi cekungan.

Formasi Baturaja

Formasi ini diendapakan selaras di atas Formasi Talang Akar (gambar

II.2). Formasi ini memiliki ketebalan 200 sampai 250 meter, pada Bukit Garba

ketebalannya mencapai 520 meter. Formasi Baturaja diendapkan pada Awal

Miosen dan pada lingkungan darat sampai laut dangkal.

Formasi Baturaja dicirikan oleh batuan berupa Batugamping keras dan

berlapis, Batugamping pasiran, Btugamping Serpihan, Serpih gampingan,

napal dengan kandungan fosil foraminifera, moluska dan koral. Batugamping

pada formasi ini beralih menjadi serpih gampingan mendekati tengah

cekungan, dan menjadi Batupasir gampingan kaya akan glaukonit ke arah

pinggir cekungan.

Formasi Gumai

Formasi ini diendapkan selaras di atas Formasi Baturaja (gambar II.2).

Memimilki ketebalan kurang lebih 2200 meter, kecuali pada daerah depresi

Lemarang ketebalannya 4800 meter, dan mencapai beberapa ratus meter pada

Pegunungan Gumai. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dalam

17

dimana air laut menggenangi hampir seluruh cekungan. Formasi Gumai

berumur Miosen Bawah sampai Miosen Tengah.

Formasi Gumai dicirikan oleh batuan berupa Batupasir gampingan, dan

Serpih gampingan kaya akan foraminifera pada bagian bawah dan sisipan

Batugamping tipis pada bagian tengah dan atas.

Formasi Air Benakat

Formasi Air Benakat diendapkan selaras di atas Formasi Gumai

(gambar II.2). Formasi ini memiliki ketebalan lapisan antara 100 sampai 130

meter. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal, yang juga

menunjukkan awal dari siklus regresi. Formasi Air Benakat memiliki umur

Miosen Akhir.

Formasi Air Benakat memiliki ciri-ciri batuan berupa Serpih

gampingan kaya akan foraminifera dengan sisipan Batugamping pada bagian

bawah. Semakin ke atas dijumpai sisipan-sisipan Batupasir yang banyak

mengandung glaukonit dan presentase kandungan Batupasir semakin ke atas

semakin besar. Pada bagian atas dijumpai adanya sisa-sisa tumbuhan dan

Batubara Kladi yang merupakan batas Formasi Air Benakat dan Formasi

Muara Enim.

Formasi Muara Enim

Formasi Muara Enim diendapkan selaras di atas Formasi Air Benakat

(gambar II.2). Formasi ini memiliki ketebalan antara 450 sampai 1200 meter

dengan umur Miosen Atas – Pliosen. Formasi ini diendapkan pada lingkungan

laut dangkal, dataran delta dan non-marine.

Formasi Muara Enim dicirikan oleh batuan yang berupa Batupasir,

Batulanau, Batulempung, dan Batubara. Pada bagian atas formasi ini sering

terdapat Tuf atau lempung tufaan. Formasi ini juga merupakan formasi

pembawa batubara yang dapat dibedakan menjadi 4 anggota (gambar 2.4),

terdiri dari yang tertua ke yang termuda yaitu :

18

M1 : terdiri dari pasir, lanau dan lempung berwarna coklat dan abu-abu

dengan sedikit glaukonitan. Terdiri dari seam batubara Keladi

dan Merapi.

M2 : batas atasnya ditempatkan pada puncak seam Mangus dan batas

bawah pada lantai seam Petai. Anggota M2 terdiri dari

perulangan batu lempung, lempung pasiran berwarna coklat abu-

abu, pasir halus-sedang, coklat abu-abu dibagian bawah

berwarna hijau abu-abu, serta batubara. Lapisan batubara yang

terdapat dalam anggota ini terdiri dari seam Petai, Suban, dan

Mangus, dengan penyebaran tidak kontinyu

M3 : terdiri dari perselingan pasir dan lanau, biru hijau, lempung abu-

abu hijau dan coklat, horizon pasir 3-6 meter yang terletak 40

meter diatas seam Mangus dan terdapat kantong-kantong gas.

Batupasir dalam anggota ini dicirikan oleh kehadiran nodul-

nodul batubesi kalsitan yang mempunyai rongga-rongga bekas

gas. Terdiri dari lapisan batubara Benuang dan Burung.

M4 : terutama disusun oleh batulempung dan batupasir serta beberapa

lapisan batubara. Lapisan batubara terdiri dari seam Kebon,

Enim, Jelawatan dan Niru.

Gambar II.3 Seam Batubara anggota Formasi Muara Enim (Bamco, 1983;

Gafoer et. Al, 1986)

19

Endapan batubara yang terdapat pada Formasi Muara Enim berdasarkan

kompilasi data dari beberapa lapangan batubara diketahui seluruhnya berjumlah ± 21

lapisan batubara. Namun di beberapa lapangan batubara endapan batubara utama

yang dijumpai adalah sebanyak 10 (sepuluh) lapisan, yakni lapisan Batubara Mangus

sebanyak 2 lapisan (A1 dan A2), Batubara Suban sebanyak 2 lapisan (B/B1 dan B2),

Batubara Petai (C) sebanyak 3 lapisan (C/C1, C2 dan C3), Batubara Merapi (D)

sebanyak 1 lapisan, dan Batubara Kladi (E) sebanyak 2 lapisan (E/E1 dan E2)

Formasi Kasai

Formasi ini diendapkan selaras namun di beberapa tempat diendapkan tidak

selaras di atas Formasi Muara Enim, endapan Tersier terakrasi di Cekungan Sumatera

Selatan. Formasi ini diendapkan pada lingkungan darat dengan ketebalan antara 500

samapai 1000 meter dan berumur Pliosen Bawah.

Formasi Kasai dicirikan oleh batuan berupa Batupasir tufaan dan kerikil yang

merupakan hasil rombakan batuan sedimen hasil pembentukan antiklin yang

terbentuk selama orogenesa Plio-Pleistosen, hasil rombakan Bukit Barisan, dan hasil

aktivitas volkanik.

20

2.3. STRUKTUR GEOLOGI

Struktur yang dijumpai pada cekungan Sumatra Selatan adalah lipatan, sesar

dan kekar yang sebagian besar terjadi pada batuan Tersier. Lipatan yang terjadi pada

umumnya berarah baratlaut – tenggara sampai barat-timur, pada batuan yang berumur

Oligosen-Miosen sampai Plio-Plistosen. Sesar turun, berarah baratlaut-tenggara,

terjadi pada batuan yang berumur Oligosen-Miosen sampai Miosen Tengah, dan pada

batuan yang berumur Miosen sampai Plio-Plistosen memiliki arah timurlaut-

baratdaya sampai utara-selatan. Kekar yang terjadi pada umumnya berarah timurlaut-

baratdaya sampai timur-barat.

Cekungan Sumatra Selatan merupakan bagian dari cekungan belakang busur

Sumatra, dan dipisahkan dari cekungan Sumatra Tengah pada bagian utara, oleh

pegunungan Duabelas/Tigapuluh, yang merupakan singkapan batuan pra-Tersier,

pada bagian selatan dibatasi oleh Tinggian Lampung. Pada bagian barat Cekungan

Sumatera Selatan dibatasi oleh Bukit Barisan dan batas timur berupa Paparan Sunda.

Seperti juga halnya dengan cekungan Sumatra Timur lainnya, pola perkembangan

tektoniknya sangat dipengaruhi oleh sesar-sesar mendatar menganan (sesar

Semangko), yang terjadi sebagai akibat interaksi konvergen antara lempeng Hindia -

Australia dan lempeng Mikro-Sunda.

Pada Cekungan Sumatra Selatan dapat diamati adanya 3 (tiga) pola sesar utama,

yang sebagian besar di rekam dari data geofisik (seismik dan gayaberat)dan dari hasil

korelasi pemboran (Pulunggono, 1983). Arah-arah tersebut adalah : baratlaut-

tenggara, utara-selatan, timurlaut-baratdaya (gambar II.4). Hal ini disebabkan

terjadinya perubahan arah subduksi pada Jura Akhir-Kapur Akhir, Kapur Akhir-

Tersier Awal, Miosen Tengah-Resen (gambar II.5).

Perlipatan yang melibatkan semua batuan Tersier di cekungan Sumatra selatan,

memperlihatkan arah yang hampir sama yaitu baratlaut-tenggara, kurang lebih

tegaklurus pada tegasan Sumatra yang berarah timurlaut-baratdaya. Pola-pola sesar

ini juga nampaknya sangat berperan sebagai kontrol dalam sebaran dan bentuk

daripada cekungan dan sub-sub cekungan di Sumatra Selatan.

21

Gambar II.4 Model elipsoidal Jura Awal – Resen (Pulunggono,1996)

Gambar II.5 Subduksi antara lempeng Samudra Hindia dengan Paparan Sunda mulai

Jura Awal sampai Resen dan efek yang terkait (Pulunggono, 1996)

22

Sejarah tektonik pada cekungan Sumatra Selatan dari Mesozoikum Tengah

sampai Resen dapat dibagi menjadi empat peristiwa utama (de Coster, 1974) :

Mesozoikum Tengah

Pada saat ini batuan-batuan yang berumur Paleozoikum dan awal Mesozoikum

mengalami perlipatan, pengangkatan, pensesaran, metamorfisme yang kemudian

menjadi zona kompleks pembentuk kerangka struktur dasar Sumatra. Batuan

Mesozoikum Tengah tersingkap di sepanjang Bukit Barisan dan Tigapuluh,

Duabelas, dan beberapa pegunungan yang berada di daerah cekungan.

Berdasarkan pengamatan anomali gaya berat dan arah penyebaran batas litologi

batuan yang berumur Paleozoikum dan Mesozoikum, ditemukan adanya suatu

patahan baratlaut- tenggara (arah sumatra) dan sejajar batas penyebaran batuan Pra-

Tersier.

Kapur Akhir – Tersier Awal

Pada Kapur Akhir- Tersier Awal terjadi tensile stress pada area cekungan

Sumatra Selatan yang menciptakan fase ekstensi. Tensile stress pada Cekugan

Sumatra Selatan menghasilkan struktur-struktur yang berhubungan dengan sesar

geser dengan arah utara- selatan. Batuan yang diduga memiliki umur Kapur Akhir-

Tersier Awal tersingkap berupa batuan Tufa dan klastik pada sumur Lawu dan

sepanjang pegunungan di bagian tenggara Lahat.

Miosen Tengah

Pada Tersier Awal – Miosen, terjadi subsiden pada cekungan Sumatra Selatan dan

pengendapan sedimen Tersier. Subsiden ini diselingi peristiwa diastrophisme pada

pegunungan Bukit Barisan dan pergerakan struktur minor di daerah cekungan

Sumatra Selatan. Pada masa tektonik ini dihasilkan sesar turun dan ketidakselarasan

setempat.

23

Plio-Pleistosen

Peristiwa tektonik pada Plio-Pleistosen merupakan yang terkahir yang memengaruhi

perkembangan geologi Sumatra. Pada peristiwa ini terjadi pengangkatan Pegunungan

Bukit Barisan, perkembangan sesar geser Semangko di sepanjang Pegunungna Bukit

Barisan, pembentukan gunungapi , perlipatan dan pensesaran batuan seperti yang kita

ketahui pada saat ini.

Pada masa ini dihasilkan :

• Semangko wrench fault

• Perlipatan dengan arah utama baratlaut- tenggara akibat Sesar Semangko

• Patahan-patahan yang berasosiasi dengan perlipatan dan juga patahan-

patahan Pra-Tersier yang mengalami peremajaan.

Perlipatan di Cekungan Sumatera Selatan menghasilkan :

• Antiklinorium Muara Enim

• Antiklinorium Pendopo

• Antiklinorium Palembang