Cea Karsinoma Kolon

44
BAB I PENDAHULUAN I.1 PENGANTAR Tumor usus halus jarang terjadi,sebaliknya tumor usus besar atau rectum relative umum. Di Amerika Serikat menempati urutan kedua untuk kanker organ visceral dan 20% dari kematian karena penyakit kanker adalah akibat kanker kolorektal. Karsinoma kolorektal sering dijumpai pada dekade 6 dan 7, merupakan penyakit yang banyak menyebabkan kematian. Kejadian karsinoma kolorektal pada usia muda tidak banyak dijumpai. Dari penelitian yang dilakukan olh Harijono Achmad di RSSA Malang, didapatkan bahwa kasus karsinoma kolorektal di Indonesia sebanyak 97 penderita selama 5 tahun,terdiri dari penderita di bawah 30 tahun sebanyak 14 penderita (14,26%). Menurut Petrek, lokasi keganasan kolorektal terbanyak pada rektum (22%), rekto sigmoid (8%), sigmoid (20%), kolon desenden (12%), flexura lienalis (8%), kolon tranversum (6%),flexura hepatika (4%), kolon asenden (6%), cecum (12%),appendix (2%). Karsinoma kolorektal banyak terdapat di Eropa Barat,.Amerika Utara. Di Asia, banyak terdapat di Jepang, diduga karena perbedaan pola hidup dan makanan. Beberapa faktor antara lain lingkungan, genetik dan immunologi merupakan faktor predisposisi tumbuhnya kanker kolon, di samping bahan karsinogen, bakteri dan virus. Gejala klinik karsinoma kolorektal tergantung dari lokasi tumor. Kanker cecum dan kolon asenden biasanya tidak memberikan gejala obstruksi, sedangkan kanker rekto sigmoid dapat menyumbat lumen atau berdarah. Lebih dari 156.000 orang terdiagnosa setiap tahunnya, kira-kira setengah dari jumlah tersebut meninggal setiap tahunnya, meskipun sekitar tiga dari empat pasien dapat diselamatkan dengan diagnosis dini dan tindakan segera. Laporan kasus Lab JUPF Ilmu Penyaki Dalam FK. UNIBRAW RSSA Malang, tangga1 17 Juni 1992. 1

description

Cea Karsinoma Kolon

Transcript of Cea Karsinoma Kolon

Page 1: Cea Karsinoma Kolon

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 PENGANTAR

Tumor usus halus jarang terjadi,sebaliknya tumor usus besar atau rectum relative umum. Di

Amerika Serikat menempati urutan kedua untuk kanker organ visceral dan 20% dari kematian

karena penyakit kanker adalah akibat kanker kolorektal. Karsinoma kolorektal sering dijumpai

pada dekade 6 dan 7, merupakan penyakit yang banyak menyebabkan kematian. Kejadian

karsinoma kolorektal pada usia muda tidak banyak dijumpai.

Dari penelitian yang dilakukan olh Harijono Achmad di RSSA Malang, didapatkan bahwa kasus

karsinoma kolorektal di Indonesia sebanyak 97 penderita selama 5 tahun,terdiri dari penderita di

bawah 30 tahun sebanyak 14 penderita (14,26%).

Menurut Petrek, lokasi keganasan kolorektal terbanyak pada rektum (22%), rekto sigmoid (8%),

sigmoid (20%), kolon desenden (12%), flexura lienalis (8%), kolon tranversum (6%),flexura

hepatika (4%), kolon asenden (6%), cecum (12%),appendix (2%).

Karsinoma kolorektal banyak terdapat di Eropa Barat,.Amerika Utara. Di Asia, banyak terdapat

di Jepang, diduga karena perbedaan pola hidup dan makanan. Beberapa faktor antara lain

lingkungan, genetik dan immunologi merupakan faktor predisposisi tumbuhnya kanker kolon, di

samping bahan karsinogen, bakteri dan virus.

Gejala klinik karsinoma kolorektal tergantung dari lokasi tumor. Kanker cecum dan kolon

asenden biasanya tidak memberikan gejala obstruksi, sedangkan kanker rekto sigmoid dapat

menyumbat lumen atau berdarah.

Lebih dari 156.000 orang terdiagnosa setiap tahunnya, kira-kira setengah dari jumlah tersebut

meninggal setiap tahunnya, meskipun sekitar tiga dari empat pasien dapat diselamatkan dengan

diagnosis dini dan tindakan segera. Laporan kasus Lab JUPF Ilmu Penyaki Dalam FK.

UNIBRAW RSSA Malang, tangga1 17 Juni 1992.

1

Page 2: Cea Karsinoma Kolon

I.2 ANATOMI KOLON DAN REKTUM

Usus besar terdiri dari caecum, appendix, kolon ascendens, kolon transversum, kolon

descendens, kolon sigmoideum dan rektum serta anus. Mukosa usus besar terdiri dari epitel

selapis silindris dengan sel goblet dan kelenjar dengan banyak sel goblet, pada lapisan

submukosa tidak mempunyai kelenjar. Otot bagian sebelah dalam sirkuler dan sebelah luar

longitudinal yang terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli. Lapisan serosa

membentuk tonjolan tonjolan kecil yang sering terisi lemak yang disebut appendices epiploicae.

Didalam mukosa dan submukosa banyak terdapat kelenjar limfa, terdapat lipatan-lipatan yaitu

plica semilunaris dimana kecuali lapisan mukosa dan lapisan submukosa ikut pula lapisan otot

sirkuler. Diantara dua plica semilunares terdapat saku yang disebut haustra coli, yang mungkin

disebabkan oleh adanya taenia coli atau kontraksi otot sirkuler. Letak haustra in vivo dapat

berpindah pindah atau menghilang.

Vaskularisasi kolon dipelihara oleh cabang-cabang arteri mesenterica superior dan arteri

mesenterica inferior, membentuk marginal arteri seperti periarcaden, yang memberi cabang-

cabang vasa recta pada dinding usus. Yang membentuk marginal arteri adalah arteri ileocolica,

2

Page 3: Cea Karsinoma Kolon

arteri colica dextra, arteri colica media, arteri colica sinistra dan arteri sigmoidae. Hanya arteri

ciloca sinistra dan arteri sigmoideum yang merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior,

sedangkan yang lain dari arteri mesenterica superior. Pada umumnya pembuluh darah berjalan

retroperitoneal kecuali arteri colica media dan arteri sigmoidae yang terdapat didalam mesocolon

transversum dan mesosigmoid. Seringkali arteri colica dextra membentuk pangkal yang sama

dengan arteri colica media atau dengan arteri ileocolica. Pembuluh darah vena mengikuti

pembuluh darah arteri untuk menuju ke vena mesenterica superior dan arteri mesenterica inferior

yang bermuara ke dalam vena porta. Aliran limfe mengalir menuju ke Lnn. ileocolica, Lnn.

colica dextra, Lnn. colica media, Lnn. colica sinistra dan Lnn. mesenterica inferior. Kemudian

mengikuti pembuluh darah menuju truncus intestinalis.

Colon ascendens panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari caecum pada fossa iliaca dextra sampai

flexura coli dextra pada dinding dorsal abdomen sebelah kanan, terletak di sebelah ventral ren

dextra, hanya bagian ventral ditutup peritoneum visceral. Jadi letak colon ascendens ini

retroperitoneal, kadang kadang dinding dorsalnya langsung melekat pada dinding dorsal

abdomen yang ditempati muskulus quadratus lumborum dan ren dextra. Arterialisasi colon

ascendens dari cabang arteri ileocolic dan arteri colic dextra yang berasal dari arteri mesentrica

superior.

Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura coli dextra sampai flexura

coli sinistra. Bagian kanan mempunyai hubungan dengan duodenum dan pankreas di sebelah

dorsal, sedangkan bagian kiri lebih bebas. Flexura coli sinistra letaknya lebih tinggi daripada

yang kanan yaitu pada polus cranialis ren sinistra, juga lebih tajam sudutnya dan kurang mobile.

Flexura coli dextra erat hubunganya dengan facies visceralis hepar (lobus dextra bagian caudal)

yang terletak di sebelah ventralnya. Arterialisasi didapat dari cabang cabang arteri colica media.

Arterialisasi colon transversum didapat dari arteri colica media yang berasal dari arteri

mesenterica superior pada 2/3 proksimal, sedangkan 1/3 distal dari colon transversum mendapat

arterialisasi dari arteri colica sinistra yang berasal dari arteri mesenterica inferior.

3

Page 4: Cea Karsinoma Kolon

Gambar: Arteri Mesenterica Superior

Mesokolon transversum adalah duplikatur peritoneum yang memfiksasi colon transversum

sehingga letak alat ini intraperitoneal. Pangkal mesokolon transversa disebut radix mesokolon

transversa, yang berjalan dari flexura coli sinistra sampai flexura coli dextra. Lapisan cranial

mesokolon transversa ini melekat pada omentum majus dan disebut ligamentum gastro (meso)

colica, sedangkan lapisan caudal melekat pada pankreas dan duodenum, didalamnya berisi

pembuluh darah, limfa dan syaraf. Karena panjang dari mesokolon transversum inilah yang

menyebabkan letak dari colon transversum sangat bervariasi, dan kadangkala mencapai pelvis.

4

Page 5: Cea Karsinoma Kolon

Gambar: Arteri Mesenterica Inferior

Colon descendens panjangnya sekitar 25 cm, dimulai dari flexura coli sinistra sampai fossa iliaca

sinistra dimana dimulai colon sigmoideum. Terletak retroperitoneal karena hanya dinding ventral

saja yang diliputi peritoneum, terletak pada muskulus quadratus lumborum dan erat

hubungannya dengan ren sinistra. Arterialisasi didapat dari cabang-cabang arteri colica sinistra

dan cabang arteri sigmoid yang merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior.

Colon sigmoideum mempunyai mesosigmoideum sehingga letaknya intraperi toneal, dan terletak

didalam fossa iliaca sinistra. Radix mesosigmoid mempunyai perlekatan yang variabel pada

fossa iliaca sinistra. Colon sigmoid membentuk lipatan-lipatan yang tergantung isinya didalam

lumen, bila terisi penuh dapat memanjang dan masuk ke dalam cavum pelvis melalui aditus

pelvis, bila kosong lebih pendek dan lipatannya ke arah ventral dan ke kanan dan akhirnya ke

dorsal lagi. Colon sigmoid melanjutkan diri kedalam rectum pada dinding mediodorsal pada

aditus pelvis di sebelah depan os sacrum. Arterialisasi didapat dari cabang- cabang arteri

sigmoidae dan arteri haemorrhoidalis superior cabang arteri mesenterica inferior. Aliran vena

5

Page 6: Cea Karsinoma Kolon

yang terpenting adalah adanya anastomosis antara vena haemorrhoidalis superior dengan vena

haemorrhoidalis medius dan inferior, dari ketiga vena ini yang bermuara kedalam vena porta

melalui vena mesenterica inferior hanya vena haemorrhoidalis superior, sedangkan yang lain

menuju vena iliaca interna. Jadi terdapat hubungan antara vena parietal (vena iliaca interna) dan

vena visceral (vena porta) yang penting bila terjadi pembendungan pada aliran vena porta

misalnya pada penyakit hepar sehingga mengganggu aliran darah portal. Mesosigmoideum

mempunyai radix yang berbentuk huruf V dan ujungnya letaknya terbalik pada ureter kiri dan

percabangan arteri iliaca communis sinistra menjadi cabang-cabangnya, dan diantara kaki-kaki

huruf V ini terdapat reccessus intersigmoideus.

Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga buah pita, yang disebut tenia* (tenia; taenia =

pita) yang lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga kolon berlipat-lipat dan berbentuk seperti

sakulus* (sakulus; saculus=saccus kecil; saccus=kantong), yang disebut haustra*(haustra;

haustrum=bejana).

Kolon transversum dan kolon sigmoideum terletak intraperitoneal dan dilengkapi dengan

mesenterium.

6

Page 7: Cea Karsinoma Kolon

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 EPIDEMIOLOGI

Di dunia kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden dan mortalitas. Pada

tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolorektal dengan tingkat mortalitas lebih

dari 50%. 9,5 persen pria penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada wanita

angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita kanker.

Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan Selandia baru; sedangkan

angka insiden terendah terdapat pada India, Amerika Selatan dan Arab Israel. Di Eropa, penyakit

ini menempati urutan kedua sebagai kanker yang paling sering terjadi pada pria dan wanita pada

tingkat insidensi dan mortalitas. Pada tahun 2004 di eropa terdapat 2.886.800 insiden kanker

yang terdiagnosa dan 1.711.000 kematian karena kanker. Insiden kanker yang paling sering

adalah kanker paru-paru (13,3%), diikuti oleh kanker kolorektal (13,2%) dan kanker payudara

(13%). Kanker paru-paru juga merupakan kanker yang tersering menyebabkan kematian

(341.800) diikuti oleh kanker kolorektal (203.700), kanker lambung (137.900) dan kanker

payudara (129.900). Dengan estimasi 2,9 juta kasus baru (54% muncul pada pria, 46% pada

wanita) dan 1,7 juta kematian (56% pada pria, 44% pada wanita) tiap tahunnya. Di Amerika

kanker kolorektal merupakan penyebab kematian tersering setelah kanker paru paru dan

menduduki peringkat ketiga pada kanker yang terdapat pria dan wanita dengan lebih dari

130.000 kasus baru tiap tahun dan menyebabkan kematian 55.000 orang tiap tahun. Dari data

berdasarkan 19 tahun follow up pada insiden kanker kolorektal di Swedia pada tahun 1960 pada

53.377 kasus yang diketemukan (28.003 pria dan 25.374 wanita), Didapatkan suatu hubungan

yaitu 1) terdapat perbedaan insiden pada pria dan wanita yang berusia lanjut, yang meningkat

seiring dengan usia; 2) meningkatnya insiden kanker kolorektal seiring dengan kepadatan

penduduk; 3) rendahnya insiden pada pria yang belum pernah menikah dibandingkan dengan

pria lainnya.

7

Page 8: Cea Karsinoma Kolon

Perkiraan insiden kanker di Indonesia adalah 100 per 100.000 penduduk. Namun, hanya 3,2%

dari kasus kanker yang baru mencari perawatan di Rumah Sakit. Program yang dilaksanakan

oleh proyek pengawasan kanker terpadu yang berbasis komunitas di Sidoarjo menunjukkan

kenaikan 10-20% dari kasus kanker yang menerima perawatan dari Rumah Sakit. Dewasa ini

kanker kolorektal telah menjadi salah satu dari kanker yang banyak terjadi di Indonesia, data

yang dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa kanker kolorektal merupakan salah

satu dari lima kanker yang paling sering terdapat pada pria maupun wanita.

Gambar 2.3 Insiden Kanker di Indonesia

Dari berbagai laporan, di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus kanker kolorektal, meskipun

belum ada data yang pasti, namun data di Departemen Kesehatan didapati angka 1,8 per 100 ribu

penduduk. Sejak tahun 1994-2003, terdapat 372 keganasan kolorektal yang datang berobat ke RS

Kanker Dharmais (RSKD). Berdasarkan data rekam medik hanya didapatkan 247 penderita

dengan catatan lengkap, terdiri dari 203 (54,57%) pria dan 169 (43,45%) wanita berusia antara

20-71 tahun.

8

Page 9: Cea Karsinoma Kolon

II.2 PATOFISIOLOGI

Umumnya tumor kolorektal adalah adenokarsinoma yang berkembang dari polyp adenoma.

Insidensi tumor dari kolon kanan meningkat, meskipun umumnya masih terjadi di rektum dan

kolon sigmoid. Pertumbuhan tumor secara tipikal tidak terdeteksi, menimbulkan beberapa gejala.

Pada saat timbul gejala, penyakit mungkin sudah menyebar kedalam lapisan lebih dalam dari

jaringan usus dan oragan-organ yang berdekatan. Kanker kolorektal menyebar dengan perluasan

langsung ke sekeliling permukaan usus, submukosa, dan dinding luar usus. Struktur yang

berdekatan, seperti hepar, kurvatura mayor lambung, duodenum, usus halus, pankreas, limpa,

saluran genitourinary, dan dinding abdominal juga dapat dikenai oleh perluasan. Metastasis ke

kelenjar getah bening regional sering berasal dari penyebaran tumor. Tanda ini tidak selalu

terjadi, bisa saja kelenjar yang jauh sudah dikenai namun kelenjar regional masih normal (Way,

1994). Sel-sel kaner dari tumor primer dapat juga menyebar melalui sistem limpatik atau sistem

sirkulasi ke area sekunder seperti hepar, paru-paru, otak, tulang, dan ginjal. “Penyemaian” dari

tumor ke area lain dari rongga peritoneal dapat terjadi bila tumor meluas melalui serosa atau

selama pemotongan pembedahan.

Awalnya sebagai nodul, kanker usus sering tanpa gejala hingga tahap lanjut. Karena pola

pertumbuhan lamban, 5 sampai 15 tahun sebelum muncul gejala (Way, 1994).

Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus)

dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan

normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer

dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).

II.3 FAKTOR PREDISPOSISI

II.3.1 Polip

Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal.

Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai

dari hiperplasia sel mukosa, adenoma formation, perkembangan dari displasia menuju

transformasi maligna dan invasif kanker. Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan

9

Page 10: Cea Karsinoma Kolon

kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan

peningkatan displasia dan invasif karsinoma.

Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu proto-onkogen,

gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen gatekeeper. Proto-onkogen

menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG menghambat pertumbuhan

sel atau menginduksi apoptosis (kematian sel yang terprogram). Kelompok gen ini dikenal

sebagai anti-onkogen, karena berfungsi melakukan kontrol negatif (penekanan) pada

pertumbuhan sel. Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat

molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA, menginduksi reparasi

DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas genomik dengan mendeteksi

kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini karena berbagai faktor

membuka peluang terbentuknya kanker.

Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan melalui siklus sel

normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi proto-onkogen, TSG, dan gen gatekeeper

secara seimbang. Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak

berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan penyimpangan siklus

sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker dapat terjadi melalui tiga

mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel

dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan proses apoptosis, dan

masuknya kembali populasi sel yang tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi.

Gabungan mutasi dari ketiga kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel, yang

sering terjadi adalah mutasi gen yang berperan dalam mekanisme kontrol sehingga tidak

berfungsi baik, akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada manusia

adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak diperlukan, tanpa

kendali dan karsinogenesis dimulai.

Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non neoplastik. Non neoplastik

polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip non neoplastik yaitu polip hiperplastik,

mukous retention polip, hamartoma (juvenile polip), limfoid aggregate dan inflamatory polip.

10

Page 11: Cea Karsinoma Kolon

Gambar : Adenoma Carcinoma Sequences

Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi maligna; dan berdasarkan

WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma, tubulovillous adenoma dan villous adenoma.

Tujuh puluh persen dari polip berupa adenomatous, dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%-

25% tubulovillous adenoma dan villous adenoma dibawah 5%.2

Gambar : Adenomatous Polip

Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen dari adenomatous polip

berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa invasif karsinoma pada saat terdiagnosa.

Potensi malignansi dari adenoma berkorelasi dengan besarnya polip, tingkat displasia, dan umur.

Polip yang diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan secara histologi tergolong

sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk menjadi kanker kolorektal.

11

Page 12: Cea Karsinoma Kolon

Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan dengan meningkatnya timbulnya kanker

kolorektal. Insiden dari kanker meningkat dari 2,5-4 fold jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7

fold pada pasien yang mempunyai multipel polip. Dari penelitian didapatkan bahwa polip yang

lebih besar dari 1 cm jika tidak ditangani menunjukkan risiko menjadi kanker sebesar 2,5% pada

5 tahun, 8% pada 10 tahun dan 24% pada 20 tahun. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi

malignansi tergantung beratnya derajat displasia. Tiga koma lima tahun untuk displasia sedang

dan 11,5 tahun untuk atypia ringan.

Gambar: Polip Neoplastik. (A) tubular adenoma, (B) villous adenoma, (C) tubulovillous

adenoma, (D) karsinoma pada tangkai tubular adenoma, (E) karsinoma invasif yang muncul dari

sebuah villous adenoma.

II.3.2 Idiopathic Inflammatory Bowel Disease

II.3.2.1 Ulseratif Kolitis

Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon sekitar 1% dari pasien

yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan kanker pada pasien ini

berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan

12

Page 13: Cea Karsinoma Kolon

keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan

18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko tinggi

dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan mengunakan kolonoskopi untuk menentukan

kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8

tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum

terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif menyimpulkan bahwa kolektomi yang

dilakukan dengan segera sangat esensial untuk semua pasien yang didiagnosa dengan displasia

yang berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa mendemonstrasikan

bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya invasif kanker. Diagnosis dari displasia

mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan

pendapat antara para ahli patologi anatomi.

II.3.2.2 Penyakit Crohn’s

Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi untuk menderita kanker

kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kolitis.

Gambar: Ulseratif Colitis

13

Page 14: Cea Karsinoma Kolon

Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar 20%. Pasien dengan

striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi

fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari

dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga

bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien dengan

crohn’s disease.

Gambar: Penyakit Crohn’s

II.3.3 Faktor Genetik

II.3.3.1 Riwayat Keluarga

Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat kanker kolorektal

pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang mempunyai kanker kolorektal

mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila

dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada

keluarganya.

14

Page 15: Cea Karsinoma Kolon

II.3.3.2 Herediter Kanker Kolorektal

Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju mukosa kolon

yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan adenokarsinoma yang besar

berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosa dari

sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada

adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh

kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma

yang besar. Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari sindrom ini

menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai

predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu familial

adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).

II.3.3.2.1 FAP

Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi pada kromosom 5q21.

Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring kepada kemungkinan

pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun. Pada FAP yang telah

berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak untuk dapat dilakukannya

kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat; ketika hal ini terjadi, direkomendasikan untuk

melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan endoskopi pada bagian yang tersisa.

Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda kecuali terdapat terlalu banyak polip yang dapat

ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika

memungkinkan. Screening untuk polip harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP

yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan mengurangi rata rata jumlah

polip sebesar 28%. Tumor lain yang mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma

papillary thyroid, sarcoma, hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan medulloblastomas otak.

Varian dari FAP termasuk gardner’s syndrom dan turcot’s syndrom.

II.3.3.2.2 HNPCC

Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan II.2 Generasi multipel

yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada umur

15

Page 16: Cea Karsinoma Kolon

Gambar: Familial Adenomatous Poliposis

yang muda (±45 tahun), dengan predominan lokasi kanker pada kolon kanan. Abnormalitas

genetik ini terdapat pada mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi

dari abnormal repeating sequences dari DNA, yang dikenal sebagai mikrosatellite (mikrosatellite

instability). Retensi dari squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator, yang

dikarakteristikkan oleh frekuensi DNA replikasi error (RER+ phenotype), dimana predisposisi

tersebut mengakibatkan seseorang memiliki multitude dari malignansi primer. Pasien dengan

HNPCC mungkin juga memiliki adenoma sebaceous, carcinoma sebaceous, dan multipel

keratocanthoma, Termasuk kanker dari endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung

dan traktus biliaris. Jika dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada HNPCC

seringkali poorly differentiated, dengan gambaran mucoid dan signet-cell, reaksi yang mirip

crohn’s (nodul lymphoid, germinal centers, yang berlokasi pada perifer inflitrasi kanker

kolorektal), kehadiran infiltrasi lymphocytes diantara tumor. Karsinogenesis yang terakselerasi

muncul pada HNPCC, pada keadaan ini adenoma kolon yang berukuran kecil dapat menjadi

karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan dengan proses pada rata-rata kanker kolorektal

yang membutuhkan waktu 8-10 tahun. Ketika kriteria amsterdam digunakan untuk menentukan

proporsi dari kanker kolorektal yang dikarenakan HNPCC, estimasi keakurasiannya sekitar

1-6%.

16

Page 17: Cea Karsinoma Kolon

Spesifik mutasi gen pada kromosom 2 dan 3, dikenal sebagai hMSH2, hMLH1, hPMS1 dan

hPMS2, telah dihubungkan dengan HNPCC. Sembilan puluh persen dari seluruh mutasi gen

yang teridentifikasi adalah MLH1 dan MSH2. Pasien dengan RER+ phenotype kemungkinan

tidak mempunyai germ line abnormal dan mungkin mempunyai abnormal metilasi dari DNA

yang didapat sebagai sumber dari ketidakhadiran ekspresi dari gen tersebut. Metilasi abnormal

lebih sering pada orang yang lebih tua. Tes germ line untuk menentukan apakah RER+

phenotype merupakan keturunan atau didapat sangat penting sebagai bagian dari genetik

konseling. Imunohistochemical stains dapat digunakan untuk menentukan apakah tumor

bermanifestasi pada microsatellite instability dan kemudian pasien yang tidak mempunyai

ekspresi gen harus menjalani germ line testing untuk adanya konseling yang tepat pada anggota

keluarga.

Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker kolorektal pada

umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai pada umur 20 tahun atau lebih dini 5 tahun

dari umur anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker kolorektal yang berhubungan

HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang didiagnosa menderita kanker kolorektal

pada umur 44 tahun, dibandingkan dengan pasien kontrol yang menderita kanker kolorektal pada

umur 68 tahun. Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik daripada pasien dengan

sporadic kanker kolon. Dari penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan HNPCC kurang

mendapat manfaat dari adjuvant kemoterapi berdasarkan kombinasi fluorourasil daripada pasien

tanpa kelainan ini.

II.3.4 Diet

Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat berkemungkinan

besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga

penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada

dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.

Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi

insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang

berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan

level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah

17

Page 18: Cea Karsinoma Kolon

pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen

reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker

kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara signifikan

menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut dapat

disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan

kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan

adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2

dan stres oksidatif dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan

mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini

dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon; (b) agen

anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut, misalnya resistensi insulin yang

berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat

menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.

II.3.5 Gaya Hidup

Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali untuk memiliki

adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun

berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar.

Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di Amerika dihubungkan dengan

pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan meningkatnya risiko

kanker kolorektal.

Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas, obesitas dan asupan

energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan energi

telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik

menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan risiko

kanker kolorektal. The Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan

antara aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan aktifitas

fisik akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma.

18

Page 19: Cea Karsinoma Kolon

II.3.6 Usia

Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan wanita adalah 61% dan

56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000 orang per tahun)

dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila

dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn). Sekitar setengah dari kanker

yang terdiagnosa pada pria yang berusia lanjut adalah kanker prostat (451 per 100.000), kanker

paru-paru (118 per 100.000) dan kanker kolon (176 per 100.000). Sekitar 48% kanker yang

terdiagnosa pada wanita yang berusia lanjut adalah kanker payudara (248 per 100.000), kanker

kolon (133 per 100.000), kanker paru paru (118 per 100.000) dan kanker lambung (75 per

100.000).

Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker kolorektal pada

sebagian besar populasi. Risiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan usia,

19

Page 20: Cea Karsinoma Kolon

terutama pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih, dan hanya 3% dari kanker kolorektal

muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun. Lima puluh lima persen kanker terdapat pada

usia ≥ 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur kurang dari 65 tahun, dan

337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun.

Di Amerika seseorang mempunyai risiko untuk terkena kanker kolorektal sebesar 5%. Sedangkan

kelompok terbesar dengan peningkatan risiko kanker kolorektal adalah pada usia diatas 40 tahun.

Seseorang dengan usia dibawah empat puluh tahun hanya memiliki kemungkinan menderita

kanker kolorektal kurang dari 10%. Dari tahun 2000-2003, rata-rata usia saat terdiagnosa

menderita kanker kolorektal pada usia 71 tahun. Insidensi berdasarkan usia dibawah 20 tahun

sebesar 0,0%, 20-34 tahun sebesar 0,9%, 35-44 tahun sebesar 3,5%, 45-54 tahun sebesar 10,9%,

55-64 tahun sebesar 17,6%, 65-74 tahun sebesar 25,9%, 75-84 tahun sebesar 28,8%, dan > 85

sebesar 12,3%.

Pada kebanyakan kasus kanker terdapat variasi geografik pada insiden yang ditemukan pada usia

lanjut yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi, terutama antara Negara berkembang dan

Negara maju. Bila di Negara maju angka kejadian penyakit ini meningkat tajam setelah

seseorang berusia 50 tahun dan hanya 3 persen di bawah 40 tahun, di Indonesia berdasarkan data

Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI, 1996-1999)

menunjukkan persentase yang lebih tinggi yakni 35,25%.

Proporsi dari orang yang berusia lanjut telah meningkat di berbagai Negara beberapa dekade

terakhir, dan akan terus meningkat lebih jauh beberapa tahun mendatang. Tingkat harapan hidup

di Indonesia pada saat kelahiran diperkirakan adalah 67,86 tahun untuk pria dan wanita.

Peningkatan usia harapan hidup yang ada beserta populasi Indonesia yang menduduki peringkat

4 dunia akan menjadikan Indonesia pada tahun 1990-2025 akan mempunyai jumlah usia lanjut

paling tinggi di dunia. Meningkatnya jumlah orang yang berusia lebih tua akan menambahkan

beban ganda pada penyakit, dengan umumnya penyakit yang menular di satu sisi, dan

meningkatnya prevalansi penyakit yang tidak menular di sisi lainnya. Kanker pada usia lanjut di

masa-masa yang akan datang merupakan masalah yang perlu ditangani dengan serius

dikarenakan perubahan populasi penduduk dengan kelompok usia lanjut yang semakin banyak.

20

Page 21: Cea Karsinoma Kolon

Oleh karena itu sangat perlunya penggalakan penelitian mengenai pencegahan kanker dan

perencanaan terapi pada orang yang berusia lanjut.

II.4 MANIFESTASI KLINIK

II.4.1 Histologi

Histologi merupakan suatu faktor penting dalam hal etiologi, penanganan dan prognosis dari

kanker. Secara mikroskopis kanker kolorektal mempunyai derajat differensiasi yang berbeda-

beda, tidak hanya dari tumor yang satu dengan tumor yang lain tetapi juga dari area ke area pada

tumor yang sama, mereka cenderung mempunyai morfologi yang heterogen.

Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal dari tahun 1998-2001 di

Amerika Serikat yang melibatkan 522.630 kasus kanker kolorektal. Didapatkan gambaran

histopatologis dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma

lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan 0,08% berupa sarcoma.

Proporsi dari epidermoid carcinoma, mucinous carcinoma dan carcinoid tumor banyak

diketemukan pada wanita. Secara keseluruhan, didapatkan suatu pola hubungan antara tipe

histopatologis, derajat differensiasi dan stadium dari kanker kolorektal. Adenocarcinoma sering

21

Page 22: Cea Karsinoma Kolon

ditemukan dengan derajat differensiasi sedang dan belum bermetastase pada saat terdiagnosa,

signet ring cell carcinoma banyak ditemukan dengan derajat differensiasi buruk dan telah

bermetastase jauh pada saat terdiagnosa, lain pula pada carcinoid tumor dan sarcoma yang sering

dengan derajat differensiasi buruk dan belum bermetastase pada saat terdiagnosa, sedangkan

small cell carcinoma tidak memiliki derajat differensiasi dan sering sudah bermetastase jauh

pada saat terdiagnosa.

Dari 201 kasus kanker kolorektal periode 1994-2003 di RS Kanker Dharmais (RSKD)

didapatkan bahwa tipe histopatologis yang paling sering dijumpai adalah adenocarcinoma

[diferensiasi baik 48 (23,88%), sedang 78 (38,80%), buruk 45 (22,39%)], dan yang jarang adalah

musinosum 19 (9,45%) dan signet ring cell carcinoma 11 (5,47%). Jika dari hasil penelitian di

RSKD didapatkan bahwa frekuensi terbanyak adalah adenocarcinoma dengan derajat

differensiasi sedang (38,80%), maka lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Soeripto

et al di Jogjakarta pada tahun 2001 yang mendapati frekuensi derajat differensiasi kanker

kolorektal banyak didominasi oleh derajat differensiasi baik. Perbedaan pola demografik dan

klinis yang berhubungan dengan tipe histopatologis akan sangat membantu untuk studi

epidemiologi, laboratorium dan klinis di masa yang akan datang. Berbagai varian gambaran

histopatologi kanker kolorektal berdasarkan klasifikasi World Health Organization diperlihatkan

pada table.

II.4.2 Lokasi Kanker

22

Page 23: Cea Karsinoma Kolon

Dua pertiga dari kanker kolorektal muncul pada kolon kiri dan sepertiga muncul pada kolon

kanan. Sebagian besar terdapat di rektum (51,6%), diikuti oleh kolon sigmoid (18,8%), kolon

descendens (8,6%), kolon transversum (8,06%), kolon ascendens (7,8%), dan multifokal

(0,28%). Data dari kanker statistik di Amerika Serikat terlihat bahwa sekitar 60% dari kanker

kolorektal ditemukan pada rektum, hal ini juga terlihat di China yaitu sekitar 80% dari kanker

kolorektal ditemukan di rektum, dengan > 60% kanker kolorektal hanya terdapat pada rektum.

Pada penelitian selama 14 tahun (1982-1995) di Australia yang melibatkan 9673 kasus kanker

kolorektal, didapatkan suatu pola hubungan antara lokasi kanker dengan jenis kelamin, yaitu

kanker yang terdapat pada rektum frekuensinya lebih banyak terdapat pada pria dibandingkan

wanita (4:1). Pola seperti ini juga didapatkan di Indonesia, data yang dikumpulkan dari 13 pusat

kanker menunjukkan bahwa kanker yang terdapat pada rektum frekuensinya lebih banyak

terdapat pada pria dibandingkan wanita, dengan perbandingan sebesar 2:1.

Gambar: Letak Kanker Kolorektal.

23

Page 24: Cea Karsinoma Kolon

II.4.3 Gejala

Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai darah yang

diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan (caecum, kolon

ascendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteri mesenterika inferior yang

memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon descendens dan sigmoid,

dan bagian proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak

spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi

dari tumor. Tumor yang berada pada kolon kanan, dimana isi kolon berupa cairan, cenderung

tetap tersamar hingga lanjut sekali. Sedikit kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen

usus lebih besar dan feses masih encer. Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri abdomen,

perdarahan dan symptomatic anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat

badan). Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola defekasi

sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran feses, dan konstipasi

karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar mengakibatkan obstruksi.

II.4.3.1 Gejala Subakut

Tumor yang berada di kolon kanan seringkali tidak menyebabkan perubahan pada pola buang air

besar (meskipun besar). Tumor yang memproduksi mukus dapat menyebabkan diare. Pasien

mungkin memperhatikan perubahan warna feses menjadi gelap, tetapi tumor seringkali

menyebabkan perdarahan samar yang tidak disadari oleh pasien. Kehilangan darah dalam jangka

waktu yang lama dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Ketika seorang wanita post

menopouse atau seorang pria dewasa mengalami anemia defisiensi besi, maka kemungkinan

kanker kolon harus dipikirkan dan pemeriksaan yang tepat harus dilakukan. Karena perdarahan

yang disebabkan oleh tumor biasanya bersifat intermitten, hasil negatif dari tes occult blood tidak

dapat menyingkirkan kemungkinan adanya kanker kolon. Sakit perut bagian bawah biasanya

berhubungan dengan tumor yang berada pada kolon kiri, yang mereda setelah buang air besar.

Pasien ini biasanya menyadari adanya perubahan pada pola buang air besar serta adanya darah

yang berwarna merah keluar bersamaan dengan buang air besar. Gejala lain yang jarang adalah

penurunan berat badan dan demam. Meskipun kemungkinannya kecil tetapi kanker kolon dapat

menjadi tempat utama intususepsi, sehingga jika ditemukan orang dewasa yang mempunyai

24

Page 25: Cea Karsinoma Kolon

gejala obstruksi total atau parsial dengan intususepsi, kolonoskopi dan double kontras barium

enema harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan kanker kolon.

II.4.3.2 Gejala akut

Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika ditemukan pasien

usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya adalah kanker.

Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah

keadaan darurat yang membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah.

Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air besar, kram

perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat terapi maka akan terjadi

iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan menyebabkan peritonitis dan sepsis.

Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini dapat disalah artikan sebagai akut

divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan dapat

menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke hepar dapat menyebabkan

pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan hal ini biasanya merupakan gejala pertama

kali yang muncul dari kanker kolon.

II.4.4 Metastase

Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus pada saat direseksi. Invasi ke

pembuluh darah vena ditemukan pada lebih 60% kasus. Metastase sering ke hepar, cavum

peritoneum, paru-paru, diikuti kelenjar adrenal, ovarium dan tulang. Metastase ke otak sangat

jarang, dikarenakan jalur limfatik dan vena dari rektum menuju vena cava inferior, maka

metastase kanker rektum lebih sering muncul pertama kali di paru-paru. Berbeda dengan kolon

dimana jalur limfatik dan vena menuju vena porta, maka metastase kanker kolon pertama kali

paling sering di hepar.

25

Page 26: Cea Karsinoma Kolon

Gambar: Kanker Kolorektal Gambar: Iskemik kronis kolon

II.5 DIAGNOSA

Diagnosa karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis,pemeriksaan fisik

pemeriksaan abdomen dan rectal, prosedur diagnostik paling pentng untuk kanker kolon adalah

pengujian darah samar, enema barium, proktosigmoidoskopi,dan kolonoskopi. Pemeriksaan ini

sebaiknya dilakukan setiap tiga tahun untuk usia 40 tahun keatas. Sebanyak 60% kasus dari

kanker kolorektal dapat diidentifikasi dengan sigmoideskopi dengan biopsi atau apusan sitologi.

II.5.1 PEMERIKSAAN FISIK

Digital Rectal Examination

Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior; serta spina

iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis intraperitoneal dapat

teraba pada bagian anterior rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong douglas

sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang

mungkin dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau

26

Page 27: Cea Karsinoma Kolon

oleh jari, sehingga Rectal examination merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa kanker

kolon yang tidak dapat begitu saja diabaikan.

”rectal toucher” untuk menilai :

Tonus sfingter ani : kuat atau lemah.

Ampula rektum : kolaps, kembung atau terisi feses

Mukosa : kasar,berbenjol benjol, kaku

Tumor : teraba atau tidak, lokasi, lumen yang dapat ditembus jari, mudah

berdarah atau tidak, batas atas dan jaringan sekitarnya, jarak dari garis anorektal sampai tumor.

II.5.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG

II.5.2.1 Biopsi

Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika terdapat sebuah

obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi maka sikat sitologi akan sangat

berguna.

II.5.2.2 Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening

CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke dalam

peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status kanker

kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif

dan nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai screening kanker kolorektal. Meningkatnya nilai

CEA serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA

berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan kehadiran metastase

ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum merupakan faktor prognostik independen.

Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah

pembedahan.

Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes ini sering diusulkan

untuk mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum operasi sangat berguna sebagai faktor

prognosa dan apakah tumor primer berhubungan dengan meningkatnya nilai CEA. Peningkatan

27

Page 28: Cea Karsinoma Kolon

nilai CEA preoperatif berguna untuk identifikasi awal dari metatase karena sel tumor yang

bermetastase sering mengakibatkan naiknya nilai CEA.

II.5.2.3 Tes Occult Blood

Phenol yang tidak berwarna di dalam guaic gum akan dirubah menjadi berwarna biru oleh

oksidasi. Reaksi ini menandakan adanya peroksidase katalis, oksidase menjadi sempurna dengan

adanya katalis, contohnya hemoglobin. Tetapi sayangnya terdapat berbagai katalis di dalam diet.

Seperti contohnya daging merah, oleh karena itu diperlukan perhatian khusus untuk menghindari

hal ini. Tes ini akan mendeteksi 20 mg hb/gr feses. Tes imunofluorosensi dari occult blood

mengubah hb menjadi porphirin berfluorosensi, yang akan mendeteksi 5-10 mg hb/gr feses,

Hasil false negatif dari tes ini sangat tinggi. Terdapat berbagai masalah yang perlu dicermati

dalam menggunakan tes occult blood untuk screening, karena semua sumber perdarahan akan

menghasilkan hasil positif. Kanker mungkin hanya akan berdarah secara intermitten atau tidak

berdarah sama sekali, dan akan menghasilkan tes yang false negatif. Proses pengolahan,

manipulasi diet, aspirin, jumlah tes, interval tes adalah faktor yang akan mempengaruhi

keakuratan dari tes occult blood tersebut. Efek langsung dari tes occult blood dalam menurunkan

mortalitas dari berbagai sebab masih belum jelas dan efikasi dari tes ini sebagai screening kanker

kolorektal masih memerlukan evaluasi lebih lanjut.

II.5.2.4 Barium Enema

Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium enema, yang

sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran >1 cm. Tehnik ini jika

digunakan bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai

alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau

digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai riwayat polip atau

kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan menggunakan barium enema sangat rendah,

yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus

digunakan daripada barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius

yang dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya sebuah

28

Page 29: Cea Karsinoma Kolon

kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting untuk menunjukkan lesi kecil pada

mukosa kolon.

II.5.2.5 Endoskopi

Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari pasien

mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai polip premaligna.

29

Page 30: Cea Karsinoma Kolon

II.5.2.6 Proktosigmoidoskopi

Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea dentata, tapi akut angulasi dari

rektosigmoid junction akan dapat menghalangi masuknya instrumen. Pemeriksaan ini dapat

mendeteksi 20-25% dari kanker kolon. Rigid proctosigmoidoskopi aman dan efektif untuk

digunakan sebagai evaluasi seseorang dengan risiko rendah dibawah usia 40 tahun jika

digunakan bersama sama dengan occult blood test.

II.5.2.7 Flexible Sigmoidoskopi

Flexible sigmoidoscopi dapat menjangkau 60 cm kedalam lumen kolon dan dapat mencapai

bagian proksimal dari kolon kiri. Lima puluh persen dari kanker kolon dapat terdeteksi dengan

menggunakan alat ini. Flexible sigmoidoscopi tidak dianjurkan digunakan untuk indikasi

terapeutik polipektomi, kauterisasi dan semacamnya; kecuali pada keadaan khusus, seperti pada

ileorektal anastomosis. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50 tahun

merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang asimptomatik yang

berada pada tingkatan risiko menengah untuk menderita kanker kolon. Sebuah polip

adenomatous yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk

dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di distal

kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10% pasien.

II.5.2.8 Kolonoskopi

Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan rectum

(gambar 2.13). Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm. Kolonoskopi

merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1

cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium

enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%.2 Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan

untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi

merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi

anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan

30

Page 31: Cea Karsinoma Kolon

cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease,

non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik,

striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada

diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik,

sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik.

II.5.2.9 Imaging Tehnik

MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging yang digunakan

untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan

merupakan screening tes.

II.5.2.9.1 CT scan

CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon pre operatif. CT scan

bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya

di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA

yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan

memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya dalam menentukan

stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi invasi tumor ke

dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi pembesaran kelanjar getah bening

>1 cm pada 75% pasien.19 Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat

mengidentifikasi metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal.

31

Page 32: Cea Karsinoma Kolon

II.5.2.9.2 MRI

MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering digunakan pada

klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya yang

lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke

hepar.

II.5.2.9.3 Endoskopi UltraSound (EUS)

EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman invasi tumor, terlebih

untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%, 70% untuk CT dan 60% untuk digital

rektal examination. Pada kanker rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor

dan digital rektal examination untuk menilai mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan

ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang telah mendapatkan

keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi dari kelenjar limfa perirektal bisa

dilakukan di bawah bimbingan EUS.

32

Page 33: Cea Karsinoma Kolon

II.6 PENATALAKSANAAN

II.6.1 Pembedahan

Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai penanganan kuratif

untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan batas yang luas dan

maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi dari kolon sebisanya.

Untuk lesi diatas rektum, reseksi tumor dengan minimum margin 5 cm bebas tumor. Pendekatan

laparaskopik kolektomi telah dihubungkan dan dibandingkan dengan tehnik bedah terbuka pada

beberapa randomized trial. Subtotal kolektomi dengan ileoproktostomi dapat digunakan pada

pasien kolon kanker yang potensial kurabel dan dengan adenoma yang tersebar pada kolon atau

pada pasien dengan riwayat keluarga menderita kanker kolorektal. Eksisi tumor yang berada

pada kolon kanan harus mengikutsertakan cabang dari arteri media kolika sebagaimana juga

seluruh arteri ileokolika dan arteri kolika kanan. Eksisi tumor pada hepatik flexure atau splenic

flexure harus mengikutsertakan seluruh arteri media kolika. Permanen kolostomi pada penderita

kanker yang berada pada rektal bagian bawah dan tengah harus dihindari dengan adanya tehnik

pembedahan terbaru secara stapling. Tumor yang menyebabkan obstruksi pada kolon kanan

biasanya ditangani dengan reseksi primer dan anastomosis. Tumor yang menyebabkan obstruksi

pada kolon kiri dapat ditangani dengan dekompresi. Tumor yang menyebabkan perforasi

membutuhkan eksisi dari tumor primer dan proksimal kolostomi, diikuti dengan reanastomosis

dan closure dari kolostomi.

II.6.2 Terapi Radiasi

Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray berenergi tinggi untuk

membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi

dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari

kanker.

Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat tinggi

secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel kanker,

maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan yang sehat disekitarnya. Terapi

radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya berlangsung beberapa menit.

33

Page 34: Cea Karsinoma Kolon

Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation) menggunakan radiasi yang diberikan ke dalam

tubuh sedekat mungkin pada sel kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi disebut

radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral atau implant langsung pada tumor.

Internal radiasi memberikan tingkat radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat

bila dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara

sementara menetap didalam tubuh.

II.6.3 Adjuvant Kemoterapi

Kanker kolon telah banyak resisten pada hampir sebagian besar agen kemoterapi. Bagaimanapun

juga kemoterapi yang diikuti dengan ekstirpasi dari tumor secara teoritis seharusnya dapat

menambah efektifitas dari agen kemoterapi. Kemoterapi sangat efektif digunakan ketika

kehadiran tumor sangat sedikit dan fraksi dari sel maligna yang berada pada fase pertumbuhan

banyak. Obat kemoterapi bisa dipakai sebagai single agen atau dengan kombinasi, contoh : 5-

fluorouracil (5FU), 5FU + levamisole, 5FU + leucovorin. Pemakaian secara kombinasi dari obat

kemoterapi tersebut berhubungan dengan peningkatan survival ketika diberikan post operatif

kepada pasien tanpa penyakit penyerta. Terapi 5FU + levamisole menurunkan rekurensi dari

kanker hingga 39%, menurunkan kematian akibat kanker hingga 32%.

II.6.3.1 Adjuvant Kemoterapi untuk Kanker Kolorektal Stadium II

Pemakaian adjuvant kemoterapi untuk penderita kanker kolorektal stadium II masih

kontroversial. Peneliti dari National Surgical Adjuvant Breast Project (NSABP) menyarankan

penggunaan adjuvant terapi karena dapat menghasilkan keuntungan yang meskipun kecil pada

pasien stadium II kanker kolorektal pada beberapa penelitiannya. Sebaliknya sebuah meta-

analysis yang mengikutkan sekitar 1000 pasien menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna

pada 5-years survival rate sebesar 2%, antara yang diberi perlakuan dan yang tidak untuk semua

pasien stage II.

II.6.3.2 Adjuvant Kemoterapi untuk Kanker Kolorektal Stadium III

Penggunaan 5-FU + levamisole atau 5-FU + leucovorin telah menurunkan insiden rekurensi

sebesar 41% pada sejumlah prospektif randomized trial. Terapi selama satu tahun dengan

34

Page 35: Cea Karsinoma Kolon

menggunakan 5-FU + levamisole meningkatkan 5-year survival rate dari 50% menjadi 62% dan

menurunkan kematian sebesar 33%. Pada kebanyakan penelitian telah menunjukkan bahwa 6

bulan terapi dengan menggunakan 5-FU + leucovorin telah terbukti efektif dan sebagai

konsekuensinya, standar regimen terapi untuk stage III kanker kolorektal adalah 5-FU +

leucovorin.

II.6.3.3 Adjuvant Kemoterapi Kanker Kolorektal Stadium Lanjut

Sekitar delapan puluh lima persen pasien yang terdiagnosa kanker kolorektal dapat dilakukan

pembedahan. Pasien dengan kanker yang tidak dapat dilakukan penanganan kuratif, dapat

dilakukan penanganan pembedahan palliatif untuk mencegah obstruksi, perforasi, dan

perdarahan. Bagaimanapun juga pembedahan dapat tidak dilakukan jika tidak menunjukkan

gejala adanya metastase. Penggunaan stent kolon dan ablasi laser dari tumor intraluminal cukup

memadai untuk kebutuhan pembedahan walaupun pada kasus asymptomatik.

Radiasi terapi dapat digunakan sebagai tindakan primer sebagai modalitas penanganan untuk

tumor yang kecil dan bersifat mobile atau dengan kombinasi bersama sama kemoterapi setelah

reseksi dari tumor. Radiasi terapi pada dosis palliatif meredakan nyeri, obstruksi, perdarahan dan

tenesmus pada 80% kasus. Penggunaan hepatic arterial infusion dengan 5-FU terlihat

meningkatkan tingkat respon, tetapi penggunaan ini dapat mengakibatkan berbagai masalah

termasuk berpindahnya kateter, sklerosis biliaris dan gastrik ulserasi. Regimen standar yang

sering digunakan adalah kombinasi 5-FU dengan leucovorin, capecitabine (oral 5-FU prodrug),

floxuridine (FUDR), irinotecan (cpt-11) dan oxaliplatin.

II.6.4 Penanganan Jangka Panjang

Terdapat beberapa kontroversi tentang frekuensi pemeriksaan follow up untuk rekurensi tumor

pada pasien yang telah ditangani dengan kanker kolon. Beberapa tenaga kesehatan telah

menggunakan pendekatan nihilistic (karena prognosis sangat jelek jika terdeteksi adanya

rekurensi dari kanker). Sekitar 70% rekurensi dari kanker terdeteksi dalam jangka waktu 2 tahun,

dan 90% terdeteksi dalam waktu 4 tahun. Pasien yang telah ditangani dari kanker kolon

mempunyai insiden yang tinggi dari metachronous kanker kolon. Deteksi dini dan

penatalaksanaan yang tepat pada pasien ini dapat meningkatkan prognosa. Evaluasi follow up

35

Page 36: Cea Karsinoma Kolon

termasuk pemeriksaan fisik, sigmoidoskopi, kolonoskopi, tes fungsi hati, CEA, foto polos

thorax, barium enema, liver scan, MRI, dan CT scan. Tingginya nilai CEA preoperatif biasanya

akan kembali normal antara 6 minggu setelah pembedahan.

1. Evaluasi klinik

Selama 5 tahun setelah tindakan pembedahan, target utama follow up adalah untuk mendeteksi

tumor primer baru. Beberapa pasien kanker kolorektal membentuk satu atau beberapa tempat

metastasis di hepar, paru-paru, atau tempat anastomosis dimana tumor primer telah diangkat.

2. Rontgen

Foto rontgen terlihat sama baiknya bila dibandingkan dengan CT scan dalam mendeteksi

rekurensi.

3. Kolonoskopi

Pasien yang mempunyai lesi obstruksi pada kolonnya harus melakukan kolonoskopi 3 sampai 6

bulan setelah pembedahan, untuk meyakinkan tidak adanya neoplasma yang tertinggal di kolon.

Tujuan dilakukannya endoskopi adalah untuk mendeteksi adanya metachronous tumor, suture

line rekurensi atau kolorektal adenoma. Jika obstruksi tidak ada maka kolonoskopi dilakukan

pada satu sampai tiga tahun setelah pembedahan, jika negatif maka endoskopi dilakukan lagi

dengan interval 2-3 tahun.

4. CEA

Meningkatnya nilai CEA menandakan diperlukannya pemeriksaaan lebih jauh untuk

mengidentifikasi tempat rekurensi, dan biasanya sangat membantu dalam mengidentifikasi

metastasis ke hepar. Jika dicurigai adanya metastasis ke pelvis, maka MRI lebih membantu

diagnosa daripada CT scan.

36

Page 37: Cea Karsinoma Kolon

II.7 STADIUM DAN PROGNOSIS

II.7.1 Stadium

Jika metastasis tidak ada, stadium pasti dari kanker kolorektal hanya dapat dipastikan setelah

pembedahan dan analisis histopatologi. Tidak seperti tumor yang lain, ukuran dari tumor primer

kecil sekali pengaruhnya pada prognosis kanker kolorektal. Faktor yang menentukan tingkat

prognosis adalah kedalaman penetrasi tumor ke dinding usus, keterlibatan kelenjar limfa regional

Gambar 2.14 Endoscopy Ultrasound

dan ada tidaknya metastasis. Berbagai sistem staging telah dibuat pada beberapa dekade terakhir,

tetapi sistem pengklasifikasian yang diajukan oleh dukes pada tahun 1982 terus dipakai secara

luas karena kemudahannya. Tetapi sistem ini tidak memperlihatkan informasi penting untuk

informasi prognosis, seperti invasi vaskuler, diferensiasi histology dan DNA dari sel tumor.

Bagaimanapun juga kemudahan yang ditawarkan oleh sistem klasifikasi ini dan korelasi

konsisten dengan prognosis, menjamin bahwa sistem ini akan terus digunakan selama beberapa

waktu. 5-years survival rate mencerminkan prognosa dari staging penyakit. Pada dukes stage A

>90% pasien selamat dalam 5 tahun. Pada dukes stage B terjadi penurunan prognosis menjadi

60-80%. Jika terdapat keterlibatan kelenjar limfa regional (dukes stage C) maka prognosanya

adalah 20-50%, dan jika terdapat metastasis (dukes stage D) maka prognosanya hanya <5%.

37

Page 38: Cea Karsinoma Kolon

Direkomendasikan menggunakan staging system TNM dengan dukes system yang telah

dimodifikasi oleh Astler Coller.

II.7.2 Prognosis

Stage merupakan faktor prognosis yang paling penting, 5-years survival rate ditunjukkan pada

tabel 2.4. Grade histologi secara signifikan mempengaruhi tingkat survival disamping stadium.

Pasien dengan well differentiated karsinoma (grade 1 dan 2) mempunyai 5-year survival yang

lebih baik dibandingkan dengan poor differentiated karsinoma (grade 3 dan 4).

Lokasi kanker terlihat sebagai faktor prognostik yang independen. Pada stage yang sama pasien

dengan tumor yang berada di rektum mempunyai prognosa yang lebih buruk bila dibandingkan

dengan tumor yang berada di kolon.

Tabel 2.4. MAC : Modified Astler Coller

Dan tumor yang berada pada kolon transversal dan kolon descendens mempunyai prognosa yang

lebih buruk bila dibandingkan dengan tumor yang berada pada kolon ascendens dan kolon

rektosigmoid. Pasien yang menderita obstruksi atau perforasi mempunyai prognosa lebih buruk

bila dibandingkan dengan pasien yang tanpa keadaan ini. Prognosa pasien yang kehilangan

allelic pada kromosom 18q secara signifikan lebih buruk daripada pasien yang tidak kehilangan

allelic pada kromosom 18q. Survival pasien dengan stage II(B) yang tidak kehilangan allelic

pada kromosom 18q sama dengan pasien stage I(A), tetapi jika terdapat kehilangan allelic pada

38

Page 39: Cea Karsinoma Kolon

kromosom 18q maka tingkat survival sama dengan pasien stage III(C). Pemeriksaan pada

kromosom 18q ini telah terbukti sangat membantu dalam menyeleksi pasien stage II(B) untuk

adjuvant terapi atau pasien stage III(C) dengan prognosa yang lebih baik untuk menghindarkan

efek toksisitas dan pengeluaran biaya adjuvant terapi.

II.8 PENCEGAHAN

II.8.1 Endoskopi

Sigmoidoskopi atau kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat polip dan menurunkan

insiden dari pada kanker kolorektal pada pasien yang menjalani kolonoskopi polipektomi.

Bagaimanapun juga belum ada penelitian prospektif randomized clinical trial yang menunjukan

bahwa sigmoidoskopi efektif untuk mencegah kematian akibat kanker kolorektal, meskipun

penelitian trial untuk tes ini sedang dalam proses. Adanya polip pada rektosigmoid dihubungkan

dengan polip yang berada diluar jangkauan sigmoidoskopi, sehingga pemeriksaan kolonoskopi

harus dilakukan.

II.8.2 Diet

Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien yang mempunyai diet

tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan mempunyai efek proteksi yang lebih baik

daripada diet tanpa lemak. The National Research Council telah merekomendasikan pola diet

pada tahun 1982. Rekomendasi ini diantaranya : (a) menurunkan lemak total dari 40 ke 30% dari

total kalori, (b) meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat, (c) membatasi

makanan yang diasinkan, diawetkan dan diasapkan, (d) membatasi makanan yang mengandung

bahan pengawet, (e) mengurangi konsumsi alkohol.

II.8.3 Non Steroid Anti Inflammation Drug

Penelitian pada pasien familial poliposis dengan menggunakan NSAID sulindac dosis 150 mg

secara signifikan menurunkan rata-rata jumlah dan diameter dari polip bila dibandingkan dengan

pasien yang diberi plasebo. Ukuran dan jumlah dari polip bagaimanapun juga tetap meningkat

tiga bulan setelah perlakuan dihentikan. Data lebih jauh menunjukkan bahwa aspirin mengurangi

39

Page 40: Cea Karsinoma Kolon

formasi, ukuran dan jumlah dari polip; dan menurunkan insiden dari kanker kolorektal, baik pada

kanker kolorektal familial maupun non familial. Efek protektif ini terlihat membutuhkan

pemakaian aspirin yang berkelanjutan setidaknya 325 mg perhari selama 1 tahun.2

II.8.4 Hormon Replacement Therapy (HRT)

Penelitian oleh the Nurses Health Study yang melibatkan partisipan sebanyak 59.002 orang

wanita postmenopouse menunjukkan hubungan antara pemakaian HRT dengan kanker kolorektal

dan adenoma. Pemakaian HRT menunjukkan penurunan risiko untuk menderita kanker

kolorektal sebesar 40%, dan efek protektif dari HRT menghilang antara 5 tahun setelah

pemakaian HRT dihentikan.

40

Page 41: Cea Karsinoma Kolon

BAB III

PENUTUP

III.1 RINGKASAN

Kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga jenis kanker yang paling sering terjadi di dunia.

Di seluruh dunia 9,5 persen pria penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada

wanita angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita kanker.

Eropa sebagai salah satu negara maju dengan angka insiden kanker kolorektal yang tinggi. Pada

tahun 2004 terdapat 2.886.800 insiden dan 1.711.000 kematian karena kanker, kanker kolorektal

menduduki peringkat kedua pada angka insiden dan mortalitas.

Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya. Pada

tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus kanker yang terdapat pada

pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga dari semua kasus

kanker. Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia terdapat

kenaikan jumlah kasus, data dari Depkes didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk.

Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden yang ditemukan, yang

mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk, terutama antara negara maju

dan berkembang. Demikian pula antara Negara Barat dan Indonesia, terdapat perbedaan pada

frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan. Di Indonesia frekuensi kanker kolorektal yang

ditemukan sebanding antara pria dan wanita; banyak terdapat pada seseorang yang berusia muda;

dan sekitar 75% dari kanker ditemukan pada kolon rektosigmoid, sedangkan di Negara Barat

frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan pada pria lebih besar daripada wanita; banyak

terdapat pada seseorang yang berusia lanjut; dan dari kanker yang ditemukan hanya sekitar 50%

yang berada pada kolon rektosigmoid.

Letak kanker kolorektal paling sering terdapat pada kolon rektosigmoid. Keluhan pasien karena

kanker kolorektal tergantung pada besar dan lokasi dari tumor. Keluhan dari lesi yang berada

pada kolon kanan dapat berupa perasaan penuh di abdominal, symptomatic anemia dan

perdarahan, sedangkan keluhan yang berasal dari lesi pada kolon kiri dapat berupa perubahan

pada pola defekasi, perdarahan, konstipasi sampai obstruksi.

41

Page 42: Cea Karsinoma Kolon

Gambaran histologi merupakan faktor penting dalam hal penanganan dan prognosis dari kanker.

Gambaran histopatologis yang paling sering dijumpai adalah tipe adenocarcinoma (90-95%),

adenocarcinoma mucinous (17%), signet ring cell carcinoma (2-4%), dan sarcoma (0,1-3%).

Prof. K.L. Goh dari departement of medicine University of Malaysia mengatakan bahwa

masyarakat di Asia telah mengikuti pola penyakit gastrointestinal yang muncul pada masyarakat

di negara Barat beberapa dekade yang lalu, hal ini dikarenakan adanya perubahan pada kondisi

sosial ekonomi. Perubahan sosial ekonomi tersebut membawa dua dampak yaitu perubahan gaya

hidup dari masyarakat serta peningkatan usia harapan hidup akibat kemajuan pembangunan.

Perubahan gaya hidup yang diasosiasikan dengan masalah kesehatan adalah diet, merokok, gaya

hidup yang sedentari serta obesitas. Peningkatan usia harapan hidup yang ada beserta populasi

Indonesia yang menduduki peringkat 4 dunia akan menjadikan Indonesia pada tahun 1990-2025

akan mempunyai jumlah usia lanjut paling tinggi di dunia.

Jika dilihat dari sudut pandang epidemiologi ada 2 faktor yang menyebabkan suatu penyakit

menjadi suatu masalah kesehatan yang penting. Yang pertama adalah frekuensi, ini berkaitan

dengan tingginya insiden atau prevalensi, termasuk penyakit yang potensial akan meninggi

dalam tingkat insidensi. Adanya faktor- faktor gaya hidup dan populasi diatas memungkinkan

kanker kolorektal dimasa yang akan datang potensial meninggi dalam hal insidensi. Yang kedua

adalah derajat keparahan atau tingginya mortalitas. Dari data didapatkan 50 persen penderita

kanker kolorektal meninggal dikarenakan penyakit ini. Hal ini disebabkan karena pada stadium

awal seringkali tidak menunjukkan gejala, sehingga pasien baru datang setelah ada gejala yang

biasanya sudah pada stadium akhir, yang menyebabkan penanganan kuratif sudah tidak dapat

dilakukan lagi.

III.2 TABEL

FAKTOR YANG MENENTUKAN GEJALA DAN TANDA

KOLON KANAN KOLON KIRI REKTUMTIPE TUMOR Vegetative

UlseratifStenotik Infiltratif

VegetatifUlseratif

KALIBER VISKUS Besar KecilPipih

Besar

ISI VISKUS Setengah cair Setengah padat PadatFUNGSI UTAMA Absorpsi Penyimpanan Defekasi

GAMBARAN KLINIK KARSINOMA KOLOREKTAL LANJUT

42

Page 43: Cea Karsinoma Kolon

KOLON KANAN KOLON KIRI REKTUMASPEK KLINIS Kolitis Obstruksi ProktitisNYERI Karena penyusupan Obstruksi ObstruksiDEFEKASI Diare/diare berkala Konstipasi progresif Tenesmi terus

menerusOBSTRUKSI Jarang Hampir selalu Hampir selaluDARAH PADA

FESES

Samar Samar/makroskopik Makroskopik

FESES Normal/diare berkala Normal Perubahan bentukDISPEPSIA Sering Jarang JarangANEMIA Hampir selalu Lambat LambatMEMBURUKNYA

KEADAAN UMUM

Hampir selalu Lambat Lambat

KLASIFIKASI CARSINOMA RECTUM MENURUT DUKES

DUKES DALAMNYA INFILTRASI PROGNOSIS HIDUP

5TAHUNA TERBATAS DI DINDING USUS 97%B MENEMBUS LAPISAN MUSKULARIS

MUKOSA

80%

C METASTASIS KEL LIMFE C1 BEBERAPA KEL.LIMFE DEKAT TUMOR

PRIMER

65%

C2 DALAM KEL LIMFE JAUH 35%D METASTASIS JAUH <5%

43

Page 44: Cea Karsinoma Kolon

PENGELOMPOKAN STADIUM KARSINOMA KOLOREKTAL

STADIUM TUMOR PRIMER

KELENJAR LIMFE REGIONAL

METASTASIS JAUH

DUKES STAGE

0 Tis N0 M0I T1

T2N0 M0 A

II T3T4

N0 M0 B

III Setiap TSetiap T

N1N2/N3

M0 C

IV Setiap T Setiap N M1

44