Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

72

description

shared cdk

Transcript of Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Page 1: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik
Page 2: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

International Standard Serial Number: 0125 -913X

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandang-an/pendapat masing-masing penulis dan tidakselalu merupakan pandangan atau kebijakaninstansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Karya Sriwidodo

Diterbitkan oleh :Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma

Daftar Isi :

Artikel :3 Pengantar Farmakokinetika8 Farmakokinetika Klinik

13 Monitoring Kadar Terapeutik Obat18 Ketersediaan Hayati Obat21 Pengukuran Klirens Ginjal Obat26 Teknik Analisis Obat Dalam Cairan Biologis Dengan GLC

dan HPLC32 Farmakoterapi Rasional37 Ketersediaan Hayati Sediaan Pelepasan Lambat41 Strategi Penelitian Farmakokinetika49 Bioavailabilitas Obat53 Bagaimana Pengaruh Tubuh Terhadap Obat55 Konsultasi Farmakologik di Samping Penderita58 Sekilas Tentang Sub Bagian Farmakokinetika Bagian Pene-

litian dan Pengembangan PT Kalbe Farma

6265 Perkembangan Bunuh Diri Bersama

Mastektomi : Sedikit Mungkin Sa- ma Dengan Banyak

67 Hukum & Etika : Tepatkah Tindakan Saudara ?69 Catatan Singkat70 Humor Ilmu Kedokteran72 Abstrak abstrak

Cara Menentukan Kualitas Protein Suatu Bahan Makanan

Page 3: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Artikel

Pengantar Farmakokinetika

Dr Yeyet Cahyati S Apt

PENDAHULUANSejak beberapa tahun yang lalu, pola pengontrolan kualitas

dan pemakaian klinik obat dipengaruhi oleh suatu disiplinilmu yang mempelajari nasib obat dalam tubuh. Disiplin ilmutersebut kita kenal dengan nama "Fammakokinetika".

Kata " farmakokinetika" berasal dari kata-kata "pharma-con" , kata Yunani untuk obat dan racun, dan "kinetic".Jadi " farmakokinetika" adalah ilmu yang mempelajari kinetikaobat, yang dalam hal ini berarti kinetika obat dalam tubuh.Proses-proses yang akan menentukan kinetika obat dalam tu-buh meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme danekskresi. Untuk memahami kinetika obat dalam tubuh tidakcukup hanya dengan menentukan dan mengetahui perkem-bangan kadar atau jumlah senyawa asalnya saja (unchangedcompound), tetapi juga meliputi metabolitnya.

Bagian tubuh di man konsentrasi/jumlah obat dan ataumetabolitnya ditentukan biasanya darah (plasma/serum),ekskreta (urin, faeses, ludah, dan lain - lain), atau jaringan tubuhlain.

PEMODELAN DALAM FARMAKOKINETIKADa lam suatu penelitian/studi farmakokinetika, perkembarig-

an kadar/jumlah obat (senyawa asal dan atau metabolitnya)dalam tubuh dilakukan pada titik-titik waktu yang diskon-tinyu (misalnya pada waktu-waktu 30 menit, 1 jam, 2 jam, 3jam, 6 jam dan 8 jam setelah pemberian obat), karena sampai

– Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu PengetahuanAlam Institut Teknologi Bandung

– Konsultan pada Sub Bidang Farmakokinetika, Bidang Farina-kologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan PT Kalbe Farina,Jakarta

dengan saat ini memang tidak mungkin untuk dapat menentu-kan kinetika obat dalam tubuh secara eksperimental dalamwaktu yang kontinyu. Dengan demikian, data eksperimentalyang akan kita peroleh hanyalah untuk waktu-waktu tersebuttadi. Sebagai contoh dapat dilihat gambar 1.

Jika data tersebut dibiarkan apa adanya, tidak banyak man-faat yang bisa ditarik. Oleh karena itu, dalam dunia farina-kokinetika akan dijumpai apa yang disebut dengan "model " .

"Model" yang paling sering dipakai adalah model komparte-mental, di mana keadaan tubuh direjpresentasikan ke dalambentuk kompartemen: satu kompartemen atau pluri-komparte-men. Tiap kompartemen mempunyai besarai volume (isi) yangdisebut "volume distribusi " . Model-model tadi hanyalah suaturepresentasi matematika yang tidak bisa dihubungkan dengan

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 3

Page 4: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

keadaan fungsi-fungsi tubuh secara tegas. Oleh karena itu"volume distribusi" tadi disebut "volume distribusi yangtimbul" (apparent volume of distribution). Beberapa contohmodel kompartemental dalam farmakokinetika dapat dilihatpada gambar 2.

Gambar 2. Representasi model Satu kompartemen dan masing-masing satu contoh dari model dua kompartemen dan tiga komparte-men dari model kompartemental tinier terbulca.

Berdasarkan ketepatan regresi kurva yang diperoleh, kon-stanta-konstanta transfer antar kompartemen dan konstantakecepatan eliminasi (dan juga konstanta kecepatan absorpsi)dari model tadi mendekati kinetika proses tingkat satu, se-hingga persamaan kinetika obat dapat diselesaikan ke dalampersamaan umum :

Untuk model satu kompartemen misalnya, jika obat diberi-kan secara injeksi intravena (dalam dosis tunggal), perkem-bangan kadar obat dalam darah dapat direpresentasikan de-ngan persamaan :

Sedangkan untuk model 2 kompartemen, dan obat diberi-kan secara ekstravaskular, persamaan kinetika yang cocokadalah :

4 Ccrmin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 5: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

WaktuGambar 3. Bentuk umum kurva perkembangan kadar obat dalam

darah menurut model satu kompartemen setelah pemberian obat secarainjeksi intravena (A), infus dimana infus dihentikan sebelum kesetim-bangan dicapai (B1), infus dimana infus dihentikan setelah kesetim-bangan dicapai (B2), dan secara ekstravaskular (oral, rektal, dan lain-lain) (C).

PROFIL PERKEMBANGAN KADAR OBAT DALAM TU-BUH (DARAH)

Sebagaimana telah dikatakandi muka, darah(plasma atauserum) merupakan cairan tubuh yang paling sering dipakaidalam penelitian farmakokinetika. Ini mudah dimengertikarena: (a) kebanyakan obat sampai ke reseptornya melaluidarah, dan (b) tidak mudah mendapatkan jaringan tubuhlaindari organisme hidup, khususnya manusia.

Profil perkembangan kadar obat dalam darah dapat dibagike dalam tiga kategori :(a) Profil kinetika, di mana obat dimasukkan sekaligus ke

dalam sistem peredaran darah (misalnya cara injeksi intra-vena).

(b) Profil kinetika,di mana obat diberikan secara infus.(c) Profil kinetika,di mana obat diberikan secara ekstravasku-

lar (oral, rektal, dan lain-lain).Untuk obat yang diberikan secara injeksi intravena, semua

obat akan masuk sekaligus ke dalam sistem peredaran darah,kemudian jumlah obat dalam darah akan menurun karena obatmengalami proses distribusi dan eliminasi (metabolisme danekskresi).

Untuk obat yang diberikan secara infus, kadar obat dalamdarah akan naik secara perlahan-lahan sesuai dengan kecepataninfus, dan akan naik terus sampai infus dihentikan atau sampaisuatu saat di mana kecepatan eliminasi sama dengan kecepataninfus. Setelah infus dihentikan, kadar obat akan turun kembaliseperti halnya setelah pemberian secara injeksi intravena.

Pada pemberian obat secara ekstravaskular(oral, rektal,dan lain-lain), obat akan masuk ke dalam sistem peredaran da-rah secara perlahan-lahan melalui suatuproses absorpsi sampai

mencapai puncaknya, kemudian akan turun.Gambaran umum bentuk kurva kinetika untuk masing-

masing cara pemberian dapat dilihat pada gambar 3, sedangkanbentuk kurva kinetika untuk tiap model kompartementaldapat dilihat pada gambar 4. Adanya suatu kinetika yangpluri-kompartemental biasanya hanya dapat terlihat dengannyata pada pemberian obat secara injeksi intravena.

Waktu

Gambar 4. Bentuk umum kurva perkembangan kadar obat dalamdarah menurut model satu kompartemen (A),model dua kompartemen(B), dan model tiga kompartemen (C), pada pemberian obat secarainjeksi intravaskular.

KEGUNAAN FARMAKOKINETIKAPengetahuan farmakokinetika berguna dalam berbagai bi-

dang farmasi dan kedokteran, seperti untuk bidang farmako-logi, farmasetika, farmasi klinik, toksikologi dan kimia medi-sinal.

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 5

Page 6: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Bidang farmakologiPertama kali, dengan penelitian farmakokinetika dapat di-

bantu diterangkan mekanisme kerja suatu obat dalam tubuh,khususnya untuk mengetahui senyawa yang mana yang se-benarnya bekerja dalam tubuh; apakah senyawa asalnya, meta-bolitnya atau kedua-duanya.

Jika efek obat dapat dinilai secara kuantitatif, data kinetikaobat dalam tubuh sangat penting artinya untuk menentukanhubungan antara kadar/jumlah obat dalam tubuh dengan in-tensitas efek yang ditimbulkannya. Dengan demikian daerahkerja efektif obat (therapeutic window) dapat ditentukan.Bidang farmasetica

Dalam bidang farmasetika, farmakokinetika berguna untukmenilai ketersediaan biologis (bioavailability) suatu senyawaaktif terapeutik dari sediaannya (sediaan yang diberikan se-cara ekstravaskular). Seperti sudah banyak dibuktikan, kualitaszat aktif, jenis dan komposisi bahan pembantu serta teknikpembuatan sediaan yang dipakai dalam pembuatan suatu se-diaan dapat mempengaruhi ketersediaan biologis zat aktif darisediaan tersebut. Sedangkan ketersediaan biologis zat aktifakan menentukan efektivitas terapeutik dari sediaan yang ber-sangkutan.

Selain itu, farmakokinetika dapat membantu menentukanpilihan bentuk sediaan yang paling cocok/baik untuk dibuat.

Bidang farmasi klinikUntuk bidang farmasi klinik, farmakokinetika memiliki

beberapa kegunaan yang cukup penting, yaitu :a) Untuk memilih route pemberian obat yang paling tepat.Apakah harus secara injeksi intravena, atau bisa dengan routelain seperti secara oral, rektal, dan lain-lain. Ini dapat dilaku-kan dengan menilai ketersediaan biologis obat setelah pem-berian dalam berbagai route pemberian, dan dengan memper-timbangkan profil kinetika obat yang dihasilkan oleh berbagairoute pemberian tersebut.b) Dengan cara identifikasi farmakokinetika dapat dihitungaturan dosis yang tepat untuk setiap individu (dosage regimenindividualization). Sampai dengan saat ini cara identifikasifarmakokinetika merupakan cara yang paling tepat untukpengindividualisasian dosis, khususnya untuk obat-obat dengandaerah keija terapeutik yang sempit seperti teofilin, dan lain-lain.c) Data farmakokiketika suatu obat diperlukan dalam penyu-sunan aturan dosis yang rasional.d) Dapat membantu menerangkan mekanisme interaksi obat,baik antara obat dengan obat maupun antara obat denganmakanan atau minuman.

Bidang toksikologiDalam bidang ini farmakokinetika dapat membantu mene-

mukan sebab-sebab terjadinya efek toksik dari pemakaiansuatu obat.

Bidang kimia medisinalDalam bidang kimia medisinal, pengetahuan farmakokine-

tika dan data farmakokinetika suatu senyawa obat dapat mem-bantu memberikan arah terhadap sintesis senyawa-senyawaobat baru yang lebih unggul: potensi lebih tinggi, stabilitas

6 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

dalam tubuh lebih terjamin, dan profil kinetika yang lebihmenguntungkan untuk pemakaian klinik sesuai dengan indi-kasinya.

Sebagai contoh, sintesis senyawa-senyawa obat dari golong-an benzodiazepin. Benzodiazepin mempunyai beberapa indi-kasi seperti untuk pengimbas tidur, sebagai penenang, anti-konvulsan, dan lain-lain. Untuk penggunaan sebagai penenangsekarang telah disintesis beberapa senyawa dengan waktu pa-ruh eliminasi yang cukup besar (50 jam ke atas) seperti etilo-flazepat, dan lain-lain.

FARMAKOKINETIKA DI INDUSTRI FARMASISecara garis besar, industri-industri farmasi dapat dibagi ke

dalam dua kelompok, yaitu :I. Industri farmasi yang memproduksi bahan baku (baik se-

nyawa aktif terapeutik maupun bahan pembantu), dansekaligus memproduksi sediaan jadi (tablet, kapsul, obatsuntik, dan lain-lain).

II. Industri farmasi yang hanya memproduksi obat jadi.Untuk industri farmasi yang termasuk ke dalam kelompok

I, khususnya yang mensintesis senyawa-senyawa aktif tera-peutik baru, penelitian farmakokinetika perlu dilakukan un-tuk mengetahui/menentukan beberapa hal :— mekanisme kerja obat— arah sintesis senyawa baru selanjutnya— daerah kerja terapeutika obat— aturan dosis standar (standard dosage regimen)— route pemberian dan bentuk sediaan yang paling cocok—kualitas obat jadi— dan lain-lain.

Untuk industri farmasi yang termasuk kelompok II sepertilazimnya industri-industri farmasi yang ada di Indonesia dewa-sa ini, fungsi penelitian farmakokinetika lebih terbatas, ter-utama untuk menilai kualitas sediaan obat jadi yang dihasil-kan, yaitu ditinjau dari segi ketersediaan biologisnya (bio-availability). Fungsi lain yang bisa dikembangkan adalah untukmenilai kembali atau untuk menghaluskan aturan dosis standaryang sudah ditentukan, dengan memperhitungkan data kine-tika senyawa aktif dari sediaan obat yang bersangkutan.Dengan ketersediaan biologis yang tinggi, dosis obat bisa di-perkecil sehingga penggunaan obat bisa lebih ekonomis. Un-tuk industri-industri farmasi di Indonesia, fungsi yang keduaini semestinya bisa benar-benar dikembangkan, mengingataturan dosis standar yang dipakai yaitu yang sudah ditetapkanberdasarkan data kinetika obat yang diamati pada orang-orangBarat. Padahal, obat akan digunakan untuk orang-orang Indo-nesia yang belum tentu memiliki respon farmakokinetika yangsama dengan orang Barat terhadap obat-obat yang dipakai.

MASALAH YANG DIHADAPI OLEH INDUSTRI-INDUSTRIFARMASI DI INDONESIA

Untuk melaksanakan penelitian farmakokiketika terdapatbeberapa masalah yang harus dipecahkan.

Yang pertama adalah masalah tenaga ahli. Untuk penelitianini diperlukan tenaga ahli khusus untuk analisis farmakokine-tika. Berdasarkan pengalaman penulis, dalam program pen-didikan tinggi farmasi stratum 1 (Sl) di Indonsia, disiplinilmu ini belum diberikan secara mendalam.

Masalah yang kedua adalah masalah peralatan, khususnya

Page 7: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

peralatan untuk penentuan kadar obat dalam cairan biologis.Cara penentuan kadar untuk keperluan studi farmakokinetikaharus memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang cukup tinggi,karena: (a) dalam sampel terdapat senyawa lain (baik senyawaendogen maupun metabolit obat sendiri) yang dapat berinter-frensi, dan (b) kadar obat yang harus ditentukan kadarnya re-latif sangat rendah (rata-rata sampai di bawah 1 mcg/ml).Masalah ini bisa dijawab dengan menggunakan peralatan anali-sis yang ber-performance tinggi seperti kromatograf cair penam-pilan- tinggi ("HPLC "), kromatograf gas, TLC-scanner, danlain-lain, di samping juga diperlukan peralatan ekstraksi danderivatisasi untuk skala mikro. Untuk senyawa-senyawa anti-biotika dengan tujuan studi tertentu (misalnya untuk studibioavailabilitas), cara niikrobiologis masih bisa dipakai danmasih merupakan alternatif pilihan.

Masalah yang ketiga adalah masalah biaya operasional yangcukup tinggi; yang diperlukan untuk penyiapan sampel, untukanalisis kuantitatif dan untuk pemeliharaan alat.

Dengan adanya masalah-masalah itulah maka belum semuaindustri farmasi di Indonesia mampu untuk melakukan pene-litian farmakokinetika. Pada saat ini memang ketersediaanbiologis suatu sediaan belum ditetapkan sebagai persyaratansediaan obat, tetapi kalau nanti persyaratan ini ditetapkan,mau tidak mau semua industri farmasi harus melaksanakan pe-nelitian farmakokinetika ini.

PENUTUPPengetahuan farmakokinetika bermanfaat dan diperlukan

dalam berbagai bidang pekerjaan farmasi dan kedokteran, se-perti dalam bidang farmasetika, farmakologi klinik, farmasiklinik, toksikologi dan kimia medisinal. Karena cukup banyakmasalah yang dihadapi untuk melaksanakannya, sampai de-ngan saat ini belum semua industri farmasi di Indonsia mam-pu melakukan penelitian farmakokinetika ini (khususnya ujiketersediaan biologis atau bioavailabilitas), padahal pelaksana-annya cukup penting dalam rangka pelayanan kesehatan yanglebih rasional, efisien dan efektif.

KEPUSTAKAAN

1. Aiache JM, Devissaguet JPh and Guyot-Herrmann AM (Eds.) Ga-lenica 2 — Biopharmacie, Technique et Documentation, Paris, 1978.

2. Rowland M and Tozer TN. Clinical Pharmacokinetics: Conceptsand Applications, Lea & Febiger, Philadelphia, 1980.

3. Wagner JG. History of pharmacokinetic, Pharmac Ther, 1981; 12 :537 — 562.

4. Wagner JG. Do you need a pharmacokinetic model, and, if so, whichone?, J Pharmacokin Biopharm, 1975; 3(6) : 457 — 477.

5. Wagner JG. Fundamentals of Clinical Pharmacokinetics, 1st ed.,Illinois; Drug Intelligence Publications, Inc, Hamilton, 1979.

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 7

Page 8: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Farmakokinetika Klinikdr Budiono Santoso

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta

PENDAHULUANSemenjak Dost l mengajukan istilah farmakokinetika kira-

kira 30 tahun yang lalu, yang kurang lebih diartikan sebagai"ilmu mengenai analisis kuantitatif antara organisma danobat", maka kita telah melihat perkembangan yang begitupesat bidang ilmu ini sampai sekarang. Pengertian yang di-cakup dalam definisi dari Dost tadi sebenarnya kalau ditelaahlebih dalam meliputi "analisis matematika dari jumlah dan ak-tifitas obat dalam badan dalam hubungannya dengan waktu".Namun demikian tulisan ini tidak akan membahas panjanglebar mengenai "analisis matematka" seperti yang dimaksuddalam pengertian di atas, tetapi lebih banyak membicarakantempat dan manfaat dari farmakokinetika dalam klinik, teruta-ma sehubungan dengan perawatan penderita. Ini didasarkanpada kenyataan, analisis matematika dalam badan terutamamengenai jumlah maupun aktifitasnya telah banyak sekalidibahas dalam berbagai tulisan dan penerbitan. Di lain pihak,kemanfaatan farmakokinetika dalam kepentingan klinik se-cara luas sering tidak mendapat perhatianyang layak.

Pengaruh klinik atau terapeutik suatu obat pada seorangpasien sebenarnya merupakan hasil dari daya farmakologikobat tersebut, di man hal yang terakhir ini akan sangat ter-gantung pada kadar yang bisa dicapai pada tempat kerja obat(reseptor). Sayangnya, pengukuran kadar obat pada reseptorhampir selalu tidak dimungkinkan. Namun demikian, karenasetiap perubahan kadar obat yang terukur dalam cairan darahsecara praktis akan mencerminkan perubahan pada reseptor,dengan pengukuran kadar obat dalam cairan darah akan bisadiperhitungkan atau diramalkan tingkat aktifitas farmakolo-gik yang tercapai (lihat Bagan 1). Tinggi rendahnya kadar obatdalam cairan darah merupakan hasil dari besarnya dosisyang diberikan, dan pengaruh-pengaruh proses -proses alamidalam tubuh mulai dari absorpsi, distribusi, metabolisme sam-pai ekskresi obat.

Dengan melihat alur peristiwa yang tergambar pada bagansatu, sebenarnya farmakokinetika merupakan analisis mate-matika dari proses-proses absorpsi, distribusi, metabolisme danekskresi obat. Namun demikian, jika kita kembali kepada defi-

8 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 9: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

nisi dari Dost tadi, sebenarnya lingkup farmakokinetika seha-rusnya juga mencakup analisis matematika dari aktifitas obat.Perlu dicatat, walaupun perkembangan teknologi modern saatini telah memungkinkan kuantifikasi kadar sebagian besar obatdalam cairan biologik, misalnya saja dengan teknik kromato-grafi gas, kromatografi cairan tekanan tinggi (high pressure li-quid chromatography; HPLC), spektrometri massa (mass spec-trometry) dan lain-lain, tetapi kuantifikasi aktifitas maupunpengaruh klinik obat bukan merupakan pekerjaan yang gam-pang, kalau tidak bisa dikatakan sangat sulit. Sehingga sampaisaat ini farmakokinetika hampir selalu diartikan sebagai studikuantitatif dari proses absorpsi, distribusi, metabolisme danekskresi obat seperti yang diajukan oleh Greenblatt danKoch-Weser (1975) 2 Penerapan prinsip-prinsip farmakokine-tika dalam penanganan penderita secara langsung atau tidakdikenal sebagai farmakokinetika klinik. Permasalahan yang se-lalu dihadapi oleh klinikus yang berminat terhadap farmako-kinetika adalah, bagaimanakah memanfaatkan secara maksimalpengetahuan tentang kinetika obat untuk kepentingan pena-nganan penderita?

MANFAATDALAM PENERAPAN KLINIKWalaupun kepentingan dari penerapan farmakokinetika

kepada masalah-masalah klinik telah banyak sekali diingatkandan ditekankan selama bertahun-tahun terakhir ini, tetapisuatu penelaahan terhadap publikasi -publikasi mengenai far-makokinetika dalam berkala -berkala terkemuka di dunia3telah mengungkapkan, penelitian -penelitian yang berkaitanlangsung dengan penanganan masalah -masalah yang dihadapidalam klinik kebanyakan hanya menjadi tujuan sekunder.

Misalnya, dalam keadaan klinik yang sesungguhnya makapemberian obat pada pasien lebih sering dengan dosis ganda(multiple dosing) dibanding dengan pemberian dosis tunggal(single dosing), namun penelitian -penelitian justru lebih ba-nyak dengan pemberian dosis tunggal baik pada orang sehatmaupun penderita. Bagi para klinikus yang berminat dalamfarmakokinetika, mungkin akan lebih mudah menerima danmenelaah hasil penelitian dosis berganda dibanding dengan do-sis tunggal untuk menerapkan hasil tersebut bagi kepentinganpenderita.

Manfaat penerapan farmakokinetika bagi kepentingan pena-nganan penderita adalah untuk tuntunan penentuan aturan do-sis (dosage regimen) yang menyangkut besarnya dosis dan in-terval pemberian dosis, terutama untuk obat-obat dengan ling-

. kup terapeutik yang sempit seperti teofilina, digoksin, feni-toina, fenobarbital, lidokain, prokainamida dan lain-lain.

Contoh kasus 1Misalnya: jika dalam suatu unit darurat dihadapi seorang

penderita status asmatikus berat, di mana sebagai tindak lanjutdiagnosis dan evaluasi klinik diputuskan untuk memberi-kan terapi teofilina per infus. Dengan melihat beratnya serang-an asma yang diderita, klinikus menginginkan kadar teofilinadalam keadaan tunak (steady state = C s) sebesar 12 ug/ml.Untuk menentukan berapa kecepatan infus yang perlu diberi-kan, dan berapa besarnya bolus yang diperlukan bisa diper-hitungkan dari perhitungan-perhitungan farmakokinetika:

Kecepatan infus = Cl x Css (rumus 1)

Cl adalah klirens tubuh total, yakni menggambarkan ke-mampuan individu untuk mengeliminasi obat yang ditunjuk-kan dengan besarnya volume darah yang dibersihkan dari

Vd= volume distribusiyang merupakan volumehipotetis penyebaran obat dalam cairan tu-buh.

ke1= tetapan kecepatan eliminasi obat per unitwaktu.

Persamaan (3) juga bisa ditulis seperti berikut,

t½‚ adalah waktu paroh obat yang menggambarkan lamanyajumlah obat (kadar obat) dalam badan turun menjadi separuh-nya. Karena jika infus diberikan dengan kecepatan yang sudahdiperhitungkan tadi, kadar obat dalam keadaan tunak (steadystate) baru akan tercapai 4xt‚, maka untuk kasus-kasus beratseperti di atas perlu diberikan suatu dosis pengisi (loading) agartercapai Css dalam waktu cepat.

Besarnya dosis pengisi diperhitungkan,

Contoh kasus 2Untuk penderita asma yang tidak begitu berat diinginkan

kadar teofilina dalam darah sebesar 5 ug/ml dalam keadaantunak. Berapa dosis yang diperlukan dapat diperhitungkandari

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 9

Page 10: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Untuk kedua keadaan klinik yang digambarkan pada con-toh kasus 1 dan 2 di atas, kadar terapeutik bisa dicapai denganmemperhitungkan kecepatan infus (contoh 1) atau besarnyadosis oral (contoh 2), jika bisa diketahui nilai volume distribusi(Vd) maupun waktu paroh (t'%) dan ketersediaan hayati (F)untuk dosis oral.

Salah satu manfaat farmakokinetika dalam klinik, sepertihalnya digambarkan pada ke dua contoh di atas adalah untukmenentukan aturan dosis dan pemberiannya setelah parameter-parameter kinetika yang diperlukan bisa diketemukan. Persoal-annya, apakah setiap parameter kinetika harus ditentukan dulusebelum menentukan aturan dosis dan pemberiannya pada se-tiap penderita? Jelas hal ini tidak dimungkinkan karena akankehilangan nilai praktis terapeutiknya. Dalam buku-bukustandar farmakologi klinik atau farmakokinetika, sebenarnyadata mengenai parameter-parameter farmakokinetika dari ber-bagai obat bisa dicari dan dijadikan pedoman untuk memper-kirakan nilai parameter kinetika yang diperlukan (approximatevalue). Namun demikian perlu dicatat hal-hal sebagai berikut:1). Sebagian besar (hampir semua) data kinetika obat di-dapatkan pada orang-orang Barat (ras Kaukasoid), dan makinbanyak diketahui adanya variasi antar etnik yang cukup ber-makna untuk beberapa obat.

2). Keaneka-ragaman antar individu dalam satu populasidari satu kelompok etnik untuk berbagai obat sering terlalubesar untuk bisa diambil suatu nilai perkiraan rata-rata yangdapat diterapkan pada setiap individu.

Manfaat lain dari farmakokinetika adalah mempelajari fak-tor-faktor yang dapat menipengaruhi proses -proses biologikyang dialami oleh obat dalam tubuh mulai dari absorpsi, dis-tribusi, metabolisme maupun ekskresi. Termasuk di sini misal-nya faktor -faktor genetik maupun lingkungan baik lingkunganinternal maupun eksternal tubuh. Misalnya dengan mengukurparameter kinetika eliminasi (khusus untuk metabolisme)suatu obat dalam satu populasi, dapat diidentifikasi kemung-.kinan adanya sub populasi yang lain dari umumnya anggotapopulasi dalam hal kemampuan metabolisme obat tertentu.

Pengukuran waktu paroh (5%) INH dalam suatu populasiakan memberikan gambaran distribusi frekuensi yang poli-modal, di mana individu -individu dalam populasi terbagi se-cara genetik ke dalam kelompok -kelompok asetilator cepatdan asetilator lambat4

Contoh lain, peristiwa-peristiwa saling mempengaruhi(antar aksi obat) dalam tingkat proses -proses biologik ab-sorpsi, distribusi, metabolisme maupun ekskresi dipelajaridan dievaluasi secara in vivo, baik pada orang sakit atau-pun penderita, dengan pendekatan farmakokinetika yaknidengan pengukuran -pengukuran parameter -parameter kine-tika peristiwa -peristiwa di atas5 . Misalnya, hambatan meta-bolisme primidon oleh karena INH dibuktikan secara klinikdengan adanya pemanjangan t½ primidon sesudah pra-perlaku-an INH dibandingkan tanpa pra-perlakuan INH6.

KEANEKA RAGAMAN ANTAR ETNIKSeperti telah disinggung di muka, salah satu permasalah-

an yang sering menjadi bahan pertanyaan dalam berbagai ke-adaan itu apakah data kinetika suatu obat dari satu kelom-

pok etnik (dalam hal ini umumnya didapat dari ras Kauka-soid) bisa dipakai sebagai dasar untuk pembuatan pedomanaturan dosis dan pemberian pada kelompok etnik lain (rasNegroid dan Mongoloid)? Jawabannya bisa dua kemungkin-an, ya dan tidak. Ini mungkin karena tidak ada perbedaanyang bermakna secara klinik dalam parameter -parameterfarmakokinetika antara masing -masing kelompok etnik. Ke-mungkinan lain, untuk beberapa obat ternyata perbedaan-perbedaan antar kelompok etnik ini cukup bermakna kliniksehingga memerlukan penyesuaian aturan - aturan dosis padakelompok etnik lain sesuai dengan parameter-parameter kine-tik yang didapat pada populasi yang bersangkutan.

Keaneka ragaman antar etnik ini mungkin disebabkankarena adanya perbedaan dalam frekuensi gen dalam popula-si yang bersangkutan untuk variasi obat yang di bawah penga-ruh gen monogenik (polimorfisme genetik) atau oleh karenaperbedaan-perbedaan dalam faktor -faktor lingkungan internalmaupun eksternal yang bisa berpengaruh terhadap proses-proses kinetika (terutama metabolisme).

Misalnya, keaneka ragaman metabolisme isoniazid yang be-rupa reaksi asetilasi menjadi asetil -isoniazid. Individu-individudalam populasi terbagi menjadi asetilator cepat dan asetilatorlambat, di mana ciri genetik masing-masing di bawah gen do-minan (R) dan resesif (r). Frekuensi asetilator pada masing-masing kelompok etnik sangat berbeda. Pada ras Mongoloidsebagian besar tergolong ke dalam asetilator cepat dengan ni-lai waktu paro (t½) 'kurang dari 2 jam, sedangkan pada rasKaukasoid atau Negroid frekuensi asetilator cepat sedikit lebihrendah dari pada asetilator lambat7.

Pada gambaran histogram, frekuensi distribusi waktu paroINH dalam kepustakaan nilai antimode yang memisahkanasetilator cepat dan lambat disebutkan 2 jam, di mana nilaiwaktu paro INH kurang dari 2 jam adalah asetilator cepat 4.Penelitian terhadap orang-orang Indonesia suku Jawag menun-jukkan; nilai antimode t½ - INH yang memisahkan asetilatorcepat dan lambat tidak terletak pada nilai 2 jam, tetapi antara2½ - 3½ jam. Mengapa bisa terjadi pergeseran distribusi nilait½ - INH ini sulit diterangkah. Tetapi analisis lebih lanjutdari data kinetika yang didapat menunjukkan, nilai rata-ratavolume distribusi (Vd) pada subyek -subyek Indonesia •Jawa tadi sebesar 89% ± SEM 3%berat'badan.Nilai volume distribusi pada kepustakaan4,9

rata-rata dilapor-kan sebesar 61%.

Jika dilihat rumus,

maka kemungkinan pergeseran ke kanan nilai antimode yangmemisahkan asetilator cepat &lambat pada populasi Indonesia- Jawa menjadi antara 2½ - 3½ jam dibandingkan dengannilai 2 jam pada ras Kaukasoid (Gambar 1), disebabkan olehkarena tingginya nilaivolumedistribusi (Vd).

Jika dilihat kecepatan metabolisme rifampisin, pada buku-buku standar disebutkan, nilai t½ sesudah pemberian dosis 600mg bervariasi antara 1½ - 4 jam. kadar puncak obat aktifyang dicapai sesudah pemberian 600 mg disebutkan berkisarantara 7 - 10 ug/ml. Penelitian sementara pada subyek-subyekIndonesia - Jawa (Santoso & Suryawati, 1984, belum di-

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 11: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

N

INH • T1/2

Gambar 1. Gambaran histrogram frekuensi distribusi dari waktuparo INH pada populasi Kaukasoid (atas) dan pada populasi IndonesiaJava (bawah).

Antimode yang memisahkan asetilator cepat (dengan genotipe RRdan Rr) dan asetilator lambat (dengan genotipe rr) terletak pada nilait½ 2 jam pada orang Kaukasoid dan antara 2½ - 3½ jam pada orang-orang Indonesia Jawa.

publikasi) menunjukkan sesudah pemberian dosis 600 mg,nilai t½ beragam antara 4 - 12 jam dengan kadar puncak an-tara 17 • 29 ug/ml. Perbedaan data kinetika yang didapat se-perti ini mungkin mengharuskan untuk mempertimbangkankembali aturan dosis pada subyek- subyek Indonesia - Jawa,jika diingat kemungkinan pengaruh -pengaruh toksis dari ri-fampisin.

Masih banyak lagi contoh-contoh tentang adanya perbeda-an antar kelompok etnik dalam parameter -parameter kinetikadari obat. Perbedaan ini mungkin relatif kecil, mungkin bisajuga besar dan mempunyai makna klinik yang mengharuskanpenyesuaian aturan dosis. Perlu dicatat bahwa perlu tidak-nya untuk melakukan penyesuaian aturan dosis pada suatupopulasi tidak hanya dengan melihat perbedaan parameter ki-netika (misalnya t½) tetapi juga mempertimbangkan lebar &sempitnya lingkup terapeutik(therapeutic range) kadar obat.Untuk obat-obat dengan lingkup terapeutikyang lebar, ber-arti jarak antara kadar efektif minimal dan kadar toksikmini-mal lebar, perbedaan parameter kinetik tertentu tidak mem-bawa konsekuensi apa-apa. Tetapi untuk obat-obat denganlingkup terapeutik yang sempit, adanya variasi kinetika se-dikit sudah membawa konsekuensiyang sangat penting.

KEANEKA-RAGAMAN ANTAR INDIVIDUKalau dikatakan di muka bahwa untuk beberapa obat ter-

nyata didapati perbedaanyang cukup bermakna klinik dalamparameter-parameter kinetika antara kelompok-kelompoketnik, maka pada individu-individu dalam satu populasipunakan didapati keaneka- ragaman kinetikayang mungkin cukupberarti, terutama untuk obat-obat dengan lingkup terapeutikyang sempit.

Seperti telah dikatakan, keaneka -ragaman biologik antar in-dividu dalam proses--proses kinetika (terutama metabolisme)mungkin berasal dari faktor - faktor genetik (genetic make-up)atau faktor-faktor lingkungan (lingkungan internal dan ekster-nal)10 . Faktor-faktor non-genetik meliputi penyakit -penyakit,keadaan kurang gizi, umur, pengaruh obat-obat yang diguna-kan bersamaan (antar aksi obat) dan lain-lain, termasuk faktorkebiasaan (merokok), dan kontak dengan cemaran - cemaranlingkungan (misalnya pestisida).

Penyakit-penyakit pada organ eliminasi misalnya heparatau ginjal akan mengurangi kemampuan eliminasi obat denganakibat turpnnya nilai klirens (Cl) obat, atau memanjangnyanilai Ph. Bagaimanakah aturan dosis obat pada keadaan gang-guan-gangguan fungsiorgan seperti ini? Jelas akan diperlukansuatu penyesuaian dosisyang tepat dengan kemampuan eli-minasi tubuh terhadap obat yang bersangkutan. Pada keada-an gangguan fungsi ginjal, penyesuaian dosis bisa dikerjakandengan memberikan dosis obat yang sesuai dengan kemam-puan faal ginjalyang diukur dengan nilai klirens kreatinin.Nilai klirens kreatinin memang memberikan gambaran kuan-titatif faal ginjal. Aturan -aturan atau rumus-rumus penyesuai-an dosis pada gangguan faal ginjal banyak dijumpai dalambuku-buku standar dan dibuat berdasarkan menurunnya nilaiklirens kreatinin.

Jika pada gangguan faal ginjal, ada parameter kuantitatifyang bisa dipakai untuk mengukur faal ginjal sehingga penye-suaian dosis bisa dilakukan berdasarkan baik buruknya faalsaat itu, maka tidak demikian halnya dengan gangguan faalhati. Tidak adaparameter kuantitatif yang bisa dipakai untukmengukur fungsi hati, sehingga pada keadaan gangguan fungsihati jika akan melakukan penyesuaian dosis obat tidak adapetunjuk yang tepat. Sayangnya, sampai sekarang orang tidakbisa menentukan satu obat ujiyang bisa dipakai untuk meng-ukur kemampuan metabolisme hati untuk segala macamobat

11. Walaupun pada mulanya orang banyak menaruh harap-

an bahwa dengan mengukur parameter-parameter eliminasiantipirin sebagai substratmodel metabolisme di hati, dapat di-ketahui kemampuan fungsi metabolisme hati untuk obat-obatlain, ternyata korelasi antara parameter- parameter eliminasiantipirin dengan obat lain terlalu kecil.

Kesulitan yang sama juga dihadapi jika menjumpai kasus-kasus malnutrisi. Walaupun secara umum sering ada anggap-an bahwa pada keadaan malnutrisi selalu terjadi penurunankemampuan eliminasi obat, tetapi perubahan- perubahan pato-fisiologik pada malnutrisiyang bisa mempengaruhi kemampu-an eliminasi obat sangat kompleks 12 . Perubahan- perubahanjuga meliputi proses- proses absorpsi, distribusi, metabolismemaupun ekskresi obat. Perubahan kinetikayang dialami olehsatu obat belum tentu sama dengan perubahanyang dialami

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 11

Page 12: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

obat lain. Sebab contoh, pada kwashiorkor terjadi penurunankemampuan eliminasi isoniazid 13 , tetapi sebaliknya dengansulfa-diazin justru terjadi kenaikan kecepatan eliminasi 14

Klirens (Cl) isoniazid pada 8 orang penderita tbc yang disertaihipoproteinemia, dengan rehabilitasi nutrisi selama 4 minggunaik dari 16.0 ƒ SEM 2.6 1/jam menjadi 19.9 ƒ 1/jam8 (lihatgambar 2). Ini menunjukkan adanya penurunan kemampuanmetabolisme INH pada keadaan malnutrisi, yang kemudiankembali membaik sesudah perbaikan gizi.

Gambar 2. Klirens INH pada 8 orang penderita tbc dengan hipo-albuminemia pada saat masuk (I) sebesar 16.0 ƒ SEM 2.6 L/jarn dan se-sudah rehabilitasi nutrisi dan terapi anti tbc selama 4 minggu (II)sebesar 19.9

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Dari uraian di atas, maka tidak mungkin untuk membuatpedoman penyesuaian dosis pada keadaan malnutrisi untuksemua obat. Setiap obat akan mengalami perubahan-perubah-an kinetik (kalau ada) sesuai dengan sifat-sifat fisiko kimiawidan kinetik masing-masing.

Individualisasi dosis obat pada setiap pasien dengan kondisikhusus yang potensial bisa merubah parameter -parameterkinetika . obat, harus dibarengi dengan monitoring terapi.Besarnya dosis yang diberikan, efek terapeutik yang didapat-kan, dan efek toksik yang mungkin timbul harus selalu di-timbang-timbang. Jika memungkinkan, pengukuran kadar obatdalam plasma akan sangat membantu individualisasi dosis,terutama untuk obat-obat dengan lingkup terapeutik yangsempit. Walaupun pendekatan-pendekatan farmakokinetika su-dah diambil untuk individualisasi dosis, hal ini tidak bisa me-ngesampingkan pentingnya tindakan monitoring terapi baiksecara klinik terhadap tercapainya terapeutik dan timbulnyaefek toksik, maupun secara laboratorik.

PENELITIAN FARMAKOKINETIK DI INDONESIASalah satu hambatan dalam penelitian farmakokinetika

di Indonesia umumnya yaitu kurangnya sarana untuk peng-ukuran kadar obat dalam cairan biologik. Namun demikiankalau toh alat-alat yang canggih memang di luar kemampuansetiap laboratorium untuk mengadakannya, maka alat-alatyang relatif lebih murah seperti spektrofotometer maupunspektrofluorometer masih banyak bermanfaat.

Salah satu masalah yang dihadapi saat ini, seperti diuraikandi depan adalah perlunya data kinetika dari populasi (popula-tion kinetics) orang-orang Indonesia untuk obat-obat ter-tentu. Sehingga penelitian -penelitian kinetika pada populasidari berbagai kelompok etnik di Indonesia mungkin perlumendapatkan perhatian.

Kalau data parameter kinetika obat biasanya didapatkandari orang sehat dengan cara pemberian dosis tunggal (singledose study), maka untuk penerapan dalam klinik perlu ditelitikinetika obat-obat pada kondisi -kondisi klinik khusus dengancara pemberian dosis berulang (multiple dosing). Ini nantinyaakan lebih mudah diterima dan dipakai oleh klinikus dalampertimbangan-pertimbangan terapi pada kondisi yang bersang-kutan. Pengaruh -pengaruh dari cemaran-cemaran lingkungan,pengaruh penyakit -penyakit, pengaruh status gizi dan lain-lain terhadap kinetika obat mungkin menarik untuk diteliti.

KEPUSTAKAAN

1. Dost FH. Der Blutspiegel : kinetik der konsentration Sablaufo inder kreislauffussigheit. Leipzig : Thieme. 1953.

2. Greenblatt DJ. & Koch Wosser J Clinical Pharmacokinetics. N EngJ Mod 293 : 702 - 705.

3. Tognoni G Bellantuono C Bonati M D'Incalli M Gerna M LatiniR Mandelli M Porro MG and Riva E. Clinical relevance of Pharma-cokinetics. Clinical Pharmacokinetics. 1980; 5 : 105 - 136.

4. Weber WW & Hein DW. Clinical pharmacokinetics of isoniazid.Clinical Pharmacokinetics, 4 : 401 - 422.

5. Park BK & Brockonridge AM. Clinical implications of enzyme in-duction and enzyme inhibition. Clinical Pharmacokinetics, 1981;6 : 1 - 24. (bersambung ke halaman 66)

Page 13: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Monitoring Kadar Terapeutik Obat

dr Armen MuchtarBagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indo-

nesia, Jakarta

PENDAHULUANYang dimaksud dengan monitoring kadar terapeutik obat

adalah pemeriksaan secara berkala kadar obat dalam darahguna membantu klinisi dalam menetapkan dosis obat yang da-pat menyembuhkan atau mengobati penyakit penderita. Per-lunya monitoring kadar obat dalam tubuh sudah lama dikemu-kakan, antara lain oleh WilliamWethering, ketika fox gloveyang mengandung glikosida kuat mulai digunakan, ia meng-himbau agar obat yang manjur ini tidak dengan begitu saja di-tolak penggunaannya, semata-mata karena adanya efek sam-pingyang berbahaya dan sukar dkendalikan.

Dasar-dasarmonitoring kadar terapeutik obat mulai dirin-tis oleh Brodie dan kawan-kawan ketika mereka berhasil me-ngukur kadar quinidine dalamplasmamanusia dengan menggu-nakan fluarometer1' . Arti klinis dari pemeriksaan ini kemudiandiungkapkan oleh Sokolow 2 , ketika ia dapat memperlihatkanadanya perbedaan interindividuil kadar quinidin plasma se-banyak 5 kali pada dosis 3 gram per hari pada pengobatan arit-mia. Berdasarkan pengalamannya dalam memonitor kadar qu-inidin dalam serum, ia menyimpulkan sebagai berikut3

* Efektivitas quinidin dalam pengobatan aritmia atrium kro-nik dan pencegahan aritmia rekuren, serta timbulnya intoksi-kasi quinidine terlihat mempunyai korelasi yang lebih dekatdengan kadar ketimbang dosis.* Karena kadar quinidin dalam serum dapat bervariasi lebihbesar dari variasi dalam dosis, maka kadar dalam serum meru-pakan indilcasiyang lebih terpercaya bila diduga ada toksisitas.* Walaupun lebih penting dari dosis, sebaiknya kadar dalamserumtidak dianggap sebagai satu-satunya faktor yang mempe-ngaruhi toksisitas. Keparahan penyakit, deplesi elektrolit, in-feksi, ikut pula menentukan toksisitas.Semenjak itu, sejalan dengan penemuan alat-alat baru yangsensitif untuk pemeriksaan kadar obat dalam darah, terjadi

perkembangan pesat dalam penelitian dan analisis hubunganantara dosis -kadar-respon penderita. Secara konsepsionil, de-wasa ini hubungan tertera dalam Gambar I. Secara matematis,hubungan itu oleh Wagner dirumuskan sebagai berikut :

Css = kadar dalam keadaan steady state, fD = fraksi dosis yangmasuk dalam sirkulasi sistemik, t1⁄2 = waktu paruh obat dalam plasma,Vd = volume distribusi, T = interval pemberian Obat.

INDIVIDUALISASI DOSIS DALAM FARMAKOTERAPIDalam praktek, pemberian obat pada umumnya didasarkanatas dosis rata-rata, yaitu dosis yang diperkirakan memberikanefek terapeutik dengan efek samping minimal. Bila dosis rata-rata itu tidak menimbulkan efek sama sekali atau sudah me-nimbulkan efek yang berlebihan, biasanya dokter dengan se-gera menghentikan pengobatan karena dianggap 'tidak cocok'bagi penderita, tanpa perlu mempertimbangkan apakah do-sis yang diberilcan itu memang sudah sesuai dengan kebutuhanpenderita. Pentingnya individualisasi dosis menjadi semakinberalasan ketika Brodie dkk. memperlihatkan bahwa ada per-bedaan spesies, strain dan individual dalam kecepatan meta-bolisme obat4 . Kemudian, Hammer dan Sjoqvist menemukanada perbedaan individual sebesar 30 x lipat dari kadar "ste-ady state" desmetil imipramin yang diresepkan pada suatu do-sis tertentu 5 . Perbedaan individuil kadar obat dalam keadaan"steady state" ini barangkali tidak menimbulkan masalah da-lam penentuan besar dosis bila 'Therapeutic window" dariobat yang bersangkutan cukup besar. Tetapi bila "therapeuticwindow" suatu obat sempit, individualisasi dosis menjadi pen-ting, karena perbedaan dosis yang kecil saja (dalam mg/kgBB) sudah dapat menimbulkan perbedaan nyata dalam res-pons. Individualisasi dosis dengan mudah dapat dilakukan bi-

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 13

Page 14: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Gambar 1. Faktor-faktor yang menentukan hubungan antara dosisdan efek obat.

la efek obat mudah diukur, sehingga besar dosis dapat dititra-si sesuai dengan intensitas respons yang sedang diamati. Bilarespons penderita sukar diamati dengan segera, misalnya kare-na tujuan pengobatan bersifat profilaksis, atau sukar membe-dakan efek akibat dosis berlebihan dengan gejala penyakit,titrasi dosis hanya dapat dilakukan dengan baik berdasarkanpanduan kadar obat dalam darah. Dengan demikian dapat di-ringkaskan bahwa monitoring kadar terapeutik obat berman-faat dilakukan guna menentukan dosis dari obat-obat yang :* kecepatan metabolismenya berbeda nyata secara individual* mempunyai "therapeutic window" yang sempit* efek terapeutiknya sukar atau tidak segera dapat diukur* gejala penyakit sukar dibedakan dengan efek samping obat* kecepatan metabolisme mudah jenuhOBAT-OBAT YANG KADARNYA PERLU DIMONITOR

Monitoring kadar obat dilakukan atas persyaratan responsekelompok penderita mempunyai korelasi yang lebih baikdengan dosis, dan korelasi itu cukup kuat sehingga dapat diper-lihatkan pada setiap penderita. Sebelum monitoring itu diker-jakan secara rutin, terlebih dahulu perlu ada penelitian klinisyang terkontrol guna memperlihatkan adanya hubungan an-tara kadar plasma dengan respon klinis. Disain dari penelitianseperti ini tergantung pada respon yang dituju, yaitu mungkinefek terapeutik atau efek toksik atau kedua-duanya. Obat-obatyang telah diuji pada percobaan klinik yang terkontrol meme-nuhi persyaratan tersebut di atas tidak banyak, tetapi merupa-kan obat-obat penting, sebagian diantaranya masih diperdebat-

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

kan manfaat untuk memonitoring kadarnya, karena bila cer-mat, respon klinis penderita masih dapat diamati. (Tabel 1).

Tabel 1. Obat-obat yang kadarnya sering dimonitor secara rutin.

Obat Kesaran kadarterapeutik

Penjelasan

Fenitoin 10-20 mcg/ml Esensial untuk terapi yang ra-sional karena adanya satu rati-on kenetik

Teofilin 5-20 mg/ml Esensial untuk terapi rasionalsewaktu serangan akut.Variasikenetl individual yang sangatbesar; toksisitas hebat pada ka-dar 25 mg/ml.

Litium 0,6-1,2 mcg/1 untuk mencegah efek toksik

Fenobarbital 15-20 mg/ml mencegah therapeutic failurepada febrile convulsion.

Karbama zepin 5-10 mcg/ml membedakan "therapeutic fa-ilure" dengan efek toksik (pu-sing, ataksia, diplopia)

Valproate 50-100 mcg/ml Farmakokinetikanya kom-pleks, masih perlu uji klinik

Quinidin 4-6 mcg/ml Masih perlu diteliti denganalat yang lebih sensitif (HPLC)

Prokainamida 4-6 mcg/ml membedakan therapeutic fai-lure dengan efek toksik

Aminoglikosida- Gentamisin 5-10 mcg/ml untuk mencegah ototoksisitas

yang irreversibel

AntidepresantrisiklikAmitriptilin AT+NT Hanya untuk depresi(AT)

Nortriptilin120-250 mcg/ml endogen

(NT) 50-150 mcg/ml untuk segera mencapaikadar terapeutik

Imipraimin (I) 150-300 mcg/mlDigoksin 0,5-2 mcg/ml Untuk diagnosis intoksikasi

INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN KADARHaruslah disadari bahwa pemeriksaan kadar obat dalam ca-

iran biologik merupakan bagian yang tak terpisahkandari "phar-maco therapeutic audit" yang tujuannya untuk memperbaikikualitas terapi obat. Tujuan ini hanya dapat dicapai bila ada'dialog' antara klinisi yang meminta pemeriksaan dengan la-boratorium pemeriksa. Dalam praktek, tujuan dari monito-ring akan tercapai dengan baik bila permintaan itu dilengkapidengan data klinis yang diperlukan untuk interpretasi (Tabel2), dan pemeriksaan dilakukan secara berulang selama terapipemeliharaan. (Gambar 1). Interpretasi hasil pemeriksaan ka-dar obat dalam plasma memerlukan berbagai macam data kli-nis yang lebih banyak dari data klinis yang diperlukan untukmenginterpretasikan hasil pemeriksaan kimia klinik untuk di-agnostik. Kecuali untuk tolerasi glukosa, pemeriksaan kimiaklinik bila perlu hanya memerlukan puasa malam hari. Waktuuntuk pengambilan sampel darah tidak perlu ketat sekali,

Page 15: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

karena zat yang hendak di periksa dalam knnia klinik relatifkadarnya stabil dari jam ke jam berkat adanya peranan heme-ostasis tubuh. Dilain pihak interpretasi pemeriksaan kadarterapeutik obat memerlukan data klinis yang berguna untukmemperhitungkan secara matematis besarnya dosis dan atu-ran pemberian, bila resimen dosis harus diubah agar mencapaikadar terapeutik (Gambar 2).

Gambar2 . "Flow chart" monitoring kadar terapeutik obat.

UJI KUALITAS DALAMMONITORINGUji kualitas dalam analisis kadar obat terdiri atas dua

bentuk, yaitu uji kualitas internal (control) dan uji kualitasexternal (inter laboratory quality control). Uji kualitas internalbertujuan untuk mengawasi keseksamaan (precision, relibili-ty, reproducibility), sedangkan uji kualitas external terutamabertujuan untuk menguji ketepatan (accuracy) dari metodepengukuran. Dalam uji kualitas internal yang dimonitor adalahpenyimpangan hasil pengukuran yang jauh dari harga rata-rata, yang barangkali terjadi karena kekurangcermatan peme-riksa atau gangguan keandalan (performance) dari alat-alatyang digunakan, sedangkan dalam uji kualitas external yang di-monitor adalah sensitifitas serta spesifisitas alat, serta kean-dalan prosedur ekstraksi dari masing-masing laboratorium.

Uji kualitas dalam monitoring kadar terapeutik obat mulaimenarik perhatian ketika Richens 6 melihat adanya perbedaanbesar dari hasil pengukuran kadar fenitoin dari sampel darahyang sama sumbernya yang dikirim ke enam laboratorium.Pada tahun 1976, Pippenger dkk7 mempublikasikan hasiluji kualitas yang dilakukan secara tersamar dengan menggu-nakan 3 pooledsera yang masing-masing berisi 4 macam anti-konvulsan. Sampel dikirim ke laboratorium yang melayanipemeriksaan kadar obat, dan hasilnya dibandingkan dengan ha-sil pengukuran oleh 5 laboratorium yang luas pengalaman-nya dalam pengukuran kadar obat anti konvulsan. Ternyataada perbedaan yang sangat besar, di mana pada beberapa ka-sus ditemui coefficient of variation sebesar 504% (Tabel 3).

Dengan demikian, uji kualitas merupakan hal yang pentingdalam monitoring kadar obat, karena hasil pengukuran yang

2 Data penderita yang diperlukan untuk menjawab permin-taan monitoring

Nama obat yang akan dianalisisNama penderita, umur, kelamin dan berat badanNama pengirim dan alamatRiwayat singkat penyakitKehamilanAlasan untuk memerlsa kadarAnalsis yang terakhirTanggal dan jam pengambilan sampelTanggal dan jam terakhir minum obatKadar kreatininserumDaftar dari semua obat yang diminum pada waktu yang sa-ma (dosis, bentuk sediaan,interval pemberian, awal pengoba-tan/perubahan dosis)Tanda-tanda perbafican oleh pengobatan atau tanda-tandaefek sampingData lain yang dirasa perlu

tidak tepat akan menuntun pengobatan kearah yang salah.Pengertian yang sesungguhnya dari uji kualitas yaitu pengece-kan terhadap setiap langkah pemeriksaan, mulai dari pengam-bilan sampel sampai pada penyerahan hasil pemeriksaan daninterpretasinya kepada dokter yang meminta. Meskipun demi-kian, uji kualitas seringkali diartikan secara sempit, yaitu ujikualitas yang terbatas pada prosedur dan teknik pemeriksaanlaboratorik saja.SUMBER KEKELIRUAN DALAM MONITORING K ADAROBAT

Seringkali tidak disadari bahwa kealpaan atau kekeliruandapat terjadi pada tahap-tahap yang mendahului analisis la-boratorik. Pemberian obat yang waktunya tidak sesuai denganyang diintruksikan, pengambilan sampel darah yang tidak te-pat waktunya, sampel darah yang tidak cukup dan terjadi-nya hemolisis karena hisapan darah ke dalam tabung yangterlalu cepat adalah kesalahan yang sering terjadi. Karet pe-nutup tabung reaksi dan kanula dapat menimbulkan persoalankarena mengandung zat yang dapat menggeser obat dari ika-tan protein, dan alat yang terlepas diikat oleh sel darah me-rah8.

Satu titik lemah dalam monitoring ialah perubahan yangterjadi selama obat disimpan secara invitro dalam tabung plas-tik. Berapa lama sampel darah dapat dibiarkan sebelum dipu-sing? Bagaimana pengaruh kecepatan pusingan terhadap kadarobat dalam plasma? Apakah sampel harus disimpan pada su-hu kamar atau dalam lemari es? Apakah sampel harus dibeku-kan dan apa pengaruh pencairan kembali dengan cara pemana-san?

Perbedaan individual dalam ikatan obat -protein plasma per-lu diperhitungkan dalam menginterpretasikan hasil pemerik-saan kadar obat dalam plasma. Seringkali dikemukakan bahwayang penting untuk diukur adalah kadar obat bebas, yangtidak terikat protein plasma, karena jumlahnya lebih mencer-minkan kadar obat pada reseptor. Kenyataannya, kebanyakanmetoda pengukuran yang ada saat ini adalah mengukur kadarobat total, balk terikat maupun yang bebas. Perbedaan indi-vidual dalam jumlah obat yang tak terikat protein plasma se-

Tabel

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 15

Page 16: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

ringkali terjadi karena adanya perbedaan sifat protein, penga-ruh obat lain yang diberikan bersama, pengaruh penyakit,serta sifat fisik dari obat yang diberikan.

Metabolit aktif dapat mempersulit interpretasi kadar obatdalam darah, karena sifat-sifat farmakokinetika dan farmakodi-namika metabolit tidak dkctahui. Kesulitan dengan metabo-lit adalah belum semuanya dapat diukur serentak dengan me-ngukur kadar zat asalnya.

Tabel 3. Hasil uji kualitas external obat antikonvulsan oleh Pip- penger dkk7

O b a t Jumlah labo- Rata2 Coefficient Kisarantorium yang of variation (meg/ml)

ikut (%)

Fenitoin 109 13,1 57,3 00 - 70,05 12,8 15,7 10,7 - 16,0

Fenobarbital 108 49 50,8 0,0 - 64,05 48,1 17,1 34,9 -57,0

Primodon 93 12,3 77,2 0,0 -835 12,5 11,5 100-13,5

Etasuksemid 71 14,9 504,7 0,0 - 633,35 1,4 156,4 0,0-5.0

PERSONIL D AN PERALATAN DALAM MONITORING.Sesuai dengan kemampuan personil, kegiatan monitoring

kadar terapeutik obat dapat dibagi atas dua kelompok; perta-ma yang mengeijakan pengukuran dan kemudian melaporkanhasilnya, dan yang kedua selain melakukan pengukuran danpelaporan hasil, mempunyai kemampuan untuk berdialog de-ngan dokter pengirim sehubungan dengan status klinik dan far-makologik penderita. Sesungguhnya yang diharapkan adalahmonitoring yang terintegrasi ke dalam therapeutic audit yangbertujuan memperbaiki kualitas farmakoterapi. Dalam hal ini,seorang ahli farmakologi klinik mempunyai peranan sentraldalam kegiatan monitoring kadar terapeutik obat, karena la-tar belakang pendidlkannya dalam kedokteran dan farmako-kinetika klinik (Tabel 4).

Tabel 4 Pengukuran kadar obat dalam plasma sebagai bagian dari therapeutic audit (Sjogvist) 9

Pihak yangterlibat

Keahlian dalam Farmako- kologi Klink.

Analisis obat Terapi

Analisis obat

Ahli farmako-logi klinik

Dokter prak-tek

ya

Mengetahui prin-sip

tidak

tidak

Prinsip danpandanganglobal

ya, dalambidangnya

tidak

ya

tidak

Peralatan yang digunakan untuk monitoringkadar obat me-ngalami banyak kemajuan dalam waktu 10 tahun yang ter-akhir (Tabel 5). Antara tahun 1950-1960,fotometer merupa-kan alat utama untuk pengukuran kadar obat. Dengan alat inidiperlukan volume sampel yang besar, teknik estraksi membu-tuhkan waktu dan majemuk, kurang sensitif dan banyak gang-guan, sehingga kurang disukai untuk monitoring.

Tabel 5. Metode pengukuran kadar obat dalam darah

Sfektrofotometri dan kalorimetriFlame fotometryBioassayFluarometryKromatografi: TLC, CLC, HPLCLigand assays: RIA, EIA,Mass fragmentography (GC-MS)

Pada permulaan tahun 1960 kromatografi gas-cair (GLC)mulai diperkenalkan. Kelebihan dari fotometri yaitu pemerik-saan lebih spesifik, karena alat ini mampu memisahkan danmerlgukur kadar lebih dari satu macam obat. Kekurangannyaalat ini memerlukan penanganan oleh teknisi yang terlatih.Perkembangan baru dalam GLC adalah pemanfaatan detektor,terutama detektor nitrogen-fosfor yang bertujuan untuk me-ningkatkan sensitifitas alat, sehingga hanya sedikit sampeldarah yang diperlukan.

Kemudian muncul teknk radioimmunoassay yang memung-kinkan pengukuran kadar obat dalam volume kecil. Satu tero-bosan dalam teknilc radioimmunoassay adalah pengembanganenzyme immunoaasay (EMIT) dapat memeniksa kadar obatdari sediaan sebanyak 50 mcl. Setelah kurva harian selesai di-buat, pengukuran setiap sediaan dapat dilakukan dalam waktubeberapa menit saja. Kelebihan EMIT adalah sampel darahyang diperlukah cukup kecil, prosedur sederhana dan hasilnyacepat diperoleh, serta akurat (Tabel 6).Tabel 6. Uji kualitas pengukuran kadar fenitoin dengan menggunakan

berbagai metoda (Page dan Richens)

M e t o d aJumlahlaboratorium

Jumlah hasilpemeriksaan

Jumlah percoba-an yang di luar95% confidencelimits (%).

GLCsenyawaasal 34 691 64 (9,3%)

Turunan 51 904 47 (5,2%)

Spektro-fotometri 10 138 41 (30 %)

Kromato- 3 83 13 (16 %)grafi lapistipis (TLC)

EMIT 8 68 2 (2,9%)

16 Cermin Mania Kedokteran No. 37 1985

Page 17: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Suatu metoda baru yang praktis dan banyak disukai dewasaini adalah kromatografi cair bertekanan tinggi (HPLC).Kelebihannya dari kromatografi gas-cair adalah dalam keteta-patan, kesederhanaan dan ketepatan analisis, serta pemeriksaanserentak dari zat asal dan metabolitnya.

Dalam memilih peralatan dan metoda mana yang hendakdigunakan dalam monitoring, tidak ada patokan yang mudahuntuk diikuti. Biasanya hal itu tergantung pada:

- pengetahuan tentang kebaikan dan kekurangan masing-ma-sing metoda

- kecakapan personil untuk mengatasi hambatan yang mung-kin dihadapi

- nilai klinis dari obat yang hendak diukur kadarnya

- sistem penyediaan, pemeliharaan dari servis dari alat danreagensia yang diperlukan.

Berdasarkan kriteria tersebut, dewasa ini dianggap EMIT ada-lah alat yang baik untuk pelayanan rutin yang banyak, sedang-kan HPLC lebih cocok untuk penelitian dan untuk pelayananyang permintaanya tidak banyak.

Masalah dana untuk pengadaan alat laboratorium ini seyog-yanya tidak menjadi persoalan bila kebutuhannya ada, dan

Disajilcan pada Seminar Berkala I Ikatan Ahli Farmakologi dan Simpo-sium Farmakokinetika Klinik - Yogyakarta, 3 - 4 Desember 1984.

berdasarkan cost-benefit analysis ada manfaatnya buat pende-rita.

KEPUSTAKAAN

1. Brodie BB and Underfriend S. Estimation of quinine in humanplasma, with note on estimation of quinidine. J. Pharmacol andExper. Therap. 1943; 78: 154.

2. Sokolow M and Edgar AL. Blood quinidine concentration as aguide in the treatment of cardiac arrythmias. Circulation 1950;1:576-592.

3. Sokolow M. SOme quantitative aspects of treatment with qui-nidene. Ann Int Med, 1956; 45:482-588.

4. Brodie BB. On mice, microsomes, and man. Pharmacologist1964;6:12-26.

5. Hammer, W. Sjoqvist F. Plasma levels of monomethy lated tri-cyclic antidepresants during treatment with imipramine-likecompounds. Life sci 1967; 6: 1895-1903.

6. Richens A. Results of a phenytoin quality control scheme Cli-nical Pharmacology of Antiepileptic Drugs, Springer, 1975 p293.

7. Pippenger CE, et al. Interlaboratory variability in determinationof plasma antiepileptic drug concentration.Arch Neurol. 1976; 33: 351-355.

8. Piafsky KM, Borga O. Inhibitor of drug protein binding in 'Va-cutainer'. Lancet 1976; 2: 963-964

9. Sjoqvist F. Therapeutic Drug Monitoring Twenty Years Expe-rience. 2nd World Conference of Clinical Pharmacology andTherapeutics (Lemberger L and Reidenberg M: eds), 1983; Ju-ly 31-August 5: 38-63

10. Page J and Richens A. Quality Control of Routine Drug Assays.Syva Monitor. The Bulletin of Therapeutic Drug Monitoring1982;11: 1-4..

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 17

Page 18: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Ketersediaan Hayati ObatDr M. Masri Apt

Jurusan Farmasetika Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada,Yogyakarta

PENDAHULUANKegiatan industri farmasi di Indonsia yang telah ada sejak

puluhan tahun yang lalu, telah mendapatkan momentum per-kembangan yang pesat. Ini karena prioritas yang telah diberi-kan Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka Pembangun-an Nasional mulai tahun 1969. Sebagai hasil nyata selama± 15 tahun perkembangannya, yaitu banyaknya produk-produk obat yang diperdagangkan (specielite) baik ragammaupun jenisnya untuk mencukupi kebutuhan kuantitatifmasyarakat. Arti penting kuantitatif produk obat ini tidakdapat terlepas dari segi kualitatifnya, yaitu tinjauan dari kuali-tas terapeutik produk obat itu sendiri, yang dalam hal ini ke-tersediaan hayati (bioavailabilitas) obat ikut menjamin keber-hasilan pengobatan, sebagai salah satu variabel dalam kualitasterapeutik obat.

Dalam praktek pengobatan, seringkali terjadi bahwa pemberi obat yang dengan berbagai dasar pertimbangannya telahmempertukarkan atau menggantilcan pemakaian suatu produkobat dengan produk lainnya yang ekivalen kimiawi dan ekiva-len farmasetik. Telah banyak publikasi menyatakan timbulnyakejadian baik yang bersifat tak efektif maupun timbulnyatoksisitas obat, yang mungkin tidak diketahui kecuali melaluipengujian klinik mendalam. Masalah biokivalensi obat merupa-kan masalah serius yang memerlukan penanganan, apabiladikehendaki suatu situasi yang Iebih balk agar kita tidak men-jadi korban dari pemakaian obat, sesuatu yang bertentangandengan tujuan pembuatan obat dan pengobatan yaitu untukmemberiican efek terapi optimal kepada pemakai obat. Uraiandi dalam paper ini bersifat umum, dengan harapan dapat di-kembangkan suatu kerja sama multidisipliner dalam pengem-bangan bioavailabilitas dan bioekivalensi obat, dan bertujuanmeningkatkan kualitas terapeutik produk obat pada umum-nya.Disajikan pada Seminar Berkala I Ikatan Ahli Farmakologi dan Simpo-dum Farmakokinetika Klinik - Yogyakarta, 3 - 4 Desember 1984.

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

KETERSEDIAAN HAYATI SEBAGAI KONSEP PENGEM-BANGAN KUALITAS PRODUK OBAT.

Melihat kembali publikasi penelitian pada tahun 1945 dimana Oser, Melniek dan Hoehberg mengemukakan caramengukur vitamin-vitamin dari suatu produk obat yang di-absorpsi oleh tubuh manusia. Hasil ini telah membawa per-ubahan besar dalam konsep farmasi dari The Art of Compoun-ding dalam pembuatan produk obat menjadi saat ini sebagaidrug delivery system yang menurut Wagner1, hampir setiapsesuatu yang dilakukan terhadap sistem ini dapat merubahkecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk dan jumlah yangdiberikan/tersedia pada tempat yang dituju di dalam tubuh.Keberhasilan pengobatan tidak ditentukan semata-mata olehtakaran zat aktif di dalam unit dose akan tetapi bentuk obatdalam arti keseluruhan. Bentuk obat yang dipandang sebagaidrug delivery system harus dapat menjamin ketersediaan opti-mal obat di dalam tubuh. Dalam hal ini konsep bioavailabilitasobat yang menurut Academy of Pharmaceutical Sciencesdiartikan sebagai "kecepatan dan besarnya zat aktif utuhdari suatu bentuk obat yang masuk ke dalam sirkulasi umumdarah", akan merupakan faktor penentu dan merupakanparameter keberhasilan pembuatan suatu produk obat.

Definisi yang lebih mendalam dari F.D.A. yaitu, bioavailabi-litas suatu (beberapa) zat aktif dari suatu produk obat di-definisikan sebagai "kecepatan dan banyaknya yang diabsorpsidan menjadi tersedia pada tempat aksi (site of action) " . Defi-nisi ini mengarahkan pengertian bioavailabilitas obat kepadakonsep interaksi obat-reseptor, dan membawa arti bioavailabi-litas menjadi suatu pengertian yang lebih kompleks dan luas.Bioavailabilitas merupakan karakteristik sesuatu produk obatterhadap sistem biologis yang menggunakannya, dan men-cakup juga segi farmakokinetika obat di dalam darah ataucairan- cairan biologis,yaitu sebagai respons atau reaksi tubuh

Page 19: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

terhadap zat kimia yang masuh ke dalam sistemnya.Farmakokinetika obat mengandung banyak parameter

yang dapat dipakai untuk menginterpretasi respons biologisatau reaksi organ terhadap obat, sehingga cara-cara pengobatanterhadap pasien akan menjadi lebih rasional, mengandung segikuantitatif dan kualitatif.

Dengan pengembangan konsep ini secara keseluruhan, se-suatu produk obat akan mencapai tingkat yang sebaik-baik-nya untuk aplikasi klinik.

KETERSEDIAAN HAYATI OBAT SEBAGAI SALAH SATUVARIABEL PENJAMIN KUALITAS TERAPEUTIK.

Tujuan bioavailabilitas obat sesungguhnya antara lain agarsuatu produk obat mampu memberikan suatu efek terapioptimal kepada pemakai obat, dalam arti suatu produk obatakan cepat dan mempunyai kemampuan dalam mengobatisesuatu penyakit yang diderita seseorang. Dengan ini effektivi-tas pengobatan akan dicapai dengan baik. Selain itu, bio-availabilitas juga menekankan tentang pembatasan atau peng-aturan pemakaian obat agar keamanan (safety) pemakaianobat dapat dijamin, dan terhindar dari pengaruh toksik atauefek-efek yang tidak dikehendaki. Untuk itu perlu diketahuisejauh mana dan bagaimana obat telah tersedia di dalam darahuntuk mampu memberikan respons klinik yang sesuai, baiksebagai zat aktif tunggal ataupun kombinasi beberapa zat aktifdari suatu bentuk obat.

Seringkali penyimpangan dari tujuan-tujuan ini tidak di-ketahui dengan baik, kecuali melalui analisis klinik yang men-dalam terhadap pemakai obat, hingga dapat diketahui sebab-sebab fenomena toksik karena pemberian obat. Terutama un-tuk obat-obat yang potensinya tergolong keras, sedangkanbioavailabilitasnya dan profil farmakokinetika bentuk obattersebut terhadap populasi pemakai obat belum diketahui.Seyogyanya bagi obat-obat tertentu tersebut didapatkan datatentang bioavailabilitas beserta profil farmakokinetikanya.

Selanjutnya, apabila hal ini telah terpenuhi, perlu ditekan-kan tentang cara-cara pemberian atau pemakaian obat yangdidasarkan atas penggunaan prinsip farmakokinetika obat,agar dicapai suatu kualitas terapeutik yang optimal setelahmemperhatikan keadaan atau kondisi penerima obat.

ESTIMASI KETERSEDIAAN HAYATI OBAT.Pada dasarnya, estimasi bioavailabilitas obat dapat dilaku-

kan menurut metode-metode farmakokinetika dan klinik ' .Metode farmakokinetika mencoba memperkirakan availabilitasfisiologis obat melalui pengukuran obat unchanged di dalamdarah/urin atau metabolit-metabolit yang terbentuk, sedang-kan metode klinik didasarkan atas percobaan -percobaanklinik. Dalam hal ini diperlukan variabel klinik untuk meng-ukur efikasitas obat atau mengukur besarnya efek obat, se-perti penurunan kadar gula darah, aktifitas komplek protrom-bin, dan sebagainya.

Selain kedua metode tersebut di atas, bioavailabilitas obatdapat juga diperkirakan dari segi farmakologis seperti yang di-lakukan oleh beberapa peneliti2, 3 .

Data farmakologis yang diperlukan untuk mengevaluasi danmengoptimasi bioavailabilitas produk obat adalah pengukuranintensitas respons farmakologis yang berupa signal-signal,dipersyaratkan suatu respons bertingkat dalam fungsinya ter-hadap dosis. Respons ini tidak lain hasil interaksi antara zat

aktif dan reseptor di tempat aksi, sehingga akan diperolehavailabilitas biofasik obat. Dalam hal ini, kemungkinan me-lakukan sampling untuk menentukan kadar obat di tempataksi, dari mana dapat di1corelasikan antara dosis dan responsfarmakologisnya.

Dengan uraian sederhana di atas, bioavailabilitas obat padahakekatnya mempunyai arti luas dan terutama mempelajariefek-efek obat yang berasal dari suatu produk obat. Estimasidan penilaian bioavailabilitas obat dari segi klinik memintabiaya yang tinggi dan membutuhkan banyak waktu, sedang-kan secara farmakologis relatif juga mahal.

Estimasi availabilitas fisiologis dengan mengukur plasma-level obat atau ekskresi uriner zat aktif unchanged, atau ke-mungkinan lain yaitu saliva level obat merupakan cara yangcukup ekonomis dan relatif singkat. Asalkan cara ini dapatdidisain, dikelola dan dievaluasi dengan baik, diharapkanhasil-hasilnya akan relatif dekat dengan potensi obat yang se-benarnya.

Penilaian availabilitas fisiologis obat dapat ditarik daribeberapa variabel farmakokinetika, seperti luas area di bawahkurva, konsentrasi puncak, waktu mencapai konsentrasi pun-cak, jumlah ekskresi uriner, jumlah zat yang diserap, dansebagainya.

Sasaran studi bioavailabilitas obatDi samping memperkirakan bioavailabilitas suatu produk

obat, selanjutnya perlu dipelajari faktor yang mempengaruhi-nya, faktor yang menjaga atau mempertahankan bioavailabili-tas, dan faktor kondisi yang diperlukan obat agar bioavailabili-tasnya dapat berfungsi se-efektif mungkin. Ini merupakanjangkauan studi bioavailabilitas obat.

Cakupan sasaran- sasaran studi bioavailabilitas suatu produkobat, seperti tertera pada tabel berikut 4 :Tabel : Sasaran-sasaran studi bioavailabilitas obat

I. EkivalensiA. Bentuk obat.B. Syarat-syarat pengaturanC. Pemasaran (lawan produk saingan)

II. Penentuan "waktu pemakaian".A. Tentang dosis : jumlah dan bentukB. Route pemakaian C. Pertimbangan-pertimbangan temporal.

III. Interaksi-interaksi. A. Kompatibilitas (absorpsi)

1. Eksipien-eksipien, bahan pemanis, dan sebagainya2. Makanan3. Obat-obat yang dikombinasikan atau dipakai bersamaan

B. Perlakuan terhadap over dosis C. Interferensi/Potensiasi

1. Inhibisi metabolisme2. Induksi Enzim

IV. Korelasi -korelasi in vivo - in vitro.V. Korelasi-korelasi in vivo - binatang.

VI. Korelasi-korelasi bioavailabilitas - aktivitas (farmakologis).

Kesemua studi ini adalah bagian dari studi bioavailabilitassuatu produk obat. Ini memerukan juga studi tentang bio-availabilitas produk obat lain yang sama untuk menentukanbioekivalensinya.

BIOEKIVALENSI BEBERAPA PRODUK OBAT.Sejumlah penelitian mengungkapkan, beberapa produk obat

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 19

Page 20: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

yang mempunyai ekivalensi kimiawi dan ekivalensi farmase-tika, namun di antara beberapa produk-produk itu tidak mem-berikan bioekivalensi. Hal ini telah diselidiki misalnya ter-hadap zat-zat aktif digoksin 5 , oksitetrasiklin6 , dan lain-lain.

Ketidak-bioekivalensi ini menimbulkan problem serius da-lam bidang pengobatan, yaitu apabila masing -masing produkobat belum diketahui bioavailabilitasnya, sehingga pengganti-an suatu specialite dengan specialite lain dapat membawarisiko kepada pemakai obat. Selain itu, telah diketahui jugaadanya ketidak -bioekivalensi obat dari batch-ke-batch suatuspecialite obat dari pabrik yang sana5 .

Ketidak-bioekivalensi yang dapat terjadi baik antar produkobat atau antar batch dari suatu specialite obat ini seharusnyamenjadi pemikiran dan tindakan berhati-hati produsen obatdalam memproduksi obat, yang harus menjaga stabilitas fisis-khemis dan bioavailabilitas secara bersamaan.

Studi bioekivalensiStudi bioekivalensi produk obat pada umumnya dengan

maksud membandingkan bioavailabilitas antara7 : suatu for-mulasi baru obat standar dibandingkan terhadap formulasiasli/lama, atau suatu bentuk pemakaian baru obat dibanding-kan terhadap formulasi yang diperdagangkan.

Karena sifatnya merupakan pembandingan bioavailabilitasantar produk obat yang berasal dari beberapa pabrik, diperlu-kan :1. Peralatan analitik yang mempunyai kemampuan tinggi.Alat harus mampu menentukan kadar obat bahkan sampaibeberapa mg/ml cairan biologis. Diperlukan alat-alat denganpresisi, ketelitian, kepekaan dan selektifitas yang tinggi. Alat-alat seperti HPLC, GLC, Radioimmune assays, teknik-teknikfluoresensi, Mass Spectrometry dan sebagainya akan sangatmembantu untuk tugas-tugas tersebut.2. Prosedur yang seragam (standar) tentang syarat atau carabagaimana suatu percobaan bioekivalensi dikerjakan terhadapzat aktif, mencakup :— disain eksperimental; dipilih model yang paling tepat untukkeperluan percobaan dengan mengingat jumlah produk obatyang diuji. Model yang dipilih nantinya harus mampu mem-perkirakan adanya variabilitas-variabilitas inter/antar subyek,batch-ke-batch, interval waktu percobaan atau perlakuan.— subyek yang dikenala percobaan dan syarat-syaratnya.3. Metode Statistik.Dalam hal ini perlu dipilih metode yang tepat setelah memper-timbangkan efek-efek yang ditimbulkan oleh adanya variasi-variasi, baik dari masing-masing individu di dalam kelompok,maupun variasi batch dari suatu produk.—ukuran sampel merupakan persoalan sangat penting yangharus diperhitungkan atau dipertimbangkan dengan tepat,sebagai faktor penentu untuk dapat membedakan bila di an-tara produk obat terdapat perbedaan yang berarti.— Prosedur sampling perlu digariskan atau ditentukan agarhasil-hasilnya berguna dalam pengolahan data secara statistik.— Cara analisis statistik dipilih yang paling sesuai, apakahstudi membandingkan 2, 3 atau lebih produk obat. Selainitu, apakah yang diukur variabel karakteristik atau beberapavariabel. Semua ini merupakan kriteria yang perlu ditentukanatau digariskan bersama untuk percobaan bioekivalensi obat.

Sasaran studi bioekivalensi produk obat

Dari sekian banyak specialite yang beredar, tentu saja tidaksemua obat harus mengalami uji kesetaraan bioavailabilitasnya.Dikenal adanya obat-obat poten dengan risiko yang cukupbesar bagi kehidupan manusia, obat-obat yang mudah me-nimbulkan efek kematian karena over dosis, atau lainnya, akanmerupakan prioritas penelitian bioavailabilitas dan bioekiva-lensi obat.

Studi bioavailabilitas obat di Indonesia• Di lingkungan Industri farmasi

Riset bioavailabilitas obat atau produk obat di beberapaindustri memberikan arti sangat penting bagi perkembanganindustri farmasi tersebut di masa yang akan datang, dan ke-pentingan masyarakat pemakai obat di fihak lainnya. Peneliti-an ini perlu digalakkan terhadap semua industri farmasi baikyang menghasilkan produk obat jadi, bahan baku obat danjuga kosmetika. Hal ini akan semakin perlu, baik untuk kepen-tingan masyarakat di dalam negeri, maupun untuk kemungkin-an pemasaran ke luar negeri, di mana tuntutan bioavailabilitasobat akan merupakan persyaratan utama.• Pengembangan dan pengaturan bioavailabilitas obat

Masalah bioavailabilitas obat bukan mempakan masalah se-suatu fihak, namun merupakan persoalan semua fihak yangberkepentingan terhadap obat. Di dalam hal ini perlu dikelola,dikembangkan dan diatur segala informasi tentang bioavailabi-litas dan biekivalensi obat dalam satu sistem terpadu. Untukitu diperlukan satu wadah resmi dengan tujuan semata-matauntuk membantu meningkatkan kualitas bioavailabilitas /terapeutik produk -produk obat Organ yang mampu menam-pung, mengolah dan mendistribusi informasi bioavailabilitasdan bioekivalensi obat, di samping Drug Monitoring yangtelah ada.

KESIMPULAN DAN SARAN.Bioavailabilitas produk obat diakui merupakan salah satu

faktor yang sangat penting untuk menjamin efektifitas peng-obatan dan kualitas terapeutik produk obat itu sendiri.

Bioavailabilitas obat mempunyai pengertian luas, namundapat ditentukan beberapa kriteria yang diperlukan untukkepentingan evaluasi dan hal ini tergantung dari kesepakatanilmiah. Riset bioavailabilitas obat perlu lebih digalakkan kesegenap industri farmasi, pengembangan produk obat dari segiin vitro dan in vivo. Di samping itu, diperlukan suatu petun-juk atau pedoman tentang studi bioavailabilitas dan bioekiva-lensi obat pada manusia.

Dibutuhkan suatu sistem atau organ resmi yang melaksana-kan sistem informasi dari hasil riset bioavailabilitas obat, ber-ada di bawah pengawasan POM, organ resmi yang anggota-anggotanya terdiri dari ilmuwan-ilmuwan berkompeten untukkeperluan tersebut, seperti ahli-ahli farmakologi, biostatistika,klinis, kimia. Diperlukan bantuan dari segenap industri far-masi.

Sebelum itu, diperlukan serangkaian diskusi panel tentangbioavailabilitas dan bioekivalensi obat, membahas tentangpedoman, prosedur dan hal-hal yang bersifat penilaian bio-availabilitas dan bioekivalensi obat.

KEPUSTAKAAN1. JG Wagner. Biopharmaceutics and Relevant Pharmacokinetics,

ed. I, Illinois : Drug Intelligence Publications, 1971.

(Bersambung ke halaman 61)20 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 21: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Pengukuran Klirens Ginjal Obat

Dra Sri Suryawati AptBagian Farmakologi Fakultas Kedokteran

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

PENDAHULUAN

Dalam menentukan dosis obat suatu individu, seringkaliperhatian khusus perlu diberikan, sehubungan dengan kemam-puan tubuh individu untuk mengeliminasi obat yang diberikan.Ini dapat dijumpai misalnya pada individu dengan usia lanjut,bayi, kelainan fungsi alat-alat eliminasi, atau karena terjadiinteraksi dengan obat lain sehingga eliminasinya terhambat l-2

Untuk mengetahui kemampuan tubuh mengeliminasi obattertentu, pengukuran parameter -parameter kinetika eliminasimerupakan metoda yang telah banyak dikenal dan diperguna-kan. Pengukuran parameter -parameter ini meliputi kecepataneliminasi (kel), waktu paro biologik (t0,5) dan klirens tubuhtotal (Cl) yang memerlukan pengambilan sampel darah secaraserial selama waktu tertentu. Tentu saja ini merupakan metodeyang rumit dan kurang menyenangkan bagi pasien.

Untuk obat-obat tertentu, terutama yang mengalamieliminasi dengan cara ekskresi melalui ginjal, dengan meng-ukur nilai klirens ginjal kita telah mendapatkan gambarankemampuan tubuh untuk mengeliminasi obat tersebut. Iniberdasarkan asumsi bahwa :

Cl total= Cl renal + Cl nonrenal

Apabila ekskresi ginjal merupakan cara eliminasi utama untuksuatu obat, maka :

Cl total = Cl renal

Klirens ginjal suatu obat didefinisikan sebagai volumedarah yang dapat dibersihkan dari obat tersebut oleh ginjalper satuan waktu, sehingga sebenarnya nilai klirens ginjal inimerupakan suatu ukuran yang menggambarkan kemampuanginjal untuk membersihkan obat dari tubuh. Secara lebih se-derhana klirens ginjal dapat didefinisikan, dalam hubungan-nya dengan pembuangan obat melalui ginjal, sebagai hasildari kecepatan aliran darah ginjal (Qr ) dan extraction ratioginjal (E r);

Disajikan pada Seminar Berkala I Ikatan Ahli Farmakologi dan Simpo-sium Farmakokinetla Klinik - Yogyakarta, 3 - 4 Desember 1984.

Cl r = Q r x Er (volume/unit waktu), sedangkan E r adalah

selisih kadar obat dalam plasma arteri dan vena per kadarobat dalam plasma arteri, atau

Dapat dikatakan pula, sebenarnya nilai klirens ginjal tersebutmerupakan tetapan yang menggambarkan hubungan antarakecepatan ekskresi obat pada waktu t (= dAe/dt) dengankonsentrasi obat dalam plasma Dada waktu t (= C). atau

Perlu diperhatikan bahwa sebenarnya klirens ginjal merupakanhasil dari proses -proses filtrasi glomeruler dan sekresi maupunreabsorpsi di sepanjang tubuli renis.

Banyak manfaat yang dapat diambil dari pengukuran kadarobat dalam urin. Keterbatasan kemampuan ekskresi ginjalsuatu obat misalnya, dapat diketahui dari nilai klirens ginjalyang terukur setelah pemberian dosis bertingkat. Manfaatyang sangat besar dalam hubungannya dengan terapi obat ituuntuk mengetahui kemampuan tubuh mengeliminasi obatyang diberikan, bila obat tersebut dieliminasi terutama denganekskresi ginjal. Untuk obat-obat ini, perubahan kemampuanekskresi ginjal akan memberikan akibat yang nyata pada efekfarmakologiknya. Selain itu, pengukuran klirens ginjal jugabermanfaat untuk kepentingan monitoring terapi obat, ter-utama pada keadaan-keadaan dimana overdosis perlu dicurigai,mengingat :

dimana t0,5 adalah waktu paro obat, kel adalah tetapan ke-cepatan eliminasi, dan k r adalah tetapan kecepatan ekskresi

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 21

Page 22: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

ginjal.Selain hal di atas, untuk obat-obat yang eliminasi utama-

nya adalah ekskresi ginjal ini, pengukuran jumlah obat dalamurin dapat memberikan gambaran kemampuan absorpsinyatanpa harus memberikan obat secara intravenosa.

MEKANISME EKSKRESIEkskresi obat melalui ginjal dipengaruhi oleh sifat-sifat

fisiko-kimia obat, ikatan dengan protein plasma dan faalginjal. Nefron merupakan unit utama fungsi ginjal, terdiri atasglomerulus, tubulus proksimalis, ansa Henle, tubulus distalisdan duktus kolektikus. Glomerulus menyaring darah danfiltrat mengalir ke tubulus. Hampir semua air dari filtratdireabsorpsi, dan hanya 1—2 ml/menit saja yang menjadiurin. Sementara itu terjadi pula sekresi dan reabsorpsi di se-panjang tubuli proksimalis dan distalis.

Jumlah obat yang diekskresi ke dalam urin merupakanhasil filtrasi, sekresi dan reabsorpsi. Filtrasi dan sekresi mem-perbesar jumlah obat, sedangkan reabsorpsi mengurangi.Dengan kata lain :

Filtrasi giomeruler

Kira-kira 25% volume semenit jantung, yaitu 1,2 — 1,5 literdarah permenit, mengalir ke ginjal. Sepuluh persen dari jumlahtersebut difiltrasi di glomerulus. Hanya obat dalam bentukbebas yang terfiltrasi. Molekul obat yang terikat pada makro-molekul atau sel-sel darah tak dapat melalui membran glo-meruler. Dengan demikian filtrat mengandung obat dengankadar yang identik dengan kadarnya di cairan plasma, yaitufraksi obat yang bebas (= Cb).

Kecepatan filtrasi pada orang dewasa normal adalah sebesarkira-kira 125 ml/menit, dan disebut sebagai kecepatan filtrasiglomeruler atau GFR (glomenilar filtration rate), sehingga :

Mengingat hanya obat dalam bentuk bebas yang dapat ter-filtrasi, dan fraksi obat yang bebas sebesar fb , maka :

kecepatan filtrasi = fb x GFR x C

C adalah kadar obat di dalam darah.Bila ekskresi obat ke dalam urin terutama dengan meng-

gunakan cara filtrasi glomeruler, dan mengingat bahwa

dianggap bahwa kecepatan ekskresi ginjal sama dengan k.e-cenatan filtrasi. sehingga :

Kreatinin, suatu senyawa endogen dan inulin, suatu poli-sakarida eksogen, tidak terikat pada protein plasma dantidak mengalami sekresi maupun reabsorpsi. Dikatakan bahwajumlah yang terfiltrasi, seluruhnya berada dalam urin sehingganilai klirens ginjal kedua obat ini dapat digunakan untuk meng-ukur besarnya kecepatan filtrasi glomeruler.

22 Cumin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Sekresi aktifFiltrasi berlangsung terus. Sekresi dapat diketahui bila

ternyata kecepatan ekskresi melebihi kecepatan filtrasi obat.Mengingat persamaan :

sehingga

maka terlihat, apabila nilai klirens ginjal ternyata melebihiklirens yang disebabkan filtrasi, tentu terjadi pula sekresi.Mungkin pula terjadi reabsorpsi, namun lebih kecil daripadasekresinya.

ReabsorpsiReabsorpsi diduga pasti terjadi, apabila klirens ginjal yang

terukur ternyata nilainya lebih kecil daripada klirens yangdisebabkan filtrasi glomeruler (yang ditunjukkan dengan nilaiklirens kreatinin). Mungkin pula berlangsung sekresi aktif,namun besarnya tidak melebihi reabsorpsi. Reabsorpsi dapatbervariasi dari nol sampai sempurna. Reabsorpsi aktif terjadipada beberapa senyawa endogen misalnya vitamin -vitamin,elektrolit, glukosa dan asam-asam amino, namun untuk ke-banyakan obat reabsorpsi berlangsung secara pasif. Derajatreabsorpsi tergantung pada sifat-sifat obat, misalnya polaritas,derajat ionisasi dan berat molekulnya. Obat-obat yang sangatlipofilik akan mengalami reabsorpsi sempurna. Reabsorpsi di-pengaruhi pula oleh faktor-faktor fisiologik seperti misalnyapH dan kecepatan pembentukan urin.

PENGUKURAN KLIRENS GINJAL

Untuk mengukur klirens ginjal suatu obat, dikenal duametode dengan kelebihan dan kelemahan masing - masing.Dasar ke dua metode ini adalah pengertian yang telah dijelas-kan di muka, hahwa :

Metode IKarena tidak mungkin untuk mengukur kecepatan ekskresi

obat ke dalam urin pada waktu sesaat, persamaan di atasdijabarkan menjadi :

yaitu berdasarkan pengukuran yang dilakukan dalam intervalwaktu tertentu.

• A Ae/ A t adalah kecepatan ekskresi ginjal obat yang diukurselama A t, dan Cmid adalah konsentrasi obat dalam plasma pathpertengahan interval waktu tersebut.

A Ae/ A t dapat dihitung dari :

A Ae/ A t = Qu x Cu

sehingga :

Page 23: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

• Q u adalah kecepatan pembentukan win dalam interval waktutertentu dan Cu adalah kadar obat (dalam bentuk babas) dalamsampel win tersebut.

Nampaknya metode ini sangat sederhana dan praktis untukdilaksanakan, namun sebenarnya banyak hal-hal yang perludipertimbangkan pada pelaksanaannya. Penyimpangan hasilpengukuran klirens ginjal dapat terjadi misalnya pada peng-ambilan sampel. Pada pengambilan sampel darah misalnya,idealnya diambil dari arteri4 . Penggunaan darah venosa periferakan memberikan kadar obat yang lebih rendah daripadaarteri, sehingga nilai klirens yang terukur lebih besar. Namuntentunya sangat sulit untuk mengambil sampel darah arterisehingga umumnya digunakan darah venosa perifer. Kesulitanlain yaitu dalam mengumpulkan urin, terutama bila tidakmenggunakan kateter. Untuk melancarkan produksi urin,dapat diberikan minum air putih 400 ml 1—2 jam sebelum mi-num obat, 200 ml pada waktu minum obat dan diteruskandengan 200 ml tiap 1 jam.

Perhatian khusus perlu diberikan pada penentuan intervalpengambilan sampel urin, karena tergantung pada sifat-sifatfarmakokinetika masing-masing obat. Pengambilan sampelurin dilakukan pada fase eliminasi (pada model satu komparte-men), atau fase terminal (pada model dua kompartemen).Pengukuran klirens yang dilakukan pada fase absorpsi maupundistribusi akan memberikan hasil yang menyesatkan. Selainhal di atas, lama interval pengumpulan urin juga perlu diper-timbangkan. Bila kecepatan ekskresi obat mengikuti orde 1,interval sepanjang waktu paro obat pun tidak akan memberi-kan kesalahan yang berarti. Untuk obat-obat yang ekskresiginjalnya tidak mengikuti orde 1, kesalahan pengukuran dapatdiperkecil dengan cara memperpendek interval pengumpulanurin. Namun perlu diperhatikan bahwa interval di bawah 0,5jam akan memberikan hasil yang kurang tepat.

Metode IITelah diterangkan di muka, metode ini berdasarkan penger

tian bahwa Cl r = dA __ dt, maka pada waktu 0 sampai t C

Aet adalah jumlah obat yang telah diekskresi dalam bentuktetap ke urin sampai waktu t, dan AUC t adalah luas daerahdi bawah kurva kadar obat dalam plasma versus waktu dari0 sampai t. Pada waktu 0 sampai tak terhingga, maka

Ae~adalah jumlah total obat dalam bentuk tetap yang di-temukan kembali di urin, dan AUCt adalah luas daerah dibawah kurva kadar obat dalam plasma versus waktu dari 0sampai tak terhingga. Ae~dapat dihitung berdasarkan volumeurin yang ditampung dari waktu 0 sampai kira-kira 10 kaliwaktu paro obat, dikalikan kadar obat dalam sampel urintersebut. Bila semua dosis obat yang diberikan masuk sirkulasisistemik dan ekskresi ginjal merupakan cara eliminasi utama,maka :

Metode pengukuran ini jelas memerlukan waktu yang lebihpanjang daripada metode I, dan sedikitpun tidak boleh ada

urin yang terlewatkan, tetapi mudah dikerjakan karena tidakdirepotkan dengan kesalahan-kesalahan misalnya karena pe-ngosongan kandung kencing yang tidak sempurna, kurangtepatnya interval dan lain-lain yang kadang-kadang sulit untukdiatasi.Analisis kadar obat dalam urin

Ketepatan pengukuran klirens ginjal obat sangat dipenga-ruhi metode yang digunakan untuk penetapan kadar obatdalam sampel. Perlu diperhatikan pula stabilitas obat tersebutdalam sampel urin maupun plasma, karena seperti telah di-katakan di muka, klirens dihitung berdasarkan kadar obat takberubah. Metabolit-metabolit yang tidak stabil, misalnyakonjugat glukuronida 3 memberikan hasil pengukuran yangkurang tepat. Selain itu diperlukan pula metode analisis yangcukup sensitif untuk membedakan obat dengan metabolit-metabolitnya.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADAEKSKRESI GINJALHemodinamika ginjal

Perubahan kecepatan aliran darah ginjal umumnya akanmempengaruhi proses-proses filtrasi glomeruler, sekresi mau-pun reabsorpsi tubuler, meskipun perubahan di bawah 10 —20% mungkin tidak akan memperlihatkan akibat yang nyataPengurangan konsumsi natrium mungkin dapat menurunkanaliran darah ginjal dan kecepatan filtrasi glomeruler, sedangpemberian infus larutan salin dan diuretik osmotik dapatmemperbesar aliran darah ginjal dan ekskresi air5 . Tentu sajahal ini akan berpengaruh pada proses reabsorpsi obat. Bebe-rapa obat diketahui dapat menurunkan ke-cepatan aliran darah ginjal, misalnya propranolol 6 . Dalam gam-bar 1 terlihat bahwa pemberian propranolol 1 jam sebelumnya,menyebabkan turunnya nilai klirens kreatinin dari 70,9(± SEM 5.3) ml/menit menjadi 58,6 (± SEM 3.4) ml/menit.

Untuk obat-obat yang ekskresinya tergantung pada ke-cepatan aliran darah ginjal, seperti misalnya salisilat dosistinggi, penurunan kecepatan aliran darah ginjal menyebabkanturunnya nilai klirens ginjal obat tersebut. Pada gambar 2dapat dilihat, pra pemberian propranolol mengakibatkanmenurunnya klirens ginjal salisilat (setelah pemberian aspirin1000 mg) dari 4,6 (± SEM 0.56) ml/menit menjadi 3,26 (±SEM 0.35) ml/menit 6 .

UsiaKemampuan ekskresi ginjal pada umumnya lebih rendah

pada bayi dan anak-anak7, dan pada usia lanjut 8 bila diban-dingkan dengan orang dewasa normal. Ini disebabkan karenalebih rendahnya kemampuan filtrasi glomeruler pada anak-anak dan usia lanjut, ditambah dengan belum sempurnanyasistem sekresi pada bayi baru lahir, meskipun hal ini diim-bangi dengan ikatan protein yang lebih rendah dan jugarendahnya kemampuan reabsorpsi 5 .

pH urinUntuk obat-obat yang bersifat elektrolit lemah, klirens

ginjal sangat dipengaruhi oleh pH urin. Untuk asam lemahmisalnya, lingkungan urin yang asam akan mengakibatkanberkurangnya jumlah obat yang diekskresi, karena reabsorpsitubuli meningkat. Sebaliknya, suatu basa lemah akan meng-alami kenaikan ekskresi dalam lingkungan urin yang sama.

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 23

Page 24: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Dalam gambar 3 dapat dilihat bahwa ekskresi ginjal metamfe-tamin ternyata lebih banyak pada lingkungan urin asam biladibandingkar dengan lingkungan alkalis 9

Ikatan dengan protein plasmaSeperti telah diterangkan di muka, jumlah obat yang meng-

alami filtrasi ditentukan oleh besarnya fraksi obat bebas dalamplasma. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa apabilafiltrasi glomeruler merupakan mekanisme ekskresi utama,makin besar fraksi obat yang terikat dengan protein plasma,makin kecil nilai klirens ginjalnya.

Sebagai contoh dapat dikemukakan perbedaan nilai klirensginjal antara sulfadiazin (ikatan protein 40 — 60%) dan sul-fametazin (ikatan protein 80—90%)10 . Pada gambar 4 terlihatbahwa nilai klirens ginjal sulfametazin jauh lebih rendahdaripada sulfadiazin. Perlu diperhatikan, selain ikatan proteinyang besar pada sulfametazin, obat ini eliminasi utamanyaadalah dengan asetilasi.Ketergantungan dosis

Pada umumnya, kecepatan ekskresi ginjal suatu obatproporsional dengan kadarnya di dalam plasma, sehingga pe-ningkatan dosis akan menaikkan nilai klirens ginjal. Namunpada beberapa obat, pada dosis tertentu akan mengalamikejenuhan dalam mekanisme ekskresinya, sehingga kenaikandosis justru akan mengakibatkan menurunnya nilai klirensginjal. Sebagai contoh adalah salisilat dan sulfadiazin 10

Dalam gambar 5 dapat dilihat bahwa klirens ginjal salisilatlebih rendah pada dosis aspirin 1000 mg dibandingkan dengandosis aspirin 500 mg. Dalam gambar 6 dapat dilihat pula pe-nurunan klirens ginjal sulfadiazin pada pemberian dosis 1000

Gambar 4. Nilai klirens ginjal sulfametazin dan sulfadiazin setelahpemberian dosis tunggal 500 mg per oral (dari : Suryawati & Santoso,1985 a).

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 25: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Gambar 5. Nilai klirens ginjal salisilat setelah pemberian aspirindosis 500 mg dan 1000 mg per oral. (dari : Suryawati & Santoso,1985 a).

mg dibandingkan dengan dosis 500 mg. Sedangkan pada sulfa-metazin, kenaikan dosis tidak menyebabkan penurunan nilaiklirens ginjal (gambar 7) 10

Kelainan fungsi ginjalUmumnya nilai klirens kreatinin dianggap sebagai ukuran

untuk mengetahui fungsi ginjal, meskipun sebenarnya nilaiini hanya menggambarkan kemampuan ultrafiltrasi glomerulersaja.

Mengingat bahwa klirens tubuh total merupakan jumlahklirens ginjal dan klirens non ginjal, maka apabila fungsiginjal menurun :a) Obat-obat yang eliminasi utamanya adalah ekskresi ginjal,kecepatan eliminasi akan berkurang sehingga mengakibatkanmemanjangnya waktu paro obat, dan mungkin sekali terjadiakumulasi pada pemberian berulang.b) Obat-obat yang eliminasi utamanya tidak melalui ginjal,penurunan fungsi ginjal tidak akan berpengaruh nyata padaeliminasinya.c) Untuk obat-obat yang dieliminasi dengan kedua cara ter-sebut, penurunan fungsi ginjal akan mengakibatkan menurun-nya kecepatan eliminasi, tergantung seberapa besar ekskresiginjal berperan.

KEPUSTAKAAN

1. Breimer DD & Danhof M. Interindividual differences in pharma- cokinetics and drug metabolism. Dalam: Breimer DD (ed.). Towards

Gambar 6. Nilai klirens ginjal sulfadiazin setelah pemberian dosis500 mg dan 1000 mg per oral. (dari : Suryawati & Santoso, 1985 a).

Gambar 7. Nilai klirens ginjal sulfametazin setelah pemberian per oral dosis 500 mg dan 1000 mg. (dari : Suryawati & Santoso,1985 a).

(Bersambung ke halaman 61)

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 25

Page 26: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Teknik Analisis Obat Dalam CairanBiologis Dengan GLC dan HPLC

Drs Mohammad Makin Ibnu Hadjar PhDJurusan Kimia Farmasi — Fakultas Farmasi

Universitas Gadfah Mada, Yogyakarta

Bagi beberapa kelompok peneliti, metode analisis obat da-lam cairan biologis mempunyai arti yang sangat penting.Masalah- masalah yang berhubungan dengan studi ketersediaanhayati obat, pengembangan obat baru, penyalahgunaan obat,farmakokinetika klinik dan riset obat -obatan, semuanya me-nuntut adanya metode analisis obat dalam sampel biologisdengan kepekaan, kespesifikan, kecepatan, ketepatan dan ke-telitian yang tinggi, tetapi dengan biaya yang tidak terlalumahal.

Kesulitan utama yang dihadapi ialah, selain kadar yangbiasanya sangat kecil, dalam cairan biologis obat ada bersama-sama dengan metabolit -metabolitnya dengan struktur kimiayang hampir mirip. Tercampurnya obat dengan zat-zat endoge-nous dalam sampel biologis (dalam jumlah yang jauh lebihbesar dari obatnya) menambah kesulitan tersebut. Metodeanalisis yang digunakan dengan sendirinya harus mampu men-deteksi dan menetapkan kadar obat dan metabolit-metabolit-nya, serta mempunyai prosedur clean-up yang singkat dansederhana, agar kehilangan obat dan metabolitnya dapat di-hindarkan.

Kromatografi cairan-gas (GLC) dan kromatografi cairantekanan tinggi (HPLC) telah membuktikan keunggulannyaterhadap metode-metode yang lain dalam analisis obat dalamcairan biologis.

PERANAN ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN BIOLOGISDALAM BERBAGAI STUDI

Tidak sedikit obat yang mempunyai indeks terapeutik yangrendah, di mama rasio dosis toksis/dosis terapeutik < 10. Obat-obat tertentu, seperti teofilina, akan memberikan efek sampingyang toksis apabila konsentrasinya dalam darah mencapaidua kali konsentrasi terapeutiknya. Sering timbul kesulitan-kesulitan yang serius bagi penderita yang diberi obat jenis ini,karena adanya perbedaan konsentrasi terapeutik antar-individuyang besar. Untuk terapi yang optimal dan pengaturan dosissecara individu diperlukan adanya data kinetika obat-obat

tersebut. Kegiatan studi farmakokinetika klinik seperti ini ti-dak akan pernah dapat dilakukan tanpa melaksanakan analisisobat dalam cairan biologis.

Dalam pengembangan obat baru, pertanyaan tentang keter-sediaan hayatinya merupakan sesuatu yang sangat penting.Bisa saja suatu obat baru pada uji farmakologik menunjukkanadanya potensi, yang kemudian pada uji farmakokinetikamemberikan absorpsi yang kurang baik dan memberikan hargawaktu paruh yang rendah dalam tubuh. Tentunya agar tidakdiderita kerugian yang lebih lanjut, arah dari pengembanganobat baru tersebut harus ditinjau kembali. Keputusan yangcepat dan tepat itu mutlak memerlukan informasi atau datayang diperoleh dari percobaan analisis obat dalam cairan bio-logis.

Studi metabolisme suatu senyawa, yang juga melakukananalisisnya dalam cairan biologis, seringkali menjurus pada pe-nemuan obat baru. Oksifenbutazone dan desipramine merupa-kan contoh obat-obat baru yang ditemukan setelah studimetabolisme. Mereka masing -masing sebagai metabolit darifenilbutazone dan imipramine.

Selain dalam studi biofarmasetika dan farmakokinetikatersebut di atas, analisis obat dalam cairan biologis mem-punyai peranan yang penting pula dalam toksikologi, pusat-pusat rehabilitasi korban penyalahgunaan obat, deteksi bebe-rapa penyakit (meningkatnya kadar metilguanidina dalamserum penderita uremia), memperoleh informasi tentang se-berapa jauh penyebaran suatu tumor (meningkatnya kadar5-S-sisteinildopa, suatu asam amino baru, dalam cairan bio-logis), dan lain sebagainya.

PROBLEM ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN BIOLOGISKadar obat dalam cairan biologis yang umumnya sangat

kecil (10-6 - 10- 12 g mr -1 ) membatasi metoda -metoda yang

dapat digunakan untuk menetapkan kadarnya; hanya metode-metode yang sangat sensitif saja yang dapat dipakai. Dalamcairan biologis, obat selalu ada bersama-sama dengan meta-

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 27: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

bolit -metabolitnya. Struktur kimia dari metabolit -metabolittersebut pada umumnya hampir mirip dengan struktur kimiaobat induknya, sehingga sukar mendeteksi mana yang obatmana yang metabolit. Mutlak perlu digunakannya metodeanalisis yang sangat selektif. Zat-zat endogenous (dalam jum-lah yangjauh lebih besar dari jumlah obatnya) dalam matrikssampel biologis sangat mengganggu pelaksanaan analisis,khususnya metode spektroskopi, karena zat-zat endogenoustersebut juga menyerap sinar ultraviolet/visibel. Prosedurclean-up sampel yang berbelit-belit akan memberikan risikohilang atau berkurangnya obat dan metabolit -metabolitnya.

GLC dan HPLC yang selain mampu mendeteksi dan mene-tapkan kadar, juga sekaligus mampu melakukan pemisahan,sehingga dapat mengatasi problem yang didiskusikan di atas.Berikut akan didiskusikan masalah kromatografi.

KROMATOGRAFIKromatografi dalam berbagai bentuknya telah digunakan

secara luas sebagai teknik pemisahan dan analisis. Pada tahun1941, Martin dan Synge, yangkemudian mendapat hadiahNobel, dalam makalahnya mengemukakan pengertian-pengerti-an dasar tentang kromatografi gas (GC) dan HPLC. Tidak ku-rang dari 10 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1952, Jamesdan Martin untuk pertama kali mengintrodusir penggunaanGC. Sejak saat itu GC telah menjadi bentuk kromatografiyang paling baik dan berkembang dengan sangat cepat. Ben-tuk-bentuk kromatografi yang lain seperti kromatografi ker-tas, kromatografi lapis tipis (TLC), kromatografi penukar iondan kromatografi eksklusi (semuanya termasuk kromatograficairan), belum memperoleh sukses yang sama seperti yangtelah dicapai oleh GC. Hal ini disebabkan karena efisiensinyayang rendah serta waktu analisisnya yang panjang: Pada awaltahun 1960-an, Giddings menunjukkan bahwa kerangka kerjateoritis yang dikembangkan untuk GC berlaku sama baiknyauntuk kromatografi cairan, dan antara tahun 1967 - 1969Kirkland, Huber, dan kelompok Horvath, Preiss dan Lipskymengemukakan penggunaan HPLC yang pertama kali. Denganmenggunakan tekanan yang tinggi (sampai dengan 5000 psi),HPLC dapat mengatasi kelemahan -kelemahan dari kromato-grafi cairan pada umumnya, misalnya viskositas cairan yangrelatif lebih besar dibanding dengan viskositas gas, sehinggaHPLC mampu memberikan waktu analisis (5 - 30 menit)yang kurang lebih sama dengan waktu analisisnya GC.

Dalam beberapa hal, memang, baik teknik GC maupunHPLC dapat digunakan untuk memecahkan masalah yangsama. Keduanya mempunyai keunggulan yang berupa sensitivi-tas, selektivitas dan kecepatan analisis yang tinggi. Denganmenggunakan detektor ultraviolet mereka dapat memberikanpola spektrum ultraviolet darimasing -masing komponen sam-pel yang diperiksa. Keduanya dapat dihubungkan langsungdengan spektrometer massa, sehingga dapat diperoleh polaspektrum massa dari masing-masing komponen campuranyang sangat penting untuk elusidasi struktur kimianya. Keduateknik ini juga dapat digunakan untuk kromatografi prepara-tif, yaitu masing-masing komponen campuran dapat dikum-pulkan dalam keadaan yang sangat murni, sehingga dapat di-gunakan untuk percobaan -percobaan penelitian lebih lanjut.Kedua -duanya juga dapat dilengkapi dengan sistem micro-processor, sehingga analisis dapat dilaksanakan tanpa kehadir-

an sang operator.Akan tetapi, sejumlah besar obat -obatan tidak dapat di-

analisis dengan teknik GC, karena sifatnya yang sangat polar(konjugat sulfat dan glukuronat dari obat dan metabolit-metabolitnya), tidak mudah menguap dan tidak stabil terha-dap panas, kalau tanpa modifikasi struktur kimianya terlebihdahulu. Teknik HPLC merupakan pilihan utama untuk ana-lisis golongan obat-obat tersebut. Kemampuan HPLC untukmenangani secara langsung obat-obat dan metabolit -metabolityang sangat polar serta konjugat -konjugatnya dalam cairanbiologis sungguh merupakan suatu keunggulan. Pelaksanaananalisisnya yang pada suhu kamar akan mencegah peruraianobat selama proses analisis. Selain detektor, jumlah variabelyang dapat diatur dalam HPLC jauh lebih banyak dari padadalam GC. Kalau hanya fase diam saja yang dapat divariasipada analisis dengan GC, maka baik fase diam maupun fasegerak kedua-duanya dapat divariasi dalam teknik HPLC.Bukan itu saja, berbagai ragamnya mode kromatografi (mode-mode adsorpsi, partisi, penukar ion dan eksklusi) pada prosespemisahan dengan HPLC memungkinkan teknik ini dapat di-gunakan untuk analisis hampir semua jenis obat. Keunggulanlain yangdisumbangkan oleh HPLC dalam analisis obat dalamcairan biologis ialah prosedur ekstraksi, dan clean-up yangmendahului analisis relatif sangat berkurang dibandingkandengan teknik GC. Bahkan telah dilaporkan keberhasilananalisis obat dalam urin dengan menginjeksikan langsungsampel ke dalam kolom dan menggunakan sistem reversedphase, dimana fase gerak digunakan air yang dapat mengelusizat-zat endogenous yang menyerap ultraviolet itu bersamasolvent front. Jumlah jenis detektor yang dapat dipilih padateknik HPLC juga lebih banyak dibandingkan dengan GC.

Untuk pemahaman lebih lanjut, berikut akan didiskusikandasar-dasar GC dan HPLC.

KROMATOGRAFI GASPada GC, fase geraknya berupa gas yang inert, sedang fase

diamnya dapat berupa cairan (disebut kromatografi cairan-gasatau "gas-liquid chromatography", yangdisingkat GLC) atauberupa padatan (kromatografi padatan-gas, "gas-solid chroma-tography", GSC). Proses pemisahan pada GLC terjadi denganmekanisme partisi, sedang pada GSC nielalui mode adsorpsi.Untuk sampel yang berupa obat, GLC lebih populer daripadaGSC. Ini disebabkan karena hampir semua obat akan meng-alami peruraian dengan kondisi yang diperlukan agar terjadielusi pada GSC Oleh karena itu, istilah GC dalam literatur-literatur dimaksudkan untuk GLC.

Fase diam yang palingsering digunakan pada analisis obatdalam cairan biologis dengan teknik GLC ialah siloksan yangtersubstitusi (OV-1 dan OV-17) dan polietilen glikol yang di-salurkan (1 - 5%) pada solid support.

Bagian-bagianpokok suatu GLC ialah : silinder tempat gaspembawa, pengatur aliran dan tekanan gas, tempat injeksisampel, kolom, detektor, rekorder, dan thermostat untuktempat injeksi sampel, kolom dan detektor.

Setelah sampel diinjeksikan, komponen-komponen sampelyang ada dalam keadaan uap dibawa oleh gas pembawa ke da-lam kolom. Dalam kolom, komponen -komponen tersebut ber-partisipasi antara gas pembawa dan fase diam (cairan). Fasediam ini secara selektif menahan komponen -komponen sampel

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 27

Page 28: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

sesuai dengan koefisien distribusinya, sehingga terbentuk pita-pita komponen yang terpisah dalam gas pembawa. Bersamaaliran gas pembawa, pita-pita komponen ini meninggalkan ko-lom dan dideteksi oleh detektor yang kemudian oleh rekorderdibuat kromatogramnya.

Macam detektor yang dikenal pada GC ialah detektor han-taran panas ("thermal conductivity detector", TCD), detektorionisasi nyala ("flame ionization detector " , FID), detektorpenangkap elektron ( "electron capture detector' , ECD) dandetektor yang hanya khusus mendeteksi senyawa yang me-ngandung unsur nitrogen dan fosfor.

TCD berdasar atas prinsip, suatu benda yang panas akankehilangan panasnya pada suatu kecepatan yang tergantungkepada komposisi gas di sekitarnya. Jadi, kecepatan hilangnyapanas itu dapat digunakan sebagai ukuran tentang komposisigas. Detektor ini kurang sensitif untuk analisis obat dalam cair-an biologis.

FID merupakan detektor yang paling luas penggunaannya,bahkan dianggap sebagai detektor yang universal untuk analisisobat dalam cairan biologis menggunakan GLC. Pada detektorini, komponen-komponen sampel yang keluar dari kolom di-bakar dalam nyala (campuran gas hidrogen dan udara atauoksigen). Sejurnlah besar ion yang terbentuk dalam nyalamasuk ke dalam celah elektrode dan menurunkan teganganlistrik dari celah elektrode mula-mula. Penurunan tegangan iniyang kemudian dicatat sebagai sinyal oleh rekorder. Intensitassinyal ini berbanding lurus dengan konsentrasi solute dalam gaspembawa.

Aliran elektron sebagai hasil ionisasi gas pembawa (nitrogenatau argon/methan) dalam ECD memberikan sinyal yang be-rupa baseline suatu kromatogram. Bila kemudian suatu se-nyawa masuk ke dalam detektor, sebagian dari elektron ter-sebut akan ditangkap oleh senyawa sebelum mereka mencapaiplat detektor. Ini mengakibatkan aliran arus listrik dalam de-tektor berkurang, yang oleh rekorder akan dicatat sebagaisuatu peak. Detektor ini hanya dapat digunakan untuk se-'wawa obat-obatan yang dapat mengabsorpsi elektron denganmudah, yaitu senyawa-senyawa yang mengandung gugus kar-bonil dan nitro yang terkonjugasi sertasenyawa-senyawa yangmengandung halogen-organik. Sensitivitas detektor ini padatingkat pikogram. Suatu psikotropik baru (1,2-benzisoxazole-3-acetamidoxime hydrochloride), analisisnya dalam plasmaberhasil dilakukan dengan GLC menggunakan detektor ini.

Spektrometer massa dapat juga digunakan sebagai detektorpada GLC. Kombinasi GLC dengan spektrometer massa (GC-MS) saat ini merupakan suatu alat yang ampuh dalam identifi-kasi obat dan metabolit-metabolitnya dalam cairan biologis.

Untuk obat-obat yang sukar menguap dan tidak stabilterhadap panas, agar dapat dianalisis secara GLC harus dideri-vatisasi secara kimia. Obat-obat dengan gugus fungsional yangsangat polar seperti hidroksil (OH), karboksil (COOH) danamino (NH2 ) diubah menjadi eter (OR), ester (COOR) danamida (NHCOR) yang merupakan gugus-gugus yang kurangpolar.

KROMATOGRAFI CAIRAN TEKANAN TINGGISeperti tampak dari namanya, fase gerak yang digunakan

pada HPLC berupa cairan yang dialirkan dengan tekanan

sangat tinggi. Fase diamnya dapat berbagai macam, tergantungmode kromatografi yang dipilih dalam proses pemisahan.

Proses pemisahan dalam HPLC dapat dilakukan denganberbagai mode kromatografi sebagai berikut :

• Mode kromatografi cairan-cairan (partisi) : fase diamberupa cairan yang disalutkan atau diikatkan secara kimiapada solid support. Komponen sampel yang dipisahkan ber-partisi di antara fase diam dan fase gerak. Pada mode ini di-kenal sistem normal phase (fase diam berupa senyawa yangpolar, sedang fase geraknya non-polar) dan sistem reversedphase (fase diam berupa senyawa yang non-polar, sedang fasegeraknya polar). Dengan sistem normal phase dapat dipisahkanpestisida, steroid, anilina, alkaloida, glikol, alkohol, fenol,aromatik dan komplek logam. Sistem reversed phase dapatmemisahkan alkohol, aromatik, antrakuinon, alkaloid, oligo-mer, antibiotika, barbiturat, steroid, pestisida-klor dan vita-min-vitamin.

• Mode kromatografi pasangan ion ('ion pair chromato-graphy'; IPC) : merupakan bentuk khusus dari kromatograficairan-cairan yang digunakan untuk pemisahan senyawa obat-obat yang ionik atau yang dapat terionisasi seperti aminobiogenik, sulfonamida, karboksilat dan sulfonat. Ada dua me-kanisme proses pemisahan pada IPC, yaitu mode partisi, dimana molekul sampel yang ionik atau yang mudah terionisasi,tetapi tidak bersifat lipofilik, membentuk suatu pasangan iondengan suatu counter-ion yang cocok yang ditambahkan padafase geraknya. Dengan terbentuknya pasangan ion ini akanmenambah sifat lipofilik sampel, sehingga memperbesar afini-tasnya terhadap fase diam. Mekanisme yang kedua ialah modepenukar ion, di mana counter-ion yang polar dianggap sebagaidiabsorpsi oleh fase diam hidrokarbon sehingga seperti mem-bentuk suatu titik penukar ion, pada mana molekul sampelyang polar akan dapat diabsorpsi seperti pada kromatografipenukar ion.

• Mode kromatografi padatan-cairan (adsorpsi) : fasediamnya berupa padatan yang dapat mengadsorpsi molekulsampel yang dipisahkan secara reversibel. Dalam sistem normalphase digunakan fase diam yang polar (silica gel, alumina)dan fase gerak non-polar (heksan, kloroform). Sebaliknya,pada sistem reversed phase digunakan fase diam yang non-polar (butiran polimer) dengan fase gerak yang polar (air,etanol). Dengan mode adsorpsi ini dapat dipisahkan anti-oksidan, vitamin, steroid, barbiturat, zat-zat warna, amina,hidrokarbon, fenol, alkaloida, amida, lipida, asam-asam aminodan alkohol-alkohol.

• Mode kromatografi penukar ion ("ion-exchange chroma-tography'; IEC) : fase diam terdiri dari suatu matriks yangtegar, yang permukaannya menyangga suatu muatan positifsehingga menyajikan suatu titik penukar ion (R+ ). Bila diguna-kan suatu fase gerak yang mengandung anion, titik penukarion tersebut akan menarik dan memegang suatu counter-ion negatif (Y-). Sampel yang berupa anion (X-) kemudiandapat bertukaran dengan counter-ion (Y-) :

R +Y - + X- '7= R +X- + Y - .

Karen prosesnya menyangkut penukaran anion, disebut kro-matografi penukar anion. Proses kromatografi penukar kationdapat digambarkan :

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 29: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Fase diam penukar kation mengandung gugusan asam, dibeda-kan menjadi penukar kation kuat (—SO3

- ) dan penukar kationlemah (—COO ). Fase diam penukar anion mengandung gugus-an basa; dibedakan menjadi penukar anion kuat (—NR+ ) danpenukar anion lemah (—NH2). Mode kromatografi ini berhasildigunakan untuk memisahkan dan analisis asam amino, asamnukleat, protein, asam karboksilat, sulfonat aromatik, gula-gula, obat-obat analgetik, vitamin, purin dan glikosida.

• Mode kromatografi eksklusi ("exclusion chromatogra-phy"; EC, juga disebut "gel filtration chromatography", gelpermeation chromatography" atau "gel chromatography") :memisahkan campuran sesuai dengan ukuran dan bentuk mo-lekulnya. Molekul-molekul kecil yang dapat masuk secarabebas ke dalam pori-pori fase padat dikatakan sebagai mem-punyai koefisien distribusi K = 1, sedang molekul-molekulbesar dieksklusi secara sempurna dari seluruh pori-pori mem-punyai K = 0. Molekul-molekul ukuran sedang mempunyaiK antara 0 dan 1. Jadi, molekul-molekul besar akan bergerakjauh lebih cepat melalui kolom dibanding dengan molekul-molekul kecil. Molekul-molekul akan dielusi berturut-turutsesuai dengan penurunan ukurannya. Contoh fase diam padamode ialah suatu gel dekstran dalam bentuk butiran yang di-pasarkan dengan nama Sephadex. Mode kromatografi ini ber-hasil digunakan pada pemisahan senyawa-senyawa denganbobot molekul > 2000, termasuk polimer organik (poliole-fine, polistirene, polivinyl, poliamida), bipolimer (protein,asam nukleat, oligosakrida, peptida, gula-gula, glikol).

Selain beragamnya mode kromatografi, keunggulan HPLCjuga karena luasnya pilihan detektor yang dapat digunakan.Secara garis besar, detektor dalam HPLC dapat dibedakan :1 ). berdasar pengukuran diferensial suatu sifat yang dimilikibaik oleh molekul sampel maupun fase gerak (disebut bulkproperty detector, yang termasuk ini misalnya : detektorindeks bias, detektor konduktivitas dan detektor tetapandielektrika).2). berdasar pengukuran suatu sifat yang spesifik dari mole -

kul sampel (disebut solute property detector). Jenis yang ke-dua ini dibedakan lagi menjadi : yang tidak perlu adanyapemisahan fase gerak, termasuk ini ialah detektor-detektorfotometer (uv-vis dan fluoresen), polarografi dan radioaktif;dan yang fase feraknya harus dipisahkan dahulu, termasuk iniialah FID dan ECD.

Pada detektor ultraviolet/visibel, deteksi komponen sampeldidasarkan pada absorpsi sinar ultraviolet (untuk detektorultraviolet) dan sinar tampak (untuk detektor visibel). Detek-tor ultraviolet merupakan detektor yang paling luas digunakankarena sensitivitas dan reprodusibelitasnya yang tinggi sertamudah operasinya.

Obat-obat yang fluoresen dapat dipisahkan dan dianalisisdengan indikator fluorimeter, seperti aflatoksin, beberapaasam amino aromatik, fenol, kuinolin dan estrogen. Untukobat-obat yang tidak berfluoresensi dapat dibuat menjaditurunannya yang berfluoresensi dengan pereaksi sepertidansyl klorida (5-dimetilaminonaftalene-l-sulfonil klorida).Detektor ini lebih peka dari pada detektor ultraviolet.

Detektor fotometer inframerah juga dapat digunakan padaHPLC. Dengan detektor ini dapat dibuat pola spektrum infra-

merah dari komponen sampel sehingga gugus-gugus fungsional-nya dapat diketahui.

Detektor indeks bias merupakan detektor yang juga luaspenggunaannya setelah detektor ultraviolet. Dasarnya ialahpengukuran perbedaan indeks bias fase gerak murni denganindeks bias fase gerak yang berisi komponen sampel, sehinggadapat dianggap sebagai detektor yang universal pada HPLC.Detektor ini kurang sensitif dibanding dengan detektor ultra-violet dan sangat peka terhadap perubahan suhu.

Sekarang juga telah ada HPLC yang dikombinasi denganspektrometer massa. Dengan HPLC-MS, prospek studi yangberkaitan dengan analisis obat dalam cairan biologis menjadilebih cerah lagi.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa bagian-bagian pokok darisuatu HPLC meliputi wadah penyuplai pelarut (fase gerak),pompa penakan, tempat injeksi sampel, kolom, detektor danrekorder.

Untuk memperoleh kondisi terbaik pada analisis obat da-lam cairan biologis menggunakan HPLC, perlu pendekatanyang akan diuraikan sebagai berikut.

PENDEKATAN DALAM ANALISIS DENGAN HPLCSifat Permasalahan

Macam dan sifat obat yang akan diperiksa harus diketahuidahulu, misalnya kelarutan, pola spektrum ultraviolet, polaspektrum inframerah (untuk gugus fungsional), struktur mo-lekul dan lain sebagainya. Perlu juga diketahui apakah yangperlu dianalisis itu, misalnya hanya obatnya saja atau obatdan metabolit-metabolitnya. Apakah sebagai hasil analisiscukup suatu kromatogram atau masing-masing komponensampel harus dipisahkan/dikompulkan untuk percobaan lebihlanjut? Juga apakah analisis yang akan dilakukan itu hanyadimaksudkan untuk memecahkan suatu masalah saja atau akandijadikan metode kontrol kualitas yang rutin ?Jawaban dari semua pertanyaan di atas akan mempengaruhidan menentukan pendekatan analisisnya.Pemilihan Mode Kromatografi

Setelah menentukan sampai seberapa jauh analisis itu di-perlukan dan sifat-sifat sampel, sang analis kemudian memilihmode kromatografi yang paling cocok untuk memberikanhasil yang dikehendaki. Pemilihan mode kromatografi (partisi,adsorpsi, penukar ion, pasangan ion atau eksklusi) yang di-dasarkan atas kriteria bobot molekul, kelarutan dan sifatgugus fungsional dapat dilihat pada transparansi.Seleksi Fase Diam dan Fase Gerak

Suatu pemisahan akan berhasil apabila tercapai suatu kese-timbangan yang tepat antara kekuatan-kekuatan intermoleku-lar yang melibatkan molekul sampel, fase gerak dan fase diam.Sebagai ukuran kekuatan-kekuatan intermolekular tersebutialah polaritas molekul. Hampir semua pemisahan-pemisahanyang baik diperoleh karena cocoknya polaritas molekul sampeldengan polaritas fase diam dan digunakannya fase gerak yangberbeda polaritasnya.

Pada kromatografi dengan sistem normal phase, komponensampel yang paling kurang polar akan dielusi terlebih dahulu;penambahan polaritas dari fase geraknya akan menurunkanwaktu elusinya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 29

-

3

Page 30: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Pada kromatografi dengan sistem reversed phase, komponensampel yang paling polar akan terelusi terlebih dahulu; penam-bahan polaritas dari gase gerak akan menaikkan waktu elusi-nya. Diagram pada transparansi akan menggambarkan hal ini.Pemilian Detektor

Detektor index bias merupakan satu-satunya detektor padaHPLC yang universal, tetapi kurang sensitif dan sangat pekaterhadap perubahan suhu. Detektor ultraviolet dengan panjanggelombang yang variabel merupakan pilihan yang paling baikbagi sekelompok besar obat-obatan. Dalam hal-hal yang sangatspesifik dapat digunakan detektor-detektor fluorometer danelektrokimia.Pemisahan Kromatografi

Untuk mempertimbangkan kondisi analisis yang optimalperlu difahami pengertian-pengertian pokok dalam kroma-tografi yang secara umum berlaku bagi semua mode. Dua para-meter kromatografi yang penting dalam optimasi hingga di-peroleh suatu pemisahan yang maksimum dan dalam waktuyang minimum:1).Persamaan yang menghubungkan waktu retensi (t R) danfaktor kapasitas (k'),

2).Persamaan yang menghubungkan resolusi (Rs) denganfaktor kapasitas (k '), retensi relatif ( a) dan jumlah theore-tical plates (N) :

Harga optimum untuk k' adalah antara 1 — 10. Harga k'yang lebih besar cenderung akan memperpanjang waktu re-tensi dan pita-pita kromatografi terelusi sebagai peaks yanglebar dan datar sehingga sukar untuk mendeteksinya. Apabilaharga k ' sudah terletak pada rentangan yang optimum, makaharga k' tidak sepantasnya diubah. Perubahan resolusi hanyaakan diperoleh dengan menaikkan N, atau a .

Faktor kapasitas (k ') merupakan parameter yang palingmudah dioptimasi, karena biasanya hanya menyangkut per-ubahan kekuatan fase gerak. Tetapi k ' sebetulnyajuga dapatdiatur dengan merubah fase diamnya, walaupun hal ini jelastidak menyenangkan.

Harga optimum untuk a terletak antara 1,05 — 10. Per-ubahan harga dapat diperoleh dengan merubah sifat fase diamdan/atau fase gerak. Perubahan fase gerak di sini lebih ber-makna kalau yang diubah komposisi fase gerak; bukan per-ubahan kekuatannya. Pengaruh perubahan a lebih sukar di-ramalkan dari pada perubahan k ' dan N, dan dalam suatusampel yang terdiri dari banyak komponen, perubahan a ha-nya akan merubah urut-urutan peaknya saja. Tetapi dalam halwaktu analisis, memang perubahan a merupakan cara yang ter-baik untuk memperbaiki Rs. Karena untuk memperbaiki Rslebih mudah dicapai dengan menaikkan N, cara ini nampak-nya lebih baik. Tetapi perbaikan Rs dengan cara ini umumnyaakan mengakibatkan bertambahnya waktu retensi, karena pe-nambahan N biasanya diperoleh dengan penambahan panjangkolom atau pengurangan kecepatan alir fase gerak. Secara

umum dapat dikatakan bahwa optimasi pemisahan dapat di-lakukan, dengan menentukan fast diam yang sesuai denganmode kromatogtafi yang akan digunakan, kemudian meng-ubah-ubah fase gerak hingga dicapai pemisahan yang sebaik-baiknya.

Setelah diperoleh suatu kromatogram yang baik, tentunyayang terakhir ialah bagaimana mengevaluasi data kromato-gram itu.

• Analisis KualitatifIdentifikasi suatu komponen sampel dapat dilakukan de-

ngan membandingkan harga tR dari peak yang muncul dalamkromatogram dengan harga t R suatu reference standard. Apa-bila harga tR tersebut sama dalam dua atau lebih sistem yangdicoba, maka dikatakan bahwa kedua senyawa tersebutidentik. Untuk lebih menegaskan kesimpulan tersebut, dapatdilakukan percobaan spiking, yaitu kepada sampel ditambah-kan obat standard reference kemudian dibuat kromatogram-nya. Apabila kedua senyawa tersebut identik maka standardreference akan menaikkan tinggi peak dari obat yang dianalisis.Untuk HPLC yang dilengkapi dengan spektrometer massa,identifikasi obat yang dianalisis dapat dilakukan denganmencocokkan pola spektrum massa yang diperoleh denganyang ada dalam literatur-literatur. Untuk obat yang baru,identifikasinya dilakukan dengan mencoba mengelusidasistrukturnya tidak saja dengan spektrum massanya tetapijuga dengan spektra NMR, IR dan UV dari obat yang dipisah-kan dan dikumpulkan dari eluat yang keluar dari HPLC.• Analisis Kuantitatif

Detektor yang ideal pada HPLC ialah yang mampu meng-hasilkan sinyal yang mempunyai korelasi linier dengan konsen-trasi komponen sampel. Dengan asumsi seperti tersebut,konsentrasi komponen sampel dapat diturunkan dari intensitassinyal yang ditunjukkan dalam kromatogram.

Dikenal dua cara pengukuran secara kuantitatif, yaitudengan mengukur peak height dan peak area.

Dikenal beberapa metode untuk merubah data peak heightatau peak area dari suatu kromatogram menjadi konsentrasidari komponen sampel yang sesuai, yaitu dengan membuatkurva baku dengan cara-cara external standard, internal stan-dard dan standard addition.

Sebelum sampai kepada bagian aplikasi GLC dan HPLCdalam analisis obat dalam cairan biologis, berikut akan disaji-kan preparasi sampel dalam GLC dan HPLC.

PREPARASI SAMPELSeperti telah dikemukakan di muka, prosedur ekstraksi

dan clean-up dalam HPLC lebih sederhana dari teknik-teknikyang lain. Telah banyak dilaporkan bahwa beberapa sampelbiologis dapat dianalisis dengan HPLC dengan langsung meng-injeksikan ke dalam kolom (pra-kolom). Namun adanya pro-tein, lipid, garam-garam dalam jumlah yang relatif banyakdalam sampel biologis, perlu diperhatikan untuk menghindariadanya gangguan pada efisiensi kolom. Protein dapat dihilang-kan dengan cara pengendapan, ultrafiltrasi dan penggunaanpra-kolom. Pereaksi-pereaksi asam seperti asam trikloroasetat,asam perklorat dan asam tungstat dapat digunakan untukmengendapkan protein dalam cairan biologis untuk analisis

30 Cennin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 31: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

obat-obat yang tahan asam. Untuk yang tidak tahan asam,pengendapan dilakukan dengan etanol atau metanol. Peng-gunaan pra-kolom untuk menghilangkan protein telah dila-porkan pada analisis frusemide, dengan langsung menginjeksi-kan plasma ke dalam pra-kolom yang mempunyai susunansama dengan kolom analisis. Dengan menggunakan bufferfosfat (pH 2,5) sebagai fase gerak, protein tertimbun pada pra-kolom ini.

Fase gerak metilenklorida atau dietil eter dapat mengelusilipid netral dengan menggunakan mode kromatografi adsorpsi.Dengan mode yang sama fase gerak campuran metilenklorida/metanol atau metanol dapat mengelusi fosfolipid. Lipid yangterelusi ini tidak akan mengganggu bila digunakan detektorultraviolet karena absorpsi molar senyawa-senyawa tersebutrendah.

Pada sistem reversed phase, lipid dapat tertahan pada fasediam hingga dapat menyebabkan terganggunya efisiensi ko-lom. Ini dapat diatasi dengan mengaliri kloroform setiap se-telah 100 kali injeksi plasma yang sari dengan eter.Kalau problem utama pada sampel plasma adalah penghilang-an protein dan lipid, maka pada sampel urin masalah yangdihadapi adalah, bagaimana menghilangkan garam-garamanorganik atau komponen-komponen dengan bobot molekulrendah yang memiliki sifat-sifat kromatografik yang miripdengan obat yang dianalisis. Konsentrasi obat dalam sampelurin juga perlu mendapat perhatian. Garam-garam anorganikdapat dipisahkan dari sampel urin dengan melewatkan sampelmelalui suatu kolom yang berisi resin Amberlite XAD-2 yangdapat menahan senyawa-senyawa organik dan meneruskangaram-garam anorganik dan dengan mengelusinya denganmetanol, dapat diperoleh senyawa organik yang dikehendaki.

Akhirnya akan diberikan beberapa aplikasi GLC dan HPLCdalam analisis obat dalam cairan biologis.

APLIKASI GLC DAN HPLC DALAM ANALISIS OBATDALAM CAIRAN BIOLOGIS

Teknik GLC dan HPLC telah membuktikan kemampuan-nya untuk menganalisis sejumlah besar golongan obat-obatandalam cairan biologis.

Analisis dibenzepine dan metabolit-metabolitnya serta pe-netapan fenobarbital, primidone dan fenitoin, semuanya dalamcairan biologis, secara GLC, akan dibahas sebagai contoh.

Contoh analisis menggunakan teknik HPLC yang akan di-diskusikan meliputi penetapan propranolol dan 4-dehidroksi-propranolol dalam plasma secara simultan dan penetapan para-setamol dan metabolit-metabilitnya.

KEPUSTAKAAN

1. Pryde A, and Gilbert MT. "Aplications of high performance liquidchromatography." New York: Chapman and Hall Ltd., 1979.

2. Hamilton RJ, and Sewell PA. "Introduction to high performanceliquid chromatography". New York: Chapman and Hall Ltd., 1977.

3. Smith RV, and Stewart IT. "Textbook of biopharmaceutic analy-sis". Philadelphia: Lea & Febiger, 1981.

4. McNair HM, and Bonelli EJ. "Basic gas chromatography", 5 th ed.,California: Varian Aerograph, 1969.

5. Dell D. in "Assay of drugs and other trace compounds in biologicalfluids" (E. Reid, ed.), Amsterdam: North-Holland PublishingCompany, 1976; p. 131 — 134.

6. Done JN, Knox JH, and Loheac J. "Applications of highspeedliquid chromatography". London: John Wiley & Sons, 1974.

7. Nation RL, Peng GW, and Chiou WL. Journal of Chromatography,1978; 145 : 429.

8. Rutherford DM, and Flanagan RJ. Journal of Chromatography,1978; 157 : 311.

9. Schlicht HJ, and Gelbke HP. Journal of Chromatography, 1978;166: 599.

Disajilcan pada Seminar Berkala I Ikatan Ahli Farmakologi dan Simpo-sium Farmakokinetllca Klinik - Yogyakarta, 3 - 4 Desember 1984.

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 31

Page 32: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Farmakoterapi rasionaldr. R.H. Yudono

Jurusan Farmakologi Fakultas KedokteranUniversitas Gajah Mada, Yogyakarta

Menurut saya, kalau penanggulangan penyakit secara medisitu rasional, maka sudah semestinya farmakoterapinya jugarasional. Sayang sekali banyak pengobatan oleh dokter tidakdilakukan secara rasional; apalagi orang awam yang meng-obati diri sendiri (self medication) dengan obat bebas atauobat bebas terbatas.

Untuk dapat melakukan pengobatan secara rasional, per-tama-tama kali harus ditegakkan diagnosanya, atau bila hal initidak mungkin dilakukan, setidak -tidaknya harus ditentukandiagnosa kemungkinan. Jika seorang dokter tak dapat menen-tukan diagnosa kemungkinan, maka dengan sendirinya ia takdapat memberi pengobatan secara kausal rasional. Karenakewajiban dokter harus mengurangi penderitaan dan memper-panjang umur, maka kalau ia tak dapat memberi pengobatankausal rasional, setidak-tidaknya ia dapat mengurangi pen-deritaan secara simtomatik rasional, asal ini tidak menopengi(masking) penyakitnya atau bahkan membuat penyakitnyabertambah parah.

Yang paling disayangkan tentunya ialah, bila diagnosa su-dah dapat ditegakkan secara rasional, akan tetapi farmakotera-pinya tidak rasional.

Hal ini dapat disebabkan karena dokter kurang menguasaipatofisiologi dari badan yang sakit, kurang menguasai farmako-logi klinik dengan farmakokinetikanya dan kurang dapatmenghubungkan secara logis patofisiologi dengan farmakologi.Dari pihak penderita, seringkali terapi rasional tak memberi-kan hasil yang diinginkan karena kurang menuruti nasihatdokter (penderita dengan pengobatan jangka panjang, hargaobat mahal, orang berumur lanjut yang suka lupa dsb.) (Black-well, 1973).

Evaluasi dari terapi tentunya diperlukan untuk membukti-kan bahwa terapi itu tepat, artinya dapat menyembuhkandan tidak menyebabkan efek-efek yang merugikan.

Beberapa hal tidak rasional dapat terjadi, seperti misalnya,dalam : (a) Penentuan obat dengan rejimen terapinya, atau(b) Cara pemberian obat.

PENENTUAN OBAT DAN REJIMEN TERAPISuatu hat yang masih belum kita ketahui dengan pasti

adalah apakah suatu obat yang dibuat oleh industri farmasiyang terkenal itu tentu lebih bail( dari pada suatu obat yangsama yang dihasilkan oleh industri farmasi yang kecil yangkurang terkenal (therapeutic equivalence).

Penentuan obat secara rasional dapat lebih mudah dilaku-kan bila kita selalu membiasakan diri untuk mempertimbang-kan lebl dulu masak-masak hubungan antara indikasi, hukum-hukum farmakologi klinik dan sifat-sifat obat. Kalau kita su-dah terbiasa berpikir secara logis -metodis sistematis, makapengalaman menjadi berharga untuk di kemudian hari diguna-kan untuk menentukan penggunaan obat dengan cepat. Se-lain itu, kebiasaan mengevaluasi hasil terapi menyebabkankita lebih menguasai ilmu pengobatan tersebut, termasuk me-ngetahui obat mana yang balk stabilitasnya, tidak mudah di-rusak oleh isi lambung-usus, keterdapatan hayati (bioavailabi-lity), sedikit efek sampingnya, dan kurang mengganggu organ-organ badan yang penting.

Patofisiologi dari penyakit perlu diketahui supaya dapatdisesuaikan dengan macam obatnya, formulasinya, dosisnya,frekuensi pemberian seharinya, dan cara pemberiannya.

Formulasi obat harus sesuai dengan keadaan tertentu daritraktus digestivus. Misalnya jangan memberikan obat yangmudah dirusak oleh asam bila ada gangguan hiperasiditasdan sebagainya. Pengurangan dosis obat perlu dilakukan padaadanya gangguan ekskresi renal atau; frekuensi pemberian obatsehari mungkin perlu dikurangi ataupun obat diganti denganyang diekskresi melalui hepar/empedu. Pada keadaan hipo-proteinemia, dosis perlu dikecilkan karena albumin yangmengikat obat berkurang, sehingga obat bebas (unbound)bertambah konsentrasinya. Penderita dengan gangguan hepar,perlu dikurangi dosisnya atau frekuensi pemberian sehari.Pada adanya dekompensasi kordis, karena distribusi obatnyalambat, maka dosisnya perlu dikurangi, karena pada permula-an terjadi kumulasi dari obat di dalam darah; jika konsentrasi

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 33: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

obat itu mencapai otak dan jantung, maka obat itu dapat me-racuni.

Jika penderita memerlukan lebih dari satu macam obat,maka perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya interaksi-interaksi antara obat itu sendiri, fungsional atau kimiawimaupun fisikokimiawi atau secara tidak langsung melaluipendesakan dari ikatannya pada albumin atau melalui pe-macuan atau penghambatan enzim-enzim metabolisme obat.Interaksi antara obat yang satu dan yang lain dapat juga terjadipada tempat absorpsinya, tempat aksinya dan pada ekskresirenalnya. Di samping itu masih juga adanya variabilitas karenaperbedaan genetik (poor and efficient metabolizer, rapid andslow acetylator dll.). Sehubungan dengan ini perlu dipertim-bangkan tentang kemungkinan perubahan -perubahan dosisatau frekuensi pemberian obat sehari, karena dosis yang ter-tera di buku-buku farmakologi atau farmakope (dosis stan-dar ) kebanyakan ditentukan pada orang ras Kaukasoid.

Karena kemungkinan adanya interaksi - interaksi antara obatyang satu dan yang lain — yang kadang -kadang sukar diperkira-kan terlebih dulu itu — maka dokter perlu mengendalikan diriuntuk tidak terlalu banyak memberikan obat sekaligus (poly-pharmacy) pada seorang penderita.

Farmakoterapi hams dilakukan secara individual mengingatkeadaan penderita :—umur yang muda sekali atau yang tua sekali—sifat-sifat genetik—lingkungan hidup (kebiasaan merokok, minum alkohol,

business dan sebagainya).—riwayat sakit dan riwayat pengobatan sebelumnya : derajat

sakitnya setelah diobati, berhasil atau tidak berhasil me-nyembuhkan, efek samping yang merugikan, allergi, inter-aksi-interaksi, kebiasaan tak dihabiskan atau dimakan takmenurut aturan, kebiasaan mengobati sendiri dan sebagai-nya.

Umur muda sekali l

—Makin muda anak, relatif makin besar dosisnya, karenametabolismenya lebih kuat (per kg BB).

—Makin tinggi temperatur badan, makin kuat metabolisme-nya : tiap derajat Celcius kenaikan temperatur badan sesuaidengan 10% kenaikan metabolisme.

— Anak terlalu gemuk (obesitas) relatif memerlukan lebih se-dikit obat, karena jaringan lemak relatif kurang berpenga-ruh dalam metabolisme.Karena enzim-enzim detoksifikasi, fungsi renal, pengikatan

pada protein serum dan barier darah — otak belum sepurna,maka jangan mudah memberi obat pada bayi. Untuk bayiyang baru lahir (neonatus) penetapan dosis belum ditetapkansecara tepat (akurat).Oliguria pada tiap umur memerlukan pengurangan dosis ataupengurangan frekuensi pemberian obat sehari.Penentuan konsentrasi obat di dalam plasma darah pentinguntuk memonitor terapi; jadi bukan dosis obatnya waktu di-berikan pada penderita. Therapeutic range adalah jarak antarakonsentrasi efektif minimal dan konsentrasi efektif maksimaldari obat di dalam plasma darah pada sebagian besar daripopulasi.Intoksikasi karena obat dapat diharapkan terjadi, jika konsen-trasi obat itu di dalam plasma darah melebihi therapeuticrange.

atau

Dosis obat = Volume distribusi X konsentrasi obat dalam plasmadarah.

Volume distribusi dari obat yang satu berbeda dengan obat yang lain,karena kelarutannya di dalam cairan-cairan badan dan ikatannya padajaringan jaringan badan berbeda.misalnya :Digoksin (Lanoksin) :—

konsentrasi plasma darah terapeutik : 0,9 ng/cc

0,0009 ug/cc0,0009 mg/L

= 7,5 X 0,0009 = 0,00675 mg/kg

Walaupun Vd itu ditentukan dari data yang didapat pada pem-berian i.v., juga dapat digunakan untuk pemberian per os dani.m.Obat-obat yang absorpsi i.m. nya kurang baik, lebih balk di-berikan secara i.v. lambat, terutama bila diperlukan onset ofaction yang cepat (misalnya digoksin, fenitoin, diazepam dansebagainya).

Eliminasi renalMempertahankan konsentrasi plasma darah terapeutik suatu

obat dilakukan dengan memberikan obat dalam dosis yangekuivalen dengan eliminasinya.Obat-obat poler seperti : penisillin, aminoglykosides dan se-bagainya dapat langsung diekskresi oleh ginjal. Kumulasi dapatterjadi jika frekuensi pemberian obat itu lebih cepat dari wak-tu paruh. Jadi interval pemberian obat harus dilakukan sesuaidengan 1 — 2 waktu paruh. Suatu steady state (plateau) dapattercapai.

Eliminasi hepatikUntuk menentukan dosis dari obat-obat yang dimetabolisir

di dalam hepar haruslah berhati-hati, karena hepar mempunyaikapasitas metabolistik yang terbatas. Sehingga ada kemungkin-an suatu ketika pemberian dosis multipel tidak dimetabolisirdan konsentrasi obat dalam plasma darah akan naik dengancepat (lihat gambar). Jika hal ini tidak dikontrol dengan pe-nentuan konsentrasi obat di dalam plasma darah, maka akanterjadi akumulasi.Contoh :Seorang anak mempunyai BB : 20 kgAnak itu mendapat fenitoin tiap 24 jam sekali per os.4 jam sesudah mendapat obat, konsentrasi plasma darahnya :18 ug/cc = 18 mg/L.Dekat sebelum diberikan dosis per os yang kedua, pada kon-trol ternyata konsentrasi obat di dalam plasma darah menjadi10 ug/cc = 10 mg/L. Ini berarti bahwa dalam 20 jam (24 — 4)terjadi penurunan konsentrasi obat, karena metabolisme, se-banyak 8 mg/L.Vd fenitoin = 0,75 L/kg, jadi anak dengan BB = 20 kg, Vdnya : 20 x 0,75 = 15 LDosis = Vd x konsentrasi obat dalam plasma darahDo sis = 15 L x 8 mg/ L = 120 mg

— Vd : 7,5 L/kgdosis obat(initial)

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 33

Page 34: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Jika dosis obat dalam 20 jam adalah 120 mg, maka dalam24 jam adalah 24

20 X 120 mg = 144 mg.

Jadi dosis maintenance untuk anak dari 20 kg = 144 mg atau___14420 = 7,2 mg/kg BB diberikan tiap 24 jam sekali per os.

Gambar :Perbedaan kurve eliminasi langsung oleh ginjal dan eliminasi yang di-dahului metabolisme oleh hepar.

ROUTE DARI ELIMINASI OBAT

Renal Hepatik

Digoksin (25%) 75%Fenobarbital (25%) 75%Aminoglikosid SalisilatFurosemid TeofilinPenisilin Fenitoin

AsetaminofenAlkoholKafein

Konsentrasi terapeutik obat dalam plasma darah.

Digoksin 0,9 — 2,4 ng/ccFenobarbital 15 — 30 ug/ccSalisilat < 350 ug/ccTeofilin 7 — 20 ug/ccFenitoin 10 — 20 ug/ccAsetaminofen 10 — 20 ug/ccAlkohol (etanol)(bergejala) 1000 ug/ccProkainamida 4 — 6 ug/ccQuinidin 3 — 5 ug/ccSulfisoksazol 100 ug/cc

34 Cermin, Dunia Kedokteran No. 37 1985

Volume distribusi (Vd) (dalam L/kg BB).

Fenotiazin > 30Asetaminofen 10 — 1,0Fenobarbital 0,75Fenitoin 0,75Salisilat — 0,2 (terapeutik)

— 0,6 (toksik)

Furosemid 0,2Teofilin 0,46Digoksin 7,5Penisilin 0,2 — 0,3Benzodiazepin > 10

Infus yang kontinyuDewasa ini beberapa macam obat diberikan secara infus

yang kontinyu untuk mendapatkan konsentrasi obat di dalamplasma darah yang konstan (obat -obatnya : teofilin, insulin,tolazoline (alpha-blocker), nitroprusid, lidokain, dopamin).

Jika tidak dilakukan kalkulasi dari konsentrasi teofilin didalam plasma darah, ada kemungkinan konsentrasi ini menjadirendah, seperti pada infus aminofilin : dosis yang diberikanbiasanya 0,9 mg/kg/jam. Pada dosis ini konsentrasi steadystate di dalam plasma darah adalah 10 ug/ccDari daftar konsentrasi terapeutik, dapat kita lihat therapeuticrange nya : 7 — 20 ug/cc. Ini berarti bahwa 10 ug/cc itu ter-masuk therapeutic range yang rendah, dan ini mungkin olehpenderita asma bronkial dirasakan kurang menolong, terutamapada status asmatikus.Jika kita menghendaki konsentrasi steady state dari teofilinitu 15 ug/cc (15 mg/liter), maka :Dosis infus = 15 (mg/liter X 0,1 (L/kg/jam)(mg/kg/jam) (konsentrasi (plasma clearance)

plasma darah)Dosis infus = 1,5 mg/kg/jam

Infus yang kontinyu harus diawali dengan pemberian loading initialdose, sehingga konsentrasi teofilin dalam plasma darah menjadi 15 ug/cc.

Umur tua sekali :Dari segi biologis, yang dimaksudkan di sini ialah orang ber-

umur 75 tahun atau lebih, walaupun ada juga yang meng-anggap orang tua sekali itu berumur lebih dari 50 tahun2 .Pengobatan pada umur yang lanjut ini sering tidak rasional,karena penderita mungkin kurang mengerti maksud pengobat-an itu, sehingga sering menggunakan obatnya menurut pikiran-nya sendiri yang tidak benar dan juga mereka sering lupaminum/makan obatnya pada waktu-waktu yang ditentukan.Dalam hal ini dokter harus menerangkan dengan jelas caramenggunakan obat itu, atau ditulis pada kertas khusus denganjelas, atau diberitahukan pada pengantar penderita tua itu.Juga, kalau dapat, dokter menentukan rejimen terapi yang se-derhana. Sehubungan dengan ini perlu dikemukakan, 20 —25% dari penderita tua itu mengalami reaksi -reaksi obat yangmerugikan dan ini sering juga disebabkan karena interaksi-interaksi polifarmasi 2 .

Respon penderita dari golongan ini terhadap banyak obatberbeda dengan penderita dewasa muda, karena absorpsi,distribusi, metabolisme dan ekskresinya berbeda. Perbedaanpada orang tua sekali dalam absorpsi melalui dinding usus

__

Page 35: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

dapat disebabkan karena berkurangnya aliran darah splanknik,naiknya pH lambung dan berkurangnya transfer aktif maupunpasif. Sebaliknya, ada perlambatan dari motilitas usus teoritismenambah absorpsi obat.

Pada orang tua, kemungkinan terdapat penambahan jaring-an lemak, sedangkan cairan badan total, volume plasma,caftan intersisial dan massa badan tanpa lemak berkurang.Ini dapat mengurangi volume distribusi dari obat yang larutdalam air, dan menambah volume distribusi dari obat yang la-rut dalam lemak. Dosis standar dari obat yang larut dalam airpada keadaan penderita itu akan mudah menimbulkan intoksi-kasi.

Pada berkurangnya albumin (protein pengikat obat) yangmungkin terdapat pada orang tua, obat bebas (free drug)tentunya lebih banyak dan ini dapat menyebabkan intoksikasi.

Pengurangan cardiac output dan penambahan tahananvaskuler perifer dapat juga mengurangi aliran darah renal danhepatik. Ini juga dapat menyebabkan intoksikasi dari obatdengan dosis standar, karena eliminasinya (metabolisme danekskresi) berkurang, lebih-lebih karena kemampuan untuktransformasi enzimatik obat berkurang.

Glomerular filtration rate dari orang berumur antara 20 —90 tahun rata-rata berkurang 355. Karena itu, dan karena masabadan tanpa lemak juga berkurang, sehingga produksi kreatininendogen berkurang. Maka berkurangnya creatinin clearancekarena gangguan fungsi renal dapat tersembunyi, sebab di-sangka normal. Pemberian obat-obat anti hipertensi mudahmenimbulkan hipotensi ortostatik, karena tahanan dalampembuluh-pembuluh darah perifer pada orang tua bertambahdan kekuatan otot jantung berkurang. Pada semua umur jugaberlaku :—Pada edema, relatif diperlukan sedikit obat.—Penyakit hati dan ginjal relatif memerlukan obat dengan

dosis yang dilcurangi, karena berkurangnya eliminasi (meta-bolisme dan ekskresi) obat.

—Obat jangan diberikan pada idiosinkrasi.—Rejimen terapi harus ditentukan berdasarkan observasi

klinik dan dengan pertolongan pemeriksaan laboratorik.—Obat lama yang sudah diketahui baik jangan diganti dengan

obat baru yang belum dikenal baik sifat-sifatnya.

Sifat-sifat GenetikFarmakoterapi terhadap penderita yang mempunyai dasar

genetik tertentu harus disesuaikan. Contoh-contoh dalam halini di antaranya adalah :— Rejimen terapi Isoniazid dan Hydralazine perlu disesuaikan

dengan adanya asetilator cepat atau lambat, sekalipun per-bedaannya tidak banyak.

—Jangan memberi terapi dengan kinin, kinidin, sulfonamida,kloramfenikol, acetosal dan sebagainya pada penderitadengan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase, karenadapat menyebabkan hemolisis.

lingkungan hidupKebiasaan-kebiasaan dalam hidup seorang penderita sering-

kali menyebabkan respon yang berubah terhadap obat.Seorang perokok berat misalnya, memerlukan lebih banyak

mikronutriensia dan nutriensia dari pada bukan perokok,karena absorpsi melalui dinding usus terganggu (iritasi mukosausus oleh asap rokok yang tertelan). Di samping itu, zat-zat

yang terdapat di dalam asap rokok merupakan inducer darimicrosomal drug metabolizing enzymes.Berdasarkan ini, dosis obat per os perlu ditinggikan untukmendapat efek yang diinginkan. Berapa besar dosis obat yangharus diberikan tergantung dari konsentrasi obat dalam plasmadarah dan tergantung dari sensitivitas tempat aksi obat.

Pengobatan terhadap peminum alkohol perlu didasaripengetahuan tentang kemungkinan adanya sinergisme dengandepresansia umum (alkoholisme akut), atau adanya toleransifarmakodinamika dan farmakokinetika (alkoholisme kronik).Juga perlu disadari bahwa karena adanya gangguan absorpsidi traktus digestivus, pemberian obat per os harus ditinggikandosisnya.

Penderita yang aktif sekali dalam kehidupan sehari-hari jikamungkin jangan diberi obat yang menekan aktivitas mental,dan jangan diberi rejimen terapi yang mengharuskan penderitaitu seringkali memakan atau meminum obat, karena kemung-kinan lupa itu besar.

Selanjutnya yang juga penting untuk diperhatikan ialahriwayat sakit serta pengobatannya yang lalu, karena mungkindapat berpengaruh baik ataupun buruk terhadap pengobatanyang akan diberikan sekarang.

Riwayat sakit yang lalu perlu diketahui, karena kemungkin-an berhubungan dengan penyakit sekarang. Apalagi jika pe-nyakit yang lalu dapat diperkirakan belum sembuh benar ataumeninggalkan bekas kelainan yang memudahkan terjadinyapenyakit sekarang.

Riwayat pengobatan yang lalupun penting untuk diketahui,sehingga memudahkan dokter memberi pengobatan yangtepat.

CARA PEMBERIAN OBATTentang cara pemberian obat selanjutnya perlu juga diten-

tukan sesuai dengan situasi dan kondisi medis penderita. Jikatidak ada keperluan khusus dan tidak ada halangan, maka pem-berian obat secara oral paling banyak dilakukan (lebih dari80%)3 . Juga pada pemberian obat secara oral ini terdapat ba-nyak variabel-variabel antara penderita yang satu dan yanglain, bahkan juga pada satu penderita dalam situasi dan kondisiyang berbeda, karena perbedaan dalam produksi, sifat dankomposisi dari getah-getah lambung dan usus, kecepatan pe-ngosongan lambung, ada atau tidak adanya zat makanan, ke-adaan patologis dari saluran pencernaan dan sebagainya. 4

Adanya gangguan-gangguan emosional, terutama di negaramaju yang separuh sampai dua pertiga dari penderita merupa-kan penyebab dari gangguan gastrointestinal. dapat meng-ganggu absorpsi obat.

Dengan tidak memperhatikan kebiasaan dan cara hidup(merokok, makan, minum dan sebagainya) penderita, makaterapi rasionalpun kadang-kadang tidak memberi hasil yangdiharapkan.

Pemberian kemoterapeutika pada diare tanpa usaha mengu-rangi frekuensi peristaltik, tentunya tak rasional.

PENUTUPDari apa yang telah dikemukakan di atas dapat drtarik ke-

simpulan :1). Setelah berusaha menegakkan diagnosis penyakit secaramedis rasional melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 35

Page 36: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

laboratorik, maka dokter perlu mengetahui dengan baik pa-tologi dan patofisiologi penyakitnya, dan secara logis-metodis-sistematis menentukan penanggulangannya untuk secara medisrasional mengembalikan homeostasis badan, tidak kurang dantidak berlebihan.2). Jika farmakoterapi diperlukan, maka dengan melalui pe-nyesuaian secara rasional patologi dan patofisiologinya denganobat, menurut prinsip-prinsip farmakologi klinik dengan mem-perbesar rasio keuntungan : kerugian, dan memperkecil rasioongkos : keuntungan, diharapkan penyakitnya dapat disem-buhkan atau setidak-tidaknya penderitaan dapat dikurangisecara tidak berlebihan.

Karena farmakoterapi demikian itu hanya mengobati hal-hal yang esensial saja, maka tak lain terapi itu harus juga di-lakukan dengan menggunakan obat-obat yang esensial.

KEPUSTAKAAN

1. Silves HK, Obrien D. (ed) Current Pedriatric Diagnosis & Treatment,6th ed, Los Altos, California: Lange Medical Publications, 1980;1029-1047.

2. Birket DJ, Wing LMH. Drug Treatment in Old Age, Medical Pro-gress, 1984; 11 (6): 41-48.

3. Melmon KL, Morrelli HF. Clinical Pharmacology, Basic Principlesin Therapeutics, New York: The Macmillan Company, 1972; 3 - 58,534-544.

4. Levine RR. Factors Affecting Gastrointestinal Absorption of Drugs,American Journal of Digestive Disorders, 1970; 15: 171-188.

5. Anderson RJ et al : Therapeutic considerations for Elderly Hyper-tensives, Clinical Therapeutics, 1982; 5: 25-35.

6. Birket DJ et al. Fundamentals of Clinicals Pharmacology. DrugAbsorption and Bioavailability, Medical Progress 1979; 6 (8):51-56.

7. Blackwell B : Drug Therapy, The New England, 1973; 289 (5):249-252.

8. Isselbacher KJ, Adams RD, Brauwald E, Petersdorf RG, Wilson JD.Harrison's Principles of Internal Medioine, 9th ed., Tokyo: Mc-Graw-Hill Kogakusha, Ltd., International Student Edition, 1980;372-383.

Disajikan pada Seminar Berkala I Ikatan Ahli Farmakologi dan Simpo-sium Farmakokinetika Klinik - Yogyakarta, 3 - 4 Desember 1984.

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 37: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Ketersediaan HayatiSediaan Pelepasan Lambat

Drs Victor S Ringoringo, Apt

Pengembangan teknologi formulasi baru pada dua dekadeterakhir banyak ditekankan pada pengembangan bentuk sedia-an obat yang dapat melepaskan obat secara terkontrol. Salahsatu di antaranya adalah pengembangan bentuk sediaan obatyang, didisain untuk meningkatkan durasi aksi obat yang ter-kandung di dalamnya. Beberapa jenis bentuk sediaan obatyang dikembangkan untuk maksud ini adalah l ,2• Sediaan pelepasan lambat• Sediaan aksi diperpanjang• Sediaan aksi berulang

Ketiga jenis sediaan di atas dapat dibedakan sebagai ber-ikut :

Sediaan pelepasan lambatObat dalam sediaan pelepasan lambat mempunyai sistem

pelepasan obat yang unik, yaitu mula-mula dilepaskan kira-kira separuh dari dosis total yang merupakandosis inisial, kemudian diikuti dengan pelepasan sisa obat se-cara bertahap dan seragam selama periode waktu tertentu.

Tujuan sediaan ini adalah untuk memperoleh kadar tera-peutik obat dalam darah dengan cepat, dan mempertahankankadar tersebut selama periode waktu tertentu.Sediaan aksi diperpanjang

Sediaan ini melepaskan obat dengan laju pelepasan tertentu,yang dapat menghasilkan durasi aksi obat yang lebih panjangdibandingkan dengan pemberian dosis tunggal yang normal.Sediaan ini berbeda dengan sediaan pelepasan lambat yaitutidak adanya dosis inisial.

Sediaan aksi berulangSediaan aksi berulang didesain untuk melepaskan dengan

segera satu dosis tunggal, kemudian diikuti dengan pelepasandosis tunggal kedua, ketiga dan selanjutnya setelah intervalwaktu tertentu. Keuntungan utama dari sediaan ini adalah ber-kurangnya frekuensi pemberian obat. Tetapi kadar obat dalam

Disajikan pada Seminar Berkala I Ikatan Ahli Farmakologi dan Simpo-slum Farmakokinetika Klinik - Yogyakarta, 3 - 4 Desember 1984.

darah sama dengan pemberian obat secara intermiten dengandosis tunggal.

Sediaan pelepasan lambat didesain untuk memberikankadar obat dalam darah yang adekuat selama periode waktutertentu untuk mendapatkan keuntungan -keuntungan klinik,yaitu :1. meningkatkan hasil terapi obat, berupa peningkatan efekti-vitas dan penurunan efek samping serta efek toksik obat2. meningkatkan kepatuhan penderita dengan aturan dosisyang lebih menyenangkan3. untuk obat tertentu, dari segi ekonomi dapat diperolehpenghematan biaya pengobatan

Tetapi di samping keuntungan-keuntungan di atas, ada pulakerugian-kerugian dalam pemakaian sediaan pelepasan lambatyaitu1. tidak adanya fleksibilitas aturan dosis2. untuk beberapa obat harganya semakin mahal oleh karenapenerapan teknologi yang tinggi3. adanya risiko over dosis 1,2

FARMAKOKINETIKA SEDIAAN PELEPASAN LAMBATDengan menggunakan konsep sederhana model farmakoki-

netika satu kompartemen terbuka, efek laju pelepasan lambatterhadap kadar obat dalam darah dapat digambarkan sebagaiberikut4 :

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 37

Page 38: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Keterangan1. (fi ) dan (fs ) adalah fraksi dosis obat formulasi sediaan pelepasan

lambat yang memberikan pelepasan cepat dan pelepasan lambat2. ki dan kr adalah tetapan laju pelepasan obat fraksi pelepasan cepat

dan fraksi pelepasan lambat3. k a dan ke adalah tetapan laju absorpsi dan eliminasi4. Ci dan C~ adalah kadar obat yang dilepaskan pada tempat pemberian

obat dan fraksi pelepasan cepat dan fraksi pelepasan lambat5. Cb dan ce adalah kadar obat yang diabsorpsi dan yang dieliminasi

Fraksi pelepasan cepat didesain untuk mencapai kadarterapeutik dengan cepat, dan fraksi pelepasan lambat didesainuntuk mempertahankan kadar terapeutik tersebut1

EVALUASI SEDIAAN PELEPASAN LAMBATPengembangan sediaan pelepasan lambat bertujuan :

1. absorpsi obat dari sediaan pelepasan lambat yang maksimal2. meminimalisir variabilitas antar pasien.Pada pengembangan sediaan pelepasan lambat, pendekatanyang dilakukan adalah dengan memodifikasi laju pelepasanobat dengan manipulasi farmasetika, yang dapat merubah lajuabsorpsi obat dan kadar obat dalam darah. Oleh karena ituharus ada jaminan dan bukti ilmiah bahwa efektivitas ab-sorpsi obat tidak terganggu, dan variabilitas tidak meningkat 4 .

Menurut FDA4 , obat-obat dalam sediaan pelepasan lambatdianggap sebagai obat baru, sehingga harus memenuhi per-syaratan keamanan dan khasiat obat secara klinik. Samaseperti obat baru dalam bentuk sediaan konvensional, per-setujuan terhadap sediaan pelepasan lambat berdasarkanpada evaluasi khasiat dan keamanan secara klinik dan buktikarakteristik pelepasan lambatnya.

Persyaratan keamanan dan khasiatUntuk obat yang dalam sediaan konvensional telah di-

ketahui aman dan efektif :1. diperlukan suatu studi klinik terkontrol untuk membukti-

kan keamanan dan keefektifan obat tersebut dalam sediaanpelepasan lambat

2. data ketersediaan hayati obat dalam sediaan pelepasan lam-bat.Sedangkan untuk obat yang dalam sediaan pelepasan lam-

bat telah terbukti aman dan efektif, diperlukan adanya :1. data ketersediaan hayati yang komparabel dengan standar

sediaan pelepasan lambat obat sejenis.2. data ketersediaan hayati yang pada keadaan mantap (steady-

state) komparabel dengan obat sejenis dalam sediaan pe-lepasan cepat yang konvensional.Data ketersediaan hayati dapat berupa profil kadar obat

dalam darah dan profil kecepatan ekskresi melalui urin padakeadaan mantap4 .

Uji ketersediaan hayati sediaan pelepasan lambat ber-tujuan untuk menentukan apakah kondisi berikut ini dipe-nuhi atau tidaks

1. produk sediaan pelepasan lambat tersebut memenuhipersyaratan pelepasan lambat atau tidak. Dengan perkataanlain, apakah memang benar produk tersebut merupakan se-diaan pelepasan lambat ?

2. keadaan mantap yang ditunjukkan ekivalen dengan produkbiasa yang mengandung zat aktif yang sama

3. formulasi produk tersebut menunjukkan profil farmakoki-.netika yang konsisten

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Dengan demikian uji ketersediaan hayati hendaknya me-muat data in vivo tentang profil farmakokinetika, data keter-sediaan hayati yang komparabel dengan standar, dan reprodu-sibilitas prilaku in vivo.

Standar pembandingProduk standar pembanding untuk uji ketersediaan hayati

sediaan pelepasan lambat dapat berupa5

1. sediaan larutan atau suspensi dari obat yang sama2. sediaan konvensional dengan aturan dosis biasa yang me-

ngandung zat aktif yang sama3. sediaan pelepasan lambat standar4. sediaan lain.Metoda uji ketersediaan hayati sediaan pelepasan lambatDosis tunggala) Dosis tunggal sediaan pelepasan lambat dibandingkandengan dosis tunggal sediaan pelepasan cepat yang konven-sional. Profil farmakokinetika obat dengan t½ 1,7 jam dalamsediaan pelepasan cepat dan sediaan pelepasan lambat dapatdilihat pada Gambar 1 berikut4 :

2 6 10 14 16 20 26Waktu (jam)

Gambar 1. Simulasi kurva kadar obat dalam plasma vs waktu dariobat dengan t½ 1,7 jam berdasarkan model farmakokinetika satukompartemen.

Tampak bahwa pada sediaan pelepasan lambat, kurva berben-tuk flat sedang sediaan pelepasan cepat berupa lembah denganpuncak yang tinggi.Keefektifan dan keamanan obat dalam sediaan pelepasan lam-bat ini harus dibuktikan secara klinik, dan dibandingkan de-ngan sediaan pelepasan cepatnya.b) Dosis tunggal sediaan pelepasan lambat dibandingkan de-ngan dosis berganda sediaan pelepasan cepat yang konven-sional. Profil kadar obat dalam darah sediaan pelepasan lambatdengan t½ 1 jam, yang dibandingkan dengan 3 dosis berturut-an dari obat yang sama dengan sediaan pelepasan cepat dapatdilihat pada Gambar 2 4 .Terjadi penurunan kadar puncak sampai 30% pada. sediaanpelepasan lambat, tetapi luas area di bawah kurvanya relatifsama bila dibandingkan dengan sediaan pelepasan cepat. Profilkadar obat dalam darah sediaan pelepasan lambat harus ber-ada dalam batas-batas kadar terapi obat tersebut. Hal iniharus dikaitkan dengan efektivitas dan keamanan secara klinik.Dosis berganda

Seringkali tidak mungkin untuk mengevaluasi dengan baikketersediaan hayati sediaan pelepasan lambat berdasarkandosis tunggal, sehingga penelitian ketersediaan hayati dosis

Page 39: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Gambar 2. Simulasi kurva kadar vs waktu dari sediaan pelepasancepat (1) dan sediaan pelepasan lambat (2) dari obat dengan t½ 1 jam.

berganda sediaan pelepasan lambat perlu dibandingkan dengandosis berganda sediaan pelepasan cepat yang konvensional.Dalam hal ini parameter -parameter yang dipakai sebagai kri-teria adalah4 :1) kadar obat plasma dalam keadaan mantap harus diperoleh

pada obat sediaan pelepasan lambat dan obat sediaan pe-lepasan cepat pada sejumlah sukarelawan yang cukup.

2) penentuan kadar pada keadaan mantap harus ditentukandengan membandingkan nilai-nilai Cmin (trough) pada 3hari atau lebih.

3) kegagalan dalam memperoleh kadar keadaan mantap padasebagian besar sukarelawan menunjukkan kurang patuhnyapasien atau kegagalan dalam formulasi.

4) perbandingan parameter -parameter farmakokinetika sepertiCmin, AUC dan lain-lain hanya terbatas pada subyekyang mencapai keadaan mantap.

5) perbandingan AUC selama interval pemberian dosis hanyadibenarkan bila kedua obat yang diuji dan obat standarberada pada keadaan mantap. Kalau tidak, perbandingansecara teoritis tidak valid.

Evaluasi in vitroWalaupun belum ada metoda evaluasi in vitro yang dapat

meniru dengan sempurna keadaan in vivo yang sebenarnya,'uji in vitro dapat dikembangkan untuk mensimulasi pelepasan

obat secara lambat dari sediaannya.Metoda in vitro yang dapat dikembangkan untuk meng-

evaluasi sediaan pelepasan lambat yaitu dengan uji laju di-solusi4,6

.Persyaratan uji disolusi in vitro yaitu :1. metoda yang reprodusibel2. pemilihan medium yang tepat3. hidrodinamika larutan yang terkontrol baik4. pemilihan sink condition yang tepat.

Walaupun belum ada metoda yang resmi secara kompendial,ada beberapa metoda yang sekarang terus dikembangkan,

yaitu : metoda flow trough system dan metoda rotating-bottle. Pada metoda rotating bottle, sediaan pelepasan lambatdapat diuji pelepasannya pada berbagai variasi pH yaitu mulaidari pH 1,2 (1 jam), pH 2,5 (1 jam), pH 4,5 (1,5 jam), pH 7(1,5 jam), dan pH 7,5 (2 jam). Urutan pH ini menggambarkanperubahan pH mulai dari lambung sampai ke usus.

Dianjurkan untuk melakukan uji disolusi in vivo dan ujiketersediaan hayati in vivo secara bersamaan. Uji in vitroyang berkorelasi baik dengan uji in vivo dapat dipakai untukmemperkirakan ketersediaan hayati sediaan pelepasan lambatin vivo.

KESIMPULANDi dalam mengevaluasi suatu obat dalam sediaan pelepasan

lambat, faktor-faktor yang menjadi dasar pertimbangan ada-lah :1. Sifat-sifat farmakokinetika, farmakodinamika, dan toksi-

kologi obat.2. Ketersediaan hayati3. Karakteristik pelepasan lambat4. Reprodusibilitas in vivo5. Profil farmakokinetika yang menunjukkan pelepasan

lambat6. Bukti klinik yang mendukung keamanan dan keefektifan

sediaan pelepasan lambat.

LAMPIRAN IUJI KETERSEDIAAN HAYATI SEDIAAN PELEPASAN

LAMBAT PAPAVERIN HC1

Karakteristik papaverin HCI— pKa = 6,4— Cmaks pada dosis 300 mg sediaan pelepasan cepat = 1 mcg/

ml— t½ = 90 — 120 menit.— Sediaan pelepasan lambat berupa encapsulated pellets atau

granules dengan dosis 150 dan 300 mg, interval pemberianobat, T = 8 — 12 jam.

Kriteria uji ketersediaan hayati1.Uji ketersediaan hayati hendaknya dilakukan dengan disain

menyilang (complete cross-over design) dengan mengguna-kan larutan papaverin HC1 sebagai standar pembanding.

2. Jumlah sukarelawan 20 orang.3. Sukarelawan diperiksa kesehatannya, meliputi pemeriksaan

fisik dan laboratoris. Hanya sukarelawan. sehat yang bolehdiikutsertakan dalam penelitian.

4. Sukarelawan berumur 18 — 50 tahun dengan berat badan± 10% dari berat badan idealnya.

5. Sukarelawan tidak diperkenankan meminum obat apapunselama 1 minggu sebelum penelitian berlangsung.

6. Sukarelawan harus berpuasa 8 jam sebelum uji dilaksana-kan. Obat diminum dengan 240 ml air. Minuman dan ma-kanan lain tidak boleh diberikan selama 4 jam sesudahpemberian obat. Komposisi makanan harus diseragamkan.

7. Sampel darah harus dikumpulkan selama 12 jam atau lebihsetelah pemberian obat.

8. Sampel serum atau plasma hendaknya dianalisis denganmetoda spesifik terhadap papaverin HC1 dengan sensitivitas

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 39

Page 40: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

0,01 mcg/ml.9. Wash-out selama interval 1 minggu.

10. Data yang dianalisis mencakup kadar papaverin HC1 padasetiap periode sampling, Cmaks, tmaks, dan AUC.

11.Data kadar papaverin HC1 dalam darah pada setiap sam-pling hendaknya dianalisis dengan analisis varian untukmenguji perbedaan antara obat yang diperbandingkan.

12. Bila sediaan pelepasan lambat tersebut dinyatakan ekiva-len terhadap regimen dosis-berganda suatu produk denganpelepasan cepat yang normal, maka data harus diberikanuntuk membuktikan pernyataan tersebut.

Rujukan : Dittert LW, Disanto AR. The Bioavailability of DrugProducts. Cumulative Edition. Washington : American PharmaceuticalAssociation, 1978 : 71-74.

Gambar 3. Simulasi kadar teofilin dalam serum tyh = 3,7 jam) rata-rata pada anak dari beberapa formulasi teofilin yang berbeda.

Keterangan :__________ = absorpsi konstan - - - - - - - - - = tablet biasa..................... = formulasi sediaan pelepasan lambat yang diabsorpsi

sempurna dan reliabel– . – . – . – = formulasi sediaan pelepasan lambat yang diabsorpsi

tidak sempurna dan eratik

Dikutip dari : Weinberger M, Hendeles L, and Johnson G. Rationaleand Procedures for Measuring Serum levels of Theophylline. Dalam :Baer DM, Dito WR. Interpretations in Therapeutic Drug Monitoring.Chicago : American Society of Clinical Pathologists, 1981 : 125.

KEPUSTAKAAN

1. Notari RE. Biopharmaceutics and Clinical Pharmacokinetics.Third Edition. New York : Marcel Dekker, Inc, 1980 : 152-72.

2. Ballard BE. Prolonged Action Pharmaceuticals. Dalam : Osol A, ed.Remington's Pharmaceutical Sciences. 16 th Edition. Pensylvania :Mack Publishing Company, 1980: 1594‚1602.

3. McGinty, Stavchansky, and Martin. Bioavailability in Tablet Tech-nology. Dalam : Lieberman HA, Lachman L. Pharmaceutical DosageForms. Volume II (Tablets). New York : Marcel Dekker, Inc., 1980:434‚39.

4. Cabana. BE, Chien YH. Regulatory Considerations in ControlledRelease Medications. PJB Publications Limited.

5. The National Archives of the United States. Code of Federal Re-gulations. 21 Parts 300 to 499. Washington : US. GovernmentPrinting Office, 1982: 123.

6. Hanson WA. Handbook of Dissolution Testing. Oregon : Pharma-ceutical Technology Publications, 1982: 45 -61.

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 41: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Strategi Penelitian Farmakokinetika

Drs Imono Argo Donatus SU

Jurusan Bio Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada

PENDAHULUANSeperti telak diketahui, mutu suatu produk obat ditentu-

kan oleh persyaratan keamanan, kemanjuran, dan akseptabi-litas yang dipenuhinya, ketika obat tersebut dipergunakan.Manjur, bararti obat dapat sampai sel sasaran dengan kadaryang tepat guna. Namun untuk mengukur kadar obat di selsasaran ini, merupakan pekerjaan yang tidak mudah, bahkantak berlebihan jika dikatakan sebagai suatu hal yang sangatsulit dan riskan untuk dilakukan pada manusia. Karenanyatimbullah permasalahan di sini, yakni: bagaimana cara me-naksir dan mengkaji ketepatgunaan obat di sel sasaran sertanasibnya di dalam badan? Penelitian farmakokinetika me-rupakan salah satu alternatif jawaban terhadap permasalah-an tersebut.

Seperti penelitian pada umumnya, agar tujuan peneliti-an dapat dicapai seefektif dan seefisien mungkin, perlu di-susun suatu strategi pencapaiannya. Demikian pula halnya da-lam penelitian farmakokinetika. Karenanya, dalam makalahini akan dipaparkan dan dikaji tentang strategi penelitian far-makokinetika yang meliputi: pengertian dan arti penting sertapenerapan atau operasional strategi penelitian farmakokine-tika.

PENGERTIAN DAN ARTI PENTINGFarmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari kinetika

absorpsi, distribusi dan eliminasi (biotransfonnasi dan ekskre-si) suatu obat di dalam badan1 . Takrif (definisi) tersebut me-ngandung pengertian: dalam farmakokinetika akan dipelajariproses perpindahan atau nasib obat di dalam badan.

Nasib obat di dalam badan dapat dikaji melalui pentahap-an aksi hayati atau biologisnya, seperti terlihat pada gambar1. Di situ jelas terlihat, untuk dapat menimbulkan efek seper-ti yang diharapkan terdapat tiga tahapan penting yang akan

* Dipresentasikan pada Seminar Berkala I Ikatan Ahli FarmakologiIndonesia dan Simposium Farmakokinetika Klinik - Yogyakarta,3 - 4 Desember 1984.

dilalui oleh obat. Yaitu meliputi tahap farmasetika, tahapfarmakokinetika, dan tahap farmakodinamika. Tahapan far-makokinetika (absorpsi, distribusi, biotransfonnasi, ekskresi)merupakan tahapan yang berfungsi untuk menyediakan obatagar berada di dalam sirkulasi sistemik, sehingga obat dapatmenjalankan aksinya seperti yang diharapkan. Karenanya,fraksi dosis yang mencapai sirkulasi sistemik dinyatakan se-bagai ketersediaan hayati atau ketersediaan biologis obat.

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 41

Page 42: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Pada dasarnya strategi adalah suatu rencana yang disusunsebelumnya untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dengandemikian, berdasarkan atas fungsi tahapan farmakokinetikaobat, dalam makalah ini strategi penelitian farmakokinetikaditakrifkan sebagai: suatu rencana yang disusun sebelum me-neliti tahapan farmakokinetika obat, guna memperoleh infor-masi tentang ketersediaan hayati atau ketersediaan biologis-nya. Takrif atau definisi tersebut mengandung pengertian:

1). obyek penelitian farmakokinetika adalah tahap farma-kokinetika obat yakni proses absorpsi, distribusi, dan elimina-si;2). hasil penelitian farmakokinetika merupakan informasitentang nilai ketersediaan hayatinya;3). nilai ketersediaan hayati obat akan berguna untuk men-jelaskan, meramalkan, dan mengendalikan efek farmakologikobat yang diwujudkan sebagai onset, durasi, dan intensitasefek;4). agar kesahihan (validitas) penjelasan, peramalan, danpengendaliannya dapat diandalkan, perlu disusun suatu ren-cana yang canggih sebelum menjalankan penelitian farmako-kinetika.

Telah dijelaskan di atas bahwa obyek penelitian farma-kokinetika adalah tahap farmakokinetika obat. Sebagai tolokukurnya adalah parameter farmakokinetika. Banyak takrif(definisi) tentang parameter farmakokinetika, namun dalammakalah ini hanya akan dipaparkan satu takrif yang palingsederhana, yakni yang diajukan oleh Reilley (1974). 3 OlehReilley, parameter farmakokinetika ditakrifkan sebagai besar-an yang diturunkan secara matematik dari hasil pengukurankadar obat atau metabolitnya di dalam darah atau urin.Dari takrif yang sederhana ini, tersirat beberapa pengertiandasar yang memiliki arti penting dalam menyusun strategi pe-nelitian farmakokinetika. Pertama, dari kata matematik, ter-sirat pengertian bahwa harga parameter yang diukur merupa-kan harga pendekatan. Selain itu juga tersirat, dalam meng-hitung parameter farmakokinetika, diperlukan asumsi-asumsitertentu seperti ordo kinetika dan model kompartemen ba-dan. Kedua, dari perkataan kadar obat atau metabolitnya,terkandung pengertian bahwa pemilihan metode penetapankadar terutama harus didasarkan pada spesifitas metode yangakan dipergunakan. Ketiga, dari perkataan darah atau urin,terkandung pengertian bahwa pemilihan cuplikan hayati ataubiologis harus didasarkan pada pertimbangan - pertimbanganyang rasional dan mendasar.

Berdasarkan atas pengertian parameter farmakokinetikadan urutan pelaksanaan penelitian farmakokinetika, yang ter-masuk dalam strategi penelitian farmakokinetika adalah:(1) pemilihan rancangan uji coba, (2). pemilihan subyek ujidan jumlahnya, (3) pemilihan cuplikan hayati (biologis),(4) pemilihan metode analisis, (5) pemilihan takaran dosis,(6) pemilihan lama dan banyaknya waktu pengambilan cuplik-an hayati, (7) analisis dan evaluasi hasil.

Strategi tersebut perlu dipertimbangkan sebelum melaksa-nakan penelitian farmakokinetika. Mengapa demikian? Karenakesahihan hasil penelitian tergantung pada kecanggihan pene-rapan strategi tersebut. Dengan perkataan lain, penerapanstrategi penelitian farmakokinetika memiliki arti pentingdalam menjamin keterandalan dan kesahihan hasil penelitian.

Artinya, ketetapan pengukuran parameter farmakokinetikasuatu obat dapat terjamin, sehingga penerapannya dalam sis-tern pengobatan dapat memiliki nilai yang tepat guna dan ber-hasil guna.

PENERAPAN STRATEGIPada dasarnya penelitian farmakokinetika dikerjakan pada

tahap praklinis maupun tahap uji klinis suatu obat. Olehkarena itu, penerapan strategi penelitiannya juga harus dise-suaikan dengan kondisi yang ada pada kedua tahap tersebut,di samping tujuan yang akan dicapainya.

Pemilihan rancangan uji cobaKeberhasilan suatu penelitian takkan lepas dari metodologi

penelitian dan rancangan uji coba yang diterapkan, sesuai de-ngan tujuan penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. De-mikian pula halnya dengan penelitian farmakokinetika. Ter-gantung pada tujuan yang akan dicapai, maka ketepatan pe-milihan rancangan uji coba akan menentukan keterandalandan kesahihan hasil ujinya. Misalnya jika kita ingin mengetahuiharga parameter farmakokinetika suatu obat pada subyeksehat, rancangan uji coba yang kita tetapkan kemungkinanakan berbeda jika kita ingin mengetahuinya pada subyek sakit.Mengapa demikian? Karena pada subyek sakit mungkin ter-dapat keterbatasan-keterbatasan tertentu seperti jarak antaramulai sakit dan sembuh, sehingga terkadang tidak memungkin-kan diterapkannya rancangan pola silang yang dapat diterap-kan pada subyek sehat.

Dalam memilih rancangan uji coba, perlu pula dipertim-bangkan adanya berbagai variabel yang melekat pada subyekuji rnaupun pada sistem penelitiannya sendiri. Variabel-varia-bel tersebut dinyatakan sebagai variabilitas antar subyek 4 (mi-sal umur, berat badan, daya tahan, kemampuan metabolisme),variabilitas karena perlakuan (misal dosis yang berbeda, for-mulasi yang berbeda), waktu (efek waktu dapat disebabkanoleh pembahan lingkungan, kelelahan, efek sisa suatu perlaku-an atas perlakuan lainnya), variabilitas dalam subyek, dan resi-dual yakni variabditias yang tidak dapat diidentifikasi sepertikesalahan penetapan kadar dan lain sebagainya.

Variabel-variabel tersebut dapat diperkecil efeknya de-ngan suatu rancangan uji-coba yang tepat. Rancangan yangsering dipergunakan dalam penelitian farmakokinetika meli-puti rancangan acak lengkap (completely randomized design)dan rancangan pola silang (cross over design).

Rancangan acak lengkap dipergunakan jika variabel luartidak diketahui, atau bila pengaruh variabel ini yang sengajatidak dikontrol terhadap variasi subyek, adalah sangat kecil.Rancangan ini juga dipakai jika diketahui bahwa subyek ke-adaannya seragam dan inferensi yang dibuat berdasarkan hasilpercobaan tidak dimaksudkan sebagai inferensi yang bersifatpercobaan tidak dimaksudkan sebagai inferensi yang bersifatluas serta berlaku untuk populasi yang lebl beragam5. Se-bagai contoh, jika kita akan menilai ketersediaan hayati kom-paratif antara produk A dan B, maka sejumlah subyek dibagike dalam 2 kelompok. Kelompok pertama mendapat produkA dan kelompok kedua produk B, seperti terlihat pada tabel1. Sedang jika tiga produk obat yang diperbandingkan rancang-an uji-coba terlihat pada tabel 2. Perlu diingat bahwa rancang-

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 43: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

an ini memiliki satu kelemahan. Yakni, walaupun randomi-sasi dan matching telah dilakukan sejauh mungkin, namunkemampuan metabolisme di antara subyek itu mungkin masihtetap ada. Karenanya, dapat dimengerti jika rancangan initidak disarankan jika hasil ujinya dipergunakan untuk inferen-si populasi yang lebih beragam.

Tabel 1 Tabel 2

C•atoh rancanBan acak lengkaplengkap dengan 2 perkkuan Adan B.

Contoh rancangan acaklengkap dengan 3 perlaku-an A, B, dan C.

Kelompok Kelompok

I II I 11 III

• • • • •

A B A B C

Memperhatikan keterbatasan rancangan acak lengkap ter-sebut, maka dlkembangkan suatu rancangan yang lebih repre-sentatif untuk inferensi populasi, yakni rancangan pola silang.Rancangan ini terutama ditujukan untuk memperkecil penga-ruh variabilitas dalam subyek di samping variabilitas waktu dansebagainya. Misalnya dalam contoh teradahulu, dua produk Adan B dibandingkan harga ketersediaan hayatinya, maka ma-sing-masing subyek akan menerima kedua produk tersebutpada waktu yang berbeda. Dengan demikian masing-masingsubyek akan berlaku sebagai kontrol terhadap ia sendiri. Da-lam rancangan ini dikenal dua macam rancangan pola silang,yakni blok lengkap dan blok tak lengkap. Blok lengkap artinyasetiap subyek mendapat perlakuan yang lengkap, misal A danB atau A, B, dan C, seperti terlihat pada tabel 3 dan 4.

Tabe1 3. Contoh rancangan pola silang blok lengkap, 2 perlakuan A dan B, 12 subyek.

Kelompok subyek Periode waktu

III

1............ 67 .............12

I II

A BB A

Tabel 4. Contoh rancangan pola silang blok lengkap, 3 perlakuan A,B, dan C, 12 subyek.

Kelompok subyek Periode waktuI II III

I 1 2 A B CII 3 44 B C AIII 5 6 C A BIV 7 8 A C BV 9 10 B A CVI 11 12 C B A

Berbeda dengan blok lengkap, pada rancangan pola silangtak lengkap setiap subyek tidak mendapatkan seluruh macam

perlakuan. Rancangan ini biasanya dipergunakan jika perlaku-an yang akan diperbandingkan sama dengan, atau lebih besardari pada empat perlakuan, seperti terlihat pada tabel 5. Ran-cangan ini disarankan untuk dipilih berdasarkan atas berbagaipertimbangan, di antaranya: (1) periode atau waktu penelitianakan sangat panjang, (2) pengambilan darah yang berlebihanpada subyek uji, berdasarkan pertimbangan medis tak diper-kenankan, (3) karena terlalu sering seorang subyek kembaliuntuk menjalankan uji berikutnya, terdapat kecenderungansukarelawan gagal menyelesailcan penelitian4

Tabel 5. Contoh rancangan pola silang blok tak lengkap, 4 perlaku-an A, B, C, dan D, 12 subyek.

Subyek Periode waktuI II

123456789

101112

ADCBDDBBCAAC

BCACABADDDCB

Dari uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa dalam memilihrancangan uji-coba disarankan untuk mempertimbangkanvariabilitas penelitian, keterbatasan rancangan, serta tujuanyang akan dicapai.

Pemilihan dan jumlah subyek ujiSubyek uji yang dipergunakan dalam penelitian farma-

kokinetika meliputi hewan atau manusia. Hewan uji diper-gunakan pada tahap uji praklinis pengembangan obat atau-pun jika terjadi kasus (terutama kasus keamanan) setelah suatusediaan obat beredar di pasaran. Sedang manusia uji diperguna-kan pada tahap uji klinis.

Pemilihan hewan uji tergantung pada tujuan yang akandicapai, pengalaman sebelumnya dengan senyawa - senyawayang serupa atau berhubungan, dan sifat rancangan uji-coba-nya6 . Namun, pemilihan hewan uji ini bukan pekerjaanmudah. Banyak pertimbangan-pertimbangan lain yang masihdiperlukan, yakni bentuk sediaan dan cara pemberian, kemu-dahan penanganan hewan uji, kemudahan pengosongan lam-bung, kemudahan mendapatkan cuplikan hayati, besar contohhayati, dan volume maksimum yang dapat diterima oleh he-wan uji7 .

Pada umumnya hasil penelitian farmakokinetika diperguna-kan untuk menentukan aturan dosis pada manusia. Karena-nya, pemilihan hewan uji hendaknya diutamakan pada adanyakemiripan mekanisme absorpsi, distribusi, dan eliminasinyaterhadap suatu obat dengan manusia. Misalnya untuk keperlu-an uji ketersediaan hayati suatu obat atau sediaan obat, dapatdipergunakan hewan uji anjing, kera, babi, kelinci, mencit,tikus.

Anjing merupakan hewan uji pilihan, karena anjing mampudiberi berbagai bentuk sediaan obat secara oral. Keuntungan

Cermin Dania Kedokteran No. 37 1985 43

Page 44: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

lainnya, anjing mampu diberi dosis obat secara berulang,yang mana hal ini sangat panting bagi penelitian komparatifdengan rancangan pola silang. Selain itu, hewan ini dapatmemberikan sejumlah cuplikan hayati yang cukup memadaiuntuk kepentingan analisis farmakokinetika. Dan yang lebihpenting, anjing dan manusia memiliki kemiripan fisiologis sa-luran cerna mereka, terutama dalam hal keduanya tidak secaraberkesinambungan mensekresi asam klorida ke dalam lumengastrik maupun empedu ke dalam usus halus. Kera tentunyajuga merupakan hewan uji pilihan. Namun, karena penangan-annya lebih sulit, biasanya hanya dipergunakan jika diketa-hui anjing tidak menunjukkan kemiripan dengan manusiadalam hal sifat penerimaan terhadap golongan obat tertentu.Bagi juga merupakan hewan uji pilihan karena makanannya.morfologi dan fisiologi saluran cerna, fisiologi jantung sertaginjalnya, sangat mirip dengan manusia. Namun besar badan-nya merupakan faktor pembatas. Hewan kecil seperti mencit,tikus dan hamster bukan hewan uji pilihan karena merekatidak dapat diberi kebanyakan bentuk sediaan obat secarautuh melalui mulut. Selain itu hewan-hewan ini cuplikan bio-logisnya lama dan sulit diperoleh. Karenanya, hewan uji inibiasanya hanya dipergunakan dalam penelitian pendahuluan.Kelinci juga bukan hewan uji pilihan terutama untuk peneliti-an absorpsi, karena terdapat perbedaan yang besar fisiologissaluran cernanya dengan manusia, yakni kecepatan pengosong-an lambungnya lambat serta sulit diperoleh dengan metodepuasa konvensional8 .

Jika subyek ujinya manusia, sebelum uji coba dilaksanakan,terlebih dahulu dipenuhi persyaratan-persyaratan uji klinikseperti pernah dipaparkan oleh Lesne (1976) 9 atau mengikutibuku petunjuk "Guidelines for biopharmaceutical studies inman" (1972) 10 . Selain kriteria "sehat" atau sakit" dari subyekuji, perlu mendapat perhatian pula latar belakang pendidikanserta hubungan kerja antara peneliti dan subyek uji'.

Berapakah jumlah subyek uji yang dipergunakan dalam pe-nelitian farmakokinetika? Suatu pertanyaan yang terkadangsulit untuk dijawab, dan seringkali menimbulkan masalahdalam menilai kesahihan hasil penelitian.

Jumlah subyek yang diperlukan dalam penelitian farma-kokinetika, terutama tergantung pada variabilitas antar subyekbagi obat. Jika variabilitas antar subyek, misalnya untuk hargaluas daerah di bawah kurva (AUC) relatif kecil, subyek ujiyang diperlukan juga relatif sedikit. Sebaliknya jika variabilitasAUC antar subyek relatif besar, maka jumlah subyek uji yangdiperlukan juga relatif besar. Dengan perkataan lain, jumlahsubyek uji ditentukan oleh koefisien variasi antar subyek. 11

Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat suatu cara yangdapat menentukan jumlah subyek uji yang sesuai untuk pene-litian farmakokinetika, yakni menggunakan teori hipotesis8 .Untuk keperluan tersebut, diperlukan empat parameter,yakni:1). A, beda terkecil suatu parameter farmakokinetika (misalAUC) antara perlakuan (misal formulasi, perbedaan dosis)yang dikehendaki dapat mendeteksi.2). a, tingkat signifikansi di man uji-t akan dikerjakan.3). 1 — Q, probabilitas bahwa perbedaan akan terdeteksi.4). T 2 , variansi error flap observasi 6 .

Harga a dan Q kita tentukan, sedang A dipilih atas dasar

pengetahuan klinis tentang besar perbedaan yang secara tera-peutik akan bermakna. Dan T 2 biasanya dinilai dari hasilorientasi atau publikasi. Bila keempat parameter tersebut telahditentukan, jumlah subyek (n) yang akan dipergunakan dapatdiperoleh. Sebagai contoh, jika kita ingin membandingkanharga ketersediaan hayati dua produk obat menggunakansuatu rancangan uji-coba tertentu. Hipotesis nol menyatakantidak adanya perbedaan harga AUC antara dua formulasi. De-ngan menggunakan rancangan uji coba dengan n subyek uji,rata-rata AUC _ dari dua formulasi memiliki suatu distribusidengan rata-rata nol dan variansi 2 T2 /n. Hipotesis nol akan di-tolak jika perbedaan antar rata-rata melebihi ta/ 6,/ 2 T 2 /n.Selanjutnya ingat bahwa bagi suatu probabilitas (1 — /) me-nemukan perbedaan A jika betul-betul ada, A harus lebihbesar dari pada nilai t a/ 9\/ 2 T 2 /n dengan sekurang-kurang-nya t( N,/2 T 2 /n. Keadaan ini dinyatakan sebagai:

Persamaan tersebut dapat disusun ulang sebagai berikut:

Dengan demikian jumlah subyek uji yang diperlukan untukharga ketersediaan hayati dua formulasi tersebut akan dike-tahui. 6

Pemilihan cuplikan hayatiCuplikan hayati yang paling sering dipergunakan di dalam

penelitian farmakokinetika adalah darah atau urin.Masalahnya kapan dipergunakan darah dan kapan urin? Jikamungkin, penetapan kadar obat tak berubah pada cuplikandarahlah yang menjadi pilihan pertama. Mengapa demikian?Pertama, karena darah merupakan tempat yang paling cepatdicapai obat dan paling logis bagi penetapan kadar obat didalam badan. Paling logis karena darahlah yang mengambilobat dari tempat absorpsi, mendistribusikan ke jaringan sa-saran, serta menghantarkan ke organ eliminasi 12 . Kedua, bagikebanyakan obat, bentuk obat tak berubah merupakan se-nyawa yang memiliki aktivitas farmakologik. Karenanya, pe-netapan kadar pada cuplikan darah akan memberikan suatuindikasi langsung berapa kadarnya yang mencapai sirkulasi.Jika tidak ada metode penetapan kadar obat dalam darah yangtersedia, atau jika level darah pada pemberian dosis normal,sangat rendah untuk dapat ditetapkan dengan tepat, makapenetapan kadar obat pada cuplikan urin merupakan alterna-tifnya 12 . Sebenarnya penggunaan cuplikan urin dapat lebihbaik dari pada darah, terutama jika obat diekskresikan kedalam urin secara sempurna dalam bentuk tak berubah. Kare-na selain data urin mengukur langsung jumlah obat yangberada di dalam badan, juga karena variabilitas clearancerenal dapat diabaikan. Keterbatasan penggunaan cuplikan urindi antaranya karena sulitnya pengosongan kandung kencing,kemungkinan terjadinya dekomposisi obat selama penyimpan-an, dan kemungkinan terhidrolisnya konyugat metabolit yangtidak stabil di dalam urin, sehingga dapat mempengaruhijumlah total obat dalam bentuk tak berubah yang dieksresikanpada waktu tak terhingga. Akibatnya dapat terjadi kesalahanpenafsiran terhadap harga ketersediaan hayati obat yang di-

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 45: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

teliti.Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa ketetapan pemilih-

an cuplikan hayati akan mempengaruhi kesahihan hasil uji.

Pemilihan metode analisis penetapan kadarTelah dibraikan bahwa parameter farmakokinetika suatu

obat diperoleh dari hasil pengukuran kadar obat atau meta-bolitnya di dalam darah atau urin. Dengan demikian, jelasbahwa metode analisis penetapan kadar obat yang diperguna-kan dalam penelitian farmakokinetika harus memenuhi ber-bagai persyaratan, yakni: (1) selektif atau spesifik, (2) sensi-tif, (3) teliti dan tepat, (4) dan cepat 13

Selektivitas metode menempati prioritas pertama, karenabentuk obat yang akan ditetapkan dalam cuplikan hayati ada-lah bentuk tak berubah atau metabolitnya. Artinya, metodeanalisis yang dipergunakan hams memiliki spesifitas yang ting-gi terhadap salah satu bentuk obat yang akan ditetapkan ter-sebut. Smith dan Stewart (1981) 14 bahkan lebih memperluaslagi pengertian selektivitas metode ini, yakni kemampuan sua-tu metode penetapan kadar untuk membedakan suatu obatdari metabolitnya, obat lain (dalam kasus tertentu yang ber-kaitan), dan kandungan endogen cairan hayati. Pemilihanmetode yang memiliki slektivitas tinggi ini perlu mendapatperhatian khusus. Mengapa demikian? Karena hal ini erat se-kali kaitannya dengan rumus-rumus matematik yang akan di-terapkan dalam menghitung parameter farmakokinetika. Ru-mus matematik yang diturunkan berdasarkan data pengukur-an kadar obat tak berubah dalam cuplikan hayati berlainandengan yang diturunkan dari data kadar metabolitnya.

Sensitivitas metode berkaitan dengan kadar terendah yangdapat diukur oleh metode yang dipergunakan. Dalam peneliti-an fanmakokinetika, pilihan metode analisis juga tergantungpada tingkat sensitivitas yang dimiliki oleh metode. Ini dapatdimengerti mengingat dalam menghitung parameter farmakoki-netika suatu obat, diperlukan sederetan data kadar obat dariwaktu ke waktu atau dari kadar tertinggi sampai ke kadarterendah dalam cuplikan hayati yang dipergunakan. Misal kitaakan menghitung AUC, maka perlu data kadar obat dari wak-tu nol sampai tak terhingga. Karenanya, metode analisis yangdipilih hams dapat meliput kadar obat tertinggi sampai teren-dah yang ada di dalam badan.

Ketelitian (accuracy) dan ketepatan (precision) perlu puladipertimbangkan dalam memilih metode analisis, karena akanmenentukan kesahihan (validitas) hasil penetapan kadar. Ke-ketelitian ditunjukkan oleh kemampuan metode dalam mem-berikan hasil pengukurannya sedekat mungkin dengan nilaisesungguhnya. Ini dapat diketahui dari harga perolehan kern-balinya (recovery), yang dinyatakan sebagai % error (hargasesungguhnya dikurangi harga uji, dibagi harga sesungguhnya,kali 100%). Ketepatan menunjukkan kedekatan hasil penguku-ran berulang pada cuplikan hayati yang sama. Ini dapat dike-tahui dari harga replikasinya, yang dinyatakan sebagai koefisi-en variasi (deviasi baku dibagi harga rata-rata, kali 100% 15

Cepat, juga merupakan persyaratan yang perlu dipertim-bangkan dalam pemilihan metode analisis penetapan kadar.Ini berkaitan dengan banyaknya cuplikan hayati yang hamsdianalisis dalam satu macam penelitian farmakokinetika (ku-rang lebih 180 — 600 penetapan).

Persyaratan-persyaratan tersebut di atas, sebaiknya benar-benar dipertimbangkan dalam pemilihan metode penetapankadar, karena kesahihan harga parameter farmakokinetikayang diukur sangat tergantung pada kesahihan hasil penetap-an kadarnya dalam cuplikan hayati yang ditentukan.

Pemilihan takaran dosis dan bentuk sediaan obatBerapakah takaran dosis yang akan diberikan? Pertanyaan

ini selalu timbul sebelum mengerjakan penelitian farmakokine-tika. Walaupun demikian hal ini seringkali menimbulkan masa-lah yang sulit diatasi, terutama jika akan mengembangkansediaan obat baru pada tahap uji praklinik dengan hewan ujitertentu.

Pemilihan takaran dosis yang akan diberikan pada hewanuji pada tahap uji praklinik, dapat didasarkan pada data hargaLD5o senyawa yang akan diuji. Namun perlu diingat dan di-sadari dalam mempergunakan data harga LD5o tersebut, yaknicara pemberian senyawa selama penelitian toksisitas akutnya.Jika dalam penelitian toksisitas akut, senyawa diberikan dalambentuk larutan, maka takaran dosis dipilih yang betul-betulmemiliki batas keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan.Sedang jika senyawa atau obat diberikan dalam bentuk sedia-an padat atau suspensi, serta telah diketahui memiliki hargaLDso yang sangat tinggi, maka batas keamanan yang besar ti-dak diperlukan6

Perbandingan harga LD5o oral lawan intravena dapat diker-jakan untuk memperoleh wawawan terhadap masalah absor-pbabilitas sebagai fungsi cara pemberian oral. Hal ini tentunyaakan berguna dalam meramalkan efek toksik sebagai fungsikenaikan takaran dosis. Jika informasi ini tidak tersedia, makadapat dipergunakan harga LD50 intravena sebagai dosis awalpenelitian yang dapat dipertanggungjawabkan, yakni sebesar5 — 10% LD5o intravena6 .

Selain parameter-parameter famakologik dan toksikologiktersebut di atas, pemilihan takaran dosis juga hams dikaitkandengan sensitivitas metode penetapan kadar obat tak berubahatau metabolitnya. Maksudnya takaran dosis yang diberikanhams menjamin dapat diukurnya kadar obat atau metabolitpada jarak waktu tertentu, sehingga diperoleh data yang cu-kup untuk evaluasi farmakokinetika.

Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan takarandosis ini adalah adanya fenomena "kinetika tergantung dosis".Yakni suatu fenomena yang menunjukkan adanya perubahanparameter farmakokinetika obat bila takaran dosisnya diubah.Keadaan ini berkaitan dengan asumsi ordo kinetika obat ter-sebut. Kinetika obat diasumsikan mengikuti ordo nol bilamenunjukkan fenomena kinetika tergantung dosis. Hal iniperlu diperhatikan, karena akan menentukan rumus mate-matik yang dipergunakan untuk menghitung parameter farma-kokinetikaanya. Jika mengikuti ordo nol, perhitungannyamengikuti rumus pada farmakokinetika non-liniair. Hal iniberbeda jika asumsinya mengikuti ordo pertama, yakni para-meter farmakokinetika obat tidak dipengaruhi oleh perubahandosis (farmakokinetika liniair).

Fenomena kinetika tergantung dosis dapat disebabkan olehbeberapa hal, misalnya: (1) obat diberikan dalam dosis besar,

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 45

Page 46: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

sehingga kapasitas proses metaboliknya dilampaui, (2) bilaterjadi kompetisi antara dua obat yang berbeda atas satu ma-cam proses metabolisme, (3) jika zat pembawa bagi transportaktif suatu obat mengalami kejenuhan 16 . Keadaan ini dapatdiketahui dengan menghitung waktu paruh (t½) eliminasi obat,setelah pemberian beberapa takaran dosis yang berbeda. Jikaharga tlh obat berbeda-beda, berarti kinetika obat mengikutiordo nol atau tergantung dosis 17 .

Bentuk sediaan obat yang akan diberikan juga harus dipilihdengan hati-hati, terutama pada penelitian pendahuluan padatahap praklinis. Pertama kali, obat diberikan dalam bentuklarutan baik secara oral maupun intravena. Baru kemudiandikembangkan ke bentuk sediaan lain.

Baik takaran dosis maupun bentuk sediaan obat biasanyasudah tidak begitu menjadi masalah bagi uji klinis.

Pemilihan lama dan banyaknya waktu pengambilan cuplikanhayati

Sesuai dengan takrif parameter farmakokinetika yang di-pergunakan dalam makalah ini, dimaksud cuplikan hayatimeliputi darah dan urin. Sebenarnya dalam penelitian farma-kokinetika dapat pula dikerjakan dengan cuplikan hayatilainnya seperti saliva. Namun, karena darah dan urin yangpaling banyak dipergunakan, dalam kesempatan ini hanyaakan dijelaskan strategi pemilihan lama dan banyaknya waktupengambilan cuplikan darah dan urin, sesuai dengan takrifparameter farmakokinetika yang dipergunakan dalam makalahini.

Jika cuplikan darah yang dipergunakan, pengambilancuplikan dianjurkan berlangsung selama 3 — 5 kali harga waktuparuh eliminasi (tlh) obat yang diuji. Dan 7 — 10 kali th obat.Jika cuplikan urin yang dipergunakan, yakni praktis 99,2 —99,9% obat telah diekskresikan 16

Frekuensi atau banyaknya pengambilan cuplikan, eratkaitannya dengan asumsi model kompartemen badan. Jikakinetika obat mengikuti model dua kompartemen terbuka,dianjurkan banyak pengambilan cuplikannya paling tidak 3kali pada tahap absorpsi, 3 kali pada sekitar puncak, 3 kalipada tahap distribusi, dan 3 kali pada tahap eliminasi. Keadaanini diperlukan untuk mendapatkan data kadar obat dalamdarah lawan waktu yang cukup untuk evaluasi parameterfarmakokinetika obat. Pengambilan cuplikan pada tahap distri-busi tidak diperlukan, jika kinetika obat mengikuti model satukompartemen terbuka16 . Waktu pengambilan cuplikan yangoptimal ini perlu diperhatikan, karena akan menentukan ke-sahihan penetapan asumsi model kompartemennya. Hal inidapat dikerjakan dengan penelitian pendahuluan atau orien-tasi18 .

Orientasi dalam penelitian farmakokinetika setelah pem-berian obat intravena memiliki banyak keuntungan. Di antara-nya, sensitivitas dan selektivitas metode penetapan kadarsebagai fungsi cara pemberian dapat segera ditentukan. Me-ngapa demikian? Karena obat langsung ditempatkan dalamaliran darah, sehingga kadar tertinggi dan terendah obat yangada di dalam badan segera dapat diketahui. Keadaan ini akanmenggambarkan pula kadar tertinggi obat setelah pemberianoral, jika obat diabsorpsi dengan sempurna. Dengan menge-tahui kadar tertinggi ini, sensitivitas metode penetapan kadar

segera dapat ditetapkan, yakni sampai kurang lebih 10 — 20%kadar tertinggi obat (80 — 90% obat telah diekskresikan).

Dalam orientasi intravena tersebut, beberapa cuplikanharus diperoleh pada jam pertama setelah pemberian obat,diikuti setiap jam untuk periode jam ke 8 — 12 berikutnya,dan beberapa cuplikan lagi sampai jam ke 48. Ini diperlukanuntuk mengevaluasi kemungkinan asumsi model komparte-mennya. Setelah orientasi intravena, sebaiknya juga dilakukanorientasi cara pemberian lain ekstravaskular, agar adanya pe-ngaruh fisiologis pada proses absorpsi obat dapat diketahuisejak dini.

Analisis dan evaluasi hasilAnalisis data uji coba dan evaluasi hasil penelitian merupa-

kan tahap terakhir penelitian farmakokinetika. Karenanya,tidaklah berlebihan jika dalam serangkaian pengkajian tahapterakhir penelitian ini diperlukan kecermatan dan ketelitiandalam menganalisis data, serta pengetahuan klinis maupunformulasi farmasetik.

Data uji coba yang pertama kali perlu dianalisis adalahsederetan kadar obat tak berubah atau metabolitnya di dalamdarah atau urin, pada sederetan waktu tertentu. Sebelum datatersebut dipergunakan untuk menghitung parameter farma-kokinetika, langkah pertama yang dikerjakan adalah menetap-kan model kompartemen badan yang diikutinya. Langkah inipenting, karena akan menentukan penerapan rumus matematikyang akan dipergunakan untuk menghitung parameter farma-kokinetika. Analisis kompartemen ini dapat dikerjakan denganmemplotkan data kadar obat tak berubah dalam darah lawanwaktu pada kertas grafik semilogaritmik, atau plot log kece-patan ekskresi (dAe/dt) lawan waktu pada kertas grafiknumerik. Jika data urin yang dipergunakan. Dengan melihatadanya fase distribusi (yakni grafik bifasik untuk pemberianintravena dan grafik trifasik untuk pemberian oral), kinetikaobat dapat dikatakan mengikuti model dua kompartementerbuka. Jika fase distribusi ini tidak terlihat pada grafik, makakinetika obat pada umumnya dikatakan mengikuti model satukompartemen terbuka. Namun, perlu dicatat bahwa keadaanini hanya berlaku jika tetapan kecepatan distribusi (alfa)diasumsikan harganya lebih besar dari pada tetapan kecepatanabsorpsinya (ka), ipada pemberian obat secara oral.

Notari (1980) 19 menyatakan, kinetika obat akan meng-ikuti model satu kompartemen terbuka, jika harga tetapan ke-cepatan distribusi antar kompartemen (k12 + k 21 ) sama ataulebih besar dari pada 20 kali harga tetapan kecepatan eliminasi-nya (Kel). Dengan perkataan lain, kinetika obat mengikutimodel dua kompartemen terbuka, jika harga tetapan kecepat-an distribusi antar kompartemen yang diperoleh itu lebih kecildaripada 20 kali harga tetapan kecepatan eliminasinya (k 12 +k 21 =<Kel ).

Kecermatan mengasumsikan model kompartemen ini pen-ting sekali dalam memperoleh ketepatan perhitungan para-meter farmakokinetika obat. Misalnya kita menghitung waktuparuh eliminasi obat dengan asumsi kinetikanya mengikutimodel satu kompartemen terbuka, padahal sebenarnya meng-ikuti model dua kompartemen terbuka, maka harga yang di-peroleh akan lebih besar dari pada harga sesungguhnya (t1⁄2 =0,693/Kel untuk model satu kompartemen, t1⁄2 = 0,693/Q

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 47: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

untuk model dua kompartemen, dan harga B selalu lebih besardari pada harga K el).

Kesalahan penafsiran model kompartemen ini biasanyadisebabkan oleh ketidakcermatan dalam menetapkan waktupengambilan cuplikan hayati, yakni tidak mengambil cuplikanhayati pada fase distribusi obat, seperti dicontohkan padagambar 2. Jelas terlihat pada gambar 2 tersebut, harga t1⁄2,AUC, dan C0

pp

(kadar obat dalam darah pada waktu nol) yangdihitung dengan asumsi model satu kompartemen, berbedadengan yang dihitung berdasarkan asumsi model dua kom-partemen terbuka.

Gb. 2. Grafik kadar obat dalam darah lawan waktu setelah pemberianintravena. (a) model satu kompartemen, (b) model dua kompartemen.

Setelah analisis data uji coba dilaksanakan dan perhitunganparameter farmakokinetika obat dikerjakan, langkah berikut-nya adalah analisis statistik. Analisis statistik ini tidak begitusulit untuk dikerjakan, karena tinggal mengikuti rancanganuji coba yang telah ditetapkan sebelumnya. Namun, perluditekankan di sini bahwa hasil uji statistik bukan merupakankesimpulan akhir hasil penelitian. Statistik hanya merupakansalah satu alat pendukung pengambilan keputusan. Misalnyakita membandingkan harga AUC dari produk obat A lawanproduk baku B. Jika kemudian dari hasil uji-t ditemukanbahwa beda harga AUC antara Produk A dan B (AUC produkA 10% lebih tinggi dari pada AUC B) menunjukkan perbedaan

yang bermakna, pada taraf kepercayaan 95%.Hasil ini ternyatatidak dapat dipergunakan untuk menarik kesimpulan bahwaproduk A lebih baik absirpsinya dari pada produk B. Mengapademikian? Karena sebelumnya telah diketahui bahwa produkobat tersebut hanya akan memberikan perbedaan terapeutikyang nyata, jika harga AUC nya 30% lebih tinggi dari padaharga AUC produk baku. Ini dapat dimengerti, mengingat per-bedaan yang bermakna dari hasil uji-t tersebut sangat ditentu-kan oleh harga deviasi baku masing -masing kelompok ujinya.Sedang perbedaan efek terapeutik ditentukan oleh baik bu-ruknya formulasi, bukan oleh besar-kecilnya deviasi baku.Contoh lain, pada uji coba di atas harga AUC produk A 40%lebih tinggi dari pada harga AUC produk B, dan hasil uji-tnya menunjukkan perbedaan yang bermakna, menggunakan10 subyek uji. Namun karena dalam percobaan pendahuluan(orientasi) telah diketahui bahwa untuk mendeteksi adanyaperbedaan harga AUC sebesar 30%antara dua produk tersebut(A ), paling optimal diperlukan 40 subyek uji (diperhitungkandengan teori hipotesis), maka hasil penelitian ini tidak dapatdipergunakan untuk menarik kesimpulan secara umum, karenajumlah subyek uji yang dipergunakan kurang representatif un-tuk menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya.

Tahap terakhir dari penelitian garmakikinetika adalahevaluasi hasil penelitian. Telah diuraikan terdahulu, dalamtahap evaluasi ini diperlukan pengetahuan klinik ataupunfarmasetik. Pengetahuan klinik diperlukan untuk menjaminkesahihan kesimpulan hasil penelitian, seperti dicontohkan diatas. Pengetahuan farmasetik juga diperlukan, karena peneliti-an farmakokinetika terbanyak dipergunakan dalam pengem-bangan obat atau produk obat. Misalnya, kita menguji waktuparuh eliminasi tablet asetosal pada sekelompok orangIndone-sia. Ternyata hasil perhitungan t1⁄2 nya jauh berbeda denganpenelitian sejenis yang ditemukan pada sekelompok orangEropa. Dalam hal ini kita tidak dapat langsung menyatakanbahwa profil tlh asetosal orang Indonesia berbeda denganprofil t1⁄2 orang Eropa. Mengapa demikian? Karena kita tidaktahu sistem formulasi dan teknik pabrikasi tablet asetosalyang dikerjakan oleh peneliti Eropa tersebut. Mungkin sajapeneliti Eropa menggunakan bahan baku asetosal yang bentukkristalnya berbeda dengan yang kita pakai. Padahal bentukkristal setosal menentukan tetapan kecepatan absorpsinya.Juga mungkin peneliti Eropa menggunakan teknik pabrikasiyang lain dalam pembuatan tablet asetosal, dengan yang kitabuat. Selain itu, mungkin juga metode analisis penetapan kadarobat dalam cuplikan hayati yang dipergunakan oleh penelitiEropa lain dengan yang kita pergunakan. Hal ini kiranya dapatmenggambarkan, sebelum kita menyimpulkan hasil penelitianfarmakikinetika, sebaiknya dilakukan evaluasi yang cermat ter-lebih dahulu terhadap berbagai variabel yang mungkin dapatmempengaruhi kesahihan kesimpulan penelitian.

Telah dikaji tentang strategi penelitian farmakokinetikadari pemilihan rancangan uji coba sampai ke analisis danevaluasi hasil. Kajian ini tidak dimaksudkan untuk memberigambaran betapa sulit dan rumitnya pelaksanaan penelitianfarmakokinetika, melainkan justru sebaliknya.

KEPUSTAKAAN:

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 47

Page 48: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

1. Curry SH. Drug disposition and pharmacokinetics. Oxford: 10. .............Guidelines for biopharmaceutical studies in man. APHABlackwell Scientific Publication, 1977. Academy of Pharmaceutical Sciences. 1972; 1-33.

2. Arieens & Simonis AM. Optimalization of pharmacokinetics - 11. Wagner JG. Biophazmaceutics and relevant pharmacokinetics.an essential aspect of drug development by metabolic stabili- l rt ed. Hamilton: Drug Intelligence Publications, Inc. 1971;tation. In: Keverling Buisman JA (Ed). Strategy in drug research. 245-246.Amsterdam: Scientific Publishing Company, 1982;4:165-178.

12. Tozer TN. Pharmacokinetic principles relevant to bioavailability3. Reilly WJO. Drug dosage regimes and iboavailability part I - studies. In: Blanchard J, Sawchuk RJ & Brodie BB (eds). Prin-

elementary pharmacokinetics. Aust J Pharm. 1974; 54:648. ciples and perpective in drug bioavailability. Basel: S Karger AG.4. Wagner JG Fundamental of clinical pharmacokinetics 1st ed. 1979; 121-154.

Hamilton: Drug Intelligence Publications Inc. 1975; 290-297. 13. Hirtz J Analytical problems in bioavailability testing. In: Deasy

5. Maria Astuti. Rancangan percobaan dan analisa statistik bagian & Timoney )eds). The quality control of medicines. Amsterdam:

I. Yogyakarta: Fakultas Peternakan UGM 1980; 5-7. Elseivier Scientific Publishing Company. 1976; 245-252.

6. Kaplan SA. Biopharmaceutics in the preformulation stages of 14. Smith RV & Stewart JT Textbook of biopharmaceutical analy-drug development. In: James Swarbrick (ed) Current concepts sis. Philadelphia: Lea & Febiger. 1981; 7-9.in the pharmaceutical sciences-dosage form design and bioavai- 15. Schwartz MA & De Silva JAF. Quantitative drug analysis in bio-lability. Philadelphia: Lea & Febiger. 1973; 8-9, 152-158. availability studies. In: Blanchard J, Sawchuk J & Brodie BB

7. Imono AD. Uji ketersediaan hayati (bioavailability) in vivo ber- (eds). Principles and perspectives in drug bioavailability. Basel:bagai masalah yang timbul dalam pelaksanaannya. Dalam: Pro- S Karger AG. 1979; 90-99.ceedings Kongres Nasional XI dan Kongres Ihniah ISFI. Jakarta: 16. Ritschel WA Handbook of basic pharmacokinetics 2nd ed. Ha-ISFI. 1983; 463-467. milton: Drus Intelligence Publication, Inc, 1980; 230-232, 280.

8. Kaplan SA, Jack ML. In vitro, in situ, and in vivo models in bio- 17. Shargel L & Yu ABC. Applied biopharmaceutics and pharmaco-availability assesment. In: Blancard J, Sawchuk RJ & Brodie kinetics. New York: Appleton Century Crofts. 1980; 15-16.BB (eds) Principles and perspective in drug bioavailability.Basel: S Karger AG. 1979; 181-199. 18. D. Argenio DZ. Optimal sampling times for pharmacokinetics

9. Lesne M Bioavailability testing in man-pharmacokinetics consiexperiments. J Pharmacokin Bipharm. 1981;9 (6) : 39-355.

derations. In: Deasy & Timoney (eds) The quality control of 19. Notari RE Biopharmaceutics and clinical pharmacokinetics -

medicines. Amsterdam: Elsevier Scientific Publishing Company. an introduction, 3rd ed. New York: Marcel Dekker, Inc. 1980;

1976; 215-223. 18-29.

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 49: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Bioavailabilitas Obat

Drs. Victor S. Ringoringo Apt

Perkembangan terakhir dalam proses pengembangan dan pe-masaran obat banyak disesuaikan dengan perubahan sikap daridokter, pejabat pemerintah, dan masyarakat terhadap obat.Pada 10 — 20 tahun yang lalu industri-industri farmasi banyakmenekankan pada penemuan obat-obat baru, dan peta ke-farmasian pada saat itu ditandai dengan cepatnya suatu mo-lekul obat baru ditemukan. Dewasa ini, kecepatan penemuanobat baru mulai menurun, sebagian disebabkan karena sudahcukup banyak tersedia obat yang efektif untuk berbagai pe-nyakit. Masa paten yang sudah daluwarsa dari berbagai macamobat seringkali menyebabkan munculnya bermacam-macamproduk obat yang mengandung zat aktif yang ekivalen.

Sementara itu masyarakat mengharapkan obat bermutudengan harga yang terjangkau, dan banyak industri obat mem-promosikan penulisan resep obat dalam nama generik sebagaisalah satu usaha untuk meningkatkan kompetisi harga obatdi antara industri obat.

Situasi ini menempatkan apoteker di tengah-tengah dua sisiyang ekstrim. Di sisi pertama apoteker dituntut untuk menu-runkan biaya pemeliharaan kesehatan melalui penurunan hargaobat, tetapi di sisi lain apoteker bertanggung jawab terhadapkualitas obat yang baik. Apoteker bertanggung jawab dalamseleksi obat, dan dalam banyak hal peranannya semakin besardalam pemilihan produk obat yang bermutu tinggi.

Dalam pemikiran para dokter seringkali timbul beberapapertanyaan :1) Apakah ada perbedaan klinik yang bermakna di antaraproduk obat komersial yang mengandung jenis dan jumlahzat aktif yang sama ?2) Bagaimanakah sifat perbedaan-perbedaan tersebut ?3) Faktor apa sajakah yang menyebabkan perbedaan terse-but ?4) Bagaimanakah perbedaan tersebut dapat diukur dan di-evaluasi ?5) Kriteria apa yang digunakan apoteker untuk memilih obatyang ditulisnya dalam resep ?

UJI BIOAVAILABILITAS DAN UJI IN-VITROUntuk menjamin ekivalensi terapeutik dan klinik dari suatu

produk obat dalam berbagai batch produksi, secara ideal pen-ting untuk mengukur secara tepat efek klinik dan potensi darisampel yang representatif dari masing-masing batch produkobat tersebut. Walaupun demikian, pada prakteknya hal ter-sebut tidak mungkin dilakukan karena adanya pertimbanganpraktis dan aspek etis seperti :1) Uji klinik memerlukan populasi penderita yang ekstensifdengan jenis dan keparahanpenyakit yang seragam2) Uji klinik pelaksanaannya kompleks dan mahal3) Teknik pengukuran yang obyektif sulit ditemukan danseringkali tidak sensitif terhadap berbagai kondisi penyakit

Cara pendekatan yang terbaik untuk memperkirakan efekklinik suatu obat adalah dengan pengukuran kadar obat dalamdarah, karena ada hubungan yang erat antara kadar obat dalamdarah dengan efek klinik obat tersebut. Tetapi dalam hal inijuga ditemukan beberapa kelemahan seperti :1) Uji kadar obat dalam darah biayanya mahal, memerlukanperalatan analitis yang canggih, tenaga ahli yang terampil,dan sejumlah sukarelawan sehat. Dengan demikian kelayakanuntuk melakukan uji bioavailabilitas dari setiap batch produkobat patut dipertanyakan.2) Konsep bioavailabilitas berpijak pada asumsi bahwa para-meter biologis suatu obat (kadar obat dalam darah dan jaring-an, ekskresi obat dalam urin atau pengukuran produk meta-bolit) secara langsung berkaitan dengan efek klinik obat. Se-mentara asumsi ini mungkin saja absah, tetapi sulit untukmemperkirakan ketepatan korelasinya. Misalnya, jika duaproduk menunjukkan perbedaan bioavailabilitas sebesar 20%,apakah perbedaan ini secara klinik bermakna ?

Sementara saat ini tidak mungkin untuk melakukan uji ka-dar obat dalam darah untuk setiap batch produk obat, industriobat dapat menggunakan uji bioavailabilitas untuk menentu-kan bahwa produk obatnya dengan formulasi dan proses pro-

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 49

Page 50: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

duksi yang spesifik akan memberikan efek klinik yang se-banding dengan produk obat sejenis yang diproduksi industriobat lain (produk originator atau produk inovator), yangpada uji kliniknya memberikan hasil yang baik.

Sebagai salah satu alternatif untuk melakukan uji bioavaila-bilitas pada setiap batch produk obat, uji in vitro telah dikem-bangkan sebagai indikator bioavailabilitas, atau untuk mene-tapkan bahwa batch produk obat selanjutnya akan menunjuk-kan bioavailabilitas dan efek klinik yang sebanding denganbatch sebelumnya yang telah ditetapkan uji kadar obat dalamdarah dan uji kliniknya.

Uji laju disolusi dan uji difraksi sinar X merupakan 2 con-toh prosedur laboratoris yang dapat merefleksikan perilakuobat in-vivo. Uji ini telah dimasukkan dalam USP dan NF dantelah diterapkan pada sejumlah obat. Uji laju disolusi meng-ukur laju disolusi sejumlah obat dalam medium tertentu danpada kondisi tertentu. Uji difraksi sinar X melengkapi bebe-rapa indikasi dari laju dan jumlah obat yang melarut, dengandemikian akan bermanfaat dalam memperkirakan absorpsiobat. Sementara kedua uji ini bukan merupakan uji bioavaila-bilitas yang sebenarnya, maka kedua uji ini hanya merupa-kan indikator yang dapat digunakan untuk memperkirakanbioavailabilitas obat. Suatu industri obat yang mempunyaidata klinik atau informasi yang menunjukkan bahwa produkobatnya secara klinik efektif, dan bila data ini dikorelasikandengan uji in vitro dengan tepat, dan bila formulasi serta pro-sedur produksi tidak berubah, maka konsistensi dari batchke batch dapat dijamin dengan melakukan uji laju disolusi,uji difraksi sinar X atau uji in vitro lainnya yang relevan.

PENGERTIAN BIOAVALABILITASKonsep bioavailabilitas pertama kali diperkenalkan oleh

Osser pada tahun 1945, yaitu pada waktu Osser mempelajariabsorpsi relatif sediaan vitamin. Istilah yang dipakai pertama-kali adalah availabilitas fisiologik, yang kemudian diperluaspengertiannya dengan istilah bioavailabilitas.

Dimulai di negara Amerika Serikat, barulah pada tahun1960 istilah bioavailabilitas masuk ke dalam arena promosiobat. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya produkobat yang sama yang diproduksi oleh berbagai industri obat,adanya keluhan dari pasien dan dokter di man obat yangsama memberikan efek terapeutik yang berbeda, kemudiandengan adanya ketentuan tidak diperbolehkannya Apotekmengganti obat yang tertulis dalam resep dengan obat mereklainnya.

Sebagai cabang ilmu yang relatif baru, ditemukan berbagaidefinisi tentang bioavailabilitas dalam berbagai literatur.Bagian yang esensial dalam konsep bioavailabilitas adalahabsorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik. Ada 2 unsur pentingdalam absorpsi obat yang perlu dipertimbangkan, yaitu :

1) kecepatan absorpsi obat2) jumlah obat yang diabsorpsiKe dua faktor ini sangat kritis dalam memperoleh efek

terapeutik yang diinginkan dengan toksisitas yang minimal.Atas dasar kedua faktor ini dapat diperkirakan bagaimanaseharusnya definisi tentang bioavailabilitas.

Dua definisi berikut ini merupakan definisi yang relatiflebih sesuai dengan kedua faktor di atas adalah :Definisi 1 : Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan

ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh olehtubuh, dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik.

Definisi 2 : Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakanukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlahobat tersebut yang diabsorpsi.

TUJUAN PENETAPAN BIOAVAILABILITASDengan mengetahui jumlah relatif obat yang diabsorpsi

dan kecepatan obat berada dalam sirkulasi sistemik, dapat di-perkirakan tercapai tidaknya efek terapi yang dikehendakimenurut formulasinya. Dengan demikian, bioavailabilitas da-pat digunakan untuk mengetahui faktor formulasi yang dapatmempengaruhi efektivitas obat. Beberapa manfaat studibioavailabilitas yang berkaitan dengan mutu produk obatyaitu :1) bagi apoteker dalam bidang penelitian kefarmasian, bio-availabilitas merupakan uji yang penting dalam penelitianpeningkatan mutu obat2) bagi dokter dan apoteker di apotek, bioavailabilitas merupa-kan pertimbangan kritis yang digunakan untuk pemilihanobat yang bermutu baik.

PENGUKURAN BIOAVAILABILITASJumlah obat yang diabsorpsi biasanya ditentukan dengan

mengukur luas area di bawah kurva (AUC) dari kurva kadarobat dalam darah versus waktu, atau dari jumlah obat kumula-tif yang diekskresikan melalui urin. Jika suatu obat diberikanper oral dan beberapa jam sesudahnya diambil satu seri darisampel darah dan dianalisis kadar obat dalarn darah, kemudianhasilnya di plot pada kertas grafik, akan diperoleh kurva kadardarah-waktu seperti pada gambar 1.

Gambar 1. Kurva kadar serum — waktu setelah pemberian dosis tung-gal suatu obat per oral.

Obat diberikan per oral pada waktu nol; pada saat ini kadarobat dalam darah adalah nol. Setelah obat melalui lambungdan/atau usus, akan berdisintegrasi dan segera melarut danabsorpsi pun berlangsung. Peningkatan kadar obat dalam darahakan terlihat pada sampel darah berikutnya sampai tercapaikadar puncak. Titik ini disebut puncak kurva kadar serum —waktu. Pada titik ini kecepatan absorpsi sebanding dengankecepatan eliminasi. Di sebelah kiri titik puncak kurva merupa-

Page 51: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

kan fase absorpsi, di mana kecepatan absorpsi lebih besardaripada kecepatan-eliminasi. Di sebelah kanan titik puncakkurva disebut fase eliminasi, di man kecepatan absorpsilebih kecil daripada kecepatan eliminasi.

Hubungan antara bioavailabilitas dan efektivitas klinikobat didasarkan pada asumsi bahwa intensitas dan durasirespon farmakologik obat berkaitan erat dengan kadar dandurasi obat aktif dalam darah atau sirkulasi sistemik. Profilkadar obat dalam darah memungkinkan perhitungan kece-patan dan jumlah obat yang diabsorpsi dari suatu produk obat,dengan demikian data ini sangat membantu dalam mengevalua-si besarnya pengaruh formulasi pada perilaku obat dalam tu-buh.

Bila suatu industri obat telah memiliki data efektifitas obatmelalui uji klinik dari suatu formulasi obat, maka industriobat lainnya yang ingin memasarkan obat yang sejenis haruslahmelakukan suatu penetapan bioavailabilitas yang dapat menun-jukkan bahwa formulasinya memberikan kadar puncak yangsama, kecepatan absorpsi yang sama, dan jumlah obat yangdiabsorpsi yang sama dengan formulasi dari industri obat yangpertama. Jika ke tiga kriteria di atas dipenuhi, adalah beralasanuntuk mengharapkan bahwa formulasi yang dikembangkanindustri obat ke dua akan memberikan efek terapeutik yangsama dengan produk obat pertama. Aplikasi konsep bio-availabilitas yang semacam ini disebut bioekivalensi.Kriteria Bioekivalensi

• Bioekivalensi berdasarkan data kadar obat dalam darah.Ada tiga parameter penting dalam mengevaluasi bioekivalensiantara dua formulasi dari obat yang sama, yaitu :1) Kadar maksimal/kadar puncak, Cmaks (mcg/ml)Pada Gambar 1, Cmaks = 4,0 mcg/ml.Kadar maksimal dari kurva kadar darah — waktu merupakankadar dalam darah tertinggi yang dicapai setelah pemberianobat per oral.2) Waktu mencapai kadar maksimal, tmaks (jam)Pada Gambar 1, tmaks = 2,0 jam.Waktu mencapai kadar maksimal merupakan waktu yang di-perlukan untuk mencapai kadar maksimal setelah pemberianobat. Parameter tmaks berkaitan erat dengan kecepatanabsorpsi obat dan dapat digunakan sebagai ukuran yang se-derhana untuk mengukur kecepatan absorpsi.3) Luas area di bawah kurva, AUC (mcg/ml x jam)Pada Gambar 1, AUC0-12 = 21,5 mcg/ml x jam.Luas area di bawah kurva merupakan parameter yang terpen-ting dan merupakan ukuran banyaknya obat yang diabsorpsisetelah pemberian dosis tunggal suatu obat per oral.

• Bioekivalensi berdasarkan data ekskresi obat dalam urin.Bila yang diukur adalah ekskresi obat dalam urin kumulatif,parameter-parameter yang penting adalah :1) Jumlah kumulatif obat yang diekskresikan dalam urin2) Kecepatan ekskresi obat dalam urin

Jika kecepatan dan jumlah obat yang diekskresikan melaluiurin setelah pemberian 2 macam produk obat yang mengan-dung obat aktif yang sama itu identik, dapat disimpulkan bah-wa ke dua produk obat tersebut adalah bioekivalen. Ini dida-sarkan pada konsep bahwa obat yang diekskresikan ke dalamurin berasal dari darah.

Jika kedua profil kadar obat dalam darah dan pengukuranekskresi obat dalam urin diperoleh dari satu subyek yang sama,

maka ke dua data tersebut merupakan komplemen satu samalain.

JENIS PENELITIAN BIOAVAILABILITAS OBATPenelitian bioavailabilitas obat dapat merupakan :

1) Penelitian bioavailabilitas absolut, yaitu membandingkanbioavailabilitas suatu bentuk sediaan obat per oral denganpemberian secara intravena.

2) Penelitian bioavailabilitas relatif, yaitu membandingkansecara relatif bioavailabilitas suatu bentuk sediaan obat peroral dengan bentuk sediaan obat sejenis lainnya.

Sebagai produk standar dapat digunakan :1) produk larutan oral2) produk inovator/originator, yaitu produk yang dibuat olehpabrik penemunya, yang dianggap mempunyai bioavailabilitasterbaik yang sudah teruji secara klinik dengan hasil terapiyang baik (biasanya ditentukan oleh lembaga resmi, misalnyaFDA).

Penelitian bioavailabilitas relatif dapat diterapkan untuk :1) memilih satu dari alternatif dua atau lebih bentuk sediaanyang sama dengan formulasi yang berbeda yang akan dipro-duksi oleh suatu pabrik, sehingga diketahui pengaruh kompo-nen formulasi terhadap bioavailabilitas.2) memilih bentuk sediaan yang mempunyai bioavailabilitasterbaik dari beberapa alternatif bentuk sediaan yang akan di-kembangkan.3) mengontrol variabilitas yang mungkin terjadi antar batchdari bentuk sediaan yang sama dari batch yang berlainan.4) membandingkan secara komparatif produk pabrik manayang mempunyai bioavailabilitas terbaik.

PELAKSANAAN PENELITIAN BIOAVAILABILITASOBAT :

Penelitian bioavailabilitas obat memerukan fasilitas labora-torium analisis/bioanalitik yang canggih dengan tenaga ahliyang profesional dan harus memenuhi persyaratan tertentu.Untuk beberapa macam obat, persyaratan pelaksanaannyatelah dikeluarkan oleh American Pharmaceutical Associationdalam bukunya 'The Bioavailability of Drug Products.'

Protokol penelitian bioavailabilitas obat hendaknya me-muat tujuan percobaan, latar belakang obat yang hendak di-teliti, bahan obat, pemilihan sukarelawan, disain penelitian,penanganan sampel, metoda analisis kadar obat dalam darah,dan hal-hal lain.

Secara garis besar pelaksanaan suatu penelitian bioavailabi-litas obat dilakukan sebagai berikut :1) Pemilihan sukarelawan yang mencakup pemeriksaan kese-hatan, penandatanganan informed consent.2) Periode puasa dari minum obat apapun (1 minggu)3) Puasa 1 malam sebelum pemberian obat4) Pemberian obat5) Pengambilan sampel material hayati (darah dan/atau urin)pada interval waktu tertentu.

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 51

Page 52: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

5) Penyimpanan dan preparasi sampel6) Analisis kadar obat dalam material hayatiLangkah 2) s/d 6) dapat berulang sesudah periode wash-outsesuai dengan protokol.7) Tabulasi data, perhitungan parameter-parameter farma-kokinetika, analisis statistik.8) Penyusunan laporan.

OBAT-OBAT YANG PERLU DITELITI BIOAVAILABILI-TASNYA :

Perlukah penelitian bioavailabilitas dilakukan untuk setiapobat? Memang masih belum ada suatu ketentuan yang berlakuumum untuk bioavailabilitas produk obat. Walaupun demiki-an, penelitian bioavailabilitas perlu dilakukan dalam hal ber-ikut :

1) Obat-obat yang batas keamanannya sempit2) Obat-obat yang absorpsinya berfluktuasi3) Obat-obat yang variasi individunya besar dalam kadarplasma pada dosis biasa4) Diperlukan untuk mempertahankan MEC/MIC obat dalamcairan hayati selama terapi5) Obat-obat baru

KEPUSTAKAAN

1. Birkett DJ et al. Drug Absorption and Bioavailability, MedicalProgress, August 1979, vol. 6 No. 8, pp. 51-61.

2. Dittert LW et al. The Bioavailability of Drug Products, CumulativeEdition, 1978, American Pharmaceutical Association, pp. 9-20.

3. Weser JK. Bioavailability of Drugs, New England J. Med., Vol. 291No. 5, pp. 233-237.

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 53: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Bagaimana Pengaruh TubuhTerhadap Obat

Dr. Mathilda B. WidiantoUnit Bidang Farmakologi Jurusan Farmasi

Institut Teknologi Bandung, Bandung

Untuk dapat menjawab pertanyaan yang kelihatannya se-derhana ini, ada sejumlah parameter yang harus diperhatikan.Pada prinsipnya setiap orang harus menyadari bahwa tidak ada"tubuh standar", tiap organisme akan memberikan pengaruhyang tidak sama terhadap suatu obat. Di samping perbedaangenetik, juga harus disadari bahwa individu yang sakit tidaksama reaksinya terhadap obat dibandingkan individu yangsehat dan normal. Belum lagi pengaruh lain,misalnya interaksidengan obat lain, makanan, lingkungan hidup sehari-hari yangkesemuanya ini dapat mempengaruhi absorpsi, distribusi,biotransformasi maupun ekskresi obat. Jika kita perhatikanhal-hal tersebut, kebiasaan memberikan obat sehari 3 kaliakan berkurang, apalagi kalau kronofarmakologi ikut diper-timbangkan.

FARMAKOGENETIKA: apa itu ?Kalimat yang sangat trivial : "tiap individu berbeda" ber-

laku pada penggunaan obat-obatan. Dosis yang sama darisuatu obat dapat memberikan efek utama maupun efek sam-pingan yang berbeda pada individu yang berbeda. Dengandemikian, pengaturan dosis sesuai kebutuhan peroranganmerupakan dasar yang baik pada setiap terapi.

Pada umumnya faktor seperti pengaruh usia, kelamin,makanan dan sebagainya sudah banyak dipertimbangkan,sedangkan faktor genetik sebagai determinan kerja obat ku-rang mendapat perhatian.Adanya perbedaan kerja obat di sini disebabkan karena :— Adanya perbedaan individual bail( jumlah reseptor maupun

affinitas obat untuk dapat terikat pada reseptor tersebut.— Adanya perbedaan pola absorpsi, distribusi, biotransformasi

maupun ekskresi obat, hingga dosis yang sama dapat me-nyebabkan berbedanya kadar obat dalam plasma pasienbersangkutan.

Perbedaan genetik ini biasanya disebabkan polimorfismusenzim-enzim tertentu, di man terbentuk isoenzim dengan

aktivitas enzim yang berbeda. Tentu saja hal ini dapat menye-babkan adanya efek obat yang jauh menyimpang dari yangdiharapkan. Setelah pemberian beberapa obat seperti sulfa-sulfa, nitrofurantoin, primaquin, maka pada sekitar 10% orangnegro dan sebagian penduduk sekitar Laut Tengah (Iran,Junani, Sardinia) timbul anemia hemolitik yang parah. Ter-nyata ini disebabkan kurangnya enzim glukose-6-fosfat de-hidrogenase yang berperan pada biotransformasi senyawa-senyawa tersebut. Gangguan pada enzim glukuronil transferasemisalnya menyebabkan hiperbilirubinemia di samping tentu-nya juga akan menghambat ekskresi senyawa seperti paraseta-mol yang juga membutuhkan enzim ini. Polimorfisme genetikini juga terjadi untuk senyawa lain misalnya INH (asetilasi),suksametonium (hidrolisis) dan lain-lain.

FARMAKOKINETIKA : — seringkali terjadi tidak sesuaidengan dugaan —

Besaran farmakokinetika yang tertera pada pustaka danbrosur obat adalah keadaan kinetika obat pada individunormal. Di sinilah letak problem utamanya : obat justru di-gunakan pada orang sakit, hingga misalnya konstanta eliminasiyang dinyatakan untuk obat bersangkutan akan dapat sangatberbeda. Terutama pada penderita penyakit ginjal, hati dangangguan kardiovaskular, perubahan besaran ini sudah harusdiduga pasti terjadi. Dalam hal ini tentu sudah seharusnyalahbaik dosis maupun interval pemberiannya diubah untuk men-dapatkan efek terapi yang diinginkan, atau menghindariefek sampmg yang mungkin terjadi. Khusus untuk obat-obatyang mempunyal indeks terapi kecil, sudah banyak dilakukanpenelitian farmakokinetika pada keadaan insufisiensi organeliminasinya.

Untuk mendapatkan gambaran kinetik obat bersangkutan,dapat dilakukan dengan melihat kurva waktu vs kadar obatdalam plasma. Untuk beberapa senyawa sudah ada petunjukpengaturan dosis pada keadaan patofisiologis tertentu. Jelas-

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 53

Page 54: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

lah, hanya dokter yang mengetahui sifat kinetika obat padakeadaan khusus inilah yang dapat melakukan terapi dengantepat. Hal lain yaitu terjadinya induksi enzim hingga obatyang digunakan akan diuraikanlebih cepat. Dari sekian banyak-nya sistem enzim dalam tubuh kita, yang paling berperan padametabolisme senyawa asing adalah sitokrom P450 yang ter-sebar di paru-paru, ginjal, dinding usus halus, kulit, hati,Jumlah enzim ini akan dapat meningkat pada pemakaiansuatu senyawa untuk waktu yang cukup lama. Karena peng-uraian obat dipercepat tentu saja kerja obat menjadi lebihsingkat dan lebih lemah. Sulitnya lagi karena enzim bekerjapada banyak jenis obat, tentu pengaruhnya juga akan dialamiobat-obat ini, bahkan oleh substrat tubuh sendiri.

Barbiturat, terutama feniletilbarbiturat merupakan induk-tor enzim yang kuat. Pemakaian senyawa ini untuk waktuyang lama akan jelas mempengaruhi terapi dengan obat lain,karena waktu paruh senyawa tersebut akan berkurang. Sebagaicontoh, terapi dengan difenilhidantoin. Di sini diamati bahwakadar difenilhidantoin akan turun dengan drastis dalamwaktu satu minggu pemberian feniletilbarbiturat. Dengandemikian, untuk mendapatkan kadar obat dalam plasma yangcukup untuk mencegah serangan epilepsi, mau tidak maudosis difenilhidantoin harus ditinggikan. Akan tetapi haruspula diingat, untuk menurunkan dosis jika pemakaian obatlain yang bertindak sebagai induktor enzim tersebut dihenti-kan. Contoh lain yaitu percepatan eliminasi kontraseptivaoral setelah pemakaian barbiturat.

Beberapa obat lain justru melakukan inhibisi sistem enzim(nortriptilin, simetidin, alopurinol, kloramfenikol, steroidakontraseptif), sehingga obat-obat yang dimetabolisir olehsistem enzim yang sama akan diuraikan lebih lambat, dandengan demikian kadar obat dalam plasma akan lebih tinggi.

MAKANAN/MINUMANPola makanan seseorang serta komposisi dietnya mem-

pengaruhi metabolisme banyak senyawa. Orang-orang vege-tarier akan memetabolisir obat tertentu dengan kecepatanyang jauh lebih lambat daripada "pemakan segala".

Makanan dengan jumlah karbohidrat tinggi akan memper-lambat kecepatan metabolisme obat-obat seperti antipirin danteofilin, sedangkan protein sebaliknya. Beberapa penelitianlain menunjukkan, intake kronik minuman yang mengandungteobromin, misalnya kopi, teh, kakao akan dapat menghambatmetabolisme beberapa obat. Pengaruh alkohol pada metabolis-me obat tidak selalu sama. Alkohol yang diminum dalam jum-lah banyak akan menginduksi enzim, hingga lamanya obat da-lam organisme akan lebih singkat. Akan tetapi pada peminumkronis dan berat, justru sebaliknya karena hatinya sudah ter-kena sirosis.

Pengaruh merokok pada metabolisme obat juga sudahbanyak diteliti. Perokok berat pada umumnya mempunyaisistem sitokrom P448 yang terinduksi, hingga obat-obat se-perti teofilin, genasetin akan diurai lebih cepat. Pada orang-orang ini, klirens ("Clearance") teofilin dua kali lebih tinggidaripada tidak perokok, hingga pada pengobatan asma tentuperlu pengaturan dosis.

KEADAAN PENYAKITFaktor patologis yang mempengaruhi metabolisme obat,

paling banyak diteliti pada penderita penyakit hati dan tiroid.Perubahan yang dapat terjadi pada berbagai jenis penyakithati antara lain perubahan aktivitas enzim, ketersediaankofaktor, aliran darah ke hati, susunan hepar sendiri dan lain-lain yang masing -masing dapat mempengaruhi disposisi obat.

Sangatlah sulit untuk meramalkan sampai seberapa jauhmetabolisme suatu senyawa dipengaruhi oleh keadaan penya-kit pasien tertentu, karena dari data biokimia tidak dapatdicari korelasi yang tepat. Karena itu, terapi obat secaraindividual harus didasarkan pada respons klinis atau kon-sentrasi obat dalam plasma pasien bersangkutan.

Pada penyakit tiroid, hasil penelitian menunjukkan bahwahipertiroidea akan menstimulasi metabolisme obat dan ke-adaan sebaliknya terjadi pada penderita hipotiroidea.

KONTAK DENGAN SENYAWA KIMIA TERTENTUKontak kronis dengan senyawa kimia tertentu seperti DDT,

hidrokarbon polisiklik dan lain-lain dapat mengubah aktivitasenzim pemetabolisir obat. Walaupun penelitian untuk inibelum banyak, dapat dikatakan bahwa kemungkinan besarsenyawa yang larut lemak akan menyebabkan terjadinyainduksi sedangkan logam-logam berat seperti Pb akan ber-tindak sebagai inhibitor enzim. Tentu saja faktor penentulainnya seperti waktu kontak, dosis harian dan sebagainyaakan sangat berpengaruh.

Konsekuensi dari pembicaraan di atas tentulah perlunyapengaturan dosis obat pada terapi, terutama pada obat -obatanyang jarak dosis terapeutik dan dosis letalisnya cukup dekat.

Untuk pengembangan obat baru perlu diperhatikan faktor-faktor tersebut di atas, apakah biotransformasi obat dalamtubuh dipengaruhi oleh faktor genetika, makanan tertentuatau faktor lain. Jawaban tentu sudah harus didapat sebelummelangkah ke percobaan klinik double blind, pada saat manapasien biasanya mendapat dosis obat dan bentuk sediaan yangsama. Ini tentu merupakan penentu reputasi obat tersebuthingga pengaturan dosis sudah dapat diatur pada tahap awalobat disebarluaskan..

Dengan mempertimbangkan faktor -faktor tadi, di sampingfaktor lain seperti first pass effect yang belum dibahas di sini,maka untuk mendapatkan terapi yang rasional dan sesuaidengan tujuan pengobatan, dosis obat dan interval pemberianharus disesuaikan hingga indikasi "sehari 3 kali" harus diubahsesuai kebutuhan.

KEPUSTAKAAN

1. La Du BN, Mandel HG, Way EL. Fundamentals of Drug Metabolismand Drug Disposition, New York: Krieger Publ Co., 1979.

2. Dtsch Ap Z, 1984; 124: 233-235.3. Clin Pharmacol Ther, 1976; 20: 643 .653.4. Eur J Clin Pharmacol, 1984; 27: 595-602.5. Mutschler E. Arzneimittelwirkungen, 4 Auflage, Stuttgart: Wissen-

schaftliche Verlagsgesellschaft mbH, 1981.

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 55: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Konsultasi Farmakologikdi Samping Penderita

dr. Budiono SantosoBagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Yogjakarta

Universitas Gadjah Mada.

PENDAHULUANSalah satu peran farmakologi yang bisa dikembangkan da-

lam penanganan penderita adalah mekanisme konsultasi lang-sung mengenai kasus-kasus, di mana dijumpai adanya permasa-lahan obat dan pengobatan. Judul makalah "konsultasi farma-kologi di samping penderita" mungkin tidak begitu jelas danterlalu agresif, tetapi yang dimaksudkan di sini yaitu adanyamekanisme konsultasi antara klinikus sebagai penanggung ja-wab penanganan penderita dengan salah satu sistem pendu-kungnya (back up system) untuk meningkatkan secara maksi-mal kemanfaatan terapi, dan mengurangi sekecil mungkin ri -siko efek samping pengobatan. Halkin (19841 ) dalam kuliahtamu pada "The Second World Conference of Clinical Phar-macology & Therapeutics" mengajukannya dengan istilah"Beside clinical pharmacology and concultation".

Dalam tulisan ini akan dibicarakan secara ringkas menge-nai tujuan, manfaat, lingkup kegiatan dan pelaksanaannya.Khusus dengan melihat permasalahan farmakoterapi di Indone-sia, nampaknya kegiatan semacam ini perlu dikembangkan.

TUJUAN & MANFAATEssensi utama dari penerapan farmakologi klinik dalam pe-

nanganan penderita sehari-hari adalah memastikan kualitasfarmakoterapi. Telah disadari bahwa setiap pemberian obatpada penderita selalu disertai dengan kemungkinan timbulnyarisllco, walau paling ringan sekali pun. Kualitas farmakoterapiyang di tuju dalam penerapan farmakologi klinik untuk pe-nanganan penderita adalah tercapainya "keseimbangan"antara manfaat dan risiko tersebut. Dengan kata lain, bagaima-na manfaat farmakoterapi bisa dicapai secara maksimal demiperawatan atau penyembuhan penderita dengan risko sekecilmungkin. Sehingga manfaat dari mekanisme konsultasi lang-sung adalah dalam upaya peningkatan kualitas penanganan pe-nyakit penderita, bila ditinjau dari segi pelayanan.

Manfaat lain dari segi proses pendidlkan bagi calon-calon

dokter, yaitu memberikan pengalaman langsung dalam penera-pan farmakologi klinik dalam penanganan masalah-masalahpenyakit pada masing-masing tipe penderita. Jelas bahwa halini hanya berlaku di pusat-pusat pendidikan kedokteran ataudi rumah-rumah sakit pendidikan. Jika hal ini disimak lebihlanjut, sebenarnya merupakan perwujudkan dari konsep pe-ngajaran farmakologi yang tidak sekedar bersifat didaktikmelalui kuliah-kuliah konvensional, tetapi dengan memberikanpengalaman nyata bagi calon-calon dokter dalam penangananpenderita. Secara kritilc seorang calon dokter mendapatkanpengalaman dalam berbagai hal, menyangkut :

1). Pemilihan obat berdasarkan diagnosis yang ditegakkan.Di sini analisis manfaat-risiko (benefit-risk) dan manfaat-ong-kos (benefit-cost) mau tidak mau juga pasti harus terpikirkan.2). Penentuan dosis, dan individualisasi dosis pada keadaan-keadaan tertentu yang berhubungan dengan kondisi pasien.Misalnya, penyesuaian dosis obat pada keadaan gangguan faalginjal.3). Penilaian respons penderita terhadap terapi. Apakah ke-adaan penderita membaik dengan terapi yang diberikan ?Apa yang dinilai? Kapan harus dipertimbangkan ganti alterna-tif terapi (switch of therapy) bila tidak ada respons ? Menga-pa tidak ada respons? Apakah tidak adanya respons terhadappengobatan disebabkan karena faktor-faktor dalam tingkat ki-netik, yang mungkin masih bisa dikoreksi dengan peningkatandosis, misalnya jika dikarenakan kadar yang tercapai tidakmencapai kadar terapeutik minimal. Ataukah dalam tingkatdinamik, misalnya karena adanya resistensi pada keadaan infeksi?4). Mencari kemungkinan timbulnya efek yang tidak dike-hendaki (adverse reaction) dari terapi, baik berupa efek sam-ping ataupun efek toksik, dalam berbagai tingkat.

Fenomena-fenomena dalam farmakologi dan terapeutika

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 55

Page 56: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

yang secara konvensional didapatkan dari kuliah-kuliah di ke-las mungkin bisa didapatkan dalam kenyataan klinik yang di-hadapi, misalnya tentang antar aksi obat pada pengobatan-pengobatan kombinasi. Satu hal yang perlu disadari dan di-tandaskan pada calon-calon dokter, setiap pemberian obat,apapun jenisnya, harus dipertimbangkan dan dipikirkan ke-mungkinan (prediction) timbulnya berbagai pengaruh, baikpengaruh klinik atau pengaruh buruk.

Apa yang dikemukakan di atas mungkin merupakan be-ban dari klinikus, tetapi bukankah hal-hal yang disebutkan tadisebenarnya juga merupakan konsekuensi logis dari terapeuti-ka? Suatu hal yang biasa dan logis, hanya mungkin sering ter-kesampingkan.

Mekanisme konsultasi langsung juga bermanfaat dalam men-dukung ke arah terapi rational (rational drug therapy). Hal-hal yang berkaitan dengan ketidaktepatan dan ketidaksesuaiantempi pada suatu keadaan klinik, tidak perlu terjadi atau bisaditekan se minimal mungkin dengan mekanisme konsultasi.

Kerangka dalam rasionalisasi terapi mulai dari keputusandan pertimbangan-pertirnbangan yang perlu diperhatikan, se-cara sistematik meliputi l

Keputusan1. Diagnosis

a. Tepat (akurat) ataub. Paling tidak diagnosis yang paling mungkin (probable)

2. Pengertian penyakita. Patofisiologib. Riwayat alamiah

3. Mengobati atau tidaka. Obat mungkin tidak diperlukan :

— Sama sekali tidak perlu obat—Terapi lain lebih bermanfaat

b. Jika diperlukan obat :—Keuntungan (manfaat) yang diharapkan ?— Kemungkinan efek buruk ?— Kerugianbila obat tidak diberikan?

4. Obat dan aturan dosisa. Pemilihan obat, dosis, sediaan, dan cara pemberianb. Pemilihan dosis dan aturan dosis yang tepat pada pende-

rita dengan melihat kondisi si penderita.c. Lama pengobatan berdasarkan perjalanan alamiah penya-

kit.

obat dan pasien (ke-

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

LINGKUP KEGIATAN & PERAN FARMAKOLOGIKWalaupun mungkin farmakologi klinik merupakan ilmu

yang bersifat "eksperimental 3 , jika dilihat dari definisi "thescientific study of drugs in man" 4 , namun langsung atau ti-dak bidang ini berkaitan erat dengan pelayanan perawatanpenderita.

Seperti telah dikatakan di awal tulisan ini, sesuai penera-pan farmakologi klinik dalam penanganan penderita adalahmendorong tercapainya keseimbangan dalam manfaat terapiyang bisa dicapai, dan risiko pengobatan yang mungkin timbulpada kasus-kasus individual. Untuk memenuhi tugas terapeu-tik ini diperlukan kemampuan dan pengetahuan dalam :a). Penanganan (manajemen) dalam berbagai bidang kliniksecara luas (misalnya ilmu penyakit dalam, ilmu kesehatananak)b). Penerapan prinsip-prinsip pemilihan obat, farmakoki-netika dan farmakodinamika klinikc). Rancangan (disain), pelaksanaan dan analisis data pene-lit ian klinik.

Dengan kemampuan dan pengetahuan seperti yang disebutkandi atas, konsultasi farmakologi dapat mempengaruhi/mening-katkan penanganan kasus-kasus individual (individual patientcare), melalui antara lain1 :1. Detoksi kuantitatif adanya ketidak-tepatan terapi atau ke-tidak-sesuaian terapi, pada keadaan-keadaan di mana pengama-tan-pengamatan klink tidak jelas. Untuk ini di perlukan pe-ngukuran kadar obat dalam cairan biologik.2. Memeriksa mekanisme ketidak-sesuaian respons terhadappengobatan, untuk memastikan apakah perlu mengganti pi-lihan obat (dinamika atau mengganti aturan dosis (kinoti-ka).3. Penilaian kembali (reappraisal) strategi terapeutik yangtelah efinisi "the scientific study of drugs in man"4. Merancang dan menganalisis data penelitian-penelitan kli-nik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul da-lam prektek klinik sehari-hari.

5. Monitoring pemilihan obat, kebiasaan resep (prescribinghabit) dan penggunaan informasi obat.

Konsultasi farmakologik tidak perlu untuk setiap kasus.Mungkin prioritas utama adalah kasus-kasus serius, atau me-ngancam kehidupan (life threatening) yang perlu penanganansecara intensif. Pertanggungan jawab penanganan penderitatetap berada di tangan klinikus. Konsultasi farmakologikhanya sebagai salah satu sistem pendukung (back up system),sehingga klinikus harus benar-benar mempertimbangkan semuakemungkinan dari saran-saran yang diterima dalam konsultasi.

Kapan, di man dan bagaimana mekanisme konsultasi diorganisir dan dikerjakan akan sangat tergantung pada keada-an masing-masing tempat dan juga kegiatan-kegiatan akademiklain yang dijalankan. Tetapi yang mungkin paling bermanfaatuntuk dikembangkan adalah unit-unit ilmu penyakit dalam,ilmu kesehatan anak, kemudian ilmu bedah, kebidanan dan ne-urologi. Hal ini membatasi kemungkinan unit-unit lain.

Karena kegiatan mekanisme konsultasi sebenarnya me-nyangkut hubungan antar orang, diperlukan kesiapan-kesiapan

Pertimbangan-pertimbangan1. Kecocokkan (kompatibilitas) antaramungkinan terjadinya efek buruk)2. Kompatibilitas antar obat (intereksi)3. Pertimbangan masak-masak keputusan 4.a di atas.Tindakan1. Menulis resep/instruksi pengobatan2. Instruksi-instruksi khususjika perlu :

a. Efek samping yang mungkin timbulb. Cara pemberian obat

3. Evaluasi (follow-up)a. Dari gejala yang ada. Titrasi-dosisb. Ketaatanminum obat perlu dikontrol.

Page 57: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

dari pihak yang terlihat. Seperti dikatakan di depan, darifarmakologi diperlukan kesiapan-kesiapan dalam alternatif-alternatif pemilihan obat, individualisasi dosis monitoring man-faat klinik, efek buruk, penilaian strategi terapeutk, dan lain-lain. Selain kesiapan-kesiapan dalam bidang terapeutika, pe-ningkatan sarana laboratorium farmakologi klinik untuk anali-sis kadar obat-obat tertentu dalam cairan biologik perlu diper-hatkan.

PEMBAKUAN STRATEGI TERAPIDi pusat-pusat pelayanan atau pusat-pusat pendidiikan dok-

tor, biasanya berdasarkan masalah-masalah penyakit yang di-hadapi, telah dibuat suatu strategi terapi standar untuk masing-masing jenis penyakit. Strategi terapeutik dibuat berdasarkantulisan-tulisan atau laporan-laporan penelitian yang dimuatdalam berkla-berkala kedokteran, atau berdasarkan tambahanpengalaman setempat yang telah di telaah secara tuntas. Evalu-asi pengalaman setempat akan banyak bermanfaat dalam mengembangkan standar terapeutik di masing-masing rumah-sakit. Misalnya, dalam menghadapi satu kasus meningitis padaanak, sebelum hasil pemerlksaan mikrobiologk untuk me-mastkan kuman penyebabnya dan pola sensitifitas kuman ter-hadap antibiotika di terima, di mana ini akan makan waktu be-berapa hari, dokter harus secepat mungkin memberikan tera-pi. Bagaknana dokter harus memilih antibiotika yang tepat?Pemilihan alternatif sebelum ada kepastian hasil laboratorium,dibuat berdasarkan pustaka dan perkiraan-perkiraan ilmiah(scfentfic guess) berdasarkan data epedemiologik maupunpola sensitifitas se tempat yang dikumpulkan dari data sebe-lumnya di Rumah-Sakit yang bersangkutan. Ketidak-cocokandengan hasil laboratorium, bisa dlkoreksi kemudian denganmelihat evaluasi terapeutik dari penderita yang bersangkutan.

Strategi-strategi terapeutik untuk tiap-tiap keadaan klinikyang dominan perlu dikembangkan, dan dinilai kembali dariwaktu ke waktu. Pertimbangan-pertimbangan farmakologi kli-ntk bisa dtberkan dalam pengembangan strategi terapeutikseperti ini dan dalam penelaahannya kembali. Hal ini langsung

atau tidak akan mendorong upaya peningkatan kualitas pera-watan penderita. Mekanisme konsultasi langsung akan berman-faat untuk setiap kali menilai strategi terapi yang sudah di-terima tersebut, berdasarkan pengalaman dari pasien ke pa-sien.

KESIMPULANSebagai penutup, bisa disimpulkan bahwa mekanisme kon-

sultasi famakologik langsung akan sedikit banyak membantudalam peningkatan kualitas terapi, dan di samping itu meru-pakan media yang sangat bermanfaat untuk pengajaran farina-kologi klinik melalui pengalaman.

Lingkup konsultasi diharapkan beranjak dari pemilihanobat, penentuan dan penyesuaian dosis, monitoring terapi,identifikasi efek samping dan evaluasi strategi terapi. Kerjasa-ma dari klinikus dan pihak farmakologi akan sangat menentu-kan bermanfaat atau tidaknya mekanisme ini.

KEPUSTAKAAN1. Halkin H. Principles of Clinical Pharmacology. IV. Bedside ClinicalPharmacology & Consultation. In : Lemberger, L. & Reidenberg, M.M.(eds). Procoodings of the Second World Conference of Clinical Pharma-cology & Therapeutics. Published by the American Society for Phar-macology and Experimental Therapeutics, Bethesda, Maryland 1984pp: 31-36.

2. Sjoqvist F. Borga 0 & Orme ME.Fundamentals of Clinical Pharmacology. In : Avery. G.S (ed) Drug Tre-atment - Principle and Practice of Clinical Pharmacology & Therapeu-tics. 2 nd ed. Sydney : Adis Press, pp : 1 - 61

3. Gross F. Clinical Pharmacology is an exporimental science. M.M.(eds).. Principles of Clinical Pharmacology & Therapeutics. Publishedby the American Society for Pharmacology and Expreimental Therape-utics. Bethesda, Maryland. 1984 pp : 316 - 330.4. World Health Organization. Clinical Pharmacology : Scope, Orga-

nization, Training. WHO Technical Report Series, No. 446, 1970.

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 57

Page 58: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Sekilas TentangSub Bidang Farmakokinetika

Bagian Penelitian dan PengembanganPT Kalbe Farma

LATAR BELAKANG PENDIRIANNYADengan dicapainya kemajuan-kemajuan yang pesat dalam

bidang farmakologi klinik, biofarmasi dan farmakokinetika,sekarang bisa diketahui bahwa :a). terdapat hubungan yang erat antara jumlah/konsentrasiobat dalam tubuh (pada "site of action") dengan intensitasefek yang ditimbulkannya.b). persyaratan beberapa sifat fisik dan kandungan zat aktifsediaan tidak cukup untuk bisa menjamin tercapainya efekti-fitas obat yang diharapkan. Dengan kata lain, dua sediaan(dengan komposisi zat aktif dan bentuk sediaan yang sama)yang ekivalen dalam hal persyaratan tersebut belum tentudapat menghasilkan ketersediaan zat aktif dalam tubuh (bio-availabilitas) yang ekivalen.Sesuai dengan motto PT. Kalbe Farma : "Mengabdikan ilmuuntuk kesehatan dan kesejahteraan", maka adanya perkem-bangan ilmu-ilmu tadi telah dengan sendirinya menyebabkanperubahan pandangan dalam menilai kualitas sediaan yangdihasilkan. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh obat-obatyang diproduksi tidak lagi cukup hanya dengan memenuhipersyaratan-persyaratan resmi yang ada saja (kandungan zat -

aktif, sifat fisik sediaan, dll.) tetapi harus benar-benar memilikipotensi terapeutik yang tinggi : bioavailabilitas yang baik.

Dengan demikian, pada awal tahun 1982 pada saat SubBidang Farmakologi dinaikkan posisinya menjadi BidangFarmakologi, lahirlah beberapa Sub Bidang yang berada di ba-wah Bidang Farmakologi, salah satu diantaranya adalah SubBidang Farmakokinetika yang tugas utamanya melaksanakanuji bioavailabilitas.

Pada tahap selanjutnya, fungsi -fungsi yang dijalankan SubBidang ini ternyata mengalami perkembangan, di antaranyaadalah : pemeriksaan kecepatan disolusi zat aktif dari sediaan(dissolution rate), sehingga kalau melihat fungsinya yang adasekarang ini, Sub Bidang ini mungkin akan lebih tepat kalaudisebut Sub Bidang Biofarmasi & Farmakokinetika.

Gambar 1. Staf peneliti pada sub bidang Biofarmasi & Farmako-kinetika bergambar bersama Kepala Bidang Farmakologi dan ManagerPuslitbang. Berdiri dari kiri ke kanan : Dr. A. Hadyana P. (ManagerPuslitbang), dr. Bambang Suharto (Ka. Bid. Farmakologi), Dr. YeyetCahyati S., Apt. (Konsultan, Staf. Pengajar pada Jurusan FarmasiFMIPA ITB), Drs. Victor S. Ringoringo (Ka. Sub. Bid. perioda 1982—1984); duduk dari kiri ke kanan : Yuniwati A. Chandra, Erni Suwaro,dan Tuti Resmiati (analis), Dra. Umi BS Apt. (Ka. Sub. Bid. Bio-farmasi & Farmakokinetika sejak 1984 s/d sekarang).

FUNGSI -FUNGSI YANG SUDAH DIJALANKANSesuai dengan kedudukan PT. KALBE FARMA sebagai se-buah industri farmasi yang memproduksi sediaan obat jadi,fungsi -fungsi yang sudah dilaksanakan oleh Sub Bidang inimeliputi :1). Pemilihan bahan baku zat aktif (sumbernya) yang palingbaik dengan melihat kecepatan disolusinya. Sebagaimana kitatahu, suatu senyawa aktif yang dihasilkan/diproduksi olehindustri -industri yang berbeda belum tentu berkualitas sama,sedangkan kualitas bahan baku yang dipergunakan akan dapatmempengaruhi kualitas sediaan yang dihasilkan. Kecepatan

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 59: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Gambar 2. "HANSON Dissolution Tester", alat uji laju disolusitype USP dengan kapasitas 6 labu yang dilengkapi dengan peralatansampling dan penggantian cairan dissolusi otomatis, yang sudah di-miliki oleh Sub bidang Biofarmasi & Farmakokinetika PuslitbangPT. Kalbe Farma.

Gambar 3. Kamar dan peralatan khusus untuk pengambilan sampelcairan biologis dari sukarelawan.disolusi zat aktif dari sediaan dalam saluran pencernaan ma-kanan cukup erat kaitannya dengan kecepatan absorbsi obattersebut dalam tubuh.2). Evaluasi sifat/kualitas sediaan dalam tahap pengembangan.Sub Bidang Biofarmasi. & Farmakokinetika ini ikut membantubidang formulasi dalam pengembangan dan perbaikan formulasediaan, khususnya sediaan padat (tablet, kapsul, kaplet)dengan efek sistemik yang digunakan secara oral, yaitu denganmenentukan profil disolusi zat aktif dari masing-masingformula yang dicoba. Data ini kemudian akan menjadi suatubahan pertimbangan untuk bidang formulasi dalam menentu-kan langkah-langkah selanjutnya mengenai formula -formulayang sudah dikembangkan tadi. Apakah harus ada perbaikanlagi, atau langsung ke penentuan bioavailabilitas dengan me-milih satu atau beberapa formula yang terbaik.3). Penilaian tahap akhir mutu sediaan. Sediaan - sediaan yangformulasinya sudah selesai dan siap untuk diproduksi dalamskala besar untuk mulai dipasarkan, khususnya sediaan-sedia-an dalam bentuk padat yang digunakan secara oral, diperiksa

mutunya dengan menilai bioavailabilitasnya. Penilaian bio-availabilitas dilakukan secara komparatif dengan membanding-kannya terhadap bioavailabilitas sediaan lain (dalam bentuksediaan dan komposisi zat aktif yang sama), yang diproduksioleh pabrik farmasi lain yang patut dijadikan sebagai patokanyang baik. Penelitian ini dilakukan terhadap sukarelawansehat, di mana terhadap mereka ini terlebih dahulu dijelaskanbeberapa hal yang meliputi : tujuan penelitian, obat yangdicoba, efek samping yang mungkin terjadi, tanggung jawabperusahaan, dan lain-lain. Sebelum penelitian dimulai.4). Penilaian ketepatan aturan dosis (dosage regimen). Denganmengetahui therapeutic window dan data farmakokinetika-nya, aturan dosis obat dinilai kembali, apakah dosis tidak ter-lalu besar sehingga pemakaian obat tidak efisien atau malahmungkin akan timbul efek-efek yang tidak diharapkan, ataumungkin terlalu kecil sehingga obat tidak akan bekerja secaraefektif.

Data farmakokinetika yang dipakai di sini adalah data far-makokinetika yang telah dihasilkan dan diamati pada orang-orang Indonesia sendiri, yang penelitiannya dilakukan olehPT. Kalbe Farma. Sebugaimana kita ketahui, data farma-kokinetika suatu obat yang dihasilkan oleh orang-orang Baratbelum tentu sama dengan yang dihasilkan oleh orang-orangIndonesia. Oleh karena itu, aturan dosis yang sudah disusununtuk orang-orang Barat belum tentu sama dengan yang di-perlukan oleh orang-orang Indonesia. Dengan demikian, se-benarnya aturan pemakaian obat di Indonsia harus didasar-kan kepada kondisi-kondisi yang ada di Indonesia sendiri.Hal inilah yang sedang dirintis oleh PT. Kalbe Farina dalamrangka pemakaian obat yang lebih rasional di negara kita.

SARANA YANG TERSEDIAUntuk melaksanakan fungsi -fungsi di atas tadi, Sub Bidang

Biofarmasi & Farmakokinetika telah melengkapi diri dengansarana - sarana yang diperlukan, baik ruang dan peralatan mau-pun sumber daya manusia.

RuanganSampai dengan saat ini, Sub Bidang Biofarmasi & Farma-

Gambar 4. "DESAGA Tri-dimensional Shaker ", pengocok tigadimensi yang khusus digunakan untuk ekstraksi senyawa aktif daricairan biologis.

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 59

Page 60: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Gambar 5.. Satu set alat penguapan pelarut organik yang dirancangsendiri, yang memakai sistem hampa udara dan aliran gas nitrogen disamping thermostat sendiri.

kokinetika telah memiliki beberapa ruangan sendiri untukpelaksanaan aktivitasnya, di antaranya adalah ruang labora-torium untuk penyiapan sampel (sample preparation) dananalisis, dan "ruang sukarelawan" yang digunakan untuk pem-berian sampel obat dan pengambilan sampel cairan biologis.Peralatan

Sub Bidang ini sudah memiliki seju mlah peralatan yangcukup lengkap untuk mclaksanakan tugas -tugasnya. Peralat-an yang tersedia dapat diperinci sebagai berikut :

• Peralatan sampling dan penyimpanan sampel meliputisejumlah meubelair untuk sukarelawan, lemari pendingin(freezer), dan lain-lain.

• Peralatan untuk pengolahan dan penyiapan sampel :alat sentrifus, alat pengocok tiga dimensi (tridimensionalshaker), tabung ekstrasksi khusus (dapat dipakai sekaligusuntuk pengocokan, sentrifugasi, penguapan pelarut, dan untukrekonstitusi ekstrak), satu set alat penguapan pelarut (terdiridari pemanas, sistem hampa dan sistem aliran gas nitrogen),thermostat, oven, whirlimixer, dan lain-lain.

• Peralatan untuk analisis : seperangkat peralatan untukanalisis mikrobiologik (cawan petri, inkubator, dan lain -lain),dan peralatan analisis lain yang ditunjang oleh Sub BidangStandardisasi seperti : kromatograf cair penampilan tinggi(HPLC), kromatograf gas (GC), TLC-Scanner, spektrofoto-meter UV-Visible, spektrofotometer serapan atom (AAS),

• Alat disolusi (dissolution tester) type USP, modelHanson, kapasitas 6 labu dengan alat pengambil dan peng-ganti cairan disolusi yang otomatis.

• Alat simulasi (absorption simulator) SARTORIUS.• Peralatan untuk pengolahan data. Untuk pengolahan

data Sub Bidang Farmakokinetika memiliki kalkulator yangdapat diprogram (programmable calculator) dan mendapatbantuan dari bagian pengolahan data elektronik (ElectronicalData Processing) untuk penggunaan komputer, khususnyauntuk keperluan penentuan parameter farmakokinetikadengan cara regresi non-linier dan untuk simulasi perkembang-an kadar obat dalam tubuh.

PersonaliaSejak mulai berdiri sampai dengan sekarang, Sub Bidang

ini dipnnpin oleh seorang tenaga Apoteker yang dibantu be-berapa orang tenaga analis.

Karena fungsinya yang semakin meningkat sehingga masa-lah-masalah yang dihadapi menjadi lebih banyak, pada saatini Sub Bidang Biofarmasi & Farmakokinetika mendapattambahan bantuan tenaga, yaitu seorang tenaga Apotekeryang telah mendapatkan pendidikan khusus dalam bidangfarmakokinetika. Bantuan lainnya adalah bantuan pelayanandariSub Bidang Bio-analitik, dalam hal pengembangan metodaanalisis dan pelaksanaan analisis yang sebenarnya yang dilaku-kan secara fisikokimia (HPLC, CC, TLC-spektrofotodensito-metri, dan lain-lain).HASIL-HASIL YANG SUDAH DICAPAI

Telah cukup banyak penelitian- penelitian yang dilakukanoleh Sub Bidang Farmakokinetika, khususnya penelitian da-lam hal bioavailabilitas.

Penelitian bioavailabilitas yang sudah diselesaikan di antara-nya adalah penelitian bioavailabilitas untuk sediaan : ampisilinkapsul dan kaplet (Kalpicilin ®), amoksisilin kapsul dan kaplet(Kalmoxilin®), eritromisin stearat kapsul dan kaplet (Kalthro-cun ®), furosemid tablet (Salurix®), Josamisin tablet (Josa-

Gambar 6. Kromatograf cair penampilan tinggi (HPLC) MerekHewlett-Packard type 1084 B, satu di antara beberapa alat analisismodern yang sudah dimiliki oleh Puslitbang PT. Kalbe Farma, yangjuga digunakan untuk penentuan kadar zat aktif terapeutik dalam cair-an biologis.

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 61: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Gambar 7. Salah satu =sin komputer milik PT. Kalbe Farina yangdigunakan untuk identifikasi parameter farmakokinetik dcngan cararcgresinon-linier.

xin® 1, parasetamol tablet (Procold®, rifampisin kapsul(Kalrifam®), dan lain-lain.

Hasil-hasil tersebut di atas sudah dipublikasikan baik padaseminar-seminar maupun pada majalah-majalah yang sifatnyailmiah. Di antaranya adalah :

1. Victor SR, Bioavailabilitas komparatif dua preparat kapsul Amoksi-silin 250 mg, Pekan Ilmiah & Simposium Fakultas Farmasi UGM,Yogyakarta. September 1981.

2. Victor SR, Bioavailabilitas komparatif dua preparat kapsul Rifam-pisin 300 mg, Kongres Nasional Mikrobiologi ke 3, Jakarta, 26 –28 Nopcmber 1981.

3. Victor SR, Ern Suwaro dan Yuniwati ACh, Bioavailabilitas kom-paratif tiga preparat tablet ampisilin 500 mg, Kongres Ilmiah Far-masi Nasional ke IV, Jakarta, 20 – 22 Januari 1983.

4. Victor SR, Erni Suwaro dan Yuniwati ACh, Bioavailabilitas kom-paratif tiga preparat kapsul ampisilin 250 mg, Kongres Nasionalke V Ikatan Ahli Farmakologi Indonesia, Semarang, 27 Nopember– 1 Desember 1983.

5. Victor SR, John Tilly dan Erni Suwaro, Penetapan bioavailabilitaskomparatif dua preparat tablet ampisilin 500 mg dengan metodaekskresi urin kumulatif, Kongres Ilmiah Farmasi Nasional ke V,Bandung, 26 – 28 Agustus 1984.

6. Victor SR, Bioavailabilitas komparatif tiga preparat Amoksisilin500 mg, Majalah Farmakologi Indonesia & Terapi, Th. II (1), 1985,17.21.

(Yeyet CahyatiS.)

(Sambungan dari halaman 25)

Better Savety of Drugs and Pharmaceutical Products. ElsevierBiomedical Press, 1980: 117–42.

2.Ritschel WA. Handbook of Basic Pharmacokinetics, first edition,Hamilton: Drug Intelligence Publication Inc, 1976 : 143–59.

3.Rowland M & Tozer TN. Clinical Pharmacokinetics: concepts andapplications, Philadelphia: Lea & Febiger, 1980 : 48–64.

4.Brun C, Hilden T & Raaschou F. The significance of the differencein systemic arterial and venous blood concentrations in renalclearance methods. J Clin Invest, 1949 : 144–52.

5.Tucker GT. Measurement of the renal clearance of drugs. Br J ClinPharmac, 1981; 12 : 761–70.

6.Suryawati S & Santoso B. Penurunan kecepatan eliminasi renalsalisilat karena pra perlakuan propranolol. In press: Majalah Farma-kologi & Terapi Indonesia, 1985b.

7.Rane A & Wilson JT. Clinical pharmacokinetics in infants andchildren. Clin Pharmacokin, 1976; 1 : 2–24.

8.Crooke J, O'Malley K & Stevenson IH. Pharmacokinetics in theelderly. Clin Pharmacokin, 1976; 1 : 280–96.

9.Beckett AH & Rowland M. Urinal)) excretion kinetics of methyl-amphetamine in man. Nature, 1965; 206 : 1260–1.

10.Suryawati S & Santoso B. Pengaruh dosis terhadap eliminasi renalsalisilat, sulfadiazin dan sulfametazin. Akan dipublikasi, 1985a.

(Sambungan dari halaman 20)

2. VF Smolen. Quantitative determinations of drug bioavailabilityand biokinetic behavior from pharmacological - data for ophthalmicand oral administrations of a mydriatic drug, J Pharm Sci 1971;60;354 – 365.

3. VF Smolen, WA Weigand . Drug bioavailability and pharmacokineticanalysis from pharmacological data, J. Pharmacokin Biopharm1973;1: 329 -- 335.

4. RL Wolen, A Rubin BE Rodda, AS Ridolfo, CM Gruber Jr. Pro-blems associated with bioavailability and dosage regimen studies inman, J Pharmacokin Biopharm. 1974; 2 : 365 – 377.

5. J Lindenbaum, MH Mellow, MO Blackstone, VP Butler Jr. Variationin biologic availability of digoxin from four preparations, New EnglJ Med 1971; 285 – 1344 – 47.

6. Blair DC, Barnes RW, Wildner EL, Murray WJ. Biological availabilityof oxytetracycline hydrochloride capsules. A comparison of allmanufacturing sources supplying the United States market, JAMA1971; 215 : 251 – 254.

7. WH Hauck, S Anderson. A New Statistical procedure for testingequivalence in two - group comparative bioavailability trials. JPharmacokin Biopharm. 1984;12 : 83 – 117.

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 61

Page 62: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Cara Menentukan KualitasProtein Suatu Bahan Makanan

Dra. Oey Kam NioUnit Penelitian Gizi Diponegoro

dariBadan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Departemen Kesehatan

Kualitas suatu protein bahan makanan ditentukan oleh polaasam aminonya, serta jumlah masing - masing asam aminoesensialnya. Asamamino esensial, yaitu asamamino yang tidakdapat disintesis oleh tubuh kita sendiri, dan dengan demikianharus diperoleh dari makanan sehari-hari adalah : valin, leusin,iso-leusin, lisin, triptofan, metionin, fenilalanin, threonin.

Asam amino non-esensial juga diperlukan oleh tubuh, te-tapi karma dapat disintesis oleh tubuh sendiri, jadi tak mutlakharus ada dalam makanan sehari-hari. Kualitas suatu proteinnrakanan akan semakin tinggi, bola pola asam aminonya se-makin menyamai pola asamamino protein tubulr kita. Kualitassuatu protein dapat ditentukan dengan beberapa cara, misal-nya cara Knnia dan cara Biologik.

CARA KIMIAPenentuan Chemical Score atau Amino Acid Score dengan

menggunakan kadar asam amino (esensial) dapat memberikanperkiraan tentang kualitas protein, tapi tidak tentang bio-availability asam-aminonya.

Dengan cara ini, sesudah kadar masing-masing asam-aminoesensial-nya ditentukan, kadar ini dibandingkan dengan yangtertera pada suatu reference protein. Sebagai Reference pro-tein sekarang dipakai whole hen's egg protein atau Cow'smilk protein1 . Sebelumnya digunakan Provisional Amino AcidPattern (PAAP) dari FAO/WHO. PAAP adalah suatu "pro-tein" hepotetis yang mempunyai nilai biologik yang tinggidan pola asam amino yang spesifik2. First limiting aminoacid adalah asam amino esensial yang juinlahnya terkecildibanding dengan jumlah asam amino yang sama yang adapada suatu reference protein. First limiting amino acid inidapat dipakai untuk menghitung chemical score 3 atau aminoacid score 4 yang merupakan suatu ramalan ilmiah mengenaikualitas suatu protein. Asam amino dengan kadar yang keduaterkecil dibandingkan dengan yang ada pada reference proteindinamakan second limiting amino acid, dan seterusnya.

Dengan cara kimia ini tidak diperhitungkan besarnya dayacerna (digestibility) protein, dan pula apakah asam amino ber-ada dalam bentuk yang dapat dipakai tubulr (bio-availability).Juga perlu perhatian bahwa pola asam amino suatu proteinakan berubah dari keadaan semula, sesudah mengalami pe-nyerapan dan pemecahan (absorpsi dan pencernaan).

CARA BIOLOGIKBinatang percobaan untuk keperluan ini, yang umum di-

pakai adalah tikus putih (albino rats), tetapi dapat dipakaijuga binatang lain, misalnya ayam. Tikus putih dipakai karenatikus putih seperti juga manusia, adalah omnivor, dan telahterbukti bahwa kebutuhan akan asarn amino esensialnya me-nyamai kebutuhan manusia, khususnya anak-anak. Di sampingitu pemeliharaannya relatif murah, misalnya makanan dankandang, pula dapat berkembang biak dengan pesat. Tikuslaboratorium dalam keadaan sehat dapat hidup 2 - 3 tahun.Satu minggu umur tikus putih ekivalen dengan 30 mingguumur manusia, sehingga pengaruh zat gizi terhadap pertum-buhan dapat dipelajari dengan cepat pada tikus putih.

Untuk penelitian ilmiah harus dipakai tikus putih dariinbred strain, dengan syarat tertentu mengenai usia, kelamindan berat badan. Juga harus memenuhi syarat defined labo-ratory animal. Artinya apabila genotype, phenotype dandramatype-nya telah konstan.

Syarat-syarat ini perlu diperhatikan, karena hasil yangdiperoleh harus dapat dibandingkan dengan hasil lain daripenentuan sendiri (reproducibility). Juga untuk dapat di-bandingkan dengan hasil peneliti lain yang menggunakantikus-tikus putih yang sama. Tikus putih yang memcnuhisyarat ini (defined) tcrsedia di Unit Penelitian Gizi Dipone-goro dari Badan Penclitian dan Pengembangan Kesehatan,Dep Ke, Jakarta.

Tikus putih ini sejak tahun 1954 khusus dibiakkan di UnitPenelitian Gizi Diponegoro, dan dinamakan Lembaga Makanan

62 Ccrmin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 63: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Rakyat (LMR)-strain, asal Wistar ( Wistar derived).Ada beberapa cara biologik untuk menentukan kualitas

suatu protein makanan, misalnya BV atau Biological Value,PER atau Protein Efficiency Ratio, dan NPU atau Net ProteinUtilization.

Syarat untuk penentuan PER5 dan NPU 6,7 dengan tikusputih adalah sebagai berikut :

Protein EfficiencyRatio (P.E.R.)Kenaikan berat

badan (g)Jumlah protein yang

dimakan (g)

Net ProteinUtilization (N.P.U.)

N yang ditahantubuh (g)

N yang dimakan (g)Standard | Operative

Lamanya penelitianBinatang percobaan

UmurKelamin

Induk

Tempat

Makanan eksperimen :(experimental diet)a) Tanpa protein

(Protein free diet)

b) Reference dietSusu bubuk skimKadar protein

c) Makanan percobaan(Test diet)Kadar protein

Pada akhir percobaan

hasil penunjukan :

4 mingguTikus putih muda

(inbred)28 hari

Biasanya semua jantan

Anak tikus putihbeberapa indukTikus dalam satu

kandang

Tidak dipakai untukPER tetapi dipakai

untuk NPR

10%

10%

Tikus tetap hidup

Efek protein terhadappertumbuhan

10 hari

30 ± 1 hariDapat dipakai jantan

atau betinadiperoleh dari :

4 induk4 tikus dari tiap indukditempatkan dalam satukandang dan dianggapsebagai satu kesatuan.

Diperlukan untuk se-tiap penentuan (untuk

perhitungan)

10%

10% > 10%

Tikus dimatikan untukpenentuan kadar N-tubuh (dikeringkan da-lam oven pada temp.105oC) selama 3 hari.Kualitas Efisiensiprotein penggunaan

protein da-lam tubuh.

PROTEIN EFFICIENCYRATIO. 5

Pengertian PER telah diperkenalkan oleh Osborne, padatahun 1919, dan hingga sekarang masih tetap dipakai secararesmi di USA dan Canada untuk evaluasi kualitas suatu pro-tein, walaupun memerlukan waktu yang lama,yaitu 4 minggu.

Kecepatan pertumbuhan suatu binatang percobaan dalamkondisi tertentu dapat dipakai sebagai ukuran untuk kualitassuatu protein makanan. Bila makanan kekurangan akan satuatau lebih dari satu asam amino esensial, maka pertumbuhanakan lambat atau berhenti sama sekali.

Definisi Protein "Efisiensi Rasio" adalah sebagai berikut :Untuk tikus :

Salah satu kelemahan PER adalah, dianggapnya seluruh pro-tein yang dimakan dipakai untuk pertumbuhan, dan tidak ada

yang untuk mempertahankan jaringan-jaringan yang sudah ada(maintenance). Untuk mengatasi kelemahan ini, diperkenalkansuatu pengertian baru yaitu Net Protein Ratio8 dengandefinisi :

Kenaikan berat badan (gram) + Penurunan berat badan kelom-pok tikus dengan makanan tanpa protein (gram)

NPR=Jumlah protein yang dimakan (gram)

Penentuan NPR sama seperti penentuan PER, akan tetapi di-tambah dengan kelompok tikus yang diberi makanan tanpaprotein (protein free diet).

Hasil PER selalu dikemukakan dengan menunjukkan kadarprotein yang ada pada tes diet (umumnya 10%), dan dibanding(dikonversi) dengan hasil reference protein yang umumnyaterdiri dari reference casein. Karena reference casein yang baiksulit diperoleh di Jakarta, maka digunakan sebagai referenceprotein itu susu bubuk skim, dengan pengertian bahwa susububuk skim yang digunakan adalah susu bubuk skim yangmasih baru dan ditranspor /disimpan dalam kondisi yangsesuai.

NILAI BIOLOGIK (BIOLOGICAL VALUE), DAN NET PRO-TEIN UTILIZATION (NPU).

Pengertian Nilai Biologik atau Biological Value BV) 9 sudahdiperkenalkan oleh Thomas sejak tahun 1909. Angka nilaibiologik menunjukkan persentase nitrogen yang dapat di-tahan oleh tubuh dari yang di absorpsi.

atau : menurut Mitchell (1923 1924) sebagai berikut

Penentuan angka Nilai Biologik merupakan suatu balancestudy, dengan harus pula ditentukan kadar nitrogen dalam tin-ja dan air seni. lni suatu prosedur yang sangat memakan wak-tu. Dalam rumus Nilai Biologik tidak diperhitungkan DayaCerna (Digestibility) protein, sedangkan daya cerna merupa-kan faktor penting, apakah suatu protein besar manfaatnyauntuk tubuh atau tidak.Definisi untuk Digestibility (D) 10 atau Daya Cerna adalahsebagai berikut

I = Jumlah N F = Nitrogen tinja tikus (dengan makanan percobaan)Fk = Nitrogen tinja metabolik (dari tinja tikus dengan makanan tanpa

protein)U = Nitrogen air seni tikus (dengan makanan percobaan)Uk = Nitrogen air seni endogen (air seni tikus dengan makanan tanpa

protein).

Khusus untuk menyederhanakan seluruh prosedur tersebut,Miller dan Bender telah memperkenalkan pengertian NetProtein Utilization. 6,7 yang mempunyai rumus sebagai ber-ikut :- NPU = B.V. x D

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 63

| |

| |

| | | |

Page 64: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Metoda ini dibanding dengan balance-study asli dari Mitchelljauh lebih sederhana dengan memberi hasil yang cukup ber-guna untuk screening nilai berbagai jenis protein.

dengan pengertian :B = Nitrogen tubuh tikus dengan makanan percobaan (tes diet)I = Jumlah Nitrogen yang dimakan tikus dengan makanan percobaan

(tes diet)Bk = Nitrogen tubuh tikus dengan makanan tanpa protein (protein

free diet)Ik = Jumlah Nitrogen yang dimakan tikus . dengan makanan tanpa

protein (protein free diet).

Menurut Miller dan Bender7, penentuan nitrogen tubuhtikus tak perlu ditentukan secara langsung, karena untuksuatu tikus putih inbred perbandingan N/H 2 0 adalah konstan,sehingga cukup dengan menentukan kadar H 2O dalam tubuhtikus pada akhir percobaan.

Y dapat dihitung dengan formula

log (4.8 — Y) = 0.437 — 1.0123 XX : umur tikus dalam hari pada akhir percobaan.

Berlakunya perbandingan N____H20

konstan harus dibuktikan

dahulu untuk tiap strain tikus yang dipakai.Beberapa contoh hasil NPU-standar dan NPU -operative yangdiperoleh di Unit Penelitian Gizi Diponegoro, Badan Peneliti-an dan Pengembangan Kesehatan, Dep Kes, Jakarta.

NPU.standardWhole Hen's Egg 95Whole Milk Powder, Cow's 80 — 90Skim Milk Powder, good quality 80 — 90

bad quality(Yellow colour) 60

Viobin fish protein concentrate 82Ikan kecil kering (lokal market) 61Kacang kedela, rebus dan

dikeringkan 50 — 60Tempe 50 — 60

Kacang tanah, goreng 50Oncom kacang tanah

Bahan makanan campurankaya akan protein :

50

NPU-operativeNPU-standard

Corn Soy Milk (CSM) 69 53Wheat Soy Beverage (WSB) 53 46

64 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

PENGGUNAAN PRAKTIS NPU ADALAH :Evaluasi kualitas protein

1. Bahan makanan kaya akan protein : — asal nabati — asal hewani

2. Limba industri, yang murah dan lokal dapat diperolehseperti : — ampas kelapa

— ampas kacang kedela (ampas pembuatan tahu)— ampas kacang tanah

cottonseed mealkapokseed meal

biji karetbekatul beras (defatted)

3. Campuran (1) dan (2).4. Bila campuran bahan-bahan makanan ditambah dengan

asam-asam amino sintetis.Meramalkan secara ilmiah—Ketetapan penggunaan (suitability) dari campuran bahanmakanan untuk : infant's milk formulas.

weaning foodsNilai gizi (protein) makanan sehari-hari penduduk di bawahgaris kemiskinan (dinyatakan sebagai NDpCals%).

Menentukan naik atau turunnya nilai gizi (protein) suatumakanan selama pengolahan, penyimpanan dan lain-lain.

KEPUSTAKAAN

1. Ross Hackler L. In Vitro Indices: Relationships to Estimating Pro-tein Value for teh Human. In: Evaluation of Protein for Humans,Bodwell CE (ed). Westport-Connecticut-USA: The AVI PublishingCompany Inc. 1976; 55-67.

2. FAO, Nutrition Studies No. 16, 1957.3. Block RJ and Mitchell HH. The Correlation of the Amino Acid

Composition of Protein with Their Nutritive Value. Nutr AbstRev. 1946—1947; 1,6: 249-78.

4. FAO/WHO. Energy and Protein Requirements. WHO Tech ReptSer, Geneva, Switzerland: World Health Organization, 1973; 522.

5. AOAC. Official Methods of Analysis, 12 th ed. Washington DC:Official Agricultural Chemists. 1975.

6. Bender AE and Doell BH. Note on the Determination of NetProtein Utilization by Carcass Analysis. Brit J Nutr. 1957; 11:138-43.

7. Miller DS and Bender AE. The Determination of The Net Utili-zation of Proteins by a Shirtened Method. Brit J Nutr, 1955; 9:382-88.

8. Bender AE and Doell BH. Biological Evaluation of Proteins: ANew Aspect. Brit J Nutr, 1957; 11: 140.

9. Mitchell HH. A Method for Determining The Biological Value ofProtein. J Biol Chem, 1923—1924; 58: 873.

10. Bressani R. Human Assays and Application. In: Evaluation of Pro-teins for Humans, Bodwell CE (ed) Westport-Connecticut-USA:The AVI Publishing Company Inc. 1976; 86-89.

11. Nomura T and Tajima Y Defined Laboratory Animals. In: Ad-vanced in Pharmacology and Therapeutics II. Yoshida H, HagiharaY and Ebashi S (ed). Oxford and New York: Pergamon Press.1982;5: 325-33.

Page 65: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

PERKEMBANGAN

Bunuh Diri BersamaBANYAK kisah rakyat tentang percintaan yang diakhiri

dengan mati bersama. Ada Sam Pek Eng Tai, ada PranacitraRara Mendut , kita kenal juga tragedi Romeo & Yuliet-nyaWilliam Shakespeare. Namun, dari segi kedokteran, bagaimanaini dapat diterangkan?

Bunuh diri bersama — keputusan dua orang untuk matibersama — jarang terjadi. Cohen, dengan penelitiannya yangditerbitkan tahun 1961, masih tetap merupakan nara-sumberyang paling baik. Ia hanya menemukan 58 kejadian demiki-an di Inggris selama tahun 1955 — 8. Kematian ini hanya me-rupakan 0,6% dari seluruh angka bunuh diri dalam masa itu.Sainsbury, yang lebih dulu meneliti masalah ini, menemukan8 kematian dari 4 kejadian bunuh diri bersama di tahun 1936-8, dari seluruh angka bunuh diri, yaitu 390.

Kebanyakan orang yang melakukan bunuh-diri-bersamamati, sehingga penelitian menjadi sulit. Data-data demografikdapat dicatat, dan catatan/pesan-pesan pelakunya — kalau ada— dapat memberikan informasi yang berharga; namun terlalutergesa-gesa mengasumsi bahwa pernyataan dari mereka yangberhasil diselamatkan ini kadang sulit — atau tak mungkin —dibedakan dari pembunuhan disertai dengan bunuh diri, ataubahkan dari kecelakaan.

Suatu artikel baru-baru ini mencoba merangkum tulisanWest dan penelitian dari orang-orang yang selamat.Dinyatakanbahwa penganjur perbuatan itu biasanya pria, secara psikiatriksakit jiwa dengan depresi psikotik, dan biasanya mati. Ia punyariwayat sakit jiwa. Orang yang selamat umumnya wanita,yang tak punya riwayat perilaku suisidal, dan secara psikiatriktidak sakit jiwa. Si penganjur itu sering memberi paksaan dantekanan yang besar sekali pada pasangannya. Di sini tampakpersamaan antara si penganjur dengan pembunuh yangkemudian bunuh diri, suatu peristiwa yang jauh lebih seringterjadi. Pada kasus ini pun pelakunya umumnya pria, denganriwayat penyakit psikiatrik, serta riwayat perilaku suisidal. Te-lah lama West mencatat hubungan erat antara bunuh diri danpembunuhan ipi: "satu dari tiga pembunuhan diikuti denganbunuh diri."

Dokter, apalagi ahli psikiatri, sering prihatin akan risikobunuh diri pada mereka yang menderita penyakit-penyakitdepresif. Adanya riwayat keluarga, usia setengah baya atauusia tua, adanya penyakit fisik, usaha bunuh diri sebelumnyadan hilangnya salah satu orang tua pada masa kanak-kanak,merupakan pertanda yang tak baik. Apakah pertanda dari bu-nuh-diri bersama — misalnya hubungan yang terlalu erat —perlu dicari? Seharusnya demikian. Terutama karena kita se-ring mengecilkan kemungkinan pembunuhan terhadap anggotakeluarga dekat.

Namun, selain agresi, ada juga motif lain dari bunuh diribersama itu. Lima dari contoh Cohen tak punya unsur agresi,melainkan pakta percintaan (meskipun salah satu pria tidakingin mati). Ia mencatat: "keputusan itu umumnya keputusanbersama." Catatan-catatan yang ditinggalkan hampir selalu

menyatakan bahwa keputusan itu keputusan bersama. Tapi,perlu diperhatikan bahwa inisiatif umumnya dimulai oleh satuorang, dan kadang kala perlu banyak paksaan. Kematian buda-yawan besar Arthur Koestler setahun yang lalu bersama istri-nya, yang tampaknya seperti bunuh diri bersama, sebenarnyamerupakan dua keputusan yang berbeda. Seperti halnya de-ngan Romeo dan Yuliet, yang bunuh diri berturut-turut, atasprakarsa sendiri-sendiri.

Mengingat hal-hal di atas, dokter perlu benaribenarmemperhatikan pasien yang menderita depresi berat. Potensiagresivitas dan potensi bunuh dirinya perlu diikuti dengan sek-sama.

Lancet 1984; 288:i,346 - 7

Mastektomi:sedikit mungkinsama dengan banyakSecara historis, mastektomi radikal, yang diperkenalkan sekitartahun 1900, ditujukan buat wanita dengan tumor yang besar.Belakangan, pemeriksaan menunjukkan adanya penyebaranlewat saluran getah bening dari tumor primer ke kelenjar-kelenjar aksila. Sehingga operasi besar tadi dibenarkan.

Ada konsensus umum bahwa kanker mulai sebagai penyakitlokal, menyebar secara langsung maupun lewat getah bening,dan secara bedah "dapat disembuhkan" sampai terjadi meta-statis jauh — yang saatnya tak diketahui. Konsep ini menye-babkan operasi makin lama makin besar, dengan asumsi bahwabila tumor primer dapat diangkat cukup cepat dan cukup luas,dengan kelenjar regional sekaligus, maka harapan hidup akanmeningkat.

Namun, setelah Perang Dunia II, sementara pencatatanpenderita tumor di negara-maju lebih cermat, analisa tabel-kehidupan (life-table analysis) menjadi alat pengukurnya, dandata yang lebih baik tentang harapan hidup dapat diperoleh.Data ini mulai menunjukkan bahwa survival tidak diperbaikidengan operasi yang lebih luas itu. Maka dilakukan berbagaipenelitian klinik terkontrol, secara acak dan multicenter,untuk menelitinya lebih jauh.

Salah satu penelitian itu dilakukan oleh Fischer B dkk. Iamenunjukkan, bahwa pada wanita dengan kelenjar aksila yangnegatif, pengangkatan buah dada secara sederhana (mastek-tomi total), dengan atau tanpa terapi sinar X, memberikanharapan hidup yang sama dengan mastektomi radikal yangmerusak badah itu. Pada wanita dengan kelenjar aksila positif,mastektomi radikal tidak memberikan survival yang lebih baikdaripada mastektomi sederhana plus iradiasi. Data ini me-nunjukkan bahwa pasien yang akan mati karena kanker payu-dara itu — meski telah dioperasi dan diiradiasi — telah mem-punyai mikrometastasis, yang membuat kedua jenis terapi itusama hasilnya. Kalau benar begini, maka keberhasilan mas-tektomi tadi pada pasien tadi harus diukur dengan ada tidak-

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 65

Page 66: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

nya rekurensi di dinding dada, di flap operasi, graft kulit,atau aksila. Penelitian tadi juga menunjukkan bahwa rekurensilokal meningkat dengan pasti dalam 5 tahun pertama setelahoperasi; setelah itu, peningkatannya minimal. Penelitian lainjuga menunjukkan bahwa rekurensi lokal lebih berhubungandengan status kelenjar aksila dibandingkan dengan proseduroperasi.

Lebih jauh lagi, angka kematian wanita dengan penyakitStadium I (kelenjar negatif) berbeda dengan yang Stadium II(kelenjar positif), pengamatan yang didukung oleh banyak pe-nelitian lain. Semua ini membawa kita kepada kemungkinanyang menarik: yaitu bahwa wanita dengan Stadium II bukan-lah mereka yang terlambat berobat ke dokter, melainkan me-reka yang tumornya lebih agresif, yang metastasis kelenjaraksilanya lebih nyata, yang metastasis jauhnya lebih cepatmuncul, yang rekurensi lokalnya lebih sering, dan yang kemati-annya lebih cepat datang.

Penelitian lebih lanjut oleh Fischer B dkk. meneliti apakahoperasi yang lebih kecil lagi, yaitu mastektomi segmental,dengan pinggir yang bebas tumor, dapat menggantikan mas-tektomi sederhana (simple mastectomy). Kelompok yangmenjalani mastektomi segmental ini dibagi lagi menjadi merekayang mendapat iradiasi pada sisa payudaranya dan merekayang tidak. Tidak begitu mengherankan bahwa ternyatasurvival 5 tahun bagi semua kelompok itu sama saja.

Masalah utama buat mastektomi segmental, setidaknyabuat 5 tahun pertama pasca bedah, bukanlah angka survival-nya, melainkan jumlah rekurensi lokal dan timbulnya kankerprimer kedua pada payudara yang sama. Di antara merekayang dapat hidup setelah 5 tahun, 28 persen dari yang tidakdiiradiasi dan 8 persen dari mereka yang menerima radiasimempunyai tumor payudara rekurens. Sayang, dari data yangada, lebih sulit menentukan angka rekurensi lokal atau regionallainnya pada ketiga kelompok terapi itu. Tapi, tampaknya,angka itu hampir sama pada kelompok mastektomi danmastektomi segmental, dan lebih rendah pada kelompok mas-tektomi segmental plus iradiasi. Rekurensi lokal pada duakelompok pertama itu tak berbeda dengan data pada peneliti-an pertama. Telah menjadi pendapat umum bahwa rekurensilokal berasal dari eksisi yang tidak adekuat, meskipun bebe-rapa penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan kelenjarpositif lebih sering mengalami rekurensi lokal daripada merekayang kelenjarnya negatif; fakta yang menunjukkan bahwarekurensi itu lebih merupakan sifat tumor tersebut dan bukankarena ketidakmampuan ahli bedah.

Kegunaan terapi sinar X dalam penelitian ini muncul padasaat beberapa ahli menganjurkan penghentian pemakaiannya.Terapi sinar X, seperti halnya pembedahan, adalah upaya lokalyang keefektifannya tidak dinilai dari survival pasien, namundari rekurensi regional atau lokal-nya. Dalam penelitian operasimastektomi radikal di atas tadi, rekurensi aksila lebih sedikitterjadi bila diberikan radiasi profilaktik pada aksila yang takdidiseksi. Pada penelitian mastektomi segmental di atas, re-kurensi lokal dan kanker ipsilateral lebih jarang pada wanitayang payudaranya diiradiasi. Observasi yang belakangan iniagak tersamar oleh pemberian kemoterapi pada wanita yangkelenjarnya positif.

Bagaimana kegunaan radiasi sinar X dibandingkan dengankemoterapi? Tidak cukup jelas untuk dapat memilih salahsatunya. Iradiasi adalah senjata yang "sekali buang". Maka

keuntungan pemberian profilaktiknya harus dibandingkandengan keuntungan menyimpan senjata itu untuk 15 — 25persen survivor yang nanti akan mengalami rekurensi yangdapat ditangani dengan radiasi.

Manfaat diseksi aksila pada penerita yang aksilanya negatifjuga diteliti pada penelitian ini. Meskipun banyak penelitianmenunjukkan bahwa pemeriksaan negatif-palsu dan positif-palsu itu cukup sering, data dari penelitian 10 tahun ini me-nunjukkan bahwa meski tidak didiseksi, survival pasien takberbeda. Diseksi aksila pada penderita yang kelenjarnya takteraba dapat dibenarkan bila interpretasi diagnostik diinginkanatau diperlukan, namun ia bukanlah tindakan terapeutik.Menunggu sampai kelenjar menjadi besar dan baru direseksitampaknya tidak mempengaruhi survival.

Kesimpulan yang menarik dari mastektomi segmental da-lam penelitian ini mesti ditaruh pada konteksnya. Operasi inidilakukan pada pasien dengan Stadium I dan II, dengan tumoryang diameternya sama atau kurang dari 4 cm, yang dapatdireseksi dengan bersih (pinggirnya bebas tumor). Pada 10%pasien yang pinggir reseksinya tak bebas tumor, dan padasemua yang tumornya muncul lagi pada payudara ipsilateral,dilakukan mastektomi total sebagai prosedur kedua. Pasiendengan kelenjar positif diberi kemoterapi tambahan.

Dari pembicaraan ini, dapat disimpulkan bahwa tujuanpembedahan pada kanker payudara dapat dicapai denganoperasi yang lebih konservatif daripada yang biasa dilakukan.Namun masih diperlukan waktu lagi untuk memastikannya.

N Engl J Med 1985; 312: 713-4

(Sambungan dari halaman 12)

6. Sutton G & Kupferberg HJ. Isoniazid as an inhibitor of primidonemetabolism. Neurology, 1975; 25 : 1179 — 1181.

7. Ellard GA. Variations between individuals and populations in theacetylation of isoniazid and its significance ofr the treatment ofpulmonary tuberculosis. Clin Pharmacol Ther, 1976; 19 : 610 —624.

8. Santoso B. Genetic and covironmental influences on polymorphicdrug acetylation. Ph-D thesis, Univ Nowcastle Upon Tyne UK,1983.

9. Jenne JW Mc Donald FM & Mondoza E. A study of the fonal cle-arances, metabolic inactivation rates, and serum fall-off interac-tion of isoniazid and para-amino salicylic acid in man. Amer RevResp Dis, 1961; 84 : 371 — 378.

10. Vessel E. Geno-environment interactions in drug metabolism.In : Turner P (ed), Clinical Pharmacology & Therapeutics. Procoo-dings of the first world conference. MacMillan Publisher;1980;pp : 63 — 79.

11. Park BK. Assessment of the drug metabolism capacity of the li-ver. Br J Clin Pharmac,1982;14 : 631 — 651.

12. Krishnaswamy K. Drug metabolism and pharmacokinetics in mal-nutrition. Clinical Pharmacokinetics, 1979; 3 : 216 — 240.

13. Buchanan M Eyeberg C & Davies, M. Isoniazid pharmacokineticsin kwashiorkor. S Afr Med J, 1979; 56 : 299 — 300.

14. Shastri RA & Krishnaswamy. Metabolism of sulphadiazine in mal-nutrition. Br J Clin Pharmac, 1979; 7 : 69 — 73

66 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 67: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Hukum & Etika

Tepatkah Tindakan Saudara ?

Sebagai dokter praktek, anda tentunya pernah menghadapipengalaman seperti ini. Tapi, tindakan apa yang seharusnyadan sebarknya anda lakukan, inilah pokok yang kami persoal-kan kali ini.

Problemnya begini : Suatu kali, teman sejawat kita keda-tangan pasien dengan keluhan sesak nafas, dan memang adariwayat asma. Pemerrksaan fisik pun menyokong kearah itu.Setelah disuntik, dan dan teman sejawat kita baru akan menu-lis resep ketika tiba-tiba saja pasien mengedorkan sehelai co-py resep. Katanya : "Dok, tolong obatnya yang seperti ini sa-ja, karena biasanya saya minum obat itu dan selalu sembuh."

Di atas copy resep itu memang tertulis nama seorang dok-ter specialis.

Teman sejawat kita-rupanya karena takut pasiennya nantilad ke dokter lain- menurut saja, dan menulis resepnya sesuaidengan copy resep.

Dalam menghadapi persoalan demikian, dokter dapat ber-tindak sebagai berikut :a. Setuju dengan obat-obat yang tertulis dalam copy resep ter-sebut dan menulis resep yang sama.b. Tidak setuju, tapi tetap menyalin nama seperti yang tertulisdalamcopy resep.c. Tidak setuju, dan menolak dengan tegas untuk menyalin-kan copy resep tersebut dalam resepnya.

Secara etika kedokteran dan hukum, bagaimana perjabarandari ke tiga tindakan di atas??

Atau, mungkin saudara dapat mengusulkan cara lain yanglebih baik ???

KomentarTANGGAPAN DARI SEGI ETIK KEDOKTERAN

Dalam menilai suatu tindakan dokter dari segi etik itu tidakselalu mudah. Lebih-lebih pada kasus "marginal". ditambah si-tuasi dan kondisi yang sudah tidak ideal. Artinya, bila dalamkejadian sehari-hari, hal-hal yang kurang etis sudah terlanjurdianggap biasa atau wajar saja. Misalnya, seorang dokter umummengirim pasiennya ke dokter spesialis untuk konsultasi. Bia-sanya terjadi :* Sejawat spesialis langsung mengambil alih pengobatan pa-sien, tanpa memberitahu si dokter umum; ini sudah hampir-hampir dianggap lumrah.* Kadang- kadang pasien dikembalikan ke dokter umum de-ngan anjuranyang tertulis dalam amplop tertutup. Sering jus-tru si sakit yang protes, karena merasa dirinya di "pingpong"dan harus membayar dua kali.

Kedua kejadian tersebut sebenarnya tidak/kurang etis, tapijustru sudah dianggap lumrah.

Begitu pula dalam kasus yang drkemukakan di atas. Untukgampangnya, sejawat kita langsung saja memenuhi perminta-an pasien dan menjalin resep yang disodorkan. Sepintas laluini dianggap wajar saja. Buat apa repot-repot mempersoalkanhal demikian, hanya buang-buang waktu dan sebagainya.

Dari segi etis, perlu dipertimbangkan apakah isi resep itusesuai dengan ksakitan sejawat tadi. Bila sesuai, ya tidak adamasalah. Jadi, pertimbangannya itu atas dasar ilmiah, yaitumedik-farmakologik kita setuju dengan isi resep yang akan di-salin, dan bukan karma pertimbangan non medis, sepertitakut pasien lari/pindah ke dokter lain, dan sebagainya.

Bila isi resep yang disuruh salin tidak sesuai dengan penda-pat sejawat tersebut, ia harus berani menolak dan memberikanpenjelasan yang meyakinkan terhadap pasien, misalnya sakit-nya saat ini tidak persis sama seperti saat pasien menerima re-sep dari dokter spesialis duku, dan sebagainya.

Bila pasien tidak dapat diyakinkan, saya kira yang terbaikdari segi etik yaitu mengajurkan agar pasien kembali ke dok-ter spesialisnya. Kita tidak perlu memaksakan pasien untukmenerima resep dari kita. Karena kepercayaan pasien atausuatu obat itu kadang - kadang memberikan efek sugestif bagipenyembuhannya.

Jadi, dalam tiap kasus harus ada pertimbangan sendiri, dantidak bisa meniru kasus yang pernah ada saja. Untuk itu, tang-gapan atas tiga alternatif yang dikemukakan adalah sebagaiberikut :ad (a). Bisa benar, asal pertimbangannya sesuai secara medik-farmakologi, bukan karena ingin menjaga pasien agar tidak larikedokter lain, dan lain-lain alasan non medik.ad (b). Saya kira secara etik kurang baik, yaitu memberi re-sep tidak atas keyakinan sendiri. Bagaimana bila ternyata adareaksi yang tidak dingini, tentu tidak dapat dijawab. "Sayasudah bilang tidak setuju, tapi pasien yang mendesak." Setiapdokter harus berbuat sesuai dengan keyakinanya.ad (c). Tidak setuju, juga tidak menyalinkan resep, adalahkurang bijaksana. Sebaiknya pasien disarankan kembali sajapada dokter spesialis yang bersangkutan. Bila perlu dengan su-rat pengantar yang jelas! Tapi sebelumnya jelaskan dahulupertimbangan sendiri yang bukan karena gengsi, tapi ilmiah.

Demikianlah pendapat saya dapat permasalahan yang diaju-kan di atas.

dr. H. Masri Rustam

Direktorat Transfusi DarahPMI/Ketua IDI Cabang

Jakarta Pusat

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 67

Page 68: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

TANGGAPAN DARI SEGI HUKUM KEDOKTERANSelama tidak terjadi apa-apa pada diri si pasien, maka tidak

akan ada masalah hukum. Jika sampai terjadi sesuatu pada dirisi pasien, barulah timbul masalah hukum, balk pidana maupunperdata.

Menurut hukum pidanaApapun yang menjadi pilihan dokter itu, jika dapat dibukti-

kan adanya kesalahan/kealpaan dari fihak dokter, maka dapatdilakukan tuntutan berdasarkan K.U.H.Pidana pasal 360 yangberbunyi :1).Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebab-kan orang lain mendapat luka berat, diancam dengan pidanapenjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan palinglama satu tahun.2). Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebab-kan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul pe-nyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pen-carian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjarapaling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lamaenam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu limaratus rupiah.

Misalnya dokter itu menyalin begitu saja copy resep dokterspesialis tadi dan terjadi overdoses, karena penyakitnya se-karang sudah jauh lebih ringan daripada waktu diperiksa olehdokter spesialis dulu, dokter itu tidak dapat menggeser ke-salahan/kealpaan itu kepada si pasien. Dokter harus bertang-gung jawab sepenuhnya atas apa yang ia tulis dalam resepnya(kecuali yang merupakan tanggung jawab apoteker atau asis-tennya, yaitu tentang obat-obat dengan dosis maksimal),karena dokterlah yang memiliki pengetahuan kedokteran danbukan si pasien.

Menurut hukum perdataSeperti telah kita ketahui, hubungan dokter -pasien merupa-

kan suatu persetujuan/kontrak terapeutik.Dalam K.U.H.Perdata pasal 1338 antara lain dikatakan,

suatu persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.Selanjutnya menurut K.U.H.Perdata. pasal 1339, suatu per-

setujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengantegas dinyatakan di dalamnya, tapi juga untuk segala sesuatuyang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan,kebiasaan atau undang -undang.

Jika dokter itu tidak setuju dengan copy resep dokterspesialis tadi, tapi ia tetap menyalinnya, jelas tidak ada itikadbaik dari fihak dokter itu, maupun tidak sesuai dengan ke-patutan, kebiasaan atau undang -undang. Kalau sampai terjadisesuatu pada si pasien, maka dokter itu tidak dapat meng-geser kesalahan/kealpaan kepada si pasien. Ia tidak dapatmengatakan: "Salahnya sendiri. Mengapa minta obat itu."

Dalam hal pilihan dokter itu adalah sub a). atau sub c).,dengan sendirinya kesalahan/kealpaan menjadi tanggungjawab dokter itu sepenuhnya.

Jadi apapun pilihan dokter itu, jika karena kesalahan/kealpaannya si pasien sampai menderita kerugian, misalnyaharus dirawat di rumah sakit dan tidak dapat bekerja, dokteritu dapat dituntut berdasarkan K.U.H.Perdata pasal 1365yang berbunyi: Tiap perbuatan melanggar hukum yang mem-bawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yangkarena kesalahannya menyebabkan kerugian itu menggantikerugian tersebut.

dr. Handoko TjondroputrantoLernbaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta

68 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Page 69: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

Catatan SingkatMengapa manusia berciuman? Diduga waktu berciumanitu terjadi pertukaran "semio -chemical" dan "phero-mone", yaitu sejenis hormon yang dapat meningkatkanrangsang seksual.

Berciuman itu biasanya dilakukan dengan salingmenghisap, atau saling merasakan sekresi-sekresi kulitpasangannya. Sebum yang diproduksi kulit itu kayaakan substansi- substansi "semio-chemical", karena padakulit wajah banyak terdapat kelenjar-kelenjar sebaseusyang mencapai puncaknya pada usia dewasa.

Brit J Dermatol 1984; 111: 623-7•

Alat masak listrik (oven) itu memanaskan makanan ter-utama di bagian tengahnya. Oleh sebab itu, bila kitaterburu-buru menggigit kue dari oven yang tampaknyasudah dingin, dapat membuat lidah terbakar karena ba-gian tengahnya inasih panas.

Hal yang sania bila para ibu memanaskan susu botol.Botol yang diraba sudah dingin jangan langsung dimi-numkan pada bayi, karena susunya sendiri masih panas!

J. Paed 1984; 105: 864-7•

Pembedahan tidak selalu dianjurkan pada anak-anakdengan ventrikular septal defek (VSD) yang kecil dantidak menimbulkan gejala; karena defek tersebut dapatmenutup secara spontan. Kegiatan fisik anak juga tidakperlu dibatasi secara ketat. Ini terbukti dari hasil per-cobaan terhadap 35 anak dengan VSD yang dilakukankateterisasi jantung sambil melakukan latihan. Ternyatalatihan fisik tersebut tidak mernberikan perubahan efekhemodinamik yang berarti.

Circulation; 1984; 70: 729-34•

Adakah kepribadian pramorbid yang karaktcristik padapenderita -penderita Parkinson? Kebanyakan penderitaitu mcnunjukkan emosi dan sikap yang kaku, denganafek yang dangkal, dan adanya kecenderungan pulauntuk menderita dcpresi.

J Neurol, Neurosurg and Psychiatry 1985; 48: 97-100•

Kebakaran yang terjadi di Tokyo akhir tahun lalu te-lah merusak seluruh jaringan telekomunikasi dari satubagian kota tersebut. Apa akibatnya? 217 cabang daribank Mitsubishi harus menghentikan kegiatannya, sistemmedical record dari satu rumah sakit terganggu, demi-kian juga sistem telex, credit card, dan telepon-teleponputus. Diperlukan waktu beberapa minggu sebelum se-luruh jaringan tersebut diperbaiki.

Beberapa jenis burung peliharaan mahal sulit dibedakanmana yang jantan atau betina (bahkan burung - burung itusendiri bingung memilih lawan jenisnya, hingga kopulasibiasanya dilakukan dengan coba-coba dahulu).

Untuk membantu mereka, ahli-ahli bedah hewanmemeriksa rongga abdomen burung itu dengan teknikendoskopi fibreoptik. Teknik ini juga dilakukan olehpara staf dari Institute Zoology di London, dalam mem-bedakan jenis kelamin dari 1056 burung -burung yangterdiri dari 144 spesies yang berlainan.

Veterinary Record, 8 Des. p596-8•

Pada pria muda yang pekerjaannya sehari-hari memegangdaging mentah, risiko timbul kutil (warts) pada tangan-nya dua kali lipat daripada pekerja lainnya.

Diduga virus kutil itu lebih cepat menyebar padakulit yang lembab, seperti pada kulit tangan pemegangdaging!

Archives Dermatol 1984; 120: 1314-7•

Infeksi ulangan dengan gonore itu seung terjadi, walau-pun pasien telah berulang-ulang mendapat suntikan an-tibiotika. "Vaksin untuk mencegah penyebarannya per-lu dikembangkan." Demikianlah argumentasi yang di-muat dalam buletin WHO dan dengan problem resis-tensi yang makin meningkat terhadap antibiotika, vak-sin tersebut merupakan kunci untuk mengontrol penya-kit gonore itu.

Bull WHO 1984; 62 : 671-80•

Anda tidak merokok? Risiko anda sama seperti perokokbila senantiasa berdekatan dengaa seorang perokok.Ada istilah "honeymoon distance", yaitu suatu jaraksejauh 1,5 meter. Di luar jarak tersebut, asap rokok akanterdilusi sehingga dapat dikatakan aman.

Brit Med J 1984; 289 : 1385•

Skizofrenia dapat disebabkan oleh virus! Demikian hi-potesis Timothy Crow yang dimuat dalam BritishJournal of Psychiatry. Virus dapat berintegrasi dengangen dan diturunkan pada anak mereka.

Virus yang sama diduga sebagai penyebab penyakitmanik depresif, karena ada bukti di mana banyaknyapenderita manik depresif pada satu generasi akan diikutidengan meningkatnya penderita skizofrenia pada ge-nerasi selanjutnya.

Brit J Psy 1984; 145:243€53

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 69

Page 70: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

BEDA SEKALIDisebuah kantor rumah sakit terde-ngar percakapan dua orang mantrijuru rawat, yang satu sudah agaktua dan satunya lagi masih muda.

Muda: "Mas, saya ini belum mahirmemasang kateter. Tadi pagipasiennya teriak-teriak kesa-kitan sewaktu kateter sayamasukkan".

Tua: "Pasiennya laki-laki atau pe-rempuan?"

Muda: "Laki- laki."

Tua : "Ya jelas kesakitan kalau di-masuki. Coba kalau dimasuk-kan, pasti enak sekali."

Muda : ??? Umi

70 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

SAYA SUDAH SIAP DOKSeorang pasien pria menghadap seorang dokter untuk keluhannya yaitu nafsu sex yangterlalu besar.Dokter : "Baik sebelum saya periksa, saudara perlu disiapkan dulu oleh suster: yaitu

telanjang sampai pinggang !"Dan dengan itu dokter menyuruh perawatnya, yang cukup cantik wajahnya untukorang sakit tersebut.Beberapa saat kemudian terdengar teriakan dari suster tadi dari ruang periksa, dansuster berlarian keluar. Dengan keget dokter lari masuk ruang periksa dan menanya-kan apa yang terjadi.Pasien : "Saya sudah siap dok. "

Dokter : "Astaga, saya memang mengatakan supaya saudara telanjang sampaipinggang, tapi yang saya maksud dari kepala sampai pinggang, bukandari kaki sampai pinggang. "

Tentunya saudara pembaca dapat menebak, apa kiranya yang membuat suster tersebutlari terbirit-birit keluar dari ruang praktek.

OLH

GANGGUAN KESEIMBANGAN

Seorang pasien datang ke tempat praktek Dokter Ahli sarafPasien: "Dok, akhir-akhir ini saya selalu pusing. Kenapa kiranya Dok?"Dokter: "Apakah anda bekerja?"

Pasien: "Ya, saya bekerja di kota pada sebuah perusahaan swasta, tapi masih harianDok!"

Dokter: "Berapa orang yang anda tanggung?"

Pasien: "Tujuh orang Dok, satu istri dan enam orang anak". Sambil mengerutkan da-hi Dokter mangguk-mangguk.

"Oooooo............begitu, jadi pusing anda ini akibat gangguan keseimbangan".

Pasien terheran-heran : "Tidak Dok, kalau jalan saya tidak pernah sempoyongan".

Dokter: "Ya, memang, yang terganggu keseimbangan pemasukan dan pengeluaranAnda".

Pasien: ??????????dr. IGN Mayun

Lab. Histologi FKUNUD Denpasar-Bali

Page 71: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

PASIEN LUGUSeorang gadis 16 tahun ingin berkon-sultasi dengan seorang Dokter.Gadis : ..Dokter, apakah ada obat un-

tuk menumbuhkan buah da-da? Katanya kalau diremas-remas bisa tumbuh sempur-na, apakah betul Dok?"

Dokter : "Siapa yang memberi tahuanda?"

Gadis: "Teman sekolah saya, Dok!(Maksudnya teman pria)

Dokter : "Anda percaya?"Gadis : "Ya, Dok sudah saya laku-

kan".Dokter: "Bagaimana hasilnya ?"Pasien : "Masih tetap kecil Dok, apa-

kah salah, Dok? cara me-remasnya ?"

Dokter; (kebingungan) ???

dr. I G N MayunLab. Histologi FK UNUD

Denpasar—Bali

PASIEN YANG SATU INISeorang dara wanita datang pada dok-ter ahli penyakit kulit. Diketuknyapintu tempat dokter itu praktek. Barusaja dipersilahkan masuk oleh doktertersebut dan menongolkan kepalanya,si pasien tersebut kelihatan terkejutdan....... klepat ... keluar lagi. Dokterpenasaran lari keluar memanggilnya :"He neng mau apa sih sebenarnya ?"Dengan malu-malu si pasien muda ter-sebut mengatakan "Dok, sebenarnyasaya mau berobat jerawat saya inipada dokter. Tapi setelah saya lihatdokter juga jerawatan ..........???????

BERMAIN UHU — UHUSerombongan dokter dari suatu negara Arab berkunjung ke sebuah kota besar diJerman Barat untuk mengikuti sebuah konferensi ilmu kedokteran dan tinggal di se-buah hotel M. Setelah acara ilmiah selesai, dapat difahami bahwa para dokter tersebutmencari hiburan malam yang tak terdapat di negerinya sendiri. Salah seorang diantaranya berjumpa dengan seorang wanita Jerman dan mereka berdua bersepakatuntuk berkencan malam itu. Dibawanya dokter negara Arab tadi ke dalam kamarsebuah hotel besar.

Wanita Jerman mengusulkan agar mereka berdua bermain Uhu, yaitu tiap kalisi wanita berseru "uhu", dokter tadi haru smenanggalkan sepotong pakaiannya. Bilasemua potong pakaian dokter tersebut sudah dilepas, tiba giliran sang dokter untukberseru "uhu" dan sang wanita yang akan melepaskan pakaiannya. Gagasan ini di-terima dengan gembira oleh dokter tersebut. Untuk membuat suasana lebih menarikmaka semua lampu dipadamkan. Nah, permainan Uhu ini berlangsung baik sampaidokter tersebut telah telanjang bulat dan ia telah berkali-kali berseru uhu-uhu dengangenitnya. Setelah selesai sekian kali berseru uhu, oleh dokter tersebut diperkirakantentunya semua pakaian wanita sudah terlepas dan dinyalakannya kembali lampu-lampu kamar.

Dengan rasa terkejut sekali diketahui wanita Jerman telah pergi beserta semua pa-kaian dokter (beserta uangnya tentunya). Dokter tersebut dihadapkan pada persoalan,cara bagaimana dapat kembali ke hotel di man rombongannya menginap. Sewaktumelihat keluar jendela, dilihatnya serombongan orang berjubah putih (seperti orang-orang "safari" padang pasir) sedang berjalan. Timbul gagasannya yang cemerlangdalam benaknya dan dengan cepat disambarnya sprei putih dari atas tempat tidur, dansambil berkerudung meninggalkan hotel untuk bergabung dengan rombongan berjubahputih di jalanan.

Dalam bahasa Arab ditanyakan kepada seseorang di sebelahnya hendak kemanarombongan ini. "Ke hotel M, dan anda tentunya juga habis bermain Uhu, bukan ?"

OLH

TAKTIK.Seorang pengemis tua minta sedekah pada seorang nyonya dokter yang kaya tetapi pe-lit.Nyonya : "Pergi! Tak ada uang!"Pengemis : "Memang benar kata Udin, nyonya itu tidak pernah pegang uang. Se-

mua gaji suaminya diserahkan kepada pelayannya yang cantik "

Sambil menggerutu pengemis itu berlalu.Nyonya kaya itu marah dan melemparkan uang Rp. 1000,— sambil berkata :" Apa kamu bilang! Saya tidak pernah pegang uang? Huhh !".Pengemis itu mengambil uang sambil menggerutu kembali, kali ini dengan lirih"Memang benar kata Udin, bahwa cara ini lebih berhasil ..........".

dr Adhi P.Semarang

SRISALAH PENGERTIAN .Dalam tempat praktek terjadi dialog antara seorang psikiater dengan pasien nenek tua.+ : "Mengapa tidak dapat tidur dan gelisah, nek ?"— : "Memang dokter, sebab saya dikatakan terlibat kasus sex, kata polisi. " (dengan

suara gugup dan gemetar).+

: "Hmm, sudah tua begini masih kuat juga di bidang sex ! Apa nenek tidak punyasuami ?""Apa hubungannya dengan suami saya dok ? Ini cuma urusan pemalsuan. "

+ : "Pemalsuan apa, nek ?""Itu kertas sek, yang untuk ambil uang itu."

+ : "Oooooooo itu............rupanya masalah cek kosong . . . . hahaha ...."dr. A. Hannie ACDumai

BAYAR BERAPAKetika mengobati seorang penderita

wanita setengah umur di Puskesmas didaerah Riau, terjadilah percakapan se-bagai berikut :Dokter (setelah selesai memeriksa) :Nah Ibu. Ibu ini perlu disuntik, maukan ?Pasien (dengan spontan) : Satu jarumbayar berapa, dok ?Dokter : ???

dr. Tjandra Yoga Aditama

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 71

Page 72: Cdk 037 Farmakokinetika Klinik

ABSTRAK -ABSTRAKLEDAKAN PENDUDUKDemikian gawatkah keadaannya? Memang demikian! Bahkan jauh lebih buruk dari-pada yang dapat kita bayangkan. Ambil kota Meksiko sebagai contoh; mungkin kotaterbesar di dunia, dalam perjalanannya menuju kota megalopolis pertama. Dengan 17juta penduduk (seperempat dari total penduduk negara tersebut) yang hanya menem-pati luas permukaan bumi sebesar 2395 km2 (densitasnya 7000 orang/km 2). Lebihdari 5 juta penduduknya hidup dalam kemiskinan. Dari 3 juta lebih unit perumahan,dua dari setiap tiga rumah tidak memenuhi syarat-syarat sanitasi dan konstruksi: 19%tidak ada sarana pembuangan, 21% tidak ada saran air bersih. Kenyataannya, sistemsuplai air memang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk sebanyak 6milyar liter air per hari.

Setiap hari, diperlukan 20 juta liter bensin, listrik sebanyak 11,1 juta kilo watt/jam, 3750 ekor hewan potong, dan 5,35 juta kilogram tortillas (sejenis makanan khasMeksiko). Setiap 24 jam, penduduknya membuat 20 juta perjalanan dalam 1728kereta bawah tanah, lebih dari 10.000 bis, 86.700 taksi, dan 2,7 juta mobil pribadi.Pada jam jam sibuk, rata-rata kecepatan mobil di jalan hanya 20 km/jam. Asap darikendaraan bermotor setiap hari menghasilkan 14.000 ton karbon monoksid. Bila iniditambah dengan 3850 ton yang dihasilkan dari 130.000 pabrik, dan 11.000 ton dariasap dapur, hasilnya merupakan problem polusi yang luar biasa . Pada daerah tertentu,diperkirakan polusi udara itu 200% di atas level yang diperbolehkan. Petugas kesehat-an kota mengingatkan: bernafas dalam daerah tersebut sama seperti merokok 40 ba-tang per hari! Kris

International dateline, June 1984

KOMPLIKASI LUKA STERNUM DAPAT TERJADI KARENA IKAT PINGGANGPENGAMAN MOBIL.

Para dokter dari bagian Gawat Darurat RS. Royal Victoria, Belfast, memperi-ngatkan bahwa penggunaan ikat pinggang pengaman di mobil memungkinkan terjadi-nya akibat yang serius. Telah dialami oleh 3 orang penderita bahwa ikat pinggang pe-ngaman dapat menginduksi terjadinya fraktur sternum.

Dalam hal ini penderita hanya mengalami memar pada jaringan lunak sepanjangikat pinggang pengaman tersebut. Hasil EKG ternyata normal, tapi dengan foto sinar Xmenunjukkan fraktur sternum yang abnormal. Selang waktu 2 — 4 hari, terbukti bah-wa memar miokardium berkembang dengan meningkatnya DK — MB (Creati-ne Kinase - Myocardium Band), suatu isoensim yang hanya ditemukan pada sel — selmiokardium. Peningkatan kadar isoensim ini menunjukkan derajat kerusakan mio-kardium. Salah seorang penderita kemudian mengalami kegagalan ventrikel sehinggadiperlukan pengobatan dengan digoksin dan diuretika.

Hampir 1/3 bagian penderita dengan memar miokardium kemungkinan dapatmengalami komplikasi kardiak yang membahayakan. Tetapi hal ini sering kali tidak di-perhatikan karena penderita tampak sehat setelah mengalami trauma kecil.

DYT Injury, 1984; NOV. 16 : 3 p. 155

72 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985