CBL Bermanfaat Bagi Dosen Pengampu Dan Mahasiswa. Dosen Pengampu Terbiasa
-
Upload
destriayu-vasista -
Category
Documents
-
view
35 -
download
1
Transcript of CBL Bermanfaat Bagi Dosen Pengampu Dan Mahasiswa. Dosen Pengampu Terbiasa
Rika Murdika Ulfah, 2011 Penerapan Model Pembelajaran Novick ....
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Pemecahan masalah menurut Dahar (Melani, 2005:16) merupakan suatu
kegiatan manusia yang menerapkan konsep-konsep dan aturan-aturan yang
diperoleh sebelumnya dan pada dasarnya pemecahan masalah merupakan tujuan
utama proses pendidikan.
Kegiatan-kegiatan yang diklasifikasikan sebagai pemecahan masalah
dalam matematika menurut Branca (Melani, 2005:16) adalah: (1) penyelesaian
masalah sederhana (soal cerita) dalam buku teks; (2) penyelesaian teka-teki non
rutin; (3) penerapan matematika dalam dunia nyata; dan (4) membuat dan menguji
konjektur matematis.
Dengan demikian pemecahan masalah dapat dikatakan sebagai usaha
mencari jalan keluar dari kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak begitu saja
dengan segera dapat dicapai.
Dalam belajar matematika, pemecahan masalah merupakan salah satu hasil
belajar yang ingin dicapai dan merupakan suatu hal yang sangat penting. Ada dua
pengertian pemecahan masalah sebagai kemampuan dasar yang banyak
digunakan, yaitu (1) kemampuan minimal yang harus dimiliki siswa dan
dievaluasi di tingkat lokal dan nasional, dan (2) kemampuan minimal yang
diperlukan siswa agar dapat berfungsi dalam masyarakat. Kemampuan tersebut
meliputi kemampuan: (1) mengidentifikasi yang diketahui, ditanyakan, serta
kecukupan unsur yang diperlukan; (2) merumuskan masalah dari situasi sehari-
12
hari dalam matematika; (3) menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai
masalah (sejenis dan masalah baru) di dalam atau di luar matematika; (4)
menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai dengan permasalahan asal; (5)
menyusun model matematika dan penyelesaiannya untuk masalah nyata dan
menggunakan matematika secara bermakna. Sedangkan pandangan bahwa
pemecahan masalah sebagai proses, merupakan suatu kegiatan yang lebih
mengutamakan pentingnya prosedur, langkah-lagkah, strategi, dan statistik yang
ditempuh siswa dalam menyelesaikan masalah, sehingga dapat menemukan
jawaban soal dan bukan pada jawaban itu sendiri.
Berkaitan dengan jenis-jenis masalah, Hudoyo (Sartika, 2009:20)
membagi masalah dalam matematika ke dalam enam jenis, yaitu:
1. Masalah rutin, yaitu masalah yang prosedur penyelesaiannya hanya sekedar
mengulang, misalnya secara algoritmik;
2. Masalah non-rutin, yaitu masalah yang prosedur penyelesaiannya memerlukan
perencanaan penyelesaian, tidak sekedar menggunakan rumus, teorema, atau
dalil;
3. Masalah rutin-terapan, yaitu masalah rutin yang dikaitkan dengan dunia nyata
atau kehidupan sehari-hari yang prosedur penyelesaiannya sebagaimana yang
sudah diajarkan;
4. Masalah rutin-nonterapan, yaitu masalah rutin yang lebih ke matematikanya
daripada dikaitkan dengan dunia nyata atau kehidupan sehari-hari;
5. Masalah non-rutin terapan, yaitu masalah yang penyelesaiannya menuntut
perencanaan dengan mengaitkan dunia nyata atau kehidupan sehari-hari;
13
6. Masalah non-rutin non-terapan, yaitu masalah yang berkaitan murni tentang
hubungan matematika.
Ada tiga cara dalam membantu siswa dalam menyelesaikan masalah
(Rahman, 2009:19), yaitu:
1. Cara yang paling tidak efektif, yaitu memperlihatkan kepada siswa cara
memecahkan masalah;
2. Cara yang lebih baik, yaitu dengan memberikan instruksi kepada siswa secara
verbal untuk membantu siswa memecahkan masalah;
3. Cara yang terbaik, yaitu memecahkan masalah-masalah itu langkah demi
langkah dengan menggunakan contoh-contoh atau gambar.
Membelajarkan pemecahan masalah akan meningkatkan siswa berpikir
lebih kritis dalam menyelidiki masalah sehingga menjadikan siswa lebih baik
dalam menanggapi suatu permasalahan yang muncul dalam permasalahan
matematika ataupun pelajaran lain. Pemecahan masalah juga dapat membantu
siswa dalam mengembangkan kemandirian, kesabaran, dan kegigihan dalam
menyelesaikan masalah.
Menurut Sumarmo (1994) (Sartika, 2009:19) bahwa pemecahan masalah
dapat berupa menciptakan idea baru, menemukan teknik, atau produk baru.
Pemecahan masalah merupakan puncak bagi pembelajaran matematika. Elemen-
elemen pengetahuan, kemahiran, dan nilai digunakan sebagai tindakan dalam
menyelesaikan suatu masalah.
Ruseffendi (Sartika, 2009:22) menjelaskan alasan soal-soal tipe
pemecahan masalah diberikan kepada siswa, yaitu:
14
1. Dapat menimbulkan keingintahuan dan adanya motivasi serta menumbuhkan
sifat kreatif;
2. Di samping memiliki pengetahuan dan keterampilan, disyaratkan adanya
kemampuan untuk terampil membaca dan membuat pernyataan yang benar;
3. Dapat menimbulkan jawaban yang asli, baru, khas, dan beranekaragam, serta
dapat menambah pengetahuan baru;
4. Dapat meningkatkan aplikasi dari ilmu pengetahuan yang sudah diperolehnya;
5. Mengajak siswa memiliki prosedur pemecahan masalah, mampu membuat
analisis dan sintesis, dan dituntut untuk membuat evaluasi terhadap hasil
pemecahannya;
6. Merupakan kegiatan yang penting bagi siswa yang melibatkan dirinya bukan
saja satu bidang studi tetapi (bila diperlukan) banyak bidang studi, sehingga
dapat melibatkan pelajaran lain diluar pelajaran sekolah, merangsang siswa
untuk menggunakan segala pengetahuannya.
Berkaitan dengan pentingnya pemecahan masalah ini, terutama selama
proses pembelajaran sedang berlangsung, W.W Sawyer pernah menulis di dalam
bukunya Mathematician’s Delight, sebagaimana dikutip Jacobs (Tn, 2003) suatu
pernyataan berikut: “Everyone knows that it is easy to do a puzzle if someone has
told you the answer. That is simply a test of memory. You can claim to be a
mathematician only if you can solve puzzle that you have never studied before.
That is the test of reasoning.” Pernyataan Sawyer ini telah menunjukkan bahwa
pengetahuan yang diberikan atau ditransformasikan langsung kepada para siswa
akan kurang meningkatkan kemampuan bernalar (reasoning) mereka. Sawyer
15
menyebutnya hanya meningkatkan kemampuan untuk mengingat saja. Padahal di
era global, kemampuan bernalarlah serta kemampuan bernalar tingkat tinggi yang
akan menentukan kemampuan mereka. Karenanya, pemecahan masalah akan
menjadi hal yang sangat menentukan juga keberhasilan pendidikan matematika,
sehingga pengintegrasian pemecahan masalah (problem solving) selama proses
pembelajaran berlangsung hendaknya menjadi suatu keharusan.
Keterampilan serta kemampuan berpikir yang didapat ketika siswa
memecahkan masalah diyakini dapat ditransfer atau digunakan siswa tersebut
ketika menghadapi masalah di dalam kehidupan sehari-hari. Karena setiap orang
akan selalu dihadapkan dengan masalah, maka pembelajaran pemecahan masalah
atau belajar memecahkan masalah dijelaskan Cooney et al. (Tn, 2003) sebagai
berikut: “…the action by which a teacher encourages students to accept a
challenging question and guides then in their resolution.” Hal ini menunjukkan
bahwa pembelajaran pemecahan masalah adalah suatu tindakan (action) yang
dilakukan guru agar siswanya termotivasi untuk menerima tantangan yang ada
pada pertanyaan (soal) dan mengarahkan para siswa dalam proses pemecahannya.
Hal yang telah dipaparkan di atas telah menunjukkan pentingnya tantangan
serta konteks yang ada pada suatu masalah sebagai motivasi bagi para siswa.
Sangatlah penting untuk memformulasikan kalimat pada masalah yang akan
disajikan kepada para siswa dengan cara yang menarik, berkaitan dengan
kehidupan nyata mereka sehingga tidak terlalu abstrak, dan dapat dipecahkan para
siswa, baik dengan bantuan ataupun tanpa bantuan gurunya.
16
Dengan demikian jelaslah bahwa inti dari belajar memecahkan masalah
adalah para siswa hendaknya terbiasa mengerjakan soal-soal yang tidak hanya
memerlukan ingatan yang baik saja. Karenanya, proses pembelajaran di kelas
dimulai dengan penayangan masalah nyata yang pernah dialami atau dapat
dipikirkan para siswa, dilanjutkan dengan kegiatan bereksplorasi dengan benda
konkret, lalu para siswa akan mempelajari idea-idea matematis secara informal,
belajar matematika secara formal, dan diakhiri dengan kegiatan pelatihan. Dengan
kegiatan seperti ini, diharapkan para siswa akan memahami konsep, rumus,
prinsip, dan teori-teori matematika sambil belajar memecahkan masalah.
Ross (Kartikasarie, 2008:14) mengemukakan indikator pemecahan
masalah, yaitu:
1. Siswa dapat menggunakan informasi untuk mengidentifikasi pertanyaan-
pertanyaan yang memuat permasalahan;
2. Siswa dapat merencanakan dan menentukan informasi serta langkah-langkah
yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah;
3. Memilih penggunaan operasi untuk memberikan situasi permasalahan;
4. Mengorganisasikan, menginterpretasikan, dan menggunakan informasi-
informasi yang relevan;
5. Mengidentifikasi jalan alternatif untuk menemukan solusi.
B. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual
Belajar matematika lebih bermakna dengan melalui kegiatan mengalami
sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat,
dan memahami. Guru dituntut untuk merencanakan strategi pembelajaran yang
17
variatif dengan prinsip membelajarkan dan memberdayakan siswa, bukan
mengajar siswa. Pengetahuan bukan lagi seperangkat fakta, konsep, dan aturan
yang siap diterima siswa, melainkan harus dikonstruksi (dibangun) sendiri oleh
siswa dengan fasilitasi dari guru. Siswa harus tahu makna belajar dan
menyadarinya, sehingga pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya dapat
dipergunakan untuk bekal kehidupannya.
Pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual adalah kaidah
pembelajaran matematika yang menggabungkan isi kandungan materi dengan
pengalaman harian individu, masyarakat, dan alam pekerjaan. Kaidah ini
menyediakan pengalaman secara konkret yang melibatkan hands-on dan minds-on
(Ramdan, 2008: 22).
Dalam pendekatan kontekstual, pembelajaran dimulai atau dikaitkan
dengan dunia nyata, diawali dengan bercerita atau tanya-jawab lisan tentang
kondisi aktual dalam kehidupan siswa, kemudian diarahkan dengan informasi
melalui modeling agar siswa termotivasi, questioning agar siswa berpikir,
constructivism agar siswa membangun pengertian, inquiry agar siswa dapat
menemukan konsep dengan bimbingan guru, learning community agar siswa
dapat dan terbiasa berkolaborasi dan berkomunikasi berbagai pengetahuan dan
pengalaman, reflection agar siswa dapat mengulang kembali pengalaman
belajarnya untuk koreksi dan revisi, serta authentic assessment agar asesmen yang
diberikan menjadi sangat objektif.
18
Menurut Yulaelawati (Ramdan, 2008: 22) dalam proses pembelajaran
secara kontekstual, peserta didik akan melalui satu atau lebih bentuk pembelajaran
sebagai berikut.
Gambar 2.1
Bentuk Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual memperhatikan
tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni sebagai berikut.
R
T
C
A
E
Relating (mengaitkan)
Experiencing
(mengalami)
Applying
(mengaplikasikan)
Cooperating
(bekerjasama)
Transfering
(memindahkan)
Belajar dalam konteks menghubungkan
pengetahuan baru dengan pengalaman
hidup
Belajar dalam konteks penemuan dan
daya cipta
Belajar dalam konteks bagaimana
pengetahuan atau informasi dapat
digunakan pada berbagai situasi
Belajar dalam konteks saling tukar
pengetahuan atau informasi yang
diperoleh secara bersama-sama
Belajar dalam konteks pengetahuan
yang ada atau membina dari apa yang
sudah diketahui
19
1. Konstruktivisme (Constructivism)
Pembentukan pengetahuan menurut model konstruktivisme Piaget dalam
Wilantra (Kartikasarie, 2008:8) memandang subyek aktif menciptakan struktur-
struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Melalui bantuan struktur
kognitif ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan
terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan
oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan
berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses
penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Pengetahuan dalam konstruktivisme tidak dibatasi pada pengetahuan yang
logis dan tinggi. Pengetahuan di sini juga dapat mengacu pada pembentukan
gagasan, gambaran, pandangan akan sesuatu atau gejala sederhana. Dalam
konstruktivisme, pengalaman dan lingkungan kadang punya arti lain dengan arti
sehari-hari. Pengalaman tidak harus pengalaman fisis seseorang seperti melihat,
merasakan dengan inderanya, tetapi dapat pula pengalaman mental yaitu
berinteraksi secara pikiran dengan suatu obyek (Wilantra dalam Kartikasarie,
2008:9).
2. Inkuiri (Inquiry)
Inkuiri adalah metode penemuan (terbimbing) dengan maksud untuk
mengembangkan kemampuan pemahaman, penalaran, eksplorasi, identifikasi, dan
generalisasi. Biasanya metode penemuan dilakukan dengan diawali contoh-contoh
kemudian diidentifikasi pola yang sesuai dan kemudian dikonstruksi
generalisasinya.
20
Inkuiri (Wahyu, 2007: 13) merupakan cara siswa dalam menemukan
sesuatu yang baru menurut mereka. Pada dasarnya proses inkuiri merupakan
proses menemukan kembali, karena sesuatu yang ditemukan itu merupakan hal
yang telah ada sebelumnya. Namun dalam inkuiri juga tidak menutup
kemungkinan terjadi penemuan baru yang belum diketahui sebelumnya.
3. Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan strategi utama dalam pendekatan kontekstual.
Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong,
membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Dalam pembelajaran,
kegiatan bertanya berguna untuk menggali informasi, baik administrasi maupun
akademis, mengecek pemahaman siswa, membangkitkan respon siswa,
mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, mengetahui hal-hal yang sudah
diketahui siswa, memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru,
merangsang pertanyaan dari siswa, menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
4. Masyarakat belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran
diperoleh dari hasil kerjasama dengan orang lain. Masyarakat belajar didasarkan
pada adanya asumsi bahwa manusia adalah makhluk sosial, dimana setiap
individu membutuhkan bantuan orang lain. Dengan adanya saling membantu ini,
diharapkan siswa dapat saling membelajarkan. Siswa yang tidak bisa dapat
meminta bantuan kepada siswa yang bisa.
Masyarakat belajar dalam pembelajaran dapat terwujud melalui (1)
pembentukan kelompok besar atau kecil, (2) kedatangan ahli ke kelas (jika
21
diperlukan), (3) bekerja dalam kelas sederajat, (4) bekerja kelompok dengan kelas
di atasnya, (5) bekerja dengan masyarakat.
5. Pemodelan (Modeling)
Dalam pembelajaran konsep atau topik tertentu, diperlukan adanya model
untuk ditiru. Model ini bisa berupa cara untuk mengoperasikan sesuatu, cara
menyelesaikan soal, dan sebagainya. Dengan cara demikian, guru memei model
“bagaimana cara belajar”.
Dalam matematika, salah satu contoh pemodelan adalah bagaimana guru
menyelesaikan soal. Guru memperagakan bagaimana langkah-langkah yang
ditempuh dalam menyelesaikan suatu soal dengan baik. Selain guru, teman atau
pihak lain pun bisa dijadikan sebagai model.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan atau tidak dilakukan.
Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas yang dilakukan atau
pengetahuan yang baru diterima. Misalkan setelah pelajaran berakhir, siswa
merenung “Jika demikian, cara yang saya lakukan selama ini perlu diperbaiki”
dan “Masih banyak hal yang perlu dibenahi” setelah memperoleh pengetahuan
baru. Refleksi dilakukan oleh siswa dan guru, bertujuan untuk memperbaiki
kesalahan dan mengembangkan apa yang telah dikerjakan.
7. Asesmen Otentik (Authentic Assessment)
Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru untuk
bisa memastikan bahwa siswa telah mengalami proses pembelajaran yang benar.
22
Dalam pembelajaran kontekstual, gambaran tentang kemajuan siswa dilihat sejak
awal pembelajaran, sepanjang proses pembelajaran, dan pada akhir pembelajaran.
Gambaran kemajuan belajar ini diketahui melalui asesmen otentik. Data yang
dikumpulkan pada asesmen otentik adalah data yang diperoleh dari hasil kegiatan
siswa selama proses pembelajaran berlangsung dan hasil belajar siswa.
Karakteristik asesmen otentik sebagai berikut.
a. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran;
b. Dapat digunakan untuk sumatif dan formatif;
c. Aspek yang diukur adalah keterampilan performasi bukan mengingat fakta;
d. Berkesinambungan;
e. Terintegrasi;
f. Dapat digunakan sebagai feed back.
Dalam setiap kegiatan pembelajaran kontekstual, guru harus
mengupayakan ketujuh komponen tersebut dapat dilakukan oleh siswa, namun
tetap disesuaikan dengan karakteristik materi yang dibahas.
C. Model Pembelajaran Novick
Pembelajaran dapat diartikan sebagai proses perubahan konseptual namun
tidak berarti bahwa pembelajaran tersebut bersifat mengumpulkan fakta-fakta
baru melainkan membentuk kembali konsep baru yang lebih ilmiah dalam
menjelaskan suatu peristiwa. Pembelajaran untuk perubahan konseptual terutama
melibatkan penggalian konsepsi awal siswa pada peristiwa tertentu dan kemudian
menggunakan cara-cara untuk membantu para siswa mengubah konsep mereka
23
yang kurang tepat sehingga mereka mendapat suatu konsep baru yang lebih
ilmiah.
Mengingat pentingnya perubahan konseptual dari pengetahuan awal siswa
pada proses pembelajaran berdasarkan pandangan para konstruktivis, Novick
(Solikhin, 2009:12) mengemukakan bahwa “perubahan konseptual terjadi melalui
akomodasi kognitif yang berawal dari pengetahuan awal siswa”. Untuk
menciptakan proses akomodasi kognitif, Novick mengusulkan suatu model
pembelajaran yang dikenal dengan model pembelajaran Novick. Model
pembelajaran Novick tersebut mempunyai pola umum seperti bagan berikut ini.
Gambar 2.2
Diagram Alir Model Pembelajaran Novick
Exposing alternative
framework
(mengungkap
konsepsi awal siswa)
Creating conceptual
conflict (menciptakan
konflik konseptual)
Encouraging cognitive
accommodation
(mengupayakan
terjadinya akomodasi
kognitif)
24
1. Fase Pertama, Exposing Alternative Framework (Mengungkap Konsepsi
Awal Siswa)
Terdapat dua hal utama yang perlu dilakukan dalam fase pertama, yaitu
sebagai berikut.
a. Mengungkap Konsepsi Awal Siswa
Mengungkap konsepsi awal siswa di dalam mengajar ditujukan agar
terjadi perubahan konseptual sesuai dengan gagasan konstruktivis yang
memungkinkan siswa membentuk konsepsi baru yang lebih ilmiah dari konsepsi
awalnya. Pengetahuan awal yang dimiliki siswa bisa benar atau salah, untuk itu
langkah paling penting yang harus dilakukan terlebih dahulu di dalam mengajar
agar terjadi perubahan konseptual adalah membuat para siswa sadar akan gagasan
mereka sendiri tentang topik atau peristiwa yang sedang dipelajari.
Konsepsi awal siswa ini bersifat pribadi, sulit berubah, dan dapat
menghambat pemahaman belajar lebih jauh. Karena itu perlu diperhatikan dengan
sungguh-sungguh dalam pembelajaran agar anak dapat mengembangkan
konsepsinya kearah konsepsi yang ilmiah.
Dalam mengungkap konsepsi awal siswa mengenai pokok bahasan yang
sedang dipelajari, guru harus melakukan dua hal yaitu menghadirkan suatu
peristiwa baik yang sudah diketahui oleh siswa maupun yang baru diketahui siswa
kemudian meminta mereka untuk mendeskripsikannya.
1) Menghadirkan suatu Peristiwa
Sajikan suatu fenomena untuk menimbulkan konsepsi para siswa,
kemudian instruksikan siswa untuk membongkar atau menelaah fenomena
tersebut.
25
Membongkar atau menelaah fenomena adalah situasi yang
memerlukan para siswa untuk menggunakan konsepsi yang telah ada untuk
menginterpretasikan peristiwa itu. Pada saat membongkar atau menelaah
fenomena mungkin akan ada dua jenis situasi, yaitu situasi dimana hasil
tidaklah dikenal atau hasil dikenal (Chinn dan Brewer, 1993) (Komala,
2008:22).
Dalam kasus yang tidak dikenal, guru meminta para siswa untuk
meramalkan apa yang terjadi dengan fenomena tersebut dan menjelaskan hal
apa yang mendasari ramalan mereka. Dalam kasus yang dikenal, guru tidak
harus meminta para siswa membuat ramalan apapun tetapi siswa harus
menjelaskan peristiwa tersebut.
2) Meminta Siswa untuk Mendeskripsikan atau Menampilkan Konsepsinya
Para siswa dapat menghadirkan gagasan mereka dengan banyak cara.
Mereka dapat menuliskan uraian, menggambarkan ilustrasi, menciptakan
model, menggambarkan peta konsep, atau menciptakan banyak kombinasi
dari cara tersebut sebagai bukti pemahaman mereka pada konsep tertentu.
Tujuan langkah ini adalah untuk membantu para siswa mengenali dan
mulai untuk memperjelas pemahaman dan gagasan mereka sendiri. Ketika
konsepsi awal siswa telah terungkap secara eksplisit maka para guru dapat
menggunakan hal ini sebagai dasar untuk instruksi lebih lanjut.
b. Mendiskusikan dan Mengevaluasi Konsepsi Awal Siswa
Tujuan langkah ini adalah untuk memperjelas dan meninjau kembali
konsepsi asli para siswa melalui kelompok dan diskusi kelas. Hal pertama yang
26
dapat dilakukan guru adalah dengan bertanya pada siswa tentang uraian konsepsi
mereka. Setelah semua konsepsi siswa diungkapkan, guru memimpin kelas itu
untuk mengevaluasi masing-masing konsepsi yang diajukan. Menurut Natsir
(Solikhin, 2009:13), “Evaluasi konsepsi yang diajukan berdasarkan kejelasannya
atau kemengertiannya (intelligible), dapat masuk akal (plausible), dan peluang
keberhasilan (fruitfull) dalam menjelaskan peristiwa yang dihadirkan.”
Nussbaum dan Novick (Solikhin, 2009:12) menyatakan bahwa pada
langkah ini guru harus menerima semua penyajian dan menahan diri untuk tidak
memberikan penilaian salah atau benar. Walaupun guru tidak memberikan
asesmen salah atau benar tetapi guru tetap harus mengevaluasi gagasan mereka
yang didasarkan pada kejelasannya, kemengertiannya dan peluang
keberhasilannya.
Pada saat memimpin diskusi, guru bisa memulai diskusi dengan
memberikan pertanyaan, misalnya: “siapa yang berpikir gambar grafik Nina
adalah benar?”. Setelah diskusi kelas, para siswa dengan konsepsi yang berbeda
bekerja berkelompok untuk mengevaluasi gagasan mereka satu sama lain.
Masing-masing kelompok memilih satu konsepsi berdasarkan hasil kesepakatan
dan menampilkannya pada teman-teman sekelas. Motivasi siswa dapat meningkat
dengan membiarkan para siswa untuk memilih konsepsi yang mereka pikir terbaik
untuk menjelaskan atau membongkar peristiwa tersebut.
27
2. Fase Kedua, Creating Conceptual Conflict (Menciptakan Konflik
Konseptual)
Menciptakan konflik konseptual atau biasa juga disebut konflik kognitif
merupakan suatu fase penting dalam pembelajaran, sebab dengan adanya konflik
tersebut siswa merasa tertantang untuk belajar apalagi jika peristiwa yang
dihadirkan tidak sesuai dengan pemahamannya.
Setelah para siswa menyampaikan gagasannya pada orang lain dan telah
dievaluasi melalui diskusi kelas, para siswa akan menjadi tidak puas dengan
gagasan mereka sendiri karena terdapat perbedaan dengan gagasan siswa lainnya.
Dengan mengenali kekurangan pemahaman mereka, para siswa menjadi lebih
terbuka untuk mengubah konsepsinya.
Untuk dapat menciptakan konflik lebih besar, guru menciptakan suatu
keanehan atau situasi ganjil (discrepant event). Keanehan atau situasi ganjil
(discrepant event) adalah suatu peristiwa atau situasi yang tidak bisa diterangkan
oleh konsepsi siswa sekarang tetapi dapat diterangkan oleh konsep yang sedang
dipelajari.
Menurut Piaget (Komala, 2008:26) belajar adalah pengaturan diri (self
regulation), yang dilakukan seseorang dalam mengatasi konflik kognitif. Konflik
kognitif timbul pada saat terjadi ketidakseimbangan (disequilibration) antara
informasi yang diterima dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Menurut
pandangan konstruktivisme, konflik atau kontradiksi merupakan hal yang penting
dalam memfasilitasi perubahan konsep yang terjadi pada siswa.
28
Champagne, et al. (Solikhin, 2009:26) menyatakan bahwa strategi
pembelajaran yang diharapkan dapat memfasilitasi proses belajar pada diri siswa
adalah dengan menciptakan konflik yaitu menghadapkan siswa pada situasi ganjil
(discrepant event) dan gagasan atau idea yang bertentangan (ideational
confrontation) dengan konsep yang ada pada struktur kognitifnya, sehingga
memicu terjadinya perubahan konsep.
Strike dan Posner (Solikhin, 2009:26) menyatakan bahwa peristiwa atau
pengalaman ganjil (discrepant event) merupakan salah satu cara utama untuk
membangkitkan ketidakpuasan terhadap konsepsi lama, sehingga memacu proses
akomodasi dalam struktur kognitif seseorang. Berdasarkan pernyataan tersebut,
jika siswa dihadapkan pada situasi atau gagasan baru yang terasa ganjil, maka
dalam struktur kognitif akan terjadi konflik dan tertantang untuk mengubah
konsep-konsep atau pengetahuan sebelumnya sesuai dengan situasi atau gagasan
baru yang disebut anomali sehingga akan menghasilkan ketidakpuasan dengan
konsepsi yang ada pada diri siswa, jika:
a. Siswa mengetahui mengapa temuan percobaan menggambarkan anomali;
b. Siswa percaya bahwa hal itu diperlukan untuk menerima kembali temuan
sesuai dengan konsep yang dimiliki;
c. Siswa melakukan pengurangan ketidaksesuaian antara keyakinan yang mereka
miliki;
d. Usaha tidak menerima kesimpulan atau temuan percobaan ke dalam
konsepsinya yang mereka anggap tidak berhasil.
29
Dalam proses konflik konseptual, guru menciptakan situasi anomali, yaitu
situasi yang bertentangan dengan pengetahuan awal siswa. Situasi anomali dapat
diciptakan melalui demonstrasi yang bertentangan dengan prediksi siswa
sebelumnya. Pada tahap ini diamati respon siswa terhadap situasi anomali yang
diberikan. Pengakuan terhadap situasi anomali dapat berupa ketertarikan ataupun
kecemasan. Fase inilah yang disebut fase konflik, di mana siswa mengalami
pertentangan dalam struktur kognitifnya atas apa yang mereka ketahui
sebelumnya dan fakta apa yang mereka lihat melalui demonstrasi atau percobaan
yang mereka lakukan. Kemudian pada fase penyelesaian, siswa akan berusaha
menyelesaikan konflik dalam struktur kognitifnya dengan berbagai cara.
Untuk menciptakan konflik konseptual, Niaz (Solikhin, 2009:14)
memberikan contoh beberapa situasi yang sekaligus menjadi indikator terjadinya
konflik konseptual dalam diri siswa, antara lain:
a. Kejutan (surprise) yang ditimbulkan oleh munculnya dugaan seseorang yang
kontradiksi dengan persepsinya, atau dihasilkan dari timbulnya kegelisahan;
b. Pengetahuan yang penuh teka-teki, merasa gelisah, atau sebuah keingintahuan
intelektualnya;
c. Kekosongan akan pengalaman kognitif, seperti jika seseorang sadar bahwa
sesuatu dalam struktur kognitifnya telah hilang;
d. Ketidakseimbangan kognitif, di mana pertanyaan atau perasaan kosong
muncul pada situasi yang diberikan.
30
Dalam pembelajaran guru dapat melakukan diskusi dengan siswa untuk
membantu mereka mendeskripsikan idea-ideanya dan menginterpretasikan apa
yang ditemukan dalam pengamatannya.
3. Fase Ketiga, Encouraging Cognitive Accommodation (Mengupayakan
Terjadinya Akomodasi Kognitif)
Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru, seseorang tidak
dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah
dimiliki. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan
skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan
akomodasi.
Untuk mendorong terjadinya akomodasi dalam struktur kognitif siswa,
guru menyajikan sesuatu yang lebih meyakinkan mereka bahwa konsepsinya
kurang tepat. Untuk sampai pada tahap meyakinkan siswa, guru perlu
menggunakan pertanyaan yang sifatnya menggali konsepsi siswa, misalnya:
“mengapa…bisa terjadi”, “bagaimana hasilnya jika…”, dan sebagainya.
Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan
rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok
dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan
antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat
mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya, maka terjadilah
ketidakseimbangan (disequilibrium).
Akibat ketidakseimbangan itu maka terjadilah akomodasi dan struktur
kognitif yang ada akan mengalami perubahan atau munculnya struktur yang baru.
31
Bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih
tinggi daripada sebelumnya.
Dengan akomodasi, siswa mengubah konsep yang tidak cocok lagi dengan
fenomena baru yang ia hadapi. Menurut Natsir (Solikhin, 2009:15) adapun syarat
terjadinya akomodasi yaitu:
a. Harus ada ketidakpuasan (dissatisfaction) terhadap konsepsi lama yang telah
ada dalam struktur kognitif, yaitu kondisi yang menyebabkan siswa merasa
tidak puas terhadap konsepsi awal atau gagasannya;
b. Ada konsepsi baru yang lebih bisa dimengerti (intelligible), yaitu kondisi yang
mengarahkan pemahaman minimal siswa terhadap konsep yang sedang
dipelajari;
c. Ada konsepsi baru yang lebih masuk akal (plausible), yaitu kondisi yang
memungkinkan konsep yang sedang dipelajari dapat diterima oleh akal siswa;
d. Ada konsepsi baru yang menyajikan peluang keberhasilan (fruitfull), yaitu
kondisi yang dapat menimbulkan rasa kebermaknaan dalam diri siswa
terhadap konsep yang sedang dipelajari.
Tabel 2.1 berikut ini menyajikan kegiatan guru dan siswa pada model
pembelajaran Novick.
32
Tabel 2.1
Tabel Kegiatan Guru dan Siswa pada Model Pembelajaran Novick
No Fase Kegiatan Siswa Kegiatan guru
1 Pertama,
exposing
alternative
framework
(mengungkap
konsepsi awal
siswa)
1. Siswa memberikan
pendapat untuk
menyelesaikan
permasalahan yang
diberikan dan
menjelaskan hal apa
yang mendasari
pendapat mereka dalam
bentuk tulisan uraian
2. Siswa melakukan
diskusi kelompok
1. Menyajikan suatu
permasalahan dalam
kehidupan sehari-hari
2. Menuntun siswa untuk
melakukan diskusi
kelompok
2 Kedua, creating
conceptual
conflict
(menciptakan
konflik
konseptual)
1. Siswa mengerjakan
LKS yang diberikan
guru
2. Mendeskripsikan
pendapat dalam bentuk
tulisan
3. Siswa mengutarakan
pendapatnya dalam
diskusi kelompok
1. Menyajikan suatu
permasalahan yang
bisa menimbulkan
konflik konseptual
yang lebih mendalam
2. Membimbing siswa
melakukan diskusi
dalam mengerjakan
LKS
3 Ketiga,
encouraging
cognitive
accommodation
(mengupayakan
terjadinya
akomodasi
kognitif)
1. Siswa menjawab
pertanyaan yang
diajukan guru
2. Siswa mengkonstruksi
pengetahuannya tentang
konsep yang sedang
dipelajari
3. Siswa membuat
kesimpulan atas konsep
yang dipelajari
1. Guru memberikan
pertanyaan yang
bersifat menggali
2. Guru memberikan
penguatan konsep
33
D. Sikap
Menurut Syah (Yunita, 2009:30) dalam arti sempit, sikap adalah
“pandangan atau kecenderungan mental.” Dengan demikian, pada prinsipnya
sikap itu bisa kita anggap suatu kecenderungan siswa untuk bertindak dengan cara
tertentu. Menurut Ruseffendi (1991:234) “sikap seseorang terhadap sesuatu itu
erat sekali kaitannya dengan minat.” Jika seorang siswa berminat pada
matematika, maka siswa tersebut akan bersikap positif terhadap pelajaran
matematika.
Sikap dapat kita lihat dari perilaku yang ditunjukkan siswa pada saat
pembelajaran baik berupa tanggapan pada saat menerima pelajaran maupun dalam
mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dan tingkah laku selama belajar dalam
kelas.
Menurut Suherman (2003:187) ada beberapa hal yang dapat diperoleh
guru dengan melaksanakan evaluasi sikap antara lain sebagai berikut.
1. Memperoleh balikan (feed back) sebagai dasar untuk memperbaiki proses
belajar mengajar dan program pengajaran remedial;
2. Memperbaiki perilaku diri sendiri (guru) maupun siswa;
3. Memperbaiki atau menambah fasilitas belajar yang masih kurang;
4. Mengetahui latar belakang kehidupan siswa yang berkenaan dengan aktivitas
belajarnya.
Sikap dapat memberikan pengaruh terhadap pembelajaran dan hasil
belajar. Oleh sebab itu, guru harus memberi rasa nyaman kepada siswa untuk
belajar supaya siswa bersikap positif terhadap pelajaran yang diberikan. Dengan
34
begitu siswa merasa senang dengan pelajaran yang guru berikan, siswa tidak akan
terbebani dengan tugas-tugas yang diberikan. Jika seorang siswa mempunyai
pikiran yang negatif terhadap pelajaran matematika, maka ia tidak akan
menguasai pelajaran matematika dengan baik, walaupun ia mempunyai
kemampuan yang tinggi. Menurut Ruseffendi (2005:129), “Terdapat beberapa
cara bagaimana sikap seseorang bisa diungkapkan, yakni melalui angket dengan
skala sikap, observasi, dan wawancara.” Dengan begitu dapat diketahui
pandangan seseorang terhadap suatu obyek atau kejadian yang ingin kita ketahui.
Sikap terbentuk melalui interaksi antara individu dengan lingkungan.
Johansyah (Yunita, 2009:32) menjelaskan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi
oleh faktor diri sebagai subyek dan faktor dari luar sebagai obyek.
1. Faktor Diri sebagai Subyek
Segala sesuatu di luar subyek, yang akan diterima atau ditolak melalui
proses penilaian. Jika subyek mengetahui obyek, maka terjadi pembentukan sikap
dan subyek menentukan sendiri bentuk respon individu terhadap dunia luarnya
adalah kebutuhan, nilai dan norma serta pengetahuan yang dimilikinya.
2. Faktor dari Luar sebagai Obyek
Segala sesuatu di luar subyek (individu) yang dapat berpengaruh terhadap
pembentukan sikap selalu diawali dengan komunikasi. Tiga hal yang dipengaruhi
komunikasi, yaitu siapa yang menyampaikannya, bagaimana cara
menyampaikannya, dan kepada siapa disampaikannya.
Penyampaian pesan berfungsi menentukan seberapa besar suatu materi
diterima atau ditolak oleh penerima pesan. Materi yang sama dapat berbeda
35
penerimaannya jika disampaikan dengan cara yang berbeda. Hal ini disebabkan
perbedaan penyampaian pesan.
Selain faktor-faktor di atas, masih ada bermacam-macam cara
terbentuknya sikap, seperti yang dijelaskan Slameto (Yunita, 2005:33) bahwa
sikap bisa terbentuk melalui bermacam-macam cara, antara lain sebagai berikut.
1. Melalui pengalaman yang berulang-ulang, atau dapat pula mengenai suatu
pengalaman yang disertai perasaan yang mendalam (pengalaman traumatik);
2. Melalui imitasi, yaitu peniruan yang terjadi tanpa disengaja maupun yang
disengaja. Individu harus mempunyai minat dan rasa kagum terhadap model.
Di samping itu diperlukan pula pemahaman dan kemampuan untuk mengenal
dan mengingat model yang hendak ditiru. Peniruan akan terjadi lancar bila
dilakukan secara kolektif daripada perorangan;
3. Melalui sugesti, yaitu terbentuknya suatu sikap terhadap obyek tanpa suatu
alasan dan pemikiran yang jelas, melainkan semata-mata karena pengaruh
yang datang dari seseorang atau sesuatu yang mempunyai wibawa dalam
pandangannya;
4. Melalui identifikasi, yaitu seseorang yang meniru orang lain atau organisasi
tertentu didasari suatu ketertarikan emosional sikapnya. Meniru dalam hal ini
lebih banyak dalam arti berusaha menyamai.
E. Hasil Penelitian yang Relevan
Awalnya model pembelajaran Novick ini dikembangkan di Amerika oleh
Osborne (Solikhin, 2009:3) yang dilakukan pada tingkat Elementary School.
Namun, untuk pertama kalinya model pembelajaran ini diterapkan di Indonesia,
36
yaitu oleh Muhammad Natsir (Solikhin, 2009:3) pada tahun 1997. Ia
menunjukkan keberhasilannya dalam meningkatkan kemampuan konsep fisika
siswa. Selain penelitian Muhammad Natsir, model pembelajaran Novick juga
sudah banyak diterapkan pada penelitian-penelitian di jurusan pendidikan fisika.
Salah satunya yaitu Solikhin pada tahun 2009 dalam skripsinya yang berjudul
“Penerapan Model Pembelajaran Novick untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemahaman Konsep Fisika Siswa SMP”, ditemukan bahwa kemampuan
pemahaman konsep fisika siswa SMP meningkat setelah diberikan model
pembelajaran Novick.
Pada tahun 2010, Tika Nurlaela menerapkan model pembelajaran Novick
dalam pembelajaran matematika. Dalam skripsinya yang berjudul “Penerapan
Model Pembelajaran Novick untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Logis
Siswa SMP”, ditemukan bahwa peningkatan kemampuan penalaran logis siswa
yang diberikan model pembelajaran Novick lebih tinggi daripada peningkatan
kemampuan penalaran logis siswa yang diberikan pembelajaran konvensional.
Selain itu, berdasarkan hasil angket dan jurnal harian siswa menunjukkan bahwa
antusias siswa terhadap penerapan model pembelajaran Novick dan soal-soal
penalaran logis semakin baik.
Selain itu, dari hasil studi yang dilakukan oleh Siti Sumiyati pada tahun
2008 dalam skripsinya yang berjudul “Meningkatkan Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematis Siswa SMP Menggunakan Pembelajaran Berorientasi
Aktivitas Siswa (PBAS)”, ditemukan bahwa kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa pada kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Hal ini
37
dikarenakan penggunaan pembelajaran berorientasi aktivitas siswa yang lebih
membelajarkan siswa sehingga siswa menjadi lebih aktif dalam belajar.
Berdasarkan hasil jurnal dan angket pun ditemukan bahwa siswa merespon positif
terhadap pembelajaran ini dengan alasan bahwa melalui pembelajaran seperti ini
mereka menjadi lebih tertantang dan belajar pun jadi menyenangkan karena
seperti bermain, namun ada sebagian kecil saja yang merespon negatif dengan
alasan bahwa melalui pembelajaran seperti ini cara pengerjaannya menjadi
panjang dan menyulitkan.
F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, landasan teori, dan hasil penelitian
sebelumnya yang relevan, maka hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut: “Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran melalui model Novick dengan pendekatan kontekstual
lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.”