Peranan likopen terhadap proteomik dan faktor transkripsi pada sel ...
Catatan Ta111bahan Sastra Kontekstual I · jumlah makalah dan transkripsi cerarnah (yang akan...
-
Upload
truonghanh -
Category
Documents
-
view
233 -
download
0
Transcript of Catatan Ta111bahan Sastra Kontekstual I · jumlah makalah dan transkripsi cerarnah (yang akan...
Catatan Ta111bahan Sastra Kontekstual I Oleh Ariel Heryanto I
PERDEBATAN bermerek"sastra kontekstual" telah berbasil merebut perhatian cukup besar dart sejumlah tidak kect1 pengamat kesusasteraan Indonesia. Lontaran, loncatan. tabrakan, dan tumpang-tindih sejum)ah gagasan itu te1ah bersama-sarna membentuk suatu tonjolan tambahan dalam sejarah pertumbuhan gagasan di Indonesia tentang kesusasteraan.
Di tengah lalu-lintas gagasangagasan tersebut, tuUsan ini bisa sedikit kerepotan, dan mungkin juga merepotkan. TuUsan ini tidak dimaksudkan untuk menambah satu nomor tulisan lagi yang ikut salah satu dart dua arus utama perdebatan selama ini: menolak atau mendukung "sastra kontekstual". Mungkin lebih tepatjika catatan embel-embe1 ini dibayangkan sebagai seorang pejalan-kaki yang mau menyeberang jalan yang sudah ramai dtisi lalu-lintas dua arah.
LaIn-Lintas Utama Mungkin ada yang berkebe
ratan jika berbagai ulasan tentang "sastra kontekstual" selama ini dikelompokkan hanya meDjadi dua saJa: menolak atau mendukungnya. Tapi apa cukup alasan untuk mengatakan bahwa yang dua itulah arus utama ulasan-ulasan tentang "sastra kontekstuaJ." selama ini.
SuUt menyangkal besarnya jasa Artef Budiman dalam membentuk tonjolan baru bermerek "sastra kontekstual" dalam sejarah kesusasteraan Indonesia mutakhir. Rasanya tidak berlebihan jika Arief dikatakan . sebagai individu (disampfiilf adanya beberapa kekuatan soslallain ylUlg bukan Indivtdu, misalnya media massa) yang paling berjasa memblUlgkitkan perdebatan paling seru dalam kesusasteraan Indonesia sejak perglUltian tahun 1984-1985 ini.
Tampilnya seorang (bukan orangnya sendiri) Artef BudimlUl di garts depan perdebatan "sastra kontekstual" telah menggerakkan kekuatan dukungan dart blUlyak pihak. Tapi tampilnya seorang Artef Budiman pulalah ylUlg menjadi salah satu alasan terpenting tumbuh-
nya kekuatan penentang dan pcnyanggah terhadap gagasan "sastra kontekstual". Tanpa keterllbatan seorang Arter Budiman demikian, suUtlah membayangkan bisa terjadinya perdebatan seru seperti yang kini kita saksikan. Dlkehendaki ataupun tidak
oleh Artef Budiman sendiri, la telah menjadi superstar di satu kubu, dan sekaUgus musuh-utama di kubu lain dalam gelanggang perdebatan "sastra kontekstual".
Dikehendaki ataupun tidak oleh Artef Budiman sendiri. Istilah-kunci "sastra kontekstual" telah menyebar dalam pengertian "sejenis karya-karya sastra" dengan sifatl ciril themal warnal orientasi tertentu. Ada beberapa pilihlUl kata-kata untuk menje1askan sifatl ciri/ themal warnal orientasi tersebut. Misalnya "kiri", dalam pengertian "memperianyakanl me1awan yang te1ah mapan". Atau "terlibat", dalam pcngertian mempersoalkan de rita rakyat kect1, kemiskinan massal dan struktural, serta ketidakadilan sosial. Atau "berpijak di bumi sendiri", dalam pengertlan "tidak teraslng" dan "tidak universal".
Betapapun besarnya peran, jasa, dan kewibawaan seorang Arief Budiman. la Udak dapat sendirian menentukan seUap dan seluruh baglan perisUwa perdebatan "sastra kontekstual". Banyak faktor penentu lain, tapi be1um mungkin diuraikan di sini.
Karena "kontekstual" telah menyebar sebagai suatu (kata) sifat untuk menjelaskan warna/cirt/ thema/orientasl sejenis karya sastra, maka tak sedikit yang menyebut-nyebut isUlah "kurlUlg kontekstual", ''leblh kontekstual dartpada ... ", "agak kontekstual", atau "sangat kontekstual".
Sarasehau Keseniau 1984
Jika catatan dan pengamatan saya tak me1ewat, untuk pertama kaUnya secara publik istilah
"sastra kontekstual" digunakan AriefBudiman dalam TemuRedaktur se Jawa dan Temu Sastrawan se Jawa-Tengah di Semarang (Desember 1984). Dalam makalahnya untuk pertemuan itu (dimuat Miuggu Ini, 6-1-1985) Arief Budiman menyatakan "Dalam seminar (maksudnya "sarasehan"-AH) yang di Sala itu muncu1 istilah sastra kontek.stual".
Pernyataan !tu memberikan alasan pertama tumbuhnya keberanian saya untuk mengajukan catatan embel-embel inf. Scjauh terscdianya rekaman tertulis dan ingatan yang ada pada saya. hanya saya dalam sarasehan itu yang mengajukan pembicaraan dengan istilahkunci "sastra kontekstual". Rekaman tertulis itu berupa sejumlah makalah dan transkripsi cerarnah (yang akan diterbitkan HaUm RD, dalam waktu dekat?) serta laporan media massa-cetak (Kompas, Pikiran Rakyat, Miuggu Ini, dan Hortson).
Hal itu bukan suatu pengakuan bahwa gagasan "sastra kontekstual" bikinan saya belaka, sedang Artef Budiman hanya mempopulerkannya. Sarna sekali bukan demikian.
Dasllr-dasar pemikiran yang saya kumpuIkan dan susun untuk pembicaraan di Solo sudah dikembangkan banyak orangjauh sebelum saya lahir di dunia. Apa yang saya ajukan di Solo hanyalah versi saya (dengan kekuatan dan cacatnya) dart sejumlah gagasan yang saya pelaJart dart orang-orang lain. Termasuk dart Arief budiman sendiri. Cuma saja, mereka tidak menggunakan isUlah "sastra kontekstual". Tap! masalahnya tidak cuma sekedar soal peristi1ahiUl.
Ada alasan lain, just.ru lebih penting, ylUlg mendorong saya untuk mengajukan tulisan ini. Pengertlan "sastra kontekstual" yang diperdebatkan banyak orang, yang dianggap bermula dart pemyataan Artef Budiman (sedang Artef sendiri menyatakan halltu bcrasal dart sarasehan di Solo), temyata sangat berbeda (sengaja tak saya katakan
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>
"menyimpang") dart apa yang saya maksudkan dalam pembicaraandt Solo.
Bergesemya pengerttan "sastra kontekstual" ltu bukan untuk dtsesali bercengeng-cengeng. Istilah dan pengerttannya (atau lengkapnya: bahasa) tidak pernah menjadi hak millk pribadi seseorang. la bebas berkembang dan berubah secara sahjika diterima banyak orang. Hanya saja, kalau diperkenan, saya tngin mengemukakan perbedaan itu secara jelas. Dan menawarkan kembali pengerttan pokok saya tentang "sastra kontekstual" sepertt yang pernah saya kemukakan di Solo.
Kalaupun nantinya pengerttan "sastra kontekstual" yang dipopulerkan Artef Budiman, para pendukungnya, dan para penentangnyaternyatatetaplebih diterima umum, saya juga tak berkecil hati. Malahan hal itu memperkokoh dan mendukung gagasan utama saya tentang kuatnya dan mutlaknya konteks soBial Wstoris menentukan nasib suatu gagasan yang diangkat kepermukaan pada suatu masa, dalam suatu masyarakat.
Kontekstual: Apanya?
Istilah "sastra kontekstual" saya gunakan bukan dalam pengerttan "sejenis karya sastra". Melainkan sejenis pemahaman tentang karya sastra, proses penciptaannya, penyebarannya, penerimaan publlknya(Bingkatnya: seluk-belukkesusasteraan) dalam kaitan mutlaknya dengan konteks sosialWstorisnya. Untuk dijelaskan secara memuaskan, paham itu membutuhkan uraian panjanglebar yang tak mungkin dibeber di sini.
Pemahaman demikian bertolak dart pandangan bahwa tidak ada satu karya sastrapun - atau bahkan kepingan terkecil dari satu karya sastra - yang tidak kontekstual. Hal ini saya nyatakan secara eksplisit dalam pembicaraan lisan di sarasehand i Solo dan sempat terekam dalam laporan di koran Pikiran Rakyat (29-10-1984).
Dengan demikian yang ada bukanlah satujents karya-karya sastra yang disebut "kontekstual", disarnping adanya jents-jenis yang lain. Semua karya sastra sama-sama "kontekstual", walau "konteks"nya tidak selalu sarna. Tak ada karya sastra yang "universal", "setengah universal", "setengah kontekstual", "agak kontekstual" atau "sangat kontekstual". Sajak "Pot" Sutardji C. Bachri sarna-sama "kontekstual" dengan sajak "Seonggok jagung di kamar" Rendra, misalnya.
Istilah "universal", atau "setengah universal" atau "setengah kontekstual" bisa diterima jika dipakai untuk menjelaskan anggapan-anggapan dasar dan watak pemahaman serta ulasan tentang suatu karya sastra. Artinya, ada ulasan tentang karya sastra yang tidak, yang sedikit,a tau yang banyak memperhitungkan kaitan antara karva sastra itu dengan konteks soSial-historisnya. lnilah pokok persoalan yang saya ajukan dalam sara·
sehan di Solo. Timbul dan jayanya suatu anggapan atau paham tentang "nita! sastta yang universal" juga punya konteks, dan perlu dipahami secara kontekstual.
Hikmahnya
Lebib dar! tlga bulan sesudah berakbimya sarasehan di Solo ftu, Umar Kayam (Horison, 2/1985) memberlkan tanggapan yang berbobot terhadap gagasan Artef Budtman tentang "sastra kontekstual". Dalam tulisan itu Umar Kayam berusaha membuktikan bahwa semua karya sastra itu kontckstual. Tinggal persoalannya: "kontekstual yang bagaimana?" begitu ditanyakan Umar Kayam dalam tulisan yang diberi catatan khusus ''buat Artef Budiman". Saya tak perlu lancang untuk coba-coba memberi jawaban pada pertanyaan pentIng itu. Saya tak perlu pura-pura Ie· bib tabu jawaban ltu daripada Artef Budiman atau umar Kayam sendiri.
Andaikan saya seorang Artef Budtman atau seorang Umar Kayam mungkin sekalt apa yang saya ajukan dl Solo akan menyebar lebib luas dan mendapat perhatian lebib banyak. Kalau gagasan saya tidakjelek, mungkin akan banyak pendukungnya. Kalau ternyata brengsek, mwigkin banyak pencelanya. Sehingga tiga bulan sesudah sarasehan ltu bubar mungkin tak perlu se· orang Umar Kayam berepot-repot berusaha membuktikan lagi bahawa tidak ada karya sastra yang tak kontekstual. Dan mempertanyakan lagi: "kontekstual yang bagaimana?".
Karena saya bukan seorang Artef Budiman atau seorang Umar Kayam, saya cukup bergembira ketika Artef Budiman sendiri menulls "... ~astra kon· tekstual menyatakan bahwa tidak ada sastra yang tidak kontekstual" tiga bulan sesudah usainva sarasehan di Solo. Tulisan itu dimaksudkan Artef sebagai suatu penjelasan tambahan karena ia merasa gagasannya tengang "sastra kontekstual" telah "banyak disalah-pahami". Saya harns cukup gembi. ra penjelasan Artef itu disebarkan Kompas (l-0-2-1985), tiga hart setelah Kompas menolak tawaran saya untuk memberikan penjelasan serupa.
Karena saya adalah saya sen· dirt, pasti saya pun tak cukup mampu mengenali sejumlah gagasan yang sejiwa dengan'sastra kontekstual" yang pemah disarnpaikan berbagai orang lain Uga hart, tiga bulan, tiga tabun, tigapuluh tabun, atau tiga abad sebelum saya bieara tentang "sastra kontekstual" di Solo.
Ternyata kita-kita Int manusia belaka. Kita punya "tempat" dan "peran yang berbeda-beda. Selalu terbatas. Bukan karena nasib yang berharga mati belaka. Tapi karena konteks sosial· Wstoris yang mengepung kita.
Perdebatan tentang "sastra kontekstual" itu sendirt akan lebib lengkap dan lebib menarik jika dipelajart secara kontekstuall
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>