Catatan Kritis APBN 2009

1
APBN 2009: Beberapa Catatan Kritis Contributed by Latif Adam, Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI Thursday, 13 November 2008 Kamis (31/10) dua pekan lalu Undang-Undang APBN 2009 akhirnya disepakati dan disahkan dalam sidang paripurna DPR. Beberapa asumsi APBN 2009 yang disepakati oleh pemerintah dan DPR adalah pertumbuhan ekonomi 6%, tingkat inflasi 6,2%,nilai tukar rupiah Rp9.400 per dolar AS,suku bunga SBI 3 bulan rata-rata 7,5%, harga minyak USD80 per barel, dan lifting minyak 960 juta barel per hari (BPH). Pendapatan negara dan hibah dalam APBN 2009 direncanakan sebesar Rp985,7 triliun, meningkat Rp90,7 triliun (10,1%) dari APBN-P 2008,sedangkan belanja negara mencapai Rp1.037 triliun, naik Rp47,5 triliun (4,8%) dari APBN-P 2008. Dengan demikian, APBN 2009 mengalami defisit Rp51,3 triliun (1% dari PDB). Angka itu lebih rendah dari angka defisit APBN-P 2008 sebesar Rp94,5 triliun. Realistiskah asumsi-asumsi yang digunakan di dalam APBN 2009? Seberapa jauh APBN 2009 mampu mendorong kinerja perekonomian Indonesia? Tulisan ini akan mencoba mendiskusikan dua isu penting seperti tersebut di atas. Ancaman Defisit Di tengah volatilitas beberapa variabel makro karena tekanan krisis keuangan global, soliditas asumsiasumsi yang digunakan di dalam APBN 2009 sangat meragukan untuk bisa dipertahankan. Seandainya asumsi-asumsi yang digunakan sebagai fondasi untuk menyusun APBN 2009 tidak sesuai kenyataannya nanti, belanja (pengeluaran) negara akan mengalami peningkatan, sedangkan pendapatan negara justru berpotensi mengalami penurunan. Pada gilirannya, keadaan ini bisa membuat defisit APBN 2009 melonjak jauh lebih tinggi dari Rp51,3 triliun (1% dari PDB). Dari sisi pengeluaran, beberapa hal berpotensi mendorong pengeluaran lebih tinggi dari yang telah ditetapkan sebelumnya. Pertama, naiknya beban utang luar negeri dalam denominasi dolar AS karena depresiasi rupiah yang lebih tinggi dari Rp9.400 per dolar AS.Kedua,naiknya beban utang domestik karena suku bunga utang domestik biasanya berjalan secara linier dengan SBI. Dalam kaitan ini, tinggi- rendahnya inflasi yang mendorong naik-turunnya SBI akan menentukan beban bunga utang domestik yang harus dipikul pemerintah. Ketiga, meski harga minyak menunjukkan kecenderungan yang terus-menurun, tetapi pergerakannya di tahun 2009 masih sulit diperkirakan. Ada kemungkinan harga minyak lebih tinggi dari yang diasumsikan (USD80 per barel) karena negara-negara OPEC telah bersepakat untuk menurunkan produksi dan supplysebesar 1,5 juta BPH untuk mendorong harga mendekati level yang mereka inginkan sebesar USD100 per barel. Selain itu, beberapa analisis menunjukkan kemungkinan harga minyak meroket kembali karena harga komoditas ini dipengaruhi tidak saja oleh faktor fundamental (permintaan dan penawaran), tetapi juga oleh permainan spekulatif. Seandainya harga minyak lebih tinggi dari yang diasumsikan, beban pengeluaran subsidi BBM (juga listrik) akan lebih tinggi dari yang dialokasikan sebelumnya (Rp126,8 triliun). Dari sisi penerimaan, potensi menurunnya penerimaan dipengaruhi oleh resesi yang saat ini membayangbayangi perekonomian Indonesia. Di sini, resesi akan berdampak secara negatif tidak saja terhadap menurunnya penerimaan pajak sektor swasta, tetapi juga penerimaan nonpajak seperti setoran laba BUMN. Pemerintah akan berada dalam posisi sulit bila defisit lebih tinggi dari yang telah ditetapkan. Mengandalkan pembiayaan defisit melalui pasar, misalnya dengan menerbitkan SUN, tidak terlalu menguntungkan pada kondisi krisis menekan perekonomian negeri ini karena rendahnya yield dan harga SUN. Karena itu, meski resistensi dari masyarakat sangat tinggi,pemerintah tampaknya akan memilih untuk menambah utang luar negeri yang memang telah ditawarkan oleh beberapa lembaga donor seperti World Bank. Daya Dorong Di tengah bayang-bayang krisis global yang akan berdampak negatif terhadap kinerja sektor swasta,APBN 2009 sebenarnya mempunyai posisi strategis untuk mempertahankan dan mendorong perekonomian Indonesia. Di sini, alokasi dan efisiensi belanja negara akan menentukan apakah APBN mampu menjadi bumper untuk mempertahankan dan mendorong kinerja perekonomian negeri ini. Sayangnya postur APBN 2009 tidak mendukung ke arah itu. Indikasinya terlihat dari beberapa hal berikut. Pertama, sekitar 29% (Rp300,25 triliun) belanja negara terserap untuk membiayai subsidi (energi sebesar Rp126,82 triliun dan nonenergi Rp63,13 triliun) dan bayar utang (dalam negeri sebesar Rp77,1 triliun dan luar negeri Rp33,2 triliun). Di dalam teori ekonomi fiskal, biaya subsidi dan bayar utang ini merupakan bidang yang kurang produktif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kedua, proporsi belanja modal (Rp90,7 triliun) dan barang (Rp76,4 triliun) masih terlalu rendah, hanya sekitar 16,1% dari total belanja. Anggaran belanja modal bahkan mengalami penurunan dibandingkan yang dialokasikan pada APBN 2008, Rp101 triliun. Rendahnya alokasi belanja modal dan barang ini akan membuat APBN memberikan multiplier effect yang marginal terhadap perekonomian. Ketiga, anggaran belanja infrastruktur APBN 2009 hanya sekitar 3%. Angka ini kurang signifikan untuk menggerakkan roda perekonomian dan memacu pertumbuhan. Perhitungan yang dilakukan World Bank (2008) menunjukkan bahwa paling sedikit anggaran infrastruktur harus berada di kisaran 6%, atau dua kali lipat dari yang saat ini dianggarkan. Keempat, pemerintah belum secara serius mengatasi masalah-masalah yang menghambat percepatan realisasi anggaran,baik yang dikelola pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Karena itu, di tahun 2009 kita mungkin akan kembali menyaksikan realisasi anggaran yang menumpuk di akhir tahun. Penumpukan realisasi anggaran di akhir tahun tentu saja akan mengurangi optimalisasi dan efektivitas daya dorong APBN terhadap perekonomian. Dua isu yang merupakan prasyarat agar APBN mampu menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi masih belum nampak di dalam APBN 2009. Pertama, beberapa asumsi yang menjadi dasar penyusunan APBN 2009 masih diragukan rigiditasnya.Keadaan ini bisa membuat APBN menjadi tidak sustainabledan comprehensive.Kedua, alokasi anggaran juga tidak cukup solid untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Karena itu, APBN 2009 mungkin tidak akan optimal berperan sebagai pendorong kinerja perekonomian Indonesia.(*) Oleh: Latif Adam, Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI, dari Koran Sindo economy, culture, art, tourism & lifestyle | focused on the eastern regions of indonesia | bentara-online.com | http://www.bentara-online.com/main/ Powered by Joomla! Generated: 16 January, 2010, 11:17

description

vsdf

Transcript of Catatan Kritis APBN 2009

  • APBN 2009: Beberapa Catatan Kritis Contributed by Latif Adam, Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPIThursday, 13 November 2008

    Kamis (31/10) dua pekan lalu Undang-Undang APBN 2009 akhirnya disepakati dan disahkan dalam sidang paripurnaDPR. Beberapa asumsi APBN 2009 yang disepakati oleh pemerintah dan DPR adalah pertumbuhan ekonomi 6%,tingkat inflasi 6,2%,nilai tukar rupiah Rp9.400 per dolar AS,suku bunga SBI 3 bulan rata-rata 7,5%, harga minyak USD80per barel, dan lifting minyak 960 juta barel per hari (BPH). Pendapatan negara dan hibah dalam APBN 2009 direncanakan sebesar Rp985,7 triliun, meningkat Rp90,7 triliun(10,1%) dari APBN-P 2008,sedangkan belanja negara mencapai Rp1.037 triliun, naik Rp47,5 triliun (4,8%) dari APBN-P2008. Dengan demikian, APBN 2009 mengalami defisit Rp51,3 triliun (1% dari PDB). Angka itu lebih rendah dari angkadefisit APBN-P 2008 sebesar Rp94,5 triliun. Realistiskah asumsi-asumsi yang digunakan di dalam APBN 2009?Seberapa jauh APBN 2009 mampu mendorong kinerja perekonomian Indonesia? Tulisan ini akan mencobamendiskusikan dua isu penting seperti tersebut di atas. Ancaman Defisit Di tengah volatilitas beberapa variabelmakro karena tekanan krisis keuangan global, soliditas asumsiasumsi yang digunakan di dalam APBN 2009 sangatmeragukan untuk bisa dipertahankan. Seandainya asumsi-asumsi yang digunakan sebagai fondasi untuk menyusunAPBN 2009 tidak sesuai kenyataannya nanti, belanja (pengeluaran) negara akan mengalami peningkatan, sedangkanpendapatan negara justru berpotensi mengalami penurunan. Pada gilirannya, keadaan ini bisa membuat defisit APBN2009 melonjak jauh lebih tinggi dari Rp51,3 triliun (1% dari PDB). Dari sisi pengeluaran, beberapa hal berpotensimendorong pengeluaran lebih tinggi dari yang telah ditetapkan sebelumnya. Pertama, naiknya beban utang luar negeridalam denominasi dolar AS karena depresiasi rupiah yang lebih tinggi dari Rp9.400 per dolar AS.Kedua,naiknya bebanutang domestik karena suku bunga utang domestik biasanya berjalan secara linier dengan SBI. Dalam kaitan ini, tinggi-rendahnya inflasi yang mendorong naik-turunnya SBI akan menentukan beban bunga utang domestik yang harus dipikulpemerintah. Ketiga, meski harga minyak menunjukkan kecenderungan yang terus-menurun, tetapi pergerakannya ditahun 2009 masih sulit diperkirakan. Ada kemungkinan harga minyak lebih tinggi dari yang diasumsikan (USD80 perbarel) karena negara-negara OPEC telah bersepakat untuk menurunkan produksi dan supplysebesar 1,5 juta BPH untukmendorong harga mendekati level yang mereka inginkan sebesar USD100 per barel. Selain itu, beberapa analisismenunjukkan kemungkinan harga minyak meroket kembali karena harga komoditas ini dipengaruhi tidak saja oleh faktorfundamental (permintaan dan penawaran), tetapi juga oleh permainan spekulatif. Seandainya harga minyak lebih tinggidari yang diasumsikan, beban pengeluaran subsidi BBM (juga listrik) akan lebih tinggi dari yang dialokasikansebelumnya (Rp126,8 triliun). Dari sisi penerimaan, potensi menurunnya penerimaan dipengaruhi oleh resesi yang saatini membayangbayangi perekonomian Indonesia. Di sini, resesi akan berdampak secara negatif tidak saja terhadapmenurunnya penerimaan pajak sektor swasta, tetapi juga penerimaan nonpajak seperti setoran laba BUMN. Pemerintah akan berada dalam posisi sulit bila defisit lebih tinggi dari yang telah ditetapkan. Mengandalkan pembiayaandefisit melalui pasar, misalnya dengan menerbitkan SUN, tidak terlalu menguntungkan pada kondisi krisis menekanperekonomian negeri ini karena rendahnya yield dan harga SUN. Karena itu, meski resistensi dari masyarakat sangattinggi,pemerintah tampaknya akan memilih untuk menambah utang luar negeri yang memang telah ditawarkan olehbeberapa lembaga donor seperti World Bank. Daya Dorong Di tengah bayang-bayang krisis global yang akanberdampak negatif terhadap kinerja sektor swasta,APBN 2009 sebenarnya mempunyai posisi strategis untukmempertahankan dan mendorong perekonomian Indonesia. Di sini, alokasi dan efisiensi belanja negara akanmenentukan apakah APBN mampu menjadi bumper untuk mempertahankan dan mendorong kinerja perekonomiannegeri ini. Sayangnya postur APBN 2009 tidak mendukung ke arah itu. Indikasinya terlihat dari beberapa hal berikut.Pertama, sekitar 29% (Rp300,25 triliun) belanja negara terserap untuk membiayai subsidi (energi sebesar Rp126,82triliun dan nonenergi Rp63,13 triliun) dan bayar utang (dalam negeri sebesar Rp77,1 triliun dan luar negeri Rp33,2triliun). Di dalam teori ekonomi fiskal, biaya subsidi dan bayar utang ini merupakan bidang yang kurang produktif untukmendorong pertumbuhan ekonomi. Kedua, proporsi belanja modal (Rp90,7 triliun) dan barang (Rp76,4 triliun) masihterlalu rendah, hanya sekitar 16,1% dari total belanja. Anggaran belanja modal bahkan mengalami penurunandibandingkan yang dialokasikan pada APBN 2008, Rp101 triliun. Rendahnya alokasi belanja modal dan barang iniakan membuat APBN memberikan multiplier effect yang marginal terhadap perekonomian. Ketiga, anggaran belanjainfrastruktur APBN 2009 hanya sekitar 3%. Angka ini kurang signifikan untuk menggerakkan roda perekonomian danmemacu pertumbuhan. Perhitungan yang dilakukan World Bank (2008) menunjukkan bahwa paling sedikit anggaraninfrastruktur harus berada di kisaran 6%, atau dua kali lipat dari yang saat ini dianggarkan. Keempat, pemerintah belumsecara serius mengatasi masalah-masalah yang menghambat percepatan realisasi anggaran,baik yang dikelolapemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Karena itu, di tahun 2009 kita mungkin akan kembali menyaksikanrealisasi anggaran yang menumpuk di akhir tahun. Penumpukan realisasi anggaran di akhir tahun tentu saja akanmengurangi optimalisasi dan efektivitas daya dorong APBN terhadap perekonomian. Dua isu yang merupakan prasyaratagar APBN mampu menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi masih belum nampak di dalam APBN 2009. Pertama,beberapa asumsi yang menjadi dasar penyusunan APBN 2009 masih diragukan rigiditasnya.Keadaan ini bisa membuatAPBN menjadi tidak sustainabledan comprehensive.Kedua, alokasi anggaran juga tidak cukup solid untuk mendorongpertumbuhan ekonomi. Karena itu, APBN 2009 mungkin tidak akan optimal berperan sebagai pendorong kinerjaperekonomian Indonesia.(*) Oleh: Latif Adam, Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI, dari Koran Sindo

    economy, culture, art, tourism & lifestyle | focused on the eastern regions of indonesia | bentara-online.com |

    http://www.bentara-online.com/main/ Powered by Joomla! Generated: 16 January, 2010, 11:17