Catatan Koass PBL Geriatri Diabetes Mellitus tipe II
-
Upload
hendrik-surya-adhi-putra -
Category
Documents
-
view
219 -
download
3
description
Transcript of Catatan Koass PBL Geriatri Diabetes Mellitus tipe II
BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes sudah dikenal sejak berabad-abad sebelum masehi. Pada 200 tahun sebelum masehi,
Aretaeus menyebutnya sebagai penyakit aneh dan menamai penyaki tersebut dengan diabetes
dari kata diabere yang berarti siphon atau tabung untuk mengalirkan cairan dari satu tempat
ketempat lain. Dia menggambarkan penyakit itu sebagai melelehnya daging dan tungkai
kedalam urine. Tahun 1674 Willis melukiskan urin tadi seperti digelimangi madu dan gula.
Oleh karena itu, sejak itu nama penyakit tersebut ditambah dengan kata mellitus yang berarti
madu atau manis. Kemudian pada tahun 1921 ditemukan insulin oleh seorang ahli bedah
muda Frederick Grant Banting dan Charles Herbert Best yang mulai mengubah dunia dalam
penanganan penyakit diabetes mellitus.1
Pada saat ini, jumlah usia lanjut (lansia, berumur ≥65 tahun) di dunia diperkirakan
mencapai 450 juta orang (7% dari seluruh penduduk dunia), dan nilai ini diperkirakan akan
terus meningkat. Sekitar 50% lansia mengalami intoleransi glukosa dengan kadar gula darah
puasa normal. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi Diabetes Melitus (DM)
maupun Gangguan Toleransi Glukosa (GTG) meningkat seiring dengan pertambahan usia,
menetap sebelum akhirnya menurun. Dari data WHO didapatkan bahwa setelah mencapai
usia 30 tahun, kadar glukosa darah akan naik 1-2 mg% per tahun pada saat puasa dan akan
naik sebesar 5,6-13 mg% per tahun pada 2 jam setelah makan.1 Berdasarkan data The Centers
for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2010, sekitar 42 % populasi dengan
diabetes berusia ≥ 65 tahun.2
Seiring dengan pertambahan usia, lansia mengalami kemunduran fisik dan mental
yang menimbulkan banyak konsekuensi. Selain itu, kaum lansia juga mengalami masalah
khusus yang memerlukan perhatian antara lain lebih rentan terhadap komplikasi
makrovaskular maupun mikrovaskular dari DM dan adanya sindrom geriatri.1 Komplikasi
penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas untuk
individu dengan DM. Kondisi yang paling sering menyertai DM tipe 2 yaitu hipertensi dan
dislipidemia, merupakan faktor risiko yang nyata terhadap terjadinya komplikasi
kardiovaskular. Tindakan mengontrol kedua faktor risiko ini, akan mencegah atau
memperlambat penyakit kardiovaskular pada lansia dengan DM.3,4
Tatalaksana DM tipe 2 pada lansia seringkali menunjukkan suatu konflik prioritas,
yang mana tatalaksana terindividualisasi diperlukan dengan memperhatikan riwayat penyakit,
functional ability, situasi perawatan di rumah, harapan hidup dan kepercayaan lansia tersebut
mengenai kesehatannya. Target terapi terhadap tiga intermediate outcomes yaitu kontrol
glikemik (HbA1c), kontrol tekanan darah dan profil lipid, akan membantu tatalaksana lansia
dengan DM tetap berada pada jalurnya. Kontrol glikemik pada lansia akan memperbaiki
gejala hiperglikemia serta outcome mikrovaskular dan makrovaskular. Kontrol glikemik yang
ketat (HbA1c) secara spesifik akan memperbaiki outcome mikrovaskular. Kekurangan dari
kontrol glikemik yang ketat pada lansia adalah hipoglikemia dan penerapan polifarmasi.
Sementara itu, kontrol terhadap kolesterol dan tekanan darah juga akan mengurangi
komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus Tipe 2 pada Lansia
2.1.1 Definisi
Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan
oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut
(DM tipe-1) maupun relatif. Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang diderita
seumur hidup. Penyakit ini merupakan penyakit metabolik yang kebanyakan herediter,
dimana terjadi defek pada sel beta pankreas sebagai penghasil insulin atau defek pada
ambilan glukosa di jaringan perifer atau keduanya (DM tipe-2). Diabetes adalah penyakit
kronis, yang terjadi ketika pankreas tidak menghasilkan insulin yang cukup, atau ketika tubuh
tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan
peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah (hiperglikemia).
2.1.2 Patogenesis DM Tipe 2 pada Lansia
Seiring dengan proses penuaan, semakin banyak lansia yang berisiko terhadap terjadinya
DM, sehingga sekarang dikenal istilah prediabetes.1 Prediabetes merupakan kondisi tingginya
gula darah puasa (gula darah puasa 100-125mg/dL) atau gangguan toleransi glukosa (kadar
gula darah 140-199mg/dL, 2 jam setelah pembebanan 75 g glukosa).1,3
Modifikasi gaya hidup
mencakup menjaga pola makan yang baik, olah raga dan penurunan berat badan dapat
memperlambat perkembangan prediabetes menjadi DM. Bila kadar gula darah mencapai
≥200 mg/dL maka pasien ini masuk dalam kelas Diabetes Melitus (DM).1
Gangguan metabolisme karbohidrat pada lansia meliputi tiga hal yaitu resistensi
insulin, hilangnya pelepasan insulin fase pertama sehingga lonjakan awal insulin postprandial
tidak terjadi pada lansia dengan DM, peningkatan kadar glukosa postprandial dengan kadar
gula glukosa puasa normal.1
Di antara ketiga gangguan tersebut, yang paling berperanan adalah resistensi insulin.
Hal ini ditunjukkan dengan kadar insulin plasma yang cukup tinggi pada 2 jam setelah
pembebanan glukosa 75 gram dengan kadar glukosa yang tinggi pula. Timbulnya dan
memburuknya resistensi insulin pada lansia dapat disebabkan oleh 4 faktor perubahan
komposisi tubuh yaitu massa otot lebih sedikit dan jaringan lemak lebih banyak, menurunnya
aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan
insulin, perubahan pola makan lebih banyak makan karbohidrat akibat berkurangnya jumlah
gigi, perubahan neurohormonal (terutama insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan
dehidroepiandosteron (DHEAS) plasma) sehingga terjadi penurunan ambilan glukosa akibat
menurunnya sensitivitas reseptor insulin dan aksi insulin.1
2.1.3 Manifestasi Klinik DM Tipe 2 pada Lansia
Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan tidak selalu
tampak pada lansia penderita DM karena seiring dengan meningkatnya usia terjadi kenaikan
ambang batas ginjal untuk glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila
glukosa darah sudah cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus terganggu seiring
dengan penuaan, maka polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lansia penderita DM mudah
mengalami dehidrasi hiperosmolar akibat hiperglikemia berat.1
DM pada lansia umumnya bersifat asimptomatik, kalaupun ada gejala, seringkali
berupa gejala tidak khas seperti kelemahan, letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya
status kognitif atau kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi,
mudah jatuh, dan inkontinensia urin). Inilah yang menyebabkan diagnosis DM pada lansia
seringkali agak terlambat. Bahkan, DM pada lansia seringkali baru terdiagnosis setelah
timbul penyakit lain.1
Di sisi lain, adanya penyakit akut (seperti infark miokard akut, stroke, pneumonia,
infeksi saluran kemih, trauma fisik/psikis) dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Hal ini
menyebabkan lansia yang sebelumnya sudah mengalami toleransi glukosa darah terganggu
(TGT) meningkat lebih tinggi kadar gula darah sehingga mencapai kriteria diagnosis DM.
Tata laksana kondisi medis akut itu dapat membantu mengatasi eksaserbasi intoleransi
glukosa tersebut.1
2.1.4 Diagnosis
Pada usia 75 tahun, diperkirakan sekitar 20% lansia mengalami DM, dan kurang lebih
setengahnya tidak menyadari adanya penyakit ini. Oleh sebab itu, American Diabetes
Association (ADA) menganjurkan penapisan (skrining) DM sebaiknya dilakukan terhadap
orang yang berusia 45 tahun ke atas dengan interval 3 tahun sekali. Interval ini dapat lebih
pendek pada pasien berisiko tinggi (terutama dengan hipertensi dan dislipidemia).1 Berikut
ini adalah kriteria diagnosis DM menurut standar pelayanan medis ADA 2012.
Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis DM Menurut ADA 2012.4
Kriteria Diagnosis DM
1. HbA1c ≥ 6,5 %; atau
2. Kadar gula darah puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L); atau
3. Kadar gula darah 2 jam pp ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L) pada tes toleransi glukosa
oral yang dilakukan dengan 75 g glukosa standar WHO)
4. Pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia
dengan kadar gula sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L).
Sebagaimana tes diagnostik lainnya, hasil tes terhadap DM perlu diulang untuk
menyingkirkan kesalahan laboratorium, kecuali diagnosis DM dibuat berdasarkan keadaan
klinis seperti pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia. Tes
yang sama dapat juga diulang untuk kepentingan konformasi. Kadangkala ditemukan hasil tes
pada seorang pasien yang tidak bersesuaian (misalnya antara kadar gula darah puasa dan
HbA1c). Jika nilai dari kedua hasil tes tersebut melampaui ambang diagnostik DM, maka
pasien tersebut dapat dipastikan menderita DM. Namun, jika terdapat ketidaksesuaian
(diskordansi) pada hasil dari kedua tes tersebut, maka tes yang melampaui ambang diagnostik
untuk DM perlu diulang kembali dan diagnosis dibuat berdasarkan hasil tes ulangan. Jika
seorang pasien memenuhi kriteria DM berdasarkan pemeriksaan HbA1c (kedua hasil ≥6,5%),
tetapi tidak memenuhi kriteria berdasarkan kadar gula darah puasa (≤126 mg/dL) atau
sebaliknya, maka pasien tersebut dianggap menderita DM.1
2.1.5 Tatalaksana DM Tipe 2 pada Lansia
Konsensus ADA 2012 menganjurkan untuk melakukan intervensi segera setelah pasien
terdiagnosis menderita DM.4 Terapi DM tipe 2 dibagi menjadi 2 tingkatan, yaitu :
1
1. Tingkat 1 (well validated core therapies)
Intervensi ini merupakan yang paling banyak digunakan dan paling cost-effective untuk
mencapai target gula darah. Terapi tingkat 1 ini terdiri dari modifikasi gaya hidup (untuk
menurunkan berat badan & olah raga), metformin, sulfonilurea, dan insulin.
a. Tingkat 1/Langkah 1
Intervensi awal yang dilakukan adalah kombinasi modifikasi gaya hidup dan pemberian
metformin. Modifikasi gaya hidup pada lansia penderita DM meliputi menjaga pola makan
(diet) yang baik, olah raga dan penurunan berat badan.1
Gambar 2.1 Algoritme pengelolaan DM tipe 2.1,8
Modifikasi gaya hidup
- Terapi diet
Terapi diet untuk lansia dapat merupakan sebuah masalah tersendiri karena adanya
berbagai keterbatasan, antara lain berupa keterbatasan finansial, tidak mampu
menyediakan bahan makanan karena masalah transportasi/mobilitas, tidak mampu
menyiapkan makanan (terutama pada lansia pria tanpa istri), keterbatasan dalam
mengikuti instruksi diet karena adanya gangguan fungsi kognitif, berkurangnya
pengecapan karena berkurangnya kepekaan dan jumlah reseptor pengecap, meningkatnya
kejadian konstipasi pada lansia. Total kalori dan komposisi makanan juga harus
diperhitungkan.1
- Olahraga
Berikut ini adalah pertimbangan manfaat-risiko olahraga pada lansia.
Tabel 2.2 Peran Olahraga pada Lansia.1
Manfaat Risiko
Perbaikan toleransi glukosa
Peningkatan kemampuan konsumsi oksigen
maksimum Peningkatan kekuatan otot
Penurunan tekanan darah
Pengurangan lemak tubuh
Perbaikan profil lipid
Hipoglikemia
Cedera pada tulang-sendi dan kaki
Sudden cardiac death
Karena pada lansia, seringkali dijumpai juga penyakit penyerta seperti osteoartritis,
parkinson, gangguan penglihatan, dan gangguan keseimbangan, maka olahraga
sebaiknya dilakukan di lingkungan yang memang dekat, dan jenis olahraga yang
dilakukan lebih bersifat isotonik daripada isometrik.1
Metformin
Metformin dianjurkan sebagai terapi obat lini pertama untuk semua pasien DM tipe 2
kecuali pada mereka yang punya kontraindikasi terhadap metformin misalnya antara lain
gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >133 mmol/L atau 1,5 mg/dL pada pria dan >124
mmol/L atau 1,4 mg/dL pada wanita), gangguan fungsi hati, gagal jantung kongestif,
asidosis metabolik, dehidrasi, hipoksia dan pengguna alkohol. Namun, karena kreatinin
serum tidak menggambarkan keadaan fungsi ginjal yang sebenarnya pada usia sangat lanjut,
maka metformin sama sekali tidak dianjurkan pada lansia >80 tahun. Metformin bermanfaat
terhadap sistem kardiovaskular dan mempunyai risiko yang kecil terhadap kejadian
hipoglikemia.1
Meskipun demikian, penggunaan metformin pada lansia dibatasi oleh adanya efek
samping gastrointestinal berupa anoreksia, mual, dan perasaan tidak nyaman pada perut
(terjadi pada 30% pasien). Untuk mengurangi kejadian efek samping ini, dapat diberikan
dosis awal 500 mg, kemudian ditingkatkan 500 mg/minggu untuk dapat mencapai kadar
gula darah yang diinginkan. Walaupun terapi awal dengan modifikasi gaya hidup dan
metformin pada mulanya efektif, hal yang terjadi secara alami pada sebagian besar pasien
DM tipe 2 adalah kecenderungan naiknya gula darah seiring dengan berjalannya waktu
dengan prevalensi 5-10% per tahun. Sebuah studi UKPDS menyatakan bahwa 50% pasien
yang terkontrol dengan obat-obatan tunggal memerlukan penambahan obat kedua setelah 3
tahun; dan setelah 9 tahun, 75% pasien memerlukan terapi multipel untuk mencapai target
HbA1c <7%.1
Konsensus ADA dan EASD menganjurkan pemeriksaan HbA1c setiap 3 bulan serta
penambahan obat kedua jika target terapi HbA1c <7% tidak tercapai dengan modifikasi
gaya hidup dan metformin (lihat algoritma). Untuk dapat mencapai target HbA1c,
diperlukan target kadar gula darah puasa 70-130 mg/dl dan kadar gula postprandial <180
mg/dL.1,3
b. Tingkat 1/Langkah 2
Sulfonilurea
Sulfonilurea dapat digunakan ketika ada keadaan yang merupakan kontraindikasi untuk
metformin, atau digunakan sebagai dalam kombinasi dengan metformin jika gula darah
target belum tercapai. Sulfonilurea jenis apapun yang digunakan tunggal menyebabkan
penurunan HbA1C sebesar 1-2%.1
Mekanisme kerja utama sulfonilurea adalah meningkatkan sekresi insulin sel b
pankreas. Pada studi UKPDS, tampak tidak ada perbedaan dalam hal efektivitas dan
keamanan penggunaan sulfonilurea (klorpropramid, glibenklamid, dan glipizid), tetapi
sulfoniliurea generasi kedua dengan masa kerja singkat lebih dipilih untuk lansia dengan
DM. Sedangkan klorpropramid dipilih untuk tidak digunakan pada lansia karena masa kerja
yang panjang, efek antidiuretik, dan berhubungan dengan hipoglikemia berkepanjangan.1,3
Di antara sulfonilrea generasi kedua, glipizid mempunyai risiko hipoglikemia yang paling
rendah sehingga merupakan obat terpilih untuk lansia.1
Meskipun demikian, semua sulfonilurea dapat menyebabkan hipoglikemia. Oleh
karena itu, pemberiannya harus dimulai dengan dosis yang rendah dan ditingkatkan secara
bertahap untuk mencapai gula darah target, sembari dilakukan pengawasan untuk mencegah
terjadinya efek samping.1
Insulin
Berdasarkan konsensus ADA-EASD, insulin dapat diberikan bila target gula darah tidak
tercapai dengan modifikasi gaya hidup dan pemberian metformin. Selain itu, insulin juga
diberikan pada keadaan adanya kondisi akut, seperti sakit berat, keadaan hiperosmolar,
ketosis, dan pada pembedahan. Keputusan untuk memulai pemberian insulin dibuat
berdasarkan pertimbangan akan kemampuan penderita untuk menyuntikkan sendiri insulin,
dan keutuhan fungsi kognitif. Pada lansia yang bergantung pada orang lain untuk
memberikan insulin, maka gunakan insulin masa kerja panjang (long-acting) dengan dosis
sekali sehari, walaupun ini tidak dapat memberikan kontrol gula darah sebaik yang dicapai
dengan pemberian insulin basal bolus atau regimen dua kali sehari.1
Pada lansia yang hanya menggunakan insulin basal, saatnya pemberian insulin bukan
hal yang penting. Jika kontrol gula darah atau glukosa postprandial target tidak tercapai
dengan pemberian basal insulin, maka dapat diberikan insulin kerja singkat (short-acting).
Namun, pada pemberian bolus insulin short acting, saatnya makan merupakan faktor
penting, dan sering menimbulkan masalah pada pasien yang renta yang tidak dapat
menyuntikkan insulinnya sendiri.1
Dibandingkan dengan insulin jenis lain, insulin analog paling mendekati pola sekresi
insulin endogen basal pada orang dewasa sehat. Walaupun demikian, penggunaan insulin
berhubungan dengan efek samping peningkatan berat badan dan hipoglikemia. Dari
berbagai studi dilaporkan bahwa efek samping hipoglikemia lebih jarang terjadi pada
penggunaan analog insulin (detemir dan glargine) dibandingkan NPH. Sementara itu,
didapati efek peningkatan berat badan dengan nilai yang sama (+ 3 kg dalam 6 bulan) baik
pada golongan analog insulin maupun NPH. Bila kegagalan sel b pankreas mensekresi
insulin sudah demikian parah, diperlukan pemberian insulin untuk kontrol gula darah,
sehingga insulin memegang peranan penting dalam tata laksana DM. Lansia merupakan
kelompok populasi yang rentan terhadap efek samping hipoglikemia. Oleh sebab itu,
diperlukan edukasi bagi lansia dan pengasuhnya tentang pengenalan gejala hipoglikemia
dan penanganannya.1
2. Tingkat 2 (less well validated therapies)
Intervensi ini terdiri dari pilihan terapi yang berguna pada sebagian orang, tetapi
dikelompokkan ke dalam tingkat 2 karena masih terbatasnya pengalaman klinis. Termasuk ke
dalam tingkat 2 ini adalah tiazolidindion (pioglitazon) dan Glucagon Like Peptide-1/GLP-1
agonis (exenatide).1
Tiazolidindion
Tiazolidindion merupakan kelompok obat yang dapat memperbaiki kontrol gula darah
dengan meningkatkan kepekaan jaringan perifer terhadap insulin.3 Penggunaan
tiazolidindion (pioglitazon dan rosiglitazon) sebagai monoterapi menyebabkan penurunan
HbA1C sebesar 0,5-1,4%. Pada berbagai studi klinis didapatkan bahwa kontrol gula darah
dengan rosiglitazon lebih lama dibandingkan dengan metformin. Tidak seperti obat DM
lainnya, tiazolidindion memperbaiki berbagai marker fungsi sel b pankreas yang antara lain
ditunjukkan dengan meningkatnya sekresi insulin selama 6 bulan. Namun, efek ini hanya
sementara, setelah 6 bulan terapi dengan tiazolidindion, terjadi penurunan fungsi sel β
pankreas.1
Di luar manfaat tersebut, tiazolidindion mempunyai beberapa efek samping, antara
lain peningkatan berat badan dan edema yang terkait dengan risiko kardiovaskular. Studi
menunjukkan bahwa risiko gagal jantung meningkat sebesar 1,2-2 kali lipat pada
penggunaan tiazolidindion dibandingkan obat hipoglikemik lain. Gagal jantung terjadi pada
median terapi selama 6 bulan, baik pada dosis tinggi maupun rendah, dan ini terutama
terjadi pada lansia.1,3
Baik pioglitazon maupun rosiglitazon berisiko menimbulkan gagal jantung. Bahkan
rosiglitazon juga berisiko memicu kejadian iskemia miokard (peningkatan risiko relatif
40%) sehingga konsensus ADA tidak menganjurkan rosiglitazon untuk terapi DM tipe 2.
Berbeda dengan rosiglitazon, pioglitazon dapat mengurangi kejadian kardiovaskular karena
pioglitazon dapat memperbaiki profil lipid aterogenik.1
Efek samping lain dari tiazolidindion adalah meningkatnya risiko fraktur >2 kali lipat,
terutama pada panggul. Efek samping ini dapat terjadi setelah penggunaan tiazolidindion
12-18 bulan. Risiko fraktur ini sama baik dengan dosis tinggi maupun rendah, pada pasien
lansia maupun nonlansia, dan pada pria maupun wanita.1
Agonis GLP-1
Sistem gastrointestinal memegang peranan penting dalam homeostasis glukosa. Hal ini
terlihat berupa lebih banyaknya respons insulinotropik pada pemberian nutrisi per oral
dibandingkan pada pemberian glukosa intravena. Yang berperanan dalam hal ini adalah
hormon inkretin yang terdiri dari GLP-1 dan Glucose-dependent Insulinotropic
Poplypeptide/GIP). Pada pasien DM tipe 2, sekresi GIP setelah makan hanya sedikit
terganggu, sementara sekresi GLP-1 terganggu secara nyata. Pemberian GLP-1 parenteral
meningkatkan sekresi insulin secara dose-dependent dan juga menurunkan sekresi
glukagon, sehingga menurunkan kadar gula darah puasa dan postprandial. Hal ini tidak
terjadi pada pemberian GIP parenteral. Sayangnya GLP-1 cepat didegradasi oleh enzim
DPP-4. Untuk mengatasi hal ini, saat ini dikembangkan agonis reseptor GLP-1 yang
memperpanjang masa kerja GLP-1 endogen dan melawan efek enzim DPP-4. Pemberian
agonis reseptor GLP-1 akan meningkatkan aksi kerja GLP-1 (menurunkan kadar gula darah,
mengurangi sekresi glukagon, menurunkan berat badan, menimbulkan rasa cepat kenyang,
memperlambat pengosongan lambung).1
Walaupun tidak digunakan sebagai monoterapi dalam tata laksana DM tipe 2,
beberapa uji klinis menunjukkan bahwa pada penggunaan agonis reseptor GLP-1 terjadi
penurunan HbA1C sebesar 0,5-1,5 %. Penggunaan obat golongan tingkat 2 berdasarkan
konsensus ADA-EASD tampaknya menjanjikan untuk tata laksana DM, namun masih
terbatasnya penelitian dan pengalaman klinis terhadap obat-obatan tersebut menyebabkan
penggunaannya masih terbatas. Oleh sebab itu, kelompok obat ini belum dianjurkan untuk
digunakan pada lansia.1
2.1.6 Penentuan Target Kontrol Glikemik DM Tipe 2 pada Lansia
Guideline dari AACE (American Association of Clinical Endocrinologists) dan ADA
merekomendasikan kontrol glikemik intensif pada dewasa dengan DM tipe 2 secara berturut-
turut adalah HbA1c ≤ 6,5% dan < 7%. Sebaliknya American Geriatric Society (AGS)
merekomendasikan kontrol glikemik standar HbA1c ≤ 8% pada pasien usia > 65 tahun yang
lemah, memiliki harapan hidup < 5%, atau yang beresiko untuk mengalami efek merugikan
yang berkaitan dengan penggunaan obat antidiabetes.6,7
Gambar 2.2 Interaksi antara faktor pasien dan target glikemik.5
Kontrol glikemik yang ketat (HbA1c < 7%) memiliki beberapa keuntungan dan
kerugian (gambar 2.2). Adapun keuntungan kontrol glikemik yang ketat pada lansia adalah :
- Kontrol gejala.
Selain mencegah terjadinya krisis hiperglikemia (diabetic ketoacidosis dan
nonketotic hyperosmolar syndrome), menghilangkan gejala merupakan prioritas
utama. Hiperglikemia dapat menyebabkan polidipsi, poliuri, nokturi, haus dan
peningkatan rasa lapar, walaupun frekuensi gejala ini lebih jarang muncul pada lansia.
Gejala klasik ini biasanya terjadi jika level glukosa plasma di atas 200 mg/dl. Nokturi
dapat mengganggu tidur. Gejala yang muncul dapat tidak spesifik seperti failure to
thrive, low energy, jatuh, pusing, bingung, inkontinensia, infeksi traktus urinarius.5
- Menurunkan risiko komplikasi mikrovaskular.
Penelitian ACCORD (Action to Control Cardiovascular Risk in Diabetes)
membandingkan kontrol glikemik intensif (target HbA1c < 6,0%) dibandingkan
dengan kontrol glukosa standard (target HbA1c 7,0 – 7,9) pada pasien yang berusia
40-79 tahun. Hasilnya adalah ditemukan outcome yang lebih baik pada kontrol
glikemik intensif dibandingkan dengan kontrol glikemik yang moderat. Pada
penelitian ADVANCE (Action in Diabetes and Vascular Disease: Preterax and
Diamicron MR Controled Evaluation), terdapat penurunan komplikasi mikrovaskular
pada kontrol glikemik intensif. Secara keseluruhan, beberapa penelitian ini
mendemonstrasikan terjadinya penurunan komplikasi mikrovaskular, dari penurunan
HbA1c > 8% menjadi kisaran 8% sampai < 7%.5
- Menurunkan risiko makrovaskular.
Terdapat sedikit bukti yang mendukung peranan kontrol glikemik yang ketat (HbA1c
<7%) dalam menurunkan komplikasi dan mortalitas akibat gangguan kardiovaskular.5
ADA (2012) memberikan rekomendasi khusus untuk pasien lansia dengan DM. Dikatakan
bahwa pada pasien lansia yang baik secara fungsional dan kognitif dan memiliki harapan
hidup yang signifikan, target terapinya dapat dikembangkan sesuai dengan target pada umur
yang lebih muda.4
Sementara itu target glikemik pada lansia yang tidak memenuhi kriteria di atas, akan
disesuaikan menggunakan kriteria yang telah terindividualisasi, namun kondisi hiperglikemia
yang menimbulkan gejala atau risiko komplikasi hiperglikemia akut harus tetap dihindari
pada semua pasien.4
Meskipun kontrol glikemik yang ketat memiliki beberapa keuntungan, dokter juga
harus mempertimbangkan efek yang merugikan (hipoglikemia) serta faktor yang
mempengaruhi keuntungan dan kerugian (usia, durasi diabetes, komorbiditas, dan
managemennya).5 Tabel 2.2 menunjukkan berbagai guideline mengenai kontrol glikemik
pada lansia dengan DM.
Hipoglikemia sering menyertai terapi diabetes. Faktro risiko hipoglikemia tampak
pada tabel 2.3. Tingkat keparahan hipoglikemia meningkat seiring dengan pertambahan usia
dan berkaitan dengan perubahan fisiologis, kognitif dan komorbiditas termasuk terapinya.
Sulfonilurea dan insulin berkaitan dengan frekuensi hipoglikemia yang tinggi. Metformin
memiliki insiden hipoglikemia yang rendah, tapi dikontraindikasikan pada kondisi
insufisiensi renal dan decompensated heart failure dan pada pasien yang berusia > 80 tahun.
Saat ini terdapat dua obat yang diketahui beresiko rendah menimbulkan hipoglikemia yaitu
incretin dan dipeptidyl peptidase-4 inhibitor. Bila dibutuhkan penggunaan insulin, maka
dipertimbangkan pemberian insulin kerja panjang (misalnya insulin glargine), yang memiliki
frekuensi hipoglikemia yang lebih rendah dibandingkan dengan injeksi neutral protamine
Hagedorn (NPH) dua kali. Sebagai tambahan, farmakokinetik insulin pada lansia mungkin
berubah pada lansia.5
Tabel 2.2 Review guideline kontrol glikemik pada lansia.
NO Guideline (tahun) Rekomendasi
1. American Diabetes Association
(2012)4
Glycaemic recommendations for many non-pregnant adults
with diabetes mellitus: HbA1c of <7%
Goals should be individualized based on:
duration of diabetes
age/life expectancy
co-morbid conditions
known CVD or advanced microvascular complications
hypoglycaemia unawareness
individual patient considerations
More or less stringent glycaemic goals may be appropriate for
individual patients 2. American Geriatrics Association
(2003)7
HbA1c target of:
<7.0% in adults with good functional status
<8.0% if frail or if life expectancy is <5 years or if the risks
of intensive glycaemic control appear to outweigh the
benefits
3. Canadian Diabetes Association
(2008)5
Glycaemic targets must be individualized; however, therapy in
most individuals with type 1 or type 2 diabetes should be
targeted to achieve an HbA1c of <7.0% in order to reduce the
risk of microvascular, and, in individuals with type 1 diabetes,
macrovascular complications.
A target HbA1c of <6.5% may be considered in some patients
with type 2 diabetes to further lower the risk of nephropathy,
but this must be balanced against the risk of hypoglycaemia
and increased mortality in patients who are at significantly
elevated risk of CVD.
Otherwise healthy elderly people with diabetes should be
treated to achieve the same glycaemic, blood pressure and lipid
targets as younger people with diabetes. In people with
multiple co-morbidities, a high level of functional dependency
or limited life expectancy, the goals should be less stringent
4. UK NICE (2008)5 Involve the person in decisions about their individual HbA1c
target level, which may be above the 6.5% target set for people
with type 2 diabetes in general
5. US VA/DoD (2010)5 HbA1c target of:
<7% if life expectancy >10 years (no major co-morbidity)
and absent or mild microvascular complications
<8% if life expectancy is 5–10 years (moderate comorbidity)
and absent or mild microvascular complications or >5 years
with moderate microvascular complications
<9% if life expectancy <5 years (major co-morbidity) or if
there are advanced microvascular complications
6. European Diabetes Working Party for
Older People (2004)5
For older patients with type 2 diabetes, with single system
involvement (free of other major co-morbidities), a target
HbA1c (DCCT aligned) range of 6.5–7.5% should be aimed
for. Evidence level 2++; grade of recommendation B. The
precise target agreed will depend on existing cardiovascular
risk, presence of microvascular complications, and ability of
individual to self-manage.
For frail patients (those who are dependent; have multisystem
disease; are care home residents, including those with
dementia) where the hypoglycaemia risk is high and symptom
control and avoidance of metabolic decompensation is
paramount, the target HbA1c range should be >7.5% to £8.5%.
Evidence level 3/4; grade of recommendation D.
7. Diabetes Australia Guideline
Development Consortium (2009)5
HbA1c target of ≤ 7%
HbA1c target >7% may be appropriate in people with type 2
diabetes who have a history of severe hypoglycaemia, a limited
life expectancy or co-morbidities, or who are elderly
CVD= cardiovascular disease; HbA1c = glycosylated haemoglobin; NICE = National Institute for Health and
Clinical Excellence; VA/DoD=Department of Veterans Affairs/Department of Defense.
Tabel 2.3 Faktor risiko Hipoglikemia pada Lansia.5
Adrenoceptor antagonists
Alcohol intake
Autonomic neuropathy
Cognitive impairment
Complex regimens
Hepatic dysfunction
Hospitalization
Insulin
Polypharmacy
Poor nutrition
Renal insufficiency
Sedative agents
Sulfonylureas
Tight glycaemic control
2.1.7 Sindrom Geriatri
Selain manifestasi klinik yang telah disebutkan, pada lansia juga terdapat aspek khusus
berkenaan dengan DM yang dikenal dengan sindrom geriatri. Tata laksana DM harus
memperhatikan semua aspek dalam sindrom geriatri ini.1
a. Depresi
Kejadian depresi pada lansia penderita DM adalah 2 kali lipat dibandingkan dengan lansia
pada umumnya, dan prevalensi pada wanita lebih banyak (28%:18%). Sayangnya, depresi
pada lansia ini seringkali tidak terdeteksi. Depresi tentu meningkatkan biaya pelayanan
kesehatan dan memberi pengaruh buruk pada pengobatan DM karena tata laksana DM yang
efektif memerlukan partisipasi pasien. Sebuah studi memperlihatkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara keparahan depresi dan keberhasilan pengobatan. Jadi, tata
laksana DM kurang berhasil pada pasien yang menderita depresi. Mekanisme hubungan
antara DM dan depresi belum jelas, tetapi hiperglikemia dapat menyebabkan depresi dan
sebaliknya, depresi dapat menyebabkan hiperglikemia. Metaanalisis dari 24 studi
memperlihatkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara nilai HbA1c dan gejala depresi.
Tata laksana depresi dapat meningkatkan proporsi pasien dengan kontrol gula darah yang
baik. Karena depresi dapat mengganggu tata laksana DM, sebaiknya dilakukan skrining
berkala atas depresi pada lansia penderita DM. Saat ini tersedia berbagai modalitas skrining
antara lain Geriatric Depression Scale, Beck Depression Inventory, atau Zung’s Mood Scale.
Pada lansia penderita DM yang mengalami depresi rekuren, perlu ditelaah kembali obat yang
diterimanya, adakah obat yang menyebabkan depresi di antara obat-obatan tersebut.1
b. Gangguan Fungsi Kognitif
Berbagai studi telah melaporkan hubungan antara DM dan gangguan fungsi kognitif yang
meningkatkan risiko terjadinya demensia. Hubungan gangguan fungsi kognitif pada lansia
penderita DM cukup kuat, dan wanita mengalami penurunan fungsi kognitif yang lebih
bermakna dibandingkan pria. Studi lain membuktikan bahwa lansia dengan kontrol gula
darah yang baik lebih lambat mengalami gangguan fungsi kognitif. Seperti hal depresi,
gangguan fungsi kognitif dapat menganggu kemampuan pasien berpartisipasi dalam tata
laksana DM, baik dalam hal modifikasi gaya hidup maupun dalam minum obat. Oleh sebab
itu, penting dilakukan skrining atas gangguan fungsi kognitif pada awal pengobatan dan
setiap ada perubahan pada kemampuan lansia di dalam mengurus diri sendiri.1
c. Keterbatasan Fisik dan Risiko Terjatuh
DM merupakan faktor risiko utama untuk gangguan fungsi tungkai bawah, gangguan
keseimbangan, dan kemampuan gerak. Dibandingkan dengan lansia laninnya, risiko
keterbatasan fisik 2-3 kali lipat pada lansia penderita DM, dan risiko ini lebih besar pada
wanita. Dampak semua ini adalah lebih banyak lansia wanita penderita DM yang mengalami
jatuh dan fraktur. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengkajian berkala terhadap faktor risiko
terjatuh pada lansia penderita DM agar dapat diupayakan pencegahannya.1
d. Polifarmasi
Polifarmasi adalah penggunaan 5 atau lebih obat-obatan sekaligus. Pada penderita DM,
polifarmasi mungkin tak dapat dihindari karena selain diperlukan untuk pengendalian gula
darah, obat juga diperlukan untuk mengatasi gangguan tekanan darah, dispipidemia, dan
komplikasi vaskular. Pada kenyataannya, selain meningkatkan risiko terjadinya efek samping
obat, pada lansia polifarmasi meningkatkan kerentanan terhadap depresi, gangguan fungsi
kognitif dan risiko terjatuh. Salah satu efek samping pada lansia penderita DM yang paling
serius adalah hipoglikemia. Predisposisi untuk keadaan ini antara lain berupa makan tidak
teratur, penurunan berat badan, aktivitas berlebih, gangguan hati, gangguan ginjal,
penggunaan alkohol, dan kebingungan akan regimen pengobatan. Risiko ini terutama tinggi
pada penggunaan sulfonilurea atau insulin sekretogogue, maka sulfonilurea kerja panjang
tidak boleh digunakan pada lansia dengan DM. Pilihan obat untuk lansia penderita DM
tergantung dari fungsi hati, fungsi ginjal, obat lain yang dipakai, dan kemampuan untuk
monitor diri sendiri.1
e. Inkontinensia Urin
Kejadian inkontinensia urin meningkat pada lansia penderita DM, dan wanita berisiko 2 kali
lebih banyak daripada pria. Faktor yang berperanan dalam hal ini antara lain poliuria,
glikosuria, neurogenic bladder, infeksi saluran kemih, efek samping pengobatan dan impaksi
feses. Inkontinensia urin persisten perlu dievaluasi dan diatasi karena dapat menurunkan
kualitas hidup dan memicu terjadinya isolasi sosial.1
2.2 Dislipidemia
2.2.1 Definisi
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun
penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar
kolesterol total, kolesterol low density lipoprotein (LDL), trigliserida, serta penurunan
kolesterol high density lipoprotein (HDL). Dislipidemia berkaitan erat dengan aterosklerosis,
yaitu sebagai faktor risiko utama aterosklerosis.
Dislipidemia yang menyertai beberapa penyakit seperti diabetes melitus, hipotiroidisme,
sindrom nefrotik, dan gagal ginjal kronik disebut dislipidemia sekunder.
2.2.2 Modifikasi Gaya Hidup untuk Usia Lanjut
National Cholesterol Education Program (NCEP) menekankan bahwa pendekatan inisial
pasien dengan dislipidemia adalah perubahan gaya hidup, tidak hanya melibatkan perubahan
pola makan, tetapi juga meningkatkan aktivitas fisik. Center for Disease Control and
Prevention and the American College of Sports Medicine melaporkan bahwa lebih dari 24%
usia lanjut melakukan sedentary lifestyle dan 54% melakukan aktivitas yang tidak adekuat.
NCEP/ATP-III menyarankan aerobik untuk semua pasien dengan peningkatan level
kolesterol. Program rehabilitasi jantung dan latihan yang diikuti oleh pasien lanjut usia
dengan penyakit jantung koroner membuktikan perbaikan plasma lipid, dengan 5%
mengalami penurunan kolesterol total, 15% penurunan trigliserida, 3% penurunan LDL, dan
6% peningkatan HDL. Pada kelompok dengan kadar HDL yang sangat rendah dan
hipertrigliseridemia, terjadi peningkatan HDL lebih dari 15%.9
Elemen paling penting dari perubahan gaya hidup adalah perubahan pola makan. Pola
makan yang harus dilakukan adalah mengurangi karbohidrat dan meningkatkan protein.
Individual dengan dislipidemia dianjurkan untuk mengurangi konsumsi lemak jenuh,
konsumsi karbohidrat, dan peningkatan konsumsi protein. Asam lemak omega-3 juga
mengurangi insiden terjadinya penyakit jantung koroner. Asam lemak omega-3 yang berasal
dari minyak ikan, jika dikonsumsi 4 gram/hari dapat menurunkan trigliserida 25-30%, dengan
peningkatan 5-10% LDL serta peningkatan HDL 1-3%. Intervensi diet yang lainnya adalah
peningkatan soluble fiber sebagai agen yang mengurangi kolesterol. Pada pasien lanjut usia
sering terjadi konstipasi dan penyakit kolon, penggunaan soluble fiber untuk mengurangi
gejala tersebut ternyata juga mengurangi kadar LDL hingga lebih dari 20%, tanpa
peningkatan signifikan pada HDL.9
2.2.3 Rekomendasi dan Target Terapi
AGS merekomendasikan bahwa untuk lansia dengan DM dan dislipidemia, hendaknya
dilakukan koreksi terhadap abnormalitas lipid jika memungkinkan setelah
mempertimbangkan seluruh status kesehatannya (rekomendasi IA). Bukti epidemiologi
menunjukkan bahwa orang dengan DM tanpa Myocardial infarction (MI) sebelumnya
mengalami peningkatan risiko yang sama mengalami MI dengan orang tanpa DM yang
pernah mengalami MI.7
Banyak pasien DM yang mengalami abnormalitas lipid (low-density lipoprotein/LDL
yang tinggi, high-density lipoprotein/HDL yang rendah, dan triglycerides yang tinggi), yang
berkontribusi terhadap risiko kardiovaskular. Terdapat bukti yang mendukung penggunaan
terapi dan agen penurun kadar lipid untuk meningkatkan HDL pada lansia dengan DM.
Beberapa Randomized Controlled Trial dan meta-analyses menunjukkan bahwa penurunan
LDL akan mengurangi risiko kardiovaskular pada lansia dengan DM. Salah satu agen yang
dapat menurunkan kadar LDL adalah statin (3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A
reductase).7
Data mengenai efek kadar HDL dan trigliserida pada lansia dengan DM saat ini masih
terbatas. Pada pria dengan DM (mean age 65) yang mana abnormalitas primernya adalah
rendahnya HDL, penggunaan fibrate dikatakan berhubungan dengan peningkatan kadar HDL,
penurunan TG dan penurunan penyakit kardiovaskular.7
AGS (2003) merekomendasikan bahwa bila lansia dengan DM dan kadar LDL
kolesterolnya adalah ≤100 mg/dL, status lipid harus dicek ulang setidaknya setiap 2 tahun.
Namun bila kadar LDL antara 100 dan 129 mg/dL, medical nutrition therapy (MNT) dan
peningkatan aktivitas fisik direkomendasikan, staus lipid dicek sekurang-kurangnya tiap
tahun, dan respon terapi harus dimonitor. Apabila LDL ≤100 mg/dL tidak tercapai, maka
terapi farmakologi harus dimulai jika memungkinkan. Sementara itu, jika LDL ≥ 130 mg/dL,
terapi farmakologis diperlukan dengan tambahan modifikasi gaya hidup, status lipid dicek
sekurang-kurangnya tiap tahun, dan respon terhadap terapi harus dimonitor.7
Menurut ADA (2012), modifikasi gaya hidup pada pasien dislipidemia berfokus pada
penurunan saturated fat, trans fat, dan asupan kolesterol; peningkatan n-3 fatty acid, viscous
fiber dan plant stanols/sterols; penurunan berat badan (jika diperlukan) dan peningkatan
aktivitas fisik. Berikut ini beberapa rekomendasi ADA (2012) mengenai terapi dislipidemia:4
Terapi statin hendaknya ditambahkan pada terapi gaya hidup tanpa memperhatikan level
lipid pada pasien DM dengan:
a. CVD yang nyata.
b. Tanpa CVD berusia lebih dari 40 tahun dan yang memiliki satu atau lebih faktor
risiko CVD lainnya.
Untuk pasien yang berisiko lebih rendah (misalnya tanpa CVD yang nyata dan berusia di
bawah 40 tahun), terapi statin harus dipertimbangkan sebagai tambahan terapi gaya
hidup jika kolesterol LDL masih > 100 mg/dL atau pada mereka dengan faktor risiko
CVD multipel.
Pada individu dengan CVD yang nyata, target kolesterol LDL yang lebih rendah < 70
mg/dL (1,8 mmol/L), menggunakan statin dosis tinggi, merupakan pilihan.
Jika pasien yang diterapi obat tidak mencapai target di atas dengan terapi statin yang
tertoleransi maksimal, penurunan kolesterol LDL ~30 – 40% dari baseline merupakan
alternatif target terapi.
Level trigliserida < 150 mg/dL (1,7 mmol/L) dan koesterol HDL > 40mg/dL (1,0
mmol/L) pada pria dan > 50 mg/dL (1,3 mmol/L) pada wanita, adalah diperlukan.
Namun terapi statin dengan target kolesterol LDL masih merupakan strategi yang lebih
disukai/dipilih. Pada sebagian besar pasien DM dengan terapi dislipidemia (kecuali
hipertrigliserida berat), target terapinya adalah untuk menurunkan kadar kolesterol LDL
< 100 mg/dL (2,60 mmol/L).
Jika target tidak dapat dicapai dengan statin dosis maksimal, maka kombinasi statin
dengan agen penurun lipid lainnya dapat dipertimbangkan untuk mencapat target lipid,
namun belum terdapat penelitian yang mengevaluasi outcome terapi kombinasi ini baik
dalam hal outcome penyakit kardiovaskular atau keamanannya.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Penderita
Nama : KJS
Umur : 67 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Bali
Agama : Hindu
Pendidikan : S1
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Tidak bekerja
Caregiver :
Umur : 40 th
Pekerjaan : PNS
Hubungan dengan pasien : anak pasien
Tanggal Kunjungan Poli : 30 November 2012
Tanggal Kunjungan Rumah : 14 Desemberr 2012
3.2 Anamnesia
a. Keluhan Utama : Kontrol gula darah.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Penderita datang ke poliklinik Geriatri dengan tujuan untuk kontrol gula darah. Selain
kontrol gula darah, pasien juga mengeluh sering pegal pada punggung dan kaki sejak 6 bulan
yang lalu. Pegal dirasakan muncul terus menerus dan mengganggu aktivitas sehingga
kegiatan seperti membersihkan rumah tidak dapat dilakukan dengan baik. Pegal dirasakan
memberat terutama saat beraktivitas dan membaik dengan istirahat. Awalnya 20 tahun yang
lalu pasien sudah mulai mengeluhkan pegal namun tidak sesering sekarang, yang makin lama
makin memberat.
Selain pegal pasien tidak mengeluhkan hal lain. Minum pasien dikatakan normal, sekitar
6 – 7 gelas 500 cc/ harinya. Penurunan berat badan disangkal. Buang air besar (BAB)
dikatakan normal sebanyak 1 kali, warna kekuningan, konsistensi padat dengan volume ± 1/2
gelas tiap BAB. Buang air kecil (BAK) juga dikatakan normal oleh pasien, yaitu BAK 3-4
kali per hari berwarna kekuningan, volume ± 1/2 gelas tiap BAK. Riwayat kencing keluar
darah, batu, berbusa, dan nyeri saat berkemih tidak ada.
Keluhan seperti banyak makan, minum atau sering kencing disangkal oleh pasien.
Pandangan kabur dan rasa kesemutan di ujung tangan maupun kaki saat ini juga disangkal.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien telah didiagnosis menderita Diabetes Melitus tipe-2 sejak tahun 1992. Saat itu
pasien mengeluhkan sering makan, sering minum, sering kencing, dan mengeluhkan
penglihatannya kabur. Pasien kemudian berobat ke dokter praktek swasta dan dianjurkan
untuk melakukan pengecekan kadar gula darah. Dikatakan saat itu gula darah acak mencapai
344 mg/dL dan gula darah 2 jam pp 348 mg/dL sehingga pasien pun didiagnosis menderita
Diabetes Mellitus tipe 2.
Pasien juga didiagnosis Dislipidemia sejak tahun 2000. Saat itu kadar LDL dan TG
dikatakan meningkat, disertai penurunan HDL, namun pasien lupa berapa angka pastinya.
Pasien kemudian diterapi dengan Simvastatin.
Pasien juga mengatakan pernah melakukan operasi katarak di kedua matanya. Sekarang
pasien mampu melihat meskipun dengan bantuan kacamata. Namun, jika malam hari pasien
akan merasa silau sehingga tidak berani mengendarai mobil atau motor sendiri.
d. Riwayat Pengobatan
Awalnya selama 3 tahun, pasien sering kontrol gula darah di puskesmas, namun
pasien kemudian lebih memilih kontrol ke poliklinik Geriatri RSUP Sanglah. Pasien
mendapatkan terapi Glibenclamide sejak pertama kali didiagnosis menderita DM tipe 2.
Selama menggunakan glibenclamide, gula darah pasien tidak terkontrol dengan baik,
meskipun terkadang kadar gula darah acak dan 2 jam pp mencapai target yang diinginkan.
Setelah beberapa tahun menggunakan Glibenclamide, jenis obat antidiabetes pasien lalu
diganti dengan Metformin (pasien lupa sejak tahun berapa mengkonsumsi metformin).
Setelah menggunakan metformin, gula darah pasien mulai terkontrol dengan baik meskipun
terkadang juga tidak mencapai target terapi Pasien juga mendapatkan terapi simvastatin dan
acetosal.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan ayah dan ketiga kakak kandngnya menderita diabetes mellitus tipe
2. Ayah dan kakak pertama pasien dikatakan meninggal karena komplikasi dari penyakit
diabetesnya.
f. Riwayat Sosial Ekonomi
Sebelumnya pasien bekerja sebagai pegawai swasta di hotel, akan tetapi saat ini pasien
tidak bekerja. Saat ini pasien tidak lagi membiayai kebutuhan anak-anaknya karena semua
anaknya telah bekerja, Pasien hanya menghidupi kebutuhannya dan istrinya, pasien
mengatakan tunjangan yang diterima cukup untuk memenuhi kebutuhan pasien serta istrinya.
Anaknya pun memberikan pasien dan istrinya kebutuhan rumah tangga setiap bulannya.
Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal oleh pasien.
g. Riwayat Sosial Kemasyarakatan Keagamaan
Saat ini pasien masih aktif melakukan kegiatan rekreasi dan olahraga, pasien sering
jalan-jalan ke pantai di pagi hari dan sore hari bersama tetangga yang seumuran dengannya.
Pasien juga biasa berkeliling di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Pasien masih aktif
mengikuti kegiatan keagamaan di banjar serta berkumpul dengan sesama usia lanjut.
3.3. Penapisan
1. Penapisan Status Fungsional
a. ADL Barthel (BAI)
Sebelum sakit
No. Fungsi Skor Keterangan
01 Mengontrol BAB 0 Inkontinen/tak teratur (perlu enema)
1 Kadang-kadang inkontinen (1 x seminggu)
2 Kontinen teratur
02 Mengontrol BAK 0 Inkontinen/pakai kateter dan tak terkontrol (perleunema)
1 Kadang-kadang inkontinen (1 x seminggu)
2 Kontinen teratur
03 Membersihkan diri (lap muka,
sisir rambut, sikat gigi)
0 Butuh pertolongan orang lain
1 Mandiri
04 Penggunaan toilet pergi ke
dalam WC (melepas, memakai
celana, menyeka, menyiram)
0 Tergantung pertolongan orang lain
1 Perlu pertolongan beberapa aktivitas tetapi dapat mengerjakan sendiri
aktivitas yang lain
2 Mandiri
05 Makan 0 Tidak mampu
1 Perlu seseorang menolong memotong makan
2 Mandiri
06 Berpindah tempat dari tidur ke
duduk
0 Tidak mampu
1 Perlu banyak bantuan untuk duduk (2orang)
2 Bantuan minimal 1 orang
3 Mandiri
07 Mobilisasi/berjalan 0 Tidak mampu
1 Bisa berjalan dengan kursi roda
2 Berjalan dengan bantuan satu orang
3 Mandiri
08 Berpakaian (memakai baju) 0 Tergantung orang lain
1 Sebagaian dibantu (mis. mengancing baju)
2 Mandiri
09 Naik turun tangga 0 Tidak mampu
1 Butuh pertolongan orang lain
2 Mandiri
10 Mandi 0 Tergantung orang lain
1 Mandiri
Total Skor 20
Interpretasi skor ADL (BAI)
20 : mandiri
12 – 19 : ketergantungan ringan
9 – 11 : ketergantungan sedang
5 – 8 : ketergantungan berat
0 – 4 : ketergantungan total
.:. Total skor 20 mandiri
Setelah sakit
No. Fungsi Skor Keterangan
01 Mengontrol BAB 0 Inkontinen/tak teratur (perlu enema)
1 Kadang-kadang inkontinen (1 x seminggu)
2 Kontinen teratur
02 Mengontrol BAK 0 Inkontinen/pakai kateter dan tak terkontrol (perleunema)
1 Kadang-kadang inkontinen (1 x seminggu)
2 Kontinen teratur
03 Membersihkan diri (lap muka,
sisir rambut, sikat gigi)
0 Butuh pertolongan orang lain
1 Mandiri
04 Penggunaan toilet pergi ke
dalam WC (melepas, memakai
celana, menyeka, menyiram)
0 Tergantung pertolongan orang lain
1 Perlu pertolongan beberapa aktivitas tetapi dapat mengerjakan sendiri
aktivitas yang lain
2 Mandiri
05 Makan 0 Tidak mampu
1 Perlu seseorang menolong memotong makan
2 Mandiri
06 Berpindah tempat dari tidur ke
duduk
0 Tidak mampu
1 Perlu banyak bantuan untuk duduk (2orang)
2 Bantuan minimal 1 orang
3 Mandiri
07 Mobilisasi/berjalan 0 Tidak mampu
1 Bisa berjalan dengan kursi roda
2 Berjalan dengan bantuan satu orang
3 Mandiri
08 Berpakaian (memakai baju) 0 Tergantung orang lain
1 Sebagaian dibantu (mis. mengancing baju)
2 Mandiri
09 Naik turun tangga 0 Tidak mampu
1 Butuh pertolongan orang lain
2 Mandiri
10 Mandi 0 Tergantung orang lain
1 Mandiri
Total Skor 19
Interpretasi skor ADL (BAI)
20 : mandiri
12 – 19 : ketergantungan ringan
9 – 11 : ketergantungan sedang
5 – 8 : ketergantungan berat
0 – 4 : ketergantungan total
.:. Total skor 20 mandiri
b. IADL
No Aktivitas Independen (tidak perlu
bantuan orang lain) Nilai = 0
Dependen (perlu bantuan orang
lain) Nilai = 1
Nilai
1 Telepon Mengoperasikan telepon
sendiri
Mencari dan menghubungi
nomer
Menghubungi beberapa
nomer yang diketahui
Menjawab telepon tetapi
tidak menghubungi
Tidak bisa menggunakan
telepon sama sekali
0
2 Belanja Mengatur semua kebutuhan
belanja sendiri Perlu bantuan untuk mengantar
belanja
Sama sekali tidak mampu
belanja
0
3 Persiapan
makanan
Merencanakan, menyiapkan,
dan menghidangkan makanan Menyiapkan makanan jika
sudah disediakan bahan
makanan
Menyiapkan makanan tetapi
tidak mengatur diet yang
cukup
Perlu disiapkan dan dilayani
0
4 Perawatan
rumah Merawat rumah sendiri atau
bantuan kadang-kadang
Mengerjakan pekerjaan
ringan sehari-hari
(merapikan tempat tidur,
mencuci piring)
Perlu bantuan untuk semua
perawatan rumah sehari-hari
Tidak berpartisipasi dalam
perawatan rumah
0
5 Mencuci
baju Mencuci semua pakaian
sendiri
Mencuci pakaian yang kecil
Mencuci hanya beberapa
pakaian
Semua pakaian dicuci oleh
orang lain
0
6 Transport Berpergian sendiri
menggunakan kendaraan
umum atau menyetir sendiri
Mengatur perjalanan sendiri
Perjalanan menggunakan
transportasi umum jika ada
yang menyertai
Perjalanan terbatas ke taxi atau
kendaraan dengan bantuan
orang lain
Tidak melakukan perjalanan
sama sekali
0
7 Pengobatan Meminum obat secara tepat
dosis dan waktu tanpa bantuan
Tidak mampu menyiapkan obat
sendiri 0
8 Manajemen
keuangan Mengatur masalah finansial
( tagihan, pergi ke bank)
Tidak mampu mengambil
keputusan finansial atau 0
Mengatur pengeluaran
sehari-hari, tapi perlu
bantuan untuk ke bank untuk
ke bank/transaksi penting
memegang uang
TOTAL 0
Interpretasi skor IADL :
0 : Independen
1 : Kadang-kadang perlu bantuan
2 : Perlu bantuan sepanjang waktu
3-8 : Tidak beraktivitas / Dikerjakan orang lain
.:. Total skor 0 Independen
2. Penapisan Kognitif
MMSE (Mini Mental State Examination)
Skor
Maks
Skor
Lansia
Jam mulai : 18.50 WITA
ORIENTASI
5
5
[ 5 ]
[ 5 ]
Sekarang (hari),(tanggal),(bulan),(tahun) berapa,(musim) apa?
Sekarang kita berada di mana ?
(jalan),(nomor rumah),(kota),(kabupaten),(propinsi)
REGISTRASI
3 [ 3 ] Pewawancara menyebutkan nama 3 buah benda, 1 detik untuk tiap
benda. Kemudian mintalah klien mengulang ke 3 nama benda
tersebut. Berikan 1 angka untuk tiap jawaban yang benar. Bila
masih salah, ulangi penyebutan ke 3 nama benda tsb sampai ia
dapat mengulangnya dengan benar. Hitunglah jumlah percobaan
dan catatlah (bola,kursi,sepatu)
Jumlah percobaan : 2 kali
ATENSI dan KALKULASI
5 [ 5 ] Hitunglah berturut-turut selang 7 mulai dari 100 ke bawah. Berilah
1 angka untuk tiap jawaban yang benar. Berhenti setelah 5 hitungan
(93,86,79,72,65). Kemungkinan lain, ejalah kata “dunia” dari akhir
ke awal (a-i-n-u-d)
MENGINGAT
3 [ 2 ] Tanyalah kembali nama ke 3 benda yang telah disebutkan di atas.
Berilah 1 angka untuk tiap jawaban yang benar.
BAHASA
9 [ 9 ] Apakah nama benda-benda ini? Perlihatkan pensil dan arloji (2
angka)
Ulanglah kalimat berikut : “ Jika tidak, dan Atau Tapi ”. (1 angka)
Laksanakan 3 buah perintah ini : “ Peganglah selembar kertas
dengan tangan kananmu, lipatlah kertas itu pada pertengahan dan
letakkanlah di lantai”. (3 angka)
Bacalah dan laksanakan perintah berikut “PEJAMKAN MATA
ANDA”, (1 angka)
Tulislah sebuah kalimat
Tirulah gambar ini (1 angka)
Skor 29 Jam selesai :
Keterangan :
Diluar nilai 30 yang mungkin, nilai yang kurang dari 25 mengarahkan adanya
gangguan, dan nilai yang kurang dari 20 menyatakan gangguan yang pasti.
.:. Total skor 30 tidak ada gangguan kognitif
3. Penapisan Depresi
GDS (Geriatric Depresion Scale)
YA TIDAK
01 Apakah anda sebenarnya puas dengan kehidupan anda? 0 1
02 Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan
minat atau kesenangan anda?
1 0
03 Apakah anda merasa kehidupan anda kosong? 1 0
04 Apakah anda sering merasa bosan? 1 0
05 Apakah anda sangat berharap terhadap masa depan? 0 1
06 Apakah anda merasa targanggu dengan pikiran bahwa
anda tidak dapat keluar dari pikiran anda?
1 0
07 Apakah anda merasa mempunyai semangat yang baik
setiap saat? 0 1
08 Apakah anda merasa takut bahwa sesuatu yang buruk
akan terjadi pada diri anda?
1 0
09 Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup
anda? 0 1
10 Apakah anda sering merasa tidak berdaya? 1 0
11 Apakah anda sering merasa resah dan gelisah? 1 0
12 Apakah anda lebih senang berada dirumah daripada
pergi ke luar rumah dan melakukan hal-hal yang baru?
1 0
13 Apakah anda sering merasa khawatir terhadap masa
depan anda?
1 0
14 Apakah anda merasa bahwa situasi tanpa harapan? 1 0
15 Apakah anda merasa bahwa kebanyakan orang lebih
baik daripada anda? 0 1
16 Apakah anda sering merasa sedih? 1 0
17 Apakah saat ini anda merasa tidak berharga? 1 0
18 Apakah anda sangat mengkhawatirkan masa lalu anda? 1 0
19 Apakah anda merasa hidup ini sangat menarik dan 0 1
menyenangkan?
20 Apakah sulit bagi anda untuk memulai sesuatu hal yang
baru?
1 0
21 Apakah anda merasa penuh semangat? 0 1
22 Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada
harapan?
1 0
23 Apakah anda merasa orang lain memiliki keadaan yang
lebih baik dari anda?
1 0
24 Apakah anda sering merasa sedih terhadap hal-hal kecil? 1 0
25 Apakah anda sering merasa ingin menangis ? 1 0
26 Apakah anda mempunyai masalah dalam berkonsentrasi? 1 0
27 Apakah anda merasa senang ketika bangun di pagi hari? 0 1
28 Apakah anda lebih memilih untuk tidak mengikuti
pertemuan-pertemuan sosial atau masyarakat?
1 0
29 Apakah mudah bagi anda untuk membuat keputusan? 0 1
30 Apakah pikiran anda secerah biasanya? 0 1
TOTAL SKOR 4
Interpretasi skor:
Skor antara 0-9 : normal
Skor antara 10-19 : mild depression
Skor antara 20-30 : severe depression
.:. Total Skor: 1 Normal
4. Penapisan Inkontinensia
Skor Pertanyaan : Apakah anda mengompol atau BAB tanpa disadari ?
0 Tidak pernah
1,0 Kadang-kadang kehilangan kontrol berkemih/ menggunakan alat bantu
untuk berkemih dan BAB
2,5 Kehilangan kontrol berkemih sedikitnya sekali dalam sebulan
4,0 Kehilangan kontrol berkemih sedikitnya 2 kali sebulan / kadang-kadang
kehilangan kontrol BAB
5,0 Kehilangan kontrol BAB sedikitnya 1 kali sebulan
5,5 Kehilangan kontrol berkemih sedikitnya sekali dalam seminggu
6,5 Kehilangan kontrol BAB sedikitnya 2 kali sebulan
8,0 Kehilangan kontrol BAB sedikitnya 1 kali seminggu/ Kehilangan kontrol
berkemih sedikitnya sekali tiap hari
10 Kehilangan kontrol BAB sedikitnya 1 kali sehari
10,5 Tidak bisa mengontrol fungsi berkemih sama sekali
11,5 Tidak bisa mengontrol BAB sama sekali
Inkontinensia dikelompokkan menjadi :
0 : Tidak ada inkontinensia
1-2,5 : inkontinensia ringan
4,0-6,5 : inkontinensia sedang
≥ 8 : Inkontinensia berat
.:. Skor 0Tidak ada inkontinensia
5. Asesmen Nutrisi
NUTRISI SUBYEKTIF
Naik Tetap Turun
Apakah 1-2 bulan terakhir ada perubahan
berat badan
Apakah ada perubahan nafsu makan
[__]
[__]
[ √ ]
[__]
[__]
[ √ ]
Ya Tidak
Apakah ada : perubahan pengecapan lidah
Apakah ada masalah :
mengunyah
menelan
Apakah ada masalah dengan gigi
Apakah ada gangguan pencernaan
Mencret
Sembelit
Mual
Muntah
Apakah hidup sendiri di rumah?
Bila tidak, siapa yang menyediakan makanan? Istri
Apakah bisa melakukan kegiatan berikut :
Belanja ke pasar / warung
Menyiapkan, memotong bahan makanan dan bumbu
Masak makanan padat : nasi, lauk pauk, sayur
Masak makanan cair : bubur, juice, minuman
Menyendok, menuangkan makanan, & minum ke piring gelas
Makan dan minum sendiri
Mencuci alat makan dan alat masak
Apakah pernah makan di luar rumah?
Berapa kali sehari / seminggu / sebulan? 1x/minggu
Apakah ada makanan tambahan seperti vitamin dan lain-lain?
Apakah sedang dalam program diet khusus
Apakah pernah konsultasi gizi
Berapa konsumsi minuman keras (alkohol) setiap hari
[__]
[ √ ]
[__]
[ √ ]
[__]
[__]
[__]
[__]
[__]
[__]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[__]
[__]
[__]
[__]
- gls/hr
[ √ ]
[__]
[ √ ]
[__]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[__]
[__]
[__]
[__]
[__]
[__]
[__]
[__]
[__]
[__]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
Merk__
[__]
Berapa batang Anda merokok setiap hari
Berapa konsumsi minum kopi setiap hari 1x/minggu
- btg/hr
____gls/
hr
Filter
[__]
Kretek
Pola Makan Ya Tidak
Kebiasaan makan pagi
Kebiasaan makan siang
Kebiasaan makan sore
Kebiasaan selingan / ngemil
Ya, sebutkan pisang
Waktu makan : sendiri / dengan orang lain,
sebutkan istri
Alergi makanan
Ya,sebutkan___________________________________
Pantangan makanan
Ya, sebutkan yang mengandung babi
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[__]
[ √ ]
[__]
[__]
[__]
[__]
[__]
[ √ ]
[__]
Sebutkan bahan makanan yang biasa dikonsumsi
makanan pokok nasi, roti
lauk hewani ikan laut, telur
lauk nabati tahu, tempe
sayuran kangkung, bayam, wortel, kol
buah-buahan pisang, tomat, mangga
minuman air putih
3.4 PEMERIKSAAN FISIK (30 November 2012)
Status Present
• Kesadaran : compos mentis
• Keadaan umum : baik
TD berbaring : 130/ 70 mmHg nadi: 76 x/menit, reguler
duduk : 130/80 mmHg nadi: 80 x/menit, reguler
berdiri : 125/75 mmHg nadi: 82 x/menit, reguler
• Respirasi : 20 x/menit
• Temp. Axilla : 36,5 0 C
• Antropometri
Berat badan : 95 kg
Tinggi badan : 170 cm
Tinggi Lutut : 50 cm
LILA : 27 cm
Lingkar pinggang : 92 cm
Lingkar panggul : 97 cm
Lingkar kaki : 26 cm
• Komposisi tubuh :
IMT : 32,87 kg/m2
• Kesimpulan : Gizi lebih (obesitas II )
Status General
Kepala : Normocephali
Mata : Anemia -/- ; Ikterus -/- reflek pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-
THT : Telinga : normal
Hidung : deviasi septum (-), sekret (-)
Lidah : normal, Tonsil : T1/T1, Pharing : kesan normal
Leher : Thyroid: kesan normal
JVP PR + 2 cm H2O,
pembesaran kelenjar limfe (-)
Thorak : Simetris
Cor: Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di 3 jari MCL S
Perkusi : Batas atas : ICS II
Batas kanan : PSL dekstra
Batas kiri : MCL sinistra ICS V
Auskultasi : S1S2 tunggal regular, murmur (-)
Po: Inspeksi : Simetris statis dan dinamis
Palpasi : Vokal Fremitus N/N
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : BU(+) N
Perkusi : Timpani
Palpasi : Hepar/Lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : hangat +/+ edema -/-
+/+ -/-
3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Kimia Darah (01/08/2012)
3.6 DIAGNOSIS
a. DISEASE
Diabetes Melitus tipe 2
Dislipidemia
b. IMPAIRMENT
Gangguan penglihatan
c. DISSABILLITY : -
d. HANDICAP : -
3.7 RENCANA
a. Terapi
Simvastatin 1 x 20 mg (malam)
Metformin 3 x 850mg
Acetosal 1 x 80mg
b. Monitoring
No Parameter Hasil Satuan Rujukan Remarks
1 Glukosa Darah
Puasa
124,00 mg/dL 80-100 Tinggi
Diabetes Melitus Consensus
Good : 80-144
Moderate : 145-179
Bad :>=180
2 Glukosa darah 2
jam
89,00 mg/dL 70-140 Tinggi
Diabetes Melitus Consensus
Evaluasi DM
Good : 80-144
Moderate : 145-179
Bad :>=180
3 HbA 1c 7,025 % <6,5 Tinggi
Kriteria pengendalian
Diabetes Melitus Indonesia
4 Cholesterol 268,00 mg/dl 140-199 Tinggi
5 HDL Direk 34,7 mg/dl 40,00-65,00 Rendah
6 LDL 78,5 mg/dl < 100 Normal
7 Trigliserida 141 mg/dl 80,00-100,00 Tinggi
HbA1c @ 6 bulan
Lipid profile @ tahun
Gula darah sewaktu dan 2 jam PP tiap control Poli.
3.8 PROGNOSIS
Ad vitam : dubius ad bonam
Ad fungsionam : dubius ad bonam
BAB IV
HASIL PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN
4.1. Kunjungan Lapangan (14 Desember 2012)
1. Subyektif:
Saat dikunjungi di rumahnya, pasien sedang menonton acara televisi. Pasien dan istrinya
menyambut dokter muda yang berkunjung dengan sangat ramah dan antusias. Wawancara
dilakukan di ruang tamu rumah pasien bersama dengan pasien dan istrinya.
Saat wawancara, pasien sudah tidak mengeluhkan pegal-pegal. Pasien juga tidak
mengeluhkan sama sekali tentang penyakitnya. Pasien adalah seseorang yang memiliki
pemikiran bahwa semakin dipikirkan maka penyakitnya akan semakin parah sebab dipicu
oleh stress pikiran. Oleh sebab itu, pasien hanya mengatakan ingin menjalani hidupnya
seperti biasa namun tetap kontrol ke dokter secara rutin. Selain itu, pasien merasa lebih
tenang karena memiliki seorang istri yang bekerja sebagai bidan dan seorang anak laki-laki
beserta istrinya yang tinggal serumah dengan pasien. Mereka selalu mengingatkan pasien
untuk minm obat dan menjaga kesehatan pasien.
Pasien juga mengaku tidak mengalami penurunan nafsu makan. Bahkan, pasien
makan apapun yang ingin dia makan tanpa merasa ada pantangan. Pasien mengaku makan
nasi 3-5 kali sehari. Istrinya juga mengatakan kesulitan dalam mengontrol nafsu makan
pasien. Istrinya juga bilang bahwa pasien selalu memiliki cemilan di mobil dan kamarnya.
Pasien sendiri mengatakan bahwa hobinya sejak dulu adalah kuliner dan makan. Mungkin hal
ini juga yang menjadi faktor resiko diabetes mellitus yang dia alami selain faktor keturunan.
Meskipun nafsu makan pasien tidak menurun,namun dalam kurun waktu 6 bulan
terakhir ini, pasien memiliki riwayat gemetar, berdebar-debar dan berkeringat dingin. Hal ini
terutama pasien rasakan jika terlambat makan atau sedang berkendara dalam jangka waktu
yang lama. Keluhan ini akan membaik setelah pasien minum air gula atau camilan manis.
Pasien memiliki hobi jogging sore di pantai dengan tetangganya yag hamper
seumuran. Mereka biasanya ke pantai Sanur naik sepeda motor atau mobil kemudian jogging
selama satu jam. Hal ini rutin dilakukan sebanyak 2-3 kali seminggu. Selain jogging, pasien
juga memiliki hobi berkebun. Biasanya, jika pasien merasa jenuh di rumah, maka pasien akan
pergi ke rumah anak sulungnya di Jalan Sedap Malam dan bercocok tanam di kebun kecil
belakang rumah. Setelah berolahraga, pasien akan merasa lebih bugar dan sehat.
Pasien mengaku bahwa ia tidak terlalu senang memakai alas kaki di dalam rumah.
Pasien berpikir hal merepotkan. Pasien juga senang bertelanjang kaki jika jalan-jalan di
halaman rumah. Sebab, pasien berpikir bahwa dengan telanjang kaki akan memperlancar
peredaran darah di kakinya. Namun, sekitar sebulan yang lalu kaki pasien tetusuk paku saat
berjalan di halaman. Pasien tidak mengatakan pada istrinya dan mengobati sendiri dengan
antiseptik dan ditutup plester luka. Luka tersebut dikatakan sembuh dan kering ± 5-6 hari
kemudian.
2. Penapisan Status Fungsional
a. ADL Barthel (BAI)
.:. Total skor 20 mandiri
b. IADL
.:. Total skor 0 independent
3. Penapisan Kognitif
MMSE (Mini Mental State Examination)
.:. Total skor 30 tidak ada gangguan kognitif
4. Penapisan Depresi
GDS (Geriatric Depresion Scale)
.:. Total Skor: 1 Normal
5. Penapisan Inkontinensia
.:. Skor 0 Tidak ada inkontinensia
6. Asesmen Nutrisi Tabel 4.1 Asesmen Nutrisi
NUTRISI SUBYEKTIF
Naik Tetap Turun
Apakah 1-2 bulan terakhir ada perubahan berat badan
Apakah ada perubahan nafsu makan
[__]
[__]
[ √ ]
[ √ ]
[__]
[ ]
Ya Tidak
Apakah ada : perubahan pengecapan lidah
Apakah ada masalah :
mengunyah
menelan
Apakah ada masalah dengan gigi
Apakah ada gangguan pencernaan
Mencret
Sembelit
[__]
[ ]
[__]
[ ]
[__]
[__]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
Mual
Muntah
Apakah hidup sendiri di rumah?
Bila tidak, siapa yang menyediakan makanan? Istri dan menantu
Apakah bisa melakukan kegiatan berikut :
Belanja ke pasar / warung
Menyiapkan, memotong bahan makanan dan bumbu
Masak makanan padat : nasi, lauk pauk, sayur
Masak makanan cair : bubur, juice, minuman
Menyendok, menuangkan makanan, & minum ke piring gelas
Makan dan minum sendiri
Mencuci alat makan dan alat masak
Apakah pernah makan di luar rumah?
Berapa kali sehari / seminggu / sebulan? 1x/minggu
Apakah ada makanan tambahan seperti vitamin dan lain-lain?
Apakah sedang dalam program diet khusus
Apakah pernah konsultasi gizi
Berapa konsumsi minuman keras (alkohol) setiap hari
Berapa batang Anda merokok setiap hari
Berapa konsumsi minum kopi setiap hari 1x/minggu
[__]
[__]
[__]
[__]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[__]
[__]
[__]
- gls/hr
- btg/hr
____gls/ hr
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ ]
[__]
[__]
[__]
[__]
[__]
[__]
[__]
[__]
[__]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
Merk__
[__] Filter
[__]
Kretek
Pola Makan Ya Tidak
Kebiasaan makan pagi
Kebiasaan makan siang
Kebiasaan makan sore
Kebiasaan selingan / ngemil
Ya, sebutkan mangga,pisang, teh, kue
Waktu makan : sendiri / dengan orang lain,
sebutkan istri, anak, menantu
Alergi makanan
Ya,sebutkan___________________________________
Pantangan makanan
Ya, sebutkan ___________________________________
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[ √ ]
[__]
[ ]
[__]
[__]
[__]
[__]
[__]
[ √ ]
[ √ ]
Sebutkan bahan makanan yang biasa dikonsumsi
makanan pokok nasi, roti
lauk hewani sapi, ayam, babi, telur
lauk nabati tahu, tempe
sayuran kangkung, bayam, wortel, kol
buah-buahan pisang, mangga, tomat
minuman air putih, teh,
Tabel 4.2 Hidangan Sehari (Recall 24 Jam) Banyak Banyak
Makan pagi g URT Selingan pagi g URT
Nasi putih 200 225 Pisang 50 49,5
Sayur bayam 100 36 The 1 gelas 83
Ikan laut 75 55,5
Tempe 50 74,5
Banyak Banyak
Makan siang g Urt Selingan siang g Urt
Nasi putih 250 250 Pisang 100 99
Sayur bayam 100 36 The 1 gelas 83
Ayam goring 50 151
Tempe 50 74,5
Banyak Banyak
Makan malam g Urt Selingan malam g Urt
Nasi putih 150 168,75 Pepaya 200 92,86
Sayur bayam 75 27
Telor ayam 50 81
Tahu 100 68
1247,25 357,86
Tabel 4.3 Kebutuhan Pasien Sehari-hari Kal Prot
(g)
Lemak
(g)
Carb
(g)
Ca
(mg)
Fe
(mg)
Vit.A Vit.B Vit.C
Rata-rata sehari 1525,61 68,05 29,7 249,31
Kebutuhan 2000 100 44,4 300
7. Assesmen Lingkungan, Keamanan, Bahaya/Penyebab jatuh
• Pasien tinggal bersama dengan istri dan anak sulung beserta istrinya.
• Rumah pasien terdiri dari kamar tidur yang dipakai bersama dengan istri, kamar tidur
untuk anak dan menantunya, serta kamar tidur untuk tamu. Pasien berbagi kamar
mandi, WC, dapur, dan kamar duduk dengan keluarganya.
• Ventilasi pada rumah tersebut dikatakan cukup baik, dimana terdapat pintu dan
jendela yang cukup besar untuk ruang tamu, kamar tidur, dan dapur.
• Penderita tidak harus naik/turun tangga bila masuk/keluar rumah.
• Keadaan rumah penderita secara umum cukup dijaga kebersihannya. Secara
keseluruhan rumah penderita dikatakan cukup aman, pencahayaan cukup baik, tidak
ada kabel-kabel listrik telanjang yang terletak di lantai, tetapi ada hal-hal yang bisa
menyebabkan penderita terjatuh misalnya tidak terdapat pegangan pada toilet dan bak
kamar mandinya, lantai kamar mandi yang cukup licin, serta kurangnya keset di
depan pintu kamar mandi.
8. Obyektif:
Status present:
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tensi berbaring : 130/ 70 mmHg nadi: 76 x/menit, reguler
duduk : 130/80 mmHg nadi: 80 x/menit, reguler
berdiri : 125/75 mmHg nadi: 82 x/menit, reguler
Respirasi : 20 x/ menit
Temperatur aksila : 36,3˚ C
Antropometri
Berat badan : 95 kg
Tinggi badan : 170 cm
Tinggi Lutut : 50 cm
LILA : 27 cm
Lingkar pinggang : 92 cm
Lingkar panggul : 97 cm
Lingkar kaki : 26 cm
Komposisi tubuh :
IMT : 32,87 kg/m2
Kesimpulan : Gizi lebih (obesitas II )
Status general :
Mata : Anemia -/- ; Ikterus -/- reflek pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-
THT : Telinga : normal
Hidung : deviasi septum (-), sekret (-)
Lidah : normal, Tonsil : T1/T1, Pharing : kesan normal
Leher : Thyroid: kesan normal
JVP PR + 2 cm H2O,
pembesaran kelenjar limfe (-)
Thorak : Simetris
Cor: Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di MCL S ICS V
Perkusi : Batas atas : ICS II
Batas kanan : PSL dekstra
Batas kiri : MCL sinistra ICS V
Auskultasi : S1S2 tunggal regular, murmur (-)
Po: Inspeksi : Simetris statis dan dinamis
Palpasi : Vokal Fremitus N/N
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi: Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : BU(+) N
Perkusi : Timpani
Palpasi : Hepar/Lien ttb, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : hangat +/+ edema -/-
+/+ -/-
9. DIAGNOSIS
a. DISEASE
Diabetes Melitus tipe 2
Dislipidemia
b. IMPAIRMENT:
Gangguan penglihatan
c. DISABILITY : -
d. HANDICAP : -
10. RENCANA
a. Terapi Non Farmakologi
Merubah Gaya hidup :
o Mengurangi konsumsi makanan yang menagndung lemak jenuh dan
kolesterol, seperti makanan yang berminyak atau yang digoreng.
o Mengurangi volume dan jenis cairan yang diminum seperti menghindari
minuman yang bersifat diuretik dan kafein (kopi, teh, cola), dan membatasi
jumlah cairan masuk minum pada sore dan malam hari (karena pasien
mengeluh adanya kencing malam hari).
b. Terapi Farmakologi
Simvastatin 1 x 20 mg (malam)
Metformin 3 x 850mg
Acetosal 1 x 80mg
c. Monitoring
HbA1c @ 6 bulan
Lipid profile @ tahun
Gula darah sewaktu dan 2 jam PP tiap control Poli.
4.2 Daftar Permasalahan
Adapun sejumlah permasalahan yang masih menjadi kendala pasien dalam hal menghadapi
penyakitnya :
Pasien kesulitan dalam mengontrol pola makannya sebab nafsu makannya cukup
besar. Pasien juga masih sering mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak
kolesterol dan lemak.
Pasien pernah mengalami hipoglikemia sebanyak dua kali dalam enam bulan terakhir
ini karena terlambat makan dan berkendara dalam kurun waktu yang cukup lama.
Telapak kaki pasien terkena paku sebulan yang lalu sebelum kunjungan. Pasien juga
sering berjalan-jalan di halaman rumah tanpa alas kaki.
4.3. Daftar Analisis Kebutuhan Pasien
1. Kebutuhan fisik-biomedis
Kecukupan Gizi
Makanan untuk pasien dan keluarga disiapkan oleh istri dan menantu pasien.
Keluarga pasien sangat mendukung untuk menjaga komposisi makanan pasien. Porsi
nasi yang dimakan oleh pasien adalah satu piring tiga-lima kali sehari dengan lauk-
pauk seperti tempe, tahu, ikan laut, daging ayam, sapi, telor, dan sayuran. Pasien juga
sering makan buah, pasien sering mengkonsumsi tomat dan mangga. Nutrisi harian
pasien sudah mencukupi kebutuhan nutrisi yang seharusnya, tetapi tetap harus
mengurangi asupan makanan yang banyak mengandung kolesterol, lemak jenuh, dan
garam.
Perhitungan kebutuhan kalori pada pasien :
Berat badan ideal = (TBcm-100) – 10% BB = (170-100)-9,5 = 60,5 kg
Status gizi = (BB aktual : BB ideal) x 100% = (95:60,5) x 100% = 157,0% (berat
badan lebih/obesitas II)
Jumlah kebutuhan kalori per hari =
o Kebutuhan kalori basal = BB ideal x 30 kalori (laki-laki) = 60,5 x 30 = 1815
kalori
o Koreksi umur > 40 tahun = -5% = - 90,75 kalori
o Kebutuhan aktivitas (ringan) = +10% = +181,5 kalori
Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk penderita 1815 – 90,75 + 181,5 = 1905,75 kalori
dibulatkan menjadi 2000 kalori.
Distribusi makanan :
1. Karbohidrat 60% = 60% x 2000 kalori = 1200 kalori dari karbohidrat setara dengan
300 gram karbohidrat (1260 kalori : 4 kalori/gram karbohidrat).
2. Protein 20% = 20% x 2000 kalori = 400 kalori dari protein setara dengan 100 gram
protein (420 kalori : 4 kalori/gram protein).
3. Lemak 20% = 20% x 2000 kalori = 400 kalori dari lemak setara dengan 44,4 gram
lemak (400 kalori : 9 kalori/gram lemak).
Nutrisi harian Darmono Suwondo yang disarankan (Pasien adalah seorang penderita
Diabetes Melitus) kebutuhan kalori = 2000 kalori :
Tabel 4.4 Kebutuhan Sehari-hari
Kal Prot (g) Lemak (g) Carb (g)
Rata-rata sehari 1525,61 68,05 29,7 249,31
Kebutuhan 2000 100 44,4 300
Tabel 4.5 Contoh Makanan Sesuai Kebutuhan
Waktu Jumlah Jenis Jenis
Makan Pagi ± 20% dari total
asupan harian
(400 kalori)
Karbohidrat: 240 kal
Lemak: 80 kal
Protein: 80 kal
- Nasi putih (1 ½ gelas)
- Susu sapi (1 gelas)
- Telor ayam negri (3/4 butir)
Selingan Pagi ± 10% dari total
asupan harian
(200 kalori)
- Pepaya 2 potong sedang
- Kopi+2 sendok gula
- Roti tawar 1 iris
Makan Siang ± 30% dari total
asupan harian
(600 kalori)
Karbohidrat: 360 kal
Lemak: 120 kal
Protein: 120 kal
- Nasi putih (2 gelas)
- Pepes ayam (1 potong)
- Telur ayam negri (1 butir)
- Sup/ sayur (1 mangkuk)
Selingan Siang ± 15% dari total
asupan harian
(300 kalori)
- - Singkong 1 potong sedang
- Bubur kacang ijo 2 sdm
Makan malam ± 25% dari total
asupan harian
(500 kalori)
Karbohidrat: 300 kal
Lemak: 100 kal
Protein: 100 kal
- Nasi putih (1 ¾ gelas)
- Daging ayam (1 potong sedang)
- Tahu (1/2 potong sedang)
- Cah kangkung/ sayur (1 mangkuk)
Akses pelayanan kesehatan
Tempat tinggal pasien berjarah tempuh ±10 menit dengan Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah, yaitu di Jl. Kembang Matahari, Denpasar Timur. Pasien masih dapat mengendarai
motor atau mobil sendiri, jadi mudah untuk melakukan kontrol ke poli Geriatri RS Sanglah.
Anak pasien juga bisa membawa kendaraan bermotor, sehingga kadang-kadang anak pasien
dapat mengantarnya untuk kontrol.
Lingkungan
Pasien tinggal bersama istri serta anak bungsunya. Pasien tinggal di rumah dengan 3
kamar tidur, tergolong permanen dimana atap, dinding dan lantai dibuat dari bahan
permanen. Tempat tinggalnya terdiri dari 1 lantai. Selain itu, di dalam rumah terdapat ruang
tamu, tempat makan, dapur, kamar mandi dengan WC jongkok, dan gudang. Di luar rumah
terdapat halaman yang ditumbuhi dengan berbagai macam tanaman. Pasien tidur bersama
istri di kamar dengan ukuran 5x5 meter. Rumah pasien tergolong bersih dan rapi karena
barang-barang tertata rapi. Ventilasi secara umum tergolong cukup dimana rumah pasien
memiliki jendela serta pintu pada ruang tamu dan kamar sehingga pertukaran udara dan sinar
matahari dapat berlangsung dengan baik. Sumber air untuk minum, keperluan memasak,
mandi dan mencuci baju berasal dari air PAM.
2. Kebutuhan Bio-psikososial
Lingkungan biologis
Karena keluhan pasien didasarkan adanya penyakit Diabetes Melitus, maka sangat
diperlukan kontrol diet, olahraga, serta pengobatan yang baik terhadap gula darah pasien
agar tidak terjadi komplikasi yang lebih berat. Karena pasien juga rentan untuk terkena
infeksi, maka pasien diharapkan dapat menjaga kebersihan diri.
Faktor psikologi
Dalam keadaan sakit ini pasien sangat membutuhkan pengertian dan dukungan dari
keluarga dalam menjalani aktivitas sehari-hari dan menjalani pengobatannya termasuk
untuk minum obat setiap harinya dan pengaturan dietnya. Pasien saat ini tinggal bersama
keluarga yang sangat memperhatikan kondisi kesehatannya. Istri, anak, dan menantu
pasien sangat mendukung pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari sehingga pasien
tidak terbebani dengan penyakitnya. Saat ini, pasien tidak dalam keadaan depresi,
sehingga lebih mudah untuk menerima masukan dari keluarganya.
Faktor Sosial dan kultural
Pasien juga membutuhkan perhatian dari lingkungan sekitar, seperti teman-teman sesama
usia lanjut. Dibutuhkan suatu kegiatan bersama agar dapat menjauhkan pasien dari rasa
bosan dan depresi karena penyakitnya. Hobi yang dimiliki pasien yakni jogging di sore
hari dengan teman sebayanya dapat membawa dampak positif sebab dapat membantu
pasien untuk membangkitkan rasa percaya diri serta perasaan berbagi antar sesama.
Faktor Spiritual
Keluarga pasien sebaiknya mengajak pasien untuk terus mendekatkan diri dengan Tuhan
yang Maha Esa, karena dengan begitu dapat menjauhkan pasien dari pikiran-pikiran
negatif tetang penyakitnya.
4.4 Resume
Pasien berinisial KJS, berumur 67 tahun, jenis kelamin laki-laki, suku Bali, agama
Hindu, pendidikan S1, sudah menikah, tidak bekerja, alamat Jalan Kembang Matahari nomor
III, NO II, Denpasar Timur. Penderita datang ke poliklinik Geriatri RSUP Sanglah dengan
tujuan untuk kontrol gula darah. Selain kontrol gula darah, pasien juga mengeluh sering pegal
pada punggung dan kaki sejak 6 bulan yang lalu. Selain itu, pasien tidak mengeluhkan hal
lainnya. Minum pasien dikatakan normal, sekitar 6 – 7 gelas 500 cc/ harinya. BAB dan BAK
pasien dikatakan normal.
Pasien telah didiagnosis menderita Diabetes Melitus tipe-2 sejak tahun 1992. Dikatakan
saat itu gula darah acak mencapai 344 mg/dL dan gula darah 2 jam pp 348 mg/dL. Pasien
juga didiagnosis Dislipidemia sejak tahun 2000. Saat itu kadar LDL dan TG dikatakan
meningkat, disertai penurunan HDL.
Pasien mendapatkan terapi Glibenclamide sejak pertama kali didiagnosis menderita DM
tipe 2. Setelah beberapa tahun menggunakan Glibenclamide, diganti dengan Metformin.
Pasien juga mendapatkan simvastatin untuk terapi dislipidemianya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, keadaan umum baik, tensi
berbaring 130/70 mmHg, tensi duduk 130/80, tensi berdiri 125/75, nadi 80 x/menit, respirasi
20 x/mt, temperatur axilla 36,5 0C. Pada pemeriksaan penunjang (Kimia Darah, 01/08/2012)
didapatkan tingginya Gula Darah Puasa (124,00 mg/dL) dan Glukosa darah 2 jam (89,00
mg/dL), dengan HbA1c 7,025%. Didapatkan pula kadar kolesterol yang tinggi yakni 268
mg/dL, HDL direk rendah (34,7 mg/DL) dan Trigliserida yang tinggi (141 mg/dL).
4.5 Saran
KIE kepada pasien tentang penyakitnya yang bersifat kronis namun dapat dikontrol
dan sembuh sehingga pasien dapat menyadari perlunya pengobatan serta
pemeriksaan rutin terutama laboratorium untuk memantau kesehatannya.
KIE tentang perlunya diet bagi penderita DM sehingga kadar glukosa darah serta
profil lipid dapat dikontrol sehingga dapat menghindari terjadinya komplikasi DM
baik akut maupun kronis.
KIE jika pasien berolahraga membawa air gula atau permen supaya jika mengalami
gejala hipoglikemia pasien dapat langsung mengatasinya.
KIE tentang resiko adanya diabetic foot pada pasien DM sehingga perlunya menjaga
hygiene dan keamanan kaki pasien dengan cara memakai alas kaki baik di dalam
maupun di luar rumah.
KIE makanan yang sebaiknya dikonsumsi maupun yang harus dihindari seperti
kolesterol, lemak jenuh yang banyak dan lain-lain.
KIE agar pasien menyadari penyakitnya dan dapat melakukan aktivitas yang
digemarinya dengan tetap mengingat segala keterbatasannya saat ini.
KIE pasien supaya rajin mendekatkan diri dengan Tuhan agar memiliki kehidupan
yang lebih tenang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kurniawan I. Diabetes mellitus tipe 2 pada usia lanjut. Majalah Kedokteran Indonesia.
2010; 60:576-584.
2. Elia M et al. Enteral nutritional support and use of diabetes-specific formulas for patients
with diabetes. Diabetes Care. 2005; 28:2267-2279.
3. Perkeni. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe-2 di Indonesia
2011. In: Perkeni. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe-2 di
Indonesia 2011. Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia; 2011. p. 4-68.
4. ADA. Standard of medical care in diabetes – 2012. Diabetes Care. 2012; 35:S11-S63.
5. Kirsh SR, Aron DC. Choosing targets for glycaemia, blood pressure and low-density
lipoprotein cholesterol in elderly individuals with diabetes mellitus. Drugs Aging. 2011;
28:945-960.
6. Germino FW. Noninsulin treatment of type 2 diabetes mellitus in geriatric patients:
review. 2011; 33:1868-1882.
7. American Geriatrics Society (AGS). Guidelines for improving the care of the older
person with diabetes mellitus. JAGS. 2003; 51:S265–S280.
8. Perkeni. Terapi Insulin untuk Pasien Diabetes Melitus Rawat Jalan. In: Perkeni. Petunjuk
Praktis Terapi Insulin pada Paien Diabetes Mellitus. Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia; 2011. p. 11-22.
9. Shao H, Chen LQ, Xu J. Treatment of dyslipidemia in the elderly. Journal of Geriatric
Cardiology. 2011; 8:55-64.
10. Schafer H, Villiers JD, Sudono I, Dischinger S, Theus GR, Zilla P, Dieterle T.
Recommendations for the Treatment of Hypertension in the Elderly and Very Elderly a
Scotoma within International Guidelines. The European Journal of Medical Sciences.
2012 p. 1-7.
11. Bethel M, Sloan F, Belsky D, et al. Longitudinal incidence and prevalence of adverse
outcomes of diabetes mellitus in elderly patients. Arch Intern Med. 2007; 167: 921-7
12. Blaum C, Cigolle C, Boyd C, et al. Clinical complexity in middle-aged and older adults
with diabetes: the Health and Retirement Study. Med Care. 2010; 48 (4): 327-34
13. Durso S. Using clinical guidelines designed for older adults with diabetes mellitus and
complex health status. JAMA 2006; 295: 1935-40
14. UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group. Effect of intensive blood-glucose
control with metformin on complications in overweight patients with type 2 diabetes
(UKPDS 34). Lancet. 1998; 352: 854-65