CASECKD_VANESSAMODI

76
BAB I LAPORAN KASUS IDENTITAS PASIEN Nama : Ny E Usia : 47 Tahun Jenis Kelamin : Wanita Alamat : Jl. Gandaria 3/62, Jatibening, Bekasi Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Agama : Islam Status Pendidikan : SMA Suku : Jawa Nomor Rekam Medik : 03476446 ANAMNESIS Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 15 Desember 2014 di Ruang Anggrek Kamar A14 pukul 19.00 WIB. KELUHAN UTAMA Sesak napas sejak 3 hari SMRS. KELUHAN TAMBAHAN - Bengkak pada kedua kaki - Batuk kering - Tubuh terasa lemas 1

description

j

Transcript of CASECKD_VANESSAMODI

Page 1: CASECKD_VANESSAMODI

BAB I

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny E

Usia : 47 Tahun

Jenis Kelamin : Wanita

Alamat : Jl. Gandaria 3/62, Jatibening, Bekasi

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Status Pendidikan : SMA

Suku : Jawa

Nomor Rekam Medik : 03476446

ANAMNESIS

Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 15 Desember 2014 di Ruang Anggrek Kamar A14

pukul 19.00 WIB.

KELUHAN UTAMA

Sesak napas sejak 3 hari SMRS.

KELUHAN TAMBAHAN

- Bengkak pada kedua kaki

- Batuk kering

- Tubuh terasa lemas

- Jarang BAK dan sulit BAB

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Seorang wanita, 47 tahun, datang dengan keluhan sesak napas sejak 3 hari SMRS.Sesak

napas tersebut muncul sejak 3 bulan yang lalu, terjadinya hilang timbul namun semakin lama

1

Page 2: CASECKD_VANESSAMODI

semakin memberat. Pasien mengatakan sesak biasanya muncul terutama ketika tidur berbaring

dan biasanya sesak menjadi berkurang dalam posisi duduk.Pasien sering bangun pada malam

hari karena sesak tersebut dan ketika tidur harus memakai 4 bantal. Pasien mengatakan

aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga menjadi berkurang akibat frekuensi sesak yang semakin

sering terjadi dan aktivitasnya saat ini hanya tiduran saja.

Pasien juga mengatakan terdapat bengkak pada kedua kakinya. Bengkak tersebut timbul

bila pasien melakukan aktivitas seperti berjalan lama, namun akan menghilang dengan

istirahat.Nyeri pinggang kadang dirasakan oleh pasien namun hal tersebut tidak memberat.

Pasien juga mengeluh adanya lemas pada tubuh serta ada batuk kering yang tidak kunjung

hilang. Pasien mengeluh jarang BAK, hanya 1-2 kali dalam sehari, volume urin sangat sedikit

dan warna urin yaitu kuning pekat. Pasien mengatakan sering ingin berkemih pada malam

hari.Pasien mengatakan belum dapat BAB dalam 5 hari ini.Nafsu makan pasien akhir-akhir ini

sangat berkurang namun tidak ada keluhan terhadap nafsu minum pasien.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pasien mengatakan memiliki riwayat penyakit gula sejak 3 tahun yang lalu dan berobat

kontrol secara teratur dengan metformin. Pasien memiliki riwayat darah tinggi namun tidak

meminum obat secara teratur. Riwayat penyakit jantung, paru ataupun penyakit lain disangkal

oleh pasien. Pasien memiliki riwayat kolesterol yang tinggi.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Tante pasien memiliki riwayat penyakit gula.

RIWAYAT KEBIASAAN

Pasien memiliki riwayat kebiasaan makan yaitu 3 kali sehari, namun pasien sering

mengkonsumsi cemilan manis dan buah seperti manga. Riwayat kebiasaan minum minuman

seperti teh botol dan sirup yang manis yaitu 1 botol/hari. Pasien mengaku tidak pernah

berolahraga, tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol.

2

Page 3: CASECKD_VANESSAMODI

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, compos mentis, aktivitas aktif

Status Gizi : BB = 45 kg, TB = 160 cm, BMI = 17,57

Tanda Vital : Tekanan Darah : 130/80 mmHg, Nadi: 80 x/menit, Laju Napas 26x/menit

Suhu : 36oC

Kepala : Normosefali

Rambut : Warna hitam beruban dengan distribusi merata

Mata : Konjungtiva Anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-), Pupil Bulat Isokor (+/+),

Refleks Cahaya Langsung (+/+), Refleks Cahaya Tidak Langsung (+/+)

Leher : JVP 5+2 cm, KGB tidak teraba adanya pembesaran, Struma (-)

Paru

- Inspeksi : Pergerakan napas simetris pada saat inspirasi dan ekspirasi, pernapasan

thorakoabdominal

- Palpasi : Vokal fremitus kanan dan kiri sama kuatnya

- Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronki (+/-), wheezing (-/-)

- Perkusi : Suara sonor pada kedua lapang paru, batas paru dan hepar

setinggi ICS 5 linea midklavikula kanan dengan suara redup

Jantung

- Inspeksi : Ictus cordis di ICS 5±1 cm medial dari garis midklavikula kiri.

- Palpasi : Tidak teraba thrill pada ke 4 area katup jantung

- Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, BJ III dan BJ IV (-), murmur (-/-), gallop (-/-)

- Perkusi : Batas jantung kanan berada setinggi ICS 3 hingga ICS 5 garis sternalis

kanan dengan suara redup, batas jantung kiri setinggi ICS 5±1 cm

medial linea midklavikularis kiri dengan suara redup.

Abdomen

- Inspeksi : Cembung dan supel

- Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), undulasi (+)

- Perkusi : Redup, shifting dullness (+)

3

Page 4: CASECKD_VANESSAMODI

- Auskultasi : Bising usus (+) 7x/menit

Ekstremitas : Akral hangat pada keempat ekstremitas dan oedem pada kedua tungkai (pitting

oedem), CRT < 2 detik

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Flag Hasil Unit Nilai rujukan

HEMATOLOGI

Darah lengkap

Laju endap darah 140 mm 0~10

Leukosit 11,6 ribu/uL 5~10

Eritrosit 2.15 juta/uL 4~6

Hemoglobin 6.7 g/dL 13~17.5

Hematokrit 18 % 40~54

Indeks eritrosit

MCV 83.6 fL 82~92

MCH 31.3 pg 27~32

MCHC 37.3 % 32~37

Trombosit 282 ribu/uL 150~400

KIMIA KLINIK

TP, ALB, GLOB

Protein total 5.9 g/dL 6.6~8.0

Albumin 2.86 g/dL 3.5~4.5

Globulin 3.04 g/dL 1.5~3.0

FUNGSI HATI

SGOT (AST) 27 U/L <37

SGPT (ALT) 34 U/L <41

Alkali phospat 223 U/L 50~190

BILI. TOTAL,

DIREK, INDIREK

Bilirubin total 0.60 mg/dL <1.2

4

Page 5: CASECKD_VANESSAMODI

Bilirubin direk 0.34 mg/dL <0.6

Bilirubin indirek 0.26 mg/dL <0.8

FUNGSI GINJAL

Ureum 385 mg/dL 20~40

Kreatinin 9.52 mg/dL 0.5~1.5

Profil Lipid

Trigliserida 326 mg/dL <160

Kolesterol total 239 mg/dL <200

Kolesterol HDL 52 mg/dL 35~55

Kolesterol LDL 160 mg/dL <160

Gula darah sewaktu 20 mg/dL 60~110

Elektrolit

Natrium (Na) 127 mmol/L 135~145

Kalium (K) 3.9 mmol/L 3.5~5.0

Clorida (Cl) 87 mmol/L 94~111

ASSESMENT

CKD Stage V, Diabetes Mellitus tipe II, Dislipidemia, Anemia, Hipoglikemia

PLANNING

- O2 nasal 4 liter/menit

- Kidmin 200cc/24 jam IVFD

- Lasix 2x2 amp IV

- Ceftazidine 1x1 gram IV

- Lypanthil 1x100 mg p.o

- Ondansentron 1x4 mg p.o

- Ranitidine 2x50 mg IV

- Amlodipine 1x10 mg p.o

- Transfusi PRC 1 unit 250 cc/hari (selama 2 hari)

- Foto Thorax PA

5

Page 6: CASECKD_VANESSAMODI

BAB II

PENGKAJIAN KASUS

Nama : Ny E

Usia : 47 Tahun

16 Desember 2014

SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANNING

Sesak napas sejak 3 hari SMRS,

lemas pada seluruh tubuh,

kepala terasa pusing, batuk

kering, bengkak pada kedua

tungkai. Keluhan jarang bak

yaitu hanya 1-2x dengan

volume urin yang sedikit

KU : TSS, compos mentis

TD : 120/70 mmHg

N : 96 x/menit

S : 36o

RR : 24 x/menit

Mata : CA +/+, SI -/-

Leher : JVP 5+2 cm, KGB tidak ada

pembesaran

Paru : Suara Napas Vesikuler +/+, Rhonki

-/-, Wheezing -/-

Jantung : BJ I dan II regular, murmur -,

gallop -

Abdomen : cembung, BU +, supel, NT

epigastrium -, undulasi +,shifting dullness +

CKD stage V

DM tipe II

Hipoglikemia

Anemia

Dislipidemia

- Dextrose 10 % 500 cc/24

jam

- Ambroxol 3xCI

- Kidmin 200cc/24 jam

IVFD

- Lasix 2x2 amp IV

- Ceftazidine 1x1 gram IV

- Lypanthil 1x100 mg p.o

- Ondansentron 1x4 mg p.o

- Ranitidine 2x50 mg IV

- Amlodipine 1x10 mg p.o

- Transfusi Packed Red Cell

1 unit 250 cc

- Foto Thorax PA

6

Page 7: CASECKD_VANESSAMODI

Ekstremitas : akral hangat, oedem pitting

pada kedua tungkai

PEMERIKSAAN LAB

06.09 GDS : 23 mg/dl

07.27 GDS : 106 mg/dl

18.52 GDS : 64 mg/dl

7

Page 8: CASECKD_VANESSAMODI

PENEGAKAN DIAGNOSIS PENYAKIT GINJAL KRONIK

Penyakit ginjal kronik (CKD) adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan

penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, dimana pada suatu tingkat membutuhkan terapi

pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis ataupun transplantasi ginjal.1

Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik (CKD)

KRITERIA PENYAKIT GINJAL KRONIK1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan

struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan manifestasi :

- Kelainan patologis- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau

kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan

atau tanpa kerusakan ginjal

Gambaran Klinis

Pada pasien ginjal kronik terdapat gambaran klinis seperti :

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, batu traktus urinarius,

hipertensi, hiperurisemi, Lupus Eritematosus Sistemik, dan lain-lain.

b. Sindrom uremia yang terdiri dari kumpulan gejala seperti lemah, letargi, anoreksia, mual,

muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus,

uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma

c. Gejala komplikasinya seperti hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,

asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, klorida)

Gambaran Laboratoris

Pada pasien ginjal kronik terdapat gambaran laboratoris seperti :

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari

b. Terdapat penurunan fungsi ginjal yang dilihat melalui peningkatan kadar ureum dan

kreatinin serum serta penurunan LFG berdasarkan perhitungan melalui rumus Kockcroft-

Gault.

8

Page 9: CASECKD_VANESSAMODI

c. Kelainan dari biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, hiperurisemia,

hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,

hipokalsemia, asidosis metabolik

d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isotenuria

Klasifikasi

Penyakit ginjal kronik diklasifikasikan atas dua hal yaitu derajat (stage) serta atas dasar diagnosis

etiologi. LFG dapat dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft Gault sebagai berikut.2

Rumus Kockcroft-Gault

LFG (ml /menit /1,73m 2¿¿=(140−umur ) xberat badan72 x kreatinin plasma¿¿¿

*Pada wanita dikalikan hasil LFG dengan 0,85

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Derajatnya

DERAJAT PENJELASAN LFG (ml/menit/1,73m2)

1Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau

meningkat≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 60 – 893 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang 30 – 594 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat 15 – 295 Gagal ginjal < 15 atau dialysis

Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Etiologinya

PENYAKIT TIPE MAYOR (CONTOH)Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal non diabetes

Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia)

Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, makroangiopati)

Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)

Penyakit kistik (ginjal polikistik)Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik

Keracunan obat (siklosporin / takrolimus)Penyakit reccurent (glomerular)

Transplant glomerulopathy

9

Page 10: CASECKD_VANESSAMODI

PATOFISIOLOGI PENYAKIT GINJAL KRONIK

Proses terjadinya penyakit ginjal kronik mulanya tergantung pada penyakit yang

mendasari pada pasien. Adanya pengurangan massa pada ginjal mengakibatkan adanya hipertrofi

struktural dan fungsional dari nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi yang

diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan

terjadinya hiperfiltrasi serta adanya peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah pada

glomerulus. Proses ini berlangsung singkat namun akan terjadi suatu proses maladaptasi yaitu

sklerosis nefron yang diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit

dasarnya sudah tidak ada lagi. Terdapat peningkatan dari renin-angiotensin-aldosteron intrarenal

yang mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresivitas tersebut.Aktivasi jangka

panjangaksis renin-angiotensin-aldosteron, diperantarai oleh growth factor seperti transforming

growth factor β (TGF-β). Hal yang dianggap berperan pada progresivitas penyakit ginjal kronik

yaitu albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia. Sklerosis dan fibrosis dapat

terjadi baik di glomerulus maupun di tubulointerstitial. Pada stadium yang paling dini dari

penyakit ginjal kronik, dapat terjadi kehilangan daya cadang dari ginjal pada keadaan membran

basal LFG yang masih normal atau malah meningkat. Lalu dapat terjadi penurunan fungsi nefron

yang progresif secara perlahan.

ETIOLOGI PENYAKIT GINJAL KRONIK

Etiologi penyakit ginjal kronik antara satu negara dengan negara lain. Perhimpunan

Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani

hemodialisis di Indonesia.

Tabel 4. Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000

Penyebab InsidenGlomerulonefritis 46.39%Diabetes Melitus 18.65%

Obstruksi dan infeksi 12.85%Hipertensi 8.46%Sebab lain 13.65%

Pada kasus Ny. E, 47 tahun, didapatkan keluhan sesak napas sejak 3 hari SMRS, bengkak

pada kedua tungkai, lemas pada tubuh, serta keluhan terhadap jarang BAK yang merupakan

10

Page 11: CASECKD_VANESSAMODI

gejala klinis pada pasien penyakit ginjal kronik. Riwayat diabetes mellitus, hipertensi serta

adanya kolesterol yang tinggi juga menjadi faktor utama penyebab dari penyakit ginjal kronik

pada pasien ini. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya gambaran konjungtiva anemis pada

kedua mata yang ditunjang dengan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu nilai hemoglobin 7,1

g/dl sehingga dapat disimpulkan adanya anemia yang dapat menjadi gejala komplikasi pada

pasien ini. Pada pemeriksaan abdomen terdapat juga tanda shifting dullness (+) serta adanya

oedem pitting pada kedua tungkai pasien, ditunjang dengan hasil pemeriksaan laboratorium

berupa penurunan kadar albumin pada pasien yaitu 2,86 g/dl. Hal ini menunjukan penurunan dari

laju filtrasi glomerulus yang mengakibatkan adanya retensi dari natrium serta retensi cairan

sehingga terdapat peningkatan jumlah cairan pada ruang ekstraseluler akibat peningkatan dari

tekanan hidrostatik yang dapat menyebabkan terjadinya oedem pitting. Hipoalbuminemia juga

dapat mengakibatkan terjadinya penurunan dari tekanan onkotik sehingga terjadi peningkatan

tekanan hidrostatik yang memicu perpindahan cairan ke ruang ekstraseluler dan terjadi oedem

pada kedua tungkai. Untuk nilai dari LFG Ny E, 47 tahun, penghitungan dengan menggunakan

rumus Kockroft Gault sebagai berikut :

Ny E berusia 47 tahun, berat badan 45 kg, dengan kreatinin 9,52 mg/dl

LFG (ml /menit /1,73m 2¿¿=(140−umur ) xberat badan72 x kreatinin plasma¿¿¿

LFG (ml /menit /1,73m 2¿¿=(140−47 ) x 4572 x 9,52¿¿¿

= 6,1 ml/menit

Menurut hasil penghitungan ini dengan hasil 6,1 ml/menit maka dapat disimpulkan

pasien mengalami penyakit ginjal kronik (CKD) stage V.

TATALAKSANA

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi

Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

Memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal

11

Page 12: CASECKD_VANESSAMODI

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Tabel 5. Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyakit Ginjal Kronik sesuai dengan derajatnya:

Derajat LFG(ml/mnt/1.73m2)

Rencana Tatalaksana

1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi perburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskular

2 60-89 Menghambat perburukan (progression) fungsi ginjal

3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal5 <15 Terapi pengganti ginjal

Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasanya adalah sebelum terjadinya

penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak tejadi. Pada ukuran ginjal yang masih

normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan

indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-

30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

Pencegahan dan Terapi Terhadap Komorbid

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien

penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang

dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan

keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus

urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit

dasarnya.

Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah tejadinya hiperfiltrasi

glomerulus.

12

Page 13: CASECKD_VANESSAMODI

Gambar 1. Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis

Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah:

Pembatasan asupan protein

Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG <60 ml/mnt, sedangkan nilai di

atas tersebut, pembatasan asupan protein tidak dianjurkan. Protein diberikan 0.6 – 0.8/kgBB/hari,

yang 0.35 – 0.50 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang

diberikan sebesar 30 – 35 kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status

nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan.

Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi

dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal.

Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hidrogen,fosfat, sulfat, dan ion

unorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein

pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion

anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan

demikian, pembatasan asupan protein yang akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.

Masalah penting lain adalah, asupan protein berlebih (protein oveload) akan

mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan

intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkatkan progresifitas

perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan

13

Page 14: CASECKD_VANESSAMODI

fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu

untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.3,4

Tabel 7. Pembatasan asupan protein dan fosfat pada penyakit ginjal kronik

LGFml/mnt

Asupan proteing/kg/hari

Fosfatg/kg/hari

> 60 Tidak dianjukan Tidak dibatasi25 – 60 0.6-0.8/kg/hari, termasuk ≥ 0.35

gr/kb/hari nilai biologi tinggi≤ 10 g

5 – 25 0.6-0.8/kg/hari, termasuk ≥ 0.35 gr/kb/hari protein nilai biologi tinggi atau tambahan 0.3 g asam amino esensial atau asam keton

≤ 10 g

< 60(sindrom nefrotik)

0.8/kg/hari (+1 g protein/g proteinuria atau 0.3 g/kg tambahan asam amino esensial atau asam keton

≤ 9 g

TERAPI FARMAKOLOGIS

Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat

antihipertensi, di samping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat

penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi

interglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian

tekanan darah mempunyai peranan sama pentingnya dengan pembatasa asupan protein, dalam

memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran terapi

farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa,

proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain

derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.

Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambang enzim konverting angiotensin

(Angiotensin Converting Enzyme/ACE Inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat

memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya

sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.

DIABETES MELLITUS

Diabetes Mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.5

14

Page 15: CASECKD_VANESSAMODI

Tabel 8. Klasifikasi Etiologi DM

Tipe I Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut karena autoimun atau idiopatik

Tipe II Bervariasi, mulai yang dominan yaitu resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin

Tipe lain Defek genetik fungsi sel beta Defek genetik kerja insulin Penyakit eksokrin pankreas Endokrinopati Karena obat atau zat kimia Infeksi Sebab imunologi yang jarang Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

Diabetes Mellitus Gestasional

Untuk mendiagnosa DM dapat dilakukan anamnesis terhadap keluhan atau gejala klasik

seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

sebabnya.Serta adanya keluhan lain berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan

disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada wanita.

Tabel 9. Kriteria Diagnosis DM

1. Gejala Klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)Glukosa Plasma Sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa

pemeriksaan pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhirATAU

2. Gejala Klasik DM+

Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7 mmol/L)Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

ATAU3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200mg/dl (11,1 mmol/L)

TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa, yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

Pemeriksaan HbA1c (≥ 6,5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukan menjadi salah satu kriteria

diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.

15

Page 16: CASECKD_VANESSAMODI

Tabel 10. Klasifikasi Penyakit Komorbid pada Diabetes Mellitus

Common Comorbidities Associated With Diabetes

Certain cancers (liver, pancreas, bladder, endometrium, breast, colon/rectum)*Cognitive impairmentDepressionDyslipidemiaFatty liver diseaseFracturesHearing impairmentHypertensionLow testosterone (men)ObesityObstructive sleep apneaPeriodontal disease

PENATALAKSANAAN DM

Pengelolaan terhadap DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama

beberapa waktu (2-4 minggu). Bila kadar glukosa belum dapat mencapai sasaran maka akan

dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan

insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung

kombinasi sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, seperti

ketoasidosis, stres berat, berat badan menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria maka insulin

dapat segera diberikan.5

PILAR PENATALAKSANAAN DM

1. Edukasi

DM 2 terjadi karena pola gaya hidup dan perilaku yang telah terbentuk pada pasien

sehingga untuk mengatasi hal ini diperlukan partisipasi aktif dari pasien untuk menuju

perubahan perilaku hidup sehat. Maka dari itu dibutuhkan edukasi yang komprehensif

serta upaya peningkatan motivasi untuk perilaku hidup sehat.

2. Terapi Gizi Medis

Prinsip pengaturan makanan pada penderita diabetes yaitu makanan yang seimbang dan

sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.

16

Page 17: CASECKD_VANESSAMODI

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri atas:

- Karbohidrat : sebesar 45-65% total asupan energi, makanan harus mengandung

karbohidrat berserat tinggi, dan makan 3 kali sehari untuk mendistribusikan asupan

karbohidrat serta dapat diberikan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari

kebutuhan kalori sehari.

- Lemak : sekitar 20-25% kebutuhan kalori, lemak jenuh (seperti daging berlemak dan susu

penuh) <7% kebutuhan kalori, lemak tidak jenuh ganda <10%, dan anjuran konsumsi

kolesterol <200 mg/hari

- Protein : sebesar 10-20% total asupan energi dan pada pasien dengan nefropati perlu

penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kgBB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan

65% hendaknya bernilai biologik tinggi.

- Natrium :<3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh garam dapur) dan pada

penderita hipertensi pembatasan natrium sampai 2400 mg.

- Serat :yang berasal dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat

yang tinggi serat dan anjuran untuk mengkonsumsi serat adalah +/- 25 g/hari

- Pemanis alternatif : aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman

Kebutuhan kalori juga perlu diperhitungkan untuk menentukan jumlah kalori yang

dibutuhkan pada penderita diabetes. Diantaranya dengan memperhitungkan kebutuhan kalori

basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada

faktor seperti jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain.

Perhitungan Berat Badan Ideal dengan Rumus Broca

- Berat badan ideal (BBI) = 90% x (TB dalam cm – 100) x 1 kg

- Bagi pria dengan tinggi badan dibawah 160 cm dan wanita dibawah 150 cm, rumus

dimodifikasi menjadi

BBI = (TB dalam cm – 100) x 1 kg (BB normal bila BBI +/- 10%, BB kurus bila dibawah

BBI - 10%, dan BB gemuk bila diatas BBI + 10%)

Perhitungan Berat Badan Ideal dengan Indeks Massa Tubuh (IMT)

17

Page 18: CASECKD_VANESSAMODI

- IMT = BB(kg) / TB(m2) (BB kurang bila < 18,5, BB normal bila 18,5 – 22,9, BB lebih

bila ≥ 23,0, dengan resiko bila 23,0 - 24,9, obes I bila 25,0 – 29,9, dan obes II bila > 30)

Makanan sejumlah kalori yang telah terhitung dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan

pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%)

diantaranya.

3. Latihan Jasmani

Hal ini dapat dilakukan secara teratur yaitu 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30

menit.Tujuan dari kegiatan dan latihan jasmani yaitu untuk menjaga kebugaran serta

untuk menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin sehingga terjadi

perbaikan terhadap kendali glukosa darah.Latihan jasmani dapat berupa latihan yang

bersifat aerobic seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.Hal ini

sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kebugaran jasmani.Hindari kebiasaan

hidup yang kurang gerak dan bermalas-malasan.

4. Intervensi Farmakologis

Terapi farmakologis dapat diberikan bersama dengan pengaturan makanan dan latihan

jasmani atau gaya hidup sehat. Terapi ini terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

a) Obat Hipoglikemik Oral

- Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid

- Peningkatan sensitivitas terhadap insulin : metformin dan tiazolidindion

- Penghambat glukoneogenesis : metformin

- Penghambat absorbsi glukosa : penghambat glukosidase alfa arcabose

- DPP-IV Inhibitor

PEMICU SEKRESI INSULIN (INSULIN SECRETAGOGUE)

SULFONILUREA

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta

pancreas dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan

kurang. Namun obat ini boleh diberikan pada pasien dengan berat badan lebih. Untuk

menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang tua,

18

Page 19: CASECKD_VANESSAMODI

gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskuler, tidak

dianjurkan penggunaan sulfonil urea kerja panjang.

GLINID

Glinid merupakan obat yang kerjanya sama dengan sulfonylurea, dengan penekanan pada

peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu

Repaglinid (derivate asam benzoate) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini

diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan dieksresi secara cepat melalui

hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.

TIAZOLIDINDION

Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor

Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai

efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut

glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion

dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat

memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang

menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan hati secara berkala. Golongan

rosiglitazon sudah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya.

PENGHAMBAT GLUKONEOGENESIS

METFORMIN

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis)

dan juga memperbaiki ambilan glukosa primer. Terutama dipakai pada penyandang

diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi

ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dl) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan

hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, dan gagal jantung).

Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut

dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa

pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan untuk

memantau efek samping obat tersebut.

19

Page 20: CASECKD_VANESSAMODI

PENGHAMBAT GLUKOSIDASE ALFA (ARCABOSE)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai

efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Arcabose tidak menimbulkan efek

samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering terjadi ialah kembung dan

flatulens.

DPP IV INHIBITOR

Glucagon Like Peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptida yang dihasilkan

oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan

yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat pelepasan

insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glucagon. Namun secara cepat GLP-1

diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP IV) menjadi metabolit GLP-1(9,36)

amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang

ditujukan untuk meningkatkan GLP-1, bentuk aktif merupakan hal rasional dalam

pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian

obat yang menghambat kinerja enzim DPP-IV (penghambat DPP-IV) atau memberikan

hormone asli atau analognya (analog incretin = GLP-1 agonis). Berbagai obat yang

masuk golongan DPP-IV inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-IV sehingga GLP-1

tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang

pelepasan insulin serta menghambat pelepasan glucagon.

Mekanisme kerja OHO, efek samping utama, serta pengaruh obat terhadap penurunan

A1C dapat dilihat pada tabel 5, sedangkan nama obat, berat bahan aktif (mg) per tablet,

dosis harian, lama kerja, dan waktu pemberian dapat dilihat.

20

Page 21: CASECKD_VANESSAMODI

Gambar 2. Perbandingan Golongan OHO

Cara pemberian OHO terdiri dari :

- OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respon kadar

glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal

- Sulfonilurea : 15-30 menit sebelum makan

- Repaglinid, Nateglinid : sesaat sebelum makan

- Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan

- Penghambat glukosidase (Acarbose) : bersama makan suapan pertama

- Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan

- DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan

b) Suntikan

1. Insulin

21

Page 22: CASECKD_VANESSAMODI

Insulin diperlukan pada keadaan :

- Penurunan berat badan yang cepat

- Hiperglikemia berat disertai ketosis

- Ketoasidosis diabetik

- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

- Hiperglikemia dengan asidosis laktat

- Gagal dengan kombinasi OHO optimal

- Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

- Kehamilan dengan DM/DM gestasional yang tidak terkendali dengan

perencanaan makan

- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 4 jenis yaitu :

- Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

- Insulin kerja pendek (short acting insulin)

- Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

- Insulin kerja panjang (long acting insulin)

- Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin)

Efek samping terapi insulin :

- Terjadinya hipoglikemia

- Reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau

resistensi insulin

2. Agonis GLP-1/incretin mimetic

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 dapat bekerja sebagai

perangsang pelepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun

peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin atau

sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis

22

Page 23: CASECKD_VANESSAMODI

GLP-1 yang lain adalah menghambat pelepasan glukagon yang diketahui berperan

pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti

memperbaiki cadangan beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian

obat ini yaitu rasa sebah dan muntah.

c) Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah untuk

kemudian dinaikan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.

Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat

melakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan

OHO kombinasi (secara terpisah atau fixed combination dalam bentuk tablet

tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme

kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan

kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien dengan alasan klinis dimana insulin

tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat

menjadi pilihan.

Untuk kombinasi OHO dan insulin yang banyak digunakan adalah OHO dan

insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada

malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat

diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil.

Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,

kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah

puasa keesokan harinya. Bila dengan cara tersebut kadar glukosa darah sepanjang hari

masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi

insulin.5

KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS

Secara garis besar komplikasi terhadap diabetes mellitus dibagi menjadi 2 diantaranya

1) Komplikasi Akut

- Ketoasidosis Diabetik

- Koma Hiperosmolar Non Ketotik

23

Page 24: CASECKD_VANESSAMODI

- Hipoglikemia

2) Komplikasi Kronik

a. Makroangiopati : Penyakit pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi

(claudicatio intermitten), dan pembuluh darah otak (stroke atau Transient

Ischemic Attack).

b. Mikroangiopati : Retinopati dan nefropati

c. Neuropati : Beresiko terjadinya ulkus /gangren pada kaki

HIPOGLIKEMIA

Hipoglikemia adalah suatu kondisi yang ditandai dengan menurunnya kadar

glukosa darah <60 mg/dl. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes

melitus harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hal ini paling

sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia pada

penggunaan sulfonilurea berlangsung lama sehingga harus diawasi sampai seluruh obat

disekresi dan waktu kerja obat telah habis. Pengawasan yang dibutuhkan biasanya 24-72

jam atau lebih terutama pada pasien gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi

OHO kerja panjang.6

Penyebab Hipoglikemia

Menurut Sabatine (2004), hipoglikemia dapat terjadi pada penderita diabetes dan

non diabetes dengan etiologi sebagai berikut :

1. Pada Penderita Diabetes

Pada penderita diabetes, hipoglikemia dapat timbul akibat peningkatan kadar insulin yang

kurang tepat baik sesudah penyuntikan insulin subkutan atau karena obat yang

meningkatkan eksresi insulin seperti sulfonilurea. Hampir setiap pasien yang mendapat

terapi insulin maupun dengan sulfonilurea pernah mengalami dimana kadar insulin di

sirkulasi tetap tinggi namun kadar glukosa darah sudah dibawah normal.

2. Pada Penderita Non Diabetes

24

Page 25: CASECKD_VANESSAMODI

Terjadinya hipoglikemi dalam hal ini dapat diakibatkan oleh peningkatan produksi

insulin, pasca melakukan aktivitas, mengonsumsi makanan yang mengandung sedikit

kalori, mengonsumsi alkohol, pasca melahirkan, pasca gastrektomi, dan bila pasien

menggunakan obat-obatan dalam jumlah besar (seperti Salisilat dan Sulfonamide).

KARAKTERISTIK DIAGNOSTIK HIPOGLIKEMIA

Menurut Soemadji (2006) dan Cryer (2005), karakteristik diagnostik pada pasien

hipoglikemia ditentukan berdasarkan TRIAS WIPPLE sebagai berikut :

a. Terdapat gejala dari hipoglikemia

b. Kadar glukosa darah kurang dari 50 mg%

c. Gejala akan hilang seiring dengan peningkatan kadar glukosa darah (pasca koreksi)

KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS HIPOGLIKEMIA

Gambar 3. Klasifikasi dari Hipoglikemia pada Penderita Diabetes Menurut American Diabetes Association (2013)

Tanda klinis dari hipoglikemia sangat bervariasi dan berbeda pada setiap orang,

diantaranya :

25

Page 26: CASECKD_VANESSAMODI

1. Gejala Otonomik berkeringat, jantung berdebar, tremor, dan lapar

2. Gejala Malaise sakit kepala dan mual

3. Gejala Neuroglikopenik (gejala disfungsi serebral) bingung (confusion), mengantuk,

sulit bicara, inkordinasi, perilaku yang berbeda, gangguan visual dan parestesi, kesadaran

menurun sampai koma

PATOFISIOLOGI

Gejala dari hipoglikemia berhubungan dengan aktivasi dari simpatis dan disfungsi

otak sekunder akibat penurunan dari tingkat glukosa dalam darah. Stimulasi dari sistem saraf

simpatoadrenal mengakibatkan terjadinya berkeringat, palpitasi, gemetar, ansietas, dan

kelaparan. Penurunan dari glukosa darah pada otak mengakibatkan terjadinya konfusi, sulit

berkonsentrasi, iritabilitas, halusinasi, gangguan fokal (seperti hemiplegia), bahkan koma dan

kematian. Adanya gejala adrenergik sering mengakibatkan adanya gejala neuroglikopenik

dan memberikan tanda awal pada pasien.

Respon awal ketika kadar glukosa turun adalah peningkatan akut sekresi hormon

caunter-regulatory (glucagon dan epinefrin) dimana batas kadar glukosa tersebut yaitu 65-68

mg%. Lepasnya epinefrin akan menunjukan aktivasi sistem simpatoadrenal. Bila glukosa

darah tetap turun sampai 3,2 mmol/l maka gejala aktivasi otonomik mulai tampak. Fungsi

kognisi yang diukur dengan kecepatan reaksi dan berbagai fungsi psikomotor yang lain mulai

terganggu pada kadar glukosa 3 mmol/L. Bila individu tersebut masih memiliki kesiagaan

maka aktivasi sistem simpatoadrenal akan terjadi sebelum gejala fungsi serebral yang

bermakna timbul sehingga pasien tetap sadar dan memiliki kemampuan kognitif yang cukup

untuk melakukan tindakan koreksi yang diperlukan.6-7

TERAPI HIPOGLIKEMIA PADA DIABETES

1. Glukosa Oral

Sesudah diagnosis hipoglikemia ditegakan dengan pemberian glukosa darah kapiler, 10-

20 g glukosa oral harus segera diberikan. Idealnya dalam bentuk tablet, jelly, atau 150-

200 ml minuman yang mengandung glukosa seperti jus buah segar dan nondiet cola.

Sebaiknya coklat manis tidak diberikan karena lemak dalam coklat dapat menghambat

absorbs glukosa. Bila belum ada jadwal makan dalam 1-2 jam perlu diberikan tambahan

26

Page 27: CASECKD_VANESSAMODI

10-20 gram karbohidrat kompleks. Bila pasien mengalami kesulitan menelan dan keadaan

tidak terlalu gawat, pemberian madu atau gel glukosa lewat mukosa rongga mulut (buccal

mungkin dapat dicoba).

2. Glukagon Intramuskular

Glukagon 1 mg intramuskular dapat diberikan oleh tenaga non profesional yang terlatih

dan hasilnya akan tampak dalam 10 menit. Kecepatan kerja glukagon tersebut sama

dengan pemberian glukosa intravena. Bila pasien sudah sadar pemberian glukagon harus

diikuti dengan pemberian glukosa oral 20 g dan dilanjutkan pemberian 40 g karbohidrat

dalam bentuk tepung untuk mempertahankan pemulihan, Pada keadaan puasa yang

panjang atau hipoglikemia yang diinduksi alkohol,pemberian glukagon mungkin tidak

efektif. Efektivitas glukagon tergantung dari stimulasi glikogenolisis yang terjadi.

3. Glukosa Intravena

Glukosa intravena harus diberikan secara hati-hati. Pemberian glukosa dengan

konsentrasi 50% terlalu toksik untuk jaringan dan 75-100 ml glukosa 20% atau 150-200

ml glukosa 10% dianggap lebih aman. Ekstravasasi glukosa 50% dapat menimbulkan

nekrosis yang memerlukan amputasi.

Menurut PERKENI (2011), pedoman mengenai tatalaksana hipoglikemia adalah

a. Bagi pasien dengan kesadaran yang baik maka dapat diberikan makanan yang

mengadung karbohidrat dan minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-

20 mg melalui intravena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit

setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat.

b. Bagi pasien yang tidak sadar, dapat diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu

sebagai tindakan darurat sebelum dapat dipastikan penyebab penurunan kesadaran.

27

Page 28: CASECKD_VANESSAMODI

Gambar 4. Algoritma Tatalaksana Hipoglikemia

Pasien dengan penurunan fungsi ginjal (CKD stage 3 sampai 5) mengalami peningkatan

resiko terhadap hipoglikemia karena 2 hal yaitu penurunan fungsi klirens dari insulin dan

beberapa dari agen oral yang digunakan untuk menerapi diabetes serta adanya gangguan dari

glukoneogenesis pada ginjal. Dengan adanya penurunan massa ginjal, kemampuan untuk

terjadinya proses glukoneogenesis yang terjadi pada ginjal berkurang. Reduksi dari

glukoneogenesis ini menurunkan kemampuan dari pasien yang memicu terjadinya hipoglikemia

sebagai hasil dari tingginya dosis insulin atau agen oral atau adanya penurunan intake makan

untuk mencegah terjadinya hipoglikemia. Namun, efek ini sulit untuk dilihat. Sebanyak 1/3 dari

degradasi insulin dibaga ke ginjal dan gangguan ginjal berhubungan dengan pemanjangan masa

kerja dari insulin. Dengan adanya penurunan progresif pada fungsi ginjal, penurunan klirens dari

sulfonilurea atau metabolit aktif juga dapat ditemukan. Generasi pertama dari sulfonilurea

(contoh : Chlorpropamide, Tolazamide, dan Tolbutamide) biasanya dihindari pada pasien dengan

CKD karena agen ini bergantung pada kemampuan ginjal untuk mengeliminasi kedua obat dan

28

Page 29: CASECKD_VANESSAMODI

metabolit aktif sehingga terdapat peningkatan masa paruh obat dan resiko hipoglikemia.

Generasi kedua dari sulfonilurea (contoh : Glipizide, Glicalazide, Glyburide, dan Glimepirid),

Glipizide, dan Gliclazide dapat dipilih karena mereka tidak memiliki metabolit aktif dan tidak

meningkatkan resiko hipoglikemia pada pasien dengan CKD. Pada kelas Meglitinide, Nateglinid

dapat meningkatkan metabolit aktif dengan penurunan fungsi ginjal namun peningkatan

metabolit aktif tidak terjadi pada repaglinide. Metformin sebaiknya tidak diberikan pada pasien

dengan konsentrasi serum kreatinin ≥ 1,5 mg/dl pada wanita atau ≥ 1,4 mg/dl pada wanita karena

hal tersebut dapat semakin meningkatkan gangguan dari fungsi ginjal dan dapat menyebabkan

terjadinya asidosis laktat. Namun hipoglikemia tidak terjadi pada pengguna metformin.

Rosiglitazone dimetabolisir oleh hati dan dosis tidak berkurang dengan adanya gangguan fungsi

ginjal. Namun rosiglitazone tidak meningkatkan resiko hipoglikemia pada pasien dengan CKD

tapi dia memiliki potensi untuk meningkatkan terjadinya retensi cairan.8

Gambar 5. Tatalaksana Hiperglikemia pada Pasien CKD

Pasien Ny E yang memiliki riwayat diabetes mellitus selama 3 tahun dan menggunakan terapi

metformin yang merupakan OHO golongan biguanid yang bekerja menurunkan produksi glukosa

29

Page 30: CASECKD_VANESSAMODI

hati dengan cara menurunkan keecepatan glikogenolisis dan glukoneogenesis serta

meningkatkan sensitivitas insulin melalui perbaikan terhadap transport dan penggunaan glukosa

sel-sel otot dan ekstrahepatik lainnya. Metformin tidak menyebabkan hipoglikemia namun

memiliki kontra indikasi terhadap pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Dimana gangguan

terhadap ginjal membuat jalur eliminasi dari obat ini menjadi terganggu sehingga terjadi

perpanjangan masa kerja obat yang dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia pada pasien ini.

Terdapat adanya gejala seperti rasa lemas pada tubuh dan pusing serta ditunjang dengan nilai

GDS awal yaitu 23 mg/dl menunjukan adanya masalah klinis yaitu hipoglikemia.

NEFROPATI DIABETIK

Penyebab pasti dari nefropati diabetik belum diketahui namun berbagai macam studi

mengatakan hal tersebut karena hiperglikemia yang memicu terjadinya hiperfiltrasi dan

kerusakan pada ginjal, kelanjutan glikosilasi, dan aktivasi dari sitokin. Adanya pengontrolan

terhadap glukosa darah menunjukan keseimbangan antara asupan atau intake, glukoneogenesis,

penggunaan pada jaringan atau penyimpanan sebagai glikogen atau lemak dan oksidasinya.

Keseimbangan ini diatur lewat produksi insulin oleh sel beta pada pankreas. Insulin mengatur

serum glukosa di hati, otot skelet, dan jaringan lemak. Ketika terjadi resistensi insulin, insulin

tidak dapat lagi melakukan glukoneogenesis di hepatik dan menyebabkan terjadinya

hiperglikemia. Sementara itu resistensi insulin menyebabkan terjadinya peningkatan lipolisis

pada jaringan adipose dan otot skelet yang akan menyebabkan terjadinya hiperlipidemia. Ketika

terjadi resistensi insulin, pankreas berusaha ntuk meningkatkan pengeluaran insulin yang

mengakibatkan stres pada sel beta. Tingginya kadar glukosa dan asam lemak menjadi mediator

inflamasi yang mengaktifkan innate immunity pada seseorang.9

Hiperglikemia juga menyebabkan terjadinya peningkatan dari ekspresi Transforming

Growth Factor β (TGF- β) pada glomerulus dan matriks protein serta adanya Vascular

Endothelial Growth Factor (VEGF) yang berkontribusi terhadap hipertrofi dan meningkatkan

sintesis kolagen serta menginduksi perubahan vaskular pada seorang dengan nefropati diabetik.

Hiperglikemia juga mengaktivasi protein C kinase yang berkontribusi terhadap penyakit ginjal

dan berbagai komplikasi vaskular dari diabetes.9

Terdapat 3 perubahan histologi mayor utama pada glomerulus seorang dengan nefropati diabetik:

30

Page 31: CASECKD_VANESSAMODI

1. Ekspansi dari mesangial yang langsung diinduksi oleh hiperglikemia, diperkirakan

melalui peningkatan produksi matriks atau glikosilasi dari protein matriks.

2. Penebalan dari membran basalis glomerulus terjadi.

3. Terjadi sklerosis dari glomerulus akibat hipertensi (diinduksi oleh dilatasi dari arteri

aferen renalis atau dari kerusakan atau iskemia yang diinduksi oleh penipisan hialin dari

pembuluh darah yang menyuplai ke glomerulus)

Ketiga perbedaan pola histologi ini memiliki signifikansi nilai prognostik yang sama.

Perubahan pada glomerulopati diabetik ini akibat adanya penimbunan dari matriks ekstraseluler.

Perubahan morfologi paling awal pada nefropati diabetik ini adalah penebalan dari membran

basalis glomerulus dan ekspansi dari mesangium selama terjadi akumulasi dari matriks

ekstraseluler. Derajat dari glomerulopati diabetik ini diperkirakan melalui penebalan dari

membran basalis perifer, mesangium, serta ekspresi dari matriks atau sama dengan fraksi atas

ruang yang sesuai (volum fraksi dari mesangium/, matriks /mesangium, atau

matriks/glomerulus).9

Glomerulus dan ginjal biasanya normal atau mengalami pembesaran ukuran pada

nefropati diabetik Selain itu adanya perubahan hemodinamik, pasien dengan nefropati diabetik

biasanya mengalami hipertensi sistemik. Hipertensi adalah faktor utama pada seluruh penyakit

ginjal progresif terutama untuk nefropati diabetik. Efek dari hipertensi mempengaruhi

vaskularisasi ataupun mikrovaskularisasi. Hipertensi yang berhubungan dengan obesitas,

sindroma metabolik, dan diabetes memiliki peran penting terhadap patogenesis dari nefropati

diabetik. Obesitas sentral, sindroma metabolik, dan diabetes memicu terjadinya peningkatan

tekanan darah. Obesitas sentral menginduksi terjadinya hipertensi melalui peningkatan

reabsorbsi dari natrium pada tubulus renalis dan menyebabkan terjadinya hipertensi renalis dan

natriuresis melalui berbagai mekanisme, termasuk pengaktifan dari sistem Renin-Angiotensin-

Aldosteron (RAAS) yang dapat menyebabkan terjadinya kompresi fisik dari ginjal. Hipertensi

juga menyebabkan terjadinya peningkatan dari tekanan kapiler intraglomerular dan kelainan

metabolik (dislipidemia dan hiperglikemia) saling berinteraksi untuk menyebabkan terjadinya

kerusakan pada ginjal. Seperti obesitas yang berhubungan dengan hiperfiltrasi glomerulus,

vasodilatasi renalis, penurunan nilai LFG, peningkatan tekanan kapiler intraglomerular, dan

peningkatan tekanan darah menjadi karakteristik dari nefropati diabetik. Peningkatan tekanan

31

Page 32: CASECKD_VANESSAMODI

darah sistolik memiliki eksaserbasi dari progresivitas proteinuria dan penurunan dari LFG yang

dapat menyebabkan terjadinya penyakit ginjal kronik stadium akhir (gagal ginjal kronik).9

Gambar 6. Klasifikasi Nefropati Diabetik

ANEMIA

Anemia adalah suatu kondisi dimana tubuh tidak dapat memproduksi sel darah merah

yang cukup. Anemia dapat terjadi pada 80-90% pada pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada

penyakit gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh karena 1) Defisiensi eritropoetin (paling

sering) 2) Defisiensi besi 3) Kehilangan darah (akibat flebotomi berulang untuk pemeriksaan

laboratorium, retensi darah pada dializyer atau tubing, perdarahan gastrointestinal, atau

hematuria) 4) Hiperparatiroid berat 5) Inflamasi akut atau kronik 6) Penekanan pada sumsum

tulang 7) Defisiensi asam folat 8) Masa hidup sel darah merah pendek 9) Hipotiroid 10)

Hemoglobinopati. Anemia dalam hal ini bersifat normositik dan normokrom. Gejala klinis

seperti fatigue, penurunan aktivitas, angina, gagal jantung, penurunan kesadaran, gangguan

mental, serta mudahnya terinfeksi penyakit lain. Hal ini dapat dievaluasi yaitu bila Hb ≤ 10 g/dl,

Ht ≤ 30%. Diagnosis laboratorium anemia dengan melihat nilai hemoglobin dan hematokrit,

morfologi eritrosit (kadar MCV, MCH (sediaan apus)), hitung retikulosit, serta status besi

melalui nilai saturasi transferrin dan serum feritin. Evaluasi penyebab anemia lainnya bila ada

32

Page 33: CASECKD_VANESSAMODI

kecurigaan klinis, contohnya dengan uji darah samar feses bila curiga perdarahan

gastrointestinal. Coombs test bila curiga anemia hemolitik autoimun. Serta periu dilakukan

evaluasi terhadap penyakit kardioserebrovaskular seperti angina pektoris, penyakit jantung

iskemik, hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung, dan stroke.10

Dilakukan pengkajian status besi terlebih dahulu pada penderita anemia dalam kondisi

penyakit ginjal kronik apakah status besi yang dimilikinya cukup atau mengalami defisiensi besi.

Dilakukan terapi besi fase koreksi agat dapat dilakukan koreksi besi terhadap penderita anemia

defisiensi besi absolut dan fungsional, sampai status besi cukup yaitu Feritin Serum mencapai >

100 µg/L dan Saturasi Transferrin > 20%. Sebelumnya dapat dilakukan dulu test dose atau dosis

uji coba sebelum memulai terapi besi dengan iron sucrose, iron dextran, dan iron gluconate.

Kemudian akan dilakukan evaluasi dari status besi 1 minggu pasca terapi besi fase korektif. Bila

status besi cukup lanjutkan dengan terapi besi fase pemeliharaan.Bila belum cukup ulangi terapi

besi fase koreksi. Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dl dan Ht

> 30% baik dengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Bila dengan terapi konservatif

target Hb dan Ht belum tercapai maka dilanjutkan dengan terapi EPO.

Terapi lain untuk mengatasi anemia pada penyakit ginjal kronis adalah transfusi darah.

Namun hal ini tidak dianjurkan karena harus dilakukan secara berulang kali, memiliki resiko

tertular penyakit lain seperti HIV, hepatitis B, dan hepatitis, dapat terjadi pembentukan antibodi

yang mengganggu keberhasilan dari transplantasi ginjal, dan dapat mengakibatkan kelebihan

volume cairan atau hiperkalemia yang dapat mengakibatkan gangguan pada jantung bila tidak

dilakukan secara cermat.10

Pada Ny. E didapatkan keluhan badan lemas dan pusing serta adanya konjungtiva pada

kedua mata yang anemis sebagai gejala dari anemia yang merupakan komplikasi pada penyakit

ginjal kronik. Pada pemeriksaan laboratorium di dapatkan nilai hemoglobin 6,7 g/dl, hematokrit

18%, dan eritrosit 2,15 juta/ul sebagai kriteria penegakan diagnosis anemia. Dilihat dari

normalnya nilai pada seluruh komponen index eritrosit maka didapatkan pada pasien ini yaitu

anemia normositik normogram yang biasanya terjadi pada pasien CKD.

DISLIPIDEMIA

Dislipidemia adalah suatu kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan

atau penurunan fraksi lipid pada plasma yaitu kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL,

33

Page 34: CASECKD_VANESSAMODI

dan trigliserida dalam darah disertai dengan penurunan kadar kolesterol HDL. Hiperlipidemia

berpotensi meningkatkan progresivitas pada penyakit ginjal melalui beberapa mekanisme.

Pertama reabsorbsi dari asam lemak, fosfolipid, dan kolesterol yang mengandung protein yang

sudah disaring (albumin dan lipoprotein) melalui sel epitel tubular yang dapat menstimulasi

inflamasi tubulointerstitial, pembentukan foam sel, dan kerusakan jaringan. Kedua, akumulasi

dari lipoprotein pada mesangium glomerular akan memicu terjadinya produksi matriks dan

glomerulosklerosis. Dalam hal ini, lipoprotein yang bersifat native dan teroksidasi, termasuk

LDL, dapat menstimulasi produk oleh matriks protein melalui sel mesangial yang terkultur dan

memicu keluarnya sitokin proinflamasi, yang dapat menyebabkan terjadinya rekrutmen dan

aktivasi dari makrofag pada sistem sirkulasi dan residen. Gangguan dari transport kolesterol

HDL (HDL mediated reverse cholesterol) berkontribusi terhadap kerusakan jaringan melalui

pembatasan dari pembukaan dari kelebihan kolesterol dalam tubuh dan beban dari fosfolipid

yang diidentifikasi sebagai faktor resiko independen dari progresivitas kerusakan ginjal.11

Gambar 7. Terapi pasien CKD dengan dislipidemia

34

Page 35: CASECKD_VANESSAMODI

Nama : Ny E

Usia : 47 tahun

Tanggal 17 Desember 2014

SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANNING

Sesak napas (+), batuk

kering (+), keluhan lemas

sudah berkurang, bengkak

pada kedua tungkai

berkurang, keluhan jarang

bak (+), nafsu makan

sedikit

KU : TSS, compos mentis

TD : 120/60 mmHg

N : 90 x/menit

S : 36o

RR : 20 x/menit

Mata : CA +/+, SI -/-

Leher : JVP 5+2 cm, KGB tidak ada

pembesaran

Paru : Suara Napas Vesikuler +/+, Rhonki

-/-, Wheezing -/-

Jantung : BJ I dan II regular, murmur -,

gallop -,

Abdomen : cembung, BU +, supel, NT

epigastrium -, undulasi +,shifting dullness +

Ekstremitas : akral hangat, oedem pitting

pada kedua tungkai

CKD stage V

DM tipe II

Dislipidemia

Anemia

Hipoglikemia

Efusi Pleura Dextra

- Dextrose 10 % 500 cc/24

jam

- Ambroxol 3xCI

- Kidmin 200cc/24 jam IVFD

- Lasix 2x2 amp IV

- Ceftazidine 1x1 gram IV

- Lypanthil 1x100 mg p.o

- Ondansentron 1x4 mg p.o

- Ranitidine 2x50 mg IV

- Amlodipine 1x10 mg p.o

- Transfusi Packed Red Cell

1 unit 250 cc

- Rencana USG Abdomen

35

Page 36: CASECKD_VANESSAMODI

LABORATORIUM

Pemeriksaan Flag Hasil Unit Nilai rujukan

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Leukosit 10.3 ribu/uL 5~10

Hemoglobin 8.7 g/dL 13~17.5

Hematokrit 24.2 % 40~54

Trombosit 277 ribu/uL 150~400

KIMIA KLINIK

Protein total 5.9 g/dL 6.6~8.0

Albumin 2.05 g/dL 3.5~4.5

Globulin 3.85 g/dL 1.5~3.0

SGOT (AST) 34 U/L <37

SGPT (ALT) 44 U/L <41

Alkali phospat 345 U/L 50~190

Bilirubin total 0.80 mg/dL <1.2

Bilirubin direk 0.40 mg/dL <0.6

Bilirubin indirek 0.40 mg/dL <0.8

Ureum 339 mg/dL 20~40

Kreatinin 9.97 mg/dL 0.5~1.5

DIABETES

GDS 99 128 mg/dl 60-110

36

Page 37: CASECKD_VANESSAMODI

FOTO THORAX

Tampak cor membesar (CTR>50%), sinus kanan tumpul, pada pulmo terdapat perselubungan

inhomogen di kedua lapang paru.

Kesan : Kardiomegali dengan oedem paru dan effusi pleura dextra.

KOMPLIKASI PENYAKIT GINJAL KRONIK

Tabel 11. Derajat Penyakit Ginjal Kronik dengan Komplikasi

Derajat Penjelasan LFG(ml/mnt)

Komplikasi

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal

≥ 90 -

2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan

60 – 89 Tekanan darah mulai

3 Penurunan LFG sedang 30 – 59 HiperfosfatemiaHipokalsemia

AnemiaHiperparatiroid

HipertensiHiperhormosistinemia

4 Penurunan LFG berat 15 – 29 MalnutrisiAsidosis metabolik

Cenderung hiperkalemiaDislipidemia

37

Page 38: CASECKD_VANESSAMODI

5 Gagal ginjal < 15 Gagal jantungUremia

PENYAKIT KARDIOVASKULAR

Penyakit kardiovaskular menjadi penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas pada

pasien ginjal kronik di setiap stadium. Resiko yang bertambah terhadap penyakit kardiovaskular

pada seorang dengan CKD meningkat 10-200 kali lipat, tergantung pada stadium CKD tersebut.

30-45% pasien CKD stadium 5 telah memiliki komplikasi terhadap penyakit kardiovaskular.

Setiap stadium pada CKD merupakan faktor resiko mayor dari penyakit iskemik kardiovaskular

seperti penyumbatan oklusif Koroner, serebrovaskular, dan penyakit vaskular perifer.

Peningkatan prevalensi dari penyakit vaskular pada pasien CKD tergantung dari faktor resiko

pada setiap pasien. Faktor resiko klasik adalah hipertensi, hipervolemia, dislipidemia, aktivitas

simpatis berlebih, dan hiperhomosisteinemia. Faktor resiko yang berhubungan dengan CKD

termasuk anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroid, sleep apneu, dan inflamasi umum.12

Proses inflamasi berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal yang dilihat dari

peningkatan reaktan fase akut pada sirkulasi seperti sitokin inflamasi dan protein C reaktif, dan

penurunan dari serum albumin dan fetuin. Proses inflamasi yang terjadi dapat mempercepat

terjadinya penyakit vaskular oklusif dan rendahnya tingkat fetuin menyebabkan kalsifikasi pada

vaskular lebih cepat. Pada pasien CKD juga terdapat adanya iskemi miokard termasuk hipertrofi

ventrikel kiri yang dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung dan penyakit mikrovaskular. Hal

ini dapat terjadi karena kombinasi dari retensi natrium dan cairan yang dapat terlihat pada pasien

CKD dan mengakibatkan terjadinya gagal jantung hingga oedem pulmonal. Gagal jantung

merupakan konsekuensi dari disfungsi sistolik , diastolik, atau keduanya. Adanya bentuk dari

“tekanan rendah” pada oedem pulmonal juga dapat terjadi pada CKD stadium lanjut, dengan

manifestasi klinis yaitu sesak napas (napas pendek) dan adanya distribusi cairan oedem alveolar

yang memberikan gambaran bat-wing pada foto thoraks. Hal ini dapat terjadi walaupun tidak

terdapat kelebihan (overload) dari volume cairan ekstrasel dan hal ini berhubungan dengan

tekanan pada kapiler pulmonal yang normal atau sedikit meningkat. Proses ini terjadi akibat

peningkatan dari permeabilitas membran kapiler alveolar sehingga sehingga memberikan

manifestasi klinis pada keadaan uremia.12

38

Page 39: CASECKD_VANESSAMODI

Pada Ny. E sudah terjadi komplikasi dari penyakit ginjal kronik stadium V. Pada

pemeriksaan thorax didapatkan adanya pembesaran dari ukuran jantung atau kardiomegali yang

dapat menunjukan sudah terjadinya kegagalan terhadap fungsi jantung sebagai pemompa darah

yang menyebabkan terjadinya peningkatan dari tekanan vena pulmonaris. Hal ini mengakibatkan

terjadinya oedem alveolar juga serta peningkatan tekanan interstitial di regio subpleura. Terdapat

kebocoran cairan pada permukaan pleura visceral yang berkontribusi pada tingkat akumulasi

cairan. Kelebihan dari cairan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan atrium kiri

kemudian ditransmisikan pada bagian jantung kanan, tekanan vena pulmonalis juga meningkat.

Adanya peningkatan dari tekanan vena pulmonalis juga akan meningkatkan filtrasi cairan dari

kapiler pleura parietal dan secara simultan menurunkan aliran limfatik pada kavum pleura

dengan meningkatkan tekanan keluaran pada duktus torasikus sehingga terjadi akumulasi cairan

dan terjadi efusi pleura, dalam hal ini efusi pleura dextra.

39

Page 40: CASECKD_VANESSAMODI

Nama : Ny E

Usia : 47 tahun

Tanggal 18 Desember 2014

SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANNING

Sesak napas (-), batuk

kering (-), bengkak pada

kedua tungkai berkurang,

nafsu makan sedikit

KU : TSS, compos mentis

TD : 120/70 mmHg

N : 88 x/menit

S : 36o

RR : 20 x/menit

Mata : CA -/-, SI -/-

Leher : JVP 5+2 cm, KGB tidak ada

pembesaran

Paru : Suara Napas Vesikuler +/+, Rhonki

-/-, Wheezing -/-

Jantung : BJ I dan II regular, murmur -,

gallop -,

Abdomen : cembung, BU +, supel, NT

epigastrium -, undulasi +,shifting dullness +

Ekstremitas : akral hangat, oedem pitting

pada kedua tungkai

CKD stage V

DM tipe II

Efusi Pleura

Bilateral

Dislipidemia

Anemia

Hipoglikemia

- Diet Cairan 1700 ml

- Ambroxol 3xCI

- Bicarbonat 3x1

- Asam Folat 3x1

- CaCO3 3x1

- Kidmin 250 cc/24 jam

- Lasix 2x2 amp IV

- Ceftazidine 1x1 gram IV

- Lypanthil 1x100 mg p.o

- Ondansentron 1x4 mg p.o

- Ranitidine 2x50 mg IV

- Amlodipine 1x10 mg p.o

- Rencana HD

40

Page 41: CASECKD_VANESSAMODI

USG ABDOMEN

Hepar : tidak membesar, permukaan rata, echoparenchym, dan vaskular normal. Tak tampak

SOL di dalamnya. Duktus biliaris dan V. Porta tidak melebar.

Vesica felea : Bentuk dan ukuran normal, dinding tidak menebal, permukaan rata, tak tampak

echo batu maupun sludge di dalamnya.

Pankreas : Bentuk dan ukuran normal, duktus pankreatikus tidak dilatasi, tak tampak echo batu

maupun SOL di dalamnya.

Lien : Bentuk dan ukuran normal, hilus dan echoparenchym normal

Ginjal Dextra : Ukuran 8,38 cm x 4,38, corticomedular kabur

Ginjal Sinistra : Ukuran 8,64 x 4,61, corticomedular kabur

Tampak Bayangan anechoic supradiafragma bilateral dan diantara usus

Uterus : Besar normal, densitas homogeny

Buli-buli : Permukaan baik, dinding tidak menebal, tak tampak echo batu maupun SOL di

dalamnya.

Kesan : Kedua ginjal mengecil (proses kronis) dengan asites dan effusi pleura bilateral

41

Page 42: CASECKD_VANESSAMODI

TERAPI PENGGANTI GINJAL (RENAL REPLACEMENT THERAPY)

Pada pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai

laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukan nilai laju filtrasi glomerulus

yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam 5 stadium, stadium

1 hingga stadium 5. Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,

yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis,

peritonial dialisis atau transplantasi ginjal. Dimana pada pasien LFG sudah < 15 ml/menit yaitu

LFG pasien adalah 4.6 ml/mnt. Ada tiga jenis terapi pengganti yaitu hemodialisis, dialisis

peritoneal, dan transplantasi ginjal.

Semua pasien dengan gagal ginjal tahap akhir dipertimbangkan sebagai calon resipien

transplantasi ginjal kecuali jika mengidap penyakit keganasan sistemik, infeksi konik, penyakit

kardiovaskular yang berat atau gangguan neuropsikiatri yang akan mengganggu kepatuhan

minum obat imunosupesif, meskipun pada akhinya pasien yang akan memutuskan jenis terapi

pengganti yang akan dipergunakan.

HEMODIALISIS

Pada penyakit ginjal kronik (PGK), hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke

dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdari dua kompartemen yang terpisah. Darah

pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel

buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisat.

Kompartemen dialisat dialirkan cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan

komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen.

Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat

terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai

konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis, air juga dapat

berpindah dari kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif

pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi.13

42

Page 43: CASECKD_VANESSAMODI

Gambar 8. Mekanisme dialisis pada ginjal buatan.

Besar pori pada selaput akan menentukan besar morekul zat terlarut yang berpindah.

Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat dibanding molekul dengan

berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlalut tersebut makin tinggi bila

(1) Perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar

(2) Diberi tekanan hidrolik di kompartemen darah

(3) Bila tekanan osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi

Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi.

Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai

konsentrasinya sama di kedua kompartemen.

43

Page 44: CASECKD_VANESSAMODI

Gambar 9. Bagan hemodialisis.

Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu: selulosa, selulosa yang diperkaya, selulo

sintetik, dan membran sintetik. Pada membran selulosa terjadi aktivasi komplemen oleh gugus

hidroksil bebas, karena itu penggunaan membran ini cenderung berkurang digantikan oleh

membran lain. Aktivasi sistem komplemen oleh membran lain tidak sehebat aktivasi oleh

membran selulosa.12,13

Luas permukaan membran juga penting untuk proses pembersihan. Luas permukaan

membran yang tersedia adalah dari 0.8 m2 sampai 2.1 m2. Semakin tinggi luas permukaan

membran semakin efisien proses dialisis yang terjadi.14

Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter

setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam caian dialisat akan dapat

dengan mudah berdifusi ke dalam darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut

cairan dialisat harus dalam batas-batas uang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan dialisat perlu

dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang dapat membahayakan tubuh. Dengan

teknik reverse osmosis air akan melewati membran semi permeabel yang memiliki pori-pori

kecil sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti urea, natrium, dan

klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis dapat berperan sebagai

penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus dijaga agar kurang dari 200 koloni/mL

dengan melakukan desinfeksi cairan dialisat. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar 135-

145 mEq/L. Bila kadar natrium lebih rendah maka risiko untuk terjadinya gangguan

hemodinamik selama hemodialisis bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi

gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan kadar natrium darah

pascadialisis. Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung untuk minum

44

Page 45: CASECKD_VANESSAMODI

lebih banyak. Pada pasien dengan komplikasi hipotensi selama hemodialisis yang sulit

ditanggulangi maka untuk mengatasinya kadar natrium dalam cairan dialisat dibua lebih tinggi.

Dialiser dapat didaur ulang (reuse) untuk tujuan mengurangi biaya hemodialisis. Segera

setelah selesai prosedur hemodialisis dialiser dicuci dengan cairan dialisat yang banyak untuk

menghilangkan bekuan darah yang terdapat dalam kapiler dialiser. Dilakukan pengukuran

volume dialiser untuk mengetahui apakah dialiser ini masih dapat dipakai dan dilihat apakah

terdapat cacat jasmaninya. Umumnya dipakai kembali bila volume dialiser 80%. Setelah itu

dialiser disimpan dengan cairan antiseptik (formaldehid 4%). Sebelum digunakan kembali

dialiser ini dicuci kembali untuk membuang semua formaldehid. Formaldehid yang tersisa dalam

dialiser dapat memasuki tubuh selama proses dialisis dan hal ini dapat menimbulkan gangguan

pada pasien.

Terdapat dua jenis cairan dialisat yang sering digunakan yaitu cairan asetat dan

bikarbonat. Kerugian cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat menimbulkan suasana

asam di dalam darah yang akan bermanifestasi sebagai vasodilatasi. Vasodilatasi akibat cairan

asetat ini akan mengurangi kemampuan vasokonstriksi pembuluh darah yang diperlukan tubuh

untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selama hemodialisis. Keuntungan

cairan bikarbonat adalah dapat memberikan bikarbonat ke dalam darah yang akan menetralkan

asidosis yang biasa terdapat pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan juga tidak

menimbulkan vasodilatasi.

Pada proses dialisis terjadi aliran darah di luar tubuh, pada keadaan ini akan terjadi

aktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan darah. Karena itu pada dialisis

diperlukan pemberian heparin selama dialisis berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin

yaitu teknik heparin rutin, heparin minimal, dan bebas heparin. Pada teknik heparin rutin, teknik

yang paling sering digunakan sehari-hari, heparin diberikan dengan cara bolus diikuti dengan

continous infusion. Pada keadaan di mana risiko perdarahan sedang atau berat digunakan teknik

heparin minimal dan teknik bebas heparin. Contoh beberapa keadaan risiko perdarahan berat

misalnya pada pasien dengan perdarahan intraserebral, trombositopenia, koagulopati, dan

pascaoperasi dengan perdarahan.

Jumlah dan tekanan darah yang mengalir ke dialiser harus memadai sehingga perlu suatu

akses khusus. Akses khusus ini pada umumnya adalah vena lengan yang sudah dibuatkan fistula

dengan arteria radialis atau ulnaris. Terdapat shunt aliran darah arteri ke vena sehingga vena

45

Page 46: CASECKD_VANESSAMODI

akan membesar dan mengalami epitelisasi. Fistula seperti ini (fistula cimino) dapat bertahan

bertahun-tahun dan komplikasinya hampir tidak ada.

Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis

berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi di antaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan

muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil. Komplikasi yang

jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung,

perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi komplemen

akibat dialisis dan hipoksemia. Di Indonesia hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu dengan

setiap hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Di senter dialisis lain ada juga dialisis yang

dilakukan 3 kali seminggu dengan lama dialisis 4 jam

Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi

yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting untuk terjadinya kematian pada pasien

hemodialsis. Asupan protein diharapkan 1-1.2 g/kgBB/hari dengan 50% terdiri atas protein

dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70 mEq/hari. Pembatasan kalium

sangat diperlukan, karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buhan dan umbi-umbian tidak

dianjurkan dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah air kencing yang

ada ditambah invisible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120 mEq/hari guna

mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus

yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka selama

periode di antara dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang besar.

Kecukupan dosis hemodialisis yang diberikan diukur dengan istilah adekuasi dialisis.

Terdapat korelasi yang kuat antara adekuasi dialisis dengan angka morbiditas dan mortalitas

pada pasien dialisis. Adekuasi dialisis diukur dengan menghitung urea reduction ratio (URR)

dan (KT/V). URR dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar ureum predialisis

dengan kadar ureum pascadialisis. Pada hemodialisis 2 kali seminggu dialisis dianggap cukup

bila URR-nya lebih dari 80%. Cara lain menghitung adekuasi dengan menghitung KT/N.

terdapat rumus Dougirdas untuk menghitung KT/N dengan memasukkan nilai ureum pradialisis

dan pascadialisis, berat badan predialisis dan pascadialisis. Pada hemodialisis 3 kali seminggu

KT/N dianggap cukup bila lebih besar atau sama dengan 1.8.

Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LGF)

sudah kurang dari 5ml/menit yang di dalam praktek dianggap demikian bila (TKK) < 5 ml/menit.

46

Page 47: CASECKD_VANESSAMODI

Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKK <5 ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis

dianggap baru perlu dimulai bila di jumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini:

Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata

K serum > 6 mEq/L

Ureum darah > 200 mg/dL

pH darah <7.1

Anuria berkepanjangan (> 5 hari)

Fluid overload

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah

dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang

kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermeabel (hollow fibre kidney).

Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14

tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.

TRANSPLANTASI GINJAL

Transplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti utama pada pasien gagal ginjal tahap

akhir hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi ginjal sudah jelas terbukti lebih baik

dibandingkan dengan dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas hidup. Salah satu

diantaranya adalah tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik.Transplantasi ginjal

yang berhasil sebenarnya merupakan cara penangangan ginjal tahap akhir yang paling ideal,

karena dapat mengatasi seluruh jenis penurunan fungsi ginjal. Di pihak lain, dialisis hanya

mengatasi akibat sebagian jenis penurunan fungsi ginjal. Di samping itu transplantasi ginjal

masih memberikan keuntungan lain dibandingkan dengan dialisis.15

Tabel 12. Keuntungan Tranasplantasi Ginjal Dibandingkan Dengan Hemodialisis Kronik.

Transplantasi Ginjal HemodialisisProsedur Satu kali (biasanya) Seumur hidupKualitas hidup (jika berhasil)

Baik sekali Cukup baik

Ketergantungan pada fasilitas medik

Minimal Besar

Jika gagal Dapat hemodialisis kembali atau transplantasi lagi

Meninggal

Angka kematian/tahun 4-8% 20-25%

47

Page 48: CASECKD_VANESSAMODI

Manfaat transplantasi paling jelas terlihat pada pasien usia muda dan pada pasien

diabetes. Ada beberapa faktor yang berperan pada keberhasilan transplantasi ginjal, yaitu faktor

yang berkaitan dengan donor dan resipien, faktor imunologi, faktor penanganan pra dan peri-

operatif, serta faktor pasca-operatif.

KONTRAINDIKASI TRANSPLANTASI GINJAL

Pada beberapa keadaan, transplantasi ginjal tidak dianjurkan karena merupakan prosedu

dengan risiko tinggi.

Tabel 13. Kontraindikasi Transplantasi Ginjal

Kontraindikasi Transplantasi Ginjal1) masalah psikiatrik, seperti psikosis, retardasi mental, dan adiksi obat2) riwayat ketidakpatuhan yang berulang3) umur sangat lanjut (> 70 tahun)4) keganasan baru atau dengan metastasis5) penyakit di luar ginjal (jantung, vaskular, hati, paru-paru) yang berat6) infeksi kronik (tuberkulosis aktif)

Dilakukan pemberian obat imunosupresif pada transplantasi ginjal adalah memberikan

obat anti rejeksi dalam dosis yang masih dapat ditoleransi untuk jangka waktu lama, tetapi dapat

mencegah terjadinya rejeksi terhadap ginjal cangkok. Pemberian obat imunosupresif terdiri dari

dua tahap, yaitu tahap awal atau induksi dan tahap pemeliharaan.Banyak unit transplantasi yang

memakai cara terapi tripel yang terdiri dari siklospoin atau takrolimus, azatioprin atau mofetil

mikofenolat, dan prednisolon. Regimen sekuensial atau kuadipel dengan preparat antilimfosit

banyak dipergunakan untuk pasien yang sensitif atau pada retransplantasi. Pada rejeksi akut,

dapat dipergunakan kortikosteroid dosis tinggi secara oral atau parenteral, preparat antilimfosit

atau plasmaferesis. Pada kasus ini dimana CKD sudah mencapai stage V dengan LFG 6,1 ml/mnt

dan terapi yang dilakukan bila CKD stage V adalah dilakukannya terapi pengganti ginjal. Pada

kasus ini telah dilakukan terapi pengganti ginjal hemodialisis yang dilakukan secara rutin 2 kali

dalam seminggu.

48

Page 49: CASECKD_VANESSAMODI

BAB III

PENUTUP

Telah dibahas kasus seorang wanita 47 tahun datang dengan keluhan dispneu, edema

pada kedua tungkai, batuk kering, lemas, oligouria, dan konstipasi. Terdapat riwayat hipertensi

dan diabetes mellitus serta hiperkolesterolemia.Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan

umum tampak sakit sedang dengan status gizi kurus (underweight) yaitu BMI = 17,57 dan laju

napas 26x/menit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis pada kedua mata. Pada

pemeriksaan abdomen didapatkan perut cembung, berundulasi, dan terdapat shifting dullness

yang menandakan ascites. Terdapat pitting oedem pada kedua tungkai. Pada pemeriksaan

laboratorium didapatkan leukositosis dengan hasil 11.600/ul, anemia dengan hemoglobin 6,7

g/dl, hematokrit 18%, dan eritrosit 2,15 juta/ul. Terdapat hipoalbuminemia dengan 2,86 g/dl,

hipertrigliseridemia 326 mg/dl, dan hiperkolesterolemia 239 mg/dl. Pada pemeriksaan gula darah

sewaktu didapatkan hasil 20 mg/dl yang menunjukan adanya hipoglikemia pada pasien. Pada

pemeriksaan elektrolit didapatkan hiponatremia 127 mmol/L dan hipokloridemia 87 mmol/L.

Terdapat penurunan fungsi ginjal dilihat dari ureum 385 mg/dl dan kreatinin 9,52 mg/dl. Dengan

menggunakan rumus Kockroft-Gault didapatkan nilai LFG yaitu hasil 6,1 ml/menit maka dapat

disimpulkan pasien mengalami penyakit ginjal kronik (CKD) pada stage V. Pada pemeriksaan

foto thorax didapatkan kesan kardiomegali dengan oedem paru dan efusi pleura dextra. Serta

pada pemeriksaan usg abdomen didapatkan kesan adanya kedua ginjal mengecil (proses kronis)

dengan asites dan efusi pleura bilateral. Sehingga didapatkan hasil pengkajian yaitu pasien

dengan CKD stage V, diabetes mellitus tipe II, dislipidemia, anemia, hipoglikemia, dan efusi

pleura bilateral. Pada pasien dilakukan tatalaksana rawat inap berupa pemasangan O2 nasal 4

liter/menit, kidmin 200cc/24 jam IVFD, lasix 2x2 amp IV, ceftazidine 1x1 gram IV, lypanthil

1x100 mg p.o, ondansentron 1x4 mg p.o, ranitidine 2x50 mg IV, amlodipine 1x10 mg p.o,

dilakukan transfusi Packed Red Cell 1 unit 250 cc/hari (selama 2 hari), serta dilakukan terapi

pengganti ginjal berupa hemodialisis pada pasien setiap 2 kali dalam seminggu.

49

Page 50: CASECKD_VANESSAMODI

DAFTAR PUSTAKA

1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Jakarta: Interna

Publishing. 2010. p. 1035-40.

2. NFK KDOQI Guidelines. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney

Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Available at:

http://www2.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/p4_class_g2.htm. Accessed

October 20, 2014.

3. Bragman JM, Skorecki K. Chronic Kidney Disease. Harrison’s principles of internal

medicine, Ed. 18. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J,

editors. Chicago: Mc Graw Hill Medical. 2012. p. 2308-21.

4. Murray L, Wilkinson IB, Baldwin A, Wallin E. Chronic Kidney Disease. Oxford

Handbook of Clinical Medicine, Ed. 9. New York: Oxford University Press Inc. 2014. p.

294-7.

5. PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia.

Semarang : PB PERKENI.

6. Soemadji, DW. Hipoglikemia Iatrogenik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi

kelima. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Jakarta:

Interna Publishing. 2010. p. 1900-5.

7. Hamdy O. Hypoglycemia. Medscape. Update on December 22nd 2014. At :

http://emedicine.medscape.com/article/122122-overview#aw2aab6b2b2aa. Accessed

January 8th 2014.

8. Saunders WB. American Journal of Kidney Disease. Vol 49. No 2, 2007: pp 160-79

9. Batuman V. Diabetic Nephropathy. Medscape. Update on May 28 th, 2014. At :

http://emedicine.medscape.com/article/238946-overview. Accessed January 8th 2014.

10. PERNEFRI. 2001. Konsensus Manajemen Anemia Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik.

Jakarta : PB PERNEFRI

11. N. D. Vaziri. American Journal of Physiology - Renal Physiology.2006. Vol 290. 2 :

F262-F272 doi: 10.1152/ajprenal.00099.2005

50

Page 51: CASECKD_VANESSAMODI

12. Rahardjo P, Susalit E, Suhardjono. Hemodialisis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam edisi kelima. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors.

Jakarta: Interna Publishing. 2010. p. 1050-2.

13. Bregman H, Dougirdas JT, Ing TS. Complications During Hemodialisis. In: Dougirdas

JT, Ing TS, editors. Handbook of Dialysis, 2nd Ed. Little Brown am Company. 2004.

149-68.

14. Dougridas JT. Chronic Hemodialysis Prescription: a urel kinetic approach. In: Dougridas

JT, Ing TS (editors). Handbook of Dialysis, Ed. 2nd. Little Brown am Company. 2004.

92-120.

15. Susali E. Transplantasi Ginjal. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi kelima.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Jakarta: Interna

Publishing. 2010. p. 1066-78.

51