CASECKD_VANESSAMODI
description
Transcript of CASECKD_VANESSAMODI
BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny E
Usia : 47 Tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : Jl. Gandaria 3/62, Jatibening, Bekasi
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Status Pendidikan : SMA
Suku : Jawa
Nomor Rekam Medik : 03476446
ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 15 Desember 2014 di Ruang Anggrek Kamar A14
pukul 19.00 WIB.
KELUHAN UTAMA
Sesak napas sejak 3 hari SMRS.
KELUHAN TAMBAHAN
- Bengkak pada kedua kaki
- Batuk kering
- Tubuh terasa lemas
- Jarang BAK dan sulit BAB
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Seorang wanita, 47 tahun, datang dengan keluhan sesak napas sejak 3 hari SMRS.Sesak
napas tersebut muncul sejak 3 bulan yang lalu, terjadinya hilang timbul namun semakin lama
1
semakin memberat. Pasien mengatakan sesak biasanya muncul terutama ketika tidur berbaring
dan biasanya sesak menjadi berkurang dalam posisi duduk.Pasien sering bangun pada malam
hari karena sesak tersebut dan ketika tidur harus memakai 4 bantal. Pasien mengatakan
aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga menjadi berkurang akibat frekuensi sesak yang semakin
sering terjadi dan aktivitasnya saat ini hanya tiduran saja.
Pasien juga mengatakan terdapat bengkak pada kedua kakinya. Bengkak tersebut timbul
bila pasien melakukan aktivitas seperti berjalan lama, namun akan menghilang dengan
istirahat.Nyeri pinggang kadang dirasakan oleh pasien namun hal tersebut tidak memberat.
Pasien juga mengeluh adanya lemas pada tubuh serta ada batuk kering yang tidak kunjung
hilang. Pasien mengeluh jarang BAK, hanya 1-2 kali dalam sehari, volume urin sangat sedikit
dan warna urin yaitu kuning pekat. Pasien mengatakan sering ingin berkemih pada malam
hari.Pasien mengatakan belum dapat BAB dalam 5 hari ini.Nafsu makan pasien akhir-akhir ini
sangat berkurang namun tidak ada keluhan terhadap nafsu minum pasien.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien mengatakan memiliki riwayat penyakit gula sejak 3 tahun yang lalu dan berobat
kontrol secara teratur dengan metformin. Pasien memiliki riwayat darah tinggi namun tidak
meminum obat secara teratur. Riwayat penyakit jantung, paru ataupun penyakit lain disangkal
oleh pasien. Pasien memiliki riwayat kolesterol yang tinggi.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Tante pasien memiliki riwayat penyakit gula.
RIWAYAT KEBIASAAN
Pasien memiliki riwayat kebiasaan makan yaitu 3 kali sehari, namun pasien sering
mengkonsumsi cemilan manis dan buah seperti manga. Riwayat kebiasaan minum minuman
seperti teh botol dan sirup yang manis yaitu 1 botol/hari. Pasien mengaku tidak pernah
berolahraga, tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol.
2
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, compos mentis, aktivitas aktif
Status Gizi : BB = 45 kg, TB = 160 cm, BMI = 17,57
Tanda Vital : Tekanan Darah : 130/80 mmHg, Nadi: 80 x/menit, Laju Napas 26x/menit
Suhu : 36oC
Kepala : Normosefali
Rambut : Warna hitam beruban dengan distribusi merata
Mata : Konjungtiva Anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-), Pupil Bulat Isokor (+/+),
Refleks Cahaya Langsung (+/+), Refleks Cahaya Tidak Langsung (+/+)
Leher : JVP 5+2 cm, KGB tidak teraba adanya pembesaran, Struma (-)
Paru
- Inspeksi : Pergerakan napas simetris pada saat inspirasi dan ekspirasi, pernapasan
thorakoabdominal
- Palpasi : Vokal fremitus kanan dan kiri sama kuatnya
- Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronki (+/-), wheezing (-/-)
- Perkusi : Suara sonor pada kedua lapang paru, batas paru dan hepar
setinggi ICS 5 linea midklavikula kanan dengan suara redup
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis di ICS 5±1 cm medial dari garis midklavikula kiri.
- Palpasi : Tidak teraba thrill pada ke 4 area katup jantung
- Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, BJ III dan BJ IV (-), murmur (-/-), gallop (-/-)
- Perkusi : Batas jantung kanan berada setinggi ICS 3 hingga ICS 5 garis sternalis
kanan dengan suara redup, batas jantung kiri setinggi ICS 5±1 cm
medial linea midklavikularis kiri dengan suara redup.
Abdomen
- Inspeksi : Cembung dan supel
- Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), undulasi (+)
- Perkusi : Redup, shifting dullness (+)
3
- Auskultasi : Bising usus (+) 7x/menit
Ekstremitas : Akral hangat pada keempat ekstremitas dan oedem pada kedua tungkai (pitting
oedem), CRT < 2 detik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Flag Hasil Unit Nilai rujukan
HEMATOLOGI
Darah lengkap
Laju endap darah 140 mm 0~10
Leukosit 11,6 ribu/uL 5~10
Eritrosit 2.15 juta/uL 4~6
Hemoglobin 6.7 g/dL 13~17.5
Hematokrit 18 % 40~54
Indeks eritrosit
MCV 83.6 fL 82~92
MCH 31.3 pg 27~32
MCHC 37.3 % 32~37
Trombosit 282 ribu/uL 150~400
KIMIA KLINIK
TP, ALB, GLOB
Protein total 5.9 g/dL 6.6~8.0
Albumin 2.86 g/dL 3.5~4.5
Globulin 3.04 g/dL 1.5~3.0
FUNGSI HATI
SGOT (AST) 27 U/L <37
SGPT (ALT) 34 U/L <41
Alkali phospat 223 U/L 50~190
BILI. TOTAL,
DIREK, INDIREK
Bilirubin total 0.60 mg/dL <1.2
4
Bilirubin direk 0.34 mg/dL <0.6
Bilirubin indirek 0.26 mg/dL <0.8
FUNGSI GINJAL
Ureum 385 mg/dL 20~40
Kreatinin 9.52 mg/dL 0.5~1.5
Profil Lipid
Trigliserida 326 mg/dL <160
Kolesterol total 239 mg/dL <200
Kolesterol HDL 52 mg/dL 35~55
Kolesterol LDL 160 mg/dL <160
Gula darah sewaktu 20 mg/dL 60~110
Elektrolit
Natrium (Na) 127 mmol/L 135~145
Kalium (K) 3.9 mmol/L 3.5~5.0
Clorida (Cl) 87 mmol/L 94~111
ASSESMENT
CKD Stage V, Diabetes Mellitus tipe II, Dislipidemia, Anemia, Hipoglikemia
PLANNING
- O2 nasal 4 liter/menit
- Kidmin 200cc/24 jam IVFD
- Lasix 2x2 amp IV
- Ceftazidine 1x1 gram IV
- Lypanthil 1x100 mg p.o
- Ondansentron 1x4 mg p.o
- Ranitidine 2x50 mg IV
- Amlodipine 1x10 mg p.o
- Transfusi PRC 1 unit 250 cc/hari (selama 2 hari)
- Foto Thorax PA
5
BAB II
PENGKAJIAN KASUS
Nama : Ny E
Usia : 47 Tahun
16 Desember 2014
SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANNING
Sesak napas sejak 3 hari SMRS,
lemas pada seluruh tubuh,
kepala terasa pusing, batuk
kering, bengkak pada kedua
tungkai. Keluhan jarang bak
yaitu hanya 1-2x dengan
volume urin yang sedikit
KU : TSS, compos mentis
TD : 120/70 mmHg
N : 96 x/menit
S : 36o
RR : 24 x/menit
Mata : CA +/+, SI -/-
Leher : JVP 5+2 cm, KGB tidak ada
pembesaran
Paru : Suara Napas Vesikuler +/+, Rhonki
-/-, Wheezing -/-
Jantung : BJ I dan II regular, murmur -,
gallop -
Abdomen : cembung, BU +, supel, NT
epigastrium -, undulasi +,shifting dullness +
CKD stage V
DM tipe II
Hipoglikemia
Anemia
Dislipidemia
- Dextrose 10 % 500 cc/24
jam
- Ambroxol 3xCI
- Kidmin 200cc/24 jam
IVFD
- Lasix 2x2 amp IV
- Ceftazidine 1x1 gram IV
- Lypanthil 1x100 mg p.o
- Ondansentron 1x4 mg p.o
- Ranitidine 2x50 mg IV
- Amlodipine 1x10 mg p.o
- Transfusi Packed Red Cell
1 unit 250 cc
- Foto Thorax PA
6
Ekstremitas : akral hangat, oedem pitting
pada kedua tungkai
PEMERIKSAAN LAB
06.09 GDS : 23 mg/dl
07.27 GDS : 106 mg/dl
18.52 GDS : 64 mg/dl
7
PENEGAKAN DIAGNOSIS PENYAKIT GINJAL KRONIK
Penyakit ginjal kronik (CKD) adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, dimana pada suatu tingkat membutuhkan terapi
pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis ataupun transplantasi ginjal.1
Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik (CKD)
KRITERIA PENYAKIT GINJAL KRONIK1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan manifestasi :
- Kelainan patologis- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau
kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan
atau tanpa kerusakan ginjal
Gambaran Klinis
Pada pasien ginjal kronik terdapat gambaran klinis seperti :
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, batu traktus urinarius,
hipertensi, hiperurisemi, Lupus Eritematosus Sistemik, dan lain-lain.
b. Sindrom uremia yang terdiri dari kumpulan gejala seperti lemah, letargi, anoreksia, mual,
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus,
uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma
c. Gejala komplikasinya seperti hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, klorida)
Gambaran Laboratoris
Pada pasien ginjal kronik terdapat gambaran laboratoris seperti :
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari
b. Terdapat penurunan fungsi ginjal yang dilihat melalui peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum serta penurunan LFG berdasarkan perhitungan melalui rumus Kockcroft-
Gault.
8
c. Kelainan dari biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, hiperurisemia,
hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, asidosis metabolik
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isotenuria
Klasifikasi
Penyakit ginjal kronik diklasifikasikan atas dua hal yaitu derajat (stage) serta atas dasar diagnosis
etiologi. LFG dapat dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft Gault sebagai berikut.2
Rumus Kockcroft-Gault
LFG (ml /menit /1,73m 2¿¿=(140−umur ) xberat badan72 x kreatinin plasma¿¿¿
*Pada wanita dikalikan hasil LFG dengan 0,85
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Derajatnya
DERAJAT PENJELASAN LFG (ml/menit/1,73m2)
1Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
meningkat≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 60 – 893 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang 30 – 594 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat 15 – 295 Gagal ginjal < 15 atau dialysis
Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Etiologinya
PENYAKIT TIPE MAYOR (CONTOH)Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes
Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, makroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin / takrolimus)Penyakit reccurent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
9
PATOFISIOLOGI PENYAKIT GINJAL KRONIK
Proses terjadinya penyakit ginjal kronik mulanya tergantung pada penyakit yang
mendasari pada pasien. Adanya pengurangan massa pada ginjal mengakibatkan adanya hipertrofi
struktural dan fungsional dari nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi serta adanya peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah pada
glomerulus. Proses ini berlangsung singkat namun akan terjadi suatu proses maladaptasi yaitu
sklerosis nefron yang diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak ada lagi. Terdapat peningkatan dari renin-angiotensin-aldosteron intrarenal
yang mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresivitas tersebut.Aktivasi jangka
panjangaksis renin-angiotensin-aldosteron, diperantarai oleh growth factor seperti transforming
growth factor β (TGF-β). Hal yang dianggap berperan pada progresivitas penyakit ginjal kronik
yaitu albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia. Sklerosis dan fibrosis dapat
terjadi baik di glomerulus maupun di tubulointerstitial. Pada stadium yang paling dini dari
penyakit ginjal kronik, dapat terjadi kehilangan daya cadang dari ginjal pada keadaan membran
basal LFG yang masih normal atau malah meningkat. Lalu dapat terjadi penurunan fungsi nefron
yang progresif secara perlahan.
ETIOLOGI PENYAKIT GINJAL KRONIK
Etiologi penyakit ginjal kronik antara satu negara dengan negara lain. Perhimpunan
Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani
hemodialisis di Indonesia.
Tabel 4. Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000
Penyebab InsidenGlomerulonefritis 46.39%Diabetes Melitus 18.65%
Obstruksi dan infeksi 12.85%Hipertensi 8.46%Sebab lain 13.65%
Pada kasus Ny. E, 47 tahun, didapatkan keluhan sesak napas sejak 3 hari SMRS, bengkak
pada kedua tungkai, lemas pada tubuh, serta keluhan terhadap jarang BAK yang merupakan
10
gejala klinis pada pasien penyakit ginjal kronik. Riwayat diabetes mellitus, hipertensi serta
adanya kolesterol yang tinggi juga menjadi faktor utama penyebab dari penyakit ginjal kronik
pada pasien ini. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya gambaran konjungtiva anemis pada
kedua mata yang ditunjang dengan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu nilai hemoglobin 7,1
g/dl sehingga dapat disimpulkan adanya anemia yang dapat menjadi gejala komplikasi pada
pasien ini. Pada pemeriksaan abdomen terdapat juga tanda shifting dullness (+) serta adanya
oedem pitting pada kedua tungkai pasien, ditunjang dengan hasil pemeriksaan laboratorium
berupa penurunan kadar albumin pada pasien yaitu 2,86 g/dl. Hal ini menunjukan penurunan dari
laju filtrasi glomerulus yang mengakibatkan adanya retensi dari natrium serta retensi cairan
sehingga terdapat peningkatan jumlah cairan pada ruang ekstraseluler akibat peningkatan dari
tekanan hidrostatik yang dapat menyebabkan terjadinya oedem pitting. Hipoalbuminemia juga
dapat mengakibatkan terjadinya penurunan dari tekanan onkotik sehingga terjadi peningkatan
tekanan hidrostatik yang memicu perpindahan cairan ke ruang ekstraseluler dan terjadi oedem
pada kedua tungkai. Untuk nilai dari LFG Ny E, 47 tahun, penghitungan dengan menggunakan
rumus Kockroft Gault sebagai berikut :
Ny E berusia 47 tahun, berat badan 45 kg, dengan kreatinin 9,52 mg/dl
LFG (ml /menit /1,73m 2¿¿=(140−umur ) xberat badan72 x kreatinin plasma¿¿¿
LFG (ml /menit /1,73m 2¿¿=(140−47 ) x 4572 x 9,52¿¿¿
= 6,1 ml/menit
Menurut hasil penghitungan ini dengan hasil 6,1 ml/menit maka dapat disimpulkan
pasien mengalami penyakit ginjal kronik (CKD) stage V.
TATALAKSANA
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi
Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
Memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal
11
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Tabel 5. Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyakit Ginjal Kronik sesuai dengan derajatnya:
Derajat LFG(ml/mnt/1.73m2)
Rencana Tatalaksana
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi perburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskular
2 60-89 Menghambat perburukan (progression) fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal5 <15 Terapi pengganti ginjal
Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasanya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak tejadi. Pada ukuran ginjal yang masih
normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan
indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-
30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
Pencegahan dan Terapi Terhadap Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang
dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus
urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit
dasarnya.
Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah tejadinya hiperfiltrasi
glomerulus.
12
Gambar 1. Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis
Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah:
Pembatasan asupan protein
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG <60 ml/mnt, sedangkan nilai di
atas tersebut, pembatasan asupan protein tidak dianjurkan. Protein diberikan 0.6 – 0.8/kgBB/hari,
yang 0.35 – 0.50 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang
diberikan sebesar 30 – 35 kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status
nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan.
Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal.
Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hidrogen,fosfat, sulfat, dan ion
unorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein
pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion
anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan
demikian, pembatasan asupan protein yang akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.
Masalah penting lain adalah, asupan protein berlebih (protein oveload) akan
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan
intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkatkan progresifitas
perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan
13
fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu
untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.3,4
Tabel 7. Pembatasan asupan protein dan fosfat pada penyakit ginjal kronik
LGFml/mnt
Asupan proteing/kg/hari
Fosfatg/kg/hari
> 60 Tidak dianjukan Tidak dibatasi25 – 60 0.6-0.8/kg/hari, termasuk ≥ 0.35
gr/kb/hari nilai biologi tinggi≤ 10 g
5 – 25 0.6-0.8/kg/hari, termasuk ≥ 0.35 gr/kb/hari protein nilai biologi tinggi atau tambahan 0.3 g asam amino esensial atau asam keton
≤ 10 g
< 60(sindrom nefrotik)
0.8/kg/hari (+1 g protein/g proteinuria atau 0.3 g/kg tambahan asam amino esensial atau asam keton
≤ 9 g
TERAPI FARMAKOLOGIS
Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
antihipertensi, di samping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat
penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
interglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian
tekanan darah mempunyai peranan sama pentingnya dengan pembatasa asupan protein, dalam
memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran terapi
farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa,
proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain
derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambang enzim konverting angiotensin
(Angiotensin Converting Enzyme/ACE Inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat
memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya
sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.
DIABETES MELLITUS
Diabetes Mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.5
14
Tabel 8. Klasifikasi Etiologi DM
Tipe I Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut karena autoimun atau idiopatik
Tipe II Bervariasi, mulai yang dominan yaitu resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
Tipe lain Defek genetik fungsi sel beta Defek genetik kerja insulin Penyakit eksokrin pankreas Endokrinopati Karena obat atau zat kimia Infeksi Sebab imunologi yang jarang Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
Diabetes Mellitus Gestasional
Untuk mendiagnosa DM dapat dilakukan anamnesis terhadap keluhan atau gejala klasik
seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya.Serta adanya keluhan lain berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada wanita.
Tabel 9. Kriteria Diagnosis DM
1. Gejala Klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)Glukosa Plasma Sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
pemeriksaan pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhirATAU
2. Gejala Klasik DM+
Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7 mmol/L)Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
ATAU3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200mg/dl (11,1 mmol/L)
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa, yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air
Pemeriksaan HbA1c (≥ 6,5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukan menjadi salah satu kriteria
diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.
15
Tabel 10. Klasifikasi Penyakit Komorbid pada Diabetes Mellitus
Common Comorbidities Associated With Diabetes
Certain cancers (liver, pancreas, bladder, endometrium, breast, colon/rectum)*Cognitive impairmentDepressionDyslipidemiaFatty liver diseaseFracturesHearing impairmentHypertensionLow testosterone (men)ObesityObstructive sleep apneaPeriodontal disease
PENATALAKSANAAN DM
Pengelolaan terhadap DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (2-4 minggu). Bila kadar glukosa belum dapat mencapai sasaran maka akan
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan
insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, seperti
ketoasidosis, stres berat, berat badan menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria maka insulin
dapat segera diberikan.5
PILAR PENATALAKSANAAN DM
1. Edukasi
DM 2 terjadi karena pola gaya hidup dan perilaku yang telah terbentuk pada pasien
sehingga untuk mengatasi hal ini diperlukan partisipasi aktif dari pasien untuk menuju
perubahan perilaku hidup sehat. Maka dari itu dibutuhkan edukasi yang komprehensif
serta upaya peningkatan motivasi untuk perilaku hidup sehat.
2. Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makanan pada penderita diabetes yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
16
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri atas:
- Karbohidrat : sebesar 45-65% total asupan energi, makanan harus mengandung
karbohidrat berserat tinggi, dan makan 3 kali sehari untuk mendistribusikan asupan
karbohidrat serta dapat diberikan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari.
- Lemak : sekitar 20-25% kebutuhan kalori, lemak jenuh (seperti daging berlemak dan susu
penuh) <7% kebutuhan kalori, lemak tidak jenuh ganda <10%, dan anjuran konsumsi
kolesterol <200 mg/hari
- Protein : sebesar 10-20% total asupan energi dan pada pasien dengan nefropati perlu
penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kgBB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan
65% hendaknya bernilai biologik tinggi.
- Natrium :<3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh garam dapur) dan pada
penderita hipertensi pembatasan natrium sampai 2400 mg.
- Serat :yang berasal dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat
yang tinggi serat dan anjuran untuk mengkonsumsi serat adalah +/- 25 g/hari
- Pemanis alternatif : aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
Kebutuhan kalori juga perlu diperhitungkan untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan pada penderita diabetes. Diantaranya dengan memperhitungkan kebutuhan kalori
basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada
faktor seperti jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain.
Perhitungan Berat Badan Ideal dengan Rumus Broca
- Berat badan ideal (BBI) = 90% x (TB dalam cm – 100) x 1 kg
- Bagi pria dengan tinggi badan dibawah 160 cm dan wanita dibawah 150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi
BBI = (TB dalam cm – 100) x 1 kg (BB normal bila BBI +/- 10%, BB kurus bila dibawah
BBI - 10%, dan BB gemuk bila diatas BBI + 10%)
Perhitungan Berat Badan Ideal dengan Indeks Massa Tubuh (IMT)
17
- IMT = BB(kg) / TB(m2) (BB kurang bila < 18,5, BB normal bila 18,5 – 22,9, BB lebih
bila ≥ 23,0, dengan resiko bila 23,0 - 24,9, obes I bila 25,0 – 29,9, dan obes II bila > 30)
Makanan sejumlah kalori yang telah terhitung dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan
pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%)
diantaranya.
3. Latihan Jasmani
Hal ini dapat dilakukan secara teratur yaitu 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30
menit.Tujuan dari kegiatan dan latihan jasmani yaitu untuk menjaga kebugaran serta
untuk menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin sehingga terjadi
perbaikan terhadap kendali glukosa darah.Latihan jasmani dapat berupa latihan yang
bersifat aerobic seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.Hal ini
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kebugaran jasmani.Hindari kebiasaan
hidup yang kurang gerak dan bermalas-malasan.
4. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis dapat diberikan bersama dengan pengaturan makanan dan latihan
jasmani atau gaya hidup sehat. Terapi ini terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
a) Obat Hipoglikemik Oral
- Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid
- Peningkatan sensitivitas terhadap insulin : metformin dan tiazolidindion
- Penghambat glukoneogenesis : metformin
- Penghambat absorbsi glukosa : penghambat glukosidase alfa arcabose
- DPP-IV Inhibitor
PEMICU SEKRESI INSULIN (INSULIN SECRETAGOGUE)
SULFONILUREA
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pancreas dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan
kurang. Namun obat ini boleh diberikan pada pasien dengan berat badan lebih. Untuk
menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang tua,
18
gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskuler, tidak
dianjurkan penggunaan sulfonil urea kerja panjang.
GLINID
Glinid merupakan obat yang kerjanya sama dengan sulfonylurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivate asam benzoate) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan dieksresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
TIAZOLIDINDION
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor
Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai
efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat
memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan hati secara berkala. Golongan
rosiglitazon sudah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya.
PENGHAMBAT GLUKONEOGENESIS
METFORMIN
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis)
dan juga memperbaiki ambilan glukosa primer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dl) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, dan gagal jantung).
Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut
dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa
pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan untuk
memantau efek samping obat tersebut.
19
PENGHAMBAT GLUKOSIDASE ALFA (ARCABOSE)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai
efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Arcabose tidak menimbulkan efek
samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering terjadi ialah kembung dan
flatulens.
DPP IV INHIBITOR
Glucagon Like Peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptida yang dihasilkan
oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan
yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat pelepasan
insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glucagon. Namun secara cepat GLP-1
diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP IV) menjadi metabolit GLP-1(9,36)
amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang
ditujukan untuk meningkatkan GLP-1, bentuk aktif merupakan hal rasional dalam
pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian
obat yang menghambat kinerja enzim DPP-IV (penghambat DPP-IV) atau memberikan
hormone asli atau analognya (analog incretin = GLP-1 agonis). Berbagai obat yang
masuk golongan DPP-IV inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-IV sehingga GLP-1
tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang
pelepasan insulin serta menghambat pelepasan glucagon.
Mekanisme kerja OHO, efek samping utama, serta pengaruh obat terhadap penurunan
A1C dapat dilihat pada tabel 5, sedangkan nama obat, berat bahan aktif (mg) per tablet,
dosis harian, lama kerja, dan waktu pemberian dapat dilihat.
20
Gambar 2. Perbandingan Golongan OHO
Cara pemberian OHO terdiri dari :
- OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respon kadar
glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
- Sulfonilurea : 15-30 menit sebelum makan
- Repaglinid, Nateglinid : sesaat sebelum makan
- Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan
- Penghambat glukosidase (Acarbose) : bersama makan suapan pertama
- Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan
- DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan
b) Suntikan
1. Insulin
21
Insulin diperlukan pada keadaan :
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO optimal
- Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
- Kehamilan dengan DM/DM gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 4 jenis yaitu :
- Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
- Insulin kerja pendek (short acting insulin)
- Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
- Insulin kerja panjang (long acting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin)
Efek samping terapi insulin :
- Terjadinya hipoglikemia
- Reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau
resistensi insulin
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 dapat bekerja sebagai
perangsang pelepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun
peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin atau
sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis
22
GLP-1 yang lain adalah menghambat pelepasan glukagon yang diketahui berperan
pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian
obat ini yaitu rasa sebah dan muntah.
c) Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah untuk
kemudian dinaikan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
melakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan
OHO kombinasi (secara terpisah atau fixed combination dalam bentuk tablet
tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme
kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan
kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien dengan alasan klinis dimana insulin
tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat
menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin yang banyak digunakan adalah OHO dan
insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada
malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil.
Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya. Bila dengan cara tersebut kadar glukosa darah sepanjang hari
masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi
insulin.5
KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS
Secara garis besar komplikasi terhadap diabetes mellitus dibagi menjadi 2 diantaranya
1) Komplikasi Akut
- Ketoasidosis Diabetik
- Koma Hiperosmolar Non Ketotik
23
- Hipoglikemia
2) Komplikasi Kronik
a. Makroangiopati : Penyakit pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi
(claudicatio intermitten), dan pembuluh darah otak (stroke atau Transient
Ischemic Attack).
b. Mikroangiopati : Retinopati dan nefropati
c. Neuropati : Beresiko terjadinya ulkus /gangren pada kaki
HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia adalah suatu kondisi yang ditandai dengan menurunnya kadar
glukosa darah <60 mg/dl. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes
melitus harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hal ini paling
sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia pada
penggunaan sulfonilurea berlangsung lama sehingga harus diawasi sampai seluruh obat
disekresi dan waktu kerja obat telah habis. Pengawasan yang dibutuhkan biasanya 24-72
jam atau lebih terutama pada pasien gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi
OHO kerja panjang.6
Penyebab Hipoglikemia
Menurut Sabatine (2004), hipoglikemia dapat terjadi pada penderita diabetes dan
non diabetes dengan etiologi sebagai berikut :
1. Pada Penderita Diabetes
Pada penderita diabetes, hipoglikemia dapat timbul akibat peningkatan kadar insulin yang
kurang tepat baik sesudah penyuntikan insulin subkutan atau karena obat yang
meningkatkan eksresi insulin seperti sulfonilurea. Hampir setiap pasien yang mendapat
terapi insulin maupun dengan sulfonilurea pernah mengalami dimana kadar insulin di
sirkulasi tetap tinggi namun kadar glukosa darah sudah dibawah normal.
2. Pada Penderita Non Diabetes
24
Terjadinya hipoglikemi dalam hal ini dapat diakibatkan oleh peningkatan produksi
insulin, pasca melakukan aktivitas, mengonsumsi makanan yang mengandung sedikit
kalori, mengonsumsi alkohol, pasca melahirkan, pasca gastrektomi, dan bila pasien
menggunakan obat-obatan dalam jumlah besar (seperti Salisilat dan Sulfonamide).
KARAKTERISTIK DIAGNOSTIK HIPOGLIKEMIA
Menurut Soemadji (2006) dan Cryer (2005), karakteristik diagnostik pada pasien
hipoglikemia ditentukan berdasarkan TRIAS WIPPLE sebagai berikut :
a. Terdapat gejala dari hipoglikemia
b. Kadar glukosa darah kurang dari 50 mg%
c. Gejala akan hilang seiring dengan peningkatan kadar glukosa darah (pasca koreksi)
KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS HIPOGLIKEMIA
Gambar 3. Klasifikasi dari Hipoglikemia pada Penderita Diabetes Menurut American Diabetes Association (2013)
Tanda klinis dari hipoglikemia sangat bervariasi dan berbeda pada setiap orang,
diantaranya :
25
1. Gejala Otonomik berkeringat, jantung berdebar, tremor, dan lapar
2. Gejala Malaise sakit kepala dan mual
3. Gejala Neuroglikopenik (gejala disfungsi serebral) bingung (confusion), mengantuk,
sulit bicara, inkordinasi, perilaku yang berbeda, gangguan visual dan parestesi, kesadaran
menurun sampai koma
PATOFISIOLOGI
Gejala dari hipoglikemia berhubungan dengan aktivasi dari simpatis dan disfungsi
otak sekunder akibat penurunan dari tingkat glukosa dalam darah. Stimulasi dari sistem saraf
simpatoadrenal mengakibatkan terjadinya berkeringat, palpitasi, gemetar, ansietas, dan
kelaparan. Penurunan dari glukosa darah pada otak mengakibatkan terjadinya konfusi, sulit
berkonsentrasi, iritabilitas, halusinasi, gangguan fokal (seperti hemiplegia), bahkan koma dan
kematian. Adanya gejala adrenergik sering mengakibatkan adanya gejala neuroglikopenik
dan memberikan tanda awal pada pasien.
Respon awal ketika kadar glukosa turun adalah peningkatan akut sekresi hormon
caunter-regulatory (glucagon dan epinefrin) dimana batas kadar glukosa tersebut yaitu 65-68
mg%. Lepasnya epinefrin akan menunjukan aktivasi sistem simpatoadrenal. Bila glukosa
darah tetap turun sampai 3,2 mmol/l maka gejala aktivasi otonomik mulai tampak. Fungsi
kognisi yang diukur dengan kecepatan reaksi dan berbagai fungsi psikomotor yang lain mulai
terganggu pada kadar glukosa 3 mmol/L. Bila individu tersebut masih memiliki kesiagaan
maka aktivasi sistem simpatoadrenal akan terjadi sebelum gejala fungsi serebral yang
bermakna timbul sehingga pasien tetap sadar dan memiliki kemampuan kognitif yang cukup
untuk melakukan tindakan koreksi yang diperlukan.6-7
TERAPI HIPOGLIKEMIA PADA DIABETES
1. Glukosa Oral
Sesudah diagnosis hipoglikemia ditegakan dengan pemberian glukosa darah kapiler, 10-
20 g glukosa oral harus segera diberikan. Idealnya dalam bentuk tablet, jelly, atau 150-
200 ml minuman yang mengandung glukosa seperti jus buah segar dan nondiet cola.
Sebaiknya coklat manis tidak diberikan karena lemak dalam coklat dapat menghambat
absorbs glukosa. Bila belum ada jadwal makan dalam 1-2 jam perlu diberikan tambahan
26
10-20 gram karbohidrat kompleks. Bila pasien mengalami kesulitan menelan dan keadaan
tidak terlalu gawat, pemberian madu atau gel glukosa lewat mukosa rongga mulut (buccal
mungkin dapat dicoba).
2. Glukagon Intramuskular
Glukagon 1 mg intramuskular dapat diberikan oleh tenaga non profesional yang terlatih
dan hasilnya akan tampak dalam 10 menit. Kecepatan kerja glukagon tersebut sama
dengan pemberian glukosa intravena. Bila pasien sudah sadar pemberian glukagon harus
diikuti dengan pemberian glukosa oral 20 g dan dilanjutkan pemberian 40 g karbohidrat
dalam bentuk tepung untuk mempertahankan pemulihan, Pada keadaan puasa yang
panjang atau hipoglikemia yang diinduksi alkohol,pemberian glukagon mungkin tidak
efektif. Efektivitas glukagon tergantung dari stimulasi glikogenolisis yang terjadi.
3. Glukosa Intravena
Glukosa intravena harus diberikan secara hati-hati. Pemberian glukosa dengan
konsentrasi 50% terlalu toksik untuk jaringan dan 75-100 ml glukosa 20% atau 150-200
ml glukosa 10% dianggap lebih aman. Ekstravasasi glukosa 50% dapat menimbulkan
nekrosis yang memerlukan amputasi.
Menurut PERKENI (2011), pedoman mengenai tatalaksana hipoglikemia adalah
a. Bagi pasien dengan kesadaran yang baik maka dapat diberikan makanan yang
mengadung karbohidrat dan minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-
20 mg melalui intravena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit
setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat.
b. Bagi pasien yang tidak sadar, dapat diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu
sebagai tindakan darurat sebelum dapat dipastikan penyebab penurunan kesadaran.
27
Gambar 4. Algoritma Tatalaksana Hipoglikemia
Pasien dengan penurunan fungsi ginjal (CKD stage 3 sampai 5) mengalami peningkatan
resiko terhadap hipoglikemia karena 2 hal yaitu penurunan fungsi klirens dari insulin dan
beberapa dari agen oral yang digunakan untuk menerapi diabetes serta adanya gangguan dari
glukoneogenesis pada ginjal. Dengan adanya penurunan massa ginjal, kemampuan untuk
terjadinya proses glukoneogenesis yang terjadi pada ginjal berkurang. Reduksi dari
glukoneogenesis ini menurunkan kemampuan dari pasien yang memicu terjadinya hipoglikemia
sebagai hasil dari tingginya dosis insulin atau agen oral atau adanya penurunan intake makan
untuk mencegah terjadinya hipoglikemia. Namun, efek ini sulit untuk dilihat. Sebanyak 1/3 dari
degradasi insulin dibaga ke ginjal dan gangguan ginjal berhubungan dengan pemanjangan masa
kerja dari insulin. Dengan adanya penurunan progresif pada fungsi ginjal, penurunan klirens dari
sulfonilurea atau metabolit aktif juga dapat ditemukan. Generasi pertama dari sulfonilurea
(contoh : Chlorpropamide, Tolazamide, dan Tolbutamide) biasanya dihindari pada pasien dengan
CKD karena agen ini bergantung pada kemampuan ginjal untuk mengeliminasi kedua obat dan
28
metabolit aktif sehingga terdapat peningkatan masa paruh obat dan resiko hipoglikemia.
Generasi kedua dari sulfonilurea (contoh : Glipizide, Glicalazide, Glyburide, dan Glimepirid),
Glipizide, dan Gliclazide dapat dipilih karena mereka tidak memiliki metabolit aktif dan tidak
meningkatkan resiko hipoglikemia pada pasien dengan CKD. Pada kelas Meglitinide, Nateglinid
dapat meningkatkan metabolit aktif dengan penurunan fungsi ginjal namun peningkatan
metabolit aktif tidak terjadi pada repaglinide. Metformin sebaiknya tidak diberikan pada pasien
dengan konsentrasi serum kreatinin ≥ 1,5 mg/dl pada wanita atau ≥ 1,4 mg/dl pada wanita karena
hal tersebut dapat semakin meningkatkan gangguan dari fungsi ginjal dan dapat menyebabkan
terjadinya asidosis laktat. Namun hipoglikemia tidak terjadi pada pengguna metformin.
Rosiglitazone dimetabolisir oleh hati dan dosis tidak berkurang dengan adanya gangguan fungsi
ginjal. Namun rosiglitazone tidak meningkatkan resiko hipoglikemia pada pasien dengan CKD
tapi dia memiliki potensi untuk meningkatkan terjadinya retensi cairan.8
Gambar 5. Tatalaksana Hiperglikemia pada Pasien CKD
Pasien Ny E yang memiliki riwayat diabetes mellitus selama 3 tahun dan menggunakan terapi
metformin yang merupakan OHO golongan biguanid yang bekerja menurunkan produksi glukosa
29
hati dengan cara menurunkan keecepatan glikogenolisis dan glukoneogenesis serta
meningkatkan sensitivitas insulin melalui perbaikan terhadap transport dan penggunaan glukosa
sel-sel otot dan ekstrahepatik lainnya. Metformin tidak menyebabkan hipoglikemia namun
memiliki kontra indikasi terhadap pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Dimana gangguan
terhadap ginjal membuat jalur eliminasi dari obat ini menjadi terganggu sehingga terjadi
perpanjangan masa kerja obat yang dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia pada pasien ini.
Terdapat adanya gejala seperti rasa lemas pada tubuh dan pusing serta ditunjang dengan nilai
GDS awal yaitu 23 mg/dl menunjukan adanya masalah klinis yaitu hipoglikemia.
NEFROPATI DIABETIK
Penyebab pasti dari nefropati diabetik belum diketahui namun berbagai macam studi
mengatakan hal tersebut karena hiperglikemia yang memicu terjadinya hiperfiltrasi dan
kerusakan pada ginjal, kelanjutan glikosilasi, dan aktivasi dari sitokin. Adanya pengontrolan
terhadap glukosa darah menunjukan keseimbangan antara asupan atau intake, glukoneogenesis,
penggunaan pada jaringan atau penyimpanan sebagai glikogen atau lemak dan oksidasinya.
Keseimbangan ini diatur lewat produksi insulin oleh sel beta pada pankreas. Insulin mengatur
serum glukosa di hati, otot skelet, dan jaringan lemak. Ketika terjadi resistensi insulin, insulin
tidak dapat lagi melakukan glukoneogenesis di hepatik dan menyebabkan terjadinya
hiperglikemia. Sementara itu resistensi insulin menyebabkan terjadinya peningkatan lipolisis
pada jaringan adipose dan otot skelet yang akan menyebabkan terjadinya hiperlipidemia. Ketika
terjadi resistensi insulin, pankreas berusaha ntuk meningkatkan pengeluaran insulin yang
mengakibatkan stres pada sel beta. Tingginya kadar glukosa dan asam lemak menjadi mediator
inflamasi yang mengaktifkan innate immunity pada seseorang.9
Hiperglikemia juga menyebabkan terjadinya peningkatan dari ekspresi Transforming
Growth Factor β (TGF- β) pada glomerulus dan matriks protein serta adanya Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF) yang berkontribusi terhadap hipertrofi dan meningkatkan
sintesis kolagen serta menginduksi perubahan vaskular pada seorang dengan nefropati diabetik.
Hiperglikemia juga mengaktivasi protein C kinase yang berkontribusi terhadap penyakit ginjal
dan berbagai komplikasi vaskular dari diabetes.9
Terdapat 3 perubahan histologi mayor utama pada glomerulus seorang dengan nefropati diabetik:
30
1. Ekspansi dari mesangial yang langsung diinduksi oleh hiperglikemia, diperkirakan
melalui peningkatan produksi matriks atau glikosilasi dari protein matriks.
2. Penebalan dari membran basalis glomerulus terjadi.
3. Terjadi sklerosis dari glomerulus akibat hipertensi (diinduksi oleh dilatasi dari arteri
aferen renalis atau dari kerusakan atau iskemia yang diinduksi oleh penipisan hialin dari
pembuluh darah yang menyuplai ke glomerulus)
Ketiga perbedaan pola histologi ini memiliki signifikansi nilai prognostik yang sama.
Perubahan pada glomerulopati diabetik ini akibat adanya penimbunan dari matriks ekstraseluler.
Perubahan morfologi paling awal pada nefropati diabetik ini adalah penebalan dari membran
basalis glomerulus dan ekspansi dari mesangium selama terjadi akumulasi dari matriks
ekstraseluler. Derajat dari glomerulopati diabetik ini diperkirakan melalui penebalan dari
membran basalis perifer, mesangium, serta ekspresi dari matriks atau sama dengan fraksi atas
ruang yang sesuai (volum fraksi dari mesangium/, matriks /mesangium, atau
matriks/glomerulus).9
Glomerulus dan ginjal biasanya normal atau mengalami pembesaran ukuran pada
nefropati diabetik Selain itu adanya perubahan hemodinamik, pasien dengan nefropati diabetik
biasanya mengalami hipertensi sistemik. Hipertensi adalah faktor utama pada seluruh penyakit
ginjal progresif terutama untuk nefropati diabetik. Efek dari hipertensi mempengaruhi
vaskularisasi ataupun mikrovaskularisasi. Hipertensi yang berhubungan dengan obesitas,
sindroma metabolik, dan diabetes memiliki peran penting terhadap patogenesis dari nefropati
diabetik. Obesitas sentral, sindroma metabolik, dan diabetes memicu terjadinya peningkatan
tekanan darah. Obesitas sentral menginduksi terjadinya hipertensi melalui peningkatan
reabsorbsi dari natrium pada tubulus renalis dan menyebabkan terjadinya hipertensi renalis dan
natriuresis melalui berbagai mekanisme, termasuk pengaktifan dari sistem Renin-Angiotensin-
Aldosteron (RAAS) yang dapat menyebabkan terjadinya kompresi fisik dari ginjal. Hipertensi
juga menyebabkan terjadinya peningkatan dari tekanan kapiler intraglomerular dan kelainan
metabolik (dislipidemia dan hiperglikemia) saling berinteraksi untuk menyebabkan terjadinya
kerusakan pada ginjal. Seperti obesitas yang berhubungan dengan hiperfiltrasi glomerulus,
vasodilatasi renalis, penurunan nilai LFG, peningkatan tekanan kapiler intraglomerular, dan
peningkatan tekanan darah menjadi karakteristik dari nefropati diabetik. Peningkatan tekanan
31
darah sistolik memiliki eksaserbasi dari progresivitas proteinuria dan penurunan dari LFG yang
dapat menyebabkan terjadinya penyakit ginjal kronik stadium akhir (gagal ginjal kronik).9
Gambar 6. Klasifikasi Nefropati Diabetik
ANEMIA
Anemia adalah suatu kondisi dimana tubuh tidak dapat memproduksi sel darah merah
yang cukup. Anemia dapat terjadi pada 80-90% pada pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada
penyakit gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh karena 1) Defisiensi eritropoetin (paling
sering) 2) Defisiensi besi 3) Kehilangan darah (akibat flebotomi berulang untuk pemeriksaan
laboratorium, retensi darah pada dializyer atau tubing, perdarahan gastrointestinal, atau
hematuria) 4) Hiperparatiroid berat 5) Inflamasi akut atau kronik 6) Penekanan pada sumsum
tulang 7) Defisiensi asam folat 8) Masa hidup sel darah merah pendek 9) Hipotiroid 10)
Hemoglobinopati. Anemia dalam hal ini bersifat normositik dan normokrom. Gejala klinis
seperti fatigue, penurunan aktivitas, angina, gagal jantung, penurunan kesadaran, gangguan
mental, serta mudahnya terinfeksi penyakit lain. Hal ini dapat dievaluasi yaitu bila Hb ≤ 10 g/dl,
Ht ≤ 30%. Diagnosis laboratorium anemia dengan melihat nilai hemoglobin dan hematokrit,
morfologi eritrosit (kadar MCV, MCH (sediaan apus)), hitung retikulosit, serta status besi
melalui nilai saturasi transferrin dan serum feritin. Evaluasi penyebab anemia lainnya bila ada
32
kecurigaan klinis, contohnya dengan uji darah samar feses bila curiga perdarahan
gastrointestinal. Coombs test bila curiga anemia hemolitik autoimun. Serta periu dilakukan
evaluasi terhadap penyakit kardioserebrovaskular seperti angina pektoris, penyakit jantung
iskemik, hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung, dan stroke.10
Dilakukan pengkajian status besi terlebih dahulu pada penderita anemia dalam kondisi
penyakit ginjal kronik apakah status besi yang dimilikinya cukup atau mengalami defisiensi besi.
Dilakukan terapi besi fase koreksi agat dapat dilakukan koreksi besi terhadap penderita anemia
defisiensi besi absolut dan fungsional, sampai status besi cukup yaitu Feritin Serum mencapai >
100 µg/L dan Saturasi Transferrin > 20%. Sebelumnya dapat dilakukan dulu test dose atau dosis
uji coba sebelum memulai terapi besi dengan iron sucrose, iron dextran, dan iron gluconate.
Kemudian akan dilakukan evaluasi dari status besi 1 minggu pasca terapi besi fase korektif. Bila
status besi cukup lanjutkan dengan terapi besi fase pemeliharaan.Bila belum cukup ulangi terapi
besi fase koreksi. Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dl dan Ht
> 30% baik dengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Bila dengan terapi konservatif
target Hb dan Ht belum tercapai maka dilanjutkan dengan terapi EPO.
Terapi lain untuk mengatasi anemia pada penyakit ginjal kronis adalah transfusi darah.
Namun hal ini tidak dianjurkan karena harus dilakukan secara berulang kali, memiliki resiko
tertular penyakit lain seperti HIV, hepatitis B, dan hepatitis, dapat terjadi pembentukan antibodi
yang mengganggu keberhasilan dari transplantasi ginjal, dan dapat mengakibatkan kelebihan
volume cairan atau hiperkalemia yang dapat mengakibatkan gangguan pada jantung bila tidak
dilakukan secara cermat.10
Pada Ny. E didapatkan keluhan badan lemas dan pusing serta adanya konjungtiva pada
kedua mata yang anemis sebagai gejala dari anemia yang merupakan komplikasi pada penyakit
ginjal kronik. Pada pemeriksaan laboratorium di dapatkan nilai hemoglobin 6,7 g/dl, hematokrit
18%, dan eritrosit 2,15 juta/ul sebagai kriteria penegakan diagnosis anemia. Dilihat dari
normalnya nilai pada seluruh komponen index eritrosit maka didapatkan pada pasien ini yaitu
anemia normositik normogram yang biasanya terjadi pada pasien CKD.
DISLIPIDEMIA
Dislipidemia adalah suatu kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan
atau penurunan fraksi lipid pada plasma yaitu kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL,
33
dan trigliserida dalam darah disertai dengan penurunan kadar kolesterol HDL. Hiperlipidemia
berpotensi meningkatkan progresivitas pada penyakit ginjal melalui beberapa mekanisme.
Pertama reabsorbsi dari asam lemak, fosfolipid, dan kolesterol yang mengandung protein yang
sudah disaring (albumin dan lipoprotein) melalui sel epitel tubular yang dapat menstimulasi
inflamasi tubulointerstitial, pembentukan foam sel, dan kerusakan jaringan. Kedua, akumulasi
dari lipoprotein pada mesangium glomerular akan memicu terjadinya produksi matriks dan
glomerulosklerosis. Dalam hal ini, lipoprotein yang bersifat native dan teroksidasi, termasuk
LDL, dapat menstimulasi produk oleh matriks protein melalui sel mesangial yang terkultur dan
memicu keluarnya sitokin proinflamasi, yang dapat menyebabkan terjadinya rekrutmen dan
aktivasi dari makrofag pada sistem sirkulasi dan residen. Gangguan dari transport kolesterol
HDL (HDL mediated reverse cholesterol) berkontribusi terhadap kerusakan jaringan melalui
pembatasan dari pembukaan dari kelebihan kolesterol dalam tubuh dan beban dari fosfolipid
yang diidentifikasi sebagai faktor resiko independen dari progresivitas kerusakan ginjal.11
Gambar 7. Terapi pasien CKD dengan dislipidemia
34
Nama : Ny E
Usia : 47 tahun
Tanggal 17 Desember 2014
SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANNING
Sesak napas (+), batuk
kering (+), keluhan lemas
sudah berkurang, bengkak
pada kedua tungkai
berkurang, keluhan jarang
bak (+), nafsu makan
sedikit
KU : TSS, compos mentis
TD : 120/60 mmHg
N : 90 x/menit
S : 36o
RR : 20 x/menit
Mata : CA +/+, SI -/-
Leher : JVP 5+2 cm, KGB tidak ada
pembesaran
Paru : Suara Napas Vesikuler +/+, Rhonki
-/-, Wheezing -/-
Jantung : BJ I dan II regular, murmur -,
gallop -,
Abdomen : cembung, BU +, supel, NT
epigastrium -, undulasi +,shifting dullness +
Ekstremitas : akral hangat, oedem pitting
pada kedua tungkai
CKD stage V
DM tipe II
Dislipidemia
Anemia
Hipoglikemia
Efusi Pleura Dextra
- Dextrose 10 % 500 cc/24
jam
- Ambroxol 3xCI
- Kidmin 200cc/24 jam IVFD
- Lasix 2x2 amp IV
- Ceftazidine 1x1 gram IV
- Lypanthil 1x100 mg p.o
- Ondansentron 1x4 mg p.o
- Ranitidine 2x50 mg IV
- Amlodipine 1x10 mg p.o
- Transfusi Packed Red Cell
1 unit 250 cc
- Rencana USG Abdomen
35
LABORATORIUM
Pemeriksaan Flag Hasil Unit Nilai rujukan
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Leukosit 10.3 ribu/uL 5~10
Hemoglobin 8.7 g/dL 13~17.5
Hematokrit 24.2 % 40~54
Trombosit 277 ribu/uL 150~400
KIMIA KLINIK
Protein total 5.9 g/dL 6.6~8.0
Albumin 2.05 g/dL 3.5~4.5
Globulin 3.85 g/dL 1.5~3.0
SGOT (AST) 34 U/L <37
SGPT (ALT) 44 U/L <41
Alkali phospat 345 U/L 50~190
Bilirubin total 0.80 mg/dL <1.2
Bilirubin direk 0.40 mg/dL <0.6
Bilirubin indirek 0.40 mg/dL <0.8
Ureum 339 mg/dL 20~40
Kreatinin 9.97 mg/dL 0.5~1.5
DIABETES
GDS 99 128 mg/dl 60-110
36
FOTO THORAX
Tampak cor membesar (CTR>50%), sinus kanan tumpul, pada pulmo terdapat perselubungan
inhomogen di kedua lapang paru.
Kesan : Kardiomegali dengan oedem paru dan effusi pleura dextra.
KOMPLIKASI PENYAKIT GINJAL KRONIK
Tabel 11. Derajat Penyakit Ginjal Kronik dengan Komplikasi
Derajat Penjelasan LFG(ml/mnt)
Komplikasi
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal
≥ 90 -
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan
60 – 89 Tekanan darah mulai
3 Penurunan LFG sedang 30 – 59 HiperfosfatemiaHipokalsemia
AnemiaHiperparatiroid
HipertensiHiperhormosistinemia
4 Penurunan LFG berat 15 – 29 MalnutrisiAsidosis metabolik
Cenderung hiperkalemiaDislipidemia
37
5 Gagal ginjal < 15 Gagal jantungUremia
PENYAKIT KARDIOVASKULAR
Penyakit kardiovaskular menjadi penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas pada
pasien ginjal kronik di setiap stadium. Resiko yang bertambah terhadap penyakit kardiovaskular
pada seorang dengan CKD meningkat 10-200 kali lipat, tergantung pada stadium CKD tersebut.
30-45% pasien CKD stadium 5 telah memiliki komplikasi terhadap penyakit kardiovaskular.
Setiap stadium pada CKD merupakan faktor resiko mayor dari penyakit iskemik kardiovaskular
seperti penyumbatan oklusif Koroner, serebrovaskular, dan penyakit vaskular perifer.
Peningkatan prevalensi dari penyakit vaskular pada pasien CKD tergantung dari faktor resiko
pada setiap pasien. Faktor resiko klasik adalah hipertensi, hipervolemia, dislipidemia, aktivitas
simpatis berlebih, dan hiperhomosisteinemia. Faktor resiko yang berhubungan dengan CKD
termasuk anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroid, sleep apneu, dan inflamasi umum.12
Proses inflamasi berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal yang dilihat dari
peningkatan reaktan fase akut pada sirkulasi seperti sitokin inflamasi dan protein C reaktif, dan
penurunan dari serum albumin dan fetuin. Proses inflamasi yang terjadi dapat mempercepat
terjadinya penyakit vaskular oklusif dan rendahnya tingkat fetuin menyebabkan kalsifikasi pada
vaskular lebih cepat. Pada pasien CKD juga terdapat adanya iskemi miokard termasuk hipertrofi
ventrikel kiri yang dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung dan penyakit mikrovaskular. Hal
ini dapat terjadi karena kombinasi dari retensi natrium dan cairan yang dapat terlihat pada pasien
CKD dan mengakibatkan terjadinya gagal jantung hingga oedem pulmonal. Gagal jantung
merupakan konsekuensi dari disfungsi sistolik , diastolik, atau keduanya. Adanya bentuk dari
“tekanan rendah” pada oedem pulmonal juga dapat terjadi pada CKD stadium lanjut, dengan
manifestasi klinis yaitu sesak napas (napas pendek) dan adanya distribusi cairan oedem alveolar
yang memberikan gambaran bat-wing pada foto thoraks. Hal ini dapat terjadi walaupun tidak
terdapat kelebihan (overload) dari volume cairan ekstrasel dan hal ini berhubungan dengan
tekanan pada kapiler pulmonal yang normal atau sedikit meningkat. Proses ini terjadi akibat
peningkatan dari permeabilitas membran kapiler alveolar sehingga sehingga memberikan
manifestasi klinis pada keadaan uremia.12
38
Pada Ny. E sudah terjadi komplikasi dari penyakit ginjal kronik stadium V. Pada
pemeriksaan thorax didapatkan adanya pembesaran dari ukuran jantung atau kardiomegali yang
dapat menunjukan sudah terjadinya kegagalan terhadap fungsi jantung sebagai pemompa darah
yang menyebabkan terjadinya peningkatan dari tekanan vena pulmonaris. Hal ini mengakibatkan
terjadinya oedem alveolar juga serta peningkatan tekanan interstitial di regio subpleura. Terdapat
kebocoran cairan pada permukaan pleura visceral yang berkontribusi pada tingkat akumulasi
cairan. Kelebihan dari cairan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan atrium kiri
kemudian ditransmisikan pada bagian jantung kanan, tekanan vena pulmonalis juga meningkat.
Adanya peningkatan dari tekanan vena pulmonalis juga akan meningkatkan filtrasi cairan dari
kapiler pleura parietal dan secara simultan menurunkan aliran limfatik pada kavum pleura
dengan meningkatkan tekanan keluaran pada duktus torasikus sehingga terjadi akumulasi cairan
dan terjadi efusi pleura, dalam hal ini efusi pleura dextra.
39
Nama : Ny E
Usia : 47 tahun
Tanggal 18 Desember 2014
SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANNING
Sesak napas (-), batuk
kering (-), bengkak pada
kedua tungkai berkurang,
nafsu makan sedikit
KU : TSS, compos mentis
TD : 120/70 mmHg
N : 88 x/menit
S : 36o
RR : 20 x/menit
Mata : CA -/-, SI -/-
Leher : JVP 5+2 cm, KGB tidak ada
pembesaran
Paru : Suara Napas Vesikuler +/+, Rhonki
-/-, Wheezing -/-
Jantung : BJ I dan II regular, murmur -,
gallop -,
Abdomen : cembung, BU +, supel, NT
epigastrium -, undulasi +,shifting dullness +
Ekstremitas : akral hangat, oedem pitting
pada kedua tungkai
CKD stage V
DM tipe II
Efusi Pleura
Bilateral
Dislipidemia
Anemia
Hipoglikemia
- Diet Cairan 1700 ml
- Ambroxol 3xCI
- Bicarbonat 3x1
- Asam Folat 3x1
- CaCO3 3x1
- Kidmin 250 cc/24 jam
- Lasix 2x2 amp IV
- Ceftazidine 1x1 gram IV
- Lypanthil 1x100 mg p.o
- Ondansentron 1x4 mg p.o
- Ranitidine 2x50 mg IV
- Amlodipine 1x10 mg p.o
- Rencana HD
40
USG ABDOMEN
Hepar : tidak membesar, permukaan rata, echoparenchym, dan vaskular normal. Tak tampak
SOL di dalamnya. Duktus biliaris dan V. Porta tidak melebar.
Vesica felea : Bentuk dan ukuran normal, dinding tidak menebal, permukaan rata, tak tampak
echo batu maupun sludge di dalamnya.
Pankreas : Bentuk dan ukuran normal, duktus pankreatikus tidak dilatasi, tak tampak echo batu
maupun SOL di dalamnya.
Lien : Bentuk dan ukuran normal, hilus dan echoparenchym normal
Ginjal Dextra : Ukuran 8,38 cm x 4,38, corticomedular kabur
Ginjal Sinistra : Ukuran 8,64 x 4,61, corticomedular kabur
Tampak Bayangan anechoic supradiafragma bilateral dan diantara usus
Uterus : Besar normal, densitas homogeny
Buli-buli : Permukaan baik, dinding tidak menebal, tak tampak echo batu maupun SOL di
dalamnya.
Kesan : Kedua ginjal mengecil (proses kronis) dengan asites dan effusi pleura bilateral
41
TERAPI PENGGANTI GINJAL (RENAL REPLACEMENT THERAPY)
Pada pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai
laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukan nilai laju filtrasi glomerulus
yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam 5 stadium, stadium
1 hingga stadium 5. Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis,
peritonial dialisis atau transplantasi ginjal. Dimana pada pasien LFG sudah < 15 ml/menit yaitu
LFG pasien adalah 4.6 ml/mnt. Ada tiga jenis terapi pengganti yaitu hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal.
Semua pasien dengan gagal ginjal tahap akhir dipertimbangkan sebagai calon resipien
transplantasi ginjal kecuali jika mengidap penyakit keganasan sistemik, infeksi konik, penyakit
kardiovaskular yang berat atau gangguan neuropsikiatri yang akan mengganggu kepatuhan
minum obat imunosupesif, meskipun pada akhinya pasien yang akan memutuskan jenis terapi
pengganti yang akan dipergunakan.
HEMODIALISIS
Pada penyakit ginjal kronik (PGK), hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke
dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdari dua kompartemen yang terpisah. Darah
pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel
buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisat.
Kompartemen dialisat dialirkan cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan
komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen.
Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat
terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai
konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis, air juga dapat
berpindah dari kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif
pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi.13
42
Gambar 8. Mekanisme dialisis pada ginjal buatan.
Besar pori pada selaput akan menentukan besar morekul zat terlarut yang berpindah.
Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat dibanding molekul dengan
berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlalut tersebut makin tinggi bila
(1) Perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar
(2) Diberi tekanan hidrolik di kompartemen darah
(3) Bila tekanan osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi
Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi.
Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai
konsentrasinya sama di kedua kompartemen.
43
Gambar 9. Bagan hemodialisis.
Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu: selulosa, selulosa yang diperkaya, selulo
sintetik, dan membran sintetik. Pada membran selulosa terjadi aktivasi komplemen oleh gugus
hidroksil bebas, karena itu penggunaan membran ini cenderung berkurang digantikan oleh
membran lain. Aktivasi sistem komplemen oleh membran lain tidak sehebat aktivasi oleh
membran selulosa.12,13
Luas permukaan membran juga penting untuk proses pembersihan. Luas permukaan
membran yang tersedia adalah dari 0.8 m2 sampai 2.1 m2. Semakin tinggi luas permukaan
membran semakin efisien proses dialisis yang terjadi.14
Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter
setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam caian dialisat akan dapat
dengan mudah berdifusi ke dalam darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut
cairan dialisat harus dalam batas-batas uang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan dialisat perlu
dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang dapat membahayakan tubuh. Dengan
teknik reverse osmosis air akan melewati membran semi permeabel yang memiliki pori-pori
kecil sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti urea, natrium, dan
klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis dapat berperan sebagai
penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus dijaga agar kurang dari 200 koloni/mL
dengan melakukan desinfeksi cairan dialisat. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar 135-
145 mEq/L. Bila kadar natrium lebih rendah maka risiko untuk terjadinya gangguan
hemodinamik selama hemodialisis bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi
gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan kadar natrium darah
pascadialisis. Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung untuk minum
44
lebih banyak. Pada pasien dengan komplikasi hipotensi selama hemodialisis yang sulit
ditanggulangi maka untuk mengatasinya kadar natrium dalam cairan dialisat dibua lebih tinggi.
Dialiser dapat didaur ulang (reuse) untuk tujuan mengurangi biaya hemodialisis. Segera
setelah selesai prosedur hemodialisis dialiser dicuci dengan cairan dialisat yang banyak untuk
menghilangkan bekuan darah yang terdapat dalam kapiler dialiser. Dilakukan pengukuran
volume dialiser untuk mengetahui apakah dialiser ini masih dapat dipakai dan dilihat apakah
terdapat cacat jasmaninya. Umumnya dipakai kembali bila volume dialiser 80%. Setelah itu
dialiser disimpan dengan cairan antiseptik (formaldehid 4%). Sebelum digunakan kembali
dialiser ini dicuci kembali untuk membuang semua formaldehid. Formaldehid yang tersisa dalam
dialiser dapat memasuki tubuh selama proses dialisis dan hal ini dapat menimbulkan gangguan
pada pasien.
Terdapat dua jenis cairan dialisat yang sering digunakan yaitu cairan asetat dan
bikarbonat. Kerugian cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat menimbulkan suasana
asam di dalam darah yang akan bermanifestasi sebagai vasodilatasi. Vasodilatasi akibat cairan
asetat ini akan mengurangi kemampuan vasokonstriksi pembuluh darah yang diperlukan tubuh
untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selama hemodialisis. Keuntungan
cairan bikarbonat adalah dapat memberikan bikarbonat ke dalam darah yang akan menetralkan
asidosis yang biasa terdapat pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan juga tidak
menimbulkan vasodilatasi.
Pada proses dialisis terjadi aliran darah di luar tubuh, pada keadaan ini akan terjadi
aktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan darah. Karena itu pada dialisis
diperlukan pemberian heparin selama dialisis berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin
yaitu teknik heparin rutin, heparin minimal, dan bebas heparin. Pada teknik heparin rutin, teknik
yang paling sering digunakan sehari-hari, heparin diberikan dengan cara bolus diikuti dengan
continous infusion. Pada keadaan di mana risiko perdarahan sedang atau berat digunakan teknik
heparin minimal dan teknik bebas heparin. Contoh beberapa keadaan risiko perdarahan berat
misalnya pada pasien dengan perdarahan intraserebral, trombositopenia, koagulopati, dan
pascaoperasi dengan perdarahan.
Jumlah dan tekanan darah yang mengalir ke dialiser harus memadai sehingga perlu suatu
akses khusus. Akses khusus ini pada umumnya adalah vena lengan yang sudah dibuatkan fistula
dengan arteria radialis atau ulnaris. Terdapat shunt aliran darah arteri ke vena sehingga vena
45
akan membesar dan mengalami epitelisasi. Fistula seperti ini (fistula cimino) dapat bertahan
bertahun-tahun dan komplikasinya hampir tidak ada.
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi di antaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan
muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil. Komplikasi yang
jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung,
perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi komplemen
akibat dialisis dan hipoksemia. Di Indonesia hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu dengan
setiap hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Di senter dialisis lain ada juga dialisis yang
dilakukan 3 kali seminggu dengan lama dialisis 4 jam
Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi
yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting untuk terjadinya kematian pada pasien
hemodialsis. Asupan protein diharapkan 1-1.2 g/kgBB/hari dengan 50% terdiri atas protein
dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70 mEq/hari. Pembatasan kalium
sangat diperlukan, karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buhan dan umbi-umbian tidak
dianjurkan dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah air kencing yang
ada ditambah invisible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120 mEq/hari guna
mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus
yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka selama
periode di antara dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang besar.
Kecukupan dosis hemodialisis yang diberikan diukur dengan istilah adekuasi dialisis.
Terdapat korelasi yang kuat antara adekuasi dialisis dengan angka morbiditas dan mortalitas
pada pasien dialisis. Adekuasi dialisis diukur dengan menghitung urea reduction ratio (URR)
dan (KT/V). URR dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar ureum predialisis
dengan kadar ureum pascadialisis. Pada hemodialisis 2 kali seminggu dialisis dianggap cukup
bila URR-nya lebih dari 80%. Cara lain menghitung adekuasi dengan menghitung KT/N.
terdapat rumus Dougirdas untuk menghitung KT/N dengan memasukkan nilai ureum pradialisis
dan pascadialisis, berat badan predialisis dan pascadialisis. Pada hemodialisis 3 kali seminggu
KT/N dianggap cukup bila lebih besar atau sama dengan 1.8.
Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LGF)
sudah kurang dari 5ml/menit yang di dalam praktek dianggap demikian bila (TKK) < 5 ml/menit.
46
Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKK <5 ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis
dianggap baru perlu dimulai bila di jumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini:
Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
K serum > 6 mEq/L
Ureum darah > 200 mg/dL
pH darah <7.1
Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
Fluid overload
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah
dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang
kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermeabel (hollow fibre kidney).
Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14
tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.
TRANSPLANTASI GINJAL
Transplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti utama pada pasien gagal ginjal tahap
akhir hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi ginjal sudah jelas terbukti lebih baik
dibandingkan dengan dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas hidup. Salah satu
diantaranya adalah tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik.Transplantasi ginjal
yang berhasil sebenarnya merupakan cara penangangan ginjal tahap akhir yang paling ideal,
karena dapat mengatasi seluruh jenis penurunan fungsi ginjal. Di pihak lain, dialisis hanya
mengatasi akibat sebagian jenis penurunan fungsi ginjal. Di samping itu transplantasi ginjal
masih memberikan keuntungan lain dibandingkan dengan dialisis.15
Tabel 12. Keuntungan Tranasplantasi Ginjal Dibandingkan Dengan Hemodialisis Kronik.
Transplantasi Ginjal HemodialisisProsedur Satu kali (biasanya) Seumur hidupKualitas hidup (jika berhasil)
Baik sekali Cukup baik
Ketergantungan pada fasilitas medik
Minimal Besar
Jika gagal Dapat hemodialisis kembali atau transplantasi lagi
Meninggal
Angka kematian/tahun 4-8% 20-25%
47
Manfaat transplantasi paling jelas terlihat pada pasien usia muda dan pada pasien
diabetes. Ada beberapa faktor yang berperan pada keberhasilan transplantasi ginjal, yaitu faktor
yang berkaitan dengan donor dan resipien, faktor imunologi, faktor penanganan pra dan peri-
operatif, serta faktor pasca-operatif.
KONTRAINDIKASI TRANSPLANTASI GINJAL
Pada beberapa keadaan, transplantasi ginjal tidak dianjurkan karena merupakan prosedu
dengan risiko tinggi.
Tabel 13. Kontraindikasi Transplantasi Ginjal
Kontraindikasi Transplantasi Ginjal1) masalah psikiatrik, seperti psikosis, retardasi mental, dan adiksi obat2) riwayat ketidakpatuhan yang berulang3) umur sangat lanjut (> 70 tahun)4) keganasan baru atau dengan metastasis5) penyakit di luar ginjal (jantung, vaskular, hati, paru-paru) yang berat6) infeksi kronik (tuberkulosis aktif)
Dilakukan pemberian obat imunosupresif pada transplantasi ginjal adalah memberikan
obat anti rejeksi dalam dosis yang masih dapat ditoleransi untuk jangka waktu lama, tetapi dapat
mencegah terjadinya rejeksi terhadap ginjal cangkok. Pemberian obat imunosupresif terdiri dari
dua tahap, yaitu tahap awal atau induksi dan tahap pemeliharaan.Banyak unit transplantasi yang
memakai cara terapi tripel yang terdiri dari siklospoin atau takrolimus, azatioprin atau mofetil
mikofenolat, dan prednisolon. Regimen sekuensial atau kuadipel dengan preparat antilimfosit
banyak dipergunakan untuk pasien yang sensitif atau pada retransplantasi. Pada rejeksi akut,
dapat dipergunakan kortikosteroid dosis tinggi secara oral atau parenteral, preparat antilimfosit
atau plasmaferesis. Pada kasus ini dimana CKD sudah mencapai stage V dengan LFG 6,1 ml/mnt
dan terapi yang dilakukan bila CKD stage V adalah dilakukannya terapi pengganti ginjal. Pada
kasus ini telah dilakukan terapi pengganti ginjal hemodialisis yang dilakukan secara rutin 2 kali
dalam seminggu.
48
BAB III
PENUTUP
Telah dibahas kasus seorang wanita 47 tahun datang dengan keluhan dispneu, edema
pada kedua tungkai, batuk kering, lemas, oligouria, dan konstipasi. Terdapat riwayat hipertensi
dan diabetes mellitus serta hiperkolesterolemia.Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan
umum tampak sakit sedang dengan status gizi kurus (underweight) yaitu BMI = 17,57 dan laju
napas 26x/menit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis pada kedua mata. Pada
pemeriksaan abdomen didapatkan perut cembung, berundulasi, dan terdapat shifting dullness
yang menandakan ascites. Terdapat pitting oedem pada kedua tungkai. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan leukositosis dengan hasil 11.600/ul, anemia dengan hemoglobin 6,7
g/dl, hematokrit 18%, dan eritrosit 2,15 juta/ul. Terdapat hipoalbuminemia dengan 2,86 g/dl,
hipertrigliseridemia 326 mg/dl, dan hiperkolesterolemia 239 mg/dl. Pada pemeriksaan gula darah
sewaktu didapatkan hasil 20 mg/dl yang menunjukan adanya hipoglikemia pada pasien. Pada
pemeriksaan elektrolit didapatkan hiponatremia 127 mmol/L dan hipokloridemia 87 mmol/L.
Terdapat penurunan fungsi ginjal dilihat dari ureum 385 mg/dl dan kreatinin 9,52 mg/dl. Dengan
menggunakan rumus Kockroft-Gault didapatkan nilai LFG yaitu hasil 6,1 ml/menit maka dapat
disimpulkan pasien mengalami penyakit ginjal kronik (CKD) pada stage V. Pada pemeriksaan
foto thorax didapatkan kesan kardiomegali dengan oedem paru dan efusi pleura dextra. Serta
pada pemeriksaan usg abdomen didapatkan kesan adanya kedua ginjal mengecil (proses kronis)
dengan asites dan efusi pleura bilateral. Sehingga didapatkan hasil pengkajian yaitu pasien
dengan CKD stage V, diabetes mellitus tipe II, dislipidemia, anemia, hipoglikemia, dan efusi
pleura bilateral. Pada pasien dilakukan tatalaksana rawat inap berupa pemasangan O2 nasal 4
liter/menit, kidmin 200cc/24 jam IVFD, lasix 2x2 amp IV, ceftazidine 1x1 gram IV, lypanthil
1x100 mg p.o, ondansentron 1x4 mg p.o, ranitidine 2x50 mg IV, amlodipine 1x10 mg p.o,
dilakukan transfusi Packed Red Cell 1 unit 250 cc/hari (selama 2 hari), serta dilakukan terapi
pengganti ginjal berupa hemodialisis pada pasien setiap 2 kali dalam seminggu.
49
DAFTAR PUSTAKA
1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Jakarta: Interna
Publishing. 2010. p. 1035-40.
2. NFK KDOQI Guidelines. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney
Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Available at:
http://www2.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/p4_class_g2.htm. Accessed
October 20, 2014.
3. Bragman JM, Skorecki K. Chronic Kidney Disease. Harrison’s principles of internal
medicine, Ed. 18. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J,
editors. Chicago: Mc Graw Hill Medical. 2012. p. 2308-21.
4. Murray L, Wilkinson IB, Baldwin A, Wallin E. Chronic Kidney Disease. Oxford
Handbook of Clinical Medicine, Ed. 9. New York: Oxford University Press Inc. 2014. p.
294-7.
5. PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia.
Semarang : PB PERKENI.
6. Soemadji, DW. Hipoglikemia Iatrogenik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi
kelima. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Jakarta:
Interna Publishing. 2010. p. 1900-5.
7. Hamdy O. Hypoglycemia. Medscape. Update on December 22nd 2014. At :
http://emedicine.medscape.com/article/122122-overview#aw2aab6b2b2aa. Accessed
January 8th 2014.
8. Saunders WB. American Journal of Kidney Disease. Vol 49. No 2, 2007: pp 160-79
9. Batuman V. Diabetic Nephropathy. Medscape. Update on May 28 th, 2014. At :
http://emedicine.medscape.com/article/238946-overview. Accessed January 8th 2014.
10. PERNEFRI. 2001. Konsensus Manajemen Anemia Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik.
Jakarta : PB PERNEFRI
11. N. D. Vaziri. American Journal of Physiology - Renal Physiology.2006. Vol 290. 2 :
F262-F272 doi: 10.1152/ajprenal.00099.2005
50
12. Rahardjo P, Susalit E, Suhardjono. Hemodialisis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam edisi kelima. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors.
Jakarta: Interna Publishing. 2010. p. 1050-2.
13. Bregman H, Dougirdas JT, Ing TS. Complications During Hemodialisis. In: Dougirdas
JT, Ing TS, editors. Handbook of Dialysis, 2nd Ed. Little Brown am Company. 2004.
149-68.
14. Dougridas JT. Chronic Hemodialysis Prescription: a urel kinetic approach. In: Dougridas
JT, Ing TS (editors). Handbook of Dialysis, Ed. 2nd. Little Brown am Company. 2004.
92-120.
15. Susali E. Transplantasi Ginjal. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi kelima.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Jakarta: Interna
Publishing. 2010. p. 1066-78.
51