case typhoid INTAN.doc

31
PRESENTASI KASUS DEMAM THYPOID Pembimbing : dr. Oki Fitriani, Sp. A. Penyusun : Intan Nabila Al Mansyuri, S.ked. 1102006129 KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SERANG PERIODE 5 NOVEMBER 2012 – 7 JANUARI 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI 1 | Page

description

tfu7p.

Transcript of case typhoid INTAN.doc

PRESENTASI KASUSDEMAM THYPOID

Pembimbing : dr. Oki Fitriani, Sp. A.

Penyusun : Intan Nabila Al Mansyuri, S.ked.

1102006129

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SERANG

PERIODE 5 NOVEMBER 2012 – 7 JANUARI 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

1 | P a g e

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamualaikum Wr.Wb.

Segala puji bagi Allah atas nikmat iman dan hidayah yang telah diberikan

kepada kita. Salawat serta salam bagi nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan

orang-orang yang senantiasa istiqamah di jalan-Nya.

Alhamdulillah, akhirnya saya dapat menyusun laporan kasus mengenai

“Demam Typhoid” ini untuk memenuhi tugas kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak di RSUD

Serang, dan agar dapat mengeksplorasi sebanyak-banyaknya informasi dari berbagai

referensi.

Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada semua pihak yang membantu terselesaikannya penyusunan laporan kasus

ini, terutama kepada pembimbing saya dr. Oki Fitriani, Sp.A yang telah meluangkan

waktunya untuk membimbing saya ditengah kesibukan dan padatnya aktivitas beliau.

Terima kasih juga saya ucapkan kepada keluarga saya yang selalu memberikan dukungan

dan memotifasi saya hingga saat ini, serta kepada teman-teman saya yang sedang menjalani

kepaniteraan di RSUD Serang.

Saya menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini banyak terdapat kekurangan.

Oleh sebab itu, saya mengharapkan saran serta kritik yang dapat membangun dalam

laporan kasus ini guna untuk perbaikan di kemudian hari. Semoga laporan kasus ini dapat

berguna dan bermanfaat bagi kita semua baik sekarang maupun dihari yang akan datang.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Serang, November 2012

Intan Nabila Al Mansyuri,

Penulis

2 | P a g e

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... 2

DAFTAR ISI ............................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 4

BAB II PRESENTASI KASUS .......................................................................... 5

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 11

Definisi ............................................................................................. 11

Etiologi ............................................................................................. 11

Patogenesis ...................................................................................... 12

Manifestasi klinis ............................ ................................................. 13

Komplikasi ........................................................................................ 14

Diagnosis ......................................................................................... 15

Tatalaksana........................................................................................ 18

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………....................................... 22

3 | P a g e

BAB IPENDAHULUAN

Demam tifoid pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka kejadian tinggi pada daerah tropik dibandingkan daerah berhawa dingin. Sumber penularan penyakit demam tifoid adalah penderita yang aktif, penderita dalam fase konvalesen, dan kronik karier.. Demam Tifoid juga dikenali dengan nama lain yaitu Typhus Abdominalis,Typhoid fever atau Enteric fever. Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang akut yang mempunyai karakteritik demam, sakit kepala dan ketidakenakan abdomen berlangsung lebih kurang 3 minggu yang juga disertai gejala-gejala perut pembesaran limpa dan erupsi kulit. Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, S paratyphi A, S paratyphi B dan S paratyphi C. Jika penyebabnya adalah S paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh S typhi.

Diagnosis demam typhoid tidak selalu didapatkan setelah semua kriteria diagnosis terpenuhi, mengingat panjangnya perjalanan penyakit tersebut. Gejala klinis yang khas dapat menjadi dasar untuk pemberian terapi empirik sebelum pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan guna mencegah perburukan atau komplikasi lebih lanjut dari penyakit tersebut. Tidak jarang pula diagnosa demam typhoid ditegakkan secara eksjuvantibus.

Diagnosis klinis terutama ditandai oleh adanya panas badan, gangguan saluran pencernaan, gangguan pola buang air besar, hepatomegali/spleenomegali, serta beberapa kelainan klinis yang lain. Diagnosis laboratoris kebanyakan di Indonesia memakai tes serologi Widal, tetapi sensitifitas dan spesifisitasnya sangat terbatas, belum ada kesepakatan titer dari masing – masing daerah. Biakan S. Typhi merupakan pemeriksaan baku emas, tetapi hasilnya seringkali negatif dan memerlukan waktu lama, padahal dokter harus segera memberi pengobatan. Beberapa serodiagnostik lain yang telah dikembangkan seperti TUBEX, merupakan pemeriksaan Immunoassay yang dapat mendeteksi anti-salmonella 09 dengan sensitivitas dan spesifisitas 100%.

4 | P a g e

BAB IIPRESENTASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. S.Umur : 1 Tahun 10 BulanJenis Kelamin : PerempuanAlamat : Ciruas-SerangAgama : IslamNama Ayah : Tn. PurniawanMasuk RS : 17-11-2012

II. ANAMNESIS

(Alloanamnesis ibu pasien) Keluhan Utama : Demam

Keluhan Tambahan : Sulit BAB Nyeri perut

Mual Tidak nafsu makan

Lemas

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke RSUD serang diantar keluarga dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS. Menurut ibu, pasien mengalami demam yang hilang timbul dan lebih tinggi dirasakan pasien ketika sore sampai malam hari. Demam mencapai 39 derajat celcius, namun tidak sampai kejang. Bintik-bintik merah di kulit juga tidak timbul. Setiap demam turun, pasien tampak sehat. Namun lemah kembali saat demam naik.

Ibu pasien mengatakan pasien tidak nafsu makan dan nyeri pada seluruh bagian perut, terutama perut bagian tengah. Keluhan perut mengeras seperti papan disangkal. Keluhan mual dialami oleh pasien, karena pasien sulit diberi makan. Mual tidak sampai muntah.

Keluhan tidak BAB sudah dirasakan pasien sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Namun menurut ibu pasien, pasien tampak lebih kurus. Riwayat batuk-batuk lama disertai keringat malam jg disangkal.

Ibu pasien mengatakan pasien lebih sering rewel dan gelisah. Pasien menjadi lebih sulit tidur. Hal seperti ini baru pertama kali dialami oleh pasien. Pasien sering diberi

5 | P a g e

makanan dari luar/warung. Di kelurga atau tetangga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien. Riwayat bepergian ke daerah endemis malaria disangkal.

Sebelumnya pasien pernah berobat ke bidan dan diberikan parasetamol dan Zinkid sirup, demam pasien turun. Namun akan kembali naik setelahnya.

Pasien lahir di rumah ditolong oleh dukun saat usia kandungan 9 bulan. Berat badan lahir pasien ibu tidak tau. Tidak terdapat kesulitan atau kelainan saat lahir. Ibu mengatakan pasien belum pernah diimunisasi apapun sejak lahir.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Asma : Riwayat sesak nafas jika udara dingin, nafas berbunyi mengi (-)Peny. Jantung : Riwayat sesak nafas jika beraktivitas dan tidur terlentang (-)Diabetes mellitus : Banyak makan, banyak minum, sering BAK di malam hari (-) Hepatitis : Mata berwarna kuning, nyeri ulu hati, nyeri perut kanan atas (-)TB : Riwayat batuk lama > 3 bulan, demam dan berkeringat malam hari(-)

Riwayat Penyakit Keluarga :Asma : Riwayat sesak nafas jika udara dingin, nafas berbunyi mengi (-)Peny. Jantung : Riwayat sesak nafas jika beraktivitas dan tidur terlentang (-)Diabetes mellitus : Banyak makan, banyak minum, sering BAK di malam hari (-) Hepatitis : Mata berwarna kuning, nyeri ulu hati, nyeri perut kanan atas (-)TB : Riwayat batuk lama > 3 bulan, demam dan berkeringat malam hari(-)

III. PEMERIKSAAN FISIK:

Keadaan umum : SakitKesadaran : Compos mentisTanda Vital

Tekanan darah : Heart Rate : 161 x / menitPernafasan : 39 x / menitSuhu : 37,7ºCBerat Badan : 7,2 kgPanjang Badan : 76 cmStatus gizi : Status gizi pasien dengan Z Score berdasar BB/TB adalah -3 =

Gizi Buruk

Status GeneralisKepala : Normocephale.Mata : Reflek cahaya (+/+), Conjungtiva anemis (-/-), Sclera icterik (-/-).Telinga : Simetris kiri dan kanan, discharge (-/-).Hidung : Pernapasan cuping hidung (-/-), sekret (-/-).Mulut : Perioral sianosis (-), faring hiperemis (+), typhoid tongue (+)

6 | P a g e

Leher : Pembesaran KGB (-), retraksi suprasternal (-).

ThoraksInspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi interkostal (-)Palpasi : Simetris saat statis dan dinamis.

CorInspeksi : Iktus cordis tidak terlihat.Palpasi : Iktus cordis terabaPerkusi : tidak ada pembesaran JantungAuskultasi : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-).

PulmoInspeksi : Simetris saat statis dan dinamis.Palpasi : Fremitus kanan dan kiri simetris.Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru.Auskultasi : Vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

AbdomenInspeksi : Datar, retraksi epigastrium (-)Auskultasi : Bising usus (+)Perkusi : Timpani di ke empat kuadran abdomenPalpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (+) pada regio umbilikal, defans muskuler (-).Extermitas : Akral hangat, edema - /-, perfusi baik.

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan lab darah rutin tanggal 17/11/2012Hb : 7,7 g/dlHt : 26,4 %Leukosit : 4.900/ulTrombosit : 173.000/ulGDS : 100 mg/dl

Pemeriksaan lab Urine tanggal 18/11/2012Warna : KuningKekeruhan : JernihBobot Jenis : 1.005pH : 7Albumin : (-)Glukosa : (-)Keton : (+)Bilirubin : (-)Darah samar : (-)Nitrit : (-)

7 | P a g e

Urobilinogen : NormalLeukosit : 0-1 /LPBEritrosit : 0-1/LPBEpitel : (+) / LPKSilinder : (-)Kristal : (-)Bakteri : (-)Jamur : (++)

Pemeriksaan lab darah rutin tanggal 19/11/2012Hb : 7,76 g/dlHt : 25,2 %Leukosit : 6.100/ulTrombosit : 201.000/ulMorfologi darah tepi : Kesan Anemia defisiensi besi dan inflamasi

Pemeriksaa lab Feses tanggal 19/11/2012Warna : coklat Bau : khasDarah : (-)Konsistensi : lembekLendir : (-)Leukoasit : 2-4/LPBEritrosit : 0-1/LPBMakrofag : (-)Sisa makanan : (+)Telur cacing : (-)Amuba : (-)Amilum : (-)Lemak : (-)

Test SerologiWidal S. Typhi O : (+) 1/320 S. Typhi H : (+) 1/640S. Paratyphi AO : - S. Paratyphi AH : -S. Paratyphi BO : (+) 1/320 S. Paratyphi BH : -S. Paratyphi CO : - S. Paratyphi CH : -

VI. DIAGNOSIS

Diagnosis Kerja : Demam Typhoid + Anemia + Gizi Buruk

VII. PENATALAKSANAAN

Istirahat

8 | P a g e

Diet lunak Infus cairan 2A 7tpm (720x15/24x60= 7tpm makro) Ranitidin 12 mg/12 jam Paracetamol syr 2x cth 1 Inj Cefotaxime 350 mg/12 jam Dulcolax Supp Konsul Gizi

VII. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonamQuo ad functionam : dubia ad bonam

FOLLOW UP

Tanggal Follow up Terapi 19/11/1206.30

BB= 7,2 kg

S/Demam (+) lebih tinggi pada malam, BAB (-) 4 hariO/ KU: Sedang KS: compos mentis HR: 150x/menit RR: 36x/menit T: 37,2°CKepala: NormocephaleMata: CA -/- SI-/- RC+/+Hidung: PCH -Mulut: POC-Leher: Pembesaran KGB -Thorax: SSDCor: S1S2 reg, M-, G-Pulmo: Bronkovesikuler, Rh-/-, Wh-/-Abdomen: Supel, BU(+), hepar dan lien tidak teraba, NT(+) regio umbilikal.Ekstremitas: akral hangat, udem -/-/-/-

Infus cairan RL Inj Ceftriaxon 250mg/8jam Inj Ranitidin 10 mg/12 jam Elsazym 2x ½ sach Paracetamol syr 2x 2/3 cth Konsul Gizi

20/11/1206.30

BB= 7,2kg

S/ Demam sore hari (+), BAB mencretO/ KU: Sedang KS: Compos mentis HR: 148x/menit RR: 34 x/menit

Infus cairan RL InjCeftriaxon 350mg/12jam Inj Ranitidin 10 mg/12 jam Elsazym 2x ½ sach Paracetamol syr 6 x 2/3 cth

9 | P a g e

T : 36,6 °CKepala: NormocephalMata: CA -/- SI-/- RC+/+Hidung: PCH -Mulut: POC-Leher: Pembesaran KGB -Thorax: SSDCor: S1S2 reg, M-, G-Pulmo: Vesikuler, Rh-/-, Wh-/-Abdomen: Supel, BU(+), hepar lien tidak teraba, NT (+) regio umbilikal.Ekstremitas: Akral hangat, Udem-/-/-/-

Intake 800cc:- Bubur nasi 3x1- D5% ½ NS 6tpm mikro

21/11/1206.30

BB= 7,2kg

S/ Demam saat malam (-)O/ KU: Sedang KS: Compos mentis HR: 142x/menit RR: 30x/menit T: 36,7°CKepala: NormocephalMata: CA -/- SI-/- RC+/+Hidung :PCH -Mulut: POC-Leher : pembesaran KGB -Thorax: SSDCor: S1S2 reg, M-, G-Pulmo: vesikuler, Rh-/-, Wh-/-Abdomen: supel, BU +, hepar lien tidak teraba, NT (+) regio umbilikal.Ekstremitas: akral hangat, udem -/-/-/-

Infus cairan RL InjCeftriaxon 350mg/12jam Inj Ranitidin 10mg/12 jam Elsazym 2x ½ sach Paracetamol syr 6 x 2/3 cth As. Folat 1 x 5mg Vit A 200.000 IU 1x

Intake 800cc:- F75 6x75cc- D5% ½ NS 10 tpm mikro

BAB IIIDISKUSI KASUS

DEMAM TYPHOID

10 | P a g e

I. DEFINISIDemam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bekteri sekaliguus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hari, limpa, kelenjar limfe usus dan payer’s patch.

Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oelh spesies Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid.

II. ETIOLOGI

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri gram negatif, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan

resistensi terhadap multiple antibiotik.

Bakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita. Penyebaran bakteri ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat pencucian tangan yang kurang bersih setelah buang air besar maupun setelah berkemih, Lalat juga bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan. Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia terhadap bayinya.

Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi

III. PATOGENESIS

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme, yaitu: 1) Penempelan dan invasi sel-sel M peyer’s patch

11 | P a g e

2) Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag peyer’s patch, nodus limfatikus mesentrikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial. 3) Bakteri bertahan hidup didalam aliran darah, dan 4) Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalm lumen intestinal.

Jalur masuknya bakteri ke dalam tubuh

Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/ minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH<2) banyak bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akm mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan yeyunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesentrika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear didalam folikel limfe, kelenjar limfe mesentrika, hari dan limfe.

Setelah melalui periode tertentu (periode inkubasi), yang lamanya dtentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella typhi dalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran reterogad dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang di dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.

Peran endotoksin

Peran endotoksin Salmonella typhi menstimulasi makrofag didalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesentrika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik.

Respon imunologik

Di perkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tyfoid. Karier memperlihatkan gangguan

12 | P a g e

reaktivitas selular terhadap antigen salmonella ser. Typhi pada uji hambatan migrasi leukosit. Pada karier, sejumlah besar basil virulen melewati usus tiap harinya dan dikeluarkan dalam tinja.

IV. MANIFESTASI KLINIS

Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur salmonela, status nutrisi dan imonologik pejamu serta lama sakit dirumahnya.

Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidus, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesitisis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi atau penurunan kesadaran mulai apati sampai koma.

Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada kasus yang berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/ sakit berat. Bahkan dapat juga dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai gejala meteorismus, banyak juga dijumpai hepatomegali dibandingkan splenomegali.

Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm, sering dijumpai pada daerah abdomen, thoraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih dan tidak pernah ditemukan pada anak indonesia. Ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan 2-3 hari. Bronkhitis banyak dijumpai pada demam tifoid. Bradikardi relatif jarang dijumpai pada anak.

V. KOMPLIKASI

13 | P a g e

Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%, sedangkan perdarahan usus pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Penyulit biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapo dilaporkan juga nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defence musculare, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain. Beberapa kasus perforasi usus halus mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.

Dilaporkan pula kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, strupor bahkan koma. Beberapa penulis mengaitkan menifestasi klinis neuropsikiatri dengan prognosis buruk. Penyakit neurologi lain adalah trombosis serebral, afasia, ataksia sereberal akut, tuli, mielitis transversal, neuritis perifer maupun kranial, meningitis, ensefalomielitis, sindrom Guillain-Barre. Dari berbagai penyulit neurologik yang terjadi, jarang dilaporkan gejala sisa yang permanen.

Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T pada EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak mapun nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikhterus dengan atau tanpa disertai dengan kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistititis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman (karier).

Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk. Pneumonia sebagai penyulit sering dijumpai pada demam tifoid. Keadaan ini dapat timbul oleh kuman salmonella typhi, namun seringkali akibat infeksi sekunder oleh kuman lain. Penyulit lain yang dapat dijumpai adalah trombositopenia, koagulasi intravaskular diseminata, hemolytik uremic syndrome, fokal infeksi dibeberapa lokasi sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, otot, kelenhar ludah dan persendian.

Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali dua minggu setelah penghentian antibiotik. Nemun pernah juga dilaporkan relaps timbul saat stadium konvalesens, saat pasien tidak demam akan tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam pengobatan antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya dan lebih singkat.

14 | P a g e

VI. GAMBARAN DARAH TEPI

Anemia normokromi normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau suspensi pada sumsum tulang. Jumlah leukosit rendah, namun jarang dibawah 3000/ ul. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000-25.000/ul. Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.

VII. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka seseorang klinisi dapat membuat diagnisis tersangka demam tifoid. Diagnosis pasti ditegakan melalui isolasi S.typhi dari darah. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi s.typhi dari darah pasien lebih besar dari pada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilannya lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sentitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dapaat dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang diambil dari deodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.

Uji serologi widal suatu metode sorologik yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di indonesia pengambilan angka titier O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutinatoin (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukan nilai positif 96%. Artinya apabila hasil test positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan.

Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa >1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedangkan Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S.typhi (karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis, dam sebaliknya dapat timbul negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.

Mekanisme pemeriksaan widal :

Biasanya dipergunakan suspensi H dan O kuman salmonella typhi. Pada pemeriksaan ini serum penderita diencerkan (mulai dari 1:10, 1:20, 1:40, 1:80, 1:160, 1:320 dan seterusnya), tiap-tiap pengenceran diambill sedikit (0,3 ml) dan dipindahkan kedalam tabung-tabung kecil khusus. Kemudian pada masing-masing tabung ditambahkan suspensi

15 | P a g e

kuman yang telah disiapkan sebanyak 0,3 ml pula. Tabung kontrol diisi dengan air garam faal dan suspensi kuman tanpa serum penderita. Tabung kontrol dipakai untuk mengetahui apakah kuman tidak menggumpal dengan sendirinya. Lalu tabung-tabung ini dieramkan selama 12-24 jam akan terjadi gumpalan aglutinasi suspensi H dan aglutinasi seperti pasir (berbutir) pada aglutinasi O. Pada aglutinasi H hasilnya dapat dilihat dalam waktu 2 jam. Jika dieramkan pada suhu 55’C. Hasil pemeriksaan ini dinyatakan sebagai titer antibodi.

Titer antibodi yang rendah terhadap salmonella dapat tampak pada darah penderita yang belum pernah menderita sakit atau mendapat vaksinasi, titer ini disebut titer normal. Reaksi anamnestik lebih sering terjadi pada agglutinin H dari pada aglutinin O.

Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogroup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa peneliti terdahulu menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.

Prinsip pemeriksaan: Metode pemeriksaan yang digunakan adalah Inhibition Magnetic Binding Immunoassay (IMBI). Antibodi IgM terhadap antigen O9 LPS dideteksi melalui kemampuannya untuk menghambat interaksi antara kedua tipe partikel reagen yaitu indikator mikrosfer lateks yang disensitisasi dengan antibodi monoklonal anti O (reagen berwarna biru) dan mikrosfer magnetik yang disensitisasi dengan LPS Salmonella typhi (reagen berwarna coklat). Setelah sedimentasi partikel dengan kekuatan magnetik, konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam cairan menunjukkan daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan konsentrasi antibodi IgM Salmonella typhi

16 | P a g e

dalam sampel. Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna.

Prosedur Pemeriksaan dengan TUBEX® TF

Intrepetasi Hasil

Skala Interpretasi Keterangan<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

3 BouderlinePengukuran tidak dapat disimpulkan. Lakukan pengambilan darah ulang 3-5 hari kemudian

4-5 Positif Indikasi demam tifoid>6 Positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Pemeriksaan TUBEX sangat sensitif dan spesifik untuk deteksi demam tifoid. Hal ini disebabkan karena penggunaan antigen O LPS yang memiliki sifat sifat sebagai berikut :

1) Immunodominan dan kuat

2) Antigen O (LPS secara umum) bersifat thymus independent type 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H kurang imunogenik), dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B

3) Antigen O dapat menstimulasi sel sel B tanpa bantuan sel T (tidak seperti antigen antigen protein) sehingga respon anti O dapat terdeteksi lebih cepat.

4) LPS dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor lain (Toll like receptor 4)

5) Spesifisitas yang tinggi (>90%) karena antigen O yang sangat jarang ditemukan baik dialam maupun diantara mikroorganisme.

- Typidot ( Mendeteksi Antibody IgG dan IgM terhadap antigen 50 kD Salmonella typhi)

- Typidot M (mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen 50 kD Salmonella typhi)

- Dipstick test (mendeteksi antibody IgM terhadap antigen LPS Salmonella typhi)

Tubex® TF, Typidot, Typidot M, dan Dipstick test merupakan cara pemeriksaan serologi yang baru dikembangkan

17 | P a g e

Akhir- akhir ini dapat dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi S.typhi dalam serum, antigen terhadap S.typhi dalam darah, serum dan urin bahkan DNA S.typhi dalam darah dan feses. Polymerase chain reaction telah digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella ser.typhi secara spesifik pada darah pasien dan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam. Metode ini spesifik dan lebih sensitif dibandingkan dengan biakan darah. Walaupun laporan-laporan pendahuluan menunjukan hasil yang baik sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara luas. Sampai sekarang belum disepakati adanya pemeriksaan yang dapat menggantikan uji serologi widal.

VIII. DIAGNOSIS BANDING

Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat menjadi diagnosis bandinngnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkhitis dan bronkopnemonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraselular seperti tuberculosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.

IX. TATALAKSANA

Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi setara permberian antibiotik. Sendangkan untuk kasus berat harus dirawat dirumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit setara nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia.

Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kgBB/ hari dibagi dalam 4x pemberian selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun, sedang pada kasus malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat diparpanjang sampai 21 hari, 4-6 minggu untuk osteomielitis akut, dan 4 minggu untuk meningitis. Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah tingginya angka relaps dan karier. Namun pada anak hal tersebut jarang dilaporkan.

Ampisilin memberikan respons perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4x pemberian secara intravena. Ampisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4x pemberian per oral memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam lebih lama. Kombinasi trimethoprim sulfameoksazol (TMP-SMZ) memberikan hasil yang kurang baik dibanding kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah

18 | P a g e

TMP 10 mg/kgBB/hari atau SMZ 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Dibeberapa negara sudah dilaporkan kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Di India resistensi ganda terhadap kloramfenikol, ampisilim dan TMP-SMZ terjadi sebanyak 49-83%. Strain yang resisten umumnya rentan terhadap sefalosporin generasi ketiga. Pemberian sefalosporin genertasi ketiga seperti seftriakson 100 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis selama 5-7 hari atau sefotaksim 150-200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada isolat yang rentan. Efikasi kuinolon baik tetapi tidak dianjurkan untuk anak. Akhir-akhir ini cefixime oral 10-15 mg/kgBB/hari selama 10hari dapat diberikan sebagai alternatif, terutama apabila jumlah leukosit <2000/ul atau dijumpai resistensi terhadap S.typhi.

Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, strupor, koma dan syok pemberian deksametason intravena (3mg/kg diberikan dalamm 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan dengan 1mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam) disamping antibiotik yang memadai, dapat menurunkan anga mortalitas dari 33-55% menjadi 10%. Demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-kadang memerlukan transfusi darah. Sedangkan apabila terjadi perforasi, adanya cairan peritonium dan udara bebas pada foto abdomen dapat membantu menegakan diagnosis. Laparatomi harus segera dilakukan pada perforasi usus disertai penambahan antibiorik metronidazole dapat memperbaiki prognosis. Transfusi trombosit dianjurkan untuk pengobatan trombositopenia yang dianggap cukup berat sehingga menyebabkan perdarahan saluran cerna pada pasien-pasien yang masih dalam pertimbangan untuk dilakukan intervensi bedah.

Ampisilin ( amoxisilin) dosis 40 mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral ditambah dengan probebecid 30 mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral atau TMP-SMZ selama 4-6 minggu memberikan angka kesembuhan 80% pada karier tanpa penyakit saluran empedu. Bila terdapat kolelitiasis atau kolesistitis, pemberian antibiotik saja jarang berhasil, kolesistektomi dianjurkan setelah pemberian antibiotik ampisilin 200mg/kg/hari dalam 4-6 dosis IV selama 7-10 hari, setelah kolesistektomi dilanjutkan dengan amoksisilin 30 mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral selama 30 hari. Pada demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama.

Diet demam thypoid adalah diet yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan makan penderita thypoid dalam bentuk makanan lunak rendah serat. Tujuan utama diet demam thypoid adalah memenuhi kebutuhan nutrisi penderita demam thypoid dan mencegah kekambuhan. Tahapan diet lunak pada pasien demam typhoid mulai bubur saring, bubur halus, bubur kasar lalu nasi lunak dan nasi.

Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain:a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.b. Tidak mengandung banyak serat.

19 | P a g e

c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.

Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Syarat-syarat diet sisa rendah adalah:

Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat maksimal 8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi perorangan Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai dengan toleransi

perorangan. Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam

dan berbumbu tajam. Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak terlalu panas dan

dingin Makanan sering diberikan dalam porsi kecil

Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus, diet perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan formula, atau makanan parenteral.

Kriteria pulang pada demam typhoid:

• Bebas demam 2 hari tanpa antipiretik• Gejala klinis tidak ada atau berkurang• Nafsu makan baik

X. PROGNOSIS

Prognosis pasien demam tifoid terganung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Dinegara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser Typhi >3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko terjadi karier pada anak-anak rendah

20 | P a g e

dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insiden penyakit traktus biliaris lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis.

XI. PENCEGAHAN

Secara umum, untuk memperkecil kemugnkinan tercemar S.typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi didalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 570C untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/ klorinasi.

Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 570C beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu neegara /daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higine pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.

VAKSIN DEMAM TIFOID

Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk demam tifoid, yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S. Paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan; namun vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (ty-21a) diberikan peroral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Pada penelitian dilapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komplemen Vi dari salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan III. Typhoid fever. Nelson textbook of pediatrics, edisi ke-14 Philadelphia: WB Saunders Co, 1992.h.731-34.

21 | P a g e

2. Bulter T. Typhoid fever. Dalam: Warren KS, Mahmoud AF (penyunting). Tropical and geographical medicine, edisi ke-2. New york: Mc Graw-Hill Information Services Co, 1990.h.753-7.3. Cleary TG, Salmonella species. Dalam: long (penyunting). Principles adn practice of pediatric infectius diseases, edisi ke-3. New york: Churchill Livingstone,2003.h.830-5.4. Hayani CH, Pickering LK. Salmonella infections. Dalam: Feigin RD, Cherry JD (penyunting). Textbook of pediatric infectious diseases, edisi ke-3, Tokyo: WB Saunders Co, 1992.h.620-33.5. Hoffman SL. Typhoid fever. Dalam: Strickland GT penyunting. Hunter’s tropical medicine, edisi ke-7. Philadelphia: WB Saunders Co,1991.h.344-58.6. http://www.kesad.mil.id/content/diagnosis-demam-tifoid7. http://creasoft.wordpress.com/2011/08/22/diet-bagi-penderita-demam-thypoid/

22 | P a g e