Case Thd Dekompensata

51
BAB II LAPORAN KASUS 2.1 Identifikasi Nama : Ny. S Umur : 48 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Sukarela Km.7 Palembang Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Agama : Islam MRS : 24 Februari 2011 2.2 Anamnesis (Auto dan Alloanamnesis) Keluhan Utama Sesak napas yang makin menghebat sejak ± 6 jam SMRS Riwayat Perjalanan Penyakit ± 4 tahun SMRS, os mengeluh sering berdebar-debar. Os juga mengeluh mudah lelah dan sesak bila melakukan aktivitas, sering berkeringat banyak, dan nafsu makan yang meningkat tetapi berat badan os menurun. Os lebih suka berada ditempat yang dingin karena os mudah berkeringat. Tangan os selalu lembab dan hangat, os juga merasa sering gemetar pada tangan. Os mengeluh sering diare. BAK tidak ada keluhan. Os tidak berobat. 1

description

Case Thd Dekompensata

Transcript of Case Thd Dekompensata

Page 1: Case Thd Dekompensata

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi

Nama : Ny. S

Umur : 48 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Sukarela Km.7 Palembang

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

MRS : 24 Februari 2011

2.2 Anamnesis (Auto dan Alloanamnesis)

Keluhan Utama

Sesak napas yang makin menghebat sejak ± 6 jam SMRS

Riwayat Perjalanan Penyakit

± 4 tahun SMRS, os mengeluh sering berdebar-debar. Os juga mengeluh mudah

lelah dan sesak bila melakukan aktivitas, sering berkeringat banyak, dan nafsu makan

yang meningkat tetapi berat badan os menurun. Os lebih suka berada ditempat yang

dingin karena os mudah berkeringat. Tangan os selalu lembab dan hangat, os juga

merasa sering gemetar pada tangan. Os mengeluh sering diare. BAK tidak ada

keluhan. Os tidak berobat.

± 3 tahun SRMS os mengeluh sesak napas, sesak dipengaruhi aktifitas bila

beraktivitas sehari-hari dan saat berjalan ke kamar mandi. Sesak tidak dipengaruhi

cuaca. Sesak berkurang bila istirahat. Os juga sering terbangun di malam hari karena

sesak. Os lebih nyaman tidur menggunakan 3 bantal. Os juga mengeluh mudah lelah

dan mudah berkeringat. Nyeri dada (-), dada berdebar-debar (+) tidak teratur, batuk

(-), dahak (-), demam (-), mual (-), muntah (-), sembab pada kedua tungkai (+), nyeri

sendi (-).BAB dan BAK tidak ada keluhan. Os lalu berobat ke RSMH dan dirawat.

1

Page 2: Case Thd Dekompensata

Os dikatakan sakit jantung dan tiroid. Os pulang dengan perbaikan dan kontrol ke

poli RSMH secara teratur. Os mengkonsumsi obat captropil, digoxin, aspilet,

omeprazol dan spironolakton secara teratur.

± 1 minggu SMRS os mengeluh sudah tidak kuat berjalan lagi karena sesak napas,

sesak berkurang bila os istirahat, os juga sering terbangun di malam hari karena

sesak dan sesak berkurang bila os duduk,. Os lebih nyaman tidur menggunakan 3

bantal . Sesak dipengaruhi cuaca (-), batuk (+), dahak (-), demam (-), mual (-),

muntah (-), nyeri ulu hati (-), sembab pada kelopak mata di pagi hari (-), sembab

pada kaki (+), BAB dan BAK tidak ada keluhan.

± 6 jam SMRS os mengeluh sesak napas makin hebat, sesak saat istirahat, sesak

tidak dipengaruhi aktifitas dan cuaca. Os sulit tidur karena sesak. Os lebih nyaman

dengan posisi ½ duduk. Batuk (+), dahak (-) demam (+) hilang timbul, menggigil

(+).mual (-), muntah (-), sembab pada mata (-), sembab pada kedua tungkai (+),

sembab juga bertambah ke perut, BAB dan BAK tidak ada keluhan. Kemudian os

berobat ke poliklinik RSMH dan dirawat.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi (+) baru diketahui tahun 2008, teratur minum obat

captopril.

Riwayat sakit jantung (+) dan tiroid sejak tahun 2008 dan os kontrol teratur

ke poli jantung RSMH. Os berhenti munum PTU 1 tahun terakhir.

Riwayat kencing manis disangkal.

Riwayat nyeri sendi berpindah disertai demam disangkal.

Riwayat minum obat yang menyebabkan BAK merah disangkal.

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga

Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal

2

Page 3: Case Thd Dekompensata

2.3 Pemeriksaan Fisik

Tanggal 24 februari 2011

Keadaan Umum :

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah : 100/70 mmHg

Nadi : 128 x/m irregular, isi dan tegangan cukup

Temperatur : 36.5 ºC

RR : 40 x/m

Dehidrasi : tidak ada

Berat Badan : 48 kg

Tinggi Badan : 150 cm

IMT : 48

(1,50)2

: 48

2,25

: 21,333 (normoweight)

Keadaan Spesifik

Kulit

Warna sawo matang, efloresensi tidak ada, scar tidak ada, pigmentasi dalam batas

normal, ikterus pada kulit tidak ada, kulit lembab, keringat umum ada, keringat

setempat tidak ada, pucat pada telapak tangan dan kaki tidak ada, sianosis tidak ada,

lapisan lemak cukup.

Kelenjar Getah Bening

Kelenjar getah bening submandibular, leher, axilla, dan inguinal tidak ada

pembesaran, nyeri tekan tidak ada.

3

Page 4: Case Thd Dekompensata

Kepala

Bentuk bulat, simetris, rambut rontok ada, deformitas tidak ada, perdarahan temporal

tidak ada, dan nyeri tekan tidak ada.

Mata

Eksopthalmus dan Endopthalmus tidak ada, edema palpebra tidak ada, conjungtiva

palpebra kedua mata pucat tidak ada, sklera ikterik tidak ada, pupil isokor, refleks

cahaya baik, penglihatan kabur pada kedua mata tidak ada, gerakan bola mata ke

segala arah dan simetris, lapangan penglihatan baik.

Hidung

Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang perabaan baik. Selaput

lendir dalam batas normal. Tidak ditemukan adanya penyumbatan dan perdarahan.

Pernapasan cuping hidung tidak ada.

Telinga

Tophi tidak ada, pada liang telinga tidak ada kelainan, nyeri tekan proc.mastoideus

tidak ada, selaput pendengaran tidak ada kelainan, pendengaran baik.

Mulut

Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah tidak ada, atrofi papil tidak ada, gusi

berdarah tidak ada, stomatitis tidak ada, rhagaden tidak ada, bau pernapasan yang

khas tidak ada.

Leher

Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada, pembesaran kelenjar tiroid tidak ada,

JVP (5+2) cm H2O, hipertrofi m.sternocleidomastoideus tidak dijumpai

4

Page 5: Case Thd Dekompensata

Dada

Bentuk thorax`normal simetris kanan dan kiri, sela iga tidak melebar, retraksi

dinding thorax tidak ada, ginekomastia tidak ada, tidak ditemukan venectasis dan

spider nevi.

Paru-paru

Inspeksi : Statis, dinamis simetris

Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri

Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi basah halus (+) di kedua basal

paru, wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis sulit dinilai

Palpasi : Ictus cordis sulit dinilai, thrill (+)

Perkusi : Batas atas jantung ICS III, kanan linea mid clavicula dextra, kiri

linea axillaris anterior sinistra

Auskultasi : HR: 168x/m,irreguler, Murmur (+) sistolik di semua katup grade

IV/6, gallop (-).

Abdomen

Inspeksi : Cembung

Palpasi : tegang, NT (-), Hepar teraba 4 jari dibawah arcus costae, lien

tidak teraba, nyeri tekan (+) epigastrium

Perkusi : Shifting Dullness (+)

Auskultasi : Bising Usus (+) Normal

Ekstremitas Atas

Kedua ekstremitas atas tampak pucat tidak ada, palmar eritema tidak ada, nyeri otot

dan sendi tidak ada, gerakan kesegala arah, kekuatan +5, refleks fisiologis normal,

5

Page 6: Case Thd Dekompensata

refleks patologis tidak ada, jari tabuh tidak ada, eutoni, eutropi, tremor tidak ada,

edema ada pada kedua lengan dan tangan tidak ada, telapak tangan hangat.

Ekstremitas Bawah

Kedua ekstremitas bawah tidak tampak pucat, nyeri otot dan sendi tidak ada,

kekuatan +5, refleks fisiologis normal, refleks patologis tidak ada, eutoni, eutrophi,

varices tidak dijumpai, jaringan parut ada, pigmentasi dalam batas normal, jari tabuh

tidak ada, turgor cukup, edema pretibial (+).

Alat Kelamin

Tidak diperiksa

Skor Farmingham untuk pasien ini :

Kriteria Mayor

Paroxysmal nocturnal dyspneu (+)

Distensi vena leher (+)

Ronkhi paru (+)

Kardiomegali (+)

Edema paru akut (-)

Gallop S3 (-)

Peninggian tekanan vena jugularis (+)

Refluks hepatojugular (-)

Kriteria Minor

Edema ekstremitas (-)

Batuk malam hari (+)

Dispneu d’effort (+)

Hepatomegali (+)

Efusi pleura (+)

Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal (-)

Takikardi (>120 x/menit) (+)

6

Page 7: Case Thd Dekompensata

Indeks Wayne pada pasien ini:

Gejala subjektif:

Dispneu d’effrort (+1)

Palpitasi (+2)

Capai/lelah (+2)

Suka dingin (+5)

Keringat banyak (+3)

Nafsu makan (-) (-3)

BB(-) (+3)

Gejala Objektif:

Struma (tiroid teraba)tidak ada (-3)

Bruit tiroid tidak ada (-2)

Eksophtalmus tidak ada (0)

Gerakan hiperkinetis ada (+4)

Lid lag tidak ada (0)

Lid traction tidak ada (0)

Telapak tangan hangat (+2)

Fibrilasi atrium (+4)

Nadi >90x/m (+3)

Jumlah indeks wayne : 21

Kesimpulan: hipertiroid

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Hematologi (25 Februari 2011)

Hb : 10,9 g/dl (normal : 12 – 16 g/dl)

Leukosit : 8600 / mm3 (normal : 5000-10000/mm3)

LED : 50 mm/jam (normal : < 15 mm/jam)

Trombosit : 156.000/mm3 (normal : 200.000-500.000/mm3)

7

Page 8: Case Thd Dekompensata

Hitung Jenis

Basofil : 0 (normal : 0-1 %)

Eosinofil : 0 (normal : 1-3%)

Batang : 1 (normal : 2-6%)

Segmen : 90 (normal : 50-70%)

Limfosit : 7 (normal : 20-40%)

Monosit : 2 (normal : 2-8%)

Kimia Klinik (25 Februari 2011)

BSS : 109 mg/dl

Ureum : 59 mg/dl (normal : 15-39 mg/dl)

Creatinin : 1.1 mg/dl (normal : 0.6-1.0 mg/dl)

Cholesterol total : 68mg/dl (normal : < 200 mg/dl)

HDL : 36 mg/dl (normal : > 65 mg/dl)

LDL : 24 mg/dl (normal : < 130 mg/dl)

Triglycerida : 40 mg/dl (normal : < 150 mg/dl)

Protein Total : 6,1 g/dl (normal : 6.0-7.8 g/dl)

Albumin : 3,1 g/dl (normal : 3.5-5.0 g/dl)

Globulin : 3,0 g/dl

Na+ : 136 mmol/l (normal : 135-155 mmol/l)

K+ : 3,6 mmol/l (normal : 3.5-5.5 mmol/l)

T3 : 0,757 (N= 1,3 – 3,10)

T4 : 88,37 (N= 66,00 – 181)

TSH : 0,632 (N= 0,270 – 4,20)

8

Page 9: Case Thd Dekompensata

EKG ( 24 Februari 2011)

Irama AF, axis kanan, HR= 168x/m, QRS complex 0,10 detik, R/S V1 > 1, SV1 + RV5/6

< 35, STchange (-)

Kesan : AF rapid ventikular respon + RBBB inkomplete

Rontgen thorax PA No 2411 (24 Februari 2011)

- Kondisi foto baik

- Trakea di tengah

- Simetris

- Tulang-tulang baik

- Sela iga tidak melebar

- CTR> 50%

- Sudut costofrenicus tajam

- Diafragma tenting(-)

- Parenkim paru : Kerley line (-)

9

Page 10: Case Thd Dekompensata

Kesan: kardiomegali

2.5 Resume

± 4 tahun SMRS, os mengeluh sering berdebar-debar. Os juga mengeluh mudah

lelah dan sesak bila melakukan aktivitas, sering berkeringat banyak, dan nafsu makan

yang meningkat tetapi berat badan os menurun. Os lebih suka berada ditempat yang

dingin karena os mudah berkeringat. Tangan os selalu lembab dan hangat, os juga

merasa sering gemetar pada tangan. Os mengeluh sering diare. BAK tidak ada

keluhan. Os tidak berobat.

± 3 tahun SRMS os mengeluh sesak napas, sesak dipengaruhi aktifitas bila

beraktivitas sehari-hari dan saat berjalan ke kamar mandi. Sesak tidak dipengaruhi

cuaca. Sesak berkurang bila istirahat. Os juga sering terbangun di malam hari karena

sesak. Os lebih nyaman tidur menggunakan 3 bantal. Os juga mengeluh mudah lelah

dan mudah berkeringat. Nyeri dada (-), dada berdebar-debar (+) tidak teratur, batuk

(-), dahak (-), demam (-), mual (-), muntah (-), sembab pada kedua tungkai (+), nyeri

sendi (-).BAB dan BAK tidak ada keluhan. Os lalu berobat ke RSMH dan dirawat.

Os dikatakan sakit jantung dan tiroid. Os pulang dengan perbaikan dan kontrol ke

poli RSMH secara teratur. Os mengkonsumsi obat captropil, digoxin, aspilet,

omeprazol dan spironolakton secara teratur.

± 1 minggu SMRS os mengeluh sudah tidak kuat berjalan lagi karena sesak napas,

sesak berkurang bila os istirahat, os juga sering terbangun di malam hari karena

sesak dan sesak berkurang bila os duduk,. Os lebih nyaman tidur menggunakan 3

bantal . Sesak dipengaruhi cuaca (-), batuk (+), dahak (-), demam (-), mual (-),

muntah (-), nyeri ulu hati (-), sembab pada kelopak mata di pagi hari (-), sembab

pada kaki (+), BAB dan BAK tidak ada keluhan.

± 6 jam SMRS os mengeluh sesak napas makin hebat, sesak saat istirahat, sesak

tidak dipengaruhi aktifitas dan cuaca. Os sulit tidur karena sesak. Os lebih nyaman

dengan posisi ½ duduk. Batuk (+), dahak (-) demam (+) hilang timbul, menggigil

(+).mual (-), muntah (-), sembab pada mata (-), sembab pada kedua tungkai (+),

sembab juga bertambah ke perut, BAB dan BAK tidak ada keluhan. Kemudian os

berobat ke poliklinik RSMH dan dirawat.

10

Page 11: Case Thd Dekompensata

Os mengaku ada riwayat darah tinggi dan sakit jantung sejak tahun 2008 dan os

kontrol teratur ke poli jantung RSMH. Os menyangkal adanya riwayat kencing

manis. Os juga menyangkal adanya penyakit dengan gejala yang sama dalam

keluarganya.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa keadaan umum tampak sakit sedang,

tekanan darah 100/700 mmHg, nadi 128 x/m irreguler isi dan tegangan cukup,

frekuensi pernapasan 40 x/m, suhu 36.5ºC. Pada pemeriksaan paru ditemukan adanya

ronkhi basah halus di kedua basal paru dan pada pemeriksaan jantung didapatkan

batas jantung membesar yaitu batas jantung kanan linea mid clavicula dextra, kiri

pada linea axillaris anterior sinistra dan pada auskultasi didapat heart rate yang

168x/m dimana hal ini tidak sama dengan denyut nadinya. Pada pemeriksaan

abdomen didapatkan pada inspeksi tampak datar, pada palpasi ditemukan adanya

nyeri tekan epigastrium, hepar teraba 4 jari dibawah arcus costae dan lien tidak

teraba, pada perkusi ditemukan adanya shifting dullness.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 10,9 g/dl, Leukosit 8600/mm3,

LED 50 mm/jam, Trombosit 156.000/mm3 , hitung jenis 0/0/1/90/7/2, BSS : 109

mg/dl, Kolesterol total 68 mg/dl, HDL kolesterol 36 mg/dl, LDL kolesterol 24 mg/dl,

Trigliserida 114 mg/dl, Ureum 59 mg/dl, Creatinin 1.1 mg/dl, Protein total 6.1 mg/dl,

Albumin 3.1 g/dl, Globulin 3.0 g/dl, Na+ 136 mmol/l, K+ 3.6 mmol/l.

Pada pemeriksaan EKG didapatkan AF rapid ventikular respon + RBBB

inkomplete. Pada rontgen thorax didapatkan kardiomegali.

2.6 Diagnosa Sementara

THD dekompensata + AF rapid ventrikular respon + hipoalbuminemia

2.7 Diagnosa Banding

CHF e.c RHD + AF rapid ventrikular respon + hipoalbuminemia

2.8 Penatalaksanaan

- Istirahat posisi ½ duduk

- Diet Jantung II

11

Page 12: Case Thd Dekompensata

- O2 3 L/menit

- IVFD D5% gtt X/menit mikro

- Furosemid 1 x 40 mg tablet

- Digoxin 1x0.25 mg

- Acetosal 1x 100mg

- Laxadine syr 3x1c

- Ambroxol 3x 1c

- Pasang kateter + balance cairan

2.9 Rencana Pemeriksaan

- ECG ulang

- Echocardiograhy

2.10 Prognosis

Quo ad vitam : dubia

Quo ad functionam : dubia ad malam

12

Page 13: Case Thd Dekompensata

FOLLOW UP

25 Februari 2011

S : Sesak napas berkurang

O : Keadaan Umum

Sensorium

Tekanan Darah

Nadi

Frekuensi Pernapasan

Temperatur

Keadaan Spesifik

Kepala

Leher

Thorax

Abdomen

Ekstremitas

Compos Mentis

80/60 mmHg

120 x/m irreguler

36x / m

36.8ºC

Palpebra conjungtiva pucat (-), Sklera ikterik (-)

JVP (5+2) cm H2O, Pembesaran KGB (-)

Cor :

HR : 130x/m irreguler, M (+) sistolik di semua katup

grade IV/6, G(-)

Pulmo :

Vesikuler (+) normal, Ronkhi Basah Halus (+) di kedua

basal paru, Wheezing (-)

Datar , Shifting dullness (+), hepar teraba 4 jari di bawah

arcus costae, lien tidak teraba, Nyeri tekan (-), Bising

usus (+) normal

Edema pretibial (+) minimal

Urin out put: 700 ml

Balance cairan: -180

13

Page 14: Case Thd Dekompensata

EKG

A : THD dekompensata + syok kardiogenik+ AF rapid

ventrikular respon+ hipoalbuminemia

P : - Istirahat ½ duduk

- Diet Jantung II

- O2 3 L/menit

- IVFD D5% + dobutamin gtt X/menit mikro titrasi

- IVFD D5% + dopamin gtt X/menit mikro

- Furosemid 1 x 40 mg tab, bila TD > 100mmHg

- Digoxin 1x0.25 mg

- Acetosal 1x 100mg

- Laxadine syr 3x1 c

- Ambroxol 3x C5

- Balance cairan

Rencana :

- ECG perhari

- Echocardiography

26 Februari 2011

S : Sesak napas berkurang

O : Keadaan Umum

Sensorium

Tekanan Darah

Nadi

Frekuensi Pernapasan

Temperatur

Compos Mentis

110/70 mmHg

107 x/m irreguler

28x / m

36.6ºC

14

Page 15: Case Thd Dekompensata

Keadaan Spesifik

Kepala

Leher

Thorax

Abdomen

Ekstremitas

EKG

Echocardiography

Palpebra conjungtiva pucat (-), Sklera ikterik (-)

JVP (5+2) cm H2O, Pembesaran KGB (-)

Cor :

HR : 128x/m irreguler, M (+) sistolik semua katup

grade IV/6, G(-)

Pulmo :

Vesikuler (+) normal, Ronkhi Basah Halus (+) di

kedua basal paru, Wheezing (-)

Datar , Shifting dullness (+), hepar teraba 2 jari di

bawah arcus costae, lien tidak teraba, Nyeri tekan

(-), Bising usus (+) normal

Edema pretibial (-)

Urin output: 1500 ml

Balance cairan: -780

- dimensi ruang jantung abnormal, RA, RV dilatasi

- LVH (-)

- LV function normal (EF 74,5%)

- LV diastolik function abnormal (restriktif)

- global wall motion (GWMA) (-)

- tricuspid valve uncoaptasi

- PH severe

- AR moderate, PR moderate

Kesan = pulmonal hipertensi severe

15

Page 16: Case Thd Dekompensata

A : Fs NYHA III post syok kardiogenik + AF rapid

ventrikular respon + hipoalbuminemia

P : - Istirahat ½ duduk

- Diet Jantung II

- O2 3 L/menit

- IVFD D5% gtt X/menit mikro

- Furosemid 1 x 40 mg tablet

- Digoxin 1x0.25 mg

- Laxadine syr 3x1 c

- Ambroxol 3x 1c

Daftar Pengawasan Cairan

Tanggal Intake (ml) Output (ml) Selisi

h

Berat

Badan

Lingkar

PerutMakan Minum IVF

D

BAB BAK CWL

25-2-2011 200 200 700 100 700 480 -180 48 kg 40 cm

26-2-2011 100 500 700 100 1500 480 -780 48 kg 40 cm

16

Page 17: Case Thd Dekompensata

BAB III

GAGAL JANTUNG KONGESTIF

III.1 Definisi Gagal Jantung Kongestif

Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala)

ditandai dengan sesak nafas dan fatique (saat istirahat atau aktifitas) yang disebabkan

oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.1 Ada juga sumber yang mengatakan bahwa

gagal jantung adalah penyakit di mana aksi pemompaan jantung menjadi kurang kuat,

seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Artinya, jantung tidak memompa darah

sebagaimana mestinya. Ketika ini terjadi, darah tidak bergerak efisien melalui sistem

peredaran darah dan mulai membuat cadangan, meningkatkan tekanan di dalam

pembuluh darah dan memaksa cairan dari pembuluh darah ke jaringan tubuh.2

III.2 Epidemiologi Gagal Jantung Kongestif

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Di negara

berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit

jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Penyakit katup

sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, yaitu penyakit katup

regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi

aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload)

sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan

afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung

dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi

ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal

jantung seringkali timbul bersamaan. 1

Gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada usia lanjut. Salah satu

penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada 1% dari penduduk usia 50

tahun, sekitar 5% dari mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25% dari mereka yang

berusia 85 tahun atau lebih. Karena jumlah orang tua terus meningkat, jumlah orang yang

didiagnosis dengan kondisi ini akan terus meningkat. Di Amerika Serikat, hampir 5 juta

orang telah didiagnosis gagal jantung dan ada sekitar 550.000 kasus baru setiap tahunnya.

17

Page 18: Case Thd Dekompensata

Kondisi ini lebih umum di antara Amerika Afrika dari kulit putih. 4 Hal ini menunjukkan

adanya keterkaitan antara usia dan gagal jantung kongestif.

Selain usia, insidensi gagal jantung kongestif juga dipengaruhi oleh faktor lain.

Salah satunya, insidensi gagal jantung kongestif digolongkan berdasarkan jenis kelamin.

Dari survei registrasi rumah sakit didapatkan angka perawatan di rumah sakit, dengan

angka kejadian 4.7% pada perempuan dan 5.1% pada laki-laki.3

Kualitas dan kelangsungan hidup penderita gagal jantung kongestif sangat

dipengaruhi oleh diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Oleh karena itu, prognosis

pada penderita gagal jantung kongestif bervariasi pada tiap penderita. Berdasarkan salah

satu penelitian, angka kematian akibat gagal jantung adalah sekitar 10% setelah 1 tahun.

Sekitar setengah dari mereka dengan gagal jantung kongestif mati dalam waktu 5 tahun

setelah diagnosis mereka.6 Sumber lain mengatakan bahwa seperdua dari pasien gagal

jantung kongestif meninggal dalam waktu 4 tahun setelah didiagnosis, dan terdapat lebih

dari 50% penderita gagal jantung kongestif berat meninggal dalam tahun pertama.5

III.3 Patofisiologi Gagal Jantung Kongestif

Sindrom gagal jantung kongestif timbul sebagai konsekuensi dari adanya

abnormalitas struktur, fungsi, irama, ataupun konduksi jantung. Di negara-negara maju,

disfungsi ventrikel merupakan penyebab mayor dari kasus ini. Penyakit katup

degeneratif, kardiomiopati idiopatik, dan kardiomiopati alkoholik juga merupakan

penyebab terjadinya gagal jantung kongestif. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,

gagal jantung lebih sering terjadi pada usia tua yang memiliki kondisi komorbid,

misalnya angina, hipertensi, diabetes, dan penyakit paru kronis.2

Faktor-faktor komorbid tersebut menyebabkan mekanisme kompensasi sehingga

terjadi gagal jantung. Mekanisme kompensasi yang dapat terjadi antara lain adalah

mekanisme kompensasi pada jantung, syaraf otonom, dan hormon. Pada jantung, dapat

terjadi mekanisme Frank Starling, hipertrofi dan dilatasi ventrikel, dan takikardi. Pada

syaraf otonom, terjadi peningkatan aktifitas syaraf simpatis. Sedangkan pada mekanisme

kompensasi yang terjadi pada hormon adalah berupa sistem renin-angiotensi-aldosteron,

vasopressin, dan natriuretik peptida.6

18

Page 19: Case Thd Dekompensata

III.3.1 Mekanisme Kompensasi pada Jantung

Secara keseluruhan, perubahan yang terjadi pada fungsi jantung yang

berhubungan dengan gagal jantung dapat menurunkan daya kontraktilitas.6 Ketika terjadi

penurunan daya kontraktilitas, jantung berkompensasi dengan adanya kontraksi paksaan

yang kemudian dapat meningkatkan cardiac output. Pada gagal jantung kongestif,

kompensasi ini gagal terjadi sehingga kontraksi jantung menjadi kurang efisien. Hal ini

menyebabkan terjadinya penurunan stroke volume yang kemudian menyebabkan

peningkatan denyut jantung untuk dapat mempertahankan cardiac output. Peningkatan

denyut jantung ini lama-kelamaan berkompensasi dengan terjadinya hipertrofi

miokardium, yang disebabkan peningkatan diferensiasi serat otot jantung untuk

mempertahankan kontaktilitas jantung. Jika dengan hipertrofi miokardium, jantung masih

belum dapat mencapai stroke volume yang cukup bagi tubuh, terjadi suatu kompensasi

terminal berupa peningkatan volume ventrikel.7

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, penurunan cardiac output dapat

menyebabkan penurunan stroke volume yang menunjukkan adanya disfungsi sistolik,

disfungsi diastolic, atau kombinasi dari keduanya. Disfungsi sistolik disebabkan oleh

hilangnya kontraktilitas intrinsik, atau adanya suatu infark miokard akut yang

menyebabkan hilangnya viabilitas otot jantung untuk berkontraksi.6 Hal ini tergantung

pada dua faktor, yaitu elastisitas dan distensibilitas ventrikel kiri, yang merupakan

fenomena pasif dan suatu proses relaksasi miokardium yang terjadi pada saat awal

diastolik. Hilangnya distensibilitas atau relaksasi ventrikel kiri karena adanya perubahan

struktur (contohnya hipertrofi ventrikel kiri) atau perubahan fungsi (contohnya iskemia)

dapat mengganggu pengisian ventrikel (preload).8

Preload seringkali menunjukkan adanya suatu tekanan diastolic akhir atau

volume pada ventrikel kiri dan secara klinis dinilai dengan mengukur tekanan atrium

kanan. Walaupun demikian, preload tidak hanya tergantung pada volume intravascular,

tetapi juga dipengaruhi oleh keterbatasan pengisian ventrikel. Pompa otot jantung akan

memberikan respon pada volume output. Jika volume meningkat, maka jumlah darah

19

Page 20: Case Thd Dekompensata

yang mampu dipompa oleh otot jantung secara fisiologis juga akan meningkat, hubungan

ini sesuai dengan hukum Frank-Starling.8

Variabilitas kedua pada stroke volume adalah kontraktilitas otot jantung yang

menunjukkan pompa otot jantung dan biasanya dapat dilihat sebagai ejeksi fraksi. Sesuai

dengan input otonom, jantung akan merespon preload yang sama dengan stroke volume

yang berbeda. Jantung dengan fungsi sistolik normal akan mempertahankan ejeksi fraksi

sekitar 50-55%. Infark miokard dapat menyebabkan adanya miokardium yang

nonfungsional yang akan merusak kontraktilitas. Tolak ukur akhir pada stroke volume

adalah afterload. Afterload adalah volume darah yang dipompa oleh otot jantung, yang

biasanya dapat dilihat dari tekanan arteri rata-rata. Afterload tidak hanya menunjukkan

resistensi vascular tetapi juga menunjukkan tekanan dinding thoraks dan intrathoraks

yang harus dilawan oleh miokardium. Ketiga variabel ini terganggu pada pasien gagal

jantung kongestif. Gagalnya jantung pada gagal jantung kongestif dapat dievaluasi

dengan menilai ketiga variabel tersebut. Jika cardiac output turun, maka denyut jantung

dan stroke volume akan berubah untuk mempertahankan perfusi jaringan. Jika stroke

volume tidak dapat dipertahankan, denyut jantung ditingkatkan untuk mempertahankan

cardiac output.8

Seperti disfungsi sistolik, disfungsi diastolik juga menghasilkan peningkatan

tekanan diastolik ventrikel, yang merupakan suatu mekanisme kompensasi untuk

mempertahankan stroke volume. Disfungsi diastolic menunjukkan berkurangnya

kemampuan ventrikel untuk mengisi ruangnya pada saat diastolik.11 Selain itu, adanya

intoleransi aktifitas menunjukkan adanya disfungsi diastolik yang disebabkan oleh

adanya gangguan pada pengisian ventrikel yang meningkatkan tekanan atrium kiri dan

vena pulmonal sehingga menyebabkan bendungan pulmonal. Selain itu, cardiac output

yang tidak adekuat selama aktifitas dapat menyebabkan berkurangnya perfusi otot

skeletal, khususnya pada otot kaki dan otot pernafasan aksesorius.8

Walaupun demikian, patofisiologi pada gagal jantung kongestif bukan hanya

meliputi abnormalitas struktural, tetapi juga meliputi respon kardiovaskular pada perfusi

jaringan yang buruk dengan aktivasi sistem neurohormonal. Aktivasi sistem rennin-

angiotensin ditujukan untuk meningkatkan preload dengan meningkatkan retensi air dan

garam, meningkatkan vasokonstriksi, dan mempertahankan kontraktilitas otot jantung.

20

Page 21: Case Thd Dekompensata

Awalnya, respon ini mampu mempertahankan preload, namun aktivasi yang memanjang

mampu menurunkan miosit dan mengubah matriks maladaptive. Miokardium akan

mengalami remodeling dan dilatasi. Proses ini akan mengganggu fungsi paru-paru, ginjal,

otot, pembuluh darah, dan mungkin juga organ lain. Remodeling ini juga dapat

menyebabkan dekompensasi jantung, meliputi regurgitasi mitral karena adanya

peregangan annulus katup mitral, dan aritmia jantung karena adanya remodelling otot

atrium.8 Sehingga, dapat terjadi mekanisme kompensasi lain yang terjadi pada gagal

jantung seperti pada syaraf otonom dan hormon.6

III.3.2 Mekanisme Kompensasi pada Syaraf Otonom dan Hormon

Respon neurohormonal meliputi aktivasi syaraf simpatis dan sistem renin-

angiotensin, dan peningkatan pelepasan hormon antidiuretik (vasopressin) dan peptida

natriuretik atrium.11 Sistem syaraf simpatis dan renin-angiotensin adalah respon mayor

yang dapat terjadi. Secara bersamaan, kedua sistem ini menyebabkan vasokonstriksi

sistemik, takikardi, meningkatkan kontraktilitas miokardium, dan retensi air dan garam

untuk mempertahankan tekanan darah sehingga perfusi jaringan menjadi lebih adekuat.

Namun jika berlangsung lama, hal ini dapat menurunkan cardiac output dengan

meningkatkan resistensi vaskular sistemik. Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas

miokardium dapat meningkatkan konsumsi oksigen. Retensi air dan garam dapat

menyebabkan kongesti vena.9

Selain itu, faktor neurohormonal lain yang berperan dalam gagal jantung

kongestif adalah sistem renin-angiotensin. Penurunan tekanan perfusi ginjal dideteksi

oleh reseptor sensorik pada arteriol ginjal sehingga terjadi pelepasan renin dari ginjal. Hal

ini dapat meningkatkan tekanan filtrasi hidraulik glomerulus yang disebabkan oleh

penurunan tekanan perfusi pada ginjal. Angiotensin II akan menstimulasi sintesis

aldosteron, yang akan menyebabkan retensi air dan garam pada ginjal. Awalnya,

kompensasi ini merupakan usaha tubuh untuk mempertahankan perfusi sistemik dan

ginjal. Namun, aktivasi yang lama pada sistem ini dapat menyebabkan edema,

peningkatan tekanan vena pulmonal, dan peningkatan afterload. Hal ini dapat

memperberat kondisi gagal jantung.10

21

Page 22: Case Thd Dekompensata

Selama gagal jantung, mekanisme neurohormonal lain yang dapat terjadi adalah

aktifitas simpatis yang dapat meningkatkan pelepasan vasopressin dan renin. Untungnya,

digitalis dapat menurunkan aktifitas simpatis dengan aktivasi tekanan baroreseptor yang

rendah maupun yang tinggi. Aktivasi neuroendokrin dapat meningkatkan pelepasan

neurohormonal sistemik, seperti norepinephrin, vasopressin, dan peptida natriuretik

atrium. Norepinephrin dapat meningkatkan afterload dengan vasokonstriksi sistemik dan

peningkatan kronotropik dan inotropik dengan stimulasi langsung pada miosit kardiak.

Stimulasi ini menyebabkan progresifitas kerusakan miosit. Selain itu, peningkatan

aktifitas norepinephrin dapat meningkatkan resiko terhadap aritmia ventrikel dan

kematian mendadak. Level norepinephrin plasma dalam sirkulasi dapat berkorelasi

negatif terhadap prognosis dan gejala gagal jantung kongestif.10

Mediator sistemik lainnya yang dapat dikenali adalah peningkatan konsentrasi

endothelin sistemik yang dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer dan kemudian

menyebabkan hipertrofi miosit dan terjadilah remodelling. Peptida natriuretik pada

atrium dan otak yang dilepaskan dari atrium dapat menyebabkan peningkatan tekanan

atrium. Peningkatan ini berkorelasi positif dengan tingginya angka mortalitas dan aritmia

ventrikel, walaupun korelasi ini tidak sekuat korelasi yang ditimbulkan oleh peningkatan

level norepinephrin plasma.10

Efek respon neurohormonal ini menyebabkan adanya vasokonstriksi (untuk

mempertahankan tekanan arteri), kontraksi vena (untuk meningkatkan tekanan vena), dan

meningkatkan volume darah. Umumnya, respon neurohormonal ini dapat dilihat dari

mekanisme kompensasi, tetapi dapat juga meningkatkan afterload pada ventrikel (yang

menurunkan stroke volume) dan meningkatkan preload sehingga menyebabkan edema

dan kongesti pulmonal ataupun sistemik. Ada juga teori yang menyatakan bahwa faktor

lain yang dapat terjadi pada gagal jantung kongestif ini adalah nitrit oksida dan endotelin

(keduanya dapat meningkat pada kondisi gagal jantung) yang juga berperan dalam

patogenesis gagal jantung.6

Penurunan cardiac output berhubungan dengan perubahan fungsi pembuluh darah

pulmonal dan sistemik, juga fungsi ginjal. Perubahan ini terjadi sebagai hasil dari

penurunan perfusi organ dan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal. Aktivasi

22

Page 23: Case Thd Dekompensata

neurohormonal ini sangat penting dalam mekanisme kompensasi gagal jantung kongestif

karena hal ini dapat mempertahankan tekanan arteri.6

III.4 Klasifikasi Gagal Jantung Kongestif

Gagal jantung kongestif dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor.

Berdasarkan tipe gangguannya, gagal jantung diklasifikasikan menjadi gagal jantung

sistolik dan diastolik. Berdasarkan letak jantung yang mengalami gagal, gagal jantung

kongestif diklasifikasikan sebagai gagal jantung kanan dan kiri. Sedangkan berdasarkan

gejalanya, gagal jantung dibagi menjadi NYHA I, NYHA II, NYHA III, dan NYHA IV.11

Lebih jauh lagi, jika ditinjau dari gejalanya, gagal jantung kongestif dapat dibagi

menjadi gagal jantung kongestif NYHA I sampai dengan NYHA IV. Pasien tanpa gejala

digolongkan sebagai NYHA I. Sedangkan NYHA II meliputi pasien dengan gejala pada

saat berakfitas berat. Jika dengan beraktifitas ringan pasien sudah menunjukkan gejala,

pasien digolongka sebagai NYHA III. NYHA IV merupakan klasifikasi gagal jantung

kongestif yang berhubungan dengan gejala yang timbul pada saat istirahat.11

III.5 Kriteria Diagnosis Gagal Jantung Kongestif1

Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif.

Kriteria diagnosis ini meliputi kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor terdiri dari

beberapa tanda klinis, antara lain:

1. Paroksismal nokturnal dispnea

2. Distensi vena leher

3. Ronki paru

4. Kardiomegali

5. Edema paru akut

6. Gallop S3

7. Peningkatan tekanan vena jugularis

8. Refluks hepatojugular

Kriteria minor

Kriteria minor terdiri dari beberapa gejala, antara lain:

23

Page 24: Case Thd Dekompensata

1. Edema ekstremitas

2. Batuk malam hari

3. Dispnea d’effort

4. Hepatomegali

5. Efusi pleura

6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

7. Takikardia (lebih dari 120 kali per menit)

Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1 kriteria

mayor dan 2 kriteria minor.

III.6. Penyakit Jantung Tiroid

Hipertiroid merupakan keadaan klinis akibat dari produksi T4, T3 atau keduanya.

Penyebab terbanyak adalah struma difus toksik (penyakit Grave). Etiologinya belum

diketahui, kelebihan produksi T3 dan T4 diduga karena IgG autoantibody berikatan

dengan reseptor tirotropin pada kelenjar tiroid. Penyebab terbanyak kedua hipertiroid

adalah struma nodusa toxic, suatu keadaan di mana daerah yang terlokalisir pada kelenjar

dan otonomi.1

Hipertiroid lebih sering mengenai 4-8 kali pada perempuan disbanding pria,

dengan insiden terbanyak pada decade ke tiga atau keempat. Gejala yang sering

ditemukan adalah kelelahan, hiperaktif, insomnia, kepanasan, palpitasi, sesak nafas, nafsu

makan meningkat, berat badan turun, nokturia, diare, oligomenorrhea, kelemahan otot,

tremor, emosi labil, denyut jantung meningkat, hipertensi sistolik, hipertermia, kulit

lembab dan hangat, kelopak mata turun, dan reflek halus. Serum T4 meningkat dan serum

TSH rendah.1

Manifestasi klinis kardiovaskular hipertiroidisme adalah palpitasi biasanya

merupakan salah satu keluhan awal pasien umtuk pergi berobat ke dokter. Diasamping itu

dapat berupa hipertensi sistolik, kelelahan atau dengan dasar penyakit jantung yang sudah

ada, angina atau gagal jantung. Sinus takikardia dijumpai pada 40% pasien dan 15%

dengan fibrilasi atrial pada pasien hipertiroid. Dapat dijumpai gambaran hiperdinamik

pada prekordial, peningkatan tekanan nadi, intensitas suara jantung pertama, suara

jantung ke dua komponen pulmonal, suara jantung ketiga meningkat. Hipertiroid

24

Page 25: Case Thd Dekompensata

meningkatkan insidensi prolaps katup mitral, dan beberapa kasus dapat didengar mid

diastolic murmur yang baik terdengar pada batas sterna kiri dengan atau tanpa sistolik

klik ejeksi.1

III. 7 Penatalaksanaan

III. 7. 1 Penatalaksanaan Nonfarmakologis

Jika tidak terdapat faktor penyebab yang dapat diobati, penatalaksanaan medis

adalah dengan mengubah gaya hidup dan pengobatan medis. Perubahan gaya hidup

ditujukan untuk kesehatan penderita dan untuk mengurangi gejalanya, memperlambat

progresifitas gagal jantung kongestif, dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Hal ini

berdasarkan rekomendasi American Heart Association dan organisasi jantung lainnya.4

1. Konsumsi alkohol

Alkohol merupakan miokardial depresan pada penderita gagal jantung kongestif.

Angka rawat inap pada penderita gagal jantung kongestif berulang lebih sedikit pada

penderita yang tidak mengkonsumsi alkohol. Satu unit alkohol mengandung 8 gram atau

10 mililiter etanol. Jumlah alcohol per unitnya dapat dihitung dengan mengalikan volume

alcohol yang dikonsumsi dan persentase alcohol.

Konsumsi alkohol dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kardiomiopati

khususnya pada laki-laki dan usia 40 ke atas. Walaupun jumlah alkohol yang dapat

menyebabkan kardiomiopati tidak dapat ditegaskan, namun konsumsi alcohol lebih dari

11 unit per hari lebih dari 5 tahun dapat menjadi faktor resiko terjadinya kardiomiopati.

Semua penderita gagal jantung kongestif harus diberikan masukan untuk menghindari

konsumsi alkohol.

2. Merokok

Tidak ada penelitian prospektif yang menunjukkan adanya efek merokok terhadap

gagal jantung kongestif. Namun, merokok dapat memperburuk keadaan gagal jantung

kongestif pada beberapa kasus. Dengan demikian, penderita dengan gagal jantung

kongestif harus menghindari rokok.

3. Aktifitas fisik

Rekomendasi terhadap aktifitas fisik pada penderita gagal jantung kongestif

masih kontroversi. Namun, berjalan selama 6 menit dapat memperbaiki kondisi klinis

25

Page 26: Case Thd Dekompensata

penderita gagal jantung kongestif. Aktifitas berjalan dapat ditoleransi dengan baik oleh

penderita gagal jantung kongestif yang stabil. Pada salah satu penelitian, dibuktikan

bahwa penderita gagal jantung kongestif yang melakukan aktifitas fisik memberikan

outcome yang lebih baik daripada penderita gagal jantung kongestif yang hanya

ditatalaksana seperti biasa. Penderita gagal jantung kongestif yang sudah stabil perlu

dilakukan motivasi untuk dapat melakukan aktifitas fisik dengan intensitas yang rendah

secara teratur.

4. Pengaturan diet

a. Membatasi konsumsi garam dan cairan

Salah satu penelitian random dengan pemberian diet rendah garam pada penderita

gagal jantung kongestif, menunjukkan adanya penurunan yang signifikan terhadap berat

badan, namun tidak merubah klasifikasi NYHA. Namun percobaan klinis lainnya

menyatakan bahwa pembatasan terhadap garam dan air pada penderita gagal jantung

kongestif menunjukkan adanya perbaikan klinis yang signifikan dan tidak adanya edema

dan fatique pada penderita gagal jantung kongestif sehingga dapat mengubah klasifikasi

NYHA. Pembatasan konsumsi garam pada penderita gagal jantung kongestif memiliki

efek baik terhadap tekanan darah. Penderita gagal jantung kongestif harus membatasi

garam yang dikonsumsi tidak boleh lebih dari 6 gram per hari.

b. Monitor berat badan per hari

Belum ada percobaan klinis yang membuktikan adanya keterkaitan antara monitor

berat badan per hari dan penatalaksanaan gagal jantung kongestif. Namun, monitor

terhadap berat badan ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi perolehan berat badan

atau kehilangan berat badan per hari pada penderita gagal jantung kongestif.

III. 6. 2 Penatalaksanaan Farmakologis

1. Diuretik

26

Page 27: Case Thd Dekompensata

Diuretik digunakan untuk mengobati kelebihan cairan yang biasanya terjadi pada

gagal jantung kongestif. Diuretic menyebabkan ginjal mengeluarkan kelebihan garam dan

air dari aliran darah sehingga mengurangi jumlah volume darah dalam sirkulasi. Dengan

volume darah yang rendah, jantung tidak akan bekerja keras. Dalam hal ini, jumlah sel

darah merah dan sel darah putih tidak berubah.4

Diuretik bekerja dengan menghambat reabsorbsi natrium dan klorida dalam

tubulus tertentu di dalam ginjal. Bumetamide, furosemide, dan torsemide bekerja di

dalam loop of henle sehingga disebut sebagai loop diuretik. Sementara tiazid, metalosone,

dan agen hemat kalium bekerja di tubulus distal. Kedua diuretik ini memiliki aksi

farmakologis yang berbeda. Loop diuretik dapat mengeluarkan lebih banyak natrium,

sekitar 20% hingga 25%, meningkatkan pengeluaran air, dan mampu mempertahankan

efektifitasnya walaupun terdapat gangguan ginjal. Sementara itu, tiazid lebih sedikit

mengeluarkan natrium dan air, juga dapat kehilangan efektifitasnya pada kondisi gagal

ginjal.

Penggunaan diuretik ini dapat mengurangi gejala klinis berupa retensi cairan pada

pasien dengan gagal jantung kongestif. Selain itu, diuretik dapat menurunkan tekanan

vena jugular, kongesti pulmonal, dan edema perifer. Pengukuran berat badan diperlukan

untuk mengevaluasi respon tubuh terhadap pemberian diuretik. Pemberian diuretik ini

mampu mengurangi gejala dan memperbaiki fungsi jantung maupun toleransi aktifitas

terhadap penderita gagal jantung. Namun demikian, peran diuretik dalam menurunkan

angka morbiditas dan mortalitas penderita gagal jantung kongestif belum diketahui.

Diuretik dimulai dengan dosis awal yang rendah, kemudian dosis perlahan-lahan

ditingkatkan sampai output urine meningkat dan berat badan menurun, biasanya 0.5

hingga 1 kg per hari. Dosis pemeliharaan diuretik digunakan untuk mempertahankan

diuresis dan penurunan berat badan. Penggunaan diuretik ini perlu dikombinasikan

dengan pembatasan konsumsi natrium.

27

Page 28: Case Thd Dekompensata

Hasil akhir dari pengobatan ini adalah kemampuan bernafas yang membaik dan

pengurangan pembengkakan dalam tubuh penderita. Kebanyakan obat-obatan ini

cenderung akan mengeluarkan potassium dari dalam tubuh, namun beberapa obat seperti

diuretik yang mengandung triamterene atau spironolakton dapat meningkatkan level

potassium, sehingga level potassium harus diawasi dengan ketat.4

Jika terjadi ketidakseimbangan elektrolit, hal ini perlu ditatalaksana secepat

mungkin. Jika terjadi hipotensi dan azotemia sebelum penatalaksanaan diuretik selesai,

kecepatan peningkatan dosis diuretik perlu dikurangi namun tetap dilakukan

pemeliharaan dosis diuretik sampai gejala retensi cairan berkurang, selama penderita

yang mengalami hipotensi dan azotemia ini bersifat asimptomatik.

Diuretik yang biasanya digunakan pada gagal jantung meliputi furosemid,

bumetanid, hidroklortiazid, spironolakton, torsemid, atau metolazon, atau kombinasi

agen-agen tersebut. Spironolakton dan eplerenon tidak hanya merupakan diuretik ringan

jika dibandingkan dengan diuretik kuat seperti furosemid, tetapi juga jika digunakan

dalam dosis kecil dan dikombinasikan dengan ACE inhibitor akan memperpanjang

harapan hidup. Hal ini disebabkan karena kombinasi obat ini mampu mencegah

progresifitas kekakuan dan pembesaran jantung.4

2. Angiotensin Converting Enzym (ACE) inhibitor

ACE inhibitor merupakan vasodilator yang sering digunakan untuk gagal jantung

kongestif. Obat ini menghambat produksi angiotensin II yang secara abnormal tinggi

pada gagal jantung kongestif. Angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi dengan

meningkatkan kerja ventrikel kiri, dan hal ini secara langsung dapat menjadi toksik

terhadap ventrikel kiri dalam dosis yang berlebihan.4

ACE inhibitor dapat memperbaiki kondisi penderita gagal jantung kongestif,

penyakit jantung koroner, dan penyakit vaskular aterosklerosis, maupun nefropati

diabetikum. ACE inhibitor tidak hanya akan mempengaruhi sistem renin-angiotensin,

tetapi juga akan meningkatkan aksi kinin dan produksi prostaglandin. Keuntungan

penggunaan ACE inhibitor ini berupa mengurangi gejala, memperbaiki status klinis, dan

menurunkan resiko kematian pada penderita gagal jantung kongestif ringan, sedang,

maupun berat, dengan atau tanpa penyakit jantung koroner.

28

Page 29: Case Thd Dekompensata

ACE inhibitor merupakan pengobatan yang penting karena tidak hanya dapat

mengurangi gejala, tetapi juga dapat memperpanjang kemungkinan hidup penderita gagal

jantung kongestif dengan cara menghambat progresifitas kerusakan jantung dan pada

beberapa kasus dapat memperbaiki fungsi otot jantung.4 Namun demikian, ACE inhibitor

juga memiliki beberapa efek samping. Efek samping ACE inhibitor sebagai angiotensin

supresif dapat berupa hipotensi, perburukan fungsi ginjal, dan retensi kalium. Sementara

efek samping ACE inhibitor sebagai potensiasi kinin dapat berupa batuk dan

angioedema.

3. Inotropik

Inotropik bersifat simultan, seperti dobutamin dan milrinon, yang dapat

meningkatkan kemampuan pompa jantung. Hal ini digunakan sebagai pengobatan pada

kasus dimana ventrikel kiri sangat lemah dan tidak berespon terhadap pengobatan standar

gagal jantung kongestif. Salah satu contohnya adalah digoksin. Obat ini digunakan untuk

memperbaiki kemampuan jantung dalam memompakan darah. Karena obat ini

menyebabkan pompa paksa pada jantung, maka obat ini disebut sebagai inotropik positif.

Namun demikian, digoksin merupakan inotropik yang sangat lemah dan hanya digunakan

untuk terapi tambahan selain ACE inhibitor dan beta bloker.4

Walaupun sering digunakan, tidak semua penderita gagal jantung kongestif harus

diberikan digoksin karena kurang efektif dibandingkan dengan beberapa pengobatan

medikasi lainnya. Digoksin dapat mengurangi gejala setelah penggunaan vasodilator dan

diuretik, namun tidak untuk digunakan secara terus menerus. Digoksin merupakan obat

lama yang digunakan pada lebih dari 200 tahun yang lalu, yang merupakan derivat dari

tumbuhan foxglove. Obat ini juga dapat digunakan untuk mengontrol irama jantung (pada

atrial fibrilasi). Kelebihan digoksin dapat membahayakan irama jantung sehingga terjadi

aritmia. Resiko aritmia ini meningkat jika dosis digoksin berlebihan, ginjal tidak

berfungsi optimal sehingga tidak dapat mengekskresikan digoksin dari tubuh secara

optimal, atau potasium dalam tubuh yang terlalu rendah (dapat terjadi pada pemberian

diuretik).4

4. Angiotensin II reseptor blocker (ARB)

29

Page 30: Case Thd Dekompensata

Angiotensin II reseptor blocker (ARBs) bekerja dengan mencegah efek angiotensin II

di jaringan. Obat-obat ARB, misalnya antara lain candesartan, irbesartan, olmesartan,

losartan, valsartan, telmisartan, dan eprosartan. Obat-obatan ini biasanya digunakan pada

penderita gagal jantung kongestif yang tidak dapat menggunakan ACE inhibitor karena

efek sampingnya. Keduanya efektif, namun ACE inhibitor dapat digunakan lebih lama

dengan jumlah yang lebih banyak digunakan pada data percobaan klinis dan informasi

pasien.4

ACE inhibitor dan ARBs dapat menyebabkan tubuh meretensi potasium, Namun hal

ini umumnya hanya terjad pada pasien dengan gangguan ginjal, atau pada orang-orang

yang juga mengkonsumsi diuretik Hemat kalium, seperti triamterene atau spironolakton.

Calcium channel blocker merupakan vasodilator yang jarang digunakan pada pengobatan

gagal jantung karena berdasarkan percobaan klinis, tidak terbukti adanya manfaat

pemberian calcium channel blocker pada gagal jantung kongestif. Calcium channel

blocker digunakan untuk menurunkan tekanan darah jika penyebab terjadinya gagal

jantung kongestif adalah tekanan darah yang tinggi dan pada pasien yang tidak berespon

terhadap ACE inhibitor atau ARBs.4

5. Beta blocker

Beta blocker bertujuan untuk menghambat efek samping sistem syaraf simpatis pada

penderita gagal jantung kongestif. Beta blocker efektif untuk menurunkan resiko

kematian pada penderita gagal jantung kongestif. Beta blocker terbukti secara klinis dapat

mengontrol ejeksi fraksi ventrikel kiri (yang bernilai di bawah 35% hingga 45%) yang

telah diberikan diuretik dan ACE inhibitor dengan atau tanpa pemberian digitalis.

Namun, pada penderita dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat, denyut jantung yang

rendah (di bawah 65 kali/menit), atau tekanan darah sistolik yang rendah (di bawah 85

mmHg), atau pada pasien dengan NYHA IV, pemberian beta blocker tidak dianjurkan.

30

Page 31: Case Thd Dekompensata

Obat ini dapat menurunkan frekuensi denyut jantung, menurunkan tekanan darah,

dan memiliki efek langsung terhadap otot jantung sehingga menurunkan beban kerja

jantung. Reseptor beta terdapat di otot jantung dan di dalam dinding arteri. Sistem syaraf

simpatis memproduksi zat kimia yang disebut sebagai norepinefrin yang bersifat toksik

terhadap otot jantung jika digunakan dalam waktu lama dan dengan dosis yang tinggi.4

Beta bloker bekerja dengan cara menghambat aksi norepinefrin di dalam otot

jantung. Dulunya, ahli medis mengobati gagal jantung dengan menghambat norepinefrin

yang bersifat buruk dan dapat memperburuk kondisi jantung karena norepinefrin bersifat

simultan sehingga menyebabkan denyut jantung semakin kuat. Namun, percobaan klinis

telah membuktikan bahwa beta bloker dapat memperbaiki fungsi sistolik ventrikel kiri

secara bertahap sehingga dapat mengurangi gejala dan memperpanjang kehidupan.4

6. Hidralazin

Hidralazin merupakan vasodilator yang dapat digunakan pada penderita gagal

jantung kongestif namun tidak memiliki efek yang sedikit terhadap tonus vena dan

tekanan pengisian jantung. Namun efek pemberian hidralazin tunggal tanpa kombinasi

dengan obat lain terhadap gagal jantung kongestif belum dapat dibuktikan secara klinis.

Pemberian hidralazin dan isosorbid dinitrat dapat menurunkan angka kematian penderita

gagal jantung kongestif.

BAB IV

ANALISA KASUS

Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung

sehingga jantung tidak bisa memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme

jaringan. Gagal jantung terbagi menjadi gagal jantung kiri, gagal jantung kanan dan gagal

jantung kongestif, yakni gabungan gagal jantung kiri dan kanan.

Gagal jantung kiri ditandai oleh dispneu d’effort, kelelahan, orthopnea,

paroksismal nokturnal dispnea, batuk, pembesaran jantung, irama derap, bunyi derap S3

dan S4, pernapasan cheyne stokes, takikardi, ronki dan kongesti vena pulmonalis. Gagal

jantung kanan ditandai oleh adanya kelelahan, pitting edema, ascites, peningkatan

tekanan vena jugularis, hepatomegali, pembesaran jantung kanan, irama derap atrium

31

Page 32: Case Thd Dekompensata

kanan, murmur dan bunyi P2 mengeras, sedangkan gagal jantung kongestif terjadi

manifestasi gejala gabungan keduanya.

Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1

kriteria mayor dan 2 kriteria minor kriteria framingham, ditambah dengan pemeriksaan

penunjang. Kriteria framingham terbagi menjadi kriteria mayor dan kriteria minor. Yang

termasuk kriteria mayor yakni: dispneu nokturnal paroksismal atau orthopneu,

peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah tidak nyaring, kardiomegali, edema paru

akut, irama derap S3, peningkatan vena > 16 cm H2O dan refluks hepatojugular.

Sedangkan yang termasuk kriteria minor yakni: edema pergelangan kaki, batuk pada

malam hari, dispneu d’effort, hepatomegali, efusi pleura, kapasitas vital berkurang

menjadi 1/3 maksimum dan takikardi (>120x/menit). Sedangkan pada pemeriksaan

penunjang, dari hasil pemeriksaan foto rontgen toraks dapat mengarah ke kardiomegali

dengan corakan bronkovaskuler yang meningkat.

Pada pasien ini, dari hasil anamnesis didapatkan adanya sesak nafas, sesak

dipengaruhi oleh aktifitas, pasien juga sering terbangun pada malam hari karena sesak,

selain itu pasien juga lebih nyaman jika berada dalam posisi duduk. Tidak adanya

keluhan-keluhan lain seperti sakit kepala, mual, muntah, bengkak pada kelopak mata

mendukung bahwa sesak yang dialami oleh pasien berhubungan dengan jantung bukan

dari organ yang lain.

Dari riwayat penyakit terdahulu, didapatkan adanya riwayat hipertensi, sakit tiroid

dan jantung sejak tahun 2008, hal ini dapat menjadi landasan pikir bahwa kemungkinan

sesak nafas yang berhubungan dengan jantung ini disebabkan oleh hipertensi dan tiroid

yang sudah dideritanya sejak tahun 2008 tersebut. Dari hasil pemeriksaan fisik

didapatkan adanya peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah halus pada kedua

basal paru, adanya pelebaran batas jantung kiri, murmur sistolik pada katup mitral,

trikuspid dan pulmonal serta adanya ascites. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan

fisik diatas, dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis gagal

jantung kongestif, karena kriteria framingham sudah terpenuhi.

Terapi yang diberikan adalah furosemid 40 mg 1x1, pemberian diuretika ini

bertujuan untuk mengurangi edema yang ada pada pasien ini dengan mengurangi beban

awal jantung tanpa mengurangi curah jantung. Selain itu, juga diberikan digoksin 1x 0,25

32

Page 33: Case Thd Dekompensata

mg untuk memperbaiki kontraktilitas jantung dan mengurangi adanya fibrilasi atrium

hingga tercapai kondisi dimana irama ventrikelnya terkontrol. Acetosal 100 mg diberikan

sebagai antiagregasitrombus, untuk mencegah terjadinya tromboemboli yang merupakan

komplikasi tersering pada penderita fibrilasi atrium. ambroxol syr. 3x1c untuk

mengurangi batuk pasien yang bertujuan mengurangi tekanan intrathoraks dan

menurunkan kebutuhan oksigen jantung. laxadine syr. 3x1c untuk mencegah terjadinya

peningkatan tekanan intra abdomen yang dapat meningkatkan kebutuhan oksigen.

Prognosis terapi terhadap os berupa quo ad vitam dubia didasarkan pada kondisi

pasien yang cenderung tidak stabil. Quo ad functionam malam didasarkan karena adanya

kerusakan yang permanen pada jantung pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: Pusat Penerbitan

FKUI; 2006

2. Ebbersole, Hess. Prevalence of CHF in old people. Available from URL: www.e-

medicine.library.com.

3. Imam, Ali. Peringatan Hari Hipertensi 2007 di RS Jantung dan Pembuluh Darah

Harapan Kita Jakarta, Available from URL: www.puskom.depkes.com

4. O'Brien, Terrence. Congestive Heart Failure. South Carolina: Medical

University of South Carolina: 2006. Available from URL:

http://www.emedicinehealth.com/congestive_heart_failure/article_em.htm.

Diakses pada tanggal 24 Februari 2011

33

Page 34: Case Thd Dekompensata

5. Miftah, Suryadipraja. Prevalensi Congestive Hearth Failure (CHF). Available

from URL: l ibrary.usu.ac.id./download/fkm-hiswani12.pdf

6. Klabunde , Richard E. Pathophysiology of Heart Failure. 2007. Available from

URL: http://www.cvphysiology.com/Heart%20Failure/HF003.htm. Diakses

tanggal 24 Februari 2011.

7. Heart Failure Pathophysiology. The Medical News: 2010. Available from URL:

http://www.news-medical.net/health/Heart-Failure-Pathophysiology.aspx.

Diakses pada tanggal 24 Februari 2011.

8. Congestive Heart Failure. MVS Pathophysiology. Available from

URL: http://sprojects.mmi.mcgill.ca/mvs/PATHOS/CHF.HTM. Diakses pada

tanggal 24 Februari 2011

9. Delgado, RM. Pathophysiology of heart failure: a look at the future. Houston:

Texas Heart Institute Journal: 1999. p; 28-33.

10. Chan, Paul D. Cardiovascular Disorders. In: Chan, Paul D. Treatment Guidelines

for Medicine and Primary Care. California: Current Clinical Strategies

Publishing: 2004. p; 2-27.

11. Heart Failure. California: UCSF Medical Center: 2008. Available from URL:

http://www.ucsfhealth.org/adult/medical_services/heart_care/heart_failure/

conditions/failure/signs.html. Diakses pada tanggal 24 Februari 2011.

34