Case Spondilitis TB
-
Upload
abdurrahman-hadi -
Category
Documents
-
view
121 -
download
2
description
Transcript of Case Spondilitis TB
Laporan Kasus
SPONDILITIS TB
Oleh:
Abdurrahman Hadi, S.Ked
NIM. 04124705045
Pembimbing:
Dr. Ismail Bastomi, SpOT
BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU BEDAH
RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Laporan Kasus
SPONDILITIS TB
Oleh:
Abdurrahman Hadi, S.Ked
04124705045
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian/Departemen Ilmu Bedah Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang Periode 2 Desember 2013–10 Februari 2014.
Palembang, Januari 2014
dr. Ismail Bastomi, SpOT
2
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Wahyudin Munasyeh
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin
Kebangsaan
:
:
Laki-laki
Indonesia
Alamat : Desa Sungai Pinang, Kec. Rambutan, Banyuasin
Status : Menikah
Pekerjaan :
Pendidikan : SD
No. Rec. Med : 783238
MRS : 11 Desember 2013
II. ANAMNESA
Autoanamnesa : Tanggal 17 Januari 2014
Keluhan Utama : Tidak dapat menggerakkan kedua tungkai
sejak 4 bulan yang lalu
Keluhan tambahan : Nyeri pinggang
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Sejak ± 5 bulan yang lalu penderita mengeluh kedua
tungkai terasa lemah, diawali dari tungkai kanan kemudian
berlanjut ke tungkai kiri. Ketika berdiri penderita sering merasa
goyah dan hilang kekuatan. Kesemutan di sepanjang tungkai ada.
Nyeri pinggang dirasakan, hilang timbul, terlokalisir, tidak
menjalar. Nyeri pinggang ini dirasakan terutama pada malam hari,
saat penderita beristirahat dan saat bangun pagi hari. Penderita
berobat sendiri dengan obat rematik di warung, keluhan berkurang
namun tak lama kemudian nyeri dirasakan kembali.
3
Kurang lebih 4 bulan yang lalu kelemahan tungkai semakin
bertambah. Penderita dapat berjalan bila dipapah, kemudian
semakin lemah hingga akhirnya penderita tidak mampu lagi
berjalan. Penderita hanya dapat menggerakkan tungkainya
melawan gravitasi. Rasa kesemutan tidak dirasakan lagi.
Kisaran 3 bulan yang lalu, kelemahan kedua tungkai
semakin berat, penderita hanya bisa menggerakkan kedua tungkai
ke samping, tidak dapat melawan gravitasi. Penderita tiba-tiba juga
mengeluhkan nyeri perut selama tiga hari dan berobat ke RSMH
atas keluhan nyeri perut tersebut, didiagnosis menderita peritonitis
difusa ec susp perforasi gaster. Pada penderita dilakukan operasi
pada tanggal 11 Desember 2013 dan penderita kemudian dirawat di
oleh bagian Bedah Digestif RSMH untuk observasi pasca operasi.
Selama dirawat di RSMH, kelemahan tungkai penderita
bertambah parah. Penderita tidak dapat menggerakkan kedua
tungkai sama sekali. Nyeri pinggang masih dirasakan, dan semakin
hebat. Penderita memposisikan punggungnya menjadi kaku untuk
mengurangi nyeri yang dirasakan. Sekujur tungkai penderita mati
rasa. Kelemahan anggota gerak atas disangkal. Penderita BAB dan
BAK seperti biasa. Penderita kemudian dikonsulkan ke bagian
Bedah Orthopaedi RSMH.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Penderita mengakui terdapat penrunan berat badan selama
3 bulan terakhir. Keringat di malam hari (+). Demam, sesak napas,
batuk-batuk lama, mengonsumsi obat-obatan paru, maupun riwayat
tinggal atau kontak dengan orang penderita penyakit paru
disangkal. Riwayat trauma pada tulang belakang diakui penderita ±
2 tahun yang lalu saat pasien bekerja sebagai buruh bangunan.
Penderita lupa bagaimana kejadian dan posisi jatuh. Keluhan
4
setelah trauma disangkal. Riwayat menderita kencing manis
disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat anggota keluarga menderita penyakit serupa
keluhan pasien saat ini disangkal.
Riwayat Sosial Ekonomi :
Penderita adalah kepala keluarga, menghidupi anak, istri
dan ibu. Bekerja sebagai buruh bangunan.
Kesan: status ekonomi menengah ke bawah
III. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 17 Januari 2014
Kesadaran : Kompos Mentis
Keadaan Umum : Sakit sedang
Berat Badan : 52 kg
Tinggi badan : 167 cm
Gizi : Baik
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 92 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 37,2˚C
STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephali, distribusi rambut merata.
Mata : Pupil bulat isokor, konjungtiva tidak anemis,
sclera tidak ikterik, reflek cahaya langsung +/+,
Refleks cahaya tidak langsung +/+.
5
Telinga : Normotia, serumen -/-, membran timpani intak,
nyeri tekan mastoid -/-
Hidung : septum deviasi (-), pernapasan cuping hidung (-),
oedem mukosa (-)
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, T1-T1 tenang
Leher : Trakea lurus di tengah, kelenjar tiroid tidak teraba
membesar, KGB tidak teraba
Thoraks :
Pulmo : Inspeksi : statis dinamis simetris
Palpasi : stem fremitus paru simetris di kedua
hemithoraks
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+) n, Rhonki -/-, Wheezing-/-
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis
sinistra
Batas kiri jantung : ICS V 1 jari medial linea
midclavikularis sinistra
Batas kanan jantung : ICS IV linea sternalis
dextra
Auskultasi : BJ I-II regular, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen: Inspeksi : Abdomen datar, tampak scar bekas operasi
sudah menutup, benjolan (-)
Palpasi : lemas, massa (-), nyeri tekan epigastrium (-),
defans muskuler (-), hepatosplenomegali (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi : BU (+) normal
Ekstremitas: Akral hangat, sianosis (-), edema (-)
6
STATUS LOKALIS
Regio Thorakolumbal
Gambar 1. Penampang tubuh penderita (a) tampak belakang; (b) tampak samping
Look : Deformitas (+) kifosis vertebra thorakal
Benjolan (+) Thorakal IX-X
Tanda radang (-), warna benjolan sama dengan warna
kulit, patch hiperpigmentasi-hipopigmentasi, bulat, 2
cm, sikatrik (-), fistel (-).
Feel : Suhu benjolan sama dengan sekitarnya
Benjolan berbentuk lonjong ukuran 8x5x1 cm
Konsistensi keras, batas tegas, imobil, fluktuasi (-)
Nyeri tekan (-).
Move : ROM aktif pasif terbatas.
STATUS NEUROLOGIS
- GCS : E4V5M6
Motorik
Lengan Kanan Kiri
7
A.
A.
B.
B.
Gerakan Luas Luas
Kekuatan 5 5
Tonus Eutoni Eutoni
Refleks fisiologis
Biseps
Triseps
Radius
Ulna
+n
+n
+n
+n
+n
+n
+n
+n
Refleks patologis
Hoffman-
tromner
- -
Tungkai
Gerakan Tidak ada Tidak ada
Kekuatan 1 1
Tonus Hipertonus Hipertonus
Klonus
Paha
Kaki
Tidak diperiksa
+
Tidak diperiksa
+
Refleks fisiologis
APR
KPR
+↑
+↑
+↑
+↑
Refleks patologis
- Babinsky
- Chaddock
- Oppenheim
- Schaeffer
+
+
+
+
+
+
+
+
Sensorik
8
anestesi setinggi symphisis pubis
GAMBAR
Gambar 2. Sketsa fungsi sensorik
Fungsi Vegetatif
Miksi : Normal
Defekasi : Normal
Ereksi : tidak diperiksa
Kolumna Vertebralis
Kyphosis : (+)
Lordosis : (-)
Gibbus : (+) vertebra thorakal IX-X
9
Deformitas : (+)
Tumor : (-)
Meningocele : (-)
Hematoma : (-)
Nyeri ketok : (-)
Gejala Rangsang Meningeal
Kaku kuduk (-)
Kerniq (-)
Lasseque (-)
Brudzinsky
o Leg I (-)
o Leg II (-)
Gait Dan Keseimbangan
Gait : tidak dapat berjalan
Keseimbangan dan Koordinasi: tidak ada kelainan
Gerakan Abnormal : -
IV. DIAGNOSIS BANDING
Paraplegi inferior ec Spondilitis TB + dekubitus gr I vertebra thoracalis
XII
Paraplegi inferior ec tumor vertebrae + dekubitus gr I vertebra
thoracalis XII
Paraplegi inferior ec fraktur kompresi vertebra + dekubitus gr I
vertebra thoracalis XII
V. RENCANA PEMERIKSAAN
Darah rutin, kimia darah
BTA Sputum I/II/III
10
Rontgen Thorax PA/Lateral
Rontgen Thoracolumbal PA/Lateral
CT Scan vertebra T-X
VI. DIAGNOSIS KERJA
Paraplegi inferior ec susp. Spondilitis TB + dekubitus gr I vertebra
thoracalis XII
VII. TERAPI AWAL
- Konsul PDL untuk regimen OAT
- Perawatan dekubitus
- Na Diklofenac 3x50 mg
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tgl 6 Januari 2014
Darah
- Hb : 13,7 g/dL
- Ht : 42 %
- LED : 120 mm/jam
- Leukosit : 9.300 /uL
- Trombosit : 530.000 /uL
- Diff count : 0/6/0/58/26/10
Kimia klinik hati
- AST : 26 mnt/L
- ALT : 20 mnt/L
- Protein total : 8,4 g/dL
- Albumin : 3,3 g/dL
- Globulin : 5,1 g/dL
Kimia klinik ginjal
- Ureum : 24 mg/dL
- Asam urat : 5,9 mg/dL
11
- Kreatinin : 0,06 mg/dL
Sputum
- BTA 3x negatif
Pemeriksaan thoraks (PA), 11 Desember 2013
Gambar 3. Foto thorax PA
- Kesan: gambaran thorax dalam batas normal
Pemeriksaan thorakolumbal (AP/Lateral) 11 Desember 2013
12
Gambar 4. Foto Thoracolumbal AP/PA/Lat
- Kurvatura torakal tampak hiperkifotik
- Tampak destruksi korpus V.Th IX-X-XI disertai penyempitan
diskus intervertebralis
- Tampak pula paravertebral massa pada setinggi V.Th IX-X-XI
- Pedikel masih tampak intak
13
- Korpus lumbal baik
- Sakroiliaka dan coxae joint kanan kiri baik
Kesan : Kurvatura torakal tampak hiperkifotik dengan destruksi
korpus V.Th IX-X-XI, penyempitan diskus intervertebralis dan
paravertebra mass suspek spondilitis TB
Saran: MRI thorakolumbal dengan kontras
CT Scan Thoracal X: dijadwalkan 20 Februari 2014
IX. RESUME
Pasien wanita umur 19 tahun datang ke poli RSU KOJA pada
tanggal 1 September 2007 dengan keluhan benjolan pada
punggung belakang sebelah kiri kurang lebih sejak 5 bulan SMRS.
Benjolan yang dirasakan awalnya kecil yang lama-kelamaan
menjadi besar dan nyeri. Benjolan juga terdapat pada daerah leher
sebelah kiri dan nyeri pada saat pasien menengoke sebelah kiri.
Pasien merasakan badan dan kaki terasa lemas sehingga sering
tiba-tiba terjatuh. Nafsu makan menurun dan BB menurun. Pasien
dirawat di RSU KOJA sejak tanggal 1 September 2007. Pada
pemeriksaan fisik, status generalis dalam batas normal. Pada status
lokalis regio thorakolumbal ditemukan deformitas (+) kifosis
vertebra thorakal, benjolan (+) Thorakal IX-X, warna benjolan
sama dengan warna kulit, suhu benjolan lebih hangat dari
sekitarnya, benjolan berbentuk lonjong ukuran 12x2x2 cm,
konsistensi keras, batas tegas, imobil, fluktuasi (-), didapatkan
patch hiperpigmentasi-hipopigmentasi 2 cm setinggi vertebra
thoracalis XII. ROM terbatas ketika bungkuk dan nyeri. Status
neurologis didapatkan gerakan tungkai tidak ada, kekuatan kedua
tungkai 0, reflex fisiologis meningkat, klonus ada, reflex patologis
ada. Fungsi sensori anestesi setinggi simfisis pubis, GRM (-),
14
pasien tidak dapat berjalan. Pemeriksaan foto thoracolumbal
AP/Lat didapatkan kurvatura torakal tampak hiperkifotik dengan
destruksi korpus V.Th IX-X-XI, penyempitan diskus
intervertebralis dan paravertebra mass suspek spondilitis TB
X. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungtionam: dubia
Ad sanationam : dubia
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Tulang Belakang
Tulang belakang (vertebra) terdiri dari 33 tulang: 7 buah tulang cervical,
12 buahtulang thoracal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral dan 4 tulang
coccygeus. Tulang cervical, thoracal dan lumbal membentuk columna vertebralis,
sedangkan tulang sacral dan coccygeus satu sama lain menyatu membentuk dua
tulang yaitu tulang sacrum dan coccygeus. Discus intervertebralis merupakan
penghubung antara dua corpus vertebra.
Gambar 5. Pembagian tulang belakang
Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang
belakang dan memungkinkan mobilitas vertebra. Fungsi columna vertebralis
adalah menopang tubuh manusia dalam posisi tegak, yang secara mekanik
sebenarnya melawan pengaruh gaya gravitasi agar tubuh secara seimbang tetap
tegak. Vertebra cervical, thoracal, lumbal bila diperhatikan satu dengan yang
16
lainnya ada perbedaan dalam ukuran dan bentuk, tetapi bila ditinjau lebih lanjut
tulang tersebut mempunyai bentuk yang sama. Corpus vertebra merupakan
struktur yang terbesar karena mengingat fungsinya sebagai penyangga berat
badan.
Gambar 6. Penampang melintang tulang belakang
Prosesus transversus terletak pada ke dua sisi corpus vertebra, merupakan
tempat melekatnya otot-otot punggung. Sedikit ke arah atas dan bawah dari
prosesus transverse sterdapat fasies artikularis vertebra dengan vertebra yang
lainnya. Arah permukaan facet join mencegah/membatasi gerakan yang
berlawanan arah dengan permukaan facet join. Pada daerah lumbal facet terletak
pada bidang vertical sagital memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi ke arah
anterior dan posterior. Pada sikap lordosis lumbalis (hiperekstensilumbal) kedua
facet saling mendekat sehingga gerakan ke lateral, oblique dan berputar
terhambat, tetapi pada posisi sedikit fleksi kedepan (lordosis dikurangi) kedua
facet saling menjauh sehingga memungkinkan gerakan ke lateral berputar. Bagian
lain dari vertebrae, adalah "lamina" dan "predikel" yang membentuk arkus tulang
vertebra, yang berfungsi melindungi foramen spinalis. Prosesus spinosus
merupakan bagian posterior dan vertebra yang bila diraba terasa sebagai tonjolan,
berfungsi tempat melekatnya otot-otot punggung. Diantara dua buah tulang
17
vertebra terdapat discus intervertebralis yang berfungsi sebagai bentalan atau
"shock absorbers" bila vertebra bergerak. discus intervertebralis terdiri dari
annulus fibrosus yaitu masa fibroelastik yang membungkus nucleus pulposus,
suatu cairan gel koloid yang mengandung mukopolisakarida.
Fungsi mekanik discus intervertebralis mirip dengan balon yang diisi air
yang diletakkan diantara kedua telapak tangan . Bila suatu tekanan kompresi yang
merata bekerja pada vertebrae maka tekanan itu akan disalurkan secara merata ke
seluruh diskus intervertebralis. Bila suatu gaya bekerja pada satu sisi yang lain,
nucleus pulposus akan melawan gaya tersebut secara lebih dominan pada sudut
sisi lain yang berlawanan. Keadaan ini terjadi pada berbagai macam gerakan
vertebra seperti fleksi, ekstensi, laterofleksi.
Gambar 7. Anatomi diskus intervertebralis
Karena proses penuaan pada discus intervebralis, maka kadar cairan dan
elastisitasdiscus akan menurun. Keadaan ini mengakibatkan ruang discus
intervebralis makin menyempit,"facet join" makin merapat, kemampuan kerja
18
discus menjadi makin buruk, annulus menjadi lebih rapuh. Akibat proses penuaan
ini mengakibatkan seorang individu menjadi rentan mengidap nyeri punggung
bawah. Gaya yang bekerja pada discus intervebralis akan makin bertambah setiap
individu tersebut melakukan gerakan membungkuk, gerakan yang berulang-ulang
setiap hari yang hanya bekerja pada satu sisi discus intervebralis, akan
menimbulkan robekan kecil pada annulus fibrosus, tanpa rasa nyeri dan tanpa
gejala prodromal. Keadaan demikian merupakan "locus minoris resistensi" atau
titik lemah untuk terjadinya HNP (Hernia Nucleus Pulposus). Sebagai contoh,
dengan gerakan yang sederhana seperti membungkuk memungut surat kabar di
lantai dapat menimbulkan herniasi discus. Ligamentum spinalis berjalan
longitudinal sepanjang tulang vertebra.Ligamentum ini berfungsi membatasi
gerak pada arah tertentu dan mencegah robekan.diskus intervebralis dikelilingi
oleh ligamentum anterior dan ligamentum posterior. Ligamentum longitudinal
anterior berjalan di bagian anterior corpus vertebrae, besar dan kuat, berfungsi
sebagai alat pelengkap penguat antara vertebrae yang satu dengan yang lainnya.
Ligamentum longitudinal posterior berjalan di bagian posterior corpus vertebrae,
yang juga turut membentuk permukaan anterior canalis spinalis. Ligamentum
tersebut melekat sepanjang columna vertebralis, sampai di daerah lumbal yaitu
setinggi L1, secara progresif mengecil, maka ketika mencapai L5 - sacrum
ligamentum tersebut tinggal sebagian lebarnya, yang secara fungsional potensi
mengalami kerusakan. Ligamentum yang mengecil ini secara fisiologis
merupakan titik lemah dimana gaya statistik bekerja dan dimana gerakan spinal
yangterbesar terjadi, disitulah mudah terjadi cidera kinetik.
Gambar 8. Fisiologi nukleus pulposus
19
Otot punggung bawah dikelompokkan sesuai dengan fungsi gerakannya.
Otot yang berfungsi mempertahankan posisi tubuh tetap tegak dan secara aktif
mengekstensikan vertebralumbalis adalah: m. Quadratus lumborum, m.
Sacrospinalis, m. Intertransversarii dan m.interspinalis. Otot fleksor lumbalis
adalah muskulus abdominalis mencakup: m. Obliqus eksternusabdominis, m.
Internus abdominis, m. Transversalisabdominis dan m. Rectusabdominis, m.
Psoas mayor dan m. Psoas minor.
Otot latero fleksi lumbalis adalah m.quadratus lumborum, m. Psoas mayor
dan minor, kelompok m. Abdominis dan m.intertransversarii.Jadi dengan melihat
fungsi otot di atas otot punggung di bawah berfungsimenggerakkan punggung
bawah dan membantumempertahankan posisi tubuh berdiri.
Gambar 9. Otot-otot punggung
Medulla spinalis dilindungi oleh vertebrae. Radix saraf keluar melalui canalis
spinalis,menyilang discus intervertebralis di atas foramen intervertebralis. Ketika
keluar dari foramen intervertebralis saraf tersebut bercabang dua yaitu ramus
anterior dan ramus posterior dan salah satu cabang saraf tersebut mempersarafi
"facet". Akibat berdekatnya struktur tulang vertebrae dengan radix saraf
cenderung rentan terjadinya gesekan dan jebakan radix saraf tersebut. Semua
ligamen, otot, tulang dan facet join adalah struktur tubuh yang sensitif terhadap
20
rangsangan nyeri, karena struktur persarafan sensoris kecuali ligament flavum,
discus intervertebralis dan ligamentum interspinosum karena tidak dirawat oleh
saraf sensoris.
Gambar 10. Persarafan tulang belakang
21
Dengan demikian semua proses yang mengena istruktur tersebut di atas seperti
tekanan dan tarikan dapat menimbulkan keluahan nyeri. Nyeri punggung bawah
sering berasal dari ligamentum longitudinalis anterior atau posterior yang
mengalami iritasi. Nyeri artikuler pada punggung bawah berasal dari facies
artikularis vertebrae beserta kapsul persendiannya yang sangat peka terhadap
nyeri. Nyeri yang berasal dari otot dapat terjadi oleh karena: aktivitas motor
neuron, ischemia muscular dan pereganganmiofasial pada waktu otot berkontraksi
kuat. Tulang belakang mempunyai tiga lengkungan fisiologis yaitu lordosis
servikalis, kyphosis thorakalis dan lordosis lumbalis. Bila dilihat dari samping
dalam posisi tegak ketiga lengkungan fisiologis ini disebut posture atau sikap.
Postur yang baik adalah postur tidak memerlukan tenaga, tidak melelahkan, tidak
menimbulkan nyeri, yang dapat dipertahankanuntuk jangka waktu tertentu dan
secara estetis memberikan penampilan yang dapat diterima. Disini terjadi
keseimbangan antara kerja ligamen dan torus minimal otot. Secara keseluruhan
posture dipengaruhi oleh keadaan anatomi, suku bangsa, latar belakang
kebudayaan, lingkungan pekerjaan, jenis kelamin dan keadaan psikis seseorang.
Sudut lumbosakral adalah sudut yang dibentuk oleh permukaan os.sakrum dengan
garis horizontal. Normal besar sudut lumbosakral (sudut ferguson) 30 derajat.
Rotasi pelvis ke atas memperkecil sudut lumbosakral sedangkan rotasi pelvis ke
bawah memperbesar sudut lumbosakralis. Bila seseorang membungkuk untuk
mencoba menyentuh lantai dengan jari tangan tanpa fleksi lutut, selain fleksi dari
lumbal harus dibantu dengan rotasi dari pelvis dan sendi cocsae. Perbandingan
antara rotasi pelvis dan fleksi lumbal disebut ritme lumbal-pelvis. Secara singkat
punggung bawah merupakan suatu struktur yang kompleks; dimana tulang
vertebrae, discus intervertebralis, ligamen dan otot akan akan bekerjasama
membuat manusia tegak, memungkinkan terjadinya gerakan dan stabilitas.
Vertebrae lumbalis berfungsi menahan tekanan gaya static dan gaya kinetik
(dinamik) yang sangat besar maka dari itu cenderung terkena ruda paksa dan
cedera.
2.2 Spondilitis Tuberkulosa
22
2.2.1 Definisi
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan
nama Pott's disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis
merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang
lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnyadikarenakan penyakit ini. [3]
Spondilitis tuberkulosa merupakan salah satu kasus penyakit tertua dalam
sejarahdengan ditemukan dokumentasi kasusnya pada mummi di Mesir dan Peru.
Sir Percival Pott (1799) mendeskrispsikan penyakit ini dalam monografnya yang
klasik.
Spondilitis tuberkulosa merupakan fokus sekunder dari infeksi
tuberkulosis dengan penyebaran sebagian besar secara hematogen melalui
pembuluh darah arteri epifiseal atau melalui plexus vena batson. Pada usia
dewasa, discus intervertebralis avaskular sehingga lebih resisten terhadap infeksi
dan kalaupun terjadi adalah sekunder dari corpus vertebra. Pada anak-anak karena
discus intervertebralis masih bersifat vaskular, infeksi diskus dapat terjadi primer.
Penyempitan discus intervertebralis terjadi akibat destruksi tulang pada kedua sisi
discus sehingga discus mengalami herniasi ke dalam corpus vertebra yang telah
rusak. Kompresi struktur neurologis terjadi akibat penekanan oleh proses
ekstrinsik maupun intrinsik. Proses ekstrinsik pada fase aktif diakibatkan oleh
akumulasi cairan akibat edema, abses kaseosa, jaringan granulasi, sequester tulang
atau diskus.[3,4,5] Pott disease merupakan bentuk tuberkulosis muskuloskeletal yang
paling berbahaya karena dapat menyebabkan destruksi tulang, deformitas, dan
paraplegia. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 – L3dan
paling jarang pada vertebra C1-2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai
korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.
2.2.2 Insiden dan Epidemiologi
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya
berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang
tersedia serta kondisi sosial dinegara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa
merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan
sedang berkembang, terutama di asia, malnutrisi dan kepadatan penduduk masih
23
menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah berkembang
atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu
30 tahun terakhir. [4,5]
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang
dan sendi. Pada negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada
usia dibawah usia 20 tahun sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai
pada usia yang lebih tua. Meskipun perbandingan antara pria dan wanita hampir
sama, namun biasanya pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu 1,5:2,1.
Umumnya penyakit ini menyerang orang-orang yang berada dalam keadaan sosial
ekonomi rendah.[4]
Tuberkulosis merupakan masalah besar bagi negara-negara berkembang
karena insidensnya cukup tinggi dengan morbiditas yang serius. Indonesia adalah
kontributor pasien tuberkulosis nomor 5 di dunia. Diperkirakan terdapat 583.000
kasus baru tuberkulosis pertahun, sebagian besar berada dalam usia produktif (15-
54 tahun), dengan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang rendah.
Dari seluruh kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang
paling seringterkena tuberkulosa tulang (kurang lebih 50% kasus), diikuti
kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan
tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama torakal
bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang
paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight
bearing mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral. [5,6]
Banerjee melaporkan pada 499 pasiendengan spondilitis tuberkulosa,
radiologis memperlihatkan 31% fokus primer adalah paru-paru dan kelompok
tersebut 78% adalah anak-anak, sedangkan 69% sisanya memperlihatkan foto
rontgen paru yang normal dan sebagian besar adalah dewasa.
2.2.3 Etiologi[3,4]
24
Spondilitis tuberkulosa disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil
(basilus). Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium
tuberculosis, walaupun spesies mikobakterium yang lainpun dapat juga
bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum
(penyebab paling sering tuberkulosis di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus,
ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV).
Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola
resistensi obat. Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari
tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh
Mycobacterium tuberculosa atipik.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang
bersifat acid fast non-motile atau disebut pula sebagai basil tahan asam (BTA).
Dipergunakan teknik Ziehl- Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tumbuh
secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi
niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu
untuk membedakannya dengan spesies lain.
Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal
bawah dan lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu
tuberkulosa traktus urinarius, yg penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena
paravertebralis. Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak
semudah tertular flu.
Penularan penyakit ini memerlukan waktu pemaparan yang cukup lama
dan intensif dengan sumber penyakit (penular). Menurut Mayoclinic, seseorang
yang kesehatan fisiknya baik, memerlukan kontak dengan penderita TB aktif
setidaknya 8 jam sehari selama 6 bulan, untuk dapat terinfeksi.
Sementara masa inkubasi TB sendiri, yaitu waktu yang diperlukan dari
mula terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Bakteri TB
akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung. Tetapi dalam tempat yg
lembab, gelap, dan pada suhu kamar, kuman dapat bertahan hidup selama
beberapa jam. Dalam tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (dorman) selama
25
beberapa tahun.
2.2.4 Patologi[3,5,7,8]
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran
hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui
jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar
tulang belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat
bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem
pulmoner dan genitourinarius. Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri
intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang
berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas
vertebra di bawahnya atau melalui pleksus batson's yang mengelilingi columna
vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang
menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan
terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan
tiga atau lebih vertebra.
Gambar 11. Aliran pembuluh darah tulang belakang
Walaupun semua vertebrae dari columna vertebralis dapat diserang namun
yang terbanyak menyerang bagian thorax. Vertebra lumbalis juga dapat terserang
26
dan akhirnya vertebra cervicalis pun tidak terlepas dari serangan ini. Fokus yang
pertama dapat terletak pada centrum corpus vertebrae atau pada metaphyse, bisa
juga pertama kali bersifat subperiosteal. Penyakit ini juga dapat menjalar,
sehingga akhirnya corpus vertebrae tidak lagi kuat untuk menahan berat badan
dan seakan-akan hancur sehingga dengan demikian columna vertebralis
membengkok. Kalau hal ini terjadi pada bagian thorax, maka akan terdapat
pembengkokan hyperkyphose yang kita kenal sebagai gibbus. Sementara itu
proses dapat menimbulkan gejala-gejala lain, diantaranya dapat terkumpulnya
nanah yang semakin lama semakin banyak, nana hini dapat menjalar menuju ke
beberapa tempat diantaranya dapat berupa :
1. Suatu abscess paravertebrae, abscess terlihat dengan bentuk spoel di kiri-
kanan columna vertebralis.
2. Abscess dapat pula menembus ke belakang dan berada di bawah fasia dan
kulit di sebelah belakang dan di luar columna vertebralis merupakan suatu
abscess akan tetapi tidak panas. Umumnya abscess ini dinamakan abscess
dingin. Abscess dingin artinya abscess tuberculose.
3. Dapat pula abscess menjalar mengelilingi tulang rusuk, sehingga
merupakan senkung's abscess yang terlihat di bagian dada penderita.
4. Abscess juga dapat menerobos ke pleura sehingga menimbulkan empiema.
5. Pada leher dapat juga terjadi abscess yang terletak dalam faring sehingga
merupakan abses retrofaringeal.
6. Dapat pula abscess terlihat sebagai abses supraklavikular.
7. Pada lumbar spine abscess dapat turun melalui musculus iliopsoas yang
kemudian menurun sampai terjadi abscess besar yang terletak di bagian
dalam dari paha.
Semua abses tersebut di atas dapat menembus kulit dan menyebabkan timbulnya
fistel yang bertahun-tahun. Kecuali abses-abses tersebut di atas, tuberculose pada
vertebrae dapat pula memberikan komplikasi, ialah paraplegia, umumnya disebut
Pott's paraplegia.
Komplikasi ini disebabkan karena adanya tekanan pada medulla spinalis.
Adapun pathogenesis dari proses ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
27
Tekanan dapat berasal dari proses yang terletak di dalam canalis spinalis.
Jika di dalam canalis spinalis ada proses tuberkulose yang terletak pada korpus
bagian belakang yang merupakan dasar dari kanalis spinalis, maka proses tadi
menimbulkan pengumpulan nanah/jaringan granulasi langsung menekan medulla
spinalis. Dalam hal ini meskipun nanah hanya sedikit, akan tetapi cukup untuk
memberikan tekananyang hebat pada medulla spinalis.(2,4)
Gambar 12. Spondilitis tuberkulosa. (a) Gibus torakolumbal dengan hipertonus erector mucus. Penderita menyandarkan diri pada ekstremitas atas; (b) 1. Rarefaksi bagian anterior vertebra mulai Nampak penyempitan diskus intervertebralis, 2. Rarefaksi meluar, penyempitan jelas, 3. Kompresi vertebra bagian ventral, terjadinya gibus, kompresi medulla spinalis.
Sorrel-dejerine mengklasifikasikan Pott's paraplegia menjadi:
1. Early onset paresis
Terjadi kurang dari dua tahun sejak onset penyakit
2. Late onset paresis
Terjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit
Sementara itu Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi sorrel menjadi tiga
tipe:
1. Type I (paraplegia of active disease)
28
Berjalan akut onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset
penyakit, dan dihubungkan dengan penyakit yang aktif. Dapat membaik
(tidak permanen).
2. Type II
Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat
permanen bahkan walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang.
Penyebab timbulnya paraplegia pada tipe I dan II dapat disebabkan oleh
karena :
a. Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramater dapat disebabkan
oleh karena adanya granuloma di kanalis spinalis, adanya abses,
material perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau karena subluksasi
atau dislokasi patologis vertebra. Secara klinis pasien akan
menampakkan kelemahan alat gerak bawah dengan spastisitas yang
bervariasi, tetapi tidak tampak adanya spasme otot involunter dan
reflek withdrawal
b. Invasi duramater oleh tuberkulosa tampak gambaran meningomielitis
tuberkulosa atau araknoiditis tuberkulosa. Secara klinis pasien tampak
mempunyai spastisitas yang berat dengan spasme otot involunter dan
reflek withdrawal. Prognosis tipe ini buruk dan bervariasi sesuai
dengan luasnya kerusakan korda spinalis. Secara umum dapat terjadi
inkontinensia urin dan feses, gangguan sensoris dan paraplegia.
3. Type III/yang berjalan kronis
Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah
dapat membaik. Bisa terjadi karena tekanan korda spinalis oleh granuloma
epidural, fibrosis meningen dan adanya jaringan granulasi serta adanya
tekanan pada korda spinalis, peningkatan deformitas kifotik ke anterior,
reaktivasi penyakit atau insufisiensi vaskuler (trombosis pembuluh darah
yang mensuplai korda spinalis).
Klasifikasi untuk penyebab Pott's paraplegia dijabarkan oleh Hodgson menjadi:
29
1. Penyebab ekstrinsik :
1.1. Pada penyakit yang aktif
a. Abses (cairan atau perkijuan)
b. Jaringan granulasi
c. Sekuester tulang dan diskus
d. Subluksasi patologis
e. Dislokasi vertebra
1.2. Pada penyakit yang sedang dalam proses penyembuhan
a. Transverse ridge dari tulang anterior ke corda spinalis
b. Fibrosis duramater
2. Penyebab intrinsik :
menyebarnya peradangan tuberkulosa melalui duramater melibatkan
meningen dan korda spinalis.
3. Penyebab yang jarang :
3.1 trombosis korda spinalis yang infektif
3.2 spinal tumor syndrome
Dapat pula proses tuberkulosa menghancurkan korpus sehingga kanalis spinalis
membengkok dan menekan pada tulang dindingnya. Tekanan tadi menyebabkan
paraplegia. Kemungkinan lain ialah terdapat sequestra dan pus di sekeliling
kanalis spinalis tadi yang juga menekan pada medulla spinalis. Dengan demikian
banyak sebab-sebab yang dapat menekan medulla spinalis dengan keras sehingga
menimbulkan gejala paraplegia. Secara klinis paraplegia dapat dibagi menjadi
early onset, ialah jika paraplegia segera timbul sebagai kelanjutan dari proses
spondilitis TB. Tipe kedua adalah paraplegia late onset, paraplegia ini terjadi
setelah penyakit spondilitis sifatnya tenang untuk beberapa waktu lamanya
kemudian timbul gejala-gejala paraplegia secara perlahan-lahan.
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk
spondilitis:
1. Peridiskal / paradiskal
30
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di
bawah ligamentum longitudinal anterior/area subkondral). Banyak
ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan
nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.
2. Sentral infeksi
Terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga
disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini
sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe
lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat
terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di
temukan di regio torakal.
3. Anterior infeksi
Terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan di
bawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena
erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini
diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan
melalui abses prevertebral di bawah ligamentum longitudinal anterior atau
karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak
dapat diidentifikasikan. Termasuk di dalamnya adalah tuberkulosa spinal
dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di
canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel,
lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada
di sendi intervertebral posterior.
Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi
diperkirakan berkisar antara 2%-10%. Lesi spondilitis tuberkulosa berawal suatu
tuberkel kecil yang berkembang lambat, bersifat osteolisis lokal, awalnya pada
tulang subkhondral di bagian superior atau inferior anterior dari corpus vertebra.
31
Proses infeksi Mycobacterium tuberculosis akan mengaktifkan chaperonin
10 yang merupakan stimulator poten dari proses resorpsi tulang sehingga akan
terjadi destruksi korpus vertebra dianterior. Proses perkijuan yang terjadi akan
menghalangi proses pembentukan tulang reaktif dan mengakibatkan segmen
tulang yang terinfeksi relatif avaskular sehingga terbentuklah sequester
tuberkulosis. Destruksi progresif di anterior akan mengakibatkan kolapsnya
korpus vertebra yang terinfeksi dan terbentuklah kifosis (Angulasi posterior)
tulang belakang. Proses terjadinya kifosis dapat terus berlangsung walaupun telah
terjadi resolusi dari proses infeksi. Kifosis yang progresif dapat mengakibatkan
problem respirasi dan paraplegi. Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di
regio torakal, tulang-tulang iga akan menumpuk menimbulkan bentuk deformitas
rongga dada berupa Barrel Chest. Infeksi akhirnya menembus korteks vertebra
dan membentuk abses paravertebral. Diseminasi lokal terjadi melalui penyebaran
hematogen dan penyebaran langsung dibawah ligamentum longitudinal anterior.
Apabila telah terbentuk abses paravertebral, lesi dapat turun mengikuti alur fascia
muskulus psoas yang dapat mencapai trigonum femoralis. Pada usia dewasa,
discus intervertebralis avaskular sehingga lebih resisten terhadap infeksi dan
kalaupun terjadi adalah sekunder dari corpus vertebra. Pada anak-anak karena
discus intervertebralis masih bersifat vaskular, infeksi discus dapat terjadi primer.
Gejala utama adalah nyeri tulang belakang, nyeri biasanya bersifat kronis dapat
lokal maupun radikular.
Pasien dengan keterlibatan vertebra segmen cervical dan thorakal
cenderung menderita defisit neurologis yang lebih akut sedangkan keterlibatan
lumbal biasanya bermanifestasi sebagai nyeri radikular. Selain nyeri terdapat
gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, peningkatan suhu tubuh
pada sore hari dan penurunan berat badan. Tulang belakang terasa nyeri dan kaku
pada pergerakan.
2.2.5 Patofisiologi[3,4,5]
Basil tb masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus
respiratorius. Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk
32
maka dapat terjadi basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil tb dapat
tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga delapan minggu
kemudian, respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi
selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna.
Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit
ini paling sering menyerang corpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya
mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian
depan, atau daerah epifisial corpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan
eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan corpus. Selanjutnya
terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra
sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan corpus ini akan menyebabkan terjadinya
kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung
menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus
menghancurkan vertebra di dekatnya. Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum,
leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan,
di bawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak aliran darah vertebra di
dekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai
arah di sepanjang garis ligament yang lemah. Pada daerah cervical, eksudat
terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang
muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan
dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat
berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau cavum pleura.
Abses pada vertebra thoracalis biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks
setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan
fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul
paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus
psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha.
Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti
pembuluh darah femoralis pada trigonum scarpei atau regio glutea. Menurut
Gilroy dan Meyer (1979), abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah
vertebra thoracalis atas dan tengah, tetapi menurut Bedbrook (1981) paling sering
33
pada vertebra thoracalis 12 dan bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia
dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis 10 sedang
yang non paraplegia pada vertebralumbalis.
Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut :
Arteri induk yang mempengaruhi medulla spinalis segmen thorakal paling
sering terdapat pada vertebra thorakal 8-lumbal 1 sisi kiri. Trombosis arteri yang
vital ini akan menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan
adalah diameter relatif antara medulla spinalis dengan canalis vertebralisnya.
Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra thoracalis 10,
sedang canalis vertebralis di daerah tersebut relative kecil. Pada vertebra lumbalis
1, canalis vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang
gerak bila ada kompresi dari bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan
mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra thoracal 10.
Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit pott terjadi melalui kombinasi
4 faktor yaitu :
1. Penekanan oleh abses dingin
2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis
3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya
4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak
Diskus intervertebralis karena avaskular lebih resisten tetapi akan mengalami
dehidrasi dan penyempitan karena dirusak oleh jaringan granulasi TBC.
Kerusakan progresif bagian anterior vertebra akan menimbulkan kifosis (Savant,
2007).
Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu:
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung
selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus
dan pada anak-anak pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
34
Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan
pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra, dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yangberbentuk cold abses, yang tejadi
2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk
sekuestrum dan kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk
tulang baji terutama di depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus
vertebra sehingga menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi
tetapi ditentukan oleh tekanan abses kekanalis spinalis. Vertebra torakalis
mempunyai kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis
lebih mudah terjadi di daerah ini.
Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia yaitu:
I. Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau
berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
II. Derajat II
Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaannya.
III. Derajat III
Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau
aktivitas penderita disertai dengan hipoestesia atau anestesia.
IV. Derajat IV
Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan
defekasi dan miksi.TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat
terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan
penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi
karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral ataukerusakan
35
langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan.
Paraplegia pada penyakit yang tidak aktif atau sembuh terjadi
karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau
pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan
granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi secara perlahan dan
dapat terjadi destruksi tulang disertai dengan angulasi dan
gangguan vaskuler vertebra.
5. Stadium deformitas residua,
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi.
Kifosis atau gibus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang masif
di depan (Savant, 2007)
2.2.6 Gambaran Histopatologi
Inflamasi Kronis
Inflamasi kronis didefinisikan sebagai suatu inflamasi yang berkepanjangan
dimana proses inflamasi aktif, destruksi jaringan dan penyembuhan berlansung
simultan.
Gambaran histologik inflamasi kronik berupa:
1. Infiltrasi sel-sel mononuklear, makrofag, limfosit, sel plasma
2. Destruksi jaringan
3. Penggantian jaringan rusak oleh jaringan ikat melalui angiogenesis dan fibrosis.
Infiltrasi Mononuklear 3,4,7
Merupakan gambaran utama inflamasi kronik. Berasal dari sel-sel monosit di
aliran darah perifer yang bermigrasi melalui endotel akibat pengaruh agen-agen
kemotaktik: C5a, fibropeptides, cytokines (MCP-1), PDGF.
Aktivasi makrofag akan menimbulkan:
1. Protease
2. Chemotactic Factors
3. Metabolit asam arakidonat
36
4. Oksigen reaktif
5. Faktor – faktor pembekuan
6. Growth factors
7. Cytokines (IL-1, α–interferon )
Proses aktivasi makrofag pada inflamasi dipengaruhi oleh lymphokines (γ–
interferon) yang dihasilkan oleh sel-sel T aktif imun. Produk-produk makrofag
tersebut akan menghasilkan perubahan karakteristik pada inflamasi kronis, yaitu:
1. Destruksi jaringan (protease dan radikal oksigen bebas)
2. Neovaskularisasi dan proliferasi fibroblas.
3. Akumulasi jaringan ikat (cytokines dan growth factors)
4. Remodeling (kolagenase)
Inflamasi Granulomatus5
Salah satu karakter lain inflamasi kronis adalah adanya granuloma, yaitu
kumpulan makrofag berbentuk nodul-nodul kecil, yang dikenal juga sebagai sel –
sel epiteloid. Sel-sel epiteloid terbetuk dari sel-sel berinti banyak. Pada
granuloma terdapat juga limfosit, sel plasma, neutrofil ; pada granuloma
ditemukan juga nekrosis sentral.
Granuloma 5
Terbentuk dari sel T aktif imun terhadap antigen yang sulit tergradasi.
Lymphokines (γ–interferon) yang dihasilkan oleh sel-sel T aktif imun
menyebabkan makrofag berubah menjadi sel-sel epiteloid dan multinucleate giant
cells.
Granuloma merupakan gambaran khas pada beberapa penyakit tertentu
antara lain, tuberkulosis, silikosis dan sarkoidosis.
Tuberkulosis5
Disebabkan infeksi Mycobactrium tuberculosis, bakteri aerob, tidak mem
bentuk spora, tidak motil dan tahan pencucian asam pada pewarnaan. Pada infeksi
37
primer mikobakteria akan berproliferasi didalam makrofag, dan dapat
dikendlaikan pada 95% kasus oleh respons imun selular.
Sel T CD4+ (T helper) menghasilkan γ–interferon yang akan mengaktivasi
makrofag untuk membunuh bakteri intraselular dan membentuk sel-sel epiteloid.
Sel T CD8+ (T supressor) akan membunuhsel-sel makrofag yang
terinfeksi mikobakteria, menghasilkan nekrosis perkijuan melalui reaksi
hipersensitif tipe lambat.
Pada tuberkulosis sekunder, kuman mikobakteria dengan granuloma yang
terbentuk, akan menetap di parenkim paru atau menyebar secara hematogen ke
berbagai organ, termasuk tulang. Granuloma-granuloma yang gagal
mengendalikan pertumbuhan mikobakteria merupakan penyebab utama timbulnya
kerusakan jaringan pada tuberkulosis.
2.2.7 Sistim Imun 5,8,10
Sel-Sel Imun
Sistim imun berperan dalam perlindungan tubuh terhadap adanya infeksi.
Sistim ini terbentuk dari jutaan klon limfosit, sekitar 2 x 1012. Se—sel limfosit
pada setiap klon memiliki reseptor permukaan yang unik yang memungkinkan
berikatan dengan determinan antigen yang mempunyai susunan sangat spesifik,
seperti halnya atom dalam susunan molekul. Ada 2 kelompok limfosit yaitu, sel B
yang dihasilkan oleh sumsusm tulang dan menghasilkan antibodi serta sel T yang
dihasilkan oleh kelenjar timus dan membentuk respons imun selular.
Respons Imun Selular
Respons imun selular menghasilkan sel-sel khusus yang akan bereaksi
dengan antigen asing yang terdapat pada permukaan sel-sel yang lain. Sel tersebut
akan membunuh sel-sel tubuh yang terinfeksi virus dipermukaan selnya, sehingga
sel-sel tersebut akan dimusnah kan sebelum virus bereplikasi. Contoh lain, sel
imun tersebut menghasilkan sinyal-sinyal kimia yang akan mengaktifkan
makrofag untuk membunuh mikro-organisme.
38
Reseptor Sel T dan Subkelasnya
Terdapat sedikitnya dua subkelas yang berbeda pada sel T, yaitu Cytotoxic
T cell dan Helper T cell. Cytotoxic T cell dengan segera membunuh sel yang
terinfeksi, terutama oleh virus. Helper T cell membantu aktivasi sel B untuk
membentuk antibodi dan makrofag, untuk menelan dan merusak mikro-
organisme. Kedua jenis sel T pada permukaan sel nya, membentuk reseptor yang
strukturnya serupa dengan antibodi.
Molekul MHC dan Penyajian Antigen pada Sel T
Reseptor tersebut diatas dapat mengenali fragmen-fragmen protein asing
yang dimunculkan pada permukaan sel tubuh oleh molekul MHC. Kedua sel T
tersebut dapat mengenali antigen dalam bentuk fragmen peptida yang dibentuk
melalui degradasi antigen protein asing didalam sel target, dan keduanya
bergantung kepada kemampuan molekul MHC, suatu protein khusus dalam
kemampuannya mengikat fragmen protein asing, membawanya kepermukaan sel
dan menyajikannya kepada sel T.
Protein-protein MHC ini dihasilkan oleh kelompok gen-gen yang dikenal
dengan istilah Major Histocompatability Complex (MHC). Pada manusia MHC
juga disebut antigen HLA (Human leucocyte-associated antigens), karena pertama
kali didemostrasikan pada lekosit.
Kelas Molekul MHC
Molekul MHC yang terdiri dari kelas I dan kelas II, mempunyai peran
yang sangat penting didalam menyajikan antigen protein asing kepada Cytotoxic
T cell dan Helper T cell. Molekul MHC kelas I dihasilkan oleh hampir seluruh sel
tubuh manusia ; molekul mHC kelas II hanya dihasilkan oleh beberapa sel saja
yang dapat berinter-aksi dengan Helper T cell, yaitu limfosit B dan makrofag.
Reseptor Tambahan: CD4 dan CD8
Kemampuan berikatan antara reseptor sel T dengan kompleks molekul
MHC-peptida pada sel target pada umumnya terlalu lemah untuk menghasilkan
39
interaksi yang fungsional. Oleh karena itu dibutuhkan reseptor tambahan
(accessory receptors) untuk memperkuat stabilitas interaksi dengan memperkuat
adhesi antar sel, disebut sebagai co-receptors. Reseptor ini juga berperan dalam
mengaktifkan sel T melalui sinyal intrasel mereka sendiri. Tidak seperti reseptor
sel T atau molekul MHC, reseptor tambahan ini tidak berikatan dengan antigen,
tidak variatif dan tidak polimorfik.
Resptor tambahan sel T yang terpenting dan banyak dikenal adalah protein
CD4 dan CD8. CD adalah singkatan dari cluster of diffrentiation. CD4 dihasilkan
oleh helper T cell dan berikatan dengan molekul MHC kelas II. CD8 dihasilkan
oleh cytotoxic T cell dan berikatan dengan molekul MHC kelas I.
Cytotoxic T Cell
Cytotoxic T cell bekerja langsung membunuh sel target yang terinfeksi
yang telah memunculkan fragmen protein mikroba pada permukaan selnya.
Beberapa bagian dari protein mikroba yang dihasilkan didalam sitosol sel target
akan mengalami degradasi melalui aktifitas proteasom, dan fragmen protein yang
terbentuk akan dipompakan kedalam lumen retikulum endoplasma dan akan
berkaitan dengan molekul MHC kelas I. Kompleks ini akan ditransportasikan
menuju permukaan sel target sehingga dikenali oleh cytotoxic T cell. Sel T ini
diduga membunuh sel target dengan menginduksi kematian sel target melalui
mekanisme programmed cell death atau apoptosis.
Aktivasi Sel T
Aktivasi sel T, cytotoxic T cell atau helper T cell, adalah suatu proses
rumit yang belum dipahami sepenuhnya. Reseptor sel T mengenali peptida asing
yang berikatan dengan molekul MHC pada permukaan sel target.Pada sel B,
reseptornya bekerja sama dengan invariant transmembrane polypetida chains,
disebut sebagai CD3 complex, yang dapat mengtransduksikan (transduce)
peristiwa ikatan di ekstrasel menjadi sinyal aktivasi intrasel (intracellular
activating signals) . Kompleks CD3 tersebut diduga mengaktifkan satu atau lebih
bagian dari Src family dari tyrosine kinases, termasuk protein Fyn, yang
memfosforilasi berbagai macam protein selular, termasuk kompleks CD3 itu
40
sendiri dan juga enzim phopholipase C-γ, yang akan mengaktifkan inositol
phospholipid signaling pathway.
Reseptor sel T dan kompleks CD3 tidak bekerja sendiri untuk
mengaktifkan sel T. Beberapa co-receptors juga berperan penting, diantaranya
CD4 , CD8 dan LCK kinase. Pada proses aktivasi sel T, reseptor dan co-receptor,
juga Src-like tyrosine kinases diduga bekerja sama didalam suatu kompleks sinyal
yang luas di memberan plasma sel T; akan tetapi kompleks sinyal yang luas ini
ternyata belum cukup untuk mengaktivasi sel T. Dibutuhknn juga jalur sinyal
lainnya yang independen.
Mekanisme Sinyal pada Aktivasi Helper T Cell.
Untuk mengaktifkan helper T cell, sel penyaji antigen sedikitnya harus
menyediakan 2 sinyal. Sinyal pertama, telah dikemukakan diatas., melalui ikatan
protein asing dengan molekul MHC kelas II pada permukaan sel target, yang akan
mengaktifkan reseptor sel T. Sinyal kedua terbentuk melalui sekresi sinyal kimia,
misalnya interleukin-1 (IL-1), atau melalui plasma membrane-bound signaling
molecule B7 pada permukaan sel penyaji antigen.
Jika helper T cell menerima kedua sinyal tersebut, terjadi aktivasi untuk
berproliferasi dan untuk mensekresikan berbagai interleukin. Sebaliknya jika
hanya menerima sinyal pertama tanpa sinyal kedua, sel T akan terganggu
sehingga tidak akan dapat lagi diaktifkan walupun kemudian menerima kedua
sinyal. Satu kali helper T cell atau cytotoxic T cell mendapat stimulasi antigen,
protein tambahan lainnya akan difungsikan untuk menambah kekuatan ikatan sel
T pada sel target.
Proliferasi Sel T
Gabungan aksi sinyal pertama dan sinyal kedua, akan memprovokasi
helper T cell untuk berproliferasi melalui mekanisma tidak langsung. Terjadi
stimulasi terhadap diri sel T itu sendiri untuk berproliferasi melalui sekresi growth
41
factor, interleukin-2 (IL-2) dan sistesis reseptor permukaan sel yang mengikatnya
secara simultan. Ikatan IL-2 dengan reseptor nya ini akan secra langsung
menstimulasi proliferasi sel T. Melalui mekanisme autokrin ini, helper T cell akan
terus berproliferasi setelah mereka meninggalkan permukaan sel penyaji antigen.
Helper T cell ini juga dapat menstimulasi proliferasi sel-sel T lainnya yang
berdekatan termasuk cytotoxic T cell yang sebelumnya telah membentuk reseptor
IL-2 akibat induksi antigen. Karena ekspresi reseptor IL-2 sangat tergantung pada
stimulasi antigen, maka IL-2 hanya menimbulkan proliferasi pada sel T yang telah
berikatan dengan antigen spesifik.
Sekresi Interleukin Sel T
Helper T cell setidaknya dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan
interleukin yang disekresikan. Sel TH1 mensekresikan IL-2 dan γ-interferon dan
utamanya membantu aktivasi cytotoxic T cell dan makrofag. Sel TH2
menghasilkan IL-4 dan IL-5 dan utamanya membantu aktivasi sel B dan eosinofil.
Aktivasi makrofag oleh sel T sangat penting dalam mekanisme pertahanan
terhadap infeksi mikro-organisma yang dapat betahan dari fagositosis oleh
makrofag yang tidak aktif. Salah satu contoh adalah infeksi tuberkulosis.
2.2.8 Gambaran Klinis[3,5,8,9]
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada
banyak faktor(7). Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan
berevolusi lambat. Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu
diagnosa pasti bervariasi dari bulanhingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa
sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.
Gambaran spondilitis tuberkulosa antara lain :
- badan lemah/lesu,
- nafsu makan berkurang,
- berat badan menurun,
- suhu subfebril terutama pada malam hari serta sakit pada punggung,
pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.
42
- pada awal dapat dijumpai nyeri intercostal yaitu nyeri yang menjalar
dari tulang belakang ke garis tengah keatas dada melalui ruang
intercosta, hal ini karenatertekannya radiks dorsalis ditingkat thoracal
- nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal.
Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus karena proses destruksi lanjut
berupa :
- paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf, akibat penekanan
medulla spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan
dan nyeri,
- gambaran paraplegia inferior kedua tungkai bersifat UMN dan adanya
batas defisit sensorik setinggi tempat gibus/lokalisasi nyeri intercostal
- pemeriksaan fisik :
o adanya gibus dan nyeri setempat
o spastisitas
o hiperreflesia tendon lutut/achilles dan
o reflex patologik pada kedua belah sisi
o batas defisit sensorik akibat mielitis transversa dan gangguan
miksi jarang dijumpai
Spondylitis corpus vertebra dibagi menjadi tiga bentuk :
1. Pada bentuk sentral.
Detruksi awal terletak di sentral corpus vertebra, bentuk ini sering
ditemukan pada anak.
2. Bentuk paradikus.
Terletak di bagian corpus vertebra yang bersebelahan dengan discus
intervertebral, bentuk ini sering ditemukan pada orang dewasa.
3. Bentuk anterior.
Dengan lokus awal di corpus vertebra bagian anterior, merupakan
penjalaran per kontinuitatum dari vertebra di atasnya.
2.2.9 Diagnosis[5,7,8,9,10,11]
43
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik :
1. Anamnesis dan inspeksi :
Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan keterangan dari pasien, meliputi
keluhan utama, keluhan sistem badan, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, dan riwayat penyakit keluarga atau lingkungan.
1.1. Gambaran adanya penyakit sistemik: kehilangan berat badan,
keringat malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama
sore dan malam hari serta kakeksia. Pada pasien anak-anak, dapat juga
terlihat berkurangnya keinginan bermain di luar rumah. Sering tidak
tampak jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien
dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang demam tinggi),
hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan terlihat
dengan jelas.
1.2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau
berdarah disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus di afrika terjadi
pembesaran dari nodus limfatikus, tuberkel di subkutan, dan
pembesaran hati dan limpa.
1.3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri
yang menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak
sebagai nyeri di daerah telinga atau nyeri yang menjalar ke tangan.
Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan
intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa
nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang
dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan menahan
punggungnya menjadi kaku.
1.4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang.
Langkah kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di
punggung.
1.5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat
menolehkan kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi
44
dan duduk dalam posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara
tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat
asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis.
Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya.
Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher.
Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke
Sternal notch. Sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan
adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada
orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis (Hsu dan Leong 1984).
Dislokasi atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan
merupakan salah satu penyebab kompresi Cervicomedullary. Di negara
yang sedang berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran
klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal.
1.6. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak
menjadi kaku. Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan
mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari
lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan
punggungnya tetapkaku (coin test) jika terdapat abses, maka abses
dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan
tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan
abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda
spinalis dan menyebabkan paralisis.
1.7. Di regio lumbar: abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan
lunak yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus
dapat keluar melalui fistel dalam pelvis danmencapai permukaan di
belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut danhip
dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan
meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan
menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.
1.8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi
tulang belakang)
45
1.9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit
neurologis). Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi
paraplegia pada spondilitis lebih banyak di temukan pada infeksi di
area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak
spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang
hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan motorik yang
bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan
anorektal.
1.10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas
dan nyeri akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari
pembengkakan tulang ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut
disebabkan karena tuberkulosa.
2. Palpasi :
2.1 Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit
diatasnya terasa sedikit hangat (disebut Cold abcess, yang
membedakan dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat
dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi
leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level
lesi. Dapat juga teraba disekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa
tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus
dalam Cold abscess
2.2 Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang
terkena.
3. Perkusi :
3.1 Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus
spinosusvertebrae yang terkena, sering tampak Tenderness
.
4. Auskultasi
46
Pada pemeriksaan auskultasi, keadaan paru tidak ditemukan kelainan.
Pemeriksaan penunjang :
1. Laboratorium :
1.1 Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam.
1.2 Tuberculin skin test /Mantoux test /Tuberculine purified protein
derivative (ppd) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi
pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh Mycobacterium.
Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,
kemerahan dengan diameter 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72
jamsetelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada ± 20% kasus
(tandon and pathak, 1973; kocen, 1977) dengan tuberkulosis berat
(tuberkulosis milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya
tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai
penyakitlain)
1.3 Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium.
1.4 Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
1.5 Pemeriksaan hispatologis ditemukan tuberkel.
1.6 Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal),
sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan
paruparu yang aktif)
1.7 Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang
bersifatrelatif.
1.8 Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin
haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus
yang sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup
canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding.
1.9 Pungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah.
Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan
47
kemungkinan infeksi pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial
akan memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan
tampak:
Xantokrom
Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada
tahap akut responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada
meningitis piogenik.
Kandungan protein meningkat.
Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran
klinis sangat kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan
Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis),
punksi lumbal akan menunjukkan Genuine dry tap. Pada pasien
ini adanya peningkatan bertahap kandungan protein
menggambarkan suatu blok spinal yang mengancam dan sering
diikuti dengan kejadian paralisis. Pemberian steroid akan
mencegah timbulnya hal ini (Wadia, 1973). Kandungan protein
cairan serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal dapat
mencapai 1-4G/100ML.
Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan
tes konfirmasi yang absolut tetapi hal ini tergantung dari
pengalaman pemeriksa dan tahap infeksi.
1.10 Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein).
1.11 Pemeriksaan serologi dengan deteksi antibodi spesifik dalam
sirkulasi.
1.12 Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay)
tetapi menghasilkan negatif palsu pada penderitadengan alergi.
1.13 Identifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) meliputi denaturasi
DNA kuman tuberkulosis melekatkan nukleotida tertentu pada
fragmen DNA dan amplifikasi menggunakan DNA polimerase sampai
terbentuk rantai DNA utuh yang diidentifikasi dengan gel.
48
2. Radiologis :[5,7,12]
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.
Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang
abnormal).
Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari
bukti adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru
dapat terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit.
Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.
Gambar 12. Spondilitis TB. Radiografi lateral menunjukkan hilangnya ruang diskus (panah lurus) dengan destruksi pelat ujung yang berdekatan (panah melengkung) dan pendesakan di anterior.
49
Gambar 13. Penyebaran subligamentum dari tuberculosis spinal. Gambaran radiografi lateral enunjukkan erosi pada tepi anterior corpus vertebra (panah) disebabkan oleh abses jaringan lunak sekitar.
Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau
sudut inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian
berlanjut sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang
berdekatan, serta erosi corpus vertebrae anterior yang berbentuk
Scalloping karena penyebaran infeksi dari area subligamentous
Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus
transversus atau prosesus spinosus.
Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan
timbulnya deformita scoliosis (jarang)
Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder
tuberkulosa yang sudahlama akan tampak tulang vertebra yang
mempunyai rasio tinggi lebih besar daril ebarnya (vertebra yang
normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap tingginya). Bentuk
ini dikenal dengan nama Long vertebra atau Tall vertebra, terjadi
karena adanyastress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus
sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat
pada kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra
yang belum menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang
melibatkan vertebra torakal. Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak,
seperti abses paravertebral dan psoas. Tampak bentuk fusiform atau
pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi. Abses psoas
akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami
peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat
penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural sangatlah
penting, oleh karena merupakan salah satuindikasi tindakan operasi
(tergantung ukuran abses).
Computed tomography - scan (ct)terutama bermanfaat untuk
memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yangsulit dilihat pada
50
foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel
tampak lebih baik dengan ct scan.CT scan memberi gambaran tulang
secara lebih detail dari lesi irreguler, skelerosis, kolaps diskus, dan
gangguan sirkumferensi tulang.
Gambar 14. Spondilitis TB. CT Scan axial menunjukkan destruksi litik corpus vertebra (panah hitam) dengan keterlibatan abses jaringan lunak (panah putih)
Gambar 15. Abses psoas terkalsifikasi. CT Scan aksial menunjukkan abses bilateral tuberculosis psoas dengan kalsifikasi perifer (panah)
Magnetic resonance imaging (MRI)mempunyai manfaat besar untuk
membedakan komplikasi yang bersifat kompresif dengan yang bersifat
non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. MRI mengevaluasi
infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis tulang belakang serta
menunjukkan adanya penekanan saraf (Lauerman, 2006). Bermanfaat
untuk :
51
o Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan
bersifat konservatif atau operatif.
o Membantu menilai respon terapi. Kerugiannya adalah dapat
terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di abses.
Gambar 16. Spondilitis TB. MRI Potongan sagital T2 menunjukkan area dengan peningkatan intensitas disebabkan edema corpus invertebral disertai penyempitan diskus (panah putih) dan penyebaran ke kanalis spinalis (panah hitam)
Neddle biopsi/ operasi eksplorasi (Costotransversectomi )
Dari lesi spinal mungkin diperlukan pada kasus yang sulit tetapi
membutuhkan pengalaman dan pembacaan histologi yang baik (untuk
menegakkan diagnosa yang absolut) (berhasil pada 50% kasus).
Aspirasi pusparavertebral yang diperiksa secara mikroskopis untuk
mencari basil tuberkulos adan granuloma, lalu kemudian dapat
diinokulasi di dalam Guinea babi.
2.2.10 Penatalaksanaan[4,5,13,14]
Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis ditujukan untuk eradikasi infeksi,
memberikan stabilitas pada tulang belakang dan menghentikan atau
memperbaiki kifosis. Kriteria kesembuhan sebagian besar ditekankan pada
tercapainya favourable status yang didefinisikan sebagai pasien dapat
beraktifitas penuh tanpa membutuhkan kemoterapi atau tindakan
bedahlanjutan, tidak adanya keterlibatan sistem saraf pusat, fokus infeksi yang
52
tenang secara klinis maupun secara radiologis. Pada prinsipnya pengobatan
tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk
menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Pengobatan terdiri atas :
1. Terapi konservatif berupa:
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak
vertebra
c. Memperbaiki keadaan umum penderita
d. Pengobatan antituberkulos astandar pengobatan di indonesia
berdasarkan program p2tb paru adalah :
Kategori 1
Untuk penderita baru bta (+) dan bta(-)/rontgen (+), diberikan dalam 2
tahap ;
tahap 1 :
o rifampisin 450 mg, etambutol 750 mg, inh 300 mg dan
pirazinamid 1.500MG.
o Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama
(60 kali).
tahap 2:
o rifampisin 450 mg, inh 600 mg,
o diberikan 3 kali seminggu (intermitten)selama 4 bulan
(54 kali).
Kategori 2
53
Untuk penderita bta(+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan,
termasuk penderita dengan bta (+) yang kambuh/gagal yang diberikan
dalam 2 tahap yaitu :
tahap 1
o Diberikan streptomisin 750 mg , inh 300 mg,
rifampisin 450 mg,pirazinamid 1500MG dan etambutol
750 mg.
o Obat ini diberikan setiap hari ,streptomisin injeksi
hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya
selama 3 bulan (90 kali).
tahap 2
o Diberikan inh 600 mg, rifampisin 450 mg dan
etambutol 1250 mg.
o Obat diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 5
bulan (66 kali).
kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita
bertambah baik, laju endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala
klinis berupa nyeri dan spasme berkurang serta gambaran radiologik
ditemukanadanya union pada vertebra.
Tabel 1. Panduan OAT untuk tiap kategori
54
Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang
primer:
o Isoniazid (inh)
Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler
Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan
intravena.
Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang
cepat.
Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk
cairan serebrospinal.
Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai
lebih banyak pasien berusia lanjut usia, Peripheral
neuropathy karena defisiensi piridoksin secararelatif
(bersifat reversibel dengan pemberian suplemen
piridoksin).
Relatif aman untuk kehamilan
Dosis inh adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari
o Rifampin (rmp)
Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi
cepat ataupun lambat dari basil, baik di intra ataupun
ekstraseluler.
Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik
yang paling rendah (seperti pada nekrosis perkijuan).
Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong
dan tersedia dalam bentuk sediaan oral dan intravena.
Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh
termasuk cairanserebrospinal. Efek samping yang
paling sering terjadi: perdarahan pada traktus
Gastrointestinal, Cholestatic jaundice, Trombositopenia
dan Dose dependent peripheral neuritis.
55
Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan
INH.
Relatif aman untuk kehamilan
Dosisnya: 10 mg/kg/hari - 600 mg/hari.
o Pyrazinamide (pza)
Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam
lingkungan yang bersifatasam dan paling efektif di
intraseluler (dalam makrofag) atau dalam lesi perkijuan.
Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.
Efek samping: 1. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat
dosis tinggi obat ini yang dipergunakan dalam jangka
yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila diberikan
dalam jangka pendek.
2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout
jarang tampak. Arthralgia dapat timbul tetapi tidak
berhubungan dengan kadar asam urat.
Dosis : 15-30MG/kg/hari
o Ethambutol (emb)
Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler
Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan
timbulnya kondisi buta warna, berkurangnya ketajaman
penglihatan dan adanya central scotoma
Relatif aman untuk kehamilan
Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan
insufisiensi ginjal
Dosis : 15-25 mg/kg/hari
o Streptomycin (stm)
Bersifat bakterisidal
56
Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat
basa sehingga dipergunakan untuk melengkapi
pemberian pza.
Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf viii),
nausea dan vertigo (terutama sering mengenai pasien
lanjut usia)
Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan
insufisiensi ginjal
Dosis : 15 mg/kg/hari - 1 g/kg/hari2.
Tabel 2. Dosis OAT
2. Terapi operatif bedah kostotransversektomi
yang dilakukan berupa debrideman dan penggantian korpus vertebra yang
rusak dengan tulang spongiosa/kortiko - spongiosa. Pott's paraplegia
sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan operasi
(Hodgson) akan tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi
operasi menjadi:
a. indikasi absolut
57
o Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi
tidak dilakukan bilatimbul tanda dari keterlibatan traktur
piramidalis, tetapi ditunda hingga terjadikelemahan motorik.
o Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun
diberikan terapikonservatif
o Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan
walaupun telah diberi terapi konservatif
o Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol
sehingga tirah baring dan immobilisasi menjadi sesuatu yang
tidak memungkinkan atau terdapat resiko adanya nekrosis
karena tekanan pada kulit.
o Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan
tekanan yang besar yang tidak biasa terjadi dari abses atau
kecelakaan mekanis; dapat juga disebabkan karena trombosis
vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa
o Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi
fleksi, hilangnya sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya
kekuatan motorik selama lebih dari 6 bulan (indikasi operasi
segera tanpa percobaan pemberikan terapi konservatif)
b. indikasi relatif
o Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan
sebelumnya
o Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat
karena kemungkinan pengaruh buruk dari immobilisasi
o Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena
spasme ataukompresi syaraf
o Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu
c. indikasi yang jarang
58
o Posterior spinal disease
o Spinal tumor syndrome
o Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal
o Paralisis berat karena sindrom kauda ekuinaabses dingin (cold
abses)
o cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh
karena dapat terjadi resorbsispontan dengan pemberian
tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase
bedah.
Ada tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
a. Debrideman fokal
b. Kosto-transveresektomi
c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:
a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata
b. Laminektomi
c. Kosto-transveresektomi
d. Operasi radikal
e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
Operasi kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat, kifosis
mempunyaitendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan
operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.
2.2.11 Diagnosis Banding[3,5]
1. Osteitis piogen : khasnya demam lebih cepat timbul
59
2. Poliomielitis : paresis/paralisis tungkai, skoliosis dan bukan kifosis
3. Skoliosis idiopatik : tanpa gimus dan tanda paralisis
4. Penyakit paru dengan bekas empiema : tulang belakang bebas penyakit
5. Metastasis tulang belakang : tidak mengenai diskus, adanya karsinoma
prostat
6. Kifosis senilis : kifosis tidak local, osteoporosis seluruh kerangka
2.2.12 Komplikasi[3,5]
Cedera corda spinalis ( Spinal cord injury).
Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus
tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis
(contoh : Pott's paraplegia - prognosa baik) atau dapat juga langsung
karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa
(contoh: menigomyelitis - prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering
berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan
Mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan
atau karena invasi dura dan corda spinalis.
Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal
ke dalam pleura.
60
Tabel 3. Alternatif penatalaksanaan Spondilitis TB
Pilihan terapi
Pendekatan Metode Indikasi
I - - Penatalaksanaan dasar - Kasus baru dengan masalah terbatas, penderita menolak dioperasi
II Anterior - Debridement anterior- Evakuasi abses paravertebral
- Pasien dalam kondisi baik- Abses besar- Destruksi minimal
III Anterior - Debridement anterior- Fusi dan instrumentasi
- TB servikal lempeng anterior TB torakolumbal Metode Hongkong
IV Posterior-anterior
- Instrumentasi posterior- Debridement anterior dan
fusi sirkumferensial
- Deformitas non-rigid- Toleransi buruk dengan
pendekatan anterior – debrideman thoracoskopic dan instrumentasi
- Infeksi, nyeri, instabilitas, deformitas. Dan deficit neurologis
V Posterior-anterior
- Instrumentasi posterior- Debridement anterior dan
fusi sirkumferensial- Pemendekan terbatas
- Deformitas rigid
VI Posterior - Dekompresi posterior laminektomi
- Costotransversectomy debrid dan evakuasi abses
- Lihat indikasi alternatif penatalaksanaan II-IV
VII Posterior - Laminectomy- Pemendekan terbatas- Debridement dan fusi
translateral/posterior- Instrumentasi posterior
- TB lumbal tanpa abses paravertebral
VIII Posterior - Laminektomi- Debridement transpedikular- Biopsy- Instrumentasi posterior
- TB thorax atas- Abses minimal- Deformitas minimal
IX Posterior - Pemendekan dibuang: lamina, facet, prosesus transverses, kosta
- Instrumentasi posterior
- Kifosis berat (60-90o)
X - - Lihat metode II-IX - Kifosis >90o, neuro defisit +
61
2.2.13 Pencegahan
Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain
Mycobacterium bovis yang dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG
akan menstimulasi immunitas, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa
menimbulkan hal-hal yang membahayakan. Vaksinasi ini bersifat aman tetapi
efektifitas untuk pencegahannya masih kontroversial. Percobaan terkontrol di
beberapa negara Barat, dimana sebagian besar anakanaknya cukup gizi, BCG
telah menunjukkan efek proteksi pada sekitar 80% anak selama 15 tahun setelah
pemberian sebelum timbulnya infeksi pertama. Akan tetapi percobaan lain dengan
tipe percobaan yang sama di Amerika dan India telah gagal menunjukkan
keuntungan pemberian BCG. Sejumlah kecil penelitian pada bayi di negara
miskin menunjukkan adanya efek proteksi terutama terhadap kondisi tuberkulosa
milier dan meningitis tuberkulosa. Pada tahun 1978, The Joint Tuberculosis
Committee merekomendasikan vaksinasi BCG pada seluruh orang yang uji
tuberkulinnya negatif dan pada seluruh bayi yang baru lahir pada populasi
immigran di Inggris (Glassroth et al. 1980)(2,10).
Saat ini WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease tetap menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu
yang rutin pada negara-negara dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada
beberapa kasus seperti pada AIDS aktif). Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml
untuk neonatus dan bayi sedangkan 0,1 ml untuk anak yang lebih besar dan
dewasa. Oleh karena efek utama dari vaksinasi bayi adalah untuk memproteksi
anak dan biasanya anak dengan tuberkulosis primer biasanya tidak infeksius,
maka BCG hanya mempunyai sedikit efek dalam mengurangi jumlah infeksi pada
orang dewasa. Untuk mengurangi insidensinya di kelompok orang dewasa maka
yang lebih penting adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan sputum
berbasil tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah
menular. Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi
masyarakat sehingga seluruh kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi. Selain
BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian 5mg/kg/hari
62
selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi
tuberkulosa(2,10).
2.2.14 Prognosis
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia
dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis
serta terapi yang diberikan.
a. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring
dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien
didiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik
dengan regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir
mencapai 0%.
c. Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi
kosmetis secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya
defisit neurologis atau kegagalan pernafasan dan jantung karena
keterbatasan fungsi paru. Rajasekaran dan Soundarapandian dalam
penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara sudut
akhir deformitas dan jumlah hilangnya corpus vertebra.
Untuk memprediksikan sudut deformitas yang mungkin timbul peneliti
menggunakan rumus:
Y = a + bX
dengan keterangan :
Y = sudut akhir dari deformitas
X = jumlah hilangnya corpus vertebrae
a dan b adalah konstanta dengan a = 5,5 dan b= 30, 5.
Dengan demikian sudut akhir gibbus dapat diprediksi, dengan akurasi 90%
padapasien yang tidak dioperasi. Jika sudut prediksi ini berlebihan, maka
operasi sedini mungkin harus dipertimbangkan.
63
d. Defisit neurologis
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik
secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum,
prognosis membaik dengan dilakukannya operasi dini.
e. Usia
Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa
f. Fusi
Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk
pemulihanpermanen spondilitis tuberkulosa.
64
BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang perempuan berusia 37 tahun, bertempat tinggal di Bukit Sangkal,
Palembang, datang ke RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang dengan keluhan
nyeri kepala setelah kecelakan lalu lintas. Hasil autoanamnesis didapatkan wajah
kanan penderita membentur benda keras setelah kecelakaan lalu lintas. Penderita
juga mengeluh kesulitan dan nyeri saat membuka mulut, penglihatan berbayang
dan rasa nyeri di sekitar bola mata. Dari autoanamnesis dapat diperkirakan telah
terjadi fraktur pada tulang-tulang pembentuk wajah kanan.
Pada pemeriksaan fisik tanggal 30 Juni 2013 didapatkan status generalis
penderita dalam batas normal. Pada pemeriksaan status lokalis regio frontal pada
inspeksi tampak luka ukuran ±10x1 cm, telah dijahit, tepi luka tidak rata, dasar
tulang, dipalpasi terdapat krepitasi. Regio orbita dekstra melalui inspeksi
didapatkan luka di palpebra superior ukuran ±3 cm, telah dijahit, ekimosis pada
periorbita, enopthalmos orbita dekstra, pada palpasi ditemukan nyeri tekan margo
lateral dan inferior orbita dekstra. Regio zigomatikomaksilaris dekstra terdapat
deformitas dan asimetris, dipalpasi terdapat nyeri tekan dan malar depressed.
Regio mandibula didapatkan pada inspeksi simetris dan trismus (+), pada palpasi
tidak ditemukan dan step off. Pmeriksaan intraoral ditemukan tidak ada cedera
lidah.
Pada pemeriksaan Rontgen AP/Lateral dan Waters serta CT Scan bone
window tanggal 30 Juni 2013 didapatkan kesan fraktur dinding lateral rima orbita
dekstra, fraktur os zigomatika/ fraktur dinding lateral sinus maksilaris, dan tampak
perselubungan/soft tissue swelling pada regio maksilaris dekstra yang dicurigai
bukan sinusitis, tapi bekuan darah. .
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis dapat
ditegakkan diagnosa kerja pada kasus ini adalah fraktur zigomatikomaksillaris
complex dekstra. Penyebab frakturnya karena benturan benda keras pada pipi
kanan pasien. Penatalaksanaan awal dilakukan stabilisasi keadaan umum pasien
65
yang meliputi airway dengan membuka dan membersihkan jalan nafas,
breathing dengan pemberian oksigen dan circulation dengan perawatan
perdarahan disertai pemberian cairan isotonik. Penatalaksanaan definitif dilakukan
operasi terbuka dan fiksasi interna dengan menggunakan plat mini and screw,
konsul bagian mata, injeksi Ketorolac 3x30 mg (iv), injeksi Ceftriaxon 2x1 gram
(iv). Prognosis pada pasien ini secara vitam dan functionam bonam.
66
DAFTAR PUSTAKA
1. Martini F.H., welch k. Fundamentals of anantomy and physiology. 5th ed. Newjersey: Upper Saddle River, 2001: 132,151PG
2. Anatomi Fungsional Vertebra, accessed on 1 Januari 2014, available from http://fisiosby.com/anatomi-fungsional-vertebrae
3. Medlinux, spondilitis tuberkulosa, accessed on 1 Januari 2014, available fromhttp://medlinux.blogspot.com/2007/09/spondylitis-tuberkulosa.html
4. Rasjad C, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Jakarta: hal 144-1495. Hidalgo Ja, Pott Disease (Tuberculous Spondylitis), Herchline T, Talavera
F, Jhon Jf,Mlonakis E, Cunha Ba, Accessed On 1 January 2014, available from http://www.emedicine.com/med/infecmedical_topics.htm
6. Wim De Jong, Spondilitis Tbc, Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta; hal. 1226-1229
7. Bohndorf K., Imhof H. Bone And Soft Tissue Inflammation. In : Musculoskeletalimaging: A Concise Multimodality Approach. New york :thieme, 2001 : 150, 334-36.
8. Lindsay, Kw, Bone I, Callander R. Spinal Cord And Root Compresion. In : Neurologyand Neurosurgery Illustrated. 2NDED. Edinburgh : Churchill Livingstone, 1991 : 388
9. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases Of The Spinal Cord. In : Critchley E,Eisen A.,Editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis And Management. London:Springer-Verlag, 1997 : 378-87.
10. Sidharta P, Spondilitis Tuberculosa, In Lazuardi S, Hok Ts, Sudibjo Ai, At All Eds, Neurologi Klinik Dalam Praktek Umum,Dian Rakyat, Jakarta 1999:341
11. Dewi Lk, Edi A, Suarthana E, Spondilitis Tuberkulosa, In Mansjoer A, Suprohaita,Wardhani Wi, Setiowulan W, Eds, Kapita Selekta Kedokteran Media Aesculapiusjakarta 2000 : 58
12. Lauerman Wc, Regan M. Spine. In : Miller, Editor. Review Of Orthopaedics. 2ND Ed.Philadelphia : W.B. Saunders, 1996 : 270-91
13. Currier B.L, Eismont F.J. Infections Of The Spine. In : The Spine. 3RD Ed.Rothmansimeone Editor. Philadelphia : W.B. Sauders, 1992 : 1353-64
14. Graham Jm, Kozak J. Spinal Tuberculosis. In : Hochschuler Sh, Cotler Hb, Guyer Rd.Editor. Rehabilitation Of The Spine : Science And Practice. St. Louis : Mosby-Year Book, Inc., 1993 : 387-90.
15. Jose A Hidalgo, MD, George Alangaden, MD. Pott Disease (Tuberculous Spondylitis) in: http://www.emedicine.medscape.com. Updated: Dec 29, 2013.
67
16. Danchaivijitr, N. Diagnostic Accuracy of MR Imaging in Tuberculous Spondylitis. [Online]. 2007 Feb 19 [cited 2013 Des 27];[5 screens]. Available from: URL:http://www.medassocthai.org/journal
17. Anonim. Paget’s disease of bone. [Online]. 2005 Oct [cited 2013 Dec 27];[4 screens]. Available from: URL:http:// www.thamburaj.com
18. Spondilitis Tb. Accessed on 29th Des 2013. Available from: http://drofidwiantoro.blogspot.com/2011/07/spondilitis-tb_06.html
19. Isi Referat Spondilitis. Access on 31st Des 2013. Available from: Http://www.scribd.com/doc/102639910/isi-referat-spondilitis
20. Alfarisi.Doc. Patogenesis , Patofisiologi , Stadium , Dan Derajat Klasifikasi Spondilitis Tuberkulosa.[Online]. 2011 April 30 [cited 2013 Dec 29] ;[9 screens]. Available from:URL: Http://doc-alfarisi.blogspot.com/2011/04/patogenesis-patofisiologi-stadium-dan.html
21. Hidalgo, JA. Pott Disease. [Online]. 2005 Aug 25 [cited 2013 Dec 30];[17 screens]. Available from: URL:http:www.eMedicine.com/med/topic
22. Anonim. Penyakit Paget Pada Tulang. [Online]. 2006 Oct [cited 2013 Dec 28];[2 screens]. Available from: URL: http:// www.patient.co.uk/showdoc/40001278/
68