Case Spondilitis TB

103
Laporan Kasus SPONDILITIS TB Oleh: Abdurrahman Hadi, S.Ked NIM. 04124705045 Pembimbing: Dr. Ismail Bastomi, SpOT

description

spondilitis

Transcript of Case Spondilitis TB

Page 1: Case Spondilitis TB

Laporan Kasus

SPONDILITIS TB

Oleh:

Abdurrahman Hadi, S.Ked

NIM. 04124705045

Pembimbing:

Dr. Ismail Bastomi, SpOT

BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU BEDAH

RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Page 2: Case Spondilitis TB

2014

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus

SPONDILITIS TB

Oleh:

Abdurrahman Hadi, S.Ked

04124705045

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian

kepaniteraan klinik senior di Bagian/Departemen Ilmu Bedah Rumah Sakit

Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Palembang Periode 2 Desember 2013–10 Februari 2014.

Palembang, Januari 2014

dr. Ismail Bastomi, SpOT

2

Page 3: Case Spondilitis TB

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Wahyudin Munasyeh

Umur : 36 tahun

Jenis Kelamin

Kebangsaan

:

:

Laki-laki

Indonesia

Alamat : Desa Sungai Pinang, Kec. Rambutan, Banyuasin

Status : Menikah

Pekerjaan :

Pendidikan : SD

No. Rec. Med : 783238

MRS : 11 Desember 2013

II. ANAMNESA

Autoanamnesa : Tanggal 17 Januari 2014

Keluhan Utama : Tidak dapat menggerakkan kedua tungkai

sejak 4 bulan yang lalu

Keluhan tambahan : Nyeri pinggang

Riwayat Perjalanan Penyakit :

Sejak ± 5 bulan yang lalu penderita mengeluh kedua

tungkai terasa lemah, diawali dari tungkai kanan kemudian

berlanjut ke tungkai kiri. Ketika berdiri penderita sering merasa

goyah dan hilang kekuatan. Kesemutan di sepanjang tungkai ada.

Nyeri pinggang dirasakan, hilang timbul, terlokalisir, tidak

menjalar. Nyeri pinggang ini dirasakan terutama pada malam hari,

saat penderita beristirahat dan saat bangun pagi hari. Penderita

berobat sendiri dengan obat rematik di warung, keluhan berkurang

namun tak lama kemudian nyeri dirasakan kembali.

3

Page 4: Case Spondilitis TB

Kurang lebih 4 bulan yang lalu kelemahan tungkai semakin

bertambah. Penderita dapat berjalan bila dipapah, kemudian

semakin lemah hingga akhirnya penderita tidak mampu lagi

berjalan. Penderita hanya dapat menggerakkan tungkainya

melawan gravitasi. Rasa kesemutan tidak dirasakan lagi.

Kisaran 3 bulan yang lalu, kelemahan kedua tungkai

semakin berat, penderita hanya bisa menggerakkan kedua tungkai

ke samping, tidak dapat melawan gravitasi. Penderita tiba-tiba juga

mengeluhkan nyeri perut selama tiga hari dan berobat ke RSMH

atas keluhan nyeri perut tersebut, didiagnosis menderita peritonitis

difusa ec susp perforasi gaster. Pada penderita dilakukan operasi

pada tanggal 11 Desember 2013 dan penderita kemudian dirawat di

oleh bagian Bedah Digestif RSMH untuk observasi pasca operasi.

Selama dirawat di RSMH, kelemahan tungkai penderita

bertambah parah. Penderita tidak dapat menggerakkan kedua

tungkai sama sekali. Nyeri pinggang masih dirasakan, dan semakin

hebat. Penderita memposisikan punggungnya menjadi kaku untuk

mengurangi nyeri yang dirasakan. Sekujur tungkai penderita mati

rasa. Kelemahan anggota gerak atas disangkal. Penderita BAB dan

BAK seperti biasa. Penderita kemudian dikonsulkan ke bagian

Bedah Orthopaedi RSMH.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Penderita mengakui terdapat penrunan berat badan selama

3 bulan terakhir. Keringat di malam hari (+). Demam, sesak napas,

batuk-batuk lama, mengonsumsi obat-obatan paru, maupun riwayat

tinggal atau kontak dengan orang penderita penyakit paru

disangkal. Riwayat trauma pada tulang belakang diakui penderita ±

2 tahun yang lalu saat pasien bekerja sebagai buruh bangunan.

Penderita lupa bagaimana kejadian dan posisi jatuh. Keluhan

4

Page 5: Case Spondilitis TB

setelah trauma disangkal. Riwayat menderita kencing manis

disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat anggota keluarga menderita penyakit serupa

keluhan pasien saat ini disangkal.

Riwayat Sosial Ekonomi :

Penderita adalah kepala keluarga, menghidupi anak, istri

dan ibu. Bekerja sebagai buruh bangunan.

Kesan: status ekonomi menengah ke bawah

III. PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 17 Januari 2014

Kesadaran : Kompos Mentis

Keadaan Umum : Sakit sedang

Berat Badan : 52 kg

Tinggi badan : 167 cm

Gizi : Baik

Tekanan Darah : 120/70 mmHg

Nadi : 92 x/menit

RR : 24 x/menit

Suhu : 37,2˚C

STATUS GENERALIS

Kepala : Normocephali, distribusi rambut merata.

Mata : Pupil bulat isokor, konjungtiva tidak anemis,

sclera tidak ikterik, reflek cahaya langsung +/+,

Refleks cahaya tidak langsung +/+.

5

Page 6: Case Spondilitis TB

Telinga : Normotia, serumen -/-, membran timpani intak,

nyeri tekan mastoid -/-

Hidung : septum deviasi (-), pernapasan cuping hidung (-),

oedem mukosa (-)

Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, T1-T1 tenang

Leher : Trakea lurus di tengah, kelenjar tiroid tidak teraba

membesar, KGB tidak teraba

Thoraks :

Pulmo : Inspeksi : statis dinamis simetris

Palpasi : stem fremitus paru simetris di kedua

hemithoraks

Perkusi : sonor di kedua lapang paru

Auskultasi : vesikuler (+) n, Rhonki -/-, Wheezing-/-

Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi :

Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis

sinistra

Batas kiri jantung : ICS V 1 jari medial linea

midclavikularis sinistra

Batas kanan jantung : ICS IV linea sternalis

dextra

Auskultasi : BJ I-II regular, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen: Inspeksi : Abdomen datar, tampak scar bekas operasi

sudah menutup, benjolan (-)

Palpasi : lemas, massa (-), nyeri tekan epigastrium (-),

defans muskuler (-), hepatosplenomegali (-)

Perkusi : timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)

Auskultasi : BU (+) normal

Ekstremitas: Akral hangat, sianosis (-), edema (-)

6

Page 7: Case Spondilitis TB

STATUS LOKALIS

Regio Thorakolumbal

Gambar 1. Penampang tubuh penderita (a) tampak belakang; (b) tampak samping

Look : Deformitas (+) kifosis vertebra thorakal

Benjolan (+) Thorakal IX-X

Tanda radang (-), warna benjolan sama dengan warna

kulit, patch hiperpigmentasi-hipopigmentasi, bulat, 2

cm, sikatrik (-), fistel (-).

Feel : Suhu benjolan sama dengan sekitarnya

Benjolan berbentuk lonjong ukuran 8x5x1 cm

Konsistensi keras, batas tegas, imobil, fluktuasi (-)

Nyeri tekan (-).

Move : ROM aktif pasif terbatas.

STATUS NEUROLOGIS

- GCS : E4V5M6

Motorik

Lengan Kanan Kiri

7

A.

A.

B.

B.

Page 8: Case Spondilitis TB

Gerakan Luas Luas

Kekuatan 5 5

Tonus Eutoni Eutoni

Refleks fisiologis

Biseps

Triseps

Radius

Ulna

+n

+n

+n

+n

+n

+n

+n

+n

Refleks patologis

Hoffman-

tromner

- -

Tungkai

Gerakan Tidak ada Tidak ada

Kekuatan 1 1

Tonus Hipertonus Hipertonus

Klonus

Paha

Kaki

Tidak diperiksa

+

Tidak diperiksa

+

Refleks fisiologis

APR

KPR

+↑

+↑

+↑

+↑

Refleks patologis

- Babinsky

- Chaddock

- Oppenheim

- Schaeffer

+

+

+

+

+

+

+

+

Sensorik

8

Page 9: Case Spondilitis TB

anestesi setinggi symphisis pubis

GAMBAR

Gambar 2. Sketsa fungsi sensorik

Fungsi Vegetatif

Miksi : Normal

Defekasi : Normal

Ereksi : tidak diperiksa

Kolumna Vertebralis

Kyphosis : (+)

Lordosis : (-)

Gibbus : (+) vertebra thorakal IX-X

9

Page 10: Case Spondilitis TB

Deformitas : (+)

Tumor : (-)

Meningocele : (-)

Hematoma : (-)

Nyeri ketok : (-)

Gejala Rangsang Meningeal

Kaku kuduk (-)

Kerniq (-)

Lasseque (-)

Brudzinsky

o Leg I (-)

o Leg II (-)

Gait Dan Keseimbangan

Gait : tidak dapat berjalan

Keseimbangan dan Koordinasi: tidak ada kelainan

Gerakan Abnormal : -

IV. DIAGNOSIS BANDING

Paraplegi inferior ec Spondilitis TB + dekubitus gr I vertebra thoracalis

XII

Paraplegi inferior ec tumor vertebrae + dekubitus gr I vertebra

thoracalis XII

Paraplegi inferior ec fraktur kompresi vertebra + dekubitus gr I

vertebra thoracalis XII

V. RENCANA PEMERIKSAAN

Darah rutin, kimia darah

BTA Sputum I/II/III

10

Page 11: Case Spondilitis TB

Rontgen Thorax PA/Lateral

Rontgen Thoracolumbal PA/Lateral

CT Scan vertebra T-X

VI. DIAGNOSIS KERJA

Paraplegi inferior ec susp. Spondilitis TB + dekubitus gr I vertebra

thoracalis XII

VII. TERAPI AWAL

- Konsul PDL untuk regimen OAT

- Perawatan dekubitus

- Na Diklofenac 3x50 mg

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium tgl 6 Januari 2014

Darah

- Hb : 13,7 g/dL

- Ht : 42 %

- LED : 120 mm/jam

- Leukosit : 9.300 /uL

- Trombosit : 530.000 /uL

- Diff count : 0/6/0/58/26/10

Kimia klinik hati

- AST : 26 mnt/L

- ALT : 20 mnt/L

- Protein total : 8,4 g/dL

- Albumin : 3,3 g/dL

- Globulin : 5,1 g/dL

Kimia klinik ginjal

- Ureum : 24 mg/dL

- Asam urat : 5,9 mg/dL

11

Page 12: Case Spondilitis TB

- Kreatinin : 0,06 mg/dL

Sputum

- BTA 3x negatif

Pemeriksaan thoraks (PA), 11 Desember 2013

Gambar 3. Foto thorax PA

- Kesan: gambaran thorax dalam batas normal

Pemeriksaan thorakolumbal (AP/Lateral) 11 Desember 2013

12

Page 13: Case Spondilitis TB

Gambar 4. Foto Thoracolumbal AP/PA/Lat

- Kurvatura torakal tampak hiperkifotik

- Tampak destruksi korpus V.Th IX-X-XI disertai penyempitan

diskus intervertebralis

- Tampak pula paravertebral massa pada setinggi V.Th IX-X-XI

- Pedikel masih tampak intak

13

Page 14: Case Spondilitis TB

- Korpus lumbal baik

- Sakroiliaka dan coxae joint kanan kiri baik

Kesan : Kurvatura torakal tampak hiperkifotik dengan destruksi

korpus V.Th IX-X-XI, penyempitan diskus intervertebralis dan

paravertebra mass suspek spondilitis TB

Saran: MRI thorakolumbal dengan kontras

CT Scan Thoracal X: dijadwalkan 20 Februari 2014

IX. RESUME

Pasien wanita umur 19 tahun datang ke poli RSU KOJA pada

tanggal 1 September 2007 dengan keluhan benjolan pada

punggung belakang sebelah kiri kurang lebih sejak 5 bulan SMRS.

Benjolan yang dirasakan awalnya kecil yang lama-kelamaan

menjadi besar dan nyeri. Benjolan juga terdapat pada daerah leher

sebelah kiri dan nyeri pada saat pasien menengoke sebelah kiri.

Pasien merasakan badan dan kaki terasa lemas sehingga sering

tiba-tiba terjatuh. Nafsu makan menurun dan BB menurun. Pasien

dirawat di RSU KOJA sejak tanggal 1 September 2007. Pada

pemeriksaan fisik, status generalis dalam batas normal. Pada status

lokalis regio thorakolumbal ditemukan deformitas (+) kifosis

vertebra thorakal, benjolan (+) Thorakal IX-X, warna benjolan

sama dengan warna kulit, suhu benjolan lebih hangat dari

sekitarnya, benjolan berbentuk lonjong ukuran 12x2x2 cm,

konsistensi keras, batas tegas, imobil, fluktuasi (-), didapatkan

patch hiperpigmentasi-hipopigmentasi 2 cm setinggi vertebra

thoracalis XII. ROM terbatas ketika bungkuk dan nyeri. Status

neurologis didapatkan gerakan tungkai tidak ada, kekuatan kedua

tungkai 0, reflex fisiologis meningkat, klonus ada, reflex patologis

ada. Fungsi sensori anestesi setinggi simfisis pubis, GRM (-),

14

Page 15: Case Spondilitis TB

pasien tidak dapat berjalan. Pemeriksaan foto thoracolumbal

AP/Lat didapatkan kurvatura torakal tampak hiperkifotik dengan

destruksi korpus V.Th IX-X-XI, penyempitan diskus

intervertebralis dan paravertebra mass suspek spondilitis TB

X. PROGNOSIS

Ad Vitam : dubia ad bonam

Ad Fungtionam: dubia

Ad sanationam : dubia

15

Page 16: Case Spondilitis TB

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tulang Belakang

Tulang belakang (vertebra) terdiri dari 33 tulang: 7 buah tulang cervical,

12 buahtulang thoracal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral dan 4 tulang

coccygeus. Tulang cervical, thoracal dan lumbal membentuk columna vertebralis,

sedangkan tulang sacral dan coccygeus satu sama lain menyatu membentuk dua

tulang yaitu tulang sacrum dan coccygeus. Discus intervertebralis merupakan

penghubung antara dua corpus vertebra.

Gambar 5. Pembagian tulang belakang

Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang

belakang dan memungkinkan mobilitas vertebra. Fungsi columna vertebralis

adalah menopang tubuh manusia dalam posisi tegak, yang secara mekanik

sebenarnya melawan pengaruh gaya gravitasi agar tubuh secara seimbang tetap

tegak. Vertebra cervical, thoracal, lumbal bila diperhatikan satu dengan yang

16

Page 17: Case Spondilitis TB

lainnya ada perbedaan dalam ukuran dan bentuk, tetapi bila ditinjau lebih lanjut

tulang tersebut mempunyai bentuk yang sama. Corpus vertebra merupakan

struktur yang terbesar karena mengingat fungsinya sebagai penyangga berat

badan.

Gambar 6. Penampang melintang tulang belakang

Prosesus transversus terletak pada ke dua sisi corpus vertebra, merupakan

tempat melekatnya otot-otot punggung. Sedikit ke arah atas dan bawah dari

prosesus transverse sterdapat fasies artikularis vertebra dengan vertebra yang

lainnya. Arah permukaan facet join mencegah/membatasi gerakan yang

berlawanan arah dengan permukaan facet join. Pada daerah lumbal facet terletak

pada bidang vertical sagital memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi ke arah

anterior dan posterior. Pada sikap lordosis lumbalis (hiperekstensilumbal) kedua

facet saling mendekat sehingga gerakan ke lateral, oblique dan berputar

terhambat, tetapi pada posisi sedikit fleksi kedepan (lordosis dikurangi) kedua

facet saling menjauh sehingga memungkinkan gerakan ke lateral berputar. Bagian

lain dari vertebrae, adalah "lamina" dan "predikel" yang membentuk arkus tulang

vertebra, yang berfungsi melindungi foramen spinalis. Prosesus spinosus

merupakan bagian posterior dan vertebra yang bila diraba terasa sebagai tonjolan,

berfungsi tempat melekatnya otot-otot punggung. Diantara dua buah tulang

17

Page 18: Case Spondilitis TB

vertebra terdapat discus intervertebralis yang berfungsi sebagai bentalan atau

"shock absorbers" bila vertebra bergerak. discus intervertebralis terdiri dari

annulus fibrosus yaitu masa fibroelastik yang membungkus nucleus pulposus,

suatu cairan gel koloid yang mengandung mukopolisakarida.

Fungsi mekanik discus intervertebralis mirip dengan balon yang diisi air

yang diletakkan diantara kedua telapak tangan . Bila suatu tekanan kompresi yang

merata bekerja pada vertebrae maka tekanan itu akan disalurkan secara merata ke

seluruh diskus intervertebralis. Bila suatu gaya bekerja pada satu sisi yang lain,

nucleus pulposus akan melawan gaya tersebut secara lebih dominan pada sudut

sisi lain yang berlawanan. Keadaan ini terjadi pada berbagai macam gerakan

vertebra seperti fleksi, ekstensi, laterofleksi.

Gambar 7. Anatomi diskus intervertebralis

Karena proses penuaan pada discus intervebralis, maka kadar cairan dan

elastisitasdiscus akan menurun. Keadaan ini mengakibatkan ruang discus

intervebralis makin menyempit,"facet join" makin merapat, kemampuan kerja

18

Page 19: Case Spondilitis TB

discus menjadi makin buruk, annulus menjadi lebih rapuh. Akibat proses penuaan

ini mengakibatkan seorang individu menjadi rentan mengidap nyeri punggung

bawah. Gaya yang bekerja pada discus intervebralis akan makin bertambah setiap

individu tersebut melakukan gerakan membungkuk, gerakan yang berulang-ulang

setiap hari yang hanya bekerja pada satu sisi discus intervebralis, akan

menimbulkan robekan kecil pada annulus fibrosus, tanpa rasa nyeri dan tanpa

gejala prodromal. Keadaan demikian merupakan "locus minoris resistensi" atau

titik lemah untuk terjadinya HNP (Hernia Nucleus Pulposus). Sebagai contoh,

dengan gerakan yang sederhana seperti membungkuk memungut surat kabar di

lantai dapat menimbulkan herniasi discus. Ligamentum spinalis berjalan

longitudinal sepanjang tulang vertebra.Ligamentum ini berfungsi membatasi

gerak pada arah tertentu dan mencegah robekan.diskus intervebralis dikelilingi

oleh ligamentum anterior dan ligamentum posterior. Ligamentum longitudinal

anterior berjalan di bagian anterior corpus vertebrae, besar dan kuat, berfungsi

sebagai alat pelengkap penguat antara vertebrae yang satu dengan yang lainnya.

Ligamentum longitudinal posterior berjalan di bagian posterior corpus vertebrae,

yang juga turut membentuk permukaan anterior canalis spinalis. Ligamentum

tersebut melekat sepanjang columna vertebralis, sampai di daerah lumbal yaitu

setinggi L1, secara progresif mengecil, maka ketika mencapai L5 - sacrum

ligamentum tersebut tinggal sebagian lebarnya, yang secara fungsional potensi

mengalami kerusakan. Ligamentum yang mengecil ini secara fisiologis

merupakan titik lemah dimana gaya statistik bekerja dan dimana gerakan spinal

yangterbesar terjadi, disitulah mudah terjadi cidera kinetik.

Gambar 8. Fisiologi nukleus pulposus

19

Page 20: Case Spondilitis TB

Otot punggung bawah dikelompokkan sesuai dengan fungsi gerakannya.

Otot yang berfungsi mempertahankan posisi tubuh tetap tegak dan secara aktif

mengekstensikan vertebralumbalis adalah: m. Quadratus lumborum, m.

Sacrospinalis, m. Intertransversarii dan m.interspinalis. Otot fleksor lumbalis

adalah muskulus abdominalis mencakup: m. Obliqus eksternusabdominis, m.

Internus abdominis, m. Transversalisabdominis dan m. Rectusabdominis, m.

Psoas mayor dan m. Psoas minor.

Otot latero fleksi lumbalis adalah m.quadratus lumborum, m. Psoas mayor

dan minor, kelompok m. Abdominis dan m.intertransversarii.Jadi dengan melihat

fungsi otot di atas otot punggung di bawah berfungsimenggerakkan punggung

bawah dan membantumempertahankan posisi tubuh berdiri.

Gambar 9. Otot-otot punggung

Medulla spinalis dilindungi oleh vertebrae. Radix saraf keluar melalui canalis

spinalis,menyilang discus intervertebralis di atas foramen intervertebralis. Ketika

keluar dari foramen intervertebralis saraf tersebut bercabang dua yaitu ramus

anterior dan ramus posterior dan salah satu cabang saraf tersebut mempersarafi

"facet". Akibat berdekatnya struktur tulang vertebrae dengan radix saraf

cenderung rentan terjadinya gesekan dan jebakan radix saraf tersebut. Semua

ligamen, otot, tulang dan facet join adalah struktur tubuh yang sensitif terhadap

20

Page 21: Case Spondilitis TB

rangsangan nyeri, karena struktur persarafan sensoris kecuali ligament flavum,

discus intervertebralis dan ligamentum interspinosum karena tidak dirawat oleh

saraf sensoris.

Gambar 10. Persarafan tulang belakang

21

Page 22: Case Spondilitis TB

Dengan demikian semua proses yang mengena istruktur tersebut di atas seperti

tekanan dan tarikan dapat menimbulkan keluahan nyeri. Nyeri punggung bawah

sering berasal dari ligamentum longitudinalis anterior atau posterior yang

mengalami iritasi. Nyeri artikuler pada punggung bawah berasal dari facies

artikularis vertebrae beserta kapsul persendiannya yang sangat peka terhadap

nyeri. Nyeri yang berasal dari otot dapat terjadi oleh karena: aktivitas motor

neuron, ischemia muscular dan pereganganmiofasial pada waktu otot berkontraksi

kuat. Tulang belakang mempunyai tiga lengkungan fisiologis yaitu lordosis

servikalis, kyphosis thorakalis dan lordosis lumbalis. Bila dilihat dari samping

dalam posisi tegak ketiga lengkungan fisiologis ini disebut posture atau sikap.

Postur yang baik adalah postur tidak memerlukan tenaga, tidak melelahkan, tidak

menimbulkan nyeri, yang dapat dipertahankanuntuk jangka waktu tertentu dan

secara estetis memberikan penampilan yang dapat diterima. Disini terjadi

keseimbangan antara kerja ligamen dan torus minimal otot. Secara keseluruhan

posture dipengaruhi oleh keadaan anatomi, suku bangsa, latar belakang

kebudayaan, lingkungan pekerjaan, jenis kelamin dan keadaan psikis seseorang.

Sudut lumbosakral adalah sudut yang dibentuk oleh permukaan os.sakrum dengan

garis horizontal. Normal besar sudut lumbosakral (sudut ferguson) 30 derajat.

Rotasi pelvis ke atas memperkecil sudut lumbosakral sedangkan rotasi pelvis ke

bawah memperbesar sudut lumbosakralis. Bila seseorang membungkuk untuk

mencoba menyentuh lantai dengan jari tangan tanpa fleksi lutut, selain fleksi dari

lumbal harus dibantu dengan rotasi dari pelvis dan sendi cocsae. Perbandingan

antara rotasi pelvis dan fleksi lumbal disebut ritme lumbal-pelvis. Secara singkat

punggung bawah merupakan suatu struktur yang kompleks; dimana tulang

vertebrae, discus intervertebralis, ligamen dan otot akan akan bekerjasama

membuat manusia tegak, memungkinkan terjadinya gerakan dan stabilitas.

Vertebrae lumbalis berfungsi menahan tekanan gaya static dan gaya kinetik

(dinamik) yang sangat besar maka dari itu cenderung terkena ruda paksa dan

cedera.

2.2 Spondilitis Tuberkulosa

22

Page 23: Case Spondilitis TB

2.2.1 Definisi

Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan

nama Pott's disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis

merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang

lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnyadikarenakan penyakit ini. [3]

Spondilitis tuberkulosa merupakan salah satu kasus penyakit tertua dalam

sejarahdengan ditemukan dokumentasi kasusnya pada mummi di Mesir dan Peru.

Sir Percival Pott (1799) mendeskrispsikan penyakit ini dalam monografnya yang

klasik.

Spondilitis tuberkulosa merupakan fokus sekunder dari infeksi

tuberkulosis dengan penyebaran sebagian besar secara hematogen melalui

pembuluh darah arteri epifiseal atau melalui plexus vena batson. Pada usia

dewasa, discus intervertebralis avaskular sehingga lebih resisten terhadap infeksi

dan kalaupun terjadi adalah sekunder dari corpus vertebra. Pada anak-anak karena

discus intervertebralis masih bersifat vaskular, infeksi diskus dapat terjadi primer.

Penyempitan discus intervertebralis terjadi akibat destruksi tulang pada kedua sisi

discus sehingga discus mengalami herniasi ke dalam corpus vertebra yang telah

rusak. Kompresi struktur neurologis terjadi akibat penekanan oleh proses

ekstrinsik maupun intrinsik. Proses ekstrinsik pada fase aktif diakibatkan oleh

akumulasi cairan akibat edema, abses kaseosa, jaringan granulasi, sequester tulang

atau diskus.[3,4,5] Pott disease merupakan bentuk tuberkulosis muskuloskeletal yang

paling berbahaya karena dapat menyebabkan destruksi tulang, deformitas, dan

paraplegia. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 – L3dan

paling jarang pada vertebra C1-2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai

korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.

2.2.2 Insiden dan Epidemiologi

Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya

berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang

tersedia serta kondisi sosial dinegara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa

merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan

sedang berkembang, terutama di asia, malnutrisi dan kepadatan penduduk masih

23

Page 24: Case Spondilitis TB

menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah berkembang

atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu

30 tahun terakhir. [4,5]

Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang

dan sendi. Pada negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada

usia dibawah usia 20 tahun sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai

pada usia yang lebih tua. Meskipun perbandingan antara pria dan wanita hampir

sama, namun biasanya pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu 1,5:2,1.

Umumnya penyakit ini menyerang orang-orang yang berada dalam keadaan sosial

ekonomi rendah.[4]

Tuberkulosis merupakan masalah besar bagi negara-negara berkembang

karena insidensnya cukup tinggi dengan morbiditas yang serius. Indonesia adalah

kontributor pasien tuberkulosis nomor 5 di dunia. Diperkirakan terdapat 583.000

kasus baru tuberkulosis pertahun, sebagian besar berada dalam usia produktif (15-

54 tahun), dengan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang rendah.

Dari seluruh kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang

paling seringterkena tuberkulosa tulang (kurang lebih 50% kasus), diikuti

kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan

tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama torakal

bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang

paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight

bearing mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral. [5,6]

Banerjee melaporkan pada 499 pasiendengan spondilitis tuberkulosa,

radiologis memperlihatkan 31% fokus primer adalah paru-paru dan kelompok

tersebut 78% adalah anak-anak, sedangkan 69% sisanya memperlihatkan foto

rontgen paru yang normal dan sebagian besar adalah dewasa.

2.2.3 Etiologi[3,4]

24

Page 25: Case Spondilitis TB

Spondilitis tuberkulosa disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil

(basilus). Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium

tuberculosis, walaupun spesies mikobakterium yang lainpun dapat juga

bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum

(penyebab paling sering tuberkulosis di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus,

ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV).

Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola

resistensi obat. Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari

tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh

Mycobacterium tuberculosa atipik.

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang

bersifat acid fast non-motile atau disebut pula sebagai basil tahan asam (BTA).

Dipergunakan teknik Ziehl- Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tumbuh

secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi

niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu

untuk membedakannya dengan spesies lain.

Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal

bawah dan lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu

tuberkulosa traktus urinarius, yg penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena

paravertebralis. Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak

semudah tertular flu.

Penularan penyakit ini memerlukan waktu pemaparan yang cukup lama

dan intensif dengan sumber penyakit (penular). Menurut Mayoclinic, seseorang

yang kesehatan fisiknya baik, memerlukan kontak dengan penderita TB aktif

setidaknya 8 jam sehari selama 6 bulan, untuk dapat terinfeksi.

Sementara masa inkubasi TB sendiri, yaitu waktu yang diperlukan dari

mula terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Bakteri TB

akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung. Tetapi dalam tempat yg

lembab, gelap, dan pada suhu kamar, kuman dapat bertahan hidup selama

beberapa jam. Dalam tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (dorman) selama

25

Page 26: Case Spondilitis TB

beberapa tahun.

2.2.4 Patologi[3,5,7,8]

Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran

hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui

jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar

tulang belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat

bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem

pulmoner dan genitourinarius. Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri

intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang

berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas

vertebra di bawahnya atau melalui pleksus batson's yang mengelilingi columna

vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang

menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan

terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan

tiga atau lebih vertebra.

Gambar 11. Aliran pembuluh darah tulang belakang

Walaupun semua vertebrae dari columna vertebralis dapat diserang namun

yang terbanyak menyerang bagian thorax. Vertebra lumbalis juga dapat terserang

26

Page 27: Case Spondilitis TB

dan akhirnya vertebra cervicalis pun tidak terlepas dari serangan ini. Fokus yang

pertama dapat terletak pada centrum corpus vertebrae atau pada metaphyse, bisa

juga pertama kali bersifat subperiosteal. Penyakit ini juga dapat menjalar,

sehingga akhirnya corpus vertebrae tidak lagi kuat untuk menahan berat badan

dan seakan-akan hancur sehingga dengan demikian columna vertebralis

membengkok. Kalau hal ini terjadi pada bagian thorax, maka akan terdapat

pembengkokan hyperkyphose yang kita kenal sebagai gibbus. Sementara itu

proses dapat menimbulkan gejala-gejala lain, diantaranya dapat terkumpulnya

nanah yang semakin lama semakin banyak, nana hini dapat menjalar menuju ke

beberapa tempat diantaranya dapat berupa :

1. Suatu abscess paravertebrae, abscess terlihat dengan bentuk spoel di kiri-

kanan columna vertebralis.

2. Abscess dapat pula menembus ke belakang dan berada di bawah fasia dan

kulit di sebelah belakang dan di luar columna vertebralis merupakan suatu

abscess akan tetapi tidak panas. Umumnya abscess ini dinamakan abscess

dingin. Abscess dingin artinya abscess tuberculose.

3. Dapat pula abscess menjalar mengelilingi tulang rusuk, sehingga

merupakan senkung's abscess yang terlihat di bagian dada penderita.

4. Abscess juga dapat menerobos ke pleura sehingga menimbulkan empiema.

5. Pada leher dapat juga terjadi abscess yang terletak dalam faring sehingga

merupakan abses retrofaringeal.

6. Dapat pula abscess terlihat sebagai abses supraklavikular.

7. Pada lumbar spine abscess dapat turun melalui musculus iliopsoas yang

kemudian menurun sampai terjadi abscess besar yang terletak di bagian

dalam dari paha.

Semua abses tersebut di atas dapat menembus kulit dan menyebabkan timbulnya

fistel yang bertahun-tahun. Kecuali abses-abses tersebut di atas, tuberculose pada

vertebrae dapat pula memberikan komplikasi, ialah paraplegia, umumnya disebut

Pott's paraplegia.

Komplikasi ini disebabkan karena adanya tekanan pada medulla spinalis.

Adapun pathogenesis dari proses ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

27

Page 28: Case Spondilitis TB

Tekanan dapat berasal dari proses yang terletak di dalam canalis spinalis.

Jika di dalam canalis spinalis ada proses tuberkulose yang terletak pada korpus

bagian belakang yang merupakan dasar dari kanalis spinalis, maka proses tadi

menimbulkan pengumpulan nanah/jaringan granulasi langsung menekan medulla

spinalis. Dalam hal ini meskipun nanah hanya sedikit, akan tetapi cukup untuk

memberikan tekananyang hebat pada medulla spinalis.(2,4)

Gambar 12. Spondilitis tuberkulosa. (a) Gibus torakolumbal dengan hipertonus erector mucus. Penderita menyandarkan diri pada ekstremitas atas; (b) 1. Rarefaksi bagian anterior vertebra mulai Nampak penyempitan diskus intervertebralis, 2. Rarefaksi meluar, penyempitan jelas, 3. Kompresi vertebra bagian ventral, terjadinya gibus, kompresi medulla spinalis.

Sorrel-dejerine mengklasifikasikan Pott's paraplegia menjadi:

1. Early onset paresis

Terjadi kurang dari dua tahun sejak onset penyakit

2. Late onset paresis

Terjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit

Sementara itu Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi sorrel menjadi tiga

tipe:

1. Type I (paraplegia of active disease)

28

Page 29: Case Spondilitis TB

Berjalan akut onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset

penyakit, dan dihubungkan dengan penyakit yang aktif. Dapat membaik

(tidak permanen).

2. Type II

Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat

permanen bahkan walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang.

Penyebab timbulnya paraplegia pada tipe I dan II dapat disebabkan oleh

karena :

a. Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramater dapat disebabkan

oleh karena adanya granuloma di kanalis spinalis, adanya abses,

material perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau karena subluksasi

atau dislokasi patologis vertebra. Secara klinis pasien akan

menampakkan kelemahan alat gerak bawah dengan spastisitas yang

bervariasi, tetapi tidak tampak adanya spasme otot involunter dan

reflek withdrawal

b. Invasi duramater oleh tuberkulosa tampak gambaran meningomielitis

tuberkulosa atau araknoiditis tuberkulosa. Secara klinis pasien tampak

mempunyai spastisitas yang berat dengan spasme otot involunter dan

reflek withdrawal. Prognosis tipe ini buruk dan bervariasi sesuai

dengan luasnya kerusakan korda spinalis. Secara umum dapat terjadi

inkontinensia urin dan feses, gangguan sensoris dan paraplegia.

3. Type III/yang berjalan kronis

Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah

dapat membaik. Bisa terjadi karena tekanan korda spinalis oleh granuloma

epidural, fibrosis meningen dan adanya jaringan granulasi serta adanya

tekanan pada korda spinalis, peningkatan deformitas kifotik ke anterior,

reaktivasi penyakit atau insufisiensi vaskuler (trombosis pembuluh darah

yang mensuplai korda spinalis).

Klasifikasi untuk penyebab Pott's paraplegia dijabarkan oleh Hodgson menjadi:

29

Page 30: Case Spondilitis TB

1. Penyebab ekstrinsik :

1.1. Pada penyakit yang aktif

a. Abses (cairan atau perkijuan)

b. Jaringan granulasi

c. Sekuester tulang dan diskus

d. Subluksasi patologis

e. Dislokasi vertebra

1.2. Pada penyakit yang sedang dalam proses penyembuhan

a. Transverse ridge dari tulang anterior ke corda spinalis

b. Fibrosis duramater

2. Penyebab intrinsik :

menyebarnya peradangan tuberkulosa melalui duramater melibatkan

meningen dan korda spinalis.

3. Penyebab yang jarang :

3.1 trombosis korda spinalis yang infektif

3.2 spinal tumor syndrome

Dapat pula proses tuberkulosa menghancurkan korpus sehingga kanalis spinalis

membengkok dan menekan pada tulang dindingnya. Tekanan tadi menyebabkan

paraplegia. Kemungkinan lain ialah terdapat sequestra dan pus di sekeliling

kanalis spinalis tadi yang juga menekan pada medulla spinalis. Dengan demikian

banyak sebab-sebab yang dapat menekan medulla spinalis dengan keras sehingga

menimbulkan gejala paraplegia. Secara klinis paraplegia dapat dibagi menjadi

early onset, ialah jika paraplegia segera timbul sebagai kelanjutan dari proses

spondilitis TB. Tipe kedua adalah paraplegia late onset, paraplegia ini terjadi

setelah penyakit spondilitis sifatnya tenang untuk beberapa waktu lamanya

kemudian timbul gejala-gejala paraplegia secara perlahan-lahan.

Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk

spondilitis:

1. Peridiskal / paradiskal

30

Page 31: Case Spondilitis TB

Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di

bawah ligamentum longitudinal anterior/area subkondral). Banyak

ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan

nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.

2. Sentral infeksi

Terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga

disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini

sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe

lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat

terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di

temukan di regio torakal.

3. Anterior infeksi

Terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan di

bawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena

erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini

diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan

melalui abses prevertebral di bawah ligamentum longitudinal anterior atau

karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.

4. Bentuk atipikal

Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak

dapat diidentifikasikan. Termasuk di dalamnya adalah tuberkulosa spinal

dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di

canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel,

lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada

di sendi intervertebral posterior.

Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi

diperkirakan berkisar antara 2%-10%. Lesi spondilitis tuberkulosa berawal suatu

tuberkel kecil yang berkembang lambat, bersifat osteolisis lokal, awalnya pada

tulang subkhondral di bagian superior atau inferior anterior dari corpus vertebra.

31

Page 32: Case Spondilitis TB

Proses infeksi Mycobacterium tuberculosis akan mengaktifkan chaperonin

10 yang merupakan stimulator poten dari proses resorpsi tulang sehingga akan

terjadi destruksi korpus vertebra dianterior. Proses perkijuan yang terjadi akan

menghalangi proses pembentukan tulang reaktif dan mengakibatkan segmen

tulang yang terinfeksi relatif avaskular sehingga terbentuklah sequester

tuberkulosis. Destruksi progresif di anterior akan mengakibatkan kolapsnya

korpus vertebra yang terinfeksi dan terbentuklah kifosis (Angulasi posterior)

tulang belakang. Proses terjadinya kifosis dapat terus berlangsung walaupun telah

terjadi resolusi dari proses infeksi. Kifosis yang progresif dapat mengakibatkan

problem respirasi dan paraplegi. Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di

regio torakal, tulang-tulang iga akan menumpuk menimbulkan bentuk deformitas

rongga dada berupa Barrel Chest. Infeksi akhirnya menembus korteks vertebra

dan membentuk abses paravertebral. Diseminasi lokal terjadi melalui penyebaran

hematogen dan penyebaran langsung dibawah ligamentum longitudinal anterior.

Apabila telah terbentuk abses paravertebral, lesi dapat turun mengikuti alur fascia

muskulus psoas yang dapat mencapai trigonum femoralis. Pada usia dewasa,

discus intervertebralis avaskular sehingga lebih resisten terhadap infeksi dan

kalaupun terjadi adalah sekunder dari corpus vertebra. Pada anak-anak karena

discus intervertebralis masih bersifat vaskular, infeksi discus dapat terjadi primer.

Gejala utama adalah nyeri tulang belakang, nyeri biasanya bersifat kronis dapat

lokal maupun radikular.

Pasien dengan keterlibatan vertebra segmen cervical dan thorakal

cenderung menderita defisit neurologis yang lebih akut sedangkan keterlibatan

lumbal biasanya bermanifestasi sebagai nyeri radikular. Selain nyeri terdapat

gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, peningkatan suhu tubuh

pada sore hari dan penurunan berat badan. Tulang belakang terasa nyeri dan kaku

pada pergerakan.

2.2.5 Patofisiologi[3,4,5]

Basil tb masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus

respiratorius. Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk

32

Page 33: Case Spondilitis TB

maka dapat terjadi basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil tb dapat

tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga delapan minggu

kemudian, respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi

selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna.

Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit

ini paling sering menyerang corpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya

mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian

depan, atau daerah epifisial corpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan

eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan corpus. Selanjutnya

terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra

sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan corpus ini akan menyebabkan terjadinya

kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung

menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus

menghancurkan vertebra di dekatnya. Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum,

leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan,

di bawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak aliran darah vertebra di

dekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai

arah di sepanjang garis ligament yang lemah. Pada daerah cervical, eksudat

terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang

muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan

dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat

berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau cavum pleura.

Abses pada vertebra thoracalis biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks

setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan

fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul

paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus

psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha.

Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti

pembuluh darah femoralis pada trigonum scarpei atau regio glutea. Menurut

Gilroy dan Meyer (1979), abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah

vertebra thoracalis atas dan tengah, tetapi menurut Bedbrook (1981) paling sering

33

Page 34: Case Spondilitis TB

pada vertebra thoracalis 12 dan bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia

dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis 10 sedang

yang non paraplegia pada vertebralumbalis.

Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut :

Arteri induk yang mempengaruhi medulla spinalis segmen thorakal paling

sering terdapat pada vertebra thorakal 8-lumbal 1 sisi kiri. Trombosis arteri yang

vital ini akan menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan

adalah diameter relatif antara medulla spinalis dengan canalis vertebralisnya.

Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra thoracalis 10,

sedang canalis vertebralis di daerah tersebut relative kecil. Pada vertebra lumbalis

1, canalis vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang

gerak bila ada kompresi dari bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan

mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra thoracal 10.

Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit pott terjadi melalui kombinasi

4 faktor yaitu :

1. Penekanan oleh abses dingin

2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis

3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya

4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak

Diskus intervertebralis karena avaskular lebih resisten tetapi akan mengalami

dehidrasi dan penyempitan karena dirusak oleh jaringan granulasi TBC.

Kerusakan progresif bagian anterior vertebra akan menimbulkan kifosis (Savant,

2007).

Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu:

1. Stadium implantasi

Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita

menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung

selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus

dan pada anak-anak pada daerah sentral vertebra.

2. Stadium destruksi awal

34

Page 35: Case Spondilitis TB

Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan

pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.

3. Stadium destruksi lanjut

Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra, dan

terbentuk massa kaseosa serta pus yangberbentuk cold abses, yang tejadi

2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk

sekuestrum dan kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk

tulang baji terutama di depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus

vertebra sehingga menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.

4. Stadium gangguan neurologis

Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi

tetapi ditentukan oleh tekanan abses kekanalis spinalis. Vertebra torakalis

mempunyai kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis

lebih mudah terjadi di daerah ini.

Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan

paraplegia yaitu:

I. Derajat I

Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau

berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.

II. Derajat II

Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat

melakukan pekerjaannya.

III. Derajat III

Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau

aktivitas penderita disertai dengan hipoestesia atau anestesia.

IV. Derajat IV

Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan

defekasi dan miksi.TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat

terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan

penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi

karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral ataukerusakan

35

Page 36: Case Spondilitis TB

langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan.

Paraplegia pada penyakit yang tidak aktif atau sembuh terjadi

karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau

pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan

granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi secara perlahan dan

dapat terjadi destruksi tulang disertai dengan angulasi dan

gangguan vaskuler vertebra.

5. Stadium deformitas residua,

Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi.

Kifosis atau gibus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang masif

di depan (Savant, 2007)

2.2.6 Gambaran Histopatologi

Inflamasi Kronis

Inflamasi kronis didefinisikan sebagai suatu inflamasi yang berkepanjangan

dimana proses inflamasi aktif, destruksi jaringan dan penyembuhan berlansung

simultan.

Gambaran histologik inflamasi kronik berupa:

1. Infiltrasi sel-sel mononuklear, makrofag, limfosit, sel plasma

2. Destruksi jaringan

3. Penggantian jaringan rusak oleh jaringan ikat melalui angiogenesis dan fibrosis.

Infiltrasi Mononuklear 3,4,7

Merupakan gambaran utama inflamasi kronik. Berasal dari sel-sel monosit di

aliran darah perifer yang bermigrasi melalui endotel akibat pengaruh agen-agen

kemotaktik: C5a, fibropeptides, cytokines (MCP-1), PDGF.

Aktivasi makrofag akan menimbulkan:

1. Protease

2. Chemotactic Factors

3. Metabolit asam arakidonat

36

Page 37: Case Spondilitis TB

4. Oksigen reaktif

5. Faktor – faktor pembekuan

6. Growth factors

7. Cytokines (IL-1, α–interferon )

Proses aktivasi makrofag pada inflamasi dipengaruhi oleh lymphokines (γ–

interferon) yang dihasilkan oleh sel-sel T aktif imun. Produk-produk makrofag

tersebut akan menghasilkan perubahan karakteristik pada inflamasi kronis, yaitu:

1. Destruksi jaringan (protease dan radikal oksigen bebas)

2. Neovaskularisasi dan proliferasi fibroblas.

3. Akumulasi jaringan ikat (cytokines dan growth factors)

4. Remodeling (kolagenase)

Inflamasi Granulomatus5

Salah satu karakter lain inflamasi kronis adalah adanya granuloma, yaitu

kumpulan makrofag berbentuk nodul-nodul kecil, yang dikenal juga sebagai sel –

sel epiteloid. Sel-sel epiteloid terbetuk dari sel-sel berinti banyak. Pada

granuloma terdapat juga limfosit, sel plasma, neutrofil ; pada granuloma

ditemukan juga nekrosis sentral.

Granuloma 5

Terbentuk dari sel T aktif imun terhadap antigen yang sulit tergradasi.

Lymphokines (γ–interferon) yang dihasilkan oleh sel-sel T aktif imun

menyebabkan makrofag berubah menjadi sel-sel epiteloid dan multinucleate giant

cells.

Granuloma merupakan gambaran khas pada beberapa penyakit tertentu

antara lain, tuberkulosis, silikosis dan sarkoidosis.

Tuberkulosis5

Disebabkan infeksi Mycobactrium tuberculosis, bakteri aerob, tidak mem

bentuk spora, tidak motil dan tahan pencucian asam pada pewarnaan. Pada infeksi

37

Page 38: Case Spondilitis TB

primer mikobakteria akan berproliferasi didalam makrofag, dan dapat

dikendlaikan pada 95% kasus oleh respons imun selular.

Sel T CD4+ (T helper) menghasilkan γ–interferon yang akan mengaktivasi

makrofag untuk membunuh bakteri intraselular dan membentuk sel-sel epiteloid.

Sel T CD8+ (T supressor) akan membunuhsel-sel makrofag yang

terinfeksi mikobakteria, menghasilkan nekrosis perkijuan melalui reaksi

hipersensitif tipe lambat.

Pada tuberkulosis sekunder, kuman mikobakteria dengan granuloma yang

terbentuk, akan menetap di parenkim paru atau menyebar secara hematogen ke

berbagai organ, termasuk tulang. Granuloma-granuloma yang gagal

mengendalikan pertumbuhan mikobakteria merupakan penyebab utama timbulnya

kerusakan jaringan pada tuberkulosis.

2.2.7 Sistim Imun 5,8,10

Sel-Sel Imun

Sistim imun berperan dalam perlindungan tubuh terhadap adanya infeksi.

Sistim ini terbentuk dari jutaan klon limfosit, sekitar 2 x 1012. Se—sel limfosit

pada setiap klon memiliki reseptor permukaan yang unik yang memungkinkan

berikatan dengan determinan antigen yang mempunyai susunan sangat spesifik,

seperti halnya atom dalam susunan molekul. Ada 2 kelompok limfosit yaitu, sel B

yang dihasilkan oleh sumsusm tulang dan menghasilkan antibodi serta sel T yang

dihasilkan oleh kelenjar timus dan membentuk respons imun selular.

Respons Imun Selular

Respons imun selular menghasilkan sel-sel khusus yang akan bereaksi

dengan antigen asing yang terdapat pada permukaan sel-sel yang lain. Sel tersebut

akan membunuh sel-sel tubuh yang terinfeksi virus dipermukaan selnya, sehingga

sel-sel tersebut akan dimusnah kan sebelum virus bereplikasi. Contoh lain, sel

imun tersebut menghasilkan sinyal-sinyal kimia yang akan mengaktifkan

makrofag untuk membunuh mikro-organisme.

38

Page 39: Case Spondilitis TB

Reseptor Sel T dan Subkelasnya

Terdapat sedikitnya dua subkelas yang berbeda pada sel T, yaitu Cytotoxic

T cell dan Helper T cell. Cytotoxic T cell dengan segera membunuh sel yang

terinfeksi, terutama oleh virus. Helper T cell membantu aktivasi sel B untuk

membentuk antibodi dan makrofag, untuk menelan dan merusak mikro-

organisme. Kedua jenis sel T pada permukaan sel nya, membentuk reseptor yang

strukturnya serupa dengan antibodi.

Molekul MHC dan Penyajian Antigen pada Sel T

Reseptor tersebut diatas dapat mengenali fragmen-fragmen protein asing

yang dimunculkan pada permukaan sel tubuh oleh molekul MHC. Kedua sel T

tersebut dapat mengenali antigen dalam bentuk fragmen peptida yang dibentuk

melalui degradasi antigen protein asing didalam sel target, dan keduanya

bergantung kepada kemampuan molekul MHC, suatu protein khusus dalam

kemampuannya mengikat fragmen protein asing, membawanya kepermukaan sel

dan menyajikannya kepada sel T.

Protein-protein MHC ini dihasilkan oleh kelompok gen-gen yang dikenal

dengan istilah Major Histocompatability Complex (MHC). Pada manusia MHC

juga disebut antigen HLA (Human leucocyte-associated antigens), karena pertama

kali didemostrasikan pada lekosit.

Kelas Molekul MHC

Molekul MHC yang terdiri dari kelas I dan kelas II, mempunyai peran

yang sangat penting didalam menyajikan antigen protein asing kepada Cytotoxic

T cell dan Helper T cell. Molekul MHC kelas I dihasilkan oleh hampir seluruh sel

tubuh manusia ; molekul mHC kelas II hanya dihasilkan oleh beberapa sel saja

yang dapat berinter-aksi dengan Helper T cell, yaitu limfosit B dan makrofag.

Reseptor Tambahan: CD4 dan CD8

Kemampuan berikatan antara reseptor sel T dengan kompleks molekul

MHC-peptida pada sel target pada umumnya terlalu lemah untuk menghasilkan

39

Page 40: Case Spondilitis TB

interaksi yang fungsional. Oleh karena itu dibutuhkan reseptor tambahan

(accessory receptors) untuk memperkuat stabilitas interaksi dengan memperkuat

adhesi antar sel, disebut sebagai co-receptors. Reseptor ini juga berperan dalam

mengaktifkan sel T melalui sinyal intrasel mereka sendiri. Tidak seperti reseptor

sel T atau molekul MHC, reseptor tambahan ini tidak berikatan dengan antigen,

tidak variatif dan tidak polimorfik.

Resptor tambahan sel T yang terpenting dan banyak dikenal adalah protein

CD4 dan CD8. CD adalah singkatan dari cluster of diffrentiation. CD4 dihasilkan

oleh helper T cell dan berikatan dengan molekul MHC kelas II. CD8 dihasilkan

oleh cytotoxic T cell dan berikatan dengan molekul MHC kelas I.

Cytotoxic T Cell

Cytotoxic T cell bekerja langsung membunuh sel target yang terinfeksi

yang telah memunculkan fragmen protein mikroba pada permukaan selnya.

Beberapa bagian dari protein mikroba yang dihasilkan didalam sitosol sel target

akan mengalami degradasi melalui aktifitas proteasom, dan fragmen protein yang

terbentuk akan dipompakan kedalam lumen retikulum endoplasma dan akan

berkaitan dengan molekul MHC kelas I. Kompleks ini akan ditransportasikan

menuju permukaan sel target sehingga dikenali oleh cytotoxic T cell. Sel T ini

diduga membunuh sel target dengan menginduksi kematian sel target melalui

mekanisme programmed cell death atau apoptosis.

Aktivasi Sel T

Aktivasi sel T, cytotoxic T cell atau helper T cell, adalah suatu proses

rumit yang belum dipahami sepenuhnya. Reseptor sel T mengenali peptida asing

yang berikatan dengan molekul MHC pada permukaan sel target.Pada sel B,

reseptornya bekerja sama dengan invariant transmembrane polypetida chains,

disebut sebagai CD3 complex, yang dapat mengtransduksikan (transduce)

peristiwa ikatan di ekstrasel menjadi sinyal aktivasi intrasel (intracellular

activating signals) . Kompleks CD3 tersebut diduga mengaktifkan satu atau lebih

bagian dari Src family dari tyrosine kinases, termasuk protein Fyn, yang

memfosforilasi berbagai macam protein selular, termasuk kompleks CD3 itu

40

Page 41: Case Spondilitis TB

sendiri dan juga enzim phopholipase C-γ, yang akan mengaktifkan inositol

phospholipid signaling pathway.

Reseptor sel T dan kompleks CD3 tidak bekerja sendiri untuk

mengaktifkan sel T. Beberapa co-receptors juga berperan penting, diantaranya

CD4 , CD8 dan LCK kinase. Pada proses aktivasi sel T, reseptor dan co-receptor,

juga Src-like tyrosine kinases diduga bekerja sama didalam suatu kompleks sinyal

yang luas di memberan plasma sel T; akan tetapi kompleks sinyal yang luas ini

ternyata belum cukup untuk mengaktivasi sel T. Dibutuhknn juga jalur sinyal

lainnya yang independen.

Mekanisme Sinyal pada Aktivasi Helper T Cell.

Untuk mengaktifkan helper T cell, sel penyaji antigen sedikitnya harus

menyediakan 2 sinyal. Sinyal pertama, telah dikemukakan diatas., melalui ikatan

protein asing dengan molekul MHC kelas II pada permukaan sel target, yang akan

mengaktifkan reseptor sel T. Sinyal kedua terbentuk melalui sekresi sinyal kimia,

misalnya interleukin-1 (IL-1), atau melalui plasma membrane-bound signaling

molecule B7 pada permukaan sel penyaji antigen.

Jika helper T cell menerima kedua sinyal tersebut, terjadi aktivasi untuk

berproliferasi dan untuk mensekresikan berbagai interleukin. Sebaliknya jika

hanya menerima sinyal pertama tanpa sinyal kedua, sel T akan terganggu

sehingga tidak akan dapat lagi diaktifkan walupun kemudian menerima kedua

sinyal. Satu kali helper T cell atau cytotoxic T cell mendapat stimulasi antigen,

protein tambahan lainnya akan difungsikan untuk menambah kekuatan ikatan sel

T pada sel target.

Proliferasi Sel T

Gabungan aksi sinyal pertama dan sinyal kedua, akan memprovokasi

helper T cell untuk berproliferasi melalui mekanisma tidak langsung. Terjadi

stimulasi terhadap diri sel T itu sendiri untuk berproliferasi melalui sekresi growth

41

Page 42: Case Spondilitis TB

factor, interleukin-2 (IL-2) dan sistesis reseptor permukaan sel yang mengikatnya

secara simultan. Ikatan IL-2 dengan reseptor nya ini akan secra langsung

menstimulasi proliferasi sel T. Melalui mekanisme autokrin ini, helper T cell akan

terus berproliferasi setelah mereka meninggalkan permukaan sel penyaji antigen.

Helper T cell ini juga dapat menstimulasi proliferasi sel-sel T lainnya yang

berdekatan termasuk cytotoxic T cell yang sebelumnya telah membentuk reseptor

IL-2 akibat induksi antigen. Karena ekspresi reseptor IL-2 sangat tergantung pada

stimulasi antigen, maka IL-2 hanya menimbulkan proliferasi pada sel T yang telah

berikatan dengan antigen spesifik.

Sekresi Interleukin Sel T

Helper T cell setidaknya dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan

interleukin yang disekresikan. Sel TH1 mensekresikan IL-2 dan γ-interferon dan

utamanya membantu aktivasi cytotoxic T cell dan makrofag. Sel TH2

menghasilkan IL-4 dan IL-5 dan utamanya membantu aktivasi sel B dan eosinofil.

Aktivasi makrofag oleh sel T sangat penting dalam mekanisme pertahanan

terhadap infeksi mikro-organisma yang dapat betahan dari fagositosis oleh

makrofag yang tidak aktif. Salah satu contoh adalah infeksi tuberkulosis.

2.2.8 Gambaran Klinis[3,5,8,9]

Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada

banyak faktor(7). Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan

berevolusi lambat. Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu

diagnosa pasti bervariasi dari bulanhingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa

sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.

Gambaran spondilitis tuberkulosa antara lain :

- badan lemah/lesu,

- nafsu makan berkurang,

- berat badan menurun,

- suhu subfebril terutama pada malam hari serta sakit pada punggung,

pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.

42

Page 43: Case Spondilitis TB

- pada awal dapat dijumpai nyeri intercostal yaitu nyeri yang menjalar

dari tulang belakang ke garis tengah keatas dada melalui ruang

intercosta, hal ini karenatertekannya radiks dorsalis ditingkat thoracal

- nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal.

Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus karena proses destruksi lanjut

berupa :

- paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf, akibat penekanan

medulla spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan

dan nyeri,

- gambaran paraplegia inferior kedua tungkai bersifat UMN dan adanya

batas defisit sensorik setinggi tempat gibus/lokalisasi nyeri intercostal

- pemeriksaan fisik :

o adanya gibus dan nyeri setempat

o spastisitas

o hiperreflesia tendon lutut/achilles dan

o reflex patologik pada kedua belah sisi

o batas defisit sensorik akibat mielitis transversa dan gangguan

miksi jarang dijumpai

Spondylitis corpus vertebra dibagi menjadi tiga bentuk :

1. Pada bentuk sentral.

Detruksi awal terletak di sentral corpus vertebra, bentuk ini sering

ditemukan pada anak.

2. Bentuk paradikus.

Terletak di bagian corpus vertebra yang bersebelahan dengan discus

intervertebral, bentuk ini sering ditemukan pada orang dewasa.

3. Bentuk anterior.

Dengan lokus awal di corpus vertebra bagian anterior, merupakan

penjalaran per kontinuitatum dari vertebra di atasnya.

2.2.9 Diagnosis[5,7,8,9,10,11]

43

Page 44: Case Spondilitis TB

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik :

1. Anamnesis dan inspeksi :

Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan keterangan dari pasien, meliputi

keluhan utama, keluhan sistem badan, riwayat penyakit sekarang, riwayat

penyakit dahulu, dan riwayat penyakit keluarga atau lingkungan.

1.1. Gambaran adanya penyakit sistemik: kehilangan berat badan,

keringat malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama

sore dan malam hari serta kakeksia. Pada pasien anak-anak, dapat juga

terlihat berkurangnya keinginan bermain di luar rumah. Sering tidak

tampak jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien

dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang demam tinggi),

hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan terlihat

dengan jelas.

1.2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau

berdarah disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus di afrika terjadi

pembesaran dari nodus limfatikus, tuberkel di subkutan, dan

pembesaran hati dan limpa.

1.3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri

yang menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak

sebagai nyeri di daerah telinga atau nyeri yang menjalar ke tangan.

Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan

intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa

nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang

dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan menahan

punggungnya menjadi kaku.

1.4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang.

Langkah kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di

punggung.

1.5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat

menolehkan kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi

44

Page 45: Case Spondilitis TB

dan duduk dalam posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara

tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat

asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis.

Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya.

Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher.

Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke

Sternal notch. Sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan

adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada

orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis (Hsu dan Leong 1984).

Dislokasi atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan

merupakan salah satu penyebab kompresi Cervicomedullary. Di negara

yang sedang berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran

klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal.

1.6. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak

menjadi kaku. Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan

mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari

lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan

punggungnya tetapkaku (coin test) jika terdapat abses, maka abses

dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan

tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan

abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda

spinalis dan menyebabkan paralisis.

1.7. Di regio lumbar: abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan

lunak yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus

dapat keluar melalui fistel dalam pelvis danmencapai permukaan di

belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut danhip

dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan

meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan

menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.

1.8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi

tulang belakang)

45

Page 46: Case Spondilitis TB

1.9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit

neurologis). Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi

paraplegia pada spondilitis lebih banyak di temukan pada infeksi di

area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak

spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang

hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan motorik yang

bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan

anorektal.

1.10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas

dan nyeri akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari

pembengkakan tulang ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut

disebabkan karena tuberkulosa.

2. Palpasi :

2.1 Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit

diatasnya terasa sedikit hangat (disebut Cold abcess, yang

membedakan dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat

dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi

leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level

lesi. Dapat juga teraba disekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa

tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus

dalam Cold abscess

2.2 Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang

terkena.

3. Perkusi :

3.1 Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus

spinosusvertebrae yang terkena, sering tampak Tenderness

.

4. Auskultasi

46

Page 47: Case Spondilitis TB

Pada pemeriksaan auskultasi, keadaan paru tidak ditemukan kelainan.

Pemeriksaan penunjang :

1. Laboratorium :

1.1 Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari

100mm/jam.

1.2 Tuberculin skin test /Mantoux test /Tuberculine purified protein

derivative (ppd) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi

pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh Mycobacterium.

Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,

kemerahan dengan diameter 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72

jamsetelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada ± 20% kasus

(tandon and pathak, 1973; kocen, 1977) dengan tuberkulosis berat

(tuberkulosis milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya

tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai

penyakitlain)

1.3 Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium.

1.4 Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.

1.5 Pemeriksaan hispatologis ditemukan tuberkel.

1.6 Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal),

sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan

paruparu yang aktif)

1.7 Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang

bersifatrelatif.

1.8 Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin

haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus

yang sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup

canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding.

1.9 Pungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah.

Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis

tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan

47

Page 48: Case Spondilitis TB

kemungkinan infeksi pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial

akan memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan

tampak:

Xantokrom

Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.

Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada

tahap akut responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada

meningitis piogenik.

Kandungan protein meningkat.

Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran

klinis sangat kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan

Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis),

punksi lumbal akan menunjukkan Genuine dry tap. Pada pasien

ini adanya peningkatan bertahap kandungan protein

menggambarkan suatu blok spinal yang mengancam dan sering

diikuti dengan kejadian paralisis. Pemberian steroid akan

mencegah timbulnya hal ini (Wadia, 1973). Kandungan protein

cairan serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal dapat

mencapai 1-4G/100ML.

Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan

tes konfirmasi yang absolut tetapi hal ini tergantung dari

pengalaman pemeriksa dan tahap infeksi.

1.10 Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein).

1.11 Pemeriksaan serologi dengan deteksi antibodi spesifik dalam

sirkulasi.

1.12 Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay)

tetapi menghasilkan negatif palsu pada penderitadengan alergi.

1.13 Identifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) meliputi denaturasi

DNA kuman tuberkulosis melekatkan nukleotida tertentu pada

fragmen DNA dan amplifikasi menggunakan DNA polimerase sampai

terbentuk rantai DNA utuh yang diidentifikasi dengan gel.

48

Page 49: Case Spondilitis TB

2. Radiologis :[5,7,12]

Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.

Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti

adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang

abnormal).

Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari

bukti adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru

dapat terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit.

Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.

Gambar 12. Spondilitis TB. Radiografi lateral menunjukkan hilangnya ruang diskus (panah lurus) dengan destruksi pelat ujung yang berdekatan (panah melengkung) dan pendesakan di anterior.

49

Page 50: Case Spondilitis TB

Gambar 13. Penyebaran subligamentum dari tuberculosis spinal. Gambaran radiografi lateral enunjukkan erosi pada tepi anterior corpus vertebra (panah) disebabkan oleh abses jaringan lunak sekitar.

Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau

sudut inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian

berlanjut sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang

berdekatan, serta erosi corpus vertebrae anterior yang berbentuk

Scalloping karena penyebaran infeksi dari area subligamentous

Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus

transversus atau prosesus spinosus.

Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan

timbulnya deformita scoliosis (jarang)

Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder

tuberkulosa yang sudahlama akan tampak tulang vertebra yang

mempunyai rasio tinggi lebih besar daril ebarnya (vertebra yang

normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap tingginya). Bentuk

ini dikenal dengan nama Long vertebra atau Tall vertebra, terjadi

karena adanyastress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus

sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat

pada kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra

yang belum menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang

melibatkan vertebra torakal. Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak,

seperti abses paravertebral dan psoas. Tampak bentuk fusiform atau

pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi. Abses psoas

akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami

peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat

penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural sangatlah

penting, oleh karena merupakan salah satuindikasi tindakan operasi

(tergantung ukuran abses).

Computed tomography - scan (ct)terutama bermanfaat untuk

memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yangsulit dilihat pada

50

Page 51: Case Spondilitis TB

foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel

tampak lebih baik dengan ct scan.CT scan memberi gambaran tulang

secara lebih detail dari lesi irreguler, skelerosis, kolaps diskus, dan

gangguan sirkumferensi tulang.

Gambar 14. Spondilitis TB. CT Scan axial menunjukkan destruksi litik corpus vertebra (panah hitam) dengan keterlibatan abses jaringan lunak (panah putih)

Gambar 15. Abses psoas terkalsifikasi. CT Scan aksial menunjukkan abses bilateral tuberculosis psoas dengan kalsifikasi perifer (panah)

Magnetic resonance imaging (MRI)mempunyai manfaat besar untuk

membedakan komplikasi yang bersifat kompresif dengan yang bersifat

non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. MRI mengevaluasi

infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis tulang belakang serta

menunjukkan adanya penekanan saraf (Lauerman, 2006). Bermanfaat

untuk :

51

Page 52: Case Spondilitis TB

o Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan

bersifat konservatif atau operatif.

o Membantu menilai respon terapi. Kerugiannya adalah dapat

terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di abses.

Gambar 16. Spondilitis TB. MRI Potongan sagital T2 menunjukkan area dengan peningkatan intensitas disebabkan edema corpus invertebral disertai penyempitan diskus (panah putih) dan penyebaran ke kanalis spinalis (panah hitam)

Neddle biopsi/ operasi eksplorasi (Costotransversectomi )

Dari lesi spinal mungkin diperlukan pada kasus yang sulit tetapi

membutuhkan pengalaman dan pembacaan histologi yang baik (untuk

menegakkan diagnosa yang absolut) (berhasil pada 50% kasus).

Aspirasi pusparavertebral yang diperiksa secara mikroskopis untuk

mencari basil tuberkulos adan granuloma, lalu kemudian dapat

diinokulasi di dalam Guinea babi.

2.2.10 Penatalaksanaan[4,5,13,14]

Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis ditujukan untuk eradikasi infeksi,

memberikan stabilitas pada tulang belakang dan menghentikan atau

memperbaiki kifosis. Kriteria kesembuhan sebagian besar ditekankan pada

tercapainya favourable status yang didefinisikan sebagai pasien dapat

beraktifitas penuh tanpa membutuhkan kemoterapi atau tindakan

bedahlanjutan, tidak adanya keterlibatan sistem saraf pusat, fokus infeksi yang

52

Page 53: Case Spondilitis TB

tenang secara klinis maupun secara radiologis. Pada prinsipnya pengobatan

tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk

menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.

Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :

1. Pemberian obat antituberkulosis

2. Dekompresi medulla spinalis

3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi

4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)

Pengobatan terdiri atas :

1. Terapi konservatif berupa:

a. Tirah baring (bed rest)

b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak

vertebra

c. Memperbaiki keadaan umum penderita

d. Pengobatan antituberkulos astandar pengobatan di indonesia

berdasarkan program p2tb paru adalah :

Kategori 1

Untuk penderita baru bta (+) dan bta(-)/rontgen (+), diberikan dalam 2

tahap ;

tahap 1 :

o rifampisin 450 mg, etambutol 750 mg, inh 300 mg dan

pirazinamid 1.500MG.

o Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama

(60 kali).

tahap 2:

o rifampisin 450 mg, inh 600 mg,

o diberikan 3 kali seminggu (intermitten)selama 4 bulan

(54 kali).

Kategori 2

53

Page 54: Case Spondilitis TB

Untuk penderita bta(+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan,

termasuk penderita dengan bta (+) yang kambuh/gagal yang diberikan

dalam 2 tahap yaitu :

tahap 1

o Diberikan streptomisin 750 mg , inh 300 mg,

rifampisin 450 mg,pirazinamid 1500MG dan etambutol

750 mg.

o Obat ini diberikan setiap hari ,streptomisin injeksi

hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya

selama 3 bulan (90 kali).

tahap 2

o Diberikan inh 600 mg, rifampisin 450 mg dan

etambutol 1250 mg.

o Obat diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 5

bulan (66 kali).

kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita

bertambah baik, laju endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala

klinis berupa nyeri dan spasme berkurang serta gambaran radiologik

ditemukanadanya union pada vertebra.

Tabel 1. Panduan OAT untuk tiap kategori

54

Page 55: Case Spondilitis TB

Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang

primer:

o Isoniazid (inh)

Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler

Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan

intravena.

Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang

cepat.

Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk

cairan serebrospinal.

Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai

lebih banyak pasien berusia lanjut usia, Peripheral

neuropathy karena defisiensi piridoksin secararelatif

(bersifat reversibel dengan pemberian suplemen

piridoksin).

Relatif aman untuk kehamilan

Dosis inh adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari

o Rifampin (rmp)

Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi

cepat ataupun lambat dari basil, baik di intra ataupun

ekstraseluler.

Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik

yang paling rendah (seperti pada nekrosis perkijuan).

Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong

dan tersedia dalam bentuk sediaan oral dan intravena.

Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh

termasuk cairanserebrospinal. Efek samping yang

paling sering terjadi: perdarahan pada traktus

Gastrointestinal, Cholestatic jaundice, Trombositopenia

dan Dose dependent peripheral neuritis.

55

Page 56: Case Spondilitis TB

Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan

INH.

Relatif aman untuk kehamilan

Dosisnya: 10 mg/kg/hari - 600 mg/hari.

o Pyrazinamide (pza)

Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam

lingkungan yang bersifatasam dan paling efektif di

intraseluler (dalam makrofag) atau dalam lesi perkijuan.

Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.

Efek samping: 1. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat

dosis tinggi obat ini yang dipergunakan dalam jangka

yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila diberikan

dalam jangka pendek.

2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout

jarang tampak. Arthralgia dapat timbul tetapi tidak

berhubungan dengan kadar asam urat.

Dosis : 15-30MG/kg/hari

o Ethambutol (emb)

Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler

Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal

Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan

timbulnya kondisi buta warna, berkurangnya ketajaman

penglihatan dan adanya central scotoma

Relatif aman untuk kehamilan

Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan

insufisiensi ginjal

Dosis : 15-25 mg/kg/hari

o Streptomycin (stm)

Bersifat bakterisidal

56

Page 57: Case Spondilitis TB

Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat

basa sehingga dipergunakan untuk melengkapi

pemberian pza.

Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal

Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf viii),

nausea dan vertigo (terutama sering mengenai pasien

lanjut usia)

Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan

insufisiensi ginjal

Dosis : 15 mg/kg/hari - 1 g/kg/hari2.

Tabel 2. Dosis OAT

2. Terapi operatif bedah kostotransversektomi

yang dilakukan berupa debrideman dan penggantian korpus vertebra yang

rusak dengan tulang spongiosa/kortiko - spongiosa. Pott's paraplegia

sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan operasi

(Hodgson) akan tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi

operasi menjadi:

a. indikasi absolut

57

Page 58: Case Spondilitis TB

o Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi

tidak dilakukan bilatimbul tanda dari keterlibatan traktur

piramidalis, tetapi ditunda hingga terjadikelemahan motorik.

o Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun

diberikan terapikonservatif

o Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan

walaupun telah diberi terapi konservatif

o Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol

sehingga tirah baring dan immobilisasi menjadi sesuatu yang

tidak memungkinkan atau terdapat resiko adanya nekrosis

karena tekanan pada kulit.

o Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan

tekanan yang besar yang tidak biasa terjadi dari abses atau

kecelakaan mekanis; dapat juga disebabkan karena trombosis

vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa

o Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi

fleksi, hilangnya sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya

kekuatan motorik selama lebih dari 6 bulan (indikasi operasi

segera tanpa percobaan pemberikan terapi konservatif)

b. indikasi relatif

o Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan

sebelumnya

o Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat

karena kemungkinan pengaruh buruk dari immobilisasi

o Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena

spasme ataukompresi syaraf

o Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu

c. indikasi yang jarang

58

Page 59: Case Spondilitis TB

o Posterior spinal disease

o Spinal tumor syndrome

o Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal

o Paralisis berat karena sindrom kauda ekuinaabses dingin (cold

abses)

o cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh

karena dapat terjadi resorbsispontan dengan pemberian

tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase

bedah.

Ada tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:

a. Debrideman fokal

b. Kosto-transveresektomi

c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.

Paraplegia

Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:

a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata

b. Laminektomi

c. Kosto-transveresektomi

d. Operasi radikal

e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

Operasi kifosis

Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat, kifosis

mempunyaitendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan

operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.

2.2.11 Diagnosis Banding[3,5]

1. Osteitis piogen : khasnya demam lebih cepat timbul

59

Page 60: Case Spondilitis TB

2. Poliomielitis : paresis/paralisis tungkai, skoliosis dan bukan kifosis

3. Skoliosis idiopatik : tanpa gimus dan tanda paralisis

4. Penyakit paru dengan bekas empiema : tulang belakang bebas penyakit

5. Metastasis tulang belakang : tidak mengenai diskus, adanya karsinoma

prostat

6. Kifosis senilis : kifosis tidak local, osteoporosis seluruh kerangka

2.2.12 Komplikasi[3,5]

Cedera corda spinalis ( Spinal cord injury).

Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus

tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis

(contoh : Pott's paraplegia - prognosa baik) atau dapat juga langsung

karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa

(contoh: menigomyelitis - prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering

berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan

Mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan

atau karena invasi dura dan corda spinalis.

Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal

ke dalam pleura.

60

Page 61: Case Spondilitis TB

Tabel 3. Alternatif penatalaksanaan Spondilitis TB

Pilihan terapi

Pendekatan Metode Indikasi

I - - Penatalaksanaan dasar - Kasus baru dengan masalah terbatas, penderita menolak dioperasi

II Anterior - Debridement anterior- Evakuasi abses paravertebral

- Pasien dalam kondisi baik- Abses besar- Destruksi minimal

III Anterior - Debridement anterior- Fusi dan instrumentasi

- TB servikal lempeng anterior TB torakolumbal Metode Hongkong

IV Posterior-anterior

- Instrumentasi posterior- Debridement anterior dan

fusi sirkumferensial

- Deformitas non-rigid- Toleransi buruk dengan

pendekatan anterior – debrideman thoracoskopic dan instrumentasi

- Infeksi, nyeri, instabilitas, deformitas. Dan deficit neurologis

V Posterior-anterior

- Instrumentasi posterior- Debridement anterior dan

fusi sirkumferensial- Pemendekan terbatas

- Deformitas rigid

VI Posterior - Dekompresi posterior laminektomi

- Costotransversectomy debrid dan evakuasi abses

- Lihat indikasi alternatif penatalaksanaan II-IV

VII Posterior - Laminectomy- Pemendekan terbatas- Debridement dan fusi

translateral/posterior- Instrumentasi posterior

- TB lumbal tanpa abses paravertebral

VIII Posterior - Laminektomi- Debridement transpedikular- Biopsy- Instrumentasi posterior

- TB thorax atas- Abses minimal- Deformitas minimal

IX Posterior - Pemendekan dibuang: lamina, facet, prosesus transverses, kosta

- Instrumentasi posterior

- Kifosis berat (60-90o)

X - - Lihat metode II-IX - Kifosis >90o, neuro defisit +

61

Page 62: Case Spondilitis TB

2.2.13 Pencegahan

Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain

Mycobacterium bovis yang dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG

akan menstimulasi immunitas, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa

menimbulkan hal-hal yang membahayakan. Vaksinasi ini bersifat aman tetapi

efektifitas untuk pencegahannya masih kontroversial. Percobaan terkontrol di

beberapa negara Barat, dimana sebagian besar anakanaknya cukup gizi, BCG

telah menunjukkan efek proteksi pada sekitar 80% anak selama 15 tahun setelah

pemberian sebelum timbulnya infeksi pertama. Akan tetapi percobaan lain dengan

tipe percobaan yang sama di Amerika dan India telah gagal menunjukkan

keuntungan pemberian BCG. Sejumlah kecil penelitian pada bayi di negara

miskin menunjukkan adanya efek proteksi terutama terhadap kondisi tuberkulosa

milier dan meningitis tuberkulosa. Pada tahun 1978, The Joint Tuberculosis

Committee merekomendasikan vaksinasi BCG pada seluruh orang yang uji

tuberkulinnya negatif dan pada seluruh bayi yang baru lahir pada populasi

immigran di Inggris (Glassroth et al. 1980)(2,10).

Saat ini WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung

Disease tetap menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu

yang rutin pada negara-negara dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada

beberapa kasus seperti pada AIDS aktif). Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml

untuk neonatus dan bayi sedangkan 0,1 ml untuk anak yang lebih besar dan

dewasa. Oleh karena efek utama dari vaksinasi bayi adalah untuk memproteksi

anak dan biasanya anak dengan tuberkulosis primer biasanya tidak infeksius,

maka BCG hanya mempunyai sedikit efek dalam mengurangi jumlah infeksi pada

orang dewasa. Untuk mengurangi insidensinya di kelompok orang dewasa maka

yang lebih penting adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan sputum

berbasil tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah

menular. Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi

masyarakat sehingga seluruh kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi. Selain

BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian 5mg/kg/hari

62

Page 63: Case Spondilitis TB

selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi

tuberkulosa(2,10).

2.2.14 Prognosis

Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia

dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis

serta terapi yang diberikan.

a. Mortalitas

Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring

dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien

didiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).

b. Relaps

Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik

dengan regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir

mencapai 0%.

c. Kifosis

Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi

kosmetis secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya

defisit neurologis atau kegagalan pernafasan dan jantung karena

keterbatasan fungsi paru. Rajasekaran dan Soundarapandian dalam

penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara sudut

akhir deformitas dan jumlah hilangnya corpus vertebra.

Untuk memprediksikan sudut deformitas yang mungkin timbul peneliti

menggunakan rumus:

Y = a + bX

dengan keterangan :

Y = sudut akhir dari deformitas

X = jumlah hilangnya corpus vertebrae

a dan b adalah konstanta dengan a = 5,5 dan b= 30, 5.

Dengan demikian sudut akhir gibbus dapat diprediksi, dengan akurasi 90%

padapasien yang tidak dioperasi. Jika sudut prediksi ini berlebihan, maka

operasi sedini mungkin harus dipertimbangkan.

63

Page 64: Case Spondilitis TB

d. Defisit neurologis

Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik

secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum,

prognosis membaik dengan dilakukannya operasi dini.

e. Usia

Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa

f. Fusi

Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk

pemulihanpermanen spondilitis tuberkulosa.

64

Page 65: Case Spondilitis TB

BAB III

ANALISIS KASUS

Seorang perempuan berusia 37 tahun, bertempat tinggal di Bukit Sangkal,

Palembang, datang ke RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang dengan keluhan

nyeri kepala setelah kecelakan lalu lintas. Hasil autoanamnesis didapatkan wajah

kanan penderita membentur benda keras setelah kecelakaan lalu lintas. Penderita

juga mengeluh kesulitan dan nyeri saat membuka mulut, penglihatan berbayang

dan rasa nyeri di sekitar bola mata. Dari autoanamnesis dapat diperkirakan telah

terjadi fraktur pada tulang-tulang pembentuk wajah kanan.

Pada pemeriksaan fisik tanggal 30 Juni 2013 didapatkan status generalis

penderita dalam batas normal. Pada pemeriksaan status lokalis regio frontal pada

inspeksi tampak luka ukuran ±10x1 cm, telah dijahit, tepi luka tidak rata, dasar

tulang, dipalpasi terdapat krepitasi. Regio orbita dekstra melalui inspeksi

didapatkan luka di palpebra superior ukuran ±3 cm, telah dijahit, ekimosis pada

periorbita, enopthalmos orbita dekstra, pada palpasi ditemukan nyeri tekan margo

lateral dan inferior orbita dekstra. Regio zigomatikomaksilaris dekstra terdapat

deformitas dan asimetris, dipalpasi terdapat nyeri tekan dan malar depressed.

Regio mandibula didapatkan pada inspeksi simetris dan trismus (+), pada palpasi

tidak ditemukan dan step off. Pmeriksaan intraoral ditemukan tidak ada cedera

lidah.

Pada pemeriksaan Rontgen AP/Lateral dan Waters serta CT Scan bone

window tanggal 30 Juni 2013 didapatkan kesan fraktur dinding lateral rima orbita

dekstra, fraktur os zigomatika/ fraktur dinding lateral sinus maksilaris, dan tampak

perselubungan/soft tissue swelling pada regio maksilaris dekstra yang dicurigai

bukan sinusitis, tapi bekuan darah. .

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis dapat

ditegakkan diagnosa kerja pada kasus ini adalah fraktur zigomatikomaksillaris

complex dekstra. Penyebab frakturnya karena benturan benda keras pada pipi

kanan pasien. Penatalaksanaan awal dilakukan stabilisasi keadaan umum pasien

65

Page 66: Case Spondilitis TB

yang meliputi airway dengan membuka dan membersihkan jalan nafas,

breathing dengan pemberian oksigen dan circulation dengan perawatan

perdarahan disertai pemberian cairan isotonik. Penatalaksanaan definitif dilakukan

operasi terbuka dan fiksasi interna dengan menggunakan plat mini and screw,

konsul bagian mata, injeksi Ketorolac 3x30 mg (iv), injeksi Ceftriaxon 2x1 gram

(iv). Prognosis pada pasien ini secara vitam dan functionam bonam.

66

Page 67: Case Spondilitis TB

DAFTAR PUSTAKA

1. Martini F.H., welch k. Fundamentals of anantomy and physiology. 5th ed. Newjersey: Upper Saddle River, 2001: 132,151PG

2. Anatomi Fungsional Vertebra, accessed on 1 Januari 2014, available from http://fisiosby.com/anatomi-fungsional-vertebrae

3. Medlinux, spondilitis tuberkulosa, accessed on 1 Januari 2014, available fromhttp://medlinux.blogspot.com/2007/09/spondylitis-tuberkulosa.html

4. Rasjad C, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Jakarta: hal 144-1495. Hidalgo Ja, Pott Disease (Tuberculous Spondylitis), Herchline T, Talavera

F, Jhon Jf,Mlonakis E, Cunha Ba, Accessed On 1 January 2014, available from http://www.emedicine.com/med/infecmedical_topics.htm

6. Wim De Jong, Spondilitis Tbc, Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta; hal. 1226-1229

7. Bohndorf K., Imhof H. Bone And Soft Tissue Inflammation. In : Musculoskeletalimaging: A Concise Multimodality Approach. New york :thieme, 2001 : 150, 334-36.

8. Lindsay, Kw, Bone I, Callander R. Spinal Cord And Root Compresion. In : Neurologyand Neurosurgery Illustrated. 2NDED. Edinburgh : Churchill Livingstone, 1991 : 388

9. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases Of The Spinal Cord. In : Critchley E,Eisen A.,Editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis And Management. London:Springer-Verlag, 1997 : 378-87.

10. Sidharta P, Spondilitis Tuberculosa, In Lazuardi S, Hok Ts, Sudibjo Ai, At All Eds, Neurologi Klinik Dalam Praktek Umum,Dian Rakyat, Jakarta 1999:341

11. Dewi Lk, Edi A, Suarthana E, Spondilitis Tuberkulosa, In Mansjoer A, Suprohaita,Wardhani Wi, Setiowulan W, Eds, Kapita Selekta Kedokteran Media Aesculapiusjakarta 2000 : 58

12. Lauerman Wc, Regan M. Spine. In : Miller, Editor. Review Of Orthopaedics. 2ND Ed.Philadelphia : W.B. Saunders, 1996 : 270-91

13. Currier B.L, Eismont F.J. Infections Of The Spine. In : The Spine. 3RD Ed.Rothmansimeone Editor. Philadelphia : W.B. Sauders, 1992 : 1353-64

14. Graham Jm, Kozak J. Spinal Tuberculosis. In : Hochschuler Sh, Cotler Hb, Guyer Rd.Editor. Rehabilitation Of The Spine : Science And Practice. St. Louis : Mosby-Year Book, Inc., 1993 : 387-90.

15. Jose A Hidalgo, MD, George Alangaden, MD. Pott Disease (Tuberculous Spondylitis) in: http://www.emedicine.medscape.com. Updated: Dec 29, 2013.

67

Page 68: Case Spondilitis TB

16. Danchaivijitr, N. Diagnostic Accuracy of MR Imaging in Tuberculous Spondylitis. [Online]. 2007 Feb 19 [cited 2013 Des 27];[5 screens]. Available from: URL:http://www.medassocthai.org/journal

17. Anonim. Paget’s disease of bone. [Online]. 2005 Oct [cited 2013 Dec 27];[4 screens]. Available from: URL:http:// www.thamburaj.com

18. Spondilitis Tb. Accessed on 29th Des 2013. Available from: http://drofidwiantoro.blogspot.com/2011/07/spondilitis-tb_06.html

19. Isi Referat Spondilitis. Access on 31st Des 2013. Available from: Http://www.scribd.com/doc/102639910/isi-referat-spondilitis

20. Alfarisi.Doc. Patogenesis , Patofisiologi , Stadium , Dan Derajat Klasifikasi Spondilitis Tuberkulosa.[Online]. 2011 April 30 [cited 2013 Dec 29] ;[9 screens]. Available from:URL: Http://doc-alfarisi.blogspot.com/2011/04/patogenesis-patofisiologi-stadium-dan.html

21. Hidalgo, JA. Pott Disease. [Online]. 2005 Aug 25 [cited 2013 Dec 30];[17 screens]. Available from: URL:http:www.eMedicine.com/med/topic

22. Anonim. Penyakit Paget Pada Tulang. [Online]. 2006 Oct [cited 2013 Dec 28];[2 screens]. Available from: URL: http:// www.patient.co.uk/showdoc/40001278/

68