case skoliosis

76
PRESENTASI KASUS Manajemen Anestesi pada Skoliosis Idiopatik DISUSUN OLEH : M. Reza Adriyan (030.10.166) Chairunnisa K. (030.10.062) PEMBIMBING : Dr. Nurgani Aribinuko, Sp.An (KIC) KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTESI

description

skoliosis

Transcript of case skoliosis

Page 1: case skoliosis

PRESENTASI KASUS

Manajemen Anestesi pada Skoliosis Idiopatik

DISUSUN OLEH :

M. Reza Adriyan (030.10.166)

Chairunnisa K. (030.10.062)

PEMBIMBING :

Dr. Nurgani Aribinuko, Sp.An (KIC)

KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTESI

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI

PERIODE 27 OKTOBER 2014 – 29 NOVEMBER 2014

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

KATA PENGANTAR

Page 2: case skoliosis

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,

Pertama-tama penyusun mengucapkan puji syukur kepada Tuhan YME, karena atas

berkat, rahmat, dan anugerah-Nya, maka kasus yang berjudul Anestesi Umum pada

Operasi Timpanoplasty ini dapat diselesaikan.

Adapun penyusunan presentasi kasus ini adalah dalam rangka memenuhi salah satu

tugas kepaniteraan klinik Ilmu Anestesi RSUP Fatmawati periode 27 Oktober 2014 – 29

November 2014.

Pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Nurgani Aribinuko, Sp.An(KIC) selaku pembimbing dalam pembuatan

presentasi kasus ini.

2. Para konsulen, dokter, paramedik, dan seluruh staf di SMF Anestesi, serta semua

pihak yang turut serta membantu baik dalam penyusunan referat maupun

membimbing serta menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam penyelesaian

tugas ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Demikian presentasi kasus ini dituliskan. Semoga presentasi kasus ini bermanfaat

bagi siapapun yang membacanya. Penyusun memohon maaf apabila pada penulisan

masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu penyusun menghimbau agar para pembaca

dapat memberikan saran dan kritik yang membangun dalam perbaikan presentasi kasus

ini.

Jakarta , 11 November 2014

Penyusun

2

Page 3: case skoliosis

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos,

"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan

menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya

yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh

Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya

kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan

ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak

diinginkan dari pasien.

Dengan anestesi umum akan diperoleh trias anesthesia, yaitu hipnotik, analgesia, dan

relaksasi otot. Hanya eter yang memiliki trias anesthesia. Karena anestesi modern saat ini

menggunakan obat-obat selain eter, maka trias anestsei diperoleh dengan

menggabungkan berbagai macam obat.

Metode anestesi umum terdiri dari parenteral, per rectal, dan per inhalasi. Berbagai

factor yang mempengaruhi anestesi umum adalah faktor respirasi, sirkulasi, jaringan, zat

anestesi, dan faktor lain (ventilasi, curah jantung, dan suhu).

Manajemen anestesi pada operasi Koreksi skoliosis thorakalis menjadi sangat

penting karena begitu kompleksnya permasalahan perioperatif yang menyertainya.

Fungsi kardiovaskular dan respirasi paling mungkin terganggu sehingga perlu

mendapat perhatian khusus. Penilaian terhadap derajat keparahan dari skoliosisnya

dapat memberikan suatu nilai prediksi terhadap permasalahan yang mungkin terjadi

perioperatif.

Pasien dengan gangguan pada mobilitas dari leher dapat menjadi penyulit saat

melakukan laringoskopiintubasi. Disamping monitoring standar, perlu juga dilakukan

monitoring terhadap fungsi sistem sarafnya dengan alat monitoring neurologis seperti

SSEP’s atau MEP’s jika memungkinkan. Post operasi jika fungsi kardiovaskular dan

respirasi baik, ekstubasi dapat menjadi pilihan. Analgetik post operasi harus adekuat

untuk menangani nyeri karena nyeri dapat dapat menimbulkan instabilitas

kardiovaskular dan respirasi yang menjadi penyulit pasca operasi.

3

Page 4: case skoliosis

BAB II

ILUSTRASI KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

No. RM : 1313838

Nama : An. B

Umur : 13 tahun 2 bulan

Berat Badan : 36 kg

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Kalibata Pancoran Jakarta Selatan

Status pernikahan : Belum menikah

Pendidikan terakhir : Tamat SLTP

2. ANAMNESIS

Keluhan utama

Bentuk tulang belakang yang tidak lurus.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli orthopedi RSUP Fatmawati dengan keluhan tulang

punggung yang tidak lurus, keluhan tersebut menurut orang tua pasien semakin

memburuk seiring bertambahnya usia. Orang tua pasien juga mengeluhkan posisi

kedua bahu anaknya tidak seimbang atau miring sebelah.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Asma (-)

- Hipertensi (-)

- Diabetes Melitus (-)

- Penyakit jantung (-)

- Alergi obat dan makanan tertentu (-)

- Riwayat operasi sebelumnya (-)

- Riwayat TB (-)

4

Page 5: case skoliosis

Riwayat Penyakit Keluarga

Asma (-), Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), penyakit jantung (-)

Riwayat Kebiasaan

Merokok (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

Tanda Vital :

• TD : 110/90 mmHg

• N : 92 x/mnt

• Napas : 18 x/menit

• Suhu : afebris

Berat Badan : 36 kg

Status generalis

• Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

• Telinga :

Kanan : liang telinga lapang, sekret (-), serumen minimal, membran timpani

intak, refleks cahaya (+) jam 5

Kiri : liang telinga lapang, sekret (-), serumen minimal, membran timpani

intak, refleks cahaya (+) jam 7

• Hidung : liang hidung lapang, septum deviasi (-), sekret (-/-),

mukosa

hiperemis (-/-)

• Tenggorokan : arkus faring simetris, uvula di tengah, Tonsil T1-

T1 tenang,

dinding faring posterior tidak hiperemis

• Leher : KGB dan kelenjar tiroid tidak teraba membesar

• Jantung : bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

• Paru : suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

• Abdomen : datar, supel, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+)

normal

5

Page 6: case skoliosis

• Ekstremitas : akral hangat +/+

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

• Hb : 13,0 g/dl

• Ht : 39 %

• Leukosit : 7,800 rb

• Trombosit : 84,000 rb

• Eritrosit : 5,08 juta/dL

• GDS : 89 mg/dl

• SGOT : 65 U/I

• SGPT : 17 U/I

• Ureum : 9 mg/dl

• Kreatinin : 0,4 mg/dl

• Masa perdarahan : 1,5 menit

• Masa pembekuan : 4,0 menit

• PT : 19,1 detik

• APTT : 30,5 detik

Pemeriksaaan Radiologi

6

Page 7: case skoliosis

5. DIAGNOSIS KERJA

Skoliosis Idiopatik

7

Page 8: case skoliosis

6. PERENCANAAN ANESTESI

a. Keadaan Intraoperasi 5 November 2014 (Catatan Anestesia)

(1) Persiapan Anestesi

- Informed consent

- Puasa 6-8 jam pre-operasi

(2) Penatalaksanaan Anestesi

Diagnosa Pre Op : Skoliosis Idiopatik

Jenis Operasi : Koreksi Skoliosis

Teknik : General Anestesi ETT Non Kingking no. 6,5 cuff (+)

Status Fisik : ASA 2

Premedikasi : Fentanyl, midazolam

Induksi : Propofol

Pelemas Otot : Artacurium

Inhalasi : Isoflurane, N2O, O2

Respirasi : Napas kendali (CMV) VT 400 ml, RR 12x/mnt

Posisi : Prone

Infus : Ringer laktat, voluven, gelafusin, PRC.FFP,TC

8

Page 9: case skoliosis

BAB III

ANALISA KASUS

A. ANALISA PREOPERASI

Pada evaluasi praanestesi ada beberapa hal yang harus kita nilai dari

pasien dengan skoliosis thorakalis, yaitu jalan nafas, respirasi, kardiovaskular dan

fungsi neurologis pasien pra operasi. Penting untuk menilai kondisi jalan nafas

pasien karena kita akan melakukan laringoskopi intubasi untuk memfasilitasi

jalannya operasi. Skoliosis seringkali merupakan bagian dari suatu sindrom

kongenital terutama kelainan muskuloskeletal seperti sindrom marfan dan

distropia muskukulorum progresiva.

Pada sindrom tersebut sering terdapat kelainan pada bentuk jalan

nafasnya seperti lidah yang besar, bentuk palatum yang berbeda sehingga akan

menjadi penyulit pada saat kita melakukan laringoskopi intubasi. Dengan

mengetahui kondisi jalan nafas pasien kita dapat menyiapkan peralatan-peralatan

untuk persiapan intubasi sulit. Pada pasien dengan Chiari malformasi terdapat

suatu kondisi dimana terjadi herniasi dari tonsila cerebelar ke foramen magnum

yang menyebabkan pasien beresiko untuk terjadi gangguan kardiovaskuler

dan respirasi akibat penekanan pada cerebelum.

Pada sistem respirasi kita harus menilai fungsi paru dari pasien

praoperatif. Pada pasien dengan skoliosis thorakalis, kelengkungan tulang

belakangnya akan menimbulkan penekanan pada paru sehingga memberi ruang

yang lebih sempit bagi paru untuk mengembang pada saat inspirasi. Hal ini akan

menimbulkan penurunan dari kapasitas vital dan kapasitas fungsional residual

dari paru penderita. Kondisi ini akan memberikan respiratory reserve yang

lebih sedikit bagi kita pada saat melakukan laringoskopi dan intubasi.

Disamping itu penurunan fungsi paru ini akan memberikan nilai prediksi

kepada kita sebagai pertimbangan saat mengekstubasi pasien post operasi.

Pasien dengan skoliosis pada daerah thorakal mempunyai ruang

mediastinum yang lebih sempit dari orang normal sehingga pergerakan

jantungnya lebih terbatas sehingga kemampuan pompanya juga menurun.

Disamping itu ruang yang sempit ini juga dapat mempermudah terjadinya efusi

pericardium dan mungkin dapat menimbulkan perikarditis. Pada pasien skoliosis

9

Page 10: case skoliosis

kongenital juga seringkali ditemukan kelainan jantung seperti tetralogi of fallot,

patent ductus arteriosus, maupun kelainan defek pada septum ventrikel atau

atrial. kondisi kelainan jantung bawaan tersebut dapat menjadi pertimbangan

tambahan pada teknik anestesinya.

Harus dinilai juga fungsi dari sistem saraf pasien sebagai modal sebelum

kita melakukan operasi. Diharapkan post operasi fungsi neurologis dari pasien

tidak menurun.

Skoliosis dapat dinilai tingkat keparahannya dengan menggunakan

metode cobb’s, yang direkomendasikan oleh committee of the scoliosis research

society. Pengukuran cobb’s angle dilakukan dengan membuat garis khayal di

sisi atas dari corpus vertebra pada kelengkungan yang paling atas dan yang

paling bawah dan menghubungkan garis tersebut secara tegak lurus sehingga

membentuk suatu sudut yang kita sebut dengan cobb’s angle.

Cobb’s Angle (derajat) Manifestasi Klinis

< 10 Tida Bergejala

> 25 Peninkgkatan tekanan arteri pulmonal

> 40 Perlu intervensi bedah

> 70 Penurunan volume paru yang bermakna

> 100 Sesak

> 120 Hipoventilasi alveolar, gagal napas kronis

Selain itu, pada pasien ini ditemukan adanya trombositopenia sehingga

sebelum operasi pasien memerlukan tranfusi trombosit. Rumus yang digunakan

pada koreksi trombosit pasien ini :

Trombocyte concentrate (TC) : 75 x BB (kg) =….. Unit

350

TC : 75 x 36 = 7,7

10

Page 11: case skoliosis

350

Sehingga trombosit yang diterima pasien sebelum operasi adalah 8 unit

trombosit. Pada rumus ini 1 unit trombosit = 80 cc.

B. ANALISA INTRAOPERASI

Monitoring standar dipasang pada pasien ini ditambah dengan

pemasangan CVC dan arteri line untuk memantau fungsi kardiovaskular dari

pasien. Alat monitoring neurologis seperti SSEP’s atau MEP’s sebaiknya

dipasang. Teknik hipotensi terkendali dikerjakan untuk mengurangi perdarahan

durante operasi.

Monitoring adalah prinsip dasar dari tehnik anestesi yang akan kita

berikan pada pasien dengan skoliosis thorakalis. Pada premedikasi dapat

diberikan obat-obatan yang memberikan efek sedasi dan antiemetik untuk

memberikan rasa nyaman bagi pasien sebelum pembiusan berlangsung. Pada

induksi obat-obatan yang kita berikan harus menyesuaikan dengan tehnik

intubasi yang akan kita kerjakan. Pada pasien dengan kemungkinan kesulitan

intubasi maka algoritme kesulitan intubasi harus sudah kita persiapkan. Awake

nasal intubasi dengan fasilitasi fiberoptic dapat menjadi pilihan yang paling baik

bagi pasien dengan kekakuan leher. Suksinil kolin sebaiknya dihindari pada

pasien ini terkait sindrom gangguan muskuloskeletal dengan risiko terjadinya

malignant hipertermia.

Setelah diintubasi pasien akan diposisikan prone. Ada beberapa hal yang

harus kita perhatikan sebelum kita memposisikan pasien dalam posisi prone.

Patensi jalan nafas harus kita pastikan. Sebab akan sangat sulit untuk mengakses

jalan napas pada pasien dengan posisi prone. Pemasangan tape pada sambungan

pipa napas dapat menjadi pilihan. Pemasangan packing pada mulut dapat

mengatasi hipersalivasi dan mengurangi risiko tube bergeser.

Pada posisi prone dada pasien akan tertekan sehingga pengembangan

parunya akan terhambat yang akan menimbulkan penurunan dari kapasitas vital

dan kapasitas fungsional residual dari pasien. Kondisi skoliosisnya dapat

memperparah fungsi respirasi pasien. Pemasangan padding di bahu dan

pinggang dapat memberikan ruang yang lebih baik bagi pengembangan paru

pasien.

11

Page 12: case skoliosis

Pada saat kita memposisikan pasien dari posisi supine ke posisi prone

dapat terjadi guncangan kardiovaskular yang hebat akibat dari penurunan

cardiac output yang menimbulkan hipotensi hingga henti jantung. Kita dapat

mengatasinya dengan memastikan kecukupan volume sirkulasi dari penderita

sebelum kita posisikan ke posisi prone. Pemasangan kanul vena sentral dapat

menjadi pilihan meskipun bukan merupakan indikasi mutlak. Alternatif lain dapat

dilakukan pemasangan 2 akses intravena ukuran besar.

Terdapat risiko penekanan pada saraf-saraf disekitar wajah, lengan,

kaki dan organ genitalia akibat posisi pasien. Penggunaan padding di wajah, bahu

dan kaki dapat mengatasi masalah tersebut.

Risiko emboli udara pada operasi tulang belakang dapat terjadi

karena lokasi pembedahan yang terletak diatas dari posisi jantung. Tanda awal

emboli udara adalah takikardia yang tidak bisa dijelaskan yang diikuti dengan

bradikardia dan hipotensi serta penurunan end tidal CO2 yang ekstrem dengan

selisih nilai diatas 5 dibandingkan dengan PaCO2.

Kebutaan paska operasi kejadiannya biasanya terkait dengan durasi

operasi yang lama, hipotensi yang berkepanjangan, anemia dan kehilangan darah

yang masif (melebihi 1000 ml).

Terdapat risiko penekanan bola mata yang dapat menimbulkan kebutaan

post operasi. Hal ini dapat kita hindari dengan memasang bantal berbentuk donat

sebagai penyangga kepala.

Pemeliharaan anestesia dapat dilakukan menggunakan kombinasi

inhalasi dengan N2O:O2 dan sevoflurane, analgetik dan pelumpuh otot intravena.

Namun pada pasien dengan risiko terjadinya malignant hipertermia sebaiknya

pemeliharaan dilakukan dengan total intravena menggunakan regimen

propofol continous atau penthotal.

Monitoring intraoperatif adalah bagian terpenting dari tehnik anestesi.

Pada fase ini kita harus memantau dengan seksama kondisi seluruh sistem

organ pasien. Pada sistem saraf, pemantauan fungsi saraf dengan menggunakan

alat Somato Sensory Evoked Potentials (SSEP’s) atau Motor Evoked Potentials

(MEP’s) adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan meskipun tidak

merupakan hal yang mutlak.

12

Page 13: case skoliosis

Pada sistem respirasi kita dapat memakai alat pemantau end tidal CO2

untuk menjaga pasien tetap normokarbia. Pada sistem kardiovaskular

pemantauan tanda vital standar mutlak harus dipasang seperti monitor tensi, nadi

dan saturasi. Terlebih lagi kita akan menggunakan tehnik hipotensi terkendali

untuk mengurangi perdarahan pada lapangan operasi. Pada sistem urogenital

pemasangan kateter urine wajib dikerjakan untuk memantau kecukupan cairan

dan fungsi dari ginjal pasien. Monitoring invasif lainnya seperti CVC dan arteri

line dapat dipasang jika tersedia.

Risiko perdarahan sangat mungkin terjadi pada pasien koreksi skoliosis.

Untuk itu beberapa tehnik dapat dilakukan untuk mengurangi risiko perdarahan.

Autologus Transfusi pra operatif

Teknik ini dapat dikerjakan 3-4 minggu sebelum operasi berlangsung.

Pasien diambil darahnya untuk disimpan sehingga dapat dipakai jika nanti

diperlukan. Tehnik ini dapat dipakai pada kasus Jehovah’s Witnesess.

Hemodilusi Normovolemik Akut

Teknik ini dilakukan dengan memberikan kristaloid dan koloid

praoperatif untuk mendelusi darah pasien sehingga bila terjadi perdarahan tidak

dengan cepat mengurangi jumlah komponen darah.

Cegah penekanan abdomen saat pasien dalam posisi prone Bila abdomen

tidak dalam posisi bebas saat posisi prone maka dapat terjadi bendungan dari

aliran darah balik ke jantung dari ekstremitas inferior yang akan berefek kepada

penurunan tekanan darah dan vasodiatasi dari vena-vena diruang epidural yang

menyebabkan perdarahan pada lapangan operasi.

Tehnik Hipotensi Terkendali

Teknik hipotensi terkendali dapat dikerjakan dengan melakukan

sedikit hiperventilasi yang dikombinasikan dengan medikamentosa seperti

obat golongan alpha-2 Agonis dan agenagen hipotensif lainnya. Namun

yang paling penting diperhatikan bahwa saat kita melakukan tehnik ini kita harus

menjaga agar MAP dari tekanan darah pasien tidak jatuh hingga dibawah batas

autoregulasi dari otak dan medulla spinalis. Hipotensi yang melewati batas

autoregulasi akan dapat mencederai otak dan medulla spinalis.

13

Page 14: case skoliosis

Intraoperative Cell Salvage

Teknik ini menggunakan mesin khusus untuk mencuci darah yang keluar

dari luka operasi sehingga dapat digunakan kembali. Namun tehnik ini sangat

jarang digunakan.

Kebutuhan cairan pasien selama operasi sering menjadi permasalahan

sehingga manajemen keseimbangan cairan sangat penting untuk diketahui.

Kebutuhan cairan dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Maintenance (M) = 4 x 10 kg pertama

2 x 10 kg kedua

1 x sisa

Jumlah =….

Pengganti puasa sebelum operasi (PP) = lama puasa x maintenance

Stress operasi (SO)

Kecil = 2

Sedang = 4

Berat = 6

Jadi, SO = BB x jenis operasi (kecil/sedang/berat)

Pemberian pada jam I karena pasien telah terpasang infus maka pengganti

puasa akan diberikan ½, sehingga : M + ½ PP + SO. Sedangkan untuk jam ke II :

M + ¼ PP + SO.

Pemakaian rumus pada pasien ini adalah :

M : 4 x 10 = 40

2 x 10 = 20

1 x 16 = 16

= 76 cc

PP : 8 x 76 = 380 cc

SO : 6 x 36 = 216 cc

Jam I

76 + 380/2 + 216

76 + 190 + 216 = 482 cc

14

Page 15: case skoliosis

Jam II

76 + 380/4 + 216

76 + 95 + 216 = 387 cc

Jam III

76 + 380/4 + 216

76 + 95 + 216 = 387 cc

Jam IV

76 + 216

76 + 216 = 292 cc

Jam V

76 + 216

76 + 216 = 292 cc

Dari perhitungan di atas, cairan yang dibutuhkan oleh pasien ini selama

operasi adalah 1.840 cc atau kurang lebih 4 kolf cairan.

C. ANALISA POST-OPERASI

Kriteria ekstubasi untuk pasien ini terpenuhi, seperti perdarahan relatif

sedikit, haemodinamik yang stabil selama operasi. Post operasi pasien sadar baik

dan kooperatif. Pasien dapat bernapas spontan adequat. Hasil analisis gas darah

normal, kemudian diputuskan untuk melakukan ekstubasi. Setelah ekstubasi

pasien dibawa ke ruang intensif untuk monitoring ketat paska operasi. Nyeri

dapat mengganggu proses penyembuhan luka pasien dan dapat menimbulkan

instabilitas kardiovaskular dan respirasi.

Pasien post operasi koreksi skoliosis dihadapkan pada beberapa

kondisi yang mengharuskannya untuk dirawat diruang intensif. Perdarahan,

transfusi darah, manipulasi yang hebat, durasi operasi yang panjang, hipotermia,

penurunan fungsi paru dan goncangan kardiovaskular dapat menjadi ancaman

setiap saat bagi pasien paska operasi sehingga pemantauan yang ketat paska

15

Page 16: case skoliosis

operasi menjadi suatu hal yang mutlak untuk dikerjakan. Penanganan nyeri post

operasi pada pasien koreksi skoliosis merupakan suatu hal yang penting bagi

seorang ahli anestesi. Penggunaan epidural menjadi pilihan yang baik yang

dikombinasi dengan Non Steroid Anti inflamatory Drugs (NSAID’s). Opioid

intravena juga dapat menjadi pilihan untuk menangani nyeri pasien paska

operasi. Baik sebagai agen tunggal maupun dikombinasi dengan parasetamol

maupun NSAID.

Keadaan Akhir Pembedahan:

Tekanan Darah : 124 / 63 mmHg

Nadi : 102 x / menit

Muntah : (+)

Mual : (+)

Sianosis : (-)

Diagnosis post-op : Skoliosis Idiopatik

Penilaian “ALDRETTE SCORE”

Aktivitas Sirkulasi Pernafasan Kesadaran Warna kulit Total

Saat masuk Ruang

Pemulihan1 2 0 1 2 6

Saat keluar Ruang

Pemulihan2 2 2 2 2 10

Saat pasien dibawa ke ruang pemulihan didapatkan Aldrette score 6.

Pasien diberikan oksigenasi sambil dilakukan pemantauan tekanan darah, nadi,

saturasi, dan keseimbangan cairan. Saat di RR pasien mual dan muntah sehingga

diberikan ondancentron sebagai anti-emetik 4 mg intravena. Saat keluar dari

ruang pemulihan didapatkan Aldrete score 10 sehingga pasien sudah bisa

dipindahkan ke ruangan.

Keadaan Post Op Hari I di ICU:

Nafas : Spontan

Tekanan Darah : 120 / 78 mmHg

16

Page 17: case skoliosis

Nadi : 109 x / menit

Suhu : 37,2oC

Urin output : 850 cc/24 jam

0,98 cc/kg/jam

Hasil laboratorium :

Hb : 10

Leukosit : 6700

Hematokrit : 29

Trombosit : 184,000

GDS : 136

Ureum : 15

Creatinin : 0,3

Na : 135

Cl : 60

K : 3,85

PH : 7,443

PCO2 : 4,26

PO2 : 125,9

HCO3 : 28,5

BU : 3,9

D. RESUME

Pasien An. B, 13 tahun 2 bulan, Pasien datang ke poli orthopedi RSUP

Fatmawati dengan keluhan keluhan tulang punggung yang tidak lurus, keluhan

tersebut menurut orang tua pasien semakin memburuk seiring bertambahnya usia.

Orang tua pasien juga mengeluhkan posisi kedua bahu anaknya di seimbang atau

miring sebelah. Diagnosis pada pasien ini adalah Skoliosis Idiopatik dan akan

dilakukan Operasi Koreksi Skoliosis.

Pemeriksaan fisik pasien sebelum dilakukan operasi didapatkan BB pasien 36

kg, TD 13/90 mmHg, nadi 80 x/mnt, napas 18x/menit, suhu afebris. Dari

pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 13,0 g/dl, Ht 39 vol %, leukosit 7800/ul,

trombosit 84 ribu/ul,

Lamanya tindakan anastesi dan operasi koreksi skoliosistimpanoplasty yang

dialami pasien ± 4 jam 45 menit. Pasien menggunakan teknik general anestesi

dengan premedikasi menggunakan midazolam 2mg, fentanyl 100 mcg, induksi

menggunakan propofol 100 mg, dan relaksasi menggunakan artacurium 20 mg.

Napas pasien dikendalikan oleh ventilator dengan volume tidal 400 ml dan frekuensi

napas 12x/menit. Pasien dioperasi dengan posisi terlentang, menggunakan infus pada

tangan kiri ukuran 18 G. Rumatan menggunakan isoflurane 2 vol%. Pasien

menggunakan obat-obatan adjuvant berupa artacurium 10 mg, ondancetron 4 mg,

17

Page 18: case skoliosis

fentanyl 50 mcg, calcium glukonat 1000 mg, dexamethason 10 mg, propofol syringe

pump.

Hemodinamik pasien ini selama operasi cenderung stabil dalam keadaan

hipotensi dari awal hingga akhir.

Jenis operasi yang dialami pasien termasuk kedalam operasi besar. Dengan

jumlah cairan yang masuk sebesar 6750 ml, total perdarahan 3000 ml, dan jumlah

urin yang dihasilkan selama operasi 1450 ml. Balans cairan pasien ±2300.

18

Page 19: case skoliosis

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan nyeri secara sentral disertai

hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Anestesi umum adalah tindakan yang

menimbulkan keadaan tidak sadar selama prosedur medis dilakukan, sehingga pasien

tidak merasakan atau mengingat sesuatu yang terjadi. Komponen anestesi yang ideal

terdiri dari hipnotik, analgesia, dan relaksasi. Dalam anestesi umum, pasien akan

mengalami keadaan tidak sadar dan hilangnya refleks pelindung yang dihasilkan dari

satu atau lebih agen anestesi umum.

Anestesi umum menggunakan agen intravena, inhalasi, intramuskular dan per

rektal. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak selalu

menjadi pilihan terbaik, tergantung  pada keadaan  pasien, lokal   atau

anestesi   regional  mungkin lebih tepat. Penyedia anestesi bertanggung jawab untuk

menilai semua faktor yang mempengaruhi kondisi medis pasien dan memilih teknik

anestesi yang optimal.

Keuntungan anestesi umum :

- Mengurangi kesadaran pasien intraoperatif 

- Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama

- Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi

- Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap agen anestesi local

- Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga

- Dapat diberikan dengan cepat

- Dapat diberikan pada pasien dalam posisi terlentang

Kekurangan anestesi umum :

- Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien

- Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit

tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan masa untuk fungsi

mental yang normal

19

Page 20: case skoliosis

- Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak semua) agen

anestesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi

mematikan, hiperkarbia, asidosismetabolik, dan hiperkalemia.

Indikasi anestesi umum :

- Infant dan anak usia muda

- Dewasa yang memilih anestesi umum

- Pembedahan luas

- Penderita sakit mental

- Pembedahan lama

- Pembedahan dimana anestesi local tidak praktis atau tidak memuaskan

- Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi local

- Penderita dengan pengobatan antikoagulan

Hal yang harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah hilangnya upaya

mempertahankan diri dari pasien. Pasien akan kehilangan reflex-reflex nya termasuk

reflex batuk yang berfungsi untuk mencegah adanya aspirasi. Selain kehilangan

reflex, penggunaan muscle relaxan pada anestesi umum dapat menyebabkan tidak

adekuatnya sphincter pada lambung yang bisa menyebabkan adanya aspirasi yang

berisiko menyebabkan aspirasi. Untuk mencegah hal ini, pasien yang akan dilakukan

anestesi umum harus dipuasakan untuk mengosongkan lambung dan mencegah

adanya regurgitasi dan aspirasi, karena aspirasi adalah penyebab morbiditas yang

cukup tinggi dalam anestesi.

I. TEORI ANESTESI UMUM

Ada beberapa teori yang membicarakan tentang kerja anestesi umum,

diantaranya :

a. Meyer dan Overton (1989) mengemukakan teori kelarutan lipid (Lipid

Solubity Theory). Obat anestetika larut dalam lemak. Efeknya

berhubungan langsung dengan kelarutan dalam lemak. Makin mudah larut

di dalam lemak, makin kuat daya anestesinya. Ini hanya berlaku pada obat

inhalasi (volatile anaesthetics), tidak pada obat anestetika parenteral.

20

Page 21: case skoliosis

b. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (The Inert Gas

Effect). Potensi analgesia gas – gas yang lembab dan menguap terbalik

terhadap tekanan gas – gas dengan syarat tidak ada reaksi secara kimia.

Jadi tergantung dari konsentrasi molekul – molekul bebas aktif.

c. Pauling (1961) mengemukakan teori kristal mikrohidrat (The Hidrat

Micro-crystal Theory). Obat anestetika berpengaruh terutama terhadap

interaksi molekul – molekul obatnya dengan molekul – molekul di otak.

d. Trudel (1963) mengemukakan molekul obat anestetika mengadakan

interaksi dengan membrana lipid meningkatkan keenceran (mengganggu

membran).

Obat anestesi yang diberikan akan masuk ke dalam sirkulasi darah yang

selanjutnya menyebar ke jaringan, yang pertama kali terpengaruh adalah jaringan

yang banyak vaskularisasinya seperti otak, yang mengakibatkan kesadaran dan

rasa sakit hilang. Kecepatan dan kekuatan anestesi dipengaruhi oleh faktor

respirasi, sirkulasi, dan sifat fisik obat itu sendiri.

II. TUJUAN ANESTESI UMUM

Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan stabilisasi

otonom.

III. SYARAT, KONTRAINDIKASI DAN KOMPLIKASI ANESTESI UMUM

Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah :

a. Memberi induksi yang halus dan cepat

b. Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespoons

c. Timbulkan keadaan amnesia

d. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan

e. Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang

21

Page 22: case skoliosis

cukup untuk tindakan operasi

f. Memberikan keadaan pemulihan yang halus dan cepat dan tidak

menimbulkan ESO yang berlangsung lama.

Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis

derajat III – IV, AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P).

Kontraindikasi Relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110),

DM tak terkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA.

Tergantung pada efek farmakologi pada organ yang mengalami

kelainan.Pada pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan pemakaian obat

yang bersifat hepatotoksik.Pada pasien dengan gangguan jantung, obat – obatan

yang mendepresi miokard atau menurunkan aliran koroner harus dihindari atau

dosisnya diturunkan. Pasien dengan gangguan ginjal, obat – obatan yang

diekskresikan melalui ginjal harus diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat yang

memicu sekresi paru, sedangkan pada bagian endokrin hindari obat yang

meningkatkan kadar gula darah, obat yang merangsang susunan saraf simpatis

pada penyakit diabetes basedow karena dapat menyebabkan peningkatan kadar

gula darah.

Sedangkan komplikasi kadang – kadang tidak terduga walaupun tindakan

anestesi telah dilakukan dengan sebaik – baiknya.Komplikasi dapat dicetuskan

oleh tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri.Komplikasi dapat timbul

pada waktu pembedahan ataupun setelah pembedahan. Komplikasi

kardiovaskular berupa hipotensi dimana tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg

atau turun 25 % dari sebelumnya, hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan

darah pada periode induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat

membahayakan khususnya pada penyakit jantung karena jantung bekerja keras

dengan kebutuhan – kebutuhan miokard yang meningkat yang dapat

menyebabkan iskemik atau infark apabila tidak tercukupi kebutuhannya.

Komplikasi lain berupa gelisah setelah anestesi, tidak sadar , hipersensitifitas

ataupun adanya peningkatan suhu tubuh.

22

Page 23: case skoliosis

IV. PERSIAPAN UNTUK ANESTESI UMUM

Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum

pasien menjalani suatu tindakan operasi.Pada saat kunjungan, dilakukan

wawancara (anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat

anestesi sebelumnya, adakah penyakit – penyakit sistemik, saluran napas, dan

alergi obat. Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi –

geligi, tindakan buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek.Perhatikan pula

hasil pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit yang sedang

dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa pendarahan, masa

pembekuan), radiologi, EKG.

Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan

dengan status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).

ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat.

ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik

karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya:

pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau

pasien appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.

ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang

diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien

appendisitis perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus

obstrukstif dengan iskemia miokardium.

ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung

mengancam kehidupannya. Contohnya: Pasien dengan syok atau

dekompensasi kordis.

ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi

atau tidak. Contohnya: pasien tua dengan perdarahan basis kranii

dan syok hemoragik karena ruptur hepatik.

ASA VI : Pasien mati batang otak, potensi donor organ.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan

mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE

23

Page 24: case skoliosis

Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi

lambung karena regurgutasi atau muntah. Pada pembedahan elektif,

pengosongan lambung dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 – 6 jam, bayi

3 – 4 jam. Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan

dengan memasang pipa nasogastrik atau dengan cara lain yaitu menetralkan asam

lambung dengan memberikan antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis

reseptor H2 (ranitidin). Kandung kemih juga harus dalam keadaan kosong

sehingga boleh perlu dipasang kateter.Sebelum pasien masuk dalam kamar

bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin

pembedahan secara tertulis (informed concent).

Premedikasi sendiri ialah pemberian obat ½ - 1 jam sebelum induksi

anestesia dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia,

menghilangkan rasa khawatir,membuat amnesia, memberikan analgesia dan

mencegah muntah, menekan refleks yang tidak diharapkan, mengurasi sekresi

saliva dan saluran napas.

Obat – obat premedikasi yang bisa diberikan antara lain :

Gol. Antikolinergik

Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah,

antimual dan muntah, melemaskan tonus otot polos organ – organ dan

menurunkan spasme gastrointestinal. Dosis 0,4 – 0,6 mg IM bekerja

setelah 10 – 15 menit.

Gol. Hipnotik – sedatif

Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital).Diberikan untuk

sedasi dan mengurangi kekhawatiran sebelum operasi.Obat ini dapat

diberikan secara oral atau IM.Dosis dewasa 100 – 200 mg, pada bayi dan

anak 3 – 5 mg/kgBB.Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak

diperpanjang dan efek depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan

sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah.

24

Page 25: case skoliosis

Gol. Analgetik narkotik

Morfin. Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan

menjelang operasi.Dosis premedikasi dewasa 10 – 20 mg. Kerugian

penggunaan morfin ialah pulih pasca bedah lebih lama, penyempitan

bronkus pada pasien asma, mual dan muntah pasca bedah ada.

Pethidin. Dosis premedikasi dewasa 25 – 100 mg IV.Diberikan

untuk menekan tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot

polos.Pethidin juga berguna mencegah dan mengobati menggigil pasca

bedah.

Gol. Transquilizer

Diazepam (Valium). Merupakan golongan benzodiazepine.

Pemberian dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik.

Dosis premedikasi dewasa 0,2 mg/kgBB IM.

V. METODE PEMBERIAN ANESTESI UMUM

Obat obat anestesi umum bisa diberikan melalui Perenteral (Intravena,

Intramuscular), perektal (melalui anus) biasanya digunakan pada bayi atau anak-

anak dalam bentuk suppositoria, tablet, semprotan yang dimasukan ke anus.

Perinhalasi melalui isapan, pasien disuruh tarik nafas dalam kemudian berikan

anestesi perinhalasi secara perlahan.

VI. STADIUM ANESTESI

Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama

berupa analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi

teratur, stadium 3 dan stadium 4 sampai henti napas dan henti jantung.

Stadium I

Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian

zat anestetik sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini pasien masih dapat

25

Page 26: case skoliosis

mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).Tindakan

pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan

pada stadium ini.Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflekss

bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut bisa kita raba bulu mata).

Stadium II

Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan

ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya

(+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan

diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak mata.

Stadium III

Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga

hilangnya pernapasan spontan.Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan

spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri

dan kekanan dengan mudah.

Stadium IV

Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan

segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal.

Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman

anestesi yang berlebihan.

TANDA REFLEKS PADA MATA

Refleks pupil

Pada keadaan teranestesi maka refleks pupil akan miosis apabila

anestesinya dangkal, midriasis ringan menandakan anestesi reaksinya cukup dan

baik/ stadium yang paling baik untuk dilakukan pembedahan, midriasis maksimal

menandakan pasien mati.

26

Page 27: case skoliosis

Refleks bulu mata

Refleks bulu mata sudah disinggung tadi di bagian stadium

anestesi.Apabila saat dicek refleks bulu mata (-) maka pasien tersebut sudah pada

stadium 1.

Refleks kelopak mata

Pengecekan refleks kelopak mata jarang dilakukan tetapi bisa digunakan

untuk memastikan efek anestesi sudah bekerja atau belum, caranya adalah kita

tarik palpebra atas ada respon tidak, kalau tidak berarti menandakan pasien sudah

masuk stadium 1 ataupun 2.

Refleks cahaya

Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon

saat kita beri rangsangan cahaya.

VII. TEKNIK ANESTESI UMUM

a. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan

Indikasi :

- Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)

- Keadaan umum baik (ASA I – II)

- Lambung harus kosong

Prosedur :

- Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik

- Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)

- Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat

penenang) efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia:

opioid, non opioid, dll

- Induksi

- Pemeliharaan

27

Page 28: case skoliosis

b. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan

Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea

(ET= endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi;

operasi lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan

kepala)

Prosedur :

- Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh

otot/suksinil dgn durasi singkat)

- Intubasi setelah induksi dan suksinil

- Pemeliharaan

Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS:

S : Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.

Laringo-Scope

T : Tubes. Pipa trakea. Usia >5 tahun dengan balon(cuffed)

A : Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring

(nasofaring) yang digunakan untuk menahan lidah saat pasien

tidak sadar agar lidah tidak menymbat jalan napas

T : Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau

tercabut

I : Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea

mudah dimasukkan

C : Connector. Penyambung pipa dan perlatan anestesia

S : Suction. Penyedot lendir dan ludah

Teknik Intubasi

1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap

2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi

(+)

3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama

kira - kira 1 mnt

28

Page 29: case skoliosis

4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan

kanan mendorong kepala sedikit ekstensi → mulut

membuka

5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah

kanan, sedikit demi sedikit, menyelusuri kanan lidah,

menggeser lidah kekiri

6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada

bilah bengkok) atau angkat epiglotis ( pada bilah lurus )

7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan

trakea dari luar )

8. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya

merah

9. Masukan ET melalui rima glottis

10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau

alat bantu napas( alat resusitasi )

Klasifikasi Mallampati :

Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :

c. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)

29

Page 30: case skoliosis

Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien

dikontrol pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12-20 x

permenit.Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas

spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya.

- Teknik sama dengan diatas

- Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)

- Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.

VIII. OBAT – OBAT DALAM ANESTESI UMUM

Jenis obat anestesi umum diberikan dalam bentuk suntikan intravena atau

inhalasi.

1. Anestetik intravena

Penggunaan :

- Untuk induksi

- Obat tunggal pada operasi singkat

- Tambahan pada obat inhalasi lemah

- Tambahan pada regional anestesi

- Sedasi

Cara pemberian :

- Obat tunggal untuk induksi atau operasi singkat

- Suntikan berulang (intermiten)

- Diteteskan perinfus

Obat anestetik intravena meliputi :

a. Benzodiazepine

Sifat : hipnotik – sedative, amnesia anterograd, atropine

like effect, pelemas otot ringan, cepat melewati barier

plasenta.

Kontraindikasi : porfiria dan hamil.

Dosis :

- Diazepam : induksi 0,2 – 0,6 mg/kg IV

30

Page 31: case skoliosis

- Midazolam : induksi : 0,15 – 0,45 mg/kg IV.

b. Propofol

Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat

penting. Propofol dapat menghasilkan anestesi kecepatan yang

sama dengan pemberian barbiturat secara inutravena, dan waktu

pemulihan yang lebih cepat. Dosis : 2 – 2,5 mg/kg IV.

c. Ketamin

Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general

anaesthetic.Indikasi pemakaian ketamin adalah prosedur dengan

pengendalian jalan napas yang sulit, prosedur diagnosis, tindakan

ortopedi, pasien resiko tinggi dan asma. Dosis pemakaian ketamin

untuk bolus 1- 2 mg/kgBB dan pada pemberian IM 3 – 10

mg/kgBB.

d. Thiopentone Sodium

Merupakan bubuk kuning yang bila akan digunakan

dilarutkan dalam air menjadi larutan 2,5%atau 5%. Indikasi

pemberian thiopental adalah induksi anestesi umum, operasi

singkat, sedasi anestesi regional, dan untuk mengatasi kejang.

Keuntungannya :induksi mudah, cepat, tidak ada iritasi mukosa

jalan napas. Dosis 5 mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV.

2. Anestetik inhalasi

a. N2O

Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak

berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada udara.N2O biasanya

tersimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan

penguapan pada suhu kamar ± 50 atmosfir. N2O mempunyai efek

analgesic yang baik, dengan inhalasi 20% N2O dalam oksigen efeknya

seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan efek

31

Page 32: case skoliosis

analgesic maksimum ± 35%. Gas ini sering digunakan pada partus yaitu

diberikan 100% N2O pada waktu kontraksi uterus sehingga rasa sakit

hilang tanpa mengurangi kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu

relaksasi untuk mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O

digunakan secara intermiten untuk mendapatkan analgesic pada saat

proses persalinan dan Pencabutan gigi. H2O digunakan secara umum

untuk anestetik umum, dalam kombinasi dengan zat lain.

b. Halotan

Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah

terbakar dan tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen.

Halotan bereaksi dengan perak, tembaga, baja, magnesium, aluminium,

brom, karet dan plastic. Karet larut dalam halotan, sedangkan nikel,

titanium dan polietilen tidak sehingga pemberian obat ini harus dengan

alat khusus yang disebut fluotec. Efek analgesic halotan lemah tetapi

relaksasi otot yang ditimbulkannya baik. Dengan kadar yang aman waktu

10 menit untuk induksi sehingga mempercepat digunakan kadar tinggi (3-

4 volume %). Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume.

c. Isofluran

Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Secara

kimiawi mirip dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda.

Isofluran berbau tajam sehingga membatasi kadar obat dalam udara yang

dihisap oleh penderita karena penderita menahan nafas dan batuk. Setelah

pemberian medikasi preanestetik stadium induksi dapat dilalui dengan

lancer dan sedikit eksitasi bila diberikan bersama N2O dan O2. Isofluran

merelaksasi otot sehingga baik untuk intubasi. Tendensi timbul aritmia

amat kecil sebab isofluran tidak menyebabkan sensitisasi jantung terhadap

ketokolamin. Peningkatan frekuensi nadi dan takikardia dihilangkan

dengan pemberian propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-10 mg

morfin atau 0,1 mg fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia diatasi

terlebih dulu. Penurunan volume semenit dapat diatasi dengan mengatur

32

Page 33: case skoliosis

dosis. Pada anestesi yang dalam dengan isofluran tidak terjadi

perangsangan SSP seperti pada pemberian enfluran. Isofluran

meningkatkan aliran darah otak pada kadar labih dari 1,1 MAC (minimal

Alveolar Concentration) dan meningkatkan tekanan intracranial.

d. Sevofluran

Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling

disukai untuk induksi inhalasi.

IX. SKOR PEMULIHAN PASCA ANESTESI

Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi

terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian

terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke

ruangan atau masih perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).

A. Aldrete Score

Nilai Warna

Merah muda, 2

Pucat, 1

Sianosis, 0

Pernapasan

Dapat bernapas dalam dan batuk, 2

Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1

 Apnoea atau obstruksi, 0

Sirkulasi

Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2

Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1

Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0

Kesadaran

33

Page 34: case skoliosis

Sadar, siaga dan orientasi, 2

Bangun namun cepat kembali tertidur, 1

Tidak berespons, 0

Aktivitas

Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2

Dua ekstremitas dapat digerakkan,1

Tidak bergerak, 0

Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

 

B. Steward Score (anak-anak)

Pergerakan

Gerak bertujuan 2

Gerak tak bertujuan 1

Tidak bergerak 0

Pernafasan

Batuk, menangis 2

Pertahankan jalan nafas 1

Perlu bantuan 0

Kesadaran

Menangis 2

Bereaksi terhadap rangsangan 1

Tidak bereaksi 0

Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

TROMBOSIT

34

Page 35: case skoliosis

Tranfusi pada hakekatnya adalah pemberian darah atau komponen darah dari satu

individu (donor) ke individu lain (resipien), dimana dapat menjadi penyelamat nyawa,

tetapi dapat pula berbahaya dengan berbagai komplikasi yang dapat terjadi sehingga

tranfusi darah hendaklah dilakukan dengan indikasi yang jelas dan tepat sehingga

diperoleh manfaat yang jajuh lebih besar dari pada resiko yang mungkin terjadi.

Penggunaan darah untuk tranfusi hendaknya selalu dilakukan secara rasional dan

efisien yaitu dengan memberikan hanya komponen darah/derivate plasma yang

dibutuhkan saja. Pemikiran ini didasarkan bahwa darah terdiri dari bermacam macam

elemen elemen seluler dan juga bermacam macam protein plasma dengan fungsi yang

berbeda beda yang tentunya dapat dipisahkan, juga biasanya pasien hanya memerlukan

komponen tertentu saja sehingga komponen komponen darah lainnya dapat diberikan

kepada pasien lain yang membutuhkan.

Pengertian adanya perbedaan genetic antara individu, pengembangan

antikoagulan, pengawetan dan tehnik pengerjaan yang streril, memungkinkan

pengumpalan dan penyinaran darah untuk diberikan dikemudian hari. Perkembangan

tehnik terus berkembang khususnya dibidang penggunaan komponen dan fraksi donor

darah, perbaikan cara skrining donor, pengembangan inaktivitas kuman pathogen,

perkembangan mecing (matching) immunologi produk darah donor dengan resipien

jadilah tranfusi medis menjadi suatu spesialisasi dibidang hematologi.

FISIOLOGIS TROMBOSIT

Unsur seluler dari darah terdiri dari sel darah merah, sel darah putih, dan

trombosit, unsur seluler tersebut tersuspensi di dalam plasma. Volume darah total yang

beredar pada keadaan normal sekitar 8% dari berat badan (5600 mL pada pria 70 Kg).

sekitar 55% dari volume tersebut adalah plasma.

Trombosit/platelet adalah sel anuclear (tidak mempunyai nukleus pada DNA-

nya) dengan bentuk bulat kecil atau cakram oval dengan ukuran diameter 2-4 μm yang

merupakan fragmentasi dari megakariosit di sumsum tulang. Waktu paruh hidup

trombosit dalam darah adalah 8 sampai 12 hari, setelah itu proses kehidupan berakhir.

Trombosit memiliki banyak ciri khas fungsional sebagai sebuah sel, walaupun

tidak mempunyai inti dan tidak dapat bereproduksi. Didalam sitoplasma nya terdapat

35

Page 36: case skoliosis

faktor faktor aktif seperti (1) molekul aktin dan myosin, sama seperti yang terdapat

dalam sel sel otot, juga protein kontraktil lainnya. Yaitu tromboplastin, yang dapat

menyebabkan trombosit berkontraks; (2) sisa reticulum endoplasma dan aparatus golgi

yang mensintesis berbagai enzim dan menyimpan sejumlah besar ion kalsium; (3) sistem

enzim yang mensistesis prostaglandin, yang merupakan hormone setempat yang

menyebabkan berbagai jenis reaksi pembuluh darah dan reaksi jaringan setempat; (4)

suatu protein penting yang disebut faktor stabilisasi fibrin yang berhubungan dengan

faktor pembekuan darah; (5) faktor pertumbuhan yang dapat menyebabkan penggandaan

dan pertumbuhan sel endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah, dan

fibroblast, sehingga dapat menimbulkan pertumbuhan sel sel untuk memperbaiki dinding

pembuluh darah yang rusak.

Membrane sel trombosit juga penting. Dipermukaan nya terdapat lapisan

glikoprotein yang menyebabkan trombosit dapat menghindari perlekatan pada endotel

normal dan justru melekat pada dinding pembuluh darah yang terluka, terutama pada sel

endotel yang rusak, selain itu membrane trombosit mengandung banyak fosfolipid yang

berperan dalam mengaktifkan berbagai hal dalam faktor pembekuan.

Trombosit tersirkulasi dalam darah dan terlibat dalam mekanisme homeostasis

dalam proses perbaikan terhadap pembuluh yang rusak didasarkan pada beberapa fungsi

penting dari trombosit itu sendiri: pada waktu trombosit bersinggungan dengan

permukaan pembuluh yang rusak, misalnya dengan serat kolagen didinding pembuluh

atau bahkan dengan sel endotel yang rusak, maka sifat sifat trombosit segera berubah

secara drastic. Trombosit itu mulai membengkak, bentuk menjadi iireguler dengan

tonjolan tonjolan yang mencuat dari permukaanya; protein kontraktil nya berkontraksi

dengan kuat dan menyebabkan pelepasan granula yang mengandung berbagai faktor

aktif ;trombosit itu menjadi lengket sehingga melekat pada serat kolagen; mensekresi

sejumlah besar ADP; dan enzim enzim nya membentuk tromboksan A2, yang juga

disekresikan dalam darah. ADP dan tromboksan kemudian menyebabkan agregasi

trombosit ketempat semula yang sudah aktif. Dengan demikian pada setiap lubang luka

atau kerusakan pada dinding pembuluh darah akan menimbulkan suatu siklus aktivasi

trombosit yang jumlahnya terus meningkat yang menyebabkan menarik lebih banyak

lagi trombosit tambahan, sehingga membentuk sumbatan trombosit.

36

Page 37: case skoliosis

KELAINAN TROMBOSIT

Kebanyakan kasus perdarahan yang datang instalasi gawat darurat adalah

disebabkan oleh trauma, yang menghasilkan luka, laserasi, atau lesi pada struktur lain,

dengan kondisi homestasis pasien dalam keadaan normal. Sebaliknya, pada beberapa

keadaan perdarahan yang terjadi beberapa jam setelah terjadinya trauma atau perdalah

dalam jaringan atau sendi memberikan kesan terdapat gangguan pada proses perdarahan.

Informasi mengenai penyakit dahulu pasien menyangkut gangguan perdarahan

congenital, riwayat penyakit keluarga, hal ini memberikan kesan terdapat kelainan pada

system homeostasis pasien, umunya disebabkan oleh kelainan hati atau mengkomsumsi

obat obatan yang merusak fungsi trombosit (table 1).

Kelainan pada trombosit sering di temukan saat persiapan pre operasi berupa

disfungsi trombosit atau jumlah trombosit rendah (trombositopenia). Nilai trombosit di

bawah atau sama 50.000/mm3 tidak meningkatkan kejadian perdarahan saat operasi jika

fungsi dari trombosit normal; tetapi trombosit yang normal dengan disfungsi trombosit

dapat meningkatkan kejadian perdarahan saat operasi. Oleh karena itu persiapan

perioperatif harus benar benar mengetahui apakah terdapat kelainan pada thrombosit dan

segera di atasi untuk menghindari perdarahan saat operasi.

Nilai normal trombosit antara 150.000 sampai 400.000/mm3. Nilai trombosit di bawah

150.000mm/3 didefinisikan sebagai trombositopenia. Perdarahan spontan akibat nilai

trombosit yang rendah jarang ditemukan sampai nilai trombosit > 20.000 mm/3. Untuk

homeostasis pembedahan nilai trombosit antara 50.000 mm/3 sampai 100.000 mm/3

masih adekuaut selama fungsi trombosit baik. Keputusan untuk pemberian tranfusi

trombosit pada perioperatif tergantung dari kasus dan resiko terjadinya perdarahan

selama perdarahan atau pada pasien dengan gangguan homeostasis. Pada pasien dengan

hitung trombosit pada garis batas, mengetahui waktu masa perdarahan sangat bermanfaat

selama persiapan perioperatif.

Trombositopenia merupakan keadaan yang disebabkan oleh sequstrasi trombosit,

penurunan produksi trombosit atau destruksi trombosit yang sangat cepat (bagan 1).

Table 1. Obat yang menekan produksi atau fungsi platelet5.

Menekan produksi platelet

(Thrombocytopenia)*

Menekan fungsi platelet (masa

perdarahan memanjang)

37

Page 38: case skoliosis

Heparin 4+ Aspirin

Gold salts 4+ Nonsteroidal anti-inflammatory drugs

Sulfa-containing antibiotics 4+ Antiplatelet agents: ticlopidine and

clopidogrel

Quinine and quinidine 4+ Penicillins and cephalosporins

Ethanol (chronic use) 4+ Calcium channel blockers

Aspirin 3+ Propranolol

Indomethacin 3+ Nitroglycerin

Valproic acid 3+ Antihistamines

Heroin 3+ Phenothiazines

Thiazides 2+ Tricyclic antidepressants

Furosemide 2+

Procainamide 2+

Digoxin 2+

Cimetidine and ranitidine 2+

Phenytoin 1+

Penicillins/cephalosporins 1+

*Angka tersebut menunjukkan efek masing masing obat berdasarkan laporan

kasus.

Trombosit sequestrasi

Sepertiga dari total trombosit secara fisiologis didestruksi oleh limpa. Pada

kondisi splenomegali, lebih dari 90% trombosit terdestruksi oleh limpa, sehingga

menyebabkan trombositopenia. Penyakit seperti sirosis hepatis dengan hipertensi portal

atau infiltrate tumor pada limpa dapat menyebabkan destruksi trombosit oleh limpa

secara signifkan. Manajemen perioperatif biasanya bersifat konservatif kecuali

trombositopenia progresif dibawah 50.000/mm3. Splenektomi efektif pada kelainan ini

seperti gaucher disease atau kelainan hemolotik kronik tetapi kontraindikasi relative pada

leukemia atau pada portal hipertensi. Meskipun nilai trombosit dapat rendah, fungsi

trombosit biasanya normal pada destruksi akibat spenomegali kecuali kelainan

hematologic atau penyakit keganansan.

38

Page 39: case skoliosis

Bagan 1 Pendekatan secara skematik untuk evaluasi klinik pada pasien dengan trombositopenia. (used

with permission from handin RI. In Beck W, editors: Hematology, ed 4, Cambridge, MA, 1985, MIT

press, p. 442).

Defek produk trombosit

Pada biopsy sumsum tulang yang memperlihatkan penurunan megakariosit sesuai

dengan defek pada produksi trombosit. Kondisi ini terdapat pada leukemia, kelainan

hematologic lainnya, metastasis kanker, mielosupresi agen kemoterapi. Kondisi lain juga

dapat ditemukan pada penggunaan obat tertentu, terutama pada golongan thiazide

diuretic, ethanol, gold, dan obat golongan sulfa dapat secara selektif menghambat

produksi platelet (table 1). Penanganan difokuskan pada pengobatan kelainan

hematologik atau keganasan, atau menghentikan konsumsi obat.

Percepatan destruksi trombosit

Percepatan destruksi trombosit adalah kasus yang disebabkan oleh nonimunologi

atau imunilogi. Penyebab nonimmunologi seperti DIC, vasculitis dan prostetik katup

39

Page 40: case skoliosis

jantung. Penyebab immunologi dihubungkan pada antibody trombosit dari obat, infeksi,

tranfusi trombosit sebelumnya, atau autoantibody seperti pada SLE, immunologi

trombositopenia purpura (ITP), atau evans’ sindrom (ITP dan anemia hemolotik). Pasien

pada trombositopenia yang disebabkan oleh immunologi biasanya tidak dijumpai

splenomegali dan sumsung tulang yang normal dengan peningkatan produksi

megakariosit. Usia trombosit pada kelainan immunologi trombositopenia lebih rendah

dari 1 hari.

Disfungsi trombosit

Karakteristik disfungsi trombosit trombosit adalah dengan hitung jumlah

trombosit normal tetapi tidak adekuat dalam homestasis karena terdapat defek pada

trombosit atau defek pada komponen koagulasi yang berinteraksi dengan trombosit.

Kelainan ini termasuk Von Willebrand’s disease, Bernard-Soulier, Glanzmann’s

thrombasthenia, platelet granular disorder dan drug acquired platelet dysfunction.

Transfusi Trombosit

Trombositopenia umum terjadi pada pasien-pasien dengan keganasan

hematologis dan pasien trauma. Transfusi platelet (trombosit) sering diberikan pada

pasien-pasien dengan trombositopenia meskipun sering terjadi komplikasi transfusi yang

merugikan.

Dalam usaha untuk menghindari transfusi yang tidak perlu, tindakan transfusi

yang tepat dan keberhasilan dari transfusi platelet telah diperdebatkan selama beberapa

tahun belakangan ini. Banyak penelitian memfokuskan tingkat keberhasilan dari

transfusi platelet pada peningkatan jumlah platelet posttransfusi serta viabilitas dari

platelet post transfusi. Efek hemostatik dari transfuse platelet adalah tujuan akhir penting

yang dinilai. Beberapa penelitian telah mencoba untuk mengevaluasi efek dari transfuse

platelet terhadap terjadinya perdarahan dan koagulasi, mungkin karena hal ini adalah

hasil akhir yang sulit dinilai. Aggregometri platelet dan thromboelastrografi telah

dilakukan untuk penelitian efek in vitro dari penurunan jumlah platelet.

Tromboelatrografi dan tromboelastrometri sekarang sedang populer digunakan

sebagai alat monitor koagulasi karena tehniknya yang cepat dan mudah digunakan.

Tromboelastrografi lebih spesifik dan sensitif dibandingkan tes koagulasi rutin di

laboratorium dalam mendeteksi defek di sistem koagulasi.

40

Page 41: case skoliosis

Untuk menilai dengan segera efek yang dari transfuse platelet pada system

hemostatik tubuh, maka dilakukan penelitian dengan menggunakan thromboelastrometri

pada pasien trombositopenia yang dijadwalkan akan mendapatkan transfuse platelet

sebelum dilakukan pemasangan central venous catheter ( CVC ).

Penelitian yang diakui oleh Swedish Central Ethics Committee ini dilakukan

pada sepuluh pasien dengan keganasan hematologic yang dijadwalkan akan dilakukan

pemasangan CVP dengan kadar trombosit pasien dibawah 50 x 109/L sebelum dilakukan

transfuse platelet. Satu unit transfuse platelet yang diberikan mengandung 200-300 x 109

platelet dalam larutan NaCL, Na-acetate, Na-citrate, dan 100 mL plasma. Data yang

didapatkan dari sepuluh pasien, enam laki-laki dan empat wanita dengan usia 22 - 75

tahun memberikan hasil bahwa jumlah platelet meningkat dengan signifikan,jumlah

hemoglobin menurun, PT dan aPTT tidak ada perubahan.

Ini merupakan penelitian pertama yang dirancang untuk mengevaluasi efek dari

transfuse platelet menggunakan thromboelastrometri pada pasien trombositopenia. Disini

kita dapat melihat bahwa pemberian transfuse platelet untuk pasien dengan jumlah

trombosit dibawah 50 x 109/L meningkatkan kemampuan pembekuan darah (diukur 1

jam setelah transfusi).

Table 1. Results of the Analyses Performed Before and After Platelet

Transfusions

BEFORE TRANSFUSION AFTER TRANSFUSION Hb ( g/L ) 91 ( 88 – 101 ) 88,5 ( 83 – 94 ) PT ( INR ) 1,2 ( 0,9 – 1,4 ) 1,2 ( 0,9 – 1,3 ) aPTT ( s ) 35,5 ( 27 – 54 ) 37 ( 27 – 61 ) Platelet count ( x109/L ) 31,5 ( 20 – 44 ) 43,5 ( 38 – 71 )* Clotting time ( s ) 103,5 ( 81 – 215 ) 108,5 ( 51 – 158 ) Clot formation time ( s ) 181,5 ( 108 – 347 ) 123 ( 89 – 233 )* Maximum clot firmness ( mm ) 42 ( 38 – 50 ) 51,5 ( 45 – 56 )* G ( dynes/cm2 ) 3623 ( 2353 – 6111 ) 5319 ( 3333 – 7500 )*

PT = prothrombin time ; aPTT = activated partial thromboplastin time; Hb = hemoglobin. *P= 0,005, when compared with before transfusion

Penelitian sebelumnya berfokus pada peningkatan jumlah platelet dan viabilitas

platelet post transfusi, dimana dalam evaluasi fungsi hematologis in vivo kurang

memberikan hasil. Pada penelitian ini ditemukan bahwa platelet segera aktif dalam

hemostatis tubuh setelah transfuse, walaupun signifikansi klinis dari viabilitas fungsi

platelet ini belum terlihat jelas. Tidak hanya jumlah platelet yang meningkat, tapi

41

Page 42: case skoliosis

kecepatan dan kekuatan dari pembekuan darah juga meningkat. Keterbatasan dari

penelitian ini adalah tidak adanya evaluasi manifestasi klinis dari pasien, sehingga

penelitian selanjutnya untuk mengetahui manifestasi klinis setelah transfuse platelet

diperlukan.

Penelitian lain dilakukan di Amerika secara acak pada 1272 pasien dengan

hypoproliferatif trombositopenia (yang sedang menjalani transplantasi stem cell,

kemoterapi untuk kanker darah atau tumor solid) yang menerima setidaknya satu kali

transfuse platelet sebagai profilaksis terjadinya perdarahan. Penelitian ini dilakukan

untuk melihat efek profilaksis dari dosis transfuse platelet terhadap perdarahan yang

terjadi pada pasien hipoproliferatif trombositopenia. Transfusi diberikan dalam dosis

rendah, sedang dan dosis tinggi ( 1,1x1011, 2,2x1011, atau 4,4x1011 platelet per meter

kubik permukaan tubuh). Hasil akhir yang menjadi patokan adalah ada tidaknya

perdarahan gr 2 atau lebih yang terjadi (berdasarkan standar criteria yang diberikan oleh

WHO).

Dari 1272 pasien tersebut, insidensi perdarahan ataupun komplikasi yang terjadi

sama pada ketiga grup. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian transfuse

platelet pada dosis antara 1,1x1011, 2,2x1011, atau 4,4x1011 platelet per meter kubik

permukaan tubuh sebagai transfuse profilaksis pada pasien dengan hipoproliferatif

trombositopenia ( jumlah platelet dibawah 10.000 platelet/millimeter kubik ) tidak

mempunyai pengaruh signifikan terhadap insiden perdarahan yang terjadi pada pasien

mungkin karena beberapa platelet dibutuhkan untuk menjaga hemostasis.

Transfusi trombosit diberikan dalam bentuk konsentrat trombosit. Konsentrat

trombosit dapat didapatkan dari donor platelet apheresis. Kriteria donor apheresi :

1. Kesehatan umum baik, tidak sedang demam, batuk/flu.

2. Tidak sedang minum obat (Aspirin, antibiotika) dalam satu minggu terakhir.

3. Tensi darah :

Sistole : 150-110 mmHg

Diastole : 90-70 mmHg

4. Berat Badan :

Pria minimal 55kg

42

Page 43: case skoliosis

Wanita minimal 60kg

5. Kadar hemoglobin : 13-17gr/%

6. Interval donor minimal 2 minggu sekali, satu tahun maksimal 24 kali disesuaikan

dengan kondisi donor.

7. Bersedia menandatangani inform consent

43

Page 44: case skoliosis

Table 4. Adverse Events, According to Treatment Group.*

44

Page 45: case skoliosis

Donor platelet berlangsung dengan cara menyuntikkan sebuah jarum pada lengan

pendonor, selang-selang kecil akan dihubungkan dari jarum yang ditusukkan, darah

diambil dialirkan kedalam kit kemudian diproses oleh mesin pemisah darah untuk

memisahkan platelet dari whole blood, dan komponen darah lain akan dikembalikan

kedalam tubuh donor. Proses pengambilan darah, pemisahan platelet dan pengembalian

darah donor disebut dengan satu putaran (1 cycle). Hal ini dapat dilakukan berulang

sesuai dengan jumlah platelet yang kita inginkan. Prosedur pengambilan platelet

apheresis memakan waktu + 1 s/d 2 jam (bila diambil donor biasa + 7 menit) sehingga

akhirnya didapat konsentrat platelet yang volumenya 25-40 ml/unit yang berisi minimal

45

Page 46: case skoliosis

5,5×1010 platelet dan beberapa sel darah merah yang tercampur di dalamnya bersama

plasma untuk mempertahankan pH di atas 6 selama waktu penyimpanan.

Keuntungan bagi pasien vang mendapatkan darah platelet apheresis :

1. Kualitas : Hasil murni platelet (sel thrombocyte) tanpa sel darah merah, miskin

leucocyte (<1x106 selleucocyte) sehingga mengurangi reaksi HLA

Alloimunisasi, sangat mengurangi penularan Cytomegalovirus (CMV) dan

mengurangi panas akibat reaksi transfusi darah non haemolytic.

2. Kuantitas : Satu orang donor dapat menghasilkan platelet 1-2 dosis (1 dosis setara

dengan 10 kantong platelet manual) (tergantung jumlah platelet donor)

3. Jumlah trombosit akan pulih kembali 100% dalam waktu 2x24 jam.

Dengan satu unit konsentrat platelet biasanya akan menaikkan jumlah platelet

sebesar 9.000-11.000 /m3 luas badan. Sehingga untuk keadaan trombositopenia yang

berat dibutuhkan sampai 8-10 unit. Indikasi transfusi trombosit adalah keadaan

trombositopeni yang mengancam jiwa. Apabila jumlah trombosit menurun sampai kira-

kira 20.000/mm3 biasanya menyebabkan perdarahan otak yang berakibat fatal.

Indikasi transfusi trombosit dapat digolongkan sebagai berikut :

1. Trombositopeni akibat produksi trombosit berkurang.

Pasien dengan keganasan yang mendapatkan radiasi, khemoterapi intensif

Anemia aplastik

Sindroma mielodisplasi

2. Trombositopeni karena kehilangan darah, disterilisasi atau sekuestrasi.

Transfusi massif

Operasi bypass cardiopulmoner

46

Page 47: case skoliosis

3. Kelainan trombosit kualitatif

Kelainan congenital

Kelainan didapat (penyakit mieloproliferasi)(5)

Belakangan ini ASA merekomendasikan bahwa :

1. Transfusi trombosit profilaksis tidak efektif dan jarang diindikasikan jika

trombositopenia disebabkan oleh destruksi trombosit (misalnya idiopathic

trombositopenia purpura).

2. Transfusi trombosit profilaksis jarang diindikasikan pada pasien-pasien operasi

dengan trombositopenia karena dapat menurunkan produksi trombosit bila

jumlah trombositnya lebih besar dari 100.000/mm3 dan biasanya diindikasikan

jika trombosit di bawah 50.000/mm3. Penentuan apakah pasien dengan jumlah

trombosit intermediat (50.000-100.000/mm3 ini membutuhkan terapi sebaiknya

didasarkan pada resiko perdarahan.

3. Pasien bedah dan pasien obstetrik dengan perdarahan mikrovaskuler biasanya

membutuhkan transfusi trombosit jika trombositnya kurang dari 50.000/mm3 .

Trombosit intermediat (50.000-100.000/mm3) penentuan ini seharusnya

didasarkan pada pasien-pasien dengan resiko perdarahan yang besar.

4. Persalinan pervaginam atau prosedur operasi yang ringan kehilangan darah

mungkin tidak bermakna pada pasien dengan trombosit <50.000/mm3.

5. Transfusi trombosit mungkin diindikasikan bila terbukti jumlah trombosit

adekuat tapi terdapat disfungsi trombosit dan perdarahan mikrovaskuler.

REAKSI TRANFUSI

Konsentrat trombosit harus ditransfusikan secepat mungkin dalam waktu 2 jam

sepanjang kondisi resipien memungkinkan. Trombosit diberikan sampai perdarahan

berhenti atau masa perdarahan (bleeding time) pada 2 kali nilai kontrol normal.

Kemungkinan komplikasi yang terjadi adalah menggigil, demam, dan alergi. Transfusi

trombosit dapat menyebabkan allo-imunisasi yang menyebabkan pasien menjadi

refrakter terhadap transfusi trombosit berikutnya.

Potensi terjadinya reaksi tranfusi itu banyak, tapi pada saat ini masalah

komplikasi hanya terdapat pada pasien yang perlu berulang ulang mendapat tranfusi atau

47

Page 48: case skoliosis

memerlukan sejumlah darah yang banyak. Reaksi immunologi ini disebabkan oleh

rangsangan aloantigen asing yang terdapat pada eritrosit, leukosit, trombosit dan protein

plasma.

Reaksi tranfusi hemolitik, akibat berkembangnya antibody yang dapat bereaksi

dengan antigen donor. Klinis dapat berat, mengancam kehidupan atau ringan saja.

Hemolisi terjadi segera di dalam sirkulasi, yang lambat terjadi di sistem retikulo

endothelia.

Gejala klasik yang dikeluhkan pasien pada hemolitik paska tranfusi adalah sesak

nafas, nyeri dada, hipotensi, mual dan nyeri punggung bawah. Beberapa gejala tersebut

disebabkan oleh aktivitas komplemen kaskade dan pengeluaran sitokin. Dibawah general

anasthesi, akut hemolitik akibat reaksi tranfusi dapat menunjukkan tanda berupa

peruahan warna urin atau diffuse, perdarahan pada pembedahan yang tidak terdeteksi.

Manajemen awal pada kecurigaan akut hemolikit tranfusi reaksi sebaiknya

dimulai dengan segera menghentikan tranfusi, dilanjutkan dengan agresif hidrasi dengan

larutan isotonic crystalloid dan berikan pendukung inotropik untuk adekut perfusi renal.

Pasien tanpa intubasi sebaiknya dilakukan evaluasi ketat terhadap tanda tanda sridor,

edema laryng, atau udema pulmonal. Sebaiknya dilakukan intubasi untuk membuat jalan

nafas tetap aman.

Pasien dengan hemolitik akibat reaksi tranfusi sebaiknya dimonitoring ketat

selama 24 jam berupa koagulasi, hemoglobin, dan creatinin serum.

Febris non reaksi hemolitik tranfusi, muncul akibat alloimunisasi terhadap

antigrn leukosit dan trombosit2. Demam disebabkan oleh pengeluaran sitokin berupa

interleukin dan tumor necrosis faktor dari antibody platelet atau interaksi leukosit.

Manajemen awal berupa segera menghentikan tranfusi. Darah donor dan contoh

serum pasien harus di kirim ke Bank darah untuk diperiksa. Dapat diberikan anti piretik

dan hidrokortison.

Reaksi tranfusi Alergi, sering terjadi dengan angka kejadian sekitar 1-3%,

gambaran berupa urtikaria, “skin rashes” spasme bronkus, angio edema sampai renajatan

anafilaktik. Semua reaksi alergi ini diperantarai oleh IgE resipien terhadap protein

didalam plasma donor.

Tatalaksana pada pasien dengan gejala alergi akibat rekasi tranfusi dengan gejala

alergi ringan berupa gatal dan bintik bintik merah adalah stop tranfusi dan berikan 25-50

48

Page 49: case skoliosis

mg dipenhydramine.

49

Page 50: case skoliosis

BAB V

KESIMPULAN

Pasien An. B, 13 tahun 2 bulan, datang ke poli ortopedi RSUP Fatmawati

dengan Skoliosis Idiopatik dan akan dilakukan Operasi Koreksi Skoliosis.

Pemeriksaan fisik pasien sebelum dilakukan operasi dalan batas normal,

namun dari hasil laboratorium terdapat trombositopenia, hal tersebut menjadi

perhatian khusus bagi dokter anestesi dan operator bedah dalam menjalankan

tindakan operasi tersebut. Lamanya tindakan anastesi dan operasi koreksi skoliosis

yang dialami pasien ± 4 jam 45 menit. Pasien menggunakan teknik general anestesi.

Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan nyeri secara sentral disertai

hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Anestesi umum adalah tindakan yang

menimbulkan keadaan tidak sadar selama prosedur medis dilakukan, sehingga pasien

tidak merasakan atau mengingat sesuatu yang terjadi. Komponen anestesi yang ideal

terdiri dari hipnotik, analgesia, dan relaksasi. Dalam anestesi umum, pasien akan

mengalami keadaan tidak sadar dan hilangnya refleks pelindung yang dihasilkan dari

satu atau lebih agen anestesi umum.

Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti

baik dari segi anestesi maupun tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga

tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan

operasi dan anestesi berlangsung dengan baik. Pada kasus ini pasien selanjutnya

mendapat perhatian khusus di ruang ICU

50

Page 51: case skoliosis

DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo, Jatmiko HD, et al. Anestesiologi. 2010. Semarang: Ikatan Dokter

Spesialis Anestesi dan Reanimasi (IDSAI) Cabang Jawa Tengah.

2. Latief SA, Suryadi KA, et al. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. 2001.

Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.

3. Leksana, E. Terapi Cairan dan Elektrolit. 2004. Semarang: Bagian Anestesi dan

Terapi Intensif FK UNDIP.

4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. Ed.4. New York:

McGraw Hill; 2006.

5. I.D.G Tresna Rismantara, I Putu Pramana Suarjaya. Jurnal Anestesiologi

Indonesia. Vol VI. Denpasar: Bagian Anestesi dan Terapi Intensif FK Udayana;

2014.

51