case sirosis hepatis
description
Transcript of case sirosis hepatis
BAB II
LAPORAN KASUS : SIROSIS HEPATIS
2. 1 Identitas Umum Pasien
Nama : TN. WH
Jenis Kelamin : Pria
Umur : 60 tahun 8 bulan 27 hari
RM : 381759
Alamat : Kopo Sayati 3/3 Sayati Kec. Margahayu Kab. Bandung
Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam
Ruangan : IGD – Mawar – ICU
Tanggal Masuk : 20 Oktober 2012 pukul 14.10
Tanggal Pemeriksaan : 22 Oktober 2012
2. 2 Anamnesis
Autoanamnesis IGD ( 20 Oktober 2012)
Keluhan Utama : Perut membesar
Pasien mengeluhkan perutnya membesar sejak 2 minggu SMRS. Perut
membesar disertai dengan nyeri ulu hati dan mual. Disangkal adanya muntah.
Keluhan ini diikuti dengan bengkak pada kedua kaki sejak k.l 1 minggu SMRS.
Pasien juga mengeluhkan adanya sesak yang semakin lama semakin
bertambah berat. Sesak timbul jika berjalan jauh atau tidur dalam posisi terlentang,
sehingga pasien merasa lebih nyaman tidur dalam posisi setengah duduk. Pasien
menyangkal sering terbangun di malam hari karena sesak nafas. Disangkal adanya
riwayat demam, batuk lama atau bunyi mengi pada saat bernafas
Pasien mengeluh sejak 1 bulan SMRS merasa menjadi mudah lelah dan lemas,
nafsu makan menurun disertai dengan penurunan berat badan k.l sekitar 5 kilogram.
Mata pasien tampak menjadi kuning sejak 1 bulan SMRS.
Sebelumnya pasien pernah dirawat dengan keluhan yang sama 10 bulan
SMRS, namun sudah 3 bulan terakhir tidak kontrol. Obat-obatan yang rutin diminum
oleh pasien adalah Furosemid, Ranitidine dan antasida.
BAB : frekuensi 1x/hari, keras, berwarna hitam
BAK : warna kuning pekat seperti air teh sejak 1 bulan SMRS, jumlah sedikit-sedikit.
RPD : HT (-) DM (-) Sakit Kuning (-)
Kebiasaan : Merokok + Sudah berhenti k.l 20 tahun yang lalu, minum minuman
beralkohol (+)
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum :
Kesan sakit : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Keadaan Gizi : cukup
Ekspresi : tenang
Posisi : tidak tampak letak paksa
Tanda – tanda vital :
TD : 100/70 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 36,8 oC
Pemeriksaan Sistematik
Mata : Conjungtiva anemis +/+, sklera ikterik +/+
THT : sekret -, epistaksis –
Mulut : Mukosa basah
Leher : KGB coli t.t.m, JVP meningkat
Thorax : B/P simetris, retraksi –
Cor : Bunyi jantung murni reguler, murmur -
Pulmo : VBS +/+ ka=ki, Rh+/+ basah halus pada basal paru, Wh -/-
Abdomen : Cembung, Soepel, BU(+) Normal
Ascites + , Shifting Dullness +, H/L Sulit dinilai
Extremitas : Akral hangat, CRT < 2’, pitting edema +/+
2. 4. Diagnosis Kerja / Differensial Diagnosis
Asites e.c DD/ - CHF fc III – IV
- CKD
- Sirosis Hepatis
2. 5 Pemeriksaan Penunjang
Hematologi rutin
Hb : 14,5 g/dl
Ht : 46 %
Leukosit : 6.500 / mm3
Trombosit : 221.000 / mm3
Pem. Kimia Klinik
GDS : 120 mg/dl
Ureum : 34 mg/dl
Kreatinin : 1,11 mg/dl
SGOT : 31,8 U/l / SGPT : 15,6 U/l
Bilirubin Total : 1,83 mg/dl
Bilirubin Direk : 1,35 mg/dl
Bilirubin Indirek : 0,48 mg/dl
Protein Total : 8,80 g/dl/ Albumin : 4,54 g/dl/ Globulin : 4,26 g/dl
Pemeriksaan Foto Thorax PA
Efusi pleura bilateral
Edema paru
EKG : OMI Inferior
2. 6 Terapi
O2 2-4 liter/menit
Venflon
Ondansetron 3 x 4 mg
Furosemid 3 x 2 amp
Ranitidine 2x1 amp iv
KSR 1x1 tab
Spironolakton 1x1 tab
Kateterisasi Jika urine (-) lakukan forced diuretik
2.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : ad malam
2. 9 Resume
Seorang pria berusia 60 tahun datang ke IGD RSUD Soreang dengan keluhan
perut membesar sejak 2 minggu SMRS disertai dengan nyeri ulu hati, nausea tanpa
disertai vomitus, edema ekstremitas inferior (+), dyspnea d’effort (+), orthopnea (+) ,
disangkal adanya paroxysimal nocturnal dyspnea, orthopnea, keringat malam ataupun
riwayat demam dan batuk lama.
Sejak 1 bulan SMRS pasien juga mengeluhkan adanya anoreksia, malaise dan
penurunan berat badan sebanyak 5 kg disertai dengan ikterik pada mata. BAK
menjadi seperti air teh dengan jumlah sedikit-sedikit setiap BAK. BAB menjadi
berwarna hitam dan keras.
Pasien pernah dirawat dengan keluhan serupa 10 bulan SMRS namun sudah 3
bulan tidak kontrol, disangkal adanya riwayat HT, DM dan Sakit Kuning, Pasien
pernah memiliki kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol sekitar 20 tahun
yang lalu.
Pemeriksaan Fisik : KU: Compos mentis dengan Vital Sign dbn, Sclera
Icteric, JVP meningkat, Batas Jantung Kiri melebar 2 jari lateral LMCS, Pada
pemeriksaan paru ditemukan Rhonki basah halus pada basal paru tanpa adanya
wheezing, Pada Abdomen, ditemukan ascites dengan shifting dullness, bising usus +,
dan hepar serta lien sulit dinilai. Pitting edema pada ekstremitas inferior +
Diagnosis sementara adalah : Asites e.c DD/ CHF
- CKD
- Sirosis Hepatis
Pemeriksaan Penunjang didapatkan Bilirubin Total : 1,83 mg/dl (meningkat),
Bilirubin Direk : 1,35 mg/dl (meningkat), Protein Total : 8,80 g/dl(meningkat),
Globulin : 4,26 g/dl (meningkat)
Pemeriksaan Foto Thorax PA didapatkan Efusi pleura bilateral dan edema paru.
Pemeriksaan EKG : OMI Inferior.
Terapi yang didapatkan : O2 2-4 liter/menit, Venflon, Ondansetron 3 x 4 mg,
Furosemid 3 x 2 amp, Ranitidine 2x1 amp iv, KSR 1x1 tab, Spironolakton 1x1 tab,
Kateterisasi Jika urine (-) lakukan forced diuretik
Pada hari pertama dan kedua perawatan, kondisi pasien dalam kondisi stabil,
dilakukan pemeriksaan tambahan berupa HBsAg, Profil lipid (dbn), As. Urat (13,44
mg/dl) serta USG dengan hasil menyokong gambaran sirosis hepatis dan
splenomegali. Produksi Urine pasien pada hari pertama 700 cc/24 jam dan pada hari
kedua 750 cc/24 jam. Diagnosis sementara adalah Sirosis Hepatis + CHF fc ?. Terapi
dilanjutkan dengan penambahan dosis spironolakton menjadi 3 x 100 mg dan
curcuma 3x1 tab.
Pada hari ketiga perawatan (17.00), pasien menjadi bertambah sesak dan
kesadaran menjadi delirium. Produksi urine menurun menjadi hanya 20 cc/jam.
Disarankan untuk masuk ICU dan dilakukan forced diuresis. Di ICU diberikan terapi
Dopamine 1 mcg/kgbb/menit, Dobutamine 5 mcg/kgbb/menit serta dilakukan forced
diuresis mulai dengan pemberian lasix 4 amp iv dinaikkan menjadi 8 amp iv dan 12
amp iv, namun urine tetap tidak keluar.
Pada hari keempat perawatan (2.10) pasien apnea, TD tidak terukur dan nadi
tidak teraba, setelah dilakukan RJP pasien dinyatakan meninggal di ICU di hadapan
dokter, perawat dan keluarga.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Sirosis hati (liver cirrhosis) merupakan perjalanan patologi akhir berbagai
macam penyakit hati. Istilah sirosis diperkenalkan pertama kali oleh Laennec pada
tahun1826. Diambil bahasa Yunani scirrhus atau kirrhos yang artinya warna oranye
dan dipakai untuk menunjukan warna oranye atau kuning kecoklatan permukaan hati
yang tampak saat otopsi.
Batasan fibrosis sendiri adalah penumpkan berlebihan matriks ekstaselular
(seperti kolagen, glikoprotein, proteoglikan) dala hati.
Menurut SHERLOCK; secara anatomis sirosis hati ialah terjadinya fibrosis
yang sudah meluas dengan terbentuknya nodul-nodul pada semua bagian hati, tidak
hanya pada satu lobulus saja.
Menurut GALL; sirosis hati ialah penyakit hati kronis dimana terjadi
kerusakan sel hati ynag terus –menerus, dan terjadi regenerasi noduler serta proliferasi
jaringan ikat yang difus untuk menahan terjadinya nekrose parenkim atau timbulnya
inflamasi.
3.2 Epidemiologi
Kejadian sirosis hati di Yogyakarta menurut ARYONO; selama observasi 6
tahun (1969 – 1974) ditemukan 5,35% dari seluruh penderita yang dirawat di bagian
penyakit dalam Rumah Sakit Pugeran Yogyakarta. Selama 1966 – 1974 ditemukan
5,2% dari seluruh penderita ynag dirawat di bagian penyakit dalam Rumah Sakit
Hasan Sadikin Bandung. Di RSUP Padang menurut YULIUS dan HANIF selama
tahun 1969 – 1972 ditemukan 39,3% penderita sirosis dari seluruh penderita penyakit
hati.
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki – laki daripada
wanita, didapat perbandingan 1,6 : 1. Menurut ARYONO, 78% penderita sirosis
dalam golongan umur 30 – 60 tahun. Puncaknya sekitar usia 40 – 49 tahun. Menurut
JULIUS dan HANIF di RSUP Padang puncaknya antara 30 – 49 tahun, dan 64,8%
pada laki – laki.
3.3 Klasifikasi
Klasifikasi secara morfologi sirosis hati dibagi berdasarkan besar kecilnya nodul
yaitu:
1. Makronoduler (ireguler, multilobuler).
2. Mikronoduler (regular, monolobuler).
3. Kombinasi (noduler dan mikronoduler)
Klasifikasi berasarkan etiologi :
1. Penyakit infeksi
2. Penyakit keturunan dan metabolik
3. Obat dan toksin
4. Penyebab lain atau tidak terbukti
3.4 Etiologi
Penyebab pasti sirosis hati belum jelas, tapi di antaranya disebutkan:
1. Factor kekurangan gizi.
Protein hewani terutama kholin dan methionin memegang peranan penting,
demikian pula bahan makanan lainnya seperti vitamin B kompleks, tokoferol,
cystine yang jika kekurangan dapat menyebabkan terjadinya sirosis.
2. Hepatitis virus.
Hepatitis kronis menyebabkan terjadinya nekrose sel hati yang akhirnya
terjadi sirosis hati.
3. Zat hepatotoksik
Obat – obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan kerusakan hati secara akut
berupa nekrosis atau degenerasi lemak, secara kronis berupa sirosis hati.
Pemberian zat hepatotoksik terus – menerus akan menyebabkan kerusakan
hati yang merata dan akhirnya terjadi sirosis hati. Misalnya alkohol yang
berefek penimbunan lemak pada hati, etanol menyebabkan nekrosis dan
distorsi dalam jaringan hati.
4. Penyakit Wilson
Penyakit yang jarang ditemukan, biasanya pada orang muda ditandai sirosis
hati, degenerasi basal ganglia dari otak, dan terdapat cincin cokelat kehijauan
(Kayser Fleischer Ring) pada kornea. Diduga disebabkan oleh defisiensi
bawaan seruloplasmin yang juga berhubungan dengan penimbunan tembaga
dalam jaringan hati.
5. Hemokromatosis
Dua kemungkinan timbulnya hemokromatosis yaitu:
1. Penderita mengalami kenaikan absorbs Fe sejak lahir.
2. Didapat setelah lahir (acquisita) pada penderita penyakit hati alkoholik
yang menyebabkan bertambahnya absorbsi dari Fe sehingga menimbulkan
sirosis hati.
6. Sebab – sebab lain;
1. Kelemahan jantung yang lama mengakibatkan sirosis kardiak.
2. Obstruksi saluran empedu menyebabkan sirosis biliaris primer.
3.5 Patogenesis
Terjadinya fibrosis hati menggambarkan kondisi ketidakkeseimbangan antara
produksi matriks ekstraseluler dan proses degradasinya. Matriks ekstraseluler, yang
merupakan tempat perancah (scaffolding) normal untuk hepatosit, tediri dari jaringan
kolagen (terutama tipe I, III, dan V), glikoprotein, dan proteoglikan. Sel-sel stelata,
berada dalam ruangan perisinusoidal, merupakan sel yang penting untuk
memproduksi matrik ekstraseluler. Sel-sel stelata, dulu bernama sel-sel Ito, juga
liposit, atau sel-sel perisinusoidal, dapat mulai diaktifasi menjadi sel pembentuk
kolagen oleh berbagai faktor parakrin. Beberapa faktor dapat dilepas atau diproduksi
oleh sel-sel hepatosit, sel-sel Kupfer, dan endotel sinusoid pada saat terjadi kerusakan
sel hati. Sebagai contoh, peningkatan kadar TGF β-1 (transforming growth factor β-1)
dijumpai pada pasien dengan hepatitis C kronik dan sirosis. TGF β-1, selanjutnya kan
merangsang sel-sel stelata yang aktif untuk memproduksi kolagen tipe I.
Peningkatan deposisi kolagen dalam ruang Disse (ruang antara hepatosit dan
sinusoid) dan pengurangan ukuran fenestra endotel akan menimbulkan kapilarisasi
sinusoid. Sel-sel stelata yang aktif juga mempunyai sifat kontriksi. Kapilarisasi dan
kontriksi sinusoid, oleh sel-sel stelata, dapat memacu hipertensi portal. Pemakaian
obat-obat dimasa depan untuk mencegah timbulnya fibrosis ini dapat difokuskan
terutama untuk menekan terjadi peradangan hati, menghambat aktivasi sel-sel stelata,
menghambat aktivitas fibrogenesis sel stelata dan merangsang degradasi matriks.
3.6. Manifestasi klinis
3.6.1 Gejala-gejala Sirosis
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga ditemukan pada waktu
pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau kerena kelainan penyakit lain.
Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera
makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-
laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya
dorongan seksualitas.
Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala yang lebih menonjol
terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangya
rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Dapat disertai gangguan
pembekuaan darah, perdarahan gusi, epiktasis, gangguan siklus haid, ikterus dengan
air kemih seperti teh pekat, muntah darah atau/dan melena, serta perubahan mental,
meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.
3.6.2 Temuan Klinis
Temuan klinis sirosis meliputi :
Spider nevi
Eritema Palmaris
Kuku-kuku Muchrche
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia Palmaris
Ginekomastia
Atrofi testis
Splenomegali
Hepatomegali
Asites
Fetor hepatikum
Ikterus
Asterixis-bilateral
Gambar 1. gambaran klinis pada sirosis hati
3.7 Gambaran Laboratoris
Adanya sirosis dicurigai apabila ditemukan kelaninan pemeriksaan laboratorium
meliputi :
Peningkatan SGOT dan SGPT, SGOT lebih meningkat dari SGPT tetapi bila
normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis.
Peningkatan alkali fosfatase
Peningkatan Gamma-glutamil transpeptidase
Peningkatan bilirubin
Peningkatan globulin
Pemanjangan waktu PT
Penurunan albumin
Anemia
Pemeriksaan barium meal dapat melihat varises
Pemeriksaan Imaging seperti CT scan dan MRI utuk melihat perubahan
morfologi hati
3.8 Komplikasi
1. Edema dan asites
Dengan makin beratnya sirosis, terjadi pengiriman sinyal ke ginjal untuk
melakukan retensi garam dan air dalam tubuh. Garam dan air yang berlebihan,
pada awalnya akan berkumpul dalam jaringan di bawah kulit disekitar tumit
dan kaki, karena efek gravitasi pada saat duduk atau berdiri dan berkurang
pada malam hari sebagai hasil menghilangnya efek gravitasi pada waktu tidur.
Dengan makin beratnya sirosisdan makin banyak air dan garam yang diretensi,
air akhirnya akan berkumpul dalam rongga abdomen antara diding perut dan
organ dalam perut. Penimbunan cairang ini disebut asites yang berakibat
pembesaran perut, keluhan tak enak dalam perut dan peningkatan berat badan.
2. Perdarahan gastrointestinal akibat hipertensi portal sehingga timbul varises
esophagus yang gampang pecah.
Gambar 2. obstruksi aliran darah dalam sirkulasi portal, dengan hipertensi portal dan pengalihan aliran darah ke jalur vena yang lain, termasuk vena di lambung dan esofagus.
Pada pasien sirosis, jaringan ikat dari hati menghambat aliran darah dari usus
yang kembali ke jantung. Kejadian ini dapat meningkatkan tekanan dalam
vena porta (hipertensi portal). Sebagai hasil peningkatan aliran darah dan
peningkatan tekanan vena porta ini, vena-vena di bagian bawah esofagus dan
bagian atas lambung akan melebar, sehingga timbul varises esofagus dan
lambung. Makin tinggi tekanan portalnya, makin besar varisesnya, dan makin
besar kemungkinannya pasien mengalami perdarahan varises. Perdarahan
varises biasanya hebat dan tanpa pengobatan yang cepat dapat berakibat fatal.
Keluhan perdarahan varises bisa berupa muntah darah atau hematemesis.
Bahan muntahan dapat berwarna merah bercampur bekuan darah, atau seperti
kopi (coffee grounds appearance) akibat efek asam lambung terhadap darah.
Buang air besar berwarna hitam lembek (melena), dan keluhan lemah dan
pusing pada saat posisi berubah (orthostatic dizziness atau fainting), yang
disebabkan penurunan tekanan darah mendadak saat melakukan perubahan
posisi berdiri dari berbaring.
3. Ensefalopati hepatik
Beberapa protein makanan yang masuk ke dalam usus akan digunakan oleh
bakteri-bakteri normal usus. Dalam proses pencernaan ini, beberapa bahan
akan terbentuk dalam usus. Bahan-bahan ini sebagian akan terserap kembali
ke dalam tubuh. Beberapa diantaranya, misalnya amonia, berbahaya terhadap
otak. Dalam keadaan normal bahan-bahan toksik dibawa dari usus lewat vena
porta masuk ke dalam hati untuk didetoksifikasi. Pada sirosis, sel-sel hati tidak
berfungsi normal, baik akibat kerusakan maupun akibat hilangnya hubungan
normal sel-sel ini dengan darah. Akibatnya bahan-bahan toksik dalam darah
tidak dapat masuk sel hati,sehingga terjadi akumulasi bahan ini dalam darah.
Jika bahan-bahan ini terkumpul cukup banyak, fungsi otak akan terganggu.
Kondisi ini disebut ensefalopati hepatik. Tidur lebih banyak pada siang
dibanding malam (perubahan pola tidur) merupakan tanda awal ensefalopati
hepatik. Keluhan lain dapat berupa mudah tersinggung, tidak mampu
konsentrasi atau menghitung, kehilangan memori, bingung, dan penurunan
kesadaran bertahap. Akhirnya ensefalopati hepatik yang berat dalam
menimbulkan koma dan kematian.
4. Sindroma hepatorenal
Pasien dengan sirosis yang memburuk dapat berkembang menjadi sindroma
hepatorenal. Sindroma ini merupakan komplikasi serius Karena terdpat
penurunan fungs ginjal namn ginjal secara fisik sebenarnya tidak mengalami
kerusakan sama sekali. Penurunan fungsi ginjal ini disebabkan perubahan
aliran darah ke dalam ginjal. Batasan sindroma hepatorenal adalah kegagalan
ginjal secara progresif ntuk membersihkan bahan-bahan toksik dari darah dan
kegagalan memproduksi urin dalam jumlah adekuat, meskipun fungsi lain
ginjal yang penting, misalnya retensi garam tidak terganggu. Bila fungsi hati
membaik atau dilakukan transplantasi hati, ginjal akan bekerja normal lagi.
5. Karsinoma hepatoseluler. Beberapa penderita sirosis ditemukan juga
karsinoma hati akibat hiperplasi yang menjadi karsinoma.
6. Infeksi akibat penurunan daya tahan tubuh seperti peritonitis, pneumoni,
sistitits, endokarditis, glomerulonefritis, pielonefritis, sepsis.
3.9 Pengobatan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganannya. Terapi ditujukan mengurangi
progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakkan hati,
pencegahan dan penanganan komplikasi. Bila tidak ada koma hepatik diberikan diet
yang mengandung protein 1g/Kg BB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.
Tatalaksana pasien sirosis kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi
kerusakkan hati. Terapi ini ditujukan untuk menghilangkan etiologi, diantaranya :
alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati.
Hepatitis autoimun bisa diberikan kortikosteroid atau imunosupresif. Pada
hemokromatosis flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi besi menjadi normal
dan diulang sesuai kebutuhan. Pada penyakit non-alkoholik; menurunkan berat badan
akan mencegah terjadinya sirosis.
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi utama.
Lamvudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama
setahun. Interferon alfa diberikan secara subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu 4-6
bulan, namun ternyata juga banyak yang kambuh.
Pada hepatitis C kronik; kombinasi interferon dan ribavirin merupakan terapi
standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali
seminggu dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan.
Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih
mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang,
menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan
merupakan terapi utama.
3.9. 1Pengobatan sirosis dekompensata
- Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2
gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretic.
Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari.
Penurunan berat badan dimonitor 0.5kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1Kg/hari
dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa
dikombinasi dengan furosemid 20-40 mg/hari dengan dosis maksimal 160mg/hari.
Parasintesis dilakukan jika asites terlampau besar. Pengeluaran asites bisa sampai 4-6
liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
- Ensefalopati hepatik
Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan ammonia. Neomisin bisa
digunakan unuk menurangi bakteri sus penghasil ammonia, diet prtein dikurangi
sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama diberikan yang kaya asam amino
rantai cabang.
- Varises esophagus
Sebelum berdarah dan sesudah berdarah dapat diberikan obat beta-blocker
(propanolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan prearat somatostatin atau
oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi aau ligasi endoskopi.
- Peritonitis bakerial spontan
Diberikan antibiotik seperti sefotaksim intravena, amoksisilin, atau
aminoglikosida.
- Sindrom hepaorenal
Mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan garam
dan air.
- Transpatasi hati
Terapi definitif pada pasien sirosis deompensata. Namun sebelum dilakukan
transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.
3. 10 Prognosis
Prognosis pasien sirosis tergantung ada tidaknya komplikasi sirosis. Pasien
sirosis kompensata mempunyai harapan hidup lebih lama, jika tidak berkembang
menjadi sirosis dekompensata.
Untuk pasien sirosis hati yang direncanakan tindakan bedah, penilaian
prognosis pasien dilakukan dengan melakukan penilaian skor menurut Child-
Turcotte-Pough (skor CTP). Sementara untuk penilaian pasien sirosis yang
direncanakan transplantasi hati menggunakan skor MELD (Model for End-stage Liver
Disease) atau PELD (Pediatric for End-stage Liver Disease).
CTP score :
Klasifikasi CTP 1 2 3
Bilirubin (mg/dL) <2 2 – 3 >3
Pasien PBC dan PSC <4 4 – 10 >10
Albumin (g/dL) >3.5 2.8 – 3.5 <2.8
PT memanjang >3.5 4 – 6 >6
INR <1,7 1.8 – 2.3 >23
Asites - Sedikit atau terkontrol
obat
Sedang atau berat
Ensefalopati - 1 – 2 3 – 4
Skor MELD atau PELD :
Skor MELD : 3.8*log (bilirubin) + 11,2*log (INR) + 9.6* (kreatinin) +6.4
Interval skor MELD = 6 – 40
Menurut SHERLOCK, sirosis hati bukanlah penyakit yang progresif. Dengan
terapi yang adekuat dapat terjadi perbaikan. Menurut READ, STEIGMAN jika sudah
terdapat kegagalan hati dan hipertensi portal prognosanya jelek.