CASE Report Eklamsia

53
BAB I PENYAJIAN KASUS I. Identitas Pasien Nama : Yayah Rokayah Usia : 32 Tahun Status : telah menikah Agama : Islam Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga Alamat : Jelengkong 3/15 desa panyiripan kecamatan Soreang Kabupaten Bandung Tgl. Masuk RS: 15 Juli 2013 jam 20:00 II. Anamnesis Anamnesis (alloanamnesis) tanggal 15 juli 2013 & autoanamnesis tanggal 17 juli 2013 Keluhan utama Kejang- kejang Riwayat perjalanan penyakit P 1 A 0 partus prematurus spontan, Os melahirkan 5 hari yang lalu, datang kerumah sakit dengan kejang yang terus menerus sejak 15 menit SMRS disertai dengan sesak nafas setelah kejang mulai berhenti. Sebelumnya Os mengeluh pusing kepala yang sangat berat sejak 5 jam SMRS lalu Os beristirahat dan merasa matanya lama- lama semakin buram sehingga akhirnya Os meminta dibawa ke Bidan terdekat lalu Os dirujuk ke RS oleh bidan. Saat perjalananan menuju ke RS, os muntah kemudian kejang- kejang yang 1

description

eklampsia late postpartum

Transcript of CASE Report Eklamsia

Page 1: CASE Report Eklamsia

BAB I

PENYAJIAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Yayah Rokayah

Usia : 32 Tahun

Status : telah menikah

Agama : Islam

Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga

Alamat : Jelengkong 3/15 desa panyiripan kecamatan Soreang Kabupaten Bandung

Tgl. Masuk RS: 15 Juli 2013 jam 20:00

II. Anamnesis

Anamnesis (alloanamnesis) tanggal 15 juli 2013 & autoanamnesis tanggal 17 juli

2013

Keluhan utama

Kejang- kejang

Riwayat perjalanan penyakit

P1A0 partus prematurus spontan, Os melahirkan 5 hari yang lalu, datang kerumah

sakit dengan kejang yang terus menerus sejak 15 menit SMRS disertai dengan sesak

nafas setelah kejang mulai berhenti. Sebelumnya Os mengeluh pusing kepala yang

sangat berat sejak 5 jam SMRS lalu Os beristirahat dan merasa matanya lama- lama

semakin buram sehingga akhirnya Os meminta dibawa ke Bidan terdekat lalu Os

dirujuk ke RS oleh bidan. Saat perjalananan menuju ke RS, os muntah kemudian

kejang- kejang yang tidak berhenti sampai berada di RS. Os tidak sadar ketika

kejang terjadi.

Os melahirkan di RSUD soreang pada tanggal 10 juli 2013, os dirujuk oleh bidan

karena prematur kontraksi dan Hipertensi (140/100). Ibu datang dengan keluhan

mulas- mulas yang semakin sering dan bertambah kuat sejak 3 jam SMRS disertai

dengan keluar lendir bercampur darah dari jalan lahir. Ibu menyangkal telah

keluarnya cairan bening yang banyak dari jalan lahir. ibu merasakan gerakan janin.

Setelah dilakukan pemeriksaan dalam oleh bidan di rumah sakit didapatkan ketuban

telah (-) dan pembukaan telah lengkap sehingga 15 menit setelah datang ke RS os

1

Page 2: CASE Report Eklamsia

melahirkan secara spontan. Satu hari setelah melahirkan tekanan darah Os 130/90

dan protein urin (-) lalu Os pulang dan diberikan obat untuk rawat jalan berupa

metildopa, cefadroxil dan asam mefenamat.

Riwayat Terdahulu

Riwayat Obstetri: I: laki- laki, H/5 hari, lahir partus prematurus spontan, di

RSUD soreang/ bb: 2200 gram/ TB: 46 cm/ apgar 11: 7 5I: 9

Riwayat Pernikahan:

Wanita, 31 tahun, SMP, Ibu rumah tangga

Laki- laki, 34 tahun, SD, Buruh

HPHT: 7- 11- 2012 , TP: 14-08-2013

Riwayat ANC: 5 x ke bidan

Riwayat KB: -

Riwayat penyakit:

Os sebelumnya tidak pernah mengalami kejang- kejang, os juga tidak

memiliki riwayat penyakit jantung, ginjal ataupun kencing manis. Saat hamil,

tekanan darah meningkat diketahui Os saat datang ke bidan ketika os mulai

merasakan mulas- mulas. Sejak 1 bulan sebelum kelahiran, kaki Os sering

bengkak. Os mempunyai riwayat asma sejak kecil tetapi jarang kambuh. Os

tuntas melakukan pengobatan TBC selama 6 bulan pada tahun 2009.

Riwayat Keluarga

Pada keluarga OS tidak pernah terdapat riwayat sakit seperti gejala yang OS

rasakan.

III. Pemeriksaan Fisik

Kesan umum

Keadaan umum: Somnolen

Kesan sakit: tampak sakit berat

Tinggi badan: 155 cm

Berat badan: 42 kg

Tanda- Tanda Vital

Tekanan darah: 150/100

2

Page 3: CASE Report Eklamsia

Nadi: 115 x/ menit

Respirasi: 40x/ menit

Suhu: 36,4 0c

Status Gizi: IMT = 42/ (1,55)2= 17,4 (kurus)

Status Generalis

Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Hidung: PCH (+)

Mulut: bibir sianosis (-)

Leher: KGB tidak membesar, JPV ( 5+3cm), kaku kuduk (-)

Thorax:

Inspeksi: bentuk dan gerak simetris, iktus cordis tidak terlihat, sela iga

melebar (-), retraksi suprasternal (+)

Palpasi:

Ekspensi dada: simetris hemitoraks Ka=Ki

iktus cordis teraba di ICS 5 LAAS, pulsasi (+) vibrasi (-)

Perkusi:

Sonor pada seluruh lapang paru

Batas paru hati sulit dinilai

Peranjakan paru positif

Batas Jantung: sulit dinilai

Auskultasi

Paru: VBS Ka> Ki, ronkhi (-/+), wheezing (+/+)

Jantung:

BJ1 & BJ2 murni regular, pada katup mitral dan trikuspid BJ1>

BJ2, pada katup aorta dan pulmonal BJ2 > BJ1

Murmur (-), gallops (-)

Abdomen

Inspeksi: datar, simetris, tidak terlihat pelebaran pembuluh darah vena,

umbilicus tidak menonjol.

Auskultasi: Bising usus (+) normal

Palpasi: hepar, lien, ginjal tidak membesar, Nyeri tekan epigastrium (+)

Perkusi: timpani pada seluruh lapang abdomen

Ekstermitas: Akral hangat (+), udem (-/-)

Status Obstetri

3

Page 4: CASE Report Eklamsia

ASI (+/+)

Abdomen: datar, lembut

TFU: sudah tidak teraba

Saluran kemih: BAK (+) normal

IV. Pemeriksaan Penunjang

Darah rutin (15/07/2013)

Hemoglobin : 12,9 g/dL

Hematokrit : 37%

Leukosit : 26.300/ mm3 ↑

Trombosit : 324.000/mm3

Golongan darah: O

Rhesus Faktor: +

Hitung Jenis (17/07/2013)

Basofil –

Eosinofil-

Stab –

Segment: 77% ↑

Lymfosit: 18%↓

Monosit: 5 %

LED jam 1: 100 mm/ jam ↑

LED jam II: 110 mm/jam ↑

Kimia klinik (15/07/2013)

Glukosa darah sewaktu: 174.1 mg/dL

AST (SGOT) : 21,7 U/L

ALT (SGPT) : 22,5 ‘U/L

Ureum : 14,2 mg/dL ↓

Kreatinin : 0,70 mg/dL

Urine (15/07/2013)

Protein: Positif 3 (+++)

Mikrobiologi (17/07/2013)

4

Page 5: CASE Report Eklamsia

BTA 3x

Bahan pemeriksaan Spuntum

Sewaktu negatif

Pagi negatif

Sewaktu negatif

Perwarnaan Gram (17/07/2013)

Hasil

Ditemukan bakteri coccus gram (+) yaitu diplococcus sp dan streptococcus sp

Epitel: 4-6/ lpk

Lekosit: 10-13/ lpk

Radiologi (16/07 2013)

Kesan

Kardiomegali, TB paru aktif dengan cavitas, Pengaburan sinus kiri ec suspek efusi

pleura minimal

V. Resume

5

Page 6: CASE Report Eklamsia

Anamnesis: tension headeache (+), penglihatan kabur (+), vomit (+), spastic (+)

TTV: Hipertensi stage II (+), takipnue (+), takikardi (+)

Status gizi: kurus (+)

Pemeriksaan Fisik : PCH(+), retraksi suprasternalis (+), rh (-/+), wh (+/+), iktus

cordis melebar (+), paru kiri meredup pada ICS 4

Pemeriksaan penunjang: leukosit segmen ↑, LED ↑, Ureum ↓, Protein +3, bakteri

diplococus & streptococcus (+), Kardiomegali, TB paru aktif (+), efusi pleura

minimal (+)

VI. Diagnosis Klinis

Diagnosis Obstetri: P1A0 partus prematurus spontan + late eklampsia postpartum +

kardiomiopati peripartum

Diagnosis interna: + CAP + Asma bronkiale eksaserbasi akut + TB paru relaps

VII. Ajuan pemeriksaan tambahan

Elektrolit

MRI

VIII. Rencana Pengelolaan dan terapi

Terapi umum:

Perlindungan jalan nafas

Bedrest ½ duduk

Pasang NGT

Pasang Kateter

O2 3l / menit

Terapi Khusus:

Cefotaxime 2x1 gr iv

MgSO4 20% 10 g/jam dalam 500 ml NaCl → ± 30gtt/m

Lasix 2x2 amp

KSR 1x1

Metildopa 3x 250g

6

Page 7: CASE Report Eklamsia

Diazepam 1 amp secara perlahan (apabila kejang timbul kembali)

7

Page 8: CASE Report Eklamsia

Tanggal 16/ 07 17/05 18/05 19/05Keadaan umum

ApatisKejang (-), sesak (+), sakit kepala (↓), batuk (+), mual (+) muntah (-), mata buram (↓), BAK (+)

Compos mentisKejang (-), sesak (↓), sakit kepala (-), batuk (+), mual (-). Muntah (-), mata buram (-), BAK (+)

Compos mentis Kejang (-), sesak (-), sakit kepala (-), batuk (↓), mual (-). Muntah (-), mata buram (-), BAK (+)

Compos mentis Kejang (-), sesak (-), sakit kepala (-), batuk (↓), mual (-). Muntah (-), mata buram (-), BAK (+)

TNRS TD: 130/90, N:88x/ menit, R: 34x/menit S: 360c

TD: 120/70, N: 74x/m, R: 28x/mS: 37,40c

TD: 120/70, N: 64x/mS: 37,20C, R: 24x/m

TD: 100/60, S: 36,90C, N: 72x/m, R: 20x/m

Pemeriksaan fisik

Mata: Ka(-/-). SI(-/-)Hidung: PCH (-/-)Leher: KGB t.t.m., JVP↑ (+)Thorax: B&G simetris, cor: s1&s2 murni regular, murmur (-), gallop (-); pulmo: vbs ka= ki, wh (+/+), rh(-/+)ASI (+/+)Abdomen: datar, lembut, NTE (+), TFU: tidak terabaEkstermitas: udem (-/-)

Mata: Ka(-/-). SI(-/-)Hidung: PCH (-/-)Leher: KGB t.t.m., JVP↑ (-)Thorax: B&G simetris, cor: s1&s2 murni regular, murmur (-), gallop (-); pulmo: vbs ka= ki, wh (+/+), rh(-/+)ASI (+/+)Abdomen: datar, lembut, NTE (-), TFU: tidak terabaEkstermitas: udem (-/-)

Mata: Ka(-/-). SI(-/-)Hidung: PCH (-/-)Leher: KGB t.t.m., JVP↑ (-)Thorax: B&G simetris, cor: s1&s2 murni regular, murmur (-), gallop (-); pulmo: vbs ka= ki, wh (+/+), rh(-/+)ASI (+/+)Abdomen: datar, lembut, NTE (-), TFU: tidak terabaEkstermitas: udem (-/-)

Mata: Ka(-/-). SI(-/-)Hidung: PCH (-/-)Leher: KGB t.t.m., JVP↑ (-)Thorax: B&G simetris, cor: s1&s2 murni regular, murmur (-), gallop (-); pulmo: vbs ka= ki, wh (+/+), rh(-/+)ASI (+/+)Abdomen: datar, lembut, NTE (-), TFU: tidak terabaEkstermitas: udem (-/-)

D/K Diagnosis Obstetri: P1A0

partus prematurus spontan + eklampsia postpartum tertunda + kardiomiopati peripartum Diagnosis interna: + susp. CAP + Asma bronkiale eksaserbasi akut + susp.TB paru relaps

Diagnosis Obstetri: P1A0

partus prematurus spontan + eklampsia postpartum tertunda + kardiomiopati peripartum Diagnosis interna: + susp. CAP + Asma bronkiale eksaserbasi akut + TB paru relaps

Tetap Tetap

8

Page 9: CASE Report Eklamsia

Penatalaksanaan

Bedrest ½ dudukPasang NGTO2 3l / menit Cefotaxime 2x1 gr ivMgSO4 20% 10 g/jam dalam 500 ml NaClLasix 1 x 2ampKSR 1x1Metildopa 3x 250g

Bedrest ½ dudukNGT lepasO2 2l / menit Cefotaxime 2x1 gr ivMgSO4 20% 10 g/jam dalam 500 ml NaCl → stop Lasix 1 x 2ampKSR 1x1Metildopa 3x 250g

BedrestO2 2l / menit → stopCefotaxime 2x1 grivLasix 1x 2 ampKSR 1x1Metildopa 3x 250g

Note: Os pindah rawat ke ruang IPD

Lasix ½-0-0Cefadroxil 2x1 tabMetildopa 3x 250g

Os boleh pulang

Pemeriksaan penunjang

Terlampir diatas EKG dalam batas normalKonsul ke IPD dan neuro

Note: Neuro: refleks patella ekstrim (-), penglihatan baik, kekuatan otot ekstermitas baik, bila kejang berikan diazepam 1 amp pelan. Konsul kembali jika kejang berulangIPD: pemasangan NGT → diet cair, skrening TB ulang

Perwarnaan Gram(+)diplococcus sp dan streptococcus spLED ↑Leukosit segmen ↑

9

Page 10: CASE Report Eklamsia

BAB II

ANALISIS KASUS

Pada pasien ini penegakan diagnosis didasari oleh anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan penunjang.

Berdasarkan anamnesis, os merasakan nyeri kepala yang terus menerus dan semakin

memberat, mata buram, mual, dan muntah. Gejala ini merupakan gejala awal yang sering

ditemukan sebelum terjadinya eklampsia. Nyeri kepala dan mata buram diduga timbul akibat

hiperperfusi serebrovaskular yang memiliki predileksi pada lobus oksipitalis. Nyeri kepala dan

mata buram yang mulai berkurang setelah pemberian MgSO 4 mendukung diagnosis kearah

eklampsia. Mual dan muntah diduga timbul akibat perubahan pada hati. Kejang bersifat

diagnosik untuk eklampsia. Kejang eklamptik disebabkan autoregulasi yang mengalami

perubahan akibat kehamilan. Autoregulasi merupakan mekanisme untuk menjaga aliran darah

serebral relatif konstan meskipun terjadi perubahan pada tekanan perfusi serebral.2 Keadaan

pasien yang datang setelah 5 hari postpartum dengan keadaan eklampsia merupakan kriteria dari

eklampsia postpartum tertunda. Eklamsia postpartum tertunda adalah eklampsia yang terjadi

lebih dari 2 hari setelah melahirkan. Eklampsia postpartum tertunda bisa terjadi sampai 23 hari

setelah melahirkan.1

Sesak yang terjadi setelah kejang bisa disebabkan karena hiperkarbia, asidemia laktat,

dan hipoksemia transien sehinga umunya pernapasan mengalami peningkatan laju dan dapat

mencapai 50 kali atau lebih permenit sebagai respon terhadap hal tersebut.1 sesak yang masih

terus dirasakan sampai 2 hari perawatan bisa oleh karena penyakit asma ibu yang kambuh karena

pada pemeriksaan fisik ditemukan bunyi Wheezing positif pada kedua paru. Selain ditemukan

wheezing, ditemukan pula suara ronkhi pada sebelah kiri paru, suara ronkhi disebabkan oleh

gerakan udara melewati jalan nafas yang menyempit akibat terdapatnya sumbatan seperti sekret

(pada asma) ataupun cairan (udem paru). Hal ini menyebabkan sesak pada saat bernafas.

Prematur kontraksi saat ibu masih mengandung merupakan salah satu komplikasi dari

Hipertensi pada kehamilan. Saat setelah melahirkan tekanan darah menurun dan tidak ditemukan

proteinuria yang dapat disimpulkan tidak terdapat tanda pre-eklampsia setelah kelahiran

sehingga Os dapat pulang kerumah. Berdasarkan journal, 1/3 wanita dengan eklampsia

10

Page 11: CASE Report Eklamsia

postpartum tertunda tidak memiliki riwayat hipertensi, proteinuria atau edema sebelumnya. 44%-

79% dari pasien dengan eklampsia postpartum tertunda, pre- eklampsia tidak terdiagnosis

sebelum terjadinya kejang.

Pada riwayat terdahulu, ditanyakan apakah pernah mengalami kejang sebelumnya adalah

untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit epilepsi pada ibu. Riwayat penyakit

jantung, ginjal dan diabetes melitus merupaka faktor resiko dari munculnya hipertensi pada

kehamilan sehingga perlu ditanyakan. Salah satu faktor resiko yang mungkin menyebabkan Os

ini mengalami hipertensi adalah nulipara.

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Protein Urin menunjukan angka +3 merupakan

diagnosis pasti Eklampsia dengan didukung oleh manifestasi klinis yang Os rasakan.

Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk melihat apakah terdapat penurunan pada trombosit.

Trombositopenia merupakan gejala khas untuk preeklampsia yang meburuk. Trombositopenia

mungkin disebabkan oleh pengaktifan dan agregasi trombosit, serta hemolisis mikroangiopatik

yang dicetuskan oleh vasospasme yang hebat.1 Pada Os ini Hb, Ht, dan Trombosit dalam batas

normal tetapi Leukosit meningkat yang menandakan terdapatnya suatu infeksi. Kemudian

dilakukan pemeriksaan hitung jenis dan didapatkan peningkatan pada leukosit segemen yang

menandakan infeksi ke arah bakteri. Setelah dilakukan pewarnaan gram didapatkan bakteri

diplococus & streptococcus (+). Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang dan gejala klinis

didapatkan diagnosis susp. CAP (community aquired Pneumonia).

Pada pemeriksaan kimia klinik ditemukan SGOT & SGPT, kreatinin dalam batas normal

dan ureum hanya mengalami sedikit penurunan. Peningkatan SGOT dan SGPT dalam serum

merupakan penanda telah terdapat inflamasi atau nekrosis pada hati. Perubahan pada hepar

perempuan yang mengalami eklampsia fatal digambarkan oleh virchow pada tahun 1856. Lesi

khas yang lazim ditemukan adalah daerah perdarahan periportal pada tepi hepar. Keterlibatan

simtomatik biasanya bermanifestasi sebagai nyeri dan nyeri tekan derajat sedang hingga berat

pada kuadran kanan atas atau pertengahan epigastrium, biasanya hanya terjadi pada penyakit

berat. Peningkatan Kreatinin disesbabkan penurunan filtrasi glomerulus yang menandakan telah

terdapat komplikasi pada ginjal.

11

Page 12: CASE Report Eklamsia

Pada pemeriksaan radiologis ditemukan kardiomegali dan efusi paru minimal yang

merupakan faktor penunjang diagnosis untuk kardiomiopati peripartum. Lalu terdapat gejala

klinis yang menunjang seperti sesak, orthopnue, takikardi, tapinue. Kardiomegali terjadi akibat

disfungsi sistolik ventrikel kiri. Selain itu, ditemukan pula gambaran TB paru aktif dengan

kavitas lalu dilakukanlah pemeriksaan LED dan Sputum BTA. LED meningkat sangat tinggi,

tetapi sputum BTA (-). Dari pemeriksaan ini dapat disimpulkan diagnosis Os penderita TB paru

relaps, karena os telah tuntas pengobatan TB pada tahun 2009 tetapi gambaran radiologi

menyatakan TB aktif dan LED sangat meningkat ditambah dengan keluhan Os yang masih

sering batuk. Hasil BTA bisa menghasilkan negatif palsu.

Untuk terapi, bedrest ½ duduk dilakukan untuk memberikan posisi nyaman bagi OS yang

sedang sesak. Pemberian O2 meningkatkan pemasukan O2 ke dalam tubuh secara adekuat agar

tidak terjadi hiperkapnia dan kejang yang berulang. Pemasangan NGT untuk pemberian makanan

ketika Os dalam keadaan Somnolen. Pemasangan kateter untuk pengontrolan input dan output.

Pemberian obat MgSO4 untuk mengendalikan kejang, MgSO4 diberikan selama 24 jam. Dengan

dosis infus rumatan 2g/jam dalam 100 mL cairan IV. Metildopa diberikan untuk menurunkan

tekanan darah Os yang tinggi. Jika Os kejang berikan Diazepam 1 amp secara perlahan.

Cefotaxime diberikan sebagai antibiotik. Lasix digunakan untuk mempercepat pengendalian

tekanan darah dan untuk mengurangi kadar cairan di dalam tubuh. KSR diberikan untuk

mengganti kehilangan kalium akibat pemberian lasix.

12

Page 13: CASE Report Eklamsia

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA

III.1.1 DEFINISI

Eklampsia pascapartum tertunda adalah eklampsia yang terjadi lebih dari 2 hari setelah

melahirkan sampai 23 hari setelah melahirkan.eklampsia pascapartum tertunda dianggap sebagai

subtipe dari eklampsia1

Eklampsia adalah kejang yang tidak disebabkan oleh penyebab lain pada perempuan

dengan preeklampsia. kejang yang timbul merupakan kejang umum dan dapat terjadi sebelum,

saat, atau setelah persalinan. Bergantung pada saat terjadi eklampsia disebut sebagai antepartum,

intrapartum atau pascapartum. 2

Preeklamsia adalah keadaan dimana terjadi hipertensi disertai dengan proteinuria, oedem

atau kedua-duanya yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan, atau

kadang-kadang timbul lebih awal bila terdapat mola hidatidosa dan kehamilan kembar.1

III.1.2 INSIDENSI

Unit bersalin di Eropa juga melaporkan angka kesakitan dan kematian ibu serta perinatal

yang sangat tinggi pada eklampsia. Dalam suatu laporan dari Skandinavia yang meliputi periode

2 tahun, berakhir pada tahun 2000, Andersgaard dkk., (2006) menguraikan mengenai 232

perempuan dengan eklampsia. Meskipun hanya terdapat satu kematian ibu, sepertiga perempuan

mengalami komplikasi yang berat, yang mencakup syndrom HELLP, gagal ginjal, edema paru,

emboli paru dan stoke. United kingdom Obstectric Surveillance System (UKOSS) yang telah

diaudit oleh Knight (2007) melaporkan hasil akhir maternal pada 214 perempuan yang

mengalami eklampsia. Tidak terdapat kematian ibu, dan meskipun hasil akhir membaik

dibanding pada hasil audit sebelumnya, lima perempuan mengalami perdarahan serebral. Jadi,

dinegara maju, angka kematian ibu adalah sekitar 1 persen pada perempuan yang mengalami

eklampsia. 2

13

Page 14: CASE Report Eklamsia

Eklampsia paling sering terjadi pada trimester ketiga dan menjadi semakin sering saat

hamil mendekati aterm. Pada beberapa tahun terakhir, telah terjadi pergeseran yang semakin

besar pada insiden eklampsia kearah periode pascapartum. Pergeseran ini diduga berkaitan

dengan perbaikan akses asuhan pranatal, deteksi preeklampsia yang lebih dini, dan penggunaan

magnesium sulfat profilaktik (chames dkk,2002).2

Eklampsia adalah penyebab kematian maternal kedua (19,6%) di United states setelah

emboli pulmonal. Antara 14% - 33% dari kasus eklmapsia terjadi setelah melahirkan. Eklampsia

pascapartum tertunda mengenai antara 4% - 26% pasien dengan eklampsia dan antara 28%- 79%

pasien dengan postpartum eklampsia. 1

III.1.3 ETIOLOGI

Preeklampsia tidaklah sesederhana “satu penyakit”, melainkan merupakan hasil akhir dari

berbagai faktor yang kemungkinan meliputi sejumlah faktor pada ibu, plasenta dan janin.

Faktor- faktor yang saat ini dianggap penting mencakup:2

1. implantasi plasenta disertai invasi trofoblastik abnormal pada pembuluh darah uterus

Pada implantasi yang normal, invasi tropoblas menyebabkan remodelisasi arteri spiralis

uterina. Pada preeklamsi terjadi invasi tropoblas yang abnormal. Pembuluh darah-pembuluh

darah desidua bersatu dengan tropoblas. Pembuluh darah-pembuluh darah ini gagal

beradaptasi, selanjutnya terjadi kerusakan lumen arteri spiralis oleh suatu atherosis sebagai

akibat dari aliran darah placenta. Hal ini diperkirakan sebagai penyebab perfusi placenta

patologis yang akhirnya menyebabkan preeklamsi.3

14

Page 15: CASE Report Eklamsia

2. Toleransi imunologis yang bersifat maladaptif di antara jaringan maternal, paternal

(plasental), dan fetal.

Preeklamsi sering terjadi pada kehamilan pertama dan biasanya tidak timbul lagi pada

kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama

pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin

sempurna pada kehamilan berikutnya.3

Fierlie F.M. (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya sistem imun

pada penderita preeklamsi dan eklamsi:

Beberapa wanita dengan preeklamsi dan eklamsi mempunyai kompleks imun dalam

serum.

Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada reeklamsi

dan eklamsi diikuti dengan proteinuri.

Stirat (1986) menyimpulkan, meskipun ada beberapa pendapat menyebutkan bahwa

sistem imun humeral dan aktivasi komplemen terjadi pada reeklmasi maupun eklamsi, tetapi

tidak ada bukti bahwa sistem imunologi bisa menyebabkan preeklamsi dan eklamsi.3

3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamatorik yang terjadi pada

kehamilan normal2

4. Faktor- faktor genetik, termaksuk gen predisposisi yang diwariskan, serta pengaruh

epigenetik

Adanya hipertensi herediter tidak diragukan lagi berhubungan dengan preeklamsi. Beberapa

bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian preeklamsi dan eklamsi antara

lain:

Preeklamsi hanya terjadi pada manusia.

Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekuensi pada anak-anak dari ibu yang

menderita preeklamsi dan eklamsi.

Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron System (RAAS)

5. Faktor nutrisi

Makanan yang diduga turut menyebabkan terjadinya eklamsi adalah daging, protein,

purin, lemak, dan garam. Hal ini berhubungan dengan obesitas sebagai faktor resiko, dimana

terjadi peningkatan C-rective protein sebagai suatu marker inflamasi yang tampak pada penderita

preeklamsi.4

15

Page 16: CASE Report Eklamsia

III.1.4 FAKTOR RESIKO

Faktor resiko pre- eklampsia dan eklampsia:1

Sebelumnya pernah pre- eklmapsia

Memiliki hipertensi atau tekanan darah diastoliknya ≥ 90 mmHg

Memiliki penyakit ginjal atau proteinuria

Memiliki penyakit diabetes melitus

Kehamilan ganda (gemeli)

Obesitas ( dengan BMI ≥ 35)

Memiliki riwayat keluarga yang pernah mengalami pre- eklampsia (kakak perempuan

atau ibu)

Umur ≥ 40 tahun

Kehamilan yang pertama (nulipara)

Jarak kehamilan ≥ 10 tahun

Tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg, atau diastolik ≥80 mmHg selama kehamilan

Memiliki sindrom antibodi antifosfolipid

III.1.5 PATOGENESIS

Vasospasme2

Konstriksi vaskular menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh sehingga timbul

hipertensi. Pada saat bersamaan, kerusakan endotel menyebabkan kebocoran interstitial

tempat lewatnya komponen- komponen darah, termasuk trombosit dan fibrinogen yang

kemudian tertimbun di subendotel.dengan berkurangnya aliran darah akibat maldistribusi,

iskemia pada jaringan sekitar akan menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan gangguan

end- organ lain yang khas untuk sindrom tersebut.

Aktivasi sel endotel2

Endotel yang utuh memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel menumpulkan respons

otot polos pembuluh darah terhadap agonis dengan cara melepaskan nitrat oksida. Sel

endotel yang rusak atau teraktivasi dapat menghasilkan lebih sedikit nitrat oksida dan

menyekresikan substansi yang memacu koagulasi, serta meningkatkan sensitivitas

terhadap vasopressor

16

Page 17: CASE Report Eklamsia

Peningkatan respon presor2

Penurunan produksi Prostaglandin endotel

Prostasiklin adalah prostaglandin yang ditemukan pada tahun 1976. Prostasiklin

dapat meningkatkan cAMP intrasel didalam sel-sel otot pembuluh darah dan

meningkatkan efek antiagregasi trombosit. 5

Prostasiklin dibuat terutama didalam sel-sel endotel dari asam arakidonat,

dikatalisa oleh enzim siklooksigenase. Siklooksigenase dapat dihambat oleh obat-obatan

mirip aspirin. Gangguan mekanik atau kimia dari sel endotel merangsang pembentukan

dan melepaskan prostasiklin, contohnya : bahan – bahan kimia seperti bradikinin /

trombin merangsang prostasiklin di dalam dinding pembuluh darah. 5

Tromboksan A2 dikeluarkan oleh trombosit dari asam arakidonat melalui

siklooksigenase yang dapat merangsang vasokontriksi dan agregasi trombosit. Kemudian

prostasiklin dan tromboksan mempunyai pengaruh yang berlawanan didalam mengatur

interaksi trombosit – dinding pembuluh darah.5

Jika dibandingkan dengan kehamilan normal, produksi prostasiklin (PGI2)

menurun pada preeklampsia. Pada waktu yang sama, tromboksan A2 (TXA2) yang

disekresi oleh trombosit meningkat, dan perbandingan antara prostasiklin : tromboksan

menurun. Hasil ini meningkatkan sensitivitas terhadap infus angiotensin II, dan akhirnya

terjadilah vasokontriksi

Nitrat oksida

Inhibisi sintesis nitrat oksida meningkatkan tekanan arteri rerata, menurunkan laju

jantung, dan membalikkan ketidaksensitifan terhadap vasopressor yang diinduksi

kehamilan. Pada manusia, nitrat oksida tampaknya merupakan senyawa yang

mempertahankan kondisi normal pembuluh darah yang berdilatasi dan bertekanan rendah

17

Page 18: CASE Report Eklamsia

yang khas untuk perfusi fetoplasenta. Zat ini juga dihasilkan oleh endotel janin dan

kadarnya meningkat sebagai respon terhadap pre- eklampsia, diabetes dan infeksi2

Endotelin

Protein angiogenik dan antiangiogenik

III.1.6 PATOFISIOLOGI

Sistem kardiovaskular 2

Gangguan berat pada pada fungsi kardiovaskular normal lazim terjadi pada preeklampsia

atau eklampsia. Gangguan ini berkaitan dengan:

1. Peningkatan afterload jantung yang disebabkan hipertensi

2. Preload jantung, yang sangat dipengaruhi oleh tidak adanya hipervolemia pada

kehamilan akibat penyakit atau justru meningkat secara iatrogenik akibat infus

larutan kristaloid atau onkotik intravena

3. Aktivasi endotel disertai ekstravasasi cairan intravaskular ke dalam ruang

ekstrasel, dan yang penting ke dalam paru- paru.

Darah dan koagulasi2

Salah satu kelainan lazim yang sering dijumpai adalah trombositopenia, yang sesekali

dapat sangat hebat sehingga mengancam nyawa. Selain itu, kadar berupa pembekuan

darah dalam plasma dapat berkurang, dan eritrosit dapat memperlihatkan bentuk yang

aneh serta mengalami hemolisis yang cepat.

Homeostasis volume2

Perubahan endokrin

Kadar renin, angiotensin II, angiotensin 1-7 dan aldosteron dalam plasma

meningkat secara nyata selama kehamilan normal. Pada kasus preeklampsia dan

meskipun volume darah berkurang, nilai- nilai ini berkurang secara nyata, tetapi

tetap diatas nilai saat tidak hamil (Luft dkk.,2009)2

Perubahan cairan dan elektrolit

Pada perempuan dengan preeklampsia berat, volume cairan ekstrasel, yang

bermanifestasi sebagai edema biasanya jauh lebih besar dibandingkan pada

perempuan dengan kehamilan normal. Mekanisme yang berperan dalam retensi

patologis cairan ini diduga terjadi akibat cendera endotel. Selain edema umum

18

Page 19: CASE Report Eklamsia

dan proteinuria, perempuan ini memeliki tekanan onkotik plasma yang menurun

yang mengakibatkan ketidakseimbangan filtrasi dan semakin mendorong cairan

intravaskular ke dalam interstitium sekelilingnya.

Setelah terjadinya suatu kejang eklamptik, pH dan kadar bikarbonat dalam serum

menurun akibat asidosis laktat dan kehilangan karbon dioksida kompensatorik

melalui sistem pernafasan.

Ginjal 2

Selama kehamilan normal, aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus meningkat

secara bermakna. Dengan memburuknya preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi

glomerulus berkurang yang dapat disebabkan oleh penurunan volume plasama,

peningkatan resistensi arteriol aferendan juga terdapat perubahan morfologis yang

ditandai dengan endoteliosis glomerulus yang menyumbat sawar filtrasi. Penurunan

filtrasi menyebabkan nilai kreatinin serum meningkat. 2

Proteinuria

Adanya proteinuria dalam derajat apapun akan menegakkan diagnosis

preeklampsia- eklampsia. Proteinuria dapat timbul pada tahap lanjut, dan

beberapa perempuan mungkin telah melahirkan atau mengalami kejang eklamtik

sebelum timbul proteinuria.

Perubahan anatomis

Kapiler pada glomerulus normal yang diperlihatkan pada sisi kiri memiliki

fenestra endotel yang lebar, dan pedikel yang menonjol dari podosit memiliki

jarak yang lebar (panah). Pada sisi kanan merupakan glomerulus yang mengalami

perubahan akibat sindrom preeklamsia. Sel- sel endorel tampak membengkak dan

fenestranya menyempit, pedikel juga menjadi saling berdekatan satu sama lainya.

19

Page 20: CASE Report Eklamsia

Hepar2

Dari sudut pandang pragmatis, keterlibatan hepar pada pre- eklampsia mungkin

bermakna secara klinis dalam kondisi- kondisi berikut:

1. Keterlibatan simtomatik, biasanya bermanifestasi sebagai nyeri dan nyeri tekan

derajat sedang hingga berat pada kuadran kanan atas atau pertengahan epigastrium,

biasanya hanya terjadi pada penyakit berat.

2. Peningkatan asimtomatik kadar transaminase hepar dalam serum-AST dan ALT-

dianggap merupakan penanda preeklampsia berat. Secara umum, kadar transminase

serum berbanding terbalik dengan jumlah trombosit, dan kadar keduanya biasanya

kembali normal dalam 3 hari pasca partum.

3. Perdarahan hepar dari daerah yang mengalami infark dapat meluas sehingga

membentuk hematoma hepatis

Otak 2

Sindrom preeklampsia memiliki dasar dasar aktivasi endotel yang terkait dengan

kebocoran antarasel endotel, yang timbul pada tekanan darah yang jauh lebih rendah

dibandingkan tekanan yang menyebabkan edema vasogenik, dan juga didasari oleh

hilangnya autoregulasi batas atas (Zeeman dkk,2009b)

Terdapat sejumlah manifestasi neurologis sindrom preeklampsia. Masing- masing

manifestasi menunjukan keterlibatan berat suatu organ dan memerlukan perhatian segera:

20

Page 21: CASE Report Eklamsia

1. Nyeri kepala dan skotomata diduga timbul akibat hiperperfusi serebrovaskular yang

memiliki predileksi pada lobus oksipitalis. Menurut Sibai (2005) dan Zwart dkk.,

(2008), 50 hingga 75 persen perempuan mengalami nyeri kepala dan 20 hingga 30

persen diantaranya mengalami gangguan penglihatan yang mendahului kejang

eklamtik. Nyeri kepala dapat ringan hingga berat, dan dapat intermittent atau

konstan. Menurut pengalaman kami, tanda ini unik karena biasanya membaik setelah

dimulainya infus magnesium sulfat.

2. Kejang bersifat diagnostik untuk eklampsia. Kejang terdiri atas pelepasan

neurotransmitter eksitatorik- khususnya glutamat- dalam jumlah berlebih;

depolarisasi jaringan neuron yang masif; dan letupan potensial aksi (meldrum,2002)

3. Kebutaan jarang terjadi pada preeklampsia saja, tetapi sering menjadi komplikasi

pada kejang eklamptik

4. Edema otak menyeluruh dapat timbul pada sindrom preeklampsia dan biasanya

bermanifestasi sebagai perubahan status mental yang bervariasi dan kebingungan

hingga koma

21

Page 22: CASE Report Eklamsia

III.1.7 MANIFESTASI KLINIS

Preeklampsia

Para wanita hamil biasanya tidak mengetahui terhadap tanda preeklamsi yaitu hipertensi dan

proteinuria. Gejala klinis baru timbul pada keadaan yang sudah berat, seperti sakit kepala,

gangguan penglihatan, dan nyeri epigastrium.

22

Page 23: CASE Report Eklamsia

Tekanan Darah

Gangguan mendasar yang terjadi pada preeklamsi adalah vasospasme arteriol yang

mengakibatkan peningkatan tekanan darah.

Peningkatan Berat Badan

Peningkatan berat badan yang mendadak dapat mendahului terjadinya preeklamsi, bahkan

pada beberapa wanita hamil peningkatan berat badan yang berlebihan merupakan tanda

pertama. Peningkatan berat badan normal adalah 1 pound per minggu, peningkatan 2

pound per minggu pada usia kehamilan berapapun atau peningkatan 6 pound selama

sebulan, maka harus sudah dicurigai adanya perkenbangan ke arah preeklamsi.

Proteinuria

Pada preeklamsi, kadar proteinuria bervariasi, tidak hanya pada pasien yang berbeda,

namun pada pasien yang sama terjadi perbedaan kadar dari jam ke jamnya. Pada

permulaan preeklamsi, hanya terdapat proteinuria yang minimal, tapi pada kasus yang

berat biasanya sudah sangat tinggi kadarnya. Proteinuria biasanya timbul lebih lambat

dibandingkan hipertensi dan peningkatan berat badan yang berlebihan.

Nyeri Kepala

Nyeri kepala jarang terjadi pada preeklamsi ringan. Lokasi tersering adalah di daerah

frontal, tapi dapat juga terasa di daerah oksipital. Nyeri kepala ini biasanya tidak reda

dengan pemberian analgesik biasa. Nyeri kepala yang berat hampir selalu mendahului

terjadinya kejang eklamsi yang pertama kali.

Nyeri Epigastrium

Nyeri epigastrium atau nyeri di kuadran kanan atas sering terjadi pada preeklamsi berat

dan mengindikasikan ke arah kejang. Nyeri ini disebabkan iskemik hepatik atau

menegangnya kapsul hepar akibat edema dan perdarahan.

Gangguan Penglihatan

Vasospasme arteri retina berhubungan dengan gangguan penglihatan hingga

menyebabkan kebutaan yang dapat berlangsung selama 4 jam hingga 8 hari. Ablasio

retina juga dapat terjadi, walaupun biasanya hanya mengenai satu mata saja dan jarang

menyebabkan kehilangan penglihatan total.

Eklamsi

23

Page 24: CASE Report Eklamsia

Eklamsi ditandai dengan kejang umum yang bersifat tonik klonik. Koma tanpa kejang juga

disebut eklamsi.

III.1.1 DIAGNOSIS

Preeklampsia1

Kriteria Minimum

TD ≥ 140/90 mmHg yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu

Proteinuria ≥ 300 mg/ 24 jam atau ≥ 1+ pada pemeriksaan carik celup

Kemungkinan preeklampsia meningkat

TD ≥ 160/110 mmHg

Proteinuri 2.0 g/ 24 jam atau ≥ 2+ pada pemeriksaan carik celup (dipstick)

Kreatinin serum ≥ 1,2 mg/ dL, kecuali memang sebelumnya diketahui meningkat

Trombosit ≤ 100.000/ µL

Hemolisis mikroangiopati- peningkatan LDH

Peningkatan kadar transaminase serum- ALT atau AST

Nyeri kepala yang persisten atau gangguan serebral arau visual lainnya

Nyeri epigastrik persisten

Eklampsia1

Kejang yang tidak disebabkan oleh penyebab lain pada perempuan dengan pre-eklampsia

III.1.2 DIAGNOSIS BANDING1

Diagnosis banding dari kejang pascapartum adalah:

Eklampsia pascapartum

Epilepsi

Hipoglikemia

Keracunan atau intoksikasi obat- obatan dan alkohol

Trauma kepala dan perdarahan intrakranial

Tumor otak

Hipertensi ensefalopati

24

Page 25: CASE Report Eklamsia

Penyumbatan pembuluh darah otak

Meningitis, encefalitis, tetanus, atau infeksi HIV

Hipokalsemia, hipomagnesemia, hiponatremia atau hipernatremia

Uremia

III.1.3 TERAPI

Beberapa penelitian telah meneliti protokol terapi untuk mengatasi eklampsia, karena

pascapartum eklampsia tertunda dianggap sebagai subtipe dari eklampsia, terapi yang sama

dapat digunakan. 1

Prinsip- prinsip penatalaksanaan Eklampsia meliputi:2

1. pengendalian kejang menggunakan magnesium sulfat dalam dosis awal yang

diberikan secara intravena. Dosis awal ini dilanjutkan dengan infus magnesium

sulfat berkesinambungan

2. pemberian obat antihipertensi intermiten untuk menurunkan tekanan darah saat

dianggap terlalu tinggi sehingga berbahaya

3. penghindaran penggunaan diuretik kecuali terdapat edema paru yang nyata,

pembatasan pemberian cairan intravena kecuali terjadi kehilangan cairan yang

sangat banyak dan tidak menggunakan agen hiperosmotik

4. pelahiran janin untuk “menyembuhkan”

Magnesium sulfat untuk mengendalikan Kejang 2

Kejang eklamptik hampir selalu dicegah atau dihentikan oleh kadar magnesium dalam

plasma yang dipertahankan pada kisaran 4 hingga 7meq/L, 4-8-8,4 mg/dL, atau hingga 3,5

mmol/L.

Refleks patella menghilang jika kadar plasma mencapai 10 meq/L- sekitar 12mg/dL-

mungkin karena efek kuratiformis. Tanda ini merupakan peringatan akan terjadinya

keracunan magnesium. Jika kadar plasma meningkat melebihi 10 meq/L, pernafasan

melemah, dan pada kadar ≥ 12 meq/L terjadi paralisis pernafasan yang diikuti dengan henti

nafas. Terapi dengan kalsium glukonat atau kalsium klorida 1g intravena, disertai dengan

penghentian magnesium sulfat biasanya memulihkan depresi nafas ringan hingga sedang.

25

Page 26: CASE Report Eklamsia

Untuk depresi nafas yang berat dan henti nafas, intubasi trakea segera dan ventilasi mekanis

dapat menyelamatkan jiwa.

Karena magnesium dibersihkan hampir seluruhnya oleh ekskresi ginjal, dosis yang

disebutkan tadi dapat terlalu besar jika filtrasi glomerulus menurun nyata. Dosis awal

magnesium sulfat sebesar 4g aman diberikan bagaimanapun kondisi ginjal pasien. Jadi

hanya laju infus rumatan yang boleh diubah bila terdapat penurunan laju filtrasi glomerulus.

Fungsi ginjal diperkirakan dengan mengukur kadar kreatinin dalam plasma. Jadwal

pemberian magnesium sulfat untuk preeklampsia berat dan eklampsia:2

Infus Intravena Kontinu

1. Berikan dosis awal magnesium sulfat sebsar 4 hingga 6 g yang diencerkan dalam

100 mL cairan IV dan diberikan selam 15 hingga 20 menit

2. Mulai infus rumatan 2g/ jam dalam 100 mL cairan IV. Beberapa ahli menganjurkan

dosis 1 g/ jam

3. Pantau toksisitas magnesium:

a. Periksa refleks tendon dalam secara berkala

b. Beberapa ahli mengukur kadar magnesium serum pada jam ke 4hingga 6 dan

menyesuaikan kecepatan infus untuk mempertahankan kadar magnesium

antara 4 dan 7 meq/L (4,8- 8,4 mg/dL)

c. Ukur kadar magnesium serum jika kadar kreatinin serum ≥ 1,0 mg/dL

4. Pemberian magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah awaitan kejang

Injeksi intramuskular intermiten

1. berikan 4g magnesium sulfat sebagai larutan 20% secara intravena dengan

kecepatan tidak melebihi 1g/ menit

2. lanjutkan segera dengan 10 g larutan magnesium 50%, separuhnya disuntikan

profunda di kuadran kanan luar kedua bokong menggunakan jarum ukuran 20

sepanjang 3 inci. (penambahan 1,0 mL lidokain 2% meminimalkan nyeri). Jika

kejang menetap setelah 15 menit, berikan kembali magnesium sulfat dalam

larutan 20% dengan dosis hingga 2g dan kecepatan tidak melebihi 1g/menit. Jike

perempuan tersebut bertubuh besar, dapat diberikan dosis hingga 4g secara

perlahan.

26

Page 27: CASE Report Eklamsia

3. Setelah itu, tiap 4 jam, diberikan 5g larutan magnesium sulfat 50% yang

disuntikan profunda di kuadran kanan luar bokong kanan dan kiri secara

bergantian, tetapi dilakukan setelah memastikan:

a. Refleks patella positif

b. Respirasi tidak tertekan

c. Keluaran urin dalam 4 jam terakhir melebihi 100 mL

4. Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah awaitan kejang

Tatalaksana Hipertensi

Beberapa obat yang dapat digunakan untuk mengobati hipertensi pada pasien dengan

preeklampsia, eklampsia dan hipertensi pascapartum 1

Labetolol (20 mg diberikan secara intravena, 20-80 mg setiap 30 menit, diikuti

dengan 100-400 mg diminum oral 2- 3 kali setiap hari)

Nifedipine (5-10 mg diminum oral setiap 30 menit, diikuti oleh tablet 20- 60 mg

yang diminum oral sehari satu kali)

Hydralazine (5 mg bolud diberikan secara intravena , diikuti oleh 5- 10 mg setiap

30 menit)

Metildopa (250- 500 mg diminum oral, dua kali setiap hari atau 4 kali setiap hari

setelah melahirkan)

Bagi ibu yang meyusui obat labetolol, nifedipine dan metildopa aman digunakan. Terapi

antihipertensi dibutuhkan olah wanita yang memiliki preeklampsia selama 2 minggu

pascapartum dan bagi wanita yang memiliki hipertensi gestasional tanpa proteinuria obat

anti hipertensi diberikan selam 1 minggu setelah melahirkan. Target tekanan darah adalah

130-155 mmHg sistolik dan 80- 105 mm Hg diastolik untuk mereka yang tanpa gejala

penyerta lalu 130-139 mm Hg sistolik dan 80-89 mmHg untuk mereka dengan gejala

penyerta.1

III.1.4 PROGNOSIS

Kriteria Eden adalah kriteria untuk menentukan prognosis eklampsia. Kriteria Eden antara

lain:

1. koma yang lama (prolonged coma)

27

Page 28: CASE Report Eklamsia

2. nadi diatas 120

3. suhu 39,4°C atau lebih

4. tekanan darah di atas 200 mmHg

5. konvulsi lebih dari 10 kali

6. proteinuria 10 g atau lebih

7. tidak ada edema, edema menghilang

Bila tidak ada atau hanya satu kriteria di atas, eklampsia masuk ke kelas ringan; bila

dijumpai 2 atau lebih masuk ke kelas berat dan prognosis akan lebih buruk.

Tingginya kematian ibu dan bayi di negara-negara berkembang disebabkan oleh kurang

sempurnanya pengawasan masa antenatal dan natal. Penderita eklampsia sering datang terlambat

sehingga terlambat memperoleh pengobatan yang tepat dan cepat. Biasanya preeklampsia dan

eklampsia murni tidak menyebabkan hipertensi menahun.

III.2. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN PERIPARTUM CARDIOMIOPATI

III.2.1 DEFINISI

Dilated Cardiomyopathy (DCM) adalah dilatasi dan gangguan kontraksi dari ventrikel

kiri maupun kedua ventrikel. Disebabkan oleh familial genetik, virus, dan/ atau imun, toksisitas

alkohol, atau faktor –faktor yang tidak diketahui atau yang berhubungan dengan penyakit

kardiovaskuler yang diketahui.

Salah satu bentuk dari dilated cardiomyopathy (DCM) pada kehamilan adalah peripartum

cardiomyopathy (PPCM).

PPCM adalah salah satu bentuk DCM yang etiologinya tidak diketahui dan memenuhi

kriteria sebagai berikut :6

Terjadi pada bulan terakhir kehamilan atau sampai 5 bulan setelah persalinan

Tidak adanya penyakit atau kelainan jantung sebelum bulan terakhir dari kehamilan

Tidak adanya kondisi-kondisi yang teridentifikasi dapat menyebabkan gagal jantung

Adanya disfungsi sistolik dari ventrikel kiri yang dapat ditunjukkan oleh

echocardiography seperti adanya penurunan fraksi ejeksi

28

Page 29: CASE Report Eklamsia

III.2.2 EPIDEMIOLOGI

Insidensi PPCM secara keseluruhan adalah sebanyak 1 dari 1500-4000 kelahiran hidup.

Sedangkan di Amerika Serikat sebesar 1 setiap 1300-15000 kelahiran hidup. Di Jepang sebesar 1

dari 6000 kelahiran hidup, di Afrika Selatan sebesar 1 dari 1000 kelahiran hidup dan 1 dari 350-

400 kelahiran hidup di Haiti. 6

PPCM berhubungan dengan beberapa faktor resiko seperti: umur ibu yang tua,

multiparitas, kehamilan multipel, dan ras kulit hitam terutama ras Afrika Amerika.6

III.2.3 ETIOLOGI

Etiologi dari PPCM sampai sekarang masih belum jelas, banyak kemungkinan penyebab yang

dkemukakan seperti misalnya:

Familial, DCM ditransmisikan sebagai gen autosomal resesif,autosomal dominan, X-

linked atau matrilinear (mitochondrial) trait.

Myocarditis biasanya disebabkan oleh virus

Respons imun yang abnormal pada kehamilan

Setelah melahirkan akan terjadi degenerasi dari uterus dimana akan terjadi

fragmentasi dari tropokollagen oleh enzym kolagenolitik yang menghasilkan aktin,

myosin dan metabolitnya. Ibu akan membentuk antibodi terhadap hasil fragmentasi

tersebut dan kadangkala terjadi reaksi silang dengan otot jantung.

Respons maladaptif terhadap perubahan hemodinamik pada kehamilan

Perubahan hemodinamik pada kehamilan akan menyebabkan transient hipertropi

pada otot jantung. Pada akhir kehamilan, akan terjadi penurunan dari fungsi sistolik yang

akan berlanjut ke masa postpartum yang kemudian akan kembali seperti pada saat

sebelum hamil. Apabila tejadi penurunan fungsi sistolik yang berlebihan, maka dapat

menyebabkan terjadinya PPCM.

Produksi sitokin tertentu pada kehamilan

III.2.4 GEJALA KLINIS

Pada anamnesa akan didapatkan bahwa gejala-gejala timbul pada bulan terakhir pada

kehamilan dan tidak pernah muncul sebelumnya. Keluhan yang dapat timbul seperti:

29

Page 30: CASE Report Eklamsia

Kelelahan

Dyspnoe d’effort

Oedem perifer

Orthopnoe

Paroxysmal nocturnal dyspnoe

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :

Tachypnoe

Tachycardia

Sianosis

Peningkatan JVP

Ronchi paru

Gallop S3

Pembesaran hepar

Oedem perifer

Dapat kita perhatikan bahwa gejala-gejala pada PPCM hampir sama dengan DCM, oleh

karena itu seringkali terjadi salah diagnosa dimana penyakit yang diderita pasien sebenarnya

adalah DCM yang tidak terdiagnosa pada awal kehamilan atau bahkan mungkin penyakit jantung

lainnya. Oleh karena itu untuk mendiagnosa PPCM dengan benar kita harus yakin kalau gejala-

gejala di atas baru timbul pada bulan terakhir kehamilan atau setelah persalinan.

III.2.5 DIAGNOSIS

Diagnosis dari PPCM tidak berbeda dengan DCM, selain anamnesa dan pemeriksaan

fisik dapat dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan

seperti EKG, Echocardiography, X-ray dada, dll. Hasil yang didapat sama dengan pada DCM.

III.2.6 TERAPI GAGAL JANTUNG PADA IBU HAMIL DAN MENYUSUI

Pada ibu yang sedang menyusui, kadar obat yang terdapat pada air susu ibu biasanya

ditunjukkan dengan perbandingan kadar obat dalam plasma dengan kadar obat dalam air susu

30

Page 31: CASE Report Eklamsia

ibu. Faktor-faktor yang dapat berpengaruh adalah kelarutan obat dalam lemak, Protein-binding

capacity dari obat, dan pH dari obat dapat berpengaruh.7

α-Adrenergic Blockers

Hasil data pemakaian α-adrenergic blocker pada kehamilan masih sangat terbatas karena

obat ini biasanya digabung dengan β-adrenergic blocker. Pemakaian gabungan kedua obat

ini tidak meberikan efek samping pada janin. Efek samping dari pemakaian obat-obat ini

pada laktasi belum diketahui.8

α-Agonist

Metildopa dianggap sebagai obat lini pertama yang paling aman digunakan untuk ibu hamil

dengan kelainan jantung atau hipertensi. Penelitian untuk obat ini sudah dilakukan secara

luas, anak yang lahir dari ibu yang menerima metildopa pernah terus di follow up sampai

usia 7 tahun tanpa menunjukkan gejala abnormalitas apapun. α-agonist lain yang dapat

dipakai adalah clonidin, keduanya telah diselidiki dan aman digunakan pada kehamilan.

Metildopa dan clonidin diekskresikan di air susu ibu namun tidak menimbulkan gejala

apapun pada bayi.

Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors dan Receptor Blocker

ACE inhibitor seperti captopril, enalapril, lisinopril, fosinoprol, quinapril, benazepil, dan

yang lainnya dapat dengan cepat menembus barier plasenta dan berhubungan dengan

kematian janin, oligohidramnion, BBLR, kelainan osifikasi kranium, dan gagal ginjal pada

neonatal. Karena itu ACE inhibitor tidak disarankan tuntuk dipakai pada kehamilan. Hal

yang serupa juga berlaku untuk ARB seperti losartan, valsartan, irbesartan, dan obat-pbat

ARB baru lainnya. Konsentrasi dari captopril pada air susu ibu sangat rendah.

Obat Antiaritmia

Quinidine dapat melewati barier plasenta meskipun demikian masih dianggap pada

kehamilan, namun pernah dilaporkan adanya trombositopenia dan ototoksik pada janin

dengan pemakaian dosis terapi. Dosis yang berlebihan dapat menyebabkan kelahiran

prematur atau bahkan kematian janin. Quinidine diekskresikan dalam jumlah sedang pada

air susu ibu, namun kuantitas yang diserap oleh bayi biasanya tidak menimbulkan efek-efek

yang berbahaya kecuali apabila bayi masih prematur dimana kerja hepar belum sempurna

sehingga terdapat penumpukan quinidine.

β-Adrenergic Blocker dan Kombinasi α-β Blocker3

31

Page 32: CASE Report Eklamsia

β-adrenergic blocker dapat ditoleransi dengan baik pada kehamilan, namun pernah

dilaporkan adanya IUGR apabila digunakan pada kehamilan awal. Bradikardia janin,

hipoglikemia neonatal, apnoe, dan hiperbilirubinemia juga pernah ditemukan . Atenolol,

metoprolol, dan propanolol sudah dipakai secara luas dalam kehamilan.

Perlu diperhatikan bahwa adanya sitmulasi fisiologis ataupun farmakologis dari reseptor

β2-adrenergic dapat menyebabkan adanya relaksasi otot-otot uterus. Oleh karena itu lebih

baik menggunakan selektif β1-adrenergic blocker seperti atenolol atau metoprolol untuk

menghindari rangsangan pada uterus yang dapat timbul apabila non selektif β-adrenergic

blocker seperti propanolol dipakai.

Kombinasi dari α- dan β-adrenergic blocker seperti labetolol sangat berguna dan dapat

ditoleransi dengan baik pada kehamilan. Meskipun penggunaannya menurunkan tekanan

adrah ibu namun aliran darah uteroplasental tidak berkuirang. Pada percobaan dengan

binatang, penggunaan labetolol tidak memiliki efek samping pada denyut jantung janin

ataupun tekanan darah janin.

β-blocker diekskresikan dengan cukup banyak pada air susu ibu dan kadarnya lebih tinggi

dari kadar di plasma. Karena itu pada ibu menyusui yang menggunakan β-blocker, perlu

diperhatikan adanya potensi efek samping pada bayi berupa bradikardi dan somnolen.

Calcium Channel Blockers

Penelitian mengenai penggunaan calcium channel blocker masih cukup terbatas. Namun

ada cukup banyak bukti yang menunjukkan penggunaan calcium channel blocker cukup

aman pada kehamilan. Calcium channel blocker atau calcium antagonis terbagi menjadi 4

grup :

Dihidropiridine (nifedipine)

Papaverine (verapamil)

Benzothiazepine (diltiazem)

Tetralol (mibefradil)

Pada percobaan dengan binatang, hampir tidak didapatkan adanya kelainan

kardiovaskular pada janin setelah terpapar oleh keempat grup dari calcium channel blocker

tersebut.

32

Page 33: CASE Report Eklamsia

Perlu diingat bahwa penggunaan calcium channel blocker juga dapat menyebabkan

relaksasi dari uterus karena ini sebaiknya tidak dipakai pada saat mendekati partus karena

dapat menyebabkan perdarahan post partum.

Calcium channel blocker hanya diekskresikan dalam dosis rendah pada air susu ibu,

dengan demikian cukup aman digunakan pada laktasi, kecuali untuk mibefradil, pernah

dilaporkan adanya kelainan kongenital aorta pada bayi binatang percobaan setelah

penggunaan mibefradil pada induknya saat hamil.

Diuretik

Diuretik biasanya tidak digunakan pada kehamilan karena efeknya yang megurangi

volume darah ibu sehingga akan mengganggu nutrisi, oksigenasi, dan pertumbuhan janin.

Timbulnya hipokalemia, hiponatremi, dan trombositopenia pada janin juga pernah

dilaporkan3

Diuretik dapat mengurangi menurunkan produksi asi pada masa laktasi karena itu

penggunaannya dihindari saat laktasi.

Obat Inotropik

Obat inotropik seperti digoxin dapat menembus barier plasenta bahkan konsentrasi pada

janin dapat sama seperti pada plasma ibu. Penggunaan digoxin pada kehamilan dinilai aman,

hanya saja karena pada kehamilan tubuh juga memproduksi beberapa bahan yang berfungsi

seperti digoxin maka konsentrasi pada plasma sulit dinilai.Digoxin juga aman digunakan

pada laktasi

Obat-obat inotropik intravena seperti dopamin, dobutamin, amrinone, milrinone,

ephinephrine, dan norpephineprine dapat berbahaya karena dapat mengurangi aliran darah

plasenta dan menstimulasi kontraksi uterus. Karena itu obat-obat tipe ini harus digunakan

dengan sangat hai-hati dan hanya digunakan pada kondisi darurat.

Nitrat dan Vasodilatator

Nitrat dapat diugnakan dengan aman pada kehamilan meskipun nitrat bukan merupakan obat

gagal jantung yang cukup baik, namun efek vasodilatatornya dapat berguna untuk

preeklampsi dan IUGR. Pasien yang menggunakan nitrat perlu diawasi agar tidak terjadi

hipotensi karena dapat membahayakan janin. Penggunaan nitrat pada laktasi belum diselidiki

dengan baik.

33

Page 34: CASE Report Eklamsia

Antiloagulan dan Antiplatelet

Penggunaan antikoagulan seperti warfarin (coumadin) pada semester pertama dapat

menyebabkan timbulnya embryopathy, perdarahan janin, malformasi, dan warfarin juga

bersifat teratogenik seperti hypoplasia hidung, artropi optik, katarak, deformitas, saddle

nose, tubuh pendek, dan retardasi mental. Karena resiko terjadinya embryopathy maka

warfarin sering diganti dengan heparin karena heparin tidak menembus barier plasenta

namun efeknya tidak sekuat warfarin. Menjelang persalinan heparin tidak boleh diberikan

lagi karena bahaya perdarahan. Sehari setelah persalinan pengobatan boleh dilanjutkan lagi.

Penggunaan antiplatelet seperti aspirin dengan dosis rendah terbukti dapat membantu

untuk mengatasi hipertensi atau infark myocardial pada kehamilan dan tidak memberikan

efek samping kepada janin seperti perdarahan atau penutupan prematur dari dari duktus

asteriosus karena adanya inhibisi prostaglandin.

34

Page 35: CASE Report Eklamsia

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Val E. Ginzburg, Bryan Wolff. Headache and seizure on postpartum day 5: late

postpartum eclampsia. February 17,2009. Retrieved July 22, 2013 from

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2638033/

2. Bloom SL, Cunningham GF, Gilstrap LC, Hauth JC, Leveno KJ, Wenstrom KD,

Hipertensi dalam Kehamilan, Dalam: Obstetri Williams, Edisi ke-23 jilid 2. Jakarta:

EGC: 2009: Bab 34: 740-748

3. http://www.ebmonline.org/cgi/content/full/222/3/222

4. Mabie WC, Reynolds C, Sibai BM, Hypertensive States of Pregnancy, Dalam: Current

Obstetric & Gynaecologic Diagnosis & Treatment, Edisi ke-9, DeCherney AH, Nathan

L, penyunting. New York: Mc Graw Hill, 2003: 338-353

5. Decherney Alan, Nathan Lauren. Hypertensive States of Pregnancy in: Current Obstetric

& Gynecologic Diagnosis & Treatment. 8th edition. USA. McGraw Hill Companies, Inc.

1994. 380 – 395

6. Carson M, Jacob DE. Peripartum Cardiomyopathy. November 2, 2005. retrieved August

1, 2006 from http://www.emedicine.com/med/topic292.htm

7. Prawirohardjo S. Penyakit Kardiovaskular. dalam: Ilmu Kandungan. Edisi ke-5.

Winkjosastro H, Saiffudin AB, Rachimhadhi T. penyunting. Jakarta: Tridasa Printer;

1999: 429-47

8. Glaser T, Setaro F, Pregnancy and Cardiovascular Disease. in : Medical Complications

During Pregnancy. 5th edition. Burrow G, Duffy T, ed. Philadelphia: W.B. Saunders

Company. 1999 : 111-29

35

Page 36: CASE Report Eklamsia

36

Page 37: CASE Report Eklamsia

37

Page 38: CASE Report Eklamsia

38