Case Report DM,Hipoglikemi

80
LAPORAN KASUS I SEORANG WANITA USIA 44 TAHUN DENGAN REAKSI HIPOGLIKEMIA, DIABETES MELITUS TIPE 2, NEUROPATI DIABETIK, DAN NEFROPATI DIABETIK STADIUM V OLEH: ANNISAA RIZQIYANA, S.Ked J 500090056 PEMBIMBING: dr. Asna Rosida, Sp. PD

description

dm hipoglikemi

Transcript of Case Report DM,Hipoglikemi

LAPORAN KASUS I

SEORANG WANITA USIA 44 TAHUN DENGAN REAKSI

HIPOGLIKEMIA, DIABETES MELITUS TIPE 2, NEUROPATI

DIABETIK, DAN NEFROPATI DIABETIK STADIUM V

OLEH:

ANNISAA RIZQIYANA, S.Ked

J 500090056

PEMBIMBING:

dr. Asna Rosida, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD DR HARJONO PONOROGO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

TAHUN 2013

LAPORAN KASUS I

SEORANG WANITA USIA 44 TAHUN DENGAN REAKSI

HIPOGLIKEMIA, DIABETES MELITUS TIPE 2, NEUROPATI

DIABETIK, DAN NEFROPATI DIABETIK STADIUM V

OLEH:

ANNISAA RIZQIYANA ,S.Ked

J500090056

Telah disetujui dan disyahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas

Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada hari tanggal Oktober 2013

Pembimbing:

dr.Asna Rosida., Sp.PD ( )

dipresentasikan dihadapan:

dr.Asna Rosida., Sp.PD ( )

Disyahkan Ka. Program Profesi :

dr. Dewi Nirlawati ( )

BAB I

STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS

1. Identitas pasien

a. Nama : Ny. S

b. Jenis kelamin : Perempuan

c. Umur : 44 tahun

d. Alamat : Sukorejo

e. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

f. Status perkawinan : Menikah

g. Agama : Islam

h. Suku : Jawa

i. Tanggal masuk RS : 20 September 2013

j. Tanggal pemeriksaan : 22 September 2013

2. Keluhan Utama

Pasien datang dengan keluhan lemas.

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dan

autoanamnesis tanggal 22 September 2013 di Bangsal Mawar RSUD

dr. Harjono Ponorogo.

Pasien datang ke IGD tanggal 20 September 2013 diantar oleh

keluarganya dengan keluhan lemas sejak siang (1 hari SMRS). Selain

itu pasien juga merasa sulit untuk bicara, berekeringat dingin,

gemetar, dan sempat pingsan ketika dibawa ke RS. Pada tanggal 18

September 2013 pasien melakukan hemodialisa, sepulangnya dari

hemodialisa pasien mengkonsumsi glibenklamid kemudian

mengalami keluhan tersebut. Selanjutnya pasien meminum the manis,

namun beberapa jam kemudian pasien merasa lemas lagi. Pasien

memiliki riwayat DM sejak 13 tahun yang lalu. Awalnya pasien

mengalami luka yang cukup dalam dan lebar pada punggung yang

tidak kunjung sembuh hingga sekitar 4 bulan. Kemudian pasien

berobat dan didiagnosis menderita DM. Pasien tidak rutin kontrol,

hanya jika ada keluhan pasien berobat ke puskesmas atau mantri. Pada

tahun 2009 pasien mengkonsumsi jamu serbuk racikan atas saran dari

kerabatnya untuk mengobati sakit DMnya. Pasien mengkonsumsi

jamu tersebut secara rutin sampai kurang lebih 2 tahun dan hingga

muncul gejala nyeri pinggang yang terus menerus, sesek ketika

banyak minum air putih, mudah capek, dan tensinya tinggi. Kemudian

pada tahun 2011 pasien berobat ke puskesmas dan didagnosis sakit

ginjal. Selama 3 bulan terakhir pasien menjalani hemodialisa di

RSUD dr. Hardjono Ponorogo secara rutin setiap 2 kali dalam

seminggu. Pada tanggal 16 September 2013 (4 hari SMRS) pasien

pulang dari ICCU RSUD dr. Hardjono Ponorogo karena sakit jantung.

Pasien merasa sering berdebar dan didagnosis sakit jantung sejak 7

bulan yang lalu. Sekitar 4 bulan yang lalu pasien mengalami koma dan

sering kejang, lamanya kejang sekitar 1 menit, tidak sadar, dan keluar

busa dari mulut pasien. Namun, intensitas kejangnya berkurang dan

sudah tidak mengeluarkan busa lagi dari mulut setelah pasien

menjalani hemodialisa. Selain itu pasien mengeluh mual (+), muntah

(+), kaki terasa tebal dan gringgingen, nyeri ketika BAK, kesulitan

BAB (5 hari baru BAB).

4. Riwayat Penyakit Dahulu

a. Riwayat hipertensi : diakui (2 tahun)

b. Riwayat maag : disangkal

c. Riwayat sakit jantung : diakui (7 bulan)

d. Riwayat diabetes mellitus : diakui (13 tahun)

e. Riwayat asma : disangkal

f. Riwayat sakit ginjal : diakui (2 tahun)

g. Riwayat sakit hepar : disangkal

h. Riwayat alergi : disangkal

i. Riwayat opname : diakui

5. Riwayat Pribadi

a. Riwayat merokok : disangkal

b. Konsumsi minum kopi : disangkal

c. Konsumsi konsumsi alkohol : disangkal

d. Konsumsi obat : disangkal

e. Konsumsi jamu : didapatkan (jamu serbuk racikan)

f. Konsumsi minuman energi : disangkal

6. Riwayat Keluarga

a. Riwayat hipertensi : disangkal

b. Riwayat sakit jantung : disangkal

c. Riwayat stroke : disangkal

d. Riwayat diabetes mellitus : disangkal

e. Riwayat asma : disangkal

f. Riwayat atopi : disangkal

g. Riwayat sakit serupa : disangkal

7. Riwayat sosial ekonomi dan gizi

Pasien adalah ibu rumah tangga. Suami bekerja sebagai petani,

pendapatannya cukup untuk makan dan keperluan sehari-hari

keluarganya. Pasien berobat dengan fasilitas Jamkesmas.

B. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum : Baik

a. Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6)

b. Vital signs :

Tekanan darah : 160/80 mmHg (berbaring, lengan kanan).

Nadi : 80 x/ menit, isi & tegangan cukup, irama

reguler.

Respiratory rate : 24 x/ menit, tipe thoracoabdominal

Suhu : 36º C per aksiler

2. Pemeriksaan fisik :

a. Kulit

Ikterik (-), petechiae (-), purpura (-), ekimosis (-), acne (-), turgor

kulit menurun (-), hiperpigmentasi (-), bekas garukan (-), kulit

kering (-), kulit hiperemis (-), sikatrik bekas operasi (-).

b. Kepala

Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok (-), luka

(-).

c. Mata

Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), exoftalmus (-/-),

perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter

(3/3) mm, reflek cahaya (+/+) normal, oedem palpebra (-/-),

nistagmus (-/-).

d. Hidung

Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).

e. Telinga

Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-), tinitus (-/-).

f. Mulut

Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), pucat (-),

lidah tifoid (-), papil lidah atropi (-), luka pada sudut bibir (-).

g. Leher

JVP R+0 cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran tiroid (-),

nyeri tekan (-), pembesaran kelenjar getah bening (-).

h. Thorax

1) Pulmo

a) Inspeksi : Kelainan bentuk (-), simetris, tidak ada

ketinggalan gerak kedua sisi paru, retraksi otot-otot nafas

tidak ditemukan, spider nevi (-).

b) Palpasi :

Ketinggalan gerak:

Anterior : Posterior :

Fremitus:

Anterior : Posterior :

Perkusi

Anterior : Posterior :

Auskultasi

Anterior : Posterior :

Suara tambahan : wheezing (-/-), rhonki(-/-)

2) Jantung

- -

- -

- -

- -

- -

- -

N N

N N

N N

N N

N N

N N

S S

S S

S S

S S

S S

S S

V V

V V

V V

V V

V V

V V

a) Inspeksi: Ictus cordis tampak

b) Palpasi: Ictus cordis tidak kuat angkat

c) Perkusi

- Batas kiri jantung :

Atas: SIC III sinistra di linea parasternalis sinistra

Bawah: SIC V sinistra 1 cm lateral linea

midclavicula sinistra

- Batas kanan jantung

Atas: SIC III dextra di sisi lateral linea

parasternalis dextra

Bawah: SIC IV dextra di sisi lateral linea

parasternalis dextra

d) Auskultasi: Bunyi jantung I-II reguler, intensitas S1

sama dengan S2, bising jantung (-), suara tambahan S3-

S4 gallop (-)

i. Abdomen

a) Inspeksi: dinding perut lebih tinggi dari dinding dada,

distended (-), caput medusae (-). venektasi (-).

b) Auskultasi: peristaltik (N), metallic sound (-).

c) Perkusi: pekak beralih (+), tes undulasi (-).

d) Palpasi: nyeri tekan (-), lien tidak teraba, hepar tidak teraba,

ren tidak teraba.

j. Pinggang

Nyeri ketok costovertebra (+/-).

k. Ekstremitas

1) Ekstremitas superior

Akral hangat, edema (-/-), clubbing finger (-), pitting edema

(-), palmar eritem (-/-).

2) Ekstremitas inferior

Akral hangat, clubbing finger (-), pitting edema (-/-),

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium

l. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap tanggal 20 September

2013:

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Interpretasi

WBC 6,7 x 103 uL 4,0-10,0 N

Lymph # 2,2 x 103 uL 0,8-4,0 N

Mid 0,3 x 103 uL 0,1-4,0 N

Gran # 4,2 x 103 uL 2,0-7,0 N

Lymph % 32,4 % 20,0-40,0 N

Mid 4,8 % 3,0-15,0 N

Gran % 62,8 % 50,0-70,0 N

HGB 10,4 g/dl 11,0-16,0

RBC 3,61 x 106 uL 3,5-5,5 N

HCT 32,7 % 37,0-54,0

MCV 90,8 Fl 80-100 N

MCH 28,8 pg 27,0-34,0 N

MCHC 31,8 g/dl 32,0-36,0

RDW-CV 14,8 % 11,0-16,0 N

RDW-SD 50,8 Fl 35,0-56,0 N

PLT 237 x 103 Ul 100-300 N

MPV 6,6 Fl 6,5-12,0 N

PDW 16,2 mg/dl 9-17 N

PCT 0,156 mg/dl 0,108-0,282 N

2. Pemeriksaan laboratorium kimia darah tanggal 20 September 2013:

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Interpretasi

GDA 104 mg/dl < 140 N (↓)

DBIL 0,15 mg/dl 0-0,35 N

TBIL 0,46 mg/dl 0,2-1,2 N

SGOT 25 u/L 0-38 N

SGPT 13,2 u/L 0-40 N

ALP 180 u/L 98-279 N

GAMA GT 30,7 u/L 10-54 N

TP 9,5 g/dl 6,6-8,3 ↑

ALB 4,8 g/dl 3,5-5,5 N

Glob 4,7 g/dl 2-3,9 ↑

UREA 72,68 g/dl 10-50 ↑

CREAT 4,9 mg/dl 0,7-1,4 ↑

UA 4,4 mg/dl 3,4-7 N

CHOL 271 mg/dl 140-200 ↑

TG 127 mg/dl 36-165 N

HDL 55 mg/dl 35-150 N

LDL 191 mg/dl 0-190 ↑

3. Hasil pemeriksaan EKG

Kesimpulan hasil EKG :

Irama: Sinus bradikardi

HR: 44x/menit

Axis: Normal, Lead I (+), AVF (+)

Zona transisi: V3-V4

Kesan EKG: sinus bradikardi

D. RESUME/ DAFTAR MASALAH

1. Anamnesis

a. Lemas sejak 1 hari SMRS

b. Sesak ketika minum banyak air putih

c. Nyeri pinggang

d. Riwayat koma dan kejang 4 bulan yang lalu

e. Kejang ±1menit, tidak sadar, frekuensi 1-10x per hari

f. Mual (+), muntah (+)

g. Kaki gringgingen dan terasa tebal

h. Riwayat konsumsi jamu serbuk racikan 3 tahun yang lalu selama 2

tahun

i. Riwayat DM sejak 13 tahun yang lalu. Tidak rutin kontrol, hanya

sesekali berobat ke mantri atau puskesmas jika ada keluhan

j. Riwayat sakit ginjal sejak 2 tahun yang lalu

2. Pemeriksaan Fisik

Mata:

a) Konjungtiva anemis (+/+)

b) Nistagmus (-/-)

Telinga:

Tinitus (-/-)

Pinggang :

Nyeri ketok kostovertebrae (+/-)

3. Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Interpretasi

GDA 104 mg/dl < 140 N (↓)

TP 9,5 g/dl 6,6-8,3 ↑

Glob 4,7 g/dl 2-3,9 ↑

UREA 72,68 g/dl 10-50 ↑

CREAT 4,9 mg/dl 0,7-1,4 ↑

CHOL 271 mg/dl 140-200 ↑

LDL 191 mg/dl 0-190 ↑

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Interpretasi

HGB 10,4 g/dl 11,0-16,0

HCT 32,7 % 37,0-54,0

MCHC 31,8 g/dl 32,0-36,0

LFG

= (140-umur) x berat badan x 0.85

72 x kreatinin serum

= (140-4 4 ) x 5 4 x 0.85 = 12,5

72 x 4,9

E. ASSESMENT/ DIAGNOSIS KERJA

Hipoglikemia, DM Tipe 2, Neuropati Diabetik, Nefropati Diabetik Stage

V, Dislipidemia.

F. POMR (Problem Oriented Medical Record)

Daftar Masalah Problem Assesment

Planning

Diagnosi

s

Terapi Monitori

ng

1. Lemas sejak 1

hari SMRS, sulit

bicara, keringat

dingin, gemetar,

pingsan

kemudian sadar

ketika sampai di

IGD. Riwayat

mengkonsumsi

glibenklamid

setelah HD.

Riwayat DM

sejak 13 tahun

yll.

GDA: 104 mg/dl

Reaksi

hipoglikemi

Diabetes

Mellitus Tipe 2

Neuropati

HbA1c

EKG

Foto Thorax

-Infus NaCl 0,9% 20 tpm

- Inj. Dextrose 40% 50cc bolus iv

- Klinis

(vital

sign,

KU,

kesadara

n)

- GDA

2. Kaki terasa

tebal dan

gringgingen

3. Sesak ketika

banyak minum

air putih, nyeri

pinggang.

Riwayat minum

jamu racikan 3

tahun yll selama

2 tahun. Nyeri

ketok

costovertebra

(+/-)

Urea: 72,68

Creat: 4,9

LFG: 12,5

Shifting dullness

(+)

Hb: 10,4

HCT: 32,7

MCHC: 31,8

4. Kejang ±1menit,

tidak sadar,

keluar busa dari

mulut,frekuensi

kejang 1-10x dlm

sehari. Riwayat

koma (+) 4 bln

Parestesia

Gangguan fungsi ginjal

Asites

Anemia normositik hipokromik

Sindrom uremik

diabetik

Nefropati

Diabetik Stage

V- USG urologi

- UL

- Cek elektrolit

-TIBC, SI, Blood Smear

Cek elektrolit

Analisa gas darah

EEG

-Mecobalamin caps 3x500mg

-Infus NaCl 0,9% 20tpm

-Furosemid 1-0-0

-Drip Meylon 2 flash

-Hemodialisis

-Diazepam 1x10mg iv

-Inj. Ondansetron 1x1 amp

-Hemodialisis

-

Klinis

Klinis

Vital Sign

Urine Lengkap

Elektrolit

Klinis

yll. Mual (+),

muntah (+).

5. Chol: 271 mg/dl

LDL: 191 mg/dl

6. TD: 160/80

mmHg

HR: 44x/menit

Hiperkolesterolemia

Hipertensi

Bradikardi

Dislipidemia

Hipertensi stage 2

--

-Simvastatin 10 mg 0-0-1

-Inj. Furosemid 3x1 amp

-Captopril 3x12,5 mg

-Amlodipin 1x10mg

Profil

lipid

Klinis

G. FOLLOW UP

Tanggal Keluhan Vital sign TerapiPasien berada di bangsal mawar22-9-13 S= mual, muntah 2x pasca HD,

nggliyeng, nggreges, sesek, kejang 2x (malam & subuh), gelisah & tdk bisa tidurO= abdomen: shifting dullness (+)A= dyspepsia, asites, hipertensi, DM, CKD stage 5

TD 160/100N 84S 36RR 18

Infus PZ 12 tpm Inj Ranitidin 2x1 ampulInj Metoclopramid 3x1ampFurosemid ½-0-0Captopril 3x25 mg

23-9-13 S= Kejang 1x pd malam hari, stiap kejang tdk sadar, kedua kaki terasa beratO= GDA: 210 mg/dlA= Konvulsi, DM tipe 2, CKD stage 5, HT

TD 180/90N 88S 36,2Rr 16

Infus PZ 12 tpm + meylon dripInj ranitidin 2x1 ampulInj sotatic 3x1 ampCaptopril 3x25 mgGDA pagi

25-9-13 S : sesek kemarin malam, kejang > 10xO : GDA: 180 mg/dlA : CKD stage 5, sindrom uremia

TD 180/80N 72S 36,5RR 40

Pindah ICCUO2 3literInj. Farsix 3x1 ampInj. Ranitidin 2x1 ampInfus PZ 12 tpm + 1flash meylon

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.I. DIABETES MELITUS

II.I.I Definisi

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu sindrom klinik yang khas

ditandai oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defisiensi atau

penurunan efektifitas insulin. Gangguan metabolik ini mempengaruhi

metabolisme dari karbohidrat, protein, lemak, air dan elektrolit. Gangguan

metabolisme tergantung pada adanya kehilangan aktivitas insulin dalam

tubuh dan pada banyak kasus, akhirnya menimbulkan kerusakan selular,

khususnya sel endotelial vaskular pada mata, ginjal dan susunan saraf

(Sudoyo Aru, 2006).

Menurut American Diabetes Association (ADA) diabetes melitus

adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh kadar

glukosa darah melebihi nilai normal (hiperglikemia) dengan diagnosa

kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dl atau kadar gula darah puasa > 126

mg/dl, yang terjadi oleh karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

keduanya. Glukosa secara normal bersikulasi dalam jumlah tertentu dalam

darah. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi. Insulin

adalah suatu hormon yang diproduksi oleh pankreas, mengendalikan kadar

kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan

penyimpanannya. Pada penderita diabetes kemampuan tubuh untuk

bereaksi terhadap insulin dapat menurunkan atau pankreas dapat

menghentikan sama sekali produksi insulin. Oleh karena itu terjadi

gangguan jumlah insulin sehingga pengaturan kadar glukosa darah

menjadi tidak stabil (Sudoyo Aru, 2006).

II.I.II ETIOLOGI

Diabetes Melitus (DM) tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent

Diabetes Mellitus (NIDDM) disebabkan karena kegagalan relatif sel β dan

resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin

untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk

menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mengimbangi

resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin.

Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada

rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan

perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami

desensitisasi terhadap glukosa (Gustaviani, 2007).

Pada awalnya resistensi insulin belum menyebabkan klinis

Diabetes Melitus (DM). Sel β pankreas masih dapat mengkompensasi,

sehingga terjadi hiperinsulinemia, kadar glukosa darah masih normal atau

baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi kelelahan sel β pankreas,

baru terjadi diabetes melitus klinis, yang ditandai dengan adanya kadar

glukosa darah yang meningkat, memenuhi kriteria diagnosis diabetes

melitus (Gustaviani, 2007).

II.I.III. KLASIFIKASI

Secara umum, diabetes melitus dibagi menjadi 3 macam, yaitu :

a. Diabetes Mellitus yang tergantung pada insulin (IDDM atau DM Tipe-

1).

Kebanyakan diabetes tipe-1 adalah anak-anak dan remaja yang

pada umumnya tidak gemuk. Setelah penyakitnya diketahui mereka

harus langsung memakai insulin. Pankreas sangat sedikit atau bahkan

sama sekali tidak menghasilkan insulin. Diabetes melitus tipe-1

dicirikan dengan hilangnya sel beta penghasil insulin pada

Langerhans pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh.

Sampai saat ini, diabetes tipe-1 tidak dapat dicegah. Diet dan olahraga

tidak bisa menyembuhkan ataupun mencegah diabetes tipe-1.

Kebanyakan penderita diabetes tipe-1 memiliki kesehatan dan berat

badan yang baik saat penyakit ini mulai diderita. Selain itu,

sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal

pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal. Penyebab

terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe-1 adalah reaksi

autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi

autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.

Saat ini diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan

insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah

melalui alat monitor pengujian darah.

b. Diabetes Mellitus Tipe-2 atau Tidak Tergantung Insulin (NIDDM)

Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena kombinasi dari kecacatan

dalam produksi insulin dan resistensi terhadap insulin atau

berkurangnya sensitifitas terhadap insulin yang melibatkan reseptor

insulin di membran sel. Pada tahap awal abnormalitas yang paling

utama adalah berkurangnya sensitivitas terhadap insulin, yang ditandai

dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Pada tahap ini,

hiperglikemia dapat diatasi dengan berbagai cara dan obat anti diabetes

yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi

produksi gula dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi

insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang

dibutuhkan. Diabetes tipe kedua ini disebabkan oleh kurang sensitifnya

jaringan tubuh terhadap insulin. Pankreas tetap menghasilkan insulin,

kadang kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh membentuk

kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin

relative (Sudoyo, 2006).

DM Tipe-2 biasanya terjadi pada usia > 40 tahun. Penderita DM

Tipe-2 lebih sering dijumpai dari pada DM Tipe-1, proporsinya

mencapai 90% dari seluruh kasus diabetes. Pasien-pasien yang

termasuk dalam kelompok DM Tipe-2 biasanya memiliki berat badan

yang berlebih dan memiliki riwayat adanya anggota keluarga yang

menderita DM, 25% dari pasien DM Tipe-2 mempunyai riwayat

adanya anggota keluarga yang menderita DM (Sudoyo, 2006).

c. Diabetes Melitus Gestasional (Diabetes Kehamilan)

Diabetes melitus gestasional melibatkan suatu kombinasi dari

kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin yang tidak cukup,

yang meniru DM Tipe-2. Jenis diabetes ini terjadi selama kehamilan

dan bisa juga meningkat atau lenyap. Meskipun kejadiannya

sementara, namun diabetes jenis ini bisa merusak kesehatan janin dan

ibu. Gestasional Diabetes Mellitus (GDM) terjadi sekitar 2-5 % dari

semua kehamilan. Diabetes ini sifatnya sementara dan harus ditangani

dengan baik, karena jika tidak, bisa menyebabkan masalah dalam

kehamilan seperti makrosomia, cacat janin, penyakit jantung sejak

lahir, gangguan pada sistem saraf pusat, dan juga cacat otot (Sudoyo,

2006).

Menurut ADA tahun 2009, DM diklasifikasikan menjadi

I. DM tipe 1: destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi

insulin absolut.

a. Melalui proses imunologik

b. Idiopatik

II. DM tipe 2: bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin

disertai defisiensi insulin relative sampai yang predominan

gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin.

III. DM tipe lain:

a.Defek Genetik fungsi sel beta

b.Defek genetik kerja insulin

c.Penyakit Eksokrin Pankreas

d.Endokrinopati

e. Karena Obat atau Zat Kimia

f.Infeksi

g.Imunologi

h.Sindroma genetik lain

IV. DM Gestasional

II.I.IV. PATOFISIOLOGI

Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan

mengganti sel yang rusak. Di samping itu tubuh juga memerlukan energi

supaya sel tubuh berfungsi dengan baik. Energi pada ”mesin” tubuh

manusia berasal dari bahan makanan yang dimakan sehari-hari, yang

terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak (Suyono, 2007).

Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan harus

masuk dulu ke dalam sel untuk dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan

terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang rumit, yang hasil

akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme. Dalam

proses metabolisme itu insulin memegang peranan yang sangat penting

yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat

digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau hormon

yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas (Suyono, 2007).

Diabetes Melitus (DM) tipe 1 disebabkan adanya reaksi otoimun

yang disebabkan oleh peradangan pada sel beta. Ini menyebabkan

timbulnya antibodi terhadap sel beta yang disebut Islet Cell Antibody

HATI SEL

PANKREAS

(ICA). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA) menyebabkan

hancurnya sel beta (Suyono, 2007).

Pada Diabetes Melitus (DM) tipe 2 jumlah insulin normal, malah

mungkin lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada

permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai

lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang

kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak,

tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang

masuk akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa)

dan glukosa dalam pembuluh darah meningkat. Keadaan ini disebut

sebagai resistensi insulin (Gustaviani, 2007).

Penyebab resistensi insulin pada NIDDM sebenarnya tidak begitu

jelas tetapi faktor-faktor di bahwa ini banyak berperan :

Obesitas terutama yang berbentuk sentral

Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat

Kurang gerak badan

Faktor keturunan (herediter)

Glukosa

(Produksi Glukosa Meningkat)

(Sekresi Insulin Berkurang, Resistensi Insulin)

Skema 1. Patofisiologi Diabetes Melitus

II.I.V. MANIFESTASI KLINIS

Tanda awal yang dapat diketahui bahwa seseorang menderita DM

atau kencing manis yaitu dilihat langsung dari efek peningkatan kadar gula

darah, dimana peningkatan kadar gula dalam darah mencapai nilai 160 -

180 mg/dL dan air seni (urine) penderita kencing manis yang mengandung

gula (glukosa), sehingga urine sering dilebung atau dikerubuti semut

(Mirza, 2008). Penderita kencing manis umumnya menampakkan tanda

dan gejala dibawah ini meskipun tidak semua dialami oleh penderita :

1. Jumlah urine yang dikeluarkan lebih banyak (Polyuria)

2. Sering atau cepat merasa haus/dahaga (Polydipsia)

3. Lapar yang berlebihan atau makan banyak (Polyphagia)

4. Frekwensi urine meningkat/kencing terus (Glycosuria)

5. Kehilangan berat badan yang tidak jelas sebabnya

6. Kesemutan/mati rasa pada ujung syaraf ditelapak tangan & kaki

7. Cepat lelah dan lemah setiap waktu

8. Mengalami rabun penglihatan secara tiba-tiba

9. Apabila luka/tergores (korengan) lambat penyembuhannya

10. Mudah terkena infeksi terutama pada kulit.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit diabetes melitus terdiri dari:

1. Faktor resiko yang tidak dapat dirubah

a. Genetik

Diabetes melitus dapat menurun menurut silsilah keluarga

yang mengidap penyakit diabetes melitus, yang disebabkan oleh

karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuh tidak dapat

menghasilkan insulin dengan baik. Individu yang mempunyai

riwayat keluarga penderita diabetes melitus memiliki resiko empat

kali lebih besar jika dibandingkan dengan keluarga yang sehat.

Jika kedua orang tuanya menderita diabetes melitus, insiden

pada anak-anaknya akan meningkat, tergantung pada umur berapa

orang tuanya mendapat diabetes melitus. Resiko terbesar bagi

anak-anak untuk mengalami diabetes melitus terjadi jika salah satu

atau kedua orang tua mengalami penyakit ini sebelum 40 tahun.

Walaupun demikian, tidak lebih dari 25 % dari anak-anak mereka

akan menderita penyakit diabetes melitus dan gambaran ini lebih

rendah pada anak-anak dari orang tua dengan diabetes melitus yang

timbulnya lebih lanjut.

b. Umur

Bertambahnya usia mengakibatkan mundurnya fungsi alat

tubuh sehingga menyebabkan gangguan fungsi pankreas dan kerja

dari insulin.

c. Ras atau latar belakang etnis

Resiko Diabetes Melitus Tipe II lebih besar pada hispanik,

kulit hitam, penduduk asli Amerika dan orang Asia.

2. Faktor resiko yang dapat dirubah

a. Kehamilan

Diabetes melitus yang terjadi pada saat kehamilan disebut

Diabetes Melitus Gestasional (DMG). Hal ini disebabkan oleh

karena adanya gangguan toleransi insulin. Pada waktu kehamilan

tubuh banyak memproduksi hormon estrogen, progesteron,

gonadotropin, dan kortikosteroid, dimana hormon tersebut

memiliki fungsi yang antagonis dengan insulin. Untuk itu tubuh

memerlukan jumlah insulin yang lebih banyak. Oleh sebab itu,

setiap kehamilan bisa menyebabkan munculnya diabetes melitus.

Jika seorang wanita memiliki riwayat keluarga penderita diabetes

melitus, maka ia akan mengalami kemungkinan lebih besar untuk

menderita Diabetes Melitus Gestasional (Soegondo, 2006).

b. Pola Makan dan Obesitas

Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pergeseran

pola makan di masyarakat, seperti pola makan di berbagai daerah

pun berubah dari pola makan tradisional ke pola makan modren.

Hal ini dapat terlihat jelas dengan semakin banyaknya orang

mengkonsumsi makanan cepat saji (fast food) dan berlemak.

Kelebihan mengkonsumsi lemak, maka lemak tersebut akan

tersimpan dalam tubuh dalam bentuk jaringan lemak yang dapat

menimbulkan kenaikan berat badan (obesitas). Kelebihan berat

badan atu obesitas merupakan faktor resiko dari beberapa penyakit

degeneratif dan metabolik termasuk diabetes melitus. Pada

individu yang obesitas banyak diketahui terjadinya retensi insulin.

Akibat dari retensi insulin adalah diproduksinya insulin secara

berlebihan eleh sel beta pankreas, sehingga insulin didalam darah

menjadi berlebihan (hiperinsulinemia). Hal ini akan meningkatkan

tekanan darah dengan cara menahan pengeluaran natrium oleh

ginjal dan meningkatkan kadar plasma norepineprin (Soegondo,

2006).

c. Kurangnya Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik seperti pergerakan badan atau olah raga yang

dilakukan secara teratur adalah usaha yang dapat dilakukan untuk

menghindari kegemukan dan obesitas. Pada saat tubuh melakukan

aktivitas atau gerakan maka sejumlah gula akan dibakar untuk

dijadikan tenaga, sehingga jumlah gula dalam tubuh akan

berkurang sehingga kebutuhan hormon insulin juga berkurang.

Dengan demikian, untuk menghindari timbulnya penyakit diabetes

melitus karena kadar gula darah yang meningkat akibat konsumsi

makanan yang berlebihan dapat diimbangi dengan aktifitas fisik

yang seimbang, misalnya dengan melakukan senam, jalan jogging,

berenang dan bersepeda. Kegiatan tersebut apabila dilakukan

secara teratur dapat menurunkan resiko terkena penyakit diabetes

melitus, sehingga kadar gula darah dapat normal kembali dan cara

kerja insulin tidak terganggu .

II.I.VI. DIAGNOSIS

Diagnosa DM harus didasarkan oleh pemeriksaan konsentrasi

glukosa darah, gejala khas DM , yaitu poliuria, polidipsia, polifagia dan

berat badan menurun tanpa sebab yang jelas. Sedangkan gejala tidak khas

DM diantaranya lemes, kesemutan luka yang sulit sembuh, gatal, mata

kabur, disfungsi ereksi dan pruritus vulva, apabila ditemukan gejala khas

DM ditambah pemeriksaan gula darah abnormal satu kali saja sudah cukup

untuk menegakkan diagnosis. Namun apabila tidak ditemukan gejala khas

DM, maka diperlukan pemeriksaan ulang gula darah abnormal.

Kriteria Diagnosis DM (Konsensus PERKENI 2002), dinyatakan

DM apabila terdapat:

1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl, plus

gejala klasik: poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan yang

tidak jelas sebabnya.

2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl, atau

3. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah makan atau

beban glukosa 75 gram pada TTGO. Cara diagnosis dengan kriteria

ini tidak dipakai rutin di klinik. Untuk penelitian epidemiologis

pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnosis kadar

glukosa darah puasa. Untuk DM Gestasional juga dianjurkan

kriteria diagnosis yang sama.

Ketiga kriteria diagnosis tersebut harus dikonfirmasi ulang pada

hari yang lain atau esok harinya, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia

yang jelas tinggi dengan dekompensasi metabolic akut, seperti

ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat.

Skema 2. Langkah-langkah Diagnosis DM dan gangguan toleransi

glukosa

Cara pelaksanaan TTGO (Gustaviani, 2007)

1. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-

hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan

jasmani seperti Biasa

2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum

pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan

3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa

4. Diberikan glukosa 75 g (orang dewasa), Atau 1,75 g/Kg BB (anak-

anak), dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam waktu 5

menit

5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk

pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai

6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa

7. Selama proses pemeriksaan, subyek yang diperiksa tetap istirahat

dan tidak merokok.

II.I.VII. PENATALAKSANAAN

Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus (PERKENI, 2006)

1. Edukasi

Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman

tentang :

- Perjalanan penyakit DM

- Makna dan perlunya pengendalian dan

pemantauan DM

- Penyulit DM dan risikonya

- Intervensi farmakologis dan non-

farmakologis serta target perawatan

-Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat

hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain

-Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa

darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah

mandiri tidak tersedia)

-Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau

hipoglikemia

-Pentingnya latihan jasmani yang teratur

-Masalah khusus yang dihadapi ( missal : hiperglikemia pada

kehamilan)

-Pentingnya perawatan diri

-Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

2. Terapi gizi medis (TGM)

- Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM

sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai target terapi

- Prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir sama dengan

anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu

makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan

zat gizi masing-masing individu. Pada diabetes perlu ditekankan

pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan

jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat

penurun glukosa darah atau insulin (Soegondo, 2007).

3. Latihan jasmani

Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu

selama + 30 menit yang sifatnya CRIPE ( Continous Rhytmical

Interval Progressive Endurace training ).

Continous

Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-

menerus tanpa henti. Contoh : bila dipilih jogging 30 menit, maka

selama 30 menit pasien melakukan jogging tanpa istirahat.

Rytmical

Latihan olah raga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-

otot berkontraksi dan berelaksasi secara teratur.

Interval

Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan

lambat. Contoh : jalan cepat diselingi dengan jalan lambat, dsb.

Progressive

Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari

intensitas ringan sampai hingga mencapai 30-60 menit.

Sasaran Heart Rate = 75-85 % dari Maksimum

Heart Rate

Maksimum Heart Rate = 220-umur

Endurance

Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan

kardiorespirasi, seperti jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur),

jogging, berenang dan bersepeda.

4. Terapi Farmakologis

Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa

darah belum tercapai dengan TGM dan latihan jasmani (Soegondo,

2007).

1. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan :

a. Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea

dan glinid

b. Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin,

tiazolidindion

c. Penghambat glukoneogenesis : metformin

d. Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase α

Cara pemberian OHO terdiri dari (PERKENI, 2006) :

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara

bertahap sesuai respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai

dosis hampir maksimal.

Sulfonilurea generasi I & II : 15 – 30 menit sebelum makan

Glimepiride : sebelum / sesaat sebelum makan

Repaglinid, Nateglinid : sebelum / sesaat sebelum makan

Metformin : sebelum / pada saat / sesudah

makan karbohidrat

Acarbose : bersama suapan pertama makan

Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal

makan

Tabel 1. Obat Hipoglikemik Oral di Indonesia

Golongan Generik Mg

Tab

Dosis

Haria

n

Lama

Kerja

Frek/

hari

Waktu

Sulfonilurea

Klorpropamid 100-

250

100-

500

24-36 1

Sebelum

makan

Glibenklamid 2,5 – 5 2,5 -

15

12-24 1-2

Glipizid 5 – 10 5 – 2 10-16 1-2

Glikuidon 30 30 -

120

6 – 8 2-3

Glimepirid 1,2,3,4 0,5-6 24 1

Glinid Repaglinid 0,5,1,2 1,5-6 - 3

Nateglinid 120 360 -

Tiazolidindion Rosiglitazon 4 4-8 24 1 Tidak

bergantung

jadwal

makan

Pioglitazon 15,30 15 -

45

24 1

Penghambat

glukosidase α

Biguanid

Acarbose

Metformin

50-100

500-

850

100-

300

250-

3000

6-8

3

1-3

Bersama

suapan

pertama

Bersama/

sesudah

makan

II. I. VIII. KOMPLIKASI

Komplikasi DM adalah semua penyulit yang timbul sebagai akibat

dari DM, baik sistemik, organ ataupun jaringan tubuh lainnya. Proses

glikosilasi (pengaruh glukosa pada semua jaringan yang mengandung

protein) sangat berpengaruh pada timbulnya komplikasi kronis ini.

Advanced Glycosylated Endproduct (AGE) diduga yang

bertanggungjawab atas timbulnya komplikasi kronis, karena AGE inilah

yang merusak jaringan tubuh terutama yang mengandung protein, dan juga

menyebabkan disfungsi endotel dan disfungsi makrofag.

1. Komplikasi akut

a. Hipoglikemia

b. Koma Lakto-Asidosis

c. Ketoasidosis Diabetik-Koma Diabetik

d. Koma Hiperosmoler Non-Ketotik (K. HONK)

2. Komplikasi kronis

Komplikasi kronis, pada rambut, telinga, mata, mulut, jantung, paru,

tractus urogenitalis, kaki, saraf, kulit (dari rambut sampai ujung kaki)

(Tjokropawiro et al, 2007).

II. II. HIPOGLIKEMIA

II. II. I. DEFINISI

Hipoglikemia merupakan kumpulan gejala klinis yang disebabkan

konsentrasi glukosa darah yang rendah. Hipoglikemia secara harafiah

berarti konsentrasi glukosa darah dibawah harga normal. Batas konsentrasi

glukosa darah untuk mendiagnosis hipoglikemia tidak sama untuk setiap

orang. Sehingga untuk mendiagnosis hipoglikemia kita menggunakan

Triad Whipple, yang terdiri dari gejala-gejala hipoglikemia (tabel 1),

konsentrasi glukosa plasma yang rendah, dan hilangnya gejala

hipoglikemia setelah konsentrasi glukosa plasma meningkat (Tomky,

2005).

Tabel 1. Tanda dan gejala umum hipoglikemia

Gejala adrenergic Tanda neuroglikopenik

Pucat

Keringat dingin

Takikardi

Gemetaran

Lapar

Cemas

Gelisah

Sakit kepala

Mengantuk

Bingung

Bicara tidak jelas

Perubahan sikap perilaku

Lemah yang berat

Disorientasi

Penurunan kesadaran

Kejang

Mata sembab

Penurunan respons terhadap stimulus

berbahaya

II. II. II. KLASIFIKASI

Hipoglikemia dibagi menjadi hipoglikemia ringan, sedang, dan

berat (Setyohadi et al, 2012).

Tabel 2. Klasifikasi Hipoglikemia

Klasifikasi Tanda dan gejala

Ringan

Sedang

Berat

Simptomatik, dapat diatasi sendiri,

tidak ada gangguan aktivitas sehari-

hari yang nyata.

Simptomatik, dapat diatasi sendiri,

menimbulkan gangguan aktivitas

sehari-hari yang nyata.

Sering (tidak selalu) simptomatik,

karena gangguan kognitif pasien tidak

dapat mengatasi sendiri.

Membutuhkan pihak ketiga tetapi

tidak memerlukan terapi parenteral.

Membutuhkan terapi parenteral

(glukagen, intramuscular atau

glucagon intravena).

Disertai dengan koma atau kejang.

Batasan hipoglikemia menurut Tjokropawiro et al (2007):

1. Hipoglikemia = Hipoglikemia Murni = True Hypoglycemia: gejala

hipoglikemia apabila glukosa darah kurang dari 60 mg/dl.

2. Reaksi Hipoglikemia = Hypoglycemic Reaction: gejala hipoglikemia

apabila glukosa darah turun mendadak, misalnya dari 400 mg/dl ¿ 150

mg/dl, meskipun glukosa darah masih ¿ 100 mg/dl.

3. Koma Hipoglikemik: koma akibat glukosa darah turun sampai

dibawah 30 mg/dl.

4. Hipoglikemia Reaktif = Reactive Hypoglycemia: gejala hipoglikemia

yang terjadi 3-5 jam sesudah makan. Biasanya pada anggota keluarga

DM atau orang yang mempunyai bakat DM.

II. II. III. ETIOLOGI

Hipoglikemia umum terjadi pada pasien DM yang sedang

mengkonsumsi obat anti diabetes (OAD) atau insulin. Selain itu,

hipoglikemia juga disebabkan oleh beberapa penyakit seperti insulinoma,

penyakit kritis disertai gagal organ, sepsis, defisiensi hormone, penyakit

metabolic turunan dan operasi prior gastric (Setyohadi et al, 2012).

Tabel 3. Etiologi hipoglikemia dibagi berdasarkan penyebab hipoglikemia

puasa dan hipoglikemia reaktif

Hipoglikemia puasa (pasca absorbs)

Obat-obatan

Paling sering: insulin, sulfonylurea, etanol

Kadang-kadang: golongan quinine, pentamidine

Jarang: salisilat, sulfonamide, dan lain-lain

Keadaan sakit berat

Gagal hati, ginjal, atau jantung

Sepsis

Koma

Defisiensi hormone

Kortisol, growth hormone, atau keduanya

Glucagon dan epinefrin (pada diabetes dengan defisiensi insulin)

Tumor non sel-β

Hiperinsulin endogen

Insulinoma

Penyakit sel β lainnya

Insulin secretagogue (sulfonylurea dan lainnya)

Autoimun (autoantibody pada insulin atau pada insulin reseptor)

Sekresi insulin ektopik

Penyakit pada neonates dan balita

Transient intolerance of fasting

Hiperinsulin congenital

Defisiensi enzim turunan

Hipoglikemia reaktif (postprandial)

Alimentary (postgatrektomi)

Noninsulinoma pancreatogenous hypoglycemia syndrome

Tanpa riwayat operasi sebelumnya

Setelah operasi Roux-en-Y-gastric bypass

Penyebab lain dari hiperinsulin endogen

Intoleransi fruktosa bawaan, galaktosemia

Idiopatik

II. II. IV. PATOFISIOLOGI

Glukosa merupakan bahan bakar metabolism yang utama untuk

otak. Selain itu otak tidak dapat mensintesis glukosa dan hanya

menyimpan cadangan glukosa (dalam bentuk glikogen) dalam jumlah yang

sangat sedikit. Oleh karena itu, fungsi otak yang normal sangat tergantung

pada konsentrasi asupan glukosa dari sirkulasi. Gangguan pasokan glukosa

yang berlangsung lebih dari beberapa menit dapat menimbulkan disfungsi

sistem saraf pusat, gangguan kognisi dan koma (Purnamasari and Arsana,

2012).

Konsentrasi glukosa plasma normalnya dipertahankan pada batas

normal, sekitar 70-110 mg/Dl (3,9-6,1 mmol/L) pada saat puasa disertai

adanya perubahan sesaat yang mencolok sesaat setelah makan, ataupun

peningkatan yang bervariasi pada saat mendapatkan glukosa eksogen (dari

makanan) disertai dengan produksi glukosa endogen (saat olahraga).

Diantara waktu makan dan saat puasa, konsentrasi glukosa plasma

dipertahankan tubuh dengan cara produksi glukosa endogen, glikogenolisis

hepatic, dan glukoneogenesis hepatic (dan renal). Cadangan glikogen

hepatic dapat menjaga konsentrasi glukosa plasma dalam batas normal

selama kurang lebih 8 jam, tetapi pada beberapa keadaan seperti olahraga

(dimana glukosa yang dipakai bertambah banyak) atau pada saat cadangan

glikogen terbatas (contohnya pada saat sakit atau puasa) cadangan

glikogen tersebut hanya dapat bertahan beberapa saat (Purnamasari and

Arsana, 2012).

Penurunan konsentrasi glukosa plasma akan memicu respon tubuh

yaitu penurunan konsentrasi insulin secara fisiologis seiring dengan

turunnya konsentrasi glukosa plasma yang masih dalam batas fisiologis,

peningkatan konsentrasi glucagon dan epinefrin sebagai respon

neuroendokrin pada konsentrasi glukosa plasma sedikit bawah batas

normal, dan timbulnya gejala neurogenik (autonom) dan penurunan

kesadaran pada konsentrasi glukosa darah dibawah batas normal. Batas

konsentrasi glukosa plasma yang dimaksud yaitu konsentrasi glukosa

plasma pada rata-rata orang sehat. Konsentrasi glukosa plasma yang masih

dapat diterima tubuh sangat bervariasi. Konsentrasi glukosa plasma normal

pada subjek DM dengan glukosa darah yang tidak terkontrol akan lebih

tinggi daripada subjek DM yang kadar glukosanya terkontrol baik dan

orang sehat. Sedangkan pada orang yang sering mengalami episode

hipoglikemia berulang, konsentrasi glukosa plasma normal akan lebih

rendah daripada orang sehat (Purnamasari and Arsana, 2012).

Konsentrasi glukosa darah berkaitan erat dengan sistem hormonal,

persarafan, dan pengaturan produksi glukosa endogen serta penggunaan

glukosa oleh organ perifer. Insulin memegang peranan yang utama dalam

pengaturan konsentrasi glukosa darah. Saat puasa konsentrasi glukosa

darah turun secara fisiologis dan sekresi insulin oleh sel β pankreasikut

menurun. Hal ini akan meningkatkan glikogenolisis hepatic dan

glukoneogenesis hepatic (dan renal). Konsentrasi insulin yang rendah juga

mengurangi penggunaan glukosa pada jaringan perifer, merangsang

lipolisis dan proteolisis, serta melepaskan prekusor glukoneogenik. Oleh

karena itu pengurangan sekresi insulin merupakan mekanisme

kontraregulasi yang pertama untuk menaggulangi hipoglikemia

(Purnamasari and Arsana, 2012).

Apabila konsentrasi glukosa darah menurun melewati batas bawah

konsentrasi normal, hormone-hormon kontraregulasi akan dilepaskan.

Dalam hal ini, glucagon yang diproduksi oleh sel α pankreas berperanan

penting sebagai pertahanan utama terahadap hipoglikemia. Selanjutnya

epinefrin, kortisol dan hormone pertumbuhan juga berperan meningkatkan

produksi dan mengurangi penggunaan glukosa. Glucagon dan epinefrin

merupakan dua hormone yang disekresi pada kejadian hipoglikemia akut.

Glucagon hanya bekerja di hati. glucagon mula-mula menungkatkan

glikogenolisis dan kemudian glukoneogenesis. Epinefrin selain

meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis di hati juga

menyebabkan lipolisis di jaringan lemak serta glikogenolisis dan

proteolisis di otot. Gliserol, hasil lipolisis, serta asam amino (alanin dan

aspartat) merupakan bahan baku (precursor) glukoneogenesis hati.

Epinefrin juga meningkatkan glukoneogenesis di ginjal, yang pada

keadaan tertentu merupakan 25% produksi glukosa tubuh. Kortisol dan

growth hormone berperan pada keadaan hipoglikemia yang berlangsung

lama, dengan cara melawan kerja insulin di jaringan perifer (lemak dan

otot) serta meningkatkan glukoneogenesis (Purnamasari and Arsana,

2012).

Pada diabetes yang sudah lama sering dijumpai respons

simpatoadrenal yang berkurang walaupun dengan tingkat gangguan yang

bervariasi. Respons epinefrin terhadap rangsang yang lain, seperti latihan

jasmani tampaknya normal. Seperti pada gangguan respons glucagon,

kelainan tersebut merupakan kegagalan mengenal hipoglikemia yang

selektif (Purnamasari and Arsana, 2012).

Pasien diabetes dengan respon glucagon dan epinefrin yang

berkurang paling rentan terhadap hipoglikemia. Hal tersebut terkait dengan

hipoglikemia yang tidak disadari karena hilangnya mekanisme

kontraregulator dan gangguan respons simpatoadrenal (Cryer, 2001).

Diabetes dgn defisiensi insulin (Pemberian insulin yg adekuat)

(Tdk ada insulin, tdk ada glukosa)

Berkurangnya respons simpatoadrenal terhadap hipoglikemia

Hipoglikemi

Tidur Olahraga

Berkurangnya respons simpatis

Berkurangnya respons epinefrin

Hypoglycemia unawarenes

Tidak ada efeknya mekanisme kontraregulator

Hipoglikemia berulang

II. II. V. GEJALA DAN TANDA KLINIS

1. Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun

2. Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan

menghitung sementara

3. Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir atau tangan

gemetar

4. Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang

(Setyohadi et al, 2012).

II. II. VI. DIAGNOSIS

1. Anamnesis:

a. Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: dosis

terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis.

b. Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi.

c. Riwayat jenis pengobatan dan sebelumnya.

d. Lama menderita DM, komplikasi DM Penyakit penyerta: ginjal,

hati, dll.

e. Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat adrenergic β, dll.

2. Pemeriksaan fisik: pucat, diaphoresis, tekanan darah, frekuensi denyut

jantung, penurunan kesadaran, deficit neurologic fokal transien.

3. Pemeriksaan penunjang:

Kadar glukosa darah (GD), tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, c-peptide.

Trias Whipple untuk hipoglikemia secara umum:

a. Gejala konsisten dengan hipoglikemia

b. Kadar glukosa plasma rendah

c. Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat (Setyohadi

et al, 2012).

II. II. VII. TERAPI

1. Non-Farmakologik

Penatalaksanaan utama pada hipoglikemia adalah

mengatasi hipoglikemia dan mencari penyebabnya, penilaian

keadaan pasien yang meliputi keadaan umum pasien, tingkat

kesadaran, tanda vital (tekanan darah, frekuensi pernafasan,

frekuensi nadi, dan suhu), pengukuran konsentrasi glukosa darah,

pemasangan jalur intravena, riwayat penggunaan insulin dan obat

antidiabetik oral (waktu dan jumlah yang diberikan) dan penilaian

riwayat nutrisi yang diberikan kepada pasien serta tatalaksana

sesuai dengan alur pengelolaan hipoglikemi harus segera

dilakukan. Terapi insulin atau obat antidiabetik lainnya yang

menyebabkan hipoglikemia segera dihentikan.

Jika pasien masih sadar dapat diterapi menggunakan

sumber karbohidrat oral, pilihlah jenis terapi yang tepat, atau

menggunakan terapi yang paling sederhana yaitu menggunakan

larutan glukosa murni 20-30 gram. Bila pasien mengalami

kesulitan menelan dan keadaan tidak terlalu gawat, pemberian

made atau gel glukosa lewat mukosa rongga mulut (buccal) dapat

dicoba (Waspadji, 2002).

2. Farmakologik

Jika pasien tidak sadar atau tidak dapat mengkonsumsi

apapun melalui oral (nil per os-NPO), jalur intravena harus

terpasang. Pemberian 50 cc dekstrosa 40% secara bolus merupakan

terapi awal yang dianjurkan. Terapi ini diteruskan setiap 10-20

menit jika pasien belum sadar sampai pasien sadar. Selain itu

diberikan cairan dekstrosa 10% per infuse 6 jam per kolf untuk

mempertahankan glukosa darah dalam nilai normal atau di atas

normal disertai pemantauan glukosa darah. Apabila pasien tetap

tidak sadar tetapi glukosa sudah dalam batas normal, maka

dilakukan pemberian hidrokortison 100 mg per 4 jam selama 12

jam atau deksametason 10 mg iv bolus, dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam

dan manitol iv 1,5-2 g/kgBB setiap 6-8 jam. Selanjutnya cari

penyebab lain dari hipoglikemia. Untuk menghindari hipoglikemia

berulang, setiap selesai menatalaksana pasien DM dengan

hipoglikemia, perlu dilakukan pencarian penyebab timbulnya

hipoglikemia, atasi penyebab tersebut, dan jika terdapat indikasi,

dapat dilakukan evaluasi dosis dan waktu pemberian insulin atau

obat antidiabetik oral. Selain itu perlu diperhatikan jumlah dan

waktu pemberian nutrisi dan olahraga pada pasien (Waspadji,

2002).

II. III. NEFROPATI DIABETIK

Nefropati diabetik (ND) merupakan kelainan degeneratif vaskuler

ginjal dan merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita

diabetes mellitus . Penyakit ini terjadi 0-5 tahun sejak diagnosis DM

ditegakkan (Soepartondo, 2003).

Nefropati diabetik merupakan manifetasi mikroangiopati pada

ginjal yang ditandai dengan adanya proteinuri yang mula-mula intermiten

kemudian persisten, penurunan LFG, peningkatan tekanan darah yang

perjalanannya progresif menuju stadium akhir berupa gagal ginjal

terminal. Patogenesis penyakit ini bermula dari kelebihan gula darah yang

memasuki glomerulus melalui fasilitas glucose transporter (GLUT),

terutama GLUT1, yang menyebabkan aktivasi beberapa mekanisme seperti

polyol pathway, hexomanine pathway, Protein Kinase C (PKC) pathway

dan penumpukan zat yang disebut sebagai advanced glication end-product

(AGEs). Kadar TGF-β juga ditemukan meningkat. Keadaan-keadaan

tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan progresifitas dari penyakit

nefropati diabetik (Soepartondo, 2003).

Pada penyakit ini terjadi kerusakan pada glomerulus. Oleh karena

terjadi kerusakan glomerulus maka sejumlah protein darah diekskresikan

ke dalam urin secara abnormal. Protein utama yang diekskresikan adalah

albumin . Penelitian dengan menggunakan micro-puncture menunjukkan

bahwa tekanan intra glomerulus meningkat pada pasien DM. bahkan

sebelum tekanan darah sistemik meningkat. Perubahan hemodinamik

ginjal ini diduga terkait dengan aktivitas berbagai hormone vasoaktif,

seperti angiotensin-II (A-II) dan endotelin (Soepartondo, 2003).

Diagnosis nefropati diabetik dimulai dikenalinya albuminuria pada

pasien DM, baik tipe 1 maupun tipe 2. Bila jumlah protein atau albumin di

dalam urine sangat rendah sehingga sulit dideteksi dengan metode

pemeriksaan urine yang yang biasa, akan tetapi sudah >30 mg/24 jam

ataupun 20 µg/menit, disebut juga sebagai mikroalbuminuria.

Nefropati insipien dapat dibedakan menjadi dua kategori utama

berdasarkan jumlah albumin yang hilang pada ginjal, yaitu :

1. Mikroalbuminuria

Terjadi kehilangan albumin dalam urine sebesar 30-300 mg/hari.

Mikroalbuminuria juga dikenal sebagai tahapan nefropati insipient.

2. Proteinuri

Terjadi bila terjadi kehilangan albumin dalam urine lebih dari 300

mg/hari. Keadaan ini dikenal sebagai makroalbuminuria atau nefropati

overt.

Sedangkan secara lebih rinci, derajat nefropati akibat penyakit

DM dibagi menjadi 5 derajat, antara lain:

1. Derajat 1 (Hiperfiltrasi)

Pasien mengalami peningkatan LFG sampai 40% dan terjadi

pembesaran ginjal

Besar kliren kreatinin >150 ml/menit/1,732 m2

2. Derajat II (The Silent Stage)

Terjadi perubahan struktur ginjal tapi LFG masih tinggi

Besar kliren kreatinin >150 ml/menit/1,732 m2

3. Derajat III (Mikroalbuminuria)

Tahap awal nefropati yang nyata, terjadi penebalan membrane

basalis, LFG masih tinggi, tekanan darah meningkat

Besar kliren kreatinin >150 ml/menit/1,732 m2

4. Derajat IV (Makroalbuminuria)

Pasien mengalami proteinuria nyata dengan LFG turun dari

normal dan tekanan darah meningkat

Dibagi dalam dua stadium berdasar besar kliren kreatinin:

o Ringan : Kliren kreatinin sebesar 160 ml/menit/1,732 m2

o Berat : Kliren kreatinin sebesar 130 ml/menit/1,732 m2

5. Derajat V (Uremia)

Terjadi gagal ginjal, syndrome uremik dan membutuhkan terapi

hemodialisis

Besar kliren kreatinin <15 ml/menit/1,732 m2 .11

PATOFISIOLOGI

Skema 4 Patofisiologi Nefropati Diabetikum

Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus pada

nefropati diabetik masih belum jelas, tetapi kemungkinan disebabkan oleh

dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa yang diperantarai

hormon vasoaktif, IGF-1, nitrit oksida, prostaglandin dan glukagon. Efek

langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis

matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-β yang diperantarai oleh aktivasi

protein kinase-C yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki

fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan

permeabilitas kapiler (Soegondo, 2006).

Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi

nonenzimatik asam amino dan protein. Pada awalnya glukosa akan

mengikat residu asam amino secara non-enzimatik menjadi basa Schiff

glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih

stabil tetapi masih reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika

proses ini berlanjut terus, akan terbentuk Advanced Glycation End Product

(AGEs) yang ireversibel. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi

beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adesi molekul yang berperan

dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi sel,

sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis nitrit oksida. Proses ini

akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan

nodul serta fibrosis tubulointerstisialis. Hipertensi yang timbul bersama

dengan bertambahnya kerusakan ginjal, juga akan mendorong sklerosis

pada ginjal pasien diabetes. Diperkirakan bahwa hipertensi pada diabetes

terutama disebabkan oleh spasme arteriol eferen intrarenal atau

intraglomerulus.

EVALUASI

Pada saat diagnosa diabetes melitus ditegakkan, kemungkinan

adanya penurunan fungsi ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat

pasien sudah menjalani pengobatan rutin. Pemantauan yang dianjurkan oleh

American Diabetes Association (ADA) adalah pemeriksaan terhadap adanya

mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens kreatinin.

Untuk mempermudah evaluasi, perhitungan laju filtrasi glomerulus dengan

menggunakan rumus dari Cockroft-Gault yaitu :

LFG (ml/menit/1,73m2) = (140-umur) x Berat badan *)

72 x kreatinin serum

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Tabel 3. Pemantauan fungsi ginjal pada pasien diabetes

Tes Evaluasi Awal Follow-up

Penentuan

mikroalbuminuria

Sesudah pengendalian

gula darah awal (dalam 3

bulan diagnosis

DM tipe 1 : tiap tahun

setelah 5 tahun

DM tipe 2 : tiap tahun

ditegakkan) setelah diagnosis

ditegakkan

Klirens kreatinin Saat awal diagnosis

ditegakkan

Tiap 1-2 tahun sampai

laju filtrasi glomerulus

<100/ml/menit/1.73m2,

kemudian tiap tahun atau

lebih sering

Kreatinin serum Saat awal diagnosis

ditegakkan

Tiap tahun atau lebih

sering tergantung dari laju

penurunan fungsi ginjal

TERAPI

Tatalaksana nefropati diabetik tergantung pada tahapan-tahapan

apakah masih normoalbuminuria, mikroalbuminuria atau

makroalbuminuria. Tetapi pada prinsipnya pendekatan utama tatalaksana

nefropati diabetik adalah melalui :

1. Pengendalian gula darah dengan olahraga, diet, obat anti diabetes.

2. Pengendalian tekanan darah dengan diet rendah garam, obat

antihipertensi.

3. Perbaikan fungsi ginjal dengan diet rendah protein, pemberian

Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) atau Angiotensin

Receptor Blocker (ARB).

4. Pengendalian faktor-faktor ko-morbiditas lain seperti pengendalian

kadar lemak, mengurangi obesitas (Sudoyo, 2006).

II.IV. NEUROPATI DIABETIK

1. Polineuropati Sensorimotor

Serabut saraf panjang akan terpengaruh untuk tingkat yang lebih

besar daripada yang lebih pendek, karena kecepatan konduksi saraf

diperlambat proporsi panjang saraf. Penurunan sensasi dan hilangnya

refleks terjadi pertama di jari kaki kemudian meluas ke atas. Hal ini

biasanya digambarkan sebagai kehilangan sensori, dysesthesia dan nyeri

waktu malam. Rasa sakit bisa terasa seperti terbakar, sensasi tertusuk,

pegal. Pin dan jarum sensasi adalah umum (Subekti, 2006).

2. Otonom neuropati

Sistem saraf otonom menginervasi jantung, sistem pencernaan dan

sistem genitourinari. Neuropati otonom dapat mempengaruhi salah satu

sistem organ. Disfungsi otonom paling umum dikenal pada penderita

diabetes adalah hipotensi ortostatik. Hal tersebut dikarenakan kegagalan

jantung dan arteri untuk tepat menjaga darah terus menerus dan

sepenuhnya mengalir ke otak (Sudoyo, 2006).

Manifestasi saluran pencernaan termasuk gastroparesis, mual,

kembung, dan diare. Karena banyak penderita diabetes minum anti

diabetik oral, penyerapan obat ini sangat dipengaruhi oleh pengosongan

lambung tertunda. Hal ini dapat mengakibatkan hipoglikemia ketika agen

diabetes oral diambil sebelum makan dan tidak diserap sampai berjam-

jam, atau beberapa hari kemudian, ketika gula darah normal atau rendah

gerakan lamban dari usus halus dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri

yang berlebihan, diperparah dengan kehadiran hiperglikemia. Hal ini

menyebabkan kembung, gas dan diare (Sudoyo, 2006).

PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD tanggal 20 September 2013 diantar oleh keluarganya

dengan riwayat DM tipe 2 sejak 13 tahun yang lalu. Pasien mengaku tidak rutin

kontrol dan hanya sesekali berobat ke puskesmas atau mantri jika ada keluhan. 3

tahun yang lalu pasien rutin mengkonsumsi jamu serbuk racikan selama 2 tahun.

Riwayat DM kronis yang tidak terkontrol dan konsumsi jamu atau obat-obatan

yang dicurigai bersifat nefrotoksik ini akan menimbulkan komplikasi kronik, baik

mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya pertumbuhan sel dan juga

kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik

diabetes mellitus. Perubahan dasar/disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel

pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial

ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kesintasan sel,

yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya komplikasi vascular

diabetes. Pada pasien ini telah terjadi nefropati diabetik yang ditandai dengan

meningkatnya kadar ureum sebanyak 72,68 mg/dl, kreatinin sebanyak 4,9 mg/dl,

dan laju filtrasi glomerulus sebesar 12,5. Pada nefropati diabetik, terjadi

peningkatan tekanan glomerular, dan disertai meningkatnya matriks ekstraselular

akan menyebabkan terjadinya penebalan membran basal, ekspansi mesangial, dan

hipertrofi glomerular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi

dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah ke terjadinya

glomerulosklerosis (Waspadji, 2007).

Pada anamnesis tanggal 20 September 2013 pasien mengeluh lemas sejak

siang (1 hari SMRS). Selain itu pasien juga merasa sulit untuk bicara,

berekeringat dingin, gemetar, dan sempat pingsan ketika dibawa ke RS. Pasien

mengalami keluhan tersebut sepulang dari melakukan hemodialisa (HD)

kemudian mengkonsumsi glibenklamid. Setelah dilakukan pemeriksaan

didapatkan GDA 104 mg/dl. Glibenklamid merupakan OAD golongan

sulfonylurea yang bekerja dengan cara merangsang sel β pankreas untuk

mensekresi insulin, mengurangi kadar glucagon dalam serum, dan memperkuat

kerja insulin pada jaringan target. Glibenklamid memiliki efek biologik yang

menetap dalam 24 jam setelah dosis tunggal pagi hari pada penderita diabetes

(Karam, 1997). Pada pasien nefropati diabetik terjadi peningkatan filtrasi

glomerulus dari nefron yang masih sehat sebagai bentuk kompensasi. Sisa nefron

yang sehat lambat laun akan mengalami sklerosis, kemudian akan menurunkan

LFG. Penurunan laju filtrasi glomerulus ini juga berperan dalam penurunan

ekskresi metabolit obat-obatan dalam darah ke urin. Pada kasus ini, pasien

mengalami nefropati diabetik tahap 5, dimana telah terjadi penurunan LFG akibat

terjadinya glomerulosklerosis yang signifikan. Konsumsi OAD golongan

sulfonylurea pada pasien nefropati diabetik akan mengakibatkan penumpukan

kadar obat tersebut dalam darah karena terjadi penurunan kemampuan ginjal

dalam mengeliminasi obat-obatan tersebut, hal ini akan meningkatkan

bioavailabilitas dari sulfonylurea di dalam darah dan menyebabkan terjadinya

prolong efek hipoglikemia, sehingga muncul gejala seperti lemas, kesulitan

bicara, berkeringat dingin, gemetar, dan penurunan kesadaran. Selain itu, pasien

juga telah melakukan hemodialisa, dimana dalam hemodialisa semua metabolit

dan racun di dalam darah ikut terdialisis, termasuk glukosa, sehingga kadar

glukosa darah akan menurun setelah proses hemodialisa, kemudian pasien

mengkonsumsi OAD, hal ini memungkinkan untuk terjadinya reaksi hipoglikemi.

Selain itu, pasien juga mengeluh mual muntah, dan nafsu makannya akhir-

akhir ini menurun. Asupan nutrisi yang tidak adekuat ditambah dengan

penigkatan sekresi insulin akan menurunkan ketersediaan glukosa vaskuler.

Apabila konsentrasi glukosa darah menurun melewati batas bawah konsentrasi

normal, hormone-hormon kontraregulasi akan dilepaskan. Dalam hal ini,

glukagon yang diproduksi oleh sel α pankreas berperanan penting sebagai

pertahanan utama terahadap hipoglikemia. Selanjutnya epinefrin, kortisol dan

hormone pertumbuhan juga berperan meningkatkan produksi dan mengurangi

penggunaan glukosa. Glucagon dan epinefrin merupakan dua hormone yang

disekresi pada kejadian hipoglikemia akut. Glucagon hanya bekerja di hati.

glucagon mula-mula meningkatkan glikogenolisis dan kemudian

glukoneogenesis. Epinefrin selain meningkatkan glikogenolisis dan

glukoneogenesis di hati juga menyebabkan lipolisis di jaringan lemak serta

glikogenolisis dan proteolisis di otot. Namun, pada kasus ini pasien sudah

memiliki riwayat DM sejak 13 tahun yang lalu dimana pada psien DM yang sudah

lama sering dijumpai respons simpatoadrenal yang berkurang. Berkurangnya

respon simpatoadrenal akan mengurangi respons simpatis dan epinefrin yang

dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Selain itu salah satu komplikasi dari

hemodialisa adalah hipoksemia, dimana pada keadaan ini akan terjadi penurunan

suplai oksigen ke jaringan dan otak yang dapat menyebabkan penurunan

kesaadaran (Purnamasari and Arsana, 2012). Untuk keluhan yang dialami pasien

seperti lemas, keringat dingin, gemetar, sampai mengalami penurunan kesadaran

mengarah ke hipoglikemia stadium simpatis.

Berdasarkan nilai LFG yang didapat dari pemeriksaan, derajat nefropati

pada pasien ini termasuk kedalam derajat 5 atau dikenal dengan istilah end-stage

renal disease menunjukkan stadium nefropati dimana telah terjadi akumulasi zat

toksin, air, dan elektrolit yang secara normal diekskresi oleh ginjal sehingga

terjadi sindrom uremikum. Sindrom uremia merupakan sekumpulan gejala akibat

akumulasi kadar urea dalam darah yang berlebihan yang terdiri dari lemah, letargi,

anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer,

pruritus, perikarditis, kejang sampai koma. Gejala sindrom uremikum yang

muncul pada pasien ini diantaranya adalah kejang, koma, serta mual dan muntah.

Sindrom uremikum selanjutnya dapat mengakibatkan kematian sehingga

diperlukan pembersihan kelebihan zat-zat tersebut melalui terapi penggantian

ginjal, dapat berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Keluhan sesak yang dialami pasien setelah meminum banyak air putih

berkaitan dengan keseimbangan cairan pada pasien ini. Pada pasien nefropati

diabetik terjadi kebocoran protein sehingga akan menurunkan tekanan osmotic

sel. Penurunan tekanan osmotik ini akan menyebabkan ekstravasasi cairan dari

intrasel ke ekstravaskuler sehingga akan menimbulkan manifestasi seperti asites,

dan edem paru. Pada pasien ini ditemukan adanya shifting dullness (+) yang

menandakan adanya asites. Asites dan pemasukan cairan yang berlebih ini akan

membatasi ruang gerak paru ketika bernafas, sehingga paru tidak dapat

mengembang secara sempurna dan akhirnya terjadi dyspnea.

Pada pasien ini didapatkan anemia yang ditandai dengan penurunan

hemoglobin, yaitu nilai Hb (10,4), MCHC (31,8). Pada nefropati diabetik anemia

berkembang dari penurunan sintesis eritropoetin ginjal, hormon yang bertanggung

jawab untuk stimulasi sumsum tulang untuk produksi sel darah merah (RBC). Ini

dimulai pada awal perjalanan penyakit dan menjadi lebih parah karena LFG

menurun secara progresif dengan ketersediaan massa ginjal yang kurang layak.

Tidak ada respon retikulosit terjadi. RBC menurun, dan kecenderungan

perdarahan meningkat dari disfungsi uremia-diinduksi trombosit. Penyebab lain

dari anemia pada pasien penyakit ginjal kronis termasuk kehilangan darah kronis,

hiperparatiroidisme sekunder, peradangan, kekurangan gizi, dan akumulasi

inhibitor eritropoiesis.

Pada pasien ini didapatkan kadar LDL 191 dan kolesterol total sebanyak

271 mg/dl yang menandakan telah terjadi dislipidemia. Dislipidemia merupakan

salah satu faktor resiko terjadinya plak aterosklerosis pada daerah subintimal

pembuluh darah yang selanjutnya akan menyebabkan terjadinya sindrom koroner

akut.

Tekanan darah pada penderita didapatkan 160/80, dimana hal tersebut

merupakan hipertensi stage 2 menurut JNC 7 untuk pasien dewasa (umur ≥ 18

tahun).

KESIMPULAN

1. Diabetes Melitus merupakan kelainan metabolik yang dapat menimbulkan

berbagai komplikasi kronik jika tidak dikelola dengan baik, untuk itu

kontrol glikemik pada penderita DM sangat penting terhadap pencegahan

terjadinya komplikasi baik mikrovaskuler maupun makrovaskuler.

2. Pasien DM dengan komplikasi nefropati diabetik sebaiknya tidak

mengkonsumsi OAD untuk menghindari komplikasi seperti hipoglikemia.

Kendali glikemik pada pasien ini dapat dilakukan dengan pemberian

insulin.

3. Hemodialisis yang dilakukan secara rutin dapat memperbaiki kualitas

hidup pasien dengan nefropati diabetik.

DAFTAR PUSTAKA

Cryer. 2001. Hypoglycemia, in: Harrison’s Principal Internal Medicine 15th

edition. New York: McGraw-Hill

Gustaviani Reno. 2007. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus, dalam: Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 1857-9.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2002. Konsensus Pengelelolaan Diabetes

Melitus Tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni, Jakarta: hal 1-19

Purnamasari D, Arsana PM. 2012. Hipoglikemia dan Hiperglikemia, dalam:

EIMED PAPDI. Interna Publishing. Jakarta: Hal 309.

Setyohadi. 2012. Hipoglikemia dan Hiperglikemia, dalam: EIMED PAPDI.

Interna Publishing. Jakarta: Hal 309-317.

Soegondo S. 2006. Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes

Mellitus Tipe 2, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th . Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta: Hal 1860-3.

Subekti I. 2004. Neuropati Diabetik, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Hal

217-23.

Sudoyo Aru.W, dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Supartondo, Waspadji S. 2003. Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: hal 375-7

Suwitra K. 2007. Penyakit Ginjal Kronik, dalam: Ilmu Penyakit Dalam. Balai

Penerbit FKUI. Jakarta: 570.

Suyono S. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, dalam: Ilmu

Penyakit Dalam. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta: Hal 7-14

Waspadji S. 2002. Kegawatan pada diabetes melitus, dalam: Petunjuk Praktis

Pengelolaan Diabetes Melitus. Jakarta: PB PERKENI.

Waspadji S. 2007. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya,

Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Edisi IV. Balai Penerbit FKUI. Jakarta: Hal. 1884.