Case report
-
Upload
fiorenditahadi -
Category
Documents
-
view
27 -
download
1
Transcript of Case report
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Anemia hemolitik autoimun (AIHA) atau autoimmune hemolytic anemia
ialah suatu anemia hemolitik yang timbul karena terbentuknya aotuantibodi
terhadap eritrosit sendiri sehingga menimbulkan destruksi (hemolisis) eritrosit.
2.2. Insiden
Insidens dari AIHA tipe hangat sekitar 1 dari total 75-80.000 populasi di
USA. AIHA tipe hangat dapat muncul pada usia berapapun, tidak seperti AIHA
tipe dingin yang sering menyerang usia pertengahan dan lanjut. Namun, di
Indonesia tidak ada data yang khusus membahas tentang prevalensi dan insiden
kasus AIHA secara nasional.
2.3. Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit anemia hemolitik autoimun masih belum jelas
(idiopatik), akan tetapi ada beberapa teori yang mengatakan bahwa AIHA terjadi
kerena gangguan central tolerance dan gangguan pada proses pembatasan limfosit
autoreaktif residual. Sistem kekebalan tubuh mengalami gangguan fungsi dan
menghancurkan selnya sendiri karena keliru mengenalinya sebagian bahan asing
(reaksi autoimun).
2.4. Klasifikasi dan Patofisiologi
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui
aktivasi sistem komplemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasi
keduanya. Aktivasi Sistem Komplemen secara keseluruhan akan menyebabkan
hancurnya membran sel eritrosit sehingga terjadi hemolisis intravaskular yang
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Sistem komplemen akan
diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi-antibodi yang
memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3
disebut sebagai aglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan
antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu
tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen
permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.
Gambar 1 : Jalur aktivasi komplemen
Klasifikasi anemia hemolitik autoimun berdasarkan sifat reaksi antibodi,
AIHA dibagi 2 golongan sebagai berikut:
1. Anemia Hemolitik Autoimun Hangat atau warm AIHA yakni suatu keadaan
dimana tubuh membentuk autoantibody yang bereaksi terhadap sel darah
merah pada suhu tubuh. Autoantibody melapisi sel darah merah, yang
kemudian dikenalinya sebagai benda asing dan dihancurkan oleh sel perusak
dalam limpa atau kadang dalam hati dan sumsum tulang. Dan suhu badan
pasien pada anemia hemolitik aotuimun hangat ini >37oC. Warm reactive
antibodies:
1) Primer (idiopatik)
2) Sekunder:
a. Kelainan limfoproliferatif
b. Kelainan autoimun (Sistemik lupus eritematosus/SLE)
c. Infeksi mononukleosisc.
3) Sindroma evand
4) HIV
2. Anemia Hemolitik Dingin atau cold AIHA yakni suatu keadaan dimana tubuh
membentuk aotoantibodi yang beraksi terhadap sel darah merah dalam
suhu ruangan atau dalam suhu yang dingin. Dan suhu tubuh pasien pada
anemia hemolitik aotuimun dingin ini <37oC. Cold reactive antibodies:
1) Idiopatik (Cold agglutinin diseases)
2) Sekunder :
a. Atipikal atau pneumonia mikoplasma
b. Kelainan limfoproliferatif
c. Infeksi mononukleosi
3. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH)
Dalam darah penderita ditemukan anti lisin terhadap sel-sel darah merah yang
menjadi aktif bila suhu badan didinginkan.
4. Paroxysmal Nocturnal Hemogkobinuria (PNH)
Urin menjadi merah tua pada pagi hari kemudian berkurang sampai hilang
sama sekali menjelang siang dan sore hari.
5. Anemia Hemolitik Autoimun oleh Obat
Anemia hemolitik autoimun yang disebabkan oleh obat-obat, seperti:
Levodopa (Sinewet) , Cephalosporins.
Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu:
hapten/ penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat,
pembentukan kompleks ternary (mekanisme kompleks imun tipe innocent
bystander ), induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada
lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin. Penyerapan/absorbsi protein non-
imunologis terkait obat akan menyebabkan tes coombs positif tanpa kerusakan
eritrosit.
Pada mekanisme hapten/absorbsi obat, obat akan melapisi eritrosit dengan
kuat. Antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada
permukaan eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan
dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit hanya bereaksi
dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat yangsama (misal
penisilin).
Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau metabolit
obat, tempatikatan obat permukaan sel target, antibodi, dan aktivasi
komplemen. Antibodi melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat
dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan antibodi akan
membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun membrane eritrosit.
Beberapa antibodi itu memiliki spesifisitas terhadap antigen golongan darah
tertentu. Pemeriksaan coombs biasanya positif. Setelah aktivasi komplemen
terjadi hemolisis intravaskular, hemoglobinemia, dan hemoglobinuria.
Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamide,
sulfonylurea, dan tiazid.
Contoh obat seperti, Metildopa yang bersirkulasi dalam plasma akan
menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh pada permukaan sel
darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel darah merah adalah
autoantibodi, sedangkan obat tidak melekat. Mekanisme bagaimana induksi
formasi autoantibodi ini tidak diketahui.
Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karena hemoglobin
mengikat oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan
akibat zat oksidatif. Eritrosit yang tua makin mudah mengalami trauma
oksidatif. Tanda hemolisis karena proses oksidasi adalah dengan
ditemukannya methemoglobin, sulfhemoglobin, dan Heinz bodies,blister cell,
bites cell dan eccentrocytes. Contoh obat yang menyebabkan hemolisis
oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid .
Pasien yang mendapat terapi sefalosporin biasanya tes coombs positif karena
absorbsi non-imunologis, immunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen,
dan plasma protein lain pada membran eritrosit.
6. Anemia Hemolitik Autoimun oleh Aloantibodi
Dapat disebabkan oleh transfusi darah. Hemolisis aloimun yang paling berat
adalah reaksi transfusi akut yang disebabkan karena ketidaksesuaian ABO
eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC golongan A pada pasien golongan
darah O yang memiliki antibodi IgM anti-A pada serum) yang akan memicu
aktivasi komplemen dan terjadi hemolisis intravaskular yang akan
menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien akan sesak
nafas, demam, nyeri pinggang, menggigil, mual, muntah, dansyok. Reaksi
transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi, biasanya disebabkan
karena adanya antibodi dalam kadar rendah terhadap antigen minor eritrosit.
Setelah terpapar dengan sel-sel antigenik, antibodi tersebut meningkat pesat
kadarnya dan menyebabkan hemolisis ekstravaskular.
2.5. Manifestasi Klinis
Gejala dari anemia hemolitik mirip dengan anemia yang lainnya.
Hemolisis bisa terjadi secara tiba-tiba dan berat, menyebabkan krisis hemolitik,
yang ditandai dengan:
Demam
Menggigil
Nyeri punggung dan nyeri lambung
Perasaan melayang
Penurunan tekanan darah yang berarti.
Sakit kuning (jaundice) dan air kemih yang berwarna gelap bisa terjadi
karena bagian dari sel darah merah yang hancur masuk ke dalam darah.
Limpa membesar karena menyaring sejumlah besar sel darah merah yang hancur,
kadang menyebabkan nyeri perut. Hemolisis yang berkelanjutan bisa
menyebabkan batu empedu yang berpigmen, dimana batu empedu berwarna gelap
yang berasal dari pecahan sel darah merah.
Manifestasi klinis AIHA berdasarkan klasifikasinya:
1. Anemia hemolitik aotuimun tipe hangat biasanya gejala anemia ini terjadi
perlahan-lahan, ikterik, demam, dan ada yang disertai nyeri abdomen, limpa
biasanya membesar, sehingga bagian perut atas sebelah kiri bisa terasa nyeri
atau tidak nyaman dan juga bisa dijumpai splenomegali pada anemia
hemolitik autoimun tipe hangat. Urin berwarna gelap karena
terjadi hemoglobinuri. Pada AIHA paling tebanyak terjadi yakni idiopatik
splenomegali tarjadi pada 50-60%, iketrik terjadi pada 40%, hepatomegali
30% pasien dan limfadenopati pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak
disertai pembesaran organ dan limfonodi.
2. Anemia hemolitik aotoimun tipe dingin sering terjadi aglutinasi pada suhu
dingin. Hemolisis berjalan kronik. Anemia ini biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl.
Sering juga terjadi akrosinosis dan splenomegali. Pada cuaca dingin akan
menimbulkan meningkatnya penghancuran sel darah merah, memperburuk
nyeri sendi dan bisamenyebabkan kelelahan dan sianosis (tampak kebiruan)
pada tangan dan lengan
2.6. Manifestasi Klinis
Secara keseluruhan aha seringkali menunjukkan gejala berupa:
– Mudah lelah
– Pucat mendadak
– Malaise dan demam jika dicetuskan oleh infeksi
– Ikterus dan perubahan warna urine.
– Nyeri abdomen dan gangguan pernafasan
– Hepatomegali dan splenomegali
– Gambaran darah tepi menunjukkan adanya proses hemolitik
– Kadar hemoglobin 3-9 g/dl
– Kadar bilirubin secara tidak langsung meningkat
– Gambaran sumsum tulang menunjukkan hiperplasi sel eritropoitik
normoblastik.
Gejala AIHA tipe hangat:
Gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan demam, urin berwarna
gelap karena terjadi hemoglobinuri. Splenomegali, hepatomegali
Hasil laboratoriumnya menunjukkan hemoglobin di bawah 7g/dl.
Pemeriksaan direct coomb’s positif.
Gejala AIHA tipe dingin:
Terjadi aglutinasi pada suhu dingin, akrosianosis, splenomegali,
polikromatosia.
Anemia biasanya ringan dengan hb: 9-12 g/dl, tes coombs positif, serta
anti-i, anti-pr, atau anti-p dan anti-m (merupakan cara untuk diagnosa anti).
2.7. Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematik dan menyeluruh. Perhatian
khusus diberikan pada, diantaranya:
a. Keadaan umum pasien : tampak sakit ringan atau berat
b. Warna kulit : pucat, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning seperti
jerami
c. Kuku : koilonychias (kuku sendok)
d. Mata : ikterus, konjugtiva pucat, perubahan pada fundus
e. Mulut : ulserasi, hipertrofi gusi, atrofi papil lidah
f. Limfadenopati, hepatomegali, splenomegali
g. Tingkat kesadaran pasien
h. Proporsi tubuh : adakah kelainan fisik pada pasien
Pemeriksaan laboratorium pada anemia hemolitik:
1. Gambaran penghancuran eritrosit yang meningkat:
Bilirubin serum meningkat
Urobilinogen urin meningkat, urin kuning pekat
Strekobilinogen feses meningkat, pigmen feses menghitam
2. Gambaran peningkatan produksi eritrosit
Retikulositosis
Hiperplasia eritropoesis sum-sum tulang
3. Gambaran rusaknya eritrosit:
Morfologi : mikrosferosit, anisopoikilositosis, burr cell, hipokrom
mikrositer, target cell, sickle cell, sferosit.
Fragilitas osmosis, otohemolisis
Umur eritrosit memendek.
2.8. Diagnosa Kerja
Diagnosa AIHA ditegakkan dengan cara:
1. Direct Antiglobulin Test (Direct Coomb’s Test)
Sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein yang melekat
Direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoklonal terhadap berbagai
immunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama igG dan C3d.
Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua igG dan C3d maka
akan terjadi aglutinasi
2. Indirect Antiglobulin Test (Indirect Coomb’s Test)
Untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum.
Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen.
Immunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel-sel
reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin serum dengan terjadinya
aglutinasi.
2.9. Diagnosa Banding
Sepertiga penderita anemia jenis ini menderita suatu penyakit tertentu
(misalnya limfoma, leukemia atau penyakit jaringan ikat, terutama lupus
eritematosus sistemik) atau telah mendapatkan obat tertentu, terutama metildopa.
Diagnosa banding untuk anemia hemolitik autoimun ini adalah:
1. Anemia pasca perdarahan, yaitu berkurangnya jumlah sel darah merah atau
jumlah hemoglobin (protein pengangkut oksigen) yang disebabkan oleh
perdarahan hebat.Anemia karena perdarahan terbagi atas :
1) Perdarahan akut, yang timbul renjatan bila pengeluaran darah cukup
banyak, sedangkan penurunan kadar Hb baru terjadi beberapa hari
kemudian.
2) Perdarahan kronik, terjadi pengeluaran darah yang sedikit-sedikit sehingga
tidak diketahui pasien. Misalnya terjadi pada keadaan: ulkus peptikum,
menometroragi, perdarahan saluran cerna karena pemakaian analgesic,
epistaksis. Di Indonesia sering karena infestasi cacing tambang.
Pemeriksaan laboratorium ditemukan gambaran anemia sesuai dengan
anemia defisiensi Fe. Perdarahan pada saluran cerna akan memberi hasil
positif pada tes benzidin dari tinja.
2. Penyakit imunologik seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Tes sel LE, tes ANA (Antinuclear Antibody).
3. Thallasemia
Merupakan anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orangtua
kepada anak-anaknya secara resesif menurut hukum mendel. Bayi baru lahir
dengan talasemia beta mayor tidak anemia gejala awal pucat mulanya tidak
jelas. Biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada
kasus yang berat terjadi dalam beberapa minggu setelah akhir. Bila penyakit
ini tidak ditangani dengan baik tumbuh kembang masa anak akan terhambat.
Anak tidak nafsu makan , diare, kehilangan lemak tubuh dan dapat disertai
demam berulang akibat anemia berat dan lama biasanya menyebabkan
pembesaran jantung. Terdapat hepatosplenomegali ikterus ringan mungkin ada
tetapi perubahan pada tulang yang menetap yaitu terjadinya bentuk muka
mongloid/face cooley akibat sistem eritropoesit yang hiperaktif. Adanya
penipisan kortek tulang panjang tangan dan kaki dapat menimbulkan fraktur
patologis. Penyimpangan pertumbuhan akibat anemia dan kekurangan gizi
menyebabkan perawakan pendek. Kadang – kadang ditemukan epistaksis
pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, dan batu empedu. Pasien menjadi peka
terhadap infeksi terutama bila limpanya telah diangkat sebelum usia 5 tahun
dan mudah mengalami septisemia yang dapat mengakibatkan kematian
dapat timbul pansitopenia akibat hipersplenisme.
Hapusan darah tepi akan mendapatkan gambaran anisositosis hipokrom
poikilositosis sel target ( fragmentosit dan banyak sel normoblast ). Jumlah
retikulosit dalam darah meningkat. Kadar besi dalam serum meninggi dan
daya ikat serum terhadap besi menjadi rendah dapat mencap nol.
4. Defisiensi Glukosa 6-Fosfat Dehydrogenase (G6PD) merupakan penyakit
dengan gangguan herediter pada aktivitas eritrosit (sel darah merah), di mana
terdapat kekurangan enzim G6PD. Enzim G6PD ini berperan pada
perlindungan eritrosit dari reaksi oksidatif. Karena kurangnya enzim ini,
eritrosit jadi lebih mudah mengalami penghancuran (hemolisis). Terjadinya
hemolisis ditandai dengan demam yang disertaijaundice (kuning) dan pucat di
seluruh tubuh dan mukosa. Urin juga berubah warna menjadi jingga-
kecoklatan; ditemukan tanda syok (nadi cepat dan lemah, frekuensi
pernapasan meningkat), dan tanda kelelahan umum. Hemolisis ini dapat
dipicu oleh konsumsi obat-obatan. Selain obat-obatan, makanan tertentu juga
dapat memicu timbulnya serangan hemolitik pada anak dengan defisiensi
G6PD; misalnya kacang fava (fava beans) dan kacang-kacangan tertentu.
Berikut ini adalah daftar obat-obatan yang perlu dipertimbangkan
pemberiannya pada pasien defisiensi G6PD.
2.10. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk anemia hemolitik autoimun:
a) AIHA Tipe panas, dijumpai kelainan laboratarium sebagai berikut:
1. Darah tepi
Anemia ini juga dijumpai kelianan diantaranya, pada darh tepi terdapat
mikrosferosit, pliikromasia, normoblast dalam darh tepi.Morfologianemia
ini pada umumnya ialah normokoromik normositer dan juga didapat
terjadinya peningkatan retikulosit.
2. Bilurubin serum meningkat 2-4 mg/dl, dengan bilurubin indierk
lebihtinggi dari bilurubin direk.
3. TesCoombs direk (DAT) positif.
Direct Coomb’s tes dapat menunjukkan adanya antibodi atau komplemen
pada permukaan sel darah merah dan merupakan tanda dari autoimun
hemolisis.
Gambar 2. Tes Coombs
Gambar 3. apusan darah tepi penderita AIHA: Menunjukan eritrosit
normokromik normositer, mikrosferosit, fragmentosit dan sebuah
normoblast (panah).
4. Hemoglobin dibawah 7gr/dl.
5. Pada pemeriksaan darah tepi pada tipe hangat ditemukan sferositosis yang
menonjol dalam darah tepi.
Gambar 4. Menunjukkan sedian apus darah tepi pada anemia
hemolitik autoimun tipe hangat, terdapat banyak mikrosferosit dan
sel polikromatik yang lebih besar (retikulosit)
b) AIHA Tipe dingin
Tes aglutitinasi dingin dijumpai titer tinggi dan tes Coombs direk positif. Dan
juga tes darah tepi yakni menghitung jumlah lekosit yang kadangsampai >50
rb/mmk yang biasanya dijumpai pada yang akut, selain itu juga menghitung
jumlah trombosit meningkat.
Gambar 5. Sedian apus darah pada anemia hemolitik autoimun tipe dingin.
Aglutinasi eritrosit yang jelas terdapat pada sediaan apus darahyang dibuat
pada suhu ruangan. Latar belakangnya disebabkan oleh kosentrasi protein
plasma yang meningkat.
2.11. Tatalaksana
Penatalaksanaan AIHA:
1. Kortikosteroid:
Obat golongan kortikosteroid yang biasa diberikan kepada penderita anemia
hemolitik autoimun adalah prednison.
Steroid ini mempunyai fungsi memblok makrofag dan menurunkan sintesis
antibody. Kortikosteroid menghambat proliferasi sel limfosit T, imunitas
seluler, dan ekspresi gen yang menyandi berbagai sitokin (IL-1, IL-2, IL-6,
IFN-α dan TNF- α).
Penderita dengan anemia hemolitik autoimun karena IgG mempunyai respon
yang baik terhadap pemberian steroid dengan dosis 2-10mg/kgBB/hari. Bila
proses hemolitik menurun dengan disertai peningkatan kadar Hb (monitor
kadar Hb dan retikulosit), maka dosis kortikosteroid diturunkan secara
bertahap. Pemberian kortikosteroid jangka panjang perlu mendapat
pengawasan terhadap efek samping, dengan monitor kadar elektrolit,
peningkatan nafsu makan, kenaikan berat badan, gangguan tumbuh kembang,
serta risiko terhadap infeksi.
2. Splenektomi
Metode operasi pengangkatan limpa dan bertujuan untuk menghilangkan
tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus
berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit
yang terikat antibodi jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit
yang sama. Splenektomi sebaiknya dilakukan pada umur lima tahun keatas,
saat fungsi limpa dalam sistem imun tubuh telah diambil alih oleh organ
limfoid lain.
3. Obat Golongan Imunosupresan
Merupakan obat yang menekan system imun tubuh. Prinsip umum
penggunaan imunosupresan:
– Respons imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan
dibandingkan dengan respons imun sekunder
– Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap
antigen yang berbeda
– Penghambatan respons imun lebih berhasil bila obat
imunosupresan diberikan sebelum paparan terhadap antigen.
Azatioprin dengan dosis 50 – 200 mg/ hari (80 mg/m2) dan Siklofosfamid
dengan dosis 50 – 150 mg/ hari (60 mg/m2). Azatioprin dan Siklofosfamid
secara umum bekerja menghambat sel B dan sel T.
4. Terapi lain seperti pemberian danazol dengan dosis 600 – 800 mg/ hari.
Biasanya danazol dipakai bersama - sama steroid. Bila terjadi perbaikan,
steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol diturunkan menjadi 200
– 400 mg/ hari.
5. Tranfusi dilakukan jika ditemui anemia hemolitik berat yang mengancam
fungsi jantung. Transfusi biasanya dilakukan apabila Hb < 7 g/dl. Transfusi
darah dapat menyebabkan masalah pada penderita karena bank darah
mengalami kesulitan dalam menemukan darah yang tidak bereaksi terhadap
antibody. Transfusinya sendiri dapat merangsang pembentukan lebih banyak
lagi antibody maka darah yang ditranfusi harus tidak mengandung antigen
yang sesuai dengan penderita. Kemudian pada keadaan gawat dapat diberikan
immunoglobulin dosis.
6. Terapi plasmaferesis
Plasma darah dikeluarkan dari tubuh dan diganti dengan cairan atau plasma
dari donor yang bertujuan untuk mengurangi antibodi IgM, secara teoritis bisa
mengurangi hemolisis, namunsecara praktik hal ini sukar dilakukan
Pencegahan spesifik lainnya yang bisa dilakukan untuk anemia hemolitik
autoimun adalah:
1. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Menyingkirkan penyebab yang mendasari terjadinya AIHA, contohnya SLE.
Pemakaian obat seperti methyldopa dan fludarabin harus dihentikan.
2. Anemia hemolitik autoimun tipe dingin
a. Menghindari udara dingin
b. Mengobati penyakit dasar
2.12. Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita AIHA:
1. Deep vein thrombosis (DVT), yaitu terjadi bekuan darah yang terbentuk di
vena dalam, biasanya di tungkai bawah. Kondisi ini cukup serius, karena
terkadang bekuan tersebut bisa pecah dan mengalir melalui peredaran darah ke
organ-organ vital seperti emboli paru atau menyumbat arteri pada limpa
sehingga terjadi iskemi dan bisa menyebabkan gangguan jantung hingga
kematian.
2. Penyakit ginjal akut, terjadi hemogloblinuria oleh karena terjadi penghancuran
eritrosit dalam sirkulasi, maka Hb dalam plasma akan meningkat dan jika
konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma maka Hb akan
berdifusi dalam glomerulus ginjal. Selain itu juga terjadi mikrioangiopati pada
pembuluh darah ginjal sehingga merusak tubuli ginjal menyebabkan oligouria
dan gangguan berat fungsi ginjal.
2.13. Pencegahan
2.14. Prognosis
Prognosis baik jika factor pencetus dapat dihindari, pasien ditatalaksana
lebih dini sebelum Hb jatuh pada kadar terendah.
Prognosa lainnya yaitu terkait penggunaan obat kortikosteroid pada anak.
Pada anak-anak penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan
pertumbuhan terhambat. Mekanisme terjadinya melalui stimulasi somatostatin,
yang menghambat growth hormone. Selain itu kortikosteroid menyebabkan
kehilangan Ca2+ melalui ginjal, akibatnya terjadi sekresi PTH yang meningkatkan
aktivitas osteoklast meresorpsi tulang. Kortikosteroid juga menghambat hormon-
hormon gonad, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan proses penulangan
sehingga menghambat pertumbuhan.
Penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu lama menyebabkan
kondisi hiperkortisme sehingga menimbulkan gambaran habitus Cushing.
Kortikosteroid yang berlebihan akan memicu katabolisme lemak sehingga terjadi
redistribusi lemak di bagian tertentu tubuh. Gejala yang timbul antara lain moon
face, buffalo hump, penumpukan lemak supraklavikular, ekstremitas kurus, striae,
acne dan hirsutism. Moon face dan buffalo hump disebabkan
redistribusi/akumulasi lemak di wajah dan punggung. Striae (parut kulit berwarna
merah muda) muncul akibat peregangan kulit (stretching) di daerah perut yang
disebabkan oleh akumulasi lemak subkutan.