CASE Morbus Hansen

32
BAB I PENDAHULUAN Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun yang lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan istilah kusta yang berasal dari bahasa India, kushtha. Nama Morbus Hansen ini sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874. 1 Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit, saluran pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi sayangnya meskipun telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga gejala tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma terhadap penyakit kusta. 2 Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah dikembangkan mengenai kusta, 1

description

doc

Transcript of CASE Morbus Hansen

Page 1: CASE Morbus Hansen

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen

merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun yang

lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang sebenarnya

mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan istilah kusta yang

berasal dari bahasa India, kushtha. Nama Morbus Hansen ini sesuai dengan nama yang

menemukan kuman, yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874.1

Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit,

saluran pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium

leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab

baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang

tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug

Treamtment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi secara

adekuat, tetapi sayangnya meskipun telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko

untuk terjadi kerusakan sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat

terjadi sehingga gejala tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat

timbulnya stigma terhadap penyakit kusta.2 Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang

telah dikembangkan mengenai kusta, pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab,

pengobatan, dan pencegahan lepra masih terus diteliti.2

1

Page 2: CASE Morbus Hansen

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Morbus Hansen (MH) adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh

Mycobacterium leprae yang pertama-tama menyerang saraf tepi selanjutnya dapat

menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikulo endotelial,

mata, otot, tulang, cuping telinga, dan testis. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi

dapat asimpomatis, namun pada sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai

kecendrungan untuk menjadi cacat, khususnya tangan dan kaki.1,2

2.2 Etiologi

Disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae ditemukan pertama kali oleh

sarjana Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat gram positif,

tidak bergerak dan tidak berspora, tahan asam, berbentuk batang, dengan ukuran 1-8µ,

lebar 0,2-0,5 µ, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, basil obligat

intraseluler yang terutama dapat berkembangbiak dalam sel Schwann saraf, makrofag

kulit, dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Adanya distribusi lesi yang secara

klinik predomina pada kulit, mukosa hidung, dan saraf perifer superfisial menunjukkan

pertumbuhan basil ini cenderung menyukai temperatur kurang dari 37ºC. Masa belah diri

kuman ini memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain yaitu

12-21 hari,. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama yaitu rata-rata 2-5 tahun.2

2.3 Cara penularan

MH dapat ditularkan dari penderita MH tipe multibasilar (MB) kepada orang lain

dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi

sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit MH dapat ditularkan melalui

saluran pernafasan dan kulit.3

Patogenesis

Meskipun cara masuk M.leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan

pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit

2

Page 3: CASE Morbus Hansen

yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Bila kuman

masuk kedalam tubuh maka tubuh akan bereaksi dengan mengeluarkan makrofag untuk

memfagositnya.

Pada MH tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian

makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultifkasi

dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan.

Pada MH tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas seluler tinggi, sehingga

makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman

difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan

kadang – kadang bersatu membentuk sel datia Langhans, bila infeksi ini tidak segera

diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan

saraf dan jaringan sekitarnya.

Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M.leprae, disamping itu

sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai

fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat

bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi

kerusakan saraf yang progresif.4

2.4 Klasifikasi

Klasifikasi umum2 :

Klasifikasi Madrid

- Intermediet

- Tuberkuloid

- Borderline-dimorphous

- Lepromatosa

Klasifikasi Ridley-jopling

- Tuberkuloid

- Boderline tuberkuloid

- Mid-borderline

- Borderline lepromatous

- Lepromatosa3

Page 4: CASE Morbus Hansen

Klasifikasi WHO dan Modifikasi WHO

- Pausibasilar (PB)

Hanya MH tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut

kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi madrid.

- Multibasilar (MB)

Termasuk MH tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley

dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe MH dengan

BTA positif.

Tabel 1. perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO1

PB MB

1.Lesi kulit (makula yang

datar, papul yang

meninggi, infiltrat, plak

eritem, nodus)

2.Kerusakan saraf

(menyebabkan hilangnya

sensasi/kelemahan otot

yang dipersarafi oleh

saraf yang terkena)

1-5 lesi

Hipopigmentasi/eritema

Distribusi tidak simetris

Hilangnya sensasi yang

jelas

Hanya satu cabang

saraf

> 5 lesi

Distribusi simetris

Hilangnya sensasi

kurang jelas

Banyak cabang saraf

2.5 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis penyakit MH pada pasien mencerminkan tingkat kekebalan

selular pasien tersebut. Gejala dan keluhannya tergantung pada : 4,5

multifikasi dan diseminasi kuman M.leprae

respon imun penderita terhadap kuman M.leprae

komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.

Ada 3 tanda kardinal, jika salah satunya ada, tanda tersebut telah cukup untuk

menetapkan diagnosis penyakit MH ini.

4

Page 5: CASE Morbus Hansen

1. Lesi kulit yang anestesi

2. Penebalan saraf perifer

3. Ditemukan M.leprae (bakteriologis positif)

Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah

klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokan penyakit MH menjadi 5

kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan imunologis. 2,6

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau

beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah

dapat ditemukan lesi yang regrasi atau central healing. Permukaan lesi dapat

bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis

atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba,

kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak

adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat

terhadap kuman MH

2. Tipe Boderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak

yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa,

tetapi hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid.

Gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit

biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

3. Tipe Mid Borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum

penyakit MH. Merupakan bentuk dimorfik. Lesi dapat berupa makula infiltratif,

permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang

melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik dalam

ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang

merupakan ciri khas tipe ini.

4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)

5

Page 6: CASE Morbus Hansen

Lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan

dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi

bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir

simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian

tengah sering tampak normal dengan bagian pinggir dalam infiltrat lebih jelas

dibandingkan dengan pingir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched

out.

Tanda-tanda kerusakan saraf berupa kerusakan sensasi, hipopigmentasi,

berkurangnya keringat, dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan

dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat-tempat penebalan saraf.

5. Tipe Lepromatosa (LL)

Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa,

berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan

anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu,

cuping telinga, sedangkan di badan mengenai bagian yang dingin, lengan,

punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah.

Pada stadium lanjut terdapat penebalan kulit yang progresif, cuping telinga

menebal, garis muka menjadi kasar, dan cekung membentuk facies leonina yang

dapat disertai dengan madarosis, iritis, keratitis. Lebih lanjut dapat terjadi

deformitas hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang

selanjutnya dapat terjadi atrofi testis.

Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove

anaesthesia. Bila menjadi progresif, muncul makula dan papula baru sedangkan

lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf

perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan

pengecilan otot tangan dan kaki.

Tanda-tanda Penyakit Kusta

Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari

penyakit tersebut. yaitu:

6

Page 7: CASE Morbus Hansen

Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia

Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin

melebar dan banyak.

Adanya pelebaran saraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, auricularis,

magnus serta peroneus.

Kelenjar keringat kurang bekerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.

Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit

Alis rambut rontok

Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leonina (muka singa).

2.6 Diagnosis

Menyatakan (mendiagnosa seseorang menderita penyakit kusta menimbulkan

berbagai masalah baik bagi penderita, keluarga atapun masyarakat disekitarnya). Bila ada

keraguan-raguan sedikit saja pada diagnosa, penderita harus berada dibawah pengamatan

hingga timbul gejala-gejala yang jelas, yang mendukung bahwa penyakit itu benar-benar

kusta. Diagnosa kusta dan kelasifikasi harus dilihat secara menyeluruh dari segi :

a. Klinis

b. Bakteriologis

c. Immunologis

d. Histopatologis

Diagnosa pasien kusta dapatditegakkan berdasarkan pada penemuan tanda

kardinal (minimal 1 tanda kardinal) yaitu:

1.Bercak kulit yang mati rasa

Bercak kulit hipopigmentasi atau eritematosa,mendatar atau meninggi. Mati rasa

pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhdadap rasa raba,suhu dan nyeri.

2. Penebalan saraf tepi

Dapat disertai rasa nyeri dan juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena:

7

Page 8: CASE Morbus Hansen

a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa

b. Gangguan fungsi motor : Paresis/paralisis

c. Gangguan fungsi otonom kulit kering,reak,edema, pertumbuhan rambut

terganggu.

3.Ditemukan kuman tahan asam (slit skin smear +) Hapusan dari cuping telinga kiri

dan kanan, lesi pada bagian yang aktif.

Bila ditemukan tanda cardinal di atas maka pasien adalah tersangka

kusta,observasi dan periksa ulang setelah 3-6 bulan. Namun untuk diagnosa kusta di

lapangan cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Bila ada keraguan dan

fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan bakteriologis. Kerokan dengan

pisau skalpel dari kulit, selaput lendir hidung bawah atau dari biopsi kuping telinga,

dibuat sediaan mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen.

Biopsi kulit atau saraf yang menebal memberikan gambaran histologis yang khas. Tes-tes

serologik bukan treponema untuk sifilis sering menghasilkan positif palsu pada lepra.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan bakterioskopik

Pemeriksaan BTA dengan Ziehl-Nielsen

Bahan pemeriksaan diambil dari 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian

bawah dan 2 atau 4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan

paling infiltratif.

Indeks Morfologi

Untuk menentukan persentasi BTA hidup atau mati

Rumus:

Jumlah BTA solid x 100 % = X %

Jumlah BTA solid + non solid

Guna: Untuk melihat keberhasilan terapi, melihat resistensi kuman BTA, dan

melihat infeksiositas penyakit

Indeks Bakteri

8

Page 9: CASE Morbus Hansen

Untuk menentukan klasifikasi penyakit Lepra, dengan melihat kepadatan BTA

tanpa melihat kuman hidup (solid) atau mati (fragmented/ granular).

0 BTA -

1 – 10/ 100 L.P +1

1 – 10/ 10 L.P +2

1 – 10/ 1 L.P +3

10 – 100/ 1 L.P +4

100 – 1000/ 1 L.P +5

> 1000/ 1 L.P + 6

2. Pemeriksaan histopatologik

Untuk membedakan tipe TT & LL

Pada tipe TT ditemukan Tuberkel (Giant cell, limfosit)

Pada tipe LL ditemukan sel busa (Virchow cell/ sel lepra) yi histiosit dimana di

dalamnya BTA tidak mati, tapi berkembang biak membentuk gelembung.

Ditemukan lini tenang (subepidermal clear zone).

3. Pemeriksaan serologik

• Tes ELISA

• Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Partikel Aglutination)

• ML dipstick

2.8 Pengobatan

Paket terapi multiobat (MDT/Multi Drug Therapy) 5

9

Page 10: CASE Morbus Hansen

Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak ada

pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal

(pembasmi bakteri) yang lemah terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson

menyebabkan populasi bakteri menjadi kebal. Pada 1960an, dapson tidak digunakan lagi.

Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya

menemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan 1970an.Kemudian, Shantaram

Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi dengan rifampisin dan dapson,

untuk mengakali kekebalan bakteri. Terapi multiobat dan kombinasi tiga obat di atas

pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara ini menjadi standar

pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal untuk

mencegah kekebalan atau resistensi bakteri.

Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit untuk masuk ke negara

yang endemik. Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122

negara. Pada Pertemuan Kesehatan Dunia ke-44 di Jenewa, 1991, menelurkan sebuah

resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000,

dan berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk

mengembangkan strategi penghapusan kusta.

Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan

merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar. Yang pertama adalah pengobatan

selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson.

Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan

dapson.

10

Page 12: CASE Morbus Hansen

2.10 Prognosis

Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan

bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang asien dapat

mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun2.

1

Page 13: CASE Morbus Hansen

BAB III

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN :

Nama : Ny. S

Umur : 50 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Petani

Status : Sudah menikah

Alamat : Pesisir Selatan

Suku : Minangkabau

Seorang pasien perempuan berumur 50 tahun datang ke poliklinik Kulit dan Kelamin

RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan;

KELUHAN UTAMA:

Bercak bercak merah yang disertai gatal di wajah, badan, kedua ekstremitas atas dan

ekstremitas bawah sejak 2 tahun yang lalu.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:

- Bercak bercak merah yang disertai gatal wajah, badan, kedua ekstremitas atas,

dan ekstremitas bawah sejak 2 tahun yang lalu.

- Awalnya muncul bercak merah di pipi kanan sejak 2 tahun yang lali,kemudian

meluas ke pipi kiri,ke dahi,dan ke dagu. Dalam satu tahun terakhir bercak-bercak

merah bertambah luas ke badan, kedua ekstremitas atas, dan ekstremitas bawah.

- Timbul bercak putih yang mati rasa pada lengan kanan sejak 6 bulan yang lalu.

- Bercak kemerahan kadang disertai rasa gatal.

- Kedua kaki dirasakan berat sejak 1 tahun yang lalu.

- Telapak kaki dirasakan kurang rasa sejak 1 tahun yang lalu.

2

Page 14: CASE Morbus Hansen

- Nyeri persendian, kaku, dan kesemutan pada ujung ujung jari tangan dan kaki

sejak 1 tahun yang lalu.

- Riwayat rambut, alis mata, dan bulu mata rontok tidak ada.

- Riwayat kelopak mata tidak dapat menutup sempurna tidak ada

- Riwayat penglihatan berkurang ada,terutama apabila terkena sinar matahari.

- Riwayat timbul bentol bentol merah yang nyeri di kulit tidak ada

- Demam ada, hilang timbul, sejak bercak-bercak merah muncul.

- Pasien mandi 2 x sehari dan ganti baju 2x sehari.

- Riwayat kontak dengan penderita bercak bercak putih mati rasa tidak ada

- Riwayat mendapat pengobatan jangka lama ada.

- Nafsu makan ada.

- Riwayat penurunan berat badan yang drastis dalam waktu singkat tidak ada.

- Pasien sebelumnya berobat ke Puskesmas Air Aji mendapat obat makan dan

salep. Obat makan yang diberi adalah dexametason dan amoksisilin diminum 3x

sehari, sedangkan obat salepnya dioleskan 2x sehari, namun pasien tidak tahu

nama obatnya. Pasien kontrol teratur sekali sebulan ke puskesmas, namun karena

keluhan menetap pasien kemudian dirujuk ke RSUD Painan, tidak ada dilakukan

tindakan dan langsung dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil Padang.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU:

- Tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.

- Riwayat menderita batuk-batuk disangkal.

- Riwayat alergi,hipertensi,DM,dan stroke tidak ada.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA / ATOPI / ALERGI:

- Riwayat anggota keluarga dan kerabat dengan keluhan yang sama tidak ada.

- Riwayat anggota keluarga yang menderita batuk-batuk lama tidak ada.

RIWAYAT SOSIAL EKONOMI, PEKERJAAN DAN LINGKUNGAN:

- Pasien adalah seorang petani di pesisir selatan.

3

Page 15: CASE Morbus Hansen

- Pasien kerja di pessel sejak 25 tahun yang lalu, pasien termasuk sosial ekonomi

menengah ke bawah. Rumah semi permanen, tinggal bersama suami dan lima

orang anak kandung pasien.

PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALISATA:

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Komposmentis kooperatif

Frekuensi nadi : 84 x/menit

Frekuensi nafas : 20 x/ menit

Suhu : 36,80C

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Pemeriksaan thorak : dalam batas normal

Pemeriksaan abdomen : dalam batas normal

Kelenjar getah bening : tidak teraba perbesaran KGB

STATUS DERMATOLOGIKUS:

- Lokasi : Pipi kanan dan kiri, dahi, dagu, telinga, kedua ekstremitas atas

dan ekstremitas bawah

- Distribusi : bilateral, generalisata

- Bentuk : tidak khas

- Susunan : tidak khas

- Batas : tegas

- Ukuran : numular dan plakat

- Efloresensi :

a. makula hipopigmentasi pada lengan kanan

b. Plak eritem pada pipi kanan dan kiri, dahi, dagu, badan, kedua

ekstremitas atas dan bawah

c. Vesikel pada lengan kiri bawah

4

Page 16: CASE Morbus Hansen

d. Skuama pada lengan kiri bawah

e. Krusta pada jari 2 kaki kiri

Kelainan selaput : Tidak ditemukan kelainan

Kelainan kuku : Tidak ditemukan kelainan

Kelainan rambut : Tidak ditemukan kelainan

Pemeriksaan Sensibilitas :

Rasa raba : hipoanestesi di lengan kanan, telapak kaki kiri dan kanan.

Rasa nyeri : hipoanestesi di lengan kanan, telapak kaki kiri dan kanan.

Rasa suhu : hipoanestesi di lengan kanan, telapak kaki kiri dan kanan.

Pembesaran Saraf Perifer :

N. aurikularis magnus : Tidak ada pembesaran

N. Ulnaris : Tidak ada pembesaran

N. medianus : Tidak ada pembesaran

N. peroneus komunis : Tidak ada pembesaran

N. tibialis posterior : Tidak ada pembesaran

Pemeriksaan Motoris :

M. abd digiti minimi : 5/5

M. abd policis brevis : 5/5

M. orbicularis oculi : 5/5

Pemeriksaan kecacatan :

Mutilasi : tidak ada

Atrofi otot : tidak ada

Ulkus trofik : tidak ada

Madarosis : tidak ada

Lagoftalmus : tidak ada

Wrist drop : tidak ada

Dropped foot : tidak ada

5

Page 17: CASE Morbus Hansen

PEMERIKSAAN PENUNJANG :

Darah : tidak diperiksa

Urin : tidak diperiksa

Feses : tidak diperiksa

Pemeriksaan Mikrobiologi :

Pewarnaan Ziehl Neelsen : dari cuping telinga dextra (+++++), dari cuping telinga

sinistra (+++++), dan lesi aktif berupa lesi makula hipopigmentasi pada lengan

bawah bagian medial dekstra ( +++ )

Hasil : Didapatkan 100 BTA rata rata dalam 1 Lapangan Pandang

Kesan : +4

PEMERIKSAAN ANJURAN :

Pemeriksaan Histopatologi

Pemeriksaan kultur pus dan sensitivitas test

Test imunologi : test lepromin

DIAGNOSIS KERJA:

Morbus Hansen tipe BL

DIAGNOSIS BANDING:

Morbus Hansen tipe LL

PENATALAKSANAAN :

Terapi Umum:

• Menjelasan mengenai penyakit (penyebab, penularan dan komplikasi) dan

pengobatan pada pasien dan keluarga, serta kontrol rutin tiap bulan ke poli Kulit

dan Kelamin, berobat teratur sampai dinyatakan sembuh

• Menjelaskan pada pasien bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat resiko

terjadinya luka, dan luka merupakan tempat masuknya kuman sehingga hindari

luka dengan cara : memakai alas kaki saat bepergian.

6

Page 18: CASE Morbus Hansen

• Menjelaskan pada pasien bahwa efek samping obat menyebabkan warna buang

air kecil berwarna merah, mata menjadi kuning, warna kulit menjadi lebih gelap

sehingga pasien tidak perlu khawatir.

• Memberitahu pada pasien jika terdapat reaksi samping obat seperti nyeri perut,

mual muntah, berat badan yang menurun drastis dalam waktu singkat segera

kembali ke dokter untuk mendapat penanganan selanjutnya.

• Menggunakan obat tetes mata jika mata terasa perih dan memakai kacamata saat

berada di luar ruangan.

• Jika penyakit bertambah parah segera kembali ke dokter.

Terapi Khusus:

Paket MH tipe BL warna merah

- hari I : Rifampisin 600 mg (2x300 mg)

Klofazimin 300 mg (3x100 mg)

Dapson 100 mg

- hari 2-28 : Klofazimin 50 mg/hari

Dapson 100 mg/hari

PROGNOSIS:

Quo Ad Sanam : bonam

Quo Ad Vitam : bonam

Quo Ad Kosmetikum : dubia ad bonam

Quo Ad Functionam : dubia ad bonam

7

Page 19: CASE Morbus Hansen

8

Page 20: CASE Morbus Hansen

9

Page 21: CASE Morbus Hansen

DISKUSI

Seorang pasien perempuan umur 50 tahun datang ke poli kulit dan kelamin RSUP

DR. M. Djamil Padang tanggal 07 Januari 2014 dengan diagnosis kerja Morbus Hansen

tipe BL. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Berdasarkan anamnesis didapatkan Bercak bercak merah yang disertai gatal di wajah,

kedua lengan, dan kedua tungkai sejak 2 tahun yang lalu. Bercak bercak merah yang

disertai gatal di wajah, kedua lengan, dan kedua tungkai sejak 2 tahun yang lalu.

Awalnya muncul bercak merah di pipi kanan,kemudian meluas ke pipi kiri,ke dahi,dan

ke dagu. Satu tahun terakhir bercak-bercak merah bertambah luas ke kedua lengan dan

ke dua tungkai. Timbul bercak putih yang mati rasa pada lengan kanan sejak 6 bulan

yang lalu,dan juga kedua telapak kaki mati rasa. Bercak kemerahan kadang disertai rasa

gatal. Kedua kaki dirasakan berat sejak 1 tahun yang lalu. Nyeri persendian, kaku, dan

kesemutan pada ujung ujung jari tangan dan kaki sejak 1 tahun yang lalu. Riwayat

rambut, alis mata, dan bulu mata rontok tidak ada. Riwayat kelopak mata tidak dapat

menutup sempurna tidak ada. Riwayat penglihatan berkurang ada,terutama apabila

bercak-bercak merah di wajah semakin tebal. Riwayat timbul bentol bentol merah yang

nyeri di kulit tidak ada. Demam hilang timbul sejak bercak-bercak merah muncul. Pasien

mandi 2 x sehari dan ganti baju 2x sehari. Riwayat kontak dengan penderita bercak

bercak putih mati rasa tidak ada. Riwayat mendapat pengobatan jangka lama ada. Nafsu

makan ada. Riwayat penurunan berat badan yang drastis dalam waktu singkat tidak ada.

Pasien sebelumnya berobat ke Puskesmas Air Aji mendapat obat makan dan salap.

Pasien control teratur sekali sebulan, namun karena keluhan menetap pasien kemudian di

rujuk ke RSUD Painan, tidak ada dilakukan tindakan langsung dirujuk ke RSUP Dr. M.

Djamil Padang.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan makula hipopigmentasi pada lengan kanan, plak

eritem pada pipi kanan dan kiri, dahi, dagu, kedua ekstremitas atas dan bawah. Vesikel pada

lengan bawah kiri, Skuama pada lengan bawah kiri, Krusta pada jari 2 kaki kiri. Pada

pemeriksaan mikrobiologi didapatkan kesan BTA +5 pada kedua telingan dan +3 pada lengan.

Pada pasien ini dianjutkan dilakukan pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan kultur pus dan

sensitivitas test untuk mendukung diagnosa pasien. Pasien diterapi secara umum dan

khusus. Secara umum diberikan penjelasan, nasehat, dan saran tentang penyakit kusta

nya. Secara khusus pasien di terapi dengan pemberian paket MDT MB. Melihat klinis

1

Page 22: CASE Morbus Hansen

pasien maka prognosis pasien secara Quo Ad Sanam adalah dubia, secara Quo Ad Vitam

adalah dubia, Quo Ad Kosmetikum dubia at bonam dan Quo Ad Functionam dubia at bonam.

2

Page 23: CASE Morbus Hansen

Resep untuk pasien ini

Dr. Rena Ayu

Praktek Umum

Setiap hari Senin – Sabtu

Pukul 17.00 – 20.00

Jl.Perintis Kemerdekaan No.18 Padang

SIP : 07/23/44/2010

Telp.(0751) 22222

Tanggal : 7 Januari 2014

R/ Rifampisin 300 mg tab No. II

S 1dd tab II (hari pertama)

_____________________________________________ ζ

R/ Klofazimin 100 mg tab No. III

S 1dd Tab III (hari pertama)

_____________________________________________ ζ

R/ Klofazimin 50 mg tab No. XXVII

S 1dd tab I (hari 2-28)

_____________________________________________ ζ

R/ Dapson 100 mg tab No. XXVIII

S 1dd tab I (hari 1- 28)

_____________________________________________ ζ

R/ Neurodex No. XXX

S 1dd tab I

_____________________________________________ ζ

Pro : Ny. S

Umur : 50 tahun

3

Page 24: CASE Morbus Hansen

DAFTAR PUSTAKA

1. Kosasih A, dkk. 2007. Kusta dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI.

Hal 73-88

2. Morbus Hansen. Diakses dari http://id//emedicine.org/morbus-hansen.html

3. Mycobacteriumleprae.Diaksesdarihttp://bacteria//emedtv.com/Mycobacterium-

leprae.html

4. Leprosy. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview

5. Kusta. Diakses dari http://id.wikipedia.org//wiki//kusta

6. Siregar Prof Dr RS, SpKK. 2002. Kusta (Lepra) dalam Atlas Berwarna Saripati

Penyakit Kulit. Jakarta: EGC. Hal 154-163

4