Case Kgd Lengkap
-
Upload
jessieca-liusen -
Category
Documents
-
view
194 -
download
6
Transcript of Case Kgd Lengkap
Presentasi Kasus
CEDERA KEPALA RINGAN DENGAN FRAKTUR MANDIBULA
Oleh:
Jessieca Liusen
Rizky Febrian
Wella Yurisa
Pembimbing:
dr. Ismar, SpB, SpBA
BAGIAN / SMF KEGAWATDARURATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU - 2011
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Fraktur mandibula
Setelah cedera tulang nasal, fraktur mandibula merupakan fraktur fasial
yang paling sering. Pukulan atau jatuh dari ketinggian merupakan penyebab
fraktur mandibula tersering. Oleh karena bentuknya yang seperti cincin, fraktur
umumnya terjadi multiple. Cedera umumnya pada corpus, angulus, dan prosesus
condylaris. Benturan langsung pada rahang dapat menjalarkan energi pada
kondilus dan mematahkan tulang temporal dan menyebabkan rupturnya gendang
telinga. Riwayat cedera dan pemeriksaan fisik akan dapat menentukan hampir
semua cedera. Maloklusi dan nyeri pada pergerakan rahang merupakan petunjuk.
Laserasi intra oral menandakan terjadinya fraktur terbuka. Ekimosis dibawah
lidah merupakan salah satu penanda terjadinya fraktur mandibula, dan cedera
yang disebabkan oleh fraktur ini juga dapat berupa kerusakan nervus mandibularis
yang ditandai dengan anestesia bibir bawah. Pasien dengan oklusi yang normal
dan tes tongue-blade negatif jarang memerlukan pemeriksaan radiologis.
Terkadang foto dapat terlihat normal, walaupun terdapat fraktur kondilar. Apabila
foto menunjukkan keadaan yang normal, tetapi pemeriksaan klinis menunjukkan
kecurigaan, CT scan dapat dilakukan.1-3
Gambar 3.1 Fraktur pada daerah mandibula3
3.2 Resusitasi instalasi gawat darurat
Penampilan pasien yang sangat buruk secara medis ketika memasuki
ruang gawat darurat tidak boleh mengalihkan perhatian seorang dokter untuk
melakukan protokol trauma yang baku. Komplikasi yang paling penting untuk
trauma wajah bukanlah shock, melainkan gangguan jalan napas, terutama pada
trauma wajah tengah dan bawah. Sebelum pemeriksaan yang detail, beberapa hal
memerlukan penilaian yang cepat.4
3.2.1 Airway
Intervensi yang sederhana, seperti chin lift tanpa ekstensi leher, jaw thrust,
dan suction oropharingeal, umumnya dapat membersihkan jalur nafas. Pada
fraktur mandibular, kehilangan dari struktur normal mandibula menyebabkan flail
mandibula, menyebabkan lidah mengobstruksi saluran nafas. Pada kasus seperti
ini, mulut harus dibuka dan lidah ditarik ke luar menggunakan penjepit yang
dilapisi oleh kapas, atau dengan penjahitan yang dilakukan pada lidah anterior.
Ketika cedera tulang leher telah dihilangkan, baik secara klinis maupun secara
radiologis, lebih baik pasien berada pada posisi berdiri, dan condong ke depan dan
memasukkan suction ke dalam mulut sampai pada ujung tonsil. Posisi ini dapat
menyelamatkan nyawa pada pasien dengan fraktur mandibula. Pasien yang tidak
respon dengan teknik yang sederhana membutuhkan intubasi.5
3.2.2 Pertimbangan Intubasi
Karena cribiformis dapat terganggu, hindari nasotrakeal intubasi pada
pasien dengan trauma muka tengah. Intubasi nasotrakeal dapat menyebabkan
intubasi nasocranial atau perdarahan hidung yang berlebih. Umumnya komplikasi
seperti ini jarang terjadi dan beberapa pasien dapat diintubasi dengan berhasil
menggunakan jalur nasotrakeal. Namun intubasi orotrakeal lebih disukai dan
sering berhasi walaupun dengan anatomi wajah yang sangat terganggu. Dalam
intubasi sebelum melumpuhkan pasien, selalu evaluasi tingkat kesulitan yang
harus diantisipasi untuk ventilasi menggunakan masker. Pasien dengan distorsi
maksila dan mandibula sangat sulit untuk dioksigenasi menggunakan masker, oleh
karena masker tidak sesuai dengan wajah yang tidak stabil. Pada kasus seperti ini,
pertimbangkan intubasi sadar. Pilihan termasuk benzodiazepin, ketamin, atau agen
induksi lainnya yang dapat meminimalisir depresi napas. Jika pasien dengan
trauma maksilofasial yang parah diberikan agen paralitik, persiapkan untuk
krikotiroidotomi segera. Persiapan dalam kasus ini dapat berupa: pemberian
povidon iodin pada leher, blade, dan krikotiroidotomi terbuka, dan sebuah tube
trakeostomi di tempat tidur pasien. Sebagian ahli menggambarkan pendekatan
yang kreatif utuk intubasi pada trauma wajah. Intubasi fiber optic dengan pasien
dalam posisi semiprone dapat digunakan untuk luka penetrasi pada wajah. Posisi
supine tradisional pada intubasi tidak dapat dilakukan jika terjadi rusaknya
maxilla yang dapat menyumbat airway. Jalan napas yang demikian bisa bersih
ketika pasien berbaring ke salah satu sisinya.4,5
Alternatif lain termasuk ventilasi perkutaneus transtrakea dan intubasi
retrograde sebagai penatalaksanaan sementara. Kedua teknik ini membutuhkan
persiapan yang matang, dan jalur nafas definitif lainnya yang paling dapat
diandalkan adalah dengan teknik bedah. Krikotiroidotomi emergensi, yang
merupakan teknik yang lebih cepat dan menyebabkan komplikasi yang lebih
sedikit, lebih disukai dibandingkan dengan trakeostomi emergensi.5
3.2.3 Kontrol perdarahan
Pasien jarang sekali mengalami syok oleh karena perdarahan wajah.
Pasien yang mengalami hypotensi yang sangat rendah, harus dicari sumber
perdarahan yang lain seperti, intra toraks, intra abdomen, dan perdarahan
retroperitoneal. Perdarahan maxillofasial dapat dikontrol dengan penekanan
langsung. Melakukan clamping pada luka dihindari oleh karena struktur penting
seperti nervus fasialis dan saluran parotid dapat cedera. Perdarahan faring yang
banyak memerlukan pemasangan endotrakeal tube. Pada pasien dengan fraktur le
fort, reduksi manual pada muka dapat menghentikan perdarahan. Pegang palatum
durum pada arcus maxillaris, dan posisikan kembali fragmen yang terpisah.
Perdarahan nasal yang banyak memerlukan tekanan langsung pada hidung atau
gabungan penekanan anterior posterior, harus dilakukan dengan hati-hati untuk
tidak melakukan penekanan pada kranium. Pada kasus perdarahan
nasoopharingeal yang banyak, kateter urin dengan ujung balon diletakkan pada
dasar hidung dan diinflasikan dengan air dapat menyelamatkan jiwa. Setelah jalan
napas bersih dan perdarahan masif dapat dikontrol, potensial keadaan mengancam
hidup yang dapat terjadi pada dada, abdomen dan pelvis dievaluasi.5
3.2.4 Riwayat penyakit
Sangat penting untuk mengevaluasi mekanisme dan waktu kejadian dan
untuk mengevaluasi tingkat kesadaran. Penggunaan kantong udara pada
kecelakaan kendaraan roda empat berhubungan dengan trauma maksilofasial yang
lebih ringan dibandingkan dengan pengguna sabuk pengaman saja. Status
imunitas tetanus dan alergi merupakan protokol standar. Apabila mekanisme
cedera bukanlah karena kecelakaan lalulintas, tanyakan pada wanita tentang
kekerasan rumah tangga. Penganiayaan anak ataupun orang tua merupakan
pertimbangan khusus pada pasien dengan umur yang ekstrim mengalami trauma
fasial.5
3.2.5 Pemeriksaan fisik
3.2.5.1 Inspeksi
Pada awalnya pasien diamati dari arah muka. Pemanjangan muka dapat
terjadi pada fraktur le-fort derajat tinggi (disebut juga donkey face). Kemudian
kepala dilihat dari arah atas. Karena bells palsy post trauma terjadi dengan fraktur
pada tulang temporal, nervus kranial. Ekimosis di sekitar mata (racoon eye’s) dan
di sekitar area mastoid (battle sign) berhubungan dengan fraktur basis cranium.
Tanda-tanda ini biasanya terlihat setelah beberapa jam dan sering tidak ada ketika
pasien baru masuk walaupun trauma wajah yang masif. Racoon eye’s dapat
terlihat dengan cedera nasoethmoideal-orbital. Fraktur le-fort dan fraktur tulang
frontalis, juga dengan trauma langsung pada nasal dan periorbital.1,4,5
3.2.5.2 Palpasi
Palpasi dapat menemukan mayoritas fraktur wajah. Seluruh area wajah
harus dipalpasi dan dievaluasi secara teliti mencari area yang nyeri, crepitus, dan
udara subcutan. Keberadaan udara subkutan merupakan patogmonik untuk fraktur
dinding sinus atau hidung.1,4
Perhatian khusus harus diberikan pada struktur yang rapuh, seperti margo
infraorbita dan sutura frontozygomatica yang terletak pada posisi superolateral
orbita. Palpasi pada arkus zygomatikus akan menunjukkan asimetris yang terjadi.
Cara paling baik untuk membedakan nyeri yang disebabkan oleh cedera jaringan
lunak dengan nyeri fraktur tulang adalah dengan palpasi intraoral. Teknik ini
dilakukan dengan meletakkan jari pada bagian dalam mulut pasien, dan pada
permukaan bukal molar atas (di bagian luar gigi). Jari yang memeriksa diletakkan
pada arkus zygomatikus. Metode ini akan menunjukkan pergerakan dan kolapsnya
arkus. Untuk menentukan stabilitas wajah, dengan mulut pasien yang terbuka,
arkus maksila dipegang. Fraktur le-fort sangat mudah didiagnosis dengan
menggoyangkan arkus maksila, dengan sekaligus merasakan muka bagian sentral
untuk setiap pergerakan tangan yang lain.4
Walaupun anestesi wajah dapat terjadi oleh karena kontusio saraf, dapat
juga menandakan sebuah fraktur. Kerusakan pada nervus infraorbita dapat
menyebabkan anestesia bibir atas, mukosa nasal pada vestibulum, alis mata
bawah, dan gigi maksila ipsilateral. Anestesia bibir bawah dan gigi bawah dapat
terjadi pada fraktur mandibula.4
Gambar 3.2 Pemeriksaan palpasi bimanual6
3.2.5.3 Pemeriksaan oral dan mandibula
Dalam inspeksi, madibula dilihat apakan ada deviasi, yang terjadi akibat
fraktur atau dislokasi kondilus. Maloklusi dapat menandakan fraktur le-fort, dan
pasien mungkin tidak dapat menutup mulut, oleh karena oklusi prematur molar.
Fraktur zygomatika juga dapat menghalangi penutupan mulut apabila fragmen
tulang menekan otot masseter atau menekan prosesus coronoideus mandibula.
fraktur yang menyebabkan cedera saraf dapat menyebabkan anestesia pada bibir
dan ginggiva. Pemeriksaan intraoral dapat menunjukkan adanya patologi di
daerah ini. Pemeriksaan harus meliputi manipulasi setiap gigi, mencari laserasi
intraoral dan kelainan pada mandibula. Umumnya semua fraktur dapat dideteksi
atau dieksklusikan dengan palpasi dan penekanan mandibula. Dengan meletakkan
jari pada kanalis akustikus eksternus ketika pasien membuka dan menutup mulut,
pemeriksa dapat palpasi kondilus mandibularis dalam pergerakan mandibula.5
3.2.5.4 Tongue-Blade Test
Test tongue blade atau tes spatula, adalah teknik yang baik untuk
pemeriksaan fraktur mandibula. Pemeriksaan ini tidak perlu dilakukan pada
pasien dengan fraktur yang jelas terlihat. Pemeriksaan ini diperlukan untuk
menentukan apakah pasien dengan nyeri pada mandibula dan tidak ada deformitas
yang jelas memerlukan pemeriksaan radiologis. Pasien disuruh menggigit spatula
kayu. Pemeriksa kemudian memutar spatula bertujuan untuk mematahkan spatula
tersebut. Pasien dengan fraktur mandibula akan membuka mulutnya. Pasien yang
memiliki mandibula yang intak akan mematahkan spatula tersebut. Pada suatu
penelitian, pemeriksaan ini memiliki sensitifitas >95% dan memiliki spesifisitas
65% untuk fraktur mandibula.5
LAPORAN KASUS BAGIAN KEGAWATDARURATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
Nama Pasien : A
Umur : 40 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pedagang
Agama : Islam
MRS : 25 Juli 2011
Ruang rawat : CDR
Auto dan Alloanamnesa dari saksi mata
Keluhan Utama: nyeri pada rahang bawah
Primary Survey:
Airway & C-spine control : bicara spontan dengan gurgling
Dilakukan suction dengan suction elastic
bicara spontan tanpa gargling
Neck collar dipasang
Breathing & ventilation : clear O2 10 L/menit NRM
Circulation & hemorrhage control :
TD: 110/80 mmHg
Pulse: 90x/menit
Akral hangat, merah
Capillary refill time 2 detik
Syok hemoragik kelas I
Loading cairan RL 1 L dalam 15 menit I
TD : 120/70 mmHg
Pulse: 80x/menit
Akral hangat, merah
Capillary refill time 1 detik
Kateter urin no.18 F 30cc 1 jam I
Kesimpulan: hemodinamik stabil cairan rumatan RL 80cc/jam
Disability:
GCS: E4,M6,V5 (15) CKR
Mini neurologi: pupil isokor, reflex pupil +/+
Eksposure: pakaian ditanggalkan, tidak ada jejas pada bagian tubuh lain, pakai
selimut.
ANAMNESIS
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas 2 jam SMRS. Pasien
mengendarai motor dengan kecepatan 40 km/jam. Pasien terjatuh sendiri
dengan posisi tertelungkup ke aspal. Bagian tubuh yang pertama kali
menyentuh aspal adalah dagunya, kemudian dada, dan panggulnya. Pasien
tidak mengenakan helm saat itu.
Pasien tidak ingat kejadian segera setelah trauma yang dialaminya. Dia
tidak pingsan setelah kejadian. Pasien mengeluh nyeri pada rahang bawah
terutama ketika membuka dan menutup mulutnya. Tidak ada nyeri kepala,
muntah maupun pingsan kembali setelah kejadian. Tidak ada keluar darah
dari hidung maupun telinga pasien.
PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : composmentis GCS 15 E4M6V5
Keadaan gizi : baik
Vital sign : Nadi : 90x/menit, reguler, isi cukup
Suhu : 36,7 oC
Frek. Napas : 22 x/menit
TD: 110/80 mmHg
Pem. Kepala dan Leher : status lokalis
Pem. Toraks : DBN
Pem. Abdomen : DBN
Pem. Ekstremitas : DBN
Pem. Genitourinarius : terpasang kateter urin no. 18 F dengan urin 30 cc
dalam 1 jam I
Status Lokalis
Kepala dan leher
Inspeksi: raccoon eye (-), rinore (-), otore (-), battle sign (-), vulnus laceratum (-),
deformitas cranium (-), hematom (-), deformitas mandibula (+), maloklusi (+)
Pupil isokor 3 mm, reflek cahaya +/+, reflek pupil langsung (+/+), reflek pupil
tidak langsung (+/+), conjunctiva anemis (+)
Palpasi: nyeri tekan mandibula (+), floating maxilla (-), fracture line (+)
mandibula sinistra, krepitasi (-)
Diagnosis kerja
CKR dengan fraktur mandibula sinistra
Rencana pemeriksaan lanjutan
Darah Rutin
Foto polos mandibula AP lateral
Hasil pemeriksaan penunjang
Darah rutin:
Hb : 9,6 g/dl
Leukosit: 18.300/uL
PLT: 299.000 /uL
Ht: 27%
Foto polos mandibula AP lateral
Rencana penatalaksanaan
- Rawat Inap
- Cairan rumatan RL 28 tpm
- Antibiotic ceftriaxon 2x1 amp IV
- Ketorolac 2x1 amp IV
- ORIF mandibula
Follow up 20 Juli 2011:
S: nyeri ketika menggerakkan mulutnya
O: TD: 110/70 mmHg, Nadi: 80x/menit, napas: 22x/menit, suhu: 36,7oC
A: CKR dengan fraktur mandibula sinistra
P: rumatan RL 28 tpm, ketorolac 2x1 amp IV, ceftriaxon 2x1 amp IV, ORIF
mandibula
Follow up 21 Juli 2011:
S: nyeri ketika menggerakkan mulutnya
O: TD: 120/70 mmHg, Nadi: 84x/menit, napas: 18x/menit, suhu: 36,9 oC
A: CKR dengan fraktur mandibula sinistra
P: rumatan RL 28 tpm, ketorolac 2x1 amp IV, ceftriaxon 2x1 amp IV, ORIF
mandibula
Follow up 22 Juli 2011:
S: nyeri ketika menggerakkan mulutnya, pasien rencana pulang atas permintaan
sendiri
O: TD: 120/80 mmHg, Nadi: 76x/menit, napas: 20x/menit, suhu: 37oC
A: CKR dengan fraktur mandibula sinistra
P: rumatan RL 28 tpm, ketorolac 2x1 amp IV, ceftriaxon 2x1 amp IV, ORIF
mandibula
Follow up 23 Juli 2011: pasien pulang atas permintaan sendiri
BAB III
PEMBAHASAN
Penatalaksanaan pasien trauma di Indonesia menggunakan sistem Advance
Trauma Life Support (ATLS). Pada pasien ini, dilakukan initial assessment
dengan menilai Airway and cervical spine control, breathing, circulation and
bleeding control, disability, dan eksposure (ABCDE). Penerapan penilaian,
resusitasi, dan reevaluasi ABCDE dilakukan dengan kerja sama tim dan simultan.
Penilaian awal airway and cervical spine control pada pasien ini
didapatkan pasien dapat berbicara spontan dengan terdengar suara nafas tambahan
yaitu gurgling (berkumur-kumur). Berarti terdapat sumbatan berupa cairan pada
jalan nafas pasien. Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa
masalah pada airway merupakan masalah yang paling sering terjadi pada trauma
maksilo fasial. Dilakukan resusitasi berupa tindakan pembebasan jalan nafas pada
pasien dengan menggunakan suction elastic. Setelah suction dilakukan, dilakukan
reevaluasi, airway pasien jadi bebas dan suara nafas tambahan hilang. Penggunaan
suction elastic pada pasien ini tidak tepat, karena pada pasien dengan trauma
maksilofasial, seharusnya menggunakan suction rigid supaya operator dapat
mengontrol arah suction. Tetapi karena fasilitas IGD yang terbatas, maka
dilakukan suction dengan menggunakan suction elastic. Pasien kemudian
dipasang neck collar karena terdapat cedera di atas klavikula. Hal ini sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa pasien dengan kecurigaan fraktur cervical
seperti terdapatnya jejas atau cedera di atas klavikula harus dipikirkan fraktur
cervical sampai terbukti tidak secara klinis atau radiologis.
Penilaian pada breathing didapatkan pasien bernafas dengan spontan,
pernafasan 22 kali per menit, perkusi sonor dan auskultasi vesikuler pada ke dua
lapang paru. Didapatkan assessment bahwa breathing pasien clear.
Penilaian pada circulation didapatkan pasien memiliki tekanan darah
110/80 mmHg, nadi 90x/menit, akral hangat, merah, capillary refill time 2 detik.
Dalam sistem ATLS pasien dimasukkan ke dalam syok kelas 1. Pada pasien
trauma, setiap syok harus dianggap sebagai hemorragic syock sampai terbukti
sebaliknya. Dilakukan resusitasi pada pasien dengan cairan Ringer laktat loading
dose 1 liter dalam 15 menit. Dilakukan reevaluasi pada menit ke-15 dan
didapatkan tekanan darah naik menjadi 120/80 mmHg, nadi 80x/menit, akral
hangat, merah, capillary refill time 1 detik. Pada pasien juga dipasang kateter urin
no.18 F dan didapatkan produksi urin 30cc dalam 1 jam I. Kesimpulan,
hemodinamik pasien stabil. Terapi dilanjutkan dengan rumatan RL 80cc/jam.
Classification of hemorrhagic syock
Class
Parameter I II III IV
Blood loss (mL) <750 750–1500 1500–2000 >2000
Blood loss (%) <15 15–30 30–40 >40
Heart rate (bpm) <100 >100 >120 >140
Blood pressure Normal Orthostatic Hypotension Severe hypotension
CNS symptoms Normal Anxious Confused Obtunded
Tabel 1.1. klasifikasi syok hemorrhagik swartz
Pada penilaian disability didapatkan mata terbuka spontan, ekstrimitas
dapat bergerak menurut perintah, dan pasien dapat berbicara terorientasi.
Sehingga didapatkan Glasgow coma score (GCS) 15 artinya pasien mengalami
cedera kepala ringan. Pada pemeriksaan mini neurologi didapatkan pupil pasien
isokor dan refleks pupil +/+ artinya tidak terdapat tanda-tanda lateralisasi.
Pada eksposure pakaian pasien ditanggalkan tidak didapatkan jejas lain
pada tubuh pasien, dan pasien dipakaikan selimut untuk mencegah hipotermia.
Setelah dilakukan reevaluasi, didapatkan pasien dalam keadaan stabil,
kemudian dilakukan secondary survey. Dari anamnesis didapatkan pasien
mengalami kecelakaan lalu lintas 2 jam SMRS. Pasien jatuh pertama kali pada
dagunya, kemudian datang ke rumah sakit dengan keluhan utama nyeri pada
rahang bawahnya. Pada status lokalis, inspeksi didapatkan deformitas pada
mandibula, dan maloklusi. Palpasi didapatkan nyeri tekan mandibula, krepitasi.
Sehingga pasien di diagnosis kerja dengan CKR dengan fraktur mandibula.
Pada pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan foto ronsen kepala
AP, sehingga dapat diketahui konfigurasi fraktur dan pendekatan terapi. Terapi
menggunakan IVFD RL tetap dilanjutkan sebagai terapi rumatan. Pasien juga
diberi ketorolak injeksi untuk mengurangi rasa nyeri. Ketorolak merupakan obat
golongan non steroidal anti inflamation drugs (NSAID) yang digunakan untuk
menghilangkan rasa nyesi sedang sampai berat. Obat ini bekerja dengan
menghambat pembentukan prostaglandin. Pasien direncanakan akan dikonsul
pada spesialis bedah kepala dan leher untuk reduksi dan fiksasi fragmen fraktur.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Trauma sering terjadi dengan meningkatnya mobilisasi penduduk dan
peningkatan pemakaian kendaraan bermotor.
2. Seorang dokter umum harus memahami penanganan kasus-kasus trauma
harus ditinjau dari primary survey yang bertujuan untuk life saving.
Primary survey terdiri dari A(airway), B (breathing), C(circulation), D
(disability), E(exposure). Setiap poin primary survey harus dimulai dengan
assessment, evaluasi (melakukan tindakan pertolongan), dan reevaluasi
hingga keadaan ABCDE stabil.
3. Setelah primary survey stabil dilanjutkan fase berikutnya ke secondary
survey yakni penilaian adanya cedera tambahan lainnya seperti fraktur
maxillofacial, fraktur mandibula, dan lain-lain.
4. Penanganan cedera tambahan lainnya disesuaikan dengan terapi
definitifnya.
Saran
1. Dalam penanganan kasus trauma yang terpenting adalah life saving,
sehingga seorang dokter umum wajib mengetahui assestment dari primary
survey kemudian melakukan evaluasi.
2. Dalam setiap tindakan evaluasi yang dilakukan harus dilakukan reevaluasi
hingga keadaan stabil.
3. Setelah keadaan pasien stabil, dokter sebaiknya mempersiapkan proses
rujukan jika pasien akan dirujuk ke pusat trauma yang lebih kompeten.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hamami, AH, Pieter J, Riwanto I, Tjambolang T, Ahmadsyah I. Kepala
dan Leher. dalam Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi 2. Jakarta: EGC; 2005. 438-447
2. Widell T. Mandible fracture in emergency medicine. 30 Maret 2011. [31
Juli 2011]. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/825663-
overview#showall
3. Laub DR. Mandibular fractures. 20 Juni 2011. [31 Juli 2011]. Diunduh
dari: http://emedicine.medscape.com/article/1283150-overview#showall
4. Gus M. Garmel, MD, FACEP, FAAEM. Swaminatha V. Mahadevan, MD,
FACEP, FAAEM. An Introduction to Clinical Emergency Medicine.
Cambridge University Press 2005. United States of America: 2005
5. Latha G. Stead, MD, FACEP. Matthews S. Kaufman, MD. S. Mathew
Stead, MD, PhD. First Aid For the Emergency Medicine Clerkship .2nd
Ed. New York. McGraw-Hill: 2006
6. Pemeriksaan palpasi bimanual wajah. 2011. [31 Juli 2011]. Diunduh dari:
http://www2.aofoundation.org/ wps/portal