Case Kelompok Struma

32
Laporan Kasus Kelompok STRUMA Disusun Oleh: Kelompok 1 Ivon Nafriti Gemiyani M. Hadrian Priatna Muhammad Khelrian Putra Pembimbing : dr. Vera Muharrami, M.Ked (An) Sp.An KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

description

m

Transcript of Case Kelompok Struma

Laporan Kasus Kelompok

STRUMA

Disusun Oleh:Kelompok 1Ivon Nafriti Gemiyani

M. Hadrian Priatna

Muhammad Khelrian Putra

Pembimbing :

dr. Vera Muharrami, M.Ked (An) Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

RSUD ARIFIN ACHMAD PROPINSI RIAU

PEKANBARU

2014

KATA PENGANTAR

Puji dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pengasih dan Maha Penyayang karena atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul STRUMA

Laporan kasus ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Riau periode 15 September 2014 18 Oktober 2014.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Vera Muharrami, M.Ked (An) Sp.An selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dalam memberikan masukan dalam penulisan referat ini.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan laporan kasus ini dan penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun bagi laporan kasus ini. Akhir kata penulis berharap laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua .

Pekanbaru, 3 Oktober 2014PenulisBAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Struma atau disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Pembesaran tiroid dapat menyeluruh disebut struma difus, atau dapat juga membesar oleh karena pertumbuhan satu atau lebih benjolan (nodul) di dalam kelenjar,yang disebut struma noduler.1,2Kelenjar tiroid memiliki fungsi sebagai pengatur proses oksidasi, pengeluaran CO2, dan juga mempengaruhi perkembangan fisik dan mental pada anak. Kelejar tiroid juga mensekresi hormon Tiroksin (T4) dan triiodothironin (T3) yang mengatur proses metabolism di dalam tubuh.

Struma merupakan penyakit yang disebabkan oleh kurangnya intake yodium sebegai unsur utama dalam pembentukan T3 dan T4, sehingga untuk mengimbangi kekurangan yodium tersebut kelenjar tiroid bekerja lebih aktif dan menimbulkan hipertrofi.3 Struma yang berukuran besar dapat menyebabkan penekanan pada trakea dan asfiksia.4Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dengan melihat dampak yang ditimbulkan apabila terjadi struma maka diperlukan suatu literatur khusus untuk membahas mengenai konsep manajemen struma.1.2 Batasan Masalah

Laporan kasus ini membahas mengenai definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis struma.

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui dan menambah wawasan mengenai struma.

2. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian Ilmu Kedokteran Anestesi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Riau.

1.4 Manfaat Penulisan

Bagi penulis dapat menambah pengetahuan tentang struma serta meningkatkan keterampilan dalam menyusun tulisan ilmiah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Struma atau disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.1

2.2 Etiologi

Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tiroid merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tiroidantara lain:21. Defisiensi yodium. Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung yodium.2. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesis hormon tiroid.3. Penghambatan sintesis hormon oleh zat 4. Penghambatan sintesis hormon oleh obat-obatanStruma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis anterior.1 Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (goitrogenic agent), proses peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit Graves. Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dan penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya thiocarbamide, sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya struma kolid dan struma non toksik (struma endemik).32.3 Patofisiologi

Struma dapat disebabkan oleh faktor primer dan faktor sekunder. Yang menjadi faktor primer terjadinya struma adalah5:

Keturunan penderita struma Marker genetic (TG, MKG-1)

Dan bisa juga disebabkan oleh faktor sekunder:

TSH release ( yodium, kelainan sintesis tiroid, dll)

Merokok, stress, obat-obatan

Gambar 2.1 Patofisiologi terjadinya struma1,2,5Yodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon tiroid. Bahan yang mengandung yodium diserap usus, masuk ke dalamsirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tiroid. Dalam kelenjar, yodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormone (TSH) kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diiodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul triiodotironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi TSH dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang triiodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan, dan metabolisme tiroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hipofisis.2 TSH kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram.1

2.4 Manifestasi Klinis

2.4.1 Anamnesa

Keluhan utama pasien biasanya dapat berupa adanya benjolan di leher. Dapat ditemukan keluhan berupa penurunan berat badan, intoleransi panas, kelemahan otot, diare, refleks hiperaktif, dan gugup.6 Dalam anamnesis, perlu ditanyakan riwayat keluarga mengenai keganasan tiroid jinak maupun ganas. Penyakit terdahulu yang mengikutsertakan leher (iradiasi kepala dan leher saat masa anak-anak), riwayat kehamilan, dan kecepatan onset dan tingkat pertumbuhan benjolan di leher harus ditanyakan. Adanya benjolan di leher selama masa kanak-kanak dan remaja harus diperhatikan karena memiliki kemungkinan keganasan tiga sampai empat kali lebih besar daripada di orang dewasa. Risiko kanker tiroid juga meningkat pada usia tua dan laki-laki.

Pasien dengan nodul tiroid biasanya tidak terlalu tampak atau tidak bergejala. Seringkali, tidak ada hubungan yang jelas antara gambaran histologist dengan gejala pada pasien. Pada pasien dengan gejala, riwayat penyakit lengkap penting ditanyakan. Pertumbuhan benjolan yang lambat tapi progresif (minggu sampai bulan) mengarahkan pada keganasan.7,8

Nyeri yang tiba-tiba biasanya diakibatkan perdarahan pada nodul kistik. Pasien dengan pembesaran yang progresif disertai nyeri perlu dicurigai adanya limpoma primer atau anaplastik karsinoma. Gejala seperti sensasi tersedak, leher tegang atau nyeri, disfagia, atau suara serak dapat menyertai penyakit tiroid, tetapi seringkali diakibatkan oleh kelainan non-tiorid. Gejala servikal dengan onset yang lambat dapat diakibatkan oleh penekanan struktur vital leher dan rongga dada atas. Gejala ini muncul jika nodul tiroid tertanam dalam goiter yang besar. Jika tidak terdapat goiter multinodular, gejala kompresi trakea (batuk dan perubahan suara) dapat mengarahkan pada keganasan. Karsinoma tiroid terdiferensiasi jarang menyebabkan obstruksi saluran napas, paralisis pita suara, ataupun gejala esofageal. Oleh karena itu, ketidakadaan gejala lokal tidak menyingkirkan kemunhkinan tumor ganas.7

2.4.2 Pemeriksaan Fisik

Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk menelan dan pulpasi pada permukaan pembengkakan. Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita.9

Pemeriksaan kelenjar tiroid secara umum terdiri dari inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Pada inspeksi perlu diperhatikan apakah terdapat pergeseran trakea. Untuk dapat melihat kelenjar tiroid dengan jelas, pasien diminta untuk sedikit mendangak, kemudian perhatikan daerah dibawah kartilago krikoid. Minta pasien untuk menelan, perhatikan gerakan ke atas kelenjar tiroid, simetrisitas, dan konturnya. Palpasi kelenjar tiroid dilakukan dengan pemeriksa berdiri di belakang pasien. Pasien diminta mendangak. Jari-jari kedua tangan diletakan di leher pasien tepat dibawah kartilago krikoid. Minta pasien untuk menelan, rasakan gerakan isthmus yang naik ke atas, tetapi tidak selalu teraba. Geser trakea ke kanan dnegan jari-jari tangan kiri. Jari-jari tangan kanan meraba lobus kanan pada ruang diantara trakea dan sternomastoid. Temukan lateral margin. Dengan cara yang sama, periksa lobus kiri.7,102.4.3 Diagnosis

. Diagnosis dapat ditegakkan atas dasar adanya struma yang bernodul dan tidak toksik, melalui:

1. Pada palpasi teraba batas yang jelas, bernodul satu atau lebih, konsistensinya kenyal.

2. Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan serum T4 (tiroksin) dan T3 (triiodotironin) dalam batas normal.

3. Pada pemeriksaan USG (ultrasonografi) dapat dibedakan padat atau tidaknya nodul.

4. Kepastian histologi dapat ditegakkan melalui biopsi yang hanya dapat dilakukan oleh seorang tenaga ahli yang berpengalaman.

2.4.4 Pemeriksaan Penunjang9

Biopsi aspirasi jarum Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan . Biasanya tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.

Pemeriksaan Laboratorium

Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik. Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada pasien peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.

Pemeriksaan Radiologis

Foto Rontgen leher

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau menyumbat trakea (jalan nafas).

Ultrasonografi (USG)

Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan karsinoma.

Sidikan (Scan) tiroid

Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama technetium-99m dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah jam kemudian berbaring di bawah suatu kamera canggih tertentu selama beberapa menit. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah ukuran, bentuk lokasi dan yang utama adalah fungsi bagian-bagian tiroid.

2.5 Diagnosa Banding

Diagnosis banding struma ialah tumor mediastinum anterior, superior, seperti timoma, limfoma, tumor dermoid, dan metastasi keganasan paru pada kelenjar getah bening.112.6 Penatalaksanaan1. Operasi/Pembedahan

Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering dibandingkan dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak dapat diterapi dengan obat-obat anti tiroid. Reaksi-reaksi yang merugikan yang dialami dan untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis parah atau kekambuhan. Pada wanita hamil atau wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal (suntik atau pil KB), kadar hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini disebabkan makin banyak tiroid yang terikat oleh protein maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4 sehingga dapat diketahui keadaan fungsi tiroid.

Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan struma dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.122. Yodium Radioaktif

Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50 %. Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan genetik13

Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi, sebelum pemberian obat tiroksin.143. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid

Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.2.7 Komplikasi

Struma yang besar dapat menyebabkan kompresi trakea, dengan tracheomalacia dan sesak napas. Hipertiroidisme terjadi pada beberapa pasien memiliki kelainan yodium (Jodbasedow fenomena). Seorang pasien dengan struma autoimun dapat berkembang menjadi limfoma. Struma multinodular dapat berkembang menjadi maligna. Struma nodular dapat menyebabkan rasa sakit, nekrosis intranodular, atau perdarahan. Thyroid abses bisa berhubungan dengan nyeri, demam, bakteremia, ataupun sepsis.4BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas

Nama Pasien

: Tn. Edward Hutagalung

Umur

: 55 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Status

: Menikah

Agama

: Kristen

Nomor RM

: 861698

Tanggal Operasi: 29 September 2014

3.1 Anamnesis

Keluhan Utama

Benjolan yang semakin membesar sejak 2 tahun SMRS

Riwayat penyakit sekarang

2 tahun SMRS pasien mulai merasakan ada benjolan pada bagian leher sisi kiri dan kanan dengan ukuran sebesar biji jagung. Benjolan terasa kenyal dan tidak dapat digerakkan. Benjolan tampak sewarna dengan kulit dan tidak disertai rasa nyeri. Benjolan tidak mengganggu aktifitas maupun pekerjaan sehingga pasien tidak menghiraukan benjolan tersebut dan menganggap hanya bejolan biasa. Pasien tetap beraktifitas dan bekerja seperti biasa

1 tahun SMRS benjolan dileher dirasakan semakin membesar. Awalmya dirasakan sebesar kelereng, namun kono sudah sebesar telur ayam. Selain benjolan yang semakin membesar, pasien juga mengeluh sering gelisah, perasaan berdebar-debar dan gampang emosi, namun untuk benjolan di leher tidak ada keluhan seperti nyeri, sakit menelan, maupun perubahan suara. Karena keluhan gelisah dan berdebar dirasakan, pasien memutuskan untuk berobat alternative dan diberikan obat-obatan seperti jamu. Keluhan gelisah dan berdebar dirasakan berkurang, namun timbul lagi beberapa waktu kemudian.

Semakin lama benjolan di leher dirasakan semakin membesar, disertai gejala lainnya yang sedikit mengganggu pekerjaan yaitu tangan pasien yang selalu bergetar, berdebar sering berkeringat berlebihan dan nafsu makan yang bertambah namun tidak disertai dengan penurunan maupun kenaikan berat badan.

4 bulan SMRS keluhan tersebut dirasakan semakin bertambah namun pasien tetap belum berobat dan memilih untuk terus bekerja, sementara benjolan dileher pasien terus membesar seiring dengan memberatnya gejala.

1 minggu SMRS benjolan di leher sudah semakin membesar dan gejala memberat, benjolan sudah sebesar tinju pasien namun tetap tidak terasa nyeri. Akibat keluhan tangan bergetar dan gejala bertambah berat serta mengganggu pasien sebagai supir alat-alat berat, maka teman kerja menyarankan pasien untuk berobat. Pasien kemudian berobat ke rumah sakit di bengkalis dan kemudian dirujuk ke RSUD Arifin Achmad.

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat hipertensi (-), DM (-), asma (-)

Riwayat alergi obat disangkal

Riwayat penyakit keluarga

Kakak pasien pernah menderita penyakit yang sama

Riwayat Operasi

Pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya.

AMPLE

A:Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan.

M:Pasien sedang tidak mengkonsumsi obat-obatan.

P:Riwayat DM (-), HT (-), asma (-), Maag (+).

L:Pasien puasa 6 jam sebelum tindakan operasi.

E:Benjolan di daerah leher sudah sejak 2 tahun yang lalu

3.2 Pemeriksaan fisik

Keadaan umum: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Komposmentis

Vital sign

Tekanan darah

: 120/70 mmhg

Nadi

: 91 kali/menit

Frekuensi nafas: 21 kali/menit

Suhu

: 37,7 C

a. Airway

Clear, tidak ada sumbatan jalan nafas.

Suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan.

Respiratory Rate (RR) : 21 kali/menit.

Penilaian LEMON

L (Look) :Tidak terdapat kelainan.

E (Evaluation):Jarak antara gigi seri pasien 3 jari.

Jarak tulang tiroid dengan dagu 2 jari.

Jarak benjolan tiroid dengan dasar mulut 1 jari

M (mallampati Score):Grade 3 (SH).

O (Obstruction):Trauma (-), DBN.

N (Neck Mobility):keterbatasan gerakan kepala ringan, DBN.

b. Breathing

Suara napas vesikuler

Tidak ada retraksi iga

Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan

c. Circulation

Akral hangat, tidak pucat, kering.

Heart Rate (HR) 92 kali/menit, tegangan volume kuat dan teratur.

Capillarity refill time (CRT) < 2 sekon.

Tekanan darah : 120/70 mmHg.

Konjungtiva tidak anemis.

d. Disability : GCS 15 (E: 4 V: 5 M: 6).e. Exposure : Pasien diselimuti.

Kepala

: Mata tampak eksoftalmus,

Sklera Tidak Ikterik, Konjungtiva Anemis

Leher

: Inspeksi:

Terdapat benjolan pada leher sebanyak 3 buah

Tidak ada Perubahan Warna Kulit

Palpasi:

Teraba benjolan sebanyak 3 buah konsistensi

teraba kenyal, berbatas tegas, permukaan

bernodul-nodul, dan tidak ada pembesaran kelenjar getah bening regional

Dada

: Pergerakan dinding dada simetris, tidak ada suara

nafas tambahan

Jantung

: S1 dan S2 normal, gallop (-), Murmur (-)

Abdomen

: BU (+) normal, dalam batas normal

Genitalia

: Dalam batas normal

Colok dubur

: Tidak dilakukan

Ekstremitas

: Tangan pasien bergetar

3.3 Pemeriksaan penunjang

Laboratorium darah rutin: 29 September 2014

Hb

: 14 g/dL

Leukosit: 297.000 /uL

Trombosit: 225.000/uL

Hematokrit: 36,9 %

Kimia darah: 12 Agustus 2014

Glukosa: 111 mg/dL

Ureum

: 25 mg/dL

Creatinin: 0,85 mg/dL

AST

: 21 IU/L

ALT

: 28 U/L

Pemeriksaan Hormon thyroid: 27 September 2014

Total T3; 1,03 mmol/l

Total T4: 99,68 mmol/l

TSH: 0,10 UI/ml

Free T4: 19,75 pmol/l

Rontgen Thoraks: dalam batas normal

USG: Kesan Nodul Multiple pada kedua thyroid

3.4 Diagnosis Kerja

Struma Multinoduler Toksik

3.5 Penatalaksanaan

Rencana tatalaksana: Subtotal Lobectomi

Anestesi

: General anestesi

Status

: ASA II

3.6 Prognosis

Dubia ad malam

3.7 Persiapan operasi

Persiapan pasien

Pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi

Pasien mandi, menjaga oral hygene dan berdoa sebelum dilakukan operasi

Pasien dipasangkan akses intra vena menggunakan IV.cath nomor 18 di tangan kiri

Pasien diminta untuk melepas perhiasan dan gigi palsu sebelum dilakukannya operasi

Pasien mengenakan pakaian kamar operasi

Pasien diposisikan terlentang pada meja operasi

Persiapan alat dan obat anestesi

Menghidupkan mesin anestesi dan mempersiapkan sirkuit anestesi, facemask sesuai ukuran pasien, tensimeter,oksimeter, cek ulang tabung O2

Mengisi ulang cairan anestesi inhalasi Isoflurane dan sevorane

Mempersiapkan stetoskop dan laringoskop dengan blade nomor 3 dan 4 serta memastikan lampu laringoskop hidup

Mempersiapkan ETT nomor 6.5, 7 dan 7.5 yang menggunakan balon

Mempersiapkan guedel nomor 8 dan 9

Mempersiapkan hipafik untuk fiksasi

Mempersiapkan introducer seperti stilet dan manrin

Mempersiapkan connector

Mempersiapkan suction

Mempersiapkan spuit 3cc, 5cc, 10cc

Mempersiapkan obat untuk premedikasi seperti midazolam 2,5 mg, fentanyl 100 ug, obat untuk induksi seperti propofol 100 mg, dan notrixum 30 mg

Mempersiapkan obat untuk resusitasi seperti lidokain, atropin, ephedrin dan neostigmin

Mempersiapkan obat tambahan sesuai kasus seperti ketorolac, tramadol, asam traneksamat dan antibiotik

Premedikasi

Memasukkan midazolam 2,5 mg dan fentanyl 100 ug bolus intravena

Induksi Anestesi

Pasien dalam posisi terlentang pada meja operasi dan dilakukan induksi propofol 100 mg, kemudian cek reflek bulu mata, apabila sudah negatif berikan preoksigenasi menggunakan facemask

Kemudian dilakukan induksi notrixum 30 mg dan beri ventilasi selama 3-5 menit sampai onset relaxan bekerja

Kemudian lakukan laringoskopi menggunakan laringoskop dan blade sesuai ukuran pasien, sampai menemukan plika vokalis

Kemudian lakukan intubasi menggunakan ETT nomor 7 yang menggunakan balon ke dalam celah plika vokalis tersebut

Setelah ETT masuk kemudian sambungkan ke mesin anestesi dan berikan O2, N2O dan anestesi inhalasi seperti sevorane atau isoflurane

Pastikan ETT masuk dan simetris dengan menggunakan stetoskop pada kedua lapangan paru

Bila suara nafas sudah simetris kembangkan balon pada ETT dan fiksasi menggunakan hipafik.

Maintenance

Inhalasi: O2 sebanyak 3 L/menit, N2O sebanyak 2L/menit,

Isoflurane sebanyak 2 Vol %

Fentanyl: 25 ug

Recovery

Ketorolac 30 mg dan Fentanyl 100 mg drip di dalam RL 500 cc

Pastikan airway paten dan tidak ada sumbatan jalan nafas dengan memasukkan guedel dan melakukan suction pada pasien

Instruksi post operasi di recovery room Pasang O2 menggunakan facemask 6 L/menit

Periksa nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen sampai 2 jam post operasi

Instruksi post operasi di ruang perawatan

Awasi tanda-tanda vital

Puasa sementara sampai bising usus (+)

Berikan cairan RL 20 tpm

Bila nyeri berikan ketorolac 1 ampul

Bila muntah berikan ondansentron 1 ampul

Selanjutnya disesuaikan dengan instruksi dokter bedah

BAB IVPEMBAHASAN

Seorang pria berumur umur 55 tahun, 2 tahun SMRS pasien mulai merasakan ada benjolan pada bagian leher sisi kiri dan kanan dengan ukuran sebesar biji jagung. Benjolan terasa kenyal dan tidak dapat digerakkan. Benjolan tampak sewarna dengan kulit dan tidak disertai rasa nyeri. Benjolan tidak mengganggu aktifitas maupun pekerjaan sehingga pasien tidak menghiraukan benjolan tersebut dan menganggap hanya bejolan biasa. Pasien tetap beraktifitas dan bekerja seperti biasa

1 tahun SMRS benjolan dileher dirasakan semakin membesar. Awalmya dirasakan sebesar kelereng, namun kono sudah sebesar telur ayam. Selain benjolan yang semakin membesar, pasien juga mengeluh sering gelisah, perasaan berdebar-debar dan gampang emosi, namun untuk benjolan di leher tidak ada keluhan seperti nyeri, sakit menelan, maupun perubahan suara. Karena keluhan gelisah dan berdebar dirasakan, pasien memutuskan untuk berobat alternative dan diberikan obat-obatan seperti jamu. Keluhan gelisah dan berdebar dirasakan berkurang, namun timbul lagi beberapa waktu kemudian.

Semakin lama benjolan di leher dirasakan semakin membesar, disertai gejala lainnya yang sedikit mengganggu pekerjaan yaitu tangan pasien yang selalu bergetar, berdebar sering berkeringat berlebihan dan nafsu makan yang bertambah namun tidak disertai dengan penurunan maupun kenaikan berat badan.

4 bulan SMRS keluhan tersebut dirasakan semakin bertambah namun pasien tetap belum berobat dan memilih untuk terus bekerja, sementara benjolan dileher pasien terus membesar seiring dengan memberatnya gejala.

1 minggu SMRS benjolan di leher sudah semakin membesar dan gejala memberat, benjolan sudah sebesar tinju pasien namun tetap tidak terasa nyeri. Akibat keluhan tangan bergetar dan gejala bertambah berat serta mengganggu pasien sebagai supir alat-alat berat, maka teman kerja menyarankan pasien untuk berobat. Pasien kemudian berobat ke rumah sakit di bengkalis dan kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Ahmad dan direncanakan tindakan operasi. Sebelum dilakukan operasi, kondisi penderita tersebut termasuk dalam ASA II. Penderita berusia 55 tahun dan memiliki tekanan darah 130/80 mmHg, Riwayat hipertensi disangkal dan pasien hanya memiliki gangguan sistemik ringan dan tidak mengancam jiwa. Dari pemeriksaan di daerah leher ditemukan teraba benjolan sebanyak 3 buah, konsistensi kenyal, berbatas tegas, permukaan bernodul-nodul, dan tidak ada pembesaran kelenjar getah bening regional.

Dari pemeriksaan hormon tiroid menunjukkan gambaran eutiroid, yang merupakan indikasi dilakukannya operasi. Diagnosis pasien adalah Struma Multinoduler Toksik, rencana operasinya adalah Subtotal Lubektomi sehingga jenis anestesi yang akan dilakukan adalah anestesi umum.

Obat-obatan premedikasi yang diberikan adalah midazolam 5 mg dan fentanyl 100 ug bolus intravena. Induksi anestesi pada kasus ini menggunakan anestesi lokal yaitu propofol 100 mg, notrixum 30 mg, Asam Tranexamat, dan beri ventilasi selama 3-5 menit sampai onset relaxan bekerja.

Selama perjalanan operasi, pasien diberikan maintanance berupa :

Inhalasi: O2 sebanyak 3 L/menit, N2O sebanyak 2L/menit,

Isoflurane sebanyak 2 Vol %

Fentanyl: 25 ug

Obat-obatan selama recovery:

Ketorolac 30 mg, Vit K 10 dan Fentanyl 100mg drip di dalam RL 500 cc

Obat ketorolac, merupakan anti inflamasi non steroid (AINS) bekerja pada jalur oksigenasi menghambat biosintesis prostaglandin dengan analgesic yang kuat secara perifer atau sentral. Juga memiliki efek anti inflamasi dan antipiretik. Ketorolac dapat mengatasi rasa nyeri ringan sampai berat pada kasus seperti pada pasien ini. Mula kerja efek analgesia ketorolac mungkin sedikit lebih lambat namun lama kerjanya lebih panjang dibanding opioid. Efek analgesianya akan mulai terasa dalam pemberian IV/IM, lama efek analgesik adalah 4-6 jam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jong WD, Syamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1998.

2. Sander MA. Struma Multi Nodosa Non Toksika Intrathorakal. Jurnal Farmasains Vol.1. 2011.

3. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005.4. Mulinda JR. Goiter. American College of Physicians. Medscape Journal. 2014 Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/120034-followup#showall [diakses 5 oktober 2014]5. Madeiros-Neito G. Multinodular Goiter. Department of Medicine, Univ. Sao Paulo Medical School. 2013Available from:

http://www.thyroidmanager.org/wp-ontent/uploads/chapters/multinodular-goiter.pdf [diakses 5 Oktober 2014]6. Morgan, Mikhail. Clinical anesthesiology 5th Ed. United States: McGraw-Hill Education. 2013.

7. Gharib H, Papini E, Paschke R, Duick D S, Valcavi E, Hegediis L, et al. Association medical guidelines for clinical practice for the diagnosis and management of thyroid nodules. Endocr Pract. 2006. p63-102

8. Cooper D S, Doherty G M, Haugen B R, Kloos R T, Lee S L, Mandel S J, et al. Revised American Thyroid Association Management Guidelines for Patients with Thyroid Nodules And Differentiated Thryroid Cancer. Thyroid. 2009. p1-48.

9. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi-Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005.

10. Bickley L S. Bates Guide to Physical Examination and History Taking. 11 ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins. 2013. p252-3.

11. R. Sjamsuhidajat, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. 2012.p807-11.12. Michele W, Alison W. Pedoman Pengobatan. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica. 1992.

13. Ersoy B, et all. Interactions of thyroid hormones; insulin-like growth factor-1 (IGF-1), IGF binding proteins, and nutritional anthropometric parameters in school children with goiter detected by palpation. Clin Endocrinol Diabetes. 209. 117(9):p490-514. Gatut S. Penyakit Kelenjar Tiroid Gejala Diagnosis dan Pengobatan. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.

19