Case Eklampsia

61
PENDAHULUAN Kehamilan dapat menyebabkan hipertensi pada wanita yang sebelumnya dalam keadaan normal atau memperburuk hipertensi pada wanita yang sebelumnya telah menderita hipertensi. Edema menyeluruh, proteinuria atau kedua- duanya dapat menyertai hipertensi yang diinduksi atau diperberat oleh kehamilan. Keadaan ini disebut pre- eklampsia. Bila pre-eklampsia disertai kejang, maka keadaan ini disebut eklampsia. ( 1 ) Eklampsia adalah suatu keadaan akut pada kehamilan, persalinan, dan masa nifas dini yang ditandai oleh timbulnya kejang-kejang dan atau koma, dimana sebelumnya wanita hamil itu menunjukan gejala pre-eklampsia. Kejang- kejang yang timbul bukanlah akibat kelainan neurologik. ( 2 ) Eklampsia disamping perdarahan dan infeksi, masih merupakan sebab utama kematian ibu dan sebab kematian perinatal yang tinggi. Oleh karena itu diagnosis dini pre-eklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. ( 3 ) 1

description

l

Transcript of Case Eklampsia

Presentasi Kasus

PENDAHULUAN

Kehamilan dapat menyebabkan hipertensi pada wanita yang sebelumnya dalam keadaan normal atau memperburuk hipertensi pada wanita yang sebelumnya telah menderita hipertensi. Edema menyeluruh, proteinuria atau kedua-duanya dapat menyertai hipertensi yang diinduksi atau diperberat oleh kehamilan. Keadaan ini disebut pre-eklampsia. Bila pre-eklampsia disertai kejang, maka keadaan ini disebut eklampsia.( 1 )

Eklampsia adalah suatu keadaan akut pada kehamilan, persalinan, dan masa nifas dini yang ditandai oleh timbulnya kejang-kejang dan atau koma, dimana sebelumnya wanita hamil itu menunjukan gejala pre-eklampsia. Kejang-kejang yang timbul bukanlah akibat kelainan neurologik.( 2 )

Eklampsia disamping perdarahan dan infeksi, masih merupakan sebab utama kematian ibu dan sebab kematian perinatal yang tinggi. Oleh karena itu diagnosis dini pre-eklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak.( 3 )

Frekwensi eklampsia bervariasi antara satu negara dengan yang lain. Frekwensi rendah pada umumnya merupakan petunjuk tentang adanya pengawasan antenatal yang baik dan penanganan preeklampsia yang sempurna. Di negara sedang berkembang, frekwensi eklampsia dilaporkan antara 0,3 0,7 % , sedangkan di Negara maju berkisar 0,05 0,1 %, di AS 0.02 0.1 %.( 3 ,4)

Telah diketahui bahwa eklampsia masih merupakan penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas ibu dan anak.(5) Mortalitas ibu di Negara berkembang masih tinggi yaitu sekitar 5 10 %, di AS kuang dari 1 %, sedangkan kematian janin sekitar 40 %, di AS sekitar 12 % dengan penyebab kematian ibu adalah edema dan perdarahan otak 50 75 % (4,5,6 )

Eklampsia yang terjadi pada masa antepartum sekitar 25 %, intrapartum sekitar 50 % dan postpartum sekitar 25 %. Eklampsia paling sering timbul pada trimester ketiga kehamilan sampai 48 jam post partum dan jarang terjadi sebelum usia kehamilan 20 minggu atau lebih dari 23 hari post partum. Pasien sering datang dalam keadaan koma, depresi nafas,oligouria dan edema generalisata dan tidak selalu dengan tekanan darah yang tinggi.( 4,5 )

Eklampsia sering timbul dalam trimester ketiga dan intrapartum. Keputusan penyelesaian proses persalinan saat itu pada pasien eklampsia yang datang dalam kala II persalinan dengan usia kehamilan preterm, serta perlu atau tidaknya tindakan ekstraksi cunam untuk mempercepat kala II memerlukan pertimbangan sesuai dengan keadaan ibu dan janin.

Berikut ini akan dipresentasikan suatu kasus, seorang pasien yang masuk KB-IGD RS. M. Djamil Padang, yang telah mengalami beberapa kali kejang di rumah dan diperjalanan. Pasien didiagnosa dengan Eklampsia Intrapartum. Pasien dirawat di ICU selama 3 hari, kemudian perawatan diteruskan di bagian obstetri dan ginekologi selama 5 hari dan dipulangkan dalam keadaan baik.

KASUS

ANAMNESIS

Nama

: Ami Maradeva

Nama Suami

: Syafaruddin

Umur

: 24 Tahun

Umur

: 29 Tahun

Pendidikan

: SD

Pendidikan

: SD

Pekerjaan

: Rumah Tangga

Pekerjaan

: Tani

Alamat

: RT 10. RW IV Tanjung Gedang Muaro Bungo

No. MR

: 28 89 97

Seorang pasien perempuan, 24 tahun masuk KB-IGD RS. M. Djamil Padang tanggal 07 Oktober 2002 pukul 22:15 WIB kiriman RSUD Solok dengan diagnosa : Eklampsia Intrapartum.

Riwayat Penyakit Sekarang : ( Alloanamnesa dari kakak Pasien )

Kejang di rumah sebanyak 4x 10 jam yang lalu, seluruh tubuh dan diantara kejang pasien tidak sadar. Pasien dibawa ke RSUD Muaro Bungo, karena dokter SpOG tidak berada ditempat pasien dirujuk ke RSUD Solok. Dalam perjalanan ke Solok pasien kejang 5x dan di RSUD Solok diberi obat melalui infus. Karena perawatan ICU RSUD Solok Tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. M. Djamil Padang dengan Infus terpasang.

Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari makin lama makin sering dan makin kuat sejak 12 jam yang lalu.

Keluar lendir bercampur darah dari kemaluan sejak 12 jam yang lalu.

Keluar air-air yang banyak dari kemaluan sejak 6 jam yang lalu, membasahi 1 helai kain panjang, warna jernih, bau amis.

Keluar darah yang banyak dari kemaluan : ( - )

Tidak haid sejak + 8 bulan yang lalu.

HPHT : lupa

TP : tidak bisa ditentukan

Gerak anak dirasakan sejak 3 bulan yang lalu.

R. Hamil Muda : Mual ( + ), Muntah ( - ), Perdarahan ( - ).

Prenatal Care : Tidak teratur ke Bidan

R. Hamil Tua : Mual ( - ), Muntah ( - ), Perdarahan ( - )

R. Menstruasi : Menarche usia 14 tahun, teratur, 1x sebulan, lamanya 5-7 hari, banyaknya 2-3x ganti duk per hari, nyeri haid ( - )

Riwayat Penyakit Dahulu :

Tidak pernah menderita penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM dan hipertensi.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit menular, kejiwaan dan keturunan.

Riwayat Perkawinan : 1x tahun 2001

Riwayat Kehamilan / Abortus / Persalinan : 1/0/0

I : Sekarang

Riwayat Kontrasepsi : ( - )

Riwayat Imunisasi : ( - )

PEMERIKSAAN FISIK :

Status Generalis :

Keadaan Umum : Jelek

Kesadaran : Soporocomatous

Tekanan Darah : 150 / 100 mmHg

Nadi

: 132x / menit

Nafas

: 32x / menit

Suhu

: 38,5 0 C

Tinggi Badan : 148 cm

Berat Badan : 64 kg

Mata

: Konjunctiva tidak anemis. Skelera tidak ikterik.

Leher

: JVP 5-2 cm H2O. Kelenjar thyroid tidak membesar.

Thorak : Jantung dan paru dalam batas normal.

Abdomen: Status Obstetrikus.

Genitalia: Status Obstetrikus.

Ekstremitas: Edem +/+. Refleks fisiologis +/+. Refleks patologis -/-

Status Obstetrikus :

Muka

: Chloasma gravidarum ( + )

Mammae: Membesar, tegang, areola melebar, menebal dan hiperpigmentasi, papilla

membesar dan hiperpigmentasi, kolostrum ( + )

Abdomen :

Inspeksi: - Tampak membuncit sesuai usia kehamilan.

- Linea mediana hiperpimentasi.

- Striae gravidarum ( + )

- Sikatrik ( - )

Palpasi

: Fundus uteri teraba pusat proc. xypoideus.

L1 : Teraba masa besar dan noduler

L2 : - Teraba tahanan terbesar di kiri.

- Teraba bagian bagian kecil di kanan.

L3 : Teraba masa keras terfiksir.

L4 : Bagian terbawah janin sudah masuk PAP 3/5 bagian.

TFU : 26 cm

TBA : 2325 gram

His : 4-5 / 30 / Sedang

Perkusi : Tympani.

Auskultasi: BJA : 128x / menit.

Genitalia :

Inspeksi : Vulva dan urethra tenang.

VT

: - lengkap

- Ketuban ( - ).

- Teraba kepala UUK Depan HIII - IV

UPD : - Promontorium

: Tidak bisa dinilai

- Linea Inominata

: Tidak bisa dinilai

- Sakrum

: Tidak bisa dinilai

- Dinding Samping Panggul : Tidak bisa dinilai

- Spina Iskiadika

: Tidak menonjol

- Koksigeus

: Mudah digerakan

- Arkus Pubis

: > 90 0

UPL : Distansia Inter Tuberum : Dapat dilalui 1 tinju dewasa ( 10,5 cm ).

Kesan : Panggul Luas.

DIAGNOSIS :

G1P0A0H0 Parturient Preterm Kala II + Eklampsia Intrapartum dalam Regimen SM Dosis Maintenance dari Luar.

Anak Hidup Tunggal Intra Uterin Letak Belakang Kepala UUK Depan HIII-IVSIKAP :

Rawat ICU

Teruskan regimen SM dosis maintenance

O2 4L / menit

Kontrol KU, VS, Refleks Patella, Balance cairan dan jumlah urine.

Periksa darah lengkap, faal hemostatik, faal hepar, faal ginjal, EKG, Astrup dan Elektrolit.

Konsul Penyakit Mata, Penyakit Dalam dan Penyakit Syaraf.

Antibiotik.

Siapkan darah 500 ml.

Konsul Anestesi.

Tidur telentang.

RENCANA :

Terminasi kehamilan setelah 4-6 jam stabil.

Bantu kala II dengan ekstraksi cunam dalam narkose umum.

Hasil Laboratorium :

Darah :

- Hb.

: 16,2 g %

- Leukosit

: 21.800 / mm3

- Hematokrit

: Alat rusak

- Trombosit

: Slide darah tepi : Kesan Trombosit kurang

- Gula darah random : 99 mg %

- Ureum

: 37 mg % ( 20-40 )

- Natrium

: 135 mmol/L ( 135-148 )

- Kalium

: 2,3 mmol/L ( 3,5-6 )

- Chlorida Serum: 102 mmol/L (334-395)

Hasil Konsul antar bagian :

1. Penyakit Mata :

Kesimpulan : Saat ini terlihat ada gambaran fundus eklampsia sedang.

2. Penyakit Dalam :

Kesimpulan : - G1P0A0H0 Parturient Aterm + Eklampsia Intrapartum

- Bronkopneumonia Sinistra + Hipokalemia

Anjuran :- Terapi eklampsia sesuai bagian TS

- Antibiotik

- Koreksi K+ : 29 mEg KCl ( bolus pelan-pelan )

3. Penyakit Syaraf : Konsul Via Telp. Dr. Yulius Jamil SpS . Advis : Nicholins 2

x 250 mg IV

Kriteria Eden :

- Nadi > 120x / menit

: 1

1

Perawatan di ICU :

Pasien dipasang Ventilator, Monitor dan CVP

Kontrol : Saturasi O2, Tekanan Darah, Balance Cairan ( Urine ), Nadi dan EKG

Terapi :

Intravena

Cairan intravena : KaEn MG + Pan Amin G 80 cc / jam

Radin 2 x 100 mg

Alinamin F 3 x 1 ampul

Vit C 1 x 400 mg

Oral

Activan 3 x 0.5

Ascardia ( Asam Asetilsalisilat ) 2 x 160 mg

Hasil Laboratorium : ( Tambahan )

Hematokrit : 45,2 %

Trombosit : 73.000 / mm3 PH

: 7,422

( 7.350-7,450 )

PO2

: 136,2 mmHg

( 80.0 100.0 )

PCO2

: 18,9 mmHg

( 35,0 45,0 )

CtHb

: 15,0 g/dl

( 11,5 17,4 )

COHb

: 3,9 %

( 0,5 2,5 )

MetHb

: 1,4 %

( 0,4 1,5 )

O2Hb

: 93,6 %

( 95,0 99,0 )

HHb

: 1,1 %

( 1,0 5,0 )

SulfHb

: 0,0 %

( 0,0 0,1 )

cHCO3

: 12,7 mmol / l

ctO2

: 19,9 vol %

BE

: -8,4 mmol / l

Beecf

: -11,3 mmol / l

BB

: 39,6 mmol / l

P50

: 25,1 mmol / l

SO2

: 98,9 %

Pukul : 02 : 30 WIB.

Setelah 4 jam keadaan stabil.

PEMERIKSAAN FISIK :

Status Generalis :

Keadaan Umum : Jelek

Kesadaran : Soporocomatous

Tekanan Darah : 156 / 98 mmHg

Nadi

: 114x / menit

Nafas

: 28x / menit

Suhu

: 37,8 0 C

Ekstremitas: Edem +/+. Refleks fisiologis +/+. Refleks patologis -/-

Status Obstetrikus :

Muka

: Stq

Mammae: Stq

Abdomen :

Inspeksi: Stq

Palpasi

: Stq

His : 4-5 / 30 / Sedang

Perkusi : Tympani.

Auskultasi: BJA : 118x / menit.

Genitalia :

Inspeksi : Vulva dan urethra tenang.

VT

: - lengkap

- Ketuban ( - ), sisa kehijauan.

- Teraba kepala UUK Depan HIII - IV

UPD : - Promontorium

: Tidak bisa dinilai

- Linea Inominata

: Tidak bisa dinilai

- Sakrum

: Tidak bisa dinilai

- Dinding Samping Panggul : Tidak bisa dinilai

- Spina Iskiadika

: Tidak menonjol

- Koksigeus

: Mudah digerakan

- Arkus Pubis

: > 90 0

UPL : Distansia Inter Tuberum : Dapat dilalui 1 tinju dewasa ( 10,5 cm ).

Kesan : Panggul Luas.

DIAGNOSIS :

G1P0A0H0 Parturient Preterm Kala II + Eklampsia Intrapartum dalam Regimen SM Dosis Maintenance.

Anak Hidup Tunggal Intra Uterin Letak Belakang Kepala UUK Depan HIII-IVSIKAP :

Siapkan Ektraksi Cunam

Teruskan regimen SM dosis maintenance

O2 4L / menit

Kontrol KU, VS, Refleks Patella, Balance cairan dan jumlah urine.

Konsul Anestesi.

Tidur telentang.

RENCANA :

Ekstraksi Cunam

Pasien dikonsulkan ke bagian anestesi untuk tindakan Forceps Ekstraksi dalam narkose umum, bagian anestesi tidak bisa karena ada operasi.

Pukul : 05 : 45 WIB.

Bagian anastesi bisa untuk melakukan narkose umum.

PEMERIKSAAN FISIK :

Status Generalis :

Keadaan Umum : Jelek

Kesadaran : Soporocomatous

Tekanan Darah : 152 / 97 mmHg

Nadi

: 102x / menit

Nafas

: 28x / menit

Suhu

: 37,6 0 C

Ekstremitas: Edem +/+. Refleks fisiologis +/+. Refleks patologis -/-

Status Obstetrikus :

Muka

: Stq

Mammae: Stq

Abdomen :

Inspeksi: - Stq

Palpasi

: - Stq

His : 3-4 / 40 / Kuat

Perkusi : Tympani.

Auskultasi: BJA : 112x / menit.

Genitalia :

Inspeksi : Vulva dan urethra tenang.

VT

: - lengkap

- Ketuban ( - ), sisa kehijauan.

- Teraba kepala UUK Depan HIII - IV

UPD : - Promontorium

: Tidak bisa dinilai

- Linea Inominata

: Tidak bisa dinilai

- Sakrum

: Tidak bisa dinilai

- Dinding Samping Panggul : Tidak bisa dinilai

- Spina Iskiadika

: Tidak menonjol

- Koksigeus

: Mudah digerakan

- Arkus Pubis

: > 90 0

UPL : Distansia Inter Tuberum : Dapat dilalui 1 tinju dewasa ( 10,5 cm ).

Kesan : Panggul Luas.

DIAGNOSIS :

G1P0A0H0 Parturient Aterm Kala II + Eklampsia Intrapartum dalam Regimen SM Dosis Maintenance.

Anak Hidup Tunggal Intra Uterin Letak Belakang Kepala UUK Depan HIII-IVSIKAP :

Siapkan Ekstraksi Cunam

Teruskan regimen SM dosis maintenance

O2 4L / menit

Kontrol KU, VS, Refleks Patella, Balance cairan dan jumlah urine.

Tidur telentang.

RENCANA :

Ekstarksi Cunam

Dilakukan ekstraksi cunam dalam narkose umum.

Lahir anak perempuan dengan :

Berat badan : 2181 gram

Panjang badan: 44 cm

A / S

: 1 / 1

Lingkaran kepala 31 cm

Lingkaran dada 26 cm

Lingkaran perut 24 cm

Plasenta lahir dengan manual, lenkap 1 buah, berat 350 garm, ukuran 15 x 15 x 2 cm. Panjang tali pusat 45 cm, insersi parasentral.

Dilakukan eksplorasi, ternyata korpus uteri dan portio utuh.

Luka Episiotomi dijahit dan dirawat.

Perdarahan selama tindakan + 200 ml.

Diagnosis :

Para 1 A0 H1 post FE a.i Eklampsia Intrapartum.

Sikap :

Awasi pasca tindakan.

PERMASALAHAN

Dari kasus yang telah diajukan, terdapat beberapa maalah yang akan dibahas pada diskusi selanjutnya :

1. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat .

2. Apakah penanganan pertama pada saat pasien diterima sudah tepat.

3. Apakah terminasi kehamilan pada pasien ini mesti menunggu 4 jam stabil

4. Apakah tindakan Ekstraksi Cunam pada pasien ini telah tepat.

TINJAUAN PUSTAKA

Preeklampsia dan eklampsia sampai saat kini masih merupakan penyulit utama dalam dalam kehamilan dan menjadi penyebab utama kematian dan kesakitan maternal maupun perinatal. Mencari etilogi preeklampsia merupakan pendekatan terbaik dalam upaya menurunkan morbiditas dan mortalitas yang diakibatkan oleh preeklampsia dan eklampsia. Namun sampai sekarang etiologi tersebut belum diketahui, walaupun diyakini bahwa preeklampsia berhubungan erat dengan plasenta. Hipotesis yang penting pada patogenesis dari preeklampsia adalah terdapat senyawa yang dihasilkan jaringan uteroplasenta yang masuk kedalam sistem sirkulasi ibu dan menyebabkan kerusakan edotel. Perubahan fungsi endotel dianggap sebagai penyebab utama timbulnya gejala preeklampsia.( 7 )

Bila preeklampsia tidak terdiagnosa atau keadaan ini tidak diatasi dengan baik sehingga terjadi kejang maka keadaan ini disebut eklampsia.

Eklampsia adalah suatu keadaan gawat dan akut pada kehamilan, persalinan dan nifas dini yang ditandai oleh timbulnya kejang-kejang atau koma, dimana sebelumnya wanita hamil itu menunjukan gajala preeklampsia, kejang-kejang yang timbul bukanlah akibat kelainan neurologik.( 2 )Etiologi

Sampai saat sekarang, etiologi dari preeklampsia dan eklampsia belum diketahui dengan pasti.

Faktor Predisposisi

Beberapa faktor predisposisi terjadinya preeklampsia dan eklampsia. ( 8 )1. Usia

Angka kejadian meningkat pada primigravida muda dan meningkat tajam pada primigravida tua. Angka kejadian preeklampsia berat pada wanita hamil kurang dari 15 tahun meningkat 3 kali lipat.

2. Paritas

Penyakit hipertensi dalam kehamilan telah diakui sebagai penyakit yang esensial pada primigravida, terlebih lagi pada primigravida yang berusia 35 tahun atau lebih dan beresiko tinggi akan kejadian preeklampsia berat.

3. Ras dan Golongan Etnik

Berbagai penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan angka kejadian hipertensi dalam kehamilan untuk golongan etnik dan ras yang berbeda. Namun disadari bahwa bagi golongan etnik dan ras tertentu mungkin memperoleh standar pelayanan kesehatan yang berbeda walaupun dalam satu negara.

4. Faktor Keturunan

Penelitian kehamilan pada anak-anak dan cucu-cucu wanita dari ibu yang mengalami eklampsia menunjukan angka kejadian preeklampsia pada anak wanitanya berkisar 26 % dan eklampsia sebesar 2 %. Satu dari 16 cucu wanita mengalami preeklampsia pada kehamilan pertamanya.

5. Faktor Genetik

Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa preeklampsia berat berkemungkinan suatu sifat yang resesif. Walau belum dapat dipastikan, diduga genotipe ibu dan janin merupakan factor predisposisi penyakit tersebut.

- Golongan Darah

Suatu penelitian di Jerman menunjukan angka kejadian hipertensi dalam kehamilan sebagai berikut :

- Golongan darah A

: 14,4 %

- Golongan darah O

: 12,8 %

- Golongan darah Rhesus (+): 12,0 %

- Golongan darah Rhesus (-): 9,2 %

- Pernikahan antar keluarga yang ada hubungan darah ( cosanguinity )

Kejadian preeklampsia diduga ada hubungannya dengan antigen ibu-janin. Apabila ayah dan ibu janin tersebut masih terdapat hubungan darah yang dekat, maka gen dari janin menyerupai atau mendekati gen ibunya. Suatu penelitian dalam suatu populasi menunjukan bahwa angka kejadian preeklampsia ternyata rendah apabila antara suami istri terdapat hubungan darah yang erat. Namun hasil ini masih dipertanyakan apabila usia dan paritas ibu juga diperhitungkan.

- Jenis kelamin janin

Banyak penelitian dalam masa lampau menyatakan bahwa bayi laki-laki berperan lebih besar dalam kejadian eklampsia dibandingkan bayi perempuan. Namun dalam suatu penelitian di Skotlandia pada tahun 1967-1975 menunjukan bahwa hal itu tidak benar.

6. Faktor Diet ( Nutrisi )

Suatu penelitian di India menunjukan adanya hubungan antara eklmpsia dan faktor nutrisi, tetapi banyak penelitian lain yang tidak mendapatkan hubungan tersebut. Fakta yang telah diketahui ialah para ibu yang termasuk dalam kelompok sosioekonomi rendah mempunyai angka kejadian yang tinggi akan preeklampsia berat dan eklampsia oleh karena malnutrisi.

7. Faktor Lingkungan

- Peperangan, kelaparan dan musim kering yang lama.

Dalam perang dunia I di Jerman dilaporkan penurunan maupun peningkatan angka kejadian eklampsia. Laporan ini dikaitkan dengan perubahan diet selama perang.

- Iklim dan musim

Di daerah yang beriklim tropis angka kejadian eklampsia lebih tinggi pada kondisi musim yang lebih sejuk dan lembab, sebaliknya pada musim kering isidensi lebih rendah.

- Ketinggian dari permukaan laut

Suatu penelitian di Colorado AS, menunjukan bahwa para ibu yang tinggal pada ketinggian lebih dari 3100 m dpl mempunyai angka hipertensi yang lebih tinggi ( 12 % ) dibandingkan mereka yang tinggal pada ketinggian yang lebih rendah ( 3-4 % )

- Wilayah urban dan rural

Terdapat dugaan bahwa angka kejadian preeklampsia dan eklampsia berbeda pada wanita yang tinggal di daerah urban dan rural, khususnya di negara sedang berkembang. Namun belum ada fakta yang mendukung hipotesis tersebut.

8. Faktor Tingkah Laku dan Sosioekonommi

- Merokok

Beberapa penelitian melaporkan bahwa angka kejadian preeklampsia lebih rendah pada ibu-ibu yang merokok dibandingkan yang tidak merokok.

- Aktifitas fisik

Istirahat baring ( bed rest ) terbukti suatu cara yan efektif untuk digunakan dalam mengatasi penyakit hipertensi dalam kehamilan.

- Faktor sosioekonomi

Penelitian di Inggris gagal membuktikan hubungan yang bermakna antara angka kejadian penyakit hipertensi dalam kehamilan dengan kelas social masyarakat berdasarkan pekerjaan suami. Di Israel, suatu penelitian menunjukan bahwa angka kejadian preeklampsia pada ibu-ibu yang buta huruf lebih tinggi.

9. Hiperplasentosis

Hiperplasentosis ialah peningkatan berat plasenta akibat ukuran atau jumlah plasenta bertambah. Hiperplasentosis berkaitan dengan kondisi berikut :

- Kehamilan ganda

Angka kejadian proteinuria pada primigravida dengan preeklampsia dan kehamilan kembar ternyata 5 kali lebih besar dibandingkan kehamilan tungal. Preeklampsia juga lebih sering ditemukan pada kehamilan kembar dizigotik dibandingkan monozigotik.

-Hidrops fetalis

Hasil analisis 52 kasus hidrops fetalis, ternyata 50 % ibunya penderita preeklampsia, sedangkan pada kasus bayi dengan penyakit hemolitik imunisasi rhesus tanpa hidrops fetalis, hanya 4,6 % ibunya yang mengalami preeklampsia.

- Diabetes mellitus

Suatu penelitian pada wanita berpenyakit diabetes mellitus menunjukan kenaikan 5 % dalam angka kejadian preeklampsia. Peningkatan kejadian preeklampsia pada penelitian tersebut mungkin disebabkan kondisi diabetesnya yang tidak terkontrol dengan baik atau pada beberapa kasus mungkin telah terdapat kelainan pada ginjalnya dan bukan akibat preeklampsia murni.

- Mola hidatidosa

Pada kasus mola hidatidosa terdapat angka kejadian yang tinggi dan permulaan penyakit yang lebih dini untuk preeklampsia dan eklampsia. Diduga pembentukan jaringan trofoblas yang berlebihan berperan dalam penyebab preeklampsia.

Patofisiologi

Vasospasme merupakan dasar patofisiologi dari preeklampsia dan eklampsia. Konsep ini pertama kali diajukan oleh Volhard ( 1918 ), berdasarkan pengamatan langsung terhadap pembuluh darah kecil pada pangkal kuku, fundus okuli dan konjunctiva bulbi. Patofisiologi dari hipertensi dalam kehamilan dapat dilihat dari skema dibawah ini( 1 ) :

Maternal

Faulty

Excessive

Vascular

Placentation

Trophoblast

Disease

Genetic,

Immunologic or

Inflammatory

Factors

Reduced Uteroplacental

Perfusion

Vasoactive Agents :

Noxious Agents :

Prostaglandins

Cytokines

Nitric Oxide

Lipid Peroxidases

Endothelins

Activation

Capillary Leak

Vasospasm

Activation of

Coagulation

Edema

Proteinuria

Hemo-

Thrombo-

concentration

cytopenia

Hyper- Oliguria Liver

tesion Ischemia

Seizures Abruption

Diambil dari Friedman dan Lindheimer, 1999. Williams Obstetrics

Penyempitan vaskuler menyebabkan hambatan aliran darah dan menerangkan terjadinya hipertensi arterial. Perubahan pada vaskuler yang disertai hipoksia pada jaringan setempat dan sekitarnya, diperkirakan menimbulkan perdarahan, nekrosis dan kelainan organ akhir lainnya yang sering dijumpai pada preeklampsia berat.

Terjadinya kejang pada eklampsia sampai saat ini masih belum dapat diterangkan. Diketahui pada eklampsia terjadi kekacauan fungsi pada banyak organ tubuh seperti susunan syaraf pusat, darah, hati, ginjal,dan sistim kardiovaskular. Kekacauan tersebut diatas tidak saja disebabkan oleh faktor-faktor medis obstetri tapi juga oleh keterlambatan penanganan penyakit lain yang menyertainya atau menyulitkannya.( 6 ) Kejang pada eklampsia dibagi dalam 4 tingkat yaitu : ( 3 )1. Tingkat awal atau aura.

Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata terbuka tanpa melihat kelopak dan tangan bergetar, kepala diputar kekanan atau kekiri.

2. Tingkat kejang tonik.

Berlangsung + 30 detik. Seluruh otot menjadi kaku, wajah kaku, tangan menggenggam, kaki membengkok kedalam, pernapasan berhenti, muka menjadi sianotik dan lidah dapat tergigit.

3. Tingkat kejang klonik.

Berlangsung antara 1 2 menit. Spasmus tonik menghilang, semua otot berkotraksi berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup, lidah dapat tergigit lagi, bola mata menonjol. Dari mulut keluar ludah yang berbusa, muka menunjukan kongesti dan sianosis, penderita menjadi tidak sadar. Kejang klonik ini dapat demikian hebat sehingga penderita bisa dapat jatuh dari tempat tidur. Akhirnya kejang berhenti dan penderita menarik napas secara mendengkur.

4. Tingkat koma

Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama, secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar kembali, akan tetapi dapat pula timbul serangan baru dan berulang sehingga ia tetap dalam keadaan koma.

Diagnosis

Diagnosis Hipertensi dalam kehamilan terbagi dalam beberapa kelompok seperti berikut (1)

1. Kehamilan dengan Hipertensi

Tekanan darah > 140/90 mmHg pertama kali selama hamil

Tanpa proteinuria

Tekanan darah kembali normal < 12 minggu setelah melahirkan

Diagnosa akhir baru bisa dibuat setelah melahirkan. Mungkin juga disertai gajala dan tanda preeklampsia seperti nyeri ulu hati dan trombositopenia.

2. Preeklampsia

Kriteria minimal

Tekanan darah > 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu.

Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1+ ( dipstick )

Peningkatan preeklampsia

- Tekanan darah > 160/110 mmHg

- Proteinuria 2.0 g/24 jam atau > 2+ ( dipstick )

- Serum kreatinin > 1,2 mg/dL tidak diketahui peningkatan sebelumnya

- Trombosit < 100.000/mm3

- Hemolisis mikroangiopati ( LDH meningkat )

- Elevasi ALT dan AST

- Sakit kepala yang menetap atau bagian lain atau gangguan penglihatan

- Nyeri epigastrium yang menetap

3. Eklampsia

Kejang pada wanita dengan preeklampsia dan tidak ditimbulkan penyebab lain.

4. Superimposed preeclampsia

Baru terjadi Proteinuria > 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi tetapi tidak ditemui proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu.

Peningkatan secara mendadak proteinuria atau tekanan darah atau trombosit < 100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi dan proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu.

5. Hipertensi kronis

Tekanan darah > 140/90 mmHg sebelum hamil atau didiagnosa sebelum usia kehamilan 20 minggu.

Hipertensi pertama kali didiagnosa setelah usia kehamilan 20 minggu dan menetap 12 minggu setelah melahirkan.

ALT = Alanine aminotransferase; AST = Aspartate aminotransferase; LDH = Lactate dehydrogenase.

Diagnosis eklampsia ditegakan bila tedapat kejang dan atau koma pada wanita hamil yang sebelumnya menderita preeklampsia.( 1,2,9,10 )

Dengan adanya data proteinuria dan kelainan seperti preeklampsia berat, maka kita yakin akan hal ini, 20 % mungkin tekanan darah tidak terlalu tinggi.( 10 )

Lamanya koma setelah kejang bervariasi, jika kejangnya tidak sering maka pasien akan terlihat sedikit sadar diantara saat-saat kejang. Pada kasus yang berat, koma akan terus menetap diantara saat-saat kejang.

Pernafasan biasanya akan meningkat dan mungkin ngorok. Peningkatan ini bisa mencapai 50 kali per menit atau lebih, sebagai respon terhadap hiperkarbia akibat asidemia laktat dan variasi tingkat hipoksia. Sianosis dapat terlihat pada beberapa kasus yang berat. Demam mencapai 39 oC atau lebih merupakan pertanda adanya perdarahan susunan syaraf pusat.

Proteinuria hampir selalu ditemukan. Ekskresi urine mungkin berkurang dan kadang-kadang timbul anuria. Peningkatan curah urine setelah persalinan merupaka tanda awal perbaikan.

Edema dapat ditemukan pada semua eklampsia. Sering edema terlihat dengan jelas, namun dapat juga tidak terlihat.( 1 )Penanganan

Tujuan terapi adalah menyelamatkan ibu serta melahirkan janin yang dapat hidup diluar tanpa memerlukan penanganan intensif dan berkepanjangan. Tujuan ini tidak selalu dapat dicapai, karena faktor-faktor seperti beratnya penyakit, usia kehamilan, apakah sudah dalam pesalinan atau belum serta keadaan janin, akan menentukan apakah janin akan segera dilahirkan atau ditunda. Terapi definitive preeklampsia dan eklampsia adalah persalinan.

Kebijakan untuk merawat pasien di kamar gelap telah ditinggalkan lebih dari 10 tahun yang lalu. Pasien dirawat di kamar yang terang sehingga observasi dapat dilakukan dengan lebih baik. ( 11 )Pasien diawasi dan tidur dalam posisi miring kiri, bersihkan jalan nafas dan oksigenasi 4 6 L per menit. Dilindungi dari trauma selama kejang, tempat tidur yang berpagar serta diberi sudip lidah antara gigi dan sekret mulut diisap. Kemudian dipasang infus larutan isotonik, dipasang kateter untuk mengontrol pengeluaran urine dan dicatat tiap jam.( 4 ) Penanganan medis eklampsia meliputi : ( 1,6 )

1. Pengendalian kejang dengan pemberian Magnesium Sulfat, baik secara intravena melalui infus atau intramuscular.

2. Pemberian antihipertensi intravena atau oral untuk menurunkan tekanan darah terutama diastolik.

3. Menghindari pemakaian diuretik dan pembatasan pemberian cairan intravena kecuali kehilangan cairan yang banyak. Hindari bahan-bahan yang bersipat hiperosmotik.

4. Persalinan.

Pengendalian Kejang

Magnesium sulfat merupakan obat terpilih untuk mencegah kejang pada eklampsia. Magnesium sulfat tidak memberikan efek terapi terhadap hipertensi. Pemberian obat ini dapat dilakukan melalui Iintravena (IV) atau Intrmuskular (IM).

Pemberian Magnesium sulfat dapat dilakukan dengan syarat refleks patella (+), pernafasan 16 kali atau lebih pemenit dan Diuresis lebih dari 100 ml / 4 jam.( 8 )

Cara dan Dosis Pemberian Magnesium Sulfat ( SM ) ( 1 )

Intravena

1. Berikan 4-6 g SM sebagai dosis initial yang dilarutkan dalam 100 ml selama 15 20 menit.

2. Lanjutkan 2 g / jam dalam 100 ml cairan infuse.

3. Ukur kadar SM serum setelah 4-6 jam pemberian dengan kadar pemeliharaan 4-7 mEq/L ( 4,8 - 8,4 mg/dl )

4. Teruskan pemberian SM 24 jam setelah persalinan.

Intramuskular ( secara intemiten )

1. Berikan 4 g SM larutan 20 % secara IV dengan kecepatan 1 g / menit.

2. Lanjutkan pemberian 10 g SM 50 %, yang dibagi pada dua bokong dan disuntikan pada bagian luar kuadran atas, sedalam 3 inchi, ditambah 1 ml lidokain 2 %. Jika kejang masih menetap setelah 15 menit pemberian, beri 2 g lagi IV larutan SM 20 % dengan kecepatan 1 g / menit. Jika pasien gemuk dapat diberikan 4 g perlahan lahan.

3. Setiap 4 jam diberi lagi 5 g larutan SM 50 %, pada bagian luar kuadran atas bokong bergantian, setelah penilaian :

a. Refleks patella (+)

b. Depresi napas (-)

c. Jumlah urine selama 4 jam 100 ml

4. SM diteuskan selama 24 jam post partum.

Pemberian SM harus segera dihentikan bila timbul gejala toksik seperti : refleks patella menghilang, out put urine kurang dari 100 m dalam 4 jam atau pernapasan kurang dari 12 kali per menit.

Satu hal yang juga harus diperhatikan dalam pemberian SM adalah, bahwa obat yang diberikan kepada penderita harus selalu baru.( 6 )

Tingkat toksisitas secara klinis ditentukan oleh kadar SM Serum ( 4 )1. Depresi susunan syaraf pusat pada kadar 6 8 mg/dL

2. Kehilangan refleks tendon pada kadar 8 10 mg/dL

3. Depresi napas pada kadar 12 17 mg/dL

4. Koma pada kadar 13 17 mg/dL

5. Cardiac Arrest pada kadar 19 20 mg/dL

Sebagai antidotum diberikan kalsium glukonas 10 % dalam larutan 10 ml, oleh karena itu kalsium glukonas harus selalu tersedia disamping penderita.( 2 )Sodium pentothal juga dapat diberikan untuk mengatasi kejang dengan segera bila diberikan secara intravena. Akan tetapi obat ini mengandung bahaya, maka hanya dapat diberikan dirumah sakit dengan pengawasan yang sempurna dan tersedianya kemungkinan untuk intubasi. Dosis inisial dapat diberikan sebanyak 0,2 0,3 g dan disuntikan pelahan lahan. ( 8 )Lytic cocktail yang terdiri dari petidin 100 mg, klorpromazin 100 mg dan prometazin 50 mg dilarutkan dalam 500 ml glukosa 5 % dan diberikan secara infuse. Jumlah tetesan disesuaikan dengan keadaan tekanan darah pederita, yang diukur tiap 5 menit dalam waktu 30 menit pertama dan bila telah stabil pengukran dapat dijarangkan.( 8 )Diazepam juga dapat dipakai sebagai anti kejang, namun karena ada resiko depresi pernapasan pada neonatal maka obat ini hanya dipakai bila SM tidak tersedia. Dosis tunggal diazepam jarang menimbulkan depresi pernapasan neonatal. Dosis awal 10 mg IV perlahan selama 2 menit, jika kejang berulang ulangi dosis awal. Dosis pemeliharaan 40 mg dalam 500 ml ringer laktat per infus. Depresi napas ibu mungkin akan terjadi jika dosis > 30 mg / jam. Jangan berikan > 100 mg / 24 jam. Jika pemberian IV tidak memungkinkan, dapat diberikan per rektum dengan dosis 20 mg dalam semprit 10 ml tanpa jarum dan jika kejang tidak teratasi dalam 10 menit, beri tambahan 10 mg / jam atau lebih tergantung berat badan pasien dan respon klinik.( 12 )

Mengatasi Hipertensi

Pemberian obat antihipertensi diberikan bila tekanan diastolik > 110 mmHg dengan tujuan mempertahankan tekanan diastolik antara 90 100 mmHg atau sistolik diatas 180 mmHg. Pemberian antihipertensi beguna untuk mecegah kematian dan kesakitan ibu karena kejang, stroke dan emboli paru. Sedangkan untuk janin mencegah kematian dan kesakitan karena restriksi intra uterin, solusio plasenta dan infark.( 2,4,12 ) Obat pilihan untuk antihipertensi adalah Hidralazin dengan dosis 5 mg IV pelan pelan selama 5 menit sampai tekanan darah turun. Ulangi setiap jam jika perlu atau berikan 12,5 mg IM setiap 2 jam. Jika hidralazin tidak ada, maka dapat diberikan Labetalol 10 mg IV, jika respon tidak baik, berikan 20 mg IV. Naikan dosis sampai 40 80 mg jika respon tidak ada setelah 10 menit pemberian. Nifedipin juga dapat diberikan dengan dosis 5 mg sublingual, jika respon tidak baik dalam 10 menit, dapat ditambahkan 5 mg lagi.( 4,12 )

Kardiotonika ada yang menganjurkan supaya diberikan saja pada semua pasien eklampsia, sedangkan indikasinya adalah bila ada tanda tanda payah jantung, nadi diatas 120 kali per menit. Jenis kardiotonika yang diberikan adalah cedilanid 0,8 mg IV perlahan lahan sebagai dosis awal dan diteruskan 0,2 0,4 mg tiap 1 2 jam sebagi dosis pemeliharaan. Dosis maksimum 1,6 mg.( 6 )

Diuretik dan Preparat Hiperosmotik

Pemberian diuretik dapat menurunkan perfusi plasenta karena bekerja langsung menurunkan volume intravascular. Sedangkan pada Preeklampsia dan eklampsia terjadi hemokonsentrasi yang berarti volume intravaskuler penderita kurang dibanding kehamila normal. Karena itu, diuretik tidak dipergunakan untuk menurunkan tekanan darah, bisa memperberat hemokonsetrasi. Pada hampir semua kasus preeklampsia dan eklampsia akan tejadi diuresis spontan setelah persalinan yang biasanya dimulai dalam 24 jam dan cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler yang berlabihan akan menghilang dalam 3 4 hari berikutnya.

Pemberian preparat hiperosmotik akan menyebabkan tertariknya cairan ke intravaskuler, yang pada akhirnya akan menyebabkan edema pada organ organ vital, terutama paru paru dan otak. Dengan alasan itu preparat hiperosmotik tidak diberikan, dan pemberian Furosemid dan jenis lainnya hanya bila ditemukan atau diduga kuat terjadi edema paru.( 1 )Penanganan Obstetrik

Pada dasarnya semua kehamilan dengan eklampsia harus diterminasi tanpa memandang usia kehamilan dan keadaan janin.(11) Yang menjadi masalah adalah adanya kekacauan hemodinamik dan metabolisme, keadaan ini harus distabilkan dulu. Biasanya stabilsasi baru dapat dicapai 4 6 jam setelah pemberian obat anti kejang terakhir, pendeita mulai sadar dan responsive.( 2,11 )Bila penderita belum inpartu maka dilakukan induksi persalinan dengan amniotomi, oksitosin drip, kateter foley dan prostaglandin E2.( 4,9 ) Penanganan obstetrik saat ini lebih agresif, makin berat komplikasi yang sudah terjadi makin cepat pengakhiran kehamilan yang biasanya dilakukan seksio sesarea, kadang kadang sampai mengunakan anestesi local.( 11 ) Jika persalinan pervaginam tidak dapat diharapkan dalam 12 jam, denyut jantung janin < 100 x / menit atau > 180 x / menit atau serviks belum matang dan janin hidup, dilakukan seksio sesarea. Jika janin mati atau terlalu kecil, usahakan lahir pervaginam.( 11 ) Persalinan pervaginam merupakan cara yang paling baik bila dapat dilaksanankan dengan cepat tanpa banyak kesulitan.(3) Pada persalinan pervaginam, maka kala II dapat diberi kesempatan untuk partus spontan bila diperkirakan dengan mengedan tidak terlampau kuat janin dapat lahir. Bila tidak, maka persalinan dibantu dengan ekstraksi vakum atau cunam.( 11 )Eklampsia merupakan salah satu indikasi ekstraksi cunam dalam mengakhiri persalinan karena keadaan ibu dan janin memerlukan penyelesaian dalam waktu singkat. Syarat syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan ekstraksi cunam adalah :(13,14)

1. Pembukaan serviks sudah lengkap

2. Kepala janin sudah cakap

3. Tidak ada disproporsi sefalopelvik

4. Kepala janin harus dapat dipegang oleh cunam

5. Janin hidup

6. Ketuban sudah pecah

Dari beberapa syarat diatas, satu sampai empat merupakan yang terpeting. Ukuran kepala janin menentukan daun cunam dapat memegang kepala dengan sempurna, sehingga pada hidrosefalus dan anensefalus ekstraksi cunam tidak dapat dilakukan. Diameter kepala yang bisa dipegang oleh cunam Naegele > 7 cm, sesuai dengan diameter daun cunam.(14)

Untuk memperkirakan diameter kepala janin dapat dipergunakan grafik linier yang dibuat oleh Thompson dkk. ( Lampiran )

Perawatan Post Partum

Anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam setelah persalinan atau kejang terakhir. Teruskan terapi antihipertensi jika tekanan diastolik masih 110 mmHg atau lebih dan urin dikontrol.( 12 )

Prognosa

Eden pada tahun 1922 membuat suatu kriteria untuk menentukan prognosa penderita eklampsia :

1. Koma yang lama

2. Nadi diatas 120 x / menit

3. Suhu tubuh diatas 103 0F ( 40 0C )

4. Tekanan darah sistolik diatas 200 mHg

5. Kejang lebih dari 10 kali

6. Proteinuria lebih dari 10 gram / liter

7. Tidak ada edema

Bila tidak didapatkan salah satu gejala diatas atau hanya satu saja maka prognosa baik. Bila didapatkan lebih dari satu gejala diatas maka prognosanya menjadi buruk, karena kematian ibu menjadi 6 kali lipat.( 6 )

DISKUSI

Telah dipresentasikan suatu kasus kejang yang dialami seorang wanita hamil dan setelah dilakukan pemeriksaan, pasien didiagnosa : parturient preterm kala II + eklampsia intrapartum. Setelah dilakukan perawatan eklampsia, persalinan diakhiri dengan ekstraksi cunam. Permasalahan pada pasien ini adalah ekstraksi cunam pada janin preterm dan dilakukan setelah 4 jam perawatan. Pembahasan selanjutnya dimulai dari diagnosis

Diagnosis pada pasien ini ditegakan berdasarkan adanya serangan kejang yang terjadi tiba tiba, Hipertensi dan proteinuria +3, serta edema. Hipertensi, proteinuria dan edema merupakan trias dari preeklampsia. Hipertensi yang tejadi pada penderita preeklampsia dan eklampsia karena adanya vasospasme pembuluh darah. Dari kepustakaan didapatkan bahwa pada pasien eklampsia, sekitar 20 % tekanan darah tidak terlalu tinggi. Proteinuria, edema dan hemokonsentrasi ( hematokrit yang tinggi ) disebabkan oleh adanya kebocoran kapiler, yang merupakan suatu tanda telah terjadinya preeklampsia. Keadaan tersebut didapatkan pada pasien ini. Dengan demikian pada pasien ini diyakini telah tejadi preeklampsia sebelumnya.

Kejang pada pasien ini diyakini bukan disebabkan kelainan neurologik Hal ini berdasarkan tidak ditemukannya refleks patologis yang merupakan tanda adanya kelainan neurologik.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka diagnosa eklampsia pada pasien ini dapat diterima. Setelah diagnosa ditegakan, kemudian pasien dirawat di ICU. Perawatan di ICU merupakan perawatan secara tim, dimana penanganan intensif dilakukan oleh dokter ahli anastesia dan dokter ahli kebidanan dan kandungan.

Penanganan medis pada pasien ini dari segi kebidanan yaitu pengendalian kejang dengan pemberian regimen magnesium sulfat ( SM ). Regimen SM yang diberikan adalah dosis pemeliharaan. Pemberian SM dosis pemeliharaan pada pasien ini karena selama di RSUD Solok diyakini telah mendapatkan regimen SM dosis initial. Regimen SM diberikan 2 g / jam dalam infus. Selama pemberian pasien diawasi dan diperhatikan adanya tanda tanda toksik seperti : refleks patella yang menghilang, diuresis kurang dari100 ml dalam 4 jam dan atau pernafasan kurang dari 12 kali per menit. Bila ditemui salah satu dari hal ini , maka pemberian regimen SM segera dihentikan.

Pasien tidak diberi obat antihipertensi karena tekanan darah pasien yang tidak terlalu tinggi. Dari kepustakaan dinyatakan bahwa pemberian antihipertensi hanya dilakukan bila tekanan darah pasien sama atau lebih dari 180/110 mmHg. Tekanan darah pasien saat masuk rumah sakit 150 / 100 mmHg. Berdasarkan kepustakaan tersebut, pemberian antihipertensi belum merupakan indikasi. Disamping itu, pasien juga tidak diberi diuretik untuk menurunkan tekanan darah karena dapat menurunkan perfusi plasenta dan memperberat hemokonsentrasi yang telah ada. Kepustakaan menyatakan pada hampir semua kasus preeklampsia dan eklampsia akan terjadi diuresis spontan setelah persalinan yang dimulai dalam 24 jam pertama. Dari segi penanganan secara medis, maka penanganan pasien ini telah sesuai dengan yang dianjurkan kepustakaan yang didapat.

Dalam penanganan obstetrik pasien eklampsia, terapi definitifnya adalah terminasi kehamilan tanpa memandang usia kehamilan. Terminasi kehamilan dilakukan setelah stabilisasi tercapai. Hal ini biasanya dicapai 4 6 jam setelah pemberian obat anti kejang terakhir atau penderita mulai sadar dan responsif.

Pemilihan cara persalinan pervaginam atau perabdominam ditentukan oleh waktu yang diperlukan sampai bayi lahir. Jika diperkirakan lebih dari 12 jam, maka seksio sesarea merupakan pilihan terbaik.

Pada saat masuk rumah sakit pasien dalam kala II persalinan, keadaan ini berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan dan didapatkan pembukaan telah lengkap dan ubun ubun kecil berada didepan setinggi bidang HIII - IV. Dari kepustakaan yang didapatkan, tidak ada yang menjelaskan apakah pasien eklampsia dalam kala II persalinan boleh langsung diterminasi setelah pemberian regimen SM dosis initial. Kepustakaan hanya menjelaskan terminasi kehamilan setelah stabilsasi tercapai. Bila ditinjau status generalis pasien, saat masuk keadaan pasien relatif stabil dan memungkinkan untuk terminasi kehamilan saat itu. Dengan pertimbangan pengakhiran persalinan akan memperbaiki keadaan ibu dan terapi defenitif eklampsia adalah terminasi kehamilan, maka pada pasien ini sebaiknya janin dilahirkan pada saat pasien masuk rumah sakit tanpa menunggu 4 jam lagi.

Kala II persalinan pada pasien eklampsia diupayakan cepat dan tidak memperberat keadaan ibu. Biasanya kala II persalinan dibantu dengan ekstraksi cunam. Pada pasien ini janin dilahirkan dengan ekstraksi cunam. Walaupun usia kehamilan preterm dan janin diperkirakan kecil, berdasarkan grafik diameter kepala dan berat badan yang dikemukakan oleh Thompson serta diameter daun cunam, maka kepala janin dapat dipegang oleh cunam ( diameter kepala janin + 7,8 cm berdasarkan grafik linier Thompson dan bila dihitung berdasarkan rumus keliling lingkaran, didapatkan 31 : 3.14 = 7.9 cm ). Selain mempercepat kala II, ektraksi cunam pada pasien ini juga dapat melindungi kepala janin dari tekanan jalan lahir. Dengan demikian, ektraksi cunam pada pasien memenuhi syarat.

Disamping itu, ada kepustakaan yang memberi kesempatan untuk partus spontan pada pasien eklampsia jika diyakini proses tersebut tidak berlangsung lama dan janin akan lahir dengan tenaga mengedan yang tidak terlampau kuat. Partus spontan pada pasien ini dimungkinkan dengan petimbangan pada saat masuk pasien dalam kala II persalinan dan kepala janin telah mencapai bidang HIII IV dengan ubun ubun kecil di depan. Dengan pemberian drip akselerasi untuk memperkuat his, diperkirakan janin akan lahir. Namun tidak bisa dipastikan berapa lama waktu yang diperlukan untuk mendapatkan his yang adekuat. Jika kala II pada pasien ini secara spontan, maka perlu dilakukan episiotomi yang cukup luas untuk mengurangi tekanan jalan lahir terhadap kepala janin.

Berdasarkan hal tersebut, maka kala II persalinan pada pasien ini sebaiknya dengan ekstraksi cunam. Selain lebih cepat, kepala janin akan terlindungi dengan baik.

KESIMPULAN

1. Diagnosis eklampsia pada pasien ini telah sesuai dengan kepustakaan yang didapat.

2. Penanganan pertama pada pasien ini dengan pemberian regimen SM dosis pemeliharaan karena diyakini telah diberikan dosis initial di RSUD Solok.

3. Penyelesaian kala II pada pada pasien ini dapat dilakukan pada saat masuk rumah sakit karena keadaan pasien yang relatif stabil.

4. Tindakan ekstraksi cunam pada pasien ini memenuhi syarat walau usia kehamilan preterm dan janin kecil, namun kepala janin dapat dipegang oleh daun cunam.

DAFTAR PUSTAKA1. Cunningham FG; Gant NF; Leveno KJ, et all. Hypertensive Disorders in Pregnancy. In : Williams Obstetrics. 21st Ed. Mc Graw-Hill Companies. New York : 2001 : 568 606.

2. Syahrial H.A.R. Eklampsia dan Perawatannya. Lab. / UPF Obstetri dan Ginekologi FK. Unand / RSUP Dr. M. Djamil. Padang : 2000 : 1 23

3. Wibowo B, Rachimhadhi T. Preeklampsia dan Eklampsia. Ilmu Kebidanan, edisi ketiga, cetakan kelima. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : 1999 : 281 300.

4. Fugate SR, DO. Eclampsia. eMedicine Journal. 2002; 7/14. In : http://www.emedicine.com/med/topic633.htm..

5. Saleh SC. Penanganan Eklampsia di ICU RSUD Dr. Soetomo. Majalah Anestesi dan Critical Care. Vol 10. No. 2. 1992 : 92 95.

6. Syahrial H.A.R. Hipertensi dalam Kehamilan. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK. Unand / RSUP Dr. M. Djamil. Padang : 1991 : 1 10.

7. Wibowo N. Patogenesis Preeklampsia. Naskah Seminar Konsep Mutakhir Preeklampsia. Jakarta. 28 April 2001.

8. Rachimhadhi T. Epidemiologi Hipertensi dalam Kehamilan. Naskah Seminar dan Lokakarya Penanganan Preeklampsia dan Eklampsia. Jakarta. 16 Januari 1993.

9. Wishnuwardhani SD. Diagnosis dan Penanganan Dini Preeklampsia. Naskah Seminar dan Lokakarya Penanganan Preeklampsia dan Eklampsia. Jakarta. 16 Januari 1993.

10. Wiknyosastro GH. Diagnosis dan Pencegahan Preeklampsia. Naskah Seminar Konsep Mutakhir Preeklampsia. Jakarta. 28 April 2001.

11. Handaya. Penanganan Preeklampsia / Eklampsia. Naskah Seminar Konsep Mutakhir Preeklampsia. Jakarta. 28 April 2001.

12. Saifuddin AB. Preeklampsia Berat dan Eklampsia. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Jakarta. 2000 : 212 214.

13. Husodo L. Usaha Melahirkan Janin Hidup Pervaginam. Bedah Kebidanan. Ilmu Kebidanan, Edisi Ketiga, Cetakan Kelima. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : 1999 : 811 814.

14. Wiknjosastro H. Saifuddin AB. Rachimhadhi T. Ekstraksi Cunam. Ilmu Bedah Kebidanan, edisi Pertama, Cetakan kelima. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : 2000 : 89 92.

Endothelial

Activation

3746